laporan teknisbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../laporan-teknis-2015.pdf · 2020. 6. 19. ·...
Post on 22-Oct-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASAR
Jalan Raya Sesetan No. 266
LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS, MONITORINGDAN PENGEMBANGAN METODE UJIBALAI BESAR VETERINER DENPASARTAHUN 2015
-
Denpasar 80223 Bali2016
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang
telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah
Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2015 dapat
diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan
Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT
selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31
Desember 2015.
Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar yang
mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24 Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, yang mempunyai tugas melakukan
surveilans, monitoring, dan pelayanan penyidikan secara aktif di lapangan, juga
melakukan pengujian veteriner di laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.
Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah
kerja pada tahun 2015 dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner
Denpasar tahun anggaran 2014 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2015,
tanggal 14 Nopember 2014.
Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan
Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima.
Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya
bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan
semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan
banyak terima kasih.
Denpasar, 15 Pebruari 2016Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,
Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D.NIP. 19620504 198903 1 001
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
ii
DAFTAR ISI
Halaman
1 KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i
2 DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. ii
I. BAKTERIOLOGI
1. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015…........... 1-11
2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DIWILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015.................................... 12-23
3. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015..................................................................................... 24-32
4. MONITORING DAN SURVEILANS SE DI WLAYAH KERJABB-Vet DENPASAR TAHUN 2015.................................................... 33-46
5. SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DALAMRANGKA PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSAPANIDA............................................................................................. 47-68
II. PARASITOLOGI
6. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA(TRYPANOSOMIASIS) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015………….... 69-78
7. SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTROINTESTINAL DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................................ 79-90
III. PATOLOGI
8. ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................... 91-108
9. SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR)TAHUN 2015........................................………………………............. 109-125
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
iii
10. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARA VIROLOGIS,DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015……………………… 126-148
IV. KESMAVET
11. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DANCEMARAN MIKROBA PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB)DAN NUSA TENGGARA TIMUR(NTT) TAHUN 2015……………….. 149-175
12. MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis)PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTTTAHUN 2015……………………………………………………………... 176-186
V. BIOTEKNOLOGI
13. SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2015............................................................................................... 187-200
14. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015............................................................................................ 201-216
VI. VIROLOGI
15. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DANNEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015…………………………………………………………….. 217-237
16. SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINERHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015.............................................................. 238-250
17. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015.....................................................…….. 251-261
18. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015..................................................................................... 262-278
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
iv
VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN
19. PENGEMBANGAN METODE UJI DIAGNOSA RABIESDENGAN REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASECHAIN REACTION MENGGUNAKAN PRIMER SPESIFIKSTRAIN BALI…………………………………………………………….. 279-297
VIII. PELAYANAN VETERINER
20. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGISDI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALIBALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015…………………………….. 298-306
21. PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSITERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR…………….. 307-325
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
1
SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR
TAHUN 2015
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, , Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulaudengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi NusaTenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di PulauFlores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadipada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di KabupatenSikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks diPulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, sertakasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia.
Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Propinsi NTBdan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi umumnya dapat dicapai apabilacakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahuikekebalan kelompok (herd immunity) ternak terhadap Antraks maka tahun 2015 BBVetDenpasar telah melakukan surveilans dan monitoring di beberapa kabupaten di Provinsi NTBdan NTT. Sampel serum di uji dengan metode ELISA. Hasil uji sampel dari Pulau Lombokdiketahui bahwa hanya 4/547 sampel (0,17%), di Pulau Sumbawa 399/1.347 (29,62%), PulauFlores 55,96%, Pulau Timor 12,55%, Pulau Sumba 67,22%, Kabupaten Sabu Raijua 69,11%positif antibodi Antraks, sedangkan Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif.
Mengingat tingkat kekebalan kelompok ternak yang masih rendah dan durasi kekebalanterhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, serta kasus/wabahAntraks biasanya terjadi pada akhir musim kemarau serta berlanjut sampai musim hujansehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun, yakni bulanJuni – Agustus dan bulan Februari – Maret tahun berikutnya.
Kata Kunci : Antraks, ELISA, NTB, NTT.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
2
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis
hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.
Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;
Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk
septisemik (Ezzel, 1986). Bila kuman Bacillus anthracis berada dalam
lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh
jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan
bertahan hidup puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan
mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks
dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak
yang telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi
bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.
Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan
daerah bebas Abtraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa
merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus Antraks
terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu
sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di
Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah
NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba
diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan
Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi
NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai
Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka
2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,
2015).
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
3
Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di
Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi
umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat
kekebalan kelompok minimal70%, untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi
Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar maka telah dilakukan surveilans dan
monitoring tahun 2015 untuk mengetahui kekebalan kelompok (herd immunity).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
penyakit Antraks di wilayah kerja sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Antraks di di wilayah kerja;
2. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah
kerja;
3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan
monitoring Antraks di wilayah kerja;
4. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.
3. Tujuan Kegiatan
a. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Antraks di wilayah
kerja;
b. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;
c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan Kepala
BBVet Denpasar;
d. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
4. Manfaat Kegiatan
a. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Antraks di di wilayah
kerja;
b. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;
c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan
Kepala BBVet Denpasar;
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
4
d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
5. Output
1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Antraks serta tingkat
kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi Antraks pada daerah
endemis di wilayah kerja;
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;
3. Turunnya kejadian penyakit Antraks di wilayah kerja dan terciptanya
lingkungan peternakan yang bebas Antraks dan tersedianya produk hewan
yang bebas penyakit Antraks.
MATERI DAN METODE
1. Materi
Bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah
kerja BBVet Denpasar tahun 2015 antara lain antigen Elisa Antraks, conjugate,
substrat, buffer pencuci ELISA, PBS, mikroplate, ELISA reader dan washer,
tube, handle, jarum venoject, mikrotube, dan sebagainya.
2. Metode
Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi antraks dengan metode
mengukur aras ( Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ /L2 dan teknik sampling yang
digunakan adalah multi stage random sampling.
n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
5
Jumlah sampel untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan asumsi
prevalensi 51% (data BBVet Denpasar 2014) dengan konfidensi 95%, eror 5%
n = 4 x 0,51 x (1- 0,51) 0,052
n = 4 x 0,49 x 0,49 0,0025n = 399,84, jadi di NTB sampel minimal yang diambil 400 sampel.
Untuk di NTT dengan prevalensi 37,8% (data BBVet Denpasar 2014) minimal
pengambilan sampel 376,18 sampel (dibulatkan 376 sampel). Kegiatan ini juga
dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah
kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik
veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah
kerja, khususnya di Provinsi NTB dan NTT.
Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak
sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan
berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan ELISA di
Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar (Hardjoutomo, dkk 1993; Anon,
1999). Prosedur Elisa sebagai berikut :o Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)
o Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam pada
suhu 40C.
o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).
o Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam PBS
tween pada row 1 sampai 10.
o Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan 12.
o Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).
o Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
o Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap lubang,
inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).
o Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
6
HASIL
Hasil surveilans tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah sampel yang positif
mengandung antibodi Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar adalah di Pulau
Lombok 0,17%, Pulau Sumbawa 29,62%, Pulau Flores 55,96%, Pulau Sumba
67,22%, Daratan Timor 12,55%, Kabupaten Saburaijua 69,11%, Kabupaten
Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negative (0%), seperti dalam Tabel 1
dan 2.
Tabel 1. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTB
Kabupaten Kecamatan JumlahSampelPositif
AntibodiAntraks
Bayan 80 4Tanjung 80 0Pemenang 80 0
Lombok Utara
Jumlah 240 4 (1,67%)Suralaga 40 0Wanasaba 163 0Aikmal 131 0
Lombok Timur
Jumlah 334 0Jumlah Lombok 574 4 (0,17%)
Alas barat 288 136SumbawaJumlah 288 136 (47,22%)
Seteluk 50 26Taliwang 62 11Pototano 50 22
Sumbawa Barat
Jumlah 162 59 (36,42%)Bolo 120 52Langgudu 30 15
Bima
Jumlah 150 67 (44,67%)Dompu 37 18Woja 141 115
Dompu
Jumlah 173 133 (76,88%)Jumlah Sumbawa 773 395 (51,09%)
TOTAL NTB 1.347 399 (29,62%)
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
7
Tabel 2. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTTKabupaten Kecamatan Jumlah Sampel Positif Antibodi Antraks
Maulafa 20 0Kalapa Lima 50 8Alak 30 0
Kota Kupang
Jumlah 100 8 (8%)Amanuban Selatan 50 0TTS
Jumlah 50 0Naibenu 81 21TTU
Jumlah 81 21 (25,93%)Jumlah Pulau Timor 231 39 (12,55%)Sabu Barat 44 25Sabu Liae 41 26Hawu Mehara 39 30Sabu Timur 80 60
Saburaijua
Jumlah Saburaijua 204 141 (69,11%)Lobalin 79 0
Rote Tengah 158 0Rotendao
Jumlah Rotendau 237 0Ila Ape 47 0Lebatukan 46 0Nubatukan 24 0
Lembata
Jumlah Lembata 117 0Alor Barat Daya 26 0Kabola 18 0Teluk Mutiara 35 0
Alor
Jumlah Alor 79 0Bajawa 20 1Ngada
Jumlah 20 1 (5%)Boawae 65 39Nagekeo
Jumlah 65 39 (60%)Kewapante 50 40Magepanda 68 15Mapitara 52 29Mego 50 33Waiblama 53 38Wargete 53 35
Sikka
Jumlah 326 190 (58,28%)Jumlah Pulau Flores 411 230 (55,96%)Pahonga Lodu 140 140Sumba Timur
Jumlah 140 140 (100%)Umbu ratu Nggai 151 54Katikutana 22 16
SumbaTengah
Jumlah 173 70 (40,46%)Tanarighu 26 20Wanokaka 77 56Loli 58 31
Sumba Barat
Jumlah 161 107 (66,46%)Kodi Bangedo 26 19Kodi 17 13Wewewa Barat 23 17Wewewa Timur 64 40
Sumba BaratDaya
Jumlah 130 89 (68,46%)Jumlah Pulau Sumba 604 406 (67,22%)
TOTAL 1.879
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
8
Tahun 2015, Balai Besar Veteriner Denpasar tidak mendapatkan laporan
adanya kasus Antraks di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Kasus Antraks terakhir di Provinsi NTT dilaporkan terjadi di
Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai Barat tahun 2008, Manggarai tahun
2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun 2012, Sikka tahun
2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,
2015).
PEMBAHASAN
Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di
Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2015 tidak ada lagi
laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari petugas
dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak dilakukan
vaksinasi Antraks. Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau Lombok,
kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa atau daerah lainnya
yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari
Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas Peternakan Kabupaten
Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari daerah luar Kabupaten
Lombok Utara. Namun demikian adanya ternak yang positif mengandung
antibodi Antraks perlu diwaspai dan penelitian lebih lanjut, apakah ternak
tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah terinfeksi.
Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa sebanyak
51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan
vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi dari petugas Dinas Peternakan
Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi Antraks pada tahun 2015 hanya
35,322 ekor (47,74%) dari populasi target 73.987 ekor. Pulau Sumbawa
diketahui sebagai daerah endemis Antraks, dengan kekebalan kelompok yang
belum optimal ini, dikhawatirkan kemungkinan akan munculnya kasus
dilapangan. Untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau yang
membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa untuk meningkatkan cakupan
vaksinasi Antraks.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
9
Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi
NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di
Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara
(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar
dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang
dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Hasil yang diperoleh dari Pulau Flores, Sumba, dan Saburaijua, dimana rata-rata
tingkat kekebalan ternak yang disampling kurang dari 70% (Flores 55,96%,
Sumba 67,22%, dan Saburaijua 69,11%). Untuk dapat terhindar dari wabah
diperlukan minimal 70% populasi ternak rentan memiliki antibodi protektif. Tidak
optimalnya tingkat protektifitas ternak yang disampling mungkin disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain 1. Cakupan vaksinasi yang dilakukan rendah, 2. Waktu
pengambilan sampel yang kurang tepat (baru divaksinasi atau sudah terlampau
lama divaksinasi) sehingga antibodi yang ada belum maksimal atau sudah
mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan pada
sapi Bali di Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah, di ketahui bahwa
durasi kekebalan terhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca
vaksinasi, sehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2
kali setahun (Arsani, 2010 dikutif oleh Putra, dkk., 2011).
Hasil uji sampel dari Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif
antibodi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari dinas peternakan
setempat bahwa di daerah ini memang tidak dilakukan vaksinasi antraks karena
belum pernah ada laporan kasus antraks. Namun demikian perlu diwaspadai
apabila ada pemasukan ternak dari luar wilayah tersebut terutama dari wilayah
endemis Antraks.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
10
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpilan
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kekebalan kelompok
ternak di daerah endemis Antraks di NTB dab NTT masih rendah (kurang dari
70%).
5.2 Saran
Untuk tetap menjaga Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau terhindar dari
kasus Antraks, maka disarankan untuk tidak memasukkan ternak berasal dari
daerah endemis antraks seperti Flores, Sumba, dan sebagainya. Untuk
meningkatkan tingkat kekebalan kelompok ternak terhadap Antraks di Pulau
Sumba, Flores, dan Saburaijua disarankan untuk meningkatkan cakupan
vaksinasi sesuai dengan populasi ternak rentan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan staf
Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan
hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta Kepala Dinas
Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan dan kerjasamanya
sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dngan baik.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
11
DAFTAR PUSTAKA
OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.
Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalamMendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya BebasPenyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT diDenpasar 2-4 Maret 2015.
Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited byCarton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25
Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA tomonitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusiadi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampaidimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40
Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.
Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.
Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
12
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2015
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) meliputi Provinsi Bali, Nusa tenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebasBrucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebasBrucellosis. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara pulau yang ada. Di PulauTimor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi>2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.Satu reaktor Brucellosis ditemukan di Kabupaten Ende pada tahun 2006. Surveilans yangberkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagaidaerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru diwilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebasBrucellosis.
Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan denganmenggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stagerandom sampling. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan DinasPeternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten /Kota di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai ujiskrining, jika ada positif dilanjutkan dengan uji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagaireactor Brucellosis.
Hasil pengujian terhadap 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dariProvinsi NTB semuanya negatif antibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTTsebanyak 2.344 sampel, 5 sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu tiga (3) sampel positifdari 108 sampel serum berasal dari Kota Kupang, satu (1) sampel positif dari 402 sampel serumberasal dari Kabupaten Kupang, dan satu (1) sampel positif dari 396 sampel serum darikabupaten Alor). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTBmasih bebas Brucellosis. Untuk dapat mempertahankan Provinsi Bali dan NTB tetap sebagaidaerah bebas Brucellosis, maka diperlukan pengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dansurveilans yang berkelanjutan.
Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Bali, NTB. NTT.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
13
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan menular strategis di
Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan merupakan penyakit
yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa telah
dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri Pertanian Repubik
Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Bali, SK
Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok di Prop NTB, dan SK
Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa di Prop NTB.
Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas
Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015
tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara
pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah
tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau
lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis
pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten
Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996.
Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam
upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor
kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk
mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis.
Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah
kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan
permasalahan penyakit Brucellosis di wilayah kerja sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Brucellosis di beberapa daerah
khususnya di Provinsi NTT.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
14
2. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di
Provinsi NTB harus dipertahankan.
3. Belum terbinanya secara keseluruhan Puskeswan yang ada di wilayah kerja
BBVet Denpasar secara intensif.
3. Tujuan Kegiatan
1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Brucellosis di
wilayah kerja;
2. Mempertahankan status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok
dan Sumbawa di Provinsi NTB.
3. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
4. Manfaat Kegiatan
1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Brucellosis di
wilayah kerja;
2. Terjaganya status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan
Sumbawa di Provinsi NTB serta dapat terbebaskannya daerah lain dari
Brucellosis;
3. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.
5. Output
1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Brucellosis di wilayah kerja;
2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang
representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas
Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;
3. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di
Provinsi NTB tetap terjaga.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
15
MATERI DAN METODE
1. Materi
Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar
tahun 2015 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan
CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang
dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary
agglutinator, dan sebagainya.
2. Metode
Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis
dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling
yang digunakan adalah multi stage random sampling, dengan perhitungan
estimasi besaran sampel metode detect disease (Martin, 1987) yaitu n = [1-(1-
p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan keterangan sebagai berikut ;
n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi
Asumsi prevalensi di masing-masing provinsi 0,5%, dengan tingkat kepercayaan
yang digunakan adalah 95 %, dan populasi lebih dari 10.000, maka dengan
menggunakan rumus diatas / tabel sample size (Thrusfield W., 1995). diperoleh
besaran sampel yang harus diambil di masing-masing provinsi minimal 598.
Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan
Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan,
dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang
tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
16
Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak
sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentukan
berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan
menggunakan metode uji RBPT, apabila positif dilanjutkan dengan uji CFT di
Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar (IKP-Bak No 1;
Anon, 1999; Anon, 2010). Prosedur uji RBPT sebagai berikut :
1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT
dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.
2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada
WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk
serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80,
setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua
lubang.
3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator
dan lakukan pembacaan hasil.
Prosedur Uji CFT sebagai berikut :
1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A
serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,
lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di
waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol
positif dan negatif)
2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –
H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)
3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12
sampai ke lubang H1-12
4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang
C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control
antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan volume)
5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl
kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30
menit.
6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.
7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
17
HASIL
Hasil Uji 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dari
Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 2.344 sampel
dari Provinsi NTT, 5 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari
Kota Kupang, 1 sampel dari Kabupaten Kupang, dan 1 sampel dari Kabupaten
Alor, hasil lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali
NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPEL HASIL UJIKerambitan 45 NegatifKediri 50 NegatifSelemadeg Timur 30 NegatifSelemadeg 16 Negatif
1 Tabanan
Jumlah 141 NegatifBangli 57 NegatifKintamani 57 NegatifSusut 55 NegatifTembuku 14 Negatif
2 Bangli
Jumlah 183 NegatifBebandem 50 NegatifSidemen 45 NegatifSelat 45 Negatif
3 Karangasem
Jumlah 140 NegatifBusungbiu 2 NegatifGerokgak 90 NegatifKubutambahan 26 NegatifSeririt 2 NegatifSukasada 51 Negatif
4 Buleleng
Jumlah 171 NegatifBanjarakan 50 Negatif5 Klungkung
Jumlah 50 NegatifJembrana 53 NegatifNegara 55 NegatifMelaya 6 NegatifMendoyo 1 NegatifPekutatan 251 Negatif
6 Jembrana
Jumlah 366 NegatifGianyar 3 NegatifPayangan 61 NegatifTegalalang 90 Negatif
7 Gianyar
Jumlah 154 NegatifMengwi 45 Negatif8 Badung
Jumlah 45 NegatifDenpasar Selatan 50 NegatifDenpasar Timur 45 NegatifDenpasar Utara 50
9 Denpasar
Jumlah 145 NegatifTotal 1.395 Negatif
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
18
Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB
KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPEL HASIL UJI RBPTAikmal 2 Negatif
Jerowaru 2 Negatif
Sakra Barat 2 Negatif
Sakra 24 Negatif
Selong 1 NegatifSuwela 1 NegatifSukamulia 6 NegatifSuralaga 68 NegatifWanasaba 202 NegatifPringgasela 18 NegatifSakra Timur 3 Negatif
Lombok Tengah
Jumlah 329 NegatifGerung 297 NegatifNarmada 42 NegatifKuripan 110 NegatifLabuan Api 10 NegatifSekotong Tengah 11 NegatifKediri 200 Negatif
Lombok Barat
Junlah 670 NegatifBatukliang Utara 23 NegatifPraya Barat daya 86 NegatifPringgarata 83 NegatifBatukliang 41 NegatifJonggak 30 NegatifPraya 25 Negatif
Lombok Timur
Jumlah 288 NegatifPemenang 90 NegatifGangga 4 NegatifKayangan 9 NegatifTanjung 99 NegatifBayan 80 Negatif
Lombok Utara
Jumlah 282 NegatifAlas Barat 288 NegatifLabangka 10 NegatifMoyo Utara 6 NegatifMoyo Hilir 9 Negatif
Sumbawa Besar
Jumlah 313 NegatifPoto Tano 50 NegatifSeteluk 50 NegatifTaliwang 60 Negatif
Sumbawa Barat
Jumlah 160 NegatifDompu 160 NegatifWoja 334 Negatif
Dompu
Jumlah 494 NegatifMadapangga 237 NegatifWoha 147 NegatifBolo 120 NegatifLanggudu 30 Negatif
Bima
Jumlah 534 NegatifAsakota 36 NegatifRaba 1 NegatifRasanae Timur 27 NegatifEmpunda 20 Negatif
Kota Bima
Jumlah 84 NegatifTotal 3.154 Negatif
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
19
Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT
HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPELRBPT CFT
Molo Utara 8 Negatif NegatifMiomaffo Barat 9 Negatif NegatifMussi 14 Negatif NegatifNeomutiara 12 Negatif NegatifNaibenu 81 Negatif NegatifNailanu 81 Negatif Negatif
TTU
Jumlah 205 Negatif NegatifAmanuban Selata 122 Negatif NegatifMolo Utara 8 Negatif NegatifTTS
Jumlah 130 Negatif NegatifAlak 35 Negatif NegatifMaulafa 20 Negatif NegatifKota Raja 53 3 (Positif) 3 (Positif)
Kota Kupang
Jumlah 108 3 (Positif) 3 (Positif)/2,78%Kupang Tengah 161 Negatif NegatifKupang Timur 139 1 (Positif) 1 (Positif)Amarasi Barat 16 Negatif NegatifFatu Leu 16 Negatif NegatifTaebeno 26 Negatif NegatifTakari 11 Negatif NegatifHawumehara 39 Negatif NegatifSulamu 12 Negatif Negatif
KabupatenKupang
Jumlah 420 1 (Positif) 1 (Positif)/0,24%Ileape 47 Negatif NegatifLebatukan 46 Negatif NegatifLembata
Jumlah 93 Negatif NegatifSabu Barat 42 Negatif NegatifSabu Timur 162 Negatif NegatifSaburaijua
Jumlah 204 Negatif NegatifTeluk Mutiara 85 Negatif NegatifKabala 19 1 (Positif) 1 (Positif)Alor Barat Daya 83 Negatif NegatifAlor Barat laut 22 Negatif NegatifAlor Tengah Utara 14 Negatif NegatifAlor Timur Laut 10 Negatif NegatifAlor Timur 23 Negatif NegatifLembur 63 Negatif NegatifPantar Tengah 72 Negatif NegatifPantar barat Laut 5 Negatif Negatif
Alor
Jumlah 396 1 (Positif) 1 (Positif)/0,25%Magepanda 68 Negatif NegatifHewokluang 3 Negatif NegatifKangae 4 Negatif NegatifMapitra 52 Negatif NegatifWaigete 53 Negatif NegatifKewapante 50 Negatif NegatifMego 50 Negatif NegatifWaiklana 53 Negatif Negatif
Sikka
Jumlah 333 Negatif NegatifRote Barat Daya 16 Negatif NegatifRote Barat Laut 15 Negatif NegatifRote Tengah 162 Negatif NegatifLobalae 79 Negatif Negatif
Rotendao
Jumlah 272 Negatif NegatifMalaka Barat 103 5 Positif NegatifMalaka Tengah 30 Negatif NegatifWewiku 50 Negatif NegatifMalaka
Jumlah 183 Negatif NegatifTotal 2.344 10 Positif 5 Positif
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
20
PEMBAHASAN
Pulau Bali sudah dinyatakan bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok,
berhasil dibebaskan dari Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal
selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa
pada tahun 2006 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola pembebasan yang sama dengan Pulau
Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua reaktor yang ditemukan dalam periode waktu
pembebasan telah dimusnahkan atau di potong paksa.
Hasil monitoring Brucellosis tahun 2015 di Provinsi Bali, dari 1.395 sampel
serum yang diuji semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi
Nusa Tenggara Barat, dari 3.154 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau
Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif mengandung antibodi brucella.
Hal ini, mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih
bebas dari Brucellosis.
Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa
Tenggara Timur, Brucellosis ditemukan di Kota Kupang (2,78%). Seperti
diketahui bahwa daratan timur merupakan wilayah terinfeksi Brucellosis dengan
prevalensi
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
21
dapat dihindari dan dimasa mendatang, agar dapat dipertimbangkan kembali
apabila ingin memasukkan ternak sapi dari daratan timor. Hasil uji Brucellosis
dari kabupaten di daratan timornya lainnya seperti Timor Tengah Selatan, Timor
Tengah Utara, dan Malaka pada tahun 2015 semuanya negatif. Seperti diketahui
bahwa Kabupaten TTU dan Malaka (pemekaran dari Kabupaten Belu)
merupakan daerah Brucellosis dengan prevalensi >2% dan di kedua daerah
tersebut pernah dilakukan vaksinasi brucellosis, dengan hasil uji semua negatif
pada tahun 2015 masih perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan
pengambilan sampel yang memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi
sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat diketahui dengan jelas.
Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka,
Ngada, Nagekeo semuanya negatif, seperti diketahui bahwa prevalensi
Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis di Pulau Flores
pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada tahun 2006
(Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat. Berdasarkan
data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka kemungkinan
untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk dilakukan,
sebelum berkembang menjadi lebih besar.
Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,
Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa
dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans
secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan
dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas
ternak antar pulau.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
22
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas
Brucellosis
2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk
mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.
3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan
Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan
5.2 Saran
Untuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan
Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang
lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan
atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di
Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang
telah membantu terselanggaranya surveilans ini.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
23
DAFTAR PUSTAKA
Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.
Instruksi Kerja Metode Pengujian, Jaminan Mutu Laboratorium Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner regional VI Denpasar.
Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.
OIE (2009) Terrestrial Animal . Halaman 10 – 11
Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.
Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
24
SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA
Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok. G.R.Krisna Ananda, Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Program pemberantasan brucellosis di Pualu Sumba telah dilakukan melalui surveilans selama 3(tiga) tahun, yaitu tahun 2012 sebagai survei pendahuluan, 2013 surveilans massal tertarget(sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih) di seluruh desa yang ada di Pulau Sumba, dan tahun 2014surveilans penyisiran terhadap desa-desa yang belum terambil pada tahun 2013 dan desa denganhasil uji positif CFT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai uji skrining jika ada positifdilanjutkan dengan uji CFT. Dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebanyak 60.809 ekor sapi/kerbauumur 1 tahun atau lebih telah diperiksa serumnya dan menunjukan hasil negatif antiboditerhadap Brucella abortus. Sampel serum diambil dari seluruh desa yang ada di Pulau Sumba.Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, sebanyak 187 dikategorikan sebagai desa monitoringnegatif dan 239 desa sebagai desa uji masal negatif. Selama surveilans tidak ditemukan adanyasapi/kerbau yang memperlihatkan gejala klinis Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas danpersyaratan yang ditetapkan oleh OIE, yang mengisyaratkan bahwa prevalensi reaktor setinggi-tingginya 0,2% sebagai daerah bebas Brucellosis, maka Pulau Sumba sudah dinyatakan sebagaidaerah bebas brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keputusan Menteri PertanianRepublik Indonesia Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015. Untukmenpertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas brucellosis maka Balai Besar VeterinerDenpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015. Dari 602 sampel yang diuji semuanegatif Brucellosis dan berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan tidak ada laporanternak yang menunjukkan gejala klinis mengarah ke Brucellosis. Berdasarkan data tersebutdapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih bebas Brucellosis.
Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Pulau Sumba.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di Indonesia, Brucellosis secara serologi dikenal pertama kali pada tahun 1935,
ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur dan
kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940
Brucellosis juga dilaporkan muncul di Sumatra Utara dan Aceh, yang dikenal
dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis) (Roza,
1958).
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
25
Secara serologis kejadian Brucellosis telah ditemukan di beberapa pulau di
Indonesia, yaitu di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi (Hamidjojo, 1984;
Partodihardjo dkk., 1979; Sudiana dkk, 1989; Sulaiman, 1996; 2005; Witono, dkk.,
1999), Timor, Sumba, Flores (Putra, dkk., 1995; Putra, 2002b,c; Putra, 2005;
Putra dkk., 2001; Dartini dkk, 2006, 2006a).
Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kerugian
ekonomi yang cukup besar (Putra, 2001). Kerugian utama ialah terjadinya
keguguran dan gangguan fertilitas serta dapat menghambat perdagangan ternak
(Siregar, 2000). Di samping kerugian secara ekonomi, Brucella abortus dapat juga
mengancam kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis.
Indonesia merupakan negara kepulauan, secara geografis memiliki potensi yang
besar untuk dapat mencegah, mengendalikan dan bila perlu memberantas suatu
penyakit hewan menular, termasuk Brucellosis. Dalam kaitan ini, perlu
dikaji/dipelajari teknik pemberantasan Brucellosis dengan pendekatan pulau per
pulau seperti yang pernah dilaksanakan di Denmark (Seit, 1958).
Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau mata
(Alton, 1981). Proses terjadinya penularan yang utama ialah melalui bahan
makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman Brucella abortus. Di samping
itu, penularan juga dapat terjadi secara kongenital, progeni yang dilahirkan dari
induk penderita cendrung menjadi latent carrier, dan abortus terjadi pada saat
terjadinya kebuntingan yang pertama (Dolan, 1980; Lapraik dan Moffat, 1982).
Hewan latent carrier (pada sapi dara) ini sangat sulit dideteksi secara serologis.
Pada saat sapi bunting, fetus atau membrannya mengandung banyak karbohidrat
yang disebut erythritol. Karbohidrat ini sangat dibutuhkan untuk perkembang
biakan kuman Brucella, akhirnya menimbulkan peradangan pada uterus, dan
kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya keguguran. Material inilah yang
selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan (misalnya padang
penggembalaan, air) dan merupakan sumber penularan bagi ternak lainnya
(Alton, 1981).
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
26
Pulau Sumba merupakan satu-satunya pulau yang merupakan pusat
pemeliharaan/pembibitan sapi Ongole di Indonesia. Namun demikian ada
beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan sapi Ongole
tersebut, diantaranya adalah penyakit hewan menular seperti Brucellosis. Secara
serologis, reaktor Brucellosis di pulau Sumba pertama kali didiagnosa pada tahun
1996 yaitu di Kabupaten Sumba Timur (Putra, dkk. 1997). Program
pemberantasan Brucellosis telah dilakukan melalui surveilans yang intensip pada
tahun 2012 – 2014 dan Pulau Sumba sudah ditetapkan sebagai daerah bebas
Brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keptusan Menteri Pertanian
Republik Indonesi Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.
Untuk tetap mempertahankan Pulau Sumba bebas Brucellosis dan deteksi dini
kemungkinan adanya Brucellosis di Pulau Sumba, maka Balai Besar Veteriner
Denpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015.
2. Tujuan
Pada prinsipnya tujuan monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau tahun 2015
di Pulau Sumba adalah:
1. Untuk mengetahui secara dini (deteksi dini) kemungkinan adanya Brucellosis
di Pulau Sumba.
2. Untuk mempertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas Brucellosis.
3. Untuk memperbaiki lingkungan budidaya peternakan yang bebas Brucellosis.
4. Untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan kerbau
di pulau Sumba,
MATERI DAN METODA
1. Materi
Bahan yang dipergunakan dalam surveilans dan monitoring Brucellosis di Pulau
Sumba antara lain antigen Brucella abortus Rose Bengal dan antigen CFT
beserta reagennya. Tabung venoject untuk pengambilan sampel, mikrotube,
makroplate untuk uji RBPT, rotary agglutinator, inkubator, waterbath, dan lain
sebagainya.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
27
2. Metode
Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba dilakukan dengan
surveilans bertahap dan terstruktur dari tahun 2012 sampai dengan 2014.
Setelah Pulau Sumba ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi
dan kerbau tahun 2015, maka monitoring harus terus dilakukan untuk
mempertahankan Pulau Sumba tetap sebagai daerah bebas Brucellosis.
Monitoring dilakukan dengan pengambilan sampel serum sapi dan kerbau di
semua kabupaten di Pulau Sumba. Spesimen serum diuji secara bertahap yaitu
dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) sebagai uji pendahuluan/screening dan
apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi Complemen Fixation
Test (CFT) (Alton.et al, 1975; OIE, 2009). Ternak yang positif CFT dinyatakan
sebagai reaktor. Bila ada reaktor positif akan dipotong bersyarat dan diawasi
oleh petugas Dinas Peternakan setempat, serta organ reproduksi diambil
kemudian dikirim ke laboratorium BBVet Denpasar untuk isolasi dan identifikasi
bakteri Brucella abortus.
HASIL
Sejak hasil uji CFT positif ditemukan di Pulau Sumba, survei/monitoring terus
dilakukan sampai tahun 2011. Kemudian dilakukan surveillans terstruktur pada
tahun 2012, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012 selain melakukan pengambilan
dan pengujian spesimen, juga dilakukan pengumpulan data dasar baik
terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah desa, serta kecamatan yang ada
di Pulau Sumba . Hasil uji spesimen tahun 2012 terhadap 3165 spesimen
serum hasilnya negatif. Populasi sapi dan kerbau umur ≥ 1 tahun pada tahun
2012 sebanyak 51.529 ekor. Pada tahun 2013, dari 50.716 spesimen serum
yang diuji. ditemukan hanya satu reaktor terdapat di Kabupaten Sumba Timur
di desa Patawang, Kecamatan Umalulu.
Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, pada tahun 2013 sebanyak 346 desa
yang disampling. Dari 346 desa tersebut ditemukan satu reaktor Brucellosis,
yaitu di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, dan
dikategorikan sebagai desa tertular. Setelah dilakukan penelusuran kembali
pada desa tertular tersebut pada tahun 2013 dan 2014, hasilnya negatif,
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
28
sehingga bisa dikategorikan sebagai desa monitoring negatif. Pada tahun 2014
jumlah spesimen yang diambil secara keseluruhan di Pulau Sumba sebanyak
6.928 spesimen semuanya negatif Brucellosis.
Berdasarkan hasil surveillans Brucellosis di Pulau Sumba dari tahun 2012
sampai tahun 2014, diketahui bahwa seluruh desa yang ada di Pulau Sumba
(426 desa) telah diperiksa, dengan kategori sebagai desa monitoring negatif 187
dan sebagai desa uji masal negatif 239 desa. Berdasarkan data tersebut maka
Pulau Sumba telah ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi dan
kerbau dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesi Nomor
52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015 . Pada tahun 2015 sebanyak
602 sampel serum diambil dari kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah,
Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Hasil uji terhadap serum tersebut semua
negatif Brucellosis (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Uji Serologis Brucellosis Pul;au Sumba Provinsi NTT Tahun2015
Berdasarkan laporan Dinas Peternakan se Pulau Sumba dan hasil pengamatan
petugas surveillans BBVet Denpasar tidak ditemukan adanya gejala klinis
seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma,
ataupun gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis.
HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL RBPT CFTPahungaLodo 140 Negatif NegatifSumba Timur
Jumlah 140 Negatif NegatifUmburatuNggai 151 Negatif NegatifKatikutana 22 Negatif Negatif
Sumba Tengah
Jumlah 173 Negatif NegatifWanokaka 77 Negatif NegatifLoli 58 Negatif NegatifTanarighu 24 Negatif Negatif
Sumba Barat
Jumlah 159 Negatif NegatifWewewa Barat 23 Negatif NegatifWewewaTimur 64 Negatif NegatifKodiBangedo 26 Negatif NegatifKodi 17 Negatif Negatif
Sumba BaratDaya
Jumlah 130 Negatif NegatifTotal 602 Negatif Negatif
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
29
PEMBAHASAN
Pada tahap pertama, surveillans pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2012
selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen, juga melakukan
pengumpulan data dasar baik terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah
desa serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba. Hasil uji spesimen tahun 2012
terhadap 3165 spesimen, masing-masing berasal dari Kabupaten Sumba Barat
Daya sebanyak 789 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Barat sebanyak
813 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Tengah sebanyak 843 spesimen
(dua sampel positif dengan uji RBPT, dilanjutkan dengan uji CFT hasilnya
negatif) dan Sumba Timur sebanyak 720 spesimen, hasilnya negatif RBPT.
Data tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menentukan program pembebasan
Brucellosis selanjutnya pada tahun 2013.
Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan terhadap spesimen serum sapi
dan kerbau yang berumur ≥ 1 tahun, sebanyak 49.571, dengan hasil pengujian
semuanya negatif sebagai reaktor Brucellosis. Spesimen tersebut diambil di
346 desa dari 426. Namun demikian pada tahun yang sama, Balai Karantina
Pertanian Kelas I Kupang juga melakukan pengambilan dan pengujian
spesimen untuk Brucellosis, dimana dari 1.145 spesimen yang diuji, satu
spesimen diantaranya positif antibodi Brucellosis secara CFT. Berdasarkan
hasil tersebut, maka BBVet Denpasar melakukan penelusuran tentang asal dan
lokasi pengambilan spesimen yang positif tersebut, bekerjasama dengan BKP
Kelas I Kupang dan Dinas Peternakan se Pulau Sumba. Dari hasil penelusuran
tersebut diketahui bahwa spesimen tersebut diambil dari Desa Patawang,
Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil tersebut,
BBVet Denpasar, Disnak Sumba Timur dan BKP Kelas I Kupang melakukan
penelusuran kembali dengan pengambilan spesimen sapi dan kerbau di Desa
Petawang dan desa-desa yang kemungkinan pernah menerima ternak dari
Desa Petawang, yakni Desa Kombapari Kecamatan Hamu Lingu, Desa
Hanggororu Kecamatan Rindi dan Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota
Waingapu. Dari 233 sampel yang diambil, hasilnya semua negatif sebagai
reaktor.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
30
Pada tahun 2014 kembali dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesimen di
80 desa yang berstatus belum diperiksa dan di desa yang berstatus monitoring
negatif, serta pengambilan spesimen di satu desa tertular (lokasi positif CFT
hasil uji tahun 2013). Hasil pengujian spesimen di tahun 2014 sebanyak 6.928
(sapi/kerbau) menunjukan bahwa satu spesimen dari Sumba Barat positif
RBPT namun setelah dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya negatif.
Berdasarkan hasil-hasil tersebut maka desa yang ada di Pulau Sumba dapat
dikategorikan sebagai berikut, dari 426 desa yang ada, 187 (43,90%) desa
dengan status monitoring negatif, 239 desa (56,10%) sebagai desa dengan uji
massal negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.
Hasil surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 602 sampel yang diuji
semuanya negatif Brucellosis dan berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan
hasil pengamatan petugas surveillans BBVet Denpasar tahun 2015 tidak
ditemukan adanya gejala klinis seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis,
epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun gejala lainnya yang mengarah ke
Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Pulau Sumba masih bebas dari Brucellosis pada sapi dan kerbau.
Pengawasan lalu lintas ternak dari satu desa ke desa lainnya di Pulau Sumba
perlu dilakukan secara ketat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status
desa yang sudah diketahui, mengingat antara desa yang satu dengan desa
yang lainnya di Pulau Sumba berada dalam satu daratan yang lalu lintas
ternaknya cukup tinggi dan sulit dilakukan pengawasan. Pengawasan lalu lintas
ternak antar pulau perlu mendapat perhatian serius, untuk hal tersebut, peran
aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah Pulau Sumba
dinyatakan bebas Brucellosis.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
31
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian sampel Brucellosis tahun 2015 di Pulau Sumba
dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih
bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau.
2. Saran-Saran
a. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius. Untuk hal
tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah
Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.
b. Pelaksanaan surveillans tetap dilaksanakan, walaupun Pulau Sumba sudah
mendapatkan status bebas Brucellosis.
DAFTAR PUSTAKA
Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M., (1975). Techniques for The BrucellosisLaboratory. Hal.81-87.
Alton, G.G. (1981) The control of bovine brucellosis: Recent developments. World Animal Review39: 17-24.
OIE (2009), Bovine Brucellosis. Chapter 11.3, article 11.3.2 dan 11.3.3: 581 - 584.
Dartini N.L.; Rince M.B; Suendra ; Suka ; Suparta. (2006a). Laporan Surveilans Brucellosis diProvinsi Nusa Tenggara Timur. BPPV Regional VI Denpasar.
Dartini N.L. dan Rince M.B., (2006b). Deteksi Dini Reaktor Brucellosis di Kabupaten Ende danNgada Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006. Bulletin Veteriner.
Dolan, L. A. (1980). Latent carrier of brucellosis. Veterinary Record 106: 241-243.
Hamidjojo, A. N. (1984) Epidemiologi brucellosis pada ternak sapi di Sulawesi Utara. PenyakitHewan XVI: 246-248.
Lapraik, R. D. and Moffat R. (1982) Latent bovine brucellosis. Veterinary Record 111: 578-579.
Partodihardjo, S., Noordin M., Darodjat S. M., Sugijanto dan Djojosoedarmo S. (1979) Surveiserologik terhadap brucellosis dan leptospirosis pada ternak potong di Jawa Tengah, JawaTimur dan Bali. Media Veteriner 1: 30-34.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
32
Putra, A.A.G. (2001) Kajian epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadap pendapatanpetani, daerah dan nasional: Dengan penekanan pada Propinsi Nusa Tenggara Timur.Buletin Veteriner XIII (58): 8-18.
Putra, A.A.G., Muthalib, A., Arsani, N.M., Sunarya, G.M. dan Yuwana, W.S. (2002a) Evaluasipemberantasan brucellosis pada sapi dan kerbau di pulau Lombok. Dalam “Brucellosis.Program dan evaluasi pemberantasan: Suatu model Pemberantasan di pulau Lombok,Nusa Tenggara Barat”. Monograph No. 1, Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VIDenpasar, 1-93.
Putra, A.A.G. (2002b) Prevalensi reaktor bovine brucellosis di Kabupaten Kupang, Propinsi NusaTenggara. Buletin Veteriner XIV (60): 7-12.
Putra, A.A.G. (2002c) Evaluasi pemberantasan brucellosis dengan vaksinasi di Kabupaten TimorTengah Utara dan Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIV (60): 13-20.
Putra, A.A.G. (2005) Analisis faktor risiko berjangkitnya bovine brucellosis di breeding farmBaturraden Jawa Tengah dan upaya pemberantasannya. Laporan BPPV Regional VIDenpasar.
Putra, A.A.G. dan Arsani, N.M. (2005) Evaluasi tahun ke tiga pemberantasan brucellosis padasapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans sampai dengan Desember 2004. LaporanBPPV Regional VI Denpasar.
Putra, A.A.G., Ekaputra I G.M., Semara Putra.A.A.G. dan Dartini. N.L. (1995) Prevalensi dandistribusi reaktor brucellosis di kawasan Nusa Tenggara pada tahun 1994-1995. LaporanBPPH Wilayah VI Denpasar.
Putra, A.A.G., Sulaiman, I., Loasana, A., Hendrina dan Ben, R. (2001) Pemberantasan brucellosisdengan test and slaughter: Suatu model dengan pendekatan desa. Buletin Veteriner XIII(59): 1-15.
Roza, M. (1958) Beberapa segi dari pemberantasan brucellosis bang. Hemera Zoa LXV (No. 3-4):128-149.
Seit, B. (1958) Brucellosis in man and animals, with special respect to denish laws concerningbrucellosis bovis and the eradication of the disease. Hemera Zoa LXV (No. 3-4): 150-172.
Sudiana, E., Hirst, R.G., and Patten, B. (1989) Epidemiological study on brucellosis in dairy cattle inthe Bogor area. Proceedings Seminar Nasional Epidemiologi Veteriner ke I, DirektoratKesehatan Hewan, Ditjennak, Jakarta, 95-102.
Sulaiman, I. (1996) Beberapa aspek mengenai program penanggulangan dan pemberantasanbrucellosis. Laporan BPPH VII Maros.
Sulaiman, I. (2005) Hasil sero-survey brucellosis di pulau Jawa. Laporan disajikan pada RapatKoordinasi Penanggulangan Penyakit Zoonosis pada Ternak Besar di Pulau Jawa,diselenggarakan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah di Semarang pada tanggal22-23 Mei 2005.
Witono, S., Poermadjaja, B., Usman, T.B., dan Sapardi, M. (1999) Letupan brucellosis pada suatupeternakan sapi perah di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Makalah disajikan pada RapatTeknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan, Ditjennak, Yogyakarta 03-06Nopember1999.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
33
MONITORING DAN SURVEILANS SEDI ILAYAH KERJA BBVet DENPASAR TAHUN 2015
( Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari
Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Septicaemia Epizootica (SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakan salah satu penyakitmenular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal.Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesiamasih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, Nusa Tenggra Barat, danNusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, diketahui merupakanwilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE, kecuali di Pulau Lombokyang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi SE terkini di ProvinsiBali, NTB, dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilans melalui pengambilansampel darah dari hewan peka terutama sapi dan kerbau. Sampel serum diuji dengan metodeELISA untuk deteksi antibody terhadap Pasteurella multocida type B2. Hasil surveilansmenunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak yang di sampling tahun 2015 rata-ratamasih sangat rendah (kurang dari 70%), yaitu di Provinsi Bali 33,19%, Pulau Sumbawa 47,47%,dan Provinsi NTT 47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinyakasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsipeternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengan cakupan yangmemadai.
Kata Kunci: SE, Antibodi, Bali, NTB, NTT
PENDAHULUAN
Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia
dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.
Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular pada
ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal
(OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa
Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan
terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis
sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena
turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk
penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,
operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
34
Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit
yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.
Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum
masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal
hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum
efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan
untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat
diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,
melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan
dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun
1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan surat keputusan Direktorat
Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.
213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85 (Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995).
Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau
Sumba, NTT dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak tahun 1984/1985 sampai
dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan program pemberantasan
penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan
dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai hingga 100%
(Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data
hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002
program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014
laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program
vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan sejak
tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai sekarang
tidak ada laporan kejadian penyakit SE di Pulau Nusa Penida sehingga
Kecamatan Nusa Penida sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai
wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan kelompok
ternak terhadap SE, maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan
surveilans pada tahun 2015 di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
35
MATERI DAN METODA
Penentuan lokasi surveilans dan monitoring SE secara serologis dilakukan
dengan menggunakan metode detect disease (pada wilayah kerja yang tidak
melakukan vaksinasi SE, seperti di Pulau Lombok) dan mengukur aras di
wilayah kerja lainnya (seperti Pulau Bali, Pulau Sumbawa dan Provinsi Nusa
Tenggara Timur), teknik sampling yang digunakan adalah multi stage dan
proporsional random sampling. Di Pulau Lombok (tidak melakukan vaksinasi),
dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dan asumsi
prevalensi 0,5 % (data BBVet Denpasar 2013), populasi lebih dari 10.000,
maka dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel menggunakan tabel
sample size atau rumus n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] sebesar 528 sampel,
dimana;
n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000
Jadi minimal sampel yang harus diambil di Pulau Lombok adalah 598. Untuk
kegiatan tahun 2015 di Pulau Lombok besaran sampel yang diambil sebanyak
1.323 sampel di 5 kabupaten, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling.
Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi SE (Pulau Bali, Pulau
Sumbawa dan Provinsi NTT) dengan metode mengukur aras (Martin, 1987)
yaitu :
n = 4PQ / L2
n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
36
Dengan asumsi prevalensi 38,3 dibulatkan 40% (data Bbvet Denpasar 2013),
dengan konfidensi 95%, eror 5% , maka jumlah sampel minimal yang harus
diambil adalah:
n = 4 x 0,4 x (1- 0,4) 0,052
n = 4 x 0,4 x 0,6 0,0025n = 384
Untuk di NTT dengan prevalensi 40% minimal pengambilan sampel 384 sampel
(dibulatkan 400 sampel). Karena teknik sampling menggunakan multi stage dan
proposional random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di
kalikan 6, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di NTT
besaran sampel yang diambil 400 sampel x 6 = 2.400 sampel.
Untuk Pulau Sumbawa dengan prevalensi 30% maka sampel minimal yang
diambil sebesar 336. Di Bali dengan prevalensi 24,39% dibulatkan 25 % adalah
n = 4 x 0,25 x (1- 0,25) 0,052
n = 4 x 0,25 x 0,75 0,0025n = 300
Untuk di Provinsi Bali dengan prevalensi 25% minimal pengambilan sampel 300
sampel. Karena teknik sampling menggunakan multi stage random sampling,
maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 6, dengan kecamatan
sebagai satuan unit sampling. Sehingga di Provinsi Bali besaran sampel yang
diambil 300 sampel x 6 = 1.800 sampel.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
37
Penentuan Antibodi SE
Untuk menentukan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, sampel serum sapi dan
kerbau diuji dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ),
menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332 (ACIAR
PN.9202/VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih dianggap
protektif, (Widder et al., 1996), dengan prosedur sebagai berikut :
- Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)
- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam
pada suhu 40C.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam
PBS tween pada row 1 sampai 10.
- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan
12.
- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)
- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap
lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.
- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci
ELISA).
- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,
kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
38
Isolasi Pasteurella multocida
Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau
limfoglandula retropharengea baik dari sapi, kerbau atau babi di rumah potong
hewan (RPH), khusus di wilayah kerja yang tidak ada RPH sampel berupa swab
trachea/nasopharynk, kemudian di lakukan penanaman di media agar, sesuai
metode isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida (OIE,2008). Prosedur
Isolasi sebagai berikut :
- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.
- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media
agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x
0,3 µm.
- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati
morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan
pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,
ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.
- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar
darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu
370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.
- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.
- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan
dengan standard / kontrol positif.
- Isolat Pasteurella multocida yang diidentifikas diuji dengan PCR untuk
penetuan serotype B2.
HASIL
Hasil surveilans di Provinsi Bali tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata hanya
33,19% ternak yang disampling mempunyai antibodi protektif terhadap SE. Hasil
uji disetiap kabupaten sangat bervariasi. Hasil yang paling tinggi (63%) diperoleh
dari Kabupaten Buleleng (Tabel 1).
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
39
Di Provinsi NTB, hasil uji dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji dari
Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau Lombok jumlah ternak yang positif
mengandung antibodi SE sebanyak 2,95% (Tabel 2), sedangkan di Pulau
Sumbawa sebanyak 47,47% ternak yang disampling tahun 2015 positif antibodi
SE (Tabel 3).
Tabel 1 . Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi di Provinsi Bali
NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF
ANTIBODI SEBaturiti 37 1Kerambitan 30 0Selemadeg Timur 30 0
1 Tabanan
Jumlah 97 1 (1,03%)Mengwi 100 28Kuta 41 6Kuta Utara 50 16
2 Badung
Jumlah 191 50 (26,18%)Susut 95 41Tembuku 50 7Bangli 45 23Kintamani 50 4
3 Bangli
Jumlah 240 75 (31,25%)Denpasar Timur 96 49Denpasar Selatan 135 69Denpasar Utara 50 0
4 Denpasar
Jumlah 281 118 (41,99%)Karangasem 40 2Selat 45 45Bebandem 50 0Abang 50 6Sidemen 45 4
5 Karangasem
Jumlah 230 57 (24,78%)Sawan 50 46Sukasada 51 36Kubutambahan 50 27Gerokgak 45 16
6 Buleleng
Jumlah 196 125 (63,76%)Bannjarakan 146 9Dawan 50 0
7 Klungkung
Jumlah 196 9 (4,59%)Jembrana 95 10Melaya 100 49Mendoyo 50 32Pekutatan 251 119
8 Jembrana
Jumlah 496 210 (42,34%)Denpasar Timur 96 49Denpasar Selatan 135 69Denpasar Utara 50 0
9 Gianyar
Jumlah 188 57 (30,32%)TOTAL 2.115 702 (33,19&)
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
40
Tabel 2. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbaudi bebrapa Kabupaten di Pulau Lombok Provinsi NTB
NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF
ANTIBODI SE
Wanasaba 163 0Aikmal 131 0Suralaga 40 0
1 Lombok Timur
Jumlah 334 0Pringgarata 158 02 Lombok Tengah
Jumlah 158 0Bayan 80 1Pemenang 80 1Tanjung 80 21
3 Lombok Utara
Jumlah 240 23 (9,58%)Kediri 232 7Gerung 200 8Kuripan 105 4
4 Lombok Barat
Jumlah 537 19 (3,54%)Tanjung Karang 123 0Sekar Bela 52 1Sandubayu 48 1
5 Mataram
Jumlah 223 2 (0,90%)Total 1.492 44 (2,95%)
Tabel 3. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten di Pulau Sumbawa Provinsi NTB
NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF
ANTIBODI SE
Bolo 120 5Langgudu 30 3Woha 147 27Madapagga 223 41
6 Bima
Jumlah 250 76 (30,4%)Alas Barat 288 1207 Sumbawa
Jumlah 288 120 (41,67%)Taliwang 60 12Pototano 50 17Seteluk 50 38
8 Sumbawa Barat
Jumlah 160 67 (41,88%)Woja 392 241Dompu 37 31
9 Dompu
Jumlah 429 272 (63,40%)Total 1.127 535 (47,47%)
Pada tabel 4 disajikan hasil uji ampel serum dari Provinsi NTT. Pada tahun
2015 di Provinsi NTT hanya 47,15% ternak yang disampling positifi antibodi SE.
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
41
Tabel 4. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbaudi beberapa Kabupaten Provinsi NTT
KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF
ANTIBODI SEAmanuban 122 83Molo Utara 8 6
TTS
Jumlah 130 89 (68,46%)Naibenu 81 66Nailanu 81 60
TTU
Jumlah 162 126 (77,78%)Maulafa 20 5Alak 30 4Kota Raja 50 38
Kota Kupang
Jumlah 100 47 (47%)Kupang Tengah 159 90Kupang Timur 91 67
Kupang
Jumlah 250 157 (62,80%)Boawae 65 15Nagekeo
Jumlah 65 15 (23,08%)Sabu Timur 162 94Sabu Barat 42 29
Sabu Raijua
Jumlah 204 123 (60,29%)Bajawa 20 10Ngada
Jumlah 20 10 (50%)Ileape 47 10Lebatukan 46 26
Lembata
Jumlah 93 36 (38,71%)Rote Tengah 185 27Rote Barat Laut 50 50Lobalain 79 69
Rotendao
Jumlah 314 146 (46,50%)Waiterang 17 4Nangalobong 36 16Mapitora 52 16Waitlama 53 0Mego 50 16Kewapante 49 28Magepanda 68 8
Sikka
Jumlah 325 88 (27,08%)Teluk Mutiara 120 47Kabala 39 13Alor Barat Daya 109 14Alor Barat laut 22 0Alor Tengah Utara 14 0Alor Timur Laut 10 0Alor Timur 23 0Lembur 63 0Pantar Tengah 72 14Pantar barat Laut 5 2
Alor
Jumlah 477 90 (18,87%)Pahunga Lodo 140 57Sumba Timur
Jumlah 140 57 (40,71%)
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
42
Pada tahun 2015 tidak ada sampel organ atau swab untuk isolasi dan identifikasi
Pasteurella multocida.
PEMBAHASAN
Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan
atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran
penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk
tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya
dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan
kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan
memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi
kuman Pasteurella multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh
hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan
mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data
hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2015 menunjukkan bahwa
tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%,
yaitu di Provinsi Bali 33,19%, NTB khususnya Pulau Sumbawa 47,47% dan NTT
47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya
kasus SE. Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap
penyakit SE mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun.
Umbu ratunggai 130 70Katikutana 22 18Umburatunggai II 21 18
Sumba Tengah
Jumlah 173 106 (61,27%)Wanokaka 77 36Loli 33 20Tanarighu 26 13Loli 25 18
Sumba Barat
Jumlah 161 87 (54,04%)Wewewa Barat 17 9Wewewa Timur 64 53Kodi Bangedo 32 16Kodi 17 7
Sumba BaratDaya
Jumlah 130 85 (65,39%)Malaka Barat 169 94Wetolus 11 6Wewiku 50 36
Malaka
Jumlah 230 136 (59,13%)TOTAL 2.944 1.388 (47,15%)
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
43
Hal ini didukung oleh adanya laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap
tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari terjadinya
wabah,diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder,
et al., 1996).
Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang
mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit.
2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi
atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak
terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses
penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak
mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun
ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,
mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan penyakit
SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya
target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang
berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan
program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di
Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).
Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan
tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai
spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga
sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh
hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015,
ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT)
hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah
adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida
lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada
et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat
mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi
pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum
-
LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015
44
pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain
yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada
uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri
Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype
11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka,
1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang
tidak ganas seperti dilaporkan oleh Hoskins (1921), dan mampu bereaksi atau
menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella multocida penyebab SE.
Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan
baik yang terjadi diantara serotype / strain dari Pasteurella multocida (Cameron
and Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar
spesies (Sawada et al., 1985).
Pada tahun 2015, laboratorium Bakteriologi tidak menerima sampel organ atau
swab untuk isolasi
top related