laporan teknis -...

331
KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jalan Raya Sesetan No. 266 LAPORAN TEKNIS HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN METODE UJI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR TAHUN 2015

Upload: trinhkhuong

Post on 26-Mar-2019

330 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN

DAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASAR

Jalan Raya Sesetan No. 266

LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS, MONITORINGDAN PENGEMBANGAN METODE UJIBALAI BESAR VETERINER DENPASARTAHUN 2015

Page 2: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

Denpasar 80223 Bali2016

Page 3: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang

telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah

Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2015 dapat

diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan

Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT

selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31

Desember 2015.

Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar yang

mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24 Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, yang mempunyai tugas melakukan

surveilans, monitoring, dan pelayanan penyidikan secara aktif di lapangan, juga

melakukan pengujian veteriner di laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.

Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah

kerja pada tahun 2015 dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner

Denpasar tahun anggaran 2014 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2015,

tanggal 14 Nopember 2014.

Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan

Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima.

Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya

bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan

masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan

semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan

banyak terima kasih.

Denpasar, 15 Pebruari 2016Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,

Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D.NIP. 19620504 198903 1 001

Page 4: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

ii

DAFTAR ISI

Halaman

1 KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i

2 DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. ii

I. BAKTERIOLOGI

1. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015…........... 1-11

2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DIWILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015.................................... 12-23

3. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015..................................................................................... 24-32

4. MONITORING DAN SURVEILANS SE DI WLAYAH KERJABB-Vet DENPASAR TAHUN 2015.................................................... 33-46

5. SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DALAMRANGKA PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSAPANIDA............................................................................................. 47-68

II. PARASITOLOGI

6. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA(TRYPANOSOMIASIS) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015………….... 69-78

7. SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTROINTESTINAL DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................................ 79-90

III. PATOLOGI

8. ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................... 91-108

9. SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR)TAHUN 2015........................................………………………............. 109-125

Page 5: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

iii

10. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARA VIROLOGIS,DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015……………………… 126-148

IV. KESMAVET

11. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DANCEMARAN MIKROBA PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB)DAN NUSA TENGGARA TIMUR(NTT) TAHUN 2015……………….. 149-175

12. MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis)PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTTTAHUN 2015……………………………………………………………... 176-186

V. BIOTEKNOLOGI

13. SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2015............................................................................................... 187-200

14. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015............................................................................................ 201-216

VI. VIROLOGI

15. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DANNEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015…………………………………………………………….. 217-237

16. SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINERHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015.............................................................. 238-250

17. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015.....................................................…….. 251-261

18. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015..................................................................................... 262-278

Page 6: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

iv

VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN

19. PENGEMBANGAN METODE UJI DIAGNOSA RABIESDENGAN REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASECHAIN REACTION MENGGUNAKAN PRIMER SPESIFIKSTRAIN BALI…………………………………………………………….. 279-297

VIII. PELAYANAN VETERINER

20. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGISDI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALIBALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015…………………………….. 298-306

21. PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSITERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR…………….. 307-325

Page 7: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

1

SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR

TAHUN 2015

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, , Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulaudengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi NusaTenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di PulauFlores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadipada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di KabupatenSikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks diPulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, sertakasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia.

Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Propinsi NTBdan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi umumnya dapat dicapai apabilacakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahuikekebalan kelompok (herd immunity) ternak terhadap Antraks maka tahun 2015 BBVetDenpasar telah melakukan surveilans dan monitoring di beberapa kabupaten di Provinsi NTBdan NTT. Sampel serum di uji dengan metode ELISA. Hasil uji sampel dari Pulau Lombokdiketahui bahwa hanya 4/547 sampel (0,17%), di Pulau Sumbawa 399/1.347 (29,62%), PulauFlores 55,96%, Pulau Timor 12,55%, Pulau Sumba 67,22%, Kabupaten Sabu Raijua 69,11%positif antibodi Antraks, sedangkan Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif.

Mengingat tingkat kekebalan kelompok ternak yang masih rendah dan durasi kekebalanterhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, serta kasus/wabahAntraks biasanya terjadi pada akhir musim kemarau serta berlanjut sampai musim hujansehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun, yakni bulanJuni – Agustus dan bulan Februari – Maret tahun berikutnya.

Kata Kunci : Antraks, ELISA, NTB, NTT.

Page 8: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

2

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis

hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.

Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;

Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk

septisemik (Ezzel, 1986). Bila kuman Bacillus anthracis berada dalam

lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh

jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan

bertahan hidup puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan

mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks

dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak

yang telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi

bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.

Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan

daerah bebas Abtraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa

merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus Antraks

terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu

sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di

Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah

NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba

diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan

Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi

NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai

Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka

2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,

2015).

Page 9: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

3

Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di

Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi

umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat

kekebalan kelompok minimal70%, untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi

Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar maka telah dilakukan surveilans dan

monitoring tahun 2015 untuk mengetahui kekebalan kelompok (herd immunity).

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

penyakit Antraks di wilayah kerja sebagai berikut :

1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Antraks di di wilayah kerja;

2. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah

kerja;

3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan

monitoring Antraks di wilayah kerja;

4. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.

3. Tujuan Kegiatan

a. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Antraks di wilayah

kerja;

b. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;

c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan Kepala

BBVet Denpasar;

d. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

4. Manfaat Kegiatan

a. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Antraks di di wilayah

kerja;

b. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;

c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

Kepala BBVet Denpasar;

Page 10: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

4

d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

5. Output

1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Antraks serta tingkat

kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi Antraks pada daerah

endemis di wilayah kerja;

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

3. Turunnya kejadian penyakit Antraks di wilayah kerja dan terciptanya

lingkungan peternakan yang bebas Antraks dan tersedianya produk hewan

yang bebas penyakit Antraks.

MATERI DAN METODE

1. Materi

Bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah

kerja BBVet Denpasar tahun 2015 antara lain antigen Elisa Antraks, conjugate,

substrat, buffer pencuci ELISA, PBS, mikroplate, ELISA reader dan washer,

tube, handle, jarum venoject, mikrotube, dan sebagainya.

2. Metode

Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi antraks dengan metode

mengukur aras ( Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ /L2 dan teknik sampling yang

digunakan adalah multi stage random sampling.

n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan

Page 11: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

5

Jumlah sampel untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan asumsi

prevalensi 51% (data BBVet Denpasar 2014) dengan konfidensi 95%, eror 5%

n = 4 x 0,51 x (1- 0,51) 0,052

n = 4 x 0,49 x 0,49 0,0025n = 399,84, jadi di NTB sampel minimal yang diambil 400 sampel.

Untuk di NTT dengan prevalensi 37,8% (data BBVet Denpasar 2014) minimal

pengambilan sampel 376,18 sampel (dibulatkan 376 sampel). Kegiatan ini juga

dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah

kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik

veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah

kerja, khususnya di Provinsi NTB dan NTT.

Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak

sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan

berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan ELISA di

Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar (Hardjoutomo, dkk 1993; Anon,

1999). Prosedur Elisa sebagai berikut :o Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)

o Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam pada

suhu 40C.

o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

o Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam PBS

tween pada row 1 sampai 10.

o Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan 12.

o Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

o Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

o Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap lubang,

inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

o Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

Page 12: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

6

HASIL

Hasil surveilans tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah sampel yang positif

mengandung antibodi Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar adalah di Pulau

Lombok 0,17%, Pulau Sumbawa 29,62%, Pulau Flores 55,96%, Pulau Sumba

67,22%, Daratan Timor 12,55%, Kabupaten Saburaijua 69,11%, Kabupaten

Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negative (0%), seperti dalam Tabel 1

dan 2.

Tabel 1. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTB

Kabupaten Kecamatan JumlahSampel

PositifAntibodiAntraks

Bayan 80 4Tanjung 80 0Pemenang 80 0

Lombok Utara

Jumlah 240 4 (1,67%)Suralaga 40 0Wanasaba 163 0Aikmal 131 0

Lombok Timur

Jumlah 334 0Jumlah Lombok 574 4 (0,17%)

Alas barat 288 136SumbawaJumlah 288 136 (47,22%)

Seteluk 50 26Taliwang 62 11Pototano 50 22

Sumbawa Barat

Jumlah 162 59 (36,42%)Bolo 120 52Langgudu 30 15

Bima

Jumlah 150 67 (44,67%)Dompu 37 18Woja 141 115

Dompu

Jumlah 173 133 (76,88%)Jumlah Sumbawa 773 395 (51,09%)

TOTAL NTB 1.347 399 (29,62%)

Page 13: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

7

Tabel 2. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTTKabupaten Kecamatan Jumlah Sampel Positif Antibodi Antraks

Maulafa 20 0Kalapa Lima 50 8Alak 30 0

Kota Kupang

Jumlah 100 8 (8%)Amanuban Selatan 50 0TTS

Jumlah 50 0Naibenu 81 21TTU

Jumlah 81 21 (25,93%)Jumlah Pulau Timor 231 39 (12,55%)Sabu Barat 44 25Sabu Liae 41 26Hawu Mehara 39 30Sabu Timur 80 60

Saburaijua

Jumlah Saburaijua 204 141 (69,11%)Lobalin 79 0

Rote Tengah 158 0Rotendao

Jumlah Rotendau 237 0Ila Ape 47 0Lebatukan 46 0Nubatukan 24 0

Lembata

Jumlah Lembata 117 0Alor Barat Daya 26 0Kabola 18 0Teluk Mutiara 35 0

Alor

Jumlah Alor 79 0Bajawa 20 1Ngada

Jumlah 20 1 (5%)Boawae 65 39Nagekeo

Jumlah 65 39 (60%)Kewapante 50 40Magepanda 68 15Mapitara 52 29Mego 50 33Waiblama 53 38Wargete 53 35

Sikka

Jumlah 326 190 (58,28%)Jumlah Pulau Flores 411 230 (55,96%)Pahonga Lodu 140 140Sumba Timur

Jumlah 140 140 (100%)Umbu ratu Nggai 151 54Katikutana 22 16

SumbaTengah

Jumlah 173 70 (40,46%)Tanarighu 26 20Wanokaka 77 56Loli 58 31

Sumba Barat

Jumlah 161 107 (66,46%)Kodi Bangedo 26 19Kodi 17 13Wewewa Barat 23 17Wewewa Timur 64 40

Sumba BaratDaya

Jumlah 130 89 (68,46%)Jumlah Pulau Sumba 604 406 (67,22%)

TOTAL 1.879

Page 14: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

8

Tahun 2015, Balai Besar Veteriner Denpasar tidak mendapatkan laporan

adanya kasus Antraks di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur. Kasus Antraks terakhir di Provinsi NTT dilaporkan terjadi di

Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai Barat tahun 2008, Manggarai tahun

2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun 2012, Sikka tahun

2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,

2015).

PEMBAHASAN

Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di

Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2015 tidak ada lagi

laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari petugas

dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak dilakukan

vaksinasi Antraks. Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau Lombok,

kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa atau daerah lainnya

yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari

Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas Peternakan Kabupaten

Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari daerah luar Kabupaten

Lombok Utara. Namun demikian adanya ternak yang positif mengandung

antibodi Antraks perlu diwaspai dan penelitian lebih lanjut, apakah ternak

tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah terinfeksi.

Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa sebanyak

51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan

vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi dari petugas Dinas Peternakan

Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi Antraks pada tahun 2015 hanya

35,322 ekor (47,74%) dari populasi target 73.987 ekor. Pulau Sumbawa

diketahui sebagai daerah endemis Antraks, dengan kekebalan kelompok yang

belum optimal ini, dikhawatirkan kemungkinan akan munculnya kasus

dilapangan. Untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau yang

membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa untuk meningkatkan cakupan

vaksinasi Antraks.

Page 15: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

9

Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi

NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di

Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara

(Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar

dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang

dan Kabupaten Timor Tengah Utara.

Hasil yang diperoleh dari Pulau Flores, Sumba, dan Saburaijua, dimana rata-rata

tingkat kekebalan ternak yang disampling kurang dari 70% (Flores 55,96%,

Sumba 67,22%, dan Saburaijua 69,11%). Untuk dapat terhindar dari wabah

diperlukan minimal 70% populasi ternak rentan memiliki antibodi protektif. Tidak

optimalnya tingkat protektifitas ternak yang disampling mungkin disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain 1. Cakupan vaksinasi yang dilakukan rendah, 2. Waktu

pengambilan sampel yang kurang tepat (baru divaksinasi atau sudah terlampau

lama divaksinasi) sehingga antibodi yang ada belum maksimal atau sudah

mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan pada

sapi Bali di Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah, di ketahui bahwa

durasi kekebalan terhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca

vaksinasi, sehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2

kali setahun (Arsani, 2010 dikutif oleh Putra, dkk., 2011).

Hasil uji sampel dari Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif

antibodi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari dinas peternakan

setempat bahwa di daerah ini memang tidak dilakukan vaksinasi antraks karena

belum pernah ada laporan kasus antraks. Namun demikian perlu diwaspadai

apabila ada pemasukan ternak dari luar wilayah tersebut terutama dari wilayah

endemis Antraks.

Page 16: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

10

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpilan

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kekebalan kelompok

ternak di daerah endemis Antraks di NTB dab NTT masih rendah (kurang dari

70%).

5.2 Saran

Untuk tetap menjaga Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau terhindar dari

kasus Antraks, maka disarankan untuk tidak memasukkan ternak berasal dari

daerah endemis antraks seperti Flores, Sumba, dan sebagainya. Untuk

meningkatkan tingkat kekebalan kelompok ternak terhadap Antraks di Pulau

Sumba, Flores, dan Saburaijua disarankan untuk meningkatkan cakupan

vaksinasi sesuai dengan populasi ternak rentan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan staf

Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan

hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta Kepala Dinas

Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Provinsi

dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan dan kerjasamanya

sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dngan baik.

Page 17: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

11

DAFTAR PUSTAKA

OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.

Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalamMendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya BebasPenyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT diDenpasar 2-4 Maret 2015.

Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited byCarton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25

Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA tomonitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusiadi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampaidimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40

Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.

Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.

Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.

Page 18: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

12

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2015

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) meliputi Provinsi Bali, Nusa tenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebasBrucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebasBrucellosis. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara pulau yang ada. Di PulauTimor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi>2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.Satu reaktor Brucellosis ditemukan di Kabupaten Ende pada tahun 2006. Surveilans yangberkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagaidaerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru diwilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebasBrucellosis.

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan denganmenggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stagerandom sampling. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan DinasPeternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten /Kota di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai ujiskrining, jika ada positif dilanjutkan dengan uji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagaireactor Brucellosis.

Hasil pengujian terhadap 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dariProvinsi NTB semuanya negatif antibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTTsebanyak 2.344 sampel, 5 sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu tiga (3) sampel positifdari 108 sampel serum berasal dari Kota Kupang, satu (1) sampel positif dari 402 sampel serumberasal dari Kabupaten Kupang, dan satu (1) sampel positif dari 396 sampel serum darikabupaten Alor). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTBmasih bebas Brucellosis. Untuk dapat mempertahankan Provinsi Bali dan NTB tetap sebagaidaerah bebas Brucellosis, maka diperlukan pengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dansurveilans yang berkelanjutan.

Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Bali, NTB. NTT.

Page 19: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

13

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan menular strategis di

Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan merupakan penyakit

yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa telah

dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri Pertanian Repubik

Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Bali, SK

Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok di Prop NTB, dan SK

Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa di Prop NTB.

Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas

Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015

tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara

pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah

tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau

lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis

pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten

Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996.

Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam

upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor

kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk

mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis.

Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah

kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan penyakit Brucellosis di wilayah kerja sebagai berikut :

1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Brucellosis di beberapa daerah

khususnya di Provinsi NTT.

Page 20: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

14

2. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di

Provinsi NTB harus dipertahankan.

3. Belum terbinanya secara keseluruhan Puskeswan yang ada di wilayah kerja

BBVet Denpasar secara intensif.

3. Tujuan Kegiatan

1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Brucellosis di

wilayah kerja;

2. Mempertahankan status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok

dan Sumbawa di Provinsi NTB.

3. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

4. Manfaat Kegiatan

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Brucellosis di

wilayah kerja;

2. Terjaganya status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan

Sumbawa di Provinsi NTB serta dapat terbebaskannya daerah lain dari

Brucellosis;

3. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

5. Output

1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Brucellosis di wilayah kerja;

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

3. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di

Provinsi NTB tetap terjaga.

Page 21: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

15

MATERI DAN METODE

1. Materi

Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

tahun 2015 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan

CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang

dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary

agglutinator, dan sebagainya.

2. Metode

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis

dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling

yang digunakan adalah multi stage random sampling, dengan perhitungan

estimasi besaran sampel metode detect disease (Martin, 1987) yaitu n = [1-(1-

p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan keterangan sebagai berikut ;

n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi

Asumsi prevalensi di masing-masing provinsi 0,5%, dengan tingkat kepercayaan

yang digunakan adalah 95 %, dan populasi lebih dari 10.000, maka dengan

menggunakan rumus diatas / tabel sample size (Thrusfield W., 1995). diperoleh

besaran sampel yang harus diambil di masing-masing provinsi minimal 598.

Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan

Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan,

dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang

tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Page 22: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

16

Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak

sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentukan

berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan

menggunakan metode uji RBPT, apabila positif dilanjutkan dengan uji CFT di

Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar (IKP-Bak No 1;

Anon, 1999; Anon, 2010). Prosedur uji RBPT sebagai berikut :

1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT

dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.

2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada

WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk

serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80,

setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua

lubang.

3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator

dan lakukan pembacaan hasil.

Prosedur Uji CFT sebagai berikut :

1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A

serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,

lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di

waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol

positif dan negatif)

2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –

H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)

3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12

sampai ke lubang H1-12

4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang

C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control

antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan volume)

5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl

kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30

menit.

6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.

7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.

Page 23: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

17

HASIL

Hasil Uji 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dari

Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 2.344 sampel

dari Provinsi NTT, 5 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari

Kota Kupang, 1 sampel dari Kabupaten Kupang, dan 1 sampel dari Kabupaten

Alor, hasil lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.

Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPEL HASIL UJIKerambitan 45 NegatifKediri 50 NegatifSelemadeg Timur 30 NegatifSelemadeg 16 Negatif

1 Tabanan

Jumlah 141 NegatifBangli 57 NegatifKintamani 57 NegatifSusut 55 NegatifTembuku 14 Negatif

2 Bangli

Jumlah 183 NegatifBebandem 50 NegatifSidemen 45 NegatifSelat 45 Negatif

3 Karangasem

Jumlah 140 NegatifBusungbiu 2 NegatifGerokgak 90 NegatifKubutambahan 26 NegatifSeririt 2 NegatifSukasada 51 Negatif

4 Buleleng

Jumlah 171 NegatifBanjarakan 50 Negatif5 Klungkung

Jumlah 50 NegatifJembrana 53 NegatifNegara 55 NegatifMelaya 6 NegatifMendoyo 1 NegatifPekutatan 251 Negatif

6 Jembrana

Jumlah 366 NegatifGianyar 3 NegatifPayangan 61 NegatifTegalalang 90 Negatif

7 Gianyar

Jumlah 154 NegatifMengwi 45 Negatif8 Badung

Jumlah 45 NegatifDenpasar Selatan 50 NegatifDenpasar Timur 45 NegatifDenpasar Utara 50

9 Denpasar

Jumlah 145 NegatifTotal 1.395 Negatif

Page 24: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

18

Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB

KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPEL HASIL UJI RBPTAikmal 2 Negatif

Jerowaru 2 Negatif

Sakra Barat 2 Negatif

Sakra 24 Negatif

Selong 1 NegatifSuwela 1 NegatifSukamulia 6 NegatifSuralaga 68 NegatifWanasaba 202 NegatifPringgasela 18 NegatifSakra Timur 3 Negatif

Lombok Tengah

Jumlah 329 NegatifGerung 297 NegatifNarmada 42 NegatifKuripan 110 NegatifLabuan Api 10 NegatifSekotong Tengah 11 NegatifKediri 200 Negatif

Lombok Barat

Junlah 670 NegatifBatukliang Utara 23 NegatifPraya Barat daya 86 NegatifPringgarata 83 NegatifBatukliang 41 NegatifJonggak 30 NegatifPraya 25 Negatif

Lombok Timur

Jumlah 288 NegatifPemenang 90 NegatifGangga 4 NegatifKayangan 9 NegatifTanjung 99 NegatifBayan 80 Negatif

Lombok Utara

Jumlah 282 NegatifAlas Barat 288 NegatifLabangka 10 NegatifMoyo Utara 6 NegatifMoyo Hilir 9 Negatif

Sumbawa Besar

Jumlah 313 NegatifPoto Tano 50 NegatifSeteluk 50 NegatifTaliwang 60 Negatif

Sumbawa Barat

Jumlah 160 NegatifDompu 160 NegatifWoja 334 Negatif

Dompu

Jumlah 494 NegatifMadapangga 237 NegatifWoha 147 NegatifBolo 120 NegatifLanggudu 30 Negatif

Bima

Jumlah 534 NegatifAsakota 36 NegatifRaba 1 NegatifRasanae Timur 27 NegatifEmpunda 20 Negatif

Kota Bima

Jumlah 84 NegatifTotal 3.154 Negatif

Page 25: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

19

Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT

HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPELRBPT CFT

Molo Utara 8 Negatif NegatifMiomaffo Barat 9 Negatif NegatifMussi 14 Negatif NegatifNeomutiara 12 Negatif NegatifNaibenu 81 Negatif NegatifNailanu 81 Negatif Negatif

TTU

Jumlah 205 Negatif NegatifAmanuban Selata 122 Negatif NegatifMolo Utara 8 Negatif NegatifTTS

Jumlah 130 Negatif NegatifAlak 35 Negatif NegatifMaulafa 20 Negatif NegatifKota Raja 53 3 (Positif) 3 (Positif)

Kota Kupang

Jumlah 108 3 (Positif) 3 (Positif)/2,78%Kupang Tengah 161 Negatif NegatifKupang Timur 139 1 (Positif) 1 (Positif)Amarasi Barat 16 Negatif NegatifFatu Leu 16 Negatif NegatifTaebeno 26 Negatif NegatifTakari 11 Negatif NegatifHawumehara 39 Negatif NegatifSulamu 12 Negatif Negatif

KabupatenKupang

Jumlah 420 1 (Positif) 1 (Positif)/0,24%Ileape 47 Negatif NegatifLebatukan 46 Negatif NegatifLembata

Jumlah 93 Negatif NegatifSabu Barat 42 Negatif NegatifSabu Timur 162 Negatif NegatifSaburaijua

Jumlah 204 Negatif NegatifTeluk Mutiara 85 Negatif NegatifKabala 19 1 (Positif) 1 (Positif)Alor Barat Daya 83 Negatif NegatifAlor Barat laut 22 Negatif NegatifAlor Tengah Utara 14 Negatif NegatifAlor Timur Laut 10 Negatif NegatifAlor Timur 23 Negatif NegatifLembur 63 Negatif NegatifPantar Tengah 72 Negatif NegatifPantar barat Laut 5 Negatif Negatif

Alor

Jumlah 396 1 (Positif) 1 (Positif)/0,25%Magepanda 68 Negatif NegatifHewokluang 3 Negatif NegatifKangae 4 Negatif NegatifMapitra 52 Negatif NegatifWaigete 53 Negatif NegatifKewapante 50 Negatif NegatifMego 50 Negatif NegatifWaiklana 53 Negatif Negatif

Sikka

Jumlah 333 Negatif NegatifRote Barat Daya 16 Negatif NegatifRote Barat Laut 15 Negatif NegatifRote Tengah 162 Negatif NegatifLobalae 79 Negatif Negatif

Rotendao

Jumlah 272 Negatif NegatifMalaka Barat 103 5 Positif NegatifMalaka Tengah 30 Negatif NegatifWewiku 50 Negatif NegatifMalaka

Jumlah 183 Negatif NegatifTotal 2.344 10 Positif 5 Positif

Page 26: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

20

PEMBAHASAN

Pulau Bali sudah dinyatakan bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok,

berhasil dibebaskan dari Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal

selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa

pada tahun 2006 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola pembebasan yang sama dengan Pulau

Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua reaktor yang ditemukan dalam periode waktu

pembebasan telah dimusnahkan atau di potong paksa.

Hasil monitoring Brucellosis tahun 2015 di Provinsi Bali, dari 1.395 sampel

serum yang diuji semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi

Nusa Tenggara Barat, dari 3.154 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau

Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif mengandung antibodi brucella.

Hal ini, mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih

bebas dari Brucellosis.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa

Tenggara Timur, Brucellosis ditemukan di Kota Kupang (2,78%). Seperti

diketahui bahwa daratan timur merupakan wilayah terinfeksi Brucellosis dengan

prevalensi <2% di Kabupaten TTS, Kupang dan Kota Kupang, tetapi hasil

surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa ada indikasi peningkatan prevalensi

reaktor di Kota Kupang, hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

peningkatan jumlah sampel sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat

diketahui. Untuk menghindari terjadinya penularan yang lebih luas maka

disarankan kepada dinas peternakan kota Kupang untuk segera melakukan

pemotongan bersyarat sapi yang positif Brucellosis. Di Kabupaten Alor sebelum

tahun 2015 tidak pernah ditemukan adanya reaktor Brucellosis, namun pada

tahun 2015 satu (1) reaktor ditemukan di Kecamatan Kabala, berdasarkan

informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Alor diketahui bahwa sapi yang

positif Brucellosis tersebut berasal dari daratan Timor. Untuk itu disarankan

kepada Dinas Peternakan Kabupaten Alor untuk melakukan pemotongan

bersyarat sapi tersebut, sehingga kemungkinan menyebar ke ternak lainnya

Page 27: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

21

dapat dihindari dan dimasa mendatang, agar dapat dipertimbangkan kembali

apabila ingin memasukkan ternak sapi dari daratan timor. Hasil uji Brucellosis

dari kabupaten di daratan timornya lainnya seperti Timor Tengah Selatan, Timor

Tengah Utara, dan Malaka pada tahun 2015 semuanya negatif. Seperti diketahui

bahwa Kabupaten TTU dan Malaka (pemekaran dari Kabupaten Belu)

merupakan daerah Brucellosis dengan prevalensi >2% dan di kedua daerah

tersebut pernah dilakukan vaksinasi brucellosis, dengan hasil uji semua negatif

pada tahun 2015 masih perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan

pengambilan sampel yang memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi

sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat diketahui dengan jelas.

Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka,

Ngada, Nagekeo semuanya negatif, seperti diketahui bahwa prevalensi

Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis di Pulau Flores

pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada tahun 2006

(Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat. Berdasarkan

data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka kemungkinan

untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk dilakukan,

sebelum berkembang menjadi lebih besar.

Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,

Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa

dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans

secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan

dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas

ternak antar pulau.

Page 28: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

22

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa

1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas

Brucellosis

2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk

mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.

3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan

Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan

5.2 Saran

Untuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan

Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang

lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan

atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di

Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang

telah membantu terselanggaranya surveilans ini.

Page 29: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

23

DAFTAR PUSTAKA

Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.

Instruksi Kerja Metode Pengujian, Jaminan Mutu Laboratorium Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner regional VI Denpasar.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

OIE (2009) Terrestrial Animal . Halaman 10 – 11

Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.

Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.

Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.

Page 30: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

24

SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA

Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok. G.R.Krisna Ananda, Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Program pemberantasan brucellosis di Pualu Sumba telah dilakukan melalui surveilans selama 3(tiga) tahun, yaitu tahun 2012 sebagai survei pendahuluan, 2013 surveilans massal tertarget(sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih) di seluruh desa yang ada di Pulau Sumba, dan tahun 2014surveilans penyisiran terhadap desa-desa yang belum terambil pada tahun 2013 dan desa denganhasil uji positif CFT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai uji skrining jika ada positifdilanjutkan dengan uji CFT. Dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebanyak 60.809 ekor sapi/kerbauumur 1 tahun atau lebih telah diperiksa serumnya dan menunjukan hasil negatif antiboditerhadap Brucella abortus. Sampel serum diambil dari seluruh desa yang ada di Pulau Sumba.Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, sebanyak 187 dikategorikan sebagai desa monitoringnegatif dan 239 desa sebagai desa uji masal negatif. Selama surveilans tidak ditemukan adanyasapi/kerbau yang memperlihatkan gejala klinis Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas danpersyaratan yang ditetapkan oleh OIE, yang mengisyaratkan bahwa prevalensi reaktor setinggi-tingginya 0,2% sebagai daerah bebas Brucellosis, maka Pulau Sumba sudah dinyatakan sebagaidaerah bebas brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keputusan Menteri PertanianRepublik Indonesia Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015. Untukmenpertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas brucellosis maka Balai Besar VeterinerDenpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015. Dari 602 sampel yang diuji semuanegatif Brucellosis dan berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan tidak ada laporanternak yang menunjukkan gejala klinis mengarah ke Brucellosis. Berdasarkan data tersebutdapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih bebas Brucellosis.

Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Pulau Sumba.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Di Indonesia, Brucellosis secara serologi dikenal pertama kali pada tahun 1935,

ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur dan

kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940

Brucellosis juga dilaporkan muncul di Sumatra Utara dan Aceh, yang dikenal

dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis) (Roza,

1958).

Page 31: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

25

Secara serologis kejadian Brucellosis telah ditemukan di beberapa pulau di

Indonesia, yaitu di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi (Hamidjojo, 1984;

Partodihardjo dkk., 1979; Sudiana dkk, 1989; Sulaiman, 1996; 2005; Witono, dkk.,

1999), Timor, Sumba, Flores (Putra, dkk., 1995; Putra, 2002b,c; Putra, 2005;

Putra dkk., 2001; Dartini dkk, 2006, 2006a).

Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kerugian

ekonomi yang cukup besar (Putra, 2001). Kerugian utama ialah terjadinya

keguguran dan gangguan fertilitas serta dapat menghambat perdagangan ternak

(Siregar, 2000). Di samping kerugian secara ekonomi, Brucella abortus dapat juga

mengancam kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis.

Indonesia merupakan negara kepulauan, secara geografis memiliki potensi yang

besar untuk dapat mencegah, mengendalikan dan bila perlu memberantas suatu

penyakit hewan menular, termasuk Brucellosis. Dalam kaitan ini, perlu

dikaji/dipelajari teknik pemberantasan Brucellosis dengan pendekatan pulau per

pulau seperti yang pernah dilaksanakan di Denmark (Seit, 1958).

Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau mata

(Alton, 1981). Proses terjadinya penularan yang utama ialah melalui bahan

makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman Brucella abortus. Di samping

itu, penularan juga dapat terjadi secara kongenital, progeni yang dilahirkan dari

induk penderita cendrung menjadi latent carrier, dan abortus terjadi pada saat

terjadinya kebuntingan yang pertama (Dolan, 1980; Lapraik dan Moffat, 1982).

Hewan latent carrier (pada sapi dara) ini sangat sulit dideteksi secara serologis.

Pada saat sapi bunting, fetus atau membrannya mengandung banyak karbohidrat

yang disebut erythritol. Karbohidrat ini sangat dibutuhkan untuk perkembang

biakan kuman Brucella, akhirnya menimbulkan peradangan pada uterus, dan

kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya keguguran. Material inilah yang

selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan (misalnya padang

penggembalaan, air) dan merupakan sumber penularan bagi ternak lainnya

(Alton, 1981).

Page 32: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

26

Pulau Sumba merupakan satu-satunya pulau yang merupakan pusat

pemeliharaan/pembibitan sapi Ongole di Indonesia. Namun demikian ada

beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan sapi Ongole

tersebut, diantaranya adalah penyakit hewan menular seperti Brucellosis. Secara

serologis, reaktor Brucellosis di pulau Sumba pertama kali didiagnosa pada tahun

1996 yaitu di Kabupaten Sumba Timur (Putra, dkk. 1997). Program

pemberantasan Brucellosis telah dilakukan melalui surveilans yang intensip pada

tahun 2012 – 2014 dan Pulau Sumba sudah ditetapkan sebagai daerah bebas

Brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keptusan Menteri Pertanian

Republik Indonesi Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.

Untuk tetap mempertahankan Pulau Sumba bebas Brucellosis dan deteksi dini

kemungkinan adanya Brucellosis di Pulau Sumba, maka Balai Besar Veteriner

Denpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015.

2. Tujuan

Pada prinsipnya tujuan monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau tahun 2015

di Pulau Sumba adalah:

1. Untuk mengetahui secara dini (deteksi dini) kemungkinan adanya Brucellosis

di Pulau Sumba.

2. Untuk mempertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas Brucellosis.

3. Untuk memperbaiki lingkungan budidaya peternakan yang bebas Brucellosis.

4. Untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan kerbau

di pulau Sumba,

MATERI DAN METODA

1. Materi

Bahan yang dipergunakan dalam surveilans dan monitoring Brucellosis di Pulau

Sumba antara lain antigen Brucella abortus Rose Bengal dan antigen CFT

beserta reagennya. Tabung venoject untuk pengambilan sampel, mikrotube,

makroplate untuk uji RBPT, rotary agglutinator, inkubator, waterbath, dan lain

sebagainya.

Page 33: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

27

2. Metode

Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba dilakukan dengan

surveilans bertahap dan terstruktur dari tahun 2012 sampai dengan 2014.

Setelah Pulau Sumba ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi

dan kerbau tahun 2015, maka monitoring harus terus dilakukan untuk

mempertahankan Pulau Sumba tetap sebagai daerah bebas Brucellosis.

Monitoring dilakukan dengan pengambilan sampel serum sapi dan kerbau di

semua kabupaten di Pulau Sumba. Spesimen serum diuji secara bertahap yaitu

dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) sebagai uji pendahuluan/screening dan

apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi Complemen Fixation

Test (CFT) (Alton.et al, 1975; OIE, 2009). Ternak yang positif CFT dinyatakan

sebagai reaktor. Bila ada reaktor positif akan dipotong bersyarat dan diawasi

oleh petugas Dinas Peternakan setempat, serta organ reproduksi diambil

kemudian dikirim ke laboratorium BBVet Denpasar untuk isolasi dan identifikasi

bakteri Brucella abortus.

HASIL

Sejak hasil uji CFT positif ditemukan di Pulau Sumba, survei/monitoring terus

dilakukan sampai tahun 2011. Kemudian dilakukan surveillans terstruktur pada

tahun 2012, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012 selain melakukan pengambilan

dan pengujian spesimen, juga dilakukan pengumpulan data dasar baik

terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah desa, serta kecamatan yang ada

di Pulau Sumba . Hasil uji spesimen tahun 2012 terhadap 3165 spesimen

serum hasilnya negatif. Populasi sapi dan kerbau umur ≥ 1 tahun pada tahun

2012 sebanyak 51.529 ekor. Pada tahun 2013, dari 50.716 spesimen serum

yang diuji. ditemukan hanya satu reaktor terdapat di Kabupaten Sumba Timur

di desa Patawang, Kecamatan Umalulu.

Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, pada tahun 2013 sebanyak 346 desa

yang disampling. Dari 346 desa tersebut ditemukan satu reaktor Brucellosis,

yaitu di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, dan

dikategorikan sebagai desa tertular. Setelah dilakukan penelusuran kembali

pada desa tertular tersebut pada tahun 2013 dan 2014, hasilnya negatif,

Page 34: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

28

sehingga bisa dikategorikan sebagai desa monitoring negatif. Pada tahun 2014

jumlah spesimen yang diambil secara keseluruhan di Pulau Sumba sebanyak

6.928 spesimen semuanya negatif Brucellosis.

Berdasarkan hasil surveillans Brucellosis di Pulau Sumba dari tahun 2012

sampai tahun 2014, diketahui bahwa seluruh desa yang ada di Pulau Sumba

(426 desa) telah diperiksa, dengan kategori sebagai desa monitoring negatif 187

dan sebagai desa uji masal negatif 239 desa. Berdasarkan data tersebut maka

Pulau Sumba telah ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi dan

kerbau dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesi Nomor

52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015 . Pada tahun 2015 sebanyak

602 sampel serum diambil dari kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah,

Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Hasil uji terhadap serum tersebut semua

negatif Brucellosis (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Uji Serologis Brucellosis Pul;au Sumba Provinsi NTT Tahun2015

Berdasarkan laporan Dinas Peternakan se Pulau Sumba dan hasil pengamatan

petugas surveillans BBVet Denpasar tidak ditemukan adanya gejala klinis

seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma,

ataupun gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis.

HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL RBPT CFT

PahungaLodo 140 Negatif NegatifSumba TimurJumlah 140 Negatif Negatif

UmburatuNggai 151 Negatif NegatifKatikutana 22 Negatif Negatif

Sumba Tengah

Jumlah 173 Negatif NegatifWanokaka 77 Negatif NegatifLoli 58 Negatif NegatifTanarighu 24 Negatif Negatif

Sumba Barat

Jumlah 159 Negatif NegatifWewewa Barat 23 Negatif NegatifWewewaTimur 64 Negatif NegatifKodiBangedo 26 Negatif NegatifKodi 17 Negatif Negatif

Sumba BaratDaya

Jumlah 130 Negatif NegatifTotal 602 Negatif Negatif

Page 35: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

29

PEMBAHASAN

Pada tahap pertama, surveillans pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2012

selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen, juga melakukan

pengumpulan data dasar baik terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah

desa serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba. Hasil uji spesimen tahun 2012

terhadap 3165 spesimen, masing-masing berasal dari Kabupaten Sumba Barat

Daya sebanyak 789 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Barat sebanyak

813 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Tengah sebanyak 843 spesimen

(dua sampel positif dengan uji RBPT, dilanjutkan dengan uji CFT hasilnya

negatif) dan Sumba Timur sebanyak 720 spesimen, hasilnya negatif RBPT.

Data tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menentukan program pembebasan

Brucellosis selanjutnya pada tahun 2013.

Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan terhadap spesimen serum sapi

dan kerbau yang berumur ≥ 1 tahun, sebanyak 49.571, dengan hasil pengujian

semuanya negatif sebagai reaktor Brucellosis. Spesimen tersebut diambil di

346 desa dari 426. Namun demikian pada tahun yang sama, Balai Karantina

Pertanian Kelas I Kupang juga melakukan pengambilan dan pengujian

spesimen untuk Brucellosis, dimana dari 1.145 spesimen yang diuji, satu

spesimen diantaranya positif antibodi Brucellosis secara CFT. Berdasarkan

hasil tersebut, maka BBVet Denpasar melakukan penelusuran tentang asal dan

lokasi pengambilan spesimen yang positif tersebut, bekerjasama dengan BKP

Kelas I Kupang dan Dinas Peternakan se Pulau Sumba. Dari hasil penelusuran

tersebut diketahui bahwa spesimen tersebut diambil dari Desa Patawang,

Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil tersebut,

BBVet Denpasar, Disnak Sumba Timur dan BKP Kelas I Kupang melakukan

penelusuran kembali dengan pengambilan spesimen sapi dan kerbau di Desa

Petawang dan desa-desa yang kemungkinan pernah menerima ternak dari

Desa Petawang, yakni Desa Kombapari Kecamatan Hamu Lingu, Desa

Hanggororu Kecamatan Rindi dan Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota

Waingapu. Dari 233 sampel yang diambil, hasilnya semua negatif sebagai

reaktor.

Page 36: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

30

Pada tahun 2014 kembali dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesimen di

80 desa yang berstatus belum diperiksa dan di desa yang berstatus monitoring

negatif, serta pengambilan spesimen di satu desa tertular (lokasi positif CFT

hasil uji tahun 2013). Hasil pengujian spesimen di tahun 2014 sebanyak 6.928

(sapi/kerbau) menunjukan bahwa satu spesimen dari Sumba Barat positif

RBPT namun setelah dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya negatif.

Berdasarkan hasil-hasil tersebut maka desa yang ada di Pulau Sumba dapat

dikategorikan sebagai berikut, dari 426 desa yang ada, 187 (43,90%) desa

dengan status monitoring negatif, 239 desa (56,10%) sebagai desa dengan uji

massal negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.

Hasil surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 602 sampel yang diuji

semuanya negatif Brucellosis dan berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan

hasil pengamatan petugas surveillans BBVet Denpasar tahun 2015 tidak

ditemukan adanya gejala klinis seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis,

epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun gejala lainnya yang mengarah ke

Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa

Pulau Sumba masih bebas dari Brucellosis pada sapi dan kerbau.

Pengawasan lalu lintas ternak dari satu desa ke desa lainnya di Pulau Sumba

perlu dilakukan secara ketat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status

desa yang sudah diketahui, mengingat antara desa yang satu dengan desa

yang lainnya di Pulau Sumba berada dalam satu daratan yang lalu lintas

ternaknya cukup tinggi dan sulit dilakukan pengawasan. Pengawasan lalu lintas

ternak antar pulau perlu mendapat perhatian serius, untuk hal tersebut, peran

aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah Pulau Sumba

dinyatakan bebas Brucellosis.

Page 37: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

31

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian sampel Brucellosis tahun 2015 di Pulau Sumba

dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih

bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau.

2. Saran-Saran

a. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius. Untuk hal

tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah

Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.

b. Pelaksanaan surveillans tetap dilaksanakan, walaupun Pulau Sumba sudah

mendapatkan status bebas Brucellosis.

DAFTAR PUSTAKA

Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M., (1975). Techniques for The BrucellosisLaboratory. Hal.81-87.

Alton, G.G. (1981) The control of bovine brucellosis: Recent developments. World Animal Review39: 17-24.

OIE (2009), Bovine Brucellosis. Chapter 11.3, article 11.3.2 dan 11.3.3: 581 - 584.

Dartini N.L.; Rince M.B; Suendra ; Suka ; Suparta. (2006a). Laporan Surveilans Brucellosis diProvinsi Nusa Tenggara Timur. BPPV Regional VI Denpasar.

Dartini N.L. dan Rince M.B., (2006b). Deteksi Dini Reaktor Brucellosis di Kabupaten Ende danNgada Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006. Bulletin Veteriner.

Dolan, L. A. (1980). Latent carrier of brucellosis. Veterinary Record 106: 241-243.

Hamidjojo, A. N. (1984) Epidemiologi brucellosis pada ternak sapi di Sulawesi Utara. PenyakitHewan XVI: 246-248.

Lapraik, R. D. and Moffat R. (1982) Latent bovine brucellosis. Veterinary Record 111: 578-579.

Partodihardjo, S., Noordin M., Darodjat S. M., Sugijanto dan Djojosoedarmo S. (1979) Surveiserologik terhadap brucellosis dan leptospirosis pada ternak potong di Jawa Tengah, JawaTimur dan Bali. Media Veteriner 1: 30-34.

Page 38: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

32

Putra, A.A.G. (2001) Kajian epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadap pendapatanpetani, daerah dan nasional: Dengan penekanan pada Propinsi Nusa Tenggara Timur.Buletin Veteriner XIII (58): 8-18.

Putra, A.A.G., Muthalib, A., Arsani, N.M., Sunarya, G.M. dan Yuwana, W.S. (2002a) Evaluasipemberantasan brucellosis pada sapi dan kerbau di pulau Lombok. Dalam “Brucellosis.Program dan evaluasi pemberantasan: Suatu model Pemberantasan di pulau Lombok,Nusa Tenggara Barat”. Monograph No. 1, Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VIDenpasar, 1-93.

Putra, A.A.G. (2002b) Prevalensi reaktor bovine brucellosis di Kabupaten Kupang, Propinsi NusaTenggara. Buletin Veteriner XIV (60): 7-12.

Putra, A.A.G. (2002c) Evaluasi pemberantasan brucellosis dengan vaksinasi di Kabupaten TimorTengah Utara dan Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIV (60): 13-20.

Putra, A.A.G. (2005) Analisis faktor risiko berjangkitnya bovine brucellosis di breeding farmBaturraden Jawa Tengah dan upaya pemberantasannya. Laporan BPPV Regional VIDenpasar.

Putra, A.A.G. dan Arsani, N.M. (2005) Evaluasi tahun ke tiga pemberantasan brucellosis padasapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans sampai dengan Desember 2004. LaporanBPPV Regional VI Denpasar.

Putra, A.A.G., Ekaputra I G.M., Semara Putra.A.A.G. dan Dartini. N.L. (1995) Prevalensi dandistribusi reaktor brucellosis di kawasan Nusa Tenggara pada tahun 1994-1995. LaporanBPPH Wilayah VI Denpasar.

Putra, A.A.G., Sulaiman, I., Loasana, A., Hendrina dan Ben, R. (2001) Pemberantasan brucellosisdengan test and slaughter: Suatu model dengan pendekatan desa. Buletin Veteriner XIII(59): 1-15.

Roza, M. (1958) Beberapa segi dari pemberantasan brucellosis bang. Hemera Zoa LXV (No. 3-4):128-149.

Seit, B. (1958) Brucellosis in man and animals, with special respect to denish laws concerningbrucellosis bovis and the eradication of the disease. Hemera Zoa LXV (No. 3-4): 150-172.

Sudiana, E., Hirst, R.G., and Patten, B. (1989) Epidemiological study on brucellosis in dairy cattle inthe Bogor area. Proceedings Seminar Nasional Epidemiologi Veteriner ke I, DirektoratKesehatan Hewan, Ditjennak, Jakarta, 95-102.

Sulaiman, I. (1996) Beberapa aspek mengenai program penanggulangan dan pemberantasanbrucellosis. Laporan BPPH VII Maros.

Sulaiman, I. (2005) Hasil sero-survey brucellosis di pulau Jawa. Laporan disajikan pada RapatKoordinasi Penanggulangan Penyakit Zoonosis pada Ternak Besar di Pulau Jawa,diselenggarakan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah di Semarang pada tanggal22-23 Mei 2005.

Witono, S., Poermadjaja, B., Usman, T.B., dan Sapardi, M. (1999) Letupan brucellosis pada suatupeternakan sapi perah di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Makalah disajikan pada RapatTeknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan, Ditjennak, Yogyakarta 03-06Nopember1999.

Page 39: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

33

MONITORING DAN SURVEILANS SEDI ILAYAH KERJA BBVet DENPASAR TAHUN 2015

( Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Septicaemia Epizootica (SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakan salah satu penyakitmenular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal.Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesiamasih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, Nusa Tenggra Barat, danNusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, diketahui merupakanwilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE, kecuali di Pulau Lombokyang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi SE terkini di ProvinsiBali, NTB, dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilans melalui pengambilansampel darah dari hewan peka terutama sapi dan kerbau. Sampel serum diuji dengan metodeELISA untuk deteksi antibody terhadap Pasteurella multocida type B2. Hasil surveilansmenunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak yang di sampling tahun 2015 rata-ratamasih sangat rendah (kurang dari 70%), yaitu di Provinsi Bali 33,19%, Pulau Sumbawa 47,47%,dan Provinsi NTT 47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinyakasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsipeternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengan cakupan yangmemadai.

Kata Kunci: SE, Antibodi, Bali, NTB, NTT

PENDAHULUAN

Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia

dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.

Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular pada

ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal

(OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa

Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan

terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis

sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena

turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk

penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,

operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.

Page 40: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

34

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit

yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.

Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum

masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal

hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum

efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan

untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat

diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,

melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan

dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini

dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun

1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan surat keputusan Direktorat

Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.

213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85 (Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995).

Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau

Sumba, NTT dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak tahun 1984/1985 sampai

dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan program pemberantasan

penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan

dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai hingga 100%

(Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data

hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002

program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014

laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program

vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan sejak

tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai sekarang

tidak ada laporan kejadian penyakit SE di Pulau Nusa Penida sehingga

Kecamatan Nusa Penida sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai

wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan kelompok

ternak terhadap SE, maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan

surveilans pada tahun 2015 di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

Page 41: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

35

MATERI DAN METODA

Penentuan lokasi surveilans dan monitoring SE secara serologis dilakukan

dengan menggunakan metode detect disease (pada wilayah kerja yang tidak

melakukan vaksinasi SE, seperti di Pulau Lombok) dan mengukur aras di

wilayah kerja lainnya (seperti Pulau Bali, Pulau Sumbawa dan Provinsi Nusa

Tenggara Timur), teknik sampling yang digunakan adalah multi stage dan

proporsional random sampling. Di Pulau Lombok (tidak melakukan vaksinasi),

dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dan asumsi

prevalensi 0,5 % (data BBVet Denpasar 2013), populasi lebih dari 10.000,

maka dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel menggunakan tabel

sample size atau rumus n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] sebesar 528 sampel,

dimana;

n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000

Jadi minimal sampel yang harus diambil di Pulau Lombok adalah 598. Untuk

kegiatan tahun 2015 di Pulau Lombok besaran sampel yang diambil sebanyak

1.323 sampel di 5 kabupaten, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling.

Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi SE (Pulau Bali, Pulau

Sumbawa dan Provinsi NTT) dengan metode mengukur aras (Martin, 1987)

yaitu :

n = 4PQ / L2

n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan

Page 42: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

36

Dengan asumsi prevalensi 38,3 dibulatkan 40% (data Bbvet Denpasar 2013),

dengan konfidensi 95%, eror 5% , maka jumlah sampel minimal yang harus

diambil adalah:

n = 4 x 0,4 x (1- 0,4) 0,052

n = 4 x 0,4 x 0,6 0,0025n = 384

Untuk di NTT dengan prevalensi 40% minimal pengambilan sampel 384 sampel

(dibulatkan 400 sampel). Karena teknik sampling menggunakan multi stage dan

proposional random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di

kalikan 6, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di NTT

besaran sampel yang diambil 400 sampel x 6 = 2.400 sampel.

Untuk Pulau Sumbawa dengan prevalensi 30% maka sampel minimal yang

diambil sebesar 336. Di Bali dengan prevalensi 24,39% dibulatkan 25 % adalah

n = 4 x 0,25 x (1- 0,25) 0,052

n = 4 x 0,25 x 0,75 0,0025n = 300

Untuk di Provinsi Bali dengan prevalensi 25% minimal pengambilan sampel 300

sampel. Karena teknik sampling menggunakan multi stage random sampling,

maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 6, dengan kecamatan

sebagai satuan unit sampling. Sehingga di Provinsi Bali besaran sampel yang

diambil 300 sampel x 6 = 1.800 sampel.

Page 43: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

37

Penentuan Antibodi SE

Untuk menentukan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, sampel serum sapi dan

kerbau diuji dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ),

menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332 (ACIAR

PN.9202/VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih dianggap

protektif, (Widder et al., 1996), dengan prosedur sebagai berikut :

- Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)

- Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam

pada suhu 40C.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam

PBS tween pada row 1 sampai 10.

- Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan

12.

- Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

- Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap

lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

- Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

- Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

Page 44: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

38

Isolasi Pasteurella multocida

Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau

limfoglandula retropharengea baik dari sapi, kerbau atau babi di rumah potong

hewan (RPH), khusus di wilayah kerja yang tidak ada RPH sampel berupa swab

trachea/nasopharynk, kemudian di lakukan penanaman di media agar, sesuai

metode isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida (OIE,2008). Prosedur

Isolasi sebagai berikut :

- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media

agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x

0,3 µm.

- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati

morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan

pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,

ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.

- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar

darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu

370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan

dengan standard / kontrol positif.

- Isolat Pasteurella multocida yang diidentifikas diuji dengan PCR untuk

penetuan serotype B2.

HASIL

Hasil surveilans di Provinsi Bali tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata hanya

33,19% ternak yang disampling mempunyai antibodi protektif terhadap SE. Hasil

uji disetiap kabupaten sangat bervariasi. Hasil yang paling tinggi (63%) diperoleh

dari Kabupaten Buleleng (Tabel 1).

Page 45: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

39

Di Provinsi NTB, hasil uji dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji dari

Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau Lombok jumlah ternak yang positif

mengandung antibodi SE sebanyak 2,95% (Tabel 2), sedangkan di Pulau

Sumbawa sebanyak 47,47% ternak yang disampling tahun 2015 positif antibodi

SE (Tabel 3).

Tabel 1 . Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi di Provinsi Bali

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Baturiti 37 1Kerambitan 30 0Selemadeg Timur 30 0

1 Tabanan

Jumlah 97 1 (1,03%)Mengwi 100 28Kuta 41 6Kuta Utara 50 16

2 Badung

Jumlah 191 50 (26,18%)Susut 95 41Tembuku 50 7Bangli 45 23Kintamani 50 4

3 Bangli

Jumlah 240 75 (31,25%)Denpasar Timur 96 49Denpasar Selatan 135 69Denpasar Utara 50 0

4 Denpasar

Jumlah 281 118 (41,99%)Karangasem 40 2Selat 45 45Bebandem 50 0Abang 50 6Sidemen 45 4

5 Karangasem

Jumlah 230 57 (24,78%)Sawan 50 46Sukasada 51 36Kubutambahan 50 27Gerokgak 45 16

6 Buleleng

Jumlah 196 125 (63,76%)Bannjarakan 146 9Dawan 50 0

7 Klungkung

Jumlah 196 9 (4,59%)Jembrana 95 10Melaya 100 49Mendoyo 50 32Pekutatan 251 119

8 Jembrana

Jumlah 496 210 (42,34%)Denpasar Timur 96 49Denpasar Selatan 135 69Denpasar Utara 50 0

9 Gianyar

Jumlah 188 57 (30,32%)TOTAL 2.115 702 (33,19&)

Page 46: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

40

Tabel 2. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbaudi bebrapa Kabupaten di Pulau Lombok Provinsi NTB

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Wanasaba 163 0Aikmal 131 0Suralaga 40 0

1 Lombok Timur

Jumlah 334 0Pringgarata 158 02 Lombok Tengah

Jumlah 158 0Bayan 80 1Pemenang 80 1Tanjung 80 21

3 Lombok Utara

Jumlah 240 23 (9,58%)Kediri 232 7Gerung 200 8Kuripan 105 4

4 Lombok Barat

Jumlah 537 19 (3,54%)Tanjung Karang 123 0Sekar Bela 52 1Sandubayu 48 1

5 Mataram

Jumlah 223 2 (0,90%)Total 1.492 44 (2,95%)

Tabel 3. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten di Pulau Sumbawa Provinsi NTB

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Bolo 120 5Langgudu 30 3Woha 147 27Madapagga 223 41

6 Bima

Jumlah 250 76 (30,4%)Alas Barat 288 1207 Sumbawa

Jumlah 288 120 (41,67%)Taliwang 60 12Pototano 50 17Seteluk 50 38

8 Sumbawa Barat

Jumlah 160 67 (41,88%)Woja 392 241Dompu 37 31

9 Dompu

Jumlah 429 272 (63,40%)Total 1.127 535 (47,47%)

Pada tabel 4 disajikan hasil uji ampel serum dari Provinsi NTT. Pada tahun

2015 di Provinsi NTT hanya 47,15% ternak yang disampling positifi antibodi SE.

Page 47: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

41

Tabel 4. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbaudi beberapa Kabupaten Provinsi NTT

KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL

JUMLAH POSITIFANTIBODI SE

Amanuban 122 83Molo Utara 8 6

TTS

Jumlah 130 89 (68,46%)Naibenu 81 66Nailanu 81 60

TTU

Jumlah 162 126 (77,78%)Maulafa 20 5Alak 30 4Kota Raja 50 38

Kota Kupang

Jumlah 100 47 (47%)Kupang Tengah 159 90Kupang Timur 91 67

Kupang

Jumlah 250 157 (62,80%)Boawae 65 15Nagekeo

Jumlah 65 15 (23,08%)Sabu Timur 162 94Sabu Barat 42 29

Sabu Raijua

Jumlah 204 123 (60,29%)Bajawa 20 10Ngada

Jumlah 20 10 (50%)Ileape 47 10Lebatukan 46 26

Lembata

Jumlah 93 36 (38,71%)Rote Tengah 185 27Rote Barat Laut 50 50Lobalain 79 69

Rotendao

Jumlah 314 146 (46,50%)Waiterang 17 4Nangalobong 36 16Mapitora 52 16Waitlama 53 0Mego 50 16Kewapante 49 28Magepanda 68 8

Sikka

Jumlah 325 88 (27,08%)Teluk Mutiara 120 47Kabala 39 13Alor Barat Daya 109 14Alor Barat laut 22 0Alor Tengah Utara 14 0Alor Timur Laut 10 0Alor Timur 23 0Lembur 63 0Pantar Tengah 72 14Pantar barat Laut 5 2

Alor

Jumlah 477 90 (18,87%)Pahunga Lodo 140 57Sumba Timur

Jumlah 140 57 (40,71%)

Page 48: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

42

Pada tahun 2015 tidak ada sampel organ atau swab untuk isolasi dan identifikasi

Pasteurella multocida.

PEMBAHASAN

Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan

atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran

penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk

tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya

dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan

memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi

kuman Pasteurella multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh

hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan

mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data

hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2015 menunjukkan bahwa

tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%,

yaitu di Provinsi Bali 33,19%, NTB khususnya Pulau Sumbawa 47,47% dan NTT

47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya

kasus SE. Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap

penyakit SE mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun.

Umbu ratunggai 130 70Katikutana 22 18Umburatunggai II 21 18

Sumba Tengah

Jumlah 173 106 (61,27%)Wanokaka 77 36Loli 33 20Tanarighu 26 13Loli 25 18

Sumba Barat

Jumlah 161 87 (54,04%)Wewewa Barat 17 9Wewewa Timur 64 53Kodi Bangedo 32 16Kodi 17 7

Sumba BaratDaya

Jumlah 130 85 (65,39%)Malaka Barat 169 94Wetolus 11 6Wewiku 50 36

Malaka

Jumlah 230 136 (59,13%)TOTAL 2.944 1.388 (47,15%)

Page 49: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

43

Hal ini didukung oleh adanya laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap

tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari terjadinya

wabah,diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder,

et al., 1996).

Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan

oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang

mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit.

2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi

atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak

terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses

penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak

mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun

ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,

mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan penyakit

SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya

target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang

berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan

program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di

Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).

Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan

tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai

spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga

sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh

hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015,

ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT)

hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah

adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida

lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada

et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat

mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi

pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum

Page 50: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

44

pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain

yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada

uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri

Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype

11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka,

1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang

tidak ganas seperti dilaporkan oleh Hoskins (1921), dan mampu bereaksi atau

menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella multocida penyebab SE.

Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan

baik yang terjadi diantara serotype / strain dari Pasteurella multocida (Cameron

and Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar

spesies (Sawada et al., 1985).

Pada tahun 2015, laboratorium Bakteriologi tidak menerima sampel organ atau

swab untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida sesuai dengan yang

diajukan dalam TOR/KAK tahun 2015. Tidak diketahui dengan pasti apakah hal

ini disebabkan karena pada saat penyusunan jadwal surveilan tidak berdasarkan

TOR yang diusulkan ataukah memang ada alasan tertentu sehingga

pengambilan sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida tidak

dapat dilaksanakan. Disamping tidak adanya sampel aktif, sampel untuk

konfirmasi kasus SE dari lapangan pada tahun 2015 juga tidak ada.

KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase ternak peka yang memiliki antibodi protektif terhadap SE di

Provinsi Bali, NTB (khususnya Pulau Sumbawa), dan NTT tahun 2015

masih relatif rendah.

2. Konfirmasi kejadian SE secara laboratorium sangat minim / hampir tidak ada

beberapa tahun terakhir.

Page 51: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

45

SARAN

1. Dalam rangka peneguhan diagnose penyakit SE secara laboratories, maka

disarankan kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan / dinas yang

menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan untuk mengirimkan

sampel dari ternak sakit / mati ke laboratoriun veteriner dan segera

melaporkan kejadian tersebut kepada instansi terkait dan tetap melakukan

vaksinasi dan meningkatkan cakupan vaksinasi.

2. Untuk melengkapi data / informasi tentang Pasteurella multocida, agar

pengambilan sampel untuk tujuan isolasi dan identifikasi bisa ditindak lanjuti

sesuai dengan TOR yang diusulkan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kepala Dinas

Peternakan/Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Hewan

kabupaten/kota diseluruh Bali, NTB, dan NTT, beserta staf atas bantuan dan

informasi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.

Dartini N.L. (2012) Hasil Surveilans Penyakit SE di Pulau Sumba Tahun 2004 – 2009. BulletenVeteriner.BBVet Denpasar..XXIV (81): 24-29.

Direktorat Bina Kesehatan Hewan (1995), Kebijakan pemberantasan dan pengendalian penyakitngorok di Indonesia. Disampaikan pada rapat evaluasi pemberantasan penyakit SE diwilayah BPPH Wil.VI dan evaluasi proyek ACIAR, di Denpasr, tanggal 28 Agustus 1995.Hal.7.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTB (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTT (2013). Pengendalian dan Penangan PenyakitHewan Menular di Provinsi Bali. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasikesehatan Hewan Wilayah Kerja BBVet Denapasar di Mataram 2-4 April 2013.

Page 52: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

46

Ekaputra A. dan Dartini N.L. (1996). Langkah-langkah Pengendalian dan Eradikasi Penyakit SEpada Sapid an Kerbau di Wilayah Kerja BPPH VI Denpasar. Balai Penyidikan PenyakitHewan Wilayah VI Denpasar.

Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.

OIE (2009). Haemorrhagic Septicaemia. The Center for Food Security&Public Health. Institutefor International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center: 1-5.

Putra.A.A.G., (2004). Surveilans Penyakit SE di Pulau Nusa Penida, Sumbawa, dan Sumba.Strategi Vaksinasi dan Prospektif Pemberantasan. Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner Regional VI Denpasar.

Widder P.R. 1996. Current Methods For Diagnosis Of Haemorrhagic Septicaemia. KumpulanAbstrak. International Workshop on Diagnosis and Control of HaemorrhagicSepticaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei 1996. 19.

Widder P.R., Morgan I., Ekaputra A., and Dartini N.L. 1996. Analysis of Herd Coverage ofVaccination Program Using Antibody ELISA. Kumpulan Abstrak. International Workshopon Diagnosis and Control of Haemorrhagic Septicaemia. Kuta, Denpasar,Bali 28-30 Mei1996:33.

Page 53: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

47

SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE)DALAM RANGKA EVALUASI

PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSA PENIDA

(Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, I Ketut Harmini Saraswati,Cok. G.R. Krisna Ananda, Mamak Rokmanto, Ade Suryakantari)

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Haemorrhagic septicaemia (HS) / Septicaemia Epizootica (SE) merupakan salah satu penyakitmenular pada ruminansia terutama sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal. Sebagai salahsatu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit yang seyogyanya perlumendapatkan prioritas dalam penanggulangannya. Program pengendalian dan pemberantasanSE di Indonesia secara umum masih dilakukan pada kegiatan pencegahan wabah melaluivaksinasi hanya di kantung-kantung penyakit. Keberhasilan untuk menciptakan suatu wilayahbebas SE dapat diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencanadisertai program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengankeberhasilan pemberantasan SE di Pulau Lombok. Mengacu pada pemberantasan SE di PulauLombok, program yang sama telah dilakukan di Nusa Penida sejak tahun 1991/1992 sampaidengan 1993/1994.

Evaluasi terhadap program pemberantasan SE di Nusa Penida dilakukan melalui pengumpulandata vaksinasi, surveilans terhadap profil antibodi, isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida,dan pendataan kasus SE di lapangan.

Hasil surveilans menunjukkan bahwa, vaksinasi massal dilakukan sejak tahun 1991/1992 sampaidengan 1993/1994, dengan coverage vaksinasi rata-rata sekitar 91,3%. Vaksinasi terakhirdilakukan pada tahun 2002. Kasus SE di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991pada seekor sapi. Semua sampel swab dan organ sapi asal Nusa Penida negatif Pasteurellamultocida. Tidak ada pemasukan sapi ke Nusa Penida. Profil antibodi SE menunjukkanpenurunan setelah program vaksinasi massal selesai, yaitu 77% tahun 1991, 87,3% tahun 1992,89,9% tahun 1994, 56,25% tahun 1995, 1,3% tahun 1996, 13,9% tahun 2002, 5,8% tahun 2003,dan 0% pada survei tahun 2012 dan 2014. Hasil surveilans terstruktur pada tahun 2015menunjukkan bahwa dari 4.017 sampel serum yang diuji semuanya negatif antibodi SE, dan4.017 sampel swab hidung yang diuji semuanya negatif Paseurella multocida, hasil pengamatandilapangan selama surveilans dan pengamatan petugas dinas dilapangan dilaporkan bahwaselama tahun 2015 tidak ditemukan adanya sapi yang menunjukkan gejala klinis yangkemungkinan disebabkan oleh SE. Nusa Penida mempunyai batas wilayah yang jelas berupalaut. Mengacu pada persyaratan yang ditetapkan oleh OIE tentang pembebasan SE di suatuwilayah, maka wilayah nusa penida sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai wilayahbebas SE.

Page 54: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

48

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Septicaemia epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di Indonesia

dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida

(Pasteurella multocida). SE merupakan penyakit menular pada ruminansia

terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal, ternak muda

biasanya lebih peka dibandingkan dengan yang dewasa (A.Benkirane dan

M.C.L.De Alwis,2002). Penyakit ini dikenal lama di Indonesia sebagai penyakit

merugikan secara ekonomi, sehingga dimasukkan sebagai salah satu jenis

penyakit hewan menular strategis (Kementan Nomor 4026/Kpts/OT.140/3/2013).

Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, pada tahun 1973

melaporkan kerugian akibat SE di Indonesia diperkirakan mencapai 5,4 miliar

rupiah.

Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit

yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangan dan

pemberantasannya (Peraturan Ditjennak nomor 59/Kpts/PD.610/05/2007).

Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonseia secara umum

masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal

hanya di kantung-kantung penyakit di suatu wilayah. Kegiatan ini masih belum

effektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan

untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat

diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana dengan

program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini telah dibuktikan dengan

keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok dengan melakukan vaksinasi

massal selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 1977 – 1980, dan setelah

dilanjutkan dengan monitoring dan surveilans penyakit selama 3 tahun, tidak

ditemukan lagi adanya kasus penyakit yang terjadi di pulau tersebut (Sudana

dkk, 1981 : 1982). Pulau Lombok dinyatakan bebas SE pada tahun 1985, dan

status bebasnya dinyatakan dengan surat keputusan Direktorat Jenderal

Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85

Page 55: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

49

(Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995). Hingga saat ini tidak pernah lagi

dilaporkan adanya kejadian SE di Pulau Lombok.

Mengacu pada pola pemberantasan SE di Pulau Lombok, program yang sama

telah dilaksanakan di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Bali, yaitu vaksinasi massal selama 3 tahun berturut-turut dengan interval

vaksinasi setiap 6 bulan, pada tahun 1991/1992 – 1993/1994, dengan coverage

vaksinasi rata-rata sekitar 91,3%. Sejak tahun 1995 sampai dengan 2002

vaksinasi dilakukan hanya pada ternak sapi dengan coverage sekitar 8,9%.

Vaksinasi terakhir dilakukan pada tahun 2002, dan sejak saat itu sampai

sekarang tidak lagi dilakukan vaksinasi. Berdasarkan data Dinas Peternakan

Kabupaten Klungkung, kasus SE di Nusa Penida dilaporkan terjadi pada tahun

1991 (sebelum program vaksinasi massal) pada seekor sapi, dan setelah kasus

tersebut sampai sekarang (2015) tidak pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE.

Berdasarkan informasi petugas Dinas Peternakan diketahui bahwa tidak pernah

ada pemasukan ternak sapi ke Nusa Penida dari daerah luar Nusa Penida.

Mengacu pada persyaratan yang ditetapkan oleh OIE tentang pembebasan SE

disuatu wilayah, maka wilayah Nusa Penida sangat memungkinkan untuk

diusulkan sebagai wilayah bebas SE. Namun demikian monitoring dan

surveilans SE di Nusa Penida tidak dilakukan secara berkelanjutan sejak tahun

2002. Untuk itu maka tahun 2015 BB-Vet Denpasar telah melakukan surveilans

terstruktur dalam rangka mewujudkan Nusa Penida bebas SE.

1.2. Data Populasi Sapi dan Vaksinasi SE di Pulau Nusa Penida

Populasi sapi di Nusa Penida tahun 2013 tercatat sebanyak 21.953 ekor, terdiri

dari sapi jantan 6.313 ekor dan sapi betina 15.640 ekor. Sapi tersebar di 16

desa yang ada di Kecamatan Nusa Penida (Pulau Nusa Penida, Nusa

Ceningan, dan Nusa Lembongan), data selengkapnya pada Tabel 1. Vaksinasi

SE secara massal di Nusa Penida dilakukan selama 3 tahun berturut-turut

dengan interval waktu vaksinasi setiap 6 bulan, yaitu pada tahun 1991/1992 –

1993/1994, dengan coverage vaksinasi rata-rata sekitar 91,3% (Tabel 2).

Selanjutnya sejak tahun 1995 – 2002 vaksinasi dilakukan hanya pada ternak

sapi dengan coverage sekitar 8,9% (Tabel 3).

Page 56: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

50

Tabel 1. Data Populasi sapi di Nusa Penida tahun 2013

No Nama Desa Sapi Jantan Sapi Betina Jumlah

123456789

10111213141516

Kutampi KalerToyapakehSekartajiBatumadegKlumpuKutampiBunga MekarSuanaPejukutanBatununggulSaktiPedBatukandikTangladLembonganJungutbatu

3384433141946242743633069132367234575046121569

718619658448311104950944146112252020146414371061391114

1056105129612631293153113861324215215482692180921871522606183

Total 6.313 15.640 21.953Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung tahun 2013

Tabel 2. Coverage vaksinasi SE di Nusa Penida 1991/1992 – 1993/1994

VaksinasiTahun ke Waktu Parameter Sapi Babi Kambing

September1991

PopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

20.58818.64690.7%

9.8528.29584,2%

32231598,1%

I

Maret 1992 PopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

20.41918.72491.7%

17.41514.92485,7%

22321998,2%

September1992

PopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

20.41918.25489.4%

17.41514.62485,3%

223223100%

II

Maret 1993 PopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

21.87019.84191,1%

17.16414.29783,3%

277277100%

September1993

PopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

22.52019.73290,6%

17.16414.36683,7%

277277100%

III

Maret 1994 PopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

22.52019.84088,1%

15.86313.27783,7%

328328100%

Rata-rataPopulasiJumlah vaksinasiCoverage vaksinasi (%)

21.24619.17390,2%

15.81213.29784,1%

27527399,33%

Rata-Rata coverage vaksinasi 91,3%Sumber : Laporan BPPV Reg.VI Denpasar 2002.

Page 57: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

51

Tabel 3. Coverage vaksinasi di Nusa Penida tahun 1995 – 2002

Ternak yang divaksinasi SETahunSapi Babi Kambing Jumlah

19951996199719981999200020012002

5.0164.3266.3502.9505504.1002.4501.100

00000000

00000000

5.0164.3266.3502.9505504.1002.4501.100

Rata-rata 3.355 0 0 3.355Rata-rata PopulasiCoverage

23.28414,4%

14.000-

164-

37.4488,9%

Sumber : Laporan BPPV Reg.VI Denpasar 2002.

4. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan penyakit SE di Nusa Penida sebagai berikut :

1. Surveilans SE di Nusa Penida belum dilakukan secara terstruktur dan

berkelanjutan;

2. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka pembuktian

Nusa Penida bebas SE;

5. Tujuan Kegiatan

1. Melakukan surveilans secara terstruktur untuk mengamati dan memetakan

kasus terbaru, serta mengetahui profile antibodi SE dalam rangka evaluasi

program pemberantasan dan pengusulan Nusa Penida bebas SE;

2. Mencapai target sampel sesuai kaidah epidemiologi dalam rangka evaluasi

program pemberantasan dan pengusulan Nusa Penida bebas SE;

Page 58: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

52

6. Manfaat Kegiatan

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi SE di Nusa Penida;

2. Tercapainya target sampel sesuai kaidah epidemiologi dalam rangka

evaluasi program pemberantasan dan pengusulan Nusa Penida bebas SE;

3. Tercapainya Nusa Penida bebas SE.

7. Output

1. Termonitor dan terpetakannya kejadian SE di Nusa Penida;

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di Nusa Penida;

3. Terbebasnya Nusa Penida dari SE.

a. Out come

1. Adanya data yang lebih lengkap untuk kepentingan pemetaan SE di Nusa

Penida.

2. Terciptanya lingkungan ternak bebas SE di Nusa Penida.

8. Persyaratan Wilayah Bebas SE

Terrestrial Animal Health Code, OIE 2010, chapter 11.10, artikel 11.10.3

menyatakan bahwa “Zone free from haemorrhagic septicaemia” A zone may be

considered free of the disease if it can be established that HS has not been

present for at least the past 3 years and if the following conditions are met:

1. The disease is notifiable in the whole country

2. The zone shall be delineated by natural or artificial barrier

Page 59: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

53

3. The introduction of animal into the zone shall be carried out in conformity

with the provisions of articles 11.10.6 (recommendations for importation from

HS free countries or zone) or 11.10.7 (recommendation for importation from

countries considered infected with HS).

KAJIAN EPIDEMIOLOGI SE

Kajian epidemiologi perlu untuk dibahas dalam upaya pengendalian suatu

penyakit hewan. Beberapa sspek epidemiologi yang perlu dibahasm antara lain

agen penyakit, hospes dan lingkungan, serta interaksi diantara ketiga aspek

tersebut, terhadap kejadian atau penyebaran serta distribusi penyakit, demikian

juga halnya dengan SE.

1. Agen penyakit.

Pasteurella multocida dibedakan berdasarkan sifat antigennya yaitu antigen

kapsular adalah antigen berada pada bagian kapsul dari bakteri dan somatic

antigen yaitu antigen pada tubuh dari bakteri itu sendiri. Carter membuat

klasifikasi berdasarkan pada antigen kapsular dengan uji indirect

haemagglutination test, sedangkan untuk deteksi somatic antigen digunakan

metode tube agglutination test menurut sistem Namioka atau dengan uji gel-

diffusion precipitin test menurut sistem Heddleston (Sawada, 1991).

Berdasarkan antigen kapsularnya Carter membagi Pasteurella multocida,

menjadi serotipe A,B,D, dan E. Sedangkan Robert membagi menjadi serotipe I,

II, III dan IV. Namioka 1980, Pasteurella multocida dikelompokkan menjadi 11,

berdasarkan somatic antigen, sedangkan menurut Heddleston dikelompokkan

menjadi 16. Pasteurella multocida penyebab SE adalah 6B dan 6E berdasarka

kombinasi serotipe menurut Carter dan Namioka. Sedangkan menurut

kombinasi Carter dan Heddleston Pasteurella multocida penyebab SE adalah B2

atau 6B (Putra, 1993). Pasteurella multocida disinyalir tidak mampu bertahan

ditanah dalam waktu lama (Bain, 1963). Dengan demikian proses penularan

melalui bahan yang tercemar kemungkinan hanya terjadi dalam kurun waktu

yang relatif singkat.

Page 60: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

54

2. Hospes

a. Hewan Peka

Septicaemia Epizootica (SE) dapat terjadi pada berbagai jenis hewan.

Ruminansia diketahui peka terhadap SE. Kerbau dan sapi sangat peka

terhadap SE, kerbau dilaporkan lebih peka dibandingkan dengan sapi (De

alwis, 1980; Saharee and Salim, 1991). Selain pada sapi dan kerbau, wabah

SE juga pernah dilaporkan pada rusa (Jones and Hussaini, 1982; Rimler et

al, 1987). Disamping ruminansia, wabah SE juga pernah dilaporkan terjadi

pada babi (Murty and Kaushik, 1965; Verma, 1988).

b. Status hewan karier

Secara umum berdasarkan pada kemampuannya untuk menularkan penyakit

ada dua bentuk karier, yaitu karies aktif dan karies pasif. Karier aktif adalah

hewan yang secara klinis terlihat sehat tetapi membawa agen penyakit dan

mampu menulari hewan peka lainnya, sedangkan karier pasif adalah hewan

ini juga membawa agen penyakit tetapi tidak mampu menulari hewan peka

lainnya.

Pada SE, hewan dapat dikategorikan dalam status carier aktif apabila

saluran pernafasan bagian atas (mukosa hidung, nasopharynx) hewan

tersebut diinfeksi oleh Pasteurella multocida (Wijewardana et al., 1991).

Hewan ini dapat menjadi sakit dan menularkan penyakit pada hewan peka

lainnya, diduga bila terjadi penurunan kondisi tubuh misalnya akibat stres

(Hug, 1976). Sedangkan hewan dikategorikan sebagai karier pasif, apabila

Pasteurella multocida berada dalam keadaan inaktif (dormant) di dalam

limfonodus retropharengea. Namun berdasarkan penemuan terbaru baik

berdasarkan isolasi maupun dengan uji imunohistokimia, Pasteurella

multocida secara konsisten ditemukan bersembunyi terutama didalam lumen

tonsil, disamping juga pada beberapa kelenjar getah bening lainnya

(Wijewardana et al., 1991; Horadagoda et al., 1991). Walaupun demikian,

sampai saat ini belum ada penjelasan mengenai mekanisme perubahan

status hewan dari karier pasif menjadi karier aktif. Kemungkinan besar

perubahan ini juga terjadi berkaitan dengan adanya perubahan kondisi tubuh

(stres) hewan.

Page 61: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

55

Di Indonesia isolasi Pasteurella multocida dari nasopharynx atau saluran

perbafasan hewan peka sehat telah banyak dilakukan. Prodjoharjono,

(1977) berhasil mengisolasi Pasteurella multocida penyebab ngorok dari babi

sehat sebanyak 3 ekor dari 106 sampel. Survei yang dilakukan di Pulau

Lombok, Pasteurella multocida berhasil diisolasi di Pulau Lombok sebanyak

2,1% dari 194 sampel swab nasopharynx dan 3,8% dari 26 sampel swab

nasopharynx kerbau (Sudana dkk, 1981). Hewan karier ini diduga sebagai

sumber atau awal penularan pada setiap wabah SE (Horadagoda et al.,

1991). Pasteurella multocida serotipe A pernah diisolasi dari sapi sehat dari

beberapa RPH di Provinsi Bali (Dartini, dkk.; 1996).

c. Pengaruh umur hewan

Kelompok umur hewan tertentu diketahui lebih peka dari kelompok umur

lainnya terhadap serangan SE. De Alwis et al., 1975, 1976) melaporkan

bahwa di Sri Lanka kematian tertinggi akibat SE terjadi pada ternak

kelompok umur 6 - 18 bulan. Selanjutnya dilaporkan juga bahwa tahannya

kerbau umur dibawah 3 bulan terhadap serangan SE diduga erat kaitannya

dengan adanya maternal antibodi.

3. Lingkungan

Musin dan manajemen peternakan merupakan salah satu faktor lingkungan

yang berpengaruh terhadap epidemiologi penyakit SE. Di daerah tropis kasus

SE tertinggi terjadi pada saat musim hujan, walaupun secara sporadis dapat

terjadi sepanjang tahun (Bain, 1963). Di Indonesia kejadian SE juga erat

kaitannya dengan perubahan musim, walaupun secara sporadis dilaporkan

terjadi sepanjang tahun. Namun demikian data yang terinci mengenai hal ini

belum banyak dilaporkan.

Page 62: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

56

Manajemen peternakan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

epidemiologi SE. Sistem peternakan tradional dimana peternak biasanya

melepas / mengembalakan ternaknya di padang pengembalaan, memberi

makan ternaknya di tempat tersebut secara bersama-sama akan mengakibatkan

frekuensi kontak antar ternak semakin tinggi, sehingga apabila ada ternak yang

sakit maka akan lebih cepat/mudah menular ke ternak lainnya, bila

dibandungkan dengan sistim pemeliharaan dengan dikandangkan.

MATERI DAN METODE

1. Materi

Bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam surveilans SE di Nusa Penida

tahun 2015 adalah Media agar darah, reagen dan antigen untuk ELISA antibodi

SE, Vitamin, antibiotika, tansport media untuk SE, Swab steril, tabung venoject

plain dan EDTA, jarum venoject, handle, mikrotiter plate untuk ELISA, dan

hewan percobaab tikus putih untuk uji passive mouse protection test (PMPT).

2. Metode

Penentuan lokasi surveilans SE di Nusa Penida dalam upaya pembuktian bebas

SE dilakukan dengan menggunakan metode detect disease, dengan desa

sebagai unit sampling. Pengambilan sampel dilakukan diseluruh desa yang ada

di Kecamatan Nusa Penida (16 desa). Jumlah sampel diambil berdasarkan

populasi dan estimasi prevalensi positif menggunakan tabel sample size

(Thrusfield W., 1995). Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida

dengan asumsi prevalensi carrier Pasteurella multocida 2%, (berdasarkan data

hasil penelitian Dartini dan Alit, 1996, dimana ditemukan 2,49% sampel dari

RPH yang diuji positif Pasteurella multocida), maka jumlah sampel organ/swab

yang harus diambil minimal 2.158 sampel. Sampel untuk deteksi antibosi SE

dengan asumsi prevalensi 1% (data BBVet Denpasar tahun 1996, 1,3% protektif

setelah 2 tahun vaksinasi), dengan tingkat kepercayaan 95% maka minimal

sampel yang harus diambil 4.012 sampel serum. Jumlah sampel di masing-

masing desa seperti Tabel 6.

Page 63: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

57

Tabel 6. Estimasi jumlah sampel minimal yang harus diuji

No Desa sampelswab/organ

sampelserum

1 Batukandik 145 2772 Batumadeg 141 2693 Batununggul 142 2724 Bunga Mekar 141 2695 Jungutbatu 101 1556 Kampung Toya Pakeh 78 877 Klumpu 141 2698 Kutampi 142 2729 Kutampi Kaler 138 26410 Lembongan 132 22511 Ped 143 27512 Pejukutan 145 28413 Sakti 145 28414 Sekartaji 141 26915 Suana 141 26916 Tanglad 142 272Total 2.158 4.012

2.1. Penentuan Zat Kebal/Antibodi SE

Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya zat kebal protektif pada

masing-masing sampel serum dipakai uji Enzyme-linked immunosorbent assay (

ELISA ) menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332

(ACIAR PN9202, VIAS Australia.; Afzal.M.dkk., 1992). Titer ELISA 200 elisa unit

(EU) atau lebih dianggap protektif, (Widder et al., 1996). Untuk meningkatkan

sensitifitas hasil uji, maka masing-masing 10 (sepuluh) sampel serum dari setiap

desa diuji dengan Passive Mouse Protection Test (PMPT) menggunakan 5 ekor

mencit setiap sampel, apabila satu ekor mencit (20%) mampu bertahan hidup

setelah dilakukan uji tantang, maka ternak dimana serum sampelnya diambil

tahan terhadap infeksi Pasteurella multocida (Hartaningsih, dkk 1984;

Sotoodehnia.A. dkk.,2005). Semua sampel serum yang positif dengan uji ELISA

dikonfirmasi dengan uji PMPT. Prosedur Elisa sebagai berikut :

a. Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well (sesuai titer Antigen),

inkubasikan semalam pada suhu 40C.

Page 64: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

58

b. Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

c. Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam

PBS tween pada row 1 sampai 10.

d. Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif yang diencerkan berseri

(1:200 s/d 1: 6.400) pada row 11 dan 12 (well A – F) dan kontrol negatif

pada row 11 dan 12 well G, serta row 11 dan 12 well H sebagai kontrol

conjugate (tanpa serum).

e. Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

f. Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

g. Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap

lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

h. Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

ELISA).

i. Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

2.2. Isolasi dan identifikasi P. multocida

Sampel untuk isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dari sapi mati yang di

duga SE adalah organ paru-paru, jantung, hati, limpa, limpoglandula

retropharyngeal, darah, sumsum tulang, dan sebagainya. Untuk mengetahui

status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida diambil sampel

limphoglandula retropharyngeal/tonsil/tonsilar crypt atau swab nasopharyng di

rumah potong hewan ( RPH). Di Pulau Nusa Penida tidak tersedia RPH,

sehingga sangat sulit untuk mendapatkan sampel organ untuk mengetahui

status carrier sapi terhadap Pasteurella multocida, untuk itu sampel yang diambil

berupa swab trachea/nasopharyng/hidung dari sapi hidup. Sampel disimpan

dalam keadaan beku atau dingin, sampai di laboratorium dilakukan pengujian

isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida dengan metode pemupukan dan uji

biokimia (OIE, 2012), sebagai berikut :

Page 65: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

59

- Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

- Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media

agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x

0,3 µm.

- Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati

morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan

pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,

ovoid, pendek, coccoid yang sering terlihat bipolar.

- Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar

darah yang baru dan MacConkey agar. Inkubasikan semalam pada suhu

370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

- Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

- Amati hasil uji biokimia dan gula-gula, kemudian dicocokkan denganstandard.

Pasteurella multocida yang berhasil diisolasi dan identifikasi di lanjutkan dengan

uji Polimerase Chain Reaction (PCR) untuk mengetahui serotipenya

menggunakan primer dan prosedur OIE tahun 2012.

POGRAM PEMBERANTASAN SE di NUSA PENIDA

Langkah-langkah program pemberantasan SE di Nusa Penida secara singkat

dapat disajikan pada tabel 7, 8 dan instansi yang terlibat dalam kegiatan tersebut

disajikan dalam Tabel 9.

Page 66: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

60

Tabel 7. Langkah-langkah Program Pemberantasan SE di Pulau Nusa Penida.

Tahun AnggaranUraian Kegiatan 1991 -

19941991 -2003

2013-2014 2015 2016

Vaksinasi masaal Vasinasimassal

Monitoring zat kebal monitoringzat kebal

Surveilans awal SurveilanSurveilans : Evaluasidan pengusulan NusaPenida bebas SE

Pengumpulan data populasi ternak,data vasinasi, data kasus, hasilsurveilans

I. Persiapana) Rapat awal Persiapan pengumpulan data dasar

dan koordinasi dengandinas/pemdaPenyusunan program danpenandatanganan MOU

II. Pelaksanaan:a) pengambilan dan

pengujian sampelserum dan swab

2.158 sampel organ/swab dan4.012 sampel serum

b) Pencatatan danpengolahan data

Hasil uji sampel

c) Monitoring dansurveilans BBVet

Monitoringsurveilans

d) Pembelian bahandan Alat untukpengujian lab

Pembelian bahan dan Alat Pembelianbahan danAlat

III. Evaluasi:a) Analisis data dan

Rapat evaluasiPengusulan Nusa Penidabebas SE

b) Deklarasi Bebas Deklarasi

Page 67: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

61

Tabel 8. Tahapan Program Pemberantasan SE di Nusa Penida

Tahun 2015

BulanTahun 2016

Tahapan Kegiatan

Thn1991

-1994

Thn1991

-2003

Thn2013

–2014

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Vaksinasi Massal

Evaluasi &Monitoring

Pengumpulan datadasarPembuatan KAKSurveilans 2015Rakor awal

Pengambilansampel

Pengujian sampeldan analisa dataEvaluasi hasilsurveilans 2015Pembuatan laporan

Pengusulan bebas

Deklarasi bebas &Monitoring

Tabel 9. Instansi Yang Terlibat Dalam Surveilans SE di Nusa Penida

No Kegiatan Waktu Institusi yang terlibat KeteranganPersiapan -a. Rakor Awal Th 2015 - Ditjen PKH

- Disnak Prov. Bali- Disnak Klungkung- BB-Vet Dps- BKP Denpasar

b. Pengumpulan Data dasardan Pemetaan

Th 2014 &2015

- Disnak Kab. Klungkung- BB-Vet Dps

I

c. Pengadaan bahan & alatpengambilan sampel

Th 2015 &2016

- BB-Vet Dps

Pelaksanaana. Pengambilan & pengujianSampel

Th 2015 &2016

- Disnak Klungkung- BB-Vet Dps

b. Pencatatan danpengolahan data

Th 2015 &2016

- Disnak Klungkung- BB-Vet Dps

c. Monitoring & SurveilansBBV Dps

Th 2015 &2016

- Disnak Klungkung- BB-Vet Dps

II

d. Pembelian bahan & alatpengujian lab.

Th 2015 &2016

- BB-Vet Dps

Evaluasia. Analisis Data Th2015 &

2016- BB-Vet Dps

III

b. Rapat Evaluasi Th 2015 &2016

- DitjenPKH- Pemda Prov. Bali- Pemda Klungkung- BB-Vet Dps- BKP Denpasar

Page 68: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

62

HASIL SURVEILANS

1. Profille Antibodi SE di Nusa Penida

Tabel 4. Hasil monitoring antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015

Hasil pengujian sampel serumNo Waktu sampling Jumlah Positif % positif Keterangan

1 September 1991 116 92 77% Pre-vaksinasi missal

2 Maret 1992 106 94 87,3% Pasca-vaksinasi massal I

3 Januari 1994 208 174 83,6% Pasca-vaksinasi massal V

4 Maret 1994 105 101 96,2% Pasca-vaksinasi massal VI

5 Juli 1994 151 136 90,1% 4 bulan Pasca-vaksinasi massal VI

6 Desember 1996 156 2 1,3% 2 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

7 Desember 2002 108 5 13,9% 8 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

8 Juli 2003 640 37 5,8% 8,5 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

9 2012 103 0 0% 18 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

10 2014 148 0 0% 20 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

11 2015 4017 0 0% 21 tahun Pasca-vaksinasi massal VI

Tabel 4a. Profil Antibodi SE pada sapi di Nusa Penida 1991 – 2015

TahunPersentase

Antibodi Protektif Jumlah sampel1991 77.0 116

1992 87.3 106

1994 88.58 464

1996 1.3 156

2002 13.9 108

2003 5.8 640

2012 0.0 103

2014 0.0 148

2015 0.0 4017

Page 69: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

63

Gambar 1. Grafik antibodi SE di Nusa Penida tahun 1991 – 2015

Hasil uji spesimen tahun 2015 terhadap 4.017 spesimen serum hasilnya

ditemukan hanya 13 sampel positif antibodi SE dengan metode uji ELISA seperti

dalam Tabel 11, namun setelah dilanjutkan uji passive mouse protection test

semuanya negatif antibodi terhadap SE, sebagai hasil akhir maka disimpulkan

semua serum asal Nusa Penida tahun 2015 negatif antibodi terhadap SE.

2. Hasil Isolasi dan Identifikasi Pasteurella multocida

Di Nusa Penida tidak tersedia rumah potong hewan (RPH), sehingga sangat

sulit untuk menelusuri adanya pemotongan sapi disana. Sampel berupa swab

tenggorokan dari 150 ekor sapi telah diuji untuk isolasi dan identifikasi

Pasteurella multocida pada tahun 2003 di BBVet Denpasar, ternyata hasilnya

negatif. Pada tahun yang sama penelusuran ternak carrier Pasteurella

multocida juga diupayakan dengan pengambilan sampel jaringan kelenjar

retropharyngeal/tonsilar cryp dari 16 ekor sapi asal Nusa Penida yang dipotong

dalam percobaan/penelitian penyakit Jembrana di BB-Vet Denpasar, dan

hasilnya negatif Pasteurella multocida. Sampel swab tenggorokan kembali

diambil pada tahun 2012 sebanyak 103 sampel dan tahun 2014 sebanyak 148

sampel, ternyata hasilnya juga negatif Pasteurella multocida. Pada tahun 2015

sampel swab hidung/tenggorokan diambil sebanyak 4017 yang diambil dari

semua desa yang ada di Nusa Penida dari bulan April sampai dengan Oktober,

semuanya negatif Pasteurella multocida (Tabel 11).

Page 70: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

64

Tabel 11. Hasil Uji Sampel Serum dan Swab dari Nusa Penida Tahun 2015

Hasil Uji Antibodi SE

No Desa ELISA PMPT

Hasil UjiIsolasi & Identifikasi

Pasteurella multocidaJumlahSampel

JumlahPositif

Jumlahsampel

Jumlahpositif

Jumlahsampel

Jumlahpositif

1 Batu Kandik 277 0 10 0 277 02 Batu Madeg 272 10 20 0 272 03 Batu Nunggul 272 2 12 0 272 04 Bunga Mekar 275 0 10 0 275 05 Junggut Batu 155 0 10 0 155 06 Toya Pakeh 87 0 10 0 87 07 Klumpu 270 0 10 0 270 08 Kutampi 255 0 10 0 255 09 Kutampi Kaler 275 0 10 0 275 0

10 Lembongan 225 0 10 0 225 011 Ped 275 1 11 0 275 012 Pejukutan 284 0 10 0 284 013 Sakti 284 0 10 0 284 014 Sekartaji 270 0 10 0 270 015 Suana 269 0 10 0 269 016 Tanglad 272 0 10 0 272 0

Jumlah 4017 13 173 0 4017 0

3. Lalu lintas Ternak

Berdasarkan informasi dari Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan

Kabupaten Klungkung, diketahui bahwa tidak pernah ada pemasukan ternak

sapi, kerbau, maupun babi ke Nusa Penida. Di Nusa Penida tidak ada ternak

kerbau. Nusa Penida sebagai produsen ternak sapi untuk daerah disekitarnya di

Provinsi Bali atau hanya mengeluarkan.

4. Surveilans Klinis Terduga SE

Surveilans klinis terduga SE, dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel

di lapangan. Setiap ternak sapi yang berhasil dikumpulkan diamati secara klinis,

sesuai dengan gejala klinis yang sering ditimbulkan apabila sapi terserang SE.

Selama surveilans tidak ditemukan adanya ternak sapi yang menunjukkan gejala

klinis sakit yang diduga SE. Hal ini didukung dengan hasil isolasi dan identifikasi

Pasteurella multocida dari semua ternak yang dikumpulkan hasilnya negatif.

Page 71: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

65

a. Laporan Kasus SE di Nusa Penida

Kasus SE secara klinis di Nusa Penida terakhir dilaporkan pada tahun 1991,

pada seekor sapi, dan setelah kasus tersebut sampai sekarang (2015) tidak

pernah lagi dilaporkan adanya kasus SE baik secara klinis maupun laboratoris.

PEMBAHASAN

Septicaemia epizootica (SE) / haemorrhagic septicaemia (HS) atau sering

disebut penyakit ngorok, merupakan salah satu penyakit bakterial yang

disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu (di Indonesia atau

Asia disebabkan oleh type B2 atau 6B). Di Indonesia, penyakit ini bersifat

endemik dan acapkali menimbulkan wabah di beberapa wilayah, khususnya di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, wabah SE terakhir dilaporkan

terjadi di Kabupaten Lembata tahun 2014, dan merupakan salah satu penyakit

hewan menular yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar apabila

tidak ditanggulangi secara seksama. Kerugian ekonomi dapat timbul akibat dari

kehilangan tenaga kerja untuk menbajak sawah, kematian ternak, operasional

vaksinasi, pengobatan, pengadaan obat-obatan dan vaksin. Untuk menghindari

kerugian tersebut maka program pemberantasan SE di suatu wilayah, khusunya

Nusa Penida harus benar benar ditindak lanjuti.

Program pemberantasan SE di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

dilaksanakan sejak tahun 1977 untuk Pulau Lombok melalui program vaksinasi

massal, serentak, sistimatis dan berkesinambungan, dibarengi dengan program

surveilans dan monitoring yang ketat dan teroganisir. Keberhasilan program ini

kemudian menjadi acuan bagi daerah lainnya dalam menyusun program yang

sama untuk pemberantasan SE. Keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok

sangat menguntungkan, dimana upaya membebaskan suatu penyakit hewan

melalui pendekatan pulau lebih dapat dipertanggung jawabkan. Adanya barier

laut akan sangat memudahkan pengawasan terhadap lalu-lintas ternak, dalam

mencegah masuknya suatu penyakit hewan.

Page 72: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

66

Kunci keberhasilan dalam pengendalian dan pemberantasan SE adalah sistem

pelaporan yang cepat, metode diagnose yang cepat dan akurat, strategi

vaksinasi yang tepat, jenis vaksin yang digunakan, dan yang paling penting

adalah komitmen semua pihak untuk menciptakan koordinasi antar wilayah,

khususnya kabupaten/kota dalam menciptakan kondisi bahwa program

pembebasan ini adalah untuk kepentingan bersama.

Setelah keberhasilan pembebasan Pulau Lombok, program yang sama

dilanjutkan di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Program

vaksinasi massal dilakukan selama 3 tahun berturut-turut dengan interval 6

bulan sekali. Coverage vaksinasi massal SE di Nusa Peinda rata-rata diatas

90%. Program pembebasan SE sangat dipengaruhi oleh seberapa besar

coverage vaksinasi yang dicapai setiap kalinya hingga program tersebut selesai

dilaksanakan. Dengan coverage vaksinasi diatas 90% selama tiga tahun,

diharapkan herd immunity dapat mencapai >95%, artinya hampir semua ternak

peka mempunyai antibodi yang dapat melindunginya dari terjadinya infeksi, dan

tidak memberikan kesempatan bagi bakteri Pasteurella multocida untuk

berkembang dan akhirnya musnah.

Coverage vaksinasi massal yang dilakukan di Nusa Penida rata-rata pertahun

pada saat program pembebasan SE 1991-1994 mencapai 91,3% dari populasi

hewan peka dengan prevalensi kekebalan kelompok mencapai 96,2%. Dua

tahun setelah program, kekebalan kelompok ternak menjadi sangat rendah yaitu

1,3%, ini menunjukkan kelompok ternak disana menjadi sangat peka terhadap

serangan wabah. Tanpa alasan yang jelas vaksinasi kemudian dilanjutkan dari

tahun 1996 – 2001 dengan rata-rata coverage 14,4% pertahun, yang

menyebabkan terjadinya kenaikan kekebalan kelompok menjadi 13,9%. Sejak

tahun 2002 vaksinasi kemudian dihentikan, pada tahun 2003 prevalensi

menurun menjadi 5,8%. Hasil surveilans tahun 2012, 2014, dan 2015

menunjukkan bahwa semua sampel serum yang diuji negatif antibodi terhadap

SE. Prevalensi antibodi yang rendah ini menunjukkan bahwa ternak di Nusa

Penida sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya wabah SE (Putra, 2002).

Page 73: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

67

Surveilans untuk mengetahui status karier Pasteurella multocida pada sapi di

Nusa Penida pada tahun 2015 dilakukan dengan pengambilan sampel swab

tenggorokan / hidung. Sampel swab diambil dengan cara mengumpulkan ternak

dilokasi tertentu, dengan cara ini diasumsikan ternak yang disampling ada yang

mengalami stress akibat perjalanan dari kandang ke lokasi pengumpulan.

Pengambilan sampel dilakukan dari bulan April sampai November 2015, seperti

diketahui bahwa pada periode waktu tersebut merupakan musim kering, dimana

persediaan pakan ternak juga berkurang sehingga mempengaruhi daya tahan

tubuh ternak itu sendiri, apabila ternak tersebut membawa Pasteurella multocida

diharapkan sudah menuju ke tenggorokan dan berhasil diisolasi. Hasil peneliti

lain menyebutkan bahwa Pasteurella multocida berhasil diisolasi dari swab

hidung kuda di Aceh (Ilham.D.F. dkk., 2013). Hasil uji laboratorium terhadap

semua sampel swab lapangan dan organ sapi asal Nusa Penida yang diuji di

laboratorium tidak ada yang ditemukan mengandung Pasteurella multocida. Hal

ini membuktikan bahwa vaksinasi massal yang dilakukan pada hampir semua

populasi secara berkelanjutan selain memberikan kekebalan kelompok juga

dapat menghilangkan bakteri penyebab SE yang beredar di kelompok tersebut

(Putra, 2004).

Hasil surveilans dan monitoring kasus SE di Nusa Penida, sejak kasus terakhir

tahun 1991 hingga saat ini (kurang lebih 24 tahun) tidak pernah ditemukan atau

dilaporkan lagi adanya kejadian kasus SE di Nusa Penida. Pengamatan klinis

terhadap sapi-sapi yang dikumpulkan selama surveilans, tidak ditemukan

adanya gejala klinis yang mengarah ke SE. Sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan oleh Office International des Epizooties (OIE, 2010) maka Nusa

Penida sudah dapat diusulkan untuk dinyatakan sebagai wilayah bebas SE.

Selanjutnya untuk tetap dapat mempertahankan status bebas SE bagi Nusa

Penida, pengawasan lalu lintas ternak ke Nusa Penida harus diperketat serta

monitoring dan surveilans SE secara periodik masih tetap harus dilakukan.

Page 74: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

68

DAFTAR PUSTAKA

Afzal.M., Muneer.R.; and Akhtar.S. (1992). Serological evaluation of Pasteurella multocidaantigen associated with protection in buffalo calves. Rev.sci.tech.Off.int.Epiz.11.917-923.

Benkirane A. and De Alwis M.C.L. (2002). Haemorrhagic Septicaemia, Its Significance,Prevention and Control in Asia. Vet.Med-Czech.47(8): 234-240.

Direktorat Bina Kesehatan Hewan (1995), Kebijakan pemberantasan dan pengendalian penyakitngorok di Indonesia. Disampaikan pada rapat evaluasi pemberantasan penyakit SE diwilayah BPPH Wil.VI dan evaluasi proyek ACIAR, di Denpasr, tanggal 28 Agustus 1995.Hal.7.

Dartini.N.L. dan Ekaputra.I.G.M.A. (1996). Abatoir Survey For Isolation of Pasteurella multocidain The Eastern Region of Indonesia. International workshop on diagnosis and control ofHaemorrhgic Septicaemia. Hal. 23.

Dharma, D.M.N. dan Putra A.A.G. (1997) Penyidikan Penyakit Hewan, Hal 148-149.

Farooq U., Hussain M., Irshad H., Badar N., Munir R., and Ali Q. 2007. Status HaemorrhagicSepticaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan Vet.J. 27(2):67-72.

Jaglic Z., Kucerova Z., Nedbalcova K., Kulich P., and Alexa P. 2006. Characterisation ofPasteurella multocida Isolated from Rabbits in the Czech Replublic. VeterinarniMedicina.51(5):278-283.

Ilham Deskarifal Fitrah; Darmawi; dan Rasmaidar. (2013). Isolasi Pasteurella multocida PadaKuda dan Sensitifitasnya Terhadap Antibiotika. Jurnal Medika Veterinaria. 7.2.121-125.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

OIE, (2010). Haemorrhagic Septicaemia (Pasteurella multocida serotype 6:b and 6:e). TerrestrialAnimal Health Code. Chapter 11.10.Article 11.10.3. hal.1.

OIE, (2012). Haemorrhagic Septicaemia. Terrestrial Manual 2012. Chapter 2.4.12. hal. 1- 4.

Priadi A. dan Natalia L. (2000). Patogenesis Septicaemia Epizootica (SE) pada sapi/kerbau :gejala klinis, patologi, reisolasi, deteksi Pasteurella multocida dengan kultur danpolymerise chain reaction (PCR).J.Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol.5, No.1. hal.65.

Gde Kertayadnya; Ni Luh Dartini; dan A.A.Gde Putra (2003). Evaluasi pemberantasan penyakitSepticaemia Epizootika (SE) di Pulau Nusa Penida, Bali. Laporan Balai Penyidikan danPengujian Veteriner Regional VI Denpasar, Bali.

Sotoodehnia.A., Moazeni.G., Ataei.S., Omodi.B. (2005). Study on Immunity of an ExperimentalOil Adjuvant Haemarrhagic Septicaemia Vaccine in Cattle. Arch.Razi.Ins.59. 95-101.

Sudana I.G., Witono S., Soeharsono, Dharma D.N. dan Suendra I.N. (1982) Evaluasi II pilotproyek pembrantasan penyakit ngorok (haemorrhagic septicaemia) di pulau lombok.Laporan Balai Penyidikan Penyakit Hewan wilayah VI Denpasar.

Thrusfield W. (1995). Veterinary Epidemiology. second Edition. Hal.187-189.

Page 75: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

69

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA (TRYPANOSOMIASIS)DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2015

I Ketut Mastra, Ni Made Arsani, Ida Nurlatifah,I Made Gede Sutawijaya dan Yunanto

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans dan monitoring penyakit Surra (Trypanosomiasis) untuk mengetahuidistribusi dan prevalensi infeksi Trypanosoma evansi pada sapi, kerbau dan kuda di PropinsiBali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka deteksi dinidan upaya pencegahan serta pengendalian penyakit Surra yang lebih efektif

Sejumlah 1.902 sampel preparat ulas darah sapi, kerbau dan kuda dikoleksi secara acak terdiridari 591 di Provinsi Bali, 373 di NTB dan 938 sampel di NTT sejak bulan Januari – Desember2015. Seluruh sampel diperiksa secara mikroskopis terhadap infeksi Trypanosoma evansidengan teknik pewarnaan Giemza di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar VeterinerDenpasar

Hasil pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa distribusi dan prevalensi infeksi Trypanosomaevansi (Surra) di Bali, NTB dan NTT rata rata sebesar 0.06 % ( 6 dari 1.902 ) dengan variasitertinggi 0.8 % di Bali, kemudian 0.1 % di NTT dan terendah 0.0% di NTB. Hasil inimenunjukkan bahwa kejadian penyakit surra pada sapi,kerbau dan kuda di Bali,NTB dan NTTcendrung bersifat sporadis dan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit masih belumoptimal sehingga perlu lebih ditingkatkan pada Tahun 2016

Kata Kunci: Trypanosomiasis/Surra, sapi,kerbau,Kuda,Bali,NTB dan NTT

PENDAHULUAN

Trypanosomiasis merupakan penyakit arthropod borne pada berbagai jenis

ternak, disebabkan oleh Trypanosoma evansi (T.evansi). Sebaran parasit

protozoa T.evansi ini sangat luas. terutama di pulau Sumatera, Jawa,

Kalimantan,Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. Penyakit yang lebih

dikenal sebagai penyakit Surra ini dapat menyerang berbagai jenis hewan

ternak dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat bervariasi tergantung kepekaan

hewan dan faktor – faktor yang mempengaruhi. Hewan unta, kerbau dan kuda,

serta anjing sangat peka terhadap infeksi T. evansi, penyakit terjadi secara

cepat, bersifat akut dan berakibat fatal (Kageruka dan Merlvenne, 1991),

Sedangkan ternak ruminansia (sapi, kambing, domba, dan ruminansia lainnya)

relatif lebih tahan dari serangan penyakit. Penyakit pada umumnya berlangsung

Page 76: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

70

lebih lambat, bersifat kronis dan bahkan sub klinis tanpa menunjukan gejala

klinis. Akan tetapi penyakit dapat bersifat akut dan mewabah pada ternak

ruminansia tersebut ketika hewan mengalami stress, misalnya karena

dipekerjakan atau difungsikan terlampau berat, akibat kekurangan pakan/air,

dan faktor kondisi lingkungan yang kritis dan cuaca yang ekstrim (Soulsby,

1928).

Secara historis, sejak infeksi T. evansi pertama kali ditemukan oleh Grifit Evans

pada tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda lainnya di Distrik Dara Ismail

Khan, Punjab, India, dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda, unta dan

kerbau di beberapa wilayah di India. Oleh karena dampak yang ditimbulkan

wabah penyakit tersebut sangat fatal maka trypsnosomiasis sering disebut juga

penyakit Surra (Soulsby,1982) Selanjutnya pada akhir abad 19. dilaporkan telah

menyebar ke beberapa Negara, diantaranya Turkestan, Annam Selatan, Burma,

Malaysia, Philiphina, Indonesia (Jawa, dan Sumatra) dan di Vietnam mewabah

pada tahun 1978 sampai tahun 1980an.. Di Indonesia, penyakit Surra pertama

kali dilaporkan oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda di Semarang,

Provinsi Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 1898 terjadi wabah penyakit Surra

di Keresidenan Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang memakan korban sebanyak

500 ekor kerbau dari 7000 poulasi pada tahun 1900 – 1901 terjadi wabah

penyakit Surra pada sapi di Keresidenan Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.

Setelah itu, dalam kurun waktu 60 tahun penyakit berlangsung secara sporadis

dan dilaporkan berupa kasus berdasarkan pemeriksaan klinis. Akan tetapi pada

tahun 1968 – 1969 letupan wabah penyakit Surra menyerang sebanyak 516

ekor hewan ternak besar. terjadi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk

terjadi di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1971.

Kemudian pada tahun 1974 – 1976 terjadi peningkatan kasus Surra di Provinsi

Nusa Tenggara Barat. (Sukanto, I.P.et al. 1992). Kerugian ekonomi yang

ditimbulkan diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah setiap tahun akibat

kematian hewan ternak, kehilangan tenaga kerja, penurunan berat badan ternak,

abortus dan akibat gangguan reproduksi lainnya (Anonimus 1991)

Page 77: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

71

Provinsi Bali merupakan daerah pengembangan plasma nuftah sapi bali, Nusa

Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai daerah sejuta sapi/kerbau dan Nusa

Tenggara Timur (NTT) sebagai gudang ternak potong di wilayah Indonesia

Timur namun dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan populasi

ternak cenderung mengalami stagnasi rata-rata sekitar 5.4%. Sebagai salah

satu penyebab rendahnya peningkatan pertumbuhan produksi dan

reproduktivitas ternak tersebut diduga karena adanya gangguan oleh penyakit

hewan menular, diantaranya oleh trypanosomiasis yang dapat mengganggu

fertilitas ternak, abortus, dan kematian ternak. Kejadian penyakit Surra atau

trypanosomiasis di Provinsi Bali, NTB dan NTT pada umumnya cendrung terjadi

secara sporadis. Namun demikian, oleh karena mobilitas ternak di regional ini

sangat tinggi, maka perlu dilakukan Surveilans dan Monitoring Trypanosomiasis

(Surra) dengan cakupan desa / kecamatan yang lebih banyak agar memperoleh

informasi tentang prevalensi dan distribusinya pada sapi, kerbau dan kuda di

Provinsi Bali, NTB dan NTT yang lebih presentatif.

MATERI DAN METODA

Materi

Surveilans dan Monitoring dilakukan di Provinsi di 9 kabupatem /kota di Provinsi

Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung,

Karangasem, Buleleng, Jembrana dan Tabanan), di 6 kabupaten/Kota di

Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB (Kota Mataram, Kabupaten Lombok Timur

Kabupaten Bima, dan Sumbawa Barat) dan di 14 kabupaten/kota di Nusa

Tenggara Timur (Kota Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Ngada, Sumba

Barat Daya dan Belu).

Page 78: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

72

Selama survei yang dilakukan sejak bulan Januari sampai dengan November

2015 telah dikoleksi sejumlah sampel preparat ulas darah dari 1.864 ekor sapi,

kerbau dam kuda yang terdiri dari 553 ekor di Bali, 370 ekor di NTB dan 900

ekor di NTT. Selain sampel preparat ulas darah diperlukan bahan dan alat yaitu

berupa 3 liter methanol 10%, 1 botol ( 100 ml) Emersiol Oil, 1 liter larutan

pewarna Giemza, 2 buah bak kaca fiksasi, 2 buah bak kaca pewarna, 40 box

slide / objek glass, 1 buah mikroskope binokuler

Metoda

Seluruh (1.902) spesimen preparat ulas darah tersebut difiksasi dengan

methanol selama 10-15 menit. Setelah preparat dikeringkan, kemudian diwarnai

dengan larutan pewarana Giemza 10% selama 30 - 45 menit. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis menggunakan mikroskop binocular

di Laboratorium Parasitologi BBVet Denpasar.

HASIL

Hasil pemeriksaan 1.902 sampel preparat ulas darah sapi bali yang berasal dari

beberapa lokasi (kabupaten/kota) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB)

dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari sampai bulan

Desember 2015 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.

Tabel.1Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Lokasi JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma

Prevalensi( % )

BALI 591 586 5 0.8 %NTB 373 373 0 0.0 %NTT 938 937 1 0.1 %

TOTAL 1.902 1.796 6 0.3 %

Page 79: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

73

Tabel 2Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi di Provinsi Bali.

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma

Prevalensi(%)

Tabanan 30 30 0 0%

Buleleng 40 40 0 0%

Klungkung 31 31 0 0%Gianyar 21 21 0 0%Bangli 40 40 0 0%

Karangasem 48 48 0 0%Denpasar 35 35 0 0%Jembrana 306 301 5 1.6%

Badung 40 40 0 0%

Total 591 586 5 0.6%

Tabel. 3Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbau

di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma

Prevalensi(%)

Dompu 25 25 0 0

Bima 25 25 0 0

Sumbawa 241 241 0 0

Lombok Barat 32 32 0 0

Lombok Barat 25 25 0 0

Lombok Timur 25 25 0 0

TOTAL 373 373 0 0%

Page 80: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

74

Tabel. 4Distribusi Prevalensi Trypanosomiasis/Surra Pada Sapi /Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

NegatifTrypanosoma

PositifTrypanosoma

Prevalensi(%)

Sumba Timur 101 101 0 0Sumba Tengah 75 75 0 0Sumba Barat 68 68 0 0

Sumba Barat Daya 170 169 1 0.6Belu,Timor 86 86 0 0

Kupang 41 41 0 0Lembata 27 27 0 0Malaka 50 50 0 0

Nagekeo 25 25 0 0Rotendao 25 25 0 0

Sabu Timur 11 11 0 0Sikka 25 25 0 0TTS 119 119 0 0TTU 115 115 0 0

TOTAL 938 937 1 0,1%

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa kejadian tryipanosomiasis pada sapi

dan kerbau di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara

Timur. terjadi secara sporadis di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat dan

Nusa Tenggara Timur, Akan tetapi ternak yang positif terifeksi trypanosoma

tersebut tidak menunjukkan gejala klinis.Hal ini menujukkan bahwa sapi relatif

lebih tahan di bandingkan kuda, kerbau dan jenis sapi lainnya, termasuk sapi

brahman dan sapi Onggole Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan

oleh peneliti lain seperti Payne et al, (1991) yang menemukan kejadian kejadian

infeksi T.evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di

Indonesia, dengan derajat prevalensi pada kerbau lebih tinggi daripada sapi di

daerah pemeliharaan yang sama. Bervariasinya derajat ketahanan terhadap

trypanosomiasis, selain karena faktor genetik (genetic host) juga faktor kondisi

setiap individu hewan terutama terkait managemen pemeliharaan.

Page 81: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

75

Terbentuknya kekebalan atau antibodi oleh organ – organ pertahanan tubuh

hewan yang disekresi ke dalam sirkulasi darah merupakan pertanda yang khas

adanya respon kekebalan terhadap adanya infeksi T evansi (Luckins,1977).

Respon imun yang lebih baik terhadap infeksi T evansi pada kerbau dan sapi

menunjukkan bahwa ternak ruminansia besar tersebut relatif lebih tahan

terhadap serangan penyakit Surra. Kejadian penyakit pada umumnya

berlangsung kronis, sub klinis tanpa menunjukkan gejala klinis dan ternak

ruminansia penderita Surra sub klinis ini umumnya tidak mudah diagnosa

berdasarkan pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium dengan

metoda uji sederhana/natif sehingga kejadian penyakit cendrung terabaikan

tanpa mendapat penanganan. Apabila rata rata tingkat prevalensi 0.42% pada

kerbau dan kuda dikaitkan dengan populasi kerbau dan kuda di pulau Sumba

masing-masing 79.234 ekor dan 52.107 ekor, maka diasumsikan ada sekitar 750

ekor kerbau dan 229 ekor kuda yang diduga masih menderita sub klinis dan

klinis yang bertindak yang belum terdeteksi serta dapat bertindak sebagai

karier dan berpeluang sebagai sumber penularan penyakit Surra terhadap

ternak lainnya. Berdasarkan fakta tersebut diatas bahwa pada ternak kuda

tingkat prevalensi T.evansi sebesar 0.74% lebih tinggi daripada kerbau 0.64%.

Hal ini terjadi besar kemungkinannya karena faktor genetik. Respon imunnya

terhadap infeksi T evansi kurang baik sehingga kuda sangat rentan terhadap

serangan infeksi T evansi dan penyakit berlangsung cepat, perakut, akut dan

gejala klinis yang dapat diamati berupa demam tinggi intermiten, anemia,

edema, pincang karena paralisis dan lebih lanjut terlihat gejala syaraf berupa

gerakan berputar. Apabila tidak segera mendapat pengobatan yang tepat

biasanya berakhir dengan kematian.

Akan tetapi karena luasnya wilayah dan sebaran penyakit sangat dipengaruhi

oleh cara pemeliharaan ternak yang umumnya dipelihara secara tradisional dan

pada umumnya cara pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan secara

bersama-sama di areal pengembalaan,. di daerah persawahan sehabis panen ,

ladang – ladang pertanian yang terbuka yang hanya dibatasi oleh semak-

semak, sungai dan hutan masih banyak dijumpai di daerah ini sebagai tempat

berkumpul hewan ternak untuk merumput dan mencari air minum.

Page 82: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

76

Kondisi lingkungan seperti ini juga sangat digemari oleh lalat-latat pengisap

darah seperti Tabanus sp. Stomoxys sp. Lalat Tabanus sp, merupakan salah

satu vektor penularan secara mekanik penyakit Surra yang sangat potensial

pada hewan ternak (Soulsby, 1987). Secara epidemiologi menunjukkan bahwa

di wilayah ini peluang terjadinya interaksi yang intensif antara agen penyakit,

hewan peka dan vektor serta di dukung oleh kondisi lingkungan yang serasi

untuk terjadinya penularan penyakit secara alami.

Sementara itu, hasil survei berdasarkan daerah sampling menunjukkan bahwa

derajat prevalensi agen T, evansi berturut –turut di Bali, NTT dan NTB masing-

masing sebesar 0.6%, 0.1% dan 0.0.% (Tabel.1). Hasil tersebut

mengindikasikan bahwa kejadian infeksi T.evansi yang terjadi secara alami

pada ternak kerbau relatif lebih tinggi dari pada kuda dan ruminansia lainnya.

Secara klinis Sapi Bali dan Ongole relatif lebih tahan dibandingkan kerbau dan

kuda. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain

seperti Payne et al, (1991) yang menemukan kejadian – kejadian infeksi

T.evansi telah tersebar luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di

Indonesia, dengan derajat seroprevalensi pada kerbau lebih tinggi daripada sapi

di daerah pemeliharaan yang sama. Bervariasinya derajat ketahanan terhadap

trypanosomiasis selain karena faktor genetik (genetic host). juga faktor kondisi

setiap individu hewan terutama terkait managemen pemeliharaan..

Terbentuknya kekebalan atau antibodi oleh organ – organ pertahanan tubuh

hewan yang disekresi ke dalam sirkulasi darah merupakan pertanda yang khas

adanya respon imun terhadap adanya infeksi T evansi (Luckins,1977). Respon

imun yang lebih baik terhadap infeksi T evansi pada kerbau, sapi membuktikan

bahwa ternak ruminansia besar tersebut lebih tahan terhadap serangan

penyakit Surra, kejadian penyakit umumnya berlangsung kronis, tanpa

menunjukkan gejala klinis dan ternak ruminansia penderita Surra sub klinis ini

umumnya tidak mudah diagnosa berdasarkan pemeriksaan klinis maupun

pemeriksaan laboratorium dengan metoda uji sederhana sehingga kejadian

penyakit cendrung terabaikan tanpa mendapat penanganan.

Page 83: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

77

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan klinis penyakit Surra di lapangan dan

pemeriksaan laboratories dapat di simpulkan bahwa:

Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Trypanosoma evansi pada sapi,

kerbau dan kuda di Provinsi Bali, NTB, dan NTT rata-rata sekitar 0.3 %dengan prevalensi tertinggi 0,8 % di Bali, sedang 0.1% di NTTk, dan

terendah 0.0% di Kabupaten/Kota di NTB:

Melalui kegiatan Surveilan dan Monitoring penyakit Surra/Trypanosomiasis

kejadian penyakit cendrung berfluktuasi dan bersifat sporadis

Saran-Saran

Meskipun Trypanosomiasis /penyakit Surra di Provinsi Bali, NTB dan NTT

cendrung berfluktuasi dan bersifat sporadis, namun surveilan dan monitoring

serta upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Surra tetap senantiasa

perlu dilakukan secara berkelanjutan

Selain itu tetap meningkatkan pengawasan lalu lintas ternak antar pulau

maupun antar kabupaten

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan dan fasilitasi yang diberikan untuk melaksanakan

tugas surveilans ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sdr. drh Ni

Made Arsani, drh Ida Nurlatifah, I Gede Made Sutawijaya dan Yunanto A Md.

serta staf Medik dan Paramedik Balai Besar Veteriner lainnya yang telah

membantu dalam tindak pengujian serta pengambilan specimen dalam kegiatan

surveilans dan monitoring penyakit. Demikian juga kepada Kepala Dinas

Peternakan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur berserta staf atas koordinasi dan bantuannya selama kegiatan

ini dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian

Page 84: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

78

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus 1975. Usaha Pengendalian Penyakit Surra di Indonesia, Kertas Kerja Rapat KerjaDirektorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Anonimus, 2009. Statistik Peternakan Tahun 2009, Dinas Peternakan Provinsi Nusa TenggaraTimur, Kupang

Anonimus, 2012. Statistik Peternakan Tahun 2012, Dinas Peternakan Provinsi Nusa TenggaraTimur, Kupang

Damayanti R. 1993 The pathology of natural Trypanosoma evansi infection in the buffalo(Bubalus bubalis ), Penyakit Hewan ,1993 25; 34-39

Davidson,H.C,M.V.Thrusfield,S.Muharsini,A.Husein,S.Partoutomo,P.F.Rae, R. Masake and A.G.Luckins 1999. Evaluation of antigen and antibody detection tests forTrypanosomeevansi of buffaloes in Indonesia EpidemiolInfect.149-155, Cambridge, United Kingdom

Ismu Prastyawati,S. R.C. Payne dan R. Graydon. 1992 Survei Parasitologik dan SerologikTrypanosomiasis di Madura. Proseding Seminar Hasil Penelitian Parasit Darah PadaRuminansia Besar di Indonesia,Balitvet, Bogor.

Levine, 1973. Protozoa Parasites of Domestic Animal and Man 2nd ed Burger PublishingCompany, Minnepolis, Philadelphia.

Luckins, AG 1983. Development Serological Assay for Studies on Trypanomiasis of Livestockin Indonesia. Bakitwan Project report, RIVS, Bogor.

Nantulya, VM. Trypanosomiasis in domestic animals; the problem of diagnosis. Rev. Scui Tech.1990 9:357-367.

Soulsby, 1982 Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated animals 7th ed Lea andFebiger, Philadelphia.

Wilson AJ. Some bservation on the epidemiology of the animal trypanosomiasis withparticular reference to T.evansi, In: Cambells RSF,ed, A course manual in veterinaryepidemiology, Cambera, Australia University International Development Programme.1983: 201-210

Woo, P.T.K. 1970 Evaluetion of the Haematocrite Centrifuge and other Techniques fos FieldDiagnostic of Human Trypanosomiasis and Filariasis, can J. Zool 47, 921-923.

Page 85: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

79

SURVEILAN DAN MONITORING PARASIT GASTRO INTESTINAL DIPROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR

TAHUN 2015

(I Ketut Mastra, Ni Made Arsani, Ida Nurlatifah, I Made Sutawijaya dan Yunanto)

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Telah dilakukan surveilans dan monitoring Parasit Gastro-Intestinal (PGI) untuk mengetahuiprevalensi infeksi parasit gastrointestinal pada ternak sapi dan kerbau di Propinsi Bali, NusaTenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka pencegahan danpengendalian parasit gastrointestinal secara efektif dan efisien.

Sejumlah spesimen feses dikoleksi dari 1.463 ekor ternak sapi dan kerbau di Provinsi Bali,NTBdan NTTdiambil secara acak sejak bulan Januari – November 2015. Seluruh sampel diperiksaterhadap infestasi parasit gastrointestinal dengan teknik Uji Apung (Floatasi) dan Uji Endapan(Sedimentasi) di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner Denpasar

Hasil pemeriksaanterhadap 1.463 sampel feses sapi dan kerbau menunjukkan bahwa tingkatprevalensi parasit gastrointestinal di Bali, NTB dan NTT rata rata sebesar 37.4% ( 547 dari 1.463) dengan variasi tertinggi 44.6% di NTB, kemudian 41.5% di Bali dan terendah 22.6% di NTT,.diantranya terinfeksi oleh parasit gastrointestinal jenis trematoda (Paramphistomum sp danFasciola sp.), Nematoda (Mecistocirrus spp, Ostertagia spp, Cooperia spp, Chabertia spp.Toxocara spp. Oesophagustomum spp Trichostrongylus spp.dan Strongyloides spp) danCoccidia (Eimeria spp).dengan prevalensi masing-masing berkisar antara 0.04%- 53.3%;; 2.9%- 51.9% and 6.8% - 19.8% dengan intensitas infestasi masing-masing klas Trematoda darigenus Parampistomum sp. berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( eggper gram feses,epg) dan dari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari KlasCocsidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja. Akan tetapi selamasurveilans, tidak ditemukan telur cacing dari klas Cestoda.

Kata Kunci: Parasit Gastrointestinal, Sapi dan kerbau, Propinsi Bali,NTB dan NTT

PENDAHULUAN

Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi hasil domestikasi dari Banteng

(Bossondaicus) yang memiliki potensi internal sebagai plasma nutfah dan dapat

diandalkan sebagai primadona ternak sapi potong untuk menunjang

pembangunan peternakan di Indonesia di masa akan datang sehingga

kebijakan tentang pemulia biakan sapi bali sangat diperlukan (Sastradipraja,

1990). Sejak lama sapi asli pulau Bali ini sudah menyebar ke seluruh

Indonesia dan perkembangannya sangat cepat dibanding dengan sapi potong

lainnya. Sapi bali lebih diminati oleh peternak karena beberapa keunggulannya

Page 86: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

80

antara lain: tingkat kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik, cepat

beradaptasi, lebih tahan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik dan

efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi,(Pane, 1990)

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)

adalah salah satu wilayah penghasil ternak sapi bali yang potensial di Wilayah

Indonesia Timur. Populasi sapi bali saat ini ditaksir 4.8 juta ekor, sekitar 32.4%

dari populasi sapi potong di Indonesia sebanyak 14,6 juta. (Anonimus, 2008b).

Dan sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali,NTB dan NTT

dengan tingkat pertumbuhan 2,13.% (Anon 2009). Akan tetapi dalam beberapa

tahun terakhir tingkat pertumbuhan populasi ternak sapi bali cendrung

mengalami stagnasi. Selain dipicu oleh factor eksternal bahwa selama ini

permintaan sapi lokal meningkat seiring meningkatnya kebutuhan daging dalam

negeri dan mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi bali hidup

dikirim ke kota- kota besar di pulau Jawa sering terlihat belakangan ini.

Sedikitnya 275.000 ekor sapi bali setiap tahunnya ditransportasikan dari Provinsi

Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tengara Timur (NTT). Juga karena

faktor internal yaitu menurunnya produksi dan reproduktivitas ternak karena

adanya gangguan penyakit hewan menular (PHM) bersifat infeksius maupun

non infeksius, termasuk infeksi parasit gastro-intestinal (PGI)..Beberapa peneliti

terdahulu melaporkan bahwa PGI seperti ascariasis dan koksidiosis umumnya

pada pedet umur dibawah 6 bulan. Menurut . Gunawan dan Putra (1981) bahwa

prevalensi infeksi oleh Toxocara vitulorum / ascariasis pada pedet di Bali

mencapai 75%

sedangkan pada ternak sapi muda rentan terhadap berbagai penyakit infeksi

parasit gastrointestinal (PGI) lainnya seperti helmithiasis, pada umumnya

dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, diare, anemia, ikterus dan pada kasus

yang berat terjadi kematian.( Soulsby,1982,Purwanta dkk.(2006)

Penelitian tentang infeksi PGI pada sapi muda –dewasa telah dilaporkan oleh

beberapa peneliti terdahulu. melaporkan bahwa prevalensi cacing trematoda

Fasciola gigantica pada sapi di Indonesia mencapai 10-80%.(Estuningsih.2004).

Kemudian Mastra (2006) melaporkan seroprevalensi F.gigantica (Fasciolosis)

pada sapi di Bali berkisar 22.3%-72.5.% ,.dan lebih banyak ditemukan pada sapi

Page 87: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

81

muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari anoreksia, konsitpasi, diare,

anemia, ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian.(Purwanta

dkk.(2006) Sebaliknya pada pedet umur dibawah 6 bulan lebih sering diinfeksi

oleh Toxocara vitulorum dengan prevalensi mencapai 75% ( Gunawan dan

Putra .1981) Kemudian dengan semakin meningkatnya pemahaman dan

kemampuan peternak dalam tata laksana dan kesehtan hewan secara

berangsur ansur semakin menurun prevalensi Toxocara vitulorum rata-rata 1.3

% (Mastra, 2013) Demikian juga menurut Soulsby (1982) bahwa pada sapi-sapi

umur muda sangat rentan terhadap infeksi Eimeria sp (koksidiosis), dengan

gejala klinis diare berdarah, dihidrasi, kurus,, lemah dan terjadi kematian

apabila tidak mengdapat penanganan yang baik.. Dalam rangka percepatan

keberhasilan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDS/K) tentu

saja diperlukan adanya upaya upaya peningkatan populasi dan perbaikan

produktivitas ternak sapi, dalam rangka mendukung penyediaan daging bagi

tercapainya swasembada daging sapi (PSDS).

MATERI DAN METODE

SampelSampel tinja sapi diambil dari 1.463 ekor sapi dan kerbau umur 6 bulan sampai

dengan 10 tahun yang berasal dari berbagai desa,kecamatan dan kabupaten di

Propinsi Bali,NTB dan NTT.

BahanSelain sampel tinja/ feses dalam surveilan dan monitoring ini juga diperlukan

bahan antara lain : garam jenuh, methyline blue 1%.

AlatPeralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat universal

Whitlock yaitu; syringe 10 ml, silinder pencampur 100 ml, alt pengaduk tinja,

tabung penyaring,dengan ukuran saringan besar (untuk Uji Apung) , tabung

pompa penyaring khusus dengan saringan kecil (untuk Uji Sedeimentasi), pipet

Pasteur, slide kamar penghitung telur cacing,ookista koksidia , cawan (conical

Page 88: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

82

flask) sedimentasi dan alat penahan larutan tinja(plug), serta mikroskop ( electric

binukuler microscope).

Pemeriksaan Telur cacing nematoda dilakukan dengan teknik uji Floatasi

Ke dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 7 ml,

ditambahkan 3 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam

silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada

dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata dengan

menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja

tercampu merata lalu tabung penyaring dimasukan ke dalan silinder

pencampur.Larutan tinja yang telah tersaring lalu diambil dengan menggunakan

dengan pipet Pasteur. Larutan tinja yang berada dalam pipet dimasukkan ke

dalam kamar penghitung telur cacing. Tabung penyaring diaduk pada setiap

pengisian kamar penghitung telur cacing. Alat penghitung telur Universal

(Universal slidecounting chamber) berisi 4 kamar dan setiap kamar menampung

0.5 ml larutan. Setiap kamar berisi 5 garis/strip vertical dan setiap kolom memiliki

volume 0.1 ml. Dalam penghitungan telur cacing dapat dipergunakan kamar atau

strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya. (berat, sedang, atau ringan).

Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja menggunakan angka

pengenceran 1: 20 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja, sehingga jumlah

teluryang ditemukan dikalikan dengan factor 40 ( Whitlock et al.1980)

Pemeriksaan Telur cacing trematoda dilakukan dengan teknik ujiSedimentasi

Ke dalam syrine pengukur yang berukur 10 ml yang telah diisi air 9 ml,

ditambahkan 1 gram tinja. Seluruh isi syrine kemudian dimasukkan ke dalam

silinder pencampur yang berisi 50 ml. larutan garam jenuh. Tinja yang berada

dalam silinder pencampur diaduk sampai tercampur merata dengan

menggerakkan alat pengaduk secara pelan pelan naik turun. Setelah tinja

tercampur merata lalu tabung penyaring khusus dimasukan ke dalan silinder

pencampur sampai batas leher silinder. Cawan (flask) sedimentasi ditaruh dalm

posisi terbalik diatas tabung penyaring khusus. Selanjutnya cawan (flask)

Page 89: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

83

sedimentasi dipegang/ditekan dengan kedua tangan dan dibalik menghadap ke

atas. Tabung penyaring khusus dipegang di dalam cawan (flask) sedimentasi.

Kemudian ditambahkan dengan 50.ml air ke dalam cawan (flask) sedimentasi

yang telah berisi larutan tinja dan endapkan selama 6 menit. Selanjutnya,

dimasukkan secara pelan pelan plug ke dalam cawan (flask) sedimentasi.

Pegang plug kuat kuat dan balikkan (flask) sedimentasi sehingga cairan

supernatant terbuang. Tambahkan 50 ml air bersih ke endapan dalam cawan

(flask) sedimentasi, aduk dengan baik dan kemudian endapkan kembali selkama

6 menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan

pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan

(flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan

larutan tinja sebanyak 5 ml. Air bersih sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam

endapan, diaduk dengan baik dan kemudian diendapkan kembali selama 6

menit. Selanjutnya alat penahan (plug) larutan tinja dimasukkan secara pelan

pelan ke dalam cawan (flask) sedimentasi. Pegang plug kuat kuat dan balikkan

(flask) sedimentasi sehingga cairan supernatant terbuang dan sisa endapan

sebanyak 5 ml. Kemudian endapan tersebut ditambahkan 2 tetes larutan

methylene blue 1% dan diaduk hingga merata dengan pipet, lalu larutan tersebut

segera diisap dengan pipet Pasteur dan masukan ke dalam slide alat penghitung

telur. Telur diidentifikasi dan jumlah telur cacing dihitung.di bawah mikroskop

dengan pembesaran lemah (40x). Telur cacing Fasciola sp. akan terlihat coklat

keemasan dan telur Parampistomum sp. terlihat bening /terang. ng. Tabung

penyaring diaduk pada setiap pengisian kamar penghitung telur cacing.

Universal (Universal slide counting chamber) Dalam penghitungan telur cacing

dapat dipergunakan kamar atau strip tergantung pada derajat infeksi parasitnya.

(berat, sedang, atau ringan). Penghitungan jumlah telur cacing per gram tinja

menggunakan angka pengenceran 1:5 dan menggunakan 0.5 ml larutan tinja,

sehingga jumlah telur yang ditemukan dikalikan dengan factor 10 ( Whitlock et

al.1980)

Page 90: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

84

HASIL

Hasil pemeriksaan sampel feses 1.463 ekor sapi bali dan kerbau yang berasal

dari beberapa lokasi (desa,kecamatan) di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

(NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disurvei dari bulan Januari

sampai bulan November 2015 dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.

Berdasarkan hasil uji Floatasi dan Sedimentasi sampel feses menurut

Whthlock.(1980) menunjukkan bahwa sapi bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT

secara umum terinfestasi oleh parasit gastrointestinal dengan rata-rata

prevalensi 37.4% ( 547 dari 1.463 ) yang terdiri dari jenis Trematoda 26.1%

( Fasciola spp. dan Paramphistomum spp ), Nematoda 14.7% yang terdiri dari

genus Toxocara spp, Mecistocirrus spp Oesophagustomum spp, Ostertagia spp,

Cooperia spp, dan Trichostrongylus spp. dengan prevalensi masing-masing

berkisar antara 1.6%- 80.4%; 3.7% - 27.7 %; dan 1.4% - 5.5% dengan

intensitas infeksi berturut turut berkisar antara 10 -60 epg dan 10-200 epg.; 40-

1560 epg dan 400-10.200

Intensitas infeksi masing-masing dari Trematoda terdiri dari genus Fasciola spp.

dan Paramphistomum spp., berkisar 10-50. per gram tinja ( egg per gram

feses,epg). dan 10-30epg serta dari Nematoda berkisar 40- 1.560 epg.

Sedangkan dari Coccidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1,080 opg (oocyte per gram

) tinja. Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan infeksi cacing dari jenis

Cestoda.

Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi telur menurut Thienpon et

al.(1979), teridentifikasi dari klas Trematoda terdiri dari genus Paramphistomum

sp dan Fasciola sp. Dari klas Nematoda terdiri dari genus Strongyloides

sp.,Trichostrongylus sp., Oesophagustomum sp., Meccistosirus sp., Cooperia

sp., Oestargia sp., Chabertia sp., dan Toxocara sp., dan Klas Coccidia

(protozoa) dari genus Eimeria sp. yang menginfeksi saluran pencernaan sapi

bali di Propinsi Bali, NTB dan NTT

Page 91: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

85

Intensitas infeksi masing-masing klas Trematoda dari genus Parampistomum sp.

berkisar 10-200, dan Fasciola sp. 10-60 telur. per gram tinja ( egg per gram

feses,epg) dan dari klas Nematoda dan berkisar 40- 800 epg.Sedangkan dari

Klas Cocsidia (Eimeria sp.) berkisar 40 – 1040 opg (oocyte per gram ) tinja.

Akan tetapi selama surveilans, tidak ditemukan telur cacing dari klas Cestoda.

Tabel.1Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Balidi Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

Prevalensi PGI( % )

BALI 603 145 (26.4%) 111(13.3%) 45 (9.8%) 301 (41.5.%)

NTB 395 41(12.5.%) 25(16.6%) 19(8.6.%)

129(44.6%)

NTT 465 10 (1.5%) 80 (17.2%) 31(3.2%) 121(26..2%)

TOTAL 1.463 202 (%) 233 (%) 94 (%) 547 (37.4%)

Tabel 2Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali

di Kabupaten Kota Propinsi Bali

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

Prevalensi PGI( % )

Tabanan 85 31 (41.6%) 10 (1.05%) 7 (6.8%) 48 (41.6%)Buleleng 35 1 ( 20.2%) 14(22.9%) 3 (11.0%) 18 (22.9%)

Klungkung 68 37 ( 29.6%) 10 (9.5%) 11 (5.3%) 58 ( 29.6%)

Gianyar 91 16 (60.4% ) 12 (28.1%) 4 (15.1%) 32 (60.4% )Bangli 80 16 (9.3% ) 20 (19.2%) 5 (18.1%) 41 (19.2%)

Karangasem 41 1 (19.6% ) 8 (9.1%) 0 (17.9%) 9 (19.6% )

Denpasar 38 14 (23.1% ) 0 (15.4%) 0 (0.0%) 14 (23.1% )Jembrana 87 16 (28.9%) 29 (12.7%) 2 (5.2%) 47 (28.9%)

Badung 78 13 (8.7% ) 8 (8.7%) 13 (6.4%) 34 (8.7%)Total 603 145

(26.4%)111(13.3) 45 (9.8%) 301 (41.5.%)

Page 92: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

86

Tabel.3Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi

di Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI ( % )

Bima 25 0(0.0.%) 2(8.0.%) 0(10.0.%) 2(8.0.%)

Dompu 27 3 (11,11%) 6(22.2.%) 1(3.7%) 10(37.03%)Sumbawa 25 0(0.0.%) 6(24.1.%) 0(0’0.%) 6(24.1%)

Lombok Barat 133 11(8.27.%) 11(8.27.%) 5(3.75.%) 20.(20.3.%)Lombok Tengah 100 11(11.0.%) 3(3.0.%) 1(1.0.%) 15(15.0.%)Lombok Timur 21 6(28.6.%) 2(9.5.%) 0(0.0.%) 8(38.1%)Lombok Utara 28 7(25.0.%) 6(21.4.%) 6(21.4.%) 29(67.8.%)

TOTAL 395 41(11.9.%) 42(10,6.%) 18(4.6.%)

129(44.6%)

Tabel.4Distribusi Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi

di Kabupaten/Kota, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Kabupaten/Kota

JumlahSampel

PositifTrematoda

PositifNematoda

PositifCoccidia

PrevalensiPGI ( % )

Kupang 7 0 (0.%) 1 (10.0%) 0 (0.%) 1(10.0%)Sabu Lane 6 0 (0.%) 1 (10.0%) 4(0.%) 5(10.0%)

TimorTengahSelatan

26 0 (0.%) 8 (0.%) 0 (0.%) 8(0.0%)

TimorTengahUtara

27 1 (0.%) 3 (0.%) 0 (0.%) 3(0.%)

Kota Kupang 191 4 (0.%) 43(26.9%) 17 (7.6.%) 64 (26.6.%)

Malaka 54 0 (0.%) 3 (0.%) 0 (0.%) 3 (0.%)

Nagekeo 27 5 (1.9.%) 1(12.7%) 0 (0.9%) 6 (12.7.%)

Sabu Raijua 11 0 (0.%) 7(18.5%) 3 (2.7.%) 10(18.5.%)

Sabu Timur 10 0 (2.7.%) 0(27.3%) 6 (3.6.%) 6 (27.3%)

Sikka 26 0 (0.%) 3 (0.%) 1 (0.%) 4 (0.%)

Total 465 10(1.9%) 80(15.7%) 31(2.2%) 121 (29.4%)

Page 93: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

87

PEMBAHASAN

Hasil pengujian terhadap 2.495 sampel tinja sapi bali di Propinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa 958 (38.4%)

positif terinfeksi oleh parasit gastrointestinal dan 1537 (63.6%) diantaranya

negatif. Setelah dilakukan identifikasi berdasarkan morfologi dan penghitungan

telur ditemukan cacing trematoda terdiri atas genus Paramphistomum spp.,

Fasciola spp. dengan prevalensi 21.6% dan cacing nematoda terdiri atas genus

Mecistoccirus spp., Ostertagia spp,Trichotrongylus spp. Meccistosirus sp.

Cooperia sp. Oesophagustomum sp dan Tococara spp. prevalenisnya 15.5%

Serta Coccidia dari genus Eimeria spp 9.6% dengan variasi distribusi prevalensi

di daerah survey, yaitu tertinggi di NTB sebesar 44.6% diikut di Propinsi Bali

41.5.%, dan terendah 29.4% di NTT.

Berbagai jenis parasit gastrointestinal yang dapat menginfeksi ruminansia

tersebar secara kosmopolitan, kecuali jenis-jenis tertentu hanya ditemukan pada

suatu wilayah geografis tertentu. Kejadian parasit gastrointestinal pada sapi

dengan kepentingannya secara ekonomis sangat dipengaruhi oleh lokasi

geografis dan iklim serta musim sepanjang tahun. (Anonim 2008b)

Seperti halnya komposisi jenis-jenis parasit pada hasil penelitian ini juga

ditemukan mirip dengan penelitian lain yang terjadi pada ternak ruminansia di

daerah yang berbeda Intensitas infeksi berdasarkan perhitungan jumlah telur

cacing ( eggs per gram faeses, epg ) dari Trematoda adalah tergolong ringan

sampai sedang. Menurut acuan bahwa 10-20 epg ringan, >20- 60 epg sedang

dan > 60 berat, sedangkan Nematoda, Cestoda dan Coccidia 40-500 epg.

ringan, 500-1000 epg sedang dan > 1000 berat ( Whitlock,1980). Pada surveilan

dan monitoring ini intensitas infeksi oleh Trematoda, dan Nematoda tergolong

infeksi ringan – sedang, khususnya beberapa pedet/sapi muda ditemukan

infestasi Toxocara (Neoascaris vitulorum) dan infeksi Eimeria spp (Coccidia)

dengan intensitas infeksi sedang–berat yaitu pedet umur < 6 bulan masing asal

Kabupaten Jembrana, Bali dan Bima, NTB.

Page 94: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

88

Hal ini disebabkan di beberapa lokasi peternakan sapi di pedesaan, khususnya

program pengendalian parasit gastrointestinal, perbaikan managemen

pemeliharaan dan pemberian obat cacing/antelmentik ataupun anti coccidia

tidak dilakukan secara periodik Selain karena keterbatasan pengetahuan

peternak tentang penyakit, harga obat cukup mahal dan susah didapat,

sehingga pada infeksi yang intensitasnya sedang sampai berat, apabila tidak

dilakukan pengobatan secara periodik dan penanganan yang baik sering terjadi

kematian ternak. khususnya pada pedet. Admadilaga (1975) pernah

melaporkan bahwa angka kematian pedet sapi Bali sebesar 10–80%,

sedangkan Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh

kematian pedet sebesar 7,3%, terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari

populasi. Kemudian hasil survei pendahuluan Gunawan dan Anak Agung Gde

Putra (1982) bahwa prevalensi infestasi Neoascaris vitulorum (ascariasis)

tertinggi 75 % pada pedet umur 3-4 minggu kemudian menurun 55.5% terjadi

pada pedet berumur 5-6 bulan

Pada kasus- kasus infeksi kronis ringan yang berulang pada sapi dalam kurun

waktu tertentu di dalam tubuh akan terbentuk pertahanan berupa zat kebal atau

antibodi terhadap parasit sehingga pada infeksi berikut intensitasnya cendrung

berkurang. Namun demikian, pada infeksi yang intensitasnya sedang sampai

berat, apabila tidak dilakukan pengobatan secara periodik dan penanganan

yang baik akan terjadi kerugian ekonomi akibat penurunan produkstivitas dan

kematian ternak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil surveilan dan monitoring parasitgastrointestinal di Provinsi

Bali,NTB dan NTT Tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa

1. Tingkat prevalensi parasit gastrointestinal (PGI) di Bali,NTB dan NTT rata

rata sebesar 38.4% dengan variasi tertinggi 44.6% di NTB, kemudian

41.5% di Bali dan terendah 29.4% di NTT

Page 95: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

89

2. Ada tiga jenis Parasit Gastrointestinal yang menginfeksi sapi bali di

Propinsi Bali, NTB dan NTT yaitu: cacing Trematoda, Nematoda dan

Coccidia. Dari trematoda ditemukan genus Paramphistomum sp dan

Fasciola sp. dengan prevalensi 21.6%. Dari Nematoda terdiri atas genus

Toxocara spp, Mecistoccirus spp., Ostertagia spp, Trichotrongylus spp..

Cooperia spp. Oesophagustomum spp. dan Monieza spp prevalenisnya

13.3%, sedangkan dari Protozoa genus Eimeria spp. 9.6%.

3. Intensitas infeksi dari genus Paramphistomum sp 10-200 dan Fasciola sp.

10-60 epg dan genus strongylus 40-800 epg sedangkan dari genus Emeria

sp 40-1040 opg.

Saran –Saran

1. Untuk mengendalikan inpeksi parasit gastrointestinal pada sapi di Bali, NTB

dan NTT disarankan penggunaan obat cacing khusus untuk Toxocara/

ascariasis pada pedet dengan piperasin, sedangkan untuk cacing

trematoda dan nematoda, gunakan antelmintik berspektrum luas antara lain

albendazole, febendazole. Serta pengobatan terhadap coccidia (Emeria.)

menggunakan preparat sulfa sesuai dosis anjuran

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak ekonomi yang

ditimbulkan oleh infeksi parasit gastrointestinal pada sapi / kerbau

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Besar

Veteriner Denpasar, atas tugas dan fasilitas yang diberikan untuk melakukan

penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. drh. Ni Made

Arsani, Ida Nurlatifah, I Made Gede Sutawijaya dan Yunanto yang telah

membantu dalam persiapan dan tindak pengujian di Laboratorium Parasitologi,

Balai Besar Veteriner Denpasar.

Page 96: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

90

DAFTAR PUSTAKA

Admadilaga, 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternak dalam SistemPembangunan Peternakan. Work Shop Purna Sarjana Ekonomi Peternakan. F.E.Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Anonimus, 2008. Statistik Data Populasi Ternak , Direktorat Kesehatan Hewan, DirektoratJenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Anonimus .2008b.The epidemiology of helminth parasites.http://www.ilri.org/InfoServ/Webpub/Fulldocs /X5492e/x5492e04.htm[07 Juni 2008].

Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner, Volume 9 Nomor 1 hal.55-60

Gunawan M. (1984) Pengaruh Pengobatan Neoascari Vitulorum dengan Piperazin Citrat padapedet Sapi Bali di Provinsi Bali. Bulletin Veteriner. Balai Penyidikan Penyakit HewanWilayah VI Denpasar, Ed. Mei, Vol. 1 No. 5

Pane, I. (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Proc. Seminar sapiBali,Univ.Udayana, Denpasar

Purwanta, Ismaya NRP, & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2): 63-69..

Mastra. I K. (2012) Sebaran infeksi Parasit Gastrointestinal pada sapi bali di Provinsi Bali,NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Tahun 2012, Buletin Veteriner InformasiKesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Veteriner Vol. XX VI Juni 2013 ISSN :0854 901 X

Sastradipraja,D. (1990) Potensi Int ernal Sapi Bali sebagai salah satu sumberPlasma Nutfahunutk menunjang Pembangunan Peternakan Sapi Potong dan ternak Kerja secaraNasional. Proc. Seminar sapi Bali,Univ.Udayana, Denpasar.

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods,and Protozoa of Domesticated Animals. 7th.edP.51, 52

Thienpont, D., F. Rochette,O.F.J. Vanparijs(1979) Diagnosing Helminthiasis TroughCoprological Examination , Janssen Research Foundation

Whitlock, et al (1980), Universal Egg Counting Technique , Veterinary Parasitolog, 7: 215

Page 97: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

91

ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2015

I. K. E. Supartika, I. K. Wirata, I. G. A. J. Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy (BSE) di wilayah kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar telah dilakukan pada tahun anggaran 2015. Kegiatan ini dilakukan dirumah potong hewan (RPH) yang ada di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanyapenyakit BSE pada sapi Bali serta menganalisa kemungkinan masuknya BSE ke wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar sebagai tindakan kewaspadaan dini terhadap kemungkinanmasuknya BSE ke wilayah kerja BBVet Denpasar khususnya dan Indonesia pada umumnya.Hasil wawancara dengan peternak dan staf dinas peternakan serta pemeriksan histopatologi683 sampel medula oblongata sapi yang dipotong di RPH yang ada di kabupaten/kota diProvinsi Bali, NTB dan NTT tidak ada indikasi peternak sapi memberikan pakan unggaskomersiil yang diduga mengandung meat bone meal (MBM), limbah hotel/restoran untukdiberikan kepada ternak sapi. Secara histopatologis semua sampel medulla oblongata negatifBSE, ditandai dengan tidak ditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrositataupun plak amyloid. Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali, NTB dan NTTmasih bebas dari BSE.

Kata kunci: BSE, histopatologi, surveilans.

PENDAHULUAN1. Latar Belakang

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi Porpinsi Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah tujuan wisata

banyak mengimpor daging sapi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan

hotel berbintang. Penggunaan limbah hotel sebagai pakan ternak merupakan

sumber potensial penularan penyakit sapi gila/bovine spongiform

encephalophaty (BSE). Disamping itu, intensifikasi pemeliharaan ternak oleh

masyarakat berdampak pada peningkatan penggunaan konsentrat atau pakan

jadi sebagai pakan ternak. Walaupun belum bisa dibuktikan bahwa konsentrat

atau pakan jadi untuk ternak mempergunakan meat bone meal (MBM) sebagai

bahan baku, akan tetapi tidak ada jaminan pula bahwa pakan / konsentrat

tersebut tidak mempergunakan MBM hasil importasi.

Page 98: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

92

Balai Besar Veteriner Denpasar selama beberapa tahun telah melakukan

surveilan BSE dengan hasil tidak ditemukan adanya indikasi BSE di wilayah

kerja, namun demikian dalam rangka melaksanakan PERMENTAN Nomor.

367/Kpts/T N.530/12/2002, tentang Pernyataan Negara Indonesia Tetap Bebas

Dari Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), maka dipandang

perlu untuk melakukan kegiatan monitoring patologi penyakit BSE di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara terstruktur dan

berkesinambungan.

2. Rumusan Masalah.

a. Penyakit BSE merupakan penyakit zoonosis, keberadaannya di wilayah

kerja BBVet Denpasar perlu dipatau dan dimonitoring agar penyakit ini

tidak masuk ke Indonesia pada umumnya dan wilayah kerja BBVet

Denpasar pada khususnya.

b. Penggunaan limbah hotel dan pakan jadi/konsentrat sebagai pakan ternak

juga perlu dipantau karena merupakan sumber potensial penularan

penyakit BSE.

3. Tujuan Kegiatan

Kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015

dilaksanakan dengan tujuan untuk :

a. Mendeteksi kemungkinan adanya BSE secara histopatologik pada otak

sapi yang dipotong di RPH.

b. Penelusuran kemungkinan adanya penggunaan pakan unggas yang

diberikan ke ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar.

Page 99: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

93

4. Manfaat Kegiatan.

Manfaat dari kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform

encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara

Timur, tahun 2015 adalah :

a. Terdeteksinya kemungkinan adanya BSE secara pada otak sapi yang

dipotong di RPH yang ada diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

b. Tersedianya data dan informasi tentang penggunaan pakan unggas yang

diberikan ke ternak sapi potong.

c. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan pemerintah pusat dan daerah

dalam pengambilan kebijakan terkait penyakit BSE.

5. Keluaran/ Output

Output yang diharapkan dari kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine

spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur, tahun 2015 adalah:

a. Tersedianya data dan informasi tentang kemungkinan adanya BSE secara

histopatologik pada otak sapi yang dipotong di RPH yang ada diwilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

b. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit BSE diwilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

c. Tersedianya informasi tentang kemungkinan penggunaan pakan unggas

komersiil diberikan ke ternak sapi potong.

Page 100: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

94

6. Analisa Resiko Penyakit.

Analisa resiko penyakit BSE di wilayah kerja BBVet Denpasar disajikan pada

Tabel 1 dan 2.

7. Analisa Resiko Kegiatan

Kajian resiko kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform

encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara

Timur, tahun 2015 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1. Analisa Resiko Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy diWilayah Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

No Resiko Manajemen Resiko1 Kebocoran importasi MBM dari negara

yang pernah dilaporkan terjadi kasusBSE, dimana MBM yang semula untukcampuran konsentrat pakan ayamkarena jumlahnya berlebihandipergunakan juga untuk konsentratpada hewan ruminansia

Adanya pengawasan mengenai penggunaanpakan asal hewan untuk pakan ternak danmembatasi pengiriman MBM dari daerah yangpernah terjadi kasus BSE, adanya surveilanspenyakit BSE untuk memantauperkembangan penyakit tersebut di daerahbebas atau daerah yang berdekatan dengandaerah tertular

2 Tingginya daging impor untukkebutuhan hotel dan restoran,dimanadikhawatirkan adanya impor daging daridaerah dengan kasus BSE yang manadapat menyebarkan penyakit BSE padadaerah yang bebas kasus BSE

Mengawasi dan membatasi daging impor daridaerah kasus, serta mengupayakanswasembada daging dengan melakukanmonitoring penyakit BSE secara berkaladidaerah bebas atau daerah yang beresikosehingga dapat mengurangi resikopenyebaran penyakit BSE melalui peredarandaging dari Negara terjangkit BSE

3 Pemanfaatan limbah hotel dan restoranuntuk pakan ternak di kawatirkan akanmenimbulkan penularan penyakit BSEpada ternak ruminansia denganmemakan limbah hotel/restoran yangbanyak menggunakan daging importdan bahan makanan lain dari luar negeri

Melakukan pengawasan terhadaphotel/restoran serta para peternak untuk tidakmenggunakan libah hotel/restoran sebagaipakan ternak agar dapat mengurangi resikotertular penyakit BSE melalui limbahhotel/restoran

4 Pemeliharaan ternak ditempatpembuangan akhir/penampunganlimbah merupakan pemeliharaan yangsalah karena di tempat pembuanganakhir/limbah adalah sarana penularanpenyakit melalui sampah yang dimakanoleh ternak

Melalukan pengawasan serta penyuluhankepada para peternak bagaimana carabeternak dengan baik dan resiko penyakityang akan timbul terhadap ternak yangdigembalakan di tempat pembuanganakhir/penampungan limbah

Page 101: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

95

Resiko Komoditi Peruntukan Komoditi Kegiatan Manajemen KriteriaImport dan Penanganan Limbah Surveilans Resiko Lokasi

BSE Bahan baku pakan/MBM Bahan baku pakan unggas Pengawasanyang berpotensi terpapar pemanfaatan MBM

Bahan baku pakan ruminansia Ada Surveilans BSEterutama di wil.yg memanfaatkan MBMsbg bahan pakanternak ruminansia

Daging dan/atau Penanganan limbah yang baik Pengawasanproduk asal ruminansia penanganan limbahyg berpotensi terkontaminasi Limbah/sisa hasil olahan Ada Surveilans BSE Seluruh wilayah kerja BBV-

dimanfaatkan sebagai di wil yg memanfaatkan Denpasar, dimana masyarakatpakan ternak ruminansia limbah/sisa hasil olahan masih memanfaatkan limbah

daging/produk asal ruminansia hotel dan/atau restoran sebagaisebagai pakan ternak pakan ternak ruminasia

8. Analisa Resiko Pengujian.

Analisa resiko pengujian sampel kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine

spongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur, tahun 2015 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Resiko Penularan Penyakit BSE

Tabel 3. Kajian resiko kegiatan analisa resiko dan surveilans bovinespongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015 .

No Resiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi

dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi2 Lokasi tidak sesuai dengan yg dijadwalkan Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai

kepastian lokasi sebelum hari keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel sehingga lokasi sesuaidengan yang diharapkan

3 Jadwal pengambilan sampel tidak sesuaidengan waktu yang dialokasikan oleh petugassetempat

Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel sebelumkeberangkatan menuju lokasi pengambilan sampel,sehingga dapat di sesuaikan dengan kegiatan yang adapada Dinas/Instansi terkait

4 Jadwal transportasi tidak sesui dengan waktukegiatan dikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenaikepastian waktu kegiatan pengambilan sampel agarDinas/Instansi terkait menyesuaikan perubahan jadwalkegiatan

Page 102: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

96

5 Tidak ada rute penerbangan menuju wilayahlokasi surveilans

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rutepenerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.

6 Surat pemberitahuan jadwal survailans tidaksampai/terlambat diterima oleh instansitempatdilakukan surveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukansebelum hari keberangkatan dengan telpon atau smskepada petugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkaitmengenai jadwal pengambilan sampel

Tabel 4. Analisa resiko pengujian sampel kegiatan analisa resiko dansurveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali,NTB dan NTT, tahun 2015 .

No Resiko Manajemen Resiko1 Bahan kimia yang digunakan

untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agarbahan kimia tersebut segera diadakan.Untuk sementara lakukan peminjamanpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar

2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar yang menggunakan alat yangsama

TINJAUAN PUSTAKA.

Penyakit BSE merupakan penyakit neurodegeneratif pada sapi disebabkan

oleh prion yakni “Proteinaceous infectious particles” yang diindentifikasi tahun

1982 oleh ilmuwan Amerika, Stanley Prusiner. BSE pada sapi menimbulkan

gejala klinis ditandai dengan gejala syaraf dan selalu berakhir dengan

kematian. Muncul pertama kali di Inggris tahun 1986. Penyakit ini menular ke

manusia menibulkan penyakit new varian Creutzfeld Jacob Disease (nvCJD).

Masa inkubasi BSE cukup panjang menimbulkan penyakit kronis berkelanjutan

pada system saraf pusat. Dignosa BSE umumnya didasarkan pada gejala klinis

berupa hiperaesthia dan inkoordinasi didukung dengan pemeriksaan

histopatologi berupa adanya degenerasi pada neuron, reaktif astrositosis dan

mikrogliosis. Dampak sosial ekonomi BSE sangat besar disamping bersifat

Page 103: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

97

zoonosis juga berdampak pada perdagangan internasional. Negara-negara

tertular BSE dilarangan mengekspor produk ternak sapinya ke luar negeri.

MATERI DAN METODE

1. Materi.

Kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015

dilakukan dengan pengambilan sampel otak sapi (Medula oblongata) di Rumah

Potong Hewan yang berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah/ Dinas

Peternakan setempat yang ada di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar. Pengambilan sampel otak sapi dilakukan pada bagian obex dari

medula oblongata. Otak sapi yang diambil sebagai sampel adalah berasal dari

sapi yang berumur 2 tahun keatas. Bahan kimia dan perlatan yang digunakan

kegiatan analisa resiko dan surveilans bovine spongiform encephalopathy di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015

disajikan pada Tabel 5.

2. Metode.

Diagnosa BSE umumnya didasarkan pada pada pemeriksaan histopatologik.

Pada kasus BSE, secara histopatologik akan ditemukan lesi pada otak dikenal

sebagai spongiform encephalophaty. Terjadi degenerasi vakuoler neuron,

gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang (Debeer et al., 2002),

reaksi astrosit dan kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.

Page 104: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

98

PELAKSANAAN KEGIATAN

1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel

Kegiatan monitoring patologi BSE tahun anggaran 2015 dilaksanakan oleh

Balai Besar Veteriner Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas

pengambil sampel dengan melibatkan Dokter Hewan Puskeswan dan petugas

di Rumah Potong Hewan Dinas setempat. Jumlah sampel medulla oblongata

yang diambil sebanyak 500 sampel (Tabel 6.)

2. Sumber Pembiayaan.

Kegiatan analisa resiko dan surveilans BSE di wilayah kerja BBVet Denpasar

seluruhnya dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2015

Nomor: 018.06.2.239022/2015 tanggal 14 Nopember 2015. Dana yang

dialokasikan sebesar : Rp 118.700.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh

ratus ribu rupiah)

Page 105: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

99

Tabel 5. Bahan dan peralatan untuk kegiatan kegiatan analisa resiko dansurveilans bovine spongiform encephalopathy di Provinsi Bali,Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015.

No Bahan Kimia/Alat JmlSatuan

HargaSatuan Jumlah

1 Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser 20 box 36.000 720.0002 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand 20 box 94.000 1.880.0003 Plastik klip 20 bks 40.000 800.0004 Formalin, @ 4 ltr Mallinckrodt 2 botol 3.800.000 7.600.0005 Ethanol, @2,5 lt, Merck 3 botol 3.300.000 9.900.0006 Toluol, @ 4 ltr, JT.Baker 3 botol 1.254.000 3.762.0007 Xylol, @ 4 ltr, JT. Baker 3 botol 4.125.000 12.375.0008 Sabun antiseptic 24 bh 18.700 448.8009 Alkohol 70% 8 botol 76.000 608.00010 Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak 10 bh 50.000 500.00011 Glove tangan, ukuran L, Sensi 8 box 87.000 696.00012 Methanol p.a, @2,5 lt, Merck 1 botol 882.200 882.00013 Spuit 10 ml, BD 2 box 215.000 430.00014 Spuil 3 ml, BD 2 box 215.000 430.00015 Kapas 1 bks 90.000 90.00016 Surgical mask 11 box 33.000 363.00017 Paraffin, @1 kg, Leica 2 bks 413.000 826.00018 Pisau scalpel ukuran 22 5 box 425.000 2.125.00019 Sepatu boot ukuran L 6 psg 169.000 1.014.00020 Kreolin 20 botol 55.000 1.100.00021 Konjugit Rabies, antinukleokapsid 5 box 8.250.000 41.250.00022 PBS tablet, Dulbecco Oxoid 4 botol 550.000 2.200000

Jumlah 90.000.000

3. Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Monitoring patologi BSE dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober

2015. Lokasi pengambilan sample yaitu di RPH yang ada di Kabupaten/ Kota

di Provinsi Bali; RPH Dompu, Lombok Tengah, Lombok Utara, Mataram dan

RPH Kabupaten Sumbawa Barat di NTB; RPH Kabupaten Ende, Kupang, Kota

Kupang, Manggarai dan Sumba Barat Daya di NTT. Pelaksanaan kegiatan

secara lebih rinci bisa dilihat dari jadwal palang seperti pada Tabel 7.

Page 106: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

100

Tabel 6 Distribusi lokasi dan jumlah sampel dalam rangka pelaksanaankegiatan kegiatan analisa resiko dan surveilans bovinespongiform encephalopathy di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat dan Nusa Tenggara Timur, tahun 2015.

Lokasi Kegiatan Jumlah SampelNo

Provinsi Kabupaten/Kota BBVet PKH

TotalSampel

JumlahKunjungan Keterangan

A Bali

1 Badung 30 0 30 3X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE

2 Bangli 5 0 5 1X Terintegrasi, dana PMSR3 Buleleng 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

4 Denpasar 75 0 75 3X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE

5 Gianyar 10 0 10 2X Terintegrasi, dana PMSR6 Jembrana 5 0 5 1X Terintegrasi, dana PMSR7 Karangasem 5 0 5 1X Terintegrasi, dana PMSR8 Klungkung 5 0 5 1X Terintegrasi, dana PMSR9 Tabanan 5 0 5 1X Terintegrasi, dana PMSR

Jumlah 150 0 150B NTB

1 Dompu 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR2 Lombok Tengah 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR3 Lombok Utara 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

4 Mataram 100 0 100 2X Terintegrasi, dana PMSR,dana BSE

5 Sumbawa Barat 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSRJumlah 140 0 140

C NTT1 Belu 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

2 Ende 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

3KabupatenKupang 20 0 20 1X Terintegrasi, dana

Brucellosis4 Kota Kupang 150 0 150 1X Terintegrasi, dana PMSR

5 Manggarai 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

6Sumba BaratDaya 10 0 10 1X Terintegrasi, dana PMSR

Jumlah 210 0 210Jumlah Keseluruhan 500 0 500

Page 107: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

101

Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Analisa Resiko dan Surveilans BSEdi Provinsi Bali, NTB dan NTT Tahun Anggaran 2015.

Bulan keTahapan Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persiapan bahan/ alat

Penentuan lokasi pengambilan sampel

Penyusunan RAB Kegiatan

Pengambilan sampel dan pengujian lab

Pengolahan data

4. Rincian Anggaran Biaya

Mengingat anggaran kegiatan tahun 2015 untuk kegiatan surveilans penyakit

BSE hanya dianggarkan untuk kegiatan analisa resiko penyakit, maka

pengambilan sampel otak untuk pemeriksaan BSE di wilayah Provinsi NTB dan

NTT akan dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan pengambilan sampel

surveilans gangguan reproduksi T.A. 2015. Anggaran yang tercantum dalam

DIPA 2015 yang dianggarkan untuk surveilans analisa resiko BSE, akan

dipergunakan untuk membiayai kegiatan pengambilan sampel di wilayah Bali

dan pembelian alat dan bahan. Kegiatan surveilans BSE oleh Balai Besar

Veteriner Denpasar tahun anggaran 2015 membutuhkan biaya sebesar

Rp 118.700.000,- (Seratus delapan belas juta tujuh ratus ribu rupiah) dengan

sumber dana seluruhnya DIPA Tahun Anggaran 2015, dengan rincian sebagai

berikut:

No Jenis kegiatan Jumlah Satuan Harga Satuan(Rp)

HargaSeluruhnya

(Rp)1 Pengadaan bahan kimia dan

peralatan habis pakai1 Paket 90.000.000,- 90.000.000,-

2 Biaya pembuatan KAK, TOR 1 Lap. 250.000,- 250.000,-3 Biaya perjalanan dinas di Prov. Bai 5 OH 300.000- 1.500.000,-

Biaya perjalanan dinas di Prov.NTB

2 OP 6.150.000,- 12.300.000,-

Biaya perjalanan dinas di Prov.NTT

2 OP 7.200.000,- 14.400.000,-

Biaya pembuatan laporan 1 Lap 250.000,- 250.000,-

Page 108: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

102

HASIL

Pengambilan sampel otak sapi untuk pengujian BSE dilakukan di RPH atau

TPH yang berada dibawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang

membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pengambilan sampel

didampingi oleh petugas dari Dinas atau petugas jaga RPH. Untuk wilayah

Provinsi Bali, sampel otak diambil di RPH Kabupaten Badung,Denpasar,

Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Di Provinsi NTB

sampel otak diambil di RPH Kabupaten Dompu, Lombok Tengah, Lombok

Utara, Mataram dan Sumbawa Barat, sedangkan di Provinsi NTT diambil di

RPH di kabupaten Belu, Ende, Kota Kupang, Kupang dan Manggarai (Tabel 1).

Selama tahun 2015, jumlah sampel medulla oblongata sapi yang di periksa

BBVet Denpasar sebanyak 683 sampel. Jumlah sampel otak yang diambil dan

jenis kelamin sapi yang dipotong di masing-masing RPH kabupaten/kota di

Provinsi Bali, NTB dan NTT disajikan pada Tabel 1, Grafik 1, 2, 3. Hasil

pengamatan di RPH menunjukkan bahwa sapi-sapi yang dipotong di RPH

tersebut rata-rata berumur di atas 2 tahun dan kebanyakan berjenis kelamin

betina. Pada pengamatan kegiatan surveilans ditemukan bahwa sapi-sapi yang

dipelihara di Bali dan NTB kebanyakan dikandangkan, sedangkan di NTT sapi-

sapi kebanyak dilepas pada padang gembalaan (Gambar 1 dan 2). Informasi

dari peternak dan staf dinas peternakan kabupaten/kota yang membidangi

fungsi peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT serta melihat langsung ke

lapangan bahwa peternak tidak ada memberikan pakan komersiil untuk ternak

sapinya apa lagi pemberian pakan ungags komersiil yang diduga mengandung

MBM atau pemberian limbah hotel dan restoran. Sapi-sapi peternak

kebanyakan makan rumput, kadang-kadang diberi pakan tambahan berupa

dedak dan juga rumput gajah (Gambar 3). Pada pemeriksaan sampel medulla

oblongata (Tabel 1) semua sampel yang berasal dari RPH kabupaten/kota di

Provinsi Bali, NTB dan NTT negatif BSE. Hasil pemeriksaan histopatologi tidak

ditemukan adanya lesi yang mengarah ke BSE seperti: degenerasi vakuoler

neuron, gliosis, kematian neuron tanpa diikuti reaksi radang, reaksi astrosit dan

kadang-kadang menimbulkan plak amyloid.

Page 109: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

103

Tabel 1. Jumlah sampel yang diambil, jenis kelamin sapi dan hasilpemeriksaan histopatologi sampel otak yang berasal dari RPHkabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015.

Jenis Kelamin Hasil UjiProvinsi Kabupaten/Kota Jumlah SampelJantan Betina BSE (+) BSE (-)

Bali Badung 40 0 40 0 40Denpasar 67 41 26 0 67Gianyar 1 0 1 0 1Jembrana 5 0 5 0 5Karangasem 5 0 5 0 5Klungkung 5 0 5 0 5Tabanan 5 5 0 0 5Jumlah 128 46 82 0 128

NTB Dompu 2 2 0 0 2Lombok Tengah 10 10 0 0 10Lombok Utara 10 4 6 0 10Mataram 150 130 20 0 150Sumbawa Barat 10 8 2 0 10Jumlah 182 154 28 0 182

NTT Belu 10 3 7 0 10Ende 10 5 5 0 10Kota Kupang 322 72 250 0 322Kupang 21 0 21 0 21Manggarai 10 3 7 0 10Jumlah 373 83 290 0 373Jumlah Keseluruhan 683 283 400 0 683

Grafik 1. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2015.

Page 110: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

104

Grafik 2. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2015.

Grafik 3. Jumlah sampel otak, serta jenis kelamin sapi yang dipotong diRPH kabupaten/kota di Provinsi NTT tahun 2014.

Page 111: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

105

Gambar 1. Sapi-sapi yang dipelihara di kabupaten/kota di provinsi Baliumumnya dikandangkan, 2. Di Provinsi NTT, peternak umumnyamengembalakan ternaknya pada padang pengembalaan. 3. Peternak umunyamemberikan rumput raja sebagai pakan ternak sapi, dan tidak memberikanpakan komersiil. 4. Histopatologi medula oblongata negatif BSE, tidakditemukan degenerasi vakuoler neuron, gliosis, reaksi astrosit ataupun plakamyloid (H&E; 100X)

PEMBAHASAN

Provinsi Bali, NTB dan NTT dan daerah lainnya di Indonesia sampai saat ini

merupakan daerah bebas BSE. Untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas

dari BSE, pemerintah telah mengambil langkah-langkah antara lain:

penghentian importasi hewan ruminansia dan produknya yang berasal dari

negara tertular BSE, pelarangan penggunaan tepung daging dan tulang (TDT)

dan MBM asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia serta melakukan

surveilans dan kajian resiko setiap tahun secara berkelanjutan.

1

3

1 2

3 4

Page 112: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

106

Hasil surveilans yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar tahun

2015 di RPH yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali, NTB dan

NTT tidak ditemukan adanya sapi-sapi yang positif BSE. Tidak ada laporan dari

petugas dinas peternakan yang melaporkan adanya sapi-sapi yang

menunjukkan gejala klinis mengarah ke BSE. Di Provinsi Bali, NTB dan NTT

tidak ada peternakan sapi berskala besar/komersial. Beternak sapi merupakan

usaha sambilan bukan merupakan usaha pokok. Di Provinsi Bali petani ternak

rata-rata memelihara sapi Bali sebanyak 2 ekor, bahkan sekarang ini ada

kencendrungan petani tidak memelihara sapi lagi akibat harga sapi tidak

menarik lagi bagi peternak. Pakan yang diberikan adalah rumput, kadang-

kadang ada diberikan dedak. Di Provinsi NTB dan NTT ternak sapi ada yang

dikandangkan dan ada juga dilepas di padang pengembalaan. Tidak ada

pemberian pakan komersial yang mengandung MBM atau TDT, konsentrat

pakan ayam atau limbah hotel/restoran. Sistem peternakan sapi yang dianut

oleh sebagian besar peternak sapi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya sejak dari jaman

dahulu telah menerapkan prinsip-prinsip peternakan organik. Ternak sapi

secara alami diberikan rumput sebagai pakan utama, tidak pernah diberikan

pakan yang berasal dari hewan.

Seperti diketahui bahwa sumber utama penularan BSE adalah melalui

pemberian pakan ternak yang mengandung MBM atau TDT dari ruminansia

yang tercemar prion protein. BSE tidak ditularkan melalui kontak langsung

antar ternak sapi. Di Inggris, pelarangan penggunaan MBM pada pakan ternak

telah menurunkan jumlah kasus BSE secara nyata (Anderson et al., 1996). Di

dalam saluran pencenaan PrPsc oleh sel-sel dendritik usus halus disalurkan ke

organ limfoid skunder (Payer’s patches), limpa, tonsil dan timus untuk

selanjutkan diekspresikan ke sel T dan B (Huang and MacPherson, 2004).

PrPsc selanjutnya melalui mekanisme retrograde transport menuju ke sistem

saraf tepi dan sistem saraf pusat. Akumulasi PrPsc pada otak menimbulkan lesi

spesifik yaitu: degenerasi neuron, vakuolisasi neural bersifat intrasitoplasmik

tanpa diikuti adanya respon radang, sel-sel astrosit mengalami hipertropi dan

hiperplasia (Scott et al., 1990; Williams and Young, 1993; Wells et al., 1994).

Page 113: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

107

Pada sapi menderita BSE agen penyakit banyak ditemukan di jaringan otak,

spinal cord , retina, bagian distal ileum, tonsil dan trigeminal ganglion.

Hasil pengamatan di RPH kabupaten/kota di Bali, NTB dan NTT didapatkan

data bahwa jumlah sapi betina yang dipotong lebih banyak dibandingkan

dengan sapi jantan. Jenis kelamin hewan bukan merupakan faktor resiko

penularan penyakit BSE, sehingga baik sapi jantan maupun betina mempunyai

peluang yang sama untuk tertular penyakit BSE selama mendapatkan

perlakuan atau mempunyai resiko paparan yang sama.

Analisa resiko kegiatan.

Di Provinsi Bali, jumlah target sampel BSE sebanyak 150 sampel, namun

realisasinya tidak memenuhi target yaitu hanya 128 sampel. Hal ini disebabkan

karena jumlah sapi yang dipotong di RPH kabupaten jumlahnya tidak tentu,

tergantung pada permintaan pasar. Sedangkan di provinsi NTB dan NTT target

sampel otak melebihi target dari yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan

target sampel otak untuk surveilans BSE di Provinsi Bali, NTB dan NTT

melebihi target yaitu sebanyak 683 sampel dari target yang ditetapkan sebesar

500 sampel. Untuk mempermudah pengambilan sampel medulla oblongata

sapi, koordinasi yang baik antara petugas pengambil sample dengan petugas

di RPH sangat diperlukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.

a. Berdasarkan hasil analisa resiko dan surveilans BSE yang diadakan di

RPHyang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT

disimpulkan bahwa Provinsi Bali, NTB dan NTT masih bebas dari

penyakit BSE.

b. Tidak ada indikasi pemberian konsentrat pakan ayam, limbah hotel dan

restoran untuk dijadikan pakan ternak sapi.

Page 114: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

108

2. Saran.

Sampai saat ini di Provinsi Bali, NTB dan NTT belum ditemukan adanya kasus

BSE oleh karena itu kebijakan untuk melarang penggunaan TDT dan MBM

asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia tetap dilanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R.M., Donnelly, C.A., Ferguson, N.M., Woolhouse, M.E.J., Whatt, C.J., Udy, H.J.,MaWhinney, S., Dunstan, S.P., Southwood, T.R.E., Wilesmith, J.W., Ryan, J.B.M.,Hoinville, L.J., Hillerton, J.E., Austin, A.R and Wells, G.A.H (1996). Transmissiondynamics and epidemiology of BSE in British cattle. Nature. 382. pp. 779-788.

Debeer, S.O.S., Baron, T.G.M and Bencsik, A.A (2001). Immunohistochemistry of PrPsc withinbovine spongiform encephalopathy brain samples with graded autolysis. The Journal ofHistochemistry & Cytochemistry. 49. pp. 1519-1524.

Huang, F.P and MacPherson, G.G (2004). Dendritic cells and oral transmission of priondiseases. Adv. Drug. Deliv. Rev. 56. pp. 901-913.

Scott, A.C., Wells, G.A.H., Stack, M.J., White, H. and Dawson, M (1990). Bovine spongiformencephalopathy: detection and quantitation of fibrils, fibril protein (PrP) and vacuolationin brain. Veterinary Microbiology. 23. pp. 295-304.

Wells, G.A.H., Spencer, Y.I and Haritani. M (1994). Configuration and topographic distributionof PrP in the central nervous system in bovine spongiform encephalopathy: animmunohistochemistry study: Ann NY Acad Sci. 724. pp. 350-352.

Williams, E.S and Young, S (1993). Neuropathology of chronic wasting disease of mule deer(Odocoileus hemionus) and elk (Cervus elaphus nelsoni). Veterinary Pathology. 30. pp.36-45.

Page 115: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

109

SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR) TAHUN 2015

I Ketut Eli Supartika, I Ketut Wirata dan I Gede Agus Joni Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Penyakit gangguan reproduksi pada ternak sapi potong diduga sebagai salah satu faktorpenyebab menurunnya populasi ternak sapi potong. Dalam rangka mendukung programpeningkatan produksi dan reproduksi ternak sapi potong, telah dilakukan surveilans penyakitgangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasartahun anggaran 2015. Surveilans bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan patologi padaorgan reproduksi ternak sapi potong yang dapat mengakibatkan infertilitas yang pada akhirnyaberkontribusi pada penurunan populasi ternak sapi potong. Pengamatan perubahan patologiorgan reproduksi sapi dilakukan di rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan yangada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.Perubahan patologi organ reproduksi sapi diamati. Umur, jenis kelamin juga dicatat. Sampelorgan reroduksi diambil dan dimasukkan ke dalam formalin buffer 10% untuk pemeriksaanhistopatologi. Hasil surveilans di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timurmenunjukkan bahwa prosentase pemotongan sapi betina produktif masih cukup tinggi, yaitumasing-masing sebesar 78/83 (93,97%), 248/294 (84,35%) dan 207/355(58,31%). Hasilpemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi menunjukkan bahwa dari 732 sampel organreproduksi yang diperoleh dari rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan diProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur semuanya nampak normal dantidak ada perubahan patologi yang mengarah ke penyakit gangguan reproduksi yangmengakibatkan infertilitas. Dapat disimpulkan bahwa dugaan penurunan jumlah populasi ternaksapi potong di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur bukan disebabkanoleh adanya gangguan reproduksi akibat penyakit namun ada kecendrungan disebabkan olehadanya pemotongan sapi betina produktif yang cukup tinggi.

Kata kunci: gangguan reproduksi, rumah potong hewan, surveilans, sapi potong

PENDAHULUAN1. Latar Belakang

Populasi ternak sapi potong di Indonesia ada kecenderungan menurun dari

tahun ke tahun mengakibatkan Indonesia masih mengimpor sapi potong dari

luar negeri untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat setiap

tahun, hal ini secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila

kondisi ini tidak diwaspadai, maka ini dapat menyebabkan kemandirian dan

kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan,

yang pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir.

Page 116: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

110

Penurunan populasi ternak sapi di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah : pemotongan sapi betina produktif yang secara nasional

masih sangat besar, diperkirakan mencapai sekitar 150-200 ribu ekor/tahun

terutama di NTT, NTB, Bali, dan Jawa ; prosentase kematian pedet yang sangat

tinggi mencapai 20-40% ; kematian induk yang mencapai 10-20%, khususnya di

beberapa wilayah sumber bibit sebagai akibat kekurangan pakan dan air pada

saat musim kering ; dan adanya gangguan reproduksi yang disebabkan oleh

penyakit menular maupun tidak menular (Anon, 2010).

2. Rumusan Masalah.

a. Telah terjadi penurunan populasi ternak sapi potong di beberapa wilayah

Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

b. Apakah penurunan populasi ternak sapi potong tersebut akibat faktor

penyakit atau akibat faktor lain selain faktor penyakit.

3. Tujuan Kegiatan.

Kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja (Provinsi

Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2015,

dilaksanakan dengan tujuan:

a. Untuk mendapatkan informasi tentang adanya gangguan reproduksi pada

ternak sapi yang diduga berkontribusi terhadap penurunan populasi ternak

sapi di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

b. Mengidentifikasi kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi ternak

sapi potong dikaitkan dengan kemajiran.

c. Mengidentifikasi kemungkinan berbagai penyakit gangguan reproduksi pada

ternak sapi potong.

Page 117: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

111

4. Manfaat Kegiatan.

Manfaat dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja

(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) tahun 2015,

antara lain:

a. Tersedianya data gangguan reproduksi pada ternak sapi potong yang

diduga berkontribusi terhadap penurunan populasi ternak sapi di Provinsi

Bali, NTB dan NTT.

b. Teridentifikasinya kelainan-kelainan patologis pada saluran reproduksi

ternak sapi potong dikaitkan dengan kemajiran.

c. Diketahui berbagai penyebab penyakit gangguan reproduksi pada ternak

sapi potong.

5. Keluaran/output

Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi

di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur)

tahun 2015 adalah:

a. Tersedianya data dan informasi tentang hubungan antara penyakit gangguan

reproduksi dengan penurunan jumlah populasi sapi diwilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

b. Tersedianya data dan informasi tentang permasalahan gangguan reproduksi

pada ternak sapi potong yang ada di provinsi Bali, NTB dan NTT.

c. Tersedianya data untuk pemetaan penyakit gangguan reproduksi diwilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar guna mendukung tercapainya

swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK).

6. Analisa Resiko Penyakit.

Setiap penyakit hewan ada analisa resikonya. Analisa resiko penyakit gangguan

reproduksi di wilayah kerja (Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur) dijabarkan pada Tabel 1 dan 2.

Page 118: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

112

SC dan/ Sistem Sistem Kegiatan Kriteriaatau CI Reproduksi Produksi Suveilans Lokasi

Peningkatan produksi dengan menekan kematian pedet Wil. BaliGangguan Rendah akibat parasit gastrointestinal dan penyakit infeksi lainnya terutamaReproduksi pet. Intensif

Peningkatan manajemen peternakan spt: pencegahan Bali, NTB &Tinggi Inseminasi dan pengobatan gangguan fisiologi reproduksi melalui NTT (klpk2-

Buatan terapi hormonal dan peningkatan nutrisi pakan. ternak).Peningkatan manajemen peternakan spt: pencegahan Bali,NTB,NTT

Intensifikasi Semi intensif dan pengobatan gangguan fisiologi reproduksi melalui (klpk&ternakKawin Alam terapi hormonal dan nutrisi, serta penerapan teknologi IB masyrkt).

Peningkatan sistem produksi ternak, pengobatan Bali,NTB,NTTTradisional Ada penyakit gangguan reproduksi serta penerapan (ternak ma-

teknologi reproduksi : IB, sinkronisasi birahi dan lain-lain. syarakat).Surveilans, pemetaan penyakit, peningkatan sistem Bali,NTB,NTT

Tidak ada produksi ternak, pengobatan penyakit gangguan (ternak ma-reproduksi serta penerapan teknologi reproduksi syarakat).

Manajemen ResikoResiko

7. Analisa Resiko Kegiatan.

Kajian resiko kegiatan surveilans penyakit gangguan reproduksi di wilayah kerja

(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2015,

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi di Wilayah Kerja(Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

No Risiko Manajemen Risiko1 Service per conception rate (S/C) dan calving interval

(CI)yang cukup tinggi, mengindikasikan adanya gangguanpada sistem reproduksi ternak sapi

Adanya pengumpulan datamengenai S/C dan CI melaluisurvilans

2 Wilayah Nusa Tenggara Timur masih endemis Brucellosis.Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) belummaksimal. Hal ini berpotensi menyebarkan penyakit yangditularkan melalui kawin alam.

Surveilans gangguan reproduksipada ternak sapi potong

3 Sistem pemeliharaan ternak yang digembalakan padapadang penggembalaan, menyebabkan kurangnyapengawasan terhadap ternak. Penyakit gangguanreproduksi seperti Brucellosis ditularkan melaui pakan danair minum yang terkontaminasi kuman melalui abortusan.Pada sistem penggembalaan, kemungkinan hal ini terjadisangat tinggi.

Menyarankan kepada Dinas/Instansiterkait untuk meningkatkanpenyuluhan mengenai intensifikasipeternakan rakyat.

Tabel 2. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penyakit Gangguan Reproduksi

Page 119: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

113

Tabel 3. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksi padaTernak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun2015

No Resiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai lokasi

dimana jumlah sampel cukup sehingga dapat terpenuhi2 Lokasi tidak sesuai dengan yg

dijadwalkanKoordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastianlokasi sebelum hari keberangkatan menuju lokasi pengambilansampel sehingga lokasi sesuai dengan yang diharapkan

3 Jadwal pengambilan sampeltidak sesuai dengan waktu yangdialokasikan oleh petugassetempat

Koor dinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastianwaktu pengambilan sampel sebelum keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel, sehingga dapat di sesuaikandengan kegiatan yang ada pada Dinas/Instansi terkait

4 Jadwal transportasi tidak sesuidengan waktu kegiatandikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait mengenai kepastianwaktu kegiatan pengambilan sampel agar Dinas/Instansi terkaitmenyesuaikan perubahan jadwal kegiatan

5 Tidak ada rute penerbanganmenuju wilayah lokasi surveilans

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat yang ada rutepenerbangan, selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.

6 Surat pemberitahuan jadwalsurvailans tidaksampai/terlambat diterima olehinstansi tempatdilakukansurveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait dapat dilakukansebelum hari keberangkatan dengan telpon atau sms kepadapetugas yang berwenang di Dinas/Instansi terkait mengenaijadwal pengambilan sampel

8. Analisa Resiko Pengujian.

Analisa resiko pengujian sampel surveilans gangguan reproduksi pada ternak

sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 disajikan pada

Tabel 4.

Tabel 4. Analisa Resiko Pengujian Sampel Kegiatan Surveilans GangguanReproduksi pada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali,NTB Dan NTT Tahun 2015

No Resiko Manajemen Resiko

1 Bahan kimia yangdigunakan untukpengujian telahhabis/kadaluwarsa

Berkoordinasi dengan panitia/pejabat pengadaan BBVetDenpasar agar bahan kimia tersebut segera diadakan.Untuk sementara lakukan peminjaman pada laboratoriumlainnya di BBVet Denpasar

2 Peralatan pengujian adayang rusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabat pengadaan BBVetDenpasar agar alat tersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alat pada laboratoriumlainnya di BBVet Denpasar yang menggunakan alat yangsama

Page 120: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

114

TINJAUAN PUSTAKA.

Konsumsi daging di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun pengikatan

tersebut tidak diimbangi dengan produksi daging yang memadai. Untuk

mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri pemerintah telah

mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi

(PSDS) yang diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:

60/Permentan/HK.060/8/2007. Kementerian Pertanian melalui Direktorat

Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusung 21 program utama

terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak

berbasis sumberdaya domestik yang salah satunya adalah Program

Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang tertuang dalam blue print

Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014

Dalam upaya memenuhi kebutuhan daging, pemerintah berupaya meningkatkan

populasi sapi potong salah satunya dengan jalan mengatasi kasus gangguan

reproduksi pada ternak sapi potong. Gangguan reproduksi yang bersifat

patologis sering kali berpengaruh terhadap produktifitas ternak. Gangguan

reproduksi bisa terjadi karena ketidakseimbangan hormonal yang diakibatkan

oleh terganggunya organ-organ reproduksi, penyakit pada saluran reproduksi

atau kelainan patologis pada alat reproduksi. Gangguan reproduksi pada sapi

potong disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: cacat anatomi saluran

reproduksi (defek kongenital ), gangguan fungsional, kesalahaan manajemen,

infeksi organ reproduksi

Kegiatan surveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong perlu dilakukan

untuk bisa memperoleh gambaran tentang gangguan reproduksi yang sangat

berpengaruh terhadap produksi ternak sapi dan merupakan hambatan potensial

bagi pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang telah

dicanangkan pemerintah.

Page 121: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

115

Sebagai UPT yang berada dibawah Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Balai Besar Veteriner Denpasar diberikan kinerja antara lain:

pencapaian target jumlah sampel, pemberdayaan atau peningkatan peranan

Puskeswan di wilayah kerja, peningkatan kompetensi laboratorium tipe B dan C

serta pencapaian penurunan status penyakit di wilayah kerja yang pada akhirnya

dapat mendukung program percepatan Swasembada daging sapi yang

dicanangkan oleh Pemerintah.

Merujuk pada tugas yang dibebankan tersebut, maka implementasi pelaksanaan

kegiatan UPT dalam pelaksanaan kegiatan surveilans dan monitoring dilakukan

dengan melibatkan peranan Puskeswan di wilayah kerja (Bali, NTB dan NTT),

secara berkelanjutan sehingga diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara bertahap dapat

ditingkatkan peranannya dalam surveilans dan monitoring penyakit hewan

menular.

MATERI DAN METODE

1. Materi.

Meteri yang diperlukan dalam kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada

ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 adalah

berupa spesimen organ reproduksi dari ternak sapi yang dipotong di RPH-RPH

pemerintah atau yang berada dibawah pengawasan dinas setempat. Spesimen

organ terdiri dari bagian ovarium, uterus dan/ atau saluran reproduksi lainnya

yang secara patologi anatomi mengalami perubahan. Spesimen selanjutnya di

simpan dalam pengawet formalin buffer netral 10% untuk kemudian diproses

dilaboratorium. Bahan kimia dan perlatan yang diperlukan dalam surveilans ini

disajikan pada Tabel 5.

Page 122: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

116

2. Metode.

Metode pemeriksaan sampel; spesimen yang diambil selanjutnya diproses

dalam alat tissue prosesor, di embeding, kemudian dibuat preparat histopatologi

dengan mempergunakan pewarnaan rutin Hematoxilin- Eosin. Pemeriksaan

dilakukan dibawah miroskop sinar dengan perbesaran 40 – 400 kali.

PELAKSANAAN KEGIATAN

1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel

Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah

Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 dilaksanakan oleh Balai Besar

Veteriner Denpasar yang pengambilan sampelnya dilakukan oleh petugas

pengambil sampel dengan melibatkan petugas Dinas Peternakan, Dokter Hewan

PUSKESWAN dan petugas RPH yang ada di wilayah setempat. Jumlah sampel

organ reproduksi yang diambil sebanyak 560 sampel; 240 sampel diambil oleh

petugas BBVet Denpasar, 320 sampel diambil oleh petugas Puskeswan (Tabel

6).

Tabel 5. Bahan kimia dan peralatan habis pakai yang diperlukan dalamrangka surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potongdi wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015

.

No Bahan Kimia/Alat JmlSatuan

HargaSatuan Jumlah

1 Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser 20 box 36.000 720.0002 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand 20 box 94.000 1.880.0003 Plastik klip 20 bks 40.000 800.0004 Formalin, @ 4 ltr Mallinckrodt 3 botol 3.800.000 11.400.0005 Ethanol, @2,5 lt, Merck 3 botol 3.300.000 9.900.0006 Toluol, @ 4 ltr, JT.Baker 3 botol 1.254.000 3.801.0007 Xylol, @ 4 ltr, JT. Baker 3 botol 4.125.000 12.375.0008 Sabun antiseptic 24 bh 18.700 448.8009 Alkohol 70% 10 botol 76.000 760.000

10 Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak 12 bh 50.000 600.00011 Glove tangan, ukuran L, Sensi 10 box 87.000 870.00012 Surgical mask 10 box 33.000 300.00013 Paraffin, @1 kg, Leica 5 bks 413.000 2.065.00014 Pisau scalpel ukuran 22 6 box 425.000 2.550.00015 Kreolin 20 botol 55.000 1.100.00016 Handuk Kecil 20 buah 20.000 400.000

Jumlah 49.999.800

Page 123: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

117

2. Sumber Pembiayaan

Kegiatan surveilans patologi reproduksi pada ternak sapi potong dalam rangka

mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun Anggaran

2015 di wilayah kerja BBVet Denpasar seluruhnya dibebankan pada DIPA

BBVet Denpasar tahun anggaran 2015 Nomor: 018.06.2.239022/2015 tanggal

14 Nopember 2014. Dana yang dialokasikan sebesar Rp. 91.980.000 (Sembilan

puluh satu juta Sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah).

Tabel 6. Jumlah sampel organ reproduksi ternak sapi potong serta jumlahbiaya yang diperlukan dalam rangka surveilans gangguanreproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTBDan NTT Tahun 2015

JumlahSampel Keterangan

No Lokasi kegiatanBBVet PKH

TotalSampel

Jml.Kunjungan Sumber Dana

A Bali

1 Badung 15 0 15 3X Terintegrasi PMSR& BSE

2 Bangli 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR3 Buleleng 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR

4 Denpasar 50 0 50 3X Terintegrasi PMSR& BSE

5 Gianyar 10 0 10 2X Terintegrasi PMSR6 Jembrana 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR7 Karangasem 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR8 Klungkung 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR9 Tabanan 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR

Jumlah 105 0 105B NTB

1 Dompu 10 0 10 1X Terintegrasi PMSR2 Lombok Tengah 15 80 95 1X Terintegrasi PMSR3 Lombok Utara 10 0 10 1X Terintegrasi PMSR

4 Mataram 25 80 105 2XTerintegrasiPMSR, & BSE

5 Sumbawa Barat 10 0 10 1X Terintegrasi PMSRJumlah 70 160 130

Page 124: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

118

C NTT1 Belu 5 0 5 1X Terintegrasi PMSR2 Ende 10 0 10 1X Terintegrasi PMSR3 Kab. Kupang 0 80 80

4 Kota Kupang 20 80 100 2X Terintegrasi PMSR, Zoonosis

5 Manggarai 10 0 10 1X Terintegrasi PMSR7 Sumba Barat Daya 10 0 10 Terintegrasi PMSR8 TTS 10 0 10 Terintegrasi PGR

Jumlah 65 160 225Jumlah Keseluruhan 240 320 560

3. Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan surveilans gangguan reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah

Provinsi Bali, NTB Dan NTT Tahun 2015 dilaksanakan di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar dilaksanakan pada bulan Maret sampai September

2015. Untuk wilayah Provinsi Bali pengambilan spesimen akan dilakukan di RPH

yang berada dibawah pengawasan dinas kabupaten/kota. Untuk wilayah NTB

pengambilan spesimen akan dilakukan di RPH Kabupaten Dompu, Lombok

Tengah, Lombok Utara, Kota Mataram dan RPH Kabupaten Sumbawa Barat. Di

wilayah NTT pengambilan spesimen dilakukan di RPH yang melakukan

pemotongan konsisten yaitu RPH Kabupaten Belu, Ende, Kupang, Kota Kupang,

Manggarai, Sumba Barat Daya dan Timor tengah Selatan.

Tabel 7. Matrik Pelaksanaan Kegiatan Surveilans Gangguan Reproduksipada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTTTahun 2015

Bulan keTahapan Kegiatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persiapan bahan/ alat yang untukkegiatan surveilansPenentuan lokasi surveilans, jenisdan jumlah sampelPenyusunan Rencana AnggaranBiaya KegiatanPelaksanaan kegiatan surveilans

Pengujian spesimen hasilsurveilans dan Pelaporan

Page 125: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

119

4. Rincian Anggaran Biaya (RAB)

Penyusunan RAB kegiatan mengacu pada anggaran kegiatan yang tercantum

dalam DIPA anggaran kegiatan APBN 2015. Kegiatan surveilans gangguan

reproduksi pada ternak sapi potong di wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTT

Tahun 2015 dalam rangka mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan

Kerbau Tahun Anggaran 2015 membutuhkan biaya sebesar Rp. 91.980.000,-

(Sembilan puluh satu juta Sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan

rincian sebagaimana tercantum dalam Tabel 8.

Tabel 8. Rincian Anggaran Biaya (RAB) Surveilans Gangguan Reproduksipada Ternak Sapi Potong di Wilayah Provinsi Bali, NTB Dan NTTTahun 2015

No Jenis kegiatan Jumlah Satuan HargaSatuan (Rp)

HargaSeluruhnya

(Rp)1 Pengadaan bahan kimia dan

peralatan habis pakai1 Paket 50.000.000,- 50.000.000,-

2 Pembuatan KAK/TOR 1 Lap 250.000,- 250.000,-3 Biaya pembuatan laporan,KAK 1 Lap. 500.000,- 500.000,-4 Operasional pengambilan

sampel oleh PKH di Bali1 Thn 4.200.000- 4.200.000,-

Operasional pengambilansampel oleh PKH di NTB

1 Thn 2.800.000,- 2.800.000,-

Operasional pengambilansampel oleh PKH di NTT

1 Thn 2.800.000,- 2.800.000,-

Biaya kirim alat/bahanoperasional

1 Thn 2.680.000,- 2.680.000,-

Perjalanan surveilans penyakitgangguan reproduksi di Prov.Bali

8 OH 300.000,- 2.400.000,-

Perjalanan surveilans penyakitgangguan reproduksi di Prov.NTB

2 OP 6.100.000,- 12.200.000,-

Perjalanan surveilans penyakitgangguan reproduksi di Prov.NTT

2 OP 7.200.000 14.400.000

Jumlah 91.980.000,-

Page 126: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

120

HASIL

Selama kegiatan surveilans yang dilakukan di RPH/TPH yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT telah diperiksa sebanyak 732

organ reproduksi sapi potong yang terdiri dari: 83 sampel berasal Provinsi Bali,

294 sampel berasal dari NTB dan 355 sampel berasal dari NTT. Data yang

diperoleh selama surveilans menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi

betina lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan, dan berdasarkan umurnya

sapi-sapi yang dipotong tersebut masih tergolong produktif. Keadaan ini hampir

terjadi di RPH/TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Bali, NTB dan NTT

(Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3).

Pada pengamatan patologi anatomi dilanjutkan dengan pemeriksaan

histopatologi semua sampel organ reproduksi nampak normal, tidak ada

perubahan patologis yang mengarah adanya gangguan reproduksi yang

mengakibatkan infertilitas pada ternak sapi potong (Gambar 4A dan 4B).

Tabel 7. Data Jumlah Sampel Organ Reproduksi, Jenis Kelamin dan UmurSapi yang Dipotong di RPH/TPH Kabupaten/Kota di Provinsi Bali,NTB dan NTT tahun 2015

Provinsi Kabupaten Jantan (%)Betina(%)

Umur <5 Umur > 5 Jumlah

Bali Badung 0 25 (100) 19 6 25Buleleng 0 5 (100) 0 5 5Denpasar 0 32 (100) 32 0 32Gianyar 0 1 (100) 1 0 1Jembrana 0 5 (100) 5 0 5Karangasem 0 5 (100) 0 5 5Klungkung 0 5 (100) 5 0 5Tabanan 5 (100) 0 5 0 5Jumlah 5 (6,02) 78 (93,97) 67 16 83

NTB Lombok Tengah 10 (11,11) 80(88,88) 80 10 90Lombok Utara 0 4 (100) 3 1 4Mataram 36(18,46) 159(81,53) 159 36 195Sumbawa Barat 0 5 (100) 5 0 5Jumlah 46(15,65%) 248(84,35) 247 47 294

NTT Belu 0 8(100) 6 2 8Kota Kupang 128(48,85) 134(51,14) 133 129 262Kupang 20(25,00)) 60(75,00) 30 50 80Timor TengahSelatan 0 5(100) 0 5 5Jumlah 148(41,69) 207(58,31) 169 186 355Total 199(27,19) 533(72,81) 483 249 732

Page 127: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

121

Gambar1. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten/Kota di Provinsi Bali Berdasarkan Jenis KelaminTahun 2014.

Gambar 2. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten di Provinsi NTB Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun2015.

Page 128: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

122

Gambar 3. Jumlah Pemotongan Ternak Sapi Potong di RPH/TPH diKabupaten/Kota di Provinsi NTT Berdasarkan Jenis Kelamin,Tahun 2015.

Gambar 4. Organ reproduksi ternak sapi potong. A. Uterus; nampaknormal, tidak ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang, nekrosis (H & E;40X). B. Testis: nampak normal, tubulus seminiferus dilapisi multilapis sel-sel epitel, tidak ditemukan adanya sel-sel radang maupun nekrosis. (H & E;100X).

A B

Page 129: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

123

PEMBAHASAN

Data hasil surveilans menunjukan bahwa jumlah ternak sapi betina yang

dipotong jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan. Persentase

pemotongan sapi betina produktif di Provinsi Bali, NTB dan NTT masing-masing

sebesar 78/83(93,97%), 248/294(84,35%) dan 207/355(58,31%). Kalau dilihat

dari segi umur sapi betina yang dipotong tersebut masih dalam katagori produktif

(Tabel 7, Gambar 1, 2 dan 3). Rendahnya pemotongan sapi jantan di RPH/TPH

di Provinsi Bali 5/83(6,02%), NTB 46/294(15,65%) dan NTT 148/355(41,69%)

karena ke tiga provinsi ini sebagai daerah sentra produksi sapi potong dan

sebagai wilayah pemasok nasional ternak sapi potong. Ternak sapi jantan lebih

banyak diantarpulaukan untuk konsumen daging sapi di daerah Provinsi DKI

Jakarta dan Jawa Barat. Di sisi lain untuk keperluan konsumsi lokal ternak sapi

jantan sudah sulit dicari, sedangkan kegiatan usaha para pedagang daging sapi

harus tetap berjalan untuk menopang biaya hidup keluarga mereka sehingga

bisnis jual beli sapi betina produktif terpaksa dilakukan. Faktor lain yang

mendukung pemotongan sapi betina produktif, antara lain; harga sapi betina

hidup lebih murah dibandingkan sapi jantan tetapi harga dagingnya sama

mahalnya. Petani ternak memerlukan dana segera untuk membiayai kebutuhan

hidupnya (Purba dan Hadi, 2012). Selain itu, penegakan hukum untuk

mencegah pemotongan sapi betina produktif sesuai dengan yang diamanahkan

dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang telah diperbaharui dengan

Undang-Undang Nomor 41Tahun 2014 masih sangat lemah. Sanksi yang tegas

terhadap mereka yang memotong sapi betina produktif belum dijalankan

sepenuhnya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pedagang daging sapi untuk

memotong sapi betina produktif yang tentunya akan berdampak pada penurunan

populasi ternak sapi.

Hasil pengamatan patologi organ reproduksi pada ternak sapi potong, baik pada

sapi jantan maupun betina di RPH /TPH yang ada di kabupaten/kota di Provinsi

Bali, NTB dan NTT semuanya nampak normal (Gambar 4A dan 4B). Tidak

ditemukan adanya lesi-lesi patologi seperti: eksudat, infiltrasi sel-sel radang,

nekrosis, bentukan tumor pada organ reproduksi sapi jantan maupun betina

Page 130: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

124

yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Perubahan patologi pada

saluran reproduksi ternak sapi potong baik yang disebabkan oleh agen infeksi

maupun non infeksi dapat mengakibatkan infertilitas atau sterilitas yang pada

akhirnya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi peternak bibit sapi

potong. Perubahan patologis organ reproduksi akibat penyakit yang umumnya

bisa diamati antara lain: kista ovarium, endometritis, pyometra, retensi plasenta,

atrofi testis.

Barangkali yang perlu dicermati adalah adanya birahi tenang (silent heat) yang

sering dilaporkan pada sapi potong. Sapi dengan birahi tenang mempunyai

siklus reproduksi dan ovulasi normal, namun gejala birahinya tidak nampak (Nitis

dkk, 2000; Mastika, 2012). Birahi tenang mengakibatkan peternak tidak dapat

mengetahui kapan sapinya birahi sehingga dikira mandul dan akhirnya dijual.

Secara patologi, organ reproduksi sapi dengan birahi tenang kalau diperiksa

akan nampak normal. Sifat birahi tenang pada sapi potong lebih banyak

disebabkan oleh faktor manajemen peternakan tradisional dan akibat defisiensi

nutrisi.

Analisa resiko kegiatan.

Di Provinsi Bali, jumlah target sampel organ reproduksi ternak sapi untuk

surveilans gangguan reproduksi sebanyak 105 sampel, namun realisasinya

tidak memenuhi target yaitu hanya 83 sampel. Hal ini disebabkan karena jumlah

sapi yang dipotong di RPH kabupaten jumlahnya tidak tentu, tergantung pada

permintaan pasar. Para jagal tidak berani memmotong sapi lebih banyak, takut

daging tidak terjual habis. Sedangkan di provinsi NTB dan NTT target sampel

organ reproduksi sapi melebihi target dari yang telah ditetapkan. Secara

keseluruhan target sampel organ reproduksi untuk surveilans gangguan

reproduksi di Provinsi Bali, NTB dan NTT melebihi target yaitu sebanyak 732

sampel dari target yang ditetapkan sebesar 560 sampel. Untuk mempermudah

pengambilan sampel reproduksi sapi potong, koordinasi yang baik antara

petugas pengambil sampel, jagal serta petugas di RPH sangat diperlukan.

Page 131: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

125

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KesimpulanPenurunan populasi ternak sapi potong di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar (Bali, NTB dan NTT) bukan disebabkan oleh adanya gangguan

reproduksi pada ternak sapi potong, namun lebih banyak disebabkan oleh

pemotongan sapi betina produktif.

2. Saran-Sarana. Dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif, pelaksanaan kegiatan

pemberian insentif kepada peternak dan kelompok peternak melalui pola

bantuan sosial (Bansos) oleh pemerintah/Kementerian Pertanian tetap

dilanjutkan

b. Pembinaan dan sosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan terutama pasal 18 ayat 2 dan pasal 86

yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014,

yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif terus dilaksanakan

secara berkelanjutan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap mereka

yang melanggar ketentuan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, R.M.A, 2004. Strategi Alternatif Pengendalian Penyakit Reproduksi Menular UntukMeningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Potong. Wartazoa. Vol. IV. No. 3. pp. 125-132

Anon., 2010. BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat JenderalPeternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.

Anon. (2010). BLUE PRINT Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat JenderalPeternakan, Kementerian Pertanian.

Dharma, D.M.N., Merthanadi, K., Sudiarka, I.W. dan Sudira, I.W., 1993. Kelainan AlatReproduksi Sapi Bali. Survei Rumah Potong. Bull. Vet. BPPH VI. Vol. VI No. 37. pp. 1-7.

Mastika, I.M., 2012 Strategi Peningkatan Produktifitas Sapi Bali Betina. Newsletter: Sapi Bali(Bali Cattle). Vol.1. Issue 1. pp.2

Nitis, I.M., Lana, K., Sukanten, W., Pemayun, T.G.O., dan Pugeh, A.W., 2000. Reproduksi SapiBali Pada Sistem Tiga Strata di Daerah Tingkat II Badung. Penampilan Reproduksi ke-4.Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. pp.18

Purba, H.J dan Hadi, P.U., 2012. Dinamika dan Kebijakan Pemasaran Produk Ternak SapiPotong di Indonesia Timur. Analisa Kebijakan Pertanian. Vol. 10 No. 4. pp. 361-373.

Page 132: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

126

PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIESSECARA VIROLOGIS, DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2015

I. K. E. Supartika, I. K. Wirata, I. G. A. J. Uliantara

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Rabies merupakan penyakit hewan menular strategis dan zoonosis dan bersifat endemis diProvinsi Bali, Pulau Flores dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur sehingga surveilansyang berkelanjutan masih perlu dilakukan. Surveilans dan monitoring ini bertujuan: mendeteksikeberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit rabies, terkait dengan upayapembebasan penyakit rabies di Provinsi Bali, mendeteksi kemungkinan keberadaan virus rabiespada anjing di Provinsi NTB agar daerah ini tetap bebas rabies, mendeteksi virus rabies padaanjing-anjing di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian rabies di Provinsi NTT.

Surveilans dan monitoring penyakit rabies pada anjing dilaksanakan dengan melakukanpengambilan sampel otak anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies. Sampelotak anjing diperiksa dengan metode Flourescent Antibody Test (FAT).

Pada tahun 2015 jumlah sampel otak anjing yang diperiksa Balai Besar Veteriner Denpasarsebanyak 3.824 sampel. Di Provinsi Bali, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak3.061 sampel, 516/3.061(16,86%) sampel diantaranya positif rabies. Rata-rata jumlah kasuspositif rabies perbulan ada sebanyak 44,08 kasus, meningkat tajam dibandingkan dengantahun 2014 sebanyak 10,83 kasus per bulan. Kasus rabies paling banyak ditemukan diKabupaten Karangasem sebanyak 126 kasus yang kebanyakan disebabkan oleh anjing yangbelum divaksin rabies.

Jumlah sampel otak yang berasal dari kabupaten/kota di Provinsi NTB sebanyak 664 sampel,tidak ada positif rabies, sedangkan sampel otak anjing dari kabupaten di Pulau Flores, ProvinsiNTT diperiksa sebanyak 99 sampel, 14/99 (14,14%) sampel positif rabies.

Hasil surveilens dan monitoring ini menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis diProvinsi Bali dan pulau-pulau disekitar pulau Flores, NTT. Program vaksinasi masal, kerjasamaantar instansi pemerintah, komunikasi, informasi dan edukasi tentang rabies ke masyarakatmasih perlu ditingkatkan. Sampai saat ini Provinsi NTB masih bebas rabies. Kontrol sangat ketatterhadap lalu lintas hewan penular rabies ke Provinsi NTB dan daerah bebas rabies di ProvinsiNTT masih sangat diperlukan.

Kata kunci: anjing, monitoring, otak, rabies, surveilans

Page 133: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

127

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.

Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar meliputi tiga provinsi yaitu :

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Seperti diketahui bahwa dua dari tiga provinsi yang merupakan wilayah kerja

BBV Denpasar merupakan daerah endemis rabies. Provinsi Nusa Tenggara

Timur, khususnya Pulau Flores dan Lembata dinyatakan terjangkit rabies sejak

tahun 1997. Sedangkan Provinsi Bali dinyatakan terjangkit rabies sejak akhir

tahun 2008 (Putra, dkk, 2009) dan sampai saat ini kasus positif rabies rabies

masih sering ditemukan da nada kecendrungan terjadi peningkatan kasus positif

rabies. Secara geografis, Provinsi NTB (yang masih berstatus bebas rabies)

namun berpotensi tertular rabies karena dibatasi oleh dua provinsi tertular rabies

yaitu Propinsi Bali dan pulau Flores, NTT .

Dengan kondisi demikian, sebagai salah satu unit pelayanan teknis (UPT) dari

Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, Kementerian Pertanian, yang membidangi kesehatan hewan, sudah

merupakan kewajiban bagi BBVet Denpasar untuk membantu pemerintah

daerah (provinsi) dalam penanggulangan rabies di daerah tertular dan

mempertahankan wilayah/ provinsi yang masih dinyatakan bebas rabies.

2. Rumusan Masalah.

a. Balai Besar Veteriner Denpasar telah dan akan terus melakukan kegiatan

surveilans dan monitoring, seperti surveilans untuk mendeteksi keberadaan

agen penyakit/ kasus rabies dan penyebarannya di lapangan terutama di

daerah-daerah endemis seperti Pulau Bali dan Pulau Flores.

b. Berdasarkan kontrak kinerja antara Direktur Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian dengan Kepala Unit Pelayanan

Teknis (UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan, masing – masing UPT diberikan beban kinerja yang telah ditentukan

target pencapaiannya. antara lain ; pencapaian target jumlah sampel,

Page 134: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

128

pemberdayaan atau peningkatan peranan Puskeswan di wilayah kerja,

peningkatan kompetensi laboratorium tipe B dan C serta pencapaian

penurunan status penyakit di wilayah kerja yang pada akhirnya dapat

mendukung program percepatan swasembada daging sapi yang

dicanangkan oleh Pemerintah.

3. Tujuan Kegiatan.

Kegiatan surveilans dan monitoring agen penyakit rabies dilaksanakan dengan

tujuan sebagai berikut :

a. Mendeteksi keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit Rabies,

terkait dengan upaya pembebasan penyakit Rabies di Provinsi Bali

b. Mendeteksi sedini mungkin kemungkinan keberadaan virus Rabies pada

anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap

bebas Rabies

c. Mendeteksi keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko

tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan

penanggulangan rabies (early detection, early warning, early response) di

wilayah Provinsi NTT.

4. Manfaat Kegiatan

a. Terpetakannya keberadaan virus rabies pada anjing berisiko terjangkit

Rabies, di kabupaten/kota terkait dengan upaya pembebasan penyakit

Rabies di Provinsi Bali

b. Tersedianya informasi sedini mungkin terkait keberadaan virus Rabies pada

anjing di wilayah Provinsi NTB dalam rangka menjaga Provinsi NTB tetap

bebas Rabies

c. Terdatanya keberadaan virus Rabies pada anjing-anjing yang berisiko

tertular Rabies di wilayah Pulau Flores terkait kegiatan pengendalian dan

penanggulangan rabies (early detection, early warning, early response) di

wilayah Provinsi NTT.

Page 135: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

129

5. Keluaran/Output.

Output yang diharapkan dari kegiatan surveilans dan monitoring penyakit Rabies

adalah

a. Tersedianya data dan informasi tentang keberadaan virus rabies pada anjing

berisiko terjangkit Rabies, terkait dengan upaya pembebasan penyakit

Rabies di Provinsi Bali

b. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara Puskeswan/ Disnak.

c. Peneguhan diagnosa cepat yang mampu dilakukan laboratorium Tipe B/C

sehingga diperoleh data situasi Rabies, serta diketahui upaya-upaya yang

dilakukan oleh Laboratorium Tipe B/C terkait situasi Rabies di Provinsi Bali,

NTB dan NTT.

6. Analisa Resiko Penyakit.

Analisa risiko penularan penyakit rabies di Provinsi Bali, NTB dan NTT meliputi

:

1. Identifikasi Bahaya (Hazard Identification),

2. Penilaian Risiko (Risk Assessment),

3. Penilaian Konsekuensi (Consequence Asses,sment) maka kegiatan

surveilans dan monitoring penyakit rabies di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar tahun anggaran 2015 dapat dirumuskan seperti pada

Tabel 1, 2, 3 dan 4.

Page 136: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

130

Tabel 1. Analisa Risiko Penyakit Rabies di Provinsi BaliTahun Anggaran 2015.

Lokasi IdentifikasiBahaya

PenilaianRisiko

PenilaianKonsekuensi Targeted

Seluruh Kab/ Kotadi Provinsi Bali

1. Data kasus 20142. Lalulintas HPR3. Populasi4. Sistem pemeliharaan5. Status vaksinasi/

kekebalan kelompok(berdasarkan hasilsurveilans serologi th2014)

1. Sebanyak 130 dari 1.279(10,16%) sampel di diagnosapositif rabies FAT

2. Lalulintas HPR dari suatu kedaerah lain sangat sulitdikendalikan.

3. Estimasi populasi anjingmencapai 400.000 ekor

4. Secara umum proporsikepemilikan anjing di Bali adalah95% anjing berpemilik (61%dilepasliarkan dan 34%dikandangkan atau diikat) dan 5%adalah anjing tidak berpemilik

5. Sebanyak 337 dari 768(43,902%) sampel yang positifserologi rabies (< 70%)

1. Kasus rabies masihcukup tinggi, danpenyakit sedangbersirkulasi dilapangan.

2. Penyebaran penyakitsulit terkendali.

3. Tingginya populasiHPR tingginyacontact rate.

4. Sistem pemeliharaanyang diliarkanmenyulitkanpengawasan danpemberian vaksinasipada HPR.

5. Setengah daripopulasi adalahhewan peka.

Berdasarkanrumusperhitunganjumlah sampel,di wilayah Balitarget sampelminimal 531.

Sedangkan untuk wilayah Provinsi NTT lainnya yang masih masuk kategori

daerah bebas rabies, seperti PulauTimor dan Pulau Sumba, juga perlu dilakukan

surveilans dan deteksi penyakit rabies mengingat kedua pulau tersebut

berdekatan dengan daerah tertular dan endemis seperti Flores. Di samping itu,

budaya masyarakat nelayan yang membawa serta anjingnya dalam pelayaran

dan disinyalir sering singgah di wilayah Pulau Sumba dan Pulau Timor, juga

menjadi alasan untuk dilakukannya kegiatan surveilans dan deteksi penyakit di

kedua wilayah tersebut. Kegiatan surveilans deteksi penyakit rabies di Pulau

Timor dan Sumba mempertimbangkan anggaran yang ada.

Page 137: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

131

Tabel 2. Analisa Risiko Penyakit Rabies di Mataram dan Lombok Barat,NTB

Lokasi IdentifikasiRisiko

PenilaianRisiko

PenilaianKonsekuensi Targeted

LombokBaratdanMataram

1.LalulintasHPR melaluipelabuhanrakyat(nelayantradisional)

2.Budayaberburu

3.Statusvaksinasihewan

4.Sistempemeliharaan

1.Masih banyak nelayan dariluar Pulau Lombokterutama dari daerahendemis rabies yangmembawa anjing dalampelayaran.

2.Budaya berburumeningkatkan risikopenularan rabies melaluigigitan hewan liar (buruan)dan perpindahan hewanke daerah lain.

3.Daerah bebas seperti NTBtidak melakukan vaksinasirabies.

4.Sebagian besarpemeliharaan HPR di wil.Lombok Barat adalahdilepasliarkan

1.HPR dari daerah endemissangat berpotensimenularkan penyakit rabies.

2.Hewan liar (buruan) sangatberpotensi menularkan rabiesmelalui gigitan, dan wilayahperburuan sampai ke luardaerah semakinmeningkatkan potensipenyebaran penyakit rabies.

3.Daerah bebas (tidak adavaksinasi rabies) seluruhpopulasi adalah peka.

4.Pemeliharaan yangdilepasliarkan akanmeningkatkan contact rate.

Jumlahsampelsesuaidenganpenghitungan sampelsize makatargetsampel diNTB adalahminimal 447sampel.

Tabel 3. Analisa Risiko Penyakit Rabies di Pulau Flores, NTT TahunAnggaran 2015.

Lokasi IdentifikasiBahaya

PenilaianRisiko

PenilaianKonsekuensi Targeted

SeluruhKabupaten didaratan Flores

1.Data kasus2014

2.LalulintasHPR

3.Populasi4.Sistem

pemeliharaan5.Status

vaksinasi/kekebalankelompok(berdasarkanhasilsurveilansserologi th2014)

1.Sebanyak 25 dari 87 (28,73%)sampel di diagnosa positifrabies FAT

2.Lalulintas HPR dari suatu kedaerah lain sangat sulitdikendalikan.

3.Estimasi populasi anjingmencapai 300.000 ekor

4.Secara umum proporsikepemilikan anjing di Florescukup tinggi dengan sistempemeliharaan dilepasliarkansebagai penjaga rumah/ kebundan berburu.

5. Sebanyak 230 dari 528(43,5%) sampel yang positifserologi rabies (< 70%)

1.Kasus rabies masihcukup tinggi, danpenyakit sedangbersirkulasi dilapangan.

2.Penyebaran penyakitsulit terkendali.

3.Tingginya populasiHPR tingginyacontact rate.

4.Sistem pemeliharaanyang diliarkanmenyulitkanpengawasan danpemberian vaksinasipada HPR.

5.Hampir 70% daripopulasi adalah hewanpeka.

Sesuaidenganpenghitungan jumlahsampel danestimasipencapaiantargetsampel,maka jumlahsampel yangdiambil diFloresadalahsebanyak520 sampel.

Page 138: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

132

Kejadian Status Sistem Kegiatan KriteriaPenyakit Vaksinasi Pemeliharaan Surveilans Lokasi

di lapangan Hewan HPRObservasi dan atau pemeriksaaan pada HPRyang menggigit/klinis, vaksinasi semua HPRdan monitoring hasil vaksinasi

Vaksinasi Pengawasan lalulintas HPR, surveilans serologi/(cakupan ? 70%) deteksi penyakit di wil. yg melalulintaskan HPR,

observasi/pemeriksaan kasus gigitan/klinisTidak vaksinasi Pengawasan lalulintas HPR, observasi/pemerik- Wilayah Bali,(vaksinasi, caku- saan sampel kasus gigitan/klinis, vaksinasi dan terutama

pan < 70%) surveilans dan monitoring penyakit rabies urban area.Pengawasan lalulintas HPR, pemetaan pe- Bali dan Floresnyakit, observasi/pemeriksaan sampel kasus urban, sub- gigitan/klinis, vaksinasi dan monitoring. urban & rural.Pengawasan lalin HPR, vaksinasi dan Bali dan Floresmonitoring post vaksinasi, pengandangan HPR, urban, sub-surveilans deteksi penyakit rabies. urban & rural.

Tidak ada Pemetaan wilayah positif serologi berdasarkan NTB, terutama(Bebas) hasil surveilans, tracing dan deteksi agen berbatasan dg

penyakit dilapangan. Bali & FloresSurveilans serologi dan deteksi penyakit di wil. NTB, terutamabebas terancam (perbatasan langsung dengan berbatasan dgdaerah tertular, potensi pemasukan HPR ilegal) Bali & Flores

Tidak ada

Ada

Tidak ada

Tidak terkendali

Ada

Kandang/ikat

Lepas/liar

Manajemen ResikoResiko Lalulintas HPR

Rabies Terkendali

Ada

Tabel 4. Alur (flow charts) Analisa Risiko Penularan Penyakit Rabies

7. Analisa Resiko Kegiatan.

Analisa resiko kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara

virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

Tahun 2015 disajikan pada Tabel 5.

Page 139: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

133

Tabel 5. Analisa Resiko Kegiatan Penyidikan Dan Pengujian PenyakitRabies Secara Virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara BaratDan Nusa Tenggara Timur Tahun 2015

No Resiko Solusi

1Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenai

lokasi di mana jumlah sampel diperkirakan tersediasecara memadai

2Masyarakat belum paham tentangresiko penyakit Rabies

Menyarankn kepada dinas/instansi terkait untuklebih proaktif mensosialisasikan tentang bahayapenyakit rabies bagi kesehatan masyarakat

3Lokasi pengambilan sampel tidaksesuai dengan yang dijadwalkan

Koordinasikan dengan dinas/instansi terkait tentanglokasi kegiatan yang pasti jauh-jauh hari sebelumkeberangkatan

4

Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yangdialokasikan oleh petugas setempat

Koordinasi dengan dinas/instansi terkait mengenaikepastian waktu pengambilan sampel jauh-jauh harisebelum keberangkatan, sehingga pengambilansampel dapat disesuaikan dengan jadwal kegiatandari dinas/instasni terkait

5

Jadwal transportasi tidak sesuaidengan waktu kegiatan dikarenakantidak ada jadwal penerbangan kelokasi terdekat dengan lokasikegiatan

Koordinasikan dengan dinas/instansi terkaitmengenai perubahan jadwal kegiatan pengambilansampel akibat kendala transportasi

6

Surat pemberitahuan jadwal kegiatansurveilans tidak sampai/lambatditerima oleh dinas/instansi dimanalokasi kegiatan surveilans akanberlangsung

Koordinasi dengan dinas/instasi terkait melaluitelepon atau sms ke petugas berwenang terkaitdengan pengiriman surat pemberitahuan jadwalkegiatan surveilans.

7

Sampel rusak akibat tidaktersedianya sarana penyimpanansampel yang layak (pendingin)

Sampel dapat kita titip pada kantor dinas/instansiatau tempat penginapan di dalam ruang pendingin(kulkas/freezer) selanjutnya dalam perjalananditambahkan es batu atau ice pack untuk menjagasampel tetap dalam keadaan baik sampai dilaboratorium

1.8. Analisa Resiko Pengujian.

Analisa resiko pengujian sampel kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit

rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015 disajikan pada

Tabel 6.

Page 140: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

134

Tabel 6. Analisa resiko pengujian sampel kegiatan penyidikan danpengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, NTBdan NTT tahun 2015.

No Resiko Manajemen Resiko1 Bahan kimia yang digunakan

untuk pengujian telahhabis/kadaluwarsa

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar bahankimia tersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman padalaboratorium lainnya di BBVet Denpasar

2 Peralatan pengujian ada yangrusak/belum tersedia

Berkoordinasi dengan panitia/pejabatpengadaan BBVet Denpasar agar alattersebut segera diadakan. Untuksementara lakukan peminjaman alatpada laboratorium lainnya di BBVetDenpasar yang menggunakan alat yangsama

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit rabies merupakan penyakit viral zoonosis akut, menimbulkan

ensefalitis fatal pada mammalia disebabkan oleh Lyssavirus dari keluarga

Rabdoviridae (Murphy et al., 2009; Fischer et al., 2013). Wilayah kerja Balai

Besar Veteriner (BBVet) Denpasar meliputi: Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur secara historis merupakan daerah bebas rabies,

namun sejak tahun 1997 wilayah ini mulai tertular rabies dengan munculnya

kasus rabies pertama kali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur

(Windiyaningsih et al., 2004), selanjutnya rabies menyebar ke Provinsi Bali pada

akhir tahun 2008 (Supartika et al., 2009). Meningkatnya lalu lintas orang, hewan

serta barang berdampak pada semakin cepatnya perpindahan orang atau

hewan dalam masa inkubasi berpindah ke tempat lain dan berperan dalam

penyebaran penyakit zoonosis seperti rabies di daerah baru (Lankau et al.,

2013). Kejadian wabah rabies di Larantuka, Flores Timur, NTT disebabkan oleh

masuknya tiga ekor anjing dari daerah endemis rabies yaitu dari daerah Butung,

pulau Buton, Sulawesi Selatan pada bulan September 1997 (Windiyaningsih et

al., 2004). Di Provinsi Bali, sumber penularan rabies diduga berasal dari

masuknya anjing dalam masa inkubasi dibawa pelaut berasal dari Sulawesi

Selatan (Putra et al., 2009). Kejadian kasus rabies di Provinsi Bali dari tahun

Page 141: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

135

2008 sampai dengan 2013 terus muncul. Anjing masih merupakan hewan

penular rabies utama di Provinsi Bali. Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali

periode tahun 2008-2012 semuanya ditularkan oleh anjing rabies (Supartika et

al., 2013). Keberhasilan pembebasan rabies dari wilayah tertentu sangat

tergantung pada seberapa efektif kegiatan surveilans telah dilaksanakan.

Surveilans adalah kegiatan terstruktur untuk melihat populasi hewan dari dekat

untuk menentukan apakah penyakit spesifik merupakan ancaman sehingga

tindakan awal dapat dilaksanakan secepatnya (Salman, 2013). Surveilans

memegang peranan penting dalam memacu memberikan respon cepat,

memonitor dampaknya, sehingga wabah secara cepat dapat ditindaklanjuti

(Townsend et al., 2013).

MATERI DAN METODE.1. MateriMateri; kegiatan surveilans dan monitoring penyakit Rabies dilaksanakan

dengan melakukan pengambilan materi sampel otak anjing dengan kriteria

sebagai berikut:

Anjing yang mempunyai risiko menularkan penyakit rabies, seperti: anjing

yang menggigit orang dan atau hewan lainnya.

Anjing yang menunjukkan gejala klinis rabies dan menunjukkan perubahan

perilaku.

Hasil eliminasi terhadap anjing liar tidak berpemilik yang dilakukan oleh

petugas dinas setempat

Sampel otak anjing yang diperoleh dari tempat-tempat yang menyediakan

hidangan dari daging anjing (rumah makan RW). Walaupun terkadang

terkesan sedikit tertutup/ eksklusif tetapi tempat yang menyediakan hidangan

daging anjing (RW) masih cukup banyak keberadaannya.

Sampel otak anjing yang mati akibat tertabrak kendaraan di jalan raya. Hal ini

menjadi pertimbangan karena pada umumnya anjing yang terjangkit rabies

akan mengalami perubahan perilaku dan cenderung kehilangan insting untuk

menghindari lalulintas kendaraan.

Untuk di daerah bebas Rabies, anjing yang berasal dari daerah tertular rabies

dan tanpa dilengkapi dengan keterangan vaksinasi rabies (SKKH)

Page 142: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

136

Bahan kimia dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penyidikan dan

pengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2015 disajikan pada

Tabel 7.

Tabel 7. Bahan dan peralatan habis pakai untuk kegiatan kegiatanpenyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis tahunanggaran 2015

No Bahan Kimia/Alat JmlSatuan

HargaSatuan Jumlah

1 Cover glas, 40X24 mm, Deckglaser 20 box 36.000 720.0002 Objek glass, 25.4X 76,2 mm, Sail Brand 20 box 94.000 1.880.0003 Plastik klip 20 bks 40.000 800.0004 Sabun antiseptic 12 bh 18.700 224.4005 Alkohol 70% 13 botol 76.000 988.0006 Aluminium foil, 8 m X 45 cm, Kin Pak 11 bh 50.000 550.0007 Glove tangan, ukuran L, Sensi 10 box 87.000 870.0008 Aceton p.a, @2,5 lt, Merck 1 botol 890.000 890.6009 Surgical mask 10 box 33.000 330.00010 Konjugit Rabies, antinukleokapsid 5 box 8.250.000 41.250.00011 Paraffin, @1 kg, Leica 1 bks 413.000 413.00012 Straw sampel otak 2000 biji 1.900 3.800.00013 Kreolin 20 botol 55.000 1.100.00014 PBS tablet, Dulbecco Oxoid 12 botol 550.000 6.600.00015 Lampu merkuri FAT 2 buah 4.000.000 8.000.00016 Microtube 2 ml 2 bungkus 792.000 1.584.000

Jumlah 69.949.000

2. Metode

Sampel otak anjing dalam keadaan segar, segar beku atau diberi pengawet

gliserin 50% selanjutnya di uji dengan metoda pewarnaan Seller dan

Flourescent Antibody Test (FAT).

PELAKSANAAN KEGIATAN

1. Pelaksanaan Pengambilan Sampel.

Pengambilan sampel di lapangan dalam kegiatan penyidikan dan pengujian

penyakit rabies secara virologis dilakukan oleh petugas pengambil sampel Balai

Besar Veteriner Denpasar bekerjasama dengan Dokter Hewan dan petugas

PUSKESWAN yang ada di masing-masing wilayah kerja. Jumlah target sampel

Page 143: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

137

otak anjing sebesar 1.498 sampel berasal dari kabupaten/kota di wilayah kerja

BBVet Denpasar disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah sampel yang diambil oleh BBVet Denpasar dan Puskeswan diBali, NTB dan NTT dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan danpengujian penyakit rabies secara virologis tahun anggaran 2015.

No Provinsi Kabupaten JumlahSampel

TotalSampel Keterangan

A Bali BBVet PKH Jml. Kunjungan Sumber Dana

1 Badung 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

2 Bangli 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

3 Buleleng 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

4 Denpasar 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

5 Gianyar 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

6 Jembrana 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

7 Karangasem 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

8 Klungkung 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

Serologi

9 Tabanan 30 29 59 2X Terintegrasi, dana Rabies Viro &

SerologiJumlah 270 261 531

B NTB1 Kab. Bima 5 144 149 1X Terintegrasi dana AI2 Kota Bima 0 96 96 Dana PKH3 Lombok Barat 10 0 10 1X Terintegrasi dana PGI4 Lombok Timur 0 144 144 Dana PKH5 Mataram 48 0 48 1X Terintegrasi, dana Rabies Viro

Jumlah 63 384 447

C NTT1 Ende 5 48 53 1X Terintegrasi, dana rabies Sero2 Flores Timur 5 48 53 1X Terintegrasi, dana rabies Sero

3 Lembata 10 48 58 2XTerintegrasi, dana rabies Sero,

Hog Cholera4 Manggarai 0 48 48 Dana PKH5 Manggarai Barat 10 48 58 2X Terintegrasi, dana rabies Sero, AI6 Manggarai Timur 5 48 53 1X Terintegrasi dana Hog Cholera7 Nagekeo 0 48 48 Dana PKH8 Ngada 48 48 96 1X Terintegrasi, dana rabies Viro9 Sikka 5 48 53 1X Terintegrasi dana AIJumlah 88 432 520Jumlah Sampel Keseluruhan 421 1.077 1.498

Page 144: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

138

Di wilayah Provinsi Bali terdapat 9 (sembilan) Puskeswan binaan BBV

Denpasar. Puskeswan-puskeswan tersebut akan dilibatkan pada saat

pengambilan sampel otak anjing. Hal ini menjadi pertimbangan karena kegiatan

eliminasi baik terhadap anjing liar yang sulit divaksinasi maupun pada kasus

gigitan bisa di respon langsung oleh para kolega Dokter Hewan di Puskeswan-

Puskeswan tersebut.

Di Provinsi NTB, melibatkan 3 Puskeswan yang menjadi binaan BBVet

Denpasar adalah Puskeswan Kabupaten Bima, Kota Bima dan Lombok Timur.

Pada kegiatan surveilans deteksi penyakit Rabies ini juga dilakukan dengan

melibatkan Tim surveilans yang terdiri dari Kabid Keswan Dinas Peternakan

Kabupaten Bima, Kota Bima, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Kota

Mataram, beserta 1 paramedik, dan petugas dari BBV Denpasar selaku

supervisor.

2. Sumber Pembiayaan.

Pembiayaan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis

di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seluruhnya

dibebankan pada DIPA BBVet Denpasar tahun anggaran 2015 Nomor:

018.06.2.239022/2015 tanggal 14 Nopember 2014 sebesar Rp. 244.500.000,-

(dua ratus empat puluh empat juta lima ratus ribu rupiah) .

3. Waktu dan Lokasi Kegiatan

Kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Provinsi

Bali, NTB dan NTT dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September

2015. Lokasi pengambilan sampel yaitu:

a. Di seluruh Kabupaten/Kota Provinsi Bali

b. Provinsi NTB : Kabupaten Bima, Kota Bima, Lombok Barat, Lombok Timur,

dan Kota Mataram

c. Provinsi NTT : Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai,

Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, dan Sikka.

Page 145: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

139

Kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis dilakukan

diseluruh daratan Flores sebagai daerah endemis Rabies. Namun demikian Tim

Surveilans hanya mengunjungi beberapa Kabupaten saja, hal ini dikarenakan

keterbatasan anggaran kegiatan. Sampel-sampel yang merupakan kasus gigitan

dari wilayah yang tidak dikunjungi akan diminta untuk dikirimkan ke

Laboratorium BBVet Denpasar atau dikirimkan ke kabupaten yang dikunjungi

oleh Tim Surveilans, sehingga meringankan biaya pengiriman dan penanganan

sampel bisa lebih terjamin.

Kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara virologis di Bali

dilakukan dengan serveilans tunggal dan terintergrasi, surveilans tunggal hanya

melakukan pengambilan sampel otak saja, namun karena pelaksanaan kegiatan

eliminasi terhadap anjing liar (yang tidak divaksinasi) terkadang dilakukan tanpa

dijadwalkan terlebih dulu (tergantung permintaan masyarakat/ terkait kasus

gigtan), maka dilakukan juga pengambilan sampel terintegrasi. Pengambilan

sampel terintegrasi dilakukan pada saat Tim BBV melakukan surveilans penyakit

apapun namun tetap melakukan pengambilan sampel otak anjing apabila di

wilayah tersebut ada kegiatan eliminasi oleh Dinas maupun terjadi kasus gigtan.

Pelaksanaan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies secara

virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT secara lebih rinci bisa dilihat dari jadwal

palang dibawah (Tabel 9).

Tabel 9. Matrik pelaksanaan kegiatan penyidikan dan pengujian penyakitrabies secara virologis di Provinsi Bali, NTB dan NTT TahunAnggaran 2015, Balai Besar Veteriner Denpasar

Bulan keTahapan Kegiatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Persiapan bahan/ alat

Penentuan lokasipengambilan sampelPenyusunan RencanaAnggaran Biaya KegiatanPelaksanaan pengambilan sampeldan pengujian laboratoriumPengolahan data hasil surveilansdan Pelaporan

Page 146: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

140

4. RINCIAN ANGGARAN BIAYA (RAB)Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujian penyakit rabies

secara virologis di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara

Timur TA. 2015 dengan rincian sebagai tercantum dalam Tabel 9).

Tabel 9. Rencana Anggaran Biaya kegiatan penyidikan dan pengujianpenyakit rabies secara virologis di Provinsi Bali, Nusa TenggaraBarat Dan Nusa Tenggara Timur, Tahun 2015 .

No Jenis kegiatan Jml Satuan Harga Satuan(Rp) Total (Rp)

1 Pengadaan bahan kimia dan peralatan habis pakai 1 Paket 70.000.000,- 70.000.000,-2 Pembuatan KAK/TOR 1 Lap 250.000,- 250.000,-3 Biaya uji sequencing whole genome virus rabies 1 Thn 120.000.000,- 120.000.000,-4 Operasional pengambilan sampel oleh PKH Bali 1 Thn 6.300.000,- 6.300.000,-5 Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTB 1 Thn 5.600.000,- 5.600.000,-6 Operasional pengambilan sampel oleh PKH NTT 1 Thn 6.300.000,- 6.300.000,-7 Biaya kirim alat/bahan operasional 1 Thn 2.000.000,- 2.000.000,-8 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi Bali 24 OH 300.000,- 7.200.000,-9 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTB 2 OP 6.100.000,- 12.200.000,-10 Surveilans dan monitoring Rabies di Provinsi NTT 2 OP 7.200.000,- 14.400.000,-11 Pembuatan laporan 1 Lap 250.000,- 250.000,-

Jumlah 244.500.000,-

HASIL.

Tahun 2015 Balai Besar Veteriner Denpasar menerima sampel untuk pengujian

penyakit rabies sebanyak 3.923 sampel yang berasal dari berbagai hewan,

masing-masing 3.160 sampel berasal dari Provinsi Bali, 664 sampel dari

Provinsi NTB dan 99 sampel dari Provinsi NTT (Grafik 1). Jumlah kasus rabies

pada hewan di Provinsi Bali pada tahun 2015 meningkat tajam dibandingkan

pada tahun 2014 seiring dan meningkatkan jumlah kasus positif rabies pada

anjing (Grafik 2). Kasus positif rabies telah menyerang kucing, babi dan sapi.

Rata-rata jumlah kasus positif rabies per bulan di Provinsi Bali ada 44,08 kasus

sebagaimana disajikan pada Grafik 3. Kasus rabies paling banyak di temukan di

kabupaten Karangasem sebanyak 126 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies

lebih banyak terjadi pada anjing yang belum divaksin (Grafik 5).

Page 147: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

141

Grafik 1.Jumlah sampel yang diperiksa di Balai Besar Veteriner Denpasaruntuk pengujian Rabies yang berasal dari Provinsi Bali, NTB danNTT, tahun 2015. (N=3.923 sampel)

Grafik 2. Jumlah kasus rabies pada hewan di Provinsi Bali Tahun 2015.

Page 148: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

142

Grafik 3. Jumlah kasus rabies per bulan di Provinsi Bali tahun 2015.

Grafik 4.Jumlah kasus rabies pada anjing di masing-masingKabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2015

Page 149: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

143

Grafik 5. Riwayat vaksinasi dari sampel otak anjing positif rabies diProvinsi Bali tahun 2015

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa sebanyak 664

sampel, kebanyakan berasal dari hasil eliminasi yang dilakukan dinas-dinas

yang menjalankan fungsi peternakan di kabupaten/kota di Provinsi NTB dalam

rangka deteksi awal rabies, agar NTB tetap bebas dari penyakit rabies. Semua

sampel yang diuji negatif rabies. (Grafik 6)

Grafik 6. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari kabupaten/kota di NTB tahun 2015. (N=664sampel)

Page 150: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

144

Di Provinsi NTT kasus rabies masih ditemukan diberbagai kabupaten/kota di

Pulau Flores. Dari 99 sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasar 14

sampel positif Rabies (Grafik 7). Anjing yang positif rabies kebanyakan tidak

memiliki data status vaksinasi. (Grafik 8)

Grafik 7. Jumlah sampel otak anjing yang diperiksa di BBVet Denpasaryang berasal dari berbagai kabupaten di Pulau Flores, ProvinsiNTT.

Grafik 8. Status vaksinasi anjing positif rabies dari kabupaten di PulauFlores, Provinsi NTT, tahun 2015

Page 151: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

145

PEMBAHASAN

Hasil surveilans tahun 2015 menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus

rabies di Provinsi Bali dibandingkan dengan tahun 2014. Tahun 2014 jumlah

kasus positif rabies ada sebanyak 130 kasus, sedangkan tahun 2015 meningkat

cukup tajam yaitu ada sebanyak 529 kasus positif rabies (Grafik 1). Kasus rabies

tidak hanya ditemukan pada anjing namun juga terjadi pada kucing (6 kasus),

babi (2 kasus) dan sapi (5 kasus). Ini mengindikasikan bahwa rabies di Bali

masih merupakan ancaman serius. Tahun 2015 semua kabupaten/kota di

provinsi Bali tertular rabies. Kasus rabies tertinggi terjadi di kabupaten

Karangasem yaitu sebanyak 126 kasus (Grafik 4). Kasus positif rabies pada

anjing lebih banyak terjadi pada anjing yang tidak divaksin rabies. Tingginya

kasus rabies pada tahun 2015 tidak terlepas dari tingginya populasi anjing di

Provinsi Bali yang diperkirakan berjumlah 400.000 ekor. Sebanyak 61% dari

populasi anjing tersebut adalah anjing berpemilik yang dilepasliarkan.

Melakukan vaksinasi rabies pada anjing yang diliarkan tidaklah mudah. Elimasi

tertarget pada anjing liar dan yang diliarkan oleh pemerintah juga mendapat

penolakan dari pemilik anjing maupun lembaga swadaya masyarakat melalui

media sosial.

Di Provinsi NTT, kasus rabies ditemukan sebanyak 14 kasus, masing-masing

ditemukan di kabupaten Ende (9 kasus), Manggarai Barat (2 kasus), Manggarai

Timur (1 kasus), Nagekeo ( 1 kasus) dan Ngada (1 kasus) (Grafik 8). Di Pulau

Flores penyakit rabies cendrung bersifat endemis mengingat anjing memiliki nilai

ekonomi yang cukup tinggi. Harga satu ekor anjing dewasa bisa mencapai satu

juta per ekor. Namun, pemeliharaan anjing di daerah ini masih kebanyakan

dilepasliarkan. Di Bali dan NTT, masyarakat memelihara anjing kebanyakan

difungsikan sebagai penjaga rumah, kebun atau untuk kepentingan komersial. Di

Bali, anjing biasanya dipakai sebagai sarana pelengkap upacara keagamaan

(mecaru), sedangkan di NTT anjing biasanya dipotong untuk upacara pesta

pernikahan. Umumnya perhatian mereka terhadap anjingnya sangat kurang.

Anjing dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri pergi ke tempat-tempat

pembuangan sampah, pasar atau tempat upacara keagamaan, serta

berkembang biak tidak terkontrol. Anjing liar sangat sulit ditangkap apa lagi

Page 152: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

146

divaksinasi. Hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011) menyebutkan bahwa

anjing yang diliarkan berpotensi 81% sebagai penular rabies. Jual beli anjing

untuk kepentingan ekonomis di NTT dan upacara keagamaan di Bali juga

berperan penting dalam penyebaran rabies di Bali dan Flores.

Penyakit rabies merupakan salah satu penyakit yang sulit dientaskan. Salah

satu kendala teknis yang dihadapi dalam pengendalian rabies adalah banyaknya

anjing liar tanpa pemilik atau sengaja diliarkan dan tidak diurus oleh pemiliknya.

Imunisasi terhadap anjing liar secara teknik sangat sulit dilakukan, sehingga

cakupan vaksinasi tidak mencapai harapan. Tidak adanya data yang akurat

tentang jumlah populasi anjing juga sebagai faktor penghambat dalam

perencanaan program pengendalian rabies. Data populasi anjing yang tepat

sangat diperlukan sebagai bahan untuk merencanakan kebutuhan vaksin,

peralatan, tenaga vaksinatur dan biaya operasional dilapangan.

Vaksinasi rabies secara massal dipercaya sebagai cara yang efektif dan cukup

ekonomis dari segi biaya untuk pengendalian rabies. Kegagalan vaksinasi

sangat kompleks, dapat disebabkan oleh kualitas vaksin, penanganan vaksin

yang tidak baik, atau masa kebal yang sudah habis, anjing dalam masa inkubasi

(Putra, 2011). Kegagalan dalam mengendalikan rabies juga disebabkan karena

cakupan vaksinasi rabies tidak mencapai jumlah yang cukup (70%), sehingga

siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak, tidak dapat diputus. Belum

lagi kesulitan lain dalam hal melakukan vaksinasi pada anjing geladak, karena

anjing tersebut sulit ditangkap. Minimnya sarana dan prasarana penunjang

kegiatan vaksinasi di Puskeswan, ketersediaan vaksin, ketiadaan dana

sosialisasi juga berperan dalam belum suksesnya pengendalian rabies.

Di Provinsi NTB, jumlah sampel otak anjing yang diperiksa dari bulan Januari

sampai dengan Desember 2015 sebanyak 664 sampel, berasal dari 9

kabupaten/kota semuanya hasilnya negatif rabies (Grafik 6). Provinsi NTB

merupakan wilayah status waspada rabies, berbatasan dengan dua provinsi

terjangkit rabies, di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bali dan di

sebelah timur dengan Provinsi NTT. Lalu lintas barang/orang yang melintasi

Page 153: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

147

wilayah NTB baik melalui jalur darat, udara dan laut cukup tinggi. Upaya-upaya

untuk memasukkan hewan penular rabies ke daerah ini oleh penyayang hewan

tentu ada oleh karena itu pengawasan ketat terhadap keluar masuknya hewan

penular rabies oleh lembaga karantina hewan perlu ditingkatkan. Disamping itu

surveilans terstruktur, komunikas, informasi dan edukasi tentang bahaya dan

pencegahan rabies kepada masyarakat diseluruh kabupaten/kota di Provinsi

NTB perlu terus ditingkatkan.

Analisa resiko kegiatan.

Jumlah target sampel untuk surveilans dan monitoring agen penyakit rabies di

provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015 sebanyak 1.498 sampel, terdiri dari 531

sampel dari Provinsi Bali, 447 sampel dari NTB dan 520 sampel dari NTT. Dari

jumlah sampel, Provinsi Bali dan NTB jumlah sampel otak yang terkumpul telah

melampaui target. Sedangkan dari Provinsi NTT jumlah sampel otak anjing yang

terkumpul hanya 99 sampel dari target sampel sebanyak 520. Hal ini mungkin

disebabkan oleh karena anjing mempunya nilai ekonomi yang cukup tinggi di

NTT khususnya di Pulau Flores, sehingga untuk melakukan eliminasi anjing oleh

pemerintah menemui kesulitan, disamping itu untuk menangkap anjing yang

diliarkan sangat sulit apalagi tanpa ada dukungan dari pemilik/masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan.

1. Penyakit rabies masih bersifat endemis di Provinsi Bali dan beberapa

kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Provinsi NTB masih bebas dari penyakit rabies.

3. Tahun 2015 terjadi peningkatan kasus rabies yang cukup tinggi di Provinsi

Bali.

4. Kasus positif rabies di wilayah kerja BBVet Denpasar lebih banyak

disebabkan oleh anjing yang belum pernah diimunisasi rabies.

Page 154: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

148

Saran-saran

1. Perlu upaya kerja keras dalam upaya pengendalian dan pemberantasan

rabies di Bali dan NTT, diantaranya melakukan vaksinasi masal, kebijakan

depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan tokoh

masyarakat setempat, serta kemungkinan penggunaan vaksinasi oral.

2. Surveilans terstruktur serta pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan

penular rabies ke wilayah NTB perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Fischer, M., Wernike, K., Freuling, C.M., Muller, T., Aylan, O., Brochier, B., Cliquet, F., Vazquez-Moron, S., Hostnik, P., Huovilainen, A., Isakson, M., Kooi, E.A., Mooney, J., Turcitu, M.,Rasmussen, T.B., Revilla-Fernandez, S., Sunreczak, M., Fooks, A.R., Maston, D.A.,Beer, M., Hoffman, B (2013). A Step Forward in Molecular Diagnostic of Lyssaviruses-Results of a Ring Trial among European Laboratories. PLOS ONE. Vol. 8. Issue 3. E5

Lankau, E.W., Cohen, N.J., Jentes, E.S., Adam, L.E., Bell, T.R., Blantan, J.D., Buttke, D.,Galland, G.G., Maxted, A.M., Tack, D.M., Waterman, S.H., Ruppecht, C.E. and Marano,N (2013). Prevention and Control of Rabies in an Age of Global Travel: A Review ofTravel and Trade Associated Rabies Events, United States, 1998-2012. Zoonoses PublicHealth. 22: 12071

Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C and Studdert, M.J (2009). Rhabdoviridae. In:Veterinary Virology, 3rd Ed. 429-439.

Putra, A.A.G., Gunata, I.K., Faizah, Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji, G., Putra, A.A.G.S.,Soegiarto dan Scott-Orr, H. (2009). Situasi Rabies di Bali: Enam Bulan Pasca ProgramPemberantasan. Buletin Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar, Vol. XXI, 74.13-26

Windiyaningsih, C., Wilde, H., Meslin, F.X., Suroso, T and Widarso, H.S. (2004). The RabiesEpidemic on Flores Insland, Indonesia (1998-2003). J. Med. Assoc. Thai. 87(11) 1389-1393

Salman, M.D (2013). Surveillance Tools and Strategies for Animal Disease in Shifting ClimateContext. Anim. Helath Res. Rev. 23: 1-4

Supartika, I.K.E., Setiaji, G., Wirata, K., Hartawan, D.H., Putra, A.A.G., Dharma, D.M.N.,Soegiarto dan Djusa, E.R. (2009). Kasus Rabies Pertama Kali di Provinsi Bali. BuletinVeteriner, Vol. XXI; 74. 7-12.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I. G. J, dan Diarmita, I. K.(2013) . Rabies Pada HewanDi Provinsi Bali Tahun 2008-2012 Bulletein Veteriner, Balai Besar Veteriner Denpasar

Townsend, S.E., Lembo, T., Cleaveland, S., Meslin, F.X., Miranda, M.E., Putra, A.A.G., Haydon,D.T and Hampson, K (2013). Surveillance Guidelines for Disease Elimination: A CaseStudy of Canine Rabies. Comparative Immunology, Microbiology and InfectiousDiseases. 36. 249-261.

Page 155: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

149

MONITORING DAN SURVEILANS RESIDUDAN CEMARAN MIKROBA PADA PANGAN ASAL HEWAN DI PROVINSIBALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARA TIMUR

(NTT) TAHUN 2015

Dewi, A.A.S, A.A.G. Semara Putra, P.B. Frimananda, G.Y.Suryawan, N.Riti.,D.Purnawati, R.C.Saputro

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Pangan asal hewan (daging, telur dan susu) merupakan bahan pangan yang mudah rusak(perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan (hazardousfood) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi (residu) dan biologis (mikroba) sehinggadapat membahayakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, sertamengganggu ketentraman batin masyarakat termasuk kehalalan. Program Monitoring dansurveilans residu dan cemaran mikroba (PMSR-CM) pada pangan asal hewan tahun 2015 diProvinsi Bali, NTB dan NTT telah dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian foodsafety key indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikatorkeamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditasyang beredar di suatu daerah. Pengambilan sampel dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH),pasar tradisional, kios pengecer (retail) dan perusahaan pemasok daging (importir) dengan totaljumlah sampel adalah 2073 sampel. Hasil uji terhadap cemaran mikroba terutama Total PlateCount (TPC) menunjukkan bahwa sebanyak 21,45-66,7% sampel mengandung total jumlahkuman melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI7388:2009 yaitu 1x106 koloni/gram, sedangkan hasil uji terhadap E.coli menunjukkan sebanyak7,1-8,1% sampel mengandung bakteri E.coli melebihi BMCM yaitu 1 x 101 koloni/gram. Hasil ujiterhadap bakteri S.aureus, Campylobacter sp menunjukkan hasil negatif dan hasil uji terhadapbakteri Salmonella sp ditemukan 1 sampel daging ayam positif mengandung bakteri Salmonellasp. Hasil uji cemaran mikroba ini mengindikasikan bahwa secara umum tingkat higiene dansanitasi pada mata rantai produksi pangan relatif rendah sehingga tingkat higiene khususnyadaging segar tersebut juga relatif rendah. Sementara itu hasil uji terhadap residu antibiotikamenunjukkan bahwa masih ditemukan adanya residu antibiotika (0,3-5,35%) pada sampel telurayam dan hati sapi. Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya pengawasan terhadappenggunaan antibiotika di peternakan dan kurangnya perhatian terhadap masa henti obat(withdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sedangkan hasil uji terhadap residu logam berattimbal (Pb), Aflatoksin M1, Hormon Trenbolon Acetat (TBA) dan Identifikasi spesies babimenunjukkan negatif.

Kata kunci : Monitorin, surveilans, Residu , Cemaran Mikroba

Page 156: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

150

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 14/Permentan/OT.140/2/2008

tentang Pedoman Pengawasan dan Pengujian Keamanan dan Mutu Produk

Hewan disebutkan bahwa produk hewan memiliki nilai dan kualitas bagi

kemaslahatan manusia. Khusus pangan asal hewan berupa daging telur dan

susu merupakan protein hewani yang mengandung asam amino essensial yang

tidak dapat diganti dengan protein nabati atau protein sintetis lainnya, sehingga

dapat bermanfaat bagi pertumbuhan, kesehatan, dan mencerdaskan kehidupan

bangsa (Anon, 2013).

Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah

rusak (perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan

lingkungan (hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi

(residu) dan biologis (mikroba) sehingga dapat membahayakan keselamatan

hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, serta mengganggu

ketentraman bathin masyarakat termasuk kehalalan.

Oleh karena itu, untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat

membahyakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan,

serta mengganggu ketentraman batin masyarakat termasuk kehalalan, dan guna

mendorong pelaku usaha untuk dapat menghasilkan produk hewan yang

memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk hewan yang diproduksi,

dimasukkan dari dan/atau dikeluarkan ke luar negeri, dan yang diedarkan di

dalam negeri, perlu dilakukan pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu

produk hewan

Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba

(PMSR-CM) tahun 2014 di Provinsi Bali, NTB dan NTT, tingkat kontaminasi

mikroba pada pangan asal hewan masih relatif tinggi yaitu sebanyak 34%

pangan asal hewan khususnya daging segar mengandung total jumlah kuman

(TPC) melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang dipersyaratkan dalam

Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini mengindikasikan bahwa masih

rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai penyediaan pangan

Page 157: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

151

asal hewan ditingkat unit usaha atau unit proses Sementara itu, pangan asal

hewan terutama telur belum terbebas dari residu antibibiotika karena masih

ditemukan residu antibiotika sebanyak 7,3% dan daging sapi import dan hati

sapi lokal tidak ditemukan residu hormon trenbolon acetat

Oleh karena itu pelaksanaan PMSR-CM tahun 2015 dilakukan dengan

pendekatan mengutamakan pengujian food safety key indicators (hanya

melakukan beberapa jenis pengujian yang menjadi indikator keamanan pangan)

berbasis kepada pendekatan produk dan disesuaikan dengan komoditas yang

beredar di suatu daerah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan yaitu sampai sejauh mana tingkat keamanan pangan asal hewan

yang beredar di wilayah kerja BB-Vet Denpasar (Provinsi Bali, NTB dan NTT)

tahun 2015 ditinjau dari kandungan residu dan cemaran mikroba dan faktor-

faktor yang berasosiasi terhadap tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu.

1.3. Tujuan Kegiatan

Untuk mendapatkan prevalensi kejadian residu dan cemaran mikroba pada

produk asal hewan tahun 2015, dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan

tingginya tingkat cemaran mikroba dan residu.

1.4. Manfaat Kegiatan

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui prevalensi residu dan cemaran

mikroba pada pangan asal hewan yang beredar di wilayah kerja BB-Vet

Denpasar yaitu Provinsi (Bali, NTB dan NTT) sehingga hasil pelaksanaan

PMSR-CM yang dilakukan dapat ditindaklanjuti sebagai bahan kebijakan dalam

penjaminan keamanan produk hewan

Page 158: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

152

1.5. Output

1. Informasi ilmiah untuk tindak lanjut rekomendasi perbaikan di tingkat unit

usaha atau unit proses (peningkatan/ perbaikan praktek hyginie dan sanitasi

di unit usaha)

2. Informasi ilmiah sebagai data dasar yang perlu dikaji lebih lanjut dalam rangka

penilaian risiko terhadap ancaman potensial hazard bagi konsumen produk

hewan.

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

2.1.1. Bahan

PMSR-CM tahun 2015 dilakukan dengan pendekatan mengutamakan pengujian

food safety key indicators (hanya melakukan beberapa jenis pengujian yang

menjadi indikator keamanan pangan) berbasis kepada pendekatan produk dan

disesuaikan dengan komoditas yang beredar di suatu daerah.

Oleh karena itu jenis sampel yang diambil adalah daging segar (ayam, sapi dan

babi), daging sapi beku impor, hati sapi, telur (ayam, itik), telur asin, kepala-leher

ayam dan daging olahan (bakso, sosis, nuget) dengan parameter uji yang

berbeda-beda untuk masing-masing jenis sampel. Pengambilan sampel

dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH), pasar tradisional, retail (pengecer)

dan importir di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT.

Total jumlah sampel yang diambil sebanyak 2073 yang terdiri dari 320 sampel

daging sapi, 118 sampel daging babi, 155 sampel daging ayam (bagian dada),

151 sampel kepala-leher ayam, 452 sampel hati sapi, 197 sampel daging

olahan, 199 sampel susu, 452 sampel telur ayam, 19 sampel telur asin dan 10

sampel telur bebek).

Sedangkan bahan (media) yang diperlukan untuk pengujian cemaran mikroba

(TPC) mencakup plate count agar (PCA), BPW 0,1%.

Page 159: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

153

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian Salmonella sp antara lain lactose broth,

tetra thionate broth, bismuth sulfit agar, xylose lysine desoxycholate agar,

hektoen enteric agar, triple sugar iron agar, lysine iron agar.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian E.coli antara lain : Lauryl sulfate

tryptose broth, brilliant green lactose bile broth, Escherichia coli broth, levine’s

eosin methylene blue (L-EMB) agar, plate count agar, MR-VP broth, koser’

citrate broth, tryptone broth, reagen kovac’s, reagen pewarnaan gram, reagen

metyl red indikator, reagen voges proskauer.

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian S.aureus dan Campylobacter sp antara

lain : Baird parker agar, egg yolk tellurite emultion, heart infusion broth, TSA,

koagulase plasma kelinci dengan EDTA 0,1%, BPW 0,1%,campylobacter

enrichment broth, modified campy blood-free agar (mCCDA), pepton 0,1%

Bahan yang dibutuhkan untuk pengujian residu antibiotika, residu hormon

trenbolone acetate, logam berat dan identifikasi spesies mencakup bakteri

(Bacillus cereus ATCC 11778, Bacillus cereus ATCC 6633, Bacillus

stearothermophillus ATCC 7953 dan Kocuria rizophilla ATCC 9341) bacto

pepton, bacto agar, beef extract, yeast extract, glucosa, dextrosa, tryptone, tert

butylmetylether, enzim β- glucoronidase, kit elisa TBA, kit elisa aflatoksin M1,

HNO3, primer babi (Forward 5’ ATG AAA CAT TGG AGT AGT CCT ACT ATT TAC C

3’, Reverse 5’ CTA CGA GGT CTG TTC CGA TAT AAG G 3’) ukuran amplicon

(bp) 149 bp, master mix.

2.1.2. Alat

Peralatan yang dibutuhkan antara lain : pinset, gunting, termos dingin, cawan

petri, incubator, freezer, refrigerator, stomacher, timbangan analitik, anaerobic

jar/incubator CO2, mikro pipet, pipet volumetrik, tabung reaksi, tabung durham,

tabung volumetrik, labu erlenmeyer, ose, api bunsen, pH meter, biosafety

cabinet, laminar air flow, autoclave, gelas ukur, oven, colony counter,

mikroskop, evaporator, homogenizer, elisa reader, AAS, termocycler,

elektroforesis, microwave digestion system, fume hood.

Page 160: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

154

2.2 Metode

2.2.1 Pemilihan lokasi

Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji cemaran mikroba, residu

(antibiotika, logam berat), aflatoksin M1 dan identifikasi spesies daging babi

adalah lokasi yang berdasarkan analisis risiko memiliki risiko yang cukup tinggi,

yaitu pada kabupaten/kota yang memiliki RPH/TPH , pasar/kios (daging, susu,

telur).

Untuk sampel pengujian residu hormon, lokasi pengambilan sampel dipilih

berdasarkan pertimbangan bahwa ditempat tersebut dijual daging sapi yang

berpeluang berasal dari sapi yang diberi perlakuan growth promotor hormonal

(daging impor diambil dari perusahaan importir daging, untuk sapi lokal diambil

organ hati di RPH)

Pengambilan sampel di Provinsi Bali dilakukan disembilan Kabupaten/Kota

(Badung, Tabanan, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Bangli, Buleleng,

Jembrana, dan Denpasar). Di Provinsi NTB dilakukan dilima Kabupaten/Kota

(Lombok Utara, Lombok Tengah, Mataram, Sumbawa Besar dan Dompu)

sedangkan di Provinsi NTT dilakukan di Kabupaten/Kota (Sumba Barat Daya,

Manggarai Tengah, Manggarai Barat, Ende, Atambua dan Kupang).

Sampel daging segar diambil di Rumah Potong Hewan (RPH) Tempat

Pemotongan Hewan (TPH), dan pasar tradisional sedangkan sampel telur, susu

dan daging olahan diambil di pasar tradisional dan retail (pengecer).

Pengambilan sampel khususnya daging sapi beku impor juga dilakukan di

beberapa perusahaan (importir) untuk pemeriksaan residu hormon trenbolon.

2.2.2. Metode sampling

Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu

lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan adanya RPH/TPH, pasar dan pengecer

(daging, daging olahan, susu,telur), dan perusahaan importir daging. Pemilihan

sampel daging, daging olahan, susu, telur pada pasar dan kios (pengecer)

dilakukan secara random sederhana

Page 161: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

155

2.2.3. Sampel size

Mengingat keterbatasan sumber daya maka proses sampling diperlukan. Untuk

itu sampel size ( jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili) dihitung

berdasarkan rumus n = [ Zα/2 ]2 x P x Q]

L2

Keterangan : n = Jumlah sampel

Z = Nilai standar normal (baku)

P = proporsi = prevalensi

Q = Peluang tidak terjadi cemaran

L = Tingkat ketelitian

α = tingkat kepercayaan

Dalam hal ini nilai P (prevalensi) yang diambil adalah 34% (prevalensi TPC

tahun 2014), α yang dipilih adalah 5%, L yang dipilih 5%.

Perhitungan :

n = [2]2 x 0,34 x (1-0,34) = 35,9 dibulatkan 36

(0,05)2

Untuk meningkatkan ketelitian (untuk menekan bias) maka sample size terhitung

36 x 3 = 108 (Martin,T.,1987). Namun mengingat keterbatasan sumber daya dan

untuk meningkatkan efisiensi maka sample size yang diambil adalah diatas

jumlah sampel minimal (diatas 36).

2.2.4 Penanganan dan transportasi sampel

Semua sampel (daging segar) yang diambil ditangani secara aseptis. Sampel

yang diperoleh disimpan dan ditransportasikan pada suhu dingin, sedangkan

sampel telur diletakkan dalam wadah telur. Selain sampel primer (daging), akan

diambil juga sampel sekunder antara lain : sampel air di RPH, swab pisau, meja

(alas daging) dan timbangan di pasar tradisional

2.2.5 Pengujian sampel

a. Cemaran mikroba (TPC, E.coli, S.aureus, Salmonella sp. ,Campylobacter sp.)

Page 162: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

156

Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian dimasukkan

dalam wadah steril, ditambahkan 225 ml BPW 0,1% dan dihomogenkan

selama 1-2 menit (10-1) selanjutnya dibuat pengenceran seri berkelipatan 10.

Dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran tersebut dan dituangkan ke

dalam cawan petri steril. Kemudian dituangkan 12-15 ml plate count agar dan

diinkubasikan pada suhu 350C selama 24-48 jam Koloni yang tumbuh

dihitung sebagai Total Plate Count (TPC).

Pengujian bakteri E.coli dilakukan dengan mengambil 1 loop dari setiap

tabung LSTB yang positif ke tabung EC broth yang berisi tabung durham dan

diinkubasikan pada suhu 45,50C selama 24-48 jam ± 2 jam. Tabung-tabung

yang menghasilkan gas dinyatakan positif dan diduga bakteri E.coli. Uji

peneguhan dilakukan dengan mengambil 1 loop dari biakan EC broth yang

positif kemudian dibuat goresan pada media L-EMB dan diinkubasikan pada

suhu 350C selama 24 jam. Koloni tersangka dari masing-masing L-EMB

dipindahkan ke PCA miring untuk uji morfologi dan biokimia. Bakteri E.coli

dihitung dengan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung dalam pengenceran

EC broth yang positif.

Pengujian Staphylococcus aureus, sampel dari setiap pengenceran diambil

masing-masing sebanyak 1 ml (terbagi dalam 0,4 ml, 0,3 ml, 0,3 ml) dipupuk

pada media BPA yang telah ditambahkan egg yolk., diinkubasikan pada suhu

350C selama 45-48 jam. Jika dalam pupukan ditemukan koloni yang khas

S.aureus, maka koloni tersebut diisolasi dan dilarutkan dalam 0,2-0,3 ml BHI

broth, kemudian diinkubasikan pada suhu 350C selama 18-24 jam. Sebanyak

0,5 ml koagualse plasma kelinci ditambahlan ke biakan BHI broth dan

diaduk, selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350C dan diperiksa setiap 6 jam

untuk melihat terbentuknya gumpalan.

Pengujian bakteri Salmonella sp, sebanyak 25 gram sampel ditambahkan

225 ml lactose broth, diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2 jam.

Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml tetrathionate

broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Dari media

tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media HE, XLD dan BSA,

diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam. Koloni yang khas untuk

Page 163: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

157

bakteri Salmonella sp diuji pada media TSIA dan LIA. Koloni yang dicurigai

diuji dengan reaksi biokimia dan serologi.

Pengujian bakteri Campylobacter sp, sebanyak 25 gram sampel dan

ditambah 100 ml pepton 0,1%, dicentrifus dingin 16 000 rpm selama 15

menit kemudian supernatannya dibuang. Selanjutnya dipindahkan 3 ml

endapan ke dalam botol sentrifus steril yang berisi 100 ml enrichment broth.

Suspensi tersebut diinkubasikan pada suhu 370C selama 4 jam dalam

kondisi anaerobik. Temperatur inkubasi dinaikkan menjadi 420C selama 24

jam. Dari suspensi tersebut dibuat pengenceran 1:100 (0,1 ml dimasukkan ke

dalam 9,9 ml pepton 0,1% pepton). Digoreskan 2 ose dari suspensi ke media

agar mCCDA, diinkubasikan pada suhu 420C selama 24-48 jam dalam

kondisi anaerobic (Anon, 2008)

b. Residu antibiotika (bioassay)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dipotong kecil-kecil ditambahkan pelarut

dapar fosfat sebanyak 20 ml dan disentrifus. Setelah disentrifus diambil

supernatannya. Kertas cakram diletakkan di atas media yang telah

ditambahkan bakteri uji sesuai dengan jenis antibiotika yang akan diuji,

kemudian ditetesi dengan suspensi sampel dan kontrol antibiotika sebanyak

75 ul, diinkubasikan selama 16-18 jam untuk golongan makrolida dan

aminoglikosida pada temperatur 360C ± 10C, golongan tetrasiklin pada

temperatur 300C ± 10C dan golongan penisillin pada temperatur 550C ± 10C.

Diameter hambatan yang terbentuk pada sampel sebaiknya berada dalam

kisaran kurva baku, apabila diameter hambatan yang terbentuk melebihi nilai

kurva baku maka sampel harus diencerkan (Anon, 2008)

Page 164: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

158

d. Uji Residu logam berat

Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan diletakkan dalam tabung

microwave. Sampel ditambahkan 5 ml HNO3, kemudian destruksi di dalam

microwave. Selanjutnya pindahkan larutan hasil destruksi ke dalam labu

takar 50 ml. Bilas labu destruksi 3 kali masing-masing dengan 5 ml air

deionisasi. Tepatkan dengan asam nitrat 0,1M. Selanjutnya sampel dianalisa

dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) (Anon, 2013)

e. Uji Hormon Trenbolon Acetat (TBA)

Sebanyak 10 gram sampel di ekstraksi dan dipurifikasi, selanjutnya dilakukan

uji ELISA: ditambahkan 20 ul tiap-tiap larutan standar atau sampel dan

ditambahkan 50 ul larutan enzim conjugate pada masing-masing lubang plate

(well). Selanjutnya ditambahkan 50 ul larutan anti-trenbolon antibody pada

masing-masing well, plate dikocok secara manual dan diinkubasi selama 2

jam pada suhu kamar, kemudian di cuci dengan aquadest sebanyak 2 kali.

Pada masing-masing well ditambahkan 50 substrat dan 50 ul cromogen,

dikocok pelan-pelan secara manual, diinkubasi pada suhu kamar selama 30

menit dalam ruangan gelap. Selanjutnya ditambahkan 100 ul stop solution

pada masing-masing well. Setelah 30 menit, plate dibaca pada filter 450 nm.

f. Uji Aflatoksin M1

Pengujian Aflatoksin M1 dalam sampel susu dilakukan dengan metode ELISA

kompetitif. Sampel susu dikondisikan pada suhu 10 °C, kemudian disentrifuse

pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan atas dihilangkan

menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 μl susu yang telah dihilangkan

lemaknya digunakan untuk pengujian. Larutan antibodi anti-aflatoxin M1

sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dari microwell, dihomogenkan

dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C) selama 15 menit. Larutan antibodi

dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap,

kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μL larutan

washing buffer pada setiap sumur. Standar AFM1 dan sampel masing-masing

sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi

pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 30 menit.

Page 165: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

159

Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi

microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3

kali dengan 250 μl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 μl)

ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang

dalam keadaan gelap selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara

membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan

pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 μl larutan washing buffer.

Substrat/chromogen sebanyak 100 μl ditambahkan ke setiap sumur dan

dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap

selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 μl stop

solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan ELISA reader pada

panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam jangka waktu 15

menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai optical density

(OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian diintegrasikan ke dalam

bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan software.

g. Uji Identifikasi Spesies Babi (Pemalsuan daging babi)

Ekstraksi sampel : Waterbath/blok pemanas disisapkan pada suhu 55 0 dan

700 kemudian sebanyak 25 mg daging dimasukkan ke dalam mikrotube.

kemudian ditambahkan 180 µl lysis buffer (L6) dan 20 µl proteinase K

kedalam tube, dan diinkubasikan pada suhu 550C selama 30 menit. Sebanyak

20 µl RNase A ditambahkan dan diinkubasikan pada suhu ruangan selama 2

menit. Kemudian sentrifuse dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit.

Supernatan dipindahkan ke tube baru dan ditambahkan 10 % SDS sebanyak

10 µl dan divortek. Kemudian sebanyak 200 µl Binding Buffer (L3)

ditambahkan ke dalam tube dan divortex dan diinkubasikan pada suhu 700C

selama 10 menit.

Sebanyak 200 µl etanol 90-100% kemudian ditambahkan ke dalam tube.

Selanjutnya cairan yang ada dalam tube di pindahkan ke spincolumn dan

disentrifus dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang

dan ditambahkan kembali W4 kemudian disentrifus dengan kecepatan

Page 166: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

160

12.000 rpm selama 30 detik. Cairan dibuang, sebanyak 500 µl wash buffer

(W5) ditambahkan ke dalam tube kemudian dengan kecepatan 12.000 rpm

selama 30 detik dan diulangi sekali lagi. Cairan dibuang dan disentrifus

dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 detik. Masukkan ke dalam

collection tube dan sebanyak 100 µl elution buffer (E1) ditambahkan

kemudian diinkubasikan pada temperature ruangan selama 1 menit.

Kemudian disentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Dilanjutkan

dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR).

HASIL

Pangan asal hewan yang diuji berdasarkan parameter uji Total Plate Count

(TPC), menunjukkan sebanyak 83 sampel (49,4%) dari 168 sampel yang diambil

di RPH, sebanyak 232 sampel (66,7%) dari 348 sampel yang diambil di pasar

tradisional dan sebanyak 15 sampel (21,4%) dari 70 sampel yang diambil di

kios pengecer mengandung TPC melebihi persyaratan Batas Maksimum

Cemaran Mikroba (BMCM) yang dipersyaratan dalam SNI 01-7388-2009. Hasil

selengkapnya tersaji dalam tabel 1 di bawah ini.

Page 167: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

161

Tabel 1. Hasil Uji Total Plate Count (TPC) pada sampel daging segar, dagingolahan dan susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Hasil Uji Total Plate Count (TPC)RPH Pasar Tradisional Pengecer (Retail)Asal

SampelJenis

sampel ∑sampel

>BMCM

∑sampel

>BMCM

∑sampel

>BMCM

Dg. Sapi 34 15(44,1%)

37 24(64,9%)

5 4 (80%)

Dg. Babi 9 9(100%)

56 43(76,8%)

3 3(100%)

Kepalaayam

5 2 (40%) 27 25(92,6%)

3 3(100%)

Dg.Olahan

2 0(0,0%)

Bali

Susu 22 0(0,0%)

10 0 (0,0%)

Dg. Sapi 63 30(47,6%)

32 16(50%)

Dg. Babi 5 4 (80%)Kepalaayam

39 29(74,4%)

Dg.Olahan

14 0 (0,0%)

NTB

Susu 5 0 (0,0%) 10 0 (0,0%)Dg. Sapi 45 20

(44,4%)25 25

(100%)5 0 (0,0%)

Dg. Babi 7 3(42,9%)

30 23(76,7%)

Kepalaayam

57 47(82,5%)

5 5(100%)

Dg.Olahan

16 0 (0,0%)

NTT

Susu 15 0 (0,0%)Total 168 83

(49,4%)348 232

(66,7%)70 15

(21,4%)Keterangan : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam StandardNasional Indonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/mluntuk TPC; daging segar : 1x106 ; daging olahan : 1x105 ; susu pasteurisasi : 5x 104.

Page 168: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

162

Hasil uji terhadap Eschericia coli (E.coli) menunjukkan bahwa, sebanyak 12

sampel (7,1%) dari 169 sampel yang diambil di RPH, sebanyak 9 sampel (7,4%)

dari 121 sampel yang diambil di pasar tradisional dan 3 sampel (8,1%) dari 37

sampel yang diambil di kios pengecer mengandung E.coli melebihi BMCM.

Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji E.coli pada sampel daging segar dan susu asal Bali, NTBdan NTT tahun 2015

Hasil Uji E.coliRPH Pasar

TradisionalPengecer (Retail)

AsalSampel

Jenissampel

∑sampel

>BMCM

∑sampel

>BMCM

∑sampel

> BMCM

Dg. Sapi 28 4

(14,3%)

12 0 (0,0%)

Dg. Babi 9 3

(33,3%)

53 9 (17%)

Kepala

ayam

3 0 (0,0%) 1 0

(0,0%)

Bali

Dg. Ayam 1 0 (0,0%) 5 0

(0,0%)

Dg. Sapi 54 2 (3,7%) 32 3 (9,4%)

Dg. Babi 15 0 (0,0%)

NTB

Susu 5 0 (0,0%)

Dg. Sapi 55 2 (3,6%) 15 0 (0,0%) 5 0 (0,0%)NTT

Dg. Babi 4 1 (25%) 30 0 (0,0%)

Total 169 12

(7,1%)

121 9 (7,4%) 37 3 (8,1%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml untukE.coli; daging segar : 1x101; susu : < 3/ml

Page 169: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

163

Sedangkan hasil uji terhadap cemaran bakteri Staphylococcus aureus

(S.aureus), Salmonella sp dan Campylobacater sp disajikan dalam tabel 3 di

bawah ini. Hasil uji menunjukkan bahwa semua sampel yang diuji tidak

mengandung (negatif) terhadap S.aureus dan Campylobacter sp. Sedangkan

hasil uji terhadap Salmonella sp, sebanyak 1 sampel (0,1%) dari 951 sampel

mengandung (positif) Salmonella sp.

Tabel 3. Hasil uji S.aureus, Salmonella sp dan Campylobacter sp.pada sampeldaging segar, telur dan susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Hasil UjiS.aureus Salmonella sp Campylobacter spAsal

Sampel

Jenissampel ∑

sampel∑

positif∑

sampel∑

positif∑

sampel∑

positifDg. Sapi 81 0Dg. Babi 61 0Kepalaayam

1 0 3 0 2 0

Dg. Ayam 1 0 75 0 5 0Telur ayam 123 0Susu 41 0 1 0

Bali

Dg. Olahan 12 0Dg. Sapi 79 0Dg. Babi 15 0Dg. Ayam 41 0Telu ayam 158 0Telur bebek 5 0 10 0Telur asin 10 0 10 0Susu 20 0

NTB

Dg. Olahan 14 0Dg. Sapi 75 0Dg. Babi 37 0Dg. Ayam 39 1

(2,6%)*Telur ayam 134 0Telur asin 9 0Dg. Olahan 22 0

NTT

Susu 20 0Total 146 0

(0,0%)951 1

(0,1%)*7 0

(0,0%)Ket : * sampel daging ayam positif Salmonella sp berasal dari Sumba BaratDaya Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) dalam Standard NasionalIndonesia (SNI) 7388-2009 dalam satuan koloni/gram atau koloni/ml , S.aureus :1x102 , Salmonella sp : negatif/25 gram, Campylobacter sp : negatif/25 gram

Page 170: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

164

Sementara itu, hasil uji terhadap residu antibiotika disajikan dalam tabel 4 di

bawah ini.. Hasil uji menunjukkan, sebanyak 18 sampel (2,4%) positif

mengandung residu antibiotika golongan penisillin (PC’s), 6 sampel (0,8%)

positif golongan tetrasiklin (TC’s), 39 sampel (5,25%) positif golongan

Aminoglikosida (AG’s) dan 2 sampel positif golongan makrolida (MC’s) dari 742

sampel yang diuji.

Tabel 4. Hasil Uji Residu Antibiotika sampel daging dan telur asal Bali,NTB dan NTT tahun 2015

∑ Sampel Positif Residu AntibiotikaAsalSampel

JenisSampel

umlahsampel PC’s TC’s AG’s MC’s

Dg. Sapi 10 0 0 0 0

Dg. Babi 60 0 0 0 0

Dg. Ayam 12 0 0 0 0

Hati sapi 41 1 (2,4%) 1 (2,4%) 2 (4,9%) 0

Hati babi 7 0 0 0 0

Bali

Telur ayam 142 0 3 (2,1%) 4 (2,8%) 0

Dg. Babi 10 0 0 0 0

Dg. Ayam 5 0 0 0 0

Hati sapi 70 0 0 0 0

NTB

Telur ayam 149 14 (9,4%) 2 (1,3%) 18 (12,1%) 1 (0,7%)

Dg. Babi 22 0 0 0 0

Hati sapi 71 3 (4,2%) 0 5 (7,0%)

NTT

Telur ayam 143 0 0 10 (7,0%) 1 (0,7%)

Total 742 18 (2,4%) 6 (0,8%) 39 (5,35%) 2 (0,3%)

Ket : PC’s : golongan Penisillin, TC’s : golongan Tetrasiklin, AG’s : golonganAminoglikosida, MC’s : golongan Macrolida

Hasil uji terhadap residu hormon Trenbolon Acetat (TBA), menunjukkan bahwa

40 sampel daging sapi beku import dan 60 sampel hati sapi lokal tidak terdeteksi

(negatif) residu hormon trenbolon acetat. Hasil selengkapnya tersaji dalam tabel

5 di bawah ini.

Page 171: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

165

Tabel 5. Hasil Uji Residu Hormon Trenbolon Acetat (TBA) pada sampeldaging dan hati sapi asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Hasil Uji TBAAsalSampel Jenis Sampel Jumlah

sampel Konsentrasi(ppt) Interpretasi

Daging sapi beku

import

40 63,9 – 91,9 NegatifBali

Hati sapi lokal 23 60,8 – 98,2 Negatif

NTB Hati sapi lokal 21 68,8 – 94,1 Negatif

NTT Hati sapi lokal 16 67,6 – 97,1 Negatif

Total 100

Ket : Limit deteksi untuk hormon Trenbolon Acetat (TBA) : 200 ppt.Batas Maksimum Residu (BMR) hormon trenbolon acetat yang ditetapkanCodex Alimentarius Commision (CAC) pada daging : 2 ppb (2000 ppt) ; hati : 10ppb (10000 ppt)

Dalam tabel 6 tersaji hasil uji residu logam berat khususnya Pb (timbal). Hasil uji

menunjukkan, sebanyak 103 sampel hati sapi yang diuji negatif residu logam

berat Pb (timbal)

Tabel 6. Hasil uji Residu Logam Berat (Pb) pada sampel hati sapi asal Bali,NTB dan NTT tahun 2015

Hasil Uji Residu Pb (Timbal)AsalSampel

Jenis sampel Jumlahsampel Konsentrasi (ppm) Interpretasi

Bali Hati sapi 42 (-0,08) – (-0,15) Negatif

NTB Hati sapi 31 (-0,04) – (-0,19) Negatif

NTT Hati sapi 30 (-0,04) – (-0,26) Negatif

Total 103

Batas Maksimum Residu (BMR) logam berat (Pb) berdasarkan SNI 7387 : 2009,dalam Jeroan sapi : 0,5 mg/kg (ppm) (CAC, 2003)

Page 172: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

166

Hasil uji terhadap Aflatoksin M1 dan Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging

babi) tersaji tersaji dalam tabel 7 dan 8 di bawah ini.

Tabel 7. Hasil Uji Aflatoksin M1 pada sampel susu asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Hasil Uji Aflatoksin M1AsalSampel

Jenis sampel Jumlahsampel Nilai (ppt) Interpretasi

Bali Susu sapi 42 <125 Negatif

NTB Susu sapi 20 <125 Negatif

NTT Susu sapi 22 <125 Negatif

Total 84

Ket: Limit deteksi Aflatoksin M1 : < 125 pptBatas Maksimum Residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI 7385-2009 : 500 ppt

Tabel 8. Hasil Uji Identifikasi Spesies (pemalsuan daging babi) padasampel daging olahan asal Bali, NTB dan NTT tahun 2015

AsalSampel

Jenis Sampel Jumlah Sampel Hasil Uji ID Spesies Babi

Bakso 31 Negatif

Sosis 23 Negatif

Bali

Nuget 3 Negatif

Bakso 44 Negatif

Sosis 7 Negatif

NTB

Nuget 2 Negatif

Bakso 4 NegatifNTT

Sosis 6 Negatif

Total 120

Page 173: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

167

PEMBAHASAN

Cemaran mikroba adalah mikroba yang keberadaannya dalam pangan pada

batas tertentu dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Cemaran mikroba

yang dikatagorikan membahayakan pada pangan asal hewan (daging, telur dan

susu) berdasarkan SNI 7388:2009 adalah TPC, Coliform, Eschericia coli,

Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Campylobacter sp dan Listeria

monocytogenes (Anon., 2009).

Parameter uji Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah mikroba dalam

suatu produk. Di beberapa negara dinyatakan sebagai Aerobic Plate Count

(APC) atau Standard Plate Count (SPC) atau Aerobic Microbial Count (AMC).

Secara umum TPC tidak terkait dengan bahaya keamanan pangan namun

kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan/waktu paruh,

kontaminasi dan status higienis pada saat proses produksi (Anon, 2009).

Berdasarkan hasil uji Total Plate Count (TPC) pada pangan asal hewan yang

diambil di beberapa RPH, pasar Tradisional dan kios pengecer (retail)

menunjukkan bahwa tingkat cemaran mikroba relatif cukup tinggi yaitu

sebanyak 21,4% - 66,7% sampel mengandung TPC melebihi nilai Batas

Maksimum Cemaran Mikroba (MBCM) yang dipersyaratkan dalam Standar

Nasional Indonesia (SNI) 7388 : 2009 untuk TPC 1 x 106 koloni/gram. Hal ini

mengindikasikan bahwa tingkat higiene dan sanitasi di RPH, pasar tradisional

maupun kios pengecer kurang memenuhi standar higiene dan sanitasi yang

baik.

Sementara itu, dari hasil uji terhadap terhadap beberapa bakteri yang

dikatagorikan membahayakan seperti E.coli, S.aureus, Salmonella sp dan

Campylobacter sp menunjukkan bahwa kontaminasi bakteri ini pada pangan

asal hewan relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji terhadap E,coli yaitu

sebanyak 7,1% - 8,1% sampel mengandung E.coli melebibihi persyaratan SNI

yaitu 1x 101 koloni/gram pada daging dan <3/ml pada susu. Hasil uji terhadap

S.aureus dan Campylobacter sp negatif dan hanya ada 1 sampel (0,1%)

mengandung bakteri Salmonella sp. Dalam persyaratan yang ditetapkan dalam

Page 174: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

168

SNI bahwa bakteri Campylobacter sp dan Salmonella sp tidak boleh ada dalam

pangan asal hewan (negatif), sedangkan terhadap bakteri S.aureus masih

diperbolehkan ada dalam pangan asal hewan sebanyak 1 x 102 koloni/gram.

Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gram negatif,

ukuran 0,4 um – 0,7 um x 1,4 um, dan beberapan strain mempunyai kapsul.

Terdapat beberapa strain E.coli yang patogen dan non patogen. Strain patogen

E.coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui

endotoksin yang dihasilkannya. Sumber pencemaran E.coli adalah feses,

saluran pencernaan hewan atau manusia. Escherichia coli yang bersifat

hemolitik dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin dari kuman

tersebut diabsorbsi pada sel endothelial dimana reseptor toksin banyak terdapat

seperti di ginjal sehingga akan menimbulkan gejala klinik seperti Haemolitik

Uremik Syndrome (HUS) dan juga disaraf sehingga dapat juga menimbulkan

gejala saraf. Sanitasi yang baik, memasak daging sampai suhu 650 C

merupakan cara untuk mengontrol E.coli.

Pangan asal hewan berupa daging dan telur mentah sering ditemukan bakteri

patogen seperti Salmonella sp, terutama pada kasus sporadik dan wabah

Salmonellosis pada manusia (Schlundt, et al., 2004). Namun pada surveilans ini

hanya ditemukannya 1 sampel daging ayam terkontaminasi bakteri Salmonella

sp, kemungkinan sampel tersebut terkontaminasi bakteri Salmonella sp dari

feses unggas tersebut ataupun dari air yang digunakan dalam proses produksi.

Berdasarkan kajian keamanan pangan sesuai SNI 7388 : 2009 kasus

keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini biasanya terjadi jika manusia

menelan pangan yang mengandung Salmonella sp dalam jumlah signifikan.

Jumlah Salmonella sp yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu antara

107 – 109 koloni/gram. Kontaminasi Salmonella sp juga dapat terjadi pada

ternak. Kontaminasi pada ternak dapat terjadi sebelum disembelih yaitu akibat

kontaminasi horizontal eksternal pada telur-telur saat pengeraman telur ayam

pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang terkontaminasi oleh S.

enteritidis, selama penyembelihan, selama atau setelah pengolahan (Supardi

dan Sukamto, 1999).

Page 175: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

169

Bailey (1993) menyatakan bahwa selain bakteri Salmonella sp, bakteri

Campylobacter jejuni juga ditemukan pada karkas dalam jumlah besar (>10.000

koloni/gram). Bakteri Campylobacter jejuni adalah bakteri patogen penyebab

gastroenteritis pada manusia. Bakteri tersebut bisa ditemukan pada daging

ayam, daging sapi, daging babi yang belum dimasak, dan susu mentah serta

bahan pangan lainnya yang berasal dari hewan. Sifat Campylobacter yang sulit

dikultur maka deteksi serologik perlu dibuat dengan menggunakan antigen

flagellin sebagai komponen diagnosis. Hal ini berkaitan dengan hasil surveilans

yang tidak menemukan adanya kontaminasi bakteri Campylobacter.

Sementara itu, daging olahan, susu dan produk susu sering tercemar bakteri

S.aureus, namun pada surveilans ini tidak ditemukan adanya bakteri S.aureus

mencemari pangan tersebut. Namun demikian bakteri S.aureus sering

ditemukan sebagai mikroflora normal pada kulit dan selaput lendir manusia.

Dapat meyebabkan infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Pada susu

jumlah bakteri S.aureus sebanyak 107 koloni/gram akan memproduksi

enterotoksin yang dapat menyebabkan gastroenteritis atau radang lapisan

saluran usus. Walaupun pengolah pangan merupakan sumber pencemaran

pangan yang utama, peralatan dan lingkungan dapat juga menjadi sumber

pencemaran S.aureus. Mencuci tangan dengan teknik yang benar,

membersihkan peralatan dan membersihkan permukaan penyiapan pangan

diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri ke pangan.

Secara umum, hasil uji ini menunjukkan bahwa tingkat higiene daging yang

beredar di Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah yang ditunjukkan dari hasil

uji TPC. Hal ini bisa mengakibatkan waktu paruh atau masa simpan daging

tersebat pendek (tidak bertahan lama pada suhu ruang) sehingga menyebabkan

daging cepat busuk. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa status higiene dan

sanitasi pada mata rantai produksi pangan asal hewan relatif kurang memenuhi

persyaratan sanitasi yang baik.

Page 176: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

170

Untuk dapat menghasilkan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH)

maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis,

mengingat RPH merupakan lokasi tranformasi dari ternak hidup menjadi produk

pangan (daging). Berdasarkan hasil pemantauan, ada beberapa RPH yang

memenuhi standar higiene dan sanitasi yang baik, namun sebagian besar

kondisi RPH di Provinsi Bali, NTB dan NTT saat ini cukup memprihatinkan dan

tidak memenuhi persyaratan teknis baik fisik (bangunan dan peralatan), sumber

daya manusia serta prosedur teknis pelaksanaanya. Hal ini dibuktikan dengan

tidak semua RPH memilki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sebagai standar

pelaksanaan higiene dan sanitasi pada sebuah RPH.

Demikian juga situasi di pasar tradisional, meskipun ada beberapa pasar yang

sudah memiliki kios daging, namun sebagian besar pasar tradisional tidak

memiliki kios daging. Situasi di pasar tradisional dengan segala kegiatan dan

kondisi lingkungannya memiliki potensi banyak penyimpangan atau ketidak-

asuhan. Disadari bahwa untuk dapat mewujudkan penyediaan pangan asal

hewan yang Aman, Ssehat, Utuh dan Halal (ASUH) di pasar tradisional

kenyataannya relatif berat mengingat permasalahan yang dihadapi tidak sekedar

masalah teknis tetapi juga masalah sosial yang justru lebih dominan (Anon,

2013).

Sampel pangan asal hewan (daging dan telur) juga diuji terhadap residu

antibiotika. Residu merupakan bahan-bahan obat atau zat kimia dan hasil

metabolit yang tertimbun dan tersimpan di dalam sel, jaringan atau organ serta

kandungan yang tidak diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan

sekitar (Anon., 2005).

Hasil uji menunjukkan bahwa residu antibiotika masih ditemukan pada sampel

pangan asal hewan terutama telur ayam dan hati sapi. Dari 742 sampel yang

diuji, residu antibiotika golongan penisillin ditemukan sebanyak 18 sampel

(2,4%), golongan tetrasiklin sebanyak 6 sampel (0,8%), golongan aminoglikosida

sebanyak 39 sampel (5,35%) dan golongan macrolida sebanyak 2 sampel

(0,3%).

Page 177: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

171

Hal ini bisa terjadi mengingat ternak unggas terutama ayam petelur yang

dipelihara secara intensif dan dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga

seluruh waktu hidupnya mendapatkan antibiotika yang ditambahkan dalam

pakan maupun dalam minuman. Sedangkan residu antibiotika yang ditemukan

pada sampel hati sapi, hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan antibiotika di

peternakan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya pengawasan terhadap

penggunaan antibiotika tersebut. Disamping itu juga kurangnya perhatian

terhadap withdrawal time (waktu henti obat) sebelum ternak dipotong.

Antibiotika golongan aminoglikosida (streptomysin) yang dikombinasi dengan

penisillin banyak dipergunakan pada ternak unggas dan babi. Antibiotika

golongan penisillin merupakan senyawa antibakterial yang cukup potensial dan

efektif terhadap berbagai spesies gram negatif dan gram positif. Antibiotika

golongan penisillin juga sering ditambahkan dalam pakan dan efektif untuk

menstimulasi laju pertumbuhan, berat dan komposisi karkas dan efisiensi

konversi pakan pada ternak muda (Soeparno, 1994).

Penggunaan antibiotika tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, tidak

hanya untuk menjamin kesehatan ternak tetapi juga mencegah terjadinya

transmisi penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan meningkatkan efisiensi

sistem produksi. Namun demikian, aplikasinya harus disertai dengan kontrol

yang baik dan memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) agar tidak

menimbulkan residu pada pangan asal hewan. Pangan asal hewan yang

mengandung residu, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia.

Sementara itu, sebanyak 40 sampel daging sapi yang diambil dari 4 perusahaan

(importir) dan 60 sampel hati sapi yang diambil dari RPH dan pasar tradisional

diperiksa terhadap residu hormon trenbolone asetate (TBA). Hasil uji

menunjukkan bahwa nilai kandungan hormon TBA dengan ELISA terdeteksi

pada sampel daging sapi beku impor dengan nilai konsentrasi berkisar antara

63,9-91,9 ppt dan pada sampel hati sapi lokal berkisar antara 60,8-98,2 ppt. Nilai

kandungan hormon TBA ini masih dibawah limit deteksi yaitu 200 ppt sehingga

diinterpretasikan tidak terdeteksi (negatif).

Page 178: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

172

Demikian juga nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan

Maximum Residue Limits (MRL) TBA yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius

Commisions yaitu 2 ppb (2000 ppt) dan 10 ppb (10.000 ppt) pada sampel hati

sapi (Horie, 2000). Rendahnya nilai konsentrasi TBA tersebut menunjukkan

bahwa penggunaan TBA di negara asal telah mengikuti aturan waktu henti obat

(withdrawl times) yang telah ditetapkan yaitu sekitar 60 hari (Widiastuti, dkk.

2007), sehingga sampel daging sapi beku import dan hati sapi lokal tersebut

aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu hormon trenbolone

asetate.

Penggunaan hormon pertumbuhan seperti TBA dipeternakan sapi bertujuan

untuk meningkatkan berat karkas, rata-rata pertumbuhan dan efisiensi pakan.

Trenbolone acetate adalah hormon steroid sintetik yang diimplantasikan secara

subkutan atau diberikan secara oral pada sapi dan domba. Trenbolone asetate

pada daging meninggalkan residu 17β-trenbolon, sedangkan pada hati berupa

17α-trenbolon. Trenbolone memberikan efek negatif terhadap organ reproduksi

mamalia dari berbagai spesies (Jecfa, 1988).

Hormon TBA digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru,

Australia, Afrika Selatan, Meksiko dan Chile sejak tahun 1970, namun tidak

digunakan di negara-negara Uni Eropa. Sedangkan di Indonesia penggunaan

dan peredaran TBA masih dilarang dan diklasifikasikan dalam golongan obat

keras berdasarkan Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 806 tahun 1994.

Widiastuti, dkk (2001) menjelaskan bahwa Indonesia mengimpor daging sapi

dari Australia sehinga pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap residu

hormon tersebut.

Sementara itu dari hasil uji Aflatoksin M1 terhadap sampel susu menunjukkan

bahwa semua sampel susu yang diuji tidak mengandung residu Aflatoksin M1

atau konsentrasinya di bawah deteksi limit (<125 ppt). Konsentrasi tersebut juga

masih berada di bawah batas maksimum residu (BMR) Aflatoksin M1 dalam SNI

7385 : 2009 adalah 500 ppt sehingga secara umum sampel susu tersebut

dikatagorikan belum membahayakan untuk dikonsumsi.

Page 179: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

173

Namun demikian perlu tetap diwaspai mengingat susu (segar, pasteurisasi,

UHT, olahan) merupakan salah satu bahan pangan asal hewan yang potensial

sebagai sumber masuknya aflatoksin melalui rantai makanan manusia melalui

terbentuknya Aflatoksin M1 (Aycicek et al, 2001). Aflatoksin M1 merupakan

metabolit sekunder dari Aflatoksin B1 yang diketahui sebagai senyawa alami

yang memiliki efek toksik dan karsinogenik paling tinggi diantara jenis mikotoksin

lainnya sehingga dikelompokkan sebagai kelompok 1 oleh IARC (Richard,

2007).

Hasil uji terhadap residu logam berat khususnya Timbal (Pb) terhadap sampel

hati sapi dalam surveilans ini menunjukkan tidak terdeteksi (negatif). Namun

demikian beberapa penelitian menemukan residu Timbal pada beberapa hati

sapi. Menurut Bahri (2008), pencemaran Timbal (Pb) pada pangan hewani dapat

terjadi pada proses praproduksi, produksi, dan proses pasca-produksi.

Praproduksi mencakup proses pembibitan dan pemeliharaan hewan ternak.

Pencemaran pada saat praproduksi bisa saja terjadi melalui udara yang

tercemar dari kendaraan bermotor. Rumput liar yang digunakan sebagai pakan

ternak mengandung kadar Timbal (Pb) yang cukup tinggi, terutama rumput yang

diambil dari lokasi dekat dengan jalan raya karena tingginya emisi Timbal (Pb)

dari kendaraan bermotor.

Oleh karena itu perlu diperhatikan sumber pakan dan lokasi pemeliharaan sapi.

Sumber pakan dan kualitas udara sekitar peterrnakan merupakan faktor resiko

pencemaran timbal (Pb) terhadap sapi. Oleh karena itu, sangat penting untuk

memilih lokasi yang jauh dari jalan raya dan tempat pembuangan sampah baik

untuk lokasi peternakan sapi maupun lokasi sumber pakan sapi. Akan tetapi

masih banyak peternak yang tidak memperdulikan hal ini.

Sementara itu hasil uji Identifikasi spesies daging babi (pemalsuan daging babi)

terhadap beberapa daging olahan menunjukkan bahwa tidak ada penambahan

daging babi pada sampel daging olahan.

Page 180: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

174

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat higiene

pangan asal hewan khususnya daging segar yang beredar di wilayah Provinsi

Bali, NTB dan NTT relatif masih rendah bila dibandingkan dengan persyaratan

yang ditetapkan dalam SNI 7388;2009. Rendahnya higiene daging tersebut

karena masih relatif tingginya prevalensi cemaran mikroba terutama Total Plate

Count (TPC) yang mencemari daging tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa

rendahnya tingkat higiene dan sanitasi pada mata rantai proses produksi

pangan.

Dengan masih ditemukannya residu antibiotika pada pangan asal hewan

khususnya telur ayam dan hati sapi mengindikasikan bahwa pemakaian

antibiotika di peternakan ayam dan sapi masih cukup tinggi dan kurangnya

pengawasan terhadap penggunaannya dan kurangnya pengetahuan terhadap

waktu henti obat (witdrawal time) sebelum ternak dipotong. Sementara itu,

pangan asal masih aman untuk dikonsumsi dari aspek kandungan residu

hormon Trenbolone Acetate (TBA), Aflatoksin M1, Logam berat Timbal (Pb),

dan Identifikasi spesies babi (pemalsuan daging babi).

5.2. Saran

Untuk dapat menyediakan pangan asal hewan yang memenuhi standar jaminan

mutu (ASUH), disarankan kepada Pemerintah Pusat dan Derah melalui Dinas

Peternakan agar meningkatkan higiene dan sanitasi mata rantai proses produksi

dengan cara merevitalisasi RPH dan pembuatan kios-kios daging di pasar

tradisional.

Petugas juga perlu melakukan pengawasan terhadap Peredaran dan pemakaian

obat-obatan di peternakan untuk menghindari adanya residu pada pangan asal

hewan.

Page 181: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

175

DAFTAR PUSTAKA

Aycicek, H., E. Yarsan, B. Sarimeh Metoglu and O. Cakmak. 2002. Aflatoxin M1 in white cheeseand butter consumed in Istanbul Turkey. Vet. Human Toxicol. 44: 295 – 296.

Anonimus, 2005. Foodborne Disease Salmonellosis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.

Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasilolahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.

Anonimus, 2008. Metode uji tapis (screening test) residu antibiotika pada daging, telur dan sususecara bioassay. SNI 7424 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional.

Anonimus, 2009. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Pangan. SNI 7388 :2000. StandarNasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Anonimus, 2013. Metode pengujian kadar logam berat (Pb) dan kadmium (Cd) dalam daging,telur, susu dan olahannya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom(SSA). SNI 7853 :2013. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.

Anonimus, 2013. Kumpulan Peraturan Menteri Pertanian Bidang Kesehatan MasyarakatVeteriner dan Pasca Panen. Direktorat Kesmavet dan Pasca Panen, Direktorat jenderalPeternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian

Bailey, J.S., 1993. Control of Salmonella and Campylobacter in Poultry Production. A Summaryof Work at Research Center. Poult. Sci. 72: 1169−1173.

Bahri, S., 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia, JurnalPengembangan Inovasi Pertanian, Hal 225- 242.

Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke dua. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Supardi, I. dan Sukamto, 1999. Mikroorganisme Penyebab Penyakit Menular. DalamMikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Pangan. Edisi Pertama, YayasanAdikarya IKAPI dengan The Ford Foundation. Hal. 157-173

Schlundt, J., H. Toyofuku, J. Jansen dan S.A. Herbst , 2004. Emerging Food-Borne Zoonoses.Rev.Sci.Tech.Off.Int.Epiz 23(2): 512-515, 522-527.

Richard, J.L., 2007. Some major mycotoxins and their mycotoxicosis : An overview. InternationalJournal of food Microbiology 11:3-10.

Widiastuti, R., Indraningsih, T.B. Murdiati, dan R. Firmansyah, 2007. Residu trenbolon padajaringan dan urin dari sapi jantan muda peranakan ongole yang diimplantasi dengantrenbolon acetat. JITV. 12 (1) : 60,67.

Page 182: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

176

MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis)PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTT

TAHUN 2015

Dewi, A.A.S., A.A. G. Semara Putra, G.D Yudi Suryawan, P.B. Frimananda, N.Riti, D. Purnawati, R. Cahyo

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Zoonosis didefinisikan sebagai penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atausebaliknya. Beberapa penyakit zoonosis dapat bersifat foodborne zoonosis atau penyakit padamanusia yang ditularkan melalui makanan yang sumbernya dari hewan yang terinfeksi, salahsatunya adalah Salmonellosis yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Dalam rangkaperlindungan kesehatan masyarakat dan pencegahan serta pengendalian penyakit zoonosis,telah dilakukan monitoring dan surveilans zoonosis dengan melakukan pengambilan sampeltelur ayam di peternakan ayam (farm) di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Total jumlahsampel yang diambil adalah 150 sampel .Hasil uji terhadap 150 sampel telur ayam menunjukkanbahwa semua sampel (100%) negatif bakteri Salmonella sp. Hal ini sesuai dengan persyaratanyang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388:2009 yaitu Salmonella sp padatelur segar adalah negatif/25g. Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa peternakan ayampetelur untuk situasi sat ini bebas dari Salmonellosis dan telur ayam tersebut aman untukdikonsumsi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan secara regular untuk memastikanstatus peternakan ayam tersebut melalui program monitoring dan surveilans yang berkelanjutan.

Kata kunci : Monitoring, Surveilans, Zoonosis, telur

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Zoonosis didefinisikan sebagai penyakit yang dapat menular dari hewan kepada

manusia atau sebaliknya. Diketahui dari 1.415 mikroorganisme pathogen pada

manusia, 868 (61,3%) diantaranya bersumber pada hewan atau bersifat

zoonosis. Beberapa diantaranya merupakan penyakit hewan strategis yang

dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang signifikan seperti Rabies

dan Avian Influenza. Beberapa penyakit zoonosis dapat ditularkan melalui

makanan (food borne disease).

Page 183: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

177

Dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat dan pencegahan serta

pengendalian zoonosis diperlukan upaya-upaya yang dapat memberikan

peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya zoonosis, salah satu upaya

yang dapat dilakukan adalah melalui pelaksanaan surveilans zoonosis sesuai

dengan kaidah – kaidah ilmiah. Di Indonesia, Salmonellosis adalah suatu

penyakit endemis dengan angka kejadian termasuk yang tertinggi, yaitu 358-

810/100.00 penduduk / tahun dengan angka kematian demam tifoid dibeberapa

daerah adalah 2-5%. Salmonellosis adalah penyakit akibat bakteri hidup

anggota genus Salmonella sp yang merupakan bakteri gram negatif, berbentuk

batang, non spora yang memfermentasi glukosa dengan membentuk gas,

tumbuh pada temperature 6,7º - 45,6ºC, pH 4,1 – 9,0.

Salmonellosis merupakan peringkat kelima dalam zoonosis prioritas sesuai

Keputusan Menteri Pertanian nomor 4971/2012 tentang Zoonosis Prioritas.

Salmonellosis merupakan zoonosis yang banyak menyebabkan kasus pada

manusia. Dalam kaitan itu, maka diperlukan surveilans zoonosis khususnya

Salmonella sp sebagai peringatan dini dan merupakan bagian dalam sistem

pengendalian dan penanggulangan penyakit zoonosis.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

permasalahan yaitu belum diketahuinya situasi terkini (prevalensi) Salmonellosis

pada telur ayam konsumsi di peternakan ayam petelur (farm layer) di wilayah

Provinsi Bali, NTB, dan NTT serta faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian

Salmonellosis tersebut.

3. Tujuan Kegiatan

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Salmonellosis pada wilayah

kerja BBVet Denpasar dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kejadian

tersebut

Page 184: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

178

4. Manfaat Kegiatan

Sebagai bahan pengambilan kebijakan untuk pengendalian zoonosis khususnyaSalmonellosis di wilayah kerja BBVet Denpasar

5. Output

1. Tersedianya data prevalensi bakteri Salmonella sp pada telur ayam konsumsi

2. Pemetaan daerah risiko Salmonella sp peternakan ayam petelur (farm layer)

di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT

MATERI DAN METODE

1. Materi1.1 BahanJenis sampel yang diambil berupa telur ayam konsumsi sebanyak 150 sampel,

dimana masing-masing sampel terdiri atas 10 butir telur. Sampel diambil di

peternakan ayam petelur (farm layer) yaitu di Kabupaten Tabanan sebanyak 17

sampel, Kabupaten Karangasem 17 sampel, Kota Mataram 83 sampel dan Kota

Kupang 33 sampel.

2. Metode

2.1. Pemilihan lokasi

Lokasi yang dipilih untuk pengambilan sampel uji Salmonellosis adalah lokasi

yang dikategorikan memiliki risiko cukup tinggi yaitu pada kabupaten/kota yang

memiliki peternakan ayam petelur (farm layer)

2.2. Metode sampling

Pemilihan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive yaitu

lokasi sampel sudah ditentukan sebelumnya. Alokasi tempat pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan adanya peternakan ayam layer. Pemilihan

sampel telur pada farm dilakukan secara random sederhana

Page 185: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

179

2.3. Sampel size

Mengingat keterbatasan sumber daya maka proses sampling diperlukan. Untuk

itu sampel size (jumlah sampel minimal yang diambil agar mewakili) dihitung

berdasarkan rumus :

n = [ Zα/2 ]2 x P x Q]

L2

Keterangan : n = Jumlah sampel

Z = Nilai standar normal (baku)

P = proporsi = prevalensi

Q = Peluang tidak terjadi cemaran

L = Tingkat ketelitian

α = tingkat kepercayaan

Dalam hal ini nilai P (prevalensi) yang diambil adalah (asumsi 1%), α yang dipilih

adalah 5%, L yang dipilih 5%.

Perhitungan :

n = [2]2 x 0,01 x (1-0,01) = 15,84 dibulatkan 16

(0,05)2

2.3.1. Penanganan dan transportasi sampel

Sampel yang diperoleh diletakkan dalam wadah telur dan dikirim ke BBVet

Denpasar

2.3.2. Pengujian sampel (Anon, 2008)

a. Pra- pangayaan.

Sebanyak 25 gram sampel ditambahkan 225 ml Lactose Broth (LB),

diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam ± 2 jam.

b. Pangayaan

Dari larutan tersebut diambil 1 ml diinokulasikan ke dalam 10 ml Tetrathionate

Broth (TTB), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam.

Page 186: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

180

c. Isolasi dan Identifikasi

Dari media tersebut diambil 1 loop digoreskan pada media Hektoen Enteric

Agar (HEA), Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA) dan Bismuth Sulfite

Agar (BSA), diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 ± 2 jam.

Pada Media HEA, koloni Salmonella sp terlihat berwarna hijau kebiruan

dengan atau tanpa titik hitam (H2S). Pada media XLDA koloni terlihat merah

muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni

hitam, sedangkan pada media BSA koloni terlihat keabu-abuan atau

kehitaman, kadang metalik, media disekitar koloni berwarna coklat dan

semakin lama waktu inkubasi akan berubah menjadi hitam.

Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan mengambil koloni yang diduga dari

ketiga media tersebut diinokulasikan ke TSIA dan LIA dengan cara menusuk

ke dasar media agar kemudian digores pada media agar miring. Kedua media

tersebut diikubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Koloni yang spesifik

Salmonella sp menunjukkan hasil reaksi sebagai berikut :.

Media Agar miring(slant)

Dasar Agar(Buttom) H2S Gas

TSIA Alkalin / K(merah)

Asam / A(kuning)

Positif(hitam)

Positif

LIA Alkalin / K(ungu)

Asam / A(ungu)

Positif(hitam)

Positif

Page 187: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

181

d. Uji Biokimia

Media biakan dari positif TSIA diinokulasikan pada media uji biokimia.

Interpretasi hasil uji biokimia Salmonella sp, seperti di bawah ini

Hasil reaksiUji substrat

Positif Negatif SalmonellaUrease pink - merah tetap merah -Lysine

DekarboksilaseBroth

warna ungu warna kuning +

Phenol Red DulcitolBroth

warna kuning,dan atau dg

gas

tanpa berubahwarna dan tanpa

terbentuk gas

+

KCN Broth ada pertumbuhan ttdak adapertumbuhan

-

Malonat Broth warna biru Tidak berubahwarna

-

Uji Indol permukaanwarna merah

permukaan warnakuning

-

Uji PolyvalenFlagelar

aglutinasi tidak aglutinasi +

Uji PolyvalentSomatic

aglutinasi tidak aglutinasi +

Phenol RedLactose Broth

warna kuningdengan atau

tanpa gas

Tidak terbentuk gasdan tidak

berubah warna

-

Phenol RedSukrosa Broth

warna kuningdengan atau

tanpa gas

Tidak terbentuk gasdan tidak

berubah warna

-

Uji Voges-Proskauver

pink sampaimerah

tidak berubahwarna

-

Page 188: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

182

HASIL

Hasil uji Salmonella sp terhadap 150 sampel telur ayam, menunjukkan bahwa

semua sampel negatif Salmonella sp (100% sesuai SNI). Hasil selengkapnya

tersaji dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Hasil uji Salmonella sp sampel telur ayam yang berasal daribeberapa peternakan di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015

Provinsi Kabupaten/Kota Lokasi Jenis

sampelJumlahsampel

Hasil UjiSalmonella sp (Σsampel negatif )

Tabanan Peternakan(Farm)

Telurayam

17 17 (100%)Bali

Karangasem Peternakan(Farm)

Telurayam

17 17 (100%)

NTB Mataram Peternakan(Farm)

Telurayam

83 83 (100%)

NTT Kupang Peternakan(Farm)

Telurayam

33 33 (100%)

Jumlah 150 150 (100%)

Ket : Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) SNI 7388 : 2009, Salmonellasp pada sampel telur segar : negatif/25g

Page 189: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

183

Tabel 2. Diagram prosentase jumlah sampel telur ayam negatifSalmonella sp

PEMBAHASAN

Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan Salmonella sp. Penyakit ini

dapat menyerang unggas, hewan mamalia dan manusia, sehingga memiliki arti

penting bagi manusia. Penyakit ini dapat terjadi akibat mengkonsumsi

makanan/air yang tercemar Salmonella sp. Salmonelosis merupakan penyakit

yang bisa berasal dari telur yang terkontaminasi oleh Salmonella sp dengan

gejala seperti mual-mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam,

dan diare (Doyle dan Cliver, 1990; Jawet, 1996).

Bakteri Salmonella sp dikenal sebagai agen zoonosis dan merupakan peringkat

kelima dalam zoonosis prioritas, sesuai Keputusan Menteri Pertanian nomor

4971/2012 tentang Zoonosis Prioritas. Bakteri Salmonella sp merupakan

zoonosis yang banyak menyebabkan kasus pada manusia. Menurut Cox (2000)

genus Salmonella sp termasuk dalam family Enterobateriacceae, adalah bakteri

gram negative berbentuk batang (0,7 – 1,5 x 2,5 µm), fakultatif anaerobic,

Page 190: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

184

oxidase negatif, dan katalase positif. Sebagian besar strain motil dan

memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam.

Di Indonesia Salmonellosis adalah suatu penyakit endemis dengan angka

kejadian termasuk yang tertinggi yaitu 358-810/100.000 penduduk/tahun dan

angka kematian demam tifoid di beberapa daerah adalah 2-5%. Penyebaran

mikroba ini biasanya melalui daging dan telur yang tidak dimasak. Ayam dan

produk unggas adalah tempat perkembangbiakan Salmonella sp yang paling

utama. Jika pangan yang tercemar Salmonella sp tertelan, dapat menyebabkan

infeksi usus yang diikuti oleh diare, mual, kedinginan dan sakit kepala.

Konsekuensi kronisnya ialah gejala arthritis terjadi 3 - 4 minggu setelah

serangan gejala akut. Kasus keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini

biasanya terjadi jika manusia menelan pangan yang mengandung bakteri

Salmonella sp dalam jumlah besar.

Jumlah bakteri Salmonella sp yang dapat menyebabkan Salmonellosis yaitu

antara 107 sel/g – 109 sel/g (Anon, 2009). Sesuai amanat Undang – Undang No

18 tahun 2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan Tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner untuk melakukan pengendalian dan penanggulangan

zoonosis, menjamin keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk

hewan maka perlu dilakukan pengujian Salmonella sp. Dalam Standar Nasional

Indonesia (SNI 7388 ; 2009), disebutkan bahwa batas maksimum cemaran

mikroba (BMCM) Salmonella sp pada telur segar adalah negatif/25gram.

Sementara itu hasil uji terhadap 150 sampel telur ayam yang berasal dari tiga

Provinsi yaitu Provinsi Bali, NTB, dan NTT menunjukkan semua sampel (100%)

negatif Salmonella sp.

Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa peternakan ayam petelur (farm) yang

diambil sampelnya dalam situasi saat ini bebas dari Salmonellosis dan telur-telur

tersebut dikatagorikan aman untuk dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan Quin, et

al.(2002), yang menyatakan bahwa jika pada telur ayam ditemukan bakteri

Salmonella sp, maka sumber penularan bisa berasal dari induk yang menderita

Salmonellosis.

Page 191: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

185

Telur biasanya tercemar baik dari dalam maupun dari luar. Infeksi dari dalam

biasanya terjadi akibati infeksi kronik saluran genital ayam, sedangkan infeksi

dari luar terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Telur yang kotor dapat

dicuci, tetapi harus hati-hati karena dapat terjadi kontaminasi selama mencuci.

Jasad renik seperti Salmonella sp, yang menempel di bagian luar kulit telur

dapat dengan mudah berpindah kemakanan. Suherman (2005) menyebutkan,

bahwa pencemaran bakteri ke dalam telur juga dapat terjadi akibat keretakan

atau kepecahan kulit telur yang disebabkan oleh kemiringan kandang,

pengumpulan dan pengepakan yang salah karena tenaga kerja yang kurang

trampil serta pengangkutan dan alat transportasi yang kasar.

Menurut Nesheim et al., (1979), telur yang masih segar memiliki pori –pori kecil

dan dalam penyimpanan pori–pori tersebut dapat meningkat dan bertambah

banyak hal ini memungkinkan kontaminasi bakteri ke dalam telur yang pada

akhirnya berpengaruh pada kualitas telur. Sedangkan kutikula sebagai salah

satu pelindung alami yang dimiliki oleh telur selain lizosim yang bersifat

bakteriosid hanya dapat bertahan selama 4 hari (Idris, 1984). Oleh karena itu,

setelah memegang telur tangan yang bersentuhan sebaiknya dicuci.

Pakan yang terkontaminasi Salmonella sp merupakan sumber penyakit yang

dapat masuk ke peternakan unggas. Kontaminasi Salmonella sp merupakan

masalah yang serius karena kontaminasinya dapat mencapai telur dan akan

menghasilkan anak ayam yang carrier terhadap Salmonella sp. Peternakan

unggas yang terkontaminasi Salmonella sp merupakan sumber terjadinya

foodborne diseases (Jones dan Richardson, 2004). Salmonella sp pada ternak

menyebabkan terjadinya Salmonellosis yang ditandai dengan diare, hal ini lebih

rentan dijumpai pada ternak yang masih muda bila dibandingkan dengan ternak

dewasa (Davies, 2001).

Page 192: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

186

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa peternakan ayam petelur untuk

situasi sat ini bebas dari Salmonellosis dan telur ayam tersebut aman untuk

dikonsumsi.

2. Saran

Perlu dilakukan pemantauan secara regular untuk memastikan status

peternakan ayam tersebut melalui program monitoring dan surveilans yang

berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu serta hasilolahannya. SNI 2897 : 2008. Standar Nasional Indonesia. Badan StandardisasiNasional. .

Anonimus, 2009. Kajian keamanan Salmonella sp. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalampangan. Standar Nasional Indonesia. SNI 7388 : 2009. Badan Standardisasi Nasional.ICS 67.220.20.

Cox,J., 2000. Salmonella (Introduction). Encyclopedia of Food Microbiology, Vol. 3. Robinson,R.K., C.A. Batt and P.D. Patel (editors) Academic Press, San Diego.

Davies, R. 2001. Salmonella typhimurium DT104: has it had its day? In Practice. June. Pp:342-349.

Idris, S. 1984. Telur dan Cara Pengawetannya. Fakultas Peternakan UniversitasBrawijaya. Malang. 5 - 55.

Jones, F.T. and K.E. Richardson, 2004. Salmonella in Commercially Manufactured Feeds. Poult.Sci. 83:384-391.

Nesheim, M. C., R. E. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th. Ed. Leaand Febriger. Philadelpia. 282 - 306.

Quin, P. J., B. K. Markey., M. E. Carter., W. J. Donneldy and F. C. Leonard. 2002.Veterinery Microbiology and Microbial Disease. Blackwel Publissing. 115.

Suherman, D. 2005. Pengaruh Faktor Managemen Terhadap Kepecahan Telur. PoultryIndonesia, edisi 302. Jakarta. 62-65.

Page 193: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

187

SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2015

Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana danSerli Eka Melyantono

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Sapi Bali merupakan plasma nutfah /primadona Indonesia karena keunggulan yang dimiliki.Dibalik keunggulan tersebut sapi Bali memiliki beberapa kelemahan dan salah satunya adalahsangat peka terhadap penyakit Jembrana /Jembrana Disease (JD). JD merupakan penyakithewan menular pada sapi Bali yang disebabkan oleh Retrovirus, famili Lentivirinae. Saat ini JDmasih endemik di Bali dan merupakan kendala dalam pengembangan peternakan sapi Bali diProvinsi Bali. Pada bulan Maret sampai dengan Desember 2015 telah dilakukan surveilans untukmengetahui situasi JD di Bali dalam rangka pemetaan penyakit dan rencana pembebasannya.Pengambilan sampel dilakukan di seluruh Kabupaten/kota di Bali, berbasis kecamatan danselama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 10343 sampel serum dan 4432sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Semua sampel serum diuji ELISA menggunakanantigen Jembrana J Gag 6 histidin, sedangkan sampel darah EDTA diuji PCR. Hasil surveilansmenunjukkan situasi JD di Bali cukup terkendali ditandai dengan tidak ditemukan adanya kasuspositif JD disemua lokasi surveilans. Dari 10343 sampel serum yang diuji ELISA hanya 226(2.1%) seropositif JD. Sedangkan hasil uji PCR terhadap 4432 sampel darah, menunjukkannegatif virus JD. Dari hasil surveilans dapat disimpulkan bahwa situasi JD di Bali cukupterkendali dengan persentase seropositif sangat rendah, dan tidak ditemukan hewan carrier /positif virus JD. Perlu diupayakan pembebasan JD di provinsi Bali melalui surveilans/monitoringsecara periodik dan terstruktur, peningkatan pengawasan lalu lintas ternak dan pengendalianvektor,

Kata Kunci : Penyakit Jembrana, surveilans

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan primadona Indonesia, hal ini

disebabkan karena beberapa keunggulan yang dimiliki. Di balik keunggulan

tersebut, sapi Bali memiliki kelemahan salah satunya sangat peka terhadap

penyakit Jembrana/Jembrana disease (JD). JD merupakan salah satu penyakit

virus yang menyerang sapi Bali, disebabkan oleh Retrovirus famili Lentivirinae.

JD ditemukan pertama kali di Desa Sangkar Agung Kabupaten Jembrana,

Provinsi Bali pada tahun 1964. Saat ini JD sudah endemik di Bali bahkan telah

menyebar ke beberapa daerah di luar Bali seperti Lampung, Bengkulu,

Page 194: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

188

Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Tengah (Hartaningsih, 2005). Keberadaan JD di Bali sampai saat ini

masih merupakan salah satu kendala dalam pengiriman sapi Bali bibit ke luar

Bali serta berdampak dalam pengembangan peternakan sapi Bali.

Salah satu upaya pencegahan JD adalah dengan cara vaksinasi. Dalam upaya

pencegahan JD di Bali, Dinas Peternakan Provinsi Bali telah melakukan

vaksinasi JD dengan menggunakan vaksin JD Vacc Sp 15, produksi Balai Besar

Veteriner Denpasar berturut-turut selama 4 tahun dari tahun 2001-2004.

Pelaksanaan vaksinasi JD di Bali tidak bisa dilakukan menyeluruh terhadap

semua populasi sapi yang ada karena keterbatasan jumlah vaksin yang

tersedia. sehingga cakupan vaksinasi JD di Bali sangat rendah. Vaksinasi JD

dilakukan kembali di Bali pada akhir tahun 2012 menggunakan vaksin JD VET

produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, namun jumlah vaksin

yang dialoksikan juga tidak bisa menyeluruh pada semua populasi.

Hasil surveilans/monitoring penyakit Jembrana di Provinsi Bali dalam lima tahun

terakhir menunjukkan trend terjadi penurunan persentase seropositif JD.

Menurut Putra, 2002 di daerah endemik, kasus JD terjadi sepanjang tahun

dengan tingkat insiden yang cenderung rendah dan wabah biasanya terjadi

secara reguler sekurang-kurangnya 3 – 4 tahun dari kejadian JD terakhir.

Sebaliknya di daerah “ baru” kejadian JD cenderung mewabah . Ada fenomena

menarik yang perlu segera dijawab yaitu walaupun seropositif JD di Bali sangat

rendah, namun sampai saat ini tidak pernah ada laporan kasus JD di Bali. Hal ini

sangat menarik untuk diketahui apakah hal ini terjadi akibat tereliminasinya agen

penyakit Jembrana, atau mungkin virus JD di Bali sudah mengalami mutasi atau

tidak ada,. Untuk itu maka dilakukan surveilans penyakit Jembrana di Provinsi

Bali.

Page 195: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

189

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas terkait dengan penyakit Jembrana di

Provinsi Bali, maka teridentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Seropositif JD rendah, karena tidak pernah dilakukan vaksinasi secara

menyeluruh terhadap populasi sapi di Bali, namun tidak terjadi kasus JD di

Bali,

2. Ada upaya untuk melakukan pembebasan JD terkait adanya lalu lintas sapi

bibit dari Bali ke luar Bali khususnya Kalimantan dan Sumatera

3. Dalam upaya pembebasan ini perlu diketahui apakah agen penyakit

Jembrana masih ada pada sapi Bali di Provinsi Bali

1.3. Tujuan

Surveilans ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui seropositif dan positif virus JD pada kelompok ternak di Bali

2. Mengetahui gambaran situasi JD di Bali dalam rangka pembebasan JD di

provinsi Bali

3. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang

mengarah pada penyakit Jembrana sebagai dasar penentuan program

surveilans selanjutnya

1.4. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari hasil surveilans adalah :

1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi JD di Provinsi Bali

2. Terdeteksinya hewan carrier sehingga didapatkan isolat baru / strain virus

yang ada di lapangan saat ini untuk kepentingan kajian lebih lanjut.

3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan

daerah dalam upaya pembebasan penyakit Jembrana di Bali.

4. Dapat dijadikan model pembebasan penyakit Jembrana di Provinsi lain

secara nasional.

Page 196: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

190

1.5. Output

Output yang diharapkan dari surveilans ini :

1. Tersedianya data seropositif dan positif virus JD di Provinsi Bali

2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota di provinsi Bali.

3. Memudahkan dalam langkah pembebasan JD di Bali

MATERI DAN METODA

Materi

Surveilans JD di Provinsi Bali dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel

serum dan darah di seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Bali berbasis

kecamatan. Pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan bekerjasana dengan

Dinas Peternakan kabupaten/kota dan beberapa Puskeswan yang ada di Bali.

Sampel serum yang telah diambil segera dipisahkan dari gumpalan darah

dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit dan

selanjutnya dimasukkan ke dalam efendorf, diberi label dan disimpan dalam

Freezer (suhu -200C) sampai dilakukan pengujian.

Penanganan sampel darah EDTA dilakukan dengan cara :

2.1. Isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC)

Isolasi PBMC dilakukan dengan cara : darah dengan antikoagulan EDTA

disentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit, kemudian buffy coatnya diambil dan

dimasukkan ke dalam tabung dan selanjutnya ditambahkan sebanyak 9 ml

NH4Cl 0,83%. Setelah disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5

menit dan supernatannya dibuang, pellet yang diperoleh kemudian

ditambahkan PBS steril sampai mencapai 10 ml . Setelah itu dilakukan

pencucian dengan cara disentrifugasi kembali 1500 rpm selama 5 menit.

Page 197: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

191

Pencucian ini diulangi sebanyak 2 kali dengan cara yang sama. Terakhir

supernatannya dibuang dan pellet yang diperoleh ditambahkan 0.5 – 1 ml

media TC atau PBS steril dan disimpan pada suhu (-200C) sampai digunakan.

2.2. Isolasi DNA

PBMC yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNAnya dengan mempergunakan

QIAmp DNA Blood Kit (Qiagen) sesuai instruksi dalam KIT dengan cara sebagai

berikut: 20 µl Qiagen Protease (atau Proteinase K) dimasukkan ke dalam

tabung effendorf 1.5 ml selanjutnya sebanyak 200 µl sampel PBMC (5 x 106

lymphocyte) ditambahkan ke tabung effendorf. Kemudian 200 µl Buffer AL

ditambahkan ke dalam sampel dan dicampur dengan menggunakan vortex

selama 15 detik. Sampel selanjutnya diinkubasi pada suhu 56o C selama 10

menit, kemudian disentrifuge sekitar 2 detik. Tambahkan sebanyak 200 µl

ethanol, kemudian dikocok lagi dengan menggunakan vortex selama 15 detik.

Sentrifugasi kembali tabung effendorf tersebut sekitar 2 detik. Dengan hati-hati

masukkan campuran sampel ke dalam QIAmp spin column (in a 2ml collection

tube) tanpa membasahi dinding tube, tutup dan centrifuge 6000 g / 8000 rpm

selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column dalam 2 ml collection tube dan

buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka tabung QIAamp spin column dan

tambahkan 500 µl buffer AW1 tanpa membasahi dinding tube. Tutup tabung dan

centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit. Tempatkan QIAamp spin column

dalam 2 ml collection tube dan buang tube yang berisi filtrat. Hati-hati buka

tabung QIAamp spin column dan tambahkan buffer AW2 tanpa membasahi

dinding. Tutup tabung dan centrifuge dengan kecepatan penuh 20.000 g /

14.000 rpm selama 3 menit.Tempatkan QIAamp spin column pada 1.5 ml tabung

microcentrifuge yang bersih dan buang tabung yang mengandung filtrat. TahapElution. Buka tutup tube secara hati-hati dan tambahkan 200 ul buffer AE atau

aquadest. Inkubasi pada suhu kamar selama 1-5 menit dan kemudian

centrifuge 6000 g / 8000 rpm selama 1 menit, buang QIAmp spin colum dan

simpan supernatan (DNA) pada suhu –20o C.

Page 198: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

192

Metode

Semua sampel serum diuji terhadap antibodi Jembrana dengan Uji Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) mempergunakan antigen Jembrana

J Gag 6 Histidin (Agustini et al., 2002) , sedangkan sampel darah EDTA diuji

PCR

2.3.1. UJI ELISA

Pengujian sampel serum dengan uji ELISA dilakukan dengan prosedur kerja

sebagai berikut : antigen J Gag 6 Histidin dilarutkan dengan carbonat coating

buffer 1:50 kemudian ditambahkan ke masing-masing well sebanyak 50 µl,

kecuali well A1 dan B1. Masukkan 50 µl hanya coating buffer (tanpa antigen) ke

dalam lubang blank A1 dan B1. Shaker mikroplate dan diinkubasikan pada suhu

40C selama 24 jam. Setelah dicuci dengan PBST sebanyak 3 kali dengan ELISA

washer selanjutnya plate diblok dengan menambahkan ke masing-masing well

sebanyak 50 µl larutan skim milk 5% dalam PBST dan plate diinkubasikan

selama 1 jam pada suhu ruangan. Setelah plate dcuci dengan PBST sebanyak 3

kali maka plate siap digunakan untuk uji ELISA. Selanjutnya siapkan sampel

serum uji, sampel serum standar, dan reference serum dengan cara sebagai

berikut: Sampel yang akan diuji diencerkan 1: 100 dalam skim milk 5% dan 50 µl

serum tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing lubang test. Sampel

serum standar (PM) diencerkan mulai dari pengenceran 1 : 100 hingga 1 : 3200

dalam skim milk 5% dan tiap-tiap pengenceran dimasukkan pada lubang di

deretan 2 setiap pengenceran satu lubang mulai dari B3 sampai G3. Sampel

Reference serum yang digunakan ada dua yaitu reference serum positif

Jembrana /Hyperimun (A), dan Reference serum negatif (Nusa Penida /B).

Encerkan masing-masing reference serum tersebut 1 : 100 dalam skim milk 5%

dan masukkan 50 ul reference serum A ke lubang B2 , C2 dan D2; 50 µl serum

B ke lubang B3 dan G3. Homogenkan dengan dishaker dan inkubasikan pada

suhu 370C selama 1 jam. Cuci plate dengan PBST sebanyak 3 kali dengan

ELISA washer. Encerkan conjugate antibovine Ig G Whole molecule (SIGMA) 1 :

1000 dalam PBST buffer dan masukkan 50 µl conjugate yang telah diencerkan

Page 199: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

193

tersebut pada setiap lubang baik yang mengandung serum maupun lubang

blank dan kontrol. Plate diinkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam. Plate

dicuci kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Tambahkan

campuran satu bagian substrate Hidrogen Peroxidase (HRP) solution B dan 9

bagian (solution A) atau 2,2- Azino-bis (3-ethylbenzothiazoine-6 sulfonic acid

diamonium salt). Selanjutnya masukkan 50 µl substrate yang telah diencerkan

tersebut ke dalam setiap well (blank, kontrol dan serum sampel), diamkan

selama 2 menit. Terakhir untuk menghentikan reaksi tambahkan 50 µl larutan

asam oxalat 2 % ke semua well.

Pembacaan dan intepretasi hasilPembacaan hasil uji ELISA dilakukan pada ELISA READER dengan panjang

gelombang 405 nm.

Interpretasi HasilBila nilai OD sampel lebih besar atau sama dengan OD pengenceran 1 : 100

maka sampel dikatakan positif sedangkan bila nilai OD sampel lebih kecil dari

OD pengenceran 1 : 100 maka sampel dikatakan negatif

2.3.2. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Metoda uji PCR yang digunakan untuk mendeteksi provirus Jembrana ini adalah

metoda Konvensional PCR yang dikembangkan oleh Masa Tenaya dkk., (2003

& 2004). Bahan-bahan yang diperlukan dalam teknik PCR JD antara lain: Master

mix, PCR water, Primer JDV–1, Primer JDV–3, DNA template, Agarose gel 1%,

TAE buffer, dan Ethidium Bromide. Primer yang digunakan terdiri dari Primer

JDV-1 dan Primer JDV–3. Forward primer (JDV –1) dengan sekuen

5’GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’. Reverse primer (JDV – 3)

dengan sekuen 5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’ (Chadwick et al.,

1995).

Untuk setiap reaksi PCR digunakan 12,5 µL Master Mix, 1 µL primer JDV-1,

satu uL primer JDV-3, 8,5 µL PCR water dan DNA template sebanyak 2 µL.

Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur ke dalam tabung effendorf volume

500 µL. Campuran tersebut diamplifikasi dengan thermocycler sebanyak 35

Page 200: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

194

siklus dengan perincian sebagai berikut: Step 1 (denaturasi) 94oC selama 5

menit, Step 2 (denaturasi) 94oC selama 30 detik dan (annealing) 66oC selama 1

menit, Step 3 pemanjangan (ekstensi) 72oC selama 1,5 menit. Pada akhir siklus,

ada program tambahan 72oC selama 10 menit untuk melengkapi pemanjangan

DNA yang belum selesai, dan satu siklus untuk masa inkubasi di bawah suhu

ruang, biasanya 15oC dengan waktu tak terbatas. Total siklus adalah selama 2

jam 15 menit.

Analisa dan dokumentasi hasil PCR

Hasil PCR kemudian dielektrophoresis dalam 1% gel agarose yang

mengandung 5 µg Etidium bromide/ ml. Elektrophoresis dilakukan dengan

voltase 70 volt selama 45 menit. Hasil PCR dalam gel kemudian divisualisasi

dengan sinar UV pada alat UV transluminator dan dianalisa dengan program Gel

Doc untuk melihat adanya band / pita DNA.

HASIL

Pengambilan sampel serum dan darah dilakukan di seluruh (57) kecamatan di

provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan petugas

Puskeswan di Dinas Peternakan Kabupaten/Kota. Kegiatan ini berhasil

meningkatkan kemampuan dan ketrampilan petugas Puskeswan dalam

melakukan pengambilan sampel, selain itu secara epidemiologi cakupan wilayah

asal sampel lebih terwakili.

Selama pelaksanaan surveilans tidak ditemukan hewan yang menunjukkan

gejala klinis /mengarah ke penyakit Jembrana. Dari masyarakat dan petugas

Dinas Peternakan di semua lokasi surveilans diperoleh informasi bahwa kasus

JD tidak pernah terjadi sejak tahun 2006.

Selama pelaksanaan surveilans berhasil dikumpulkan sebanyak 10.343 sampel

serum dan 4432 sampel darah. Seperti diringkaskan pada Tabel 1 terlihat

bahwa hasil pengujian ELISA terhadap 10.343 sampel serum menunjukkan

hanya 220 (2.1%) seropositif JD.

Page 201: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

195

Persentase seropositif JD tertinggi terjadi di kabupaten Gianyar (10,3%).

Sedangkan persentase seropositif terendah terjadi di Kota Denpasar.

Gambaran seropositif JD di masing-masing Kabupaten/kota di Bali seperti tersaji

pada (Gambar 1). Hasil konfirmasi dengan uji PCR terhadap sampel darah

yang diuji tidak ditemukan virus JD. (Tabel 2).

Tabel 1. Persentase seropositif JD di Provinsi Bali Tahun 2015

No Kabupaten/Kota

Jumlahsampel

JumlahSeropositif

Persentase seropositif(%)

1 Badung 601 20 3.32 Jembrana 740 19 2.63 Buleleng 718 44 6.14 Bangli 857 13 1.55 Klungkung 4583 3 0.16 Tabanan 1034 19 1.87 Gianyar 776 80 10.38 Denpasar 318 0 09 Karangasem 716 22 3.1

TOTAL 10343 220 2.1

Tabel 2. Persentase Positif Virus JD di Provinsi Bali Tahun 2015

No Kabupaten Jumlahsampel

JumlahPositif

Persentase Positif(%)

1 Badung 396 0 02 Buleleng 478 0 0

3 Bangli 301 0 0

4 Klungkung 1054 0 0

5 Tabanan 465 0 0

6 Denpasar 251 0 0

7 Gianyar 403 0 0

8 Jembrana 602 0 0

9 Karangasem 482 0 0

TOTAL 4432 0 0

Page 202: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

196

Gambar 1. Hasil uji ELISA JD Kabupaten/kota di Bali Tahun 2015

PEMBAHASAN

Saat ini pemerintah sedang meningkatkan pengembangan ternak sapi Bali di

Indonesia seperti di Sumatera dan Kalimantan. Terkait hal tersebut ketersediaan

sapi bibit sangat diperlukan untuk mensukseskan program tersebut. Salah satu

persyaratan untuk pengadaan sapi bibit adalah harus bebas JD. Keberadaan JD

di Bali .merupakan kendala utama dalam pengeluaran sapi bibit ke luar Bali.

Dalam rangka persiapan pemberantasan JD di provinsi , BBVet Denpasar,

melakukan surveilans JD setiap tahun.

Hasil surveilans JD tahun 2015 menunjukkan hanya 220 (2.1%) dari sampel

yang diuji seropositif JD. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil

surveilans tahun 2014 yang mencapai 9.7%. Trend, terjadinya penurunan

persentase seropositif dan positif virus JD di Bali sudah terjadi sejak lima tahun

terakhir.

Page 203: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

197

Dari total 10343 sampel serum yang diuji hanya 415 (4%) berasal dari sapi yang

divaksinasi., dan hanya 6 (1.5%) diantaranya menunjukkan seropositif JD

Rendahnya hasil seropositif ini disebabkan karena mayoritas sampel serum

berasal dari sapi yang tidak divaksinasi JD. Terbatasnya jumlah sampel yang

divaksinasi disebabkan karena jumlah vaksin JD yang dialokasikan Dinas

Peternakan sangat terbatas sehingga tidak bisa mengcover semua populasi

yang ada. Vaksinasi umumnya diprioritaskan di Kelompok ternak Simantri.

Sedangkan pengambilan sampel pada surveilans 2015 ini tidak hanya pada

Kelompok Ternak Simantri saja.tetapi juga dilakukan pada ternak sapi

masyarakat berbasis Kecamatan.

Adanya seropositif JD terdeteksi pada sampel dari hewan yang tidak vaksinasi ,

bisa terjadi karena dua hal yaitu :

- sapi tersebut pernah divaksinasi sebelumnya, tetapi saat pengambilan

sampel dilaporkan tidak divaksinasi . Dugaan ini diperkuat oleh hasil

penelitian Irfani, dkk 20….menemukan bahwa sampel serum hasil vaksinasi

menunjukkan negative virus JD pada uji PCR. Hal ini terjadi, karena vaksin

JD yang digunakan untuk vaksinasi merupakan vaksin inaktif

- Antibodi yang terdeteksi merupakan antibodi BIV, karena antigen J Gag6

histidin yang digunakan pada uji ELISA, mempunyai sifat ‘ cross reaction’

atau reaksi silang dengan antibodi Lentivirus lain seperti BIV. Dugaan

antibody yang terdeteksi merupakan antibodi BIV diperkuat oleh hasil uji

PCR, yang menunjukkan negatif virus JD. Sampai saat ini uji PCR masih

merupakan gold standar untuk diagnosa JD. Selain itu hasil penelitian

Hartaningsih , et al. 1990 menemukan bahwa antibodi Lentivirus sudah ada

di Provinsi Bali.

Antibodi JD bisa terbentuk apabila hewan pernah divaksinasi JD atau terinfeksi

JD sebelumnya. Rendahnya respon antibodi hasil vaksinasi JD ini juga bisa

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, : kualitas vaksin yang digunakan

kurang bagus, aplikasi vaksin yang tidak sesuai, status gizi dari hewan yang

divaksin terganggu serta sistem imun dari hewan kurang bagus. Terkait dengan

aplikasi vaksin ada kemungkinan rendahnya antibodi yang terbentuk disebabkan

Page 204: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

198

karena vaksin hanya diberikan dalam dosis tunggal yaitu tidak dilakukan

vaksinasi ulang (Booster). Ada kecenderungan titer antibodi akan lebih tinggi

pada hewan yang sudah pernah divaksinasi dibandingkan dengan hewan yang

baru divaksinasi pertama kali . Hal ini sesuai dengan pendapat (Roitt, 1996)

yaitu : imunisasi/vaksinasi pertama tidak akan menimbulkan respon antibodi

yang tinggi, tetapi jika imunisasi/vaksinasi diulang 2-3 kali, maka respon antibodi

yang terbentuk akan meningkat tajam dan bertahan selama beberapa waktu dan

akhirnya akan menurun secara perlahan. Peningkatan titer antibodi tersebut

disebabkan oleh proses pemilihan (switching) isotipe imunoglobulin menjadi IgG

dan hal ini dapat terjadi karena bantuan sel T

Hasil surveilans 2015 ini membuktikan bahwa tidak terjadinya kasus JD di Bali

dari tahun 2006 sampai dengan 2014 walaupun seropositif JD di Bali sangat

rendah disebabkan karena hewan carrier JD tidak ditemukan di semua lokasi

surveilans dan persentase virus JD di Bali sangat rendah (tidak ditemukan di

semua lokasi surveilans).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil surveilans ini dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :

Persentase seropositif JD di Bali sangat rendah hanya 2.1%

Hewan “carrier JD” (positif virus JD) tidak ditemukan di semua lokasi

surveilans.

Tidak terjadinya kasus JD di Bali walaupun seropositif JD sangat rendah

disebabkan karena virus JD tidak ditemukan di semua lokasi surveilans di

Kabupaten /Kota di Bali .

Page 205: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

199

Saran

Walaupun virus JD tidak ditemukan di Provinsi Bali, surveilans/monitoring

secara periodik dan terstruktur , peningkatan pengawasan lalu lintas ternak.

dan pemberantasan vektor tetap harus dilakukan.,

Perlu diupayakan pembebasan JD di Provinsi Bali sehingga Provinsi Bali

bisa dijadikan sebagai sumber bibit sapi Bali untuk memenuhi kebutuhan

bibit sapi Bali di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas dana, kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

surveilans ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-Provinsi Bali, beserta staf atas bantuan dan

kerjasamanya dalam membantu pelaksanaan pengambilan sampel. Penulis

juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Medik dan

Paramedik Veteriner Balai Besar Veteriner Denpasar yang telah membantu

dalam pengambilan dan pengujian sampel ini.

Page 206: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

200

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, NLP., and Hartaningsih, N. (2002). Uji Elisa untuk Mendeteksi Antibodi LentivirusMenggunakan Antigen Rekombinan J Gag-6. Manual Peningkatan Metode DiagnosaPenyakit Jembrana ACIAR BPPV VI.

Agustini, NLP. (2009). Surveilans Penyakit Jembrana di Provinsi Bali, Lampung dan SumateraBarat. Laporan Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar.

Chadwick, B J., Coelen, RJ., Wilcox, G E., Sammels, L M., Kertayadnya, G.(1995). Nucleotidesequence analysis of Jembrana disease virus : a bovine lentivirus associated with anacute disease syndrome. Journal of General Virology. 76: 1637-1650

Hartaningsih, N., Sulistyana, K.,and G.E. Wilcox. (1996). Serological Test for JDV Antibodiesand Antibody Respons of Infected Cattle. In Jembrana Disease and the BovineLentiviruses, ACIAR Proceedings No.75, page 79-84.

Hartaningsih, N. (2005). Laporan Hasil Investigasi Penyakit Jembrana di Kalimantan Timur.Laporan Tahunan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Denpasar.

Putra, AAG. (2003). Peranan Hewan Karier penyakit Jembrana dalam penularan penyakit dilapangan. Buletin Veteriner. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VIDenpasar. XV (63) :16-26

Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox, GE. (1990).Studies experimental Jembrana disease of infectious agen in Bali cattle. Transmissionand persistence of the infectious agent in ruminant and pigs and resistance of recoveredcattle to re-infection, Journal of Comparative Pathology 103 : 49-59

Tenaya, IWM., Ananda, CK dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA Virus Jembranapada Limposit Sapi Bali dengan Uji Polymerase Chain Reaction. Buletin Veteriner. 63:44-48, BPPV VI Denpasar.

Tenaya, IWM dan Hartaningsih, N. (2004). Detection of JDV Carrier Animals by PCR. BuletinVeteriner. 65: 46-50, BPPV VI Denpasar.

Page 207: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

201

SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015

Ni Luh Putu Agustini, Dilasdita Kartika Pradana,dan Serli Eka Melyantono

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut menimbulkan ensefalitisfatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae Serosurveilans untukmengetahui seropositif Rabies di Bali, NTB dan NTT serta, mengetahui hubungan antarapersentase seropositif dengan kejadian kasus rabies di Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT)telah dilakukan pada bulan Maret sampai dengan September 2015.. Serosurveilans dilakukan di9 kabupaten/kota di seluruh Bali, lima kabupaten di provinsi NTT dan satu kabupaten diProvinsi NTB Selama pelaksanaan serosurveilans di provinsi Bali berhasil dikumpulkan 677sampel serum, sedangkan dari provinsi NTB dan NTT masing-masing dikumpulkan sebanyak 32dan 500 sampel serum, Semua sampel serum diuji ELISA menggunakan KIT ELISA Rabiesproduksi Pusat Veteriner Farma Surabaya. Hasil uji ELISA sampel serum asal provinsi Balimenunjukkan hanya 320 (47.3%) diantaranya seropositif rabies. Untuk provinsi NTB satu dari 32sampel seropositif Rabies sedangkan sampel serum asal NTT hanya 27.4% seropositif rabies.Vaksinasi yang telah dilakukan oleh Dinas Peternakan kabupaten/kota di provinsi Bali dan NTTmampu merangsang terbentuknya seropositif Rabies. Hasil serosurveilans Rabies di provinsiBali tahun 2015 menunjukkan terjadi peningkatan persentase seropositif Rabies dibandingkandengan hasil serosurveilans tahun 2014. Persentase seropositif rabies di NTT hanya 27.4% Adaindikasi bahwa terjadinya kembali kasus rabies di beberapa daerah di Bali dan NTT adakaitannya dengan rendahnya persentase seropositif rabies dan herd immunity (kekebalankelompok). Perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada HPR yang memiliki titer antibodikurang dari 0.5 IU/ml selain itu perlu diupayakan penggunaan vaksin oral untuk mengatasikesulitan pelaksanaan vaksinasi pada anjing yang tidak diikat/diliarkan di Bali dan NTTsehinggamampu meningkatkan persentase seropositif Rabies .Untuk tetap mempertahankan provinsiNTB bebas Rabies , perlu dilakukan pengawasan lalu lintas HPR dan pengendalian populasi.

Kata Kunci : rabies, serosurveilans, vaksinasi

Page 208: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

202

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit viral zoonosis akut

menimbulkan ensefalitis fatal pada mamalia disebabkan oleh Lyssavirus dari

famili Rhabdoviridae (Murphy et.al.2009; Fischer et al., 2013). Rabies

ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis)

melalui gigitan atau jilatan pada luka.

Di provinsi Bali sumber penularan Rabies diduga berasal dari masuknya anjing

dalam masa inkubasi dibawa oleh pelaut asal Sulawesi Selatan (Putra et.al.,

2009). Sejak munculnya kasus rabies di desa Kedonganan kecamatan Kuta

Selatan, kabupaten Badung pada bulan November 2008 berdasarkan

Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008

provinsi Bali secara resmi dinyatakan sebagai daerah tertular rabies.

Kejadian Rabies di provinsi NTT khususnya pulau Flores sudah terjadi sejak

tahun 1998 di Kabupaten Sikka , kemudian menyebar ke Ende tahun 1999,

Ngada Juni 2000, dan Manggarai Juli 2000. Sampai saat ini provinsi NTB masih

bebas rabies namun merupakan daerah bebas terancam .

Sejak tahun 2008 hingga saat ini kejadisn kasus Rabies di Bali masih terus

terjadi. Anjing masih merupakan hewan penular Rabies (HPR) utama di Provinsi

Bali. Dari 672 kasus rabies pada hewan di Bali periode tahun 2008-2013

semuanya ditularkan oleh anjing Rabies. (Supartika et.al., 2013). Cepatnya

penyebaran rabies di Bali dan Flores tidak terlepas dari tingginya populasi anjing

di kedua daerah tersebut. Hampir setiap rumah tangga di Bali dan Flores

memiliki anjing. Tingginya angka kepemilikan anjing khususnya di Flores

disebabkan karena anjing memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi yang sangat

tinggi dan anjing sangat dibutuhkan pada upacara adat. Walaupun demikian

sistim pemeliharaan anjing di Flores, mayoritas masih diliarkan, sehingga sangat

berpotensi menjadi sumber penularan rabies ke hewan lainnya dan ke manusia.

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan

eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan

lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang

Page 209: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

203

efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Pemerintah provinsi Bali

secara rutin melakukan vaksinasi terhadap HPR di Bali.

Hasil serosurveilans rabies Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar tahun 2014

di provinsi Bali menunujukkan persentase seropositif rabies sebesar 43.9%.

Sedangkan persentase seropositif Rabies di provinsi NTT hanya 43.5%

(Agustini, et.al., 2014). Angka tersebut masih di bawah standar yang

dipersyaratkan OIE dan hal ini sangat berpotensi menyebabkan terjadinya

kasus rabies . Fakta di lapangan menunjukkan walaupun vaksinasi rabies sudah

dilakukan namun kasus rabies dan kematian akibat rabies masih dilaporkan

terjadi. Apakah masalah tersebut terjadi karena persentase seropositif rabies

pada HPR (herd immunity) rendah, atau disebabkan oleh faktor lain, belum

diketahui secara pasti. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dilakukan

serosurveilans Rabies.

1.2 . Tujuan

Serosurveilans ini bertujuan :

1. Mengetahui persentase seropositif Rabies di provinsi Bali dan NTT

2. Mengetahui pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus Rabies di Bali dan

NTT (Pulau Flores).

3. Mengetahui situasi dan status Rabies di provinsi NTB

4. Pemetaan penyakit dan penggalian informasi kejadian kasus penyakit yang

mengarah pada penyakit Rabies sebagai dasar penentuan program

surveilans selanjutnya

1.3. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari serosurveilans ini adalah :1. Diketahuinya persentase seropositif rabies di provinsi Bali dan NTT

2. Diketahuinya pengaruh vaksinasi terhadap kejadian kasus rabies di Bali dan

NTT

3. Diketahuinya status Rabies di NTB

1.4. Output yang diharapkan adalah :

Page 210: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

204

1. Tersedianya data dan informasi tentang persentase seropositif Rabies di

Bali dan NTT

2. Tersedianya data tentang pengaruh vaksinasi terhadap kejadian Rabies di

Bali dan NTT

3. Tersedianya informasi tentang situasi Rabies di NTB

4. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

representatif dan koordinasi yang terjalin baik antara BBVet, Puskeswan/

Disnak kabupaten/kota.

MATERI DAN METODE

2.1. Materi

2.1.1 Bahan

Bahan yang digunakan pada pelaksanaan surveilans rabies ini meliputi : KIT

ELISA produksi Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya.

2.1.2. Alat

Alat yang digunakan untuk surveilans meliputi : tabung plain vacutainer, jarum

venoject, handle, tabung effendorf 2 ml , multichanel pipet, micropipet, micro tip

pipet 250 ul dan 1000 ul, ELISA washer, inkubator, ELISA reader

2.2. Metode

2.2.1. Metode Pengambilan sampel

a. Penentuan Lokasi.

Pengambilan sampel rabies di provinsi Bali dilaksanakan di seluruh

Kabupaten/kota karena vaksinasi dilakukan secara massal di seluruh Bali.

Pemilihan desa tempat pengambilan sampel dikoordinasikan dengan Dinas

Peternakan Kabupaten /Kota dan dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan

bekerjasama dengan Puskeswan di masing-masing Kabupaten /kota

Untuk provinsi NTT serosurveilans dilaksanakan di Kabupaten Ende, Flores

Timur, Lembata, Manggarai Barat dan Manggatai Timur.. Pemilihan lokasi ini

berdasarkan status wilayah, dimana semua lokasi tersebut sampai saat

Page 211: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

205

merupakan daerah endemik rabies, dan masih ditemukan adanya kasus positif

Rabies pada HPR dan kematian akibat Rabies pada orang/manusia.

b. Metode Pengambilan sampel

Pengambilan sampel melibatkan petugas Puskeswan, bertujuan untuk

meningkatkan fungsi dan peran serta Puskeswan dalam pencegahan dan

pengendalian dini terhadap Rabies. Selain itu keterlibatan Puskeswan juga

untuk menambah cakupan wilayah surveilans sehingga pengambilan sampel

sesuai harapan/target serta sebagai ajang pembinaan bagi petugas Puskeswan

dalam pengambilan dan penanganan sampel secara baik dan benar

Penentuan jumlah sampel di Provinsi Bali dilakukan berdasarkan persentase

seropositif Rabies tahun 2013 sebesar 68.3% dan berdasarkan perhitungan

statistik dengan selang kepercayaan 95% sehingga total jumlah sampel yang

harus diambil adalah 697 sampel. Sedangkan untuk provinsi NTT

pengambilan sampel dilakukan di Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata,

Manggarai Barat dan Manggarai Timur.. Berdasarkan prevalensi seropositif

Rabies tahun 2013 sebesar 45.3% dengan selang kepercayaan 95% maka

jumlah sampel yang diambil keseluruhan adalah 396 sampel.

c. Penanganan Sampel

Sampel yang sudah diambil setelah sampai di Laboratorium segera dipisahkan

dari klot darah dengan cara dicentrifugasi kemudian disimpan dalam vial, diberi

label dan disimpan pada suhu (-200C) sampai dipergunakan

3.2.2. Metode Pengujian Sampel

Sampel serum yang telah dikumpulkan diuji ELISA menggunakan KIT ELISA

Rabies produksi Pusat Veteriner Farma Surabaya sesuai prosedur yang

terdapat pada KIT dengan tahapan sebagai berikut : sebelum dilakukan

pengujian semua sampel serum diinaktivasi pada suhu 560C selama 30 menit.

Sampel serum diencerkan dalam larutan Phosphate Buffer Saline Tween 20

dengan perbandingan 1 : 100. Pengenceran serum kontrol positif dimulai dari 4

EU sampai dengan 0.125 EU. Serum kontrol standar dan kontrol negatif

diencerkan 1 : 100. Selanjutnya 100 ul dari kontrol positif : 4 EU dimasukkan ke

Page 212: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

206

dalam well A1 dan A2. Kontrol positif 2 EU ke dalam well B1 dan B2. Kontrol

positif 1 EU ke dalam well C1 dan C2. Kontrol positif 0.5 EU ke dalam well D1

dan D2, kontrol positif 0,25 EU ke dalam well E1 dan E2, serta kontrol positif

0,125 EU ke dalam well F1 dan F2. Sedangkan untuk kontrol standar

dimasukkan masing-masing 100 ul ke dalam well G1 , G2 dan untuk kontrol

negatif dimasukkan ke dalam well H1 dan H2.

Selanjutnya 100 ul sampel serum yang sudah diencerkan dimasukkan mulai well

A3 sampai dengan G12. sedangkan well H11 dan H12 tidak ditambahkan

sampel serum atau digunakan sebagai kontrol. Setelah diinkubasi pada suhu

370C selama 1 jam mikroplate dicuci sebanyak 3-5 kali dengan PBST.

Selanjutnya 100 µl conjugate protein A yang sudah diencerkan dalam PBST

dengan perbandingan 1 : 16000, ditambahkan kesemua well, kemudian

mikroplate diinkubasikan kembali pada suhu 370C selama 1 jam. Setelah

mikroplate dicuci kembali sebanyak 3-5 kali dengan PBST selanjutnya ke dalam

masing-masing well ditambahkan 100 µl substrate ABTS dan diinkubasikan

pada suhu kamar selama 10-15 menit, sambil diamati munculnya warna

kebiruan. Bila warna antara kontrol positif dan negatif bisa dibedakan secara

visual dilakukan penghentian reaksi dengan penambahan stop solution kesemua

well. Terakhir dilakukan pembacaan pada ELISA Reader menggunakan filter

405 nm

Kalkulasi dan Interpretasi Hasil

Kalkulasi hasil dilakukan dengan program Microsoft Excel dengan interpretasi

hasil: Jika nilai OD sampel ≥ 0,5 IU maka sampel dinyatakan seropositif Rabies

dan sebaliknya jika nilai OD sampel ≤ 0,5 IU maka sampel dinyatakan

seronegatif Rabies.

HASIL

Selama pelaksanaan serosurveilans tidak ditemukan anjing yang menunjukkan

gejala klinis yang mengarah ke penyakit Rabies dan berhasil dikumpulkan

sebanyak 1209 sampel serum yang terdiri dari 677 sampel serum asal provinsi

Bali, 32 sampel dari provinsi NTB sedangkan dari provinsi NTT dikumpulkan

sebanyak 500 sampel serum. Hasil uji ELISA terhadap 677 sampel serum dari

Page 213: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

207

provinsi Bali menunjukkan sebanyak 320 (47.3 %) seropositif rabies. Untuk

sampel serum dari provinsi NTB menunjukkan satu seropositif Rabies.

Sedangkan jumlah seropositif Rabies dari sampel asal provinsi NTT adalah

27.4% (Tabel 1). Dari 677 sampel serum yang diuji hanya 216 diantaranya

berasal dari anjing yang divaksinasi Rabies. Hasil uji ELISA dari sampel tersebut

menunjukkan 151 (69.9%) diantaranya seropositif Rabies. Hasil selengkapnya

seperti pada Grafik 1

Hasil serosurveilans Rabies di provinsi Bali Tahun 2015 menunjukkan terjadinya

peningkatan persentase seropositif Rabies bila dibandingkan dengan tahun

2014. dari 43,9% menjadi 47.3%. Persentase seropositif Rabies tertinggi pada

tahun 2015 terjadi di Kabupaten Jembrana yaitu 72 % sedangkan seropositif

terendah terjadi di kabupaten Gianyar (24.2%). Mayoritas persentase seropositif

Rabies di Kabupaten /kota di Bali masih dibawah 70%. Data jumlah sampel dan

hasil uji ELISA Rabies di masing-masing Kabupaten/kota di Bali seperti tersaji

pada Tabel 2, Grafik 2

Hasil uji ELISA terhadap sampel serum dari provinsi NTT menunjukkan 27.4 %,

seropositif Rabies. Hasil ini sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil

seropositif tahun 2014 yang sempat mencapai 43.5%. Persentase seropositif

Rabies tertinggi terjadi di Kabupaten Flores Timur yaitu 67.6%,. Hasil uji

selengkapnya seperti tersaji pada Tabel 3, Grafik 3. Terjadi trend penurunan

persentase seropositif Rabies di Bali tahun 2013 dan 2014 sedangkan

peningkatan seropositif Rabies baru terjadi tahun 2015 (Grafik 4).

Tabel 1. Hasil Uji ELISA sampel serum dari povinsi Bali , NTB dan NTTTahun 2015

PROVINSI JUMLAHSAMPEL

JUMLAHSEROPOSITIF

PERSENTASESEROPOSITIF

(%)Bali 677 120 17.7

Nusa Tenggara Barat 32 1 3.1

Nusa Tenggara Timur 500 137 27.4

TOTAL 1209 258 21.3

Page 214: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

208

Grafik 1.Jumlah Seropositif Rabies dari anjing yang divaksinasi Rabies di provinsi Bali Tahun 2015

Tabel 2. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali Tahun 2015

No Kabupaten/KotaJumlahsampelserum

JumlahSeropositif

PersentaseSeropositif

1 Badung 52 14 26.9

2 Buleleng 72 28 38.9

3 Karangasem 82 28 34.4

4 Bangli 57 22 38.6

5 Gianyar 66 16 24.2

6 Denpasar 55 34 61.8

7 Jembrana 175 126 72

8 Tabanan 59 20 33.9

9 Klungkung 59 32 54.2

Total 677 320 47.3

Page 215: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

209

Grafik 2. Hasil seropositif Rabies di masing-masing Kabupaten/kota rovinsiBali Tahun 2015

Tabel 3. Hasil Serosurveilans Rabies di Provinsi NTT Tahun 2015

No Kabupaten/ kotaJumlahsampelserum

Jumlahseropositif

Persentaseseropositif

1 Ende 103 1 0.9

2 Flores Timur 108 71 67.6

3 Lembata 162 65 34

4 Manggarai Barat 112 8 7.1

5 Manggarai Timur 15 0 0

Total 500 137 27.4

Page 216: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

210

Grafik 3. Hasil seropositif Rabies di Provinsi NTT Tahun 2015

Grafik 4. Persentase seropositif Rabies di Bali tahun 2013-2015

Page 217: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

211

PEMBAHASAN

Vaksinasi merupakan program pilihan utama dalam pengendalian dan

pemberantasan rabies di Indonesia , karena vaksinasi akan merangsang sistim

imun membentuk antibodi dan memproteksi HPR terhadap infeksi Rabies.

Vaksinasi massal Rabies yang dilakukan di Provinsi Bali mampu merangsang

terbentuknya antibodi.. Hasil serosurveilans Rabies di provinsi Bali tahun 2015

menunjukkan terjadi peningkatan persentase seropositif Rabies bila

dibandingkan dengan tahun 2014, namun belum mencapai 70% sesuai

persyaratan OIE. Rendahnya persentase seropositif tersebut berpengaruh

terhadap herd immunity dan berpotensi menyebabkan meningkatnya kejadian

kasus Rabies . Dugaan ini terbukti dengan terjadinya peningkatan jumlah kasus

positif Rabies di Bali tahun 2015 bila dibandingkan dengan kejadian kasus

Rabies tahun 2014. Dari hasil uji FAT terhadap 3155 sampel otak, 527(16.7%)

diantaranya menunjukkan positif virus rabies (data Bagian Epidemiologi BBVet

Denpasar). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian kasus Rabies

tahun 2014 yang hanya mencapai 10.16% Ada indikasi meningkatnya jumlah

positif kasus Rabies disebabkan oleh rendahnya persentase seropositif

sehingga mengakibatkan menurunnya kekebalan kelompok (herd immunity) dan

meningkatnya kepekaan terhadap infeksi Rabies

Hasil serosurveilans Rabies di Bali tahun 2015 menunjukkan dari 677 sampel

serum yang berhasil dikumpulkan 216 diantaranya berasal dari anjing yang

divaksinasi, Menurunnya persentase seropositif tersebut disebabkan oleh

banyaknya HPR yang tidak divaksinasi dan dibooster terutama anjing-anjing

kelahiran baru sehingga tidak mampu memproteksi serangan virus yang masuk.

Masih ada anjing yang divaksinasi Rabies namun tidak memberikan respon

antibodi protektif, Hasil uji Elisa dari 216 sampel serum dari anjing yang

divaksinasi Rabies hanya 69,9% diantaranya seropositif Rabies. Hal ini diduga

kuat dipengaruhi oleh : status gizi dan managemen pemeliharaan yang kurang

baik. Mayoritas sampel serum yang diperiksa di laboratorium berasal dari

Page 218: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

212

anjing lokal (anjing Bali) dengan sistem pemeliharaan sebagian besar diliarkan,

dengan makanan seadanya sehingga kebutuhan gizinya tidak terpenuhi.

Menurut Widodo, 2009 perbedaan respon antibodi hasil vaksinasi dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : kondisi tubuh hewan , status gizi,

status imun host, kualitas dan kuantitas vaksin serta lingkungan. Selain itu

perbedaan respon antibodi yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh faktor individu

dan pengaruh stres akibat perlakuan pada saat pelaksanaan vaksinasi.

(Suprapto, 2008). Selain itu keberhasilan vaksinasi dan terbentuknya titer

antibodi protektif juga dipengaruhi oleh sistim penanganan vaksin (transportasi

dan penyimpanan (cold chain system). Menurut WHO, 1998 komponen cold

chain (system rantai dingin) meliputi : peralatan untuk penyimpanan dan

transportasi vaksin, prosedur pengelolaan, program dan kontrol distribusi

vaksin.

Ada kecenderungan titer antibodi lebih tinggi pada anjing yang sudah pernah

divaksinasi dibandingkan dengan anjing yang baru divaksinasi pertama kali .

Hal ini sesuai dengan pendapat Simani et al., 2004 yang menyatakan bahwa

booster penting dilakukan untuk mempertahankan titer antibodi protektif . Hal ini

juga sesuai dengan yang di laporkan oleh Wilde dan Tepsumethanon (2010),

bahwa satu dosis vaksin tidak menghasilkan antibodi neutralisasi yang lama

sehingga perlu dilakukan booster. Sistem pemeliharaan anjing di Bali

kebanyakan masih diliarkan sehingga menyebabkan pelaksanaan vaksinasi

ulangan secara massal sangat sulit dilakukan. Kesulitan tersebut meliputi

kesulitan melakukan penangkapan anjing, karena aplikasi vaksin Rabies

umumnya melalui suntikan. Berdasarkan fakta tersebut perlu dipikirkan atau

dicarikan alternatif penggunaan vaksin rabies lainnya yang lebih mudah

aplikasinya namun mampu memberikan kekebalan lebih lama terutama untuk

anjing-anjing yang diliarkan/tidak diikat. Anjing yang diliarkan perlu mendapatkan

vaksinasi rabies karena anjing tersebut mempunyai potensi sangat besar untuk

menyebarkan rabies. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soeharsono

(2007), bahwa anjing liar/anjing geladak (stray dogs) merupakan pelestari rabies

yang potensial karena hidup bebas sehingga sangat berpotensi menyebarkan

Page 219: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

213

rabies ke hewan lain, bahkan juga ke manusia. Hasil serosurveilans Rabies di

provinsi NTB menunjukkan ada satu sampel seropositif rabies namun hasil

konfirmasi dengan uji FAT terhadap sampel otak anjing tersebut menunjukkan

negatif virus Rabies. Adanya seropositif tersebut bisa terjadi karena reaksi

positif palsu yang disebabkan oleh spesifisitas KIT ELISA Rabies yang

digunakan kurang dari 100%. Hasil penelitian Dartini. 2011 menemukan bahwa

spesivisitas KIT ELISA Rabies Pusvetma hanya 73.5%. Rendahnya spesifisitas

ini diduga kuat menyebabkan terjadinya positif palsu.

Hasil serosurveilans Rabies di provinsi NTT tahun 2015 menunjukkan terjadi

penurunan seropositif Rabies, hal ini diduga kuat disebabkan oleh keterbatasan

jumlah vaksin yang tersedia sehingga tidak bisa mengcover semua populasi

yang ada. Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya

vaksinasi Rabies pada HPR, faktor demografi NTT yang sangat sulit dijangkau,

juga berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan vaksinasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil serosurveilans dapat disimpulkan :

Vaksinasi Rabies yang dilakukan di provinsi Bali, dan NTT, mampu

merangsang terbentuknya antibodi

Persentase seropositif Rabies di provinsi Bali tahun 2015 hanya 47.3%

sedangkan untuk provinsi NTT 27.4%

Ada indikasi munculnya kasus Rabies di Bali dan NTT disebabkan karena

rendahnya persentase seropositif dan kekebalan kelompok (herd

immunity)

Sampai saat ini provinsi NTB masih bebas penyakit Rabies.

Page 220: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

214

SARAN

Mengingat persentase seropositif Rabies di Bali dan NTT masih di bawah

70% maka perlu dilakukan vaksinasi ulang (booster) pada anjing yang

memiliki titer antibodi dibawah 0.5 IU/ml.

Untuk mencegah terjadinya kasus rabies di Bali dan NTT , perlu dilakukan

vaksinasi massal Rabies secara periodik sehingga meningkatkan kekebalan

kelompok (herd immunity)

Untuk mempermudah pelaksanaan vaksinasi Rabies pada anjing yang tidak

diikat atau diliarkan , perlu diupayakan vaksinasi Rabies dengan vaksin oral

Untuk mempertahankan provinsi NTB tetap bebas Rabies perlu dilakukan

sosialisasi tentang bahaya Rabies, pengawasan lalu lintas HPR dan

pengendalian populasi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan dan ijin yang diberikan untuk melaksanakan

serosurveilans ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas

Peternakan kabupaten/kota se-provinsi Bali , Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat dan Manggarai Timur

beserta staf, serta kepada Medik dan Paramedik Veteriner Balai Besar

Veteriner Denpasar yang telah membantu dalam pengambilan dan pengujian

sampel.

Page 221: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

215

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,. Laporan Penanggulangan Rabies Provinsi Bali, 2010

Agustini, N.L.P., Dibia, I.N., dan Mustikawati, D. 2014. Laporan Teknis .Serosurveilans Rabies di Provinsi Bali, Nusa Tenggara barat, dan NusaTenggara Timur Tahun 2014

Chiliquet, F.Verdier ,Y. , Sagne,L.Aubert,M. Schereffer, J.L. Neutralisingantibody titration in 25,000 sera of dogs and cats vaccinated againstrabies inFrance, in the framework of the new regulationsthat offer analternative to quarantine, 2003

Dartini, Ni Luh 2011.Profil Imun Respon Terhadap Rabies dan AnalisisGenetika dan Gen Penyandi Glikoprotein Virus Rabies Isolat Bali.Kumpulan Thesis Program Pascsarjana Universitas Udayana

.Fischer, M., Wemike, K., Freuling, C.M. Muller, T., Avylan, O., Brocher, B.,

Cliquet, F., Vasquez-Maron, S., Hostnik, P., Huovialanen, A., Isakson,M., Kooi, E.E., Mooney, J., Turcitu, M., Rasmussen, T.B., Revila-Fernandez, S., Sunreczak, W., Fooks, A.R., Maston, D.A., Beer, M.,Hoffman, B. 2013. A step Forward in molecular diagnostic ofLyssaviruses Result of a Ring Trial among European Laboratories PLOSONE. Vol 8 Issue 3E5.

Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor1637.1/Kpts/PD 640/12.2008. Tentang Pernyataan BerjangkitnyaWabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung, ProvinsiBali.Minke ,J.M, Bouvet,J.,

Cliquet, F,. Wasniewski ,M. Guiot ,A.,L., Comparison of antibody responsesafter vaccination with two inactivated rabies vaccines, 2007

Murphy, F.A. Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C, and Studdert, M.J. 2009.Rhabdoviridae in Veterinaty Virology, 3nd Ed. 429-439

Putra, A.A.G. , Gunata, I.K., Faizah., Dartini, N.L., Hartawan, D.H.W., Setiaji,G., Putra, A.A.G.S., Soegiarto dan Scott-Orr. H. 2009. Situasi Rabies diBali Enam Bulan Pasca Program Pemberantasan. Buletin Veteriner .Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol.: XXI, 74: 13-26.

Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion,N.Howaizi, N.Eslami, A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas.2004.Evaluation of The Effectiveness of Pre Exposure Rabies Vaccination inIran. Arch Med.7(4) : 251-255.

Page 222: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

216

Soeharsono.2007. Penyakit Zoonotik Pada Anjing dan Kucing. Edisi 1. Penerbit Kanisius Jogyakarta.

Supartika, I.K.E., Wirata, I.K., Uliantara, I.G.A.J dan Diatmita, I.K. 2014.Surveilans dan monitoring agen Penyakit Rabies Pada Anjing DiProvinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa Tenggara Timur Tahun2013. Buletin Veteriner. Balai Besar Veteriner Denpasar. Vol. XXVI, No.84. Edisis Juni 2014. Hal 46-59

Tepsumethanon V., B.Lumlertdacha, C. Mitmoonpitak, V.Sitprija, F.X. Meslin,and H.Wilde. 2004. Survival of Naturally Infected Rabid Dogs andCats.Brief Report. Clinical Infectious Diseases. 39 : 278-280

.WHO, Guidelines for dog rabies control, WHO/VPH/ 83.43 Rev.1, 1987Suprapto H. 2008. Vaksinasi sebagai usaha pencegahan penyakit pada ikan.

Orasi Ilmiah Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya

Widodo J. 2009. Imunologi Vaksin. Chlidren Allergy Centre

Page 223: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

217

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DANNEWCASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT

DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015

Hartawan, D.H.W., Dibia,I.N., Nanda Laksmi, L. K., Purnatha, N., Sutami, N.,Faesal Suryadinata, L. M., Abioga, D. P., Fitriani, I K., Kurniawan, F R.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada unggas danmempunyai arti penting yakni munculnya kerugian ekonomi yang diderita oleh para peternakunggas mulai dari penurunan produksi hingga kematian unggas. Penyakit ini termasuk dalamdaftar A Office International des Epizooties (OIE). Penyakit tersebut menular pada unggas dandapat menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai dari gejalayang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatalsehingga menghasilkan epidemi yang berat. Selain itu dampak sosio-ekonominya cukup luasmempengaruhi status kesehatan masyarakat dan perdagangan internasional terutama padaperdagangan produk unggas dan hasil olahannya. Oleh karena itu kajian terhadap penyakittersebut sangat penting untuk dilakukan. Surveilans ini dilakukan sebagai dasar pemetaanpenyakit AI H5N1 dan ND dan sekaligus untuk mengetahui distribusinya di wilayah kerja BalaiBesar Veteriner Denpasar Hasil yang diperoleh ditemukan hasil positif virus AI dengan proporsi3.80 % (48/1264) di Provinsi Bali dan 1.12 % (4/356) di Nusa Tenggara Barat. Hal inimenunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar VeterinerDenpasar. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI di propinsi Balisebesar 47.11 %, di Nusa Tenggara Barat dengan proporsi 15.18 % dan Nusa Tenggara Timur12.5 %. Untuk penyakit ND, ditemukan positif virus ND dengan proporsi sebesar 4.65 % (4/86) dipropvinsi Bali. hal ini menunjukkan juga bahwa penyakit ND masih bersirkulasi di wilayah kerjaBalai Besar Veteriner Denpasar sedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Barattidak ditemukan hasil positif ND. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensiND di propinsi Bali sebesar 79.95 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 55.26 % dan NusaTenggara Timur sebesar 57.66 %.

Kata Kunci : Avian Influenza, Newcastle Disease Deteksi virus, Serosurveilans titer antibodi

PENDAHULUAN

Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND) adalah penyakit menular pada

unggas yang termasuk dalam daftar A Office International des Epizooties (OIE).

Seluruh unggas diketahui rentan terhadap infeksi avian influenza, walaupun

beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini dibandingkan yang lain. Infeksi

ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat luas pada unggas-unggas, mulai

dari gejala yang ringan hingga ke penularan yang sangat tinggi dan cepat

menjadi penyakit yang fatal sehingga menghasilkan epidemi yang berat.

Page 224: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

218

Sedangkan penyakit Gumboro bersifat imunosupresif yaitu melumpuhkan sistem

pertahanan tubuh unggas yaitu dapat berpengaruh terhadap respon imun

humoral dan seluler (faragher et al, 1974). Hal ini meningkatkan risiko terjadinya

penularan khususnya untuk penyakit AI yang dapat menular pada manusia

(zoonosis).

Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang saluran pernafasan dan

pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus paramyxovirus (Aleksander.

1997). Diketahui seluruh unggas rentan terhadap infeksi virus Newcastle

Disease (ND), walaupun beberapa spesies lebih tahan terhadap virus ini

dibandingkan yang lain. Infeksi ini menyebabkan spectrum gejala yang sangat

luas pada unggas-unggas, mulai dari gejala yang ringan hingga ke penularan

yang sangat tinggi dan cepat menjadi penyakit yang fatal sehingga

menghasilkan epidemi yang berat. Penyakit ini termasuk dalam daftar A Office

International des Epizooties (OIE).

Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di Jawa untuk pertama kalinya dan

sampai saat ini penyakit bersifat endemik di seluruh wilayah Indonesia. Menurut

derajat keganasannya, penyakit ND terdiri dari 3 macam, yaitu velogenik,

mesogenik dan lentogenik. Sementara itu, itik dilaporkan kurang rentan terhadap

virus ND. Itik yang terinfeksi oleh virus ND galur mesogenik maupun velogenik

umumnya bersifat subklinis yakni tidak memperlihatkan tanda-tanda klinis

penyakit.

Penyebaran penyakit ini ke propinsi Bali diperkirakan melalui perniagaan unggas

(Putra et al., 2006). Salah satu faktor yang berperan dalam kegiatan perniagaan

unggas adalah pasar hewan tradisional atau pasar unggas hidup (live bird

markets). Penempatan unggas dari berbagai macam sumber dalam satu kandang

di pasar juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit AI

H5N1 dan ND (Yee et al., 2009).

Page 225: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

219

Tujuan Surveilans dan Monitoring.

1. Mengetahui seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 dan ND di

daerah tertular setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit AI

H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Mengetahui pola penyebaran virus AI dan ND pada unit pasar unggas terpilih

di Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

3. Mengidentifikasi Faktor Risiko penularan penyakit AI di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Diketahuinya data seroprevalensi dan viroprevalensi penyakit AI H5N1 serta

ND di daerah tertular di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Diketahuinya situasi penyakit AI dan ND di pasar unggas dan peranannya

dalam pola penularan penyakit tersebut yang berasal dari pasar unggas.

3. Teridentifikasinya Faktor Risiko penularan penyakit AI di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

Output

1. Tersedianya data seroprevalensi dan viroprevalensi sehingga dapat

dijadikan pertimbangan dalam rangka tindakan pengendalian penyakit AI

H5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

2. Diketahuinya pola lalu lintas unggas di pasar unggas yang dapat dijadikan

assesment oleh dinas terkait untuk tindakan pencegahan penularan

penyakit tersebut.

3. Tersedianya data Faktor Risiko penyakit khususnya AI dan ND di wilayah

kerja BBVet Denpasar.

Page 226: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

220

Analisis Risiko surveilans dan monitoring Penyakit AI H5N1 dan ND diwilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

Avian influenza adalah penyakit unggas menular yang disebabkan oleh virus

Influenza tipe A yang memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi

(Alexander, 1982). Genom virus influenza terdiri dari delapan segmen, dengan

materi genetik molekul negatif sense RNA. Berdasarkan tingkat patotipenya, VAI

dibedakan menjadi low patogenicity avian influenza (LPAI) dan high patogenicity

avian influenza (HPAI). Tingkat patotipe ini yang menyebabkan terjadinya tingkat

kematian (mortalitas) yang tinggi pada unggas. Subtipe H5 dan H7 memiliki

kemampuan menginfeksi unggas, akan tetapi tidak semua subtipe H5 dan H7

merupakan HPAI. Secara molekuler, yang membedakan antara HPAI dan LPAI

pada VAI adalah adanya susunan multiple basic amino acid (arginine dan lysine)

pada cleavage site di gen hemaglutinin (HA) (Swayne dan Suarez, 2000).

Perniagaan unggas dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya

penyebaran penyakit ini (Putra et al., 2006). Penyakit AI H5N1 clade 2.3.2

merebak di Bali pada akhir tahun 2012 yang dapat menyebabkan kematian pada

itik (Hartawan, et al, 2013). Newscastle Disease (ND) atau Tetelo, menyerang

saluran pernafasan dan pencernaan pada unggas disebabkan oleh virus

paramyxovirus (Alexander, 1997). Kraneveld (1926) menemukan penyakit ini di

Jawa untuk pertama kalinya dan sampai saat ini penyakit bersifat endemik di

seluruh wilayah Indonesia. Menurut derajat keganasannya, penyakit ND terdiri

dari 3 macam, yaitu velogenik, mesogenik dan lentogenik.

Dari kajian pustaka dari penyakit AI H5N1 Classic dan Clade 2.3.2 dan ND

diatas dapat diidentifikasi beberapa risiko terkait dengan faktor penularan secara

biologis dan aspek epidemiologinya. Berikut ini adalah tabulasi risiko yang

teridentifikasi serta tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalisir risiko

tersebut (Tabel. 1) ;

Page 227: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

221

Tabel 1. Tabel analisis risiko kegiatan survei dan monitoring penyakit AIH5N1 dan ND di wilayah kerja Balai Besar Vatariner Denpasar.

No Resiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi

terkait mengenai lokasi dimana jumlahsampel cukup sehingga dapatterpenuhi

2 Pada surveilans berbasis resikoseperti ini, masyarakat tidakpaham faktor resiko penyakitZoonosis

Menyarankan kepada Dinas/Instansiterkait untuk lebih mensosialisasikanresiko penyakit Zoonosis terutama didaerah endemis.

3 Lokasi tidak sesuai dengan ygdijadwalkan

Koordinasi dengan Dinas/Instansiterkait mengenai kepastian lokasisebelum hari keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel sehinggalokasi sesuai dengan yang diharapkan

4 Jadwal pengambilan sampeltidak sesuai dengan waktu yangdialokasikan oleh petugassetempat

Koor dinasi dengan Dinas/Instansiterkait mengenai kepastian waktupengambilan sampel sebelumkeberangkatan menuju lokasipengambilan sampel, sehingga dapatdi sesuaikan dengan kegiatan yangada pada Dinas/Instansi terkait

5 Jadwal transportasi tidak sesuidengan waktu kegiatandikarenakan tidak adanyapenerbangan (kendala teknis-non teknis)

Koordinasi dengan Dinas/Instansiterkait mengenai kepastian waktukegiatan pengambilan sampel agarDinas/Instansi terkait menyesuaikanperubahan jadwal kegiatan

6 Tidak ada rute penerbanganmenuju wilayah lokasi surveilans

Penerbangan dialihkan ke lokasiterdekat yang ada rute penerbangan,selanjutnya perjalanan dilajutkandengan transportasi darat.

7 Surat pemberitahuan jadwalsurveilans tidaksampai/terlambat diterima olehinstansi tempat dilakukansurveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansiterkait dapat dilakukan sebelum harikeberangkatan dengan telpon atausms kepada petugas yang berwenangdi Dinas/Instansi terkait mengenaijadwal pengambilan sampel

8 Rusaknya sampel karena tidaktersedianya saranapenyimpanan yang layak(pendingin)

Sampel dapat kita titipkan padaDinas/Instansi tekait/tempatpenginapan di dalam kulkas ataufreezer,untuk selanjutnya dalamperjalanan bisa menggunakan esbatu/ice pack untuk menjaga sampeltetap dalam keadaan baik sampai diLab.

Page 228: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

222

9 Pelaksanaan Supervisi baik diProvinsi Bali, NTB dan NTTtidak terlaksana dengan lancarakibat petunjuk teknispelaksanaannya tidakterkomunikasikan dengan baikkepada staf Dinas maupunPuskeswan setempat

Dibuatkan draft petunjuk teknis danPelaksanaan kegiatan Supervisipengambilan Sampel yang dilakukanpada Puskeswan di wilayah provinsiBali, NTB dan NTT.

Tabel 2. Analisa risiko penyakit untuk menentukan wilayah targetsurveilans

No Risiko Tindakan Kriteria lokasi1 Lalu lintas

perdaganganunggas komersillebih berpotensimenjadi mediapenular penyakit AI

Pelaksanaan surveydilakukan juga di tempattransit unggas komersilatau tempat penampungansementara

Kabupaten denganpusat perdaganganunggas yang cukuptinggi dan disinyalirmenjadi lokasi tempatmasuk unggas komersil

2 Kematian unggassecara mendadak dilingkunganpeternakantradisionalmerupakan tandaklinis penyakit AI

Wilayah yang pernahmelaporkan kematianunggas secara mendadakdan masal harus dimonitordan sekaligus dilakukanpengambilan sampel untukmemastikan keberadaanpenyakit tersebut

Wilayah kabupatenyang pernahmelaporkan kejadiankematian unggas secaramendadak sertaberstatus endemispenyakit AI

3 Programpengendalian danpencegahanpenyakit AIdilakukan salahsatunya adalahdengan pengetatanpemasukan unggasdari daerah tertular

Pemasukan unggas danproduknya secara illegalmasih berpotensi terjadimeskipun telah dilakukanpengetatan, sehinggaperlu dilakukan monitoringdi pintu – pintu masukunggas

Wilayah kabupatenyang berbatasanlangsung denganprovinsi lain maupunkabupaten denganakses masuk produkmelalui pelabuhan lautmaupun bandara udara.

Page 229: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

223

METODOLOGI SURVEILANS DAN MONITORING

Metode Sampling

Sampel yang diambil dalam kegiatan ini adalah ternak unggas (ayam, itik, entok

dan swab kandang di pasar unggas) pada peternakan tradisional, komersil dan

pasar unggas di wilayah bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit

unggas menular di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur

aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan

yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Asumsi

prevalensi yang digunakan adalah 1,59 % (Data BBVet Denpasar 2013), maka

dapat diperoleh perhitungan sebagai berikut ;

N = 4.P.Q/L2 ; N = 4 x 0,0159 x 0,985 / 0,0025 ; N = 25

Jadi estimasi sampel jumlah sampel yang ditentukan adalah 25 sampel.

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan

metode random proporsional, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Estimasi

jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung

menggunakan tahapan ganda (multistage), sehingga diperoleh jumlah sampel

tiap daerah yang terpilih secara judgement untuk kabupaten/kota di provinsi NTB

dan NTT adalah 25 x 4 tahapan yaitu 100 sampel per kabupaten kota. Untuk

estimasi jumlah sampel di wilayah Bali, tidak menggunakan tahapan ganda

karena di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali dilakukan pengambilan sampel,

sehingga jumlah sampel yang harus diambil adalah 100 sampel per

kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan

dengan melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Lombok Timur

merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan

Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar. Pertimbangan

distribusi sampling di dasarkan pada analisis risiko pada lokasi yang telah

dijelaskan diatas.

Page 230: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

224

Analisis Data.

Data yang diperoleh melalui wawancara dan hasil pengujian sampel di

tabulasikan menggunakan microsoft excel 2003 dan dianalisis dengan

menggunakan software statistix versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian penyakit AI

Dari hasil kegiatan surveilans aktif maupun pasif BBVet Denpasar tahun 2015,

diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 3) :

Tabel 3. Data jumlah sampel unggas berdasarkan jenis pengujian AI tahun2015.

Sampel Aktif Sampel Pasif

propxAI

HA/HIAI

IsolasiAI

PCRGrandTotal

AIHA/HI

AIIsolasi

AIPCR

GrandTotal

BALI 1696 1129 42 2867 694 47 46 787NUSA TENGGARABARAT 328 302 50 680 120 0 4 124NUSA TENGGARATIMUR 502 339 125 966 10 0 40 50Grand Total 2526 1770 217 4513 824 47 90 961

Total sampel serum unggas untuk pengujian Hemaglutinasi (HA) dan

Hemaglutinasi inhibisi (HI) dari surveilans aktif sebanyak 2526 sampel.

Sedangkan sampel serum dari surveilans pasif sebanyak 824 sampel. Untuk

pengujian isolasi AI dan PCR AI diperoleh sampel sebanyak 1770 sampel

(isolasi AI) dan 217 sampel (PCR AI) dari surveilans aktif, sedangkan untuk

surveilans pasif diperoleh 47 sampel (isolasi AI) dan 90 sampel (PCR AI). Total

seluruh sampel pengujian untuk penyakit AI sebanyak 5474 sampel.

Page 231: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

225

Untuk jumlah sampel pengujian penyakit AI berdasarkan jenis sampel di tahun

2015 dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4) ;

Tabel 4. Data jenis specimen pengujian penyakit AI tahun 2015

Provinsi Spesimen TotalBALI Cairan alantois 10

Daging 1Organ 41Serum 2380Swab 1207Swab kloaka 2Swab Pisau 5Swab Talenan 5Swab trachea 1Utuh 1(blank) 1

BALI Total 3654NUSA TENGGARA Organ 6BARAT Serum 448

Swab 350NUSA TENGGARA BARAT Total 804NUSA TENGGARA TIMUR Serum 512

Swab 504NUSA TENGGARA TIMUR Total 1016Grand Total 5474

Sampel terbesar yang diuji berasal dari provinsi Bali dengan total sebanyak

3654 sampel yang terdiri dari berbagai macam jenis sampel (Tabel 4). Untuk

provinsi NTB, jumlah sampel yang diuji sebanyak 804 sampel yang terdiri dari

ssampel organ, serum dan swab unggas. Sedangkan provinsi NTT sebanyak

1016 sampel dari jenis sampel swab dan serum unggas saja.

Deteksi Antibodi Avian Influenza

Dari hasil pengujian laboratoris deteksi antibody AI (uji HA dan HI AI), diperoleh

hasil pengujian sebagai berikut (Tabel 5) :

Page 232: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

226

Tabel 5. Hasil pengujian HA/HI AI tahun 2015AI HA/HI

Provinsi KabupatenSeropositif Seronegatif

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

BALI BADUNG 180 147 327 55.05BANGLI 99 6 105 94.29BULELENG 71 79 150 47.33DENPASAR 15 104 119 12.61GIANYAR 12 108 120 10JEMBRANA 226 251 477 47.38KARANG ASEM 3 102 105 2.86KLUNGKUNG 83 232 315 26.35TABANAN 437 235 672 65.03

BALI Total 1126 1264 2390 47.11NUSA BIMA 0 92 92 0TENGGARA LOMBOK BARAT 0 30 30 0BARAT LOMBOK TENGAH 0 50 50 0

LOMBOK TIMUR 68 52 120 56.67LOMBOK UTARA 0 31 31 0SUMBAWA 0 45 45 0SUMBAWA BARAT 0 80 80 0

NUSA TENGGARA BARAT Total 68 380 448 15.18NUSA KOTA KUPANG 2 8 10 20.00TENGGARA KUPANG 8 186 194 4.12TIMUR MANGGARAI 51 135 186 27.42

MANGGARAIBARAT 3 52 55 5.45SIKKA 0 67 67 0

NUSA TENGGARA TIMUR Total 64 448 512 12.50Grand Total 1258 2092 3350 37.55

Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil

2390 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari

1126 sampel serum ( 47.11 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI).

Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari

kabupaten Bangli menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 99 dari 105

sampel serum (94 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI. Sampel dari

kabupaten Denpasar, Gianyar dan Karangasem menunjukkan titer antibodi yang

rendah dibawah 15 %. Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara

Barat menunjukkan hasil bahwa sampel yang diambil dari Lombok Timur

memiliki proporsi paling tinggi dengan 68 dari 120 sampel serum (56.67%)

terdeteksi Seropositif antibodi AI. Sedangkan kabupaten lainnya tidak

menunjukkan adanya titer antibody AI dari seluruh sampel yang diuji. Total

sampel serum yang diuji sebanyak 448 sampel dengan hasil proporsi positif

Page 233: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

227

antibody sebesar 15 % di provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari hasil pengambilan

sampel serosurveilans di propinsi Nusa Tenggara Timur, diperoleh hasil 512

sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan dari 64

sampel serum ( 12.5 %) terdeteksi positif antibodi Avian influenza (AI). Dari hasil

yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari kabupaten

Manggarai menunjukkan proporsi paling tinggi dengan 51 dari 186 sampel

serum (27.42 %) terdeteksi titer antibodi seropositif AI.

Deteksi Antigen Avian Influenza

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar untuk mendeteksi antibodi Avian Influenza dapat disajikan sebagai

berikut (Tabel 6) :

Tabel 6. Hasil pengujian isolasi dan PCR penyakit AI berdasarkan jenisunggas/sampel tahun 2015

Datapropx Hwn Pos Neg Jumlah

Proporsi(%)

BALI Ayam Buras 8 731 739 1.08Ayam Broiler 12 119 131 9.16Ayam layer 4 185 190 2.11Bebek 6 37 43 13.95Burung 0 38 38 0Entok 2 2 4 50Itik 16 93 109 14.68Swab Lingkungan 0 10 10 0

BALI Total 48 1215 1264 3.80NUSA TENGGARA BARAT Ayam Buras 1 240 241 0.41

Ayam Broiler 0 19 19 0Ayam layer 0 31 31 0Entok 0 6 6 0Itik 1 50 51 1.96Swab Lingkungan 2 6 8 25

NUSA TENGGARA BARAT Total 4 352 356 1.12NUSA TENGGARA TIMUR Ayam Buras 0 313 323 0

Ayam Broiler 0 39 84 0Ayam layer 0 10 15 0Itik 0 1 1 0Swab Lingkungan 0 16 81 0

NUSA TENGGARA TIMUR Total 0 379 504 0Grand Total 52 1946 2124 2.45

Page 234: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

228

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Avian Influenza di

Bali, NTB dan NTT berhasil mendapatkan 2124 sampel unggas. Sampel

tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus AI di lapangan.

Sejumlah 1264 unggas berhasil diuji di wilayah propinsi Bali. Dari jumlah total

seluruh sampel yang diuji diatas, terdeteksi 48 sampel (3.8 %) yang

menunjukkan hasil positif virus AI H5N1 di Provinsi Bali. Sejumlah 356 sampel

unggas diuji dari sampel yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Dari hasil

tersebut, diperoleh hasil dua sampel dinyatakan positif AI H5N1 yang berasal

dari kota Bima. Sampel yang terdeteksi positif Avian influenza adalah sampel

dari unggas ayam kampung dan itik (1.12 %). Di provinsi Nusa Tenggara Timur,

berhasil diperoleh sebanyak 504 sampel unggas yang diuji. Dari hasil pengujian

yang dilakukan di Balai Besar Veteriner, tidak terdeteksi hasil positif virus avian

influenza dari wilayah Nusa Tenggara Timur.

Hasil deteksi Antibodi Newcastle Disease

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2015 untuk mendeteksi antibodi Newcastle Disease dapat disajikan sebagai

berikut (Tabel 7);

Page 235: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

229

Tabel 7. Hasil pengujian HA/HI ND tahun 2015

ND HA/HIProv kab Sero

positifSero

negatifJumlah Proporsi

(%)

BALI BADUNG 18 6 24 75BANGLI 98 112 210 46.67BULELENG 21 21 42 50DENPASAR 101 15 116 87.06JEMBRANA 60 0 60 100TABANAN 356 70 366 97.27

BALI Total 654 224 818 79.95NUSATENGGARA BIMA 24 68 92 26.09

BARATLOMBOKTIMUR 60 0 60 100

NUSA TENGGARA BARATTotal 84 68 152 55.26NUSATENGGARA

KOTAKUPANG 7 3 10 70

TIMUR SIKKA 23 44 67 34.32TIMORTENGAHUTARA 34 0 34 100

NUSA TENGGARA TIMURTotal 64 47 111 57.66Grand Total 802 339 1081 74.19

Dari hasil pengambilan sampel serosurveilans di propinsi Bali, diperoleh hasil

818 sampel serum unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 654

dari 818 sampel serum (79.95 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle

Disease (ND). Hasil pengambilan sampel di propinsi Nusa Tenggara Barat

menunjukkan hasil bahwa sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Timur

memiliki proporsi paling tinggi dengan 60 dari 60 sampel serum (100 %)

terdeteksi seropositif antibodi ND. Proporsi antibodi ND seropositif di provinsi

NTB sebesar 55.26 % (84 dari 152 sampel seropositif ND). Hasil pengambilan

sampel serosurveilans di propinsi NTT, diperoleh hasil 111 sampel serum

unggas. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan 64 dari 111 sampel serum

(57.66 %) terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND).

Page 236: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

230

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di

wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun

2015 untuk mendeteksi virus Newcastle Disease dapat disajikan sebagai berikut

(Tabel 8) ;

Tabel 8. Hasil pengujian isolasi penyakit ND tahun 2015

ND IsolasiProvinsi Kabupaten Pos ND Neg ND Jumlah

Proporsi(%)

BALI BADUNG 1 5 6 16.6BANGLI 0 15 15 0BULELENG 0 42 42 0DENPASAR 2 7 9 22.2GIANYAR 1 1 2 50KARANG ASEM 0 1 1 0KLUNGKUNG 0 2 2 0TABANAN 0 8 8 0

BALI Total 4 82 86 4.65NUSA TENGGARABARAT BIMA 0 94 94 0NUSA TENGGARA BARAT Total 0 94 94 0NUSA TENGGARATIMUR SIKKA 0 93 93 0NUSA TENGGARA TIMUR Total 0 93 93 0Grand Total 4 269 273 1.47

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle

Disease (ND) di Bali, NTB dan NTT berhasil mendapatkan 273 sampel unggas.

Sampel tersebut diambil untuk dilakukan pengujian deteksi virus ND. Dari

seluruh sampel tersebut ditemukan empat hasil positif virus ND (1.47 %) yang

seluruhnya dideteksi di wilayah provinsi Bali. Sampel positif virus ND tersebut

diperoleh dari kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar. Sedangkan untuk

sampel yang berasal dari provinsi NTB dan NTT semua sampel terdeteksi

negatif virus ND (0 %).

Page 237: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

231

PEMBAHASAN

Dari seluruh kegiatan pengambilan sampel baik melalui surveilans aktif dan

pasif, rata – rata jumlah sampel tertinggi adalah serum unggas yang berasal dari

provinsi Bali (Gambar 1 dan 2). Berikut adalah tabel jumlah sampel berdasarkan

jenis penerimaan sampel di laboratorium virology BBVet Denpasar:

Gambar 1. Grafik jumlah sampel surveilans aktif berdasarkan wilayahprovinsi di BBVet Denpasar tahun 2015

Demikian juga untuk sampel hasil dari penerimaan pasif di laboratorium virologi

BBVet Denpasar, rata – rata sampel tertinggi juga berasal dari provinsi Bali. Hal

tersebut kemungkinan disebabkan tingginya jumlah peternakan unggas di

provinsi Bali yang tidak sebanyak di provinsi NTB dan NTT. Untuk kasus yang

mengarah pada kejadian penyakit AI, provinsi Bali juga disinyalir merupakan

wilayah dengan lalu lintas unggas yang lebih tinggi dibandingkan provinsi

lainnya di wilayah kerja BBVet Denpasar

Page 238: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

232

. Gambar 1. Grafik jumlah sampel surveilans Pasif berdasarkan wilayahtahun 2015

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium dapat disimpulkan bahwa proporsi

hasil positif penyakit AI di Bali adalah 3.80 %, sedangkan proporsi di NTB hanya

1.12 % dan di NTT tidak terdeteksi positif virus AI. Dari hasil pengujian di

laboratorium Virologi BBVet Denpasar, baik sampel dari Bali maupun NTB

terdeteksi hasil positif virus AI selain pada Ayam (Buras, broiler dan layer) juga

terjadi pada itik, bebek dan entok yang mengalami kematian. Dimana Unggas air

(itik, entok dan bebek) dikenal sebagai reservoir penyakit Avian Influenza,

sebelum merebak kasus kematian unggas itik di provinsi Bali, kematian itik

dalam jumlah besar juga terjadi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

disebabkan oleh virus yang memiliki kesamaan dengan virus AI yang

menyerang pada itik di pulau Jawa yang terjadi sebelumnya (Hartawan et al,

2012). Sampai tahun 2012 di Indonesia hanya ditemukan clade 2.1.3, namun

kemudian pada tahun 2012 ditemukan clade baru pada itik yaitu clade 2.3.2

yang bisa menyerang ayam juga. Pada tahun sebelumnya AI clade 2.3.2 sudah

terdeteksi menyerang pada itik di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini

menunjukkanbahwa pelalulintasan khususnya unggas itik masih terjadi di

wilayah tersebut.

Page 239: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

233

Pada kegiatan ini juga dilakukan pengambilan sampel di pasar tradisional untuk

mendeteksi tingkat kontaminasi virus AI pada peralatan dan karkas yang dijual

oleh pedagang di pasar. Hasil yang diperoleh, di pasar kota Mataram terdeteksi

positif virus AI dari sampel swab talenan dan meja yang digunakan untuk

menjual karkas. Langkah – langkah pengendalian sudah dilakukan untuk

mensucihamakan dan desinfeksi secara menyeluruh. Walaupun secara proporsi

cukup rendah ditemukan virus AI di wilayah kerja BBVet Denpasar, namun

kewaspadaan dan pelaksanaan program pengendalian dan penanggulangan

perlu tetap diintensifkan untuk mencegah terjadinya kasus, sekaligus

mengendalikan penyakit. Dalam rangka program pengendalian dan

penanggulangan AI secara bertahap, Pemerintah telah mengembangkan road

map pembebasan AI dengan target Indonesia bebas AI pada tahun 2020 sejalan

dengan target dari ASEAN (Suseno, 2014).

Hasil pengambilan sampel surveilans dan monitoring penyakit Newcastle

Disease (ND) Tahun 2015 di Bali berhasil mendapatkan 86 sampel unggas. Dari

seluruh sampel tersebut ditemukan empat hasil positif virus ND (4.64 %)

tepatnya di Kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar. Di provinsi NTB dan

NTT tidak ditemukan hasil positif virus ND. Penyakit ini tetap memiliki arti

penting bagi peternakan komersial karena berpotensi terjadinya penurunan

produksi hingga kematian unggas yang mengakibatkan terjadinya kerugian

secara ekonomi.

Hasil surveilans dan monitoring penyakit ND di Balai Besar Veteriner Denpasar

menunjukkan di propinsi Bali, diperoleh hasil 818 sampel serum unggas. Hasil

pengujian yang diperoleh menunjukkan 654 dari 818 sampel serum (79.95 %)

terdeteksi seropositif antibodi Newcastle Disease (ND). Di Propinsi NTB bahwa

sampel yang diambil dari kabupaten Lombok Timur memiliki proporsi paling

tinggi dengan 60 dari 60 sampel serum (100 %) terdeteksi seropositif antibodi

ND. Kemudian di propinsi NTT sampel yang berasal dari kabupaten Timur

Tengah Utara terdeteksi seropositif antibodi ND paling tinggi dengan 34 dari 34

sampel (100 %). Dari hasi surveilans dan monitoring penyakit ND oleh Balai

Besar Veteriner Denpasar pada tahun 2015 mengindikasikan bahwa distribusi

Page 240: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

234

vaksinasi dan kesadaran para peternak untuk menerapkan langkah – langkah

pencegahan sangat baik di wilayah kerja BBVet Denpasar. Hanya saja tingkat

cakupan vaksinasi yang masih kurang dari 70 % yang kemungkinan

menyebabkan kemunculan penyakit ini secara sporadis di lapangan khususnya

di wilayah provinsi NTB dan NTT. Secara akumulatif, proporsi hasil seropositif

antibody ND di provinsi Bali sudah lebih dari 70 %. Namun kasus kematian

unggas yang kemudian terdeteksi virus ND masih terjadi. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh pelalulintasan unggas yang relatif cukup tinggi di wilayah

provinsi Bali mengingat permintaan unggas cukup tinggi dan banyaknya

peternakan unggas di Bali.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dalam kegiatan surveilans dan Monitoring penyakit Avian Influenza di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar yaitu Bali, NTB dan NTT dapat

disimpulkan sebagai berikut ;

1. proporsi hasil positif penyakit AI di Bali adalah 3.80 %, sedangkan proporsi

di NTB hanya 1.12 % dan di NTT tidak terdeteksi positif virus AI. Hal ini

menunjukkan bahwa penyakit AI masih bersirkulasi di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

2. Hasil serosurveilans antibodi AI diperoleh hasil seroprevalensi AI di

propinsi Bali sebesar 47.11 %, di Nusa Tenggara Barat dengan 15.18 %

dan Nusa Tenggara Timur dengan 12.5 %.

3. Ditemukan hasil positif virus ND (4.65 %) tepatnya di Kabupaten Badung,

Denpasar dan Gianyar. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ND masih

bersirkulasi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar sedangkan

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Barat tidak ditemukan hasil

positif ND.

4. Hasil serosurveilans antibodi ND diperoleh hasil seroprevalensi ND di

propinsi Bali sebesar 79.95 %, di Nusa Tenggara Barat sebesar 55.26 %

dan Nusa Tenggara Timur sebesar 57.66 %.

Page 241: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

235

Saran

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil kajian dari kegiatan Surveilans

dan Monitoring penyakit AI dan ND di Bali, NTB dan NTT tahun 2015 adalah

sebagai berikut ;

1. Pengawasan lalu lintas unggas dan produk turunannya antar wilayah di

propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur perlu lebih

diperketat untuk mengantisipasi penyebaran penyakit melalui perniagaan

unggas dan produk turunannya.

2. Melakukan Public Awareness atau sosialisasi kepada masyarakat luas

tentang penyakit AI.

3. Kegiatan Monitoring dan Surveilan serta Investigasi harus terus dilakukan

sebagai dasar pemetaan penyakit ini dan untuk menganalisis kejadian

kasus serta faktor resiko penyebab kejadian penyakit AI tersebut.

4. Berdasarkan kajian yang terbaru, deteksi penyakit Avian influenza

difokuskan pada pasar unggas yang merupakan pusat pelalulintasan dan

berkumpulnya unggas dari berbagai sumber. Sehingga disarankan untuk

surveilans di wilayah kerja BBVet Denpasar untuk fokus pada pasar – pasar

unggas tersebut khususnya di wilayah kabupaten yang berisiko tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian

pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta

kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,

kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

Page 242: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

236

DAFTAR PUSTAKA.

Alexander, D.J. 1997. Newcastle Disease and Other Avian Paramyxoviridae nfection. Deseasesof Poultry. 10th ed. pp. 541-581.

Alexander, D. J. 1982. Avian Influenza Recent Development. Veterinary Bulletin12. 341-359.

Cardona, C. J., Xing, Z., Sandrock, C.E., dan Davis, C.E., 2008. Avian influenza in birds andanimal. Comparative immunology, microbiology and infectious disease.(2008),doi:10.1016/j.cimid.2008.01.001www.sciendirect.com/locate.cimid

Faragher, J. T, W. H. Allan dan C. J. Wyeth (1974). Immunosupressive effect of infectious bursalagent on vaccination againts Newcastle disease. Vet. Rec. 95: 385 – 388.

Hartawan, et al. 2013. Epidemiologi kasus avian influenza di bali bulan desember 2012 sampaiapril 2013 : frekuensi penyakit dan distribusi unggas. BulVet BBVet Denpasar. Edisi Juli2013. Vol. XXV No. 82

Hulse-post, D. J., Sturm_Ramires, K. M., Humberd, J., Seiler, P., Govorkova, E.A., Krauss, S.,Scholtissek, C., Puthavathana, P., Buranathai, C., Nguyen, T. D., Long, H. T.,Naipospos, T. S. P., Chen, H., Ellis, M., Guan, Y., Peiris, J. S. M dan Webster, R. G.,2005. Role of domestic duck in the propagation and biological evolution of HighlyPathogenic (H5N1) Avian influenza in Asia. Procceding of National Scientific Usa : 102(30) : 10682 – 7.

Khisida, N., Sakoda, Y., Isoda, N., Matsuda, K., Eto, M., Sunaga, Y.,Umemura, T., dan Kida, H.,2005. Pathogenicity of H5 influenza viruses for duck. Archivesof Virology. 2005. 150 :1383 – 1392.

Kranedveld, T.D. 1926. A Poultry Disease in Dutch East Indies Ned Indisch Diergeneested38:448-450.

Lukert, P.D. and Y.M. Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. In: Diseases of Poultry 11th Ed.SAIF, Y.M., H.J. BARNES and J.R. GLISSON (Eds.). Iowa State University Press. pp.161 – 179.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods: eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Partadiredja, M., W. Rumawas dan I. Suharyanto. 1983. Penyakit Gumboro di Indonesia danakibatnya bagi peternak ayam. Hemerazoa 71(1): 29 – 33.

Parede, L.H., S. Sapats, G. Gould, M. Rudd, S. Lowther, and J. Ignjatovic. 2003.Characterization of infectious bursal disease virus isolates from Indonesia indicates theexistence of very virulent strains with unique genetic changes. Avian Pathol. 32: 511 –518.

Putra, A. A. G., Santhia, A. P., Dibia, I. N., Arsani, N. M. and Semara Putra, A. A. G. 2006.Surveillance of Avian Influenza in Mixed Farming System and in Live Bird Markets inBali. Buletin Veteriner, XVIII (68): 16-26

Page 243: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

237

Santhia, K.A.P. 1996. Penyakit Gumboro (sebuah kajian pustaka). Bull. Balai PenyidikanPenyakit Hewan VI. 9(50): 1 – 36.

Suseno, P. P., 2014. Dukungan Kesehatan Hewan Bagi Pembangunan Peternakan Indonesia.http://keswan.ditjennak.pertanian.go.id, diakses pada tanggal 10 Desember 2015.

Swayne, D. E., dan suarez, D. L., 2000. Highly Pathogenic Avian Influenza. Rev. sci. tech. off.Int. epiz. 19 : 463 – 482.

Page 244: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

238

SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHITIS (IBR) DIPROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

TAHUN 2015

Hartawan, D.H.W., Dibia,I.N., Nanda Laksmi, L. K., Purnatha, N., Sutami, N., FaesalSuryadinata, L. M., Abioga, D. P., Fitriani, I K., Kurniawan, F R

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit virus pernafasan dan reproduksi padasapi. Penyakit ini menyerang sapi umur 6 bulan ke atas dan mempunyai berbagai manifestasiklinis berupa bentuk respiratorik, konjungtival, genital dan keluron, syaraf dan neonatal.surveilans ini dilakukan kembali untuk mengetahui distribusi IBR di wilayah kerja Balai BesarVeteriner Denpasar. Prevalensi penyakit IBR untuk wilayah Bali sebesar 2,26 % dengan sebaran0 % untuk Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar dan Klungkung sedangkan dikabupaten lainnya prevalensinya berkisar 2.5 % – 4,08 %. Prevalensi tertinggi ditemukan dikabupaten Tabanan. Untuk provinsi NTB prevalensi penyakit IBR cukup tinggi mencapai 23.09% sedangkan prevalensi penyakit IBR di Provinsi NTT mencapai 27.94% jauh lebih tinggi dariBali dan NTB Sedangkan dari hasil surveilans gangguan reproduksi melalui pengujian PCR IBRmenunjukkan hasil negatif virus IBR.

Kata Kunci: Sapi, Infectious Bovine Rhinotracheitis, prevalensi

PENDAHULUAN

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit virus pernafasan dan

reproduksi pada sapi (Ackerman et al, 1992) dan disebabkan oleh herpesvirus-1

(BHV-1) dari genus Varicellovirus dalam subfamili alphaherpesvirinae termasuk

famili herpesviridae (Van Oirchhott, 1996). Penyakit ini menyerang sapi umur 6

bulan ke atas dan mempunyai berbagai manifestasi klinis berupa bentuk

respiratorik, konjungtival, genital dan keluron, syaraf dan neonatal. Beratnya

penyakit tergantung berbagai faktor antara lain galur virus, jumlah virus dan

frekuensi infeksi, derajat kekebalan penderita dan pengelolaan peternakan.

Penyakit ini termasuk daftar B Office International Epizooties (OIE) dan sampai

saat ini tersebar diberbagai negara di dunia. Di Indonesia, secara serologik

dideteksi di Sumatera Utara pada tahun 1980, lampung Utara dan Lampung

Selatan pada tahun 1983 (Arjono et al, 1994) dan kasus klinis telah dilaporkan di

Deli Serdang dan Aceh Barat pada tahun 1983. Secara serologik pula kejadian

IBR di Indonesia cenderung meningkat rata-rata 43,0%, paling tinggi dalam

Page 245: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

239

tahun 2005 (98,0%). Distribusi paling tinggi terjadi di Jawa Barat (45,7%)

(Sudarisman, 2007). Untuk melihat secara utuh situasi penyakit tersebut di

lapangan sekaligus pemetaan yang selama ini sangat minim dilakukan, maka

surveilans serologis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar untuk tahun

2015 perlu untuk dilaksanakan.

Tujuan Surveilans dan Monitoring.

1. Untuk mendeteksi penyakit IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar, melalui indikator antibodi dengan uji serologis.

2. Melakukan pemetaan terhadap penyakit IBR di wilayah kerja BBVet

Denpasar

3. Memberikan rekomendasi kepada pihak terkait berdasarkan hasil surveilans

dan monitoring penyakit IBR di wilayah kerja BBVet Denpasar.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Mendapatkan Informasi tentang situasi penyakit IBR di wilayah kerja Balai

Besar Veteriner Denpasar.

2. Pemetaan penyakit IBR ini berguna sebagai informasi awal tindakan

penanganannya di lapangan dan pelaporan situasi penyakit.

3. Rekomendasi yang disampaikan kepada pihak terkait dalam hal ini dinas di

wilayah masing-masing digunakan sebagai dasar tindakan pengendalian dan

pencegahan munculnya wabah penyakit IBR di lapangan.

Output

1. Dengan terdeteksinya penyakit IBR lebih dini serta pemetaan status penyakit

tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, maka program

penanggulangan penyakit tersebut yang efektif dan efisien dapat

dilaksanakan serta terwujudnya keamanan masyarakat.

2. Mengetahui kemungkinan terjadinya reaksi silang dari sampel serum sapi

yang disampling yang diuji serologis secara paralel.

Page 246: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

240

FAKTOR RESIKO PENYAKIT IBR

Arti penting penyakit IBR dalam dunia peternakan sapi di Indonesia adalah

terjadinya penurunan produktifitas pada sapi yang berumur lebih dari enam

tahun yang menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Dari hasil

pengkajian terhadap penyakit tersebut maka dapat disimpulkan beberapa faktor

resiko yang mempengaruhi pentingnya pelaksanaan surveilans dan monitoring

penyakit ini sebagai berikut;

Tabel 1. Faktor resiko penyakit IBR di Indonesia khususnya di wilayahkerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

No Risiko Tindakan Output1 Beberapa daerah di wilayah

kerja Balai Besar VeterinerDenpasar belum pernahdilakukan survei secaralangsung di lapangan,sehingga informasi terhadapstatus penyakit IBR tidakdiketahui secara jelas.

Melakukan survei didaerah yang belumpernah di kunjungi untukmengetahui statuspenyakit danseroprevalensi daripenyakit tersebut.

Mengetahui informasikondisi lapangan, statusdan seroprevalensipenyakit IBR di daerahtersebut.

2 Pelaksanaan survei terhadappenyakit IBR dilakukanterakhir pada tahun2009/2010, kesinambungantidak terwujud dan tidakmendukung tindakan Earlywarning system.

Melakukan survei danmonitoring untukmelanjutkan deteksi danmelakukan penggalianinformasi tentangtindakan yang sudahdilakukan

Mengetahui statusdaerah kasus dan tingkatpenyebaran penyakittersebut, sehinggatindakan Early warningsystemdapat terwujud.

3 Koordinasi terkait tindakanpencegahan, pengendaliandan pemberantasan penyakitIBR dengan dinas di wilayahBalai Besar VeterinerDenpasar tidakberkesinambungan.

Melakukan kunjungandan membangun jejaringyang efektif dengan dinas- dinas setempat sebagaisalah satu usahakoordinasi untukkelanjutan kegiatan ditahun-tahun selanjutnya

Terciptanya komunikasiyang efektif danberkesinambungan untukmeningkatkan kerjasamakhususnya dalamtindakan pencegahan,pengendalian danpemberantasan penyakittersebut

4 Pelaksanaan Supervisi baik diProvinsi Bali, NTB dan NTTtidak terlaksana denganlancar akibat petunjuk teknispelaksanaannya tidakterkomunikasikan denganbaik kepada staf Dinasmaupun Puskeswan setempat

Dibuatkan draft petunjukteknis dan Pelaksanaankegiatan Supervisipengambilan Sampelyang dilakukan padaPuskeswan di wilayahprovinsi Bakli, NTB danNTT.

Pelaksanaan Supervisidapat berjalan denganbaik dan para petugasdapat memahamikewajiban yang harusdijalankan dalam programini.

Page 247: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

241

MATERI DAN METODE

Materi

Bahan :Serum sapi, Kit Elisa antibodi IBR

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Metode

a. Metode sampling

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah serum ternak sapi pada

peternakan di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit

IBR di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur aras atau

Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan yang

digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Asumsi prevalensi

yang digunakan adalah 11,7 % (BBVet Denpasar, 2013), maka dapat diperoleh

perhitungan sebagai berikut ;

N = 4.P.Q/L2 N = 165

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan

metoderandom proporsional, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Estimasi

jumlah sampel yang di ambil di masing – masing kabupaten dihitung

menggunakan Random Proporsional. Keterbatasan anggaran dalam program

pengambilan sampel di NTB dan NTT menyebabkan pemilihan lokasi ditentukan

secara judgement berdasarkan kajian analisis risiko yang sudah disampaikan

pada tabel 1. dan hanya dilakukan pada dua kabupaten dengan jumlah sampel

target sampel, Untuk estimasi jumlah sampel di wilayah Bali, jumlah sampel

yang harus diambil adalah 330 sampel di seluruh kabupaten/kota. Dalam

pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan melibatkan salah satu

Puskeswan binaan di Wilayah Dompu merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan

dan Kesehatan Hewan terkait dengan Pemberdayaan Puskeswan di wilayah

kerja BBVet Denpasar.

Page 248: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

242

b. Metode pengujian

Enzyme linked immunosorbent assay (Elisa)

Pada plat elisa yang telah dilapisi dengan antigen BHV-1 inaktif, ditambahkan 50

ul larutan pencuci, kemudian ditambahkan 50 ul sampel serum yang akan diuji

pada semua lubang kecuali pada baris lubang G11-12 dan H11-12 masing-

masing diteteskan 50 ul serum kontrol posotif dan serum kontrol negatif. Plat

ditutup dengan sellotape dan diinkubasi pada suhu 370C selama 120 menit.

Selanjutnya plat dicuci 3 kali dengan larutan pencuci sebanyak 300 ul dan

dikeringkan. Pada semua lubang ditambahkan 100 ul konjugat (Anti-ruminant

IgG-PO conjugate, monoclonal labeled horse radish peroxidase) dan diinkubasi

pada suhu 18-260C selama 60 menit. Plat dicuci 3 kali, setelah kering plat

ditambahkan 100 ul larutan TMB substrat N.12 pada semua lubang, plat

diinkubasi pada suhu 18-260C selama 10 menit. Reaksi distop dengan

menambahkan 100 ul larutan stop N.3. pada semua lubang dan reaksi dibaca

pada Elisa reader menggunakan filter 450 nm.

Interpretasi hasil : untuk memvalidasi uji maka optical density dari kontrol negatif

harus lebih besar atau sama dengan 0,5. Analisa sampel hubungannya dengan

kontrol negatif dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

Nilai % = NCx A450 – Sampel A450 x 100

NcxA450

Apabila nilai % kurang dari (<) 45% maka diklasifikasikan negatif antibodi IBR,

bila lebih atau sama (≥) dengan 45% tapi kurang dari (<) 55% diklasifikasikan

suspect dan harus di uji kembali, sedangkan bila lebih dari (>) 55%

diklasifikasikan positif antibodi IBR.

Page 249: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

243

Analisis data

Semua data ditabulasikan dengan menggunakan microsoft ecxel dan dianalisis

dengan menggunakan software statistix versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Hasil kegiatan surveilans dan monitoring Infectious Bovine Rhinotrachitis (IBR)

di wilayah kerja provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur

tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Infectious Bovine Rhinotrachitis (IBR) diprovinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun2015 terlihat tabel 1 sebagai berikut :

PROPINSI KABUPATEN KECAMATAN SEROPOSITIF

SERONEGATIF

JUMLAHSPESIMEN

BALI BADUNG MENGWI 0 25 25BANGLI BANGLI 0 21 21

TEMBUKU 0 50 50

BULELENG SAWAN 0 50 50DENPASAR DENPASAR TIMUR 0 51 51GIANYAR SUKAWATI 2 48 50

JEMBRANA MELAYA 0 24 24PEKUTATAN 10 241 251

KARANG ASEM KARANG ASEM 1 39 40KLUNGKUNG DAWAN 0 50 50

TABANAN BATURITI 2 47 49

BALI Total 15 646 661

NUSA BIMA MADA PANGGA 2 13 15TENGGARA WOHA 8 32 40

BARAT DOMPU DOMPU 16 36 52

WOJA 52 89 141

LOMBOK BARAT KEDIRI 0 32 32

LOMBOK TIMUR WANASABA 0 25 25LOMBOK UTARA TANJUNG 4 21 25

SUMBAWA ALAS BARAT 0 25 25

NUSA TENGGARA BARAT Total 82 273 355

Page 250: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

244

Tabel 3. Hasil Suveilans Gangguan Reproduksi melalui pengujian PCR InfectiousBovine Rhinotrachitis (IBR) di provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat danNusa Tenggara Timur tahun 2015 terlihat tabel 2 sebagai berikut :

PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIF NEGATIF JUMLAHSPESIMEN

BALI BADUNG MENGWI 0 10 10BANGLI BANGLI 0 5 5

TEMBUKU 0 5 5BULELENG BUSUNGBIU 0 2 2

KUBUTAMBAHAN 0 6 6SERIRIT 0 2 2

GIANYAR GIANYAR 0 2 2PAYANGAN 0 8 8

JEMBRANA JEMBRANA 0 6 6MELAYA 0 3 3

TABANAN SELEMADEG 0 10 10BALI Total 0 59 59

NUSA ALOR ALOR BARAT DAYA 0 5 5TENGGARA TELUK MUTIARA 2 8 10

TIMUR KUPANG KUPANG TIMUR 4 11 15

LEMBATA LEBATUKAN 2 13 15

MALAKA MALAKA BARAT 0 15 15

NAGEKEO BOAWAE 2 63 65

NGADA BAJAWA 3 17 20

ROTE NDAO LOBALAIN 0 15 15SIKKA MAGEPANDA 0 15 15

SUMBA BARAT TANA RIGHU 14 1 15

SUMBA BARAT DAYA KODI 4 1 5

KODI BANGEDO 5 0 5WEWEWA BARAT 6 16 22

SUMBA TIMUR PAHUNGA LODU 9 11 20

TIMOR TENGAH SELATAN AMANUBAN SELATAN 32 8 40

TIMOR TENGAH UTARA NAIBENU 0 15 15NUSA TENGGARA TIMUR Total 83 214 297

Grand Total 180 1133 1313

Page 251: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

245

NUSA BIMA MADA PANGGA 0 1 1TENGGARA MONTA 0 2 2

BARAT DOMPU DOMPU 0 3 3WOJA 0 52 52

KOTA BIMA ASAKOTA 0 1 1RASANAE TIMUR 0 1 1

LOMBOKBARAT GERUNG 0 25 25

LABU API 0 10 10NARMADA 0 37 37

LOMBOKTENGAH

BATUKLIANGUTARA 0 5 5

PRAYA BARATDAYA 0 5 5

PRINGGARATA 0 5 5LOMBOK

TIMUR AIKMEL 0 13 13JEROWARU 0 2 2

SAKRA 0 21 21SAKRA BARAT 0 1 1

SELONG 0 1 1SUELA 0 1 1

SUKAMULIA 0 6 6SURALAGA 0 14 14WANASABA

0 31 31LOMBOKUTARA KAYANGAN 0 9 9

PEMENANG 0 3 3TANJUNG 0 6 6

SUMBAWA LABANGKA 0 5 5NUSA TENGGARA BARAT Total 0 260 260

NUSA BELU ATAMBUA 0 2 2TENGGARA WELIMAN 0 9 9

TIMUR ENDE MAUROLE 0 11 11KOTA

KUPANG ALAK 0 4 4KUPANG TAEBENU 0 24 24

MANGGARAI SATARMESE 0 5 5NAGEKEO AESESA 0 8 8

NGADA SOA 0 7 7

ROTE NDAOROTE BARAT

LAUT 0 9 9ROTE TENGAH 0 3 3

SIKKA HEWOKLOANG 0 3 3KANGAE 0 4 4

TIMORTENGAHUTARA MUSI 0 7 7

NUSA TENGGARA TIMUR Total 0 96 96Grand Total 0 415 415

Page 252: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

246

PEMBAHASAN

Dari tabel 1 terlihat bahwa prevalensi penyakit IBR untuk wilayah Bali sebesar

2,26 % dengan sebaran 0 % untuk Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng,

Denpasar dan Klungkung sedangkan di kabupaten lainnya prevalensinya

berkisar 2.5 % – 4,08 %. Prevalensi tertinggi ditemukan di kabupaten Tabanan.

Untuk provinsi NTB prevalensi penyakit IBR cukup tinggi mencapai 23.09 %

sedangkan prevalensi penyakit IBR di Provinsi NTT mencapai 27.94 % jauh

lebih tinggi dari Bali dan NTB.Tingginya prevalensi untuk daerah Kabupaten

Tabanan, Dompu dan Sumba Barat menunjukkan sistem tata laksana

pemeliharaan ternak masih kurang. Hal ini akan dapat menjadi sumber

penyebaran penyakit sehingga perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak.

Menurut Sudarisman (2003) Angka prevalensi IBR di Indonesia, terutama pada

sapi perah telah meningkat dibanding tahun 1982 (SUDARISMAN, 1993) dan

prevalensi IBR pada hewan berumur muda (2–3 tahun) lebih rendah

dibandingkan hewan yang telah berumur tua (>7 tahun). Pengujian penyakit IBR

secara serologik telah banyak dilakukan. Uji serologik dengan hasil yang positif

tidak hanya terdapat pada hewan impor, tetapi juga pada ternak asli Indonesia.

Penyakit ini juga ada pada sapi perah, sapi potong dan kerbau dari beberapa

propinsi di Indonesia (Sudarisman 2003).

Sedangkan dari Tabel 2 menunjukkan hasil surveilans gangguan reproduksi

melalui pengujian PCR IBR negatif virus IBR. Penyebaran penyakit IBR

disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain karena masuknya ternak muda

yang tidak memiliki kekebalan pasif dari induknya ataupun sapi yang

digemukkan berasal dari beberapa sumber, sehingga kekebalan yang dimiliki

bervariasi yang memungkinkan ternak yang satu menularkan kepada yang

lainnya. Ataupun sistem dari manajemen penggemukan yang sering ternaknya

berpindah-pindah, yang mengakibatkan seringnya terjadi stress pada ternak.

Oleh sebab itu seharusnya sebelum melakukan koleksi ternak dari beberapa

Page 253: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

247

sumber, hewan divaksinasi secara keseluruhan dengan vaksin BHV−1

(GEORGE, 1980; GIBBS dan RWEYEMAWU, 1977).

Virus BHV-1 sebagai agen penyebab penyakit IBR perlu diwaspadai, terutama

dalam perdagangan semen untuk tujuan IB dan embryo untuk tujuan alih janin

(embryo transfer). Deteksi virus dapat dilakukan dengan berbagai cara uji

serologis dan isolasi virus agen penyebab penyakit. BIB sebagai lembaga yang

berfungsi untuk memproduksi semen dalam program IB di Indonesia wajib

bebas virus BHV−1, baik secara serologis maupun isolasi agen penyebab

penyakit. Program vaksinasi IBR di Indonesia masih merupakan alternatif,

terutama vaksin inaktif yang tidak beresiko terhadap penyebaran penyakit dan

untuk meningkatkan kemampuan vaksin dibutuhkan vaksin dengan adjuvant

yang terpilih.

Telah disebutkan oleh beberapa peneliti, bahwasanya virus bovine herpes virus

type 1 (BHV-1) sebagai kausa penyakit IBR selalu ditemukan di dalam semen

dari hewan yang terinfeksi, baik klinis maupun subklinis ataupun laten

(WITTMANN et al., 1984). Oleh sebab itu agen penyakit ini bila menginfeksi

hewan betina, banyak sekali kejadian keguguran yang diakibatkan oleh infeksi

virus pada saluran reproduksi betina. Akan tetapi di Indonesia, kejadian penyakit

IBR sering disalahtafsirkan dan hal ini yang menyebabkan kejadian abortus tidak

pernah didiagnosa sebagai penyakit IBR. Kejadian abortus di Indonesia selama

ini masih merupakan masalah dalam pelaporannya. Hal ini disebabkan masih

belum banyak peternak yang menganggap penting arti sebuah laporan kasus.

Banyak hal yang membuat peternak mengabaikan masalah pelaporan. Padahal

kejadian penyakit yang dini dilaporkan akan memudahkan penanggulangan

penyakit secara tuntas dan akan banyak mengurangi biaya penanggulangannya.

Terutama pada penyakit-penyakit yang cepat menular seperti IBR.

Page 254: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

248

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Dari hasil kegiatan surveilans dan monitoring penyakit IBR tahun 2015 dapat

disimpulkan sebagai berikut ;

1. Prevalensi penyakit IBR untuk wilayah Bali sebesar 2,26 % dengan sebaran

0 % untuk Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar dan Klungkung

sedangkan di kabupaten lainnya prevalensinya berkisar 2.5 % – 4,08 %.

Prevalensi tertinggi ditemukan di kabupaten Tabanan.

2. Untuk provinsi NTB prevalensi penyakit IBR cukup tinggi mencapai 23.09 %

sedangkan prevalensi penyakit IBR di Provinsi NTT mencapai 27.94 % jauh

lebih tinggi dari Bali dan NTB,

3. Sedangkan dari hasil surveilans gangguan reproduksi melalui pengujian

PCR IBR menunjukkan hasil negatif virus IBR.

Saran

Saran yang dapat direkomendasikan dari hasil kegiatan ini adalah sebagai

berikut;

1. Perlu dilakukan pengawasan dan pemantauan secara berkelanjutan

terhadap penyakit IBR ini. Pengawasan difokuskan pada perdagangan antar

pulau dan keseterilan semen pejantan.

2. Hasil serologis positif IBR yang dilanjutkan dengan uji deteksi antigen tidak

dapat mendeteksi adanya virus IBR dkarenakan waktu pengambilan sampel

yang tidak serentak. Berdasarkan hal ini dapat di rekomendasikan untuk

surveilans mendatang untuk dapat dilakukan pengambilan sampel secara

serentak dan terintegrasi.

3. Untuk kasus seropositif IBR di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait dengan tipe virus IBR

tersebut. hal ini dilakukan untuk meneguhkan diagnose apakah virus yang

menimbulkan respon antibody adalah IBR tipe reproduksi atau yang

Page 255: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

249

menyerang saluran pernafasan. Akhirnya rekomendasi untuk tindakan

pengendalian lebih tepat sasaran terkait dengan tipe virus tersebut.

4. Rekomendasi untuk pelaksanaan vaksinasi IBR masih harus menunggu

kebijakan pusat terkait pilihan jenis vaksin yang juga berhubungan dengan

hasil kajian tipe virus IBR tersebut diatas, mengingat Indonesia sampai saat

ini belum menerapkan kebijakan melakukan vaksinasi untuk penyakit IBR.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner atas bantuan dan

kepercayaan yang diberikan serta kepada Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten/Kota dan Provinsi terkait atas dukungan dan bantuannya selama

surveilans sehingga surveilans dan monitoring ini dapat dilaksanakan dengan

baik.

Page 256: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

250

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman et al, 1992. dalam Situasi Serologis Infeksi Bovine Ephemeral Fever dan InfectiousBovine Rhinotracheitis pada sapi Bali di lokasi Chaps propinsi timor Timur. Disampaikandalam Seminar Chaps Timor Timur. September. 1997. Dili.

Arjono et al, 1994. dalam Situasi Serologis Infeksi Bovine Ephemeral Fever dan InfectiousBovine Rhinotracheitis pada sapi Bali di lokasi Chaps propinsi timor Timur. Disampaikandalam Seminar Chaps Timor Timur. September. 1997. Dili.

GEORGE, T.D. 1980. Herpesviruses in cattle. In Diseases of livestock. by Hungerford. pp.103−113.

GIBBS, E.P.J. and M.M. RWEYEMAMU. 1977. Bovine herpesviruses. Part.1. BovineHerpesvirus 1. Vet. Bull 47(5): 317−343.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods: eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

SUDARISMAN. 1993. Studi epidemiologi dan isolasi agen penyakit Infectious BovineRhinotracheitis pada sapi perah di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian 1992−1993. BalaiPenelitian Veteriner. Puslitbangnak, Departemen Pertanian.

SUDARISMAN 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga-Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia WARTAZOA Vol. 13 No. 3 Th. 2003

Sudarisman, 2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) padaSapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007.

Van oircroft et al, 1996. dalam Situasi Serologis Infeksi Bovine Ephemeral Fever dan InfectiousBovine Rhinotracheitis pada sapi Bali di lokasi Chaps propinsi timor Timur. Disampaikandalam Seminar Chaps Timor Timur. September. 1997. Dili.

WITTMANN, G., R.M. GASKELL and H.J. RZIHA. 1984. Latent herpes virus infections inveterinary medicine. Martinus Nijhoff Publishers. For the Commission of the EuropeanCommunities. Boston, The Hague, Dordrecht, Lancaster.

Page 257: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

251

SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

TAHUN 2015

Hartawan, D.H.W., Dibia,I.N., Nanda Laksmi, L. K., Purnatha, N., Sutami, N.,Faesal Suryadinata, L. M., Abioga, D. P., Fitriani, I K., Kurniawan, F R.

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Deteksi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) telah dilakukan melalui surveilans dan monitoring disembilan kabupaten/kota Provinsi Bali dan di kabupaten Belu dan Malaka, Nusa Tenggara Timursejak bulan Mei – Agustus 2015. Selama surveilans berhasil dikumpulkan sampel sebanyak 704sampel serum di provinsi Bali dan 540 sampel serum di Nusa Tenggara Timur. Selamapelaksanaan surveilans tidak ditemukan ternak yang menunjukkan gejala klinis Penyakit Mulutdan Kuku (PMK). Selanjutnya sampel tersebut diuji ELISA menggunakan Kit ELISA PMKproduksi JENO BIOTECH INC. Hasil uji menunjukkan semua sampel serum negatif antibodiPMK dan dapat disimpulkan bahwa provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur tetap bebas PenyakitMulut dan Kuku (PMK).

Kata Kunci: Deteksi, Penyakit Mulut dan Kuku, Elisa.

PENDAHULUAN

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah suatu penyakit yang sangat menular

pada hewan berkuku belah. Angka mortalitas (kematian) akibat serangan

penyakit ini rendah, namun kerugian yang timbul akibat serangan penyakit

sangat besar karena terjadi penurunan berat badan, penurunan produksi susu,

kehilangan tenaga kerja, hambatan pertumbuhan dan hambatan lalu lintas

ternak. Penularan virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat terjadi secara

langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung yaitu melalui kontak dengan

penderita, sekresi, ekskresi atau hasil ternak seperti air susu, semen/ sperma

yang dibekukan dan daging. Penularan secara tidak langsung yaitu melalui

bahan bahan (makanan, minuman dan peralatan kandang) yang tercemar virus.

Selain itu penularan dapat melalui udara. Udara yang terinfeksi dapat tahan

sampai beberapa jam di dalam kondisi yang cocok, terutama bila kelembaban

lebih dari 70 % dan dalam suhu rendah. Udara yang tercemar virus dapat

terbawa angin sampai sejauh 250 Km. Petugas teknis atau paramedis harus

berhati-hati agar tidak menyebarkan penyakit seusai menangani kasus.

Page 258: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

252

Setelah hewan sembuh virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat tetap

tinggal di kerongkongan selama 2 tahun (Anonimous, 2009). Wabah Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun

1887 di Malang, Jawa Timur seperti dilaporkan Boosma pada tahun 1892 di

surat kabar lokal “Javanche Courant” dan “Kolonial Verslag”.. Wabah ini diduga

terjadi akibat importasi sapi perah dari Belanda yang pada waktu itu sedang

mengalami wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Dari Jawa Timur, Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK) menyebar ke seluruh Jawa dan ke beberapa pulau

lainnya seperti Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Wabah terakhir

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia terjadi pada tahun 1983 di Pulau

Jawa (Anonimous, 2009).

Walaupun status Indonesia masih Bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK),

namun Penyakit Mulut dan Kuku ini perlu diwaspadai. Indonesia merupakan

salah satu negara di dunia yang bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)

yang diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Sebagai negara

yang masih mengandalkan impor ternak dan produk ternak untuk mencukupi

kebutuhan konsumsi masyarakat, Indonesia belum bisa mengambil banyak

manfaat dari status bebas ini (Anonimous, 2009).

Untuk mengendalikan dan memberantas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK),

program vaksinasi intensif terhadap populasi ruminansia di seluruh daerah

tertular dilaksanakan pada tahun 1974–1985. Program ini cukup berhasil dan

Indonesia dinyatakan bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) oleh OIE pada

tahun 1990, setelah sebelumnya menyatakan diri bebas melalui SK menteri

pertanian pada tahun 1986. Walaupun selamat dari gelombang pandemi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada tahun 2001 yang menghancurkan industri

peternakan di banyak negara di Asia, Amerika dan Eropa, potensi masuknya

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke Indonesia yang telah menikmati status

bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) selama kurang lebih 20 tahun ini masih

tetap ada (Anonimous, 2010).

Page 259: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

253

Untuk mengetahui Indonesia khususnya Bali dan NTT tetap bebas Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK) maka dipandang perlu untuk melakukan deteksi antibodi

melalui surveilans. Target surveilans diprioritaskan pada daerah perbatasan

seperti kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, atau

daerah lain seperti malaka yang memiliki potensi terjadi pemasukan ternak sapi,

produk turunannya maupun media yang dapat membawa virus penyakit Mulut

dan Kuku (PMK).

Tujuan Surveilans dan Monitoring.

1. Mendeteksi keberadaan virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di wilayah

kerja BBVET Denpasar melalui indikator antibodi dengan uji serologis.

2. Membuktikan status bebas penyakit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di

Indonesia secara epidemiologi untuk mendukung program pengembangan

peternakan secara umum.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. mendapatkan informasi tentang status daerah tertular dan hasil tindakan

penanggulangan serta pengendalian kejadian kasus di daerah tersebut

terhadap penyakit sapi khususnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

2. Mendukung pernyataan Indonesia bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Output

1. Dengan terdeteksinya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) lebih dini serta

pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar, maka program penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih

efektif dan efisien dapat dilaksanakan serta terwujudnya keamanan

masyarakat.

2. Status bebas Penyakit Mulut dan Kuku di Indonesia masih dapat

dipertahankan.

Page 260: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

254

FAKTOR RESIKO PENYAKIT PMK DI INDONESIA

Sebagai negara dengan populasi manusia yang besar dan populasi hewan yang

relatif kecil, Indonesia mau tidak mau harus mengandalkan impor sebagai cara

untuk memenuhi kecukupan permintaan (demand) konsumen untuk produk

peternakan. Tingginya arus perdagangan internasional yang masuk tentunya

meningkatkan potensi ancaman masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) ke

Indonesia. Selama ini sebagian besar wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)

selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya perdagangan/lalu lintas hewan

dan produknya baik yang legal maupun ilegal. Berbagai macam produk hewan

tercatat dapat menjadi media pembawa virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)

antara lain yaitu daging dan produknya, susu dan produknya, semen/embrio dll.

Selain hewan dan produk hewan, hijauan pakan ternak, jerami, kendaraan, dan

beberapa jenis material lainnya dapat juga berperan dalam penyebaran Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK). Selain tingginya arus perdagangan, tingginya jumlah

penumpang internasional juga merupakan salah satu potensi ancaman

masuknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang cukup besar. Hal ini

berdasarkan kajian bahwa virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat

disebarkan melalui oleh orang yang bisa membawa virus tersebut melalui

sepatu, tangan dan pakaian. Orang yang sehat dan pernah kontak dengan

hewan tertular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat mengeluarkan virus

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dari hidung dan tenggorokan sampai 36 jam.

Selama periode itu, virus dikeluarkan melalui batuk, bersin, pembicaraan,

pernafasan dan pada ludah.

MATERI DAN METODA

Materi

Bahan : Serum sapi, Kit Elisa antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Alat : Beberapa peralatan yang digunakan antara lain : tabung dan jarum

venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Page 261: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

255

Metode

a. Metode sampling

sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak sapi pada peternakan di

wilayah bali dan NTT. Deteksi penyakit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di provinsi

Bali dan NTT menggunakan metode Detect present of the Disease (Martin et al,

1987). Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error

sebesar 5 %. Asumsi revalensi yang digunakan adalah 1 %, maka dapat

diperoleh perhitungan sebagai berikut ;

Besaran sampel metode detect the presence of disease dari Martin et al. (1987)

yaitu n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan n adalah besaran sampel, P1 adalah

probability ditemukan paling tidak 1 kasus di dalam jumlah sampel tersebut, d

adalah jumlah hewan yang terinfeksi dan N adalah besaran populasi unit

observasi. Maka diperoleh; n = 299. Cara pengambilan sampel dilakukan

dengan Random di empat kecamatan di kabupaten terpilih Sehingga diperoleh

hasil estimasi jumlah sampel di masing – masing Kecamatan sebesar 94 sampel

untuk mendeteksi paling tidak satu hasil positif penyakit Penyakit Mulut dan

Kuku(PMK). Pertimbangan distribusi sampling di dasarkan pada analisis risiko

pada lokasi yang telah dijelaskan diatas.

b. Metode pengujian

Pengujian sampel serum untuk deteksi antibodi NSP Penyakit Mulut dan Kuku

(PMK) menggunakan Kit Elisa antibodi Penyakit Mulut dan Kuku(PMK)

komersial (Median/Pirbright). Kit ELISA Penyakit Mulut dan Kuku(PMK)

produksi JENO BIOTECH INC dengan prosedur uji sebagai berikut : Masing-

masing well ditambahkan sebanyak 80 µl dilution buffer 1x dan 20 µl sampel

yang akan diuji, kontrol positif dan kontrol negatif dengan posisi seperti bagan

di bawah. Selanjutnya plate ditutup dan setelah diinkubasi pada suhu ruangan

selama 60 menit,plate dicuci sebanyak 3 kali dengan cara menambahkan

sebanyak 300 µl washing buffer 1x ke masing – masing well. Setelah pencucian

selesai keringkan plate dengan tissue, dan tambahkan ke masing-masing well

100 µl Anti-FMFV NSP HRPO konjugate. Kemudian tutup plate dan inkubasi

Page 262: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

256

pada suhu ruangan selama 60 menit. Setelah dicuci dengan washing buffer,

selanjutnya tambahkan ke masing-masing well 100 µl TMB substrate dan

diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan sambil diamati perubahan

warna yang terjadi. Untuk menghentikan reaksi, tambahkan 50 µl stop solution

ke masing-masing well dan baca pada ELISA Reader dengan panjang

gelombang 450 nm. Terakhir dilakukan kalkulasi hasil.

BAGAN UJI

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

A S1 S9 S17 S25 S33 S41 S49 S57 S65 S73 S81 S87

B S2 S10 S18 S26 S34 S42 S50 S58 S66 S74 S82 S88

C S3 S11 S19 S27 S35 S43 S51 S59 S67 S75 S83 S89

D S4 S12 S20 S28 S36 S44 S52 S60 S68 S76 S84 S90

E S5 S13 S21 S29 S37 S45 S53 S61 S69 S77 S85 S91

F S6 S14 S22 S30 S38 S46 S54 S62 S70 S78 S86 S92

G S7 S15 S23 S31 S39 S47 S55 S63 S71 S79 PC PC

H S8 S16 S24 S32 S40 S48 S56 S64 S72 S80 NC NC

S = Sampel PC = Positif Kontrol NC = Negatif Kontrol

Interpretasi

A. Validasi

Hasil Uji dikatakan valid apabila :

1. Rata-rata negatif kontrol harus lebih besar dari 0,6

2. Rata-rata dari positif kontrol harus lebih kecil dari 0,3

B. Kalkulasi

Kalkulasi negative Ratio (SN) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

SN = OD Sample / OD Negatif Kontrol

C. Interpretasi Hasil

Hasil uji dikatakan positif apabila nilai SN ≤ 0,06 dan sampel dikatakan

negatif apabila nilai SN > 0,06.

Page 263: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

257

HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Hasil kegiatan surveilans Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Balai Besar Veteriner

Denpasar di wilayah provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2015

dapat disajikan sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Bali sebagai berikut :

Kegiatan pengambilan sampel di wilayah provinsi Bali pada tahun 2015

dilakukan di sembilan kabupaten/kota yaitu Badung, Bangli, Buleleng, Denpasar,

Gianyar, Jembrana, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Jumlah sampel

yang diambil sejumlah 704 sampel yang terbagi dari seluruh kabupaten yang

disampling. Dari hasil tersebut, semua sampel serum tersebut tidak terdeteksi

atau negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIF NEGATIF JUMLAHSPESIMEN

BALI BADUNG KUTA UTARA 0 50 50MENGWI 0 47 47

BANGLI SUSUT 0 50 50TEMBUKU 0 25 25

BULELENG KUBUTAMBAHAN 0 50 50SAWAN 0 50 50

DENPASAR DENPASAR BARAT 0 12 12DENPASAR SELATAN 0 10 10

DENPASAR TIMUR 0 25 25DENPASAR UTARA 0 50 50

GIANYAR BLAHBATUH 0 48 48SUKAWATI 0 25 25

JEMBRANA MELAYA 0 75 75KARANG ASEM ABANG 0 50 50

KARANG ASEM 0 25 25KLUNGKUNG BANJARANGKAN 0 50 50

DAWAN 0 25 25TABANAN BATURITI 0 37 37

BALI TOTAL 0 704 704

Page 264: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

258

Tabel 2. Hasil pengujian deteksi antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) diprovinsi Nusa Tenggara Timur sebagai berikut :

Sampel yang diuji dari provinsi Nusa Tenggara Timur sejumlah 540 sampel

serum, yang diambil di kabupaten Belu dan malaka. Dari hasil pengujian

diperoleh hasil semua sampel negatif antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

PEMBAHASAN

Penyakit Mulut dan Kuku(PMK) selalu mempunyai keterkaitan dengan adanya

perdagangan/lalu lintas hewan dan produknya baik yang legal maupun ilegal.

Berbagai macam produk hewan tercatat dapat menjadi media pembawa virus

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) antara lain yaitu daging dan produknya, susu

dan produknya, semen/embrio dll. Selain hewan dan produk hewan, hijauan

pakan ternak, jerami, kendaraan, dan beberapa jenis material lainnya dapat juga

berperan dalam penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku(PMK).

Hasil surveilans dan monitoring Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Balai Besar

Veteriner Denpasar tahun 2015 menunjukkan tidak ada kasus klinik yang

ditemukan dilapangan. Secara serologis semua sampel serum negatif Antibodi

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Ini mengindikasikan Bali dan Nusa Tenggara

Timur tetap bebas Penyakit Mulut dan Kuku(PMK). Bebasnya wilayah ini dari

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) karena telah dilakukan tindak pencegahan dan

pengendalian melalui pengawasan lalul lintas / tindak karantina yang sangat

PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN POSITIF NEGATIF JUMLAHSPESIMEN

NUSA BELU ATAMBUA 0 10 10TENGGARA KAKULUK MESAK 0 36 36TIMUR LAMAKNEN 0 27 27

LAMAKNEN SELATAN 0 31 31RAI MANUK 0 20 20

TASIFETO TIMUR 0 36 36WEWIKU 0 11 11

MALAKA MALAKA BARAT 0 169 169SASITA MEAN 0 100 100

WEWIKU 0 100 100NUSA TENGGARA TIMUR

Total 0 540 540

Page 265: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

259

ketat terhadap pemasukan atau import ternak ruminansia dan produknya dari

Negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku(PMK).

Apabila ditemukan kasus atau wabah dalam wilayah atau daftar daerah yang

ditetapkan bebas penyakit, OIE selanjutnya akan menerima konfirmasi wabah

oleh delegasi resmi anggota dan segera menginformasikan kepada anggota

lainnya melalui website OIE untuk menginformasikan negara – negara anggota

tersebut untuk dikeluarkan dari daftar negara atau wilayah bebas Penyakit Mulut

dan Kuku(PMK). Di Negara maju, tindakan yang dilakukan apabila ditemukan

kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah tindakan stamping out seperti

yang dilakukan oleh Inggris. Laboratorium rujukan Internasional untuk Penyakit

Mulut dan Kuku (PMK) terdapat di kota kecil Pirbright, Inggris (Soerharsono et

al, 2010).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Antibodi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tidak ditemukan di semua lokasi

surveilans dan monitoring. Dari hasil total pengambilan sampel sebanyak 1244

sampel seluruhnya terdeteksi seronegatif antibody PMK (0 %).

Saran

Saran yang dapat disampaikan sebagai berikut

1. setiap wilayah harus melakukan surveilans dan monitoring secara

berkesinambungan untuk mengevaluasi status tertular atau tetap bebas

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) terutama daerah perbatasan dan wilayah

yang secara aktif mendatangkan atau mengimpor ternak sapi serta produk

turunannya.

2. Metode surveilans yang diterapkan harus lebih sensitif dan efisien. Seperti

menggunakan metode surveilans berbasis risiko yang lebih tepat digunakan

untuk mendeteksi penyakit pada suatu wilayah atau negara dengan status

bebas.

Page 266: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

260

3. Kriteria pengambilan sampel dalam surveilans PMK berbasis risiko tersebut

harus memperhatikan faktor – faktor risiko hasil dari kajian para pakar

maupun publikasi terkait penyakit tersebut..

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Veteriner atas bantuan dan

kepercayaan yang diberikan serta kepada Kepala Dinas Peternakan

Kabupaten/Kota dan Propinsi terkait atas dukungan dan bantuannya selama

surveilans dan monitoring penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sehingga dapat

dilaksanakan dengan baik.

Page 267: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

261

PUSTAKA

Anonimous, 2009. Kajian penyakit mulut dan Kuku. Litbang peternakan. Kementerian Pertanian.Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Anonimous, 2010. Jenis Penyakit Sapi; Peluang Usaha Sapi Potong. Manual Budidayapeternakan

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Soeharsono,Tatty Syafrianti,Tri Satya Putri Naipospos (2010) Atlas Penyakit Hewan DiIndonesia,Hal 32.

Page 268: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

262

SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERADI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA

TIMUR TAHUN 2015

Hartawan, D. H. W.,Dibia, N., Laksmi, L. K. N., Pitriani, K., Abiyoga, P. D.,Suryadinata, L. M. F, Sutami, N., Purnatha, N., Kurniawan.,F.R.,

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Penyakit Hog cholera atau Classical Swine Fever merupakan penyakit hewan menular pada babiyang masuk dalam penyakit hewan prioritas di Indonesia. Penyakit ini dapat menimbulkankerugian ekonomi yang cukup besar dari penurunan produksi hingga kematian ternak babi.Surveilans antigen dan antibodi Hog cholera di wilayah provinsi Bali, NTB dan NTT bertujuanuntuk mendeteksi kasus pada wilayah tersebut dan melihat proporsi seropositif antibodi Hogcholera baik pada babi yang divaksinasi maupun pada babi yang terindikasi terinfeksi penyakitini. Pengujian dilakukan dengan metode Elisa antibodi dan antigen capture denganmenggunakan kit Elisa produksi Vdpro, Median, Korea Selatan. Hasil dari pengambilan sampeldiperoleh sebanyak 140 sampel PBMC darah babi dari wilayah provinsi Bali. Seluruh sampeltersebut menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera. Untuk di provinsi NTB diperoleh sebanyak175 sampel PBMC darah babi dan semua sampel menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera.Sedangkan untuk provinsi NTT diperoleh sebanyak 231 PBMC darah babi dan dari seluruhsampel 1 menunjukkan hasil positif virus Hog cholera (0,43 %).Kegiatan pengambilan sampelserum babi dilakukan untuk mendeteksi antibodi Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT.Jumlah sampel yang berhasil diambil di provinsi Bali sejumlah 383 sampel serum babi. Hasilpemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 171 dari 383 sampel serum babi positif antibodiHog cholera (44,65%). Untuk di provinsi NTB diperoleh hasil 1 dari 494 sampel serum positifantibodi Hog cholera (0,2 %). Sementara di provinsi NTT diperoleh hasil 115 dari 458 sampelpositif antibodi Hog cholera (25,11 %).

Kata kunci: Hog cholera, antigen capture, antibodi Elisa

PENDAHULUAN

Permintaan daging babi untuk konsumsi seperti untuk kepentingan usaha

restoran, hotel, industri rumah tangga dan keperluan adat di Bali dan NTT

sangat tinggi, sehingga kejadian wabah suatu penyakit dapat mempengaruhi

produktivitas dan secara tidak langsung memberikan kerugian ekonomi kepada

para peternak. Salah satu penyakit viral yang endemik dan memberikan

kerugian terbesar khususnya di wilayah Bali dan NTT adalah Hog cholera.

Penyakit ini sangat menular dan memiliki mortalitas yang sangat tinggi (Terpstra,

2002). Salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini adalah melalui

tindakan vaksinasi. Meskipun secara ilmiah virus Hog cholera diketahui bersifat

imunosupresif yakni terjadi defisiensi sel limfosit B (susa, et al, 1992) yang

Page 269: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

263

mengakibatkan respon vaksin menjadi rendah, surveilans dan monitoring harus

tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi dan respon antibodi serta

deteksi dini terhadap kemunculan penyakit ini juga harus tetap dilakukan

sebagai salah satu usaha pencegahan penyebaran penyakit ini khususnya di

wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar.

Dalam rangka usaha membebaskan wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar dari penyakit Hog cholera, di pulau Lombok diketahui tidak dilakukan

program vaksinasi pada ternak babi. Hal yang mendasari tidak dilakukan

program vaksinasi adalah populasi ternak babi yang tidak terlalu besar di pulau

Lombok dan laporan kasus kematian jarang terjadi sehingga kemungkinan

terjadi wabah penyakit Hog cholera sangat kecil. Informasi ini dapat dijadikan

pijakan sebagai pertimbangan program pembebasan penyakit Hog cholera di

pulau Lombok dengan dibuktikan melalui surveilans yang terstruktur dan

menggunakan metode pengujian yang sensitifitas dan spesifisitasnya lebih

tinggi. Sebagai kajian awal maka perlu dilakukan surveilans dan identifikasi

faktor risiko penyakit Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar dan khususnya di pulau Lombok terkait dengan persiapan program

pembebasan.

Merujuk pada kontrak kinerja yang telah ditandatangani oleh kepala Balai Besar

Veteriner tersebut, maka implementasi pelaksanaan kegiatan UPT yang tertuang

dalam Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) Balai Besar Veteriner

Denpasar tahun 2015 disinergiskan untuk pencapaian kontrak kinerja tersebut.

Dalam hal target sampel, perencanaan penggunaan anggaran untuk pencapaian

target telah diimplementasikan secara kuantitatif sehingga penggunaan

anggaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Peningkatan

kompetensi laboratorium tipe B dan C dilaksanakan dengan dua langkah , serta

melibatkan dokter hewan Puskeswan binaan yakni;

Page 270: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

264

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan melakukan workshop dan

pelatihan secara terpusat

2. Supervisi kegiatan penerapan metode uji yang dilaksanakan oleh

laboratorium tersebut secara langsung.

3. Pelaksanaan surveilans dan monitoring dilakukan dengan melibatkan

peranan Puskeswan di wilayah kerja (Bali, NTB dan NTT), secara

berkelanjutan sehingga diharapkan seluruh Puskeswan yang aktif di wilayah

kerja Balai Besar Veteriner Denpasar secara bertahap dapat ditingkatkan

peranannya dalam surveilans dan monitoring penyakit hewan menular.

Program pemberdayaan Puskeswan diwilayah Nusa Tenggara Timur, Bali dan

Nusa Tenggara Barat dilibatkan Puskeswan yang aktif. Seluruh kegiatan ini

dilakukan secara sinergis sesuai dengan arahan Direktur Jenderal Peternakan

dan Kesehatan Hewan, yang tujuan akhirnya pencegahan dan pengendalian

dini penyakit Hewan Menular Strategis serta peningkatan pemenuhan

kebutuhan bahan makanan asal hewan yang ASUH sehingga tercapai

swasembada pangan.

Tujuan Surveilans dan Monitoring untuk:

1. Mengamati dan mengevaluasi status daerah tertular dan disekitarnya

setelah dilakukan tindakan penanggulangan penyakit Hog cholera.

2. Mengetahui pola penyebaran virus Hog cholera pada tingkat kepemilikan

peternak tradisional dan komersial.

3. Pemetaan dan penggalian informasi Status penyakit Hog cholera khususnya

di Wilayah pulau Lombok sebagai kajian awal untuk mendukung program

pembebasan.

Manfaat Surveilans dan Monitoring.

1. Diketahuinya informasi tentang status daerah tertular dan sekitarnya, serta

hasil tindakan penanggulangan serta pengendalian kejadian kasus di daerah

tersebut terhadap penyakit babi khususnya penyakit Hog cholera.

Page 271: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

265

2. Diketahuinya sifat penyebaran penyakit Hog cholera, sehingga dapat

menganalisis aspek epidemiologi dari penyakit tersebut lebih mendalam.

3. Diketahuinya status penyakit dan faktor risiko Hog cholera khususnya di

wilayah pulau Lombok sebagai pijakan dalam merancang program

pembebasan penyakit tersebut di pulau Lombok.

Output

1. Terdeteksinya penyakit Hog cholera lebih dini dapat mencegah kejadian

wabah yang lebih besar.

2. Pemetaan status penyakit tersebut di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar, maka program penanggulangan penyakit tersebut dapat lebih

efektif dan efisien dapat dilaksanakan serta terwujudnya keamanan

masyarakat.

3. Teridentifikasi faktor risiko dan situasi terkini dari penyakit Hog cholera

khususnya di pulau Lombok, rekomendasi untuk melaksanakan program

pembebasan penyakit ini dapat segera dilakukan.

Analisis Risiko surveilans dan monitoring

Dari kajian pustaka dari penyakit Hog cholera diatas dapat diidentifikasi

beberapa risiko terkait dengan pelaksanaan kegiatan surveilans. Berikut ini

adalah tabulasi risiko yang teridentifikasi (Tabel. 1) ;

Page 272: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

266

Tabel 1. Analisa Resiko Kegiatan Surveilans dan Monitoring PenyakitHewan menular di Provinsi Bali, NTB dan NTT tahun 2015

No Risiko Solusi1 Target sampel tidak terpenuhi Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkait

mengenai lokasi dimana jumlah sampelcukup sehingga dapat terpenuhi

2 Pada surveilans berbasis resiko sepertiini, masyarakat tidak paham faktorresiko penyakit Zoonosis

Menyarankan kepada Dinas/Instansiterkait untuk lebih mensosialisasikanresiko penyakit Zoonosis terutama didaerah endemis.

3 Lokasi tidak sesuai dengan ygdijadwalkan

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkaitmengenai kepastian lokasi sebelum harikeberangkatan menuju lokasipengambilan sampel sehingga lokasisesuai dengan yang diharapkan

4 Jadwal pengambilan sampel tidaksesuai dengan waktu yang dialokasikanoleh petugas setempat

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkaitmengenai kepastian waktu pengambilansampel sebelum keberangkatan menujulokasi pengambilan sampel.

5 Jadwal transportasi tidak sesui denganwaktu kegiatan dikarenakan tidakadanya penerbangan (kendala teknis-non teknis)

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkaitmengenai waktu kegiatan pengambilansampel agar Dinas/Instansi terkaitmenyesuaikan perubahan jadwal kegiatan

6 Tidak ada rute penerbangan menujuwilayah lokasi surveilans

Penerbangan dialihkan ke lokasi terdekat,selanjutnya perjalanan dilajutkan dengantransportasi darat.

7 Surat pemberitahuan jadwal survailanstidak sampai/terlambat diterima olehinstansi tempatdilakukan surveilans

Koordinasi dengan Dinas/Instansi terkaitdapat dilakukan sebelum harikeberangkatan dengan telpon atau smskepada petugas yang berwenang diDinas/Instansi terkait mengenai jadwalpengambilan sampel

8 Rusaknya sampel karena tidaktersedianya sarana penyimpanan yanglayak (pendingin)

Sampel dapat kita titipkan padaDinas/Instansi tekait/tempat penginapandi dalam kulkas atau freezer,untukselanjutnya dalam perjalanan bisamenggunakan es batu/ice pack untukmenjaga sampel tetap dalam keadaanbaik sampai di Lab.

9 Pelaksanaan Supervisi baik di ProvinsiBali, NTB dan NTT tidak terlaksanadengan lancar akibat petunjuk teknispelaksanaannya tidak terkomunikasikandengan baik kepada staf Dinas maupunPuskeswan setempat

Dibuatkan draft petunjuk teknis danPelaksanaan kegiatan Supervisipengambilan Sampel yang dilakukanpada Puskeswan di wilayah provinsi Bakli,NTB dan NTT.

Page 273: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

267

MATERI DAN METODE

MateriBahan : Serum dan PBMC darah babi hasil surveilans (aktif) dan kiriman (pasif) dari

Dinas Peternakan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

Kit Elisa antibodi Hog cholera (VDPro® AB CSF ELISA, Median Diagnostics

Inc., Korea) dan Kit elisa Antigen Hog cholera (VDPro® CSF A CAPTURE

ELISA, Median Diagnostics Inc., Korea)

Alat : Tabung dan jarum venoject, handle, tabung effendorf, tips, mikropipet.

Metode Sampling

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah ternak babi pada peternakan

tradisional di wilayah Bali, NTB dan NTT. Surveilans dan monitoring penyakit

Hog cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT menggunakan metode mengukur

aras atau Meassure of prevalence (Martin et al, 1987). Tingkat kepercayaan

yang digunakan adalah 95 %, dengan tingkat error sebesar 5 %. Prevalensi

yang digunakan adalah 40 % (Hartawan et al, 2013), maka dapat diperoleh

perhitungan sebagai berikut ;

N = 4.P.Q/L2

N bali = 384

Pengukuran prevalensi dalam kegiatan pengambilan sampel ini menggunakan

metode random, dengan kecamatan sebagai unit analisis. Untuk estimasi jumlah

sampel di wilayah Bali juga menggunakan tahapan ganda di seluruh

kabupaten/kota di provinsi Bali dengan tahapan kecamatan dan desa, sehingga

jumlah sampel yang harus diambil adalah 384 x 2 = 768 sampel di seluruh

kabupaten/kota. Sementara untuk provinsi NTB dan NTT dilakukan pengambilan

sampel secara random proporsional dengan estimasi jumlah sampel sebesar

384 sampel. Dalam pelaksanaan pengambilan sampel akan dilakukan dengan

Page 274: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

268

melibatkan salah satu Puskeswan binaan di Wilayah Lombok Barat dan

Mataram di provinsi NTB serta di wilayah Alor dan Lembata di provinsi NTT,

merujuk pada instruksi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dengan

Pemberdayaan Puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

Analisis Data.

Data yang diperoleh melalui wawancara dan hasil pengujian sampel di

tabulasikan menggunakan microsoft excel 2003 dan dianalisis dengan

menggunakan software statistix versi 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Surveilans Deteksi Antigen Virus Hog cholera

Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah kerja Bali

pada tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 1) ;

Tabel 1. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi Bali tahun 2015.

Lokasi Hog Cholera Antigen Elisa(Kabupaten -Kecamatan) Positif HC Negatif HC

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

BADUNG 0 10 10 0.00MENGWI 0 10 10

BANGLI 0 14 14 0.00BANGLI 0 4 4

SUSUT 0 10 10BULELENG 0 10 10 0.00

SERIRIT 0 10 10DENPASAR 0 20 20 0.00

DENPASAR SELATAN 0 20 20GIANYAR 0 27 27 0.00

BLAHBATUH 0 17 17TEGALLALANG 0 10 10

JEMBRANA 0 10 10 0.00NEGARA 0 10 10

KARANG ASEM 0 11 11 0.00BEBANDEM 0 11 11

KLUNGKUNG 0 12 12 0.00BANJARANGKAN 0 12 12

TABANAN 0 26 26 0.00BATURITI 0 26 26

Grand Total 0 140 140 0.00

Page 275: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

269

Dalam kegiatan ini diperoleh sebanyak 140 sampel PBMC darah babi dari

wilayah provinsi Bali di 8 kabupaten dan 1 Kota Madya. Hasil pemeriksaan

laboratorium semua sampel menunjukkan hasil negatif virus Hog cholera, ini

mengindikasikan tidak terdeteksinya virus Hog cholera di wilayah provinsi Bali

tahun 2015 , tetapi kita harus tetap waspada dengan penyakit ini dengan tetap

mengadakan surveilans dan monitoring sebagai deteksi dini terhadap

kemunculan penyakit ini di tahun berikutnya.

Hasil kegiatan surveilans deteksi antigen virus Hog cholera di wilayah provinsi

NTB dan NTT pada tahun 2015 dapat disajikan sebagai berikut (Tabel 2) ;

Tabel 2. Surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTTtahun 2015.

Lokasi Hog Cholera Antigen Elisa(Prov- Kabupaten -Kecamatan) Positif HC Negatif HC

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

NUSA TENGGARA BARAT 0 175 175 0.00LOMBOK BARAT 0 57 57 0.00

GERUNG 0 17 17GUNUNG SARI 0 13 13NARMADA 0 27 27

LOMBOK TENGAH 0 10 10 0.00 JONGGAT 0 10 10

LOMBOK UTARA 0 54 54 0.00BAYAN 0 27 27TANJUNG 0 27 27

MATARAM 0 54 54 0.00MATARAM 0 54 54

NUSA TENGGARA TIMUR 1 230 231 0.43 ALOR 0 23 23 0.00

TELUK MUTIARA 0 23 23 FLORES TIMUR 0 100 100 0.00

LARANTUKA 0 53 53LEWOLEMA 0 47 47

LEMBATA 0 25 25 0.00LEBATUKAN 0 25 25

MANGGARAI TIMUR 0 21 21 0.00BORONG 0 21 21

SABURAIJUA 1 2 3 33.33SABU BARAT 1 2 3

SIKKA 0 50 50 0.00KANGAE 0 50 50

SUMBA BARAT DAYA 0 9 9 0.00KODI BALAGHAR 0 6 6LOURA 0 3 3

Page 276: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

270

Grand Total 1 405 406 0.24Dalam kegiatan surveilans deteksi virus Hog cholera di provinsi NTB dan NTT

diperoleh sebanyak 406 sampel PBMC darah babi. Di provinsi NTB diambil

sejumlah 175 sampel dari kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok

Utara dan Kota Mataram. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa tidak ada

sampel yang terdeteksi positif virus Hog cholera (0 %) di provinsi NTB.

Sedangkan di provinsi NTT diambil 231 sampel dari kabupaten Alor, Flores

Timur,Lembata, Manggarai Timur,Saburaijua, Sikka dan Sumba Barat Daya.

Hasil laboratorium menunjukkan bahwa 1 sampel terdeteksi positif virus Hog

Cholera yaitu di kabupaten Saburaijua Kec. Sabu barat dari 3 sampel yang di uji

di laboratorium (33,33 %).

Hasil Serosurveilans Antibodi Hog cholera

Kegiatan serosurveilans antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar dimaksudkan untuk melihat Seroprevalensi antibodi Hog

cholera di provinsi Bali, NTB dan NTT pada tahun 2015. Kegiatan pengambilan

sampel untuk mendeteksi antibody Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar dilakukan dengan melibatkan petugas Puskeswan selain

oleh staf Balai Besar Veteriner Denpasar. Hasil yang diperoleh dalam kegiatan

ini di provinsi Bali dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 3) ;

Page 277: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

271

Tabel 3. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi Bali tahun 2015.

Lokasi Hog Cholera Antibodi Elisa(Kabupaten -Kecamatan) Seropositif Seronegatif

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

BADUNG 26 6 32 81.25MENGWI 26 6 32

BANGLI 53 23 76 69.73BANGLI 38 6 44SUSUT 15 17 32

BULELENG 0 32 32 0.00SERIRIT 0 32 32

DENPASAR 0 32 32 0.00DENPASAR SELATAN 0 32 32

GIANYAR 10 39 49 20.40BLAHBATUH 10 7 17TEGALLALANG 0 32 32

JEMBRANA 26 6 32 81.25NEGARA 26 6 32

KARANG ASEM 0 34 34 0.00BEBANDEM 0 34 34

KLUNGKUNG 30 2 32 93.75BANJARANGKAN 30 2 32

TABANAN 26 38 64 40.62BATURITI 26 6 32PUPUAN 0 32 32

Grand Total 171 212 383 44.65

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan di seluruh kabupaten/kota

di provinsi Bali. Jumlah sampel yang berhasil diambil sejumlah 383 sampel

serum babi. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil 171 dari 383

sampel serum babi positif antibodi Hog cholera (44,65 %). Dari total sampel

yang diambil di seluruh kabupaten/kota di provinsi Bali, jumlah sampel paling

sedikit diambil di Kec. Blahbatuh, Kab. Gianyar sebanyak 17 sampel, sedangkan

jumlah sampel tertinggi yang berhasil diambil berasal dari kabupaten Bangli

sebanyak 76 sampel serum babi di dua kecamatan. Proporsi hasil positif

antibodi Hog cholera paling tinggi di provinsi Bali diperoleh dari kabupaten

Klungkung sebesar 93,75%. Sedangkan proporsi hasil positif antibodi Hog

cholera paling rendah adalah dari kabupaten Buleleng, Kota Madya Denpasar

dan Karangasem yaitu 0 %. Hal ini mungkin disebabkan oleh vaksinasi yang

sudah lama sehingga pada waktu pengambilan sampel antibodi yang terbentuk

sudah menurun, atau bisa juga karena belum dilakukannya vaksinasi di wilayah

tersebut.

Page 278: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

272

Hasil yang diperoleh dalam kegiatan Serosurveilans antibodi Hog cholera di

provinsi NTB dan NTT dapat dilihat sebagai berikut (Tabel 4) ;

Tabel 4. Surveilans deteksi antibodi Hog cholera di provinsi NTB dan NTTtahun 2015.

Lokasi Hog Cholera Antibodi Elisa(Prov -Kabupaten -Kecamatan) Seropositif Seronegatif

JumlahSpesimen

Proporsi(%)

NUSA TENGGARA BARAT 1 493 494 0.20LOMBOK BARAT 1 159 160 0.62

GERUNG 0 20 20GUNUNG SARI 0 40 40KEDIRI 0 10 10KURIPAN 0 20 20NARMADA 1 69 70

LOMBOK TENGAH 0 20 20 0.00JONGGAT 0 20 20

LOMBOK UTARA 0 140 140 0.00 BAYAN 0 70 70 TANJUNG 0 70 70

MATARAM 0 174 174 0.00MATARAM 0 174 174

NUSA TENGGARA TIMUR 115 343 458 25.11 ALOR 18 57 75 24

ALOR BARAT DAYA 14 26 40TELUK MUTIARA 4 31 35

BELU 10 0 10 100 ATAMBUA 10 0 10

FLORES TIMUR 29 71 100 29 LARANTUKA 19 34 53 LEWOLEMA 10 37 47LEMBATA 42 44 86 48.83 ILE APE 10 10 20 LEBATUKAN 17 15 32 NUBATUKAN 15 19 34MALAKA 2 8 10 20 WEWIKU 2 8 10

MANGGARAI BARAT 0 5 5 0.00 LEMBOR 0 5 5

MANGGARAI TIMUR 1 75 76 1.32 BORONG 1 75 76

SABURAIJUA 5 0 5 100.00 SABU BARAT 5 0 5

SIKKA 2 79 81 2.46 KANGAE 2 48 50

PAGA 0 31 31 SUMBA BARAT DAYA 6 4 10 60

KODI BALAGHAR 6 0 6 LOURA 0 4 4

Grand Total 116 836 952 12.18

Page 279: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

273

Kegiatan pengambilan sampel serum babi dilakukan provinsi NTB dan NTT

diambil sejumlah 952 sampel serum babi. Dari Hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan hasil 116 dari 952 sampel serum babi positif antibodi Hog cholera

(12,18 %) di provinsi NTB dan NTT. Untuk di provinsi NTB diperoleh hasil 1 dari

494 sampel serum positif antibodi Hog cholera (0,2 %). Proporsi tertinggi

seropositif diperoleh di kabupaten Lombok Barat dan terendah di kabupaten

Lombok Tengah, Lombok Utara dan Mataram (0%) Sementara di provinsi NTT

diperoleh hasil 115 dari 458 sampel positif antibodi Hog cholera (25,11 %).

Proporsi seropositif tertinggi di NTT diperoleh di kabupaten Belu dan Saburaijua

(100 %), sedangkan proporsi terendah di kabupaten Manggarai Barat (0%).

Hasil Investigasi Kematian Babi di kabupaten Sabu raijua, NTT

Kasus Hog Cholera telah terjadi di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara

Timur. Kejadian penyakit diperkirakan mulai pada bulan Maret 2015 dengan

tingkat morbiditas dan mortalitas masing-masing sebesar 25% dan 80%. Di

Kelurahan Leba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua pada

peternakan babi milik Bapak Yunius Kore (Kelompok Maranata). Kejadian

penyakit dimulai pada bulan Maret 2015. Jumlah babi yang dipelihara: 50 ekor,

sakit 40 ekor (Morbiditas 80%), mati 40 ekor (Mortalitas 80%) . Ternak babi

yang dipelihara jenis persilangan. Selama terjadinya kasus, babi yang mati

adalah kebanyakan anak babi, namum demikian babi dewasa, pejantan dan

induk juga ada yang mati. Babi dipelihara dalam kandang. Informasi dari

peternak menyebutkan bahwa gejala klinis babi yang sakit antara lain: tidak mau

makan, demam, mencret, ada gejala saraf (berputar-putar) perdarahan ptekie

multifokal pada kulit. Pada induk terjadi keguguran. Tidak bisa berdiri. Lama

sakit selama 1-3 minggu.. Pada babi yang masih sehat di ambil sampel: serum

dan darah.

Investigasi di Dusun Pedami, Desa Railoro, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten

Sabu Raijua pada peternakan babi milik Bapak Markus Hunggurehe. Jumlah

babi yang dipelihara: 18 ekor, sakit 12 ekor (Morbiditas 66,67%), mati 12 ekor

Page 280: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

274

(Mortalitas 66,67%) . Babi jenis persilangan. Ternak babi yang mati adalah babi

induk, babi dewasa serta anaknya. Babi dipelihara dengan cara mengikat salah

satu kaki babi selanjutnnya diikatkan pada batang pohon, atau tonggak.

Kejadian penyakit dimulai pada bulan Maret 2015

Pada pengamatan patologi anatomi: otak besar mengalami kongesti, paru-paru

mengalami edema disertai perdarahan, ginjal, limpa dan hati mengalami

kongesti, jantung tidak mengalami perubahan, usus halus dan usus besar

mengalami ulserasi serta diselimuli eksudat kataralis. Hasil pemeriksaan

histopatologi, pada otak besar maupun otak kecil terlihat adanya infiltrasi sel-sel

limfosit dan edema perivaskuler, bronkopneumonia hebat pada paru-paru

disertai infiltrasi sel-sel limfosit dan neutrofil, multi fokal nekrosis pada limpa,

atrofi folikuler pada limfoglandula, nekrosis ulseratif disertai radang katarrhalis

pada usus halus dan usus besar. Hasil pengujian sampel di laboratorium dengan

metode ELISA dan PCR semuanya positif Hg Cholera.

PEMBAHASAN

Kegiatan surveilans di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar tahun 2015

terdeteksi 1 positif virus Hog cholera yang berasal dari Kecamatan Sabu Barat

Kabupaten Saburaijua, Provinsi. Nusa Tenggara Timur dari total 3 sampel yang

diuji di laboratorium. Berdasarkan hasil tersebut maka beberapa saran dan

masukan yang diberikan kepada peternak adalah, melakukan pemberian

multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan pengawasan kebersihan serta

sanitasi lingkungan. Hasil seropositif antibody Hog cholera yang diperoleh di

kabupaten Sabu raijua menunjukkan proporsi 100 % (5/5), hal ini sebenarnya

tidak menggambarkan keterwakilan kekebalan protektif dari wilayah tersebut. hal

ini disebabkan karena tindakan vaksinasi menyeluruh pada ternak babi di

wilayah tersebut untuk menghindari ternak babi yang lainnya terpapar dan

terinfeksi penyakit tersebut.

Page 281: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

275

Surveilans untuk mendeteksi antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar memperoleh hasil proporsi hasil positif di provinsi Bali

sebesar 44,65 %, sedangkan di provinsi NTB sebesar 0,20 % dan di provinsi

NTT sebesar 25,11 %. Program vaksinasi dilakukan secara intensif di provinsi

Bali dan NTT sehingga hasil proporsi tersebut mengindikasikan cakupan hasil

vaksinasi yang tidak terlalu menggembirakan. Mengacu pada protocol OIE yang

mensyaratkan cakupan vaksinasi sebesar 70 % untuk mengendalikan kejadian

wabah dan pembebasan penyakit ini (Anonimous, 2014).

Sementara di provinsi NTB diperoleh hasil 1 dari 494 sampel serum positif

antibodi Hog cholera (0,20 %) di wilayah kec.Narmada kab. Lombok Barat. Hal

ini dapat mengindikasikan terjadinya infeksi alami dari penyakit Hog cholera atau

kemungkinan terjadinya pemasukan babi dari wilayah yang melakukan program

vaksinasi. Dari hasil penggalian informasi melalui kuesioner, tidak ditemukan

adanya catatan pemasukan bibit babi ke wilayah tersebut. Sementara catatan

kasus klinis yang mengarah pada gejala penyakit Hog cholera juga tidak pernah

dilaporkan ataupun adanya kematian atau keguguran ternak yang dapat

dikaitkan dengan terjadinya infeksi penyakit ini.

Untuk dapat menggali informasi tentang munculnya titer antibodi pada ternak

yang diambil sampel khususnya di wilayah kabupaten Lombok Barat dan

provinsi Nusa Tenggara Barat pada umumnya, pelaksanaan koordinasi terhadap

kasus klinis maupun kematian dan keguguran pada ternak babi diwilayah

tersebut terus dilakukan dengan pihak Dinas Peternakan setempat. Balai Besar

Veteriner Denpasar dalam kapasitasnya sebagai laboratorium rujukan juga

mencoba untuk melihat kemungkinan dilaksanakannya pembuktian wilayah

provinsi NTB sebagai wilayah yang bebas penyakit Hog cholera atau

Demonstration of Freedom the Disease terhadap penyakit Hog cholera.

Page 282: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

276

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Proporsi hasil positif deteksi virus Hog cholera tahun 2015 di provinsi NTT

sebesar 0,43%, sedangkan provinsi Bali dan NTB tidak terdeteksi sampel

yang positif virus Hog cholera (0 %).

2. Proporsi hasil positif antibody Hog cholera pada tahun 2015 di Provinsi di

Bali 44,65 %, NTB sebesar 0,2 %, dan di NTT 25,11 %.

3. Hasil satu sampel positif virus Hog cholera berasal dari Kec. Sabu Barat,

Kab. Saburaijua, Prov. Nusa Tenggara Timur dari total 3 sampel yang

diperiksa di laboratorium.

Saran

1. Surveilans untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya infeksi maupun melalui

indikator antibodi Hog cholera di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar agar tetap dilaksanakan terutama untuk wilayah yang tidak

melakukan program vaksinasi seperti di provinsi NTB. Hal tersebut juga

untuk melihat kemungkinan dilakukan upaya pembuktian wilayah NTB

sebagai wilayah bebas penyakit Hog cholera.

2. Pada peternakan yang terdeteksi positif virus Hog cholera disarankan untuk

melakukan pemberian multivitamin serta vaksinasi Hog cholera dan

pengawasan kebersihan serta sanitasi lingkungan. Untuk babi yang

mengalami keguguran disarankan secara bertahap untuk segera diganti,

mengantisipasi kemungkinan jika terjadi carrier Hog cholera.

3. Mengembangkan sistem surveilans sindromik yang akan diusulkan untuk

dilakukan pada tahun selanjutnya dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas

surveilans yang lebih tinggi untuk dapat mendeteksi virus Hog cholera.

Page 283: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

277

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar, Kepala Dinas Peternakan propinsi Bali dan kota/kabupaten, demikian

pula kepada Kepala Dinas Peternakan propinsi NTB dan NTT serta

kota/kabupaten di wilayah yang dilakukan surveilans atas kepercayaannya,

kerjasama dan bantuannya sehingga surveilans ini dapat terlaksana.

Page 284: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

278

PUSTAKA.

Anonimous, 2014. Manual for Laboratory Diagnosis of Classical swine fever (Hog cholera)vaccination protocol. Chapter 2.8.3. May 2014. World Health Organization.

Anonimous, 2007. Manual for Laboratory Diagnosis of Japanese Encephalitis Virus Infection.World HealthOrganization.

Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

Sendow, I., dan Bahri, S., 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.LokakaryaNasionalpenyakit Zoonosis.Wartazoa. 2005.

Christianson, W. T., J .E . Collins, D.A . Benfield, L.Harris, D.E .Gorcyca, D.W. Chladek, R.B .Robinson, and H.S .Joo. 1992 . Experimental reproduction of swine infertility andrespiratory syndrome in pregnant sows . Am. J. Vet. Res . 5 3 : 485-488.

Done, S . H., and D.J. Paton. 1995 . Porcine reproductive and respiratory syndrome : clinicaldisease, pathology and immunosuppression.

Hirose, O., H. Kudo, S .Yoshizawa, T. Hiroiko, T. Nakane .1995 . Isolation of porcinereproductive and respiratory syndrome virus from pigs . J. Japan Vet. Med. Ass . 48 (9) :646 - 649.

Hooper, S . A., M.E.C . White, and N. Twiddy .1992 . An out-break of blue-eared pig disease(porcine reproductive and respiratory syndrome) in four pig herds in Great Britain . Vet.Rec .131 : 140-144 .

Page 285: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

279

PENGEMBANGAN METODE UJI DIAGNOSA RABIES DENGAN REVERSETRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION MENGGUNAKAN

PRIMER SPESIFIK STRAIN BALI

N. Dibia, D.H.W. Hartawan., P.D. Abiyoga., L.M.F. Suryadinata

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Metode standar yang digunakan untuk mendiagnosa rabies yang direkomendasikan oleh BadanKesehatan Dunia (World Health Organisation) dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OfficeInternational des Epizooties) adalah teknik Fluorescent Antibody Test (FAT). Metode diagnosadengan FAT, tidak mampu membedakan strain-strain spesifik virus Rabies di lapangan.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode uji diagnosa rabies berbasis penandamolekuler dan mengetahui agreement metode RT-PCR yang dikembangkan dengan metodestandar dFAT. Tiga puluh sampel otak hewan telah digunakan pada penelitian ini. Sampelpenelitian dikoleksi dari anjing yang terinfeksi rabies pada tahun 2014 dan 2015 dari beberapadaerah di Bali. Sampel otak hewan dikonfirmasi rabies dengan direct flourescent antibody test(dFAT). Ribonucleic acid (RNA) virus rabies diekstraksi dengan TRIzol. Fragmen gen penyandinukleoprotein diamplifikasi menggunakan metoda one-step reverse transcription and polymerasechain reaction (RT-PCR). Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa semua sampel yang diperiksamemperlihatkan pita khas virus rabies dan RT-PCR yang dikembangkan mampu membedakanvirus rabies isolat Bali virus rabies dengan isolat lain di Indonesia. Agreement uji dFAT denganRT-PCR yang dikembangkan sangat tinggi. Hasil tersebut merupakan bukti bahwa peneguhandiagnosa rabies dan identifikasi virus rabies strain Bali pada anjing dapat dilakukan secaraakurat dengan teknik RT-PCR.

Kata kunci: Bali, rabies, penanda molekuler, diagnosa, RT-PCR.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus

rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan

penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu

berakhir dengan kematian. Korban meninggal akibat rabies di Afrika dan Asia

diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun (Knobel et al., 2005).

Page 286: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

280

Dalam dua dekade belakangan ini, rabies di Indonesia memiliki kecendrungan

semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus

bebas. Kondisi ini sangat terkait dengan pola pemeliharaan anjing,

pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan masyarakat

membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti

berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso,

2007). Secara kuantitatif, besarnya risiko penyebaran rabies ke suatu wilayah /

pulau dapat dihitung (Dibia et al., 2014).

Metode standar yang digunakan untuk mendiagnosa rabies yang direkomendasi

oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) dan Badan

Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties) adalah dengan

teknik Fluorescent Antibody Test (FAT) (OIE, 2008). Metode uji tersebut

merupakan salah satu uji untuk mendeteksi antigen rabies dalam jaringan, yang

memberikan hasil positif 98-100% dari kasus-kasus rabies (McColl dan Lunt,

2003; Franka et al., 2004; Tepsumethanon et al., 2004; OIE, 2008). Dalam

kondisi tertentu, uji diagnostik konvensional masih tetap digunakan di beberapa

laboratorium seperti Seller’ stain, rabies tissue-culture infection test (RTCIT) dan

Mouse Inoculation Test (MIT). Namun demikian metode diagnosa tersebut tidak

mampu membedakan strain-strain spesifik virus rabies di lapangan.

Rabies disebabkan oleh virus rabies, genus Lyssavirus dari keluarga

Rhabdoviridae (Boldbaatar et al., 2010; Nguyen et al., 2011; Muleya et al.,

2012). Berdasarkan materi genetik, virus rabies tergolong virus RNA beruntai

tunggal. Virus RNA adalah virus yang sangat cepat mengalami perubahan

genetik (Khawplod et al., 2006). Menurut Nagarajan et al. (2006) perubahan

asam amino yang bersifat spesifik yang terjadi pada gen-gen virus rabies

merupakan penanda molekuler (molecular marker). Hasil penelitian Dibia et al.

(2014) menunjukkan bahwa virus rabies strain Bali memiliki penanda molekuler

berupa asam amino isoleusin pada posisi 308 (open reading frame) gen

nukleoprotein. Temuan berupa penanda molekuler tersebut sangat bermanfaat

dalam pengembangan metode diagnose. Disamping itu, penanda molekuler

dapat digunakan sebagai penanda epidemiologi (epidemiology marker) untuk

Page 287: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

281

melacak penyebaran rabies melalui teknik biologi molekuler. Salah satu metode

uji tersebut adalah RT PCR.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 54/Permentan/OT.140/15/2013,

tentang organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Veteriner disebutkan bahwa Balai

Besar Veteriner dalam salah satu tugasnya adalah melaksanakan

pengembangan teknik dan metode penyidikan , diagnosa dan pengujian

veteriner. Untuk itu perlu dikembangkan metode RT-PCR yang mampu

mengidentifikasi virus rabies strain Bali.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Belum tersedianya metode uji RT-PCR yang dapat digunakan

mengidentifikasi virus rabies strain Bali dan strain non Bali.

2. Belum tersedia informasi tentang agreement metode dFAT yang telah

digunakan di BBVet Denpasar dengan RT-PCR berbasis penanda molekuler

yang dikembangkan menggunakan primer oligonukleotida spesifik virus

rabies strain Bali.

Tujuan Kegiatan

Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah :

1. Mengembangkan metode uji diagnosa rabies pada hewan untuk

mengidentifikasi virus-virus rabies spesifik strain Bali.

2. Mengetahui agreement metode RT-PCR yang dikembangkan dengan

metode standar dFAT.

Page 288: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

282

Keluaran / Output

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan pengembangan metode ini adalah :

1 Tersedianya metode diagnostik yang mampu mengidentifikasi virus rabies

spesifik strain Bali sehingga dapat digunakan untuk melacak dinamika

penyebarannya.

2 Tersedianya metode RT-PCR yang memiliki agreement tinggi dengan

metode dFAT, sehingga uji ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik

konfirmatif yang handal dalam rangka mendukung program surveilans

maupun investigasi kasus / wabah.

TINJAUAN PUSTAKA

Agen penyebab rabies

Agen penyebab rabies adalah virus yang termasuk dalam genus Lyssavirus,

keluarga Rhabdoviridae (Murphy et al., 2007; Talbi et al., 2009), dari kelompok

Mononegavirales (Kuzmin et al., 2008). Virus rabies berbentuk seperti peluru

dengan ukuran diameter 75 nanometer (nm) dan panjang 180 nm (Warrell dan

Warrell, 2004; Sato et al., 2005). Materi genetik virus rabies adalah single

stranded ribonucleic acid (ss RNA) yang tidak bersegmen (Ito et al., 1999; Sato

et al., 2005), dan berpolaritas negatif (Metlin et al., 2007; Talbi et al., 2009).

Genom virus rabies berukuran sekitar 12 kilobase (kb) yakni 11.932 nukleotida

untuk strain virus Pasteur (Wunner, 2007) dan mengandung lima gen yang

menyandi nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M), glikoprotein

(G), dan large protein (L) (Ito et al., 2001; Wunner, 2007). Kelima gen struktural

tersebut dipisahkan oleh sekuen nukleotida intergenik yang diapit oleh sekuen

leader (Le) RNA dan trailer (Tr) RNA. Virus rabies mempunyai 2 komponen

utama yakni bagian inti berupa nukleokapsid atau ribonukleoprotein (RNP) dan

bagian luar adalah amplop. Ribonukleoprotein komplek (RNP) tersusun atas

nukleoprotein, phosphoprotein, RNA polimerase dan genom RNA yang

berbentuk rantai helik. Rantai heliks tersebut tertata secara rapi sehingga virus

rabies mempunyai bentuk seperti peluru (Fenner et al., 1993). Lapisan terluar

Page 289: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

283

virion tersusun atas lipid bilayer dengan ketebalan 7,5-10 nm (Nicholson, 2000).

Lapisan ini berasal dari membran sel hospes yang diperoleh pada saat budding

dan merupakan amplop virus. Pada amplop terdapat suatu trimeric spikes yang

merupakan penonjolan glikoprotein (Warrell dan Warrell, 2004). Dikalkulasi

bahwa kira-kira terdapat 450 trimeric G spike yang terdistribusi pada permukaan

setiap virion (Wunner, 2007). Skematik virion rabies dapat dilihat pada Gambar

1. Virus rabies seperti lyssavirus yang lain,tersusun atas 3% RNA, 74% protein,

20% lipid dan 3 % karbohidrat (Coll, 1995).

Gambar 1. Skematik virion rabies (Warrell dan Warrell, 2004).

Nukleoprotein menyelimuti genom RNA. Nukleoprotein diproduksi sangat

banyak selama proses replikasi dan merupakan material target utama dalam

diagnosis rabies. Phosphoprotein adalah komponen protein internal virus yang

berfungsi mengatur dan membantu RNA dependent RNA polimerase mengikat

promoter untuk proses polimerasi. Polimerase protein sebagai salah satu protein

penyusun RNP mempunyai peranan utama dalam proses replikasi dan

transkripsi. Sementara matrik protein adalah protein pembungkus RNP yang

terletak di antara nukleokapsid dan membran virus, serta memainkan peran

penting dalam proses morfogenesis virus. Glikoprotein adalah satu-satunya

protein eksternal virus yang dibutuhkan dalam infektivitas virus. Glikoprotein

bertanggung jawab terhadap perlekatan / penempelan virus pada reseptor

spesifik sel hospes. Selain itu, glikoprotein menginduksi antibodi netralisasi dan

Page 290: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

284

respon imun seluler yang melibatkan baik sel T helper maupun sel T cytotoxic

(Nicholson, 2000).

Perubahan genetik virus rabies

Virus RNA adalah virus yang sangat cepat mengalami perubahan genetik

(Khawplod et al., 2006). Bahkan Worobey dan Holmes (1999) menyatakan

bahwa virus RNA layak mendapat reputasi sebagai evolver tercepat di alam.

Keragaman genetik yang besar tersebut terjadi melalui seleksi secara alami,

sehingga virus selalu melakukan adaptasi dan berevolusi.

Setiap infeksi virus pada hewan pada umumnya akan bereplikasi membentuk

jutaan progeni virion. Karena enzim RNA polimerase pada virus-virus RNA tidak

mempunyai kemampuan memperbaiki kesalahan (proofreading) penyusunan

RNA pada saat replikasi (Carter dan Saunders, 2007; Murphy et al., 2007),

akibatnya virus-virus tersebut sering mengalami mutasi secara spontan (Fenner

et al., 1993). Mutasi yang paling umum terjadi pada virus rabies adalah mutasi

nukleotida tunggal pada genom virus yang disebut mutasi titik. Terjadinya mutasi

titik sering berlangsung secara alamiah (Ratam, 2005). Mutasi titik dapat bersifat

substitusi sinonim atau substitusi nonsinonim. Substitusi sinonim adalah

perubahan nukleotida yang terjadi tidak diikuti perubahan asam amino dari

protein yang diekpresikan. Kejadian mutasi seperti ini dapat terjadi pada protein

dengan sebagian besar asam amino, karena adanya coding redundancy kecuali

asam amino methionin dan asam amino triptofan yang hanya disandi oleh satu

kodon. Sebaliknya, substitusi non sinonim adalah perubahan nukleotida yang

diikuti dengan perubahan asam amino penyusun protein yang diekspresikan

(Nei dan Kumar, 2000). Hasil penelitian Dibia et al. (2014) menunjukkan bahwa

virus rabies strain Bali memiliki penanda molekuler berupa asam amino isoleusin

pada posisi 308 (open reading frame) gen nukleoprotein. Menurut Nagarajan et

al. (2006) perubahan asam amino yang bersifat spesifik yang terjadi dari

substitusi non sinonim pada gen-gen rabies dapat digunakan sebagai penanda

epidemiologi (epidemiology marker) untuk melacak penyebaran rabies melalui

teknik biologi molekuler, salah satu diantaranya adalah uji Reverse Transcription

Polymerase Chain Reaction (PCR).

Page 291: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

285

MATERI DAN METODEMateri

Tiga puluh lima sampel otak hewan yang digunakan pada kajian molekuler,

diperoleh dari beberapa daerah tertular di Indonesia yaitu Bali sebanyak 30

sampel seperti yang disajikan Tabel 1, sementara sampel kontrol berasal dari

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores masing –masing 1 sampel

otak.

Tabel 1. Data sampel otak anjing yang digunakan dalam penelitian

No Tahun KodeSampel

JenisHewan

JenisSampel

AsalSampel

1 2014 06141219 Anjing Otak Buleleng2 2014 06141240 Anjing Otak Bangli3 2014 06141259 Anjing Otak Bangli4 2014 06141325 Anjing Otak Bangli5 2014 06141331 Anjing Otak Bangli6 2014 06141372 Anjing Otak Buleleng7 2014 06141415 Anjing Otak Bangli8 2014 06141522 Anjing Otak Bangli9 2014 06141575 Anjing Otak Jembrana

10 2014 06141646 Anjing Otak Badung11 2014 06141674 Anjing Otak Badung12 2014 06141701 Anjing Otak Tabanan13 2014 06141716 Anjing Otak Gianyar14 2014 06141710 Anjing Otak Karangasem15 2014 06141741 Anjing Otak Gianyar16 2015 06150024 Anjing Otak Karangasem17 2015 06150028 Anjing Otak Gianyar18 2015 06150094 Anjing Otak Gianyar19 2015 06150116 Anjing Otak Bangli20 2015 06150130 Anjing Otak Klungkung21 2015 06150147 Anjing Otak Bangli22 2015 06150144 Anjing Otak Karangasem23 2015 06150145 Anjing Otak Jembrana24 2015 06150155 Anjing Otak Buleleng25 2015 06150190 Anjing Otak Karangasem26 2015 06150232 Anjing Otak Denpasar27 2015 06150271 Anjing Otak Jembrana28 2015 06150354 Anjing Otak Jembrana29 2015 06150365 Anjing Otak Jembrana30 2015 06150192 Anjing Otak Bangli

Page 292: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

286

Sampel segar atau dalam glycerine phosphate buffer 50% yang dikaji dalam

penelitian ini merupakan koleksi dari Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar,

Balai Besar Veteriner (BBVet) Yogyakarta, Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros,

Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan, dan Balai Veteriner

(BVet) Banjarbaru. Semua sampel dikoleksi dari kejadian kasus rabies atau

yang diduga rabies di wilayah kerja institusi masing-masing. Selanjutnya, sampel

didiagnosa rabies menggunakan metode fluorescent antibody test (FAT) sebagai

metode standar diagnosa (Dean et al., 1996) di Balai Besar Veteriner Denpasar.

Metode FAT merupakan metode yang direkomendasi oleh WHO dan OIE untuk

diagnosa rabies secara rutin di laboratorium.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer (oligonukleotida).

Primer spesifik virus rabies strain Bali dirancang oleh Dibia et al. (2014),

berdasarkan penanda molekuler virus rabies Bali pada gen penyandi

nukleoprotein (N). Beberapa bahan kimia lain yang digunakan adalah fluorescein

isothiocyanate-labeled rabbit anti-rabies nucleocapsid immunoglobulins G

(Biorad), phosphate buffered saline (PBS) pH 7,4 (Gibco), mountant (glicerine

phosphate buffer 50%), aseton (Merck), Trizol® (Invitrogen), kloroform (Merck),

alkohol 70% (Merck), isopropil alkohol (Merck), kit Super Script III One-Step RT-

PCR system with Platinum Taq DNA Polymerase (Invitrogen), ethidium bromide

solution (Promega), gel loading buffer (10x blue juice) (Invitrogen), 100 bp DNA

Ladder (Invitrogen), ultrapure 10x TAE buffer (Invitrogen), sodium dodecyl

sulphate (SDS) (MD-Bio, Inc), ultrapure aquabidest (Otsu-WI, Otsuka), ultrapure

agarose (Invitrogen).

Peralatan yang digunakan untuk FAT yaitu mikroskop fluorescen (Nikon, tipe

Ellipse 50i) dan immunofluorescence test slides (bioMerieux). Inaktivasi virus

dilakukan di dalam ruangan steril Biosafety Cabinet Class III (BSC-III) (Kojair,

Finland). Alat-alat lain yang digunakan untuk inaktivasi virus, antara lain: cawan

petri, syringe 1ml, gunting, pinset, tabung eppendorf, stik kaca. Isolasi RNA virus

dilakukan di dalam laminar flow steril menggunakan pipet mikro, tip, tabung

eppendorf, vortek, dan sentrifus mikro. Uji RT-PCR dilakukan menggunakan

alat-alat antara lain: pipet mikro, tip, tabung mikro, sentrifus mikro, thermocycler,

Page 293: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

287

magnetic styrer, apparatus elektroforesis agar (Biorad), transilluminator dengan

lampu ultraviolet (UV) dan kamera digital.

Metode

Tahapan pengujian pada pengembangan metode diagnosa ini adalah

Fluorescent antibody test (FAT), isolasi RNA, reverse transcription-polymerase

chain reaction (RT-PCR), dan elektroforesis.

Fluorescent antibody test (FAT).

Preparat smear / sentuh disiapkan dari sampel jaringan otak. Preparat dikering

angin dan difiksasi dengan aseton dingin pada suhu -20oC selama 30 menit.

Setelah fiksasi, preparat kembali dikering angin dan ditetesi dengan konjugat

(fluorescein isothiocyanate-labeled rabbit anti-rabies nucleocapsid

immunoglobulins G) secara merata dengan menggunakan stik aplikator.

Preparat diinkubasi pada 37oC selama 30 menit. Masing-masing preparat dicuci

tiga kali dengan PBS pH 7,4. Preparat dikering angin dan diteteskan mountant

(glicerine phosphate buffer 50%), kemudian ditutup dengan coverglass. Preparat

diperiksa di bawah mikroskop fluorescen dengan lampu UV merkuri. Agregat

spesifik (protein nukleokapsid) diidentifikasi berdasarkan pendarannya. Antigen

yang bereaksi dengan konjugat tampak dibawah sinar UV berwarna hijau apel

atau kuning kehijauan dengan latar belakang gelap (Dean et al., 1996). Kontrol

positif menggunakan jaringan otak anjing positif rabies dan kontrol negatif

menggunakan jaringan otak anjing negatif. Setiap pemeriksaan sampel dibuat

kontrol untuk mengetahui keakuratan diagnosa.

Isolasi RNA virus.

Otak hewan yang positif mengandung virus rabies berdasarkan FAT, dibuat

suspensi 20 % dalam PBS pH 7,4 dan diinaktivasi dengan SDS (450 μl suspensi

otak 20% ditambahkan 50 μl SDS 10%). Isolasi RNA dilakukan dengan

menggunakan Trizol®reagent (Invitrogen), sesuai dengan petunjuk produsen.

Page 294: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

288

Sebanyak 250 μl suspensi otak dan 750 μl Trizol dimasukkan ke dalam tabung

eppendorf 1,5 ml. Campuran divorteks selama satu menit. Setelah diinkubasi

pada suhu kamar (20-25oC) selama 5 menit, ke dalam campuran ditambahkan

kloroform sebanyak 200 μl, kemudian divorteks 15 detik dan diinkubasikan pada

suhu kamar selama 15 menit. Tabung selanjutnya di sentrifugasi dengan

kecepatan 12.000 RPM selama 15 menit. Bagian aquaeus diambil dan

dimasukkan ke dalam tabung eppendorf steril 1,5 ml. Ke dalamnya ditambahkan

isopropil alkohol sebanyak 500 μl dan dicampur sampai homogen. Campuran

diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Selanjutnya tabung eppendorf

yang telah berisi campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 12.000

RPM selama 10 menit, supernatan dibuang, dan ditambahkan alkohol 70%

sebanyak 1.000 μl. Setelah divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan 7.500

RPM selama 5 menit, supernatan dibuang, sedangkan peletnya dikeringkan

dengan inkubator suhu 55oC dan disuspensi kembali dengan

ultrapureaquabidest (Otsu-WI, Otsuka).

Reverse transcription -polymerase chain reaction (RT-PCR).

RNA virus rabies diamplifikasi dengan Reverse Transcription -Polymerase Chain

Reaction (RT-PCR) menggunakan kit SuperScriptTM III One-Step RT-PCR

System with Platinum® Taq DNA Polymerase (Invitrogen). Pada reverse

transcription (RT), complementary DNA (cDNA) dari genom virus rabies

disintesis menggunakan primer forward. cDNA diamplifikasi menggunakan

pasangan primer NF36(C/T) (forward primer) (5’-TCAGGTGGTCTCYTTG

AAGCC-3’) posisi primer 36-56 dan NR1251 (reverse primer) (5’-CTTTAGT

CGACCTCCGTTCA-3’) posisi primer 1232-1251, NF898(S) (forward primer)

(5’-TACTCATCTAATGCAGTTGGTCACA-3’) posisi primer 898-922 dan NR1349

(reverse primer) (5’-CGAGTCACTAGAATACGTCTTGTT-3’) posisi primer

1326-1349. Komponen uji RT-PCR terdiri dari 2x Reaction mix yang

mengandung 0,2 mM dNTP, 1,6 mM MgSO4, dengan buffer yang disediakan

oleh produsen. Reaksi RT-PCR dibuat sebanyak 25 μl dalam tabung PCR

dengan komposisi 12,5 μl 2 x reaction mix, 1,5 μl primer forward (10 μM),

1,5 μl primer reverse (10 μM), 6,5 μl ultrapure aquabidest, 0,5 μl enzim

Page 295: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

289

Superscript III RT/Platinum Taq Mix, dan 2,5 μl sampel RNA.

Thermocyclerdiprogram dengan kondisi reverse transcription 50oC selama satu

jam, denaturasi awal 95oC selama 45 detik dan 40 siklus amplifikasi dengan

kondisi denaturasi 94oC selama 45 detik, annealing 50oC selama 45 detik, dan

ekstensi 72oC selama satu menit. Pada bagian akhir reaksi diinkubasi pada

suhu 72oC selama 5 menit untuk memperoleh fragmen DNA yang sempurna.

Elektroforesis.

Produk PCR yang diperoleh divisualisasi dengan teknik elektroforesis

menggunakan agarose elektroforesis konsentrasi 1% (0,5 g ultrapure agarose

(Invitrogen) dalam 50 ml TAE 1x ) yang ditambahkan ethidium bromide

sebanyak 2,5 μl. Sebanyak 2 μl produk PCR ditambahkan loading dye

(Bromphenol-blue dan Cyline Cyanol) sebanyak 1 μl. Marker (10 μl 100 bp. DNA

ladder, 10 μl loading dye dan 80 μl aquabidest) diletakkan pada sumuran

pertama gel, yang berfungsi untuk mengetahui panjang produk basa yang

diharapkan. Mesin elektroforesis diprogram dengan tegangan 100 Volt selama

25 menit. Visualisasi DNA dilakukan dengan transilluminator ultraviolet (UV) dan

hasilnya didokumentasikan menggunakan kamera digital.

HASIL PENELITIAN

Deteksi antigen virus rabies.

Deteksi antigen virus rabies menggunakan metode dFAT telah dilakukan

terhadap 30 sampel otak hewan (anjing) yang didiagnosa rabies dari berbagai

daerah tertular di Bali dan masing -masing satu sampel dari Sumatra,

Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Flores sebagai kontrol. Prinsip uji dFAT adalah

deteksi ikatan antigen dengan antibodi spesifik yang dilabel dengan

fluorochrome yaitu suatu pewarna untuk menandai antigen yang dilacak.

Agregat spesifik (protein nukleokapsid) dari setiap sampel dapat terdeteksi

berdasarkan pendaran berwarna hijau apel atau kuning kehijauan dengan latar

belakang gelap. Semua sampel yang diuji memperlihatkan hasil positif rabies.

Beberapa contoh preparat otak yang positif rabies ditunjukkan pada Gambar 2.

Page 296: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

290

Gambar 2. Sampel yang positif dFAT ditunjukkan oleh agregat dari proteinnukleokapsid yang berwarna hijau apel atau kuning kehijauandengan latar belakang gelap.

Pengembangan Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction

Tiga puluh sampel otak hewan (anjing) yang positif rabies berdasarkan dFAT

berhasil diamplifikasi menggunakan metode RT-PCR dengan pasangan primer.

Pada reverse transcription (RT), complementary DNA (cDNA) dari genom virus

rabies disintesis menggunakan primer forward. cDNA diamplifikasi

menggunakan pasangan primer yaitu NF36 (C/T) (5’-

TCAGGTGGTCTCYTTGAAGCC-3’) dan NR1251 (5’-CTTTAGTCGACCTCC

GTTCA-3’), NF898(S) (5’-TACTCATCTAATGCAGTTGGTCACA-3’) dan NR

1349 (5’-CGAGTCACTAGAATACGTCTTGTT-3’), NF 587 (5’-CTTTAGTCGA

CCTCCGTTCA-3’) dan NR948(S) (5’-TCCAACAAAGTGAATGAGATTGAATAT-

3’), NF-22(C/T) (5’-GCAAAAATGTAACACCYCTACAATG-3’) dan NR587 (5’-

TTGGCACACATCTTGTGAGT-3’).

Hasil elektroforesis produk RT-PCR tersebut berupa pita DNA berukuran 1215

bp (menggunakan primer NF36(C/T) dan NR 1251) dan 451 bp (menggunakan

primer NF 898(S) dan NR1349), sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan

Gambar 4.

Page 297: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

291

Gambar 3. Hasil elektroforesis produk RT-PCR, M= Marker (DNA ladder 100bp)(+) = Kontrol positif, (-) = Kontrol negatif, Lajur 1-10 = Sampel virusrabies Bali, Lajur 11-15 = Sampel virus luar Bali. Tanda panahmenunjukkan produk RT-PCR spesifik pada posisi 1215 bp.

Gambar 4. Hasil elektroforesis produk RT-PCR, M= Marker (DNA ladder 100bp)(+) = Kontrol positif, (-) = Kontrol negatif, Lajur 1-10 = sampel virusrabies Bali, Lajur 11-15 = Sampel virus luar Bali. Tanda panahmenunjukkan produk RT-PCR spesifik pada posisi 451 bp.

1215 bp

451 bp

451 bp

Page 298: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

292

PEMBAHASAN

Deteksi agen virus Rabies dengan menggunakan FAT

Masih tingginya kejadian kasus rabies di dunia menyebabkan dilakukannya

penelitian-penelitian tentang penyakit ini secara terus-menerus. Berbagai

metode dan teknik pengujian terus dikembangkan, baik untuk pengujian serologi

maupun mengidentifikasi agen.Teknik yang diakui dunia sebagai teknik pilihan

untuk mendiagnosa virus Rabies adalah FAT.

Menurut Dean et al., (1996); Trimarchi dan Nadin-Davis (2007) hasil pengujian

dengan menggunakan FAT ini telah sesuai dengan persyaratan standar.

Fluorescent Antibody Test merupakan salah satu uji untuk mendeteksi antigen

rabies didalam jaringan, dengan sensitifitas 98-100% dari kasus-kasus rabies

(McColl dan Lunt., 2003; Franka et al., 2004; Tepsumethanon et al., 2004; OIE.,

2008). Tingkat sensitifitas yang dimiliki oleh uji FAT membuat uji ini menjadi

rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) sebagai

pengujian standar diagnosa rabies (OIE., 2008; Wacharapluesadee et al., 2008).

Meskipun demikian, tingkat sensitifitas dari uji FAT sangat dipengaruhi juga oleh

kualitas sampel, conjugate, peralatan dan kemampuan alat diagnostik

(McElhinney et al., 2008). Hasil pengujian yang efisien, cepat dan akurat sangat

penting untuk tindakan pengendalian atau penatalaksanaan penderita gigitan

Hewan Pembawa Rabies (HPR) pada manusia (Akoso, 2007). Akan tetapi

menurut David et al., (2002), teknik ini memiliki kelemahan yaitu tidak mampu

mendeteksi antigen virus dalam specimen otak yang sudah membusuk. Selain

itu pengujian dengan menggunakan teknik FAT tidak mampu untuk

membedakan virus rabies yang positif berasal dari strain Bali ataupun non-Bali.

Sehingga, RT-PCR dapat digunakan sebagai perangkat diagnostik pelengkap

untuk pengujian FAT, terutama untuk sampel-sampel otak hewan yang diambil

setelah 8 jam kematian.

Page 299: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

293

Pengembangan Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction

Tiga puluh sampel otak hewan (anjing, kucing, sapi, kambing dan babi) yang

positif rabies berdasarkan dFAT berhasil diamplifikasi menggunakan metode

RT-PCR dengan pasangan NF36 (C/T) (5’-TCAGGTGGTCTCYTTGAAGCC-3’)

dan NR1251 (5’-CTTTAGTCGACCTCCGTTCA-3’), NF898(S) (5’-TACTCATCTA

ATGCAGTTGGTCACA-3’) dan NR 1349 (5’-CGAGTCACTAGAATACGTCTTG

TT-3’). Hasil elektroforesis produk RT-PCR tersebut berupa pita DNA berukuran

1215 bp dan 451 bp, sebagaimana disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Hasil elektroforesis produk RT-PCR seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3

dan Gambar 4, mengindikasikan bahwa pasangan primer yang digunakan

bersifat spesifik dan hanya menempel pada posisi yang diharapkan. Tidak

munculnya pita pada kontrol negatif yang tidak mengandung template

menunjukan bahwa hasil RT-PCR yang diperoleh bukan berasal dari

kontaminan. Disamping itu, primer yang dirancang khusus dalam penelitian ini

mampu mendeteksi dengan baik gen N virus rabies pada hewan dari beberapa

daerah tertular di Bali. Hasil ini juga menunjukkan bahwa RT-PCR yang

dikembangkan memiliki agreement yang tinggi dengan metode dFAT, dan

mampu membedakan isolat virus rabies Bali dengan isolat virus rabies dari luar

Bali, sehingga uji ini dapat digunakan sebagai alat diagnostik konfirmatif yang

handal. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian serupa yang dilakukan

oleh Benedictis et al. (2011) yang mengungkapkan tentang keunggulan RT-

PCR. Lebih lanjut, Benedictis et al. (2011) melaporkan bahwa one-step RT-PCR

menunjukkan spesifisitas yang relatif tinggi 98,94% (CI: 97,55-99,65),

sensitivitas 99,71% (CI: 98,40-99,99) dan akurasi 98,90% dibandingkan dengan

nilai-nilai yang diperoleh dengan dFAT yang digunakan sebagai metode standar

diagnosa rabies. Agreement antara metode uji one step RT-PCR yang

dikembangkan Benedictis et al. (2011) dengan metode standar FAT memiliki

kesepakatan hampir sempurna dengan koefisien Kappa Cohen’s sebesar 0,977.

Disamping itu, keunggulan menggunakan RT-PCR adalah metode ini masih

mampu mendeteksi antigen virus dalam spesimen otak yang sudah membusuk

yang tidak terdeteksi dengan menggunakan dFAT, seperti yang dilaporkan

Page 300: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

294

David et al. (2002). Hasil tersebut merekomendasikan bahwa metode RT-PCR

dapat digunakan sebagai perangkat diagnostik pelengkap untuk dFAT, terutama

untuk sampel-sampel otak hewan yang diambil setelah 8 jam kematian.

Kemampuan RT-PCR yang dikembangkan dengan primer spesifik pada

penelitian ini, mendukung penelitian serupa yang dilakukan oleh Ito et al. (2003).

Hasil penelitian Ito et al. (2003) juga membuktikan bahwa metode uji RT-PCR

yang mampu membedakan isolat virus rabies pada anjing dengan isolat virus

rabies pada kelelawar Vampir di Brazil menggunakan primer strain spesifik.

Sementara uji FAT, pewarnaan Sellers, MIT dan cell culture yang telah umum

digunakan dalam mendiagnosa rabies di laboratorium tidak memiliki

kemampuan membedakan strain spesifik isolat virus rabies.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

1. Pengembangan metode RT-PCR dengan menggunakan primer spesifik

virus rabies strain Bali mampu membedakan antara virus rabies Bali dan

non-Bali.

2. RT-PCR yang dikembangkan memiliki agreement yang tinggi yakni sebesar

1 dengan metode dFAT.

Saran

1. Metode RT-PCR yang telah berhasil dikembangkan perlu diaplikasikan pada

setiap kejadian wabah rabies di suatu daerah tertular khususnya di wilayah

kerja BBVet Denpasar untuk mengetahui dinamika penyebaran virus rabies

Bali ke daerah tertentu.

2. Perlu kajian untuk memonitor stabilitas penanda molekuler virus rabies Bali

berdasarkan sekuen waktu kasus rabies di lapangan, sehingga dapat

menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan studi

molekuker virus rabies selanjutnya.

Page 301: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

295

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Benedictis, P. D., Battisti, C. D., Dacheux, L., Marciano, S., Ormelli, S., Salomoni, A., Caenazzo,S. T., Lepelletier, A., Bourhy, H., Capua, I., and Cattoli, G., 2011. Lyssavirus Detectionand Typing Using Pyrosequencing. J. Clin. Microbiol. 49(5): 1932-1938.

Boldbaatar, B., Inoue, S., Tuya, N., Dulam, P., Batchuluun, D., Sugiura, N., Okutani A., Kaku, Y.,Noguchi, A., Kotaki, A., and Yamada, A., 2010. Molecular Epidemiology of Rabies Virusin Mongolia, 2005-2008. Jpn. J. Infect. Dis. 63: 358-363.

Carter, J. B., and Saunders, V. A., 2007. Virology: Principles and Applications. England: JohnWiley & Sons Ltd.

Coll, J. M., 1995. The glycoprotein G of rhabdoviruses.Arch. Virol. 140: 827-851.

David, D., Yakobson, B., Rotenberg, D., Dveres, N., Davidson, I., and Stram, Y., 2002. Rabiesvirus detection by RT-PCR in decomposed naturally infected brains. Vet. Microbiol.87(2): 111-118.

Dean, D. J., Abelseth, M. K., Anatasiu, P., 1996. The fluorescent antibody test.In: Meslin, F. X.,Kaplan, M. M., Koprowski, H., (ed). Laboratory techniques in rabies, 4th ed. WHO: 88-95.

Dibia, N., dan Amintorogo, S., 1998. Epidemiologi Wabah Rabies di Kabupaten Flores Timur,Nusa Tenggara Timur . Makalah Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan dan KonferensiVeteriner Nasional XII di Bandar Lampung, 23-27 Nopember 1998.

Dibia, N., Sumiarto, B., Susetya, H., Putra, A. A. G., Mahardika, I G. N. K., and Scott-Orr, H.,2014. Diagnosis and Molecular Marker Analysis of Bali’s Rabies Virus Isolates. J. Vet.

Dibia, N., Sumiarto, B., Susetya, H., Putra, A.A.G., 2014. Phylogenetic Analysis of Rabies Virusin Bali. Bul. Vet. XXVI(84): 1-14.

Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy, F. A., Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O.,1993.Veterinary Virology.Second edition. California: Academic Press Inc.

Franka, R., Svrecek, S., Madar, M., Kolesarova, M., Ondrejkova, A., Ondrejka, R., Benisek, Z.,Suli, J., Vilcek, S., 2004.Quantification of the effectiveness of laboratory diagnostics ofrabies using classical and molecular-genetic methods. Vet. Med. 49(7): 259-267.

Ito, N.,Sugiyama, M., Oraveerakul, K., Piyaviriyakul, P., Lumlertdacha, B., Arai Y. T., Tamura, Y.,Mori, Y., Minamoto, N., 1999. Molecular epidemiology of rabies in Thailand. Microbiol.Immunol. 43(6): 551-559.

Ito, N., Kakemizu, M., Ito, K. A., Yamamoto, A., Yoshida, Y., Sugiyama, M., and Minamoto, N.,2001. A comparison of complete genom sequences of the attenuated RC-HL strain ofrabies virus used for production of animal vaccine in Japan, and the parentralNishigahara strain. Microbiol. Immunol. 45: 51-58.

Ito, M., Itou, T., Shoji, Y., Sakai, T., Ito, F. H., Arai, Y. T., Takasaki, T., and Kurane, I., 2003.Discrimination between dog-related and vampire bat-related rabies viruses in Brazil bystrain-spesific reverse transcriptase-polymerase chain reaction and restriction fragmentlength polymorphism analysis. J. Clin. Virol. 26(3): 317-330.

Page 302: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

296

Khawplod,P., Shoji,Y., Ubol,S., Mitmoonpitak, C., Wilde, H., Nishizono, A., Kurane, I., andMorimoto, K., 2006. Genetic analysis of dog rabies viruses circulating in Bangkok. Infect.Gen. Evol. 6: 235-240.

Knobel, D. L., Cleaveland, S., Coleman, P. G., Fevre, E. M., Meltzer, M. I., Miranda, M. E. G.,Shaw, A., Zinsstag, J., Meslin, F., 2005. Re-evaluating the burden of rabies in Africa andAsia. Bull. WHO. 83(5): 360-368.

McColl, K.A., Lunt, R.A., 2003. Australia and New Zealand Standard DiagnosticProcedures.Victoria : CSIRO-Australian Animal Health Laboratory.

McElhinney, L. M., Fooks, A. R., and Radford, A. D., 2008.Diagnostic tools for the detection ofrabies virus. European Journal Of Companion Animal Practice 3: 224-231.

Metlin, A., Paulin, L., Suomalainen, S., Neuvonen, E., Rybakov, S., Mikhalishin, V., andHuovilainen, A., 2007. Characterization of Russian rabies virus vaccine strain RV-97.Virus Res. 132(1-2): 242-247.

Muleya, W., Namangala, B., Mweene, A., Zulu, L., Fandamu, P., Banda, D., Kimura, T., Sawa, H.and Ishii., A. 2012. Molecular epidemiology and a loop-mediated isothermal amplificationmethod for diagnosis of infection with rabies virus in Zambia. Virus Res. 163: 160-168.

Murphy, F. A., Gibbs, E. P. J., Horzinek, M. C., Studdert, M. J., 2007. Veterinary Virology. Thirdedition. USA: Elsevier, Academic Press.

Nagarajan, T., Mohanasubramanian, B., Seshagiri, E. V., Nagendrakumar, S. B.,Saseendranath, M. R., Satyanarayana, M. L., Thiagarajan, D., Rangarajan, P. N., andSrinivasan, V. A., 2006. Molecular Epidemiology of Rabies Virus Isolates in India. J. Clin.Microbiol. 44(9): 3218-3224.

Nei, M., Kumar, S., 2000.Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford UniversityPress.

Nguyen, A. K. T., Nguyen, D. V., Ngo, G. C., Nguyen, T. T., Inoue, S., Yadama, A., Dinh, X. K.,Nguyen, D. V., Phan, T. X., Pham, B. Q., Nguyen, H. T., and Nguyen, H. T. H., 2011.Molecular Epidemiology of Rabies Virus in Vietnam (2006-2009). Jpn. J. Infect. Dis.64:391-396.

Nicholson, K. G., 2000. Rabies. In: Zukerman, A. J., Banatvala, J. E., and Pattison, J. R., (ed).Principles and Practice of Clinical Virology.Fourth edition. USA: Jhon Wiley & Sons Ltd:583-606.

OIE (Office International des Epizooties), 2008.Manual of Standards for Diagnostic tests andVaccines. Chapter 2.1.13: 304-323.

Ratam, F. A., 2005. Virologi. Cetakan pertama. Surabaya: Airlangga University Press.

Sato, G., Tanabe, H., Shoji, Y., Itou, T., Ito, F. H., Sato, T., Sakai, T., 2005. Rapid discriminationof rabies viruses isolated from various host species in Brazil by multiplex reversetranscriptionpolymerase chain reaction. J. Clin. Virol.33: 267-273.

Talbi, C., Holmes, E. C., Benedictis, P. D., Faye, O., Nakoune, E., Gamatie, D., Diarra, A.,Elmamy, B. O., Sow, A., Adjogua, E. V., Sangare, O., Dundon, W. G., Capua, I., Sall, A.A., and Bourhy, H., 2009 . Evolutionary history and dinamics of dog rabies virus inWestern and Central Africa. J. Gen. Virol. 90: 783-791.

Page 303: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

297

Tepsumethanon, V., Lumlertdacha, B., and Wilde, H., 2004.Microscopic Diagnosis of Rabies. Inf.Dis. J. Pakistan : 39-40.

Trimarchi, C. V., and Nadin-Davis, S. A., 2007.Diagnostic Evaluation. In: Jackson, A. C. andWunner, W. H., (ed.). Rabies.Second edition. USA: Elsevier, Inc.: 411-470.

Wacharapluesadee, S., Sutipanya, J., Damrongwatanapokin, S., Phumesin, P., Chamnanpood,P., Leowijuk, C., and Hemachudha, T., 2008. Development of a TaqMan real-time RT-PCR assay for the detection of rabies virus. J. Virol. Methods 151: 317-320.

Warrell, M. J., and Warrell, D. A., 2004.Rabies and other lyssavirus diseases. The Lancet 363:959-969.

Worobey, M., and Holmes, E. C., 1999.Evolutionary aspects of recombination in RNA viruses. J.Gen. Virol. 80: 2535-2543.

Wunner, W. H., 2007. Rabies Virus. In: Jackson, A. C., and Wunner, W. H., (ed.).Rabies.Second edition. USA: Elsevier Inc.: 23-68.

Page 304: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

298

HASIL SURVEILANS PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGISDI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI

BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

Diana Mustikawati

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Surveilanss di Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali - Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT)Denpasar dilakukan pada bulan November 2015 dengan jumlah sampel yang diambil sebesar251 serum, 251 darah, 50 feses dan 100 ulas darah. Sampel serum diuji dengan metodeEnzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk melihat gambaran seropositif JembranaDisease (JD), Septicaemia Epizootica (SE), Infectius Bovine Rhinothracheitis (IBR), sedangkanBrucellosis diuji menggunakan metode Rose Bengal Test (RBT). Jembrana Disease Virus (JDV)diuji menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) pada sampel darah, sampelfeses menggunakan metode uji apung dan sedimentasi untuk mengetahui infestasi ParasitGastrointestinal (PGI), sedangkan pengujian terhadap Preparat ulas darah untuk melihat adanyainfestasi parasit darah. Hasil pengujian laboratorium menunjukan bahwa 119 dari 251 sampelyang diuji seropositif SE, 4 dari 251 sampel yang diuji seropositif Jembrana Disease, 10 dari 251sampel yang diuji seropositif IBR, dan seronegatif Brucellosis. Kejadian infestasi parasit cukuptinggi yaitu 16 dari 50 sampel menunjukan adanya infestasi PGI, sedangkan infestasi parasitdarah menunjukan 4 sampel positif dari 100 sampel yang diuji. Infestasi Parasit Gastrointestinal(PGI) yang tinggi perlu mendapatkan penanganan dengan pemberian Anthelmintik, sehinggadapat mengurangi penurunan kualitas sapi di BPTU-HPT Denpasar.

Kata kunci: surveilans, Penyakit Hewan Menular Strategis, sapi bali, BPTU-HPT

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali - Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT)

Denpasar yang berlokasi di Kabupaten Jembrana adalah Unit Pelaksana Teknis

(UPT) yang memiliki fungsi untuk mengembangkan pembibitan sapi bali. BPTU-

HPT Denpasar saat ini memiliki populasi sapi sekitar 900 ekor dan diharapkan

dapat membantu menyediakan bibit unggul yang diperlukan oleh masyarakat

ataupun UPT lain untuk dikembangkan lebih lanjut. Populasi sapi bali di

Indonesia saat ini diperkirakan sebanyak 4,8 juta ekor (Anonimus, 2008),

sebanyak 2,5 juta ekor diantaranya tersebar di Provinsi Bali, NTB dan NTT

dengan tingkat pertumbuhan 2,13% (Anonimus, 2009). Sapi Bali lebih banyak

diminati oleh beberapa peternak karena memiliki beberapa keunggulannya

Page 305: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

299

antara lain : tingkat kesuburannya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik, cepat

beradaptasi, lebih tahan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik dan efisien

serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi (Pane, 1990). Meskipun

banyak keunggulan yang dimiliki oleh sapi bali, tidak menutup kemungkinan

bahwa sapi bali dapat terserang beberapa penyakit hewan menular, oleh karena

itu perlu ditingkatkan usaha terkait dengan kesehatan hewan. Pada umumnya

ternak sapi rentan terhadap berbagai infestasi Parasit Gastrointestinal seperti

Helminthiasis, Koksidiosis dan Ektoparasit (Soulsby 1982), hasil penelitian

menunjukan bahwa prevalensi cacing Trematoda, Fasciola gigantica pada sapi

di Indonesia mencapai 10-80% (Estuningsih 2004), Fasciola gigantica

(Fasciolosis) pada sapi bali berkisar 22,3%-72,5% dan lebih banyak ditemukan

pada sapi muda dan dewasa, dengan gejala klinis mulai dari Anoreksia,

Konstipasi, Diare, Anemia, Ikterus dan pada kasus yang berat terjadi kematian

(Purwanta dkk, 2006).

Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar adalah salah satu UPT Pusat yang

mempunyai wilayah kerja di Bali, NTB dan NTT serta berperan penting dalam

melakukan surveilanss, monitoring, dan investigasi suatu penyakit hewan di

wilayah kerja tersebut. Pada fungsi pengawasan kesehatan hewan, BBVet

Denpasar berkewajiban memberikan pembinaan teknis dan rekomendasi atau

saran kepada UPT terkait, antara lain pembinaan kepada Pusat Kesehatan

Hewan (Puskeswan), Laboratorium type B Dan C dan BPTU-HPT Sapi Bali

yang bertempat di Provinsi Bali. Kerjasama BBVet Denpasar dengan BPTU-HPT

Sapi Bali Denpasar sudah terjalin sejak lama dan hingga saat ini tetap berlanjut

dengan kegiatan monitoring dan surveilanss untuk memberikan gambaran

penyakit hewan di BPTU-HPT Denpasar.

Page 306: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

300

2. Tujuan

Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyakit hewan menular

pada sapi bali yang berada di Breeding Centre Pulukan Kabupaten Jembrana,

BPTU-HPT Denpasar.

MATERI DAN METODE1. Materi

Sampel diambil pada minggu pertama bulan November 2015. Jumlah sampel

yang diambil pada setiap pengambilan sebanyak 25 sampel serum, 25 sampel

darah, 5 feses dan 10 ulas darah. Jumlah sapi yang disampling adalah 250 ekor

dari jumlah populasi sekitar 900 ekor. Pada setiap tahap pengambilan sampel,

sapi yang sudah disampling agar dicatat dan diberikan tanda agar tidak terjadi

pengulangan sampling pada sapi tersebut. Sampel kemudian diuji terhadap 4

jenis Penyakit Hewan Menular Strategis meliputi Jembrana Disease (JD),

Septicaemia Epizootica (SE), Infectius Bovine Rhinothracheitis (IBR), Bruselosis

dan beberapa penyakit parasit. Jadwal, rincian jumlah dan jenis sampel serta

penyakit yang diuji dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Jadwal surveilans, jumlah dan jenis sampel disertai penyakit yangdiuji.

No. TahapSampling

NamaTim

TargetHewan

Jumlah Sampel yangDiambil

Jenis Penyakit yangDiuji

1. I. 02November2015

12

2525

50 buah (50 serum, 50darah EDTA, 20 ulasdarah, 10 feses)

JD, SE, IBR,Bruselosis, dan Parasit

2. II. 03November2015

34

2526

51 buah (51 serum, 51darah EDTA, 20 ulasdarah, 10 feses)

JD, SE, IBR,Bruselosis, dan Parasit

3. III. 04November2015

56

2525

50 buah (50 serum, 50darah EDTA, 20 ulasdarah, 10 feses)

JD, SE, IBR,Bruselosis, dan Parasit

4. IV. 05November2015

78

2525

50 buah (50 serum, 50darah EDTA, 20 ulasdarah, 10 feses)

JD, SE, IBR,Bruselosis, dan Parasit

5. V. 06November20165

910

2525

50 buah (50 serum, 50darah EDTA, 20 ulasdarah, 10 feses)

JD, SE, IBR,Bruselosis, dan Parasit

Page 307: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

301

Wawancara, pengamatan terhadap kondisi hewan, kandang, pakan, air dan

lingkungan juga dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan kegiatan

surveilans. Hal ini merupakan upaya pemberian informasi, edukasi dan saran

terhadap cara penanganan penyakit hewan menular.

2. Metode

Metode uji yang digunakan pada pemeriksaan serum adalah Enzyme-linked

Immunosorbent Assay (ELISA) yang digunakan pada pengujian Jembrana

Disease (JD), Septicaemia Epizootica (SE), Infectius Bovine Rhinothracheitis

(IBR) dalam menentukan gambaran serologi penyakit tersebut. Selain metode

ELISA, pengujian menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

juga untuk mendeteksi Jembrana Disease Virus (JDV). Pemeriksaan terhadap

Brucelosis menggunakan metode uji Rose Bengal Test (RBT), jika menunjukan

hasil positif maka dilanjutkan dengan uji Complement Fixation Test (CFT).

Pemeriksaan feses dilakukan dengan uji sedimentasi dan uji apung untuk

mengetahui infestasi Parasit Gastrointestinal, sedangkan preparat ulas darah

(PUD) diperiksa dengan pengecatan Giemsa dan pengamatan dibawah

mikroskop cahaya untuk melihat infestasi parasit darah.

HASIL

Pengambilan sampel telah dilaksanakan pada tanggal 02 – 06 Nopember 2015

di BPTU-HPT Denpasar dengan melibatkan 10 tim dari BBVet denpasar dan

BPTU-HPT Denpasar. Jumlah sampel yang diperoleh adalah 1460 buah dari

250 ekor sapi yang berbeda. Jenis dan jumlah sampel serta hasil pengujian

dapat dilihat pada tabel 2. Secara umum diketahui bahwa beberapa uji terhadap

5 penyakit yang diinvestigasi (JD, SE, IBR, Bruselosis, dan Parasit), hanya uji

terhadap Bruselosis yang menunjukkan hasil negatif. Hasil uji terhadap parasit

darah dan parasit gastrointestinal (PGI) disajikan secara lengkap pada tabel 3.

Page 308: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

302

Tabel 2. Jenis dan jumlah sampel yang telah diuji terhadap beberapa jenispenyakit.

No. TahapSampling

Jenis/Jumlah Sampel

JenisPenyakit

Uji Elisa UjiPCR

UjiRBT

UjiPGI

UjiPUD

1. I Serum: 50 JD 0/50 - - - -Serum: 50 SE 30/50 - - - -Serum: 50 IBR 1/50 - - - -Serum: 50 Brucelosis - - 0/50 - -Darah EDTA:50

JD - 0/50 - - -

PUD: 20 Parasitdarah

- - - - 3/20

Feses: 10 PGI - - - 2/10 -2. II Serum: 51 JD 1/51 - - - -

Serum: 51 SE 37/51 - - - -Serum: 51 IBR 2/51 - - - -Serum: 51 Brucelosis - - 0/51Darah EDTA:51

JD - 0/50 - - -

PUD: 20 Parasitdarah

- - - - 1/20

Feses: 10 PGI - - - 2/10 -3. III Serum: 50 JD 3/50 - - - -

Serum: 50 SE 32/50 - - - -Serum: 50 IBR 4/50 - - - -Serum: 50 Brucelosis - - 0/50 - -Darah EDTA:50

JD 0/50 - - -

PUD: 20 Parasitdarah

- - - - 0/20

Feses: 10 PGI - - - 5/10 -4. IV Serum: 50 JD 0/50 - - -

Serum: 50 SE 7/50 - - - -Serum: 50 IBR 0/50 - - - -Serum: 50 Brucelosis - - 0/50 - -Darah EDTA:50

JD - 0/50 - - -

PUD: 20 Parasitdarah

- - - - 0/20

Feses: 10 PGI - - - 6/10 -5. V Serum: 50 JD 0/50 - - - -

Serum: 50 SE 13/50 - - - -Serum: 50 IBR 3/50 - - - -Serum: 50 Brucelosis - - 0/50 - -Darah EDTA:50

JD - - - - -

PUD: 20 Parasitdarah

- - - - 0/20

Feses: 10 PGI - - - 1/10 -TOTAL 133/753 0/251 0/251 16/50 4/100Keterangan: tanda (-) : tidak dilakukan uji

Page 309: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

303

Tabel 3. Hasil uji terhadap parasit darah dan parasit gastrointestinal (PGI).No. Parasit

Gastrointestinal danParasit Darah

JenisSampel

JumlahPositif

Keterangan

1. Eimeria sp. Feses 0 PGI2. Cooperia sp. Feses 1 PGI3. Parampistomum sp. Feses 9 PGI4. Fasciola sp. Feses 0 PGI5. Trichostrongylus sp. Feses 0 PGI6. Chabertia sp. Feses 4 PGI7. Mecistocirrus sp. Feses 2 PGI8. Ostertagia sp. Feses 0 PGI9. Oesophagostomum sp. Feses 0 PGI

10. Theileria sp. PUD 0 Parasit Darah11. Trypanosoma sp. PUD 4 Parasit Darah

PEMBAHASAN

Hasil uji serologi terhadap penyakit SE secara berurutan menunjukkan angka

yang berbeda pada setiap tahap pengambilan. Pada tahap I, menunjukkan hasil

seropositif (60%), tahap II menunjukan seropositif (72,55%), pada tahap III

seropositif (64%), tahap IV menunjukkan hasil yang jauh lebih rendah,

seropositif (14%), dan tahap V seropositif (26%). Seroprevalensi terhadap

Septicaemia Epizootica (SE) sebesar 119 (47,41%). Hasil ini lebih rendah bila

dibandingkan dengan hasil surveilanss Septicaemia Epizootica (SE) di BPTU-

HPT tahun 2014. Rendahnya hasil seropositif tersebut kemungkinan disebabkan

oleh beberapa faktor antara lain: beberapa sapi tidak divaksinasi (status

vaksinasi tidak ada), tidak dilakukan pengulangan vaksin secara berkala

(booster), status imun hewan yang kurang baik, status gizi hewan yang

terganggu akibat cuaca ekstrim. Jika hasil positif ini disebabkan oleh vaksinasi,

hal ini mengindikasikan bahwa vaksinasi belum dilakukan secara optimal dan

berkala serta belum mampu memberikan kekebalan kelompok (Heard Immunity)

minimal 80%.

Page 310: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

304

Hasil pengujian serologi (uji RBT) terhadap penyakit Brucelosis menunjukkan

bahwa semua sampel negatif antibodi Brucella sp (0%). Hal ini dikarenakan sapi

bali yang berada di BPTU-HPT Denpasar bebas penyakit Brucelosis.

Hasil uji serologi (ELISA) terhadap Jembrana Disease (JD) menunjukkan

seropositif yang bervariasi pada setiap tahap pengambilan. Pada tahap

pengambilan I, IV, V tidak ada sampel yang menunjukkan seropositif (0%),

sedangkan pada tahap II seopositif (1,96%), dan tahap III seropositif sebesar

(6%). Rendahnya hasil tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

mayoritas sampel serum yang diuji berasal dari hewan yang tidak divaksinasi

atau tidak ada catatan vaksinasi. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh

terhadap rendahnya hasil uji adalah kualitas vaksin yang digunakan perlu

dievaluasi kembali, aplikasi vaksin yang tidak sesuai, status gizi hewan

terganggu, dan cuaca ekstrim yang mengganggu sistem kekebalan hewan,

dalam hal ini musim kemarau yang berkepanjangan. Uji ELISA pada Jembrana

Disease (JD) juga dapat terjadi cross reaction dengan penyakit BIV sehingga

dilakukan uji PCR sebagai uji konfirmasi dalam mendeteksi Jembrana Disease

Virus (JDV). Hasil uji PCR menunjukkan bahwa semua sampel negatif JDV

(0%). Ini membuktikan bahwa tidak ada infeksi dari Jembrana Disease Virus

(JDV) pada sapi bali yang berada di BPTU-HPT Denpasar. Uji serologi terhadap

penyakit IBR memperlihatkan hasil yang sangat rendah pada setiap tahap

pengambilan. Pada tahap I, seropositif (2%) ; tahap II, seropositif sebesar

(7,84%) ; tahap III, seropositif (8%) ; tahap IV, seropositif (0%); dan tahap V,

seropositif sebesar (6%). Hal ini tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor-

faktor yang juga mempengaruhi hasil uji Jembrana Disease (JD) dan SE.

Prevalensi penyakit parasiter cukup tinggi yaitu sebesar (32%). Beberapa jenis

telur cacing yang ditemukan antara lain: Cooperia sp. (1 sampel),

Parampistomum sp. (9 sampel), Chabertia sp.(4 sampel), dan Metiscocirrus

sp.(2 sampel). Selain Parasit Gastrointestinal, juga ditemukan parasit darah

yaitu Trypanosoma sp. (4 sampel).

Hasil surveilanss ini membuktikan bahwa pemberian obat cacing belum

dilakukan secara optimal. Secara ekonomis, infestasi parasit cacing ini dapat

Page 311: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

305

menurunkan produktivitas ternak sapi. Beberapa faktor yang menyebabkan

tingginya penyakit Parasit Gastrointestinal pada ternak sapi BPTU-HPT

Denpasar antara lain: cuaca ekstrim dimusim kemarau atau sebaliknya dan

ranch BPTU-HPT tidak didukung air bersih, pakan yang berkualitas, sarana

kandang pembibitan, dan biosecurity yang kurang baik terkait lalu lintas ternak.

Infestasi cacing ini sangat merugikan khusunya pada pedet (anak sapi) karena

berakibat pada penurunan tingkat pertumbuhan, morbiditas tinggi (dengan gejala

klinis yang tampak antara lain: demam, diare, kurus, lemas, cyanosis, dan bulu

berdiri), cacat fisik (anak diafkir dari seleksi bibit karena mata buta) dan

kematian dini pedet. Oleh karena pengaruh alam daerah tropis dan lembab

dimana parasit dapat berkembang subur maka perlu dilakukan pemberian obat

cacing secara berkala.

SIMPULAN DAN SARAN1. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Seroprevalensi Septicaemia Epizootica (SE) di BPTU-HPT Denpasar

sebesar 47,41%, sedangkan untuk penyakit Brucellosis (0%).

2. Seroprevalensi Jembrana Disease (JD) di BPTU-HPT Denpasar sebesar

3,98 %, sedangkan prevalensi Jembrana Disease Virus (JDV) (0 %).

3. Prevalensi Parasit Gastrointestinal (PGI) sebesar (32 %) sedangkan parasit

darah sebesar (4 %).

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Diperlukan adanya upaya-upaya dalam meningkatkan hasil seropositif di

BPTU-HPT sapi bali dari SE dan Jembrana Disease (JD), guna

meningkatkan titer antibodi terhadap penyakit tersebut.

2. Diperlukanya pemberian obat cacing (Anthelmintik) agar sapi bali yang berada

di BPTU-HPT terhindar dari infestasi Parasit Gastrointestinal (PGI).

Page 312: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

306

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2009. Statistik Data Populasi Ternak, Direktorat Kesehatan Hewan, InspektoratJendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Anonimus, 2008. The Epidemiology of helmintparasites. http:www.ilri.org/info serv/webpub/Fulldocs/X5492e04.htm (07 Juni 2008).

Bahri, S dan Martindah, E. 2010. Kebijakan Pengendalian Penyakit Strategis Dalam rangkaMendukung Program Kecukupan Daging Sapi 2010. Lokakarya Nasional KetersediaanIPTEK Dalam Rangka PengendalianPenyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar.

Estuningsih,SE.2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan pemeriksaan Telur Cacinguntuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada sapi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner,Volume 9 Nomor 1 hal. 55-60.

Pane, I (1990) Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3Bali. Proc Seminar sapi Bali,Univ. Udayana, Denpasar.

Purwanta, ismaya NRP & Burhan. 2006. Penyakit cacing hati (Fasciolasis) Pada Sapi Bali diperusahaan daerah rumah potong hewan (RPH) Kota Makassar. J. Agrisistem 2 (2):63-69.

Soulsby,E.J.C.1982 Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animal. 7th. ed P.5,52.

Page 313: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

307

Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbaudi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

I Nyoman Dibia dan Ni Luh Dartini

Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi tahun 2015 yang bertujuan untukmengidentifikasi, menangani kasus gangguan reproduksi dan mengetahui situasi penyakitBrucellosis dan IBR pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB,dan NTT telah dilaksanakan. Metode penanggulangan gangguan reproduksi meliputi identifikasigangguan reproduksi dan penanganan gangguan reproduksi, serta melakukan uji laboratoriumterhadap sampel yang diambil. Jumlah kasus gangguan reproduksi yang ditemukan di ProvinsiBali, NTB, dan NTT adalah sebanyak 4.232 kasus atau 19,46% dari target 21.750 kasus.Identifikasi kasus menunjukkan hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak 1.421kasus (33,6%), selanjutnya endometritis 952 kasus (22,5%), repeat breeder 857 kasus (20,3%)dan silent heat (14%). Tingkat kesembuhan dari penanganan kasus gangguan reproduksisecara keseluruhan sangat baik yaitu 92,76% (target tingkat kesembuhan secara nasional 40%).Pengujian terhadap sampel serum dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi di ProvinsiBali dan Provinsi NTB menunjukkan hasil negatif antibodi brucella. Hal ini berarti tidak ditemukanadanya reactor brucellosis, sehingga hasil pengujian ini dapat memperkuat bahwa sampai saatini Provinsi Bali dan NTB masih bebas brucellosis. Sedangkan hasil pengujian terhadap sampelserum yang berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, ditemukan positif antibodi Brucellaabortus sebanyak 6 dari 163 sampel serum yang diuji (3,7%). Adanya hasil positif antibodibrucella abortus pada ternak yang mengalami gangguan reproduksi belum dapat dipastikanapakah ternak tersebut merupakan reaktor (infeksi alam) ataukah antibodi yang terdeteksimerupakan hasil vaksinasi, karena uji laboratorium yang dipakai (CFT) belum bisa membedakanantibodi yang berasal dari hasil vaksinasi atau infeksi alam. Untuk itu perlu dilakukanpenelusuran lebih lanjut tentang sejarah vaksinasi ternak serta data pendukung lainnya. Uji PCRterhadap sampel swab nasal / vagina dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi untukmendeteksi keberadaan antigen virus penyebab IBR menunjukkan hasil negatif.

Kata kunci: Gangguan reproduksi, Brucellosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis.

Page 314: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

308

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebutuhan konsumsi daging cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya

jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani.

Status kesehatan hewan yang optimal pada populasi ternak khususnya

sapi/kerbau sangat penting dalam upaya penyediaan daging dan produk asal

hewan yang sehat. Namun usaha sapi potong di peternakan rakyat masih

mengalami banyak kendala, sehingga menghambat pencapaian swasembada

daging sapi/kerbau yang telah dicanangkan pemerintah sejak beberapa tahun

yang lalu. Salah satu faktor penghambat yang dipandang cukup serius adalah

terjadinya gangguan reproduksi. Dari berbagai pemeriksaan yang dilakukan

diseluruh wilayah Indonesia, kasus gangguan reproduksi pada ternak

ruminansia besar (sapi potong, sapi perah dan kerbau) sebanyak 47%, yang

umumnya disebabkan karena masalah pakan, lingkungan, genetik dan penyakit

hewan. Tentunya faktor-faktor tersebut dapat berdiri sendiri atau bersinergi

dalam menimbulkan gangguan reproduksi.

Berbagai faktor penyebab terjadinya gangguan reproduksi di atas, secara umum

dapat menimbulkan kejadian klinis. Dampak dari gangguan reproduksi tersebut

dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi pelaku usaha

peternakan terutama peternakan rakyat kecil. Kerugian yang sering terjadi dapat

berupa kegagalan bunting, pengulangan inseminasi, dan biaya pengobatan.

Oleh karena itu masalah gangguan reproduksi harus dapat ditangani secara baik

dan benar.

Penanganan gangguan reproduksi terutama ditingkat peternakan rakyat masih

belum optimal. Akibat keadaan ini, beberapa peternak terpaksa menjual

sapi/kerbau miliknya yang secara fisiologis masih produktif dengan harga murah

karena ketidaktahuannya dalam mengatasi masalah tersebut. Adanya

kesenjangan ini memerlukan sosialisasi teknologi inovatif penanggulangan

gangguan reproduksi pada sapi/kerbau, dengan harapan agar induk yang masih

produktif dapat berproduksi kembali, sehingga memacu semangat beternak.

Page 315: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

309

Pelaksanaan gertak berahi dan IB yang didukung dengan penanggulangan

gangguan reproduksi yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan

terkoordinasi dapat menjadi langkah yang tepat dalam upaya percepatan

peningkatan populasi ternak di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian

Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan berupaya

mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik

melalui peningkatan populasi dan produksi ternak sapi dan kerbau, dengan

melaksanakan kegiatan percepatan peningkatan populasi melalui gertak/

sinkronisasi berahi dan optimalisasi inseminasi buatan (GBIB) serta penanganan

gangguan reproduksi pada Ternak sapi / kerbau. Melalui anggaran APBN-P tahun

2015, kegiatan penanganan gangguan reproduksi pada ternak sapi / kerbau di

Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur ditargetkan 21.750

ekor menjadi tanggung jawab Balai Besar Veteriner Denpasar.

Tujuan Kegiatan

Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi ini, bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi kasus gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

2. Menangani kasus gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

3. Mengetahui situasi penyakit Brucellosis dan IBR pada ternak yang mengalami

gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

MATERI DAN METODE

Materi

Beberapa bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam penanganan

gangguan reproduksi antara lain hormon GnRH, hormon HCG/LH, Hormon

PMSG, hormon prostaglandin, antibiotika, multivitamin, mineral, obat antiparasit

gastrointestinal, povidon iodin, kalsium boroglukonas dan infuset, USG,

timbangan sapi, fetotomy set, spuit, glove, ice box, PCR kit IBR, Kit RBPT dan

CFT untuk Brucellosis dan sebagainya.

Page 316: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

310

Metode

Penanggulangan gangguan reproduksi meliputi identifikasi gangguan reproduksi

dan penanganan gangguan reproduksi. Kriteria ternak yang akan dilakukan

penanganan untuk pemeriksaan gangguan reproduksi adalah ternak dengan

anamnese sebagai berikut:

a. Ada discharge abnormal

b. Ada siklus estrus abnormal

c. Estrus tidak teramati setelah 50 hari melahirkan

d. Dikawinkan 2 kali tidak bunting

e. Sapi yang bunting lebih dari 280 hari

f. Sapi yang pernah mengalami retensi plasenta, abortus, melahirkan prematur

atau lahir mati dan tak pernah estrus lagi.

Pemeriksaan dilakukan terhadap sapi betina produktif yang memperlihatkan

kriteria gangguan reproduksi. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan status

reproduksinya dan status kesehatan ternak khususnya terhadap ada tidaknya

penyakit reproduksi (Brucellosis dan IBR). Pemeriksaan status reproduksi

dilakukan dengan cara:

a. Inspeksi melalui Body Condition Score dan Present status

b. Palpasi per rektum dan per vagina

c. Menggunakan alat USG

d. Laboratoris dengan pengambilan dan pemeriksaan sampel darah (serum)

dan discharge vagina (swab)

Penentuan diagnosa gangguan reproduksi dilakukan oleh medik reproduksi

sesuai dengan hasil pemeriksaan fungsi organ reproduksi. Hasil pemeriksaan,

diagnosa, dan pengobatan gangguan reproduksi sebagai dasar untuk

menentukan ternak tersebut dapat disembuhkan (fausta) atau tidak dapat

disembuhkan (infausta). Kasus gangguan reproduksi yang bersifat tidak

pernanen (infertil), masih bisa disembuhkan gangguan reproduksinya.

Sementara kasus gangguan reproduksi yang bersifat permanen (steril), tidak

bisa disembuhkan. Untuk kasus yang bersifat fausta dilakukan tindakan atau

pengobatan untuk penyembuhan (berahi secara), sedangkan pada kasus

infausta dilakukan tindakan culling.

Page 317: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

311

Pengambilan dan pengujian sampel dari kasus gangguan reproduksi yang

ditangani ditargetkan 1000 sampel. Dari sampel tersebut dilakukan pengujian

laboratorium terhadap penyakit hewan yang menimbulkan gangguan reproduksi

yaitu brucellosis dan IBR. Sampel yang diambil adalah serum untuk pengujian

brucellosis dan swab vagina untuk pengujian IBR. Sampel serum diuji secara

bertahap dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) sebagai uji screening dan

apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi Complemen Fixation

Test (CFT) (Alton et al., 1975; OIE, 2009). Sampel swab nasal / vagina untuk

mendeteksi agen IBR diuji dengan metode PCR.

HASIL

1. Jumlah Kasus Gangguan ReproduksiJumlah kasus gangguan reproduksi di wilayah kerja Balai Besar Veteriner

Denpasar yaitu Provinsi Bali, NTB, dan NTT yang ditemukan adalah sebanyak

4.232 kasus atau 19,46% dari 21.750 kasus yang menjadi target pada kegiatan

tahun 2015. Untuk Provinsi Bali, dari 7.500 kasus yang ditargetkan hanya 264

(3,52%) yang teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi di lokasi-lokasi

GBIB, sedangkan di Provinsi NTB dan NTT, sapi teridentifikasi mengalami

gangguan reproduksi, masing-masing 3.448 (51,08%) dari 6.750 kasus yang

ditargetkan dan 520 (6,93%) dari 7.500 kasus yang ditargetkan, disajikan pada

Tabel 1, 2, 3, dan 4.

Tabel 1. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi BaliTahun 2015

No Kabupaten Target KasusGangrep Jumlah Kasus Persentase realisasi

1 Karangasem 1110 25 2,252 Buleleng 675 30 4,443 Bangli 990 43 4,344 Klungkung 1.050 29 2,765 Gianyar 840 22 2,626 Badung 960 54 5,637 Tabanan 975 33 3,388 Jembrana 900 28 3,11

Page 318: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

312

Jumlah 7.500 264 3,52Tabel 2. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi

Nusa Tenggara Barat Tahun 2015

No Kabupaten Target KasusGangrep

JumlahKasus Persentase realisasi

1 Bima 450 496 110,222 Kota Bima 75 14 18,673 Lombok Tengah 1.500 381 25,404 Lombok Timur 1.500 1.049 69,935 Dompu 300 339 113,006 Lombok Barat 1.200 498 41,507 Sumbawa 450 420 93,338 Sumbawa Barat 75 52 69,339 Lombok Utara 1.200 199 16,58

Jumlah 6.750 3.448 51,08

Tabel 3. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di ProvinsiNusa Tenggara Timur Tahun 2015

No KabupatenTargetKasus

GangrepJumlahKasus

Persentaserealisasi

1 Kupang 2.490 17 0,682 Kota Kupang 75 8 10,67

3Timor TengahSelatan 780 0 0,00

4 Timor Tengah Utara 780 82 10,515 Belu 750 67 8,936 Malaka 900 18 2,007 Rotendau 720 94 13,068 Manggarai 225 86 38,229 Ngada 150 19 12,67

10 Nagekeo 315 37 11,7511 Ende 165 58 35,1512 Sikka 150 34 22,67

Jumlah NTT 7.500 520 6,93

Page 319: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

313

Tabel 4. Jumlah Kasus Gangguan Reproduksi yang Ditangani di ProvinsiBali , NTB, dan NTT Tahun 2015

ProvinsiTargetKasus

GangrepJumlahKasus

Persentaserealisasi

Bali 7.500 264 3,52 NTB 6.750 3.448 51,08 NTT 7.500 520 6,93

Jumlah 21.750 4.232 19,46

Identifikasi jenis gangguan reproduksi di masing-masing provinsi disajikan pada

Tabel 5, 6, 7, dan 8. Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas medik

veteriner gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT diperoleh bahwa

kasus hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi yaitu sebanyak 1.421 kasus

(33,6%), selanjutnya endometritis 952 kasus (22,5%), dan repeat breeder 857

kasus (20,3%).

Tabel 5. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang Ditangani di Provinsi Bali Tahun

2015Jenis Kasus Gangguan Reproduksi

NoKabupaten

CLP SF Endo HO RB SH PIO TS HP AT SB Vul SOv AnP VgTotal

1 Karangasem 8 3 4 10 25

2 Buleleng 30 30

3 Bangli 9 29 3 2 43

4 Klungkung 7 22 29

5 Gianyar 12 2 1 3 2 2 22

6 Badung 46 7 1 54

7 Tabanan 27 2 4 33

8 Jembrana 4 3 1 20 28

Jumlah 40 6 3 174 7 24 3 3 2 2 0 0 0 0 0 264

Persentase per

Kasus 15,2 2,3 1,1 65,9 2,7 9,1 1,1 1,1 0,8 0,8 0 0 0 0 0

Page 320: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

314

Tabel 6. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang ditangani di Provinsi NTB

Tahun 2015

Jenis Kasus Gangguan ReproduksiNo Kabupaten

CLP SF Endo HO RB SH PIO TS HP AT SB Vul SOv AnP VgTotal

1 Bima 58 30 303 58 43 4 496

2 Kota Bima 4 9 1 14

3LombokTengah 22 11 99 87 68 90 4 381

4LombokTimur 41 11 277 323 186 200 11 1049

5 Dompu 9 24 95 72 135 0 4 339

6LombokBarat 21 23 140 75 188 48 3 498

7 Sumbawa 1 191 23 88 109 8 420

8SumbawaBarat 22 23 5 2 52

9LombokUtara 5 27 17 32 88 30 199

Jumlah 99 154 875 947 817 522 34 0 0 0 0 0 0 0 0 3448 Persentase per

Kasus 2,9 4,5 25,4 27,5 23,7 15,1 0,99 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 7. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang ditangani di Provinsi NTT

Tahun 2015

Jenis Kasus Gangguan ReproduksiNo Kabupaten

CLP SF Endo HO RB SH PIO TS HP AT SB Vul SOv AnP VgTotal

1 Kupang 1 7 8 1 17

2 Kota Kupang 1 5 2 8

3Timor TengahSelatan 0

4Timor TengahUtara 82 82

5 Belu 9 1 11 32 5 9 67

6 Malaka 18 18

7 Rotendau 3 3 88 94

8 Manggarai 6 5 18 24 14 16 3 86

9 Ngada 2 1 11 5 19

10 Nagekeo 10 3 22 1 1 37

11 Ende 1 17 14 16 5 3 1 1 58

12 Sikka 30 1 1 1 1 34

Jumlah 30 10 74 305 33 52 5 0 0 0 5 3 1 1 1 520Peersentase per

Kasus 5,8 1,9 14,2 58,7 6,3 10 0,96 0 0 0 0,96 0,6 0,2 0,2 0

Page 321: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

315

Tabel 8. Hasil Identifikasi Jenis Gangguan Reproduksi yang ditangani di Provinsi Bali,

NTB, dan NTT Tahun 2015

Jenis Kasus Gangguan ReproduksiProvinsi

CLP SF Endo HO RB SH PIO TS HP AT SB Vul SOv AnP VgTotal

Bali 40 6 3 174 7 24 3 3 2 2 0 0 0 0 0 264

% 15,2 2,27 1,13 65,9 2,65 9,1 1,13 1,1 0,76 0,76 0 0 0 0 0

NTB 99 154 875 947 817 522 34 0 0 0 0 0 0 0 0 3448

% 2,87 4,47 25,4 27,5 23,7 15 0,98 0 0 0 0 0 0 0 0

NTT 30 10 74 300 33 52 5 0 0 0 5 3 1 1 1 515

% 5,82 1,94 14,4 58,5 6,41 10 0,97 0 0 0 0,97 0,6 0,19 0,19 0,19

Jumlah 169 170 952 1421 857 598 42 3 2 2 5 3 1 1 1 4227

% 3,99 4,02 22,5 33,6 20,3 14 0,99 0,1 0,05 0,05 0,12 0,1 0,02 0,02 0,02

KeteranganCLP = Curpus Luteum Persisten RB = Repeat Breeding HP = HipoplasiaSF = Sistik Folikel SH = Silent Heat AT = Atresia ServikEnd = Endometritis PIO = Piometra Sb = Sub EstrusHO = Hipofungsi Ovary TS = Tumor Servik Vul = VulvitisSO = Sistik Ovary Vag = Vaginitis AnP = Anestrus Post Partus

2. Hasil Penanganan Kasus Gangguan Reproduksi dan TingkatKesembuhan

Keberhasilan penanganan kasus gangguan reproduksi ditentukan dengan

tingkat kesembuhan atau ternak yang ditangani mengalami birahi yang normal

kembali. Dari 4.232 kasus yang ditangani di Provinsi Bali, NTB, dan NTT

sebanyak 3.927 (92,79%) berhasil sembuh. Masing-masing di Provinsi Bali 156

(59,09%), NTB 3.360 (97,45%), dan Provinsi NTT 411 (79,04%), seperti pada

Tabel 9, 10, 11, dan 12.

Tabel 9. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus GangguanReproduksi di Provinsi Bali , NTB, dan NTT Tahun 2015

Provinsi JumlahKasus

KasusSembuh

Kasus Tidaksembuh Persentase Sembuh

Bali 264 156 108 59,09NTB 3448 3360 88 97,45NTT 520 411 109 79,04

Page 322: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

316

Jumlah 4232 3927 305 92,79

Tabel 10. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus GangguanReproduksi di Provinsi Bali Tahun 2015

No Kabupaten JumlahKasus

KasusSembuh

KasusTidak

sembuh

PersentaseSembuh

1 Karangasem 25 14 11 562 Buleleng 30 2 28 6,673 Bangli 43 32 11 74,424 Klungkung 29 7 22 24,145 Gianyar 22 19 3 86,366 Badung 54 25 29 46,307 Tabanan 33 32 1 96,978 Jembrana 28 25 3 89,29

Jumlah 264 156 108 59,09

Tabel 11. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus GangguanReproduksi di Provinsi NTB Tahun 2015

No Kabupaten JumlahKasus

KasusSembuh

KasusTidak

sembuh

PersentaseSembuh

1 Bima 496 496 0 100,002 Kota Bima 14 14 0 100,003 Lombok Tengah 381 381 0 100,004 Lombok Timur 1049 979 70 93,335 Dompu 339 329 10 97,056 Lombok Barat 498 495 3 99,407 Sumbawa 420 420 0 100,008 Sumbawa Barat 52 52 0 100,009 Lombok Utara 199 194 5 97,49

Jumlah 3448 3360 88 97,45

Page 323: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

317

Tabel 12. Hasil Penanganan dan Tingkat Kesembuhan Kasus GangguanReproduksi di Provinsi NTT Tahun 2015

No Kabupaten JumlahKasus

KasusSembuh

KasusTidak

sembuh

PersentaseSembuh

1 Kupang 17 16 1 94,12

2 Kota Kupang 8 7 1 87,50

3 Timor Tengah Selatan 0 0 0,00

4 Timor Tengah Utara 82 79 3 96,34

5 Belu 67 67 0 100,00

6 Malaka 18 18 0 100,00

7 Rotendau 94 38 56 40,43

8 Manggarai 86 47 39 54,65

9 Ngada 19 10 9 52,63

10 Nagekeo 37 37 0 100,00

11 Ende 58 58 0 100,00

12 Sikka 34 34 0 100,00

Jumlah 520 411 109 79,04

3. Hasil Pengujian Laboratorium terhadap Brucellosis dan IBR

Dari 1000 sampel yang ditargetkan pada DIPA BBVet Denpasar tahun 2015

dapat direalisasikan sebanyak 1.369 sampel, yang terdiri dari 945 serum dan

424 swab nasal / vagina. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa 6 sampel

(3,7%) dari 163 sampel yang berasal dari NTT positif antibodi Brucella abortus.

Sampel swab nasal / vagina yang diuji terhadap Iinfectious Bovine

Rhinotracheitis dengan metode PCR di seluruh kabupaten /kota lokasi GBIB

menunjukkan semuanya negatif virus IBR (Tabel 13, 14, dan 15).

Page 324: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

318

Tabel 13. Target, Realisasi Perolehan Sampel dari Kasus GangguanReproduksi dan Hasil Uji Brucellosis serta IBR di Provinsi NTTTahun 2015.

Target Sampel Realisasi Sampel Hasil UjiNo Kabupaten

SerumSwabNasal/Vagina

SerumSwab

Nasal /Vagina

Brucellosis IBR

1 Kupang 115 25 13 13 Negatif Negatif2 Kota Kupang 4 1 4 4 Negatif Negatif3 TTS 36 8 0 0 Negatif Negatif4 TTU 36 8 36 7 Negatif Negatif5 Belu 35 8 10 2 6 positif Negatif6 Malaka 42 9 18 9 Negatif Negatif7 Rotendau 35 7 36 7 Negatif Negatif8 Manggarai 11 2 12 5 Negatif Negatif9 Ngada 7 2 7 7 Negatif Negatif

10 Nagekeo 15 3 8 8 Negatif Negatif11 Ende 8 2 11 11 Negatif Negatif12 Sikka 7 2 8 8 Negatif Negatif

Jumlah 351 77 163 81 6 Positif Negatif

Tabel 14. Target, Realisasi Perolehan Sampel dari Kasus GangguanReproduksi dan Hasil Uji Brucellosis serta IBR di Provinsi BaliTahun 2015.

Target Sampel Realisasi Sampel Hasil UjiNo Kabupaten

SerumSwabNasal/Vagina

SerumSwab

Nasal /Vagina

Brucellosis IBR

1 Karangasem 52 11 25 11 Negatif Negatif2 Buleleng 32 7 30 7 Negatif Negatif3 Bangli 47 10 43 10 Negatif Negatif4 Klungkung 50 11 20 10 Negatif Negatif5 Gianyar 40 8 14 8 Negatif Negatif6 Badung 45 10 45 10 Negatif Negatif7 Tabanan 46 10 31 6 Negatif Negatif8 Jembrana 42 9 24 9 Negatif Negatif

Jumlah 354 76 232 71 Negatif Negatif

Page 325: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

319

Tabel 15. Target, Realisasi Perolehan Sampel dari Kasus GangguanReproduksi dan Hasil Uji Brucellosis serta IBR di Provinsi NTBTahun 2015.

Target Sampel Realisasi Sampel Hasil UjiNo Kabupaten

SerumSwabNasal/Vagina

SerumSwab

Nasal /Vagina

Brucellosis IBR

1 Bima 21 5 26 3 Negatif Negatif2 Kota Bima 4 1 3 2 Negatif Negatif3 Lombok Tengah 70 15 70 15 Negatif Negatif4 Lombok Timur 70 15 149 90 Negatif Negatif5 Dompu 14 3 84 55 Negatif Negatif6 Lombok Barat 56 12 115 72 Negatif Negatif7 Sumbawa 21 5 35 12 Negatif Negatif8 Sumbawa Barat 4 1 25 5 Negatif Negatif9 Lombok Utara 56 12 43 18 Negatif Negatif

Jumlah 316 69 550 272 Negatif Negatif

PEMBAHASAN

Penanganan Gangguan Reproduksi

Hasil penanganan kasus gangguan reproduksi di wilayah kerja Balai Besar

Veteriner Denpasar yaitu Provinsi Bali, NTB, dan NTT sebanyak 4.232 kasus

atau 19,46% dari 21.750 kasus yang menjadi target pada kegiatan tahun 2015.

Untuk Provinsi Bali, dari 7.500 kasus yang ditargetkan hanya 264 (3,52%) yang

teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi di lokasi-lokasi GBIB, sedangkan

di Provinsi NTB dan NTT, sapi teridentifikasi mengalami gangguan reproduksi,

masing-masing 3.448 (51,08%) dari 6.750 kasus yang ditargetkan dan 520

(6,93%) dari 7.500 kasus yang ditargetkan. Secara umum, rendahnya

pencapaian pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi tahun 2015 di

wilayah kerja BBVet Denpasar disebabkan karena waktu kegiatan yang relatif

pendek, kurangnya koordinasi antara kegiatan GBIB dan Gangrep di tingkat

lapangan, sehingga menyebabkan terlambatnya pelaksanaan kegiatan,

kesulitan dalam pengumpulan ternak, SDM medik veteriner yang terbatas

Page 326: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

320

jumlahnya dengan tugas-tugas teknis lain seperti pengendalian dan

pemberantasan penyakit hewan menular yang juga harus dikerjakan.

Identifikasi jenis gangguan reproduksi berdasarkan hasil pemeriksaan yang

dilakukan oleh petugas medik veteriner gangguan reproduksi di Provinsi Bali,

NTB, dan NTT diperoleh bahwa kasus hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi

yaitu sebanyak 1.421 kasus (33,6%), selanjutnya endometritis 952 kasus

(22,5%), repeat breeder 857 kasus (20,3%) dan silent heat 598 kasus (14%).

Tingginya persentase kejadian hipofungsi ovari (menurunnya fungsi ovari), dan

silent heat merupakan fakta rendahnya kinerja reproduksi. Kondisi ini sangat

mungkin disebabkan oleh kurangnya pakan atau menurunnya kualitas pakan.

Menurut Baker (2014), kualitas dan kuantitas pakan merupakan komponen

paling utama keberhasilan usaha peternakan. Kondisi ternak yang mengalami

defisiensi nutrisi atau malnutrisi sangat umum dijumpai di Indonesia, terutama

pada musim kemarau panjang sehingga terjadi kelangkaan hijauan pakan ternak

maupun limbah pertanian lainnya. Asupan nutrisi berpengaruh langsung pada

kemampuan reproduksi sapi. Jumlah nutrisi yang mencukupi akan mendorong

proses biologis sapi. Kekurangan pakan khususnya untuk daerah tropis

merupakan salah satu penyebab kemajiran pada ternak betina. Adanya

infertilitas metabolik sangat erat kaitannya dengan malnutrisi yang pada akhirnya

akan menyebabkan rendahnya kinerja reproduksi ternak sapi tersebut

(Donalson, 2014).

Kasus gangguan reproduksi berupa kawin berulang dan endometritis telah

didiagnosa di lapangan oleh medik veteriner dengan persentase yang cukup

tinggi terutama di Provinsi NTB yang melakukan program IB secara intensif. Hal

ini mengindikasikan bahwa terjadinya peradangan pada endometrium yang

kemungkinan disebabkan karena terjadi kontaminasi mikroba penyebab

peradangan pada saat melakukan IB, penanganan retensi plasenta, atau saat

membantu proses kesulitan melahirkan (distokia) yang lege artis akibat

persilangan dengan breed yang berukuran lebih besar seperti simental dan

limosin. Hasil penanganan gangguan reproduksi di wilayah kerja BBVet

Denpasar, sesuai dengan pendapat Putro (2013), yang menyatakan bahwa

Page 327: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

321

kasus kawin berulang pada akseptor IB diperkirakan 80% akibat endometritis

sub klinis.

Kriteria keberhasilan penanganan gangguan reproduksi adalah apabila kondisi

ternak yang telah dilakukan penanganan gangguan reproduksi dapat

menunjukkan estrus secara normal dan siap untuk di IB. Tingkat kesembuhan

dari kasus gangguan reproduksi di Provinsi Bali, NTB, dan NTT secara

keseluruhan sangat baik yaitu 92,76%. Capaian tingkat kesembuhan ini berada

di atas yang ditargetkan secara nasional yakni 40%. Hasil ini menunjukkan

bahwa penanganan gangguan reproduksi telah sesuai dengan prosedur

operasional dan ditangani secara profesional.

Pengujian terhadap Brucellosis dan Infectious Bovine Rhinotracheitis

Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis di Indonesa

karena dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pulau Bali

sudah dinyatakan bebas brucellosis secara historis. Sedangkan Pulau Lombok

berhasil dibebaskan dari brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002 melalui surveilan secara massal

selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa

pada tahun 2006 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

97/Kpts/PO.660/2/2006).

Pengujian terhadap sampel serum dari sapi yang mengalami gangguan

reproduksi di Provinsi Bali dan Provinsi NTB menunjukkan hasil negatif antibodi

brucella. Hal ini berarti tidak ditemukan adanya reactor brucellosis, sehingga

hasil pengujian ini dapat memperkuat bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan

NTB masih bebas dari brucellosis.

Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa

Tenggara Timur, positif antibody Brucella abortus ditemukan sebanyak 6 dari

163 sampel serum yang diuji (3,7%). Seperti diketahui bahwa daratan P.Timor

merupakan wilayah tertular Brucellosis dengan prevalensi bervariasi diantara

kabupaten yang ada. Daerah tertular ringan (Prevalensi <2%) yaitu di

Page 328: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

322

Kabupaten TTS, Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, sedangkan daerah

tertular berat (prevalensi >2%) di Kabupaten TTU dan Belu. Di Kabupaten Belu,

penanganan brucellosis pernah dilakukan dengan vaksinasi dan pemotongan

bersyarat reaktor. Dengan adanya hasil 6 positif antibodi brucella abortus pada

ternak yang mengalami gangguan reproduksi di kabupaten Belu pada tahun

2015 belum dapat dipastikan apakah ternak tersebut merupakan reaktor (infeksi

alam) ataukah antibodi yang terdeteksi merupakan hasil vaksinasi, karena uji

laboratorium yang dipakai (CFT) belum bisa membedakan antibodi yang berasal

dari hasil vaksinasi atau infeksi alam. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran

lebih lanjut tentang sejarah vaksinasi ternak serta data pendukung lainnya.

Guna menghindari penyebaran yang lebih luas maka pada daerah yang tertular

perlu dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas ternak terutama untuk ternak

bibit. Sedangkan untuk mempertahankan status bebas suatu wilayah seperti

Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, perlu dilakukan surveilans secara

berkelanjutan dengan jumlah sampel yang representatif guna mengetahui sedini

mungkin adanya reaktor brucellosis.

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit virus yang sangat

menular yang disebabkan oleh bovine herpes virus-1 (BHV-1) (Rola et al.,

2005). Penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang menyebabkan infeksi

saluran pernafasan dan infeksi saluran reproduksi yang menyebabkan

keguguran. Secara serologik, kejadian seroprevalensi IBR diwilayah kerja BBVet

Denpasar tahun 2014 telah dilaporkan yakni Bali (0%), NTB (25,32%)

sedangkan NTT (8,01%). Penelusuran catatan status vaksinasi diwilayah kerja

Balai Besar Veteriner Denpasar diperoleh informasi bahwa tidak pernah

dilakukan program vaksinasi IBR terhadap ternak sapi yang diambil sampelnya.

Hal ini meningkatkan kecurigaan terhadap terjadinya infeksi alam pada ternak

yang terdeteksi seropositif IBR. Sementara uji PCR terhadap sampel swab nasal

/ vagina dari sapi yang mengalami gangguan reproduksi untuk mendeteksi

keberadaan antigen virus penyebab IBR menunjukkan hasil negatif. Walaupun

PCR dinyatakan sebagai perangkat uji yang sensitif dan spesifik (Rola et al.,

2005). Tidak terdeteksinya antigen virus tersebut kemungkinan disebabkan

Page 329: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

323

karena virus ini dapat menginfeksi laten sel host. Berdasarkan pathogenesis,

setelah infeksi, virus penyebab IBR akan menyebar dari infeksi lokal ke sistem

saraf melalui sel saraf tepi hingga mencapai ganglia trigeminal dan menetap

(bersifat laten). Selain itu limfoglandula dan mukosa hidung juga disebut sebagai

tempat virus laten. Hewan yang terinfeksi secara laten bertindak sebagai

pembawa virus (carrier) dan merupakan sumber penyebaran penyakit.

Walaupun kondisi ternak sapi tidak menunjukkan gejala klinis, shedding virus

dengan interval yang tidak teratur dapat terjadi bila terjadi reaktivasi virus.

Reaktivasi virus dapat dipicu oleh kondisi ternak stress, pemberian obat

corticosteroid, atau adanya infeksi mikroorganisme pathogen.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan :1. Kasus gangguan reproduksi yang ditemukan di Provinsi Bali, NTB, dan NTT

adalah sebanyak 4.232 kasus atau 19,46% dari target 21.750 kasus.

2. Identifikasi kasus menunjukkan hypofungsi ovari ditemukan paling tinggi

yaitu sebanyak 1.421 kasus (33,6%), disusul endometritis 952 kasus

(22,5%), repeat breeder 857 kasus (20,3%), silent heat (14%) dan kasus

ganggrep lainnya.

3. Tingkat kesembuhan dari penanganan kasus gangguan reproduksi secara

keseluruhan sangat baik yaitu 92,76% (Target secara nasional 40%).

4. Pengujian terhadap sampel serum dari sapi yang mengalami gangguan

reproduksi di Provinsi Bali dan Provinsi NTB menunjukkan hasil negatif

antibodi brucella, sedangkan di Provinsi NTT seroprevalensinya 3,7%.

5. Uji PCR terhadap sampel swab nasal / vagina dari sapi yang mengalami

gangguan reproduksi untuk mendeteksi keberadaan antigen virus penyebab

IBR menunjukkan hasil negatif.

Saran :Perlu dilakukan surveillan yang intensif dan berkelanjutan dengan jumlah sampel

yang representatif sebagai langkah deteksi dini dan pemetaan penyakit.

Page 330: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

324

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Veteriner

Denpasar atas kepercayaan yang diberikan untuk mengkoordinasikan kegiatan

gangguan reproduksi di wilayah kerja BBVet Denpasar. Serta kepada Kepala

Dinas Provinsi dan Kabupaten / Kota yang membidangi fungsi peternakan dan

kesehatan hewan beserta staf atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya yang

baik selama kegiatan.

Page 331: LAPORAN TEKNIS - bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.idbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../2018/05/LAPORAN-TEKNIS-2015.pdf · Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang

LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

325

DAFTAR PUSTAKA

Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M., (1975). Techniques for The BrucellosisLaboratory : 81-87.

Baker, J. J. 2014. Beef Cattle Production in Tropics.Florentina Publishing Co, Glassgow.

Direktorat Kesehatan Hewan, 2014. Pedoman Teknis Pelaksanaan Penanganan GangguanReproduksi Ternak Sapi dan Kerbau. Direktorat Jenderal Peternakan dan KesehatanHewan. Kementerian Pertanian.

Donaldson, R. 2014. Beef catlle breeding: Principles and problems. Rockwell Press, Sydney.

Kementerian Pertanian, 2015. Peraturan Menteri Pertanian No.373/Kpts/HK.030/F/04/2015tentang Pedoman Teknis Percepatan Peningkatan Populasi Melalui Gertak / SinkronisasiBerahi dan Optimalisasi Inseminasi Buatan (GBIB) serta Penangulangan GangguanReproduksi pada Ternak Sapi dan / atau Kerbau APBNP tahun 2015.

OIE (2009), Bovine Brucellosis. Chapter 11.3, article 11.3.2 dan 11.3.3: 581 - 584.

Putro, P.P., 2013. Bentuk gangguan reproduksi sapi akseptor IB di Indonesia. Journal SainVeteriner 15: 36-41.

Rola, J., Larska, M., and Polak, M.P., 2005. Detection of Bovine Herpesvirus 1 from an Outbreakof Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bull Vet Inst Pulawy 49 : 267-271.