lapkas neuro jelesten newest
Post on 24-Dec-2015
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pada tahun 1894, Devic dan Gault menyatakan karakteristik NMO adalah neuritis
optik dan acute transverse myelitis.Neuromyelitis optica (NMO) atau disebut juga
dengan Devic’s Disease merupakan demielinasi pada sistem saraf pusat dimana
terjadinya peradangan yang dominan mengenai saraf optik dan medulla spinalis.1
Demielinasi adalah gejala rusaknya selubung myelin pada neuron. Pada beberapa
referensi juga menyatakan bahwa sebagian besar kasus NMO adalah idiopatik dengan
proses autoimun. Predisposisi yang utama termasuk penyakit pulmonar TB, SLE,
infeksi virus varicella, dan HIV.2
Ditemukannya autoantibodi spesifik NMO-IgG pada NMO dapat
membedakan NMO dari Multiple Sclerosis. NMO-IgG bereaksi dengan kanal air
Aquaporin 4. Data menjelaskan bahwa autoantibodi terhadap Aquaporin 4 yang
dihasilkan oleh sel B menyebabkan aktivasi komplemen, demielinasi dan kerusakan
saraf yang dapat dilihat pada NMO.1
Penyakit NMO adalah penyakit yang jarang terjadi. Prevalensi NMO terjadi
Sembilan kali lebih banyak pada wanita dibanding pria. Median onset berkisar pada
umur 39 tahun dan dapat juga terjadi pada anak-anak dan orang tua. Penyakit ini lebih
banyak pada orang Asia Timur dan non kulit putih lainnya di seluruh dunia. Jika
penyakit ini dihubungkan dengan multiple sclerosis, maka kebanyakan pasien dengan
neuromyelitis optica di negara maju adalah orang berkulit putih.3,4
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk melaporkan kasus
meningitis yang ditemukan di lapangan dan membandingkannya dengan landasan
teori yang sesuai. Penyusunan makalah ini sekaligus dilakukan untuk memenuhi
1
persyaratan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis, pada
umumnya, maupun pembaca, pada khususnya, untuk mengintegarasikan teori yang
ada dengan aplikasi kasus yang ditemui di lapangan.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. ANAMNESIS
2.1.1. IDENTITAS PRIBADI
Nama : JS
Jenis kelamin : laki-laki
Usia : 51 tahun
Suku bangsa : Batak
Agama : Kristen
Alamat : Jalan Lingga No. 27 Pegagan Julu, Sumbul
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : petani
Tanggal msuk : 2 Mei 2014
2.1.2. ANAMNESA
Keluhan utama : lemah kedua tungkai
Telaah : hal ini dialami os sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah
sakit secara perlahan. Awalnya os merasa kebas pada tungkai kiri
kemudian keesokan harinya ke tungkai kanan. Dua minggu sebelumnya os
menyatakan mata kiri tiba-tiba tidak bisa melihat pada saat bangun tidur di
pagi hari, diikuti mata kanannya pada siang hari dan hal ini masih
dirasakan sampai sekarang. Sebelumnya os mengaku tidak pernah
mengalami penglihatan kabur. Dua hari sebelum masuk Rumah Sakit os
mengeluhkan kesulitan BAK dan BAB, semakin memberat belakangan ini.
Riwayat trauma (-), riwayat angkat beban berat (-), riwayat nyeri kepala (-),
riwayat kejang (-), muntah menyembur (-), konsumsi alkohol (-), merokok
3
sesekali sebanyak 1-2 batang sehari, riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes
melitus (-), riwayat penyakit jantung (-).
Riwayat penyakit terdahulu : dyspepsia
Riwayat penggunaan obat : antasida
2.1.3. ANAMNESA TRAKTUS
Traktus sirkulatorius : akral hangat, CRT < 3 detik
Traktus respiratorius : batuk (-), pilek (-)
Traktus digestivus : sulit BAB (+) 2 hari SMRS
Traktus urogenitalis : sulit BAK (+) 2 hari SMRS
Penyakit terdahulu dan kecelakaan : (-)
Intoksikasi dan obat-obatan : (-)
2.1.4. ANAMNESA KELUARGA
Faktor herediter : penyakit DM pada ibu os
Faktor familier : (-)
Lain-lain : (-)
2.1.5. ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran dan pertumbuhan: dalam batas normal
Imunisasi : tidak jelas
Pendidikan : tamat SMA
Pekerjaan : petani
Perkawinan dan anak : I dengan 6 anak
2.2. PEMERIKSAAN JASMANI
2.2.1. PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan darah : 130/70
Nadi : 92x/menit
4
Frekuensi nafas : 20x/menit
Temperature : 36,30 C
Kulit dan selaput lendir : dalam batas normal
Kelenjar dan getah bening : pembesaran KGB (-)
Persendian : nyeri sendi (-)
2.2.2. KEPALA DAN LEHER
Bentuk dan posisi : bulat, medial
Pergerakan : normal
Kelainan panca indra : buta
Rongga mulut dan gigi : dalam batas normal
Kelenjar parotis : dalam batas normal
Desah : bruit carotis (-)
Dan lain-lain : (-)
2.2.3. RONGGA DADA DAN ABDOMEN
Rongga dada Rongga abdomen
Inspeksi : Simetris fusiform Simetris
Palpasi : Stem Fremitus Ka=Ki Soepel
Perkusi : Sonor Timpani
Auskultasi : Vesikuler Peristaltik (+) Normal
2.2.4. GENITALIA
Toucher : tdp
5
2.3. STATUS NEUROLOGI
2.3.1. SENSORIUM : CM
2.3.2. KRANIUM
Bentuk : oval
Fontanella : tertutup
Palpasi : dalam batas normal
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : dalam batas normal
Transiluminasi : tdp
2.3.3. PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski II : (-)
2.3.4. PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Muntah : (-)
Sakit kepala : (-)
Kejang : (-)
2.3.5. SARAF OTAK / NERVUS KRANIALIS
NERVUS I meatus nasal dextra meatus nasal sinistra
Normosmia : (+) (+)
Anosmia : (-) (-)
Parosmia : (-) (-)
Hiposmia : (-) (-)
6
NERVUS II Oculi Dextra Oculi Sinistra
Visus : 0 0
Lapangan pandang
Normal : tdp
Menyempit : tdp
Hemianopsia : tdp
Scotoma : tdp
Reflex ancaman : (-) (-)
Fundus okuli : tdp
NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra Oculi Sinistra
Gerakan bola mata : dbn dbn
Nistagmus : (-) (-)
Pupil
Lebar : 4mm 4mm
Bentuk : bulat bulat
Reflex cahaya langsung: (-) (-)
Reflex cahaya tidak langsung: (-) (-)
Rima palpebra : dbn dbn
Deviasi conjugate : (-) (-)
Fenomena doll’s eye : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
7
NERVUS V Kanan Kiri
Motorik
Membuka dan menutup mulut: (+) (+)
Palpasi otot masseter & temporalis: dbn dbn
Kekuatan gigitan : dbn dbn
Sensorik
Kulit : dbn
Selaput lendir : dbn
Refleks kornea
Langsung : (+) (+)
Tidak langsung : (+) (+)
Refleks masseter : dbn
Refleks bersin : tdp
NERVUS VII Kanan Kiri
Motorik
Mimik : dbn dbn
Kerut kening : dbn dbn
Menutup mata : dbn dbn
Meniup sekuatnya : dbn dbn
Memperlihatkan gigi : dbn dbn
Tertawa : dbn dbn
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah: dbn dbn
Produksi kelenjar ludah: (+) (+)
Hiperakusis : (-) (-)
Rekfleks stapedial : (+) (+)
8
NERVUS VIII Kanan Kiri
Auditorius
Pendengaran : (+) (+)
Tes rinne : tdp tdp
Tes weber : tdp tdp
Tes schwabach : tdp tdp
Vestibularis
Nistagmus : (-) (-)
Reaksi kalori : tdp tdp
Vertigo : (-) (-)
Tinnitus : (-) (-)
NERVUS IX, X
Pallatum molle : dbn
Uvula : dbn
Disfagia : (-)
Disartria : (-)
Disfonia : (-)
Refleks muntah : tdp
Pengecapan 1/3 belakang lidah : dbn
NERVUS XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : dbn dbn
Fungsi otot sternocleidomastoideus: dbn dbn
NERVUS XII
Lidah
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
9
Fasikulasi : (-)
Ujung lidah sewaktu istirahat : medial
Ujung lidah sewaktu dijulurkan : medial
2.3.6. SISTEM MOTORIK
Trofi : normotrofi
Tonus otot : hipotoni
Kekuatan otot : ESD: 55555 ESS: 55555
EID: 11111 EIS: 11111
Sikap : berbaring
2.3.7. GERAKAN SPONTAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Khorea : (-)
Ballismus : (-)
Mioklonus : (-)
Atetosis : (-)
Distonia : (-)
Spasme : (-)
Tic : (-)
Dan lain-lain : (-)
2.3.8. TEST SENSIBILITAS
Eksteroseptif : hipestesia setentang T4-T5
Proprioseptif : dbn
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
Stereognosis : dbn pada ekstremitas atas S=D
Pengenalan dua titik: dbn pada ekstremitas atas S=D
Grafestesia : dbn pada ekstremitas atas S=D
10
2.3.9. REFLEKS kanan kiri
2.3.9.1. Reflex fisiologis
Biceps : ++ ++
Triceps : ++ ++
Radioperiost : ++ ++
APR : +++ +++
KPR : +++ +++
Strumple : ++ ++
2.3.9.2. Refleks Patologis
Babinski : + +
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schaefer : - -
Hoffman-trommer : - -
Klonus lutut : - -
Klonus kaki : + +
Reflex primitive : - -
2.3.10. KOORDINASI
Lenggang : tdp
Bicara : dbn
Menulis : tdp
Percobaan Apraksia : tdp
Mimik : dbn
Tes telunjuk-telunjuk : tdp
Tes telunjuk-hidung : tdp
11
Diadokhinesia : tdp
Tes tumit-lutut : tdp
Tes Romberg : tdp
2.3.11. VEGETATIF
Vasomotorik : dbn
Sudomotorik : dbn
Pilo-erektor : tdp
Miksi defekasi : retensi urin et alvi
Potens dan libido : tdp
2.3.12. VERTEBRA
Bentuk
Normal : sdn
Scoliosis : sdn
Hiperlordosis : sdn
Pergerakan
Leher : dbn
Pinggang : sdn
2.3.13. TANDA PERANGSANGAN RADIKULER
Laseque : (-)
Cross laseque : (-)
Tes lhermitte : sdn
Tes naffziger : (-)
2.3.14. GEJALA-GEJALA SEREBELLAR
Ataksia : tdp
Disartria : (-)
12
Tremor : (-)
Nistagmus : (-)
Fenomena rebound : (-)
Vertigo : (-)
Dan lain-lain : (-)
2.3.15. GEJALA-GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Dan lain-lain : (-)
2.3.16. FUNGSI LUHUR
Kesadaran kualitatif : dbn
Ingatan baru : dbn
Ingatan lama : dbn
Orientasi
Diri : dbn
Tempat : dbn
Waktu : dbn
Situasi : dbn
Intelegensia : dbn
Daya pertimbangan : dbn
Reaksi emosi : dbn
Afasia
Ekspresif : sdn
Represif : sdn
Apraksia : sdn
13
Agnosia
Agnosia visual : sdn
Agnosia jari-jari : (-)
Akalkulia : (-)
Disorientasi kanan-kiri : (-)
2.4. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
Seorang laki-laki datang ke RSUP HAM pada tanggal 2 Mei 2014 dengan
keluhan utama lemah kedua tungkai. Hal ini dialami os sejak ± 4 hari sebelum masuk
Rumah Sakit secara perlahan. Awalnya os merasa kebas pada tungkai kiri kemudian
keesokan harinya ke tungkai kanan. Dua minggu sebelumnya os menyatakan mata
kiri tidak bisa melihat tiba-tiba pada saat bangun tidur di pagi hari, diikuti mata
kanannya pada siang hari dan hal ini masih dirasakan sampai sekarang. Riwayat mata
kabur (-). Dua hari sebelum masuk Rumah Sakit os mengeluhkan kesulitan BAK dan
BAB, semakin memberat belakangan ini. Riwayat trauma (-), riwayat angkat beban
berat (-), riwayat nyeri kepala (-), riwayat kejang (-), muntah menyembur (-),
konsumsi alkohol (-), merokok sesekali sebanyak 1-2 batang sehari, riwayat
hipertensi (-), riwayat diabetes melitus (-), riwayat penyakit jantung (-).
Riwayat penyakit terdahulu : dyspepsia
Riwayat penggunaan obat : antasida
STATUS PRESENSSensorium Compos MentisTekanan Darah 130/70 mmHgHeart Rate 92 x/iRespiratory Rate 20 x/iTemperatur 38 0C
STATUS NEUROLOGISSensorium Compos MentisPeningkatan TIK Muntah (-)
14
Kejang (-)Sakit kepala (-)
Perangsangan meningealKaku kuduk (-)Kernig sign (-)Brudzinski I/II (-/-)
NERVUS KRANIALISN I normosmia N II, III RC -/-, pupil bulat, isokor ø 4mm, visus ODS 0N III, IV, VI Gerakan bola mata (+) N
N V Reflex kornea (+), buka tutup mulut (+)
N VII Mimik dan sudut mulut simetris
N VIII Pendengaran dbn
N IX, X Uvula medial
N XI Angkat bahu (+)
N XII Lidah dijulurkan medial
REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps / TricepsKanan Kiri
++/++ ++/++
KPR / APRKanan Kiri
+++/+++ +++/+++
REFLEKS PATOLOGIS
BabinskyKanan Kiri
+ +
Klonus kakiKanan Kiri
+ +
KEKUATAN MOTORIK
Dijumpai kelemahan pada EID (11111) dan EIS (11111)
15
2.5. DIAGNOSA
Diagnosa Fungsional : blindness ODS + paraparese UMN + hipesetesia setentang
T4-T5 + retensi urin et alvi
Diagnosa Etiologik : optik neuritis + acute transverse myelitis
Diagnosa Anatomik : N. II + medula spinalis setentang T4-T5
Diagnosa Banding :1. Neuromyelitis Optica
2. Multiple Sclerosis
Diagnosa Kerja : blindness ODS + paraparese UMN + hipesetesia setentang
T4-T5 + retensi urin et alvi ec. DD: 1) Neuromyelitis Optica 2)
Multiple Sclerosis
2.6. PENATALAKSANAAN
o Bed rest, head elevasi 30o C
o O2 2-4l/i via NK (k/p)
o Kateter terpasang
o IVFD R Sol 20 gtt/i
o Inj. Dexamethason 2 amp bolus iv à selanjutnya 1 amp / 6 jam
o Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam
o Vit B. Complex 3 x 1
2.7. RENCANA PROSEDUR DIAGNOSTIK
o Darah lengkap, KGD ad random, KGDN/2PP, RFT, LFT, Lipid profile, Elek-
trolit,HST, AGDA
o EKG
o Foto Vertebra Thorakal
o Head CT Scan kontras
o MRI brain and spinal cord
16
17
2.8. FOLLOW UP PASIEN
FOLLOW UP 3 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 120/80, HR 116x/i, RR 24x/i, T: 36,5oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC -/-, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR: ka (+++/+++) ki(+++/+++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+) ki(+)
Klonus kaki: ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
18
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 2amp bolus IV selanjutnya 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
Tes Prespirasi
FOLLOW UP 4 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 120/70, HR 97x/i, RR 24x/i, T: 36,3oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC -/-, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
19
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR: ka (+++/+++) ki(+++/+++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+) ki(+)
Klonus kaki: ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
Dulcolax sup k/p
20
FOLLOW UP 5 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 130/70, HR 68x/i, RR 20x/i, T: 36,3oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC +/+ minimal, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR : ka (++++/++++) ki(++++/++++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+) ki(+)
Klonus kaki: ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
21
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
Dulcolax supp k/p
Rencana MRI brain – medula spinalis
Rencana konsul mata
FOLLOW UP 6 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 130/80, HR 72x/i, RR 24x/i, T: 36,4oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC +/+ minimal, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
22
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR : ka (++++/++++) ki(++++/++++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+) ki(+)
Klonus kaki: ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
Dulcolax supp k/p
Rencana MRI brain dan medula spinalis
23
Rencana konsul mata
Rencana Fisioterapi aktif
Rencana pungsi lumbal
FOLLOW UP 7 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 140/80, HR 72x/i, RR 20x/i, T: 37,9oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC +/+ minimal, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR : ka (++++/++++) ki(++++/++++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+) ki(+)
Klonus kaki: ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
24
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
Dulcolax supp k/p
Rencana MRI brain dan medula spinalis dan konsul mata
Rencana Fisioterapi aktif
FOLLOW UP 8 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 130/80, HR 72x/i, RR 24x/i, T: 36,4oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC +/+ minimal, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
25
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR : ka (++++/++++) ki(++++/++++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+) ki(+)
Klonus kaki : ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 00000/00000 EIS: 00000/00000
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
26
Dulcolax supp k/p
Rencana MRI brain dan medula spinalis dan konsul mata
Rencana Fisioterapi aktif
FOLLOW UP 9 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 130/70, HR 72x/i, RR 20x/i, T: 36,5oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC +/+ minimal, visus 0
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR : ka (++++/++++) ki(++++/++++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+), ki(+)
Klonus kaki : ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
27
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
Vit B Comp 3x1
Dulcolax supp k/p
Asam mefenamat 3 x 500mg (k/p)
Rencana MRI brain dan medula spinalis dan konsul mata
Rencana Fisioterapi aktif
FOLLOW UP 10 Mei 2014
S: Lemah kedua tungkai
O: Sensorium: Compos Mentis, TD: 130/80, HR 60x/i, RR 20x/i, T: 36,3oC.
Peningkatan TIK (-), rangsangan meningeal (-)
Nervus Kranialis
NI : Normosmia
NII, III : Pupil bulat + isokor ɵ4mm, RC +/+ , visus 1/300
NIII, IV, VI : pergerakan bola mata (+)
N V : buka tutup mulut (+), refleks kornea (+/+)
28
N VII : sudut mulut simetris
N VIII : pendengaran (+) N
N IX, X : uvula medial
N XI : angkat bahu (+)
NXII : lidah dijulurkan medial
Refleks fisiologis
B/T : ka (++/++) ki(++/++)
APR/KPR : ka (++++/++++) ki(++++/++++)
Refleks patologis
H/T : ka (-/-) ki(-/-)
Babinski : ka (+), ki(+)
Klonus kaki : ka(+), ki(+)
Kekuatan motorik
ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: 11111/11111 EIS: 11111/11111
Otonom : Retensio urin et alvi
Sensorik : Hipestesi setentang T4-T5
A: Blindness ODS + paraparese UMN + hipestesi setentang T4-T5 + retensio
urin et alvi ec. dd/ 1. Neuromyelitis optica
2. Multiple sclerosis
P :
Bed rest, head elevation 300
IVFD Rsol 20gtt/i
Kateter terpasang
Inj Metilprednisolon 1amp/6jam
Inj Ranitidin 1amp/12 jam
Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
Inj Citikolin 1amp/12 jam
29
Vit B Comp 3x1
Dulcolax supp k/p
Asam mefenamat 3 x 500mg (k/p)
Antacida syr 3 x cth 1
Rencana MRI brain dan medula spinalis dan konsul mata
Rencana Fisioterapi aktif
30
2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi (2 Mei 2014)Darah Lengkap (CBC):Hemoglobin (HGB) g% 16,10 13,2 – 17,3Eritrosit (RBC) 106/mm3 5,36 4.20 – 4,87Leucosit (WBC) 103/mm3 16,58 4.5 – 11,0Hematokrit % 45,40 43 – 49Trombosit (PLT) 103/mm3 345 150 – 450MCV fL 84,70 85 – 95MCH Pg 30,00 28 – 32MCHC g% 35,50 33 – 35RDW % 12.00 11.6 – 14.8PDW Fl 7,9Hitung JenisNeutrofil % 75,30 37 – 80Limfosit % 17,30 20 – 40Monocyte % 5,50 2 – 8Eosinofil % 1.60 1 – 6Basofil % 0.300 0 – 1 Neutrofil Absolut 103/µL 12,48 2.7 – 6.5Limfosit Absolut 103/µL 2,86 1.5 – 3.7Monosit Absolut 103/µL 0,91 0.2 – 0.4Eosinofil Absolut 103/µL 0.26 0 – 0.10Basofil Absolut 103/µL 0.05 0 – 0.1
Faal Hemostasis (2 Mei 2014)PT + INRWaktu Protrombin
Kontrol detik 14,00 Pasien detik 14.6
INR 1,05APTT
Kontrol detik 32,0 Pasien detik 34,2
Waktu thrombin Kontrol Detik 17,0 Pasien Detik 15,5
31
Kimia KlinikMetabolisme KarbohidratGlukosa Darah (Sewaktu) mg/dl 138 < 200GinjalUreum mg/dl 19,60 < 50Kreatinin mg/dl 0.90 0.70 – 1,20ElektrolitNatrium (Na) mEq/l 138 135 – 155Kalium (K) mEq/l 4.7 3.6 – 5.5Klorida (Cl) mEq/l 102 96 – 106
Kimia Klinik (3 Mei 2014)HatiAST / SGOT U/l 18 < 38ALT / SGPT U/l 20 < 41Metabolisme Karbohidrat Glukosa Darah Puasa mg/dl 135 70-120 Glukosa Darah 2 Jam PP Mg/dl 224 <200LemakKolesterol Total mg/dl 227 < 200 Trigliserida mg/dl 59 40 – 200Kolesterol HDL mg/dl 64 > 65Kolesterol LDL mg/dl 128 < 150
Hasil Tes Prespirasi (3 Mei 2014)Dijumpai gangguan saraf otonom setentang T4-T5
32
2.10. JAWABAN KONSUL
1. Departemen Radiologi
Kesan hasil CT scan otak tidak ada tanda-tanda SOL
2. Departemen Mata
Hasil funduskopi ODS
Warna jernih
Papil bulat, batas tegas
Retina eksudat (-), perdarahan (-)
Macula RF (-)
Diagnosa : papil atrofi ODS
3. Instalasi Rehabilitasi Medis (26 April 2014)
a. Temuan : lemah kedua tungkai bawah
b. Anjuran : fisioterapi aktif, bladder training
33
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Defenisi
Neuromyelitis Optika (atau dikenal juga dengan Devic’s disease) adalah penyakit
demielinasi persarafan dari sistem saraf pusat dominan menyerang saraf penglihatan
dan medula spinalis dan terjadi secara idiopatik dengan kejadian yang parah.1
Demielinasi pada neuromyelitis optica terjadi secara multifokal dan menyebabkan
inflamasi parah pada nervus optika dan medula spinalis dengan gambaran
longitudinally extensive myelitis (terlihat lebih dari atau sama dengan 3 lesi medula
spinalis pada segmen vertebra).1,5
Neuromyelitis optika (NMO) ditandai dengan adanya neuritis optika yang
bilateral, bersifat simultan, progresi yang cepat, dan bersifat parah, ditemukan juga
kelainan pada selubung mielin, terlihat pada gambaran medula spinalis secara
longitudinal yang abnormal, namun dengan tidak ditemukannya kelainan pada
gambaran di otak.6
3.2. Etiologi
Neuromyelitis optika terjadi karena adanya inflamasi pada sistem saraf pusat dan
dengan adanya kerusakan pada selubung myelin (demielinasi) menyerang nervus
optika dan medula spinalis. Dikatakan juga bahwa neuromyelitis optika terjadi secara
idiopatik dengan proses autoimun.1,5
NMO-IgG (serum autoantibodi spesifik) ditemukan pada serum pasien
neuromyelitis optica. NMO-IgG bereaksi dengan Aquaporin-4 (AQP4; kanal H2O
yang tersebar pada sistem saraf pusat) dan berperan terhadap terjadinya penyakit ini.
Ditemukannya antibodi tersebut pada pasien neuromyelitis optica menjadi pembeda
dengan penyakit demielinasi lainnya termasuk multiple sclerosis.6,7
34
3.3. Epidemiologi
Kejadian neuromyelitis optika terjadi 9 kali lebih sering pada wanita dibanding
dengan pada pria. Angka kejadian tersering terjadi pada umur rata-rata 39 tahun,
walaupun neuromyelitis optika juga dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Secara garis besar kejadian neuromyelitis optika lebih sering terjadi pada populasi
dengan ras non-kulit putih ataupun pada polpulasi dengan komposisi genetik eropa
yang minor, misalnya AfroBrazilian (15% kasus penyakit demielinasi), di India barat
(27%), Jepang (20-30%), Asia barat, termasuk Hong Kong (36%), Singapura (48%)
dan India (10-23%).1
Ditemukan juga pada penelitian kasus neuromyelitis optika yang diturunkan
secara familial, tetapi tidak dengan silsilah yang multigenerasi.1 walaupun pada
penelitian lain dikatakan bahwa faktor genetik pada kejadian neuromyelitis optika
masih belum diketahui secara pasti.8
3.4. Klasifikasi Neuromyelitis Optika
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, NMO dapat diklasifikasikan menjadi:
Relapse-remiting course
NMO tipe ini merupakan yang paling banyak dimiliki oleh pasien (80-90%
seluruh pasien NMO). Pada tipe ini dapat dijumpai periode kambuh yang
diikuti periode remisi. Kekambuhan dapat muncul dalam beberapa bulan
hingga beberapa dekade setelah serangan sebelumnya. Pada tipe ini, neuritis
optik dan myelitis yang terjadinya umumnya bersifat sekuensial. Gejala
neuritis optik atau myelitis biasanya memberat dalam beberapa hari kemudian
secara perlahan membaik dalam beberapa minggu atau bulan setelah
maksimal defisit klinis tercapai. Walaupun begitu, perbaikan yang terjadi
bersifat inkomplit, sehingga kebanyakan pasien akan mengalami kecacatan
akibat kekambuhan yang berulang dan berat.1 Angka kekambuhan serta
35
progresifitas penyakit umumnya lebih rendah pada anak-anak dibandingkan
dewasa.2
Monophasic course (primary progressive)
Tipe ini merupakan bentuk NMO yang paling jarang ditemui. Neuritis optik
yang dialami pasien biasanya bilateral. Selain itu, neuritis optik dan myelitis
yang terjadi umumya bersamaan.1 Walaupun serangan awalnya jauh lebih
buruk dibandingkan tipe relapse-remiting, dikatakan bahwa tipe monofasik
memiliki prognosis jangka yang lebih baik. 5
3.5. Patogenesis Neuromyelitis Optika
Neuromyelitis Optica merupakan suatu penyakit demyelinasi pada nervus optikus dan
medula spinalis yang diperantarai oleh mekanisme autoimun. Awalnya NMO
dianggap sebagai bentuk khusus dari Multiple Sclerosis (MS). Namun berdasarkan
berbagai penelitian selama sepuluh tahun ini, didapati bahwa dua penyakit ini
berbeda.1 NMO adalah penyakit yang dimediasi oleh sel-B yang terkait dengan
pembentukan antibodi terhadap Aquaporin-4.5 Sedangkan MS merupakan suatu
penyakit autoimun akibat Sel-T yang autoreaktif terhadap Myelin Basic Protein
(MBP).6
Antibodi anti-AQP4 sering juga disebut sebagai antibodi NMO-IgG.
Aquaporin-4 merupakan kanal air utama pada sistem saraf pusat yang berperan dalam
menjaga homeostasis air. Kanal ini terutama terletak pada tonjolan kaki astrosit yang
menempel pada basal lamina endotelium.1 Astrosit merupakan suatu sel glia yang
berperan penting dalam struktur sawar darah-otak.9 Heterotetramer aquaporin-4
berkumpul membentuk susunan orthogonal yang menjadi target utama antibodi
NMO-IgG. Perbedaan ekspresi isoform inilah yang menjelaskan lesi NMO lebih
dapat dijumpai pada nervus optikus dan medula spinalis dibandingkan lokasi
lainnya.5
Antibodi anti-AQP4 dapat memasuki sistem saraf pusat melalui bagian sawar-
darah otak yang paling permeabel, yaitu pada kaki astrosit yang kemudian memicu
36
reaksi cell-dependent cytotoxicity akibat domain ekstraselular kanal aquaporin-4 yang
kini dapat diakses oleh NMO-IgG.5 Berbagai mediator inflamasi dilepaskan diikuti
dengan aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya peningktan permeabilitas
vaskular, infiltrasi masif sel-sel leukosit, terutama PMN (neutrofil dan eosinofil), ke
dalam cairan serebrospinal pada fase akut serangan. Aktivasi komplemen serta
influks sel-sel radang dapat menimbulkan jejas pada parenkim sistem saraf pusat
yang menyebabkan demyelinasi, kerusakan neuron yang berat, serta nekrosis. Jejas
sitolitik yang diperantarai oleh membrane attack complex (MAC) juga dapat
menyebabkan penebalan dan hyalinisasi ireguler pada berbagai vaskular sekitar.1
Temuan histopataologik lesi NMO pada nervus optikus ditandai dengan
infiltrasi limfosit, makrofag dan monosit, serta inflamasi venula. Sekuele jangka
panjang dapat berupa kavitasi dan nekrosis, proliferasi endotel vaskular, proliferasi
37
atau hilangnya sel glia, serta demyelinasi bervus optikus dan kiasma optikum.
Hilangnya Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) dan ban sel ganglion retina dapat
menyebabkan degenerasi retrograde setelah hilangnya akson pada nervus optik.
Green dan Cree menemukan perubahan vaskularisasi retina yang nampak pada pasien
NMO, berupa penyempitan dan frosting.8 Hal ini menunjukkan bahwa iskemia retina
atau kerusakan akibat inflamasi lah yang menyebabkan hilangnya penglihatan.5
3.6. Manifestasi Klinis Neuromyelitis Optika
NMO ditandai dengan adanya mielitis dan unilateral atau bilateral neuritis optik yang
dapat memunculkan gejala-gejala seperti:1,10
Nyeri orbita diikuti hilangnya penglihatan/penglihatan kabur pada salah satu
atau kedua mata
Sentral skotoma
Bitemporal/ homonim hemianopsia
Simteris paraparesis atau paralisis
Hilangnya sensibilitas
Hilangnya kontrol BAK / BAB
Retensi BAK/BAB
Manifestasi klinis yang pertama kali muncul dapat berupa neuritis optik
terlebih dahulu, ataupun transverse myelitis lebih dahulu (masing-masing
kemungkinannya 50%). Sangat jarang dijumpai keduanya sekaligus. Bila mengalami
neuritis optik lebih dahulu awalnya pasien dapat mengalami penurunan tajam
penglihatan hingga 20/200 atau lebiih buruk (80%) hingga langsung no light
perception (30%). Pada lima tahun kemudian tajam penglihatan sangat menurun
hingga tidak mampu lagi melihat cahaya. Myelitis yang terjadi umumnya diawali
dengan rasa kebas, seperti merinding yang kemudian diikuti kelemahan ekstremitas
dan kehilangan sensori. Selanjutnya pasien akan mengeluhkan gangguan dalam
berkemih dan buang air besar. Lima tahun kemudian pasien juga akhirnya dapat
hanya terduduk di kursi roda.1,5
38
Myelitis servikalis dapat meluas hingga mengenai batang otak yag dapat
menyebabkan mual, cegukan, atau gagal napas neurogenik akut, yang sangat jarang
dijumpai pada MS. Gejala lain akibat demylenasi medula spinalis yang dapat
dijumpai pada NMO dan MS adalah paroxysmal tonic spasm, spasme dengan nyeri
yang berulang, stereotipik pada ekstremitas dan trunkus yang berlangsung selama 20-
45 detik, serta gejala Lhermitte’s (disestesia pada spinalis atau ekstremitas akibat
fleksi leher).1
3.7. Diagnosa
Penegakan diagnosis neuromielitis optik (NMO) dilakukan secara bertahap dimulai
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa MRI
(Magnetic Resonance Imaging), lumbal pungsi, serta pemeriksaan darah.
Pada anamnesa didapati bahwa terjadi serangan nuritis optik bilateral maupun
unilateral berupa sakit pada mata diikuti dengan hilangnya kemampuan untuk
melihat, ketidaknormalan dari vaskularisasi retina berupa redaman vaskularisasi
perifer dan penyempitan arteriol. Terjadi juga paraparese atau quadriparese,
kehilangan kemampuan sensori disepanjang jalur lesi atau sindrom sensori medula
spinalis, gangguan fungsi sfingter, kejang tonik paroksismal dan gejala Lhermitte.11,12
Temuan pada MRI otak pada awal neuromyelitis optik biasanya normal. MRI
bagian orbital menggunakan gadolinum dapat menunjukkan adanya ‘enhancement’
dari satu atau kedua nervus optikus atau optik chiasma pada neuritis optik akut.
Mielitis transversal akut berhubungan dengan ‘longitudinally extensive’ lesi medula
spinalis, yang mencakup hiperintensitas T2 yang berada dibagian tengah medula dan
menyebar lebih dari 3 segmen vertebra. Dengan menggunakan kontras, lesi multiple
sclerosis biasanya hanya dibagian perifer dan mengenai satu vertebra saja. Dengan
terdeteksinya lesi longitudinally extensive transverse myelitis pada MRI
menunjukkan adanya indikator spesifik dari neuromielitis optika.12
39
Gambaran MRI pada Neuromyelitis Optika3
Hitung sel pada cairan serebrospinal pada neuromielitis optika biasanya
sangat tinggi (50 sampai 1000x106 sel darah putih/L) dan didapati predominan
neutrofil, dan didapati juga kadar protein yang tinggi (100-500mg/dl). Pada multiple
sclerosis, cairan serebrospinalis menunjukkan plenositosis limfositik ringan, terdapat
juga oligoclonal bands yang dideteksi pada 85% kasus multiple sclerosis dan 20-30%
pada kasus neuromielitis optik.12
Tes serologis juga dilakukan pada kasus ini berupa deteksi NMO-IgG dengan
menggunakan teknik immunoflouresence. Tes serologis ini memiliki 73% sensitivitas
dan 91% spesifisitas untuk dapat membedakan neuromielitis optik dengan mupliple
sclerosis. Kemudian dilakukan tes antibodi aquaporin-4 dengan menggunakan teknik
ELISA. Tes antibodi ini memiliki spesifisitas 85-100% dan 47-91% sensitifitas untuk
mendiagnosa neuromielitis optik.12
Kriteria dari Wingerchuck et al. untuk menegakan neuromielitis optika:
Kriteria pasti
- Neuritis optik
- Mielitis akut
40
- Tidak ada bukti terdapat penyakit lain diluar saraf optikus atau medula
spinalis
Kriteri pendukung mayor
- tidak dijumpai kelainan di otak pada saat dilakukan MRI pada onset
tertentu (criteria of Paty et al.2
- MRI medula spinalis menunjukkan kelainan pada lebih dari tiga segmen
tulang vertebra
- Didapati pleositosis dengan >50 leukosit/mm3 atau >5 neutrofil/mm3 pada
cairan serebrospinalis
Kriteria pendukung minor
- Neurtits optik bilateral
- Neuritis optik berat dengan tetap ketajaman visual kurang dari 20/200
pada setidaknya satu mata
- Keluhan menetap, serangan yang terjadi berhubungan dengan kelemahan
satu atau lebih anggota badan
Diagnosis mengharuskan semua kriteria mutlak dan satu kriteria utama yang
mendukung atau dua kriteria minor mendukung.13
3.8. Diagnosa Banding
3.8.1. Multiple Sclerosis
Multiple Sclerosis NMO
Tampilan klinis awal 85% relaps 80-90% relaps
15% primer, progressive 10-2-% monofasik
Tampilan klinis
sekunder
Sering Jarang
Lesi MRI medula
spinalis
Sepanjang 1-2 segmen >3 segmen
Lesi MRI otak Periventrikular, Simetris hipotalamus,
41
subkortikal batang otak
Sel darah putih cairan
serbrospinal selama
relaps
<50/mm3, semua
mononuklear
>50/mm3, komponen
polimorfonuklear
Oligoclonal band
cairan serebrospinal
85% 15-30%
Penyakit autoimun
sistemik
Jarang Sering
Keparahan relaps Ringan-sedang Sedang-berat
Perbaikan setelah
relaps
Buruk-baik Buruk-semaikin buruk
Respon terhadap
interferon
Terbantu Dapat memperburuk
penyakit
Neuromielitis optika dan multiple sclerosis dibedakan berdasarkan klinis dan
radiologis. Diagnosa dini dan akurat dari neuromielitis optika sangat penting karena
neuromielitis optika mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding multiple
sclerosis. Neuroimaging mempunyai peran penting dalam membedakan neuromileitis
optika dengan multiple sclerosis. Temuan MRI otak cenderung negatif dan tidak
spesifik pada neuromielitis optika. Pada multiple sclerosis lesi pada white matter
secara khas terlihat pada juxtakortikal dan periventrikular. Gambaran MRI medula
spinalis pada neuromielitis optik yaitu adanya mielitis spinalis akut yang menyebar
pada lebih dari 3 segmen vertebra. Sedangkan pada MRI medula spinalis multiple
scleoris, plak biasanya menyebar tidak lebih dari 2 segmen vertebra. Pada
neuromielitis optika, lesi hipointens sering terjadi pada T1 dan berlokasi di bagian
tengah medula spinalis. Plak multiple sclerosis biasanya isointens pada T1 dan
berlokasi pada posterolateral medula spinalis. Pada fase akut dari neuromielitis
42
optika, gambaran medula lebih terlihat membengkak dan pada fase kronis terlihat
atrofi.1
3.8.2. Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
ADEM biasanya monofasik dengan gambaran MRI otak lesi yang asimetris
pada bagian subkortikal white matter dikedua hemisfer. Pada MRI spinalis dijumpai
infark pada medula spinalis dan neoplasma. Infark terjadi dalam onset yang cepat
(menit, berbeda dengan neuromielitis optik yang mempunyai onset jam sampai hari)
dan melibatkan bagian ventral dari medula. Pada neoplasma medula spinalis dijumpai
kontras enchancement yang bernodul-nodul dan menyebar luas menimbulkan
peritumoral edema.14
3.9. Penatalaksanaan
Kortikosteroid intravena (metilprednisolon) 1 gram per hari untuk 3 sampai 6 hari
berturut-turut merupakan terapi lini pertama untuk neurolielitis optika untuk
mengurangi aktivitas penyakit, perkembangan penyakit lebih lanjut dan memperbaiki
fungsi neurologis. Nakamura et al (2010) mengatakan bahwa pemberian steroid dosis
tinggi dalam 2-3 hari pertama setelah onset neuromielitis optika memberikan efek
neuroprotektif. Tetapi, banyak neuromielitis optika yang berat tidak menunjukkan
respon yang adekuat terhadap pemberiaan kortikosteroid. Pada pasien yang tidak
segera tanggap terhadap pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan terapi
plasmapharesis 7 kali (1,0-1,5 volume plasma per exchange) selama 2 minggu.5,15
Inisiasi dini plasmapharesis dianjurkan, terutama untuk pasien dengan
neuromielitis optika dengan mielitis serviks parah, yang berisiko untuk gagal napas
neurogenik. Plasmapharesis juga baik untuk pasien dengan kehilangan penglihatan
akut yang memiliki neuritis optik yang refrakter terhadap terapi kortikosteroid. Tidak
ada perbedaan terapeutik terkontrol memiliki spesifitas pada kasus yang dicuriga
neuromielitis optika.5 Sampai saat ini neuromielitis optika didiagnosis dengan
progresif multipel sklerosis parah dan diobati dengan terapi imunomodulator yang
43
dipercaya dapat mengurangi frekuensi kambuh pada multipel sklerosis (misalnya
interferon beta dan glatiramer asetat). Namun, pengamatan klinis tidak mendukung
keampuhan obat ini untuk pengobatan neuromielitis optika. 15
Terapi maintenance imunosupresif digunakan untuk mengurangi kekambuhan
dari neuromielitis optic seperti azathioprine, mycophenolate mofetil, rituximab,
mitoxantrone, cyclosphosphamide, methotrexate, imunoglobulin intravena dan
prednison. Temuan studi observasional kecil menunjukkan bahwa Azathioprine
(biasanya 2,5-3 mg/Kg/hari) dalam kombinasi dengan prednison oral (1 mg/kg/hari)
mengurangi frekuensi serangan.
Rituximab adalah antibodi monoclonal yang targetnya adalah CD20,
menghancurkan sel limfosit B tetapi tidak sel plasma. Keuntungan dari rituximab
adalah onset obat yang cepat (aktivitas penuh dalam 2 minggu) dan pemberian yang
jarang (dua kali pemberian setiap 6 bulan). Hasil laporan pengamatan 1-8 pasien
menunjukkan bahwa mitoxantrone, immunoglobulin intravena, dan rituximab dapat
menginduksi remisi klinis neuromielitis optika pada pasien yang naïf pengobatan atau
yang terus kambuh meskipun upaya lain pada imunosupresi.5,15
44
Penelitian kohort mengenai terapi neuromyelitis optica15
Terapi rehabilitasi diperlukan untuk mencegah komplikasi dari immobilitas dan untuk
meningkatkan kemampuan fungsional. Sangatlah penting untuk memulai terapi
rehabilitasi selama pengobatan untuk mencegah kelumpuhan atau untuk mengurangi
pergerakan yang terbatas. Selama fase penyembuhan diperlukan edukasi terhadap
keluarga mengenai penyakit dan strategi pengobatan suapaya bisa dirawat di rumah5.
3.10. Prognosis
Kebanyakan individu dengan neuromielitis optik memiliki risiko kekambuhan yang
tidak bisa terprediksi, dapat terjadi serangan yang hitungan bulanan atau tahunan.
Kecacatan yang diderita tergantung dari kerusakan dari myelin. Beberapa individu
bisa kehilangan penglihatan di kedua mata dan kelemahan lengan dan tungkai.
Kelemahan otot dapat menyebabkan kesulitan bernafas dan mungkin memerlukan
45
penggunaan ventilasi buatan. Kematian seorang individu dengan neuromielitis optika
paling sering disebabkan oleh komplikasi pernapasan dari serangan myelitis.15
46
BAB 4
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
Neuromyelitis optika terjadi 9 kali lebih ser-
ing pada wanita dibanding dengan pada pria.
Angka kejadian tersering terjadi pada umur
rata-rata 39 tahun, walaupun neuromyelitis
optika juga dapat terjadi pada anak-anak dan
orang tua.
Pasien berjenis kelamin laki-laki dengan usia
51 tahun.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, NMO
dapat diklasifikasikan menjadi relapse-
remiting course dan monophasic course.
Pada bentuk monophasic course umumnya
neuritis optik yang dialami pasien biasanya
bilateral. Selain itu, neuritis optik dan myeli-
tis yang terjadi umumya bersamaan.
Pasien mengalami kebutaan pada kedua mata
dalam selang waktu beberapa jam kemudian.
Satu minggu kemudian pasien mengeluhkan
kelemahan pada kedua tungkai yang diawali
dengan kebas. Beberapa hari kemudian pasien
mengeluhkan sulit BAK dan BAB.
NMO ditandai dengan adanya mielitis dan
unilateral atau bilateral neuritis optik yang da-
pat memunculkan gejala-gejala seperti:
Nyeri orbita diikuti hilangnya pengli-
hatan/penglihatan kabur pada salah
satu atau kedua mata
Sentral skotoma
Bitemporal/ homonim hemianopsia
Simteris paraparesis atau paralisis
Hilangnya sensibilitas
Pasien datang dengan keluhan:
Hilangnya penglihatan dengan tiba-
tiba pada kedua mata
Paraparesis
Hilangnya sensibilitas pada kedua
tungkai
Kesulitan BAK dan BAB
47
Hilangnya kontrol BAK / BAB
Retensi BAK/BAB
Manifestasi klinis yang pertama kali muncul
dapat berupa neuritis optik terlebih dahulu,
ataupun transverse myelitis lebih dahulu
(masing-masing kemungkinannya 50%). San-
gat jarang dijumpai keduanya sekaligus. Bila
mengalami neuritis optik lebih dahulu awal-
nya pasien dapat mengalami penurunan tajam
penglihatan hingga 20/200 atau lebiih buruk
(80%) hingga langsung no light perception
(30%)
Manifestasi klinis yang pertama kali
munculpada pasien berupa neuritis optik lebih
dahulu pada kedua mata dengan visus 0 (no
light perception).
Penegakan diagnosis neuromielitis optik
(NMO) dilakukan secara bertahap dimulai
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang berupa MRI
(Magnetic Resonance Imaging), lumbal
pungsi, serta pemeriksaan darah.
Penegakan diagnosis NMO pada pasien
dilakukan secara bertahap dimulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang berupa CT Scan
kepala, serta pemeriksaan darah.
Temuan MRI bagian orbital menggunakan
gadolinum dapat menunjukkan adanya
‘enhancement’ dari satu atau kedua nervus
optikus atau optik chiasma pada neuritis optik
akut. Mielitis transversal akut berhubungan
dengan ‘longitudinally extensive’ lesi medula
spinalis, yang mencakup hiperintensitas T2
yang berada dibagian tengah medula dan
menyebar lebih dari 3 segmen vertebra.
Dengan terdeteksinya lesi longitudinally
Pemeriksaan MRI belum dilaksanakan pada
pasien hingga kasus ini penulis laporkan
walaupun telah direncanakan.
48
extensive transverse myelitis pada MRI
menunjukkan adanya indikator spesifik dari
neuromielitis optika.
Hitung sel pada cairan serebrospinal pada
neuromielitis optika biasanya sangat tinggi
(50 sampai 1000x106 sel darah putih/L) dan
didapati predominan neutrofil, dan didapati
juga kadar protein yang tinggi
(100-500mg/dl).
Pemeriksaan pungsi lumbal belum dilakukan
pada pasien hingga kasus ini penulis laporkan
walaupun telah direncanakan.
Tes serologis juga dilakukan pada kasus ini
berupa deteksi NMO-IgG dengan
menggunakan teknik immunoflouresence. Tes
serologis ini memiliki 73% sensitivitas dan
91% spesifisitas untuk dapat membedakan
neuromielitis optik dengan mupliple sclerosis.
Tes serologis tidak dapat dilakukan pada
pasien ini karena keterbatasan fasilitas.
Diagnosis NMO menurut Kiriteria
Wingerchuck, et al. mengharuskan semua
kriteria mutlak dan satu kriteria utama yang
mendukung atau dua kriteria minor
mendukung terpenuhi.
Berdasarkan kriteria dari Wingerchuck,
pasien memenuhi seluruh kriteria pasti
(neuritis optik, mielitis optik, dan tidak ada
bukti terdapat penyakit lain diluar saraf
optikus atau medula spinalis) serta dua
kriteria minor (Neurtits optik bilateral dan
Keluhan menetap, serangan yang terjadi
berhubungan dengan kelemahan satu atau
lebih anggota badan).
Kortikosteroid intravena (metilprednisolon) 1
gram per hari untuk 3 sampai 6 hari berturut-
turut merupakan terapi lini pertama untuk
neurolielitis optika untuk mengurangi aktivi-
Pasien diberikan metilprednisolon sebanyak
1ampul/ 6 jam semenjak hari kedua
perawatan hingga sebelum kasus ini
dilaporkan.
49
tas penyakit, perkembangan penyakit lebih
lanjut dan memperbaiki fungsi neurologis.
Pada pasien yang tidak segera tanggap ter-
hadap pemberian kortikosteroid, dapat di-
lakukan terapi plasmapharesis 7 kali (1,0-1,5
volume plasma per exchange) selama 2
minggu
Pasien tidak dilakukan plasmpharesis karena
keterbatasan fasilitas.
50
BAB 5
PERMASALAHAN
1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah benar?
Menurut penulis diagnosis pada kasus ini sudah benar. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis kriteria Wingerchuck
untuk menegakkan Neuromyelitis Optika pada pasien telah terpenuhi,
meskipun pemeriksaan penunjang lainnya yang sangat membantu penegakan
diagnosis NMO belum dilakukan (MRI, uji serologi NMO-IgG). Kriteria
Wingerchuck yang terpenuhi yaitu: seluruh kriteria mutlak (neuritis optik,
mielitis optik, dan tidak ada bukti terdapat penyakit lain diluar saraf optikus
atau medula spinalis) serta dua kriteria minor (Neurtits optik bilateral dan
Keluhan menetap, serangan yang terjadi berhubungan dengan kelemahan satu
atau lebih anggota badan).
2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah benar?
Untuk penatalaksanaan akut pada pasien ini telah diberikan metilprednisolon
1 ampul/6 jam, pemberian metilprednisolon terus dilakukan hingga hari
penulis menghentikan follow-up. Setelah 5 hari pemberian kortikosteroid
diharapkan pasien mengalami perbaikan. Jika perbaikan tidak dialami pasien,
tatalaksana selanjutnya yang dianjurkan adalah plasmapharesis sebanyak 7
kali dalam 2 minggu, tetapi, pada pasien ini tidak dilakukan karena
keterbatasan fasilitas.
3. Bagaimana prognosis pasien pada kasus ini?
Kebanyakan individu dengan neuromielitis optik memiliki risiko kekambuhan
yang tidak bisa terprediksi, dapat terjadi serangan yang hitungan bulanan atau
tahunan. Kecacatan yang diderita tergantung dari kerusakan dari myelin. Be-
berapa individu bisa kehilangan penglihatan di kedua mata dan kelemahan
51
lengan dan tungkai. Kelemahan otot dapat menyebabkan kesulitan bernafas
dan mungkin memerlukan penggunaan ventilasi buatan. Kematian seorang in-
dividu dengan neuromielitis optika paling sering disebabkan oleh komplikasi
pernapasan dari serangan myelitis
52
BAB 6
KESIMPULAN
Pada kasus ini seorang laki-laki berusia 51 tahun didiagnosa dengan
neuromyelitis optika berdasarkan anamnesa, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan
neurologis yang memnuhi 3 kriteria mutlak dan 2 kriteria minor berdasarkan kriteria
Wingerchuck untuk mendiagnosa neuromyelitis optika. Dari hasil anamnesa didapati
bahwa os mengalami optik neuritis bilateral dengan paraparesis tipe UMN serta
hipestesi setentang T4-T5 dan retensi urin dan alvi.
Pemeriksaan penunjang yang dtelah ilakukan pada os adalah Head CT Scan,
dan foto toraks, namun tidak dijumpai adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang
lainnya seperti MRI otak dan medula spinalis, pungsi lumbal, dan tes imunoserologis
belum dilakukan pada pasien ini karena keterbatasan fasilitas.
Selama dirawat, terapi baik suportif maupun kuratif yang telah diterima os
meliputi IVFD R Sol 20gtt/i, O2 2-4L/I via nasal kanul bila perlu, injeksi
metilprednisolon 1 ampul/6 jam dan dilakukan tappering-off hingga saat ini. Selain
itu diberikan Ranitidine 1 amp/12 jam, Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam, Inj. Citikolin
1amp/12 jam, Vit. B Complex 3x1tab, Dulcolax sup dan Asam mefenamat 3x500 mg
bila perlu.
53
BAB 7
SARAN
Saran yang diperlukan dalam menangani pasien ini diantaranya :
Praktisi kesehatan menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai gejala-gejala,
pilihan pengobatan, lamanya masa pengobatan, estimasi durasi rawat inap dan
masa penyembuhan, serta efek samping yang mungkin timbul dari pilihan
pengobatannya serta komplikasi yang mungkin terjadi akibat penyakit yang
diderita oleh pasien.
Praktisi medis diharapkan dapat bekerja sama dengan pihak manajemen rumah
sakit dalam pemenuhan fasilitas pemeriksaan penunjang serta pengobatan demi
tercapainya kesembuhan pasien yang optimal.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Wingerchuk, D.M., Lennon, V.A., Lucchinetti, C.F., Pittock, S.J.,
Weinshnker, B.G. The spectrum of neuromyelitis optica. The Lancet
Neurology. 2007;6:805-815.
2. Eggenbegger ER. Devic’s Disease (Neuromyelitis Optica). Michigan: East
Lansing
3. Wingerchuck DM. Lennon VA, Lucchinetti CF, Pittock SJ, Weinshenker BG.
The Spectrum of neuromyelitis optica. Lancet Neurology. 2005.(6) p 805-815
4. Marco AL, Peixoto. Devic’s Neuromyelitis Optica. Arq Neuropsiquitr. 2008.
P 120-138
5. Morrow, M.J., Wingerchuk, D.M. Neuromyelitis optica. J Neuro-Opthalmol.
2012;32:154-166.
6. Hauser, S.L., Goodin, D.S. Multiple sclerosis and other demyelinating
disease. Dalam: Hauser, S.L. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine.
McGrawHill. 2010;2:437.
7. Snell, R.S. Neurobiologi neuron dan neuroglia. Dalam: Snell, R.S. Neurologi
Klinik. 2013;7:54.
8. Green, A.J., Cree, B.A. Distinctive retinal nerve fiber layer and vascular
changes in neuromyelitis optica following optic neuritis. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2009;80:1002-1005.
9. Snell, R.S. Neurobiologi neuron dan neuroglia. Dalam: Snell, R.S. Neurologi
Klinik. 2013;7:54.
10. Maureen, A.M. Neuromyelitis optica (NMO) and NMO spectrum disorder.
The Transverse Myelitis Assoc. 2012:1-7.
11. Paty DW, Oger J, Kastrudoff I, et al. MRI in the Diagnosis of Multiple
Sclerosis: A Prospective Study with Comparison of Clinical Evaluation,
Evoked Potentials, Oligoclonal Banding, and CT. Neurology 1988; 38:180– 5.
55
12. Wingerchuk, D.M., 2011. Neuromyelitis Optica Spectrum Disorders:
Diagnosis and Treatment. North American Neuro-Ophthalmology Society.
2011 Annual Meeting Syllabus 293-298.
13. Seze, J.D., et al., 2002. Devic’s Neuromyeliis Optica: Clinical, Laboratory,
MRI and Outcome Profile. Journal of the neurological sciences ELSEIVER
197(2002):57-61.
14. VandeVyver, V., et al., 2007. Devic’s Neuromyelitis Optica: Clinical and
Imaging Findings. Department of Radiology, University Hospital, Gent,
Belgium.
15. Collongues, Nicolas & Seze, Jerome de. Current and future treatment
Approaches for neuromyelitis optica . Therapeutic Advances in Neurological
Disorders. 2011 :4(2): 111-121
56
top related