kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama...
Post on 14-Oct-2019
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KESESUAIAN KONSEP ISLAM DALAM PRAKTIK
KERJASAMA BAGI HASIL PETANI DESA TENGGULUN
KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN
JAWA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
IIN HAMIDAH
NIM 1110046100183
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M./1436 H.
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Iin Hamidah
NIM : 1110046100183
Jurusan : Perbankan Syariah
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan.
4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau
tanpa izin pemilik karya.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya
ini.
Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah
melalui pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan
bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 12 Nopember 2014
Penulis
Iin Hamidah
iv
ABSTRAK
Iin Hamidah, 1110046100183, Kesesuaian Konsep Islam dalam Praktik
Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat
(Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014.
Masyarakat di Desa Tenggulun merupakan mayoritas petani dan bergerak di
bidang pertanian, disamping mengelola lahan sendiri juga memperkerjakan orang lain
untuk menggarap dengan sistem bagi hasil yang sesuai dengan kesepakatan atau adat
setempat. Pada umumnya kerjasama ini berdasarkan pada kata sepakat atau
kepercayaan antara kedua belah pihak dan dengan akad secara lisan, sehingga
memberi peluang antara kedua pihak melakukan hal-hal yang dapat merugikan,
seperti dalam isi perjanjian, hak dan kewajiban kedua pihak, pembagian bagi hasil
yang belum tentu sama dan sesuai dengan prinsip hukum Islam.
Dari sinilah penyusun mencoba menelusuri dan meneliti apakah pelaksanaan bagi
hasil di Desa Tenggulun tersebut terdapat penipuan dan eksploitasi salah satu pihak
terhadap pihak lain. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan informasi berdasarkan pada fakta
yang diperoleh di lapangan yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan
dari fenomena yang diteliti atau dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya.
Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancara
yang berkaitan dengan permasalahan melalui sumber primer yang selanjutnya
dikomparasikan dengan ketentun teori yang berlaku sebagai sumber skunder.
Berdasarkan penelitian, penyusun menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan
kerjasama bagi hasil yang dilakukan di Desa Tenggulun adalah aplikasi dari
mukhabarah. Akan tetapi dalam praktiknya tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep
Islam yang ada, karena ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Kata kunci : kerjasama, bagi hasil, konsep Islam, kualitatif deskriptif
Pembimbing : Dr. Dede Abdul Fatah, S.H.I.,M.Si
Daftar Pustaka: Tahun 1998 s.d 2012
v
KATA PENGANTAR
يم ب ح الره حمن الره للاه سم
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin tiada
henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Insan pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i
Walmursalin Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul “Kesesuaian Konsep Islam Dalam Praktik
Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis.
Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak
yang andil dalam mensukseskan harapan penulis.
Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini selesai bukan semata dari hasil
karya tangan penulis sendiri, tetapi juga karena bantuan dari beberapa pihak yang
dengan tulus meluangkan waktu meski hanya sekedar menuangkan aspirasi ataupun
hanya sekedar memberi motivasi kepada penulis. Tanpa mereka, penulisan skripsi ini
akan terasa sangat berat. Karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih, kepada:
vi
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku dekan Fakutas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. H. Ah. Azaruddin Lathif, M Ag, MH selaku ketua Program Studi Mu’amalat
Fakultas Syariah dan Hukum dan Abdurrauf, Lc, MA. selaku Sekretaris
Program Studi Muamalat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Dede Abdul Fatah, SHI.,M.Si Selaku Dosen Pembimbing yang selalu
meluangkan waktu, memberikan arahan, memberikan motivasi, dan
membimbing penulis dengan baik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan bekal ilmu kepada penulis selama kuliah, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
5. Staf perpustakaan baik kepada pihak perpustakaan Utama, perpustakaan
Fakultas dan Hukum yang telah membantu memberikan pinjaman buku-buku
sebagai bahan acuhan untuk menyusun skripsi.
6. Bapak Abu Sholeh, selaku Kepala Desa Tenggulun yang telah memberikan
izin dan kesempatan bagi penyusun untuk mengadakan penelitian serta
memberikan data-data yang penyusun butuhkan selama melaksanakan
penelitian.
7. Bapak Sukaeri, Bapak Ma’sum, dan Bapak Mohammad Hasan selaku tokoh
masyarakat yang telah memberikan bantuan dan masukan bagi penyusun
dalam penelitian ini.
vii
8. Bapak dan Ibu responden baik dari pihak penggarap maupun pihak pemilik
lahan yang bersedia diwawancarai dan memberikan data-data yang penyusun
butuhkan selama mengadakan penelitian.
9. Orang Tua tercinta Ibunda Nasriyah dan Ayahanda Samiaji yang telah
mengasuh, membesarkan, mendoakan, mendidik, dan selalu memberikan
semangat, bantuan baik moral maupun materil kepada penulis. Rasanya tidak
pernah cukup untuk berterima kasih semoga Allah SWT selalu mencurahkan
rahmat dan kasih sayang kepada keduanya.
10. Sahabat-sahabatku CIM tercinta dan seperjuangan, Laila yang selalu ada
waktu untuk menemani disaat senang dan duka dan yang selalu ada disaat
penyusun butuhkan. Nida, meli, dan yuni sahabat terbaik sejak semester awal.
Kebersamaan dengan kalian merupakan pengalaman yang tidak dapat
penyusun lupakan.
11. Keluarga Besar WASIAT Jakarta yang menjadi keluarga kedua penyusun
selama berada di perantauan, sehingga bisa membentuk karakter penulis yang
seperti sekarang. Kebersamaan kalian tidak akan pernah terlupakan. Semoga
selamanya tetap terjaga.
12. Teman seperjuangan di Jurusan Perbankan Syariah angkatan 2010, khususnya
teman sekelas PS.D SQUAD, teman-teman KKN CABE 2013, yang selalu
memotivasi, semoga tali silaturrahmi kita tetap terjalin.
viii
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, maka dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritik dan
masukan yang membangun agar penulis dapat menulis dengan lebih baik lagi di masa
mendatang.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT membalas semua kebaikan semua pihak
yang telah memberikan doa, dukungan, serta bantuan. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengembangan ilmu
Ekonomi Islam.
Jakarta, 12 Nopember 2014
penulis
Iin Hamidah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................. ...............ii
LEMBAR PERNYATAAN.........................................................................................iii
ABSTRAK................................................................................. ..................................iv
KATA PENGANTAR...................................................................................................v
DAFTAR ISI..............................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Identifikas Masalah..........................................................................6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................6
D. Tujuan dan Mafaat Penelitian..........................................................7
E. Metode Penelitian............................................................................9
F. Sistematika Penulisan....................................................................12
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Teori Umum
1. Taghrir.....................................................................................14
2. ‘urf...........................................................................................18
3. Sistem Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian....................20
ix
B. Kerja Sama Pertanian dalam konteks Islam
1. Istilah Kerja Sama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Menurut
Konsep Islam...........................................................................20
2. Dasar Hukum KerjaSama (BagiHasil) dalam Islam................25
3. Rukun dan Syarat Kerjasama (BagiHasil) dalam Islam..........28
4. Para Pihak dalam Perjanjian Bagi Hasil..................................31
5. Sifat Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian........................32
6. Hikmah Kerjasama (BagiHasil) dalam Pertanian....................33
7. Berakhirnya Kerjasama (BagiHasil) dalam Pertanian.............33
8. Ketentuan-ketentuan Kerjasama (BagiHasil) dalam
Pertanian..................................................................................34
C. Review Studi Terdahulu................................................................39
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan......................................41
B. Gambaran Umum Desa Tenggulun...............................................44
C. Kondisi Sosialisasi Desa Tenggulun.............................................51
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Sistem Pertanian Desa Tenggulun.................................................52
B. Sistem Kerja Sama Bagi Hasil Pertanian dan Kesesuainnya dengan
Prinsip Fiqh Mu’amalah
1. Alasan Kerjasama (Bagi Hasil) dilakukan...............................55
x
2. Pengetahuan Masyarakat terhadap Bagi Hasil dalam Konsep
Islam..................................................................................59
3. Kata Sepakat dalam Akad........................................................60
4. Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia.....................................61
5. Bentuk Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil................................62
6. Lamanya Waktu Perjanjian.....................................................64
7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Sama........................................66
8. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
di Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan..........................................................................68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................71
B. Saran.......................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan Negara Agraris dan tanahnya terkenal subur.
Hampir 50% dari total tenaga kerja bekeja di sektor pertanian. Sektor pertanian dan
pedesaan memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional.
Melihat pentingnya sektor pertanian dan pedesaan, selain sebagai andalan mata
pencaharian sebagian besar penduduk, sektor pertanian dan pedesaan juga mampu
meningkatkan sumbangan kepada PDB (Produk Domestik Bruto), memberikan
kontribusi terhadap ekspor (Devisa), bahkan ketika terjadi krisis moneter, sektor
pertanian dan pedesaan mampu menjadi penyangga perekonomian nasional.1
Islam sebagai ajaran yang mengajarkan kehidupan yang seimbang antara
material dan spiritual, dunia dan akhirat, memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap kegiatan pertanian dan cabangnya. Perhatian tersebut terlihat dari
banyaknya ayat al-Qur‟an, matan hadis, dan kehidupan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya yang berkaitan dengan pertanian. Kegiatan pertanian dalam Islam bukan
hanya semata-mata kegiatan duniawi dan material, melainkan bersifat ukhrawi
spiritual. Dengan demikian, kegiatan pertanian dalam Islam harus ditujukan untuk
meyakini adanya Allah SWT dan mengagungkan kebesarannya.2
1 Soekartwi, Agribisnis Teori dan Aplikasinya, cet.VI, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada,
2001), h.10. 2 Jusuf Sutanto, dkk, Revitalisasi Pertanian dan Dialog peradaban (Jakarta: Kompas, 2006),
h.693-694.
2
Tanah atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Pertanian
harus mendapatkan perhatian, karena melalui pertanian manusia dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya terutama dalam hal mendapatkan makanan.3 Pertanian juga
sangat penting keberadaannya dalam masyarakat. Ajaran Islam mengatur praktek-
prakteknya agar sesuai dengan syariat. Selain itu juga Islam menganjurkan apabila
seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian maka ia harus memanfaatkannya dan
mengolahnya.
Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara
sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam seperti halnya dengan cara diolah
sendiri oleh yang punya atau dengan cara dipinjamkan kepada orang lain untuk
dikelola dengan menggunakan bagi hasil. Hal ini dilakukan karena dalam masyarkat
ada sebagian diantara mereka yang mempunyai lahan pertanian, tetapi tidak
mempunyai kemampuan bertani, baik dalam segi modal maupun dalam segi
kemampuan tenaga. Ada juga sebagian yang lainnya yang tidak memiliki apapun,
tetapi mempunyai tenaga untuk bertani. Agar tidak ada tanah pertanian yang
menganggur, maka Islam mengharuskan kepada setiap pemilik lahan untuk
memanfaatkannya sendiri. Jika pemilik tidak dapat mengerjakan dengan
kemampuannya sendiri, maka pengelolaannya dapat diserahkan kepada orang lain
yang lebih ahli dalam pertanian. Maka dengan adanya peraturan seperti ini keduanya
dapat hidup dengan baik. Karena selain itu juga, dalam sistem bagi hasil pertanian
sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan
3 Izzudin khatib al-Tamim, Bisnis Islami, cet.I, (Jakarta: Fikahari Aneska, 1992), h.56.
3
dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalah pahaman antara pemilik tanah
dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang didapatkan terkadang tidak
sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan
ditanam.
Islam mempunyai solusi memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem yang
lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara
kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem muzra’ah, mukhabarah, dan
musaqah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam.4
Aspek pertanian merupakan aspek penting dalam mengembangkan
pertumbuhan suatu negara, sebagaimana al-Syaibani lebih mengutamakan usaha
pertanian daripada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai
kewajibannya.5
Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang
berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa
kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang
4 Muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya yang bibitnya
berasal dari pemilik tanah. Mukhabarah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya
yang bibitnya berasal dari petani. Sedangkan musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun atau
tanaman dan pengelola untuk memelihara dan merawat kebun. Dan semuanya dengan kesepakatan
bagi hasil dari hasil panen yang didapatkan. 5 Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, “al-Iktisab fi al-Rizq al-Mustathab”, dalam Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Jakarta:Pustaka Asatruss,
2005), h.96.
4
dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya
aktivitas bagi hasil tersebut.
Sistem bagi hasil banyak ditemui di Indonesia sejak jaman kuno sampai
sekarang, yaitu pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan. Mukhabarah dan
muzara’ah dengan persentase 50%:50% adalah yang umum dipraktekan. Kerjasama
bagi hasil memelihara ternak dengan cara maro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50%
dari anak ternaknya atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak
diserahkan kepada pemeliharannya).
Bagi hasil tanah pertanian antara pemilik tanah dan penggarap sudah diatur
sedemikian rupa oleh hukum Islam dan Undang-Undang di Indonesia. Dalam hukum
Islam banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mengenai tentang sistem pertanian.
Sistem-sistem tersebut dikenal dengan istilah muzra’ah, mukhabarah, musaqah dan
mugharasah. Dalam Undang-Undang di Indonesia juga telah diatur tentang bagi
hasil pertanian yang berlaku secara menyeluruh yaitu Undang-Undang no 2 tahun
1960 yang mengatur perjanjian bagi hasil pemilik tanah dan penggarap dengan
pembagian bagi hasil yang adil dengan menegaskan hak dan kewajiban para pihak
yang melakukan akad tersebut.
Desa Tenggulun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Solokuro Kabupaten Lamongan dengan jumlah pnduduk 2.515 jiwa atau 688 KK
yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sistem pertanian yang
dipakai oleh masyarakat bermacam-macam sesuai dengan adat dan kondisi
5
penduduk. Namun, tidak semua petani mempunyai tanah pertanian sendiri, bagi
petani yang tidak mempunyai tanah pertanian mereka bekerja menegelola tanah
petani lainnya yang mempunyai tanah. Salah satu sistem pengelolaan pertanian yang
dipakai oleh penduduk Desa Tenggulun adalah sistem garapan sawah parohan atau
sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil garapan sawah di Desa Tenggulun ini berbeda dengan
sistem bagi hasil di daerah lain pada umumnya. Bagi Hasil tersebut tidak ada
ketentuan presentase antara pemilik lahan dengan petani penggarap. pembagian hasil
panen sesuai dengan panendapatan panen yang dihasilkan. Ketentuan yang
dijelaskan dalam fiqh mu‟amalat, setiap melakukan akad perjanjian dengan pihak
lain harus ada perjanjian bagi hasil yang ditentukan di awal ketika melakukan akad.
Tetapi perjanjian akad yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun ini tidak
sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam fiqh mu‟amalat. Dilihat dari kebiasan
masyarakat Desa Tenggulun melakukan bagi hasil dalam sistem pertanian terdapat
ketidakadilan, dimana petani penggarap mendapatkan bagian lebih besar daripada
pemilik lahan, seperti merugikan pemilik lahan.
Untuk itu, penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan ini menjadi
suatu masalah penelitian untuk mengetahui sejauh mana konsep Islam dipraktekkan
dalam melakukan kerja sama di bidang pertanian. maka dari itu penulis mengangkat
tema skripsi dengan judul,
6
“KESESUAIAN KONSEP ISLAM DALAM PRAKTIK KERJASAMA
BAGI HASIL PETANI DESA TENGGULUN KECAMATAN SOLOKURO
KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Sebelum melakukan perumusan masalah, sebaiknya penulis melakukan
pengidentifikasian masalah terlebih dahulu yang ada sangkut paut dan hubungannya
dengan tema yang diangkat tersebut, diantaranya:
1. Sistem pertanian apa yang dipakai oleh masyarakat Desa Tenggulun?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktik bagi hasil pertanian
yang ada di Desa Tenggulun tersebut?
3. Apakah praktik bagi hasil pertanian yang ada di Desa Tenggulun sesuai
dengan konsep syariah?
C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Istilah kerjasama dalam konsep Islam di bidang pertanian telah mencakup
pembahasan yang banyak, diantaranya ada yang disebut muzara’ah, mukhabarah,
dan musaqah.
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak terlalu meluas,
maka penulis membatasinya dalam masalah kesesuaian konsep Islam dalam praktik
kerjasama bagi hasil petani khususnya yang dilakukan masyarakat Desa Tenggulun
Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Yang dimaksud dengan kesesuaian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) yaitu kecocokan; keselarasan (tt pendapat, paham, nada, kombinasi, warna,
7
dsb); 6 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsep berarti rancangan
atau buram surat dsb; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret;
gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa, yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal itu.7 Jadi dapat disimpulkan
konsep Islam yaitu gagasan yang dirancang sebaik mungkin sesuai dengan peraturan-
peraturan Islam dan tidak menyimpang dari peraturan yang sudah ditentukan.
Sedangkan pengertian petani menurut UU No.2 tahun 1960 “petani adalah orang,
baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian
pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian”. Dan menurut UU No.19
Tahun 2013 “petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan atau beserta
keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan/atau peternakan.”
Dari pembatasan masalah tersebut, maka perumusan masalah berfokus pada
permaslahan-permasalahan berikut:
1. Bagaimana praktik sistem bagi hasil di Desa Tenggulun?
2. Bagaimana petani Desa Tenggulun menerapkan sistem kerja sama bagi
hasil dan kesesuaiannya dengan prinsip fiqh mu‟amalat?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah:
6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet.I,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 831 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet.I, h.
456
8
1. Mengetahui kerjasama bagi hasil yang dipraktikkan di Desa Tenggulun.
2. Menganalisa kerjasama yang dipraktikkan petani dengan menyesuaikan
prinsip yang ada dalam fiqih muamalah.
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan ada banyak manfaat bagi
kalangan masyarakat, diantaranya:
a) Bagi peneliti
Dapat memberikan pemahaman kepada penulis sebagai peneliti terhadap
permasalahan sistem bagi hasil yang ada di pedesaan, khususnya di Desa Tenggulun
kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan Jawa Timur.
b) Bagi petani
Menambah pengetahuan dan informasi mengenai sistem pertanian yang baik
menurut konsep syari‟ah, sehingga dapat mengembangkan sistem pertanian di
masyarakat menjadi lebih baik.
c) Bagi masyarakat luas
Menambah wawasan secara umum mengenai perjanjian kerja sama di bidang
pertanian dan sistem bagi hasil pertanian yang baik menurut konsep syari‟ah.
d) Bagi pembaca
Menambah informasi tentang sektor pertanian, terutama dalam sistem bagi
hasil yang baik sesuai konsep syari‟ah dan mengetahui transaksi pertanian yang
banyak dipraktekan masyarakat pedesaan, khususnya di daerah Desa Tenggulun.
9
E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kegiatan yang meneliti aktifitas ekonomi yang
terjadi dalam masyarakat, bagaimana sistem ekonomi diterapkan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap masyarakat tersebut, dalam hal ini biasanya disebut dengan
sosiologis ekonomi.
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam menulis skripsi ini adalah menggunakan
metode penelitian kualitatif, yaitu dapat diartikan sebagai penelitian yang
menghasilkan data deskriptif mengenai kat-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah
laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.8 Metode kualitatif biasanya
data-datanya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Penelitian ini tergolong pada
penelitian deskriptif, yaitu salah satu jeni penelitian yang tujuannya untuk
menyajikan gambaran lengkap mengenai hukum dan setting sosial atau hubungan
antara fenomena yang diuji.
2. Sumber data
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden,
melalui masyarakat yang dijadikan objek penelitian yang berkaitan
dengan materi skripsi ini.
8
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan,
cet.VI, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2011), h.166
10
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan-laporan atau
data yang didapat dari responden serta diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, surat kabar,
internet dan kepustakaan lain yang berkaitan dengan skripsi.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan
akad kerjasama pertanian, seperti pihak yang memiliki lahan, pihak penggarap, dan
para pihak lainnya yang terkait, seperti tokoh agama setempat, jajaran penerintahan
pertanian setempat dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini
adalah praktek kerjasama (Bagi Hasil) khususnya dalam sektor pertanian antara
pemilik laan dan petani penggarap yang ada di Desa Tenggulun.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan kualitas data yang valid, maka metode pengumpulan
data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu penulis melakukan pengamatan secara langsung di
lapangan.
b. Studi dokumentasi, yaitu dengan membaca dan menganalisis dari buku-
buku, dokumen-dokumen, jurnal-jurnal yang relevan berkaitan dengan
permasalahan.
11
c. Wawancara, yaitu penulis melakukan tanya jawab langsung terhadap
pihak yang terkait untuk mendapat data yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
5. Pengolahan dan Analisa Data
Dalam menyusun karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa langkah
dan tahapan untuk menyajikan data yang diperoleh. Tahapan-tahapan tersebut
diantaraya:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam hal ini berupa data-data mentah dari hasil
penelitian, seperti: hasil wawancara, dokumentasi, catatan lapangan dan
sebagainya.
b. Reduksi Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan, wawancara, catatn lapangan,
serta bahan-bahan data lain yang ditemukan dilapangan dikumpulkan dan
diklasifikasikan dengan membuat catatan-catatan ringkasan, mengkode untuk
menyesuaikan menurut hasil penelitian.
c. Penyajian Data (Display Data)
Data yang sudah dikelompokkan dan sudah disesuaikan dengan kode-
kodenya, kemudian disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif agar mudah
dipahami secara keseluruhan dan juga dapat menarik kesimpulan untuk
melakukan penganalisisan dan penelitian selanjutnya.
12
d. Kesimpulan Verifikasi
Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali
dengan mencocokkan pada reduksi dan display data, agar kesimpulan yang
telah dikaji dapat disepakati untuk ditulis sebagai laporan yang memiliki
tingkat kepercayaan yang benar.
6. Teknik Penulisan
Dalam teknik dan pedoman yang digunakan oleh penulis disesuaikan dengan
kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi 2012”
yang diterbitkan oleh Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memberikan gambaran sederhana agar memudahkan dalam penulisan
skripsi maka disusun sistematika penulisan yang terdiri dari:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, tujuan pustaka,
metode penelitian dan teknik penelitian, teknik penulisan, serta sistematika
penulisan.
BAB II: KERANGKA TEORI
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang berkaitan dengan teori dalam
pembahasan skripsi, diantaranya: gharar, „urf, konsep Islam dalam sistem kerjasama
bagi hasil yang menjabarkan tentang sistem bagi hasil kerjasama dalam pertanian,
pengertian dan dasar hukum sistem bagi hasil kerjasama dalam pertanian menurut
13
Islam, bentuk-bentuk kerjasama dalam petanian, rukun dan syarat kerjasama dalam
pertanian, sifat akad kerjasama dalam pertanian, ketentuan-ketentuan kerjasama
dalam pertanian, akibat atau hikmah kerjasama dalam pertanian, dan berakhirnya
kerjasama dalam pertanian.
BAB III: GAMBARAN UMUM WILAYAH
Bab ini berisi tentang gambaran umum kabupaten Lamongan, gambaran
umum Desa Tenggulun yang meliputi kondisi geografis dan sosial masyarakat,
kondisi sosial masyarakat Desa Tenggulun, sistem bagi hasil pertanian masyarakat
Desa Tenggulun.
BAB IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi tentang analisa kesesuaian konsep Islam dalam praktik Kerjasama bagi
hasil petani Desa Tenggulun.
BAB V: PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan bab-bab
sebelumnya serta saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa
Tenggulun dalam sektor pertanian.
14
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Teori Umum
1. Taghrir
a. Pengertian Taghrir
Taghrir berasal dari Bahasa Arab gharar, yang berarti: risiko, bahaya.1
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu
pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan oyek
akad, sedangkan pihak lain tertutup dari informasi tersebut, atau keadaan dimana
subyek akad sulit dikontrol (dikuasai) oleh pihak berakad, namun keadaan tidak
jelas dan tertutupi itu juga dapat terjadi pada kedua belah pihak yang berakad.2
Dalam istilah fiqih mu‟amalah, taghrir berarti melakaukan sesuatu secara
membabi buta tanpa pengetahian yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri
dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan pesis apa
akibatnya, atau memasuki kancah risiko tanpa memikirkan konsekuensinya.3
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang
tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Al-Kasani al-Hanafi
berpendapat gahrar adalah bahaya yang dipastikan akan muncul bagi kedua belah
pihak atau salah satu pihak.4 Menurut ar-Ramli as-Syafi‟i gaharar yaitu suatu
1
Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.1347 2 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam
:Solusi Ekonomi Islam (Jakarta: Migunani, 2008), h. 285 3 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid IV, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1996), h.161 4 Al-Kasani al-Hanafi, “ al-Badai‟ ash-Shana‟i”, dalam
Muhammad Shalah Muhammad
Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
15
urusan yang mengandung dua hal yang paling dominan adalah terjadinya suatu
yang ditakuti.5 Ibnu Arafah al-Maliki juga berpendapat bahwa sesuatu diragukan
secara seimbang tentang keberhasilan mendapat salah satu penukar atau tentang
keberhasilan mendapat manfaatnya disebut dengan gharar.6 Definisi gharar
menurut al-Maziri al-Maliki adalah sesuatu yang berkisar antara selamat dan
rusak.7 Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Hanbali gharar yaitu sesuatu yang
tertutup informasinya dan tidak jelas realitasnya.8
Oleh karena gharar suatu ketidakjelasan yang berlebihan, maka kita dapat
mengategorikan gharar sebagai sbuah elemen dari resiko. Gharar juga dapat
disebut sebagai salah satu cara untuk memanage risiko dalam Islam, seperti dalam
pelaksanaan bisnis untuk akad yang berbasis profit and-loss sharing dimana
kedua pihak akan berhati-hati dalam melaksanakan usaha, selanjutnya operasional
bisnis akan semakin responsible (dapat dipertanggungjawabkan) dan accountable
(dapat percayai).
b. Hukum-hukum Gharar
Berdasarkan hukumnya, gharar dibagi menjadi tiga yaitu:9
Gharar yang diharamkan secara ijma‟ ulama, yaitu gharar yang menyolok
atau kuantitasnya banyak (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan
5 Ar-Ramli, “Nihayah al-Muhtaj”, dalam
Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi,
Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
6 Mawahib al-Jalil, “Syarh Muhtashar Khalail”, dalam
Muhammad Shalah Muhammad
Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
7 Ad-Dusuqi, “Hasyiyah ad-Dusuqi „ala as-Syarh al-Kabir”, dalam
Muhammad Shalah
Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
8 Ibnu Qayyim, “Zad al-Ma‟ad”, dalam
Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi,
Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 288
9 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam
:Solusi Ekonomi Islam, h. 289
16
dan tidak perlu dilakukan. Inilah jenis gharar yang dilarang dan diharamkan.
Adapun dalil yang melarang jual beli gharar yaitu:
ع وسلم وه الل عل صل ززة أن رسىل الل ع الحصاة وعه بع الغزر )رواي ه عه أب ب
اجلماعت إالالبخار عه أيب ززة(
“Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad S.A.W melarang dari
melakukan bai‟ al-Hashat dan jual beli gharar” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah)”10
Ghrarar yang diharamkan secara ijma‟ ulama, yaitu gharar yang
mneyolok (al-gharar al-Katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak
perlu dilakukan. Cotoh jual beli mulamasah.11 Tidak ada perbedaan pendapat
ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
Gharar yang dibolehkan secara ijma‟ ulama, yaitu gharar ringan atau
jumlahnya sedikit (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar
sedikit maka ia tidak berpengaruh unutuk membatalkan akad. Contoh seseorang
membeli rumah dengan tanahnya, maka keadaan pondasi rumah tidak jelas seperti
ukuran dalam, lebar, dan isinya.
Gharar yang kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya masih
diperdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya kuantitas,
dikembalikan kepada kebiasaan. Cotoh menjual barang sebelum diterima.
10
Muhammad al-Shan‟ani, “Subul al-Salam”, dalam Muhammad Shalah Muhammad
Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 288
11 Bai‟ Mulamasah yaitu satu bentuk akad jualbeli, dimana barang yang dipegang oleh
pihak pembeli itulah yang menjadi barang yang dijual.
17
Ibnu Qayyim berkata: “jika gharar hanya sedikit atau tidak mungkin
dihindari, ia tidak akan menjadi penghalang dari keabsahan akad. Berbeda dengan
gharar yang banyak dan mungkin dihindari, yaitu macam-macam gharar
terlarang yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW.”12
Ibnu Taimiyah berkata:”bahaya gharar lebih kecil daripada riba, maka
sebagiannya diberi keringanan hukum karena adanya sulit dihindarkan dan perlu
diberi keringanan, karena jika ia juga diharamkan maka keadaan mu‟amalat
manusia akan lebih sulit lagi dari pada akibat terjadinya gharar itu sendiri.”13
c. Macam-macam Gharar
Gharar terbagi menjadi tiga, yaitu: 14
1) Barang yang belum ada (al-ma‟dum)
Gharar al-ma‟dun dibagi oleh Ibnu Qayyim menjadi tiga, yaitu:
a) Diyakini akan ada. Disepakati oleh ulama tentang kebolehan
jual belinya.
b) Diragukan akan ada (masih belum bisa dipastikan akan ada).
Para uama berbeda pendapat tentang kebolehan jual belinya.
Seperti mentimun ketika buahnya mulai layak dikonsumsi,
maka ada ulama yang membolehkannya dan ada pula yang
melarangnya tergantung dari pendapat mereka tentang jaminan
kesamaan mutu barang dan jumlahnya.
12
Ibnu Qayyim, “Zad al-Ma‟ad”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi,
Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 2890
13 Ibnu Taimiyah, “al-Qawaid an-Nuriyah”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-
Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 290
14 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam
:Solusi Ekonomi Islam, h. 290
18
c) Diragukan akan ada secara dominan (tidak bisa dipastikan ada,
lebih dekat pada gambling)
2) Barang yang sulit diserahkan (al ma‟juz „an taslimihi)
Diantara jenis barang yang sulit diserahkan, ada pelarangannya
yang disepakati ulama dan ada yang diperdebatkan. Di antara
contoh gharar jenis ini yang diperdebatkan adalah menjual suatu
barang sebelum diterima atau masuk dalam penguasaan (bai‟ qabl
al-qabdh).
3) Jual beli barang yang tidak jelas (al-majhul)
Jual beli barang yang tidak jelas adalah salah satu jenis jual beli
gharar. Ketidakjelasan barang terdiri dari empat macam, yaitu:
a) Ketidakjelasan mutlak, tanpa memberi tahu jenis, kadar,
macam, dan suatu sifat yang ada dalam barang tersebut.
b) Ketidakjelasan jenis atau kadar barang.
c) Ketidakjelasan sifat, meskipun jenis dan kadarnya diketahui.
d) Ketidakjelasan „ain barang. Misalnya menjual suatu barang
yang dimiliki secara bersama, lalu penjual ingin menjual
bagiannya.
2. ‘Urf
„urf disebut pula dengan al-„adah, artinya kebiasaan. Hanya saja, di dalam
„urf ada yang berpendapat tidak ada kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash
Al-Quran dan hadis yang sahih, sedangkan dalam adat ada kebiasaan yang sahih
19
dan ada pula yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat Islam yang telah
ditetapkan kedudukan hukumnya oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Menurut Rachmat Syafi‟i dalam hukum Islam, adat disebut juga dengan
istilah „urf yang secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkanya. Setiap adat atau „urf akan mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya, sehingga „urf tidak berlaku
universal, bukan hanya lokal, bahkan „urf sifatnya persial. Berlaku di desa
tertentu, tetapi bertentangan dengan desa lainnya.15
Dalam hukum Islam, adat itu dibagi dua, yaitu:16
a. Adat shahihah, yaitu adat yang merupakan kebiasaan masyarakat yang
tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber
dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak bertentangan dengan akal sehat,
juga tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan
apabila dilaksanakan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat
b. Adat fasidah, yakni adat yang rusak, sebagaimana adat kebiasaan yang
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari Al-
Quran dan As-Sunnah, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan
undang-undang yang berlaku.
Sehingga berijtihad dapat dilakukan dengan metode „urf atau adat,
terutama apabila adat yang berlaku secara normatif tidak bertentangan
dengan syariat yang telah berlaku.
15
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 190
16 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, h. 191
20
3. Sistem Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian
Perjanjian bagi hasil dalam kontek masyarakat Indonesia sudah dikenal,
yakni di dalam hukum Adat. Akan tetapi bagi hasil yang dikenal dalam hukum
Adat adalah bagi hasil yang menyangkut pengelolaan tanah pertanian. Bagi hasil
adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang
diperoleh dari pengolahan tanah itu.
Konsep perjanjian bagi hasil pengelolaan tanah pertanian telah diadopsi ke
dalam hukum positif dengan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam ketentuan pasal 1
mengemukakan bahwa:
“perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang
diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau badan hukum pada
pihak lain – yang dalam Undang-Undang ini disebut “penggarap” – berdasarkan
perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya
antara kedua belah pihak”.
Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil adalah
perjanjian pengolahan tanah dengan upah, berupa sebagian dari hasil yang
diperoleh dari pengelolaan tanah itu.
B. Kerjasama Pertanian dalam Konteks Islam
1. Istilah Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Menurut Konsep
Islam
Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan melakukan
sesuatu; yang dilakukan (diperbuat); sesuatu yang dilakukan untuk mencari
21
nafkah; mata pencaharian. Sedangkan Kerja Sama yaitu kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah dsb) untuk mencapai tujuan
bersama.17
Kerjasama dalam usaha pertanian ada berbagai macam istilah, diantaranya
yaitu muzara‟ah, mukhabarah, dan musaqah. Dalam fikih terdapat dua akad yang
berhubungan dengan kerja sama pengelolaaan tanah; 1) akad yang berkaitan
dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan 2) akad yang berkaitan dengan
pemeliharaan tanaman. Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan
dari segi pihak penyedia benih: 1) akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal
dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara‟ah.; dan 2) akad pengelolaan
tanah yang benihnya hanya berasal dari penggarap tanah disebut mukhabarah.
Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan
penyiraman) tanaman disebut musaqah.
a. Musaqah
Musaqah adalah kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan
bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.18
Secara etimologi
musaqah berarti perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang menggarapnya
dengan ketetapan hasil itu menjadi milik bersama (pemilik pohon dan penggarap).
Sedangakan menurut terminologi, para ulama ahli fiqih mendefinisikan
musaqah yang beragam, di antaranya:
17
Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 681 18
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003),
h.243.
22
1) Abdurrahman al-Jaziri, mendefinisikan musaqah dengan “akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan
syarat-syarat tertentu.”19
2) Ulama golongan Malikiyah, mendefinisikan musaqah dengan “sesuatu
yang tumbuh di tanah”.20
3) Ulama golongan Syafi‟iyah, mendefinisikan musaqah dengan
“mempekerjakan petani penggarap unutk menggarap kurma atau pohon
anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau
anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap.”21
4) Menurut ulama Hanabilah, bahwa musaqah itu mencakup dua masalah:
a) Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon
anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan
sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau
setengahnya.
b) Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum
ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada
tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah
pohon yang ditanamnya.22
19
Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah”, dalam Abdul Rahman
Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010), h.109. 20
Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah”, dalam Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.145
21 Asy-Syarbaini al-Khatib , “Mugn i al-Muhtaj”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh
Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h.282
22 Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah”, dalam Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, h.147
23
Menurut Abu Hanifah dan Zufar Ibn Huzail, bahwa akad musaqah itu
dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini
adalah tidak sah, karena musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang
dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.23
Sedangkan
jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan as-
Syaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi berpendirian bahwa akad musaqah
dibolehkan, karena didasarkan atas ijma‟ sudah merupakan suatu transaksi yang
amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi keperluan hidup mereka dengan
syarat-syarat tertentu, dan juga karena kebutuhan manusia untuk bekerja dan
memperkerjakan.24
b. Mukabarah dan muzara‟ah
Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan
penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan
penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari
penggarap tanah.25
Imam Syafi‟i mendefinisikan mukhabarah dengan:
ببعط ما خزج مىها والبذر مه العامل عمل األرض
23
Imam Al-Kasani, “al-Bada‟i‟u as-Shana‟i‟u”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,
h.282
24 Asy-Syarbaini al-Khatib, “Mugni al-Muhtaj”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,
h.282 -283
25
Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, cet.II, h.117.
24
“pengolahan lahan oleh petani dengan imbalan hasil pertanian,
sedangkan bibit pertanian disediakan pengolah lahan”.26
Penduduk Irak biasa menyebut muzara‟ah dengan sebutan mukhabarah,
jadi menurut mayoritas ulama keduanya memiliki pengertian yang sama. Akan
tetapi ada yang berpendapat lain yakni menurut al-Rafi‟i dan al-Nawawi, bahwa
muzara‟ah dan mukhabarah mempunyai makna yang berbeda. Muzara‟ah dan
mukhabarah mempunyai arti yang sama, yang menjadi pembeda hanyalah
sebatas masalah asal bibit pertanian, dimana pada muzara‟ah bibit berasal dari
pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah bibit berasal dari pengelola lahan
(petani).27
Dalam pengertian istilah, muzara‟ah diartikan sebagai suatu cara untuk
menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara
pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi diantara
mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian
atau berdasarkan „urf (adat kebiasaan).
Ulama Malikiyah menjelaskan muzara‟ah adalah persyarikatan atau
perkongsian dalam bidang pertanian, sedangkan ulama Hanabilah menjelaskan
bahwa muzara‟ah adalah penyerahan lahan pertanian kepada penggarap untuk
diolah/dikelola dan hasilmya dibagi dua (antara pemilik lahan dan penggarap).28
26
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002), h.272 27
Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I,
(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah: 2011), h.134. 28
Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan
Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h.166
25
Hanafiah memberikan defiinisi muzara‟ah yaitu suatu ibarat tentang akad
kerja sama penggarapan tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syarat-
syarat yang ditetapkan oleh syara‟.
Syafi‟iyah mendefinisikan muzara‟ah yaitu pengolahan tanah oleh petani
dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap
tanah.29
Sedangkan Hanabilah mengartikan muzara‟ah adalah penyerahan tanah
pertanian kepaa seseorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua
(paroan).30
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah dilakukan pada perkebunan yang
benihnya relatif murah, seperti padi, jagung, dan kacang. Namun, tidak tertutup
kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah dilakukan kerja sama
muzara‟ah.
2. Dasar Hukum Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian
Dasar Hukum mengenai diperbolehkannya perjanjian bagi hasil terdapat
dalam al-Quran dan Hadis. Mengenai kebolehan dalam mengadakan kerja sama
bagi hasil terdapat dalam Hadits yang diriwaytkan oleh Muslim, yang
berbunyi:31
كان خا بز, قال عمز ذي املعه طا وص أو ا أبا عبذالزحمه لى تزكت خابزة فئوهم و فقلت ل وسلم وه عه المخابزة فقال أي عمزو صل اهلل عل : أخبزو أعلمهم شعمىن أن الىب
29
Syamsudin Muhammad ibn al-Khatib al-Syarbini, “Mughni Al-Muhtaj ila Ma‟rifah
Ma‟ani Alfazh al-Minhaj”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan
Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.134. 30
Ibnu Qudamah, “Al-Qudamah”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah
dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.134. 31
Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir, Mukhtashar
Shahih Muslim, cet.I, (Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012), h.479.
26
عىهلبذ وسلم لم ى صل اهلل عل ا إوما قال مىح احذكم أخاي خز ك عى ابه عباص أن الىب مسلم ) ها خزجا معلىما ] أخزج مه أن أخذ عل )٨٤٥١ل ([ ٨٤١ -٨١/٨٤١(, والىبى
“Dari Thawus r.a bahwa ia suka mukhabarah. Amru berkata: Lalu aku
katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan
mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi S.A.W telah melarang
mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku
orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu , yaitu Ibnu Abbas bahwa
Nabi S.A.W tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang
memberi manfaat kepdaa saudaranya lebih baik daripada ia mengambil
manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (H.R Muslim 1548. An-
Nawawi 10/156-158).
Dalam hukum positif, bagi hasil khususnya dalam masalah pertanian yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dalam penjelasan
umum poin ketiga Undang-Undang ini menyebutkan bahwa:
“dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah
terhadap praktik-praktik yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang
kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan diatas,
maka dalam bidang Agraria diadakanlah Undang-Undang ini. Yang bertujuan
mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud:
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya
dilakukan atas dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban dari para pemilik dan
penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para
penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam
kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia
tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi
penggarapnya adalah sangat besar.
27
c. Dengan terciptanya kondisi a dan b, maka akan menambah
kegembiraan para petani. “
Imam Abu Hanifah, Zufar bin Huzail (dari golongan Hanafiyyah), dan
Imam Syafi‟i tidak memperbolehkan akad muzara‟ah. Menurutnya, akad
muzara‟ah dengan bagi hasil seperti seperempat, seperdua, atau sepertiga
hukumnya batal. Akan tetapi, sebagian dari ulama golongan Syafi‟iyah
membolehkan akad muzara‟ah, dengan syarat bahwa akad harus mengikuti akad
musaqah, dan dengan alasan karena kebutuhan.32
Mereka menggunakan dalil
dengan hadits Nabi S.A.W, dari Tsabit bin adh-Dhahak:33
قال: دخلىا عل عبذاهلل به معقل فسألىاي عه املشار اهلل عى عت عبذاهلل به السائب رظ
وسلم وه عه المشا رعت, وأمز بالمؤا جزة, فقال: سعم ثابت أن رسىل اهلل صل اهلل عل
مسلم )وقال: ال بأ ص بها. )٨٤٥١]أخزج ([۱١/۱٤١(, والىىو
“Diriwayatkan dari Abdullah bin saib R.A, dia berkata, kami menemui Abdullah
bin „Aql dan menanyainnya tentang muzara‟ah. Dia berkata, Tsabit berkata
bahwasanya Rasulullah S.A.W melarang muzara‟ah (bagi hasil) dan
memerintahkan untuk muajarah (sewa-menyewa) dan mengatakan hal itu tidak
ada salahnya.” (HR.Muslim 1549, An-Nawawi 10/158)
Dalil yang dijadikan alasan oleh Abu Hanifah, Zufar, dan ulama Syafi‟iyah
adalah Hadits yang telah dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa Rasulullah
SAW melarang praktik mukhabarah (muzara‟ah). Menurutnya, objek akad
muzara‟ah dan mukhabarah belum ada dan tidak jelas ukurannya, karena yang
32
Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Ahmad Wardi Muslim,
Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2012), h.392 33
Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir, Mukhtashar
Shahih Muslim, cet.I, h.478.
28
dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-
ma‟dum) dan tidak jelas ukurannya (al-jahalah), sehingga keuntungan yang
akan dibagi sejak semula itu tidak jelas.
Ulama Malikiyah, Hanabilah, Imam Abu Yusuf serta Muhammad Ibn
Hasan al-Syaibani, dan ulama Zahiriah berpendpapat bahwa muzara‟ah
hukumnya boleh, karena objek akadnya cukup jelas, yakni menjadikan
penggarap sebagai syarik dalam pengolahan lahan pertanian.34
Menurut ulama yang membolehkan muzara‟ah yaitu Ulama Malikiyah,
Hanabilah, Imam Abu Yusuf, Ibn Hasan al-Syaibani, dan ulama Zahiriah, akad
muzara‟ah bertujuan untuk saling membantu antara penggarap dengan pemilik
lahan (pemilik lahan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengelola
lahannya secara langsung, dan penggarap tidak mampu untuk memiliki lahan
pertanian sendiri), wajarlah apabila akad muzara‟ah dipraktikkan karena
termasuk saling membantu dalam kebaikan dan takwa.35
3. Rukun dan Syarat Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Islam
Kerja Sama bagi hasil dilaksanakan dengan didahului sebuah perjanjian,
sehingga harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Menurut jumhur ulama
ada empat rukun yang harus dipenuhi, agar akad tersebut menjadi sah:
a. Pemilik lahan atau tanah
b. Petani/penggarap
c. Obyek (antara manfaat lahan dan hasil kerja petani)
34
Wahbah Zuhaily, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan
Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, h.168 35
Wahbah Zuhaily, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, h.168
29
d. Ijab dan qabul, secara sederhana cukup secara lisan
Rukun dalam akad bagi hasil pertanian menurut Hanafiyah adalah ijab dan
qabul, yaitu berupa pernyataan pemilik tanah, “saya serahkan tanah ini kepada
Anda untuk digarap dengan imbalan separuh dari asilnya”; dan pernyataan
penggarap “saya terima atau saya setuju”.36
Menurut Ulama Hanabilah, dalam akad ini tidak diperlukan qabul berupa
lisan atau perkataan, namun cukup dengan tindakan langsung atas tanah dari si
penggarap. Dengan demikian qabulnya dengan perbuatan (bil fi‟li).37
Adapun syarat-syaratnya yaitu:38
a. Pihak yang berakad harus berakal dan baligh.
Sebagian Ulama Hanafiyah, selain syarat tersebut mensyaratkan
pula bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik
tanah) bukanlah orang murtad, karena tindakan orang murtad
dianggap mauquf, yakni tidak mempunyai efek hukum hingga ia
masuk Islam kembali. Akan tetapi Jumhur Ulama membolehkan
akad ini dilakukan antara muslim dan non muslim termasuk
didalamnya orang murtad.
b. Benih yang ditanam harus jelas jenis buah dan/tanaman yang akan
ditanam dan dapat menghasilkan. Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad syarat yang berlaku untuk tanaman adalah harus jelas
36
„Alauddin Al-Kasani, “Bada‟ Ash-Shana‟i fi Tartib Asy-Syara‟i Juz 5”, dalam Ahmad
Wardi Muslim, Fiqh Muamalat, h.395 37
Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Ahmad Wardi Muslim,
Fiqh Muamalat, h.396 38
„Alauddin Al-Kasani, “Bada‟ Ash-Shana‟i fi Tartib Asy-Syara‟i Juz 5”, dalam Isnawati
Rais dan Hasanuddin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Cet.I, h.136-137
30
(diketahui). Dalam hal ini harus dijelaskan apa yang akan ditanam.
Namun dilihat dari ishtisan, menjelaskan sesuatu yang akan
ditanam tidak menjadi syarat karena apa yang akan ditanam
diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
c. Pembagian hasil panen pada masing-masing pihak harus jelas dan
ditentukan di awal akad, harus benar-benar milik bersama orang
yang berakad tanpa ada pengkhususan, tidak boleh berdasarkan
jumlah tertentu secara mutlak antara kedua belah pihak, dan
ditentukan pada setengah, sepertiga, atau seperempat yang
ditentukan pada awal terjadinya akad.
d. Tanah yang diolah jelas sifatnya, sifat tanahnya harus baik untuk
diolah dan dapat menghasilkan, dan diserahkan sepenuhnya kepada
pihak pengelola untuk diolah.
e. Objek akad harus jelas, baik berupa pemanfaatan jasa pengelola
dimana benih berasal dari pihak pengelola maupun pemanfaatan
tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah.
f. Jangka waktu pengelolaan harus jelas, dan penentunnya terjadi
pada akad dilaksanakan.
Apabila rukun dan syarat perjanjian bagi hasil telah terpenuhi, maka
perjanjian tersebut akan mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus
dilaksanakan dengan iktikad baik, perjanjian yang dibuat secara sah mengkikat
sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang melakukan akad.
31
4. Para Pihak dalam Perjanjian Bagi Hasil
Dalam perjanjian bagi hasil terdapat para pihak antara satu dengan yang
lain mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Dalam hal yang menjadi
obyek perjanjiannya adalah bagi hasil atas tanah pertanian, maka terdapat dua
pihak dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
a. Pihak Pemilik Lahan Pertanian adalah pihak yang memiliki lahan
pertanian, yang karena satu dan lain hal tidak cukup waktu untuk
menggarap tanah pertaniannya. Padahal terdapat larangan
menelantarkan tanah, sebagaimana yang dijelaskan dalam Islam
dan disebutkan dalam UUPA 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Oleh karena itu, tanah harus dimanfaatkan secara
produktif.
Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka pemilik lahan mempunyai
kewajiban untuk memberikan bagi hasil atas tanah pertanian
kepada penggarap yang besarnya sesuai dengan kesepakatan.
Pemilik lahan sendiri berhak untuk meminta penggarap mengolah
tanah pertaniannya dengan sebaik-baiknya, meminta bagian hasil
sebesar nisbah yang telah disepakati, serta mendapatkan tanahnya
kembali setelah habis masa berlaku dari perjanjian bagi hasil
tersebut.
b. Pihak penggarap adalah pihak yang mempunyai cukup waktu luang
dan mempunyai keahlian dalam bertani, namun tidak mempunyai
lahan pertanian. Oleh karena itu, pihak penggarap kemudian akan
32
menjalin dengan pemilik lahan pertanian dengan tujuan
mendapatkan pembagian hasil dari usahanya menggarap tanah
pertanian.
Berdasarkan pada kondisi tersebut, pihak penggarap mempunyai
kewajiban melaksanakan pengolahan tanah pertanian dengan
sebaik-baiknya, serta wajib mengembalikan tanah pertanian setelah
habis masa berlakunya perjanjian bagi hasil. Pihak penggarap
berhak atas kontraprestasi berupa bagian atas hasil yang diperoleh
dari lahan pertanian yang menjadi garapannya.
5. Sifat Kerjasama dalam Pertanian
Sifat akad ini menurut Hanafiah, sama dengan akad syirkah yang lain,
yaitu termasuk ghair lazim (tidak mengikat).39
Menurut Malikiyah, apabila sudah
dilakukan penanam bibit, maka akad menjadi lazim.40
Akan tetapi, menurut
pendapat yang mu‟tamad dikalangan Malikiyah, semua syirkah amwal hukumnya
lazim dengan terjadinya ijab dan qobul. Sedangkan menurut Hanabilah, akad ini
merupakan akad ghair lazim, yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak, dan
batal karena meninggalnya salah satu pihak.41
39
Ghair lazim yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh satu pihak yang berakad sama tanpa
harus ada kerelaan pihak lain.
40 Lazim yaitu akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah seorang yang berakad tanpa
kerelaan pihak lain
41 Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Isnawati Rais dan
Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.137-138
33
6. Hikmah Kerjasama dalam Pertanian
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak
pemilik tanah dengan pihak pengelolah tanah
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c. Tertanggulanginya kemiskinan
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang
memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
7. Berakhirnya Kerjasama dalam Pertanian
a. Apabila jangka waktu yang disepakati pada waktu akad sudah
berakhir. Namun, bila jangka waktunya sudah habis, sedangkan
belum layak panen, maka akad ini tidak batal melainkan tetap
dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama.
b. Meninggalnya salah satu pihak yang berakad. Menurut Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah bila salah satu dari pihak tadi wafat maka
akad ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya
proses penanaman. Namum Malikiyah dan Syafi‟iyah
memandangya tidak batal.42
c. Berakhir sebelum tujuannya dicapai dengan adanya berbagai uzur,
seperti: pemilik tanah terlibat hutang sehingga tanah tersebut harus
dijual, pengelola uzur dikarenakan sakit atau sedang bepergian jauh
42
Wahbah Zuhaily, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Isnawati Rais dan
Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.141-144
34
yang menyebabkan dia tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai pengelola.
8. Ketentuan-ketentuan Kerjasama dalam Pertanian43
a. Yang dilarang
1) Suatu bentuk akad (perjanjian) yang menetapkan sejumlah
hasil tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu
suatu syarat yang menentukan bahwa apapun hasilnya yang
diperoleh, pemilik tanah tetap akan menerima lima atau
sepuluh maund dari hasil panen.
2) Apabila hanya bagian-bagian tertentu dari lahan itu yang
berproduksi, misalnya bagian utara atau bagian selatan dan lain
sebagainya, maka bagian-bagian tersebut diperuntukkan bagi
pemilik tanah.
3) Apabila hasil itu berada dibagian tertentu, misalnya disekitar
aliran sungai atau didaerah yang mendapat cahaya matahari,
maka hasil daerah tanah tersebut disimpan untuk pemilik tanah,
semua bentuk-bentuk pengolahan semacam ini dianggap
terlarang karena bagian untuk satu pihak telah ditentukan
sementara bagian pihak lain masih diragukan, atau pembagian
untuk keduanya tergantung pada nasib baik atau buruk
sehingga ada satu pihak yang merugi.
43
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam II (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995), h. 286-289
35
4) Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah
tersebut tetap akan menjadi miliknya jika sepanjang pemilik
tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan
kepimilikannya manakala pemilik tanah menghendakinya.
Karena hal ini mengandung unsur ketidakadilan bagi para
petani atau akan membahagiakan hak-hak mereka dengan
adanya penarikan tanah yang telah menjadi milik mereka bisa
menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan. Oleh karena itu
syarat yang penting untuk keabsahan akad ini yaitu dengan
menentukan jangka waktu persetujuan.
5) Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah
tapi satu pihak menyediakan bibit dan yang lainnya alat-alat
pertanian.
6) Apabila tanah menjadi tanah milik pertama, benih dibebankan
kepada pihak kedua, alat-alat pertanian kepada pihak ketiga
dan tenaga kerja kepada pihak keempat; atau dalam hal ini
tenaga kerja dan alat-alat pertanian termasuk bagian dari pihak
ketiga.
7) Perjanjian pengolahan menetapkan tenaga kerja dan tanah
menjadi tanggung jawab pihak pertama dan benih serta alat-alat
pertanian pada pihak lainnya.
36
8) Bagian seseorang harus ditetapkan dengan jumlah, misalnya
sepuluh atau dua puluh maunds gandum untuk satu pihak dan
sisanya untuk pihak lain.
9) Ditentukan jumlah tertentu dari hasil panen yang harus
dibayarkan kepada satu pihak selain dari bagiannya dari hasil
tersebut.
10) Adanya hasil panen lain (selain dari pada yang ditanam di
ladang atau di kebun) harus dibayar oleh satu pihak sebagai
tambahan kepada hasil pengeluaran tanah.
b. Yang dibolehkan
1) Perjanjian kerja sama dalam pengolahan dimana tanah milik
satu pihak, peralatan pertanian, benih dan tenaga kerja dari
pihak lain, keduanya menyetujui bahwa pemilik tanah akan
memperoleh bagian tertentu dari hasil.
2) Apabila tanah, peralatan pertanian dan benih, semuanya
dibebankan kepada pemilik tanah, sedangkan hanya buruh yang
dibebankan kepada petani maka harus ditetapkan pemilik tanah
mendapat bagian tertentu dari hasil.
3) Perjanjian dimana tanah dan benih dari pemilik tanah
sedangkan peralatan pertanian dan buruh adalah dari petani dan
pembagian dari hasil tersebut harus ditetapkan secara
proporsional.
37
4) Apabila keduanya sepakat atas tanah, perlengkapan pertanian,
benih dan buruh secara menetapkan bagian masing-masing
yang akan diperoleh dari hasil.
5) Imam Abu Yusuf menggambarkan bentuk akad ini yang
diperbolehkan bahwa:44
jika tanah diberikan secara cuma-cuma
kepada seseorang untuk digarap, semua pembiayaan
pengolahan ditanggung oleh petani dan semua hasil menjadi
miliknya tapi kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah. Dan jika
tanah tersebut adalah „ushr , akan dibayar oleh petani.45
6) Apabila tanah berasal dari salah satu pihak dan kedua belah
pihak bersama menanggung benih, buruh dan pembiayaan-
pembiayaan pengolahannya, dalam hal ini keduanya akan
mendapat bagian dari hasil. Jika hal itu merupakan „ushr, „ushr
yang harus dibayar berasal dari hasil dan jika tanah itu adalah
kharaj, kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah.
7) Apabila tanah disewakan kepada seseorang dan itu adalah
kharaj, maka menurut Imam Abu Hanifah, kharaj akan dibayar
oleh pemilik tanah dan jika tanah itu adalah „ushr, „ushr juga
akan dibayar olehnya, tapi menurut Imam Abu Yusuf, jika
tanah itu „ushr, „ushr akan dibayar oleh petani.
44
Imam Abu Yusuf, “Kitabul-Kharaj”, dalam Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam
II, h. 288 45
Kharaj yaitu pungutan yang dikenakan atas bumi atau hasil bumi. Sedangkan „ushr
zakat yang dikenakan pada hasil bumi yang dikenal dengan zakat zuru‟
38
8) Apabila perjanjian bagi hasil ditetapkan dengan sepertiga atau
seperempat dari hasil, maka menurut Imam Abu Hanifah,
keduanya, kharaj dan „ushri akan dibayar oleh pemilik tanah.
Kerangka konsep:
konsep kerjasama bagi hasil dalam islam
praktek kerjasama bagi hasil petani di Desa Tenggulun
Uji penelitian
Kesimpulam kesesuaian konsep Islam dalam praktek kerjasama bagi hasil petani
39
C. REVIEW STUDI TERDAHULU
Sebelum melakukan penulisan hasil penelitian ini lebih lanjut, penulis
meninjau terlebih dahulu skripsi penelitian dan jurnal terdahulu, diantaranya
adalah:
Nama, Tahun, &
Judul
Pembahasan & Jenis
Penelitian
Perbedaan
Idawati pada
tahun 2011
dengan judul
sistem kerjasama
pertanian antara
pemilik lahan
dan petani pada
desa sendaur
dalam perspektif
Ekonomi Islam
Penelitian tersebut telah
membahas perjanjian
dalam masalah sektor
pertanian yang sesuai
dengan konsep Islam.
Dalam hasil penelitian ini
data yang didapatkan
sudah cukup bagus, dan
konsep kerjasama yang
sesuai dengan syariah
sudah banyak dijelaskan
didalamnya.
Perbedaan dari kedua karya
ini adalah objek
penelitiannya, dimana Idawati
meneliti hubungan kerjasama
yang dilakukan oleh pemilik
lahan dan petani dalam
pandangan Islam, sedangkan
penelitian yang dilakukan
oleh penulis lebih kepada
praktik yang terjadi di
masyarakat menurut adat dan
pandangan hukum Islam.
Mulya Winarsih
pada tahun 2007
dengan judul
pengaruh sistem
muzara’ah
terhadap tingkat
pendapatan
masyarakat studi
kasus Desa
Kalisapu
Penelitian tersebut telah
membahas pengaruh
muzara‟ah terhadap
tingkat pendapatan petani
desa kalisapu dengan
memakai data-data
kuantitatif, kesimpulan
dari penelitian tersebut
bahwa adanya hubungan
antara muzara‟ah
Dalam karya ini menjelaskan
pengaruh praktik kerjasama
yang dilakukan terhadap
pendapatan yang telah
dihasilkan oleh masing-
masing pihak. Sedangkan
dalam karya ilmiah penulis
ini meneliti kerja sama yang
terjadi di Desa Tenggulun,
apakah sudah sesuai atau
40
Kabupaten Tegal
Jawa Tengah.
terhadap tingkatan
pendapatan petani.
belum sesuai dengan syariah
Islam yang telah dijelaskan,
dengan menggunakan
pendekatan kualitatif.
Dewi Lestari pada
tahun 2004
dengan judul
Aplikasi sistem
muzara’ah pada
masyarakat (studi
kasus pada
masyarakat desa
Suka Mulya
Sukabumi Jawa
Barat)
Penelitian tersebut
membahas tentang
muzara‟ah dalam
perspektif hukum Islam
dan menerangkan
aplikasi sistem
muzara‟ah pada
masyarakat.
Dalam karya Dewi Lestari ini
menjelaskan bagaimana
sistem muzara‟ah ini
diterapkan oleh masyarakat
Suka Mulya. Kerj sama yang
dilakukan oleh masyarakat
tersebut tidak disebut dengan
muzara‟ah, tetapi penulis
secara langsung menyebut
bahwa praktek yang terjadi di
masyarakat tersebut adalah
muzara‟ah. Sedangkan dalam
karya penulis ini, meneliti
praktek bagi hasil yang
terjadi di masyarakat dengan
disamakan atau dicocokkan
dengan penjelasan yang telah
ada dalam Islam.
Dari beberapa karya tulis yang ada di dalam tabel dengan karya penulis ini
mempunyai kesamaan membahas tentang berbagai kegiatan kerja sama dalam
bidang pertanian, khususnya yang disangkutkan dengan teori dan konsep yang ada
serta dijelaskan dalam Islam. Sedangkan yang membedakan antara karya tulis
yang ada di tabel dengan karya penulis ini yaitu penulis mengangkat penelitian
mengenai hukum yang ada dan setting sosial yang berlaku di masyarakat tersebut.
41
41
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi
Jawa Timur, Indonesia. Sebagian kawasan pesisir berupa perbukitan. Di bagian
tengah terdapat dataran rendah dan bergelombang, dan sebagian tanah berawa. Di
bagian selatan terdapat pegunungan, yang merupakan ujung timur dari Pegunungan
Kendeng. Sungai Bengawan Solo mengalir di bagian utara. Batas wilayah
administratif Kabupaten Lamongan adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut
Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang, serta sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Kabupaten
Lamongan terdiri atas 27 kecamatan yang terdiri atas sejumlah desa dan kelurahan.
Secara geografis kabupaten Lamongan terletak pada 651’54” – 723’06” Lintang
Selatan dan 11233’45” – 11233’45” Bujur Timur. Kabupaten Lamongan memiliki
luas wilayah kurang lebih 1.812,8 km2 atau +3.78% dari luas wilayah Provinsi Jawa
Timur. Dengan panjang garis pantai 47 km, maka wilayah perairan laut Kabupaten
Lamongan adalah seluas 902,4 km2 apabila dihitung 12 mil dari permukaan laut.
Daratan Kabupaten Lamongan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo, dan secara
garis besar daratannya dibedakan menjadi 3 karakteristik, yaitu:
42
1. Bagian Tengah Selatan merupakan daratan rendah yang relatif subur, yang
membentangi dari Kecamatan Kedungpring, Babat, Sukodadi, Pucuk,
Lamongan, Deket, Tikung, Sugio, Maduran, Sarirejo, dan Kembangbahu.
2. Bagian Selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu-batu dengan
kesuburan sedang. Kawasan ini terdiri dari Kecamatan Mantup, Sambeng,
Ngimbang, Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro.
3. Bagian Tengah Utara merupakan daerah Bonorowo yang merupakan daerah
rawan banjir. Kawasan ini meliputi kecamatan Sekaran, Laren,
Karanggeneng, Kali Tengah, Turi, Karang Binangun, Glagah.
Kondisi topografi Kabupaten Lamongan dapat ditinjau dari ketinggian wilayah di
atas permukaan laut dan kelerengan lahan. Kabupaten Lamongan terdiri dari daratan
rendah dan bonorowo dengan tingkat ketinggian 0-25 meter seluas 50,17%,
sedangkan ketinggian 25-100 meter seluas 45,68%, selebihnya 4,15% berketinggian
di atas 100 meter di atas permukaan air laut.
Jika dilihat dari tingkat kemiringan tanahnya, wilayah Kabupaten Lamongan
merupakan wilayah yang relatif datar, karena hampir 72,5% lahannya adalah datar
atau dengan tingkat kemiringan 0-2% yang tersebar di Kecamatan Lamongan,
Karanggeneng, Glagah, Karang Binangun, Mantup, Sugio, Kedongpring, Sebagian
Bluluk, Modo, dan Sambeng. Sedangkan hanya sebagian kecil dari wilayahnya
adalah sangat curam, atau kurang dari 1% (0,16%) yang mempunyai tingkat
kemiringan lahan 40% lebih.
43
Kondisi tata guna tanah di Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut: baku
sawah (PU) 44.08 Hektar, Baku sawah tidak resmi (Non PU) 8.168,5 Hektar, sawah
tadh hujan 25.407,80 Hektar, Tegalan 32.844,33 Hektar, pemukiman 12.418,89
Hektar, Tambak / kolam / waduk 3.497,72 Hektar, kawasan hutan 32.224,00 Hektar,
kebun campuran 212,00 Hektar, Rawa 1.340,00 Hektar, Tanah tandus / kritis 889,00
Hektar, dan lain-lain 15.092,51 Hektar.
Kabupaten Lamongan mempunyai bermacam-macam masakan khas Lamongan,
diantaranya: Soto Lamongan, nasi boranan, rujak cingur, tahu lontong / tahu tek-tek,
tahu campur Lamongan, wingko babat, ental, jumbreg, dan empeng. Selain masakan
khas Lamongan juga mempunyai minuman khas Lamongan, yaitu: Es dawet ental
dan Es batil.
Kabupaten Lamongan juga mempunyai berbagai tempat wisata, diantaranya:
1. Wisata Sejarah: Museum Sunan Drajat, Monumen Van der Wijk
2. Wisata Religi: Makam Sunan Drajat, Makam Sunan Sendang Duwur, dan
Makam Dewi Sekardadu (Ibu Sunan Giri)
3. Wisata Alam: Waduk Gondang, Wisata Bahari Lamongan, Gua Maharani
Zoo, dan pemandian air panas Brumbun.1
1 Wikipedia, “Kabupaten Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lamongan
44
B. Gambaran Umum Desa Tenggulun
Desa Tenggulun merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Solokuro.
Desa Tenguulun ini memiliki luas wilayah sebesar 382 ha/m2 yang terdiri dari: sawah
(171 ha/m2), tegalan (174 ha/m
2), pekarangan (13,50 Km
2), pemukiman (12,4 ha/m
2),
dan hutan (12 ha/m2).
2
1. Batasan Wilayah
Dari luas wilayah daerah tersebut ada bagian perbatasan antara satu Desa dengan
Desa yang laiinya, adapun Batas-batas wilayah Desa Tenggulun yaitu:
Sebelah utara : Desa Payaman Kecamatan Solokuro
Sebelah selatan : Desa Taman Prijek Kecamatan Laren
Sebelah barat : Desa Tebluru Kecamatan Solokuro
Sebelah timur : Desa Solokuro.
2. Kondisi Geografis
wilayah Desa Tenggulun merupakan dataran rendah yang berada pada ketinggian
tanah 10 mdl dari permukaan laut. Dengan banyaknya curah hujan rata-rata 1.800
mm dan suhu udara rata-rata 25 0C. Unutuk tanah pertanian menggunakan tadah
hujan berjumlah 90 ha/m2
dan 71 ha/m2 menggunakan pengairan dengan irigasi
setengah teknis. Letak Desa Tenggulun tidak jauh dari pusat pemerintahan kecamatan
hanya berkisar sekitar 2 Km, sedangkan memiliki jarak 60 Km dari Ibu Kota
2 Wikipedia, “Tenggulun, Solokuro, Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Tenggulun,_Solokuro,_Lamongan
45
Kabupaten, dan memiliki jarak yang jauh dari Ibu Kota Provinsi yang mencapai jarak
80 Km.3
3. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian di kantor Balai Desa Tenggulun
jumlah penduduk Desa Tenggulun adalah 2.515 jiwa. Dari jumlah tersebut terdiri dari
1.274 jiwa laki-laki dan sisanya jumlah penduduk perempuan berjumlah 1.241 jiwa
dengan jumlah KK 688. Mata pencaharian penduduk Desa Tenggulun sebagai
pemilik tanah pertanian kurang leibih berjumlah 1864 orang dan sebagai petani
penggarap sawah atau buruh kurang lebih 104 orang selebihnya sebagai pengusaha,
pegawai negeri, pedagang, buruh industri, dan buruh bangunan.4
4. Potensi Sumber Daya Manusia
a. Pendidikan
1) Jumlsh penduduk buta aksara dan huruf latin : 40 orang
2) Usia 3-6 tahun yang sedang TK atau Play Group : 115 orang
3) Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah : 365 orang
4) Usi 18-56 tahun pernah SD tapi tidak tamat : 11 orang
5) Tamat SD /sederajat : 1018 orang
6) Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP : 8 orang
7) Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA : 15 orang
8) Tamat SMP/sederajat : 783 orang
3 Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
4 Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
46
9) Taat SMA/sederajat : 238 orang
10) Tamat D-1/sederajat : 2 orang
11) Tamat D-2/sederajat : 1 orang
12) Tamat D-3/sederajat : 12 orang
13) Tamat S-1/sederajat : 68 orang
14) Tamat S-2/sederajat : 5 orang
15) Tamat S-3/sederajat : 1 orang
b. Mata Pencaharian Pokok
1) Petani : 1864 orang
2) Buruh tani : 30 orang
3) Buruh migran : 404 orang
4) Pegawai Negeri Sipil : 6 orang
5) Guru swasta : 56 orang
6) Pedagang keliling : 2 orang
7) Montir : 4 orang
8) Bidan swasta : 3 orang
9) Perawat swasta : 3 orang
10) TNI : 2 orang
11) Jasa pengobatan alternatif : 2 orang
12) Dosen swasta : 1 orang
47
13) Wiraswasta lainnya : 286 orang5
5. Potensi Kelembagaan
a. Lembaga Pemerintah
1) Aparat Pemerintah Desa : 8 orang
2) Badan Perwakilan Desa : 9 orang
b. Lembaga Kemasyarakatan
1) Pengurus LPMD/LPMK : 10 orang dengan 3 jenis kegiatan
2) Pengurus PKK : 26 orang dengan 18 jenis kegiatan
3) Pengurus Rukun Warga : 10 orang dengan 3 jenis kegiatan
4) Pengurus Rukun Tetangga : 10 orang dengan 3 jenis kegiatan
5) Organisasi Karang Taruna : 22 orang dengan 4 jenis kegiatan
6) Pengurus Kelompok Tani : 26 orang dengan 3 jenis kegiatan
c. Kelembagaan Ekonomi
1) Koperasi simpan pinjam: 3 unit, dengan jumlah pengurus 16 orang dan
memiliki jumlah 12 kegiatan
2) Kelompok simpan pinjam: 5 unit, dengan jumlah pengurus 88 orang
dan memiliki jumlah 26 kegiatan.
3) Toko/kios : 4 unit
4) Toko kelontongan : 6 unit
5) Usaha peternakan : 1 unit
5 Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
48
6) Usaha air minum kemasan/isi ulang : 3 unit
d. Lembaga Pendidikan
1) Taman Kanak-kanak : Jumlah 3 lembaga, jumlah murid 115 orang dan
16 orang guru
2) SD dan sederajat : Jumlah 2 lembaga, jumlah siswa 174 orang,
dan 32 orang guru.
3) SLTP dan sederajat : Jumlah 1 lembaga, dengan jumlah siswa 84
orang dan 16 orang guru.
4) Pondok Pesantren : Jumlah 1 lembaga, dengan jumlah 76 siswa
dan 38 orang guru
5) Kursus Komputer : Jumlah 1 lembaga, dengan jumlah 12 siswa
dan 2 orang guru.
6) Perpustakaan Desa : 1 buah
e. Kelembagaan Keamanan
1) Siskamling / pos ronda : 8 RT
2) Jumlah Hansip dan Limas : 56 orang
3) Pos Jaga Induk Desa / kelurahan : 1 pos6
6 Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
49
6. Sarana dan Prasarana dalam Desa
a. Prasarana Transportasi Darat
1) Jalan aspal dengan kondisi baik memiliki panjang 3 Km dan 2 Km
dengan kondisi rusak.
2) Jalan makadam dengan kondisi baik memiliki panjang 2 Km dan 2
Km dengan kondisi rusak
3) Jalan sirtu dengan kondisi baik memiliki panjang 1 Km dan 1 Km
dengan kondisi rusak
4) Jalan semen/beton dengan kondisi baik memiliki panjang 0,5 Km dan
0,5 dengan kondisi rusak
5) Jalan aspal antar desa/kecamatan/ dengan kondisi baik memiliki
panjang 2 Km
6) Jalan aspal kabupaten yang melewati Desa dengan kondisi baik
memiliki panjang 2 Km
7) Jembatan beton dalam Desa dengan kondisi baik memiliki panjang 5
Km dan 1 Km dengan kondisi rusak.
b. Prasarana Pemerintahan
1) Gedung Kantor Balai Desa dengan kondisi baik yang memiliki jumlah
3 ruang kerja, 2 buah mesin tik, 15 buah meja, 78 kursi, 6 almari arsip,
2 komputer, dan 2 kendaraan dinas.
2) LKMD memiliki 8 jenis buku administrasi lembaga kemasyarakatan
dan memiliki 5 jenis kegiatan.
50
c. Prasarana Ibadah
1) Masjid : 2 buah
2) Musholah / langgar : 14 buah
d. Prasarana Olahraga
1) Lapangan Sepak Bola : 1 buah
2) Lapangan voli : 2 buah
3) Lapangan tenis meja : 3 buah
4) Lapangan Bulu Tangkis : 2 buah
e. Prasarana Kesehatan
1) Balai Pengobatan : 1 buah
2) Posyandu : 1 buah
f. Sarana Kesehatan
1) Bidan Desa : 2 orang
2) Dokter Umum : 1 Orang
3) Mantri : 1 Orang
4) Dukun bersalin terlatih :2 orang
5) Perawat : 2 orang
6) Dukun pengobatan alternatif : 4 orang7
7 Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
51
C. Kondisi Sosialisasi Desa Tenggulun
Masyarakat Desa Tenggulun dalam memenuhi kebutuhannya kebanyakan
bermata pencaharian sebagai petani. Profesi sebagai petani tidak semua orang
mempunyai lahan sendiri yang bisa dikelola, maka dari itu masyarakat Desa
Tenggulun banyak yang melakukan praktik kerja sama bagi hasil. Pihak yang
memilik lahan dan tidak mempunyai kemampuan dalam mengelolanya dengan suka
rela memberikan kepercayaan kepada petani yang mempunyai keahlian dalam bidang
pertanian dan tidak mempunyai banyak lahan untuk mengelolanya.
Perjanjian bagi Hasil antara petani penggarap dan petani pemilik di desa ini
diadakan secara lisan atau dengan cara musyawarah untuk mufakat diantara pihak-
pihak yan berkepentingan dan tidak pernah menghadirkan saksi sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang sangat lemah. Alasannya karena ada rasa saling percaya dan
kebiasaan yang pada umumnya terjadi di desa tersebut.
Kerjasama bagi hasil ini juga terjadi karena ada beberapa alasan, diantaranya:
karena pemilik lahan ada pekerjaan lain yaitu merantau ke luar negeri, ada juga yang
karena memang usia yang sudah tua sehingga tidak mempunyai kemampuan dalam
mengelola lahannya sendiri.
Dari penjelasan yang terpapar tentang kondisi sosial masyarakat Desa
Tenggulun tersebut, dapat dikaji lebih lanjut bagaimana praktik perjanjian kerja sama
yang telah berlaku.
52
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Sistem Pertanian Desa Tenggulun
Dari hasil penelitian dan wawancara yang penulis dapatkan, sistem
pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun secara garis besar
terdiri dari 3 macam, diantaranya:
1. Sistem pemilik lahan dan dikerjakan sendiri
Pertanian seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki
lahan pertanian dan mempunyai kemampuan untuk bertani. Sehingga
dalam mengelola lahan tersebut dilakukan dengan sendiri, begitu juga
dengan modal biasanya permodalan dikeluarkan sendiri tanpa campur
tangan dari orang lain dan hasil dari pertanian tersebut juga milik sendiri
sepenuhnya.
2. Sistem Bagi Hasil (Parohan)
Sistem parohan adalah sistem pertanian yang dilakukan oleh dua
belah pihak dimana pengelolaan tanah dilakukan oleh pihak petani, dan
pihak lainnya bertindak sebagai pemilik lahan dengan melakukan
kesepakatan membagi hasil pertanian ketika panen. Dalam pengelolaan
tanah, petani pengelola mempunyai hak untuk menanam bibit, memelihara
tanaman, memberi pupuk tanaman, melakukan pengairan, dan
memanennya ketika sudah waktunya. Dalam masalah permodalan semua
dibebankan pada pihak petani pengelola, untuk masalah keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
53
3. Sistem Buruh Tani
Sistem buruh tani adalah sistem kerja sama dimana petani sebagai
buruh tani, dan hanya berkewajiban serta bertanggung jawab atas
pengelolaan tanah dengan mendapatkan upah tertentu yang sudah
disepakati, sedangkan selebihnya ditanggung sepenuhnya oleh pemilik
lahan seperti bibit, pupuk, penyediaan alat-alat pertanian, dan obat hama.
Tidak jarang juga konsumsi
untuk buruh tani disediakan oleh pemilik lahan.
Dari beberapa sistem yang ada tersebut, ada yang relevansi dengan
sistem pertanian yang dijelaskan dalam Islam. Sistem peparohan yang
dilakukan oleh masyarakat tenggulun tersebut tidak jauh berbeda dengan
sistem mukhabarah yang dijelaskan dalam Islam. Dalam hal ini, perlu
kajian yang lebih mendalam tentang shahih atau fasidnya akad yang
dilakukan.
Alasan sistem mukhabarah mempunyai relevansi dengan sistem
peparohan yang dilakukan masyarakat tenggulun karena sistem tersebut
dipraktikkan dengan kerja sama yang dilakukan oleh dua belah pihak di
mana pengelolaan tanah dilakukan oleh pihak petani, dan pihak lainnya
bertindak sebagai pemilik lahan dengan melakukan kesepakatan membagi
hasil pertanian ketika panen. Sistem bagi hasil yang dianggap sah adalah
bibit, pupuk, tenaga kerja, alat-alat pertanian, pemeliharaan tanaman, dan
pengairan semuanya dibebankan pada petani penggarap. Sedangkan
pemilik lahan cuma menyediakan lahan, sehingga yang menjadi objek dari
54
akad tersebut adalah manfaat dari jasa pengelola. Dalam sistem ini pemilik
lahan hanya bermodalkan tanah, sedangkan yang lainnya dari pihak
penggarap atau pengelola tanah. Maka sistem tersebut sesuai dengan
konsep mukhabarah. sistem seperti ini banyak digunakan di masyarakat
desa tenggulun.
Sistem buruh tani merupakan kerja sama, tetapi tidak bisa
dikategorikam dalam kerja sama yang telah dijeaskan dalam Islam. Kerja
sama yag dijelaskan dalam Islam ada imbalan bagi hasilnya yang telah
disepakati ketika awal akad. Akan tetapi sistem buruh tani di masyarakat
Desa Tenggulun ini tidak adanya kesepakatan bagi hasil hanya saja buruh
tani tersebut mendapat imbalan upah sesuai kesepakatan dan kebiasaan
yang berlaku di mayarakat tersebut.
Perjanjian parohan di Desa Tenggulun dapat diketemukan
beberapa unsur, diantaranya:
a) Adanya kesepakatan para pihak
b) Izin menggarap dari pemilik tanah
c) Atas dasar kepercayaan
Bagi hasil kadang berfungsi sebagai menjaga tali kekerabatan sanak
saudara. Dalam perjanjian bagi hasil tersebut hubungan keluarga diprioritaskan
untuk diberi tawaran menggarap tanah, jika tidak ada sanak saudara yang bersedia
menggarap tanah tersebut, penawaran baru diberikan kepada pihak lain yang
bersedia untuk mengelola tanah tersebut.
55
B. Sistem Kerja Sama Bagi Hasil Pertanian dan Kesesuainnya dengan
Prinsip Fiqh Mu’amalah
1. Alasan Kerja Sama Bagi Hasil dilakukan
Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang penulis dapatkan ada
beberapa alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian bagi hasil di Desa
Tenggulun yaitu:
a. Banyaknya pemilik tanah yang merantau ke luar negeri atau adanya
pekerjaan lain
b. Faktor umur yang sudah tua
c. Rasa sosial/balas jasa dan saling tolong menolong
d. Pemilik tanah tidak mempunyai kemampuan untuk menggarap
tanahnya
Dari alasan pemilik tanah mengenai terjadinya bagi hasil di Desa Tenggulun
tersebut yang paling dominan adalah alasan karna banyaknya pemilik tanah
bekerja atau merantau ke luar negeri, meskipun pemilik tanah memiliki banyak
lahan dan mampu dalam biaya mereka tidak bisa mengerjakan tanahnya sendiri
disebabkan oleh keterbatasan waktu dan jarak. Sehingga mereka melakukan akad
kerja sama dalam pertanian supaya tanahnya bisa dimanfaatkan oleh pihak lain
yang lebih membutuhkan dan siap untuk mengelolanya. Faktor yang kedua yaitu
karena faktor usia yang sudah tua, tidak adanya kemampuan bagi mereka yang
mempunyai tanah untuk mengelolah tanah tersebut secara maksimal. Dengan
faktor tersebut pemilik tanah melakukan kerja sama dalam pertanian dengan
tujuan bisa mendapatkan penghasilan dari porsi bagi hasil kerja sama tersebut
56
tanpa kerja keras dan usahanya sendiri. Alasan yang ketiga yaitu rasa
sosialisasi/balas jasa. Faktor ini terjadi apabila pemilik tanah pernah mempunyai
hutang jasa kepada orang dan dengan posisi pemilik tanah memiliki banyak tanah,
sehingga sebagian tanahnya diberikan kepada orang yang pernah memberikan jasa
kepadanya untuk dikelola dengan perjanjian bagi hasil.
Sedangkan alasan penggarap mengadakan perjanjian bagi hasil yaitu:
a. Penggarap tidak memiliki tanah pertanian
b. Adanya tambahan pendapatan
c. Ada pekerjaan tambahan
Dari beberapa alasan penggarap melakukan bagi hasil tersebut, masyarakat Desa
Tenggulun kebanyakan beralasan karena petani penggarap tidak memiliki tanah
pertanian, akan tetapi petani penggarap tersebut mempunyai kemampuan dalam
mengelola tanah/bertani. Sedangkan ada pihak lain yaitu pihak pemilik sawah
yang tidak bisa mengelola sawahnya dengan sendirinya. Dengan akad ini kedua
belah pihak saling untung dan termasuk saling tolong menolong.
Alasan yang kedua yaitu adanya tambahan pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, karena dengan menerima perjanjian dan melaksanakan
kerja sama ini petani penggarap bisa mendapatkan tambahan pendapatan, yang
seharusnya tidak adanya pendapatan tanpa adanya kerja sama dalam pertanian
tersebut. Alasan yang ketiga yaitu adanya kerjaan tambahan, dimana petani
penggarap tidak mempunyai banyak kesibukan dan mempunyai kemampuan
untuk bertani sehingga petani penggarap menerima tawaran kerja sama dalam
pertanian untuk menambah kesibukan.
57
Mayoritas kehidupan di Desa Tenggulun adalah bermata pencaharian
sebagai petani. Sebagai masyarakat desa, sifat-sifat murninya masih kental yaitu
sifat gotong royong dan saling tolong menolong antara yang satu dengan yang lain
dan saling peduli, sehingga dapat dilihat kehidupan masyarakat terlihat damai,
tentram, dan jarang adanya kecemburuan sosial.
Sifat kerukunan dari masyarakat tersebut yang menjadikan salah satu
alasan dilaksanakannya perjanjian bagi hasil hanya dilakukan atas dasar saling
percaya dalam bentuk lisan. Rasa percaya dan saling tolong menolong yang
menjadi salah satu alasan untuk melanjutkan pelaksanaan perjanjian seperti yang
dilakukan orang-orang terdahulunya menurut adat kebiasaan setempat.
Hal tersebut berkaitan dengan tenggang rasa dan kekeluargaan antara
warga untuk saling menolong pada warga yang kurang mampu tapi membutuhkan
penghasilan, mempunyai tenaga dan kemampuan tapi tidak mempunyai lahan
untuk digarap. Hidup layak berdampingan itulah menjadi falsafah bagi orang-
orang pedesaan termasuk Desa Tenggulun ini.
Perjanjian bagi hasil seperti ini sudah mengakar dari nenek moyang
sampai dengan anak cucu mereka sekarang. Perjanjian seperti ini mereka sebut
sebagai perjanjian adat kebiasaan warga setempat yang dilakukan dengan ucapan
lisan dan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami dan diterima oleh
kedua belah pihak tanpa harus mendaftar atau mencatat di daftar kelurahan.
Berdasarkan hasil wawancara dari bapak Abu Sholeh, S.Pd selaku Kepala
Desa Tenggulun mengenai masalah pembayaran pajak tanah, maka dalam
masalah kerja sama di bidang pertanian 100% masyarakat Desa Tenggulun
58
membebankan pembayaran pajak sepenuhnya kepada pemilik tanah. Dalam
hukum Islam juga dijelaskan apabila ada dua pihak melakukan kerja sama dimana
pihak pertama sebagai pemilik tanah dan pihak kedua sebagai pengelola tanah
maka yang seharusnya membayar pajak adalah pemilik tanah. Dalam pasal 9
Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil, disebutkan mengenai
kewajiban pembayaran pajak sebagai berikut:
“kewajiban memebayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk
dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah
yang sebenarnya”.
Dilihat dari penjelasan diatas, ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya akad kerja sama dalam bidang pertanian. Dari beberapa faktor tersebut
jika dilihat dari segi Agama Islam tidak ada yang menunjukkan sesuatu yang
dilarang. Akad tersebut tetap sah dengan alasan yang telah disebutkan, sesuai
dengan konsep Islam telah menjelaskan bahwa akad akan sah apabila antara kedua
belah pihak yang berakad saling ridho diantara kedua belah pihak dan tidak ada
paksaan. Mengenai pembayaran pajak tanah, dalam penerapannya masyarakat
Desa Tenggulun tidak melanggar ketentuan syariah yang ada. Artinya, dengan
penerapan pemilik tanah yang menanggung pembayaran pajak tanah tersebut
benar sesuai dengan ketentuan yang ada.
59
2. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Bagi Hasil dalam Konsep
Islam
Pengetahuan masyarakat terhadap bagi hasil dalam konsep Islam dapat dilihat
dari hasil wawancara penulis dengan berbagai pihak, baik tokoh masyarakat,
pemilik tanah, ataupun pihak penggarap. Dimana pengetahuan masyarakat Desa
Tenggulun tentang bagi hasil pertanian dalam konsep Islam sangat minim, seperti
yang dikatakan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Tenggulun tidak
keseluruhannya tahu, tidak keseluruhan petani mengetahui tentang konsep Islam,
namun juga “ sebagian ada yang mengetahui juga, namun sementara yang dipakai
ini adalah adat, jadi adat kebiasaan pertanian yang ada disini yang dipakai, tidak
memakai yang menganut konsep Islam”.1 sehingga perjanjian bagi hasil yang
dilakukan masyarakat Desa Tenggulun umumnya berdasarkan adat setempat,
tidak sepenuhnya mengacu pada konsep Islam, walaupun ada sebagian
masyarakat yang mengetahui tentang bagi hasil dalam konsep Islam. Jadi,
kenyataan yang ada di Desa Tenggulun perjanjian bagi hasil ini dibuat
berdasarkan hukum atau adat kebiasaan setempat. Karena, masih banyaknya
masyarakat yang tidak mengetahui adanya bagi hasil dalam konsep Islam. Ini juga
sangat mempengaruhi hal tersebut tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan
yang dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam menentukan bagaimana
mekanisme mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
Faktor ketidaktahuan terhadap adanya konsep Islam dalam mengatur bagi
hasil pertanian juga mempengaruhi pelaksanaan perjanian bagi hasil, yang mereka
1 Wawancara Pribadi dengan Ma’shum. Lamongan, 08 Agustus 2014.
60
tahu adalah perjanjian seperti yang sudah berlaku di masyarakat desa ini yaitu
dengan cara lisan atas dasar kesepakatan dan kepercayaan. Meskipun sebagian
masyarakat juga sudah mengetahui adanya aturan hukum dalam Islam tentang
perjanjian bagi hasil, mereka tetap cenderung memilih melaksanakan dengan
dasar imbangan pembagian hasil sesuai dengan hasil panen yang didapatkan
petani penggarap. Alasannya adalah karena sudah dilakukan secara turun
menurun, saling percaya untuk saling tolong menolong sehingga dalam
melakukan akad mereka tidak memilih secara formal, melainkan cukup dengan
mengucapkan kata sepakat antara kedua belah pihak yang berakad. Apabila terjadi
perselisihan atau persengketaan dalam masalah akad masyarakat Desa Tenggulun
meyelesaikannya dengan cara kekeluargaan tidak dengan melibatkan para pejabat
dan aparat desa. Tapi di Desa Tenggulun ini jarang sekali adanya perselisihan
dalam berakad, karena didasari dengan saling rela dan ikhlas dengan keputusan
yang ada ketika akad.
3. Kata Sepakat Dalam Akad
Bagi masyarakat adat yang terpenting dalam pelaksanaan bagi hasil bukan
unsur subjektif atau unsur objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu
didasarkan pada kesepakatan (mufakat).
Pada praktiknya masyarakat Desa Tenggulun mengerjakan tanah milik
orang lain dengan menggunakan bagi hasil, hanya mendasarkan persetujuan
antara pemilik tanah dan penggarap secara lisan atas dasar kepercayaan. Tidak
sedikit masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan pertanian untuk mengelola
lahannya dengan menggunakan sistem parohan dengan pembagian bagi hasil
61
antara pemilik lahan dengan petani penggarap sesuai dengan penghasilan yang
didapatkan.
Berdasarkan hasil dari wawancara dan penelitian dapat diambil kesimpulan
bahwa, pihak-pihak yang mengadakan akad bagi hasil tidak ada yang
menggunakan dengan cara tertulis, akan tetapi kebanyakan cukup dengan lisan
dan langsung disertai serah terima tindakan, tidak ada yang tertulis. Syukur-
syukur dengan ucapan ini lahannya tolong dikelola.2 yakni setelah kedua belah
pihak sudah sepakat melakukan kerja sama bagi hasil maka petani penggarap
mengatakan bersedia dengan cara langsung mengelola lahan tersebut. Dengan
tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak yang melakukan akad berarti
perjanjian tersebut sudah tercipta pada saat tercapainya konsensus. Jadi, kata
sepakat dalam bagi hasil di Desa Tenggulun ini yang menjadi landasan lahirnya
dan diadakannya perjanjian bagi hasil pertanian.
4. Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia
Menurut pasal 1320 KUH Perdata kontrak adalah sah bila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:3
a. Syarat subjektif, meliputi:
1) Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit
ingatan)
2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2 Wawancara Pribadi dengan Sukaeri. Lamongan, 09 Agustus 2014.
3 Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta, 2011), h. 1
62
b. Syarat objektif, meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu
2) Sesuatu sebab yang halal (Kuasa).
Secara hukum dilihat dari usia masyarakat Desa Tenggulun yang telah
melakukan praktik kerja sama bagi hasil dapat dikatakan bahwa pihak yang
melakukan akad telah cakap dalam melakukan hukum. Jadi jika terjadi
wanprestasi maka kedua belah pihak yang melakukan akad bisa
mempertanggungjawabkan atau bisa diminta pertanggungjawaban hukum
terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Tenggulun ini.
Dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak yang dilakukan telah sah dan
memenuhi syarat, sebagaimana yang melakukan akad tersebut adalah orang
dewasa dan telah cakap hukum.
5. Bentuk Perjanjian Kerja Sama Bagi Hasil
Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Tenggulun dilaksanakan
secara tidak tertulis atau cukup dengan lisan antara kedua belah pihak, dengan
beberapa alasan yang mendasarinya berikut:
1. Mudah pelaksanaannya dan tidak berbelit-berbelit
2. Adanya saling percaya
Menurut konsep Islam, bentuk perjanjian bagi hasil pertanian ini tidak harus
dengan hitam diatas putih, yakni dengan secara tertulis. Akan tetapi, menurut
Jumhur Ulama dengan melakukan ijab dan qabul sudah memenuhi rukunnya, baik
qabul tersebut berupa ucapan ataupun langsung dengan tindakan. Dalam hal
63
bentuk perjanjian ini, masyarakat Desa Tenggulun tidak menyalahi ketentuan
yang telah ditetapkan dalam Islam.
Mengenai pedoman yang dirujuk dalam melakukan kerja sama bagi hasil,
masyarakat tidak mengacu pada Undang-undang, tidak juga mengacu pada konsep
Islam akan tetapi dalam pratiknya mempunyai prinsip saling menguntungkan,
seperti halnya yang dikatakan oleh penggarap sawah, pihak pemilik sawah bisa
mengambil keuntungan dari hasil pertanian tersebut, pihak penggarap juga ada
keuntungan karena mempunyai lahan yang bisa dikerjakan. Berdasarkan ayat
alqura’an : wata’awanu ‘alal birri wattaqwa walaa ta’aawanuu ‘alal istmi wal
‘udwaan.4
Ketentuan porsi bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat ternyata tidak ada
ketentuan di awal akad, yang ada antara kedua belah pihak pasrah dengan hasil
yang didapatkan ketika panen nanti, berapapun hasilnya saling terima. Jadi
pembagiannya terserah penggarapnya memberikan bagian berapa. Sebagaimana
yang dikatakan oleh pemilik lahan: “Tergantung panen yang dihasilkan.
Mendapatkan bagian banyak ataupun sedikit kita sebagai pemilik sawah harus
bisa terima apa adanya, kasihan pihak penggarap juga, mengelola lahan juga tidak
gampang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit”.5 Dapat diambil
kesimpulan, dalam penentuan porsi bagi hasil ini masyarakat Desa Tenggulun
telah menyimpang dari ketentuan Islam. Dimana dalam ketentuan Islam
dijelaskan, bahwa porsi bagi hasil harus dijelaskan pada awal akad.
4 Wawancara Pribadi dengan Sukaeri. Lamongan, 09 Agustus 2014
5 Wawancara Pribadi dengan Munifah. Lamongan, 11 Agustus 2014
64
Apabila diantara kedua belah pihak sudah sepakat melakukan kerja sama,
maka dalam masalah pengelolaan lahan tersebut adalah murni 100% dari pihak
penggarap, jadi pihak pemilik lahan sudah tidak tahu-menahu lahannya dikelola
seperti apa, Jadi semuanya diserahkan sepenuhnya atau dikelola sepenuhnya oleh
pihak penggarap. Dalam hal ini, praktik yang dilakukan oleh masyarakat sesuai
dengan konsep Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa tanah yang sudah
diserahkan kepada pihak penggarap maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pihak penggarap tidak boleh ada campur tangan dari pemilik tanah.
6. Lamanya Waktu Perjanjian
Berdasarkan hasil wawancara, perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Tenggulun kebanyakan tidak ada ketentuan lamanya waktu
perjanjian, akan tetapi ada sebagian yang menentukan lamanya waktu dalam
melakukan kerja sama tersebut. Hal ini terjadi berdasarkan alasan dilakukannya
kerja sama bagi hasil dikarenakan banyaknya pemilik tanah yang mempunyai
pekerjaan diluar atau lebih tepatnya merantau ke luar negeri, sehingga tidak
adanya kemampuan pemilik tanah dalam mengelola lahannya sendiri menjadikan
tidak adanya batasan waktu yang ditentukan dalam pengelolaan tanah, selama
penggarap masih sanggup mengelola tanah dan pemilik tanah belum kembali ke
tempat asalnya maka perjanjian tersebut akan terus berlanjut. perjanjian ini
berlangsung saja tanpa ada ketentuan waktu berapa lama kesepakatan kerja sama
akan terus berlangsung dan model perjanjian tersebut sudah berjalan begitu saja
sampai saat ini. Pemilik tanah juga berfikiran bagaimana caranya tanah yang
dimilikinya tidak terlantar dan bisa diambil kemanfaatannya maka pemilik tanah
65
dengan senang hati melakukan perjanjian kerja sama bagi hasil apabila ada
penggarap yang bersedia mengelola tanah tersebut, bahkan tidak jarang pemilik
tanah tidak mendapatkan porsi bagi hasil ketika penggarap mendapatkan panen.
Kejadian seperti ini terjadi karena rasa suka rela dan terima kasih dari pemilik
tanah kepada penggarap yang telah bersedia mengelola tanah tersebut.
Sedangkan sebagian yang menentukan waktu dalam perjanjian kerja sama,
masyarakat Desa Tenggulun menentukan waktu berkisar anatra 1-2 Tahun.
Perjanjian yang seperti ini dilakukan oleh pemilik tanah yang memiliki lahan
kosong tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengelolanya, sehingga batas
waktu yang diberikan kepada penggarap tersebut habis ketika pihak penggarap
sudah menghasilkan panen, apabila pemilik tanah ingin melanjutkan perjanjian
kerja sama tersebut maka dibuatnya akad baru (adanya musyawarah bersama)
lagi. Namun, jika ketentuan waktu yang diperjanjikan sudah habis, akan tetapi
petani penggarap belum menghasilkan panen, maka pihak yang berakad masih
melanjutkan perjanjian tersebut sampai menghasilkan panen. Seperti yang
dikatakan oleh salah satu pihak penggarap sawah:6 “langkah yang diambil yaitu
memperbarui akad lagi kalau sudah habis waktunya, kalau memang waktu yang
disepakati sudah habis maka ada kesepakatan baru lagi. Ketika ditengah perjanjian
waktu yang ditentukan sudah habis tetapi belum menghasilkan panen maka akad
tersebut masih berlanjut sampai panen”. Ini sudah sesuai dengan konsep Islam,
dimana apabila waktu yang disepakati sudah habis, tapi belum menghasilkan
6 Wawancara pribadi dengan Sukaeri. Lamongan, 09 Agustus 2014
66
panen maka perjanjian tersebut akan terus berlanjut sampai pihak penggarap
menghasilkan panen.
Berdasarkan data tersebut adanya ketidaksesuaian antara realita perjanjian
bagi hasil dengan teori yang dijelaskan menurut Islam. Dimana dalam Islam
dijelaskan masa berlaku akad bagi hasil dalam pertanian disyaratkan harus jelas
dan ditentukan atau diketahui ketika awal akad. Sedangkan adat masyarakat
Tenggulun tidak demikian, kebiasaan masyarakat tidak menyebutkan berapa lama
waktu yang akan diperjanjikan ketika di awal akad, hal ini mengandung unsur
gharar sedangkan gharar juga dilarang dalam Islam.‘Urf tersebut sudah melekat
di masyarakat, akan tetapi ‘urf yang terjadi ini merupakan ‘urf fasidah karena
bertentangan dengan nash yang ada. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hukum.
7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Sama Bagi Hasil
Berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Tenggulun ini dapat disebabkan
oleh dua hal, yaitu karena sudah berakhirnya waktu perjanjian bagi hasil antara
penggarap dan pemilik tanah yang sudah ditentukan, dan berakhirnya perjanjian
atas permintaan pemilik tanah dan penggarap karena sebab atau alasan tertentu.
Sebelum perjanjian kerja sama tersebut dikatakan berakhir, para pihak yang
berakad menggunakan cara bermusyawarah antara kedua belah pihak, apabila
kesepakatan tersebut sudah dikatakan berakhir maka diikuti dengan pegembalian
tanah kepada pihak pemilik tanah.
Hasil penelitian di Desa Tenggulun, pada umumnya masyarakat menerapkan
sistem perjanjian bagi hasil berdasarkan hukum adat setempat (kebiasaan
setempat secara turun temurun). Ada banyak kendala yang muncul mengapa
67
peraturan dan konsep Islam bagi hasil di Desa Tenggulun tidak bisa diterapkan
atau tidak dapat terlaksana dengan baik dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil
karena:
a. Kebanyakan masyarakat Desa Tenggulun tidak mengetahui adanya konsep
Islam yang mengatur transaksi bagi hasil dalam sistem pertanian. Hal ini
terjadi karena kurangnya memperhatikan kajian-kajian Islam yang
membahas tentang perjanjian bagi hasil, termasuk kurangnya arahan dari
tokoh agama yang lebih mengetahui tentang bagi hasil dalam pertanian.
b. Faktor adat dan budaya yang sangat melekat pada diri masing-masing
masyarakat Desa Tenggulun yang masih mempercayai penggunaan adat
kebiasaan secara turun temurun yang biasa dilakukan dalam praktik
perjanjian bagi hasil.
Dari penjelasan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa, perjanjian bagi
hasil pertanian yang terjadi di Desa Tenggulun ini belum sepenuhnya seseuai
dengan konsep Islam yang telah ada, Akan tetapi masyarakat mengacu pada adat
yang sudah melekat, dengan mengacu adat bukan berarti menyimpang dari
ketentuan Islam yang ada. Selama adat tersebut tidak melanggar ketentuan-
ketentuan yang ada, maka kerjasama yang berjalan sesuai adat tersebut bisa
dijadikan hukum. Akan tetapi adat yang berlaku di masyarakat ini belum
sepenuhnya mendatangkan kemaslahatan, sehingga adat ini belum bisa dijadikan
patokan sebagai hukum yang tidak menyimpang dari ketentuan Islam. Dimana
dalam Islam telah dijelaskan adat atau ‘urf bisa dijadikan hukum apabila tidak
melanggar dengan ketentuan nash dan bisa mendatangkan kemaslahatan.
68
8. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di
Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan
Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam rangka pembaharuan
Agraria yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya
memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hampir tidak
diperhatikan.
Dalam konsep Islam telah dijelaskan bahwa aspek keadilan dalam bagi hasil
pertanian haruslah ada keridhaan antara kedua belah pihak, saling mengetahui
kesepakatan masing-masing, kesepakatan harus dijelaskan diawal akad, dan
pembagian hasil panen juga harus dijelaskan diawal akad.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh, hal yang mendorong masyarakat Desa
Tenggulun melakukan sistem transaksi pengolahan tanah melalui sistem
perjanjian bagi hasil yang mendasarkan pada adat kebiasaan yaitu dipicu oleh
masarakat yang sudah terbiasa melaksanakan kerja sama dengan cara seperti itu.
selain sudah kebiasaan kerja sama yang dilakukan sesuai dengan adat juga bisa
memberikan rasa nyaman antara kedua belah pihak yang berakad. Masyarakat
Desa Tenggulun juga lebih memilih menggunakan sistem hukum adat kebiasaan
dibanding dengan sistem perjanjian bagi hasil menurut konsep Islam dengan
alasan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Kebiasaan yang sudah turun temurun
2. Adanya kerja sama yang bersifat gotong royong
Sistem bagi hasil yang dilakukan dalam perjanjian ini digunakan sebagai
sampingan dengan menggunakan perbandingan yang tidak disepakati ketika awal
69
akad. Karena petani penggarap merasa bahwa keuntungan yang didapat seimbang
dengan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan tanah. Kemudian tingkat resiko
apabila ada kesulitan ataupun bencana karena cuaca alam yang buruk dalam kerja
sama pertanian ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak penggarap. Sehingga
menurut masyarakat di tempat lokasi penelitian banyak yang menyatakan pihak
penggarap merasa dirugikan akan tetapi dalam penyelesaiannya masih
dimusyawarahkan bersama.
Dilihat dari kasat mata, praktek kerja sama tersebut ada pihak yang merasa
dirugikan, yaitu pihak pemilik tanah, dimana dalam pembagian hasil panen tidak
adanya kejelasan berapa porsi yang akan didapatkan, karena dalam pembagiannya
menyesuaikan berapa hasil panen yang nanti didapatkan oleh pihak penggarap.
Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, diantara kedua belah pihak yang
berakad ternyata tidak ada yang dirugikan. karena semua modal yang dikeluarkan
untuk pengolahan tersebut dari pihak petani penggarap dan pembagian hasil panen
juga tergantung panen yang didapatkan. Jika petani penggarap menghasilkan
panen yang banyak maka pemilik tanah juga mendapatkan bagian banyak begitu
sebaliknya. Namun jika pemilik tanah mendapatkan bagian banyak tetapi petani
penggarap mendapatkan hasil panen yang sedikit maka kebanyakan masyarakat
tidak bersedia untuk melanjutkan kerja sama tersebut. Kalaupun hasil panen yang
didapatkan sedikit maka ada pihak yang merasa rugi yaitu pihak petani, karena
pihak petani sudah mengeluarkan banyak biaya tapi tidak mendapatkan hasil
panen. Sementara kedua belah pihak yang berakad kebanyakan sudah saling
mengetahui, saling mengerti, dan saling tenggang rasa. Jadi kalau masalah
70
pembagian hasil pemilik tanah sudah memaklumi, sehingga tidak ada pihak yang
berebutan bagi pihak penggarap maupun pihak pemilik tanah.
Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan, bahwa aspek keadilan yang terjadi
pada praktek bagi hasil di Desa Tenggulun ini tidak terlalu nampak. Karena antara
kedua belah pihak sudah saling ridho, saling mengerti, dan saling tenggang rasa.
Namun, dalam pembagian porsi bagi hasil tersebut adanya ketidakjelasan atau
dalam istilah Islam disebut gharar, dimana tidak ada ketentuan porsi yang
dijelaskan ketika awal akad. Sehingga tidak sesuai dengan konsep Islam yang ada.
Dengan tidak adanya kesepakatan nisbah bagi hasil di awal akad, ini
menimbulkan unsur gharar atau ketidakpastian, dan hal ini sudah menjadi ‘urf
atau kebiasaan yang melekat pada masyarakat Desa Tenggulun. Sehingga dalam
hal ini ‘urf yang biasa terjadi di kalangan masyarakat tersebut telah menyimpang
dari konsep Islam yang ada, dimana dalam konsep Islam dijelaskan bahwa ‘urf
yang bisa dijadikan hukum yaitu ‘urf yang tidak menyimpang dari ketentuan
Islam, sedangkan dalam pembagian porsi bagi hasil tersebut adanya unsur gharar,
dan gharar gharar dilarang dalam Islam. Jadi dalam pembagian porsi yang tidak
dijelaskan di awal akad ini tidak sesuai dengan Islam.
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah dilakukan kajian, analisis, dan pembahasan pada bab sebelumnya
terhadap permasalahan yang telah penulis teliti, maka dapat diambil kesimpulan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Sistem pertanian yang ada di Desa Tenggulun terdiri dari 3 macam: a)
sistem pemilik lahan dan dikerjakan sendiri, 2) sistem bagi hasil
(parohan), dan 3) sistem buruh tani. Dari ketiga sistem tersebut ada
relevansinya dengan sistem kerjasama yang dijelaskan dalam Islam,
dimana sistem bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Tenggulun ada relevansinya dengan sistem mukhabarah karena semua
modal pengelolaan tanah dibebankan kepada pihak penggarap.
2. Dalam segi pelaksanaa perjanjian, akad kerjasama bagi hasil ini sudah
sesuai dengan konsep Islam dilihat dari unsur-unsur pembentukan akad
yaitu subjek akad, objek akad, dan sighat. Hanya saja dari aspek objek
akad adanya ketidaksesuaian yaitu presentase porsi bagi hasil dan
jangka waktu tidak disebutkan ketika di awal akad.
72
B. SARAN
Berdasarkan beberapa kesimpulan yang telah tercantum di atas, maka ada
beberapa saran yang perlu penulis sampaikan, yaitu:
1. Kedua belah pihak yang berakad hendaklah menentukan bagian masig-
masing di awal akad dengan pasti supaya tidak merugikan salah satu
pihak.
2. Jika terjadi penurunan pendapatan atau gagal panen, seharusnya resiko
kerugian ditanggung bersama antara pemilik dengan penggarap.
3. Dalam melakukan kerja sama bagi hasil, hendaklah menentukan berapa
lama waktu yang akan diperjanjikan ketika awal akad, agar adanya
kejelasan dan saling mengetahui antara kedua belah pihak.
4. Dari hasil penelitian ini, masih dibutuhkan peneliti lanjutan. Dalam
melakukan penelitian seharusnya lebih teliti dalam melakukan penelitian.
Peneliti selanjutnya selain meneliti dari segi konsep Islamnya sebaiknya
dikombinasikan dengan peraturan undang-undang yang ada.
73
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan
Implementasi), Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2010.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta:
Granada Press, 2007.
A Pratanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Damanuri, Aji. Metode Penelitain Mu’amalah, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010.
Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Dzaqiyuddin, Al-Hafidz Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir. Mukhtashar Shahih
Muslim, ditahqiq oleh Ahmad Ali Sulaiman, Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012.
Ghazaly, Abdul Rahman dkk. Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet.
Ke-II, 2012.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet.ke-II, 2007.
Hasan, Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: Rajawali
Pers, 2002.
Hasanuddin, Maulana dan Jaih Mubarok. Perkembangan Akad Musyarakah, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-I, 2012.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Khatib al-Tamim, Izzudin. Bisnis Islami, Jakarta: Fikahari Aneska, cet ke-1, 1992.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Edisi ke-III, 1997.
Lathif, Azharuddin. Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet.ke-I, 2012.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, cet.ke-III, 2004.
Qardawi, Yusuf. Fiqh al-Zakat (Hukum Zakat), penerjemah: Salman Harun (et al), Bogor:
PT. Pustaka Litera Antar Nusa, cet.III, 1993.
74
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995
Rais, Isnawati dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cet. Ke-I, 2011.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-XXVII, 1994.
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa
UIN/IAIN/STAIN/PTAIS dan Umum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada Bank Islam:
Solusi Ekonomi Islam, Jakarta: Migunani, 2008.
Ash-Shawi, Shalah dan Abdullah al-Mushlih. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul
haq,2008
Soekartwi. Agribisnis, Teori dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, ed. 1, cet.
Ke-VI, 2001.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet.ke-VI, 2010.
Sutanto, Jusuf dkk. Revitalisasi Pertanian dan Dialog peradaban, Jakarta: Kompas, 2006.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, cet. Ke-VI, 2005.
Yasyin, Sulcan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-BESAR), Surabaya: Amanah, 1997
Wawancara Pribadi dengan Ma’shum. Lamongan: 08 Agustus 2014
Wawancara Pribadi dengan Moh. Hasan. Lamongan: 10 Oktober 2014
Wawancara Pribadi dengan Munifah. Lamongan: 11 Agustus 2014
Wawancara Pribadi dengan Sukaeri. Lamongan: 09 Agustus 2014
Wikipedia, “Kabupaten Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lamongan
Wikipedia, “Tenggulun, Solokuro, Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Tenggulun,_Solokuro,_Lamongan
75
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960)
Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)
Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924
Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL
Indeks: HASIL. PERJANJIAN BAGI.
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
bahwa perlu diadakan Undang-undang yang mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi-hasil, agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap itu, dengan menegaskan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban baik dari penggarapan maupun pemilik;
Mengingat :
a. pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Dasar;
b. pasal 5 ayat 1 jo 20 pasal 1 Undang-undang Dasar;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
Memutuskan :
Menetapkan :
Undang-undang tentang "Perjanjian Bagi Hasil".
BAB I
ARTI BEBERAPA ISTILAH.
Pasal 1.
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
*)Disetujui D
a. tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan;
b. pemilik, ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah;
c. perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-undang ini disebut
"penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua
belah fihak;
d. hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termaksud dalam huruf e pasal ini, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen;
e. petani, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
BAB II.
PENGGARAP
Pasal 2.
(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah
garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar.
(2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau
penjabat yang ditunjuk olehnya.
(3) Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.
BAB III.
BENTUK PERJANJIAN.
Pasal 3.
(1) Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang
bersangkutan - selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari fihak pemilik dan penggarap.
(2) Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat 1 diatas memerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu - selanjutnya dalam undang-
undang ini disebut "Camat".
(3) Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua
perjanjian bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir.
(4) Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan
yang diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 diatas.
BAB IV.
JANGKA WAKTU PERJANJIAN
Pasal 4.
(1) Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang
dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan
dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
(3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi-hasil
diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu tidak
boleh lebih dari satu tahun.
(4) Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah-kering, maka Kepala Desalah yang memutuskan.
Pasal 5.
(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam
pasal 6, maka perjanjian bagi-hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain.
(2) Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru.
(3) Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 6.
(1) Pemutusan perjanjian bagi-hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian termaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya mungkin dalam hal-hal dan menurut ketentuan-ketentuan dibawah ini :
a. atas persetujuan kedua belah fihak yang bersangkutan dan setelah mereka laporkan kepada Kepala Desa;
b. dengan izin Kepala Desa atas tuntutan pemilik, didalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan
sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memenuhi bahan-bahan yang
menjadi tanggungannya yang ditegaskan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 atau tanpa izin dari pemilik menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada orang lain.
(2) Kepala Desa memberi izin pemutusan perjanjian bagi-hasil yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kedua belah pihak, setelah usahanya untuk lebih
dahulu mendamaikan mereka itu tidak berhasil.
(3) Didalam hal tersebut pada ayat 2 pasal ini Kepala Desa menentukan pula akibat daripada pemutusan itu.
(4) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui keputusan Kepala Desa untuk mengijinkan diputuskannya, perjanjian sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dan/atau mengenai apa yang
dimaksud dalam ayat 3 diatas, maka soalnya dapat diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah fihak.
(5) Camat melaporkan secara berkala kepada Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II semua keputusan yang diambilnya menurut ayat 4 pasal ini.
BAB V.
PEMBAGIAN HASIL TANAH.
Pasal 7.
(1) Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan
sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.
(2) Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II memberitahukan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil-tanah yang diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah Harian dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
BAB VI.
KEWAJIBAN PEMILIK DAN PENGGARAP.
Pasal 8.
(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang.
(2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah
termaksud dalam pasal 7.
(3) Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.
Pasal 9.
Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya.
Pasal 10.
Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang
bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik.
BAB VII.
LAIN - LAIN
Pasal 11.
Perjanjian-perjanjian bagi hasil yang sudah ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini, untuk panen yang berikutnya harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal-pasal
diatas.
Pasal 12.
Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini tidak berlaku terhadap perjanjian-perjanjian bagi hasil mengenai tanaman keras.
Pasal 13.
(1) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak memenuhi atau melanggar ketentuan dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 maka baik Camat maupun Kepala Desa atas pengaduan salah satu fihak ataupun karena jabatannya, berwenang memerintahkan dipenuhi atau ditaatinya ketentuan yang dimaksudkan itu.
(2) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui perintah Kepala Desa tersebut pada ayat 1 diatas, maka soalnya diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah fihak.
Pasal 14.
Jika pemilik tidak bersedia mengadakan perjanjian bagi hasil menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, sedang tanahnya tidak pula diusahakan secara lain, maka Camat, atas usul Kepala
Desa berwenang untuk, atas nama pemilik, mengadakan perjanjian bagi hasil mengenai tanah yang bersangkutan.
Pasal 15.
(1) Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-;
a. pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau
pasal 11;
b. penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2;
c. barang siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat 3.
(2) Perbuatan pidana tersebut pada ayat 1 diatas adalah pelanggaran
Pasal 16.
Hal-hal yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan undang-undang ini diatur oleh Menteri Muda Agraria sendiri atau bersama dengan Menteri Muda Pertanian.
Pasal 17.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 7 Januari 1960.
Presiden Republik Indonesia,
SOEKARNO.
Diundangkan
pada tanggal 7 Januari 1960,
Menteri Muda Kehakiman,
SAHARDJO.
HASIL WAWANCARA
Nama : Moh. Hasan
Jabatan : Ketua Kelompok Tani
Hari / Tanggal: jum’at, 10 Oktober 2014
Jam : 19.00-selesai
Tempat : Kantor Kelompok Tani
1. sistem pertanian apa yang dipakai di Desa Tenggulun ini?
jawab: sistem yang digarap sendiri, ada juga buruh tani, dan ada juga yang digarapkan
orang lain.
2. Dalam melakukan sistem pertanian tersebut, adakah pedoman yang dirujuk?
Seperti Undang-undang atau Konsep Islam?
Jawab: kalau pedoman yang dirujuk seperti Undang-undang saya pikir tidak, akan
tetapi biasanya itu mengacu pada hukum-hukum Islam sekiranya tidak melanggar
dalam tatanan Islam kita laksanakan perjanjiannya. Terus terang kalau istilahnya
Undang-undang tentang hal itu tidak ada. Karena kita antara penggarap dan yang
mempunyai lahan itu cukup sepakat dengan ketentuan, yang tidak melanggar Islam
3. ada berapa kelompok pertanian di Desa ini? Apa fungsinya?
Jawab: ada 3, fungsinya kelompok kalau yang kita laksanakan di desa itu, yang
petama biasanya untuk melaksanakan pekerjaan tani itu bisa serempak, tanamannya
bisa serempak, dipandu oleh satu kelompok. Sehingga untuk mengendalikan hama
dan lain sebagainya itu bisa serempak. Sehingga kita nanti bisa panen dengan paling
tidak bisa maksimal karena dengan kebersamaan.
4. sebagai ketua kelompok tani, bagaimana pandangan bapak tentang praktik
kerjasama bagi hasil yang ada di Desa Tenggulun ini?
Jawab: istilahnaya kalau pandangan dari ketua kelompok itu paling tidak mendukung,
baik untuk kerja sama antara praktik pertanian, praktik kerja sama yang di desa ini
sangat baik. Artinya yang punya lahan dan yang menggarap insya allah tidak ada yang
dirugikan. dan itu mengacu pada ketentuan yang ada dalam agama kita, tentu saja
agama Islam sehingga keduanya sebelum ada penggarapan itu ada perjanjian di awal
sehingga nanti tidak ada, istilahnya saling dirugikan. ya bagus sekali.
5. apa solusi buat para pihak yang berakad dalam kerjasama agar dalam
pelaksaan perjanjian tersebut bisa adil?
Jawab: biasanya kita jelaskan saja, untuk awal perjanjian itu ada yang dibuat
perjanjian tertulis ada yang tidak, tapi kita saling percaya. Sehingga solusinya cuma
nanti kita jelaskan saja kepada kedua belah pihak bahwa ini nantinya seperti apa.
Sehingga diantara yang satu dengan yang lain yang penggarap atau yang punya sawah
itu tidak saling dirugikan dan juga tidak ada istilahnya diuntungkan, jadi sama-sama
karena ada ketentuan diawal.
6. bagaimana tindakan bapak sebagai ketua kelompok tani agar perjanjian
kerjasama bagi hasil yang terjadi di desa ini bisa berjalan sesuai dengan konsep
Islam yang ada?
Jawab: biasanya sebelum ada akad itu, kalau muakkad kita perjelas lebih dahulu,
bagaimana nanti ini yang punya sawah dan yang menggarap ini bisa tahu bahwa
seperti ini lah perjanjian diawal yang tidak sesuai yang harus sesuai dengan agama
Islam, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Islam. Yang awalnya di awal perjanjian
itu kita perjelaskan kita beri pengertian yang sejelas-jelasnya biar keduanya saling
mengerti dan tidak akan ada perselisihan di akhirnya nanti. Jadi di awal perjanjian itu
kita jelaskan, kita beri pengetahuan, kita beri penjelasan. Sehingga nanti sama
mengerti, kalau sudah mengerti, sama-sama mengerti barulah dimulai akad.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : sukaeri
Jabatan : pihak penggarap
Hari / Tanggal: sabtu, 09 Agustus 2014
Jam : 19.30-selesai
Tempat : kediaman penggarap
1. Sistem pertanian apa yang dipakai di Desa ini?
Jawab: sistem kerja sama dikerjakan sendiri, dan ada juga buruh tani. Sistem yang
dimaksud disini bukan sistem irigasi ataupun tadah hujan. Kebanyakan tanah dikelola
sendiri, ada juga yang dikerjakan oleh orang lain tapi hanya sebagian
2. Dalam melakukan sistem pertanian kerja sama adakah pedoman yang dirujuk?
Seperti Undang-undang atau Konsep Islam?
Jawab: ada dengan dasar saling menguntungkan. Yang punya sawah bisa mengambil
keuntungan dari hasil pertanian tersebut, pihak penggarap ada keuntungan karena
punya lahan yang bisa dikerjakan. Berdasarkan ayat alqura’an : wata’awanu ‘alal
birri wattaqwa walaa ta’aawanuu ‘alal istmi wal ‘udwaan
3. Dalam menggunakan sistem bagi hasil, apakah ada ketentuan porsi bagi hasil
panen di awal akad? Jika ada ketentuan, yang disebutkan tersebut berupa
persen atau jumlah karung dari hasil panen?
Jawab: kebanyakan masyarakat Desa Tenggulun tidak ada sistem porsi diawal akad,
yang ada pasrah dengan hasil yang didapatkan ketika panen nanti, berapapun hasilnya
saling terima. Tapi ada juga yang bagian porsinya 30% dari hasil panen.
4. Menurut kebiasaan masyarakat, berapa lama waktu yang diperjanjikan dalam
melakukan perjanjian bagi hasil? Apakah ketentuan batas waktu tersebut
disebutkan ketika awal akad?
Jaab: tidak ada batasan waktu, semampunya pihak penggarap. Ada ketentuan, tapi
tidak ada batasan waktu. Sewaktu-waktu bisa dikembalikan oleh pihak penggarap dan
sewaktu-waktu bisa diminta oleh pihak pemilik tanah apabila keduanya saling
membutuhkan. apabila pihak penggarap sudah tidak sanggup maka lahan
dikembalikan.
5. Jika ketentuan batas waktu yang disepakati sudah habis, tetapi petani
penggarap belum menghasilkan panen langkah apa yang diambil? Apakah
perjanjian kerja sama dikatakan selesai, karena mengikuti kesepakatan yang
ditentukan, atau perjanjian kerja sama masih berlanjut sampai petani
penggarap menghasilkan panen?
Jawab: langkah yang diambil yaitu memperbarui akad baru lagi ketika sudah habis
waktunya, kalau seumpama habis waktu 3 tahun berati kalau sudah habis ada
kesepakatan baru lagi. Ketika tengah-tengah perjanjian tapi belum panen dan
waktunya sudah habis, maka masih berlanjut sampai panen, jadi minta perjanjian
ditambah waktunya. Bagi petani penggarap menunggu sampai hasil panen
6. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan praktek kerja sama
bagi hasil dalam pertanian, apakah ada pihak yang dirugikan? pihak mana yang
dirugikan? kenapa?
Jawab: tidak ada yang dirugikan oleh hasil, karena bibitnya dari petani. Kalau
pembagian hasil panen juga tergantung panen yang didapatkan, kalau panen banyak
pemilik tanah juga dikasih bagian banyak, tapi kalau penggarap dapat hasil panen
cuma sedikit pemilik tanah juga dikasih bagian sedikit. Karena jika pemilik tanah
dikasih banyak dan hasil panennya sedikit nanti dikhawatirkan tidak ada yang
sanggup menggarapnya. Kalaupun ada yang merasa rugi biasanya pihak petani,
karena sudah mengeluarkan biaya tapi tidak mendapatkan hasil panen karena semua
biaya pertanian ditanggung oleh penggarap.
7. Dalam praktek kerja sama bagi hasil pertanian, apakah ada pihak yang merasa
tidak adil dalam pembagiannya?
Jawab: dijawab tidak ada benar, dijawab ada juga benar. Jawaban ada jika tidak
menghasilkan panen maka pihak pemilik sawah rugi, karen pemilik tanah dibebani
dengan bayaran pajak tanah, rugi karena tidak hasil sedangkan beban pajak
dibebankan pada pemilik sawah.
8. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan perjanjian kerja
sama bagi hasil pertanian, dari manakah modal yang dipakai untuk mengelolah
lahan tersebut?
Jawab: dari pihak petani, karena kebiasaan masyarakat desa sini semua biaya apapun
ditanggung oleh pihak petani.
9. Ketika kesepakatan kerja sama sudah terlaksana dan sudah menghasilkan
panen, pihak mana yang mengeluarkan zakat?
Jawab: yang mengeluarkan zakat petani atau penggarap sawah.
10. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah pemilik lahan
menjelaskan batasan-batasan dari lahan tersebut?
Jawab: ada sebagian yang dijelaskan batasan-batasan lahan dan luas tanahnya.
11. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah masih ada
campur tangan dari pemilik lahan untuk ikut serta dalam mengelolah lahan
tersebut?
Jawab: tidak ada, karena pemilik tanah sudah percaya kepada pihak petaninya.
12. Darimanakah biaya pengeluaran untuk bibit, alat, dan tenaga kerja dari pihak
lain?
Jawab: dari penggarap petani
13. Apa alasan dilakukannya praktek kerja sama bagi hasil pertanian ini?
Jawab: karena kebanyakan pemilik tanah pergi merantau ke malaysia, alasannya:
a. Bagi pemilik tanah tidak mampu menggarap tanahnya dan tidak ada kemampuan.
b. Ditinggal ke malaysia
c. Usia yang sudah tua, dan anak-anak mudanya ke malaysia. Sehingga tidak ada
kemampuan untuk menggarap sawahnya
d. Penggarap tidak mempunyai lahan
14. Bagaimana praktek perjanjian kerja sama bagi hasil ini? Apakah sesuai adat
atau sesuai dengan konsep Islam?
Jawab: kebanyakan adat, adat dan kesepakatan bersama. Kalau masalah konsep Islam
juga tidak sepenuhnya. Karena yang berlaku sesuai adat kebiasaan dan tidak
melanggar konsep Islam. Karena ada akad, ada kesepakatan jadi masih sesuai konsep
Islam yang ada. Ada juga an taradhin (rela sama rela). Kalau keduanya sudah saling
rela maka sudah tidak ada masalah.
15. Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap adanya konsep Islam yang
mengatur tentang perjanjian bagi hasil pertanian?
Jawab: ada yang mengetahui, tapi tetap berpacu kepada adat. Sebagian yang
berpendidikan mengetahui tentang tata cara menggarap sawah. Sebagian masih ada
yang mengetahui, masih ada pak kyai, ada pak guru juga jadi tidak semuaya tidak
mengetahuinya.
16. Dalam menyepakati akad, bagaimana cara kedua belah pihak menyepakatinya?
Apakah dengan tertulis, cukup dengan lisan, atau langsung serah terima dengan
tindakan?
Jawab: kebanyakan cukup dengan lisan dan langsung disertai serah terima tindakan,
tidak ada yang tertulis. Syukur-syukur dengan ucapan ini lahannya tolong dikelola.
17. Apakah ada pembagian kelompok pertanian di Desa ini? Jika ada, dibagi
menjadi berapa kelompok? Fungsinya apa?
Jawab: ada 3 kelompok tani, fungsinya untuk mensejahterakan warganya, sama
halnya dengan KUD. Untuk mengatur pembagian jatah dari pemerintah,
mempermudah penyaluran dari pemerintah disamping itu meringankan beban
kelompok, kesulitan biaya, penyuluhan pemberantasan hama. Agar petani mudah
diberi pengetahuan tentang pertanian.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Ma’shum
Jabatan : Toko masyarakat
Hari / Tanggal: jum’at, 08 Agustus 2014
Jam : 20.00-selesai
Tempat : musollah Thoriqotul Hidayah
1. Sistem pertanian apa yang dipakai di Desa ini?
Jawab: sistem pertanian ada yang model digarapkan orang lain ada yang digarap
sendiri biasanya memang berlaku begitu, jadi ada yang bagian garap dan ada yang
pemilik lahan. Kalau tidak memungkinkan untuk menggarap sawahnya sendiri
sehingga diserahkan kepada orang lain yang memang butuh garapan akhirnya mereka
menggarap lahan tersebut. Ada juga yang dari orang lain kebetulan tidak punya
sawah, dan kadang punya sawah tapi sedikit atau ada kalanya memang tidak punya
sama sekali dan dia mempunyai keinginan jadi petani dan lapangan untuk
penggarapan tidak ada sehingga menggarap lahan orang lain, sementara ada yang
punya banyak lahan dan tidak punya kesempatan untuk menggarap atau tidak
memungkinkan untuk menggarap sawahnya sendiri sehingga harus ada orang lain
yang menggarap sawah itu.
2. Dalam melakukan sistem pertanian adakah pedoman yang dirujuk? Seperti
Undang-undang atau Konsep Islam?
Jawab: kalau dalam melakukan sistem pertanian di Desa Tenggulun khususnya ini
tidak mengacu pada Undang-undang cuma adat kebiasaan yang berlaku di pertanian
itu sendiri. jadi tidak mengacu pada Undang-undang juga tidak mengacu pada konsep
Islam walaupun mayoritas beragama Islam.
3. Dalam menggunakan sistem bagi hasil, apakah ada ketentuan porsi bagi hasil
panen di awal akad?
Jawab: kalau sistem bagi hasil itu sebagian besar memang tidak ada kesepakatan, tapi
tidak semuanya begitu, banyak juga yang tergantung dari hasil panen pertanian nanti
itu bagaimana. Kalau memang nanti hasilnya memuaskan pemilik lahan juga dikasih
yang memuaskan. Kalau nanti hasilnya ternyata tidak memuaskan biasanya pemilik
lahan juga tahu, jadi mengetahui masih bisa memberikan kesempatan pada hari yang
lain atau tahun-tahun yang lain. Namun juga ada yang model kesepakatan di awal.
jadi seumpama setahun ini memang kesepakatan masing-masing mendapat hasil
sekian, tidak peduli hasil panen memuaskan atau tidak panen penggarap biasanya
harus membayar sekian. Jadi ada 2 model yang berlaku. Jadi ada yang model ada
kesepakatan diawal-awal akad itu memang sudah ada kesepakatan, jadi harus bayar
sekian tiap tahun, dan ada juga yang model tidak demikian, jadi nunggu nanti
hasilnya.
4. biasanya yang disebutkan tersebut berupa persen atau jumlah karung dari hasil
panen?
Jawab: yang berlaku disini jumlah karungan, jadi berapa karung yang didapat, ada
juga yang tidak mengacu pada jumlah karungan yang didapat. Jadi berdasarkan dari
kesepakatan awal ketika awal akad itu. Jadi untuk sekian tahun ini harus memberikan
sekian.
5. Menurut kebiasaan masyarakat, berapa lama waktu yang diperjanjikan dalam
melakukan perjanjian bagi hasil? Apakah ketentuan batas waktu tersebut
disebutkan ketika awal akad?
Jawab: ini ada 2 macam juga, ada yang tidak terikat dengan batasan waktu berapa
tahun, namun ada juga yang pakai batasan waktu yaitu batasan tahun. Jadi ada yang
semampunya pihak penggarapnya. Selama pihak penggarap ini masih mampu maka
tidak dibatasi berapa tahun. ini karena pemilik lahan sudah tidak memungkinkan
untuk menggarap lagi. Adakalanya pakai waktu sekian tahun dan akad itu terjadi
diawal, di awal tahun itu harus memberikan persekot sekian ada juga yang model-
model demikian ada yang batasan waktu. Ada juga yang tidak pakai batasan waktu.
Jadi ada 2 fersi.
6. kalau ada batasan waktu apakah ada ketentuan diawal akad?
Jawab: kalau pakai batasan waktu itu memang diawal akad sudah ditentukan, jadi
kesepakatan kedua belah pihak antara pemilik lahan dengan si penggarap itu diawal-
awal memang sudah ditentukan.
7. Jika ketentuan batas waktu yang disepakati sudah habis, tetapi petani
penggarap belum menghasilkan panen langkah apa yang diambil? Apakah
perjanjian kerja sama dikatakan selesai, karena mengikuti kesepakatan yang
ditentukan, atau perjanjian kerja sama masih berlanjut sampai petani
penggarap menghasilkan panen?
Jawab: biasanya yang berlaku ini tidak pernah sampai ada kejadian yang gagal panen
total. Jadi dapat dikatakan seumpama musim tahun ini tidak panen biasanya masih
ada untuk berikutnya. Jadi, perjanjian itu biasanya tidak hanya setahun jadi masih
beberapa tahun. Makanya yang dipakai disini itu tidak tahun jadi istilahnya berapa
musim hujan berapa musim kemarau. Satu kemarau satu musim hujan, atau 3
kemarau 3 musim hujan. Ya begitulah, jadi jika tidak dapat menghasilkan nanti
musim kemarau atau musim hujannya pasti menghasilkan, jadi tetap dilanjutkan si
penggarap masih tetap melanjutkan penggarapan, jadi nanti berikutnya kalau musim
hujan ini tidak panen tidak masalah bagi pemilik lahan sudah memaklumi jadi tidak
menuntut harus dikasih.Kalau waktunya sudah habis dan belum juga panen itu
biasanya nunggu sampai panen, jadi sampai selesai waktu panen itu baru
dikembalikan. Jadi masih dikasih tenggang waktu sampai panen itu didapat.
8. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan praktek kerja sama
bagi hasil, apakah ada pihak yang dirugikan?
Jawab: sementara ini perjanjian antara kedua belah pihak ini kayanya tidak ada yang
dirugikan, jadi yang biasa terjadi sudah saling mengetahui, saling tenggang rasa, dan
saling mengerti. Kalau sementara kurang hasil bagi pemilik tanah sudah memaklumi
tidak ada pihak yang berebutan bagi pihak penggarap maupun pihak pemilik tanah.
9. Dalam praktek kerja sama bagi hasil, apakah ada pihak yang merasa tidak adil
dalam pembagiannya? pembagian porsi panen pak!
Jawab: kalau yang berlaku ini ya tidak ada. Cuma barangkali ada dalam hati kadang-
kadang merasa itu hanya perasaan, merasa bagiannya sedikit padahal dapat panen
yang lumayan, tapi tidak terlalu menyolok kalau merasa dirugikan, Kebanyakan
sudah biasa maklum yang penting dikasih.
10. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan perjanjian kerja
sama bagi hasil, dari mana modal yang dipakai untuk mengelolah lahan?
Jawab: dalam pengelolaan lahan ini 100% dari penggarap sawah. mulai dari bibit,
sampai dengan pupuk, maupun penggarapan dan lain sebagainya samapai
pengolaaannya itu seluruhnya adalah dari pihak penggarap, jadi yang harus
membiayai keseluruhannya adalah dari pihak penggarap. Kalau pemilik lahan hanya
menyerahkan lahannya, jadi seluruhnya pengolaan tersebut mulai dari pengolaannya
dan lain sebagainya ini adalah dari orang yang menggarap.
11. Ketika kesepakatan kerja sama sudah terlaksana dan sudah menghasilkan
panen, pihak mana yang mengeluarkan zakat?
Jawab: yang mengeluarkan zakat dari kedua belah pihak adalah dari penggarap lahan,
jadi penggarap lahan kalau memang panennya memuaskan dan dapat satu nishab
maka dari pihak penggarap inilah yang harus mengeluarkan zakat. Tapi kadang kalau
tidak sampai satu nishab maka mengeluarkan infaq, jadi penggarap yang
mengeluarkan infaq maupun yang mengeluarkan zakat.
12. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah pemilik lahan
menjelaskan batasan-batasan dari lahan tersebut?
Jawab: biasanya tidak ada penjelasan di awal kesepakatan, karena satu desa dan sudah
saling tahu batasan-batasan dari lahan tersebut, batasan waktu ini sudah dibahas
ketika awal akad, jadi sudah saling mengetahui antara pemilik lahan dan penggarap
dan tidak perlu ada penjelasan atau rincian yang begitu rinci .
13. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah masih ada
campur tangan dari pemilik lahan untuk ikut serta dalam mengelolah lahan
tersebut?
Jawab: kalau masalah pengelolaan lahan tersebut adalah murni 100% dari pihak
penggarap, jadi pihak pemilik lahan sudah tidak tahu sama sekali ini model digarap
seperti apa, ataupun ini ditanami apa. Jadi 100% diserahkan sepenuhnya atau
dikelolah sepenuhnya oleh penggarap. Jadi pemiliki lahan sudah tidak ikut campur
tangan sama sekali.
14. Darimana biaya pengeluaran untuk bibit, alat, dan tenaga kerja dari pihak lain?
jawab: kalau mengenai bibit, termasuk alat-alat penggarapan, termasuk tenaga kerja
dan lain sebagainya ini 100% dari penggarap. jadi pemilik lahan sudah tidak tahu
menahu.
15. kebanyakan alasan yang dilakukan praktek kerja sama bagi hasil pertanian itu
apa?
Jawab: alasan yang dilakukan ini adalah karena dari pihak pemilik lahan sudah tidak
sanggup, tidak ada waktu, tidak punya kesempatan, tidak ada tenaga untuk menggarap
lahannya, sementara ada keluarga yang lain yang sangat membutuhkan garapan untuk
mendapatkan hasil dari pertanian, sementara tidak punya lahan. Jadi harus menggarap
lahan dari orang lain. Sementara orang lain ini butuh tenaga untuk mengelola
sawahnya, supaya tidak jadi tanah kosong yang kotor dan banyak rumputnya
disebabkan tidak tergarap akhirnya jadi hutan belantara yang tumbuhan apapun ada
disitu. Sementara tanah tidak menghasilkan apa-apa lebih baik diserahkan kepada
orang lain supaya sawahya bersih, bebas dari berbagai tumbuhan liar, dan bisa
menghasilkan, sawahnya juga bersih teratur. Dari situlah akhirnya terjadi kesepakatan
kerja sama antara pemilik lahan sama penggarap
16. Bagaimana praktek perjanjian kerja sama bagi hasil ini? Apakah sesuai adat
atau sesuai dengan konsep Islam?
Jawab: yang terjadi kerja sama ini adalah kesepakatan, jadi kesepakatan kedua belah
pihak sesuai adat. Jadi adat yang berlaku disini bisanya bagaimana itulah yang dipakai
oleh masyarakat sini.
17. Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap adanya konsep Islam yang
mengatur tentang perjanjian bagi hasil pertanian?
Jawab: sebagian ada yang tahu, tapi tidak keseluruhannya tahu. tidak keseluruhan
petani tahu tentang konsep Islam. Namun sementara yang dipakai ini adalah adat, jadi
adat kebiasaan pertanian yang ada disini yang dipakai, tidak pakai yang menganut
konsep Islam .
18. Dalam menyepakati akad, bagaimana cara kedua belah pihak menyepakatinya?
Apakah dengan tertulis, cukup dengan lisan, atau langsung serah terima dengan
tindakan?
Jawab: dalam kesepakatan antara pemilik lahan dengan penggarap lahan ini biasanya
cukup dengan lisan dan dengan tindakan. Jadi langsung serah terima antara pemilik
lahan dengan pengarap jadi tidak pakai tertulis atau materai dan lain sebagainya.
19. Apakah ada pembagian kelompok pertanian di Desa ini? Jika ada, dibagi
menjadi berapa kelompok? dan Fungsinya apa?
Jawab: kelompok tani di desa ini ada dan dibagi menjadi 3 kelompok tani. Ada
kelompoknya bapak muhammad hasan, ada kelompoknya bapak suraji, dan ada
kelompoknya bapak sahari. Fungsi dari kelompok tani ini biasanya ada permintaan
dari kelompok tani kecamatan maupun kabupaten sesuai dengan pengucuran dana
bantuan. biasanya bantuan unutk petani biasanya berupa bibit, maupun pupuk obat-
obatan, dan kadang ada bantuan alat-alat pertanian. Untuk memudahkan bantuan itu
biasanya dari kelompok tani itulah diminta datanya. Jadi fungsinya untuk
memudahkan pendataan ketika ada bantuan dari pemerintah untuk petani dari masing-
masing kelompok, berapa anggota yang dia bawa.
HASIL WAWANCARA
Nama : H. Munifah
Jabatan : pemilik lahan
Hari / Tanggal: senin, 11 Agustus 2014
Jam : 10.00-selesai
Tempat : kediaman pemilik lahan
1. apa alasan ibu sebagai pemilik tanah melakukan praktek kerja sama bagi hasil
pertaninan ini?
Jawab: karena saya memiliki banyak lahan yang harus dikelola. Jadi saya pikir saya
tidak sanggup, tidak mempunyai kemampuan yang lebih dalam mengelola lahan yang
banyak. Selain itu juga saya tidak ada waktu untuk membagi dalam pengelolaannya.
Baru mengelola lahan sedikit saja sudah capek. Untuk menggarap lahan yang banyak
juga memutuhkan biaya yang banyak dan saya tidak mampu. Dari pada lahan saya
banyak yang nganggur yaaah saya pasrahkan saja kepada saudara atau tetangga saya
yang sanggup untuk menggarap lahan saya.
2. dalam melakukan sistem pertanian tersebut, adakah pedoman yang dirujuk seperti
Undang-undang atau konsep Islam?
Jawab: kalau masalah pedoman yang dirujuk saya kurang tahu dalam masalah ini. Saya
juga tidak tahu isi pedoman yang ada dalam Undang-undang ataupun dalam Islam. Jadi
berjalan seperti biasa yang dilakukan oleh masyarakat sini.
3. dalam menentukan sistem bagi hasil, apakah ada ketentuan porsi bagi hasil panen
di awal akad?
Jawab: dalam bagi hasil saya tidak menentukan berapa porsi yang harus saya dapatkan.
Jadi pembagiannya terserah penggarapnya ngasih berapa. Tergantung panen yang
dihasilkan. Kalau dikasih banyak ya syukur, kalau sedikit ya terima apa adanya, kasihan
yang menggarap juga, mengelola lahan juga tidak gampang dan membutuhkan biaya
yang tidak sedikit.
4. menurut kebiasaan masyarakat, berapa lama waktu yang diperjanjikan dalam
perjanjian bagi hasil?
Jawab: batas waktu tidak disebutkan diawal akad. Pengelolaan tergantung sesanggupnya
penggarap.
5. kebiasaan masyarakat, dalam praktek kerja sama bagi hasil. Jika ketentuan batas
waktu yang disepakati sudah habis, tetapi petani penggarap belum menghasilkan
panen langkah apa yang diambil? Apakah perjanjian kerja sama dikatakan selesai,
karena mengikuti kesepakatan yang ditentukan, atau perjanjian kerja sama masih
berlanjut sampai petani penggarap menghasilkan panen?
Jawab: perjanjian akan terus berlanjut sampai menghasilkan panen.
6. kebiasaan masyarakat dalam melakukan praktek kerja sama bagi hasil dalam
pertanian, apakah ada pihak yang dirugikan?
jawab: masalah rugi tidaknya tergantung, kadang rugi kadang tidak. Karena kerugian
dapat dilihat dari pembagian hasil panennya, kalau penggarap dapat panennya banyak
tapi saya dikasih ke saya sedikit ya saya rugi. Kalau memang panennya dapat sedikit
dikasih ke saya sedikit ya saya bisa maklum, karena memang hasilnya segitu, jadi ikhlas
saja.
7. kebiasaan masyarakat dalam melakukan perjanjian kerja sama bagi hasil dari
mana modal yang dipakai untuk mengelola lahan?
Jawab: modal semuanya ditanggung oleh penggarap
8. apabila lahan sudah diserahkan kepada penggarap apakah pemilik tanah
menjelaskan dari batasan lahan tersebut?
Jawab: karena penggarap sudah tahu batasan galengannya jadi tidak usah dijelaskan lagi.
9. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah masih ada
campur tangan dari pemilik lahan untuk ikut serta dalam mengelolah lahan?
Jawab: pemilik tanah ya sudah tidak ada urusan campur tangan lagi. Kalau masih ada
campur tangan dari saya nanti malah saya rugi.
10. Bagaimana praktek perjanjian kerja sama bagi hasil ini? Apakah sesuai adat atau
sesuai dengan konsep Islam?
Jawab: praktek kerja sama ini saya mengikuti kebiasaan yang terjadi di desa ini.
Mengikuti bagaimana masyarakat melakukannya. Saya juga tidak tahu konsep Islam itu
bagaimana. Jadi ya mengikuti yang sudah biasa terjadi lagian ngambil gampangnya juga.
karena sudah biasa berjalan seperti itu.
11. Dalam menyepakati akad, bagaimana cara kedua belah pihak menyepakatinya?
Apakah dengan tertulis, cukup dengan lisan, atau langsung serah terima dengan
tindakan?
Jawab: dalam menyepakatinya saya cukup dengan ucapan lisan dan langsung serah
terima. Kalau sudah ada kesepakatan maka penggarap langsung mengerjakan yang sudah
menjadi tanggung jawabnya.
top related