kabar jkpp 21
Post on 14-Feb-2017
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang
KABARJKPP
21Oktober 2016
“Masa Depan Peta Partisipatif Di Antara Program Prioritas Presiden”
REDAKSI KABAR JKPPPenanggung Jawab: Deny Rahadian; Pemimpin Redaksi: Dewi Sutejo; Redaktur: Ade Ikhzan; Redaktur Pracetak: Amir Hamzah Siregar; Reporter & Kontributor: Imam Hanafi, Sandoro Purba, Fahmi, Kurniawan Nomeanto, Edy Subahani, Sofyan Ubaidi Anom, Iwan Nurdin, Siti Zulaika ; Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda
Alamat Redaksi :Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp & Fax. +62 251 8379143 Email: kabar@jkpp.org ; Website: www.jkpp.org
KABAR REDAKSI
Terbit atas Dukungan
K A B A R J K P P 2 1
Yang Dapat Kami Kabari
“Kabar Utama
Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam pokja IGT: “Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik” - Imam Hanafi
Kebijakan Satu Peta dalam Kebijakan dan Implementasi “Wawancara dengan Abetnego Tarigan di Kantor Staf Presiden”
Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang : Menakar Kepentingan Para Pemangku Kepentingan – Sandoro Purba
MUKIM, Benteng Keselamatan Sumber Daya Alam di Aceh – Fahmi
Menjaga Mata Air Untuk Menghapus Air MataPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah – Kurniawan Nomeanto
Kabar Simpul
Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat di Desa Henda Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau – Edy Subahani
Pemetaan Partisipatif dan Reforma AgrariaCerita Redistribusi Tanah Badega - Garut - Sofyan Ubaidi Anom
Kabar Peta Kampung
Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House Training GIS-Siti Zulaika
Kabar Ukur - ukur
4
““““
“““
1017
24
28
32
36
39
K A B A R J K P P 2 1
Salam Kedaulatan Atas Ruang,
Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR
JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.
KABAR 21 kali ini menyajikan tema “Masa
Depan Peta Partisipatif Di Antara
Program Prioritas Presiden”. Hal ini
berkenaan dengan beberapa tulisan yang
memberikan catatan kritis terhadap kebijakan
pemerintah terkait ruang kelola masyarakat baik
di tingkat nasional maupun daerah. Selain tetap
menyajikan beberapa potret terkait perjuangan
merebut ruang melalui pemetaan partisipatif di
tingkat lokal.
Diantaranya, Imam Hanafi masih
memberikan catatan khusus terkait enam tahun
usia berjalannya kebijakan satu peta, termasuk
didalamnya mengupas inisiasi pembentukan
POKJA IGT dalam percepatan kebijakan satu
peta - “Kebijakan satu peta masih berkutat
dalam pembenahan struktural dan koordinasi
yang kesemuanya masih meletakkan ekonomi
dan investasi sebagai tolak ukur utama”.
Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama
Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-
isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis”,
memberikan catatannya terkait peran dan posisi
KSP dalam upaya mempercepat implementasi
kebijakan satu peta. Sementara Sekjen KPA, Iwan
Nurdin memberikan catatan terhadap rancangan
program Reforma Agraria ala Pemerintah dengan
memotret program redistribusi tanah di Badega,
termasuk didalamnya posisi dan peran pemetaan
partisipatif dalam RA. Sandoro Purba staf
advokasi JKPP mengulas mengenai posisi
masyarakat dalam kebijakan nasional tata ruang
dari perspektif hukum dan politik ruang. SLPP
Aceh berkontribusi dalam memberikan catatan
kritis terhadap posisi mukin dalam kebijakan
ruang Aceh yang diatur melalui Undang Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006.
SLPP NTB menceritakan perjuanganya dalam
mempertahankan mata air yang terancam oleh
komersialisasi air oleh pemerintah di Kawasan
Utara Lombok Tengah. SLPP Kalteng mengulas
upaya menata ruang melalui perencanaan tata
guna lahan dalam kawasan gambut di Kecamatan
Jabiren Raya, Pulang Pisau.
Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan
terutama tulisan baik ide, analisis maupun
pengalaman belajar dari para pembaca untuk
memperkaya media ini. Selamat Membaca!
Terima kasih
Redaktur
REDAKSI KABAR JKPPPenanggung Jawab: Deny Rahadian; Pemimpin Redaksi: Dewi Sutejo; Redaktur: Ade Ikhzan; Redaktur Pracetak: Amir Hamzah Siregar; Reporter & Kontributor: Imam Hanafi, Sandoro Purba, Fahmi, Kurniawan Nomeanto, Edy Subahani, Sofyan Ubaidi Anom, Iwan Nurdin, Siti Zulaika ; Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda
Alamat Redaksi :Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp & Fax. +62 251 8379143 Email: kabar@jkpp.org ; Website: www.jkpp.org
KABAR REDAKSI
Terbit atas Dukungan
K A B A R J K P P 2 1
Yang Dapat Kami Kabari
“Kabar Utama
Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam pokja IGT: “Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik” - Imam Hanafi
Kebijakan Satu Peta dalam Kebijakan dan Implementasi “Wawancara dengan Abetnego Tarigan di Kantor Staf Presiden”
Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang : Menakar Kepentingan Para Pemangku Kepentingan – Sandoro Purba
MUKIM, Benteng Keselamatan Sumber Daya Alam di Aceh – Fahmi
Menjaga Mata Air Untuk Menghapus Air MataPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah – Kurniawan Nomeanto
Kabar Simpul
Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat di Desa Henda Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau – Edy Subahani
Pemetaan Partisipatif dan Reforma AgrariaCerita Redistribusi Tanah Badega - Garut - Sofyan Ubaidi Anom
Kabar Peta Kampung
Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House Training GIS-Siti Zulaika
Kabar Ukur - ukur
4
““““
“““
1017
24
28
32
36
39
K A B A R J K P P 2 1
Salam Kedaulatan Atas Ruang,
Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR
JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.
KABAR 21 kali ini menyajikan tema “Masa
Depan Peta Partisipatif Di Antara
Program Prioritas Presiden”. Hal ini
berkenaan dengan beberapa tulisan yang
memberikan catatan kritis terhadap kebijakan
pemerintah terkait ruang kelola masyarakat baik
di tingkat nasional maupun daerah. Selain tetap
menyajikan beberapa potret terkait perjuangan
merebut ruang melalui pemetaan partisipatif di
tingkat lokal.
Diantaranya, Imam Hanafi masih
memberikan catatan khusus terkait enam tahun
usia berjalannya kebijakan satu peta, termasuk
didalamnya mengupas inisiasi pembentukan
POKJA IGT dalam percepatan kebijakan satu
peta - “Kebijakan satu peta masih berkutat
dalam pembenahan struktural dan koordinasi
yang kesemuanya masih meletakkan ekonomi
dan investasi sebagai tolak ukur utama”.
Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama
Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-
isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis”,
memberikan catatannya terkait peran dan posisi
KSP dalam upaya mempercepat implementasi
kebijakan satu peta. Sementara Sekjen KPA, Iwan
Nurdin memberikan catatan terhadap rancangan
program Reforma Agraria ala Pemerintah dengan
memotret program redistribusi tanah di Badega,
termasuk didalamnya posisi dan peran pemetaan
partisipatif dalam RA. Sandoro Purba staf
advokasi JKPP mengulas mengenai posisi
masyarakat dalam kebijakan nasional tata ruang
dari perspektif hukum dan politik ruang. SLPP
Aceh berkontribusi dalam memberikan catatan
kritis terhadap posisi mukin dalam kebijakan
ruang Aceh yang diatur melalui Undang Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006.
SLPP NTB menceritakan perjuanganya dalam
mempertahankan mata air yang terancam oleh
komersialisasi air oleh pemerintah di Kawasan
Utara Lombok Tengah. SLPP Kalteng mengulas
upaya menata ruang melalui perencanaan tata
guna lahan dalam kawasan gambut di Kecamatan
Jabiren Raya, Pulang Pisau.
Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan
terutama tulisan baik ide, analisis maupun
pengalaman belajar dari para pembaca untuk
memperkaya media ini. Selamat Membaca!
Terima kasih
Redaktur
KABARJKPP
4
Kendati apapun yang dilakukan masyarakat
dengan pemetaan partisipatif ini bukanlah
dalam rangka merampas atau meniadakan
tanah Negara, melainkan upaya pembuktian
dan menginformasikan tentang kesalahan
dalam penentuan status penguasaan dan
fungsi ruang serta ketidakjelasan tata batas
oleh pemerintah. Realitasnya, apa yang
dilakukan masyarakat ini masih terhambat
dengan hal-hal teknis seperti tidak
tersedianya walidata, standar teknis
pemetaan, metodologi, anggaran dan pola
perencanaan pembangunan yang top down.
Tanpa mempertimbangkan substansi
partisipasi, resolusi konflik dan kejelasan
status penguasaan dan pengelolaan ruang
kedepan. Padahal apa yang dilakukan oleh
pihak pemeta yang lain, baik swasta
maupun pemerintah sekalipun, tidak
lebih baik dari apa yang dilakukan
masyarakat. Faktanya, sampai saat ini
banyak desa-desa yang belum memiliki
peta desa (hanya 29% peta desa yang
definitif dari seluruh total desa dan
kelurahan di Indonesia), kawasan hutan
masih tumpang tindih penguasaan dan belum
semua dikukuhkan, pemerintah bahkan tidak
memiliki peta status penguasaan ruang oleh
masyarakat yang terverifikasi dengan baik.
Peta partisipatif yang berhasil
dikonsolidasikan oleh JKPP hingga 2016,
menunjukan tumpang tindih yang tinggi
antara wilayah kelola rakyat dengan klaim
kawasan hutan negara serta perizinan (lihat
grafik 1 dan 2). Dari peta partisipatif sebesar
kurang lebih 10 juta Ha, 37 % tumpang tindih
dengan hutan produksi, hutan lindung
sebesar 19 % dan hutan konservasi 18 %,
sementara APL mencapai 23 %. Luasan
terbesar tumpang tindih peta partisipatif
dengan perizinan yaitu dengan sektor
tambang yang mencapai 19 %.
Percepatan implementasi kebijakan
satu peta
Diawal tahun 2016, pemerintah kembali
meletakkan perhatiannya pada implementasi
kebijakan satu peta (onemap policy). Ini
ditandai dengan ditetapkannya Perpres No. 9
Tahun 2016 tentang percepatan implementasi
kebijakan satu peta pada bulan Februari 2016.
Perpres ini secara teknis memandatkan
pelaksanaan dan percepatan kebijakan satu
peta kepada tim percepatan Kebijakan Satu
Peta (Tim KSP). Tim percepatan kebijakan
satu peta ini diketuai oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam
melaksanakan tugasnya, tim percepatan KSP
KABAR JKPP
5
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Kilasan Curhat
Tahun ini adalah ulang tahun kebijakan
satu peta yang ke-6 sejak diluncurkan di
akhir tahun 2010 yang lalu. Sejauh ini,
kebijakan satu peta masih berkutat dalam
pembenahan struktural dan koordinasi yang
kesemuanya masih meletakkan ekonomi dan
investasi sebagai tolak ukur utama.
Koordinasi dan sinergi antar kementerian
lebih bernuansa pada kompromi politik
untuk sekedar memuluskan proyek-proyek
investasi dan kepentingan sektoral. Dengan
kata lain, belum membawa perubahan bagi
perbaikan situasi penguasaan dan
pengelolaan ruang di Indonesia khususnya
bagi penyelesaian konflik ruang dan lahan
serta bagi penegasan status penguasaan
ruang masyarakat. Posisi masyarakat
semakin rentan ditengah kuatnya tekanan
stabilitas pembangunan, pengembangan
ekonomi dan kesejahteraan sosial yang terus
diwarnai dengan ancaman konflik dan
kriminalisasi.
Setidaknya, inisiatif masyarakat untuk
menyudahi konflik ruang dan memperbaiki
pola pemanfaatan dan penentuan fungsi
ruang kedepan dengan menggunakan peta
partisipatif telah diinisiasi sejak tahun 90an.
Inisiatif yang dilakukan masyarakat dengan
menyediakan data dan bukti kesejarahan
status penguasaan ruang dan lahan melalui
pemetaan partisipatif, sebagai alat
penyelesaian konflik ruang dan lahan, belum
menemukan sambutan yang memadai.
“Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik”Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam POKJA IGT :
Imam HanafiKepala Divisi Advokasi
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Grafik 1. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Kawasan Hutan dan APL
Grafik 2. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Izin
KABARJKPP
4
Kendati apapun yang dilakukan masyarakat
dengan pemetaan partisipatif ini bukanlah
dalam rangka merampas atau meniadakan
tanah Negara, melainkan upaya pembuktian
dan menginformasikan tentang kesalahan
dalam penentuan status penguasaan dan
fungsi ruang serta ketidakjelasan tata batas
oleh pemerintah. Realitasnya, apa yang
dilakukan masyarakat ini masih terhambat
dengan hal-hal teknis seperti tidak
tersedianya walidata, standar teknis
pemetaan, metodologi, anggaran dan pola
perencanaan pembangunan yang top down.
Tanpa mempertimbangkan substansi
partisipasi, resolusi konflik dan kejelasan
status penguasaan dan pengelolaan ruang
kedepan. Padahal apa yang dilakukan oleh
pihak pemeta yang lain, baik swasta
maupun pemerintah sekalipun, tidak
lebih baik dari apa yang dilakukan
masyarakat. Faktanya, sampai saat ini
banyak desa-desa yang belum memiliki
peta desa (hanya 29% peta desa yang
definitif dari seluruh total desa dan
kelurahan di Indonesia), kawasan hutan
masih tumpang tindih penguasaan dan belum
semua dikukuhkan, pemerintah bahkan tidak
memiliki peta status penguasaan ruang oleh
masyarakat yang terverifikasi dengan baik.
Peta partisipatif yang berhasil
dikonsolidasikan oleh JKPP hingga 2016,
menunjukan tumpang tindih yang tinggi
antara wilayah kelola rakyat dengan klaim
kawasan hutan negara serta perizinan (lihat
grafik 1 dan 2). Dari peta partisipatif sebesar
kurang lebih 10 juta Ha, 37 % tumpang tindih
dengan hutan produksi, hutan lindung
sebesar 19 % dan hutan konservasi 18 %,
sementara APL mencapai 23 %. Luasan
terbesar tumpang tindih peta partisipatif
dengan perizinan yaitu dengan sektor
tambang yang mencapai 19 %.
Percepatan implementasi kebijakan
satu peta
Diawal tahun 2016, pemerintah kembali
meletakkan perhatiannya pada implementasi
kebijakan satu peta (onemap policy). Ini
ditandai dengan ditetapkannya Perpres No. 9
Tahun 2016 tentang percepatan implementasi
kebijakan satu peta pada bulan Februari 2016.
Perpres ini secara teknis memandatkan
pelaksanaan dan percepatan kebijakan satu
peta kepada tim percepatan Kebijakan Satu
Peta (Tim KSP). Tim percepatan kebijakan
satu peta ini diketuai oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam
melaksanakan tugasnya, tim percepatan KSP
KABAR JKPP
5
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Kilasan Curhat
Tahun ini adalah ulang tahun kebijakan
satu peta yang ke-6 sejak diluncurkan di
akhir tahun 2010 yang lalu. Sejauh ini,
kebijakan satu peta masih berkutat dalam
pembenahan struktural dan koordinasi yang
kesemuanya masih meletakkan ekonomi dan
investasi sebagai tolak ukur utama.
Koordinasi dan sinergi antar kementerian
lebih bernuansa pada kompromi politik
untuk sekedar memuluskan proyek-proyek
investasi dan kepentingan sektoral. Dengan
kata lain, belum membawa perubahan bagi
perbaikan situasi penguasaan dan
pengelolaan ruang di Indonesia khususnya
bagi penyelesaian konflik ruang dan lahan
serta bagi penegasan status penguasaan
ruang masyarakat. Posisi masyarakat
semakin rentan ditengah kuatnya tekanan
stabilitas pembangunan, pengembangan
ekonomi dan kesejahteraan sosial yang terus
diwarnai dengan ancaman konflik dan
kriminalisasi.
Setidaknya, inisiatif masyarakat untuk
menyudahi konflik ruang dan memperbaiki
pola pemanfaatan dan penentuan fungsi
ruang kedepan dengan menggunakan peta
partisipatif telah diinisiasi sejak tahun 90an.
Inisiatif yang dilakukan masyarakat dengan
menyediakan data dan bukti kesejarahan
status penguasaan ruang dan lahan melalui
pemetaan partisipatif, sebagai alat
penyelesaian konflik ruang dan lahan, belum
menemukan sambutan yang memadai.
“Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik”Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam POKJA IGT :
Imam HanafiKepala Divisi Advokasi
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Grafik 1. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Kawasan Hutan dan APL
Grafik 2. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Izin
KABAR JKPP
7KABARJKPP
6
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
dibantu oleh tim pelaksana Kebijakan Satu
Peta yang diketuai oleh Kepala badan Badan
Informasi Geospasial. Percepatan
pelaksanaan KSP terdiri dari 4 (empat)
kegiatan umum yang berkaitan dengan data
Informasi Geospasial Thematik (IGT) dan
data Informasi Geospasial Dasar (IGD), yang
terdiri atas: 1) Kompilasi data IGT yang
dimiliki oleh kementerian/lembaga,
Kelompok Kerja Nasional IGT, dan/atau
pemerintah daerah untuk seluruh wilayah
Indonesia; 2) Integrasi data IGT melalui
proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap
IGD; 3) Sinkronisasi dan penyelarasan antar
data IGT yang terintegrasi; dan 4)
Penyusunan rekomendasi dan fasilitasi
penyelesaian permasalahan IGT termasuk
penyediaan alokasi anggaran dalam rangka
penyelesaian permasalahan tersebut.
Menindaklanjuti kebijakan diatas, pada
tanggal 24 Maret 2016, kepala Badan
Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan
Surat Keputusan No. 13 tahun 2016 tentang
Kelompok Kerja Nasional Informasi
Gesospasial Thematik. Kelompok kerja
nasional ini bertugas untuk a) Membahas
kebijakan teknis penyelenggaraan Informasi
Geospasial Thematik dalam bentuk Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
Informasi Geospasial Thematik b)
Mensinkronkan perencanaan
penyelenggaraan Informasi Geospasial
Thematik antar pemangku kepentingan dan
c) Mengintegrasikan Informasi Geospasial
Thematik antar pemangku kepentingan
untuk menjadi satu peta. Terdapat 14
kelompok kerja tematik dalam surat
keputusan kepala badan ini, merupakan
kelompok kerja yang melaksanakan tugas
sesuai dengan tugas kelompok kerja IGT
tertentu. Termasuk dalam salah satu pokja
tematik ini yaitu Kelompok Kerja IGT
Masyarakat dan Hukum Adat.
Keberadaan Kelompok Kerja IGT
Masyarakat dan Hukum Adat tidak dapat
dipungkiri adalah merupakan peluang bagi
masyarakat dan NGO pendukungnya untuk
bersama-sama mendorong proses
pengakuan, penyelesaian konflik ruang dan
lahan serta mengintegrasikan data hasil
pemetaan kedalam kebijakan satu peta.
Namun, keberadaan POKJA IGT tetap harus
dikawal secara ketat agar upaya penyelesaian
konflik dan tumpang tindih, baik status
lahan maupun fungsi ruang bisa terwujud.
Oleh karenanya beberapa catatan tentang
kondisi yang diharapkan dalam proses
berjalannya implementasi kebijakan satu
peta, diantaranya :
1. Kesamaan persepsi tentang kebijakan
satu peta.
Kesamaan persepsi menentukan sejauh
mana capaian dan target implementasi
kebijakan dapat diwujudkan. Sejauh ini,
persepsi tentang kebijakan satu peta,
masih meletakkan porsi terbesarnya pada
koreksi peta dasar yang netral, bukan pada
peta tematik yang yang lebih politis dan
sarat kepentingan, dimana konflik tenurial
dimulai. Satu referensi (one reference)
dalam pilar kebijakan satu peta harus
dimaknai dan dilihat dari sisi tematik
status penguasaan ruang dan fungsi ruang
yang terverifikasi dan teregistrasi dengan
baik dan bebas konflik, sebagai dasar
bersama dalam menentukan kebijakan dan
pengambilan keputusan.
2. Adanya kebijakan.
Kebijakan yang memandatkan tentang
pentingnya satu peta sudah tersedia,
melalui UU No. 4/2011 tentang Informasi
Geospasial yang juga dilengkapi dengan
Perpres No. 27 tahun 2014 tentang
Jaringan Informasi Geospasial Nasional.
Kemudian diperkuat dengan
dikeluarkannya
Perpres No. 9
Tahun 2016.
3. Adanya wadah
struktural
(sistem/meka
nisme/NSPK
dan walidata).
Walidata bagi
data Informasi
Geospasial
Tematik sudah
ditetapkan melalui keputusan Kepala
Badan Informasi Geospasial No. 54 tahun
2015 tentang Walidata Informasi
Geospasial Tematik. Namun demikian,
secara operasional, kebijakan ini belum
sepenuhnya berjalan, karena secara
struktural, sistem dan mekanisme
pengambilan data, verifikasi data, verifikasi
lapang dan penyerahan data belum jelas.
Dengan kata lain Norma, Standar,
Prosedur, dan Kriteria dari wali data
bersangkutan, khusunya bagi status
penguasaan tanah, kawasan perdesaan dan
wilayah adat belum dibuat, terutama
ditingkat propinsi dan kabupaten. Hal ini
perlu diperjelas agar bisa berkait langsung
dengan Jaringan Informasi Geospasial
Daerah.
4. Adanya data dasar yang sama.
Salah satu prinsip dasar kebijakan satu peta
adalah penggunaan data dasar (peta dasar)
yang sama sebagai acuan pembuatan IGT
dengan sekala 1:50.000 atau lebih besar.
Sementara ketersediaan data dasar ini
sampai saat ini masih dalam proses
penyiapan, baik
penyediaan
maupun updating
datanya. Karena
beberapa peta
dasar yang
sekarang ada
masih merupakan
produk
fotogrametri
tahun 1981-1982
dan hasil cek
lapang tahun
1989. Dibeberapa tempat seperti di
Merauke (tahun 2013) baru tersedia peta
dengan skala 1:250.000 dari semua peta
dasar yang tersedia, hampir seluruhnya
menyatakan bahwa semua batas
administrasi yang ada tidak bisa dijadikan
sebagai acuan (referensi).
5. Ketersediaan data IGT tiap pemangku
kepentingan.
Terkait ketersediaan data IGT semua
sektor/kelompok hampir sudah tersedia
semua, kecuali peta batas desa yang baru
29% dan peta kawasan hutan yang masih
tumpang tindih. Sedangkan peta status
penguasaan ruang masyarakat dan peta
wilayah masyarakat hukum adat yang
masih dalam proses pembuatan. Terkait hal
ini perlu dipertimbangkan proses updating
KABAR JKPP
7KABARJKPP
6
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
dibantu oleh tim pelaksana Kebijakan Satu
Peta yang diketuai oleh Kepala badan Badan
Informasi Geospasial. Percepatan
pelaksanaan KSP terdiri dari 4 (empat)
kegiatan umum yang berkaitan dengan data
Informasi Geospasial Thematik (IGT) dan
data Informasi Geospasial Dasar (IGD), yang
terdiri atas: 1) Kompilasi data IGT yang
dimiliki oleh kementerian/lembaga,
Kelompok Kerja Nasional IGT, dan/atau
pemerintah daerah untuk seluruh wilayah
Indonesia; 2) Integrasi data IGT melalui
proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap
IGD; 3) Sinkronisasi dan penyelarasan antar
data IGT yang terintegrasi; dan 4)
Penyusunan rekomendasi dan fasilitasi
penyelesaian permasalahan IGT termasuk
penyediaan alokasi anggaran dalam rangka
penyelesaian permasalahan tersebut.
Menindaklanjuti kebijakan diatas, pada
tanggal 24 Maret 2016, kepala Badan
Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan
Surat Keputusan No. 13 tahun 2016 tentang
Kelompok Kerja Nasional Informasi
Gesospasial Thematik. Kelompok kerja
nasional ini bertugas untuk a) Membahas
kebijakan teknis penyelenggaraan Informasi
Geospasial Thematik dalam bentuk Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
Informasi Geospasial Thematik b)
Mensinkronkan perencanaan
penyelenggaraan Informasi Geospasial
Thematik antar pemangku kepentingan dan
c) Mengintegrasikan Informasi Geospasial
Thematik antar pemangku kepentingan
untuk menjadi satu peta. Terdapat 14
kelompok kerja tematik dalam surat
keputusan kepala badan ini, merupakan
kelompok kerja yang melaksanakan tugas
sesuai dengan tugas kelompok kerja IGT
tertentu. Termasuk dalam salah satu pokja
tematik ini yaitu Kelompok Kerja IGT
Masyarakat dan Hukum Adat.
Keberadaan Kelompok Kerja IGT
Masyarakat dan Hukum Adat tidak dapat
dipungkiri adalah merupakan peluang bagi
masyarakat dan NGO pendukungnya untuk
bersama-sama mendorong proses
pengakuan, penyelesaian konflik ruang dan
lahan serta mengintegrasikan data hasil
pemetaan kedalam kebijakan satu peta.
Namun, keberadaan POKJA IGT tetap harus
dikawal secara ketat agar upaya penyelesaian
konflik dan tumpang tindih, baik status
lahan maupun fungsi ruang bisa terwujud.
Oleh karenanya beberapa catatan tentang
kondisi yang diharapkan dalam proses
berjalannya implementasi kebijakan satu
peta, diantaranya :
1. Kesamaan persepsi tentang kebijakan
satu peta.
Kesamaan persepsi menentukan sejauh
mana capaian dan target implementasi
kebijakan dapat diwujudkan. Sejauh ini,
persepsi tentang kebijakan satu peta,
masih meletakkan porsi terbesarnya pada
koreksi peta dasar yang netral, bukan pada
peta tematik yang yang lebih politis dan
sarat kepentingan, dimana konflik tenurial
dimulai. Satu referensi (one reference)
dalam pilar kebijakan satu peta harus
dimaknai dan dilihat dari sisi tematik
status penguasaan ruang dan fungsi ruang
yang terverifikasi dan teregistrasi dengan
baik dan bebas konflik, sebagai dasar
bersama dalam menentukan kebijakan dan
pengambilan keputusan.
2. Adanya kebijakan.
Kebijakan yang memandatkan tentang
pentingnya satu peta sudah tersedia,
melalui UU No. 4/2011 tentang Informasi
Geospasial yang juga dilengkapi dengan
Perpres No. 27 tahun 2014 tentang
Jaringan Informasi Geospasial Nasional.
Kemudian diperkuat dengan
dikeluarkannya
Perpres No. 9
Tahun 2016.
3. Adanya wadah
struktural
(sistem/meka
nisme/NSPK
dan walidata).
Walidata bagi
data Informasi
Geospasial
Tematik sudah
ditetapkan melalui keputusan Kepala
Badan Informasi Geospasial No. 54 tahun
2015 tentang Walidata Informasi
Geospasial Tematik. Namun demikian,
secara operasional, kebijakan ini belum
sepenuhnya berjalan, karena secara
struktural, sistem dan mekanisme
pengambilan data, verifikasi data, verifikasi
lapang dan penyerahan data belum jelas.
Dengan kata lain Norma, Standar,
Prosedur, dan Kriteria dari wali data
bersangkutan, khusunya bagi status
penguasaan tanah, kawasan perdesaan dan
wilayah adat belum dibuat, terutama
ditingkat propinsi dan kabupaten. Hal ini
perlu diperjelas agar bisa berkait langsung
dengan Jaringan Informasi Geospasial
Daerah.
4. Adanya data dasar yang sama.
Salah satu prinsip dasar kebijakan satu peta
adalah penggunaan data dasar (peta dasar)
yang sama sebagai acuan pembuatan IGT
dengan sekala 1:50.000 atau lebih besar.
Sementara ketersediaan data dasar ini
sampai saat ini masih dalam proses
penyiapan, baik
penyediaan
maupun updating
datanya. Karena
beberapa peta
dasar yang
sekarang ada
masih merupakan
produk
fotogrametri
tahun 1981-1982
dan hasil cek
lapang tahun
1989. Dibeberapa tempat seperti di
Merauke (tahun 2013) baru tersedia peta
dengan skala 1:250.000 dari semua peta
dasar yang tersedia, hampir seluruhnya
menyatakan bahwa semua batas
administrasi yang ada tidak bisa dijadikan
sebagai acuan (referensi).
5. Ketersediaan data IGT tiap pemangku
kepentingan.
Terkait ketersediaan data IGT semua
sektor/kelompok hampir sudah tersedia
semua, kecuali peta batas desa yang baru
29% dan peta kawasan hutan yang masih
tumpang tindih. Sedangkan peta status
penguasaan ruang masyarakat dan peta
wilayah masyarakat hukum adat yang
masih dalam proses pembuatan. Terkait hal
ini perlu dipertimbangkan proses updating
KABARJKPP
8 KABAR JKPP
9
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
data dan penambahan data baru yang
sedang dalam proses pembuatan.
Dalam konteks data masyarakat, secara
internal perlu melakukan konsolidasi data,
perbaikan dan standarisasi format data,
layout dan skala, hal ini untuk
mempermudah dalam proses verifikasi
dan integrasi peta-peta masyarakat.
6. Sinkronisasi data peta/kartometrik.
Terkait hal ini, khususnya bagi peta
masyarakat (lokal/masyarakat hukum
adat), berdasarkan pada standar yang
dibuat oleh Badan Informasi Geospasial
(BIG) masih dianggap sebagai peta
indikatif, tidak standard dan bukan peta
formal. Sehingga, dalam rangka
mewujudkan produk satu peta yang sesuai
seperti yang diharapkan dan mencapai
tujuan yang diinginkan, maka perlu ada
proses mendefinitifkan peta indikatif
masyarakat, menstandarkan peta
masyarakat dan menjadikan/adopsi peta
masyarakat menjadi peta formal oleh
pemerintah.Termasuk didalam prosesnya
menyesuaikan definisi, atribut data, sistem
koordinat, skala dan lain-lain. Untuk
proses ini, penting bagi pemerintah untuk
membangun struktur/wadah sebagai
tempat verifikasi data peta yang dibuat
masyarakat.
Kendatipun dalam undang-undang IG No.
4 tahun 2011 telah menyebutkan peran
orang per orang dalam penyediaan data
IG, namun belum ada aturan/pedoman
teknis dari pemerintah yang mengatur
tentang tata cara penyediaan data IG oleh
individu, masyarakat dan kelompok
masyarakat. Harapannya, metode yang
dibuat pemerintah tidak mengurangi
semangat partisipasi masyarakat dalam
pengayaan data dan hanya terjebak pada
hal teknis kartografi semata. Selama ini
kelompok masyarakat sipil menggunakan
metode pemetaan partisipatif dalam proses
penyediaan data dan informasi
geospasialnya.
7. Verifikasi lapang dan penyelesaian
permasalahan.
Dengan asumsi proses sinkronisasi data
bisa berjalan baik dan selesai, maka
tahapan berikut yang tidak kalah
pentingnya adalah proses verifikasi lapang,
baik status dan fungsi ruang dan lahan.
Seperti kita ketahui, bahwa kondisi di
lapang ini bentuk sebenarnya dari proses
satu peta. Selesainya permasalahan,
konflik lahan dan tumpang tindih fungsi
ruang adalah substansi, konteks dan
persoalan krusial yang wajib mendapat
perhatian lebih dari semua pihak.Dengan
mengacu pada data IGT masing-masing
pihak yang telah di sinkronisasi secara
kartometrik, selanjutnya semua pihak
bersama-sama melakukan verifikasi lapang
(ground check), pembuktian, perubahan
batas, dan membangun kesepakatan ulang
yang dituangkan dalam satu surat berita
acara dan dokumen hasil verifikasi.
8. Penetapan.
Untuk memperkuat hasil verifikasi lapang
dan kesepakatan, akan lebih baik lagi jika
ditunjang dengan proses penetapan status
dan fungsi ruang sebagai jaminan
keamanan bersama kedepan. Dengan
demikian semua pihak akan bekerja sama
untuk saling menjaga kesepakatan dan
melestarikan fungsi ruang yang disepakati
serta membangun kerjasama, insentif dan
disinsentif antar pihak dan masyarakat.
9. Integrasi data.
Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya
adalah, adanya jaminan keberlanjutan
kesepakatan dan fungsi ruang melalui
proses integrasi data, peta dan dokumen
kesepakatan menjadi satu peta dasar dana
peta RTRW sebagai peta acuan bersama
semua pihak dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan kedepan.
10. Pengelolaan, penyimpanan, akses dan
penggunaan data.
Sebagai salah satu bentuk keberlanjutan
sistem, sosialisasi dan pemanfaatan data,
maka data yang telah melalui serangkaian
proses olah data selanjunya dihimpun
dalam satu database dengan aturan main
menyesuaikan dengan norma, standar,
prosedur dan kriteria penyimpanan,
pengelolaan dan penggunaan data dari
masing-masing walidata dan
penyelenggara IGT.
Dengan demikian, mewujudkan kebijakan
satu peta tidak sesederhana hanya sebatas
mengumpulkan data tematik, menyimpan
dan mencantumkan dalam geoportal.
Melainkan banyak proses dan memerlukan
keterlibatan banyak pihak untuk
mewujudkannya. Dalam satu wilayah
masyarakat, peta partisipatif dapat terdiri
dari informasi, batas wilayah adat, data
kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan
penggunaan lahan, data batas desa, data tata
guna lahan, data rencana pemanfaatan ruang,
wilayah kelola perairan dan pesisir, toponimi
lokal, data sosial ekonomi dan lain-lain.
Dengan demikian, terkait walidata dan proses
adopsi, sinkronisasi dan integrasi peta
masyarakat tidak cukup hanya dilakukan
pada satu sektor atau satu kementerian,
melainkan bisa diintegrasikan pada sektor
lain.
Koordinasi, keterbukaan, kepercayaan dan
komitmen yang kuat sangat dibutuhkan
untuk mendukung implementasinya sampai
ketingkat desa. Dukungan pemerintah dan
masyarakat menjadi kunci penting terhadap
keberhasilan proses ini. Diharapkan
kontestan kebijakan satu peta bukan semata
mengakomodir peta formal pemerintah,
melainkan juga pelibatan peran masyarakat
dalam pengayaan data dan informasi
spasialnya. Kemudian dikelola sebagai satu
database dalam satu geoportal yang mudah
akses dan dijadikan sebagai satu standar dan
satu acuan bersama dalam semua
pengambilan keputusan. Sebagaimana empat
pilar one map yang digadang-gadang sejak
awal, yaitu one reference (satu referensi), one
standard (satu standar), one database (satu
data base), dan one geoportal (satu
geoportal). Jika tidak, maka satu peta hanya
akan menjadi satu gambar tanpa manfaat
yang bisa menjamin keamanan, ketenangan
dan kenyamanan semua pihak dalam
pengelolaan dan pemanfaatan ruang.
Besar harapan masyarakat terhadap isu
kebijakan satu peta ini akan menjadi pintu
penyelesaian bagi semrawutnya konflik
penguasaan ruang di Indonesia.
9,011,144.911
KABARJKPP
8 KABAR JKPP
9
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
data dan penambahan data baru yang
sedang dalam proses pembuatan.
Dalam konteks data masyarakat, secara
internal perlu melakukan konsolidasi data,
perbaikan dan standarisasi format data,
layout dan skala, hal ini untuk
mempermudah dalam proses verifikasi
dan integrasi peta-peta masyarakat.
6. Sinkronisasi data peta/kartometrik.
Terkait hal ini, khususnya bagi peta
masyarakat (lokal/masyarakat hukum
adat), berdasarkan pada standar yang
dibuat oleh Badan Informasi Geospasial
(BIG) masih dianggap sebagai peta
indikatif, tidak standard dan bukan peta
formal. Sehingga, dalam rangka
mewujudkan produk satu peta yang sesuai
seperti yang diharapkan dan mencapai
tujuan yang diinginkan, maka perlu ada
proses mendefinitifkan peta indikatif
masyarakat, menstandarkan peta
masyarakat dan menjadikan/adopsi peta
masyarakat menjadi peta formal oleh
pemerintah.Termasuk didalam prosesnya
menyesuaikan definisi, atribut data, sistem
koordinat, skala dan lain-lain. Untuk
proses ini, penting bagi pemerintah untuk
membangun struktur/wadah sebagai
tempat verifikasi data peta yang dibuat
masyarakat.
Kendatipun dalam undang-undang IG No.
4 tahun 2011 telah menyebutkan peran
orang per orang dalam penyediaan data
IG, namun belum ada aturan/pedoman
teknis dari pemerintah yang mengatur
tentang tata cara penyediaan data IG oleh
individu, masyarakat dan kelompok
masyarakat. Harapannya, metode yang
dibuat pemerintah tidak mengurangi
semangat partisipasi masyarakat dalam
pengayaan data dan hanya terjebak pada
hal teknis kartografi semata. Selama ini
kelompok masyarakat sipil menggunakan
metode pemetaan partisipatif dalam proses
penyediaan data dan informasi
geospasialnya.
7. Verifikasi lapang dan penyelesaian
permasalahan.
Dengan asumsi proses sinkronisasi data
bisa berjalan baik dan selesai, maka
tahapan berikut yang tidak kalah
pentingnya adalah proses verifikasi lapang,
baik status dan fungsi ruang dan lahan.
Seperti kita ketahui, bahwa kondisi di
lapang ini bentuk sebenarnya dari proses
satu peta. Selesainya permasalahan,
konflik lahan dan tumpang tindih fungsi
ruang adalah substansi, konteks dan
persoalan krusial yang wajib mendapat
perhatian lebih dari semua pihak.Dengan
mengacu pada data IGT masing-masing
pihak yang telah di sinkronisasi secara
kartometrik, selanjutnya semua pihak
bersama-sama melakukan verifikasi lapang
(ground check), pembuktian, perubahan
batas, dan membangun kesepakatan ulang
yang dituangkan dalam satu surat berita
acara dan dokumen hasil verifikasi.
8. Penetapan.
Untuk memperkuat hasil verifikasi lapang
dan kesepakatan, akan lebih baik lagi jika
ditunjang dengan proses penetapan status
dan fungsi ruang sebagai jaminan
keamanan bersama kedepan. Dengan
demikian semua pihak akan bekerja sama
untuk saling menjaga kesepakatan dan
melestarikan fungsi ruang yang disepakati
serta membangun kerjasama, insentif dan
disinsentif antar pihak dan masyarakat.
9. Integrasi data.
Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya
adalah, adanya jaminan keberlanjutan
kesepakatan dan fungsi ruang melalui
proses integrasi data, peta dan dokumen
kesepakatan menjadi satu peta dasar dana
peta RTRW sebagai peta acuan bersama
semua pihak dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan kedepan.
10. Pengelolaan, penyimpanan, akses dan
penggunaan data.
Sebagai salah satu bentuk keberlanjutan
sistem, sosialisasi dan pemanfaatan data,
maka data yang telah melalui serangkaian
proses olah data selanjunya dihimpun
dalam satu database dengan aturan main
menyesuaikan dengan norma, standar,
prosedur dan kriteria penyimpanan,
pengelolaan dan penggunaan data dari
masing-masing walidata dan
penyelenggara IGT.
Dengan demikian, mewujudkan kebijakan
satu peta tidak sesederhana hanya sebatas
mengumpulkan data tematik, menyimpan
dan mencantumkan dalam geoportal.
Melainkan banyak proses dan memerlukan
keterlibatan banyak pihak untuk
mewujudkannya. Dalam satu wilayah
masyarakat, peta partisipatif dapat terdiri
dari informasi, batas wilayah adat, data
kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan
penggunaan lahan, data batas desa, data tata
guna lahan, data rencana pemanfaatan ruang,
wilayah kelola perairan dan pesisir, toponimi
lokal, data sosial ekonomi dan lain-lain.
Dengan demikian, terkait walidata dan proses
adopsi, sinkronisasi dan integrasi peta
masyarakat tidak cukup hanya dilakukan
pada satu sektor atau satu kementerian,
melainkan bisa diintegrasikan pada sektor
lain.
Koordinasi, keterbukaan, kepercayaan dan
komitmen yang kuat sangat dibutuhkan
untuk mendukung implementasinya sampai
ketingkat desa. Dukungan pemerintah dan
masyarakat menjadi kunci penting terhadap
keberhasilan proses ini. Diharapkan
kontestan kebijakan satu peta bukan semata
mengakomodir peta formal pemerintah,
melainkan juga pelibatan peran masyarakat
dalam pengayaan data dan informasi
spasialnya. Kemudian dikelola sebagai satu
database dalam satu geoportal yang mudah
akses dan dijadikan sebagai satu standar dan
satu acuan bersama dalam semua
pengambilan keputusan. Sebagaimana empat
pilar one map yang digadang-gadang sejak
awal, yaitu one reference (satu referensi), one
standard (satu standar), one database (satu
data base), dan one geoportal (satu
geoportal). Jika tidak, maka satu peta hanya
akan menjadi satu gambar tanpa manfaat
yang bisa menjamin keamanan, ketenangan
dan kenyamanan semua pihak dalam
pengelolaan dan pemanfaatan ruang.
Besar harapan masyarakat terhadap isu
kebijakan satu peta ini akan menjadi pintu
penyelesaian bagi semrawutnya konflik
penguasaan ruang di Indonesia.
9,011,144.911
KABARJKPP
10 KABAR JKPP
11
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Pasca diundangkannya Perpres No. 9
Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada
Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 pada
tanggal 4 Februari 2016, beberapa target
telah ditetapkan serta pelaksanaannya telah
ditindaklanjuti oleh Badan Informasi
Geospatial melalui beberapa kebijakan.
Keputusan BIG No. 13 Tahun 2016 tentang
Kelompok Kerja Nasional Geospasial
Tematik pada tanggal 24 Maret 2016.
Dimana lembaga ini melibatkan hampir
seluruh Kementerian/Lembaga yang
memiliki kewenangan dalam pemetaan dan
penataan ruang serta instansi pendidikan
dan organisasi masyarakat sipil.
Dimana sebelumnya, telah ada Keputusan
BIG No. 54 Tahun 2015 tentang Walidata
Informasi Geospasial Tematik. Hal ini semua
merupakan aturan turunan dari UU No. 4
Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Melalui undang-undang inilah semangat
untuk membangun suatu sistem informasi
geospasial yang penyelenggaraannya
dilaksanakan dengan tertib, terpadu,
berhasil guna dan berdaya guna untuk
menjamin keakuratan, kemutakhiran dan
kepastian hukum penyelenggaraan informasi
geospasial.
Dalam pemerintahan Presiden Joko
Widodo, sebuah Lembaga dibentuk untuk
membantu Presiden dalam menjalankan
program-program prioritasnya. Kantor Staf
Presiden adalah sebuah Lembaga yang
berperan untuk mengakselerasi program-
program prioritas Presiden. Pada hari Senin
3 Oktober 2016, Tim dari Kabar JKPP
mewawancarai Abetnego Tarigan, selaku
salah satu Tenaga Ahli Utama Kedeputian
Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu
Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis.
Berikut adalah petikan wawancara:
Bagaimana Kantor Staf Presiden
melihat Kebijakan Satu Peta dalam
penyelesaian Isu Sosial Budaya dan
Ekologis?
Kita dapat melihat latar belakang dalam
pengambilan kebijakan prioritas Presiden
belakangan ini. Presiden awal tahun
mengeluarkan Perpres terkait dengan
Badan Restorasi Gambut. Terdapat lebih
kurang dua juta hektar kawasan-kawasan
gambut yang perlu direstorasi. Selain itu,
lokasi yang akan direstorasi ini
diperkirakan berada di kawasan yang
Kebijakan Satu peta dalam Kebijakan dan Implementasi
berizin. Bagaimana restorasi bisa berjalan
kalau problem perizinannya itu tidak
dibereskan. Selain itu, akan berkonsekuensi
juga pada penegakan hukum. Apakah
wilayah-wilayah yang dipetakan itu
memang diakui atau tidak oleh otoritas atau
lembaga yang mengeluarkan izin itu atau
jangan-jangan berbeda. Kita bisa lihat
melalui proses-proses pemetaan bagaimana
tumpang tindih itu menciptakan hambatan-
hambatan. Jadi, harus dibenahi terlebih
dahulu perizinannya baru bisa direstorasi.
Karena kalau tidak akan menciptakan
problem hukum baru. Ini satu contoh
bagaimana kami melihat pentingnya
Kebijakan Satu Peta.
Kemudian, Peta yang ada dan dimiliki
masing-masing institusi ini semestinya
sudah pada tingkat disinkronkan, yaitu
dengan skala 1:50.000. Terkait hal itu,
concern Presiden berikutnya, adalah
kebakaran hutan dan lahan. Meskipun
restorasi gambut berkaitan dengan
kebakaran hutan dan lahan, tetapi terdapat
perhatian khusus pada aspek-aspek
penegakan hukum. Hal ini berkaitan dengan
peta-peta yang ada, misalnya argumentasi
dari pihak kepolisian bahwa sulit dilakukan
penindakan, tuntutan, dll sehingga harus di
SP3 (diterbitkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan, red). Hal itu desebabkan karena
peta-petanya tidak jelas tentang siapa
pemilikannya. Bisa saja secara de facto ada
orang lain yang menguasai, tapi secara de
jurenya ada badan hukum lain yang
memiliki.
Secara konkrit untuk isu konflik dan
penegakan hukum bagaimana
kedudukan Kebijakan Satu Peta ini?
Ketika proses Kebijakan Satu Peta itu
tidak didorong lebih cepat, kita akan lebih
sulit berbicara soal-soal penegakan hukum
terkait dengan pelanggaran hukum di
kawasan yang memang secara luasan cukup
luas. Kemudian juga diantara kawasan itu
ada dibebani hak atau perizinan, sementara
sisi lainnya, ada kemungkinan data dan
informasinya salah. Terkait dengan
kebakaran hutan dan lahan sebagai kasus
yang menarik perhatian internasional,
permasalahannya adalah bahwa ada
banyak izin yang levelnya di tingkat daerah
dan belum sampai ke pusat tapi sudah
beroperasi. Sementara akses Pemerintah
Pusat terhadap izin-izin yang dikeluarkan
Pemerintah Daerah itu tidak otomatis
(diketahui oleh Pemerintah Pusat, red). Itu
terjadi karena sifatnya laporan, artinya
kalau belum dilaporkan (Pemerintah
Daerah, red) berarti belum ada catatannya
di Pusat. Tetapi secara de facto ada izin dan
ada prakteknya. Contoh kasus misalnya,
perkebunan kelapa sawit yang belum punya
HGU dalam prakteknya sudah operasi atau
tidak? Banyak yang sudah beroperasi.
Dalam konteks logika hukumnya, harusnya
punya HGU dulu baru beroperasi. Karena
disitulah Negara dalam hal ini Pemerintah
punya hak pungutan terhadap pajak bumi
dan bangunan dan lain sebagainya.
Informasi-informasi ini kan belum ada di
Pusat. Jadi, dalam konteks Kebijakan Satu
Peta, ketika suatu daerah memproses
perizinan maka seharusnya informasi itu
sudah harus masuk kedalam sistem di Pusat.
KABARJKPP
10 KABAR JKPP
11
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Pasca diundangkannya Perpres No. 9
Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada
Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 pada
tanggal 4 Februari 2016, beberapa target
telah ditetapkan serta pelaksanaannya telah
ditindaklanjuti oleh Badan Informasi
Geospatial melalui beberapa kebijakan.
Keputusan BIG No. 13 Tahun 2016 tentang
Kelompok Kerja Nasional Geospasial
Tematik pada tanggal 24 Maret 2016.
Dimana lembaga ini melibatkan hampir
seluruh Kementerian/Lembaga yang
memiliki kewenangan dalam pemetaan dan
penataan ruang serta instansi pendidikan
dan organisasi masyarakat sipil.
Dimana sebelumnya, telah ada Keputusan
BIG No. 54 Tahun 2015 tentang Walidata
Informasi Geospasial Tematik. Hal ini semua
merupakan aturan turunan dari UU No. 4
Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Melalui undang-undang inilah semangat
untuk membangun suatu sistem informasi
geospasial yang penyelenggaraannya
dilaksanakan dengan tertib, terpadu,
berhasil guna dan berdaya guna untuk
menjamin keakuratan, kemutakhiran dan
kepastian hukum penyelenggaraan informasi
geospasial.
Dalam pemerintahan Presiden Joko
Widodo, sebuah Lembaga dibentuk untuk
membantu Presiden dalam menjalankan
program-program prioritasnya. Kantor Staf
Presiden adalah sebuah Lembaga yang
berperan untuk mengakselerasi program-
program prioritas Presiden. Pada hari Senin
3 Oktober 2016, Tim dari Kabar JKPP
mewawancarai Abetnego Tarigan, selaku
salah satu Tenaga Ahli Utama Kedeputian
Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu
Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis.
Berikut adalah petikan wawancara:
Bagaimana Kantor Staf Presiden
melihat Kebijakan Satu Peta dalam
penyelesaian Isu Sosial Budaya dan
Ekologis?
Kita dapat melihat latar belakang dalam
pengambilan kebijakan prioritas Presiden
belakangan ini. Presiden awal tahun
mengeluarkan Perpres terkait dengan
Badan Restorasi Gambut. Terdapat lebih
kurang dua juta hektar kawasan-kawasan
gambut yang perlu direstorasi. Selain itu,
lokasi yang akan direstorasi ini
diperkirakan berada di kawasan yang
Kebijakan Satu peta dalam Kebijakan dan Implementasi
berizin. Bagaimana restorasi bisa berjalan
kalau problem perizinannya itu tidak
dibereskan. Selain itu, akan berkonsekuensi
juga pada penegakan hukum. Apakah
wilayah-wilayah yang dipetakan itu
memang diakui atau tidak oleh otoritas atau
lembaga yang mengeluarkan izin itu atau
jangan-jangan berbeda. Kita bisa lihat
melalui proses-proses pemetaan bagaimana
tumpang tindih itu menciptakan hambatan-
hambatan. Jadi, harus dibenahi terlebih
dahulu perizinannya baru bisa direstorasi.
Karena kalau tidak akan menciptakan
problem hukum baru. Ini satu contoh
bagaimana kami melihat pentingnya
Kebijakan Satu Peta.
Kemudian, Peta yang ada dan dimiliki
masing-masing institusi ini semestinya
sudah pada tingkat disinkronkan, yaitu
dengan skala 1:50.000. Terkait hal itu,
concern Presiden berikutnya, adalah
kebakaran hutan dan lahan. Meskipun
restorasi gambut berkaitan dengan
kebakaran hutan dan lahan, tetapi terdapat
perhatian khusus pada aspek-aspek
penegakan hukum. Hal ini berkaitan dengan
peta-peta yang ada, misalnya argumentasi
dari pihak kepolisian bahwa sulit dilakukan
penindakan, tuntutan, dll sehingga harus di
SP3 (diterbitkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan, red). Hal itu desebabkan karena
peta-petanya tidak jelas tentang siapa
pemilikannya. Bisa saja secara de facto ada
orang lain yang menguasai, tapi secara de
jurenya ada badan hukum lain yang
memiliki.
Secara konkrit untuk isu konflik dan
penegakan hukum bagaimana
kedudukan Kebijakan Satu Peta ini?
Ketika proses Kebijakan Satu Peta itu
tidak didorong lebih cepat, kita akan lebih
sulit berbicara soal-soal penegakan hukum
terkait dengan pelanggaran hukum di
kawasan yang memang secara luasan cukup
luas. Kemudian juga diantara kawasan itu
ada dibebani hak atau perizinan, sementara
sisi lainnya, ada kemungkinan data dan
informasinya salah. Terkait dengan
kebakaran hutan dan lahan sebagai kasus
yang menarik perhatian internasional,
permasalahannya adalah bahwa ada
banyak izin yang levelnya di tingkat daerah
dan belum sampai ke pusat tapi sudah
beroperasi. Sementara akses Pemerintah
Pusat terhadap izin-izin yang dikeluarkan
Pemerintah Daerah itu tidak otomatis
(diketahui oleh Pemerintah Pusat, red). Itu
terjadi karena sifatnya laporan, artinya
kalau belum dilaporkan (Pemerintah
Daerah, red) berarti belum ada catatannya
di Pusat. Tetapi secara de facto ada izin dan
ada prakteknya. Contoh kasus misalnya,
perkebunan kelapa sawit yang belum punya
HGU dalam prakteknya sudah operasi atau
tidak? Banyak yang sudah beroperasi.
Dalam konteks logika hukumnya, harusnya
punya HGU dulu baru beroperasi. Karena
disitulah Negara dalam hal ini Pemerintah
punya hak pungutan terhadap pajak bumi
dan bangunan dan lain sebagainya.
Informasi-informasi ini kan belum ada di
Pusat. Jadi, dalam konteks Kebijakan Satu
Peta, ketika suatu daerah memproses
perizinan maka seharusnya informasi itu
sudah harus masuk kedalam sistem di Pusat.
KABARJKPP
12KABAR JKPP
13
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Dengan hal ini, kita bisa melihat subjek-
subjek hukum yang bermasalah terutama
antara masyarakat dengan aparat negara
atau dengan swasta, termasuk mengetahui
lebih lengkap terkait persoalan administrasi
pemerintahannya. Oleh karenanya, kami
melihat bahwa Kebijakan Satu Peta itu
menjadi sangat strategis.
Kantor Staf Presiden dalam
mengimplementasikan tugasnya
adalah dalam kerangka visi dan misi
Kepresidenan, sebenarnya apa
prioritas Presiden saat ini?
Kami banyak bekerja di inisiatif open
government dan one data. Di Kantor Staf
Presiden sendiri, program-program
Prioritas Pemerintah dilihat dari dua
prioritas ini. Kami sebenarnya terbuka
ketika ada kebutuhan dari lintas
kementerian dan lembaga yang memang
membutuhkan fasilitasi proses dari Kantor
Staf Presiden. Pertama ada keuntungannya,
karena proses komunikasi dengan Presiden
bisa lebih cepat terutama kalau ada
hambatan dan kendala yang dihadapi oleh
Kementerian/Lembaga. Paling pokok
sebenarnya, karena memang tugasnya
(Kantor Staf Presiden, red) dalam banyak
kesempatan menyiapkan bahan-bahan
yang menjadi pertimbangan-pertimbangan
Presiden, maka kami adalah back office-nya
Presiden.
Lalu, bisakah kita menempatkan
Kebijakan Satu Peta ini dalam
Prioritas Presiden saat ini?
Jadi, Kebijakan Satu Peta itu bisa
membantu untuk memperjelas target-target
yang disiapkan oleh pemerintah. Misalnya
soal target pemerintah dengan segala
kritiknya, soal perhutanan sosial ada 12,7
juta Ha. Lalu, target pemerintah terkait
reforma agraria ada 9 juta Ha. Lalu, lahan
yang 12,7 Ha dan 9 juta Ha ini mau
didudukan dimana? Dalam konteks
Kebijakan Satu Peta ini, jangan dilihat
bahwa peta ini hanya dibutuhkan oleh
institusi yang hanya berkaitan dengan
spasial atau keruangan. Karena ketika
berbicara soal pembangunan maka yang
harus kita lihat bukan hanya akses
ruangnya saja tapi ruangnya mau diisi
seperti apa. Misalnya, kita bicara tentang
perhutanan sosial tidak cukup dengan
memberikan legalisasi penguasaan atau
pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat. Akan tetapi, bagaimana
penguasaan dan pengelolaan itu juga bisa
berjalan. Seperti Menteri Koperasi dan
UKM misalnya, bukanlah kementerian yang
mengurusi keruangan tetapi perlu tahu
berapa luas dan dimana saja petani-petani
atau pekebun-pekebun atau masyarakat
yang mengelola hutan yang memang perlu
didukung. Hal ini penting untuk penguatan
secara kelembagaan ekonomi mereka untuk
usaha kecil, menengah dan koperasi. Itulah
tuntutan yang ada dan karena itulah tugas
kami untuk mengawal bagaimana ini bisa
terimplementasi.
Dalam konteks Kebijakan Satu Peta
yang sudah bergulir sejak berdirinya
BIG dan dibentuknya Pokja IGT,
Bagaimana Kantor Staf Presiden
memonitor dan membantu kinerja BIG
dan Pokja ini?
Peran kantor Kantor Staf Presiden ini
yang paling utama itu kan 'debottlenecking'.
Jadi, sumbat-sumbat botolnya (sumbatan
kebijakan, red) itu ada dimana, maka akan
diupayakan perbaikannya. Dalam hal
Kebijakan Satu Peta tentu yang
mengurusinya adalah kementerian/lembaga
teknis. Kantor Staf Presiden secara fungsi
memang tidak mengambil alih suatu
pekerjaan dari kementerian/lembaga teknis.
Terkecuali, dari kewenangan
kementerian/lembaga teknis hendak
didorong suatu proses perubahan, dan
dalam proses itu Kantor Staf Presiden dapat
berperan untuk mempersiapkan rumusan
dokumen kebijakannya. Dalam pengalaman
di Kantor Staf Presiden, ketika tim kerja
Reforma Agraria bekerja, maka sisi
teknisnya, seperti menyelenggarakan
workshop, diskusi dan lain sebagainya tetap
dipegang oleh Kementerian terkait. Kantor
Staf Presiden menyiapkan rumusan
arahannya. Jadi, Kantor Staf Presiden tidak
akan masuk ke soal-soal teknis itu.
Sudah sampai dimana proses
sinkronisasi dan integrasi Peta
Partisipatif dalam masing-masing
Pokja IGT?
Dalam Kebijakan Satu Peta ini, proses
yang terus didorong tidak semata-mata
memang karena kepentingan masyarakat
yang terkait konflik dan lain sebagainya.
Tidak melihat hanya sebatas itu. Tapi ada
hal-hal lain yang menurut kami itu harus
dibereskan berkaitan dengan permasalahan
yang terjadi dikarenakan oleh persoalan-
persoalan dalam pemetaan di Indonesia.
Secara khusus, dalam berhubungan dengan
Kementerian/Lembaga tetap dalam koridor
hubungan antar lembagaan negara dengan
tingkat kebutuhan yang lebih jelas.
Misalnya, Kantor Staf Presiden
memfasilitasi proses antar kementerian.
Kemudian juga, bagaimana mendapat
dukungan politik yang lebih luas. Karena ini
kantornya Presiden, maka termasuk juga
bagaimana mengakselerasi komunikasi-
komunikasi terkait dengan program
prioritas Presiden.
Memang tantangannya, dalam
pemerintahan itu cenderung sukses tercapai
kalau program itu ada di dalam satu
kementerian. Kemudian eskalasinya
semakin berat ketika suatu program itu
lintas kementerian. Semakin berat lagi,
kalau programnya lintas menko
(Kementerian Koordinasi, red). Semakin
repot lagi, kalau program itu lintas menko
dan melibatkan pemerintahan daerah.
Kebijakan satu peta ini kan tidak langsung
KABARJKPP
12KABAR JKPP
13
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Dengan hal ini, kita bisa melihat subjek-
subjek hukum yang bermasalah terutama
antara masyarakat dengan aparat negara
atau dengan swasta, termasuk mengetahui
lebih lengkap terkait persoalan administrasi
pemerintahannya. Oleh karenanya, kami
melihat bahwa Kebijakan Satu Peta itu
menjadi sangat strategis.
Kantor Staf Presiden dalam
mengimplementasikan tugasnya
adalah dalam kerangka visi dan misi
Kepresidenan, sebenarnya apa
prioritas Presiden saat ini?
Kami banyak bekerja di inisiatif open
government dan one data. Di Kantor Staf
Presiden sendiri, program-program
Prioritas Pemerintah dilihat dari dua
prioritas ini. Kami sebenarnya terbuka
ketika ada kebutuhan dari lintas
kementerian dan lembaga yang memang
membutuhkan fasilitasi proses dari Kantor
Staf Presiden. Pertama ada keuntungannya,
karena proses komunikasi dengan Presiden
bisa lebih cepat terutama kalau ada
hambatan dan kendala yang dihadapi oleh
Kementerian/Lembaga. Paling pokok
sebenarnya, karena memang tugasnya
(Kantor Staf Presiden, red) dalam banyak
kesempatan menyiapkan bahan-bahan
yang menjadi pertimbangan-pertimbangan
Presiden, maka kami adalah back office-nya
Presiden.
Lalu, bisakah kita menempatkan
Kebijakan Satu Peta ini dalam
Prioritas Presiden saat ini?
Jadi, Kebijakan Satu Peta itu bisa
membantu untuk memperjelas target-target
yang disiapkan oleh pemerintah. Misalnya
soal target pemerintah dengan segala
kritiknya, soal perhutanan sosial ada 12,7
juta Ha. Lalu, target pemerintah terkait
reforma agraria ada 9 juta Ha. Lalu, lahan
yang 12,7 Ha dan 9 juta Ha ini mau
didudukan dimana? Dalam konteks
Kebijakan Satu Peta ini, jangan dilihat
bahwa peta ini hanya dibutuhkan oleh
institusi yang hanya berkaitan dengan
spasial atau keruangan. Karena ketika
berbicara soal pembangunan maka yang
harus kita lihat bukan hanya akses
ruangnya saja tapi ruangnya mau diisi
seperti apa. Misalnya, kita bicara tentang
perhutanan sosial tidak cukup dengan
memberikan legalisasi penguasaan atau
pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat. Akan tetapi, bagaimana
penguasaan dan pengelolaan itu juga bisa
berjalan. Seperti Menteri Koperasi dan
UKM misalnya, bukanlah kementerian yang
mengurusi keruangan tetapi perlu tahu
berapa luas dan dimana saja petani-petani
atau pekebun-pekebun atau masyarakat
yang mengelola hutan yang memang perlu
didukung. Hal ini penting untuk penguatan
secara kelembagaan ekonomi mereka untuk
usaha kecil, menengah dan koperasi. Itulah
tuntutan yang ada dan karena itulah tugas
kami untuk mengawal bagaimana ini bisa
terimplementasi.
Dalam konteks Kebijakan Satu Peta
yang sudah bergulir sejak berdirinya
BIG dan dibentuknya Pokja IGT,
Bagaimana Kantor Staf Presiden
memonitor dan membantu kinerja BIG
dan Pokja ini?
Peran kantor Kantor Staf Presiden ini
yang paling utama itu kan 'debottlenecking'.
Jadi, sumbat-sumbat botolnya (sumbatan
kebijakan, red) itu ada dimana, maka akan
diupayakan perbaikannya. Dalam hal
Kebijakan Satu Peta tentu yang
mengurusinya adalah kementerian/lembaga
teknis. Kantor Staf Presiden secara fungsi
memang tidak mengambil alih suatu
pekerjaan dari kementerian/lembaga teknis.
Terkecuali, dari kewenangan
kementerian/lembaga teknis hendak
didorong suatu proses perubahan, dan
dalam proses itu Kantor Staf Presiden dapat
berperan untuk mempersiapkan rumusan
dokumen kebijakannya. Dalam pengalaman
di Kantor Staf Presiden, ketika tim kerja
Reforma Agraria bekerja, maka sisi
teknisnya, seperti menyelenggarakan
workshop, diskusi dan lain sebagainya tetap
dipegang oleh Kementerian terkait. Kantor
Staf Presiden menyiapkan rumusan
arahannya. Jadi, Kantor Staf Presiden tidak
akan masuk ke soal-soal teknis itu.
Sudah sampai dimana proses
sinkronisasi dan integrasi Peta
Partisipatif dalam masing-masing
Pokja IGT?
Dalam Kebijakan Satu Peta ini, proses
yang terus didorong tidak semata-mata
memang karena kepentingan masyarakat
yang terkait konflik dan lain sebagainya.
Tidak melihat hanya sebatas itu. Tapi ada
hal-hal lain yang menurut kami itu harus
dibereskan berkaitan dengan permasalahan
yang terjadi dikarenakan oleh persoalan-
persoalan dalam pemetaan di Indonesia.
Secara khusus, dalam berhubungan dengan
Kementerian/Lembaga tetap dalam koridor
hubungan antar lembagaan negara dengan
tingkat kebutuhan yang lebih jelas.
Misalnya, Kantor Staf Presiden
memfasilitasi proses antar kementerian.
Kemudian juga, bagaimana mendapat
dukungan politik yang lebih luas. Karena ini
kantornya Presiden, maka termasuk juga
bagaimana mengakselerasi komunikasi-
komunikasi terkait dengan program
prioritas Presiden.
Memang tantangannya, dalam
pemerintahan itu cenderung sukses tercapai
kalau program itu ada di dalam satu
kementerian. Kemudian eskalasinya
semakin berat ketika suatu program itu
lintas kementerian. Semakin berat lagi,
kalau programnya lintas menko
(Kementerian Koordinasi, red). Semakin
repot lagi, kalau program itu lintas menko
dan melibatkan pemerintahan daerah.
Kebijakan satu peta ini kan tidak langsung
KABARJKPP
14 KABAR JKPP
15
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
dikendalikan oleh Kantor Staf Presiden.
Kebijakan Satu Peta itu, kebutuhannya itu
ada. Kemudian ditinjau dari concernnya
Presiden dengan berbagai kementerian
yang menjalankan mandat undang-undang
yang ada, maka tantangan sebenarnya
adalah menjalankan rencana kerja
pemerintah sesuai RKP tahunan yang
diturunkan dari RPJMN. Kementerian
menjalankan mandatnya sesuai undang-
undang terkait tupoksinya kan gak salah.
Kebijakan Satu Peta ini kalau sesuai
undang-undang dan Perpres yang berlaku
berada pada ranahnya BIG. Lalu, dalam
RKP setiap Kementerian/Lembaga,
bagaimana Kebijakan Satu Peta ini menjadi
prioritas di dalam konteks kerja lintas
kementerian? Hal itu menjadi satu
pertanyaan politis sebenarnya. Pertama
sekali, Kantor Staf Presiden biasanya
bergerak ketika sudah muncul keluhan-
keluhan terhadap proses pelaksanaannya.
Kedua, ketika Kantor Staf Presiden
menemukan kelambtan-kelambatan di
dalam proses yang berjalan untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan terhadap
implementasi program atau arahan yang
dari Presiden.
Bagaimana kebijakan teknis
pendukung tersedia yang menjamin
adanya proses implementsi Kebijakan
Satu Peta itu?
Sekarang itu fase konsolidasi data peta di
tingkat pemerintah. Selain itu, terkait
pemetaan masyarakat sipil memang ada
rencana untuk bagaimana mengakuisisi
soal peta-peta yang dihasilkan oleh
organisasi masyarakat sipil itu. Tetapi
pekerjaan rumah yang pertamanya itu
konsolidasi di tingkat pemerintahan yang
belum selesai.
Sebenarnya Kantor Staf Presiden sudah
memberikan concern soal ini. Kalau kita
bicara ruang hari ini, maka yang banyak
dibicarakan itu adalah Reforma Agraria
dan Perhutan Sosial. Kedua hal itu sudah
dibahas dalam rapat terbatas kabinet.
Rapat terbatas kabinetnya sudah ada, ada
persoalan terkait kebutuhan-kebutuhan
data dan kami sendiri butuh untuk
mendapatkan data itu secara terbuka.
Untuk reforma agraria, pemenuhannya
akan diperoleh sebagian dari 0,4 juta Ha
dari HGU terlantar. Lalu, Presiden akan
bertanya: “Berada dimana saja lahan itu?”
Kemudian, sebagian lagi dari pelepasan
kawasan hutan 4,1 juta Ha. Pertanyaanya:
“Dimana saja itu?”
Ada juga persoalan terkait transmigran
yang belum jelas aspek legalnya. Walaupun
transmigrasi itu program lama pemerintah,
tapi ternyata banyak sekali masalah dari
aspek legal dan alokasi lahan yang berbeda
di lapang. Kami melihat memang penting
bagi kementerian untuk secara transparan
membuka data itu. Kemudian, peta-peta
yang dikeluarkan oleh kementerian itu
bukanlah peta- peta final maka disebut peta
indikatif. Tujuannya sebenarnya agar bisa
diverifikasi. Dua agenda besar ini tidak
akan jalan kalau petanya tidak transparan.
Apa yang dibutuhkan untuk
memperkecil kesenjangan antara
kebijakan dan implementasi
Kebijakan Satu Peta ini?
Pertama, keseluruhan proses-proses ini
akan terus diikuti oleh Kantor Staf Presiden
dengan keterlibatan di dalam Kebijakan
Satu Peta ini. Kedua, setiap concern yang
dihadapi sudah dikomunikasikan dengan
kementerian terkait. Akan tetapi, situasinya
saat ini terjadi pemotongan anggaran.
Kedepannya, diperlukan strategi komunikasi
yang baik terutama oleh BIG yang menjadi
tumpuan dalam pelaksanaan Kebijakan
Satu Peta ini. Terutama dalam komunikasi
dengan publik agar segala sesuatunya bisa
terlaksana. Kemudian proses-proses
konsolidasi dan akuisisi peta dari
kementerian itu harus bisa dipercepat.
Mengenai keterlibatan CSO (Organisasi
Masyarakat Sipil, red), juga sebaiknya
memang diatur. Karena tidak mungkin
pemerintah berlama-lama mengatakan
akan terus melakukan konsolidasi dan
akuisisi dilevel kementerian dan lembaga.
Karena disisi lain peran serta dan
partisipasi masyarakatnya juga memang
dibutuhkan untuk Kebijakan Satu Peta ini.
Karena, itu (Kebijakan Satu Peta, red) tidak
dirancang untuk menjawab kebutuhan
pemerintahan saja tetapi untuk menjawab
kebutuhan nasional. Ketika kita bicara
kebutuhan nasional, maka semua elemen
stakeholder yang ada memiliki kepentingan
atas output atau capaian-capaian dari
Kebijakan Satu Peta ini.
Jadi, kembali lagi, kalau tentang keluhan
secara formal itu kepada kami belum ada.
Karena dalam Kebijakan Satu Peta saat ini
sedang pada fase yang difokuskan pada
internal Kementerian/Lembaga. Nantinya,
BIG memang memerlukan strategi
komunikasi yang mumpuni, baik terhadap
Kementerian/ Lembaga maupun kepada
masyarakat sipil.
Apa kira-kira kebutuhan mendesak
dari Kebutuhan Satu Peta ini ke
depannya dalam skala prioritas
Presiden?
Kantor Staf Presiden memiliki Situation
Room, yang menjadi media dalam
merumuskan berbagai macam masukan dan
juga memang dirancang untuk kebutuhan
Presiden. Segala sesuatu yang terkait
dengan peta memang menjadi sangat
dibutuhkan. Presiden sedang concern
dengan karhutla (Kebakaran Hutan dan
Lahan. Red), juga soal konflik. Kedua hal itu
harus didudukan dalam suatu ruang.
Penting untuk tahu ruangnya ada dimana.
Jadi, bukan lagi soal data berapa jumlah
konfliknya yang kita butuh. Akan tetapi,
dimana titik api itu berada, dimana titik
kebakaran itu ada dan dimana konflik
dengan masyarakat itu berada. Itu harus
dimasukan dalam ruang yang tepat.
Dari segi kelembagaan, apakah ada
hambatan bagi BIG menjalankan
tugasnya?
Saat ini, belum ada evaluasi secara
khusus terkait dengan kebijakan satu peta
ini. Tetapi, BIG dalam menjalankan mandat
ini bersama-sama kementerian lain juga
dalam struktur, kedudukan dan
kewenangan yang masing-masing
dimilikinya. Hal ini disadari sehingga Tim
Percepatan Kebijakan Satu Peta ini dipimpin
oleh Kemenko Perekonomian. Kendala-
KABARJKPP
14 KABAR JKPP
15
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
dikendalikan oleh Kantor Staf Presiden.
Kebijakan Satu Peta itu, kebutuhannya itu
ada. Kemudian ditinjau dari concernnya
Presiden dengan berbagai kementerian
yang menjalankan mandat undang-undang
yang ada, maka tantangan sebenarnya
adalah menjalankan rencana kerja
pemerintah sesuai RKP tahunan yang
diturunkan dari RPJMN. Kementerian
menjalankan mandatnya sesuai undang-
undang terkait tupoksinya kan gak salah.
Kebijakan Satu Peta ini kalau sesuai
undang-undang dan Perpres yang berlaku
berada pada ranahnya BIG. Lalu, dalam
RKP setiap Kementerian/Lembaga,
bagaimana Kebijakan Satu Peta ini menjadi
prioritas di dalam konteks kerja lintas
kementerian? Hal itu menjadi satu
pertanyaan politis sebenarnya. Pertama
sekali, Kantor Staf Presiden biasanya
bergerak ketika sudah muncul keluhan-
keluhan terhadap proses pelaksanaannya.
Kedua, ketika Kantor Staf Presiden
menemukan kelambtan-kelambatan di
dalam proses yang berjalan untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan terhadap
implementasi program atau arahan yang
dari Presiden.
Bagaimana kebijakan teknis
pendukung tersedia yang menjamin
adanya proses implementsi Kebijakan
Satu Peta itu?
Sekarang itu fase konsolidasi data peta di
tingkat pemerintah. Selain itu, terkait
pemetaan masyarakat sipil memang ada
rencana untuk bagaimana mengakuisisi
soal peta-peta yang dihasilkan oleh
organisasi masyarakat sipil itu. Tetapi
pekerjaan rumah yang pertamanya itu
konsolidasi di tingkat pemerintahan yang
belum selesai.
Sebenarnya Kantor Staf Presiden sudah
memberikan concern soal ini. Kalau kita
bicara ruang hari ini, maka yang banyak
dibicarakan itu adalah Reforma Agraria
dan Perhutan Sosial. Kedua hal itu sudah
dibahas dalam rapat terbatas kabinet.
Rapat terbatas kabinetnya sudah ada, ada
persoalan terkait kebutuhan-kebutuhan
data dan kami sendiri butuh untuk
mendapatkan data itu secara terbuka.
Untuk reforma agraria, pemenuhannya
akan diperoleh sebagian dari 0,4 juta Ha
dari HGU terlantar. Lalu, Presiden akan
bertanya: “Berada dimana saja lahan itu?”
Kemudian, sebagian lagi dari pelepasan
kawasan hutan 4,1 juta Ha. Pertanyaanya:
“Dimana saja itu?”
Ada juga persoalan terkait transmigran
yang belum jelas aspek legalnya. Walaupun
transmigrasi itu program lama pemerintah,
tapi ternyata banyak sekali masalah dari
aspek legal dan alokasi lahan yang berbeda
di lapang. Kami melihat memang penting
bagi kementerian untuk secara transparan
membuka data itu. Kemudian, peta-peta
yang dikeluarkan oleh kementerian itu
bukanlah peta- peta final maka disebut peta
indikatif. Tujuannya sebenarnya agar bisa
diverifikasi. Dua agenda besar ini tidak
akan jalan kalau petanya tidak transparan.
Apa yang dibutuhkan untuk
memperkecil kesenjangan antara
kebijakan dan implementasi
Kebijakan Satu Peta ini?
Pertama, keseluruhan proses-proses ini
akan terus diikuti oleh Kantor Staf Presiden
dengan keterlibatan di dalam Kebijakan
Satu Peta ini. Kedua, setiap concern yang
dihadapi sudah dikomunikasikan dengan
kementerian terkait. Akan tetapi, situasinya
saat ini terjadi pemotongan anggaran.
Kedepannya, diperlukan strategi komunikasi
yang baik terutama oleh BIG yang menjadi
tumpuan dalam pelaksanaan Kebijakan
Satu Peta ini. Terutama dalam komunikasi
dengan publik agar segala sesuatunya bisa
terlaksana. Kemudian proses-proses
konsolidasi dan akuisisi peta dari
kementerian itu harus bisa dipercepat.
Mengenai keterlibatan CSO (Organisasi
Masyarakat Sipil, red), juga sebaiknya
memang diatur. Karena tidak mungkin
pemerintah berlama-lama mengatakan
akan terus melakukan konsolidasi dan
akuisisi dilevel kementerian dan lembaga.
Karena disisi lain peran serta dan
partisipasi masyarakatnya juga memang
dibutuhkan untuk Kebijakan Satu Peta ini.
Karena, itu (Kebijakan Satu Peta, red) tidak
dirancang untuk menjawab kebutuhan
pemerintahan saja tetapi untuk menjawab
kebutuhan nasional. Ketika kita bicara
kebutuhan nasional, maka semua elemen
stakeholder yang ada memiliki kepentingan
atas output atau capaian-capaian dari
Kebijakan Satu Peta ini.
Jadi, kembali lagi, kalau tentang keluhan
secara formal itu kepada kami belum ada.
Karena dalam Kebijakan Satu Peta saat ini
sedang pada fase yang difokuskan pada
internal Kementerian/Lembaga. Nantinya,
BIG memang memerlukan strategi
komunikasi yang mumpuni, baik terhadap
Kementerian/ Lembaga maupun kepada
masyarakat sipil.
Apa kira-kira kebutuhan mendesak
dari Kebutuhan Satu Peta ini ke
depannya dalam skala prioritas
Presiden?
Kantor Staf Presiden memiliki Situation
Room, yang menjadi media dalam
merumuskan berbagai macam masukan dan
juga memang dirancang untuk kebutuhan
Presiden. Segala sesuatu yang terkait
dengan peta memang menjadi sangat
dibutuhkan. Presiden sedang concern
dengan karhutla (Kebakaran Hutan dan
Lahan. Red), juga soal konflik. Kedua hal itu
harus didudukan dalam suatu ruang.
Penting untuk tahu ruangnya ada dimana.
Jadi, bukan lagi soal data berapa jumlah
konfliknya yang kita butuh. Akan tetapi,
dimana titik api itu berada, dimana titik
kebakaran itu ada dan dimana konflik
dengan masyarakat itu berada. Itu harus
dimasukan dalam ruang yang tepat.
Dari segi kelembagaan, apakah ada
hambatan bagi BIG menjalankan
tugasnya?
Saat ini, belum ada evaluasi secara
khusus terkait dengan kebijakan satu peta
ini. Tetapi, BIG dalam menjalankan mandat
ini bersama-sama kementerian lain juga
dalam struktur, kedudukan dan
kewenangan yang masing-masing
dimilikinya. Hal ini disadari sehingga Tim
Percepatan Kebijakan Satu Peta ini dipimpin
oleh Kemenko Perekonomian. Kendala-
KABARJKPP
16 KABAR JKPP
17
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
kendala yang dihadapi ini, secara prinsip
itu jelas tapi secara proses kadang agak
lambat. Saya memeriksa hasil pertemuan
terkait Kebijakan Satu Peta ini, salah satu
kendala yang ditemukan bahwa data yang
dimiliki pemerintah belum standar satu
dengan yang lain. Selain soal kualitas data
yang belum terstandar, masalah kedua
adalah belum tersedianya semua data yang
dibutuhkan. Misalnya peta desa, banyak
desa yang belum ada petanya, banyak peta-
peta itu belum tersedia dengan cukup baik.
Selain itu, catatan dari pertemuan terakhir
di Kantor Staf Presiden adalah terkait
dengan pengetahuan publik. Sampai
sekarang, belum ada strategi komunikasi
yang komprehensif dari Kebijakan Satu
Peta. Bagaimana berkomunikasi tentang
perkembangan yang ada belum dijalankan,
karena saat ini Kementerian/Lembaga
masih sangat berkonsentrasi pada proses
collecting dan konsolidasi ditingkat
kementerian lembaga.
Dalam konteks ini, sebenarnya menjadi
tantangan, juga sekaligus menjadi
rekomendasi. Pertama, BIG harus mampu
membawa proses ini secara transparan.
Artinya, kendala-kendala yang dihadapi
BIG tidak mungkin cukup hanya diketahui
oleh BIG saja atau institusi atau kelompok-
kelompok yang concern saja terhadap
Kebijakan Satu Peta ini saja. Kedua,
Kebijakan Satu Peta ini belum dipahami
secara baik oleh kementerian dan lembaga,
bahwa ada objektif besar yang akan dicapai
dengan Kebijakan Satu Peta ini. Ketiga,
penanganan conflik of interest yang terjadi
di Kementerian/Lembaga harus dicarikan
jalan keluar. Dalam mengatasi tiga hal ini,
BIG harus bisa memainkan peran aktif.
Karena kalau dari pengamatan kita secara
cepat, BIG ini merupakan satu institusi
teknis yang scientific-based yang juga perlu
memahami komunikasi, baik lintas
kementerian/lembaga maupun komunikasi
publik. Selain itu juga harus sadar dengan
persoalan-persoalan politis yang terjadi
dibalik kemacetan yang ada saat ini.
Selain masalah sinkronisasi data
spasial untuk menuju kebijakan satu
peta ini, bagaimana implementasi
kedepannya?
Kalau dari akuisisi sudah beres, perlu
dipersiapkan kebijakan lainnya yang
dibutuhkan. Karena ketika suatu kebijakan
dikatakan final, maka akan berlaku secara
nasional. Kita memerlukan sistem
administrasi yang tepat dan harus
diputuskan oleh Pemerintah. Untuk urusan
teknis terkait, misalnya urusan hutan adat
ada di KLHK, kemudian kalau tanah-tanah
adat di luar kawasan hutan itu tanggung
jawabnya ATR. Dalam konteks Masyarakat
Adat secara keseluruhan disebut wilayah
adat. Jadi, hutan adat dan tanah-tanah
adat mereka ini dalam praktek
berpemerintahan akhirnya terbagi dua dan
menempuh jalan sendiri-sendiri. Skema-
skema yang dibuat pemerintah tentu juga
akan mempengaruhi masyarakat dalam
melihat wilayah adatnya karena di
dalamnya akan ada hutan adatnya dan ada
tanah adatnya. Dibalik dua proses yang
harus dilalui oleh Masyarakat Adat saat ini
harus dibangun suatu sistem administrasi
nantinya yang juga berkaitan dengan
kebijakan tentang standar pemetaan itu
sendiri.
Kapan Kebijakan Satu Peta ini akan
menjadi bagian dari evaluasi Presiden?
Evaluasi satu tahun itu sangat
memungkin terjadi karena kan Perpresnya
sudah dikeluarkan tahun ini (2016). Kantor
Staf Presiden tentu akan terus mengikuti
proses ini, menemukan sumbatan di tingkat
Kementerian dan mendorong perbaikan,
selanjutnya mendorong peran serta
masyarakat menjadi penting untuk
ditindaklanjuti. Secara umum, yang harus
dipikirkan sebenarnya didalam konteks
kebijakan satu peta ini adalah: (i) soal
kesenjangan-kesenjangan regulasi; (ii) soal
standar-standar yang harus dipenuhi; (iii)
mekanisme partisipasinya seperti apa (iv)
mekanisme publik yang lebih luasnya harus
dibangun dan disusun; (v) mekanisme
keluhan (komplain) untuk ruang-ruang
ketidakcocokan atau ketidaksesuaian di
antara para pihak misalnya masyarakat
merasa tidak puas atau kelompok-kelompok
lain merasa tidak puas.
Selain itu, karena Kebijakan Satu Peta
memang lintas kementerian, walaupun
makin berat tapi dalam konsolidasi mau
tidak mau Kementerian/Lembaga harus
kerja sama.
Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang: Menakar Kepentingan Para Pemangku
Kepentingan
Sandoro Purba S.H.Spatial LAW Division
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Gagasan Atas Ruang
Hubungan Manusia dengan ruang, serta
pemaknaan keruangan melalui penguasaan
dan pemanfaatan kiranya akan tetap
menjadi sebuah pertaruangan ide antara
identitas-identitas yang ada. Penguasaan
ruang di Indonesia sangat erat dipengaruhi
oleh pemberlakuan hukum kerajaan Belanda
dimasa lalu melalui prinsip konkordansi.
Peradaban manusia telah mengalami pahit
getir perubahan penguasaan ruang.
Setidaknya, dari zaman penaklukan antar
suku sampai pada era kolonial berlangsung.
Dalam konteks Indonesia, sebelum merdeka
dan menjadi sebuah Negara yang berdiri
sendiri, setidaknya Indonesia mengalami
pemberlakuan hukum dari penjajahnya
melalui prinsip konkordansi. Dimana,
hukum Kerajaan Belanda diberlakukan di
Hindia Belanda ketika itu. Hal ini
berimplikasi pada konsep ruang, aturan
mengenai penataan ruang itu sendiri serta
hak tenurial (konsep kepemilikan atas benda
dan sumber penghidupan) yang ada di
masyarakat.
K A B A R U T A M A
KABARJKPP
16 KABAR JKPP
17
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
kendala yang dihadapi ini, secara prinsip
itu jelas tapi secara proses kadang agak
lambat. Saya memeriksa hasil pertemuan
terkait Kebijakan Satu Peta ini, salah satu
kendala yang ditemukan bahwa data yang
dimiliki pemerintah belum standar satu
dengan yang lain. Selain soal kualitas data
yang belum terstandar, masalah kedua
adalah belum tersedianya semua data yang
dibutuhkan. Misalnya peta desa, banyak
desa yang belum ada petanya, banyak peta-
peta itu belum tersedia dengan cukup baik.
Selain itu, catatan dari pertemuan terakhir
di Kantor Staf Presiden adalah terkait
dengan pengetahuan publik. Sampai
sekarang, belum ada strategi komunikasi
yang komprehensif dari Kebijakan Satu
Peta. Bagaimana berkomunikasi tentang
perkembangan yang ada belum dijalankan,
karena saat ini Kementerian/Lembaga
masih sangat berkonsentrasi pada proses
collecting dan konsolidasi ditingkat
kementerian lembaga.
Dalam konteks ini, sebenarnya menjadi
tantangan, juga sekaligus menjadi
rekomendasi. Pertama, BIG harus mampu
membawa proses ini secara transparan.
Artinya, kendala-kendala yang dihadapi
BIG tidak mungkin cukup hanya diketahui
oleh BIG saja atau institusi atau kelompok-
kelompok yang concern saja terhadap
Kebijakan Satu Peta ini saja. Kedua,
Kebijakan Satu Peta ini belum dipahami
secara baik oleh kementerian dan lembaga,
bahwa ada objektif besar yang akan dicapai
dengan Kebijakan Satu Peta ini. Ketiga,
penanganan conflik of interest yang terjadi
di Kementerian/Lembaga harus dicarikan
jalan keluar. Dalam mengatasi tiga hal ini,
BIG harus bisa memainkan peran aktif.
Karena kalau dari pengamatan kita secara
cepat, BIG ini merupakan satu institusi
teknis yang scientific-based yang juga perlu
memahami komunikasi, baik lintas
kementerian/lembaga maupun komunikasi
publik. Selain itu juga harus sadar dengan
persoalan-persoalan politis yang terjadi
dibalik kemacetan yang ada saat ini.
Selain masalah sinkronisasi data
spasial untuk menuju kebijakan satu
peta ini, bagaimana implementasi
kedepannya?
Kalau dari akuisisi sudah beres, perlu
dipersiapkan kebijakan lainnya yang
dibutuhkan. Karena ketika suatu kebijakan
dikatakan final, maka akan berlaku secara
nasional. Kita memerlukan sistem
administrasi yang tepat dan harus
diputuskan oleh Pemerintah. Untuk urusan
teknis terkait, misalnya urusan hutan adat
ada di KLHK, kemudian kalau tanah-tanah
adat di luar kawasan hutan itu tanggung
jawabnya ATR. Dalam konteks Masyarakat
Adat secara keseluruhan disebut wilayah
adat. Jadi, hutan adat dan tanah-tanah
adat mereka ini dalam praktek
berpemerintahan akhirnya terbagi dua dan
menempuh jalan sendiri-sendiri. Skema-
skema yang dibuat pemerintah tentu juga
akan mempengaruhi masyarakat dalam
melihat wilayah adatnya karena di
dalamnya akan ada hutan adatnya dan ada
tanah adatnya. Dibalik dua proses yang
harus dilalui oleh Masyarakat Adat saat ini
harus dibangun suatu sistem administrasi
nantinya yang juga berkaitan dengan
kebijakan tentang standar pemetaan itu
sendiri.
Kapan Kebijakan Satu Peta ini akan
menjadi bagian dari evaluasi Presiden?
Evaluasi satu tahun itu sangat
memungkin terjadi karena kan Perpresnya
sudah dikeluarkan tahun ini (2016). Kantor
Staf Presiden tentu akan terus mengikuti
proses ini, menemukan sumbatan di tingkat
Kementerian dan mendorong perbaikan,
selanjutnya mendorong peran serta
masyarakat menjadi penting untuk
ditindaklanjuti. Secara umum, yang harus
dipikirkan sebenarnya didalam konteks
kebijakan satu peta ini adalah: (i) soal
kesenjangan-kesenjangan regulasi; (ii) soal
standar-standar yang harus dipenuhi; (iii)
mekanisme partisipasinya seperti apa (iv)
mekanisme publik yang lebih luasnya harus
dibangun dan disusun; (v) mekanisme
keluhan (komplain) untuk ruang-ruang
ketidakcocokan atau ketidaksesuaian di
antara para pihak misalnya masyarakat
merasa tidak puas atau kelompok-kelompok
lain merasa tidak puas.
Selain itu, karena Kebijakan Satu Peta
memang lintas kementerian, walaupun
makin berat tapi dalam konsolidasi mau
tidak mau Kementerian/Lembaga harus
kerja sama.
Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang: Menakar Kepentingan Para Pemangku
Kepentingan
Sandoro Purba S.H.Spatial LAW Division
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Gagasan Atas Ruang
Hubungan Manusia dengan ruang, serta
pemaknaan keruangan melalui penguasaan
dan pemanfaatan kiranya akan tetap
menjadi sebuah pertaruangan ide antara
identitas-identitas yang ada. Penguasaan
ruang di Indonesia sangat erat dipengaruhi
oleh pemberlakuan hukum kerajaan Belanda
dimasa lalu melalui prinsip konkordansi.
Peradaban manusia telah mengalami pahit
getir perubahan penguasaan ruang.
Setidaknya, dari zaman penaklukan antar
suku sampai pada era kolonial berlangsung.
Dalam konteks Indonesia, sebelum merdeka
dan menjadi sebuah Negara yang berdiri
sendiri, setidaknya Indonesia mengalami
pemberlakuan hukum dari penjajahnya
melalui prinsip konkordansi. Dimana,
hukum Kerajaan Belanda diberlakukan di
Hindia Belanda ketika itu. Hal ini
berimplikasi pada konsep ruang, aturan
mengenai penataan ruang itu sendiri serta
hak tenurial (konsep kepemilikan atas benda
dan sumber penghidupan) yang ada di
masyarakat.
K A B A R U T A M A
KABARJKPP
18KABAR JKPP
19
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Salah satu contoh yang bisa diangkat
adalah unit sosial Nagari dan Negeri. Franz
dan Keebet mengemukakan adanya
persaingan antara dua entitas yaitu lembaga
adat dan lembaga pemerintah dalam
pemanfaatan ruang dengan mengambil
contoh Nagari di Sumatera Barat dan
Negeri di Maluku. Gagasan atas ruang
dibentuk oleh hak ekonomi dan hak politik.
Kondisi sosio politiklah yang membentuk
bagaimana pengaturan ruang dan
bagaimana pemanfaatannya. Sehingga,
dalam perkembangan Nagari dan Negeri
adalah buah pertemuan struktur lokal
dengan pemerintahan Hindia Belanda pada
masa penaklukan Kerajaan Belanda (dengan
didahului VOC sebelumnya) dan kemudian
di masa pemerintahan Republik Indonesia
dengan struktur pemerintahan yang
sentralistik. Persaingan hadir dan saling
mencari celah antara lembaga
tradisional—yang memiliki dimensi politik
dan berkuasa membentuk konstruksi atas
ruang—dan lembaga pemerintahan yang
diseragamkan yaitu Desa—yang beroleh
legitimasi dari Negara tampil di lapangan
juga dapat mengkonstruksi ruang (Benda-
Beckmann & Benda-Beckmann, 2009).
Penyeragaman struktur kelembagaan
komunitas yang multi kultural menjadi desa
menjadi masa awal penaklukan unit-unit
sosial kampung yang otonom yang dilakukan
oleh Negara. Yando Zakaria menguraikan
perubahan ini dalam bukunya Abih Tandeh,
dimana penyeragaman Desa untuk seluruh
wilayah Indonesia menjadi awal penaklukan
dari unit-unit khas yang tadinya otonom
(atau diharapkan menjadi otonom setelah
masa penjajahan terdahulu) menjadi
berpusat segala-galanya pada negara—yang
oleh Soetadio Wignosoebroto disebut
Etatisasi.
Bentuk kelembagaan adat/lokal yang
dimiliki komunitas pada era kolonial dan
setelah lahirnya Indonesia, tetap pada posisi
saling beradu dan berusaha sedapat
mungkin mempertahankan kedudukannya
atas ruang.
Etatisasi
Etatisasi, sebuah ungkapan yang mewakili
kondisi ketika segala-galanya musti berpusat
pada negara. Dan hal yang paling utama
yang dijadikan landasannya adalah hukum.
Etatisasi hukum dilakukan dengan
memberlakukan unifikasi hukum. Sebuah
upaya untuk menyeragamkan hukum yang
berlaku tanpa memberikan perhatian pada
pelbagai hukum yang hidup dalam suasana
multikultural. Sebagaimana fungsi wilayah
juga menjadi urusan negara yang ditetapkan
kebanyakan tanpa melihat fakta sosial.
Dimana, pemusatan kegiatan menjadi salah
satu unsur paling kerap dilakukan sehingga
orang menumpuk pada suatu wilayah
meninggalkan kawasan perdesaan.
Terkadang (atau bahkan lebih sering) nilai
ekonomi yang lebih besar menjadi acuan
utama tanpa memperhatikan keadaan sosial
budaya dan kepedulian lingkungan hidup.
Salah satu bentuk unifikasi hukum yang
dapat kita temui adalah pemberlakuan
Bugerlijk Wetbook (BW) dari Belanda—yang
saat ini diterjemahkan menjadi Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Melalui KUHPerdata, aturan
kepemilikan tanah cenderung diseragamkan
oleh Negara. Hak kebendaan diterjemahkan
dalam hukum kebendaan (properti: berkaitan
kepemilikan) bukan menurut apa yang
dipahami oleh masyarakat secara nyata di
lapangan. Secara sadar atau tidak sadar,
hukum kepemilikan benda yang diterapkan
dengan KUHPerdata akan memperpanjang
lagi masa-masa domain verklaaring.
Dimana, sepanjang seseorang tidak bisa
membuktikan kepemilikannya atas suatu
tanah, maka tanah itu adalah milik Negara.
Banyak hak kebendaan yang secara lokal
berlaku dalam masyarakat tidak ada
padanannya dalam KUHPerdata. Karena itu 1
UUPA ada untuk mengoreksi itu untuk
menegaskan bentuk-bentuk penguasaan
masyarakat atas sumber daya agraria dan
hubungan-hubungan hukum yang boleh
mereka lakukan. Sejauh ini belum ada
pengaturan itu dengan kata lain belum
diperinci lagi. Sehingga, Tanah Ulayat dan
Hak Komunal lain serupa itu masih sulit 2
diimplementasikan . Akhirnya, di
lapangan masyarakat berupaya
menyesuaikan diri dengan
keberlakuan KUHPerdata ini, yaitu
mencoba memperoleh bukti tertulis
atas penguasaanya atas tanah. Tetapi
tidak semua bisa diakomodir dengan sistem
pencatatan Negara terutama untuk dapat
dibuatkan akta otentiknya di lapangan oleh
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang
berwenang untuk itu. Seperti kepemilikan
seseorang di Kalimantan salah satunya
adalah tembawang, maka tidak mungkin
akan dicatatkan dalam administrasi
pertanahan negara. Belakangan ini,
masyarakat menggunakan mekanisme baru
dengan menumpang pada tingkat
pemerintahan yang paling rendah yang
diakomodir dengan Surat Keterangan Tanah
Adat (SKTA). Meskipun tidak sekuat Hak
Milik yang diterbitkan oleh Negara, tetapi
bisa memberikan perlindungan dalam tingkat
lokal.
Pencatatan oleh Negara dengan sistem
yang ada sekarang adalah melalui pencatatan
dalam buku tanah yang sejauh ini baru
sebatas Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak
Pakai (HP). Selain jenis hak-hak yang sejauh
ini diakui negara, maka jenis hak yang diakui
masyarakat di lapangan tentu akan
diabaikan. Kecuali, Menteri Agraria dan Tata
Ruang No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dapat
berlaku nantinya dengan efektif dan efisien.
Di luar itu, maka bisa jadi domain
verklaaring tetap berlaku. Sehingga, kalau
pengakuan pada bentuk-bentuk penguasaan
Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal baik
komunal maupun individu belum diakui,
maka akan lebih banyak HGU dan HGB yang
akan terbit karena prosedur dan aturannya
jauh lebih mudah dan jelas.
1Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (LN Tahun 1960 No. 104, TLN No. 2043)
2Sekalipun ada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, hal ini belum memadai. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 Tahun 2016 ini mengganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9 Tahun 2015 dengan judul yang sama. Dimana aturan terdahulu adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sejauh ini, dua aturan lama minim implementasi dan bisa dibilang tida berdaya guna dilapangan.
Perlu diteliti lebih lanjut apakah peraturan baru ini bisa memberikan jawaban atas pengakuan bentuk bentuk penguasaan komunal yang ada di dalam masyarakat.
KABARJKPP
18KABAR JKPP
19
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Salah satu contoh yang bisa diangkat
adalah unit sosial Nagari dan Negeri. Franz
dan Keebet mengemukakan adanya
persaingan antara dua entitas yaitu lembaga
adat dan lembaga pemerintah dalam
pemanfaatan ruang dengan mengambil
contoh Nagari di Sumatera Barat dan
Negeri di Maluku. Gagasan atas ruang
dibentuk oleh hak ekonomi dan hak politik.
Kondisi sosio politiklah yang membentuk
bagaimana pengaturan ruang dan
bagaimana pemanfaatannya. Sehingga,
dalam perkembangan Nagari dan Negeri
adalah buah pertemuan struktur lokal
dengan pemerintahan Hindia Belanda pada
masa penaklukan Kerajaan Belanda (dengan
didahului VOC sebelumnya) dan kemudian
di masa pemerintahan Republik Indonesia
dengan struktur pemerintahan yang
sentralistik. Persaingan hadir dan saling
mencari celah antara lembaga
tradisional—yang memiliki dimensi politik
dan berkuasa membentuk konstruksi atas
ruang—dan lembaga pemerintahan yang
diseragamkan yaitu Desa—yang beroleh
legitimasi dari Negara tampil di lapangan
juga dapat mengkonstruksi ruang (Benda-
Beckmann & Benda-Beckmann, 2009).
Penyeragaman struktur kelembagaan
komunitas yang multi kultural menjadi desa
menjadi masa awal penaklukan unit-unit
sosial kampung yang otonom yang dilakukan
oleh Negara. Yando Zakaria menguraikan
perubahan ini dalam bukunya Abih Tandeh,
dimana penyeragaman Desa untuk seluruh
wilayah Indonesia menjadi awal penaklukan
dari unit-unit khas yang tadinya otonom
(atau diharapkan menjadi otonom setelah
masa penjajahan terdahulu) menjadi
berpusat segala-galanya pada negara—yang
oleh Soetadio Wignosoebroto disebut
Etatisasi.
Bentuk kelembagaan adat/lokal yang
dimiliki komunitas pada era kolonial dan
setelah lahirnya Indonesia, tetap pada posisi
saling beradu dan berusaha sedapat
mungkin mempertahankan kedudukannya
atas ruang.
Etatisasi
Etatisasi, sebuah ungkapan yang mewakili
kondisi ketika segala-galanya musti berpusat
pada negara. Dan hal yang paling utama
yang dijadikan landasannya adalah hukum.
Etatisasi hukum dilakukan dengan
memberlakukan unifikasi hukum. Sebuah
upaya untuk menyeragamkan hukum yang
berlaku tanpa memberikan perhatian pada
pelbagai hukum yang hidup dalam suasana
multikultural. Sebagaimana fungsi wilayah
juga menjadi urusan negara yang ditetapkan
kebanyakan tanpa melihat fakta sosial.
Dimana, pemusatan kegiatan menjadi salah
satu unsur paling kerap dilakukan sehingga
orang menumpuk pada suatu wilayah
meninggalkan kawasan perdesaan.
Terkadang (atau bahkan lebih sering) nilai
ekonomi yang lebih besar menjadi acuan
utama tanpa memperhatikan keadaan sosial
budaya dan kepedulian lingkungan hidup.
Salah satu bentuk unifikasi hukum yang
dapat kita temui adalah pemberlakuan
Bugerlijk Wetbook (BW) dari Belanda—yang
saat ini diterjemahkan menjadi Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Melalui KUHPerdata, aturan
kepemilikan tanah cenderung diseragamkan
oleh Negara. Hak kebendaan diterjemahkan
dalam hukum kebendaan (properti: berkaitan
kepemilikan) bukan menurut apa yang
dipahami oleh masyarakat secara nyata di
lapangan. Secara sadar atau tidak sadar,
hukum kepemilikan benda yang diterapkan
dengan KUHPerdata akan memperpanjang
lagi masa-masa domain verklaaring.
Dimana, sepanjang seseorang tidak bisa
membuktikan kepemilikannya atas suatu
tanah, maka tanah itu adalah milik Negara.
Banyak hak kebendaan yang secara lokal
berlaku dalam masyarakat tidak ada
padanannya dalam KUHPerdata. Karena itu 1
UUPA ada untuk mengoreksi itu untuk
menegaskan bentuk-bentuk penguasaan
masyarakat atas sumber daya agraria dan
hubungan-hubungan hukum yang boleh
mereka lakukan. Sejauh ini belum ada
pengaturan itu dengan kata lain belum
diperinci lagi. Sehingga, Tanah Ulayat dan
Hak Komunal lain serupa itu masih sulit 2
diimplementasikan . Akhirnya, di
lapangan masyarakat berupaya
menyesuaikan diri dengan
keberlakuan KUHPerdata ini, yaitu
mencoba memperoleh bukti tertulis
atas penguasaanya atas tanah. Tetapi
tidak semua bisa diakomodir dengan sistem
pencatatan Negara terutama untuk dapat
dibuatkan akta otentiknya di lapangan oleh
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang
berwenang untuk itu. Seperti kepemilikan
seseorang di Kalimantan salah satunya
adalah tembawang, maka tidak mungkin
akan dicatatkan dalam administrasi
pertanahan negara. Belakangan ini,
masyarakat menggunakan mekanisme baru
dengan menumpang pada tingkat
pemerintahan yang paling rendah yang
diakomodir dengan Surat Keterangan Tanah
Adat (SKTA). Meskipun tidak sekuat Hak
Milik yang diterbitkan oleh Negara, tetapi
bisa memberikan perlindungan dalam tingkat
lokal.
Pencatatan oleh Negara dengan sistem
yang ada sekarang adalah melalui pencatatan
dalam buku tanah yang sejauh ini baru
sebatas Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak
Pakai (HP). Selain jenis hak-hak yang sejauh
ini diakui negara, maka jenis hak yang diakui
masyarakat di lapangan tentu akan
diabaikan. Kecuali, Menteri Agraria dan Tata
Ruang No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dapat
berlaku nantinya dengan efektif dan efisien.
Di luar itu, maka bisa jadi domain
verklaaring tetap berlaku. Sehingga, kalau
pengakuan pada bentuk-bentuk penguasaan
Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal baik
komunal maupun individu belum diakui,
maka akan lebih banyak HGU dan HGB yang
akan terbit karena prosedur dan aturannya
jauh lebih mudah dan jelas.
1Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (LN Tahun 1960 No. 104, TLN No. 2043)
2Sekalipun ada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat
Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, hal ini belum memadai. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 Tahun 2016 ini mengganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9 Tahun 2015 dengan judul yang sama. Dimana aturan terdahulu adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sejauh ini, dua aturan lama minim implementasi dan bisa dibilang tida berdaya guna dilapangan.
Perlu diteliti lebih lanjut apakah peraturan baru ini bisa memberikan jawaban atas pengakuan bentuk bentuk penguasaan komunal yang ada di dalam masyarakat.
KABARJKPP
20KABAR JKPP
21
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Negara bekerja dalam penguasaan
ruang ini secara politis baik melalui
penulisan sejarah dan kebijakan
lembaga/badan negara. Dalam aspek
sejarah, Max Lane pernah mencatat
penulisan sejarah yang tunggal oleh militer
sebagaimana dilakukan Nugroho
Notosusanto. Selain hal-hal terkait
penjajahan yang dialami Indonesia sebelum
merdeka, para pelajar (genarasi muda
Indonesia) “diharapkan dapat memahami
bahwa kesatuan politik dan teritorilah yang
membawa Indonesia ke gerbang
kemerdekaan” (Lane, 2014, p. 178). Maka,
segala tindakan yang 'dianggap mengutak-
atik' teritori akan diperhadapkan pada
tuduhan makar atau mengganggu keutuhan
negara. Selain itu, penegasan sejarah
pemberontakan oleh Partai Komunis
Indonesia, yang diidentikkan dengan
“pendudukan-pendudukan lahan oleh
petani” adalah salah satu bentuk
menghancurkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia” (Lane, 2014, p. 179).
Pemikiran-pemikiran yang menyudutkan
masyarakat seperti diatas tentu harus sudah
ditinggalkan. Kenyataannya ketimpangan
penguasaan lahan itu terjadi di lapangan.
Konflik bermunculan terutama karena
masyarakat ingin mempertahankan ruang
hidupnya. Jangan sampai, lembaga Negara
hadir hanya sebagai alat perpanjangan
tangan dari Negara dalam menguasai ruang.
David Harvey (Harvey, 2001),
mencontohkan Royal Geography Society
(lembaga di Inggris yang mengurusi soal
pemetaan), yang merupakan lembaga teknik
dan sekaligus dengan para mekanik yang
bekerja untuk mempertahankan imperium
Inggris. Meskipun demikian, Pemerintah
Indonesia mulai menunjukkan kesadaran
untuk menata Indonesia lebih baik melalui
Badan Informasi Geospasial untuk
mengurusi penyatuan seluruh peta dasar di 3
Indonesia . Dimana, kewenangan penataan
ruang di Indonesia saat ini cukup kompleks.
Perlu dicatat, selain BIG, terdapat 69 pejabat
setingkat eselon tiga yang tersebar pada 13
Kementerian/Lembaga, memiliki
kewenangan dalam penataan ruang.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang menjadi kementerian
dengan kewenangan penataan ruang yang 4
paling luas .
Proses penataan ruang dengan
mekanisme yang masih sangat sentralistik
ini perlu dipikirkan kembali untuk konteks
Indonesia khususnya. Penataan Ruang tidak
luput dari dimensi sosial politik yang kuat di
dalamnya. Untuk mengeliminir pengabaian
unsur lokalitas dalam penataan ruang yang
selama ini dipraktikkan oleh Pemerintah,
maka ke depannya pelibatan Masyarakat
Adat dan Masyarakat Lokal di komunitasnya
masing-masing menjadi penting dilakukan
Pemerintah. Bagaimana pun juga
Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal
memiliki pranata dalam penataan ruang dan
hal itu bisa membantu Pemerintah dalam
3 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214 Jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 Tentang Badan Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 144.
4 Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Geospasial Tematik.
mengelola penataan ruang yang baik.
Terlebih pengetahuan mengenai penataan
ruang khususnya terkait pemetaan sudah
semakin banyak dapat diakses publik dan
peralatan untuk itu cukup tersedia.
Pemetaan Partisipatif: Suara Ekspresi
Lokal atas Ruang
Pemetaan pada akhirnya bukan sekadar
untuk mengambil titik dari sebuah kondisi
geografis dan memindahkannya ke dalam
sebuah bidang datar atau peta kartografis.
Akan tetapi, pemetaan (dan semua proses di
dalamnya) merupakan sebuah dialog antar
identitas yang berbeda. Dimana, masing-
masing identitas dengan kepentingannya
akan dibicarakan dan disepakati. Pemetaan
Partisipatif akhirnya hadir dalam kancah
penyelesaan konflik di Indonesia setidaknya
sejak tahun 1996 (JKPP), yang ditandai
dengan lahirnya Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP). Salah satu prinsip
penting dalam Pemetaan Partisipatif adalah
Prinsip Kesatuan yaitu:
“Hasil pemetaan partisipatif
merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari peta batas
wilayah kelola atau wilayah
adat, penggunaan lahan,
dokumentasi sosial budaya,
dan berita acara kesepakatan
tata batas.”
Proses Pemetaan Partisipatif yang utuh
dilakukan oleh komunitas baik Masyarakat
Adat ataupun Masyarakat Lokal merupakan
sebuah konsep penataan ruang, mulai dari
perencanaan, pemanfaaatan dan
pengendalian pemanfaatan di dalam internal
komunitas tersebut. Proses Pemetaan
Partisipatif yang utuh ini mempersyaratkan
sebuah pengambilan data yang paling tidak
sama dengan data yang dibutuhkan dalam
suatu penataan ruang yang diatur oleh
negara. Selama ini, peta dasar yang
dipergunakan dalam rangkaian Pemetaan
Partisipatif berasal dari lembaga negara yang
berkompeten untuk mengeluarkannya.
(Purba, 2016)
Sejatinya JKPP bukan sekadar 'tukang
peta' tetapi sekelompok orang yang ingin
menyelesaikan konflik ruang. Dalam upaya
penyelesaian konflik ini, peta adalah salah
satu alat atau metode yang dipakai. Pemetaan
Partisipatif menyediakan ruang dialog
menuju sebuah kesepakatan. Sebuah dialog
yang melibatkan banyak orang--banyak
identitas dan kepentingan--akan memberikan
peluang untuk transparan. Pertemuan
tertutup dan informasi terbatas tentu akan
lebih rawan konflik di belakangan hari. Oleh
karena itu, dengan perencanaan yang
transparan dan demokratis akan mereduksi
hegemoni atas ruang. Terutama negara yang
sedang terjebak dalam ideologi pembangunan
dan senantiasa mengintervensi penguasaan
ruang dari masyarakat (Zakaria, Merebut
Negara:, 2004, p. 30).
Selama ini produk Pemetaan Partisipatif
yang dihasilkan oleh JKPP dan Simpul
Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) serta
lembaga lainnya yang aktif dalam pemetaan
partisipatif masih diposisikan sebagai Peta
Indikatif. Selanjutnya, langkah yang terus
digeluti adalah menjadikan produk pemetaan
partisipatif sebagai bentuk peta yang definitif.
KABARJKPP
20KABAR JKPP
21
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Negara bekerja dalam penguasaan
ruang ini secara politis baik melalui
penulisan sejarah dan kebijakan
lembaga/badan negara. Dalam aspek
sejarah, Max Lane pernah mencatat
penulisan sejarah yang tunggal oleh militer
sebagaimana dilakukan Nugroho
Notosusanto. Selain hal-hal terkait
penjajahan yang dialami Indonesia sebelum
merdeka, para pelajar (genarasi muda
Indonesia) “diharapkan dapat memahami
bahwa kesatuan politik dan teritorilah yang
membawa Indonesia ke gerbang
kemerdekaan” (Lane, 2014, p. 178). Maka,
segala tindakan yang 'dianggap mengutak-
atik' teritori akan diperhadapkan pada
tuduhan makar atau mengganggu keutuhan
negara. Selain itu, penegasan sejarah
pemberontakan oleh Partai Komunis
Indonesia, yang diidentikkan dengan
“pendudukan-pendudukan lahan oleh
petani” adalah salah satu bentuk
menghancurkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia” (Lane, 2014, p. 179).
Pemikiran-pemikiran yang menyudutkan
masyarakat seperti diatas tentu harus sudah
ditinggalkan. Kenyataannya ketimpangan
penguasaan lahan itu terjadi di lapangan.
Konflik bermunculan terutama karena
masyarakat ingin mempertahankan ruang
hidupnya. Jangan sampai, lembaga Negara
hadir hanya sebagai alat perpanjangan
tangan dari Negara dalam menguasai ruang.
David Harvey (Harvey, 2001),
mencontohkan Royal Geography Society
(lembaga di Inggris yang mengurusi soal
pemetaan), yang merupakan lembaga teknik
dan sekaligus dengan para mekanik yang
bekerja untuk mempertahankan imperium
Inggris. Meskipun demikian, Pemerintah
Indonesia mulai menunjukkan kesadaran
untuk menata Indonesia lebih baik melalui
Badan Informasi Geospasial untuk
mengurusi penyatuan seluruh peta dasar di 3
Indonesia . Dimana, kewenangan penataan
ruang di Indonesia saat ini cukup kompleks.
Perlu dicatat, selain BIG, terdapat 69 pejabat
setingkat eselon tiga yang tersebar pada 13
Kementerian/Lembaga, memiliki
kewenangan dalam penataan ruang.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang menjadi kementerian
dengan kewenangan penataan ruang yang 4
paling luas .
Proses penataan ruang dengan
mekanisme yang masih sangat sentralistik
ini perlu dipikirkan kembali untuk konteks
Indonesia khususnya. Penataan Ruang tidak
luput dari dimensi sosial politik yang kuat di
dalamnya. Untuk mengeliminir pengabaian
unsur lokalitas dalam penataan ruang yang
selama ini dipraktikkan oleh Pemerintah,
maka ke depannya pelibatan Masyarakat
Adat dan Masyarakat Lokal di komunitasnya
masing-masing menjadi penting dilakukan
Pemerintah. Bagaimana pun juga
Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal
memiliki pranata dalam penataan ruang dan
hal itu bisa membantu Pemerintah dalam
3 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214 Jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 Tentang Badan Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 144.
4 Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Geospasial Tematik.
mengelola penataan ruang yang baik.
Terlebih pengetahuan mengenai penataan
ruang khususnya terkait pemetaan sudah
semakin banyak dapat diakses publik dan
peralatan untuk itu cukup tersedia.
Pemetaan Partisipatif: Suara Ekspresi
Lokal atas Ruang
Pemetaan pada akhirnya bukan sekadar
untuk mengambil titik dari sebuah kondisi
geografis dan memindahkannya ke dalam
sebuah bidang datar atau peta kartografis.
Akan tetapi, pemetaan (dan semua proses di
dalamnya) merupakan sebuah dialog antar
identitas yang berbeda. Dimana, masing-
masing identitas dengan kepentingannya
akan dibicarakan dan disepakati. Pemetaan
Partisipatif akhirnya hadir dalam kancah
penyelesaan konflik di Indonesia setidaknya
sejak tahun 1996 (JKPP), yang ditandai
dengan lahirnya Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP). Salah satu prinsip
penting dalam Pemetaan Partisipatif adalah
Prinsip Kesatuan yaitu:
“Hasil pemetaan partisipatif
merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari peta batas
wilayah kelola atau wilayah
adat, penggunaan lahan,
dokumentasi sosial budaya,
dan berita acara kesepakatan
tata batas.”
Proses Pemetaan Partisipatif yang utuh
dilakukan oleh komunitas baik Masyarakat
Adat ataupun Masyarakat Lokal merupakan
sebuah konsep penataan ruang, mulai dari
perencanaan, pemanfaaatan dan
pengendalian pemanfaatan di dalam internal
komunitas tersebut. Proses Pemetaan
Partisipatif yang utuh ini mempersyaratkan
sebuah pengambilan data yang paling tidak
sama dengan data yang dibutuhkan dalam
suatu penataan ruang yang diatur oleh
negara. Selama ini, peta dasar yang
dipergunakan dalam rangkaian Pemetaan
Partisipatif berasal dari lembaga negara yang
berkompeten untuk mengeluarkannya.
(Purba, 2016)
Sejatinya JKPP bukan sekadar 'tukang
peta' tetapi sekelompok orang yang ingin
menyelesaikan konflik ruang. Dalam upaya
penyelesaian konflik ini, peta adalah salah
satu alat atau metode yang dipakai. Pemetaan
Partisipatif menyediakan ruang dialog
menuju sebuah kesepakatan. Sebuah dialog
yang melibatkan banyak orang--banyak
identitas dan kepentingan--akan memberikan
peluang untuk transparan. Pertemuan
tertutup dan informasi terbatas tentu akan
lebih rawan konflik di belakangan hari. Oleh
karena itu, dengan perencanaan yang
transparan dan demokratis akan mereduksi
hegemoni atas ruang. Terutama negara yang
sedang terjebak dalam ideologi pembangunan
dan senantiasa mengintervensi penguasaan
ruang dari masyarakat (Zakaria, Merebut
Negara:, 2004, p. 30).
Selama ini produk Pemetaan Partisipatif
yang dihasilkan oleh JKPP dan Simpul
Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) serta
lembaga lainnya yang aktif dalam pemetaan
partisipatif masih diposisikan sebagai Peta
Indikatif. Selanjutnya, langkah yang terus
digeluti adalah menjadikan produk pemetaan
partisipatif sebagai bentuk peta yang definitif.
KABARJKPP
22 KABAR JKPP
23
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Peta yang definitif bukan semata resmi
dalam produk hukum negara, tetapi negara
musti menghormatinya dengan tidak
menerbitkan perizinan di atasnya atau
menerbitkan produk hukum yang
mengabaikan kedaulatan ruang dari
Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal itu.
Saat ini, Masyarakat Adat dan Masyarakat
Lokal sebagai warga negara harus
menghadapi setidaknya tiga rezim penataan
ruang. Rezim penataan ruang yang ada saat
ini di Indonesia mencakup penataan ruang di 5 6Daratan , Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ,
7serta Laut . Selain itu, Indonesia juga
mengenal Badan Koordinasi Penataan Tata 8Ruang Nasional (BKPRN) . BKPRN menjadi
wadah koordinasi antar lembaga Negara
dalam penataan ruang. Hal ini sendiri
menunjukkan betapa rumit dan berlapisnya
penataan ruang di Indonesia.
Kerumitan dan hierarki penataan ruang
itulah yang harus diubah dengan Pemetaan
Partisipatif. Para penggiat Pemetaan
Partisipatif akan berdiri berhadap-hadapan
atau duduk dalam satu meja bersama
pemangku kepentingan lainnya dalam proses
penataan ruang ini. Hasil pekerjaan
Pemetaan Partisipatif paling tidak telah
mengubah cara pandang pemerintah. Dalam
isu kawasan hutan, yang rawan dengan
konflik, ada wacana Peta Indikatif Arahan 9Perhutanan Sosial (PIAPS) . Meskipun
belum menghasilkan kebijakan yang
defenitif, tapi hal ini memberi gambaran
kepada Pemerintah bahwa masyarakat bisa
menunjukkan peta wilayahnya. Hal ini bisa
membantu Pemerintah untuk mengetahui
dimana saja konflik itu terjadi. Terlebih,
Pemerintah tidak harus memulai dari nol
lagi dalam upaya menyelesaikan konflik
tersebut.
Sementara itu, beberapa Masyarakat Adat
telah mengajukan permohonan status Hutan
Adat dengan menyertakan peta Hutan Adat
mereka yang dibuat melalui proses pemetaan
partisipatif. Pemerintah tentu akan terbantu
dengan adanya peta dari proses pemetaan 10
partisipatif . Selanjutnya Pemerintah tinggal
melakukan validasi dan verfikasi terhadap
peta-peta ini. Akan lebih mudah lagi jika
Pemetaan Partisipatif ini terintegrasi dengan
sistem Negara melalui pelibatan dan
partisipasi aktif masyarakat dalam penataan
ruang nantinya.
Di sisi lain, dengan adanya Pemetaan Partisipatif telah juga dapat berkontribusi pada diskusi
seputar Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dengan kekayaan data yang dihasilkan dari pemetaan
partisipatif selama ini bisa memperkaya Informasi Geospasial Dasar (IGD). Dengan berkontribusi
pada IGD, Pemetaan Partisipatif dapat menambah banyak sekali data sosial ekonomi budaya bukan
sekadar objek yang dapat dilihat saja. Dan apabila ada kesediaan BIG untuk mem-verifikasi produk
dari Pemetaan Partisipatif tentu bisa dinaikkan menjadi IGT—setingkat di atas IGD dan memiliki 11kekuatan hukum dengan legitimasi Pemerintah . Atau setidaknya, BIG dapat membuka ruang
diskusi kembali dengan para penggiat Pemetaan Partisipatif dalam mengakomodirnya dalam
standar BIG. Sehingga, akan memudahkan pekerjaan di lapangan nantinya antara masyarakat dan 12
Pemerintah dengan dasar standar yang telah sama. Selain itu, diskusi mengenai Walidata , yaitu
pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan IGT tertentu, juga menjadi penting. Sebab
siapa yang memegang data tentu akan memiliki kuasa yang lebih dalam mengambil kebijakan.
Kesimpulan
Memposisikan identitas-identitas yang ada dalam kondisi yang setara dan saling menghormati dan
menujunjung kedaulatan masing-masing adalah sebuah tantangan yang ada kedepannya. Sebab
dengan cara itulah, dialog yang setara yang menghormati kedaulatan rakyat atas ruang dapat
direalisasikan. Selain itu, Pemetaan Partisipatif harus mendobrak penataan ruang yang terpusat
pada negara. Para pemangku kepentingan dalam proses penataan ruang juga sedemikian banyak
dan hal ini harus disadari oleh aktor yang bekerja dalam Pemetaan Partisipatif. Sejatinya,
tantangan dari proses Pemetaan Partisipatif adalah pemusatan perencanaan tata ruang. Sudah
semestinyalah harus ada kesempatan yang sama untuk setiap warga Negara dalam penataan ruang
melalui pemetaan partisipatif. Sesungguhnya tidak akan ada masalah terkait legitimasi penataan
ruang sepanjang ada penghormatan atas hak masing-masing pemangku kepentingan, tanpa adanya
unsur paksaan dan dibuat dalam suatu proses yang setara.
5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).
6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 48; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739).
7Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.
8Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 Keputusan . Nama lembaga ini selanjutnya dirubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional melalui
Presiden Nomor 75 Tahun 1993 Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000, yang kemudian ditetapkan kembali dengan .
9Ada sejumlah rapat yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang melibatkan banyak lembaga swadaya atau ornop dengan mendiskusikan Peta Partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Kawasan Hutan yang dikukuhkan negara. 10
http://brwa.or.id/articles/read/260, diakses pada 8 Agustus 2016.
Bibliography
Benda-Beckman, F. v., Benda-Beckman, K. v., & Griffiths, A. (2009). Spatializing Law: an anthropological of law in society. Burlington: Ashgate.
Benda-Beckmann, F. v., & Benda-Beckmann, K. (2009). Contested Spaces of Authority in Indonesia. In F. v. Benda-Beckmann, K. v. Benda-
Beckmann, & A. Griffiths, Spatializing law : an anthropological geography of law in (pp. 115-135). Burlington: Ashgate.
Harvey, D. (2001). Space of Capital: towards a critical geography. New York: Routledge.
JKPP. (n.d.). Profil JKPP. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from http://www.jkpp.org/?page_id=8
Lane, M. (2014). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.
Purba, S. (2016, Juli Senin). palos Sandoro Purba. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from https://sandopalos.blogspot.co.id/2016/07/partisipasi-
masyarakat-dalam-penataan.html
Simarmata, R. (2002). “Pengertian Dasar dan Teknik Perancangan Perundang-undangan: Resiko Tradisi Hukum Tertulis. Jakarta: HuMa.
Zakaria, R. Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Elsam.
Zakaria, R. Y. (2004). Merebut Negara:. Yogyakarta: LAPERA bekerjasama dengan KARSA.
11Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214.
12Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 54 Tahun 2015 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik.
KABARJKPP
22 KABAR JKPP
23
K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A
Peta yang definitif bukan semata resmi
dalam produk hukum negara, tetapi negara
musti menghormatinya dengan tidak
menerbitkan perizinan di atasnya atau
menerbitkan produk hukum yang
mengabaikan kedaulatan ruang dari
Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal itu.
Saat ini, Masyarakat Adat dan Masyarakat
Lokal sebagai warga negara harus
menghadapi setidaknya tiga rezim penataan
ruang. Rezim penataan ruang yang ada saat
ini di Indonesia mencakup penataan ruang di 5 6Daratan , Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ,
7serta Laut . Selain itu, Indonesia juga
mengenal Badan Koordinasi Penataan Tata 8Ruang Nasional (BKPRN) . BKPRN menjadi
wadah koordinasi antar lembaga Negara
dalam penataan ruang. Hal ini sendiri
menunjukkan betapa rumit dan berlapisnya
penataan ruang di Indonesia.
Kerumitan dan hierarki penataan ruang
itulah yang harus diubah dengan Pemetaan
Partisipatif. Para penggiat Pemetaan
Partisipatif akan berdiri berhadap-hadapan
atau duduk dalam satu meja bersama
pemangku kepentingan lainnya dalam proses
penataan ruang ini. Hasil pekerjaan
Pemetaan Partisipatif paling tidak telah
mengubah cara pandang pemerintah. Dalam
isu kawasan hutan, yang rawan dengan
konflik, ada wacana Peta Indikatif Arahan 9Perhutanan Sosial (PIAPS) . Meskipun
belum menghasilkan kebijakan yang
defenitif, tapi hal ini memberi gambaran
kepada Pemerintah bahwa masyarakat bisa
menunjukkan peta wilayahnya. Hal ini bisa
membantu Pemerintah untuk mengetahui
dimana saja konflik itu terjadi. Terlebih,
Pemerintah tidak harus memulai dari nol
lagi dalam upaya menyelesaikan konflik
tersebut.
Sementara itu, beberapa Masyarakat Adat
telah mengajukan permohonan status Hutan
Adat dengan menyertakan peta Hutan Adat
mereka yang dibuat melalui proses pemetaan
partisipatif. Pemerintah tentu akan terbantu
dengan adanya peta dari proses pemetaan 10
partisipatif . Selanjutnya Pemerintah tinggal
melakukan validasi dan verfikasi terhadap
peta-peta ini. Akan lebih mudah lagi jika
Pemetaan Partisipatif ini terintegrasi dengan
sistem Negara melalui pelibatan dan
partisipasi aktif masyarakat dalam penataan
ruang nantinya.
Di sisi lain, dengan adanya Pemetaan Partisipatif telah juga dapat berkontribusi pada diskusi
seputar Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dengan kekayaan data yang dihasilkan dari pemetaan
partisipatif selama ini bisa memperkaya Informasi Geospasial Dasar (IGD). Dengan berkontribusi
pada IGD, Pemetaan Partisipatif dapat menambah banyak sekali data sosial ekonomi budaya bukan
sekadar objek yang dapat dilihat saja. Dan apabila ada kesediaan BIG untuk mem-verifikasi produk
dari Pemetaan Partisipatif tentu bisa dinaikkan menjadi IGT—setingkat di atas IGD dan memiliki 11kekuatan hukum dengan legitimasi Pemerintah . Atau setidaknya, BIG dapat membuka ruang
diskusi kembali dengan para penggiat Pemetaan Partisipatif dalam mengakomodirnya dalam
standar BIG. Sehingga, akan memudahkan pekerjaan di lapangan nantinya antara masyarakat dan 12
Pemerintah dengan dasar standar yang telah sama. Selain itu, diskusi mengenai Walidata , yaitu
pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan IGT tertentu, juga menjadi penting. Sebab
siapa yang memegang data tentu akan memiliki kuasa yang lebih dalam mengambil kebijakan.
Kesimpulan
Memposisikan identitas-identitas yang ada dalam kondisi yang setara dan saling menghormati dan
menujunjung kedaulatan masing-masing adalah sebuah tantangan yang ada kedepannya. Sebab
dengan cara itulah, dialog yang setara yang menghormati kedaulatan rakyat atas ruang dapat
direalisasikan. Selain itu, Pemetaan Partisipatif harus mendobrak penataan ruang yang terpusat
pada negara. Para pemangku kepentingan dalam proses penataan ruang juga sedemikian banyak
dan hal ini harus disadari oleh aktor yang bekerja dalam Pemetaan Partisipatif. Sejatinya,
tantangan dari proses Pemetaan Partisipatif adalah pemusatan perencanaan tata ruang. Sudah
semestinyalah harus ada kesempatan yang sama untuk setiap warga Negara dalam penataan ruang
melalui pemetaan partisipatif. Sesungguhnya tidak akan ada masalah terkait legitimasi penataan
ruang sepanjang ada penghormatan atas hak masing-masing pemangku kepentingan, tanpa adanya
unsur paksaan dan dibuat dalam suatu proses yang setara.
5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).
6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 48; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739).
7Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.
8Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 Keputusan . Nama lembaga ini selanjutnya dirubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional melalui
Presiden Nomor 75 Tahun 1993 Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000, yang kemudian ditetapkan kembali dengan .
9Ada sejumlah rapat yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang melibatkan banyak lembaga swadaya atau ornop dengan mendiskusikan Peta Partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Kawasan Hutan yang dikukuhkan negara. 10
http://brwa.or.id/articles/read/260, diakses pada 8 Agustus 2016.
Bibliography
Benda-Beckman, F. v., Benda-Beckman, K. v., & Griffiths, A. (2009). Spatializing Law: an anthropological of law in society. Burlington: Ashgate.
Benda-Beckmann, F. v., & Benda-Beckmann, K. (2009). Contested Spaces of Authority in Indonesia. In F. v. Benda-Beckmann, K. v. Benda-
Beckmann, & A. Griffiths, Spatializing law : an anthropological geography of law in (pp. 115-135). Burlington: Ashgate.
Harvey, D. (2001). Space of Capital: towards a critical geography. New York: Routledge.
JKPP. (n.d.). Profil JKPP. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from http://www.jkpp.org/?page_id=8
Lane, M. (2014). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.
Purba, S. (2016, Juli Senin). palos Sandoro Purba. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from https://sandopalos.blogspot.co.id/2016/07/partisipasi-
masyarakat-dalam-penataan.html
Simarmata, R. (2002). “Pengertian Dasar dan Teknik Perancangan Perundang-undangan: Resiko Tradisi Hukum Tertulis. Jakarta: HuMa.
Zakaria, R. Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Elsam.
Zakaria, R. Y. (2004). Merebut Negara:. Yogyakarta: LAPERA bekerjasama dengan KARSA.
11Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214.
12Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 54 Tahun 2015 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik.
KABARJKPP
24 KABAR JKPP
25
Dalam pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia, pembangunan lebih diarahkan
pada investasi berbasis lahan yang pada
akhirnya menyebabkan konflik
berkepanjangan antara masyarakat dengan
investor, juga antara masyarakat dengan
pemerintah. Konflik akibat pencaplokan
tanah telah menyebabkan masyarakat
terlempar dari tanahnya. Dalam konteks
Aceh, momentum penandatanganan damai
pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki,
paska konflik panjang antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Indonesia adalah momentum penting bagi
masyarakat dan pemerintah. Kesepakatan
damai di Aceh tidak hanya memberikan
suasana damai untuk menjalankan roda
kehidupan. Namun, telah membuka peluang
besar bagi Aceh untuk mengatur wilayahnya
(daerahnya) secara berdaulat baik secara
pemerintahan maupun dalam pengelolaan
sumber daya alam. Selain itu, Aceh
berkesempatan untuk mengimplementasikan
hukum adat dalam setiap sisi kehidupannya.
Termasuk juga memperoleh hak adat atas
sumber daya alam dengan menjalankan
aturan hukum adat dan juga menjalankan
fungsi lembaga adat, yaitu mukim dan
gampong sebagai lembaga pemerintahan
sekaligus sebagai lembaga adat. Hal ini telah
diakui oleh Negara melalui Undang –
Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) No. 11
Tahun 2006. Undang Undang tersebut
mengakui kewenangan lembaga adat dan hak
adat atas sumber daya alam. Penjabaran dari
UU tersebut, saat ini propinsi dan kabupaten
MUKIM, Benteng Keselamatan SDA di AcehFahmi
KoordinatorSimpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Aceh
di Aceh telah mengeluarkan produk hukum
qanun (peraturan daerah) yang mengatur
tentang pemerintahan mukim dan gampong
serta lembaga adat. Hal ini, telah
mempermudah mukim dan gampong untuk
menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan
maupun sebagai lembaga adat.
Mukim adalah salah satu bentuk
pemerintahan yang terdapat di Aceh. Saat ini,
keberadaan mukim telah diakui melalui
Undang Undang Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Sebelumnya,
Undang Undang Otonomi khusus Aceh
Nomor 18 tahun 2001 juga telah memberi
pengakuan terhadap keberadaan mukim
sebagai sebuah unit pemerintahan. Unit
pemerintahan terkecil di Aceh disebut
gampong. Persekutuan dari beberapa
gampong disebut Mukim. Gampong
dipresentasikan oleh Keuchik sebagai
pimpinan adat yang memiliki kewenangan
untuk mempertahankan kedaulatannya
terhadap kepemilikan atas lingkungan dan
sumber daya alam, hak atas pemanfaatan
sumber daya alam, hak untuk ikut dalam
pengaturan lingkungan dan
menyelenggarakan sejenis peradilan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang
terjadi. Gampong dan Mukim menurut
hukum adat merupakan badan hukum,
sebagai pendukung hak dan kewajiban
warganya. Mukim dan Gampong memiliki
harta atau kekayaan tersendiri, baik berupa
bangunan, tanah, perairan maupun
lingkungan alamnya.
Mukim adalah konsepsi ideologis yang
telah terbukti mampu mengharmonikan
sistem kehidupan di Aceh. Selain itu,
memberi jaminan terhadap kepastian hak
atas kepemilikan pribadi maupun komunal.
Karena, mukim mengedepankan prinsip-
prinsip keadilan, kedamaian, kesejahteraan,
dan berorientasi pada keberlanjutan.
Meskipun mukim-gampong sebagai struktur
pemerintahan sekaligus sebagai lembaga adat
formal di Aceh telah diakui dalam berbagai
regulasi, mulai dari tingkat Undang-Undang
hingga ke Peraturan Daerah (Qanun) baik di
tingkat propinsi maupun kabupaten. Namun,
secara implementasi atau pun prakteknya,
keberadaan mukim dan gampong belum
menjadi arus utama (mainstream) dalam
setiap kebijakan daerah. Hal ini terlihat dari
tidak adanya wilayah mukim termaktub
dalam kebijakan tata ruang propinsi maupun
kabupaten. Padahal, mengintegrasikan
wilayah mukim dalam kebijakan tata ruang
adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh
pemerintah sebagai konsekuensi dari
pengakuan mukim dalam Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diikuti
dengan lahirnya qanun-qanun tentang
pemerintahan mukim maupun lembaga adat.
Ironisnya lagi, mukim sebagai pemangku
kepentingan dalam kebijakan-kebijakan
strategis yang berkaitan dengan wilayah dan
juga pengelolaan sumber daya alam tidak
diajak untuk ikut serta. Bahkan, sangat
sedikit mukim yang memiliki informasi yang
cukup tentang arah penataan ruang.
Memastikan Pembangunan Berbasis
Mukim dan Gampong
Mukim yang merupakan suatu kesatuan
masyarakat dalam wilayah Aceh yang
terbentuk melalui persekutuan beberapa
gampong dengan batas wilayah tertentu dan
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
KABARJKPP
24 KABAR JKPP
25
Dalam pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia, pembangunan lebih diarahkan
pada investasi berbasis lahan yang pada
akhirnya menyebabkan konflik
berkepanjangan antara masyarakat dengan
investor, juga antara masyarakat dengan
pemerintah. Konflik akibat pencaplokan
tanah telah menyebabkan masyarakat
terlempar dari tanahnya. Dalam konteks
Aceh, momentum penandatanganan damai
pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki,
paska konflik panjang antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Indonesia adalah momentum penting bagi
masyarakat dan pemerintah. Kesepakatan
damai di Aceh tidak hanya memberikan
suasana damai untuk menjalankan roda
kehidupan. Namun, telah membuka peluang
besar bagi Aceh untuk mengatur wilayahnya
(daerahnya) secara berdaulat baik secara
pemerintahan maupun dalam pengelolaan
sumber daya alam. Selain itu, Aceh
berkesempatan untuk mengimplementasikan
hukum adat dalam setiap sisi kehidupannya.
Termasuk juga memperoleh hak adat atas
sumber daya alam dengan menjalankan
aturan hukum adat dan juga menjalankan
fungsi lembaga adat, yaitu mukim dan
gampong sebagai lembaga pemerintahan
sekaligus sebagai lembaga adat. Hal ini telah
diakui oleh Negara melalui Undang –
Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) No. 11
Tahun 2006. Undang Undang tersebut
mengakui kewenangan lembaga adat dan hak
adat atas sumber daya alam. Penjabaran dari
UU tersebut, saat ini propinsi dan kabupaten
MUKIM, Benteng Keselamatan SDA di AcehFahmi
KoordinatorSimpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Aceh
di Aceh telah mengeluarkan produk hukum
qanun (peraturan daerah) yang mengatur
tentang pemerintahan mukim dan gampong
serta lembaga adat. Hal ini, telah
mempermudah mukim dan gampong untuk
menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan
maupun sebagai lembaga adat.
Mukim adalah salah satu bentuk
pemerintahan yang terdapat di Aceh. Saat ini,
keberadaan mukim telah diakui melalui
Undang Undang Nomor 11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Sebelumnya,
Undang Undang Otonomi khusus Aceh
Nomor 18 tahun 2001 juga telah memberi
pengakuan terhadap keberadaan mukim
sebagai sebuah unit pemerintahan. Unit
pemerintahan terkecil di Aceh disebut
gampong. Persekutuan dari beberapa
gampong disebut Mukim. Gampong
dipresentasikan oleh Keuchik sebagai
pimpinan adat yang memiliki kewenangan
untuk mempertahankan kedaulatannya
terhadap kepemilikan atas lingkungan dan
sumber daya alam, hak atas pemanfaatan
sumber daya alam, hak untuk ikut dalam
pengaturan lingkungan dan
menyelenggarakan sejenis peradilan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang
terjadi. Gampong dan Mukim menurut
hukum adat merupakan badan hukum,
sebagai pendukung hak dan kewajiban
warganya. Mukim dan Gampong memiliki
harta atau kekayaan tersendiri, baik berupa
bangunan, tanah, perairan maupun
lingkungan alamnya.
Mukim adalah konsepsi ideologis yang
telah terbukti mampu mengharmonikan
sistem kehidupan di Aceh. Selain itu,
memberi jaminan terhadap kepastian hak
atas kepemilikan pribadi maupun komunal.
Karena, mukim mengedepankan prinsip-
prinsip keadilan, kedamaian, kesejahteraan,
dan berorientasi pada keberlanjutan.
Meskipun mukim-gampong sebagai struktur
pemerintahan sekaligus sebagai lembaga adat
formal di Aceh telah diakui dalam berbagai
regulasi, mulai dari tingkat Undang-Undang
hingga ke Peraturan Daerah (Qanun) baik di
tingkat propinsi maupun kabupaten. Namun,
secara implementasi atau pun prakteknya,
keberadaan mukim dan gampong belum
menjadi arus utama (mainstream) dalam
setiap kebijakan daerah. Hal ini terlihat dari
tidak adanya wilayah mukim termaktub
dalam kebijakan tata ruang propinsi maupun
kabupaten. Padahal, mengintegrasikan
wilayah mukim dalam kebijakan tata ruang
adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh
pemerintah sebagai konsekuensi dari
pengakuan mukim dalam Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diikuti
dengan lahirnya qanun-qanun tentang
pemerintahan mukim maupun lembaga adat.
Ironisnya lagi, mukim sebagai pemangku
kepentingan dalam kebijakan-kebijakan
strategis yang berkaitan dengan wilayah dan
juga pengelolaan sumber daya alam tidak
diajak untuk ikut serta. Bahkan, sangat
sedikit mukim yang memiliki informasi yang
cukup tentang arah penataan ruang.
Memastikan Pembangunan Berbasis
Mukim dan Gampong
Mukim yang merupakan suatu kesatuan
masyarakat dalam wilayah Aceh yang
terbentuk melalui persekutuan beberapa
gampong dengan batas wilayah tertentu dan
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
KABARJKPP
26 KABAR JKPP
27
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya
sebagai identitas komunal masyarakat adat di
Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur
pemerintahan sekaligus sebagai pengelola
wilayah dan pengatur kehidupan sosial
kemasyarakatan. Mukim mempunyai
kewenangan mengurus harta kekayaan dan
sumber pendapatan mukim.
Salah satu bentuk komitmen mukim dan
gampong dalam merespon UUPA untuk
proses percepatan implementasinya yaitu
dengan mendorong partisipasi dan
keterlibatan nyata dari mukim dalam
penataan ruang, pemerintahan dan
pengelolaan sumber daya alam. Mukim se-
Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah
Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar
(MDPM-AB) menilai dalam proses
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Aceh (RTRWA), pemerintahan Aceh tidak
melibatkan mukim sebagai salah satu
pemangku kepentingan.“ Selain tidak
dilibatkan, informasi yang berkaitan
dengan dokumen tersebut pun tidak sampai
kepada mukim. Padahal kebijakan RTRWA
itu pada pelaksanaannya akan
menggunakan wilayah dan ruang kelola
mukim. Bukankah RTRWA merupakan
kebijakan penting daerah yang harus
diketahui masyarakat ?”
MDPM-AB
menyadari bahwa
RTRWA merupakan
kerangka acuan bagi
pembangunan dan
berbagai aktivitas
pemanfaatan ruang
di Aceh untuk masa
waktu 20 tahun
kedepan. RTRW
Aceh harus dapat
mensejahterakan,
menyelamatkan
sumber
penghidupan,
keseimbangan alam,
dan harmonisasi sosial.
RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada
kepentingan masyarakat daripada
kepentingan segelintir orang. Pemerintah
Aceh harus benar-benar mempertimbangkan
hal-hal penting seperti pelibatan mukim
dalam penyusunan aturan dan memasukkan
wilayah kelola mukim sebelum RTRWA
disahkan. Oleh karenanya, MDPM-AB
berupaya untuk memastikan integrasi mukim
dalam UUPA. Beberapa hal yang harus
dipastikan dalam implementasi UUPA adalah
sebagai berikut :
Pertama, keberadaan mukim yang sudah
diakui di Aceh harus dipertegas wilayah
kedudukannya dalam RTRWA. Penegasan
wilayah administratif mukim harus
tergambar dalam wilayah setiap Rencana
Tata Ruang Kabupaten/Kota.
Kedua, RTRWA harus menegaskan
pengakuan keberadaan Wilayah Kelola
Mukim di daratan maupun di perairan,
seperti : perkampungan (hunian), blang
(sawah), uteun (hutan), paya (rawa),
lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang
meurabee (kawasan padang penggembalaan),
peukan (pasar), bineh pasi (pantai), batang
air (krueng/sungai, alur, tuwie, lubuk),
danau, laut, dan kawasan mukim lainnya
yang menjadi ulayat mukim setempat. Ulayat
mukim dimaksud juga merupakan
penjabaran dari Qanun No.4 tahun 2003
tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang
ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun
2009 Pasal 28 bahwa Harta kekayaan
Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib
memberikan perlindungan atas Wilayah
Kelola Mukim tersebut dari kegiatan
pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif
yang merusak dan mengancam sumber-
sumber penghidupan masyarakat dan
berpotensi menimbulkan bencana.
Ketiga, RTRWA harus memberi
pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas
wilayahnya, meliputi : (a) hak kepemilikan,
(b) hak akses dan pemanfataan, (c) hak
pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan
hak asal usul dan hukum formal memiliki
kewenangan untuk mengurus harta kekayaan
dan sumber-sumber pendapatan mukim yang
secara kewilayahan ada pada wilayah kelola
mukim. Pengelolaan wilayah mukim diatur
dengan aturan adat mukim setempat dibawah
koordinasi Imeum Mukim ; hak buya lam
krueng, hak rimung bak bineh rimba. Hak
kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si
uro jak wo. Dalam pelaksanaan teknisnya
pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan
oleh lembaga adat di mukim setempat.
Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam
wilayah mukim dikelola oleh haria peukan.
Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot.
Masyarakat mukim harus diberi akses dan
ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas
Wilayah Mukim, dan
Keempat, dalam semua proses penataan
ruang Aceh (perencanaan, pelaksaaan dan
pemantauan) Pemerintah Aceh harus
melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim
harus mendapat informasi yang lengkap atas
dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat
mukim harus diberi kewenangan untuk
menyatakan boleh atau tidak atas
penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak
luar mukim.
Kelima, Pengakuan terhadap aturan-
aturan adat dalam pengelolaan sumber daya
alam yang diinisiatif oleh mukim melalui
musyawarah yang melibatkan setiap
masyarakat dalam wilayah mukim. Sebagai
pemerintahan, mukim dan gampong tentu
saja memiliki kewenangan dalam membuat
aturan-aturan.
Keenam, Pemerintah Daerah menerbitkan
aturan-aturan atau keputusan-keputusan
yang mendukung terhadap implementasi
sistem pemerintahan mukim dan gampong.
Dan juga aturan-aturan yang menjamin
keselamatan sumber penghidupan
masyarakat yang meliputi kawasan hutan,
kebun, laut, padang pengembalaan, batang
air, sungai, pasar rakyat, dan hak-hak ulayat
lainnya.
Peta Struktur Ruang dan Pola Pemanfaatan Ruang Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tahun 2014-2019
KABARJKPP
26 KABAR JKPP
27
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya
sebagai identitas komunal masyarakat adat di
Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur
pemerintahan sekaligus sebagai pengelola
wilayah dan pengatur kehidupan sosial
kemasyarakatan. Mukim mempunyai
kewenangan mengurus harta kekayaan dan
sumber pendapatan mukim.
Salah satu bentuk komitmen mukim dan
gampong dalam merespon UUPA untuk
proses percepatan implementasinya yaitu
dengan mendorong partisipasi dan
keterlibatan nyata dari mukim dalam
penataan ruang, pemerintahan dan
pengelolaan sumber daya alam. Mukim se-
Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah
Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar
(MDPM-AB) menilai dalam proses
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Aceh (RTRWA), pemerintahan Aceh tidak
melibatkan mukim sebagai salah satu
pemangku kepentingan.“ Selain tidak
dilibatkan, informasi yang berkaitan
dengan dokumen tersebut pun tidak sampai
kepada mukim. Padahal kebijakan RTRWA
itu pada pelaksanaannya akan
menggunakan wilayah dan ruang kelola
mukim. Bukankah RTRWA merupakan
kebijakan penting daerah yang harus
diketahui masyarakat ?”
MDPM-AB
menyadari bahwa
RTRWA merupakan
kerangka acuan bagi
pembangunan dan
berbagai aktivitas
pemanfaatan ruang
di Aceh untuk masa
waktu 20 tahun
kedepan. RTRW
Aceh harus dapat
mensejahterakan,
menyelamatkan
sumber
penghidupan,
keseimbangan alam,
dan harmonisasi sosial.
RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada
kepentingan masyarakat daripada
kepentingan segelintir orang. Pemerintah
Aceh harus benar-benar mempertimbangkan
hal-hal penting seperti pelibatan mukim
dalam penyusunan aturan dan memasukkan
wilayah kelola mukim sebelum RTRWA
disahkan. Oleh karenanya, MDPM-AB
berupaya untuk memastikan integrasi mukim
dalam UUPA. Beberapa hal yang harus
dipastikan dalam implementasi UUPA adalah
sebagai berikut :
Pertama, keberadaan mukim yang sudah
diakui di Aceh harus dipertegas wilayah
kedudukannya dalam RTRWA. Penegasan
wilayah administratif mukim harus
tergambar dalam wilayah setiap Rencana
Tata Ruang Kabupaten/Kota.
Kedua, RTRWA harus menegaskan
pengakuan keberadaan Wilayah Kelola
Mukim di daratan maupun di perairan,
seperti : perkampungan (hunian), blang
(sawah), uteun (hutan), paya (rawa),
lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang
meurabee (kawasan padang penggembalaan),
peukan (pasar), bineh pasi (pantai), batang
air (krueng/sungai, alur, tuwie, lubuk),
danau, laut, dan kawasan mukim lainnya
yang menjadi ulayat mukim setempat. Ulayat
mukim dimaksud juga merupakan
penjabaran dari Qanun No.4 tahun 2003
tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang
ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun
2009 Pasal 28 bahwa Harta kekayaan
Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib
memberikan perlindungan atas Wilayah
Kelola Mukim tersebut dari kegiatan
pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif
yang merusak dan mengancam sumber-
sumber penghidupan masyarakat dan
berpotensi menimbulkan bencana.
Ketiga, RTRWA harus memberi
pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas
wilayahnya, meliputi : (a) hak kepemilikan,
(b) hak akses dan pemanfataan, (c) hak
pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan
hak asal usul dan hukum formal memiliki
kewenangan untuk mengurus harta kekayaan
dan sumber-sumber pendapatan mukim yang
secara kewilayahan ada pada wilayah kelola
mukim. Pengelolaan wilayah mukim diatur
dengan aturan adat mukim setempat dibawah
koordinasi Imeum Mukim ; hak buya lam
krueng, hak rimung bak bineh rimba. Hak
kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si
uro jak wo. Dalam pelaksanaan teknisnya
pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan
oleh lembaga adat di mukim setempat.
Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam
wilayah mukim dikelola oleh haria peukan.
Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot.
Masyarakat mukim harus diberi akses dan
ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas
Wilayah Mukim, dan
Keempat, dalam semua proses penataan
ruang Aceh (perencanaan, pelaksaaan dan
pemantauan) Pemerintah Aceh harus
melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim
harus mendapat informasi yang lengkap atas
dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat
mukim harus diberi kewenangan untuk
menyatakan boleh atau tidak atas
penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak
luar mukim.
Kelima, Pengakuan terhadap aturan-
aturan adat dalam pengelolaan sumber daya
alam yang diinisiatif oleh mukim melalui
musyawarah yang melibatkan setiap
masyarakat dalam wilayah mukim. Sebagai
pemerintahan, mukim dan gampong tentu
saja memiliki kewenangan dalam membuat
aturan-aturan.
Keenam, Pemerintah Daerah menerbitkan
aturan-aturan atau keputusan-keputusan
yang mendukung terhadap implementasi
sistem pemerintahan mukim dan gampong.
Dan juga aturan-aturan yang menjamin
keselamatan sumber penghidupan
masyarakat yang meliputi kawasan hutan,
kebun, laut, padang pengembalaan, batang
air, sungai, pasar rakyat, dan hak-hak ulayat
lainnya.
Peta Struktur Ruang dan Pola Pemanfaatan Ruang Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tahun 2014-2019
KABARJKPP
28KABAR JKPP
29
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
Lombok Tengah adalah salah satu
kabupaten yang ada di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Selanjutnya dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Lombok Tengah dibagi
menjadi 3 (tiga) kawasan yaitu Kawasan
Selatan (Empak Bau), Kawasan Tengah
(Tunjung Tilah) dan Kawasan Utara (Aik
Meneng).
Kawasan Utara atau Aik Meneng adalah
kawasan yang berbatasan langsung dengan
Gunung Rinjani (3.726 Mdpl). Kawasan ini
kemudian menjadi jantung penghidupan
bagi Kabupaten Lombok Tengah, karena
memiliki hutan yang menjadi sumber mata
air yang mengalir ke bagian Tengah dan
Selatan. Tetapi ketidakjelasan pengelolaan
SDA dan tidak dilibatkanya masyarakat
dalam pengurusan pengelolaan kawasan oleh
Pemerintah Daerah telah menyebabkan
rentetan masalah di tingkat tapak.
Kekayaan sumber daya air yang terdapat
dikawasan Aik Meneng lebih banyak
dinikmati oleh sebagian kecil orang saja dan
ironisnya orang di luar kawasan. Hal ini
dikarenakan beroperasinya perusahaan air
minum swasta yang menyedot air dan
menyebabkan pasokan air bagi masyarakat
sekitar berkurang secara drastis.
Berdasarkan hasil wawancara (testimoni)
dengan warga dan aparat desa di Kawasan
Utara Lombok Tengah (Kaula), menyatakan
bahwa air pada masa dulu sekitar tahun 90
an masih sangat bagus. Panen padi mina
(Padma) di areal kelompok Tani Adil
Makmur, bagian Timur-Laut (Tenggara)
Pemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah
MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATAPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah
MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATA
Kurniawan NomeantoKoordinator
Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTB
Desa Selebung masih sangat bagus. Air yang
mengaliri padi mina didapatkan dari saluran
sub DAS Gedeh. Kemudian saat era
reformasi, dengan seketika terjadi
pembukaan hutan secara besar-besaran,
bahkan dihampir seluruh dataran Lombok.
Begitu pula yang terjadi di Desa Kawasan
Utara Lombok Tengah (Kaula), sejak tahun
2000 hutan dibuka secara besar-besaran
yang kemudian berujung pada lahirnya HKm
pertama di Indonesia. Pasca kejadian
tersebut, masyarakat mulai merasakan
berkurangnya air.
Gde Bongoh, yang
merupakan anak
sungai (8 km) dari
DAS Dodokan (Aik
Buka). Saat ini sangat
tidak dimungkinkan
lagi berbudidaya
Padma, karena ketersediaan air sudah tidak
mencukupi. Masyarakat bergantung pasokan 1
air baku dari Lokok Pelebur, tetapi
distribusinya dirasakan belum sesuai
kebutuhan. Hal ini menyebabkan banyak
petani Padma yang beralih untuk berkebun
saja.
Hal serupa yang dirasakan di Taman
Wisata Aiq Bukaq yang di dalamnya terdapat
kolam renang dengan air bersumber dari
mata air di situ, dengan ukuran 15 X 25 X 2,5 3
m . Jika ingin mengisi kolam renang yang
ada, pada tahun 90an akhir hanya
dibutuhkan waktu 3-5 jam, sementara saat
ini membutuhkan waktu sekitar 3 hari. Mata
air yang sebanyak 7 titik yang terdapat di
Desa Stiling telah mati. Illegal loging dan
pengelolaan HKm yang tidak sesuai, serta
pola distribusi yang belum berkelanjutan dan
adil menyebabkan penyusutan.
Jika terus dibiarkan, masyarakat hanya
akan menjadi penonton ruangnya terus
tergerus. Hal ini berpotensi menyulut konflik
baik secara horizontal maupun vertikal. Pada
situasi ini, peran Simpul Layanan Pemetaan
Partisipatif (SLPP) NTB, berharap dapat
mendorong lahirnya sebuah peta mata air
dan area konservasi yang dibuat secara
partisipaif dan selanjutnya dapat menjadi
acuan semua pihak (Pemerintah Desa,
Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah Pusat),
dalam melaksanakan pembangunan,
mengelola dan memanfaatkan serta
memelihara sumber daya alam yang ada,
terutama sumber daya Air.
Karena harus disadari, bahwa sebagus
apapun konsep dan partisipasi yang
dibangun, tanpa kebijakan lokal dan pusat
yang memberikan ruang kondusif agar
terjadinya integrasi dan kolaborasi yang lebih
pro rakyat, sulit rasanya sebuah program
apalagi proyek bisa berhasil secara
berkelanjutan. Untuk itu, kerja-kerja
kolaboratif yang lebih nyata, dengan pola
perencananaan yang lebih partisipatif,
diharapkan dapat sedikit menjawab
persoalan rakyat.
Pemetaan Mata air di Kawasan Kaula yang
diinisiasi oleh SLPP bertujuan untuk
memetakan mata air dan area konservasi
termasuk melihat kondisi masyarakat desa
yang memiliki sumber mata air, dokumen ini
Warga Desa Teratak,
“sekitar 20 tahun yang lalu
kita masih bisa mancing di
telabah (saluran air) depan
rumah, namun sekarang
cari cacing saja sulit”
1 air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.
KABARJKPP
28KABAR JKPP
29
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
Lombok Tengah adalah salah satu
kabupaten yang ada di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Selanjutnya dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Lombok Tengah dibagi
menjadi 3 (tiga) kawasan yaitu Kawasan
Selatan (Empak Bau), Kawasan Tengah
(Tunjung Tilah) dan Kawasan Utara (Aik
Meneng).
Kawasan Utara atau Aik Meneng adalah
kawasan yang berbatasan langsung dengan
Gunung Rinjani (3.726 Mdpl). Kawasan ini
kemudian menjadi jantung penghidupan
bagi Kabupaten Lombok Tengah, karena
memiliki hutan yang menjadi sumber mata
air yang mengalir ke bagian Tengah dan
Selatan. Tetapi ketidakjelasan pengelolaan
SDA dan tidak dilibatkanya masyarakat
dalam pengurusan pengelolaan kawasan oleh
Pemerintah Daerah telah menyebabkan
rentetan masalah di tingkat tapak.
Kekayaan sumber daya air yang terdapat
dikawasan Aik Meneng lebih banyak
dinikmati oleh sebagian kecil orang saja dan
ironisnya orang di luar kawasan. Hal ini
dikarenakan beroperasinya perusahaan air
minum swasta yang menyedot air dan
menyebabkan pasokan air bagi masyarakat
sekitar berkurang secara drastis.
Berdasarkan hasil wawancara (testimoni)
dengan warga dan aparat desa di Kawasan
Utara Lombok Tengah (Kaula), menyatakan
bahwa air pada masa dulu sekitar tahun 90
an masih sangat bagus. Panen padi mina
(Padma) di areal kelompok Tani Adil
Makmur, bagian Timur-Laut (Tenggara)
Pemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah
MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATAPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah
MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATA
Kurniawan NomeantoKoordinator
Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTB
Desa Selebung masih sangat bagus. Air yang
mengaliri padi mina didapatkan dari saluran
sub DAS Gedeh. Kemudian saat era
reformasi, dengan seketika terjadi
pembukaan hutan secara besar-besaran,
bahkan dihampir seluruh dataran Lombok.
Begitu pula yang terjadi di Desa Kawasan
Utara Lombok Tengah (Kaula), sejak tahun
2000 hutan dibuka secara besar-besaran
yang kemudian berujung pada lahirnya HKm
pertama di Indonesia. Pasca kejadian
tersebut, masyarakat mulai merasakan
berkurangnya air.
Gde Bongoh, yang
merupakan anak
sungai (8 km) dari
DAS Dodokan (Aik
Buka). Saat ini sangat
tidak dimungkinkan
lagi berbudidaya
Padma, karena ketersediaan air sudah tidak
mencukupi. Masyarakat bergantung pasokan 1
air baku dari Lokok Pelebur, tetapi
distribusinya dirasakan belum sesuai
kebutuhan. Hal ini menyebabkan banyak
petani Padma yang beralih untuk berkebun
saja.
Hal serupa yang dirasakan di Taman
Wisata Aiq Bukaq yang di dalamnya terdapat
kolam renang dengan air bersumber dari
mata air di situ, dengan ukuran 15 X 25 X 2,5 3
m . Jika ingin mengisi kolam renang yang
ada, pada tahun 90an akhir hanya
dibutuhkan waktu 3-5 jam, sementara saat
ini membutuhkan waktu sekitar 3 hari. Mata
air yang sebanyak 7 titik yang terdapat di
Desa Stiling telah mati. Illegal loging dan
pengelolaan HKm yang tidak sesuai, serta
pola distribusi yang belum berkelanjutan dan
adil menyebabkan penyusutan.
Jika terus dibiarkan, masyarakat hanya
akan menjadi penonton ruangnya terus
tergerus. Hal ini berpotensi menyulut konflik
baik secara horizontal maupun vertikal. Pada
situasi ini, peran Simpul Layanan Pemetaan
Partisipatif (SLPP) NTB, berharap dapat
mendorong lahirnya sebuah peta mata air
dan area konservasi yang dibuat secara
partisipaif dan selanjutnya dapat menjadi
acuan semua pihak (Pemerintah Desa,
Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah Pusat),
dalam melaksanakan pembangunan,
mengelola dan memanfaatkan serta
memelihara sumber daya alam yang ada,
terutama sumber daya Air.
Karena harus disadari, bahwa sebagus
apapun konsep dan partisipasi yang
dibangun, tanpa kebijakan lokal dan pusat
yang memberikan ruang kondusif agar
terjadinya integrasi dan kolaborasi yang lebih
pro rakyat, sulit rasanya sebuah program
apalagi proyek bisa berhasil secara
berkelanjutan. Untuk itu, kerja-kerja
kolaboratif yang lebih nyata, dengan pola
perencananaan yang lebih partisipatif,
diharapkan dapat sedikit menjawab
persoalan rakyat.
Pemetaan Mata air di Kawasan Kaula yang
diinisiasi oleh SLPP bertujuan untuk
memetakan mata air dan area konservasi
termasuk melihat kondisi masyarakat desa
yang memiliki sumber mata air, dokumen ini
Warga Desa Teratak,
“sekitar 20 tahun yang lalu
kita masih bisa mancing di
telabah (saluran air) depan
rumah, namun sekarang
cari cacing saja sulit”
1 air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.
KABARJKPP
30 KABAR JKPP
31
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
diharapkan dapat
menjadi acuan semua
pihak dalam melakukan
perencanaan
pembangunan di
Kabupaten Lombok
Tengah. Pemetaan mata
air ini dilakukan di 6
desa kawasan Utara
Lombok Tengah
(KAULA) yaitu Desa
Aik Berik, Setiling, Aik
Buka, Aik Bual, Karang
Sidemen, dan Lantan.
Sebelum kegiatan
pemetaan dimulai,
SLPP-NTB melakukan
persiapan sosial dengan
membuat pertemuan
kecil dengan
pemerintah desa dan
beberapa tokoh di 6
desa yang akan
dipetakan, pertemuan
ini selain untuk
bersosialisasi juga
untuk mengidentifikasi
para pihak dan
mendapatkan data awal
kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
Setelah persiapan
sosial telah dilaksanakan di semua desa,
tahapan selanjutnya adalah melaksanakan
pertemuan/workshop untuk menentukan tim
kerja dan waktu pemetaan. Setelah tim
terbentuk dan menyepakati waktu pemetaan
sudah disepakati, maka tahapan selanjutnya
adalah survey lapangan sesuai dengan jadwal
yang ada.
Setelah semua data hasil survey lapangan
terkumpul, tim GIS melakukan pengolahan
data menjadi peta digital.
Setelah seluruh data terkompilasi kedalam
peta, tahapan terakhirnya adalah sosialisasi
hasil kegiatan melalui seminar untuk
mendapatkan masukan sekaligus untuk
pengintegrasian peta dan penyerahan peta
kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah
Kabupaten.
Dari hasil pemetaan partisipatif, terdapat
sekitar 90 mata air di 5 Desa Kecamatan
Batukliang Utara dan 1 Desa Kecamatan
Kopang (36 titik mata air berada di kawasan
hutan, 47 titik di lahan hak milik, 7 titik di
lahan milik pemerintah daerah).
Berdasarkan hasil pemetaan diatas, ada
beberapa pointer yang menjadi rekomendasi
penyelamatan, pemeliharaan dan
pengelolaan sumber mata air jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang,
sebagai berikut:
1. Perencanaan dan pelaksanaan
konservasi area sumber mata air harus
dilakukan secara partisipatif
2. Secara bertahap, harus ada upaya
pembebasan lahan sekitar sumber mata
air yang lokasinya dilahan hak milik
3. Aplikasi dan replikasi Awiq-awiq atau
Perdes serta Puberkades sebagai
resolusi konflik pemanfaatan SD-Air di
satu dan dan antar desa
4. Pemberdayaan masyarakat dan
peningkatan kapasitas kelompok-
kelompok masyarakat sekitar mata air.
5. Kampanye penyadaran lingkungan yang
lebih masif.
6. Optimalisasi peran aparat penegak
hukum dengan melibatkan kelompok
masyarakat Penjaga Hutan (LANG-
LANG)
7. Paska pemetaan, harus disusun rencana
aksi pemeliharaan dan penyelamatan
SD-Air dari tingkat SKPD, Lembaga
sampai Pemerintah Desa serta
Masyarakat umum.
TANTANGAN DAN HAMBATAN
Kegiatan pemetaan ini secara efektif
dimulai sejak akhir bulan April tahun 2015.
Secara keseluruhan berjalan lancar walaupun
terdapat beberapa hambatan dalam proses
pelaksanaannya. Tim pemetaan sangat
terbantu oleh semangat dari masyarakat dan
Pemerintah desa setempat, hanya pada bulan
Juli sampai dengan awal bulan Agustus 2015,
kegiatan harus ditunda karena pada bulan
tersebut masyarakat Lombok Tengah
khususnya warga di 6 desa lokasi pemetaan
yang 99 % beragama muslim, harus
menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan
penuh. Secara kultur dan kebiasaan
masyarakat, pada bulan tersebut masyarakat
cenderung tidak mau beraktifitas, terutama
aktifitas pada siang hari. Selain itu, medan
atau lokasi mata air yang sangat jauh dan
sulit, juga menjadikan kegiatan pemetaan ini
membutuhkan waktu yang cukup lama.
Hasil pemetaan ini diharapkan dapat
menjadi acuan seluruh stakeholder dalam
melaksanakan Pembangun Di Kabupaten
Lombok Tengah. Selanjutnya seluruh
dokumen hasil pemetaan ini diserahkan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Lombok Tengah melalui Kantor Lingkungan
Hidup sebagai laporan kegiatan dan
Pemerintah 6 Desa yang dipetakan sebagai
dokumen dan data desa. (SLPP NTB)
Peta Pemanfaatan Mata Air di Kawasan Batukliang Utara Lombok Tengah - Nusa Tenggara Barat
KABARJKPP
30 KABAR JKPP
31
K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L
diharapkan dapat
menjadi acuan semua
pihak dalam melakukan
perencanaan
pembangunan di
Kabupaten Lombok
Tengah. Pemetaan mata
air ini dilakukan di 6
desa kawasan Utara
Lombok Tengah
(KAULA) yaitu Desa
Aik Berik, Setiling, Aik
Buka, Aik Bual, Karang
Sidemen, dan Lantan.
Sebelum kegiatan
pemetaan dimulai,
SLPP-NTB melakukan
persiapan sosial dengan
membuat pertemuan
kecil dengan
pemerintah desa dan
beberapa tokoh di 6
desa yang akan
dipetakan, pertemuan
ini selain untuk
bersosialisasi juga
untuk mengidentifikasi
para pihak dan
mendapatkan data awal
kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
Setelah persiapan
sosial telah dilaksanakan di semua desa,
tahapan selanjutnya adalah melaksanakan
pertemuan/workshop untuk menentukan tim
kerja dan waktu pemetaan. Setelah tim
terbentuk dan menyepakati waktu pemetaan
sudah disepakati, maka tahapan selanjutnya
adalah survey lapangan sesuai dengan jadwal
yang ada.
Setelah semua data hasil survey lapangan
terkumpul, tim GIS melakukan pengolahan
data menjadi peta digital.
Setelah seluruh data terkompilasi kedalam
peta, tahapan terakhirnya adalah sosialisasi
hasil kegiatan melalui seminar untuk
mendapatkan masukan sekaligus untuk
pengintegrasian peta dan penyerahan peta
kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah
Kabupaten.
Dari hasil pemetaan partisipatif, terdapat
sekitar 90 mata air di 5 Desa Kecamatan
Batukliang Utara dan 1 Desa Kecamatan
Kopang (36 titik mata air berada di kawasan
hutan, 47 titik di lahan hak milik, 7 titik di
lahan milik pemerintah daerah).
Berdasarkan hasil pemetaan diatas, ada
beberapa pointer yang menjadi rekomendasi
penyelamatan, pemeliharaan dan
pengelolaan sumber mata air jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang,
sebagai berikut:
1. Perencanaan dan pelaksanaan
konservasi area sumber mata air harus
dilakukan secara partisipatif
2. Secara bertahap, harus ada upaya
pembebasan lahan sekitar sumber mata
air yang lokasinya dilahan hak milik
3. Aplikasi dan replikasi Awiq-awiq atau
Perdes serta Puberkades sebagai
resolusi konflik pemanfaatan SD-Air di
satu dan dan antar desa
4. Pemberdayaan masyarakat dan
peningkatan kapasitas kelompok-
kelompok masyarakat sekitar mata air.
5. Kampanye penyadaran lingkungan yang
lebih masif.
6. Optimalisasi peran aparat penegak
hukum dengan melibatkan kelompok
masyarakat Penjaga Hutan (LANG-
LANG)
7. Paska pemetaan, harus disusun rencana
aksi pemeliharaan dan penyelamatan
SD-Air dari tingkat SKPD, Lembaga
sampai Pemerintah Desa serta
Masyarakat umum.
TANTANGAN DAN HAMBATAN
Kegiatan pemetaan ini secara efektif
dimulai sejak akhir bulan April tahun 2015.
Secara keseluruhan berjalan lancar walaupun
terdapat beberapa hambatan dalam proses
pelaksanaannya. Tim pemetaan sangat
terbantu oleh semangat dari masyarakat dan
Pemerintah desa setempat, hanya pada bulan
Juli sampai dengan awal bulan Agustus 2015,
kegiatan harus ditunda karena pada bulan
tersebut masyarakat Lombok Tengah
khususnya warga di 6 desa lokasi pemetaan
yang 99 % beragama muslim, harus
menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan
penuh. Secara kultur dan kebiasaan
masyarakat, pada bulan tersebut masyarakat
cenderung tidak mau beraktifitas, terutama
aktifitas pada siang hari. Selain itu, medan
atau lokasi mata air yang sangat jauh dan
sulit, juga menjadikan kegiatan pemetaan ini
membutuhkan waktu yang cukup lama.
Hasil pemetaan ini diharapkan dapat
menjadi acuan seluruh stakeholder dalam
melaksanakan Pembangun Di Kabupaten
Lombok Tengah. Selanjutnya seluruh
dokumen hasil pemetaan ini diserahkan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Lombok Tengah melalui Kantor Lingkungan
Hidup sebagai laporan kegiatan dan
Pemerintah 6 Desa yang dipetakan sebagai
dokumen dan data desa. (SLPP NTB)
Peta Pemanfaatan Mata Air di Kawasan Batukliang Utara Lombok Tengah - Nusa Tenggara Barat
KABARJKPP
32
bertujuan untuk mengubah hutan dan rawa
gambut menjadi persawahan guna
mempertahankan swasembada pangan.
Proyek yang tidak didahului dengan
perencanaan yang baik sesuai dengan
kesesuaian ekologis dan kearifan lokal
masyarakat ditambah lagi dengan krisis
moneter pada tahun 1997-1998, berimplikasi
proyek PLG terhenti. Selanjutnya diterbitkan
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1999
tentang Pedoman Umum Perencanaan dan
Pengelolaan Pengembangan Lahan Gambut
di Kalimantan Tengah untuk pemulihan
kondisi kawasan yang sudah dibuka. Pada
tahun 2007, pemerintah kemudian
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2
Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan
Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Inpres itu meliputi tiga program utama, yaitu
konservasi, budidaya, dan pemberdayaan
masyarakat lokal dan transmigrasi. Dalam
masterplan kawasan seluas 1.462.295 hektar
itu terdiri atas empat zonasi, yaitu zona
kawasan lindung 773.500 hektar, zona
kawasan penyangga budidaya terbatas
353.500 hektar, zona kawasan budidaya
295.500 hektar, dan zona pesisir 40.000
hektar. Jangka waktu Inpres itu berakhir
pada 2011, namun dokumen
masterplan eks PLG yang dibuat
juga belum digunakan secara
sepenuhnya oleh para pihak.
Inisiatif masyarakat dalam
mengelola dan merencanakan
lahan eks PLG di Desa Henda
Di luar hiruk pikuk kebijakan
pengelolaan lahan gambut rezim
lama yang menyisakan dampak negatif
tersebut, tidak menyurutkan upaya
masyarakat untuk menjaga dan memulihkan
hutan dan lahan gambut. Upaya tersebut
diawali dengan membuat pemetaan
partisipatif yang kemudian dilanjutkan
dengan perencanaan tata guna lahan
partisipatif. Salah satunya yang dilakukan di
Desa Henda, Desa Henda Kecamatan Jabiren
Raya Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah menginisiasi perencanaan tata guna
lahan partisipasi. Luas Desa Henda ini yaitu 28.547, 32 Km dan didiami oleh 184 KK
dengan mayoritas penduduknya bersuku
Dayak Ngaju. Dayak Ngaju Desa Henda
tinggal di pinggiran Sungai Kahayan dengan
mata pencaharian sebagai petani karet dan
dan buah serta nelayan tangkap. Masyarakat
Ngaju sejak dahulu memiliki pengetahuan
lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
termasuk dalamnya hutan dan lahan gambut.
Bagi masyarakat Desa Henda, pemetaan
ruang desa memudahkan pengaturan dan
perencanaan pembanguan Desa Henda.
Selain itu, pemetaan partisipatif dapat
menyelesaikan tata batas desa. Berdasarkan
hasil diskusi perencanaan Desa Henda,
mereka akan mengusulkan Hutan Desa yang
KABAR JKPP
33
Pembukaan hutan
dan kanalisasi lahan
gambut
Sejak dibukanya Proyek
Pembangunan Gambut 1
Juta hektar di Kalimanatan
Tengah di Kapuas, Barito
Selatan dan Kota Palangka
Raya pada tahun 1996,
rentetan bencana
kebakaran terus terjadi di
beberapa wilayah kelola
masyarakat yang mendiami
bantaran Sungai Kahayan,
Kapuas dan Sungai Barito.
Dampak langsung terhadap
kegiatan PLG ini adalah
hancurnya wilayah kelola
masyarakat seperti kebun
karet, kebun rotan, kebun buah, saka (anak
sungai), handel dan beje (kolam ikan) karena
tergusur oleh alat berat saat membuat kanal-
kanal pengairan. Secara tidak langsung
kanal-kanal tersebut mengeringkan
permukaan air di rawa gambut serta
mengeringkan tanah gambut yang
mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 1997 dan tahun 1998. Kebakaran
hutan dan lahan masyarakat pada areal eks
PLG ini terus berlanjut pada saat musim
kemarau pada tahun 2003, 2008 dan tahun
2015.
Proyek PLG merupakan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang
Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan
Tengah, di kabupaten Kapuas, Barito Selatan
dan Kota Palangka Raya. PLG ini awalnya
Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat Di Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya,Kabupaten Pulang Pisau
Edy Subahani
K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G
Peta Perencanaan Penggunaan Lahan Desa Henda
KABARJKPP
32
bertujuan untuk mengubah hutan dan rawa
gambut menjadi persawahan guna
mempertahankan swasembada pangan.
Proyek yang tidak didahului dengan
perencanaan yang baik sesuai dengan
kesesuaian ekologis dan kearifan lokal
masyarakat ditambah lagi dengan krisis
moneter pada tahun 1997-1998, berimplikasi
proyek PLG terhenti. Selanjutnya diterbitkan
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1999
tentang Pedoman Umum Perencanaan dan
Pengelolaan Pengembangan Lahan Gambut
di Kalimantan Tengah untuk pemulihan
kondisi kawasan yang sudah dibuka. Pada
tahun 2007, pemerintah kemudian
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2
Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan
Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Inpres itu meliputi tiga program utama, yaitu
konservasi, budidaya, dan pemberdayaan
masyarakat lokal dan transmigrasi. Dalam
masterplan kawasan seluas 1.462.295 hektar
itu terdiri atas empat zonasi, yaitu zona
kawasan lindung 773.500 hektar, zona
kawasan penyangga budidaya terbatas
353.500 hektar, zona kawasan budidaya
295.500 hektar, dan zona pesisir 40.000
hektar. Jangka waktu Inpres itu berakhir
pada 2011, namun dokumen
masterplan eks PLG yang dibuat
juga belum digunakan secara
sepenuhnya oleh para pihak.
Inisiatif masyarakat dalam
mengelola dan merencanakan
lahan eks PLG di Desa Henda
Di luar hiruk pikuk kebijakan
pengelolaan lahan gambut rezim
lama yang menyisakan dampak negatif
tersebut, tidak menyurutkan upaya
masyarakat untuk menjaga dan memulihkan
hutan dan lahan gambut. Upaya tersebut
diawali dengan membuat pemetaan
partisipatif yang kemudian dilanjutkan
dengan perencanaan tata guna lahan
partisipatif. Salah satunya yang dilakukan di
Desa Henda, Desa Henda Kecamatan Jabiren
Raya Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah menginisiasi perencanaan tata guna
lahan partisipasi. Luas Desa Henda ini yaitu 28.547, 32 Km dan didiami oleh 184 KK
dengan mayoritas penduduknya bersuku
Dayak Ngaju. Dayak Ngaju Desa Henda
tinggal di pinggiran Sungai Kahayan dengan
mata pencaharian sebagai petani karet dan
dan buah serta nelayan tangkap. Masyarakat
Ngaju sejak dahulu memiliki pengetahuan
lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
termasuk dalamnya hutan dan lahan gambut.
Bagi masyarakat Desa Henda, pemetaan
ruang desa memudahkan pengaturan dan
perencanaan pembanguan Desa Henda.
Selain itu, pemetaan partisipatif dapat
menyelesaikan tata batas desa. Berdasarkan
hasil diskusi perencanaan Desa Henda,
mereka akan mengusulkan Hutan Desa yang
KABAR JKPP
33
Pembukaan hutan
dan kanalisasi lahan
gambut
Sejak dibukanya Proyek
Pembangunan Gambut 1
Juta hektar di Kalimanatan
Tengah di Kapuas, Barito
Selatan dan Kota Palangka
Raya pada tahun 1996,
rentetan bencana
kebakaran terus terjadi di
beberapa wilayah kelola
masyarakat yang mendiami
bantaran Sungai Kahayan,
Kapuas dan Sungai Barito.
Dampak langsung terhadap
kegiatan PLG ini adalah
hancurnya wilayah kelola
masyarakat seperti kebun
karet, kebun rotan, kebun buah, saka (anak
sungai), handel dan beje (kolam ikan) karena
tergusur oleh alat berat saat membuat kanal-
kanal pengairan. Secara tidak langsung
kanal-kanal tersebut mengeringkan
permukaan air di rawa gambut serta
mengeringkan tanah gambut yang
mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 1997 dan tahun 1998. Kebakaran
hutan dan lahan masyarakat pada areal eks
PLG ini terus berlanjut pada saat musim
kemarau pada tahun 2003, 2008 dan tahun
2015.
Proyek PLG merupakan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang
Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan
Tengah, di kabupaten Kapuas, Barito Selatan
dan Kota Palangka Raya. PLG ini awalnya
Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat Di Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya,Kabupaten Pulang Pisau
Edy Subahani
K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G
Peta Perencanaan Penggunaan Lahan Desa Henda
KABARJKPP
34 KABAR JKPP
35
K A B A R P E T A K A M P U N G
lahan pertanian dan permukiman
10. Sungei ; Sungai atau anak sungai,
Tempat mencari ikan dan prasarana
transportasi tradisonal masyarakat.
11. Petak Uwap ; Terdapat akar-akaran
dan tumbuhan yang berada di atas
sahep (Vegetasi yang dominan
kelakai, gerigit, sapahiring, pawah,
purun, dan galam), berupa gambut
tempat ikan dan ular sawah
(panganen), depung, kura-kura
(kelep).
12. Petak Mahang ; Tanah subur, Daerah
potensial untuk bertani/berkebun
Kesepakatan tata guna lahan tersebut
menjadi referensi semua pihak dalam
melakukan pengelolaan sumber daya serta
pembangunan desa. Dalam pengelolan lahan
gambut, handel dan tabat memiliki peranan
penting. Secara prinsip handel merupakan
sebuah konsep lokal yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar dalam memanfaatkan
gambut sebagai wilayah pertanian kolektif
untuk pemenuhan sumber pangan dan
produksi secara berkelanjutan dan sebagai
jalur transportasi menuju lokasi ke ladang
dan kebun dan untuk mencari ikan. Handil
merupakan bentuk pengelolaan kawasan
yang awalnya adalah sebuah anak sungai
kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang
hingga 3-4 kilometer. Sisi kiri dan kanan
handel dijadikan masyarakat tempat untuk
lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah.
Handel diperkirakan sudah ada sejak tahun
1900-an.
Tabat adalah sebuah
konstruksi bendungan
dengan membuat jajaran
kayu yang dipasang
melintang pada saluran
atau kanal atau serupa
bendungan yang berfungsi
untuk mengurangi arus air.
Bahan kayu yang dibuat
untuk tabat ini
menggunakan kayu yag
mudah didapat disekitar
lahan di desa yaitu jenis
kayu galam atau
belangeran (Shorea
belangeran). Pada bagian
tengah tabat dibuat
spillway atau tumpahan air
yang berfungsi untuk arus air dan sebagai
lalu lintas warga yang melalui saluran atau
handel. Tinggi spillway dari permukaan
tanah antara 30-40 cm. Dalam membangun
tabat ini juga perlu memperhatikan laju arus
air dan kedalaman saluran atau handel.
berada sebelah barat desa yang merupakan
lahan gambut yang rentan terbakar.
Semenjak dibukanya eks PLG pada tahun
1997 di Desa Henda sudah hampir 4-5 kali
terjadi kebakaran hutan. Hal ini berdasarkan
penuturan Kepala Desa Henda Bapak Teguh
pada saat FGD verifikasi peta PLUP pada
tanggal 21 Juli 2016, “Semenjak
dibukanya PLG pada tahun 1997,
setiap kemarau panjang wilayah desa
Henda selalu terbakar dan merembet
ke kebun milik warga. Sangat percuma
kami setiap tahun menanam karet dan
buah apabila selalu terbakar”. Bapak
Teguh berharap dengan adanya pemetaan
perencanaan di desa dengan memasukan
rencana sumur bor dan tabat, dan wilayah
desa Henda akan terhindar dari kebakaran.
Bantuan pemerintah dalam hal ini sangat
penting untuk melakukan pembasahan
lahan-lahan gambut dan rentan terbakar di
wilayah Desa Henda.
Melalui pemetaan dan perencanaan
partisipatif, masyarakat menyepakati
pembagian lahan sebagai berikut :
1. Bahu ; Bekas ladang yang kemudian
ditanam dengan tanaman keras, mis.
rotan, karet, atau buah-buahan lokal
(rambutan, cempedak, paken, durian,
dll), lokasi ladang/pertanian
Holtikultura.
2. Bahu Himba adalah Hutan bekas
garapan, umumnya ditanam dengan
jenis: rotan, rumbia, karet, dan jenis
lain yang bernilai ekonomis tinggi.
3. Kabun Bua adalah Kebun buah-
buahan dan bernilai ekonomis.
4. Saka adalah Anak sungai, tempat
masyarakat desa menangkap ikan
sungai, Anak sungai yang terbentuk
secara alami dengan jarak tidak
panjang.
5. Handel ; Sungai buatan atau terusan,
Akses transportasi air ke tempat
bertani dan berkebun
6. Baruh/Ruak ; Kolam ikan
alamiTempat ikan
berkembang biak
7. Petak Sahep ; Gambut
tipis, sedang dan tebal,
Habitat binatang langka
(trenggiling/ahem)
8. Petak Galam ; Tanah
kritis bekas terbakar, air
masam dan ditumbuhi
galam (galam bernilai
jual tinggi atau
ekonomis), Habitat ikan
khas (papuyu galam),
Petak galam adalah tanah campuran
gambut dan pematang
9. Petak Katam/Rawa ; Daerah pasang
surut dan ditandai dengan binatang
kepiting kecil/Katam dan berada di
pinggir sungai besar (Kahayan dan
Kapuas), bisa dimanfaatkan untuk
K A B A R P E T A K A M P U N G
KABARJKPP
34 KABAR JKPP
35
K A B A R P E T A K A M P U N G
lahan pertanian dan permukiman
10. Sungei ; Sungai atau anak sungai,
Tempat mencari ikan dan prasarana
transportasi tradisonal masyarakat.
11. Petak Uwap ; Terdapat akar-akaran
dan tumbuhan yang berada di atas
sahep (Vegetasi yang dominan
kelakai, gerigit, sapahiring, pawah,
purun, dan galam), berupa gambut
tempat ikan dan ular sawah
(panganen), depung, kura-kura
(kelep).
12. Petak Mahang ; Tanah subur, Daerah
potensial untuk bertani/berkebun
Kesepakatan tata guna lahan tersebut
menjadi referensi semua pihak dalam
melakukan pengelolaan sumber daya serta
pembangunan desa. Dalam pengelolan lahan
gambut, handel dan tabat memiliki peranan
penting. Secara prinsip handel merupakan
sebuah konsep lokal yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar dalam memanfaatkan
gambut sebagai wilayah pertanian kolektif
untuk pemenuhan sumber pangan dan
produksi secara berkelanjutan dan sebagai
jalur transportasi menuju lokasi ke ladang
dan kebun dan untuk mencari ikan. Handil
merupakan bentuk pengelolaan kawasan
yang awalnya adalah sebuah anak sungai
kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang
hingga 3-4 kilometer. Sisi kiri dan kanan
handel dijadikan masyarakat tempat untuk
lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah.
Handel diperkirakan sudah ada sejak tahun
1900-an.
Tabat adalah sebuah
konstruksi bendungan
dengan membuat jajaran
kayu yang dipasang
melintang pada saluran
atau kanal atau serupa
bendungan yang berfungsi
untuk mengurangi arus air.
Bahan kayu yang dibuat
untuk tabat ini
menggunakan kayu yag
mudah didapat disekitar
lahan di desa yaitu jenis
kayu galam atau
belangeran (Shorea
belangeran). Pada bagian
tengah tabat dibuat
spillway atau tumpahan air
yang berfungsi untuk arus air dan sebagai
lalu lintas warga yang melalui saluran atau
handel. Tinggi spillway dari permukaan
tanah antara 30-40 cm. Dalam membangun
tabat ini juga perlu memperhatikan laju arus
air dan kedalaman saluran atau handel.
berada sebelah barat desa yang merupakan
lahan gambut yang rentan terbakar.
Semenjak dibukanya eks PLG pada tahun
1997 di Desa Henda sudah hampir 4-5 kali
terjadi kebakaran hutan. Hal ini berdasarkan
penuturan Kepala Desa Henda Bapak Teguh
pada saat FGD verifikasi peta PLUP pada
tanggal 21 Juli 2016, “Semenjak
dibukanya PLG pada tahun 1997,
setiap kemarau panjang wilayah desa
Henda selalu terbakar dan merembet
ke kebun milik warga. Sangat percuma
kami setiap tahun menanam karet dan
buah apabila selalu terbakar”. Bapak
Teguh berharap dengan adanya pemetaan
perencanaan di desa dengan memasukan
rencana sumur bor dan tabat, dan wilayah
desa Henda akan terhindar dari kebakaran.
Bantuan pemerintah dalam hal ini sangat
penting untuk melakukan pembasahan
lahan-lahan gambut dan rentan terbakar di
wilayah Desa Henda.
Melalui pemetaan dan perencanaan
partisipatif, masyarakat menyepakati
pembagian lahan sebagai berikut :
1. Bahu ; Bekas ladang yang kemudian
ditanam dengan tanaman keras, mis.
rotan, karet, atau buah-buahan lokal
(rambutan, cempedak, paken, durian,
dll), lokasi ladang/pertanian
Holtikultura.
2. Bahu Himba adalah Hutan bekas
garapan, umumnya ditanam dengan
jenis: rotan, rumbia, karet, dan jenis
lain yang bernilai ekonomis tinggi.
3. Kabun Bua adalah Kebun buah-
buahan dan bernilai ekonomis.
4. Saka adalah Anak sungai, tempat
masyarakat desa menangkap ikan
sungai, Anak sungai yang terbentuk
secara alami dengan jarak tidak
panjang.
5. Handel ; Sungai buatan atau terusan,
Akses transportasi air ke tempat
bertani dan berkebun
6. Baruh/Ruak ; Kolam ikan
alamiTempat ikan
berkembang biak
7. Petak Sahep ; Gambut
tipis, sedang dan tebal,
Habitat binatang langka
(trenggiling/ahem)
8. Petak Galam ; Tanah
kritis bekas terbakar, air
masam dan ditumbuhi
galam (galam bernilai
jual tinggi atau
ekonomis), Habitat ikan
khas (papuyu galam),
Petak galam adalah tanah campuran
gambut dan pematang
9. Petak Katam/Rawa ; Daerah pasang
surut dan ditandai dengan binatang
kepiting kecil/Katam dan berada di
pinggir sungai besar (Kahayan dan
Kapuas), bisa dimanfaatkan untuk
K A B A R P E T A K A M P U N G
KABARJKPP
36
Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria
(KPA), Saudara Iwan Nurdin, yang ditemui oleh tim Kabar JKPP
dalam wawancara terkait dengan redistribusi lahan Badega,
menyatakan beberapa poin penting dan concern KPA diantaranya :
“Badega itu adalah tanah yang telah lama dinanti-nanti masyarakat
untuk diredistribusikan kepada rakyat”. Badega merupakan salah
satu konflik tanah yang melegenda karena sudah mulai sejak tahun
1980an, yang saat itu sempat mendorong protes mahasiswa
Bandung dengan melakukan long march Bandung – Garut. Long
march dilakukan dalam rangka mendukung 13 tokoh Petani yang dipenjarakan karena dituduh
melakukan penyerebotan tanah perkebunan tanpa ijin dan memaksa pemerintah saat itu untuk
menyelesaikan konflik. Sejak saat itu, HGU PT. SAM itu tidak pernah bisa terbit tetapi juga tidak
pernah diredistribusikan secara legal kepada masyarakat, tetapi masyarakat terus mengelola
lahannya.
Khususnya di Badega redistribusi lahan yang dilakukan memang program yang ditunggu oleh
masyarakat Badega, tapi pertanyaan selanjutnya apakah sudah cukup? redistribusi tanah Badega
itu seharusnya menjadi jalan bagi redistribusi yang lebih luas bagi tanah sengketa lainnya di
Indonesia. Catatan kritis bagi redistribusi lahan di Badega, secara luasan masih belum proporsional
bagi RT petani. Satu RT petani hanya mendapatkan sekitar ¼ Ha saja, sementara untuk skala
ekonomi seharusnya 1.5 hingga 2 Ha. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah harus mendorong
objek-objek reforma agraria yang lebih luas sehingga redistribusi tanah itu bisa sesuai dengan
kebutuhan dalam upaya penyelesaian konflik dan peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu,
redistribusi lahan juga harus disertai dengan program pendukung pertanian bagi petani.
RA seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah?
RA yang harus dijalankan pemerintah itu sebenarnya sudah tertuang di Undang-Undang Pokok
Agraria dan di TAP MPR No.9 Tahun 2001, oleh karenanya mandat KPA jelas yaitu sesuai dengan
amanat konstitusi Undang-Undang Pokok Agraria dan TAP MPR No.9 Tahun 2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Reforma Agraria harus bisa menjawab
1) mengakhiri ketimpangan, kepemilikan, pengusahaan dan penguasaan sumber-sumber agraria
KABAR JKPP
37
K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G
Sejarah panjang mengiringi konflik dan
sengketa tanah eks Hak Guna Usaha (HGU)
perkebunan teh antara petani Badega dengan
PT. Surya Andaka Mustika (SAM) seluas
422,3065 hektar di Kecamatan Cikajang dan
Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut.
Sejak diberikannya izin HGU kepada PT
SAM pada tahun 1986, petani Badega
menerima intimidasi, kekerasan bahkan
kriminalisasi oleh aparat yang menyebabkan
13 tokoh petani Badega dipenjara karena
dituduh melakukan penyerebotan tanah
perkebunan tanpa ijin.
Selama kurang lebih 33 tahun petani
Badega menguasai lahan perkebunan secara
sporadik yang kemudian pada akhirnya
mendapatkan jawaban kepastian hak atas
tanah dari Pemerintah di era Jokowi.
Tepatnya pada bulan Januari 2016 melalui
Surat Kementerian ATR terkait Penetapan
No. 319/020/I/2016 yang menyatakan
bahwa tanah eks HGU PT. SAM di
Kabupaten Garut menjadi tanah negara,
yang kemudian ditindaklanjuti dengan
rencana redistribusi tanah untuk petani
Badega.
Menindaklanjuti surat penetapan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang, pada awal bulan Februari 2016
dilakukan pertemuan di Kantor Pertanahan
(KANTAH) Kabupaten Garut yang dihadiri
oleh Dirjen Penataan Agraria, Kepala
KANTAH Kabupaten Garut, perwakilan KPA
dan perwakilan beberapa petani Badega
untuk menyusun rencana kegiatan
redistribusi tanah eks HGU PT. SAM kepada
petani. Hasilnya disepakati untuk
membentuk kepanitiaan redistribusi tanah
yang terdiri dari perwakilan petani dan
berbagai multi pihak di Kabupaten Garut
dengan target waktu efektif bekerja selama 2
bulan. Berangkat dari kesepakatan tersebut,
konsolidasi tanah yang sudah dikuasai dan
dikelola oleh petani Badega diserahkan
sepenuhnya kepada para petani dengan
membentuk panitia yang bertugas
melakukan pendataan objek dan subjek
calon penerima manfaat redistribusi tanah di
lapangan, yang kemudian disepakati
dilakukan melalui pemetaan partisipatif.
Cerita Redistribusi Tanah Badega - GarutPemetaan Partisipatif dan Reforma Agraria
Sofyan Ubaidi AnomAnggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Jawa Timur
Menagih Janji RA Jokowi.
KABARJKPP
36
Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria
(KPA), Saudara Iwan Nurdin, yang ditemui oleh tim Kabar JKPP
dalam wawancara terkait dengan redistribusi lahan Badega,
menyatakan beberapa poin penting dan concern KPA diantaranya :
“Badega itu adalah tanah yang telah lama dinanti-nanti masyarakat
untuk diredistribusikan kepada rakyat”. Badega merupakan salah
satu konflik tanah yang melegenda karena sudah mulai sejak tahun
1980an, yang saat itu sempat mendorong protes mahasiswa
Bandung dengan melakukan long march Bandung – Garut. Long
march dilakukan dalam rangka mendukung 13 tokoh Petani yang dipenjarakan karena dituduh
melakukan penyerebotan tanah perkebunan tanpa ijin dan memaksa pemerintah saat itu untuk
menyelesaikan konflik. Sejak saat itu, HGU PT. SAM itu tidak pernah bisa terbit tetapi juga tidak
pernah diredistribusikan secara legal kepada masyarakat, tetapi masyarakat terus mengelola
lahannya.
Khususnya di Badega redistribusi lahan yang dilakukan memang program yang ditunggu oleh
masyarakat Badega, tapi pertanyaan selanjutnya apakah sudah cukup? redistribusi tanah Badega
itu seharusnya menjadi jalan bagi redistribusi yang lebih luas bagi tanah sengketa lainnya di
Indonesia. Catatan kritis bagi redistribusi lahan di Badega, secara luasan masih belum proporsional
bagi RT petani. Satu RT petani hanya mendapatkan sekitar ¼ Ha saja, sementara untuk skala
ekonomi seharusnya 1.5 hingga 2 Ha. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah harus mendorong
objek-objek reforma agraria yang lebih luas sehingga redistribusi tanah itu bisa sesuai dengan
kebutuhan dalam upaya penyelesaian konflik dan peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu,
redistribusi lahan juga harus disertai dengan program pendukung pertanian bagi petani.
RA seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah?
RA yang harus dijalankan pemerintah itu sebenarnya sudah tertuang di Undang-Undang Pokok
Agraria dan di TAP MPR No.9 Tahun 2001, oleh karenanya mandat KPA jelas yaitu sesuai dengan
amanat konstitusi Undang-Undang Pokok Agraria dan TAP MPR No.9 Tahun 2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Reforma Agraria harus bisa menjawab
1) mengakhiri ketimpangan, kepemilikan, pengusahaan dan penguasaan sumber-sumber agraria
KABAR JKPP
37
K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G
Sejarah panjang mengiringi konflik dan
sengketa tanah eks Hak Guna Usaha (HGU)
perkebunan teh antara petani Badega dengan
PT. Surya Andaka Mustika (SAM) seluas
422,3065 hektar di Kecamatan Cikajang dan
Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut.
Sejak diberikannya izin HGU kepada PT
SAM pada tahun 1986, petani Badega
menerima intimidasi, kekerasan bahkan
kriminalisasi oleh aparat yang menyebabkan
13 tokoh petani Badega dipenjara karena
dituduh melakukan penyerebotan tanah
perkebunan tanpa ijin.
Selama kurang lebih 33 tahun petani
Badega menguasai lahan perkebunan secara
sporadik yang kemudian pada akhirnya
mendapatkan jawaban kepastian hak atas
tanah dari Pemerintah di era Jokowi.
Tepatnya pada bulan Januari 2016 melalui
Surat Kementerian ATR terkait Penetapan
No. 319/020/I/2016 yang menyatakan
bahwa tanah eks HGU PT. SAM di
Kabupaten Garut menjadi tanah negara,
yang kemudian ditindaklanjuti dengan
rencana redistribusi tanah untuk petani
Badega.
Menindaklanjuti surat penetapan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang, pada awal bulan Februari 2016
dilakukan pertemuan di Kantor Pertanahan
(KANTAH) Kabupaten Garut yang dihadiri
oleh Dirjen Penataan Agraria, Kepala
KANTAH Kabupaten Garut, perwakilan KPA
dan perwakilan beberapa petani Badega
untuk menyusun rencana kegiatan
redistribusi tanah eks HGU PT. SAM kepada
petani. Hasilnya disepakati untuk
membentuk kepanitiaan redistribusi tanah
yang terdiri dari perwakilan petani dan
berbagai multi pihak di Kabupaten Garut
dengan target waktu efektif bekerja selama 2
bulan. Berangkat dari kesepakatan tersebut,
konsolidasi tanah yang sudah dikuasai dan
dikelola oleh petani Badega diserahkan
sepenuhnya kepada para petani dengan
membentuk panitia yang bertugas
melakukan pendataan objek dan subjek
calon penerima manfaat redistribusi tanah di
lapangan, yang kemudian disepakati
dilakukan melalui pemetaan partisipatif.
Cerita Redistribusi Tanah Badega - GarutPemetaan Partisipatif dan Reforma Agraria
Sofyan Ubaidi AnomAnggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Jawa Timur
Menagih Janji RA Jokowi.
KABARJKPP
38 KABAR JKPP
39
K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G
khususnya tanah; 2) menyelesaikan beragam konflik agrarian; 3) RA harus menumbuhkan
produktivitas ekonomi masyarakat hingga muncul kesejahteraan yang berkelanjutan, dalam
memastikan tujuan tersebut tercapai maka reforma agraria itu harus dijalankan oleh sebuah
badan yang sifatnya langsung bertanggung jawab kepada presiden. Program utama dari
reforma agraria yaitu memotong kelebihan tanah yang dikuasai oleh para
pengusaha skala besar, tuan tanah sekala besar dan seterusnya, lalu memperluas
kepemlikan yang dimiliki oleh petani gurem dan membuat rakyat tidak bertanah
punya tanah-tanah pertanian yang produktif.
Apa strategi kedepan yang dilakukan oleh KPA dalam memastikan RA berjalan dan
mendorong pemerintah menyelesaikan konflik agraria di Indonesia?
Strategi pertama dilakukan dengan memperkuat organisasi-organisasi rakyat, organisasi-
organisasi yang mendukung gerakan agar memahami dan terus memperjuangkan reforma
agraria. Strategi yang kedua yaitu dengan membuat peluang-peluang kebijakan yang pro atau
mendukung reforma agraria dan mencegah kebijkan-kebijakan yang kontra dengan reforma
agraria. Oleh karenanya penting memperluas kampanye dan gagasan reforma agraria kepada
jaringan yang lebih luas. KPA akan terus mendorong dibentuknya badan pelaksana reforma
agraria langsung dibawah presiden yang mampu mengorganiskan kelembagan-kelembagaan dan
mempunyai wewenang penuh menjalankan reforma agraria.
Dan terkait pemetaan partisipatif, pemetaan partisisipatif merupakan gerakan yang
mengembalikan kedaulatan masyarakat atas tanah dan fungsi-fungsi atas tanah tersebut dalam
perspektif keadilan ruang. Sehingga pemetaan partisipatif menjadi bagian penting dari gerakan
reforma agraria untuk memastikan proses tata kuasa, tata guna dan tata kelola sesuai prinsip-
prinsip RA. Peta menjadi penting dalam memastikan dan membuktikan wilayah kelola petani.
Harapan terbesar saya bagi Presiden Jokowi adalah menepati janji untuk menjalankan
nawacitanya.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang
memberikan kebijakan keleluasaan untuk
melakukan Pemetaan Partisipatif dalam
kerangka upaya penyelesaian konflik tanah
Badega. Redistribusi tanah mensyaratkan
prinsip clean and clear agar tidak
menimbulkan konflik kembali, dan pemetaan
partisipatif merupakan alat untuk
memastikan clean and clear tersebut.
Pada akhir bulan Februari sampai dengan
akhir bulan Maret 2016 tim dari petani
Badega dengan melibatkan perwakilan
KANTAH Kabupaten Garut mulai bekerja di
lapangan dengan melakukan Pemetaan
Partisipatif. Pemetaan Partisipatif yang
dilakukan untuk memastikan tata guna lahan
yang sudah dikelola oleh Petani selama 33
tahun terdistribusi secara adil sesuai dengan
kondisi sosial dan kesesuaian lahannya.
Dari hasil Pemetaan Partisipatif yang telah
dilakukan oleh tim dari petani Badega dan
perwakilan KANTAH Kabupaten Garut,
diketahui luas total tanah eks HGU PT. SAM
adalah ±470 hektar, dari luasan total tersebut
tanah yang diredistribusi untuk petani
Badega seluas ±385 hektar yang dibagikan
kepada ±900 rumah tangga
Petani dalam bentuk Sertifikat
Hak Milik sebanyak 1.245
bidang, tanah yang akan
diperbarui ijin HGU untuk PT.
SAM seluas ±38,36 hektar,
untuk tanah kolektif atas
nama hak pakai Pemda
Kabupaten Garut seluas
±12,30 hektar untuk kebun
pembibitan dan percontohan
tanaman kopi, tanah kolektif
atas nama hak pakai
Kementerian Agraria dan Tata
Ruang seluas ±24,50 hektar untuk
pangangonan, serta tanah untuk jalan poros
desa sepanjang ±3 KM dengan luas ±10
hektar. Adapun luasan tanah yang
diredistribusi kepada petani Badega berupa
Sertifikat Hak Milik untuk masing-masing 2rumah tangga petani seluas ±3000 M sampai
2dengan ±15.000 M yang digunakan untuk
pemukiman dan lahan pertanian.
Dokumentasi KPA di Badega
K A B A R U K U R - u K U R
Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House
Training GISIn House Traning GIS Dasar
Bagi Fasilitator Pemetaan Sulawesi
Tengah
Rabu, 1 April 2016 bertempat di Kantor
YMP (Yayasan Merah Putih) Palu, Sulawesi
Tengah terselenggara In House Training GIS
dasar bagi para fasilitator pemetaan
partisipatif dan kader penggiat pemetaan
partisipatif muda, yang diinisiasi oleh SLPP
Sulteng dan Seknas JKPP.
Peningkatan kapasitas teknis bagi
partisipan SLPP Sulteng merupakan salah
satu mandat untuk mendukung agenda
perluasan wilayah kelola masyarakat dan
percepatan pengakuan wilayah adat. Oleh
karenanya, berdasarkan jajak kebutuhan
partisipan SLPP Sulteng dipandang perlu
untuk melakukan pelatihan teknis terkait
Sistem Informasi Geografis (GIS). Pelatihan
KABARJKPP
38 KABAR JKPP
39
K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G
khususnya tanah; 2) menyelesaikan beragam konflik agrarian; 3) RA harus menumbuhkan
produktivitas ekonomi masyarakat hingga muncul kesejahteraan yang berkelanjutan, dalam
memastikan tujuan tersebut tercapai maka reforma agraria itu harus dijalankan oleh sebuah
badan yang sifatnya langsung bertanggung jawab kepada presiden. Program utama dari
reforma agraria yaitu memotong kelebihan tanah yang dikuasai oleh para
pengusaha skala besar, tuan tanah sekala besar dan seterusnya, lalu memperluas
kepemlikan yang dimiliki oleh petani gurem dan membuat rakyat tidak bertanah
punya tanah-tanah pertanian yang produktif.
Apa strategi kedepan yang dilakukan oleh KPA dalam memastikan RA berjalan dan
mendorong pemerintah menyelesaikan konflik agraria di Indonesia?
Strategi pertama dilakukan dengan memperkuat organisasi-organisasi rakyat, organisasi-
organisasi yang mendukung gerakan agar memahami dan terus memperjuangkan reforma
agraria. Strategi yang kedua yaitu dengan membuat peluang-peluang kebijakan yang pro atau
mendukung reforma agraria dan mencegah kebijkan-kebijakan yang kontra dengan reforma
agraria. Oleh karenanya penting memperluas kampanye dan gagasan reforma agraria kepada
jaringan yang lebih luas. KPA akan terus mendorong dibentuknya badan pelaksana reforma
agraria langsung dibawah presiden yang mampu mengorganiskan kelembagan-kelembagaan dan
mempunyai wewenang penuh menjalankan reforma agraria.
Dan terkait pemetaan partisipatif, pemetaan partisisipatif merupakan gerakan yang
mengembalikan kedaulatan masyarakat atas tanah dan fungsi-fungsi atas tanah tersebut dalam
perspektif keadilan ruang. Sehingga pemetaan partisipatif menjadi bagian penting dari gerakan
reforma agraria untuk memastikan proses tata kuasa, tata guna dan tata kelola sesuai prinsip-
prinsip RA. Peta menjadi penting dalam memastikan dan membuktikan wilayah kelola petani.
Harapan terbesar saya bagi Presiden Jokowi adalah menepati janji untuk menjalankan
nawacitanya.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang
memberikan kebijakan keleluasaan untuk
melakukan Pemetaan Partisipatif dalam
kerangka upaya penyelesaian konflik tanah
Badega. Redistribusi tanah mensyaratkan
prinsip clean and clear agar tidak
menimbulkan konflik kembali, dan pemetaan
partisipatif merupakan alat untuk
memastikan clean and clear tersebut.
Pada akhir bulan Februari sampai dengan
akhir bulan Maret 2016 tim dari petani
Badega dengan melibatkan perwakilan
KANTAH Kabupaten Garut mulai bekerja di
lapangan dengan melakukan Pemetaan
Partisipatif. Pemetaan Partisipatif yang
dilakukan untuk memastikan tata guna lahan
yang sudah dikelola oleh Petani selama 33
tahun terdistribusi secara adil sesuai dengan
kondisi sosial dan kesesuaian lahannya.
Dari hasil Pemetaan Partisipatif yang telah
dilakukan oleh tim dari petani Badega dan
perwakilan KANTAH Kabupaten Garut,
diketahui luas total tanah eks HGU PT. SAM
adalah ±470 hektar, dari luasan total tersebut
tanah yang diredistribusi untuk petani
Badega seluas ±385 hektar yang dibagikan
kepada ±900 rumah tangga
Petani dalam bentuk Sertifikat
Hak Milik sebanyak 1.245
bidang, tanah yang akan
diperbarui ijin HGU untuk PT.
SAM seluas ±38,36 hektar,
untuk tanah kolektif atas
nama hak pakai Pemda
Kabupaten Garut seluas
±12,30 hektar untuk kebun
pembibitan dan percontohan
tanaman kopi, tanah kolektif
atas nama hak pakai
Kementerian Agraria dan Tata
Ruang seluas ±24,50 hektar untuk
pangangonan, serta tanah untuk jalan poros
desa sepanjang ±3 KM dengan luas ±10
hektar. Adapun luasan tanah yang
diredistribusi kepada petani Badega berupa
Sertifikat Hak Milik untuk masing-masing 2rumah tangga petani seluas ±3000 M sampai
2dengan ±15.000 M yang digunakan untuk
pemukiman dan lahan pertanian.
Dokumentasi KPA di Badega
K A B A R U K U R - u K U R
Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House
Training GISIn House Traning GIS Dasar
Bagi Fasilitator Pemetaan Sulawesi
Tengah
Rabu, 1 April 2016 bertempat di Kantor
YMP (Yayasan Merah Putih) Palu, Sulawesi
Tengah terselenggara In House Training GIS
dasar bagi para fasilitator pemetaan
partisipatif dan kader penggiat pemetaan
partisipatif muda, yang diinisiasi oleh SLPP
Sulteng dan Seknas JKPP.
Peningkatan kapasitas teknis bagi
partisipan SLPP Sulteng merupakan salah
satu mandat untuk mendukung agenda
perluasan wilayah kelola masyarakat dan
percepatan pengakuan wilayah adat. Oleh
karenanya, berdasarkan jajak kebutuhan
partisipan SLPP Sulteng dipandang perlu
untuk melakukan pelatihan teknis terkait
Sistem Informasi Geografis (GIS). Pelatihan
KABAR JKPP
41
K A B A R P E T A K A M P U N G
ini dikemas dalam bentuk in house training,
lokasi pelatihan yang bergantian diantara
lembaga peserta. Peserta dalam In House
Training terdiri dari perwakilan dari YMP
(Yayasan Merah Putih), YPR, Yayasan
Bonebula Donggala, WALHI Sulteng, Mapala
Lalimpala Universitas Tadulako, Siti Zulaika
REMAPPALA, ROA, YTM.
In house training yang dilaksanakan
selama lima hari fokus pada Sistem
Informasi Geografis (SIG) atau
Geographic Information System (GIS)
tingkat dasar diantaranya Pengenalan,
instalasi dan penggunaan software GIS
dengan subsistem gis seperti memasukkan,
menyimpan, memanggil kembali, mengolah
menganalisis dan menghasilkan data
bereferensi geografi atau data
geospatial, untuk mendukung kerja-
kerja pemetaan sebagai bahan untuk
pengambilan keputusan, perencanaan
dan pengolahan penggunaan lahan,
sumber daya alam dan lainnya.
Selain meningkatkan kapasitas
para penggiat muda pemetaan
partisipatif, in house training yang
dilaksanakan bertujuan untuk
membuka jejaring yang lebih luas
khususnya bagi generasi muda
penggiat pemetaan partisipatif.
Hal ini menjadi penting bagi
sebuah gerakan dalam
memastikan konsolidasi yang kuat
diantara penggiat.
Para peserta bersepakat untuk
melanjutkan forum belajar kepada
jaringan SLPP yang lebih luas,
khususnya untuk menyebarluaskan metode
pemetaan partisipatif dan analisis spasial
GIS. Hari terakhir para peserta belajar
menyepakati rencana belajar selanjutnya,
dengan lokasi bergilir diantara lembaga.
Harapan kedepan agar peserta bisa terus
belajar GIS dan mengembangkan
kapasitasnya sehingga bermanfaat dan
membagi ilmunya. Pesan khusus dari
Koordinator SLPP Sulteng jika peserta sudah
mahir dalam menggunakan GIS, ilmunya
jangan dimanfaatkan untuk kepentingan
korporasi yang destruktif dan melanggar
HAM, tapi harus dimanfaatkan untuk
kebutuhan rakyat.
Dokumentasi SLPP Sulteng
top related