isi
Post on 01-Dec-2015
55 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium
mata. Prediksi: mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson tersebut disebabkan
oleh beberapa mikroorganisme virus dan lain-lain Syndrom ini jarang dijumpai pada
usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada
yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, melaise, nyeri
kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven johnson ditemukan oleh
dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992 syndrom steven johnson
yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per
1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada
mulanya, diikuti dengan bengkakdan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu,
bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada
mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti bula pada kulit.
Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS serta lapus
angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus syndrom steven johnson karena
syndrom steven johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian dari Steven Jhonson?
b. Apakah etiologi dari Steven Jhonson?
c. Apakah patofisiologi dari Steven Jhonson?
d. Apa saja data penunjang dari Steven Jhonson?
e. Jelaskan konsep dasar asuhan keperawatan dari Steven Jhonson?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III.
b. Untuk mengetahui pengertian dari Steven Jhonson.
c. Untuk mengetahui etiologi dari Steven Jhonson.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dari Steven Jhonson.
1
e. Untuk mengetahui data penunjang dari Steven Jhonson.
f.Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan dari Steven Jhonson.
g. Mahasiswa dapat mengaplikasikan proses asuhan keperawatan Steven Johnson
yang meliputi pengkajian, perumusan diagnosa, intervensi, implementasi dan
evaluasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. (Djuanda, 2008:
163)
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A, 2000:
136)
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat
dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
Penisilline dan semisentetiknya
Sthreptomicine
Sulfonamida
Tetrasiklin
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol)
Klorpromazin
Karbamazepin
Tegretol
Jamu
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5. Makanan
(Djuanda, 2008: 163).
3
C. Manifestasi Klinik
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita
dapat mulai dari berespons sampai koma. Mulanya dari penyakit akut dapat disertai
gejala prodormal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
2. Kelaimam selaput lender di orifisium
3. Kelainan mata
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eriema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan selaput lender di orifisium
Kelainan diselaput lendir yang sering ditemukan pada mukosa mulut, kemudian
genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membrane.
Dibibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosilitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
(Djuanda, 2008: 163)
D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif
tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali
4
dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Djuanda, 2000: 147) .
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada
beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen
dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat
terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000:
72).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E. Data Penunjang
Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal
dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : Dijumpai deposit IgM (Imuno Globulin M) dan C3 di pembuluh
darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG,
IgM, IgA.
(Djuanda, 2008: 164)
F. Komplikasi
Komplikasi yang tersering adalah bronco pneumonia, sedangkan komplikasi lain
yang sering terjadi adalah kehilangan cairan/darah, gangguan elektrolit dan syok. Pada
mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. (Djuanda, 2008: 164)
5
G. Diagnosa Banding
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.
Ada 3 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson:
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan
NET. SSJ dengan bula lebih dari 30% disebut NET.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi
kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa
terkena. (Siregar, R.S. 2004: 142)
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan
yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila
diangkat timbul perdarahan (Wijana, N. 1993: 40). Sebagai diagnosis banding
kialah Nekrolisis Epidermal Toksik (NET). Penyakit ini sangat mirip dengan
sindrom Sindrom Steven Johnson. Pada NET terdapat epidermolisis yang
menyeluruh yang tidak terdapat pada sindrom Steven Johnson. Perbedaan lain
biasanya keadaan umum pada NET lebih buruk.
H. Penatalaksanaan
1. Kortiosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat
harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa
krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan
dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K,
Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
6
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis
25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama
pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas
dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.
4. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di
kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
(Djuanda, 2008: 165)
7
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien, meliputi: nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan,
alamat, agama, pendidikan terakhir, alamat.
2. Keluhan utama: rasa sakit, perubahan warna kulit, gatal-gatal, demam,
bengkak/edema, keterbatasan aktivitas.
3. Riwayat kesehatan sekarang:
Keluhan saat didata: rasa sakit, gatal-gatal, demam, perubahan warna kulit,
keterbatasan aktivitas
Riwayat masuk rumah sakit: sejak kapan masuk rumah sakit, awal kejadian
(apa penyebabnya; bagaimana kejadiannya; mengapa terjadi),dimana tempat
kejadian pertama muncul (berpencar, berkelompok), lamanya (berulang-
ulang, selang-seling, musiman), faktor predisposisi (lingkungan, pekerjaan,
geografis), aktifitas sekarang (normal, dibatasi, berubah), terapi yang
sekarang dan yang lalu serta efeknya.
4. Riwayat kesehatan dahulu:
Riwayat lesi akibat terpapar sinar matahari
Sering terpapar sinar matahari, menggunakan pelindung atau tidak
Riwayat penggunaan obat-obatan sistemik/topikal
Riwayat terkena penyakit infeksi
5. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah riwayat penyakit yang sama dengan klien
Apakah punya riwayat penyakit alergi yang lain
Apakah pernah mengalami penyakit kulit yang serius atau tidak
Riwayat penyakit lain yang berat
6. Aktivitas sehari-hari:
Makan dan Minum
Eliminasi: BAK dan BAB
Personal Hygiene
7. Keadaan umum: tingkat kesadaran, TTV.
8
8. Pemeriksaan fisik per sistem, meliputi:
Sisrem pencernaan: Penurunan berat badan akibat dari susah menelan
karena adanya bula pada batang tenggorokkan. Sehingga asupan nutrisi
kurang dari kebutuhan dan dehidrasi.
Sistem musculoskeletal: Nyeri pada jaringan lunak membuat erosi jaringan
sehingga berkurangnya sistem pergerakan yang membuat pasien bedrest.
Sistem integument: eritema, vesikel dan bula pada kulit merupakan
manifestasi dari sindrom steven Johnson. Bercak kemerahan yang terdapat
pada bagian seluruh kulit, terutama mulut pada bibir dan seluruh bagian
kulit tubuh.
9. Pemeriksaan penunjang.
Laboraorium: Leukosit atau esosinefilia
Histopatologi: Infiltrat sel mononuclear, oedema, dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
Imunologi: Deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
2. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake
tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de
antree pada lesi.
4. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum.
6. Gangguan gambaran diri (citra diri) berhubungan dengan struktur kulit, perubahan
peran keluarga.
7. Kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit, penurunan kesembuhan.
(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 123)
C. Intervensi
1. DP: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi
lokal.
Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal.
9
Kriteria hasil: Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi berkurang.
Intervensi Rasional
1. Kaji kerusakan jaringan kulit yang
terjadi pada klien.
1. Menjadi data dasar untuk
memberikan informasi intervensi
yang akan yang akan digunakan.
2. Lakukan tindakan peningkatan
integritas jaringan.
2. Perawatan kulit merupakan
penatalaksanaan keperawatan yang
paling penting. Jika diperlukan
berikan kompres hangat, tetapi harus
dilaksanakan dengan hati-hati sekali
pada daerah yang erosif atau
terkelupas. Lesi oral yang nyeri akan
membuat higiene oral dipelihara.
3. Gunakan pakaian yang tipis serta alat
tenun yang bersih dan lembut.
3. Menurunkan iritasi garis jahitan dan
tekanan dari baju dan mencegah
infeksi.
4. Lakukan oral higiene 4. Tindakan oral higiene perlu
dilakukan untuk menjaga agar mulut
selalu bersih. Obat kumur larutan
anastesi agen genital violet dapat
digunakan dengan sering untuk
membersihkan mulut dan debris,
mengurangi rasa nyeri pada daerah
ulserasi dan mengendalikan bau
mulut yang amis. Rongga mulut
harus diinspeksi beberapa kali sehari,
dan setiap perubahan harus dicatat
serta dilaporkan. Vaselin (atau salep
yang diresepkan dokter) juga dapat
dioleskan pada bibir.
5. Tingkatkan asupan nutrisi 5. Diet TKTP diperlukan untuk
meningkatkan asupan dari kebutuhan
pertumbuhan jaringan
6. Evaluasi kerusakan jaringan dan
perkembangan pertumbuhan jaringan
6. Apabila masih belum mencapai dan
Kriteria hasil 5 x 24 jam, maka perlu
10
dikaji ulang faktor-faktor penghambat
pertumbuhan dan perbaikan dari lesi
7. Lakukan intervensi untuk mencegah
komplikasi.
7. Perawatan di tempat khusus untuk
mencegah infeksi. Monitor dan
evaluasi adanya tanda dan gejala
komplikasi. Pemantauan yang ketat
terhadap tanda-tanda vital dan
pencatatan setiap perubahan yang
serius pada fungsi respiratorius, renal
atau gastrointetinal dapat mendeteksi
dengan cepat di mulainya suatu
infeksi.
8. Libatkan keluarga 8. Keluarga adalah orang yang selalu
berada di dekat pasien selama 24 jam.
9. Kolaborasi untuk pemberian
kortikosteroid
9. Kolaborasi pemberian glukokortikoid
misalnya methil prednisolon 80 – 120
mg per oral (1.5 – 0,2 mg/KgBB/hari)
10. Kolaborasi pemberian obat topical 10. Obat topical dapat meningkatkan
kesembuhan kulit yang rusak.
11. Kolaborasi pemberian obat
antihistamin
11. Obat antihistamin dapat menurunkan
respon alergi terutama dapat
mengurangi rasa gatal.
(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 124)
2. DP: Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
intake tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
Tujuan: Setelah perawatn asupan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat.
- Penyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
- Penurunan berat badan selama 5 x 24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit,
berat badan dan derajat penurunan
berat badan, integritas mukosa oral,
1. Memvalidasi dan menetapkan derajat
masalah untuk menetapkan pilihan
11
kemampuan menelan, serta riwayat
mual/muntah.
intervensi yang tepat.
2. Kaji adanya alergi makanan dan
kontraindikasi makanan.
2. Beberapa pasien mungkin mengalami
alergi terhadap beberapa komponen
makanan tertentu dan beberapa
penyakit lain, seperti diabetes
melitus, hipertensi, gout dan lainnya
yang memberikan manifestasi
terhadap persiapan komposisi
makanan yang akan diberikan.
3. Fasilitasi pasien memperoleh diet
biasa yang disukai pasien (sesuai
indikasi)
3. Memperhitungkan keinginan individu
dapat memperbaiki asupan nutrisi
4. Lakukan dan ajarkan perawatan
mulut sebelum dan sesudah makan,
serta sebelum dan sesudah
intervensi/pemeriksaan peroral
4. Menurunkan rasa tak enak karena
sisa makanan atau bau obat yang
dapat merangsang pusat muntah
5. Fasilitasi pasien memperoleh diet
sesuai indikasi dan anjurkan
menghindari asupan dari agen iritan
5. Asupan minuman mengandung
kafein dihindari karena kafein adalah
stimulan sistem saraf pusat yang
meningkatkan aktivitas lambung dan
sekresi pepsin
6. Berikan makanan dengan perlahan
pada lingkungan yang tenang
6. Pasien dapat berkonsentrasi pada
mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar
7. Anjurkan pasien dan keluarga untuk
berpartisipasi dalam pemenuhan
nutrisi
7. Meningkatkan kemandirian dalam
pemenuhan asupan nutrisi sesuai
dengan tingkat toleransi individu
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menetapkan komposisi dan jenis diet
yang tepat
8. Merencanakan diet dengan
kandungan nutrisi yang adekuat
untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi dan kalori
sehubungan dengan status
hipermetabolik pasien
9. Kolaborasi pemberian obat anti 9. Obat emetic dapat menurukan rasa
12
emetic bila mual sesuai indikasi. mual.
(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 125)
3. DP: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port
de antree pada lesi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, integritas kulit mengalami peningkatan.
Intervensi Rasional
1. Kaji tanda-tanda vital 1. Reaksi awal infeksi dapat terlihat
dengan berubahnya tanda-tanda vital,
missal demam, takikardi, dan
tahipnea.
2. Pantau kondisi luka setiap hari, catat
adanya perubahan penampilan dan
bau.
2. Mengidentifikasi adanya
penyembuhan dan memberikan
deteksi dini adanya infeksi.
3. Ganti balutan dengan teknik septic
aseptic, lakukan debriment kulit yang
mengalami nekrosis
3. Teknik septic aseptic dapat
menghindari resiko infeksi terhadap
luka.
4. Periksa area yang sehat (tak ada lesi)
seperti lipatan pada tubuh.
4. Infeksi oportinistik seringkali terjadi
sehubungan dengan depresi sistem
imun dan/atau poliferasi flora normal
tubuh selama terapi antibiotic
sistemik.
5. Pertahankan teknik isolasi bila
diperlukan
5. Pengisolasian terhadap pasien akan
mengurangi resiko infeksi
nosokomial.
6. Batasi jumlah pengunjung 6. Mengurangi resiko penyebaran
mikroorganisme dan mencegah
terjadinya infeksi.
7. Tekankan pentingnya teknik cuci
tangan yang baik untuk semua
individu yang datang kontak dengan
pasien.
7. Mencegah kontaminasi silang dan
menurunkan resiko infeksi.
8. Libatkan keluarga 8. Keluarga adalah orang yang selalu
bersama pasien selama 24 jam dan
13
keikutsertaan keluarga dalam
perawatan memotivasi pasien untuk
mematuhi proses keperawatan.
9. Kolaborasi untuk pemberian
antibiotik
9. Pemberian antibiotik untuk infeksi
dengan catatan menghindari
pemberian sulfonamide dan antibiotik
yang sering juga sebagai penyebab
SSJ misalnya penisilin,
cephalosporin, sebaiknya antibiotik
yang diberikan berdasarkan hasil
kultur kulit, mukosa, dan sputum.
Dapat dipakai injeksi gentasimin 2 –
3x80 mg iv (1 – 1,5 mg/KgBB/kali
[setiap pemberian])
(Doenges, 2000: 135)
4. DP: Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi
Kriteria hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi.
Skala nyeri 0-2 (0-10). Dapat mengidentifikasikan aktivitas yang meningkatkan
atau menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri dengan pendekatan
PQRST
1. Menjadi parameter dasar untuk
mengetahui sejauh mana intervensi
yang diperlukan dan sebagai evaluasi
keberhasilan dari intervensi
manajemen nyeri keperawatan
2. Jelaskan dan bantu pasien dengan
tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan non invasif
2. Teknik pereda nyeri dapat
mengurangi rasa ketidaknyamanan
karena nyeri tanpa menimbulkan efek
samping seperti penggunaan obat-
obatan medis.
3. Lakukan manajemen keperawatan
- Atur posisi fisiologis
3.
- Posisi fisiologis akan meningkatkan
asupan O2 ke jaringan yang
14
- Istirahatkan klien
- Bila perlu premedikasi sebelum
melakukan perawatan luka
- Manajemen lingkungan tenang dan
batasi pengunjung
- Ajarkan teknik relaksasi pernapasan
dalam
- Anjurkan teknik distraksi pada saat
nyeri
- Lakukan manajemen sentuhan
mengalami peradangan.
- Istirahat diperlukan selama fase
akut. Kondisi ini akan
meningkatkan suplai darah pada
jaringan yang mengalami
peradangan.
- Kompres yang basah dan sejuk atau
terapi rendaman merupakan
tindakan protektif yang dapat
mengurangi rasa nyeri.
- Lingkungan tenang akan
menurunkan stimulus nyeri
eksternal dan pembatasan
pengunjung akan membantu
meningkatkan O2 dalam ruangan
perawatan.
- Meningkatkan asupan O2 sehingga
menurunkan nyeri sekunder
- Distraksi dapat menurunkan
stimilus nyeri.
- Manajemen sentuhan pada saat
nyeri berupa sentuhan dukungan
psikologis dapat menurunkan nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter, pemberian
analgetik
4. Analgetik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri berkurang
(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 126)
5. DP: Kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit, penurunan kesembuhan.
Tujuan: Setelah perawatan kecemasan klien dan keluarga klien berkurang/hilang.
Kriteria hasil: Wajah klien tampak rileks, semakin sedikit/tidak ada pertanyaan
yang klien ajukan, tidak ada perilaku agresif dari klien.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan hubungan antara proses
penyakit dan gejalanya
1. Meningkatkan pemahaman,
mengurangi rasa takut karen
ketidaktahuan dan dapat membantu
15
menurunkan ansietas
2. Jelaskan dan persiapkan untuk
tindakan prosedur sebelum dilakukan
2. Dapat meringankan ansietas
3. Berikan kesempatan pasien untuk
mengungkapkan isi pikiran dan
perasaan takutnya
3. Mengungkap rasa takut secara
terbuka dimana rasa takut dapat
ditujukan
4. Jawab setiap pertanyaan dengan
penuh perhatian dan berikan
informasi tentang prognosa penyakit.
4. Penting untuk menciptakan
kepercayaan, informasi yang akurat
dapat memberikan keyakinan pada
pasien dan juga keluarga.
5. Berikan dukungan terhadap
perencanaan gaya hidup yang nyata
setelah saikt dalm keterbatasannya
tetapi sepenuhnya menggunakan
kemampuan pasien
5. Meningkatkan perasaan akan
keberhasilan dalam penyembuhan
6. Libatkan pasien / keluarga dalam
perawatan, perencanaan kehidupan
sehari-hari
6. Meningkatkan perasaan kontrol
terhadap diri dan meningkatkan
kemandirian
7. Berikan petunjuk mengenai sumber-
sumber penyokong yang ada seperti
keluarga, konselor profesional
7. Memberikan jaminan bahwa yang
diperlukan adlah penting untuk
meningkatkan mekanisme kooping
pasien
8. Observasi status mental dan tingkat
ansietas dari pasien
8. Gangguan tingkat kesadaran dapat
mempengaruhi ekspresi rasa takut
(Doenges, 2000: 135)
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender
di oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura.
Penyebab yang pasti belum diketahui, ada anggapan bahwa sindrom ini
merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah
satu penyebabnya ialah alergi obat secara sistemik. Obat-obatan yang disangka sebagai
penyebabnya antara lain: penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamide,
tetrasiklin, antipiretik/analgetik, (misal: derivate salisil/pirazolon, metamizol,
metapiron, dan parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan
jamu. Selain itu dapat juga disebabkan infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) neoplasma,
pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Sindrom Steven Johnson. Diakses 20 April 2013, dari http://My Blog » Blog Archive » Stevens-Johnson Syndrome.html
Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108: 485-92.
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds): Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.
Djuanda, A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA International. 2009. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2009-2011. Diterjemahkan oleh Made Sumarwati. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2010. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius
Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993. hal 40-41.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.
18
top related