isi

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata. Prediksi: mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dan lain-lain Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992 syndrom steven johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Angka kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkakdan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti bula pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS serta lapus angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam. 1

Upload: eza-fahlevi

Post on 01-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium

mata. Prediksi: mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson tersebut disebabkan

oleh beberapa mikroorganisme virus dan lain-lain Syndrom ini jarang dijumpai pada

usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada

yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya

penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, melaise, nyeri

kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven johnson ditemukan oleh

dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992 syndrom steven johnson

yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.

Angka kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per

1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada

mulanya, diikuti dengan bengkakdan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu,

bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada

mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti bula pada kulit.

Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS serta lapus

angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.

Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus syndrom steven johnson karena

syndrom steven johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.

B. Rumusan Masalah

a. Apakah pengertian dari Steven Jhonson?

b. Apakah etiologi dari Steven Jhonson?

c. Apakah patofisiologi dari Steven Jhonson?

d. Apa saja data penunjang dari Steven Jhonson?

e. Jelaskan konsep dasar asuhan keperawatan dari Steven Jhonson?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III.

b. Untuk mengetahui pengertian dari Steven Jhonson.

c. Untuk mengetahui etiologi dari Steven Jhonson.

d. Untuk mengetahui patofisiologi dari Steven Jhonson.

1

e. Untuk mengetahui data penunjang dari Steven Jhonson.

f.Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan dari Steven Jhonson.

g. Mahasiswa dapat mengaplikasikan proses asuhan keperawatan Steven Johnson

yang meliputi pengkajian, perumusan diagnosa, intervensi, implementasi dan

evaluasi.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir

di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,

kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. (Djuanda, 2008:

163)

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,

vesikel/bula dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan

mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A, 2000:

136)

B. Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat

dianggap sebagai penyebab adalah:

1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

Penisilline dan semisentetiknya

Sthreptomicine

Sulfonamida

Tetrasiklin

Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,

metampiron dan paracetamol)

Klorpromazin

Karbamazepin

Tegretol

Jamu

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

3. Neoplasma dan faktor endokrin

4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

5. Makanan

(Djuanda, 2008: 163).

3

C. Manifestasi Klinik

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya

bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita

dapat mulai dari berespons sampai koma. Mulanya dari penyakit akut dapat disertai

gejala prodormal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri

tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

1. Kelainan kulit

2. Kelaimam selaput lender di orifisium

3. Kelainan mata

1. Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri atas eriema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula

kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.

2. Kelainan selaput lender di orifisium

Kelainan diselaput lendir yang sering ditemukan pada mukosa mulut, kemudian

genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.

Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan

ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membrane.

Dibibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.

3. Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah

konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,

perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosilitis.

Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:

nefritis dan onikolisis.

(Djuanda, 2008: 163)

D. Patofisiologi

Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif

tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi

yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.

Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan

menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi

hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali

4

dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang

(Djuanda, 2000: 147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah

mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak

ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada

beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya

kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen

dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat

terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai

memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta

penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000:

72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil

Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang

bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)

memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E. Data Penunjang

Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka

penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.

Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan

ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal

dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Imunologi : Dijumpai deposit IgM (Imuno Globulin M) dan C3 di pembuluh

darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG,

IgM, IgA.

(Djuanda, 2008: 164)

F. Komplikasi

Komplikasi yang tersering adalah bronco pneumonia, sedangkan komplikasi lain

yang sering terjadi adalah kehilangan cairan/darah, gangguan elektrolit dan syok. Pada

mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. (Djuanda, 2008: 164)

5

G. Diagnosa Banding

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana

manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk

daripada SSJ.

Ada 3 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson:

1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan

NET. SSJ dengan bula lebih dari 30% disebut NET.

2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi

kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa

terkena. (Siregar, R.S. 2004: 142)

3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan

yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila

diangkat timbul perdarahan (Wijana, N. 1993: 40). Sebagai diagnosis banding

kialah Nekrolisis Epidermal Toksik (NET). Penyakit ini sangat mirip dengan

sindrom Sindrom Steven Johnson. Pada NET terdapat epidermolisis yang

menyeluruh yang tidak terdapat pada sindrom Steven Johnson. Perbedaan lain

biasanya keadaan umum pada NET lebih buruk.

H. Penatalaksanaan

1. Kortiosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan

prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi

menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan

tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis

permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat

harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa

krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama

mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.

Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet

kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan

dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian

obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K,

Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia

6

diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.

Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi

protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis

25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).

2. Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat

menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,

berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x

80 mg.

3. Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar

atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran

dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan

Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat

diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama

pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas

dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan

hemostatik.

4. Topikal :

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di

kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

(Djuanda, 2008: 165)

7

BAB III

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas klien, meliputi: nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan,

alamat, agama, pendidikan terakhir, alamat.

2. Keluhan utama: rasa sakit, perubahan warna kulit, gatal-gatal, demam,

bengkak/edema, keterbatasan aktivitas.

3. Riwayat kesehatan sekarang:

Keluhan saat didata: rasa sakit, gatal-gatal, demam, perubahan warna kulit,

keterbatasan aktivitas

Riwayat masuk rumah sakit: sejak kapan masuk rumah sakit, awal kejadian

(apa penyebabnya; bagaimana kejadiannya; mengapa terjadi),dimana tempat

kejadian pertama muncul (berpencar, berkelompok), lamanya (berulang-

ulang, selang-seling, musiman), faktor predisposisi (lingkungan, pekerjaan,

geografis), aktifitas sekarang (normal, dibatasi, berubah), terapi yang

sekarang dan yang lalu serta efeknya.

4. Riwayat kesehatan dahulu:

Riwayat lesi akibat terpapar sinar matahari

Sering terpapar sinar matahari, menggunakan pelindung atau tidak

Riwayat penggunaan obat-obatan sistemik/topikal

Riwayat terkena penyakit infeksi

5. Riwayat kesehatan keluarga.

Adakah riwayat penyakit yang sama dengan klien

Apakah punya riwayat penyakit alergi yang lain

Apakah pernah mengalami penyakit kulit yang serius atau tidak

Riwayat penyakit lain yang berat

6. Aktivitas sehari-hari:

Makan dan Minum

Eliminasi: BAK dan BAB

Personal Hygiene

7. Keadaan umum: tingkat kesadaran, TTV.

8

8. Pemeriksaan fisik per sistem, meliputi:

Sisrem pencernaan: Penurunan berat badan akibat dari susah menelan

karena adanya bula pada batang tenggorokkan. Sehingga asupan nutrisi

kurang dari kebutuhan dan dehidrasi.

Sistem musculoskeletal: Nyeri pada jaringan lunak membuat erosi jaringan

sehingga berkurangnya sistem pergerakan yang membuat pasien bedrest.

Sistem integument: eritema, vesikel dan bula pada kulit merupakan

manifestasi dari sindrom steven Johnson. Bercak kemerahan yang terdapat

pada bagian seluruh kulit, terutama mulut pada bibir dan seluruh bagian

kulit tubuh.

9. Pemeriksaan penunjang.

Laboraorium: Leukosit atau esosinefilia

Histopatologi: Infiltrat sel mononuclear, oedema, dan ekstravasasi sel darah

merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan

edema intrasel di epidermis.

Imunologi: Deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang

mengandung IgG, IgM, IgA.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.

2. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake

tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de

antree pada lesi.

4. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum.

6. Gangguan gambaran diri (citra diri) berhubungan dengan struktur kulit, perubahan

peran keluarga.

7. Kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit, penurunan kesembuhan.

(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 123)

C. Intervensi

1. DP: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi

lokal.

Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal.

9

Kriteria hasil: Pertumbuhan jaringan membaik dan lesi berkurang.

Intervensi Rasional

1. Kaji kerusakan jaringan kulit yang

terjadi pada klien.

1. Menjadi data dasar untuk

memberikan informasi intervensi

yang akan yang akan digunakan.

2. Lakukan tindakan peningkatan

integritas jaringan.

2. Perawatan kulit merupakan

penatalaksanaan keperawatan yang

paling penting. Jika diperlukan

berikan kompres hangat, tetapi harus

dilaksanakan dengan hati-hati sekali

pada daerah yang erosif atau

terkelupas. Lesi oral yang nyeri akan

membuat higiene oral dipelihara.

3. Gunakan pakaian yang tipis serta alat

tenun yang bersih dan lembut.

3. Menurunkan iritasi garis jahitan dan

tekanan dari baju dan mencegah

infeksi.

4. Lakukan oral higiene 4. Tindakan oral higiene perlu

dilakukan untuk menjaga agar mulut

selalu bersih. Obat kumur larutan

anastesi agen genital violet dapat

digunakan dengan sering untuk

membersihkan mulut dan debris,

mengurangi rasa nyeri pada daerah

ulserasi dan mengendalikan bau

mulut yang amis. Rongga mulut

harus diinspeksi beberapa kali sehari,

dan setiap perubahan harus dicatat

serta dilaporkan. Vaselin (atau salep

yang diresepkan dokter) juga dapat

dioleskan pada bibir.

5. Tingkatkan asupan nutrisi 5. Diet TKTP diperlukan untuk

meningkatkan asupan dari kebutuhan

pertumbuhan jaringan

6. Evaluasi kerusakan jaringan dan

perkembangan pertumbuhan jaringan

6. Apabila masih belum mencapai dan

Kriteria hasil 5 x 24 jam, maka perlu

10

dikaji ulang faktor-faktor penghambat

pertumbuhan dan perbaikan dari lesi

7. Lakukan intervensi untuk mencegah

komplikasi.

7. Perawatan di tempat khusus untuk

mencegah infeksi. Monitor dan

evaluasi adanya tanda dan gejala

komplikasi. Pemantauan yang ketat

terhadap tanda-tanda vital dan

pencatatan setiap perubahan yang

serius pada fungsi respiratorius, renal

atau gastrointetinal dapat mendeteksi

dengan cepat di mulainya suatu

infeksi.

8. Libatkan keluarga 8. Keluarga adalah orang yang selalu

berada di dekat pasien selama 24 jam.

9. Kolaborasi untuk pemberian

kortikosteroid

9. Kolaborasi pemberian glukokortikoid

misalnya methil prednisolon 80 – 120

mg per oral (1.5 – 0,2 mg/KgBB/hari)

10. Kolaborasi pemberian obat topical 10. Obat topical dapat meningkatkan

kesembuhan kulit yang rusak.

11. Kolaborasi pemberian obat

antihistamin

11. Obat antihistamin dapat menurunkan

respon alergi terutama dapat

mengurangi rasa gatal.

(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 124)

2. DP: Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

intake tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.

Tujuan: Setelah perawatn asupan nutrisi pasien terpenuhi.

Kriteria hasil:

- Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat.

- Penyataan motivasi kuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

- Penurunan berat badan selama 5 x 24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg

Intervensi Rasional

1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit,

berat badan dan derajat penurunan

berat badan, integritas mukosa oral,

1. Memvalidasi dan menetapkan derajat

masalah untuk menetapkan pilihan

11

kemampuan menelan, serta riwayat

mual/muntah.

intervensi yang tepat.

2. Kaji adanya alergi makanan dan

kontraindikasi makanan.

2. Beberapa pasien mungkin mengalami

alergi terhadap beberapa komponen

makanan tertentu dan beberapa

penyakit lain, seperti diabetes

melitus, hipertensi, gout dan lainnya

yang memberikan manifestasi

terhadap persiapan komposisi

makanan yang akan diberikan.

3. Fasilitasi pasien memperoleh diet

biasa yang disukai pasien (sesuai

indikasi)

3. Memperhitungkan keinginan individu

dapat memperbaiki asupan nutrisi

4. Lakukan dan ajarkan perawatan

mulut sebelum dan sesudah makan,

serta sebelum dan sesudah

intervensi/pemeriksaan peroral

4. Menurunkan rasa tak enak karena

sisa makanan atau bau obat yang

dapat merangsang pusat muntah

5. Fasilitasi pasien memperoleh diet

sesuai indikasi dan anjurkan

menghindari asupan dari agen iritan

5. Asupan minuman mengandung

kafein dihindari karena kafein adalah

stimulan sistem saraf pusat yang

meningkatkan aktivitas lambung dan

sekresi pepsin

6. Berikan makanan dengan perlahan

pada lingkungan yang tenang

6. Pasien dapat berkonsentrasi pada

mekanisme makan tanpa adanya

distraksi/gangguan dari luar

7. Anjurkan pasien dan keluarga untuk

berpartisipasi dalam pemenuhan

nutrisi

7. Meningkatkan kemandirian dalam

pemenuhan asupan nutrisi sesuai

dengan tingkat toleransi individu

8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk

menetapkan komposisi dan jenis diet

yang tepat

8. Merencanakan diet dengan

kandungan nutrisi yang adekuat

untuk memenuhi peningkatan

kebutuhan energi dan kalori

sehubungan dengan status

hipermetabolik pasien

9. Kolaborasi pemberian obat anti 9. Obat emetic dapat menurukan rasa

12

emetic bila mual sesuai indikasi. mual.

(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 125)

3. DP: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port

de antree pada lesi

Tujuan: Setelah dilakukan perawatan infeksi tidak terjadi.

Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, integritas kulit mengalami peningkatan.

Intervensi Rasional

1. Kaji tanda-tanda vital 1. Reaksi awal infeksi dapat terlihat

dengan berubahnya tanda-tanda vital,

missal demam, takikardi, dan

tahipnea.

2. Pantau kondisi luka setiap hari, catat

adanya perubahan penampilan dan

bau.

2. Mengidentifikasi adanya

penyembuhan dan memberikan

deteksi dini adanya infeksi.

3. Ganti balutan dengan teknik septic

aseptic, lakukan debriment kulit yang

mengalami nekrosis

3. Teknik septic aseptic dapat

menghindari resiko infeksi terhadap

luka.

4. Periksa area yang sehat (tak ada lesi)

seperti lipatan pada tubuh.

4. Infeksi oportinistik seringkali terjadi

sehubungan dengan depresi sistem

imun dan/atau poliferasi flora normal

tubuh selama terapi antibiotic

sistemik.

5. Pertahankan teknik isolasi bila

diperlukan

5. Pengisolasian terhadap pasien akan

mengurangi resiko infeksi

nosokomial.

6. Batasi jumlah pengunjung 6. Mengurangi resiko penyebaran

mikroorganisme dan mencegah

terjadinya infeksi.

7. Tekankan pentingnya teknik cuci

tangan yang baik untuk semua

individu yang datang kontak dengan

pasien.

7. Mencegah kontaminasi silang dan

menurunkan resiko infeksi.

8. Libatkan keluarga 8. Keluarga adalah orang yang selalu

bersama pasien selama 24 jam dan

13

keikutsertaan keluarga dalam

perawatan memotivasi pasien untuk

mematuhi proses keperawatan.

9. Kolaborasi untuk pemberian

antibiotik

9. Pemberian antibiotik untuk infeksi

dengan catatan menghindari

pemberian sulfonamide dan antibiotik

yang sering juga sebagai penyebab

SSJ misalnya penisilin,

cephalosporin, sebaiknya antibiotik

yang diberikan berdasarkan hasil

kultur kulit, mukosa, dan sputum.

Dapat dipakai injeksi gentasimin 2 –

3x80 mg iv (1 – 1,5 mg/KgBB/kali

[setiap pemberian])

(Doenges, 2000: 135)

4. DP: Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.

Tujuan: Setelah dilakukan perawatan nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi

Kriteria hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi.

Skala nyeri 0-2 (0-10). Dapat mengidentifikasikan aktivitas yang meningkatkan

atau menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.

Intervensi Rasional

1. Kaji nyeri dengan pendekatan

PQRST

1. Menjadi parameter dasar untuk

mengetahui sejauh mana intervensi

yang diperlukan dan sebagai evaluasi

keberhasilan dari intervensi

manajemen nyeri keperawatan

2. Jelaskan dan bantu pasien dengan

tindakan pereda nyeri

nonfarmakologi dan non invasif

2. Teknik pereda nyeri dapat

mengurangi rasa ketidaknyamanan

karena nyeri tanpa menimbulkan efek

samping seperti penggunaan obat-

obatan medis.

3. Lakukan manajemen keperawatan

- Atur posisi fisiologis

3.

- Posisi fisiologis akan meningkatkan

asupan O2 ke jaringan yang

14

- Istirahatkan klien

- Bila perlu premedikasi sebelum

melakukan perawatan luka

- Manajemen lingkungan tenang dan

batasi pengunjung

- Ajarkan teknik relaksasi pernapasan

dalam

- Anjurkan teknik distraksi pada saat

nyeri

- Lakukan manajemen sentuhan

mengalami peradangan.

- Istirahat diperlukan selama fase

akut. Kondisi ini akan

meningkatkan suplai darah pada

jaringan yang mengalami

peradangan.

- Kompres yang basah dan sejuk atau

terapi rendaman merupakan

tindakan protektif yang dapat

mengurangi rasa nyeri.

- Lingkungan tenang akan

menurunkan stimulus nyeri

eksternal dan pembatasan

pengunjung akan membantu

meningkatkan O2 dalam ruangan

perawatan.

- Meningkatkan asupan O2 sehingga

menurunkan nyeri sekunder

- Distraksi dapat menurunkan

stimilus nyeri.

- Manajemen sentuhan pada saat

nyeri berupa sentuhan dukungan

psikologis dapat menurunkan nyeri

4. Kolaborasi dengan dokter, pemberian

analgetik

4. Analgetik memblok lintasan nyeri

sehingga nyeri berkurang

(Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011: 126)

5. DP: Kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit, penurunan kesembuhan.

Tujuan: Setelah perawatan kecemasan klien dan keluarga klien berkurang/hilang.

Kriteria hasil: Wajah klien tampak rileks, semakin sedikit/tidak ada pertanyaan

yang klien ajukan, tidak ada perilaku agresif dari klien.

Intervensi Rasional

1. Jelaskan hubungan antara proses

penyakit dan gejalanya

1. Meningkatkan pemahaman,

mengurangi rasa takut karen

ketidaktahuan dan dapat membantu

15

menurunkan ansietas

2. Jelaskan dan persiapkan untuk

tindakan prosedur sebelum dilakukan

2. Dapat meringankan ansietas

3. Berikan kesempatan pasien untuk

mengungkapkan isi pikiran dan

perasaan takutnya

3. Mengungkap rasa takut secara

terbuka dimana rasa takut dapat

ditujukan

4. Jawab setiap pertanyaan dengan

penuh perhatian dan berikan

informasi tentang prognosa penyakit.

4. Penting untuk menciptakan

kepercayaan, informasi yang akurat

dapat memberikan keyakinan pada

pasien dan juga keluarga.

5. Berikan dukungan terhadap

perencanaan gaya hidup yang nyata

setelah saikt dalm keterbatasannya

tetapi sepenuhnya menggunakan

kemampuan pasien

5. Meningkatkan perasaan akan

keberhasilan dalam  penyembuhan

6. Libatkan pasien / keluarga dalam

perawatan, perencanaan kehidupan

sehari-hari

6. Meningkatkan perasaan kontrol

terhadap diri dan meningkatkan

kemandirian

7. Berikan petunjuk mengenai sumber-

sumber penyokong yang ada seperti

keluarga, konselor profesional

7. Memberikan jaminan bahwa yang

diperlukan adlah penting untuk

meningkatkan mekanisme kooping

pasien

8. Observasi status mental dan tingkat

ansietas dari pasien

8. Gangguan tingkat kesadaran dapat

mempengaruhi ekspresi rasa takut

(Doenges, 2000: 135)

16

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender

di oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,

kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura.

Penyebab yang pasti belum diketahui, ada anggapan bahwa sindrom ini

merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multifome mayor. Salah

satu penyebabnya ialah alergi obat secara sistemik. Obat-obatan yang disangka sebagai

penyebabnya antara lain: penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sulfonamide,

tetrasiklin, antipiretik/analgetik, (misal: derivate salisil/pirazolon, metamizol,

metapiron, dan parasetamol) klorpromasin, karbamasepin, kinin antipirin, tegretol, dan

jamu. Selain itu dapat juga disebabkan infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) neoplasma,

pasca vaksinasi, radiasi dan makanan.

17

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Sindrom Steven Johnson. Diakses 20 April 2013, dari http://My Blog » Blog Archive » Stevens-Johnson Syndrome.html

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108: 485-92.

Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds): Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.

Djuanda, A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA International. 2009. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2009-2011. Diterjemahkan oleh Made Sumarwati. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2010. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142.

Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius

Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993. hal 40-41.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

18