case report steven jhonson syndrome
Post on 18-Jan-2016
85 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
(CASE REPORT)
SINDROM STEVENS-JOHNSON
Oleh:
Shella Arivia 0918011078
Tri Agung Sanjaya 0918011100
Pembimbing
dr. M. Syafei Hamzah, Sp.KK
SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. Hi. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
STATUS PASIEN
No. Rekam Medik : 336863
Masuk RSAM : 19 Maret 2014
Pukul : 10.30 WIB
I. ANAMNESIS
Alloanamnesis dari suami pasien, tanggal 22 Maret 2014, pukul 13.00 WIB
Identitas
- Nama penderita : Ny. NH
- Umur : 19 Tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Taman Agung, Kec Kalianda, Lampung Selatan
- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
- Pendidikan : SMA
- Agama : Islam
- Suku Bangsa : Palembang
- Status : Menikah
ALLOANAMNESIS
Keluhan utama : bintil – bintil diikuti kerusakan kulit pada dada, leher,perut punggung
Lipat paha dan pergelangan tangan serta kaki
Keluhan tambahan : Sisik kehitaman pada bibir, mata berair, kulit terkelupas
1
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada hari Jum,at, 14 maret 2014, pasien mengeluhkan demam yang terus menerus, disertai
dengan mencret dengan frekuensi 3x/hari, disertai penurunan kesadaran. Sebelumnya pasien
sempat kontrol berobat ke Bidan dan diberikan amoxicillin dan paacetamol. Karena tidak ada
perubahaan, hari Sabtu 15 Maret 2014 pasien dibawa ke RS daerah dan mendapat perawatan.
Pada hari kedua perawatan (17 Maret 2014), muncul adanya bintil-bintil berisi air dengan
dasar kemerahan yang pada awalnya tersebar di dada dan sekitar leher. Sifatnya tidak gatal
Selasa 18 Maret 2014 bintil tersebut menyebar sampai ke ketiak dan punggung dan perut.
Kulit wajah mulai kemerahan dan bibir mengalami perdarahan. Akhirnya pasien dirujuk ke
RSUAM.
Rabu 19 Maret 2014 bintil bintil tersebut pecah meninggalkan kerusakan kulit dengan dasar
kemerahan, dan tersebar sebagian besar dada, leher,perut punggung, lipat paha dan
pergelangan tangan serta kaki. Pada bibir tampak sisik kehitaman. Pasien juga mengeluhkan
mata sering mengeluarkan air dan pandangan menjadi kabur. Kamis 20 Maret 2014,
kerusakan kulit disertai dengan adanya bagian kulit yang terkelupas terutama pada bagian
wajah.
Tidak pernah menderita gejala seperti ini sebelumnya. Riwayat asma dan alergi makanan
maupun alergi obat-obatan pada diri pasien dan keluarga disangkal.
II. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan Gizi : Cukup
Vital sign
- TD : 130/80 mmHg
- Nadi : 96 x/menit, teratur, isi cukup
2
- Respirasi : 26 x/menit
- Suhu : 38,7 OC
- Thoraks : Dalam Batas Normal
- Abdomen : Hepar dan lien teraba
STATUS DERMATOLOGIS
- Lokasi : Regio volar sinistra et dekstra, regio cruris sinistra et dekstra, Dermatom C3-
C5 ,Dermatom T1-T12,
- Inspeksi : Tampak erosi dengan dasar eritema disertai krusta tebal kehitaman pada
daerah tepi erosi yang multipel dengan ukuran numular-plakat dengan sebaran universal,
(efloresensi primer seperti vesikel tidak ditemukan lagi)
Gambaran dermatologis pada daerah sekitar leher
3
Gambaran dermatologis pada daerah punggung
4
Gambaran dermatologis pada pergelangan tangan dan kaki
LABORATORIUM
Tidak dilakukan
Diagnosis Banding
- Nekrolisis Epidermal Toksik
- Stafilococcal Scalded Skin Syndrom
Diagnosis Kerja
- Stevens-Johnson syndrome
PENATALAKSANAAN
1. UMUM
Memberikan penjelasan pada orangtua pasien tentang penyakit yang diderita
Menghentikan obat yang diduga menyebabkan penyakit yang diderita
Stabilisasi jalan napas dan hemodinamik, perawatan luka, dan mengontrol
nyeri.
Terapi cairan yang adekuat serta koreksi elektrolit.
5
Konsultasi dengan dokter spesialis lain (seperti spesialis mata, penyakit
dalam dan saraf)
2. KHUSUS
Sistemik (oral) :
- Siprofloxacin 2x400 mg i.v
- Cetirizine 1x1 tab
Topikal :
- Silver sulfadiazine 1 % krim
Pemeriksaan Anjuran
- Pemeriksaan Histopatologi : Biopsi kulit
- Pemeriksaan imunologi : Imunofluoresensi
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
6
ANALISA KASUS
PEMBAHASAN
Diagnosis sindroma Stevens-Johnson inisesuai dengan adanya trias kelainan kulit,
mukosa, dan mata, serta hubungannya dengan faktor penyebabnya. Dari anamnesis
diketahui bahwa terdapat kelainan pada kulit yang awalnya berupa gambaran kulit berwarna
kemerahan lalu berkembang jadi timbul gelembung-gelembung berisi cairan pada hampir
seluruh badan dan pada beberapa tempat mengelupas terlihat kemerahan dan terasa perih.
SMRS. OS mengaku nyeri saat menelan dan mulutnya terasa perih. OS merasa matanya lebih
merah dan terasa lebih berair serta gatal.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pada pemeriksaan mata
ditemukan konjungtiva hipersekresi dan gambaran dermatologis pada regio volar sinistra et
dekstra, regio cruris sinistra et dekstra, Dermatom C3-C5 ,Dermatom T1-T12, didapatkan
eritema dan erosi disertai krusta tebal kuning kehijauan pada daerah tepi erosi yang multipel
dengan ukuran numular-plakat dengan sebaran universal,(efloresensi primer seperti vesikel
tidak ditemukan lagi)
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi (tetapi pada pasien ini
tidak terlihat), kelainan pada mukosa, mata, serta dapat disertai dengan demam. Selain itu
dapat didukung dengan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit
meninggi, dapat pula terjadi peningkatan eosinophil. Biopsi kulit dapat direncanakan bila lesi
klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus yang atipik.
Pasien dapat diklasifikasikan menjadi tiga grup berdasarkan luas area epidermis
yang mengelupas atau dapat dikelupas (tanda Nikolsky positif), yaitu:
1. Sindroma Stevens-Johnson; bila kurang dari 10% luas permukaan tubuh (BSA)
2. SJS/TEN overlap bila antara 10-30% luas permukaan tubuh
3. TEN (Toxic Epidermal Necrolysis) bila lebih dari 30% luas permukaan tubuh
Penyakit ini perlu dibedakan dengan Eritema Multiforme Majus (EMM). Lesi target
yang menimbul (raised) baik yang tipikal maupun atipikal merupakan lesi karakteristik untuk
7
EMM. Lesi ini kebanyakan muncul pada ekstremitas, namun kadangkala dapat pula terdapat
pada wajah dan tubuh, terutama pada anak-anak. Sebaliknya, lesi target yang tersebar luas,
seringkali berupa makula konfluens atau lesi target atipikal datar yang dominan di tubuh
merupakan gambaran lesi yang khas pada Sindroma Stevens-Johnson. Perbedaan Eritema
Multiforme, Sindroma Stevens-Johnson dan Epidermal Nekrolisis Toksik
Tabel 1. Perbedaan Eritema Multiforme dan Epidermal Necrolysis(SSJ/ENT)
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Steven Johnson sindrom merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lemdir di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat ;
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Pertama kali
dideskrpsikan tahun 1922, SJS merupakan kompleks imun yang memediasi proses
hipersentitifitas. Banyak penelitian meempertimbangakan bahwa steven Johnson sindrom
dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama hanya berbeda
manifestasi, daripada itu, banyak yang Penyebutan SJS-TEN(. Pada SJS, pelepasan
epidermal terjadi kurang dari 10% total area tubuh. Pada transisional SJS-TEN ,
pelepasan epidermis tubuh terjadi antara 10-30% dari total area tubuh. Pada TEN ,
Pelepasan epidermis terdali pada lebih dari 30% dari total area tubuh. Pada sumber
lain( Fitzpatrick:Bahwa SJS maupun TEN digolongkan sebagai suatu kelainan membran
mukosa kulit yang disebut sebagai Epidermal Necrolysis/EN)
B. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari penyakit EN masih belum jelas, namun dapat ditegakkan bahwa Obat
obatan merupakan faktor penyebab terpenting. Sedangkan selebihnya yang berkembang
dalam penyebab terjadinya EN adalah faktor agen infeksius seperti bakteri atau
virus.Sasaran utama SJS dan NET adalah pada kulit berupa dekstruksi keratinosit. Pada
alergi obat akan terjadi aktifitass sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 juga meningkat. ,
juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat dalam dermis, sedangkan CD8
pada epidermis. Faktor resiko yang bisa memperberat SJS antara lain : penyakit HIV atau
autoimun yang lain (misal SLE).
9
C. ETIOLOGI
Obat obatan merupakan faktor penyebab terpenting. Sedangkan selebihnya yang
berkembang dalam penyebab terjadinya EN adalah faktor agen infeksius seperti bakteri
atau virus.
D. MANIFESTASI KLINIS
Biasanya, proses penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang tidak
spesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodormal yang biasanya berlangsung
selama 1-14 hari . Selain itu dapat ditemukan juga gejala lain seperti: demam, sakit
tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Dalam sedikit kasus dapat juga
ditemukan mual dan muntah. Lesi pada kulit muncul dengan tiba-tiba. Kulit akan
mengalami keadaan melepuh selama 2-4 minggu, lesi yang terjadi biasanya non pruritik.
Demam dilaporkan terjadi pada sekitar 85% kasus. Lesi yang terjadi pada bibir bisa
terjadi sangat parah sehingga pasien sampai kesulitan untuk makan.
10
E. KELUHAN FISIK
Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bula,
plak, urtikaria, atau eritma konfluen
Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic. Berbeda dengan
lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya memiliki dua zona
warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik. Zona tersebut dikelilingi
oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target lesi
Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan terhadap
infeksi sekunder
Lesi urtikarial biasanya tidak gatal
Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan
morbiditas
Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi
Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis.
11
12
F. DIAGNOSIS BANDING
Burns Thermal
Eritema multiforme
Toxic Epidermal nekrolisis
Stafilococcal Scalded skin syndrome
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus ( keculai biopsy) yang dapat menegakkan
diagnosis SJS.
Pemeriksaan darah :Namun tidak spesifik, seperti adanya anemia,ketidakseimbangan
elektrolit,hipoproteinemia, hipoalbuminemia, dll. HItung darah lengkap dapat
menunjukkan keadaan leusitosis yang non spesifik. Hitung jenis leukosis yang
sangat tinggi dapat menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis dicurigai.
Biopsi kulit merupakan alat diagnosis pasti terhadap SJS tapi bukan merupakan
prosedur emergency
H. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pasien SJS sebelum rumah sakit sama dengan penatalaksanaan
pasien luka bakar, dengan pencegahan infeksi. Penatalaksanaan pasien SJS meliputi
Penatalaksanaan simptomatik dan penatalaksanaan khusus.
Penatalaksanaan simptomatik dari EN (SJS ataupun TEN) diasosiasikan dengan
kehilangan cairan yang signifikan karena erosi pada kulit sehingga dapat terjadi kondisi
hipovolemia dan ketidakseimbangan electrolit. Maka harus dilakukan terapi pengganti
cairan/fluid replacement yang adekuat sama halnya dengan orang yang mengalami luka
bakar.
Pemberian nutrisi makanan dapat ditunjang dengan menggunakan Nasogastric
tube(NGT) untuk mengurangi resiko terjadinya translokasi bakteri dari saluran cerna.
Pemberian antibiotik profilaksis tidak diindikasikan, pasien baru dapat diberikan
13
antibiotik bila diduga ditemukan gejala klinis infeksi. Tindakan debridement tak
direkomendasikan karena pada epidermis yang mengalami nekrosis karena nekrosis
superfisial bukan berarti tidak mungkin terjadi suatu proses re-epitelisasi
Penatalaksanaan khusus disini meliputi:
Kortikosteroid sistemik: Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat
memberikan hasil yang baik pada kasus SJS. Dosis yang digunakan seperti Prednison
60mg selama 4 hari. Setelah itu diturunkan menjadi 40mg/hari. Setelah satu minggu
dosis diturunkan kembali menjadi 20mg/hari. Satu minggu kemudian dosis diturunkan
kembali menjadi 10mg/hari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu kemudian
pengobatan di stop. Namun penelitian lain menganggap bahwa penggunanan
kortikosteroid tidak dapat menghambat progresivitas dari penyakit EN dan malah sering
dihubungkan sebagai penyebab kematian pasien dikarenakan sepsis. Sejauh ini laporan
menunjukkan bahwa kortikosteroid meningkatkan resiko mortalitas EN dan tidak
direkomendasikan.
Cyclosporin:Adalah agen imunosupresif yang kuat dan secara teori berguna dalam kasus
EN meliputiaktivasi sel T helper 2 cytokines dan inhibisi dari sel CD 8 cytotoxic dan anti
apoptotic effect. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
keuntungan dari obat ini.
Agen anti Tumor Necrosis Factor: Anti TNF monoklonal antibodi secara klinis sukses
dalam menurunkan gejala EN. Adapun penatalaksanaan spesifik lain seperti
imunoglobulin intravena aaupun plasmapheresis serta hemodialisis.
SJS merupakan penyakit sistemik bermanifestasi bukan hanya pada kulit, melainkan juga
pada mukosa dan mata untuk itu, kasus SJS perlu di konsultasikan pada berbagai disiplin
ilmu seperti spesialis kulit kelamin untuk perawatan, spesialis gigi dan mulut, spesialis
telinga hidung tenggorok, spesialis penyakit dalam, spesialis mata.
J. KOMPLIKASI
• Mata : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis, kebutaan
• Gastroenterology : striktur esophagus
14
• Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal
• Kulit : pembentukan skar, infeksi sekunder
K. PROGNOSIS
Adapun prognosis dari EN tidak dipengaruhi dari dosis ataupun golongan obat yang
diduga sebagai penyebab EN. Selain itu juga tidak dipengaruhi human imunodefisiensy
virus. Adapun angka mortalitas berkisar 5 – 12 % untuk SJS sedangkan untuk TEN
angka mortalitas melebihi 30%. Telah dibuat prognosis skor untuk EN yang disebut
Score Ten.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Klauss, wolff et al.,Fitzpatrick, Dermatology in General Medicine seventh edition
Volume 1&2,2008
4. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
Jakarta. 2004.
16
top related