asuhan keperawatan steven johnsone
DESCRIPTION
harus di pelajari materi ini karena sangat bermanfaatTRANSCRIPT
IMUN INTEGUMEN
Makalah Combustio
Makalah Herpes
Makalah Lupus
Makalah Sindrom Stevens Johnson
Makalah Sindrom Stevens-Johnson
Makalah Sindrom Stevens Johnson
BAB I
PENDAHULLUAN
A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis
epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut
sebagai eritema multiforme (EM).
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini agar mahasiswa keperawatan sebagai calon perawat dapat
mengetahui dan memahami tentang penyakit / gangguan system integumen “ Sindrom Steven
Jhonson “ dan mengetahui penanganan dan penatalaksanaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
B. ETIOLOGI
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapaT dianggap sebagai
penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. penisilin, analgetik, arti piuretik
b. Penisilline dan semisentetiknya
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
TANDA DAN GEJALA
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai
koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
Kelainan kulit
Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat
memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis.
C. PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T
yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
D. PATHWAY
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan
makanan
Masuk ke dalam tubuh
Sel B dan plasma cel
Antigen berikatan dengan antibodi (Ig M dan Ig G)
Komplek imun
Deposit pembuluh darah
Mengaktifkan komplemen & degranulasi sel mast
Neutrofil tertarik kedaerah infeksi
Kerusakan jaringan kapiler/ organ
inflamasi
Kerusakan akumulasi neutrofil merangsang peningkatan
submukosa : lidah reaksi radang nociseptor permeabilitas vaskuler
ggn menelan kelainan kulit mengirim diorbital
intake in adekuat & eritema impuls respon inflamasi
Ggn nutrisi inflmasi dermal diterima (konjungtivitis)
>Keb tubuh & epidermal reseptor diotak ↑ eksudat &
Ggn integritas diinterpretasi merangsang cairan
Kulit nyeri mata
Ggn rasa nyaman : ggn fungsi mata
Kelemahan fisik Nyeri Ggn persepsi
Sensori : penglihatan
B. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia (16%)
2. sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan
diagnosa.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bakterial berat.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan
B. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.
D. PENATALAKSANAAN
a. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg
sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan
cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena.
Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10
hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.
Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
b. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
c. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.
d. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif
dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Data Subyktif
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan / sulit
menelan.
b. Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering
didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi
lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
E. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
F. Intervensi
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria Hasil :
Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh.
Intervensi :
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional : menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Rasional : menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap
udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun.
Rasional : untuk mencegah infeksi
d. Kolaborasi dengan tim medis.
Rasional : untuk mencegah infeksi lebih lanjut
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
Kriteria Hasil :
Menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional : memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan
dapat memperbaiki pemasukan.
b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : meningkatkan nafsu makan
d. Kerjasama dengan ahli gizi.
Rasional : kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan
berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang
Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya.
Rasional : nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit. Rasional : meningkatkan
relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
c. Pantau TTV.
Rasional : metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d. Berikan analgetik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan rasa nyeri
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
Kriteria Hasil :
Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi :
a. Kaji respon individu terhadap aktivitas.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien.
Rasional : energi yang dikeluarkan lebih optimal
c. Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
Rasional : energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien.
Rasional : klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
Kriteria Hasil :
Kooperatif dalam tindakan
Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi :
a. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional : Menetukan kemampuan visual
b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional : Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan.
Rasional : Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
d. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional :Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan
dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
2. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
4. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media
Aesculapius : Jakarta
5. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2.
Jakarta: EGC.
6. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, edisi
8, volume 3. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
7. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
8. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Take Off Your Pant's and Jacket Kamis, 01 Maret 2012
ASKEP Sindrom Stevens Jhonson
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa
maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang
mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai
buruk.(Hamzah,2002). SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema,
vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa
kelopak mata.
Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu
timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SJS adalah
reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.
SJS muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan
yang ditimbulkan kadang tak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi
tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit
sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik
jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SJS akan membutuhkan
waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.
B. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memberika Asuhan Keperawatan dengan Sindrom Steven Jhonson.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian Sindrom Steven Jhonson.
2. Dapat melakukan pengkajian pada penyakit Sindrom Steven Jhonson.
3. Dapat mengetahui Diagnosa Keperawatan pada penyakit Sindrom Steven Jhonson.
4. Mengetahui Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi pada penyakit Sindrom Steven Jhonson.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. DEFINISI
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan
dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat,kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula
dapat disertai purpura (Djuanda,1993: 127).
2. ETIOLOGI
Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (misal :
obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep.
Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah nevirapine dan kotrimoksazol. Reaksi ini dialami segera
setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya
SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol,
tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X).
(Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).
3. PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului
panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi
bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis,
konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu.
Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan
mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring
sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai
krusta hemoragik (Ilyas, 2004).
4. MANIFESTASI KLINIK
SJS biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise,
batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam
derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah
pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak
rata.
Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat
longgar, dan mudah dilepas bila digosok.Pada SJS, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya
dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit
yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada
beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006)
Pada SJS, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur,
kelamin, dan mata.Kehilangan kulit dalam SJS serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang
rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat
SJS.Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek
jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk
(Mansjoer, 2002) :
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi
mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut,
anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.
Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak
mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.Bila kita mengalami dua atau lebih
gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.
5. PENATALAKSANAAN
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab
reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SJS biasanya dirawat inap.
Bila mungkin, pasien dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat
untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan
tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan
cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan
bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga
diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar, 2004)
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS. Beberapa dokter
berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang
lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh,
yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan
biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi
kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5
mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa
penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek
samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan
dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik
topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena,
diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah
sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi
FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan
dengan :
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk
mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan
konjungtiva (Sharma, 2006)
6. KOMPLIKASI
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi - Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari – pneumonia
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan
ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan di
konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat
mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan
pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus.
Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan
ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju
ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada
konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada
komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial
pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada
kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun
ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi
yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak
terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada
akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)
7. PROGNOSIS
SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat
menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15 persen orang
dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi
terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa
masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat
dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar,
2004).
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
….
2. Diagnosa Keperawatan
…
3. Intervensi
…
4. Implementasi
…..
5. Evaluasi
…
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tgl. Masuk :03/09/2011
Tgl. P’kajian : 07/10/2011
No. MR : ?????
Ruangan : Kutilang
Dx. Medis : Sindrom Steven Jhonson
I. PENGKAJIAN
A. Data Demografi
1. Biodata
Nama : Tn. “S”
Usia : 27 tahun
Alamat : Jl. Mangga
Agama : Islam
Status Pernikahan : Belum Nikah
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Penanggung Jawab
Nama : Tn. “Sm”
Usia : ± 60 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Mangga
Hub. Dengan klien : Orang tua klien
B. KELUHAN UTAMA
Kulit melepuh dan mengeluarkan darah di seluruh anggota tubuh.
C. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Keluhan Utama
Klien masuk RSU Anutapura Palu pada tanggal 3 September 2011 jam 12.30 WITA Dengan keluhan kulit
melepuh dan mengeluarkan darah di seluruh anggota tubuh dan dirasakan sejak 1 tahun yang lalu yang
timbul secara berangsur angsur dan klien memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Klien mengatakan bahwa sebelumnya klien sudah pernah mengalami penyakit yang sama. Dan klien
mengatakan allergi pada makanan seperti ayam,udang dan telur. Dan klien sering mengkonsumsi obat-
obatan bebas dalam melakukan pengobatan dini seperti CTM, dan puyer cap 19.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan bahwa keluarga klien tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan yang
diderita klien.
I. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien mengatakan hubungan dengan anggota keluarga baik, hubungan dengan teman baik, hubungan
dengan tenaga kesehatan baik, dan hubungan antar klien baik.
II. RIWAYAT SPIRITUAL
Klien mengatakan dalam kondisi sehat klien sering menjalankan ibadah, dan dalam kondisi sakit klien
sering menjalankan ibadah.
III. RIWAYAT PSIKOLOGIS
Klien dan keluarga selalu bertanya- tanya tentang penyakitnya, klien Nampak cemas dan berharap agar
cepat sembuh sehingga dapat berkumpul dengan anggota keluarga lainnya dan dapat menjalankan
aktifitas sehari hari.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Klien
a. Kesadaran : Composmentis.
b. Keadaan Umum : Sedang.
c. TTV
TD : 110/80 mmHg
N : 72 x/mnt
S : 37.5ºC
R : 20 x/mnt
B. Sistem Pernafasan
- Hidung : Tidak ada secret, bentuk simetris kiri dan kanan, cuping hidung normal, tidak ada nyeri
tekan, dan fungsi pernafasan baik.
- Leher : tidak ada benjolan dan pembesaran kelenjar tyroid.
- Dada : bentuk dada normal, frekuensi pernafasan 20 x/mnt, tidak ada retraksi saat bernafas, ukuran
anterior dan posterior seimbang, suara nafas normal, dan tidak ada clubbing finger.
C. Sistem Pencernaan
- Sklera : tidak ikterus.
- Bibir klien : kering terkelupas.
- Mulut : jumlah gigi masih lengkap 32 gigi, kemampuan menelan klien baik, gerakan lidah klien baik.
- Gaster : kembung
- Abdomen : bentuk perut datar, tidak ada luka atau lesi, bunyi hati pekak, tidak ada bunyi yang
menandakan adanya penumpukan cairan dan tidak ada nyeri tekan.
D. Sistem Indra
- Mata : simetris kiri dan kanan, fungsi penglihatan baik dan tidak ada nyeri tekan.
- Telinga : bentuk simetris kiri dan kanan, fungsi pendengaran jelas, dan tidak ada nyeri tekan.
- Kulit : turgor kulit baik, fungsi peraba baik dan tidak ada nyeri tekan.
E. Sistem Integumen
- Rambut : distribusi di tiap bagian tubuh merata, rambut klien lembab, tekstur dan warna rambut klien
hitam, dan rambut klien kotor.
- Kulit : warna kulit klien sawo matang, kulit klien melepuh di seluruh anggota tubuh.
- Kuku : warna kuku klien putih, tidak mudah patah dan kuku klien kotor.
F. Sistem Endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, ekskresi urine yang berlebihan kadang dirasakan klien, suhu tubuh
klien normal, dan tidak memiliki riwayat bekas air seni dikelilingi semut.
G. System Perkemihan
Klien tidak memiliki penyakit hubungan seksual, dan tidak ada kencing batu selama klien buang air seni.
H. System immune
- Allergi : makanan (ayam, udang, telur)
- Immunisasi tidak lengkap
- Ketika perubahan cuaca klien sering influenza.
V. AKTIVITAS SEHARI- HARI
NUTRISI
KETERANGAN SEBELUM SAKIT SAAT SAKIT
Frekuensi
Jenis
3 x sehari
Nasi, lauk, sayur
3 x sehari
Nasi, lauk,sayur
Porsi
Keluhan
1-2 porsi habis
Tidak ada
1 porsi tidak habis
Tidak ada
ISTIRAHAT DAN TIDUR
KETERANGAN SEBELUM SAKIT SAAT SAKIT
Tidur malam – bangun
Tidur siang - bangun
± 7 – 8 jam
± 1 – 2 jam
5 – 6 jam
Susah tidur
KEBERSIHAN DIRI
KETERANGAN SEBELUM SAKIT SAAT SAKIT
Mandi
Keramas
Sikat Gigi
2 x sehari
1 x/ 2 hari
2 x/ hari
Di lap
Tidak ada
1 x/ hari
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM Tn. “S”
CBC RESULT UNIT NORMAL RANGE (PRIA)
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
RDW-CV
PDW
MPV
P-LCR
11.5 +
4.25 –
10.8 –
34.2 –
80.5
25.4 –
31.6 –
417
15.8 +
10.2
8.3
14.3 -
10³/uL
106/uL
9/αL
%
fI
pg
g/dL
103/uL
%
fL
fL
%
4.8 – 10.8
4.7 – 6.1
14 – 18
42 – 52
80 – 94
27 – 31
33 – 37
150 – 450
11.5 – 14.5
9 – 13
7.2 – 11.1
15 – 25
DIFFERENTIAL
Neutro %
Lymph %
MXD %
Neutro #
Lymph #
MXD #
77.6 +
14.9 –
7.5
8.9 +
1.7
0.9
%
%
%
103/uL
103/uL
103/uL
40 – 74
19 – 48
4 – 18
1.5 – 7
1 – 3.7
0 – 1.2
PERAWATAN DAN PENGOBATAN
a. Perawatan
- Rawat luka dang ganti verban dua sehari
b. Pengobatan
- Doksisiklin 2 x 100 mg
- Interhistin 2 x 1
- Metilprednisolon 2 x 1
- Sohobion 1 x 1
- Vit C 3 x 1
- Inj. Farbion 1amp/hr
- Salep topical
II. Klasifikasi Data
a. Data Subjektif
- Klien mengeluh sakit kepala, dan sakit tenggorokan.
- Klien mengatakan sulit menelan.
- Klien mengatakan lemah.
- Klien mengatakan kulit klien melepuh.
- Klien mengatakan tidak mengetahui tentang penyakitnya.
b. Data Objektif
- Klien tampak lemah dalam beraktifitas.
- Kulit klien tampak kemerah-merahan.
- Kulit klien tampak bula yang mudah pecah.
- Klien tampak memegangi tenggorokannya.
- Rambut klien nampak kotor.
- Porsi makan tidak dihabiskan.
- Ekspresi wajah meringis.
- TTV
TD : 110/80 mmHg
N : 72 x/mnt
S : 37.5º C
R : 20 x/mnt
III. ANALISA DATA
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman b/d sakit kepala, dan sakit tenggorokan.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesulitan menelan.
3. Gangguan intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik.
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit b/d kurangnya informasi.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala
umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun
pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini
belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV).
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan
elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat.
2. SARAN
Dengan adanya Asuhan Keperawatan Sindrom Steven Jhonson, diharapkan bagi mahasiswa agar dapat
mengaplikasikan teori yang didapat dengan sebaik- baiknya dalam praktek lapangan serta memahami
dan melaksanakan keterampilan praktek lapangan sesuai dengan prosedur yang baik dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu
2. Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142.
4. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
5. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta
Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta.
2004. hal 141-142
Perubahan NUTRISI KURANG DARI KEBUTUHAN
DATA ETIOLOGI MASALAH
Ds :
klien mengeluh sakit kepala,
sakit tenggorokan.
Do :
klien tampak memegangi
tenggorokannya.
Ekspresi wajah meringis.
Sakit kepala, sakit tenggorokan Gangguan rasa nyaman
Ds : Kesulitan menelan Gangguan nutrisi kurang dari
Klien mengatakan sulit
menelan
Do:
Porsi makan tidak dihabiskan.
kebuthan
Ds :
Klien mengatakan kulit klien
melepuh.
Do :
Kulit klien tampak adanya bula
yang mudah pecah.
Kulit
Gangguan integritas kulir
Ds:
Klien mengatakan lemah
Do:
Klien tampak lemah dalam
beraktifitas
Kelemahan fisik Gangguan intoleransi aktivitas
Ds :
Klien mengatakan tidak
mengetahui tentang
penyakitnya
Kurangnya informasi Kurang pengetahuan
ANALISA DATA
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Tn “S” No. Register :
Umur : 27 tahun Tgl. Masuk : 3/09/2011
No Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi
1 Nyeri b/d adanya sakit
kepala.
8 Oktober 2011
09.00
Mengkaji tingkat nyeri
09.30
Menganjurkan klien untuk
tidak banyak bergerak dan
menghindari tekanan
10.00
Mengukur TTV
TD : 110/80mmHg
N : 72x/mnt
S : 37.5ºC
R : 20x/mnt
9 Oktober 2011
S : klien mengatakan nyeri berkurang
O : Ekspresi wajah klien rileks
A : Sebagian masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi
10.15
Menganjurkan klien untuk banyak beristirahat
10.30
Melayani terapi analgesik
2 Gangguan Nutrisi kurang
dari kebutuhan b/d
kesulitan menelan
8 Oktober 2011
10.45
Mengkaji kemampuan menelan klien
11.00
Menganjurkan klien untuk makan dan menjelaskan pentingnya nutrisi
11.15
Kolaborasi dengan tim gizi
dalam pemberian nutrisi
09 Oktober 2011
S : klien mengeluh kesulitan menelan
O : porsi makan belum dihabiskan
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
3 Gangguan Integritas kulit
b/d inflamasi dermal dan
epidermal
8 Oktober 2011 9 Oktober 2011
Profil
KHANZA SKIN CARE
Perawatan Wajah dan Kecantikan Kulit
SINDROM STEVENS JOHNSON 04/11/2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002)
SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lender serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SJS. SJS muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SJS akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa steven johnson syndrome.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk:
1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis steven Johnson syndrome.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran. 1. Memenuhi salah satu persayaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada beberapa literatur.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi SJS
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsimukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo- okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritem multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.
2.2 Etiologi SJS
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).
Sindrom Stevens Johnson dapat disebabkan oleh karena :
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya),
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin – dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
2.3 Faktor predisposisi SJS
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus persatu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).
2.4 Patofisiologi SJS
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat3. Kegagalan termoregulasi4. Kegagalan fungsi imun5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004).
2.5 Manifestasi klinis SJS
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh
tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada umumnya yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Pada sindrom ini terlihat adanya tris kelainan berupa:
1. Kelainan kulit2. Kelainan selaput lender di orifisium3. Kelainan mata
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lender di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam dan tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas, dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar/ tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
Ruam Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula
terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
Bengkak di kelopak mata, atau mata merah. Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.
terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
2.6 Diagnosa SJS
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bias membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).
2.7 Diagnosis Banding SJS
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).
2.8 Pemeriksaan penunjang SJS
1. Pemeriksaan laboratorium :
1. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain pemeriksaan biopsy.
2. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
3. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
4. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.5. Pemeriksaan elektrolit.6. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.7. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan.
2. Imaging studies :
1. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
3. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnose (Adithan, 2006).
2.9 Penatalaksanaan SJS
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari
0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3- 12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,
bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).
2.10 Komplikasi SJS
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi – Esophageal strictures Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina Pulmonari – pneumonia Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002).
2.11 Prognosis SJS
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan
5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.
Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu
Anonym. 2010. Doctorology Indonesia Steven Johnson Syndrome. http. www. Steven Johnson syndrome. Diakses tanggal 21 agurtus 2010.
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
Hamzah M. Sindrom Steven Johnson ; ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:147-149
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142.