bab iv case fix
Post on 17-Jan-2016
226 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang perempuan, usia 60 tahun, datang dengan keluhan utama badan
terasa semakin lemas sejak ± 5 hari SMRS dan keluhan tambahan batu berdahak
semakin sering.
± 6 bulan SMRS, pasien mengeluh batuk, tidak ada dahak, tidak ada darah. Nyeri
dada dan sesak nafas tidak ada. Demam ada, tidak ada menggigil, demam tidak terlalu
tinggi, hilang timbul. Mual dan muntah tidak ada. Keringat di malam hari ada. Pasien
mengaku nafsu makan mulai menurun. Pasien merasa badan lemas dan berat badan mulai
turun. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke bidan, dikatakan hanya batuk
dan demam biasa, dan diberikan obat suntik dan obat makan, pasien lupa nama obatnya.
Keluhan panas berkurang tapi batuk masih ada.
± 2 bulan SMRS, pasien mengeluh batuk berdahak, banyaknya ± ½ sendok teh
tiap batuk, warna putih, tidak ada darah. Sesak nafas dan nyeri dada ada setiap kali batuk.
Sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi. Nyeri dada ada di bagian dada
sebelah kanan dan kiri, tidak menjalar. Demam ada, tidak ada menggigil, demam tidak
terlalu tinggi, hilang timbul. Mual dan muntah tidak ada. Nafsu makan masih menurun
dan badan terasa lemas. Pasien tidak pernah menimbang berat badan sebelumnya, tetapi
pasien merasa berat badan turun yang dirasakan dari baju dan celana yang mulai terasa
longgar. Keringat di malam hari ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke
bidan, dikatakan demam biasa dan batuk berdahak, diberikan obat suntik dan obat makan,
tapi pasien tidak ingat nama dan warna obatnya, obat di minum ± 1 minggu, setelah
minum obat kencingnya tidak berubah menjadi warna merah. Keluhan tidak berkurang.
± 1 bulan SMRS, pasien mengeluh batuk berdahak, banyaknya ± ½ sendok teh
tiap batuk, warna kuning kehijauan, tidak ada darah. Sesak nafas dan nyeri dada ada
setiap kali batuk. Sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi. Nyeri dada
ada di bagian dada sebelah kanan dan kiri, tidak menjalar. Demam ada, tidak ada
menggigil, demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul. Mual dan muntah tidak ada. Nafsu
makan semakin menurun dan badan terasa semakin lemas. Pasien tidak pernah
menimbang berat badan sebelumnya, tetapi pasien merasa berat badan semakin turun
yang dirasakan dari baju dan celana yang semakin terasa longgar. Keringat di malam hari
ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat lagi ke bidan, dikatakan hanya
61
batuk berdahak biasa, dan diberikan obat suntik dan obat makan, tapi pasien tidak ingat
nama dan warna obatnya, obat di minum ± 1 minggu, setelah minum obat kencingnya
tidak berubah menjadi warna merah. Keluhan tidak berkurang.
± 5 hari SMRS, pasien mengeluh badan terasa semakin lemas, tidak kuat lagi
berjalan dan semua aktivitas hanya tidur di tempat tidur. Pasien tidak ada nafsu makan.
Batuk berdahak semakin sering yang banyaknya ± 1 sendok teh sekali batuk, warna
kuning kehijauan, tidak ada darah. Demam ada, tidak ada menggigil, tidak terlalu tinggi,
hilang timbul. Keringat di malam hari ada. Pasien mengeluh BAB berwarna cokelat
kehitaman, konsistensi keras. BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke puskesmas
setempat dan dirujuk ke RSMH Palembang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, Tekanan Darah 110 / 70 mmHg, nadi 84 x / menit, pernafasan 24x /
menit, suhu 36,9° C. Pada pemeriksaan fisik seluruh tubuh didapatkan kulit kering, pucat
pada telapak tangan dan kaki, keringat umum terutama pada malam hari, rambut pasien
mudah dicabut, konjungtiva palpebra pucat (+/+), mata cekung, lidah kering, rhagaden
ada. Pada pemeriksaan paru – paru didapatkan dalam keadaan statis dan dinamis paru
kanan dan kiri simetris, stemfremitus meningkat pada kedua paru, redup pada lapangan
paru kanan-kiri, vesikuler kanan-kiri meningkat, ronkhi basah sedang di paru kanan dan
kiri ( + ). Pada pemeriksaan jantung: ictus cordis terlihat dan teraba di linea midaksilaris
sinistra ICS IV, batas atas jantung: ICS II, batas kanan jantung: linea sternalis sinistra ICS
IV, batas kiri jantung: linea axilaris anterior ICS IV, HR = 84 bpm, reguler. Pada
pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah didapatkan hipotoni, hipotrofi, gerakan terbatas,
dan kekuatan +4.
Pada pemeriksaan laboratorium (15 April 2013) didapatkan Hb 8,1 gr/dl, Ht 25
vol%, Leukosit 12900/mm3, LED 100mm/jam, Hitung Jenis 0/0/0/80/11/9, albumin 2,2;
Natrium 131 mEq/L, disimpulkan anemeia, leukositosis, infeksi kronis,
hipoalbuminemia dan hiponatremia.
Dari seluruh data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
kami dapatkan, pasien ini didiagnosis kasus baru TB paru lesi luas + malnutrisi +
anemia karena Penyakit kronis + community acquired pneumonia (CAP) +
hipoalbuminemia + hiponatremia. Berdasarkan diagnosis TB paru yaitu batuk berdahak
≥ 2 minggu, penurunan nafsu makan, keringat di malam hari, BB turun, tidak ada riwayat
batuk lama/TB sebelumnya, tidak pernah minum obat yang membuat BAK berwarna
merah dan pemeriksaan fisik yang khas stemfremitus meningkat di kedua paru, redup di
62
kedua lapangan paru, dan vesikuler meningkat di kedua lapangan paru. Pemeriksaan BTA
sputum I, II, III didapatkan +3. Ditambah hasil foto rontgen didapatkan gambaran infiltrat
di seluruh lapangan paru kiri dan sebagian paru kanan dan beberapa gambaran kavitas di
paru kanan dan kiri. Semua data di atas memastikan diagnosis kasus baru TB paru lesi
luas.
Data antropometri dengan berat badan 30 kg dan tinggi badan 154 cm, maka
RBW pasien ini 55,6% dan IMT 12,64 dikelompokkan status gizi kurang atau malnutrisi.
Data anamnesis didapatkan, sudah 6 bulan pasien tidak nafsu makan dan BB menurun,
disimpulkan intake pasien berkurang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan rambut
mudah dicabut, mata cekung, kulit kering, turgor kembali lambat, konjungtiva palpebra
pucat, dan pucat pada kedua telapak tangan dan kaki. Pasien ini dikategorikan malnutrisi
dengan dehidrasi low intake.
Pada 5 hari SMRS, pasien mengeluh BAB cokelat kehitaman dan kami curiga
ada anemia defesiensi besi karena ada riwayat perdarahan sebelumnya dari BAB cokelat
kehitaman. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan MCV 82,5 fL, MCH 27 fL,
MCHC 33 fL yang disimpulkan bahwa pada pasien ini terjadi Anemia Hipokrom
Mikrositer dengan diagnosis banding anemia defisiensi besi, anemia karena penyakit
kronis, thalasemia, dan anemia sideroblastik. Lalu untuk memastikan beberapa data untuk
diagnosis banding anemia defisiensi besi seperti Hb rendah, tes benzidine positif, SI
menurun, TIBC meningkat, dan feritin menurun. Pada pemeriksaan penunjang tanggal 16
April 2013 kami periksa darah samar (Tes Benzidine), SI dan TIBC. Tes Benzidine dapat
mendeteksi > 75 cc darah dalam feses, didapatkan hasil negatif, dan didapatkan juga hasil
SI menurun dan TIBC juga menurun. Tidak sesuai untuk diagnosis anemia defesiensi
besi. Diagnosis thalasemia berupa ada riwayat menderita thalasemia dalam keluarga yang
dapat diketahui dari adanya riwayat transfusi darah berkali-kali dalam keluarga, ada
riwayat menikah dengan saudara atau hubungan sedarah, dari pemeriksaan fisik
didapatkan splenomegali dan pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb normal atau
menurun sedikit. Point diagnosis thalasemia tidak didapatkan pada pasien, sehingga
diagnosis banding anemia karena penyakit thalasemia dapat disingkirkan. Pada diagnosis
anemia sideroblastik dapat ditemukan serum besi meningkat dan adanya gangguan
distribusi besi, jadi diagnosis banding anemia sideroblastik disingkirkan. Diagnosis
banding terakhir untuk anemia hipokrom mikrositer adalah anemia karena penyakit
kronis. Beberapa point untuk diagnosisnya adalah ada penyebab primer yaitu pada kasus
63
ini TB paru, gangguan distribusi besi, Hb sangat rendah, feritin meningkat, jadi kami
diagnosis anemia karena penyakit kronis.
Pasien ini juga kami diagnosis community acquired pneumonia (CAP)
berdasarkan batuk berdahak yang dahaknya berubah dari mucoid menjadi purulen, sesak
napas, demam tidak tinggi, dan foto RO didapatkan infiltrat, jadi kami diagnosis
Community Acquired Pneumonia (CAP) tipe atipikal.
Pada pengobatan secara nonfarmakologis penderita dianjurkan dianjurkan untuk
istirahat total karena kondisi fisik yang masih lemah dan memudahkan untuk expectorasi,
memakaai masker untuk mencegah penularan tinggi ke orang lain, expectorasi dahak ke
tempat khusus, dan mobilisasi ke kanan dan kiri untuk mencegah efek imobilisasi yang
lama pada pasien selama 6 bulan. Perhatian ketat untuk gizi pada pasien TB paru dengan
malnutrisi dan anemia yaitu makan nasi biasa dan diet tinggi kalori tinggi protein
ditambah ekstra telur asin untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita terhadap
pengobatan yang diberikan dan penyakit yang dideritanya. Menurut buku Penuntun Diet,
diet khusus untuk pasien TB Paru yaitu diet 2300 – 2700 kalori. Dimana untuk pasien TB
paru dengan batuk produktif asupan karbohidrat ditingkatkan dari 50-60% menjadi 60-
70% dari total energi yaitu 2300 kalori, protein 2gr x BB ideal pasien, dan sisanya untuk
lemak. Jadi karbohidrat dalam satu hari yang diperlukan pasien sekitar 60% dari 2300
kalori yaitu 1380 kalori = 335 gr yang didapatkan dari nasi pada pagi, siang, malam
masing-masing 150 gr per porsi. Untuk cakupan protein 2gr x BB ideal (43,5 kg) = 97 gr
yang didapatkan dari telur 60 gr, ikan 60gr, dan susu protein 20 gr, dan sisanya lemak
sekitar 59 gr yang didapatkan dari kuning telur. Dari keseluruhan pemantauan diet ini
diharapkan dapat terjadi peningkatan BB 0,5-0,8 kg/hari. Disarankan juga untuk
menambah susu tinggi protein sebanyak 20 gr untuk meningkatkan zat pembangun dan
salah stau cara untuk koreksi albumin dari makanan. Kebutuhan albumin pda pasien ini
sesuai rumus = 0,8 x (albumin yang diinginkan – albumin sekarang) x BB = 0,8 x 1,3 x
30 = 31,2. Untuk koreksi hipoalbumin dapat dari asupan gizi dengan memakan putih
telur 3xsehari (1 butir putih telur = 30 gr protein) dan ekstrak 2kg ikan gabus. Memang
belum ada penelitian dari bagian gizi yang memaparkan konsumsi putih telur 3xsehari
dapat menaikkan berapa banyak albumin. Penelitian Sutrisno (2003) menyatakan dalam
penelitiannya bahwa ekstra 2kg ikan gabus dapat meningkatkan kadar hipoalbuminemia
menjadi nilai standar normal 3,5-5,5 g/dL.
Secara farmakologis pada penderita diberikan infus NaCL 0,9% dan D5% dengan
perbandingan 1:1 karena pasien mengalami hiponatremia sekaligus sebagai nutrisi karena
64
pada pasien ini mengalami penurunan nafsu makan dan juga untuk memudahkan
pemberian obat-obatan secara intravena. Untuk koreksi hipoalbumin dapat diberikan
human albumin flash 20% yang mengandung 0,2 albumin. Karena diagnosis pasien ini
merupakan kasus baru TB paru yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
foto rontgen, dan hasil pemeriksaan sputum BTA belum ada, jadi belum dapat kita
berikan OAT. Tanggal 17 April 2013 didapatkan hasil pemeriksaan sputum BTA I +3,
sudah dapat menjadi indikasi pemberian OAT. Sehingga regimen pengobatan TB yang
diberikan yaitu OAT kategori 1 yang terdiri dari Rifampisin 1x300mg, INH 1x150mg,
Pirazinamide 1x750mg, dan Etambutol 1x450mg
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini adalah dubia ad bonam, karena penderita
dapat tetap hidup dengan kelainan paru yang dideritanya saat ini. Bila pengobatan
berjalan lancar dan teratur, tuberkulosis bukanlah suatu penyakit yang mematikan.
Sedangkan quo ad functionam adalah dubia ad bonam, karena tuberkulosis merupakan
penyakit yang dapat sembuh apabila diobati secara baik dan teratur. Untuk prognosis quo
ad sanactionam, dapat memastikan bahwa TB paru ini ada atau tidak kemungkinan
berulang dapat dilihat dari status gizi pasien yang semakin membaik, kebersihan diri
sendiri dan lingkungan rumah, disarankan untuk menghindari lingkungan padat penghuni,
dan dipengaruhi juga dari jarak Puskesmas Pembantu denga rumah pasien karena untuk
memastikan OAT pasien ini secara tuntas yang dapat mempengaruhi kepatuhan minum
obat pada pasien. Jadi, prognosis qua ad sananctionam pada pasien adalah dubia ad
bonam.
65
top related