bab ii tinjauan pustaka a.uberkulosis trepository.ump.ac.id/4312/3/yoanisa aprilia... ·...
Post on 06-Sep-2018
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis
1. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosa. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosa
(Darmanto, 2014).
Menurut Sulianti (2004) Tuberkulosis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Sebagian besar
kuman ini menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. Kuman ini berbentuk batang yang mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama
selama beberapa tahun.
2. Penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar mempermudah proses penularan dan berperan
sekali atas peningkatan jumlah kasus Tuberkulosis (Sudoyo et al., 2009).
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
19
Penyakit Tuberkulosis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut
terhirup oleh orang lain saat bernafas (Dipiro et al., 2008). Bila batuk, bersin
atau bicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur
dan terhisap ke dalam paru orang sehat. Masa inkubasinya, yaitu selama 3 – 6
bulan. Setiap BTA Positif akan menularkan kepada 10 – 15 orang lainnya,
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis adalah 17 %.
Hasil studi lainya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga
serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak biasa (tidak
serumah) (Widiyono, 2011).
3. Klasifikasi Tuberkulosis menurut Pedoman Nasional Penganggulangan TB
(2014).
Pasien Tuberkulosis juga diklasifikasikan menurut: Lokasi anatomi dari
penyakit, Riwayat pengobatan sebelumnya, Hasil pemeriksaan uji kepekaan
obat dan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik.
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru adalah Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim
(jaringan) paru Milier Tuberkulosis dianggap sebagai Tuberkulosis paru
karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis Tuberkulosis dirongga
dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat
gambaran radiologis yang mendukung Tuberkulosis pada paru, dinyatakan
sebagai Tuberkulosis ekstra paru. Pasien yang menderita Tuberkulosis
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
20
paru dan sekaligus juga menderita Tuberkulosis ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis ekstra paru: Adalah Tuberkulosis yang terjadi pada
organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran
kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis Tuberkulosis
ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis
atau klinis. Diagnosis Tuberkulosis ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien Tuberkulosis ekstra paru yang menderita Tuberkulosis pada
beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien Tuberkulosis ekstra paru
pada organ menunjukkan gambaran Tuberkulosis yang terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
(1) Pasien baru Tuberkulosis: adalah pasien yang belum pernah
mendapatkan pengobatan Tuberkulosis sebelumnya atau sudah
pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (dari 28 dosis).
(2) Pasien yang pernah diobati Tuberkulosis: adalah pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (dari 28
dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan Tuberkulosis terakhir, yaitu:
(3) Pasien kambuh: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis
Tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
(baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
21
(4) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien Tuberkulosis
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
(5) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
(6) Lain-lain: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi pasien Tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis yaitu :
(1) Tuberkulosis paru BTA positif.
(a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
(b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thorak dada
menunjukkan tuberkulosis.
(c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
Tuberkulosis positif.
(d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS yang pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
22
(2) Tuberkulosis BTA Negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA
positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus
meliputi:
(a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
(b) Foto thorak abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
(c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
(d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
4. Tanda dan Gejala Tuberkulosis Paru
Keluhan yang dirasakan pasien Tuberkulosis paru dapat bermacam-
macam atau banyak pasien ditemukan Tuberkulosis paru tanpa keluhan
sama sekali. Gejalanya berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala
umum berupa demam dan malaise. Demam ini mirip dengan demam yang
disebabkan influenza namun kadang-kadang dapat mencapai 40-41ºC.
Gejala demam ini bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam
jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu
makan berkurang, serta penurunan berat badan (Darmanto, 2014).
Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif
merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang
sensitif untuk penyakit Tuberkulosis paru aktif. Nyeri dada biasanya
bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit
(Darmonto, 2014).
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
23
5. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis Tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan bakteriologis dan radiografi. Diagnosis pasti Tuberkulosis
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kultur bakteri atau biakan sputum,
tetapi pemeriksaan tersebut memerlukan fasilitas laboratorium khusus dan
ahli (Mitchison, 2005).
Menurut program penanggulangan Tuberkulosis Nasional (2011)
diagnosis Tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan sputum
secara mikroskopis. Pemeriksaan tiga spesimen sputum sewaktu-pagi-
sewaktu (SPS) secara mikroskopis hasilnya identik dengan pemeriksaan
sputum secara kultur atau biakan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan BTA positif apabila sedikitnya dua
dari tiga spesimen sputum yang diperiksa diperoleh hasil positif atau hanya
satu spesimen BTA positif dengan hasil foto rontgen sesuai gambaran
Tuberkulosis aktif. Jika ketiga spesimen BTA negatif tetapi foto rontgen
sesuai gambaran Tuberkulosis maka diagnosis ditegakkan sebagai BTA
negatif rontgen positif.
Ditemukan satu spesimen yang positif dengan gejala yang
mendukung maka harus dilakukan pemeriksaan ulang. Jika hasil tetap satu
spesimen yang positif atau negatif tetapi gejala mendukung Tuberkulosis
maka penderita diberikan antibiotik spektrum luas selama dua minggu, dan
jika setelah pengobatan gejala hilang maka penderita bukan Tuberkulosis
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
24
paru, tetapi jika gejala tidak hilang maka perlu dilakukan kembali
pemeriksaan sputum (Depkes, 2010).
Menurut Alsagaff (2010), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
memberikan diagnosa yang tepat antara lain:
a. Anamnesis baik terhadap pasien maupun keluarganya.
Identifikasi keluhan seperti batuk, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri
dada dan nafas berbunyi yang berlangsung lama.
b. Pemeriksaan fisik secara langsung.
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien dengan penemuan
konjungtiva pucat atau kulit yang pucat karena anemia, badan kurus
atau berat badan menurun. Kelainan paru pada umumnya terjadi di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta
daerah apeks lobus inferior. Pemeriksaan pada perkusi didapatkan suara
redup dan auskultasi suara nafas bronchial (Amin dan Bahar, 2009)
c. Pemeriksaan laboratorium
Bahan pemeriksaan adalah dahak pasien. Cara pengambilan dahak 3
kali (SPS) :
(1) Sewaktu / spot (dahak waktu saat kunjungan)
(2) Pagi (keesokan harinya)
(3) Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
d. Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan :
(1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif artinya BTA positif.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
25
(2) 1 kali positif, 2 kali negatif artinya ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif artinya BTA positif.
(3) Bila 3 kali negatif, artinya BTA negatif.
e. Rontgen dada
Sesuai dengan gambaran tuberkulosis paru. Lokasi lesi tuberkulosis
umumnya di daerah apeks paru, tetapi bisa juga mengenai lobus bawah
(inferior). Awal ditemukan penyakit, lesi merupakan sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan
dengan batas tidak tegas. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang
mula-mula berdinding tipis. Dalam waktu lama, dinding akan menjadi
sklerotik dan terlihat menebal. Bila terdapat fibrosis terlihat bayangan
yang bergaris-garis (Amin & Bahar, 2009).
6. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis
Menurut Darmanto (2014) pengobatan Tuberkulosis harus selalu
meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud :
a. Tahap Awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada
semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu/
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
26
b. Tahap Lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan merupakan
tahap yang penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh khususnya kuman presister sehingga pasien dapat sembuh
dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis menurut Kemenkes RI (2011)
Tabel 2. Dosis OAT lini pertama pasien dewasa menurut Kemenkes RI (2011)
Catatan :
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur > 60 tahun atau pasien dengan
berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500 mg/ hari.
Beberapa bukuu rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10
mg/kg/BB/hari/
Tabel 3. OAT yang digunakan pada pasien MDR menurut Kemenkes RI (2011)
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
27
7. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya menurut Kemenkes RI
(2015).
a. Kategori-1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
(1) Pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis.
(2) Pasien Tuberkulosis paru terdiagnosis klinis
(3) Tuberkulosis ekstra paru
Tabel 4. Dosis OAT KDT Kategori 1:2 (2HRZE)/4(HR)3
Tabel 5. Dosis OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3
b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
(1) Pasien kambuh
(2) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
(3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
28
Tabel 6. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)
Tabel 7. Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tabel 8. Hasil Pengobatan TB
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
29
8. Pencegahan
Menurut Notoatmodjo (2003) Tuberkulosis paru bisa diobati, asalkan
benar – benar mempunyai keinginan dan semangat yang besar untuk sembuh.
Dorongan dari keluarga dan orang disekitar sangatlah diperlukan.
Pemeriksaan yang intensif dan teliti serta disiplin minum obat yang diberikan
dokter harus dilakukan penderita agar penyakit yang dideritanya segera
sembuh. Pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk menyembuhkan,
mencegah kematian, dan kekambuhan.
a. Tindakan pencegahan Tuberkulosis paru oleh orang yang belum terinfeksi:
(1) Berusaha mengurangi kontak dengan penderita Tuberkulosis paru
aktif.
(2) Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya bisa dengan
mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi, menjaga
lingkungan selalu sehat baik itu di rumah maupun di tempat kerja
(kantor), dan menjaga kebugaran tubuh dengan cara menyempatkan
dan meluangkan waktu untuk berolah raga.
(3) Pemberian vaksin BCG, tujuannya untuk mencegah terjadinya kasus
infeksi Tuberkulosis yang lebih berat. Vaksin BCG secara rutin
diberikan kepada semua balita.
b. Tindakan pencegahan Tuberkulosis paru oleh penderita agar tidak
menular:
Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi penderita Tuberkulosis
paru aktif tindakan yang bisa dilakukan adalah menjaga kuman (bakteri)
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
30
dari diri sendiri, hal ini biasanya membutuhkan waktu lama sampai
beberapa minggu untuk masa pengobatan dengan obat Tuberkulosis
hingga penyakit Tuberkulosis sudah tidak bersifat menular lagi.
Menurut Priyoto (2014) adapun cara untuk membantu menjaga
pencegahan Tuberkulosis agar infeksi bakteri tidak menular kepada orang
– orang disekitar baik itu teman atau keluarga di rumah:
(1) Selama beberapa minggu menjalani pengobatan sebaiknya tidak tidur
sekamar dengan orang lain meskipun keluarga sendiri sebagai usaha
pencegahan Tuberkulosis paru agar tidak menular.
(2) Selalu menggunakan masker untuk menutup mulut, hal ini merupakan
langkah pencegahan Tuberkulosis paru secara efektif dan jangan
membuang masker yang sudah tidak dipakai lagi pada tempat yang
tepat dan aman dari kemungkinan terjadinya penularan Tuberkulosis
paru ke lingkungan sekitar.
(3) Jangan meludah di sembarangan tempat.
(4) Menghindari udara dingin dan selalu mengusahakan agar pancaran
sinar matahari dan udara segardapat masuk secukupnya ke ruangan
tempat tidur. Usahakan selalu menjemur kasur, bantal, dan tempat
tidur terutama di pagi dan di tempat yang tepat.
(5) Tidak melakukan kebiasaan sharing penguunaan barang atau alat.
Semua barang yang digunakan penderita Tuberkulosis paru harus
terpisah dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
31
(6) Mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak kadar karbohidrat
dan protein tinggi.
B. Perilaku
1. Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa perilaku merupakan respons
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku
manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon sehingga
teori Skinner ini disebut “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons).
2. Bentuk Perilaku
Menurut Benyamin Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010),
membedakan adanya tiga ranah perilaku, yaitu kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor).
a. Sikap
Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik,
dan sebagainya).
Menurut Notoatmodjo (2010) sikap terdiri dari beberapa tingkatan
yaitu:
(1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
(2) Menanggapi (responding)
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
32
Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
(3) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan
nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti
mengajak atau mempengaruhi orang lain merespon.
(4) Bertanggung Jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung
jawab terhadap apa yang telah diyakininya.
Azwar (2013) menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi sikap
adalah :
(1) Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk
dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial.
Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap,
untuk dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek
psikologis.
(2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang
yang kita anggap penting, akan banyak mempengaruhi
pembentukan sikap kita terhadap sesuatu.
(3) Pengaruh kebudayaan
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
33
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempenyui
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari,
kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap
berbagai masalah.
(4) Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbgai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang.
(5) Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap yang ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang disadari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan
bentuk mekanisme pertahanan ego.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau
objek yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
b. Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over
behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
34
antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan
faktor pendukung (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2003).
(1) Tingkat Tindakan menurut Notoatmodjo (2010).
(a) Praktik terpimpin (guided response)
Apabila suatu subjek atau sesorang telah melakukan
sesuatu tapi masih tergantung pada tuntunan atau
menggunakan panduan.
(b) Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau
mempraktikan sesuatu hal secara otomatis, maka disebut
praktik atau tindakan mekanis.
(c) Adopsi (adoption)
Suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.
Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau
mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau
tindakan atau perilaku yang berkualitas.
(d) Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat
pertama.
(2) Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
35
Menurut Lawrence Green yang dikutip oleh Notoatmodjo
(2010) bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor
utama, yaitu:
(a) Faktor – faktor predisposisi (pre disposing factors) adalah
faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya
perilaku sesorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,
kepercayaan, nilai – nilai, tradisi, dan sebagainya.
(b) Faktor – faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor –
faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau
tindakan.
(c) Faktor – faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor –
faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
(3) Klasifikasi Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
(a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
Adalah perilaku atau usaha – usaha seseorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha
untuk penyembuhan bilamana sakit.
(b) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas
kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan
(health seeking behaviour). Perilaku ini adalah menyangkut
upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
36
(c) Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya.
(4) Perilaku kesehatan pada penderita Tuberkulosis. Berikut adalah
perilaku kesehatan :
(a) Diupayakan cahaya matahari sebanyak mungkin masuk ke
dalam rumah.
(b) Membuka jendela setiap hari.
(c) Segera membuang tissue yang sudah dipakai kedalam tempat
sampah.
(d) Cuci tangan dengan menggunakan air bersih atau sabun.
(e) Menggunakan masker selama berpergian.
(f) Penderita tidak meludah di lantai atau disembarang tempat,
agar kuman tidak menyebar dan menular ke orang lain.
(g) Penderita harus menutup mulut dengan sapu tangan, bila batuk
atau bersin.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu
dengan wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga
dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi
tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2010).
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
37
C. DOTS
DOTS merupakan pengobatan Tuberkulosis jangka pendek dengan
pengawasan secara langsung. Upaya pengendalian Tuberkulosis secara
nasional dilakukan dengan menerapkan strategi DOTS mulai tahun 1995,
yaitu strategi penatalaksanaan Tuberkulosis yang menekankan pentingnya
pengawasan untuk memastikan pasien menyelesaikan pengobatan sesuai
ketentuan sampai dinyatakan sembuh (Kemenkes RI, 2013). Strategi ini
direkomendasikan WHO secara global dalam pengendalian Tuberkulosis
karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu mencapai 85%
(Kurniawan, 2015).
Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah
penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita
Tuberkulosis tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan
Tuberkulosis dan dengan demikian menurunkan insidens Tuberkulosis di
masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara
terbaik dalam upaya pencegahan penularan Tuberkulosis.
Kemenkes RI (2013) menyatakan strategi DOTS dalam angka pada
penemuan kasus menunjukan peningkatan yang signifikan yaitu dari 21%
pada tahun 2001 menjadi 82,38% pada tahun 2012. Angka keberhasilan juga
menunjukan peningkatan yaitu dari 87% pada tahun 2001 menjadi 90,2%
pada tahun 2012. Angka penemuan kasus Tuberkulosis dan keberhasilan
pengobatan merupakan indikator yang digunakan untuk mengetahui
keberhasilan upaya pendeteksian kasus Tuberkulosis (Kurniawan, 2015).
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
38
Dengan menggunakan DOTS, maka proses penyembuhan Tuberkulosis
paru dapat berlangsung secara cepat. Kategori kesembuhan penyakit
Tuberkulosis yaitu suatu kondisi dimana individu telah menunjukan
peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu indikator kesembuhan
penyakit Tuberkulosis, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan dan minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif
(Nizar, 2010).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan
dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan
tepat waktu dengan mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara
keseluruhan.
D. Kepatuhan Berobat
Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat
pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1994). Kepatuhan pasien sebagai
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
39
sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
profesional kesehatan (Niven, 2002). Atau juga dapat didefinisikan kepatuhan
atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien
terhadap pengobatan yang telah ditentukan (Gabit, 1999). Keberhasilan
pengobatan Tuberkulosis paru ditentukan oleh kepatuhan pasien Tuberkulosis
dalam meminum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes RI, 2013).
Kepatuhan menyangkut aspek jumlah dan jenis OAT yang diminum, serta
keteraturan waktu minum obat (Nainggolan, 2013). Menurut Kemenkes RI
(2013) keberhasilan pengobatan ditentukan juga oleh penemuan kasus secara
mikroskopis.
Kendala dalam Tuberkulosis paru adalah motivasi yang kurang dari
penderita, putus berobat yang disebabkan karena pengobatan yang
memerlukan waktu lama, jumlah dosis sekali minum akan mempengaruhi
kepatuhan, keteraturan dan keinginan untuk minum obat sehingga seringkali
penderita menghentikan pengobatan sebelum masa pengobatan selesai.
Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien
dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas
kesehatan (Robert, 1999). Kesembuhan penderita Tuberkulosis paru dalam
Depkes (2008) dijelaskan bahwa dikatakan sembuh dalam pengobatan
Tuberkulosis paru adalah penderita telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap 6-9 bulan dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya
negatif pada akhir pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya negatif.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
40
Walaupun telah diketahui obat-obat untuk mengatasi Tuberkulosis dan
penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan obat-obat Tuberkulosis,
penanggulangan dan pemberantasannya sampai saat ini belum memuaskan.
Pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai dengan standar DOTS juga
dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan multi terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang memunculkan jenis kuman Tuberkulosis yang
lebih kuat, yang dikenal dengan Multi Drug Resistant (MDR-TB) (Bagiada &
Primasari, 2010).
Berhasil atau tidaknya pengobatan Tuberkulosis tergantung pada
pengetahuan pasien ada tidaknya upaya dari diri sendiri atau motivasi dan
dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien
untuk mengkonsumsi obat. Dampak jika penderita berhenti minum obat
adalah munculnya kuman Tuberkulosis yang resisten terhadap obat, jika ini
terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat
tuberkulosis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka
kematian akibat penyakit Tuberkulosis. Tujuan pengobatan pada penderita
Tuberkulosis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi
pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang penyakit ini (Enjang,
2002).
Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan adalah faktor komunikasi, pengetahuan, dan fasilitas kesehatan.
1. Faktor komunikasi
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
41
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi
ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawas yang kurang,
ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter,
ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan.
2. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama
penting sekali dalam pemberian antibotik. Karena sering sekali pasien
menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan
saat obat itu habis.
3. Fasilitas kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan
penyuluhan terhadap pasien. Diharapkan pasien menerima penjelasan dari
tenaga kesehatan.
Karena jangka waktu pengobatan yang ditetapkan lama maka terdapat
beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat
teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur
(defaulting), penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus
berobat (droup out) (Partasasmita, 1996). Oleh karena itu menurut Cramer
(1991) kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi:
1. Kepatuhan penuh (Total compliance)
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas
waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur
sesuai petunjuk.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
42
2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (non compliance) Yaitu penderita
yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan penderita Tuberkulosis
menurut Niven (2002) adalah :
1. Faktor penderita atau individu :
a. Sikap atau motivasi individu ingin sembuh
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu
sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatanya
sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan
denganperilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.
b. Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani
kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinanya
akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat
menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik.
Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi
oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang
kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu
akibatnya.
c. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang
paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa
senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
43
keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan
kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya
dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang
diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.
d. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari
anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam
kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat
mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat
mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.
e. Dukungan petugas kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama
berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru
tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat
mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias
mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus
menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah
mampu berapdatasi dengan program pengobatanya.
2. Kultur budaya dan agama
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,
karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai atau tidak
dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
44
3. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka akan mudah menerima hal-hal baru
dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.
4. Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan
yang tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur
seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah suatu kuesioner
untuk mengukur kepatuhan seseorang dalam minum obat, biasanya
digunakan pada pasien penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan
jangka waktu lama. MMAS merupakan hasil pengembangan dari Modified
Morisky Scale (MMS) yang dapat meningkatkan sensitivitas pengukuran
kepatuhan penggunaan obat, karena item pertanyaan dan skala nilai lebih
spesifik (Purwaningtyastuti dkk, 2011).
E. Kerangka Teori
TAHU, MEMAHAMI, APLIKASI,
ANALISIS, SINTESIS, EVALUASI
PENGETAHUAN PENIDIDIKAN MEDIA MASA
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
45
Gambar 2. Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
KEPATUHAN BEROBAT
PASIEN DALAM MENGIKUTI
PROGRAM PENGOBATAN
SISTEM DOTS
PERILAKU
PASIEN
PENGALAMAN
SIKAP
LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA
PERILAKU
Sumber :
Kerangka Teori Menurut Benyamin Bloom (1908), Budiman
(2013), Notoatmodjo (2010), Kemenkes (2011).
KEPATUHAN
• BAIK
• TIDAK BAIK
KEBERHASILAN PENGOBATAN
TB
MENERIMA,
MENANGGAPI,
MENGHARGAI,
BERTANGGUNG
JAWAB
• KEPATUHAN TINGGI
• KEPATUHAN
SEDANG
• KEPATUHAN
RENDAH
TINDAKAN
1. Baik
2. Tidak Baik
a. Kepatuhan Tinggi
b. Kepatuhan Sedang c. Kepatuhan Rendah
Kerangka Teori :
Studi Yang Diteliti :
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
46
G. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu perumusan sementara mengenai suatu hal yang
dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat menuntut / mengarahkan
penelitian selanjutnya (Umar, 2005). Dari penelitian ini peneliti merumuskan
hipotesis sebagai berikut :
H0 : “Tidak ada hubungan antara perilaku pasien Tuberkulosis paru
dengan kepatuhan program pengobatan sistem DOTS di Balai
Kesehatan Paru Masyarakat Purwokerto”
H1 : “Ada hubungan antara perilaku pasien Tuberkulosis paru dengan
kepatuhan program pengobatan sistem DOTS di Balai Kesehatan
Paru Masyarakat Purwokerto”
Gambar 1. Kerangka Konsep
KEBERHASILAN PENGOBATAN TB
Hubungan Perilaku Pasien...,Yoanisa Aprilia Mutianingtyas, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
top related