bab ii tinjauan pustaka 2.1. puyuh jantaneprints.undip.ac.id/56852/3/bab_ii.pdf · burung puyuh...
Post on 14-Mar-2019
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Puyuh Jantan
Burung puyuh merupakan salah satu komoditi unggas dari genus Coturnix
yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil telur dan daging. Burung puyuh
betina akan mulai bertelur pertama kali pada umur 42-50 hari (Rachmat dkk.,
2007). Ciri-ciri jantan dewasa terlihat dari bulu bagian leher dan dadanya yang
berwarna cokelat muda. Puyuh jantan muda mulai bersuara/berkicau pada umur 5-
6 minggu. Selama musim kawin normal, jantan Coturnix akan berkicau setiap
malam (Listiyowati dan Roospitasari, 2005).
Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2005), klasifikasi zoologi burung
puyuh adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Sub Famili : Phasianidae
Genus : Coturnix
Species : Coturnix coturnix japonica
4
Fase pertumbuhan yang dialami oleh burung puyuh jantan terdiri dari 2 fase
yaitu fase starter yang terjadi antara 0-3 minggu dan fase grower yang terjadi
antara 3-5 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Menurut Djulardi dkk.
(2006), pada periode starter dan grower pertumbuhannya sangat cepat setelah itu
turun berlahan, pertumbuhan maksimal dicapai pada umur 5 minggu kemudian
melambat dan beratnya akan tetap pada umur 7 minggu.
Puyuh jantan mempunyai kelenjar kloaka pada pinggir atas anus yang
mengeluarkan bahan berwarna putih dan berbuih bila ditekan (Anggorodi, 1995).
Abidin (2005) menyatakan jika bulu diatas mata berwarna gelap dan membentuk
garis melengkung, puyuh tersebut jantan tetapi jika warna bulu diatas mata tidak
gelap atau tidak berbentuk garis melengkung, puyuh tersebut berarti betina. Puyuh
jantan merupakan jenis unggas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai penghasil protein hewani karena mudah dipelihara, biaya pemeliharaan
tidak terlalu besar serta dapat diusahakan pada lahan yang tidak terlalu luas
(Mahfudz dkk., 2009)
Beberapa alasan menjadikan puyuh sebagai bahan penelitian adalah puyuh
akan memberikan respon yang baik jika diberi perlakuan yang sama dengan
perlakuan terhadap ayam karena puyuh memiliki struktur, fisiologis dan
kebutuhan nutrisi yang hampir sama dengan ayam, luasan kandang yang
dibutuhkan relatif kecil (untuk 8-10 ekor puyuh memerlukan luasan kandang yang
sama untuk satu ekor ayam), kebutuhan pakannya relatif kecil sesuai dengan
ukuran tubuhnya yang kecil, serta mudah dari luka (Redaksi Agromedia, 2004).
Puyuh merupakan unggas yang tujuan utama diternakkan sebagai petelur.
5
Berdasarkan data dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2015), populasi
puyuh di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 12.903.759 ekor. Burung puyuh
relatif tahan stres dan memiliki ketahanan terhadap penyakit yang tinggi dan daya
sembuh tinggi (Susilorini, 2007).
2.2. Pencahayaan
Penambahan cahaya pada malam hari dapat meningkatkan produksi puyuh,
tetapi penggunaan cahaya yang berlebihan belum tentu menghasilkan keadaan
yang menguntungkan (Triyanto, 2007). Puyuh merupakan salah satu ternak
unggas yang peka terhadap rangsangan cahaya, cahaya memegang peranan
penting dalam proses pertumbuhan, dewasa kelamin dan produksi telur pada
ternak puyuh. Tatalaksana penyinaran merupakan faktor yang tidak dapat
dipisahkan dari manajemen usaha peternakan puyuh, bahkan merupakan salah
satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh peternak (Negara dkk., 2013).
Pencahayaan mengatur ritme harian dan beberapa fungsi penting di dalam
tubuh seperti suhu tubuh dan beragam tahapan metabolisme yang terkait dengan
pemberian pakan dan pencernaan (Walad, 2007). Pemberian cahaya yang terus
menerus selama 24 jam akan meningkatkan tingkah laku makan dan minum serta
aktivitas lainnya. Unggas adalah makhluk diurnal yang apabila menerima
rangsangan cahaya pada malam hari akan memberikan kesempatan unggas untuk
makan dan minum (Lavergne, 2005). Cahaya (light) mengandung energi proton
yang dapat diubah menjadi ransangan biologis yang diperlakukan untuk berbagai
proses fisiologis tubuh (Olanrewaju dkk., 2006). Nalbandov (1990) dalam Sunarti
6
(2004), menjelaskan bahwa cahaya melalui retina mata akan diteruskan melalui
saraf mata menuju hipotalamus anterior, kemudian merespon dengan melepaskan
substansi yang menstimulir kelenjar hipofise untuk memproduksi hormon
gonadotropin. Hormon ini akan bersama aliran darah merangsang ovarium serta
organ reproduksi lain. Di samping itu juga akan membantu proses pematangan
folikel telur di gonad, perkembangan bulu dan jengger pada ayam petelur. Di sisi
lain cahaya juga akan menggertak kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon
pertumbuhan untuk mengatur proses metabolisme. Selain itu cahaya gelap akan
menggertak dilepaskannya hormon androgen. Hormon androgen ikut serta dalam
proses pembentukan tulang.
Selama periode gelap ternyata level hormon kortikosteroid menjadi rendah.
Level hormon kortikosteroid berbanding lurus dengan level stres. Unggas adalah
hewan yang mudah stres, sehingga pemberian cahaya gelap akan menghambat
pelepasan hormon kortikosteroid dan memberikan kesempatan labih banyak pada
unggas untuk beristirahat, sehingga stres dapat berkurang. Stres yang berkurang
ini akan mempengaruhi pertumbuhan puyuh, semakin lama penambahan cahaya
ssemakin meningkatkan hormon kortikosteroid yang ada di dalam tubuh puyuh
(Byuse, 1996 dalam Sunarti, 2004). Warna pada pencahayaan akan
mempengaruhi dampak yang ada pada puyuh, pemberian warna merah dan kuning
dapat meningkatkan aktivitas dan konsumsi pakan. Cahaya merah dan kuning
memiliki panjang gelombang yang lebih panjang akan mengakibatkan
peningkatan aktivitas harian puyuh.
7
Pencahayaan akan masuk melalui retina mata diteruskan syaraf mata
menuju hipotalamus anterior, sehingga disekresikan somatotropic hormone
releasing factor (STH-RH) dan tyrotropic releasing hormone (TRH). Releasing
faktor tersebut akan merangsang glandula pituitary anterior mensekresikan STH
dan TSH, TSH akan merangsang kelenjar tiroid untuk melepaskan tiroksin. STH
dan tiroksin akan merangsang tubuh meningkatkan aktivitas pertumbuhannya
(Bell dan Freeman, 1971). Unggas lebih atraktif pada perlakuan cahaya dibanding
perlakuan panas (Alsam dan Wathes, 1991, dalam Sunarti, 2004). Terdapat
indikasi puyuh yang menerima cahaya monokromatik hijau dan kombinasi cahaya
hijau-biru, serta merahhijau mencapai masak kelamin lebih cepat. Adanya unsur
cahaya hijau atau biru dengan panjang gelombang pendek disinyalir mampu
melakukan penetrasi langsung pada tulang tengkorak dan jaringan kranial,
kemudian sinyal cahaya akan diterima oleh fotoreseptor ekstraretina dan
diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus dapat terstimulasi dengan mensekresikan
beberapa faktor/hormon seperti faktor stimulasi growth hormone (GHRF: growth
hormone releasing factor) dan hormon gonadotropin (GnRH). Davies dkk.,
(2011) mengemukakan kranium aves permeabel terhadap cahaya, terutama cahaya
tampak (visible light), namun penyebaran dan absorpsi foton bergantung pada
komposisi spektrum cahaya yang melakukan penetrasi. Terutama cahaya dengan
panjang gelombang 400-450 nm (cahaya violet-biru) dan 525-550 nm (hijau)
dapat diabsorpsi oleh bulu, kulit, kranium, dan otak aves.
Rozenboim dkk., (2004) dan Jing dkk., (2007), untuk mengotimalkan
pertumbuhan dengan konsumsi pakan normal dan konversi pakan baik, unggas
8
sebaiknya dipelihara menggunakan cahaya monokromatik hijau dan biru.
Pemberian cahaya hijau yang dikombinasikan dengan warna cahaya biru atau
merah dapat menstimulasi performa reproduksi. Mengacu pada hasil penelitian
Rozenboim dalam Priel (2007) bahwa retina aves sangat sensitif terhadap cahaya
hijau. Lebih lanjut Rozenboim mengemukakan untuk meningkatkan profil
reproduksi pada aves, jaringan retina mata akan lebih baik jika dinetralisasi. Hal
tersebut menunjukkan pemakaian cahaya hijau harus dikombinasikan dengan
cahaya biru, merah, atau kuning.
2.3. Ransum Puyuh
Ransum adalah pakan yang diberikan pada ternak selama 24 jam dengan
cara diberikan sekali atau beberapa kali (Anggorodi, 1995). Ransum unggas
terdiri dari bahan pakan yang bagian-bagiannya dapat dicerna dan diserap oleh
unggas sedemikian rupa, sehingga zat-zat yang terkandung di dalamnya dapat
berguna bagi unggas. Ransum yang baik adalah ransum yang mengandung protein
dan energi yang seimbang (Anggorodi, 1994). Menurut Wahju (1997) ransum
sebaiknya mempunyai imbangan energi-protein yang baik, sebab hal ini akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan, konversi ransum, komposisi tubuh dan
efisiensi ransum. Penggunaan bahan pakan kualitas tinggi sangat penting untuk
burung puyuh dalam menyusun pakan puyuh. Kualitas bahan pakan yang kurang
baik mungkin dapat ditoleransi oleh beberapa tipe ternak, tetapi tidak untuk
puyuh. Penggunaan bahan pakan yang berkualitas jelek, akan menyebabkan
ditemukan masalah dalam produksi (Smith, 2011).
9
Puyuh yang memiliki kecenderungan untuk mematuk lebih cocok dengan
bentuk pakan remah atau tepung karena akan memudahkan burung untuk menelan
dan mencerna (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Puyuh memiliki kebutuhan
ransum yang harus dipenuhi pada fase-fase tertentu dengan kadar yang berbeda,
yaitu pada fase starter burung puyuh memiliki kebutuhan PK 25 % dan EM 2900
kkal/kg, sedangkan pada fase grower kadar PK dikurangi menjadi 20% dan EM
2800 kkal/kg (Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Konsumsi ransum yang tidak berbeda disebabkan kandungan energi dalam
ransum pada setiap perlakuan relatif sama. Sesuai dengan pernyataan Nuraini
(2009) dan Zahra dkk. (2012) bahwa kesetaraan tingkat energi pada ransum
menyebabkan jumlah ransum yang dikonsumsi pada setiap perlakuan relatif sama.
Wahju (2004), hakekatnya ternak mengonsumsi ransum untuk memenuhi
kebutuhan energi dalam tubuh.
2.3.1. Protein
Protein merupakan zat organik yang memiliki kandungan berupa C, H, O,
N, S dan P. Protein berfungsi untuk memperbaiki jaringan tubuh, pertumbuhan
jaringan baru, metabolisme, sumber enzime essensial serta sebagai sumber
hormon tertentu (Anggorodi, 1994). Kebutuhan protein pada unggas dipengaruhi
beberapa faktor yaitu umur, reproduksi, temperatur, tingkat energi, serta bangsa
unggas. Prrotein dapat diperoleh dari dua sumber yaitu sumber asal hewani dan
nabati (Tillman dkk., 1990).
10
Kualitas ransum ditentukan oleh jumlah asam amino essensial didalamnya,
tanaman dapat mensintesis 22 asam amino sedang hewan hanya dapat mensintesis
12 asam amino. Hal tersebut yang mendasari hewan harus mendapatkan asam
amino yang penting dari ransum yaitu Methionin dan Lisin, kandungan dua unsur
ini harus seimbang karena jika terjadi kekurangan atau kelebihan akan terjadi
hambatan dalam pertumbuhan (Wahju, 2004).
Protein dalam ransum berhubungan erat dengan kecepatan perumbuhan,
karena protein yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk membentuk
jaringan baru, memelihara jaringan tubuh dan mengganti jaringan yang rusak
(Anggorodi, 1995).
Mahfudz (2006), semakin meningkatnya kecernaan protein akan
mempermudah metabolisme protein sehingga secara langsung juga akan
meningkatkan pertambahan bobot badan harian. Protein merupakan struktur yang
sangat penting untuk pertumbuhan jaringan didalam tubuh ternak seperti
pembentukan daging, kulit, bulu dan paruh (Wahju, 2004). Irawan dkk. (2012)
yang menyatakan bahwa konsumsi protein dipengaruhi oleh tingkat protein
ransum, apabila tingkat protein dalam ransum semakin tinggi, maka konsumsi
protein akan semakin meningkat.
2.3.2. Energi
Energi merupakan tenaga yang dibutuhkan bagi seluruh proses produksi dan
hidup pokok hewan yaitu untuk pertumbuhan, hidup pokok dan sintesa jaringan
baru (Tillman dkk, 1991). Energi yang dikonsumsi dari ransum dapat digunakan
11
oleh tubuh dan tingkatan energi ransum erat kaitannya dengan jumlah konsumsi
ransum dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk bekerja, dapat
diubah menjadi panas dan dapat disimpan dalam jaringan tubuh sebagai lemak
(Wahju, 2004). Tingkat energi ransum erat kaitannya dengan jumlah konsumsi
ransum (Anggorodi, 1995). Defisiensi energi dapat mengakibatkan jumlah lemak
yang tertimbun dalam karkas akan menurun. Faktor-faktor yang dipengaruhi
kebutuhan energi adalah suhu lingkungan, besar tubuh dan laju pertumbuhan
(Suprijatna, 2005).
2.4. Konsumsi Ransum
Tabel 1. Kebutuhan Pakan Puyuh Berdasarkan Umur
Umur Puyuh Jumlah pakan yang diberikan (g)
1 hari – 1 minggu 2 1-2 minggu 4 2-4 minggu 8 4-5 minggu 14 5-6 minggu 15 >6 minggu 17-19
Sumber : Listiyowati dan Roospitasari (2000).
Konsumsi burung puyuh akan pakan sebagian besar dipengaruhi oleh
kebutuhan pakan burung puyuh (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Faktor-
faktor yang sering mempengaruhi konsumsi burung puyuh adalah ukuran tubuh,
berat badan, tahapan produksi, suhu lingkungan, dan keadaan energi pakan yang
ada pada ransum (North dan Bell, 1992). Faktor yang mempengaruhi konsumsi
pakan diantaranya adalah lingkungan dan palatabilitas. Lingkungan diantaranya
berupa kelembaban dan suhu. Hasil pengamatan terhadap kelembaban dan suhu
lingkungan adalah 35-79% dan 22-27,5. Suprijatna dkk. (2005) menyatakan
12
bahwa ternak unggas mampu berproduksi stabil pada kisaran kelembaban 30-80%
dan temperatur 10-30, suhu sudah sesuai dengan suhu lingkungan untuk
kehidupan, sehingga konsumsi tidak berbeda nyata.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi minum antara lain
: lingkungan, seperti suhu, kelembaban, pakan, umur, jenis kelamin dan lain-lain
(Wahju, 2004). Wahju (2004), faktor utama yang mempengaruhi konsumsi
ransum adalah kandungan energi metabolisme dalam pakan, imbangan nutrisi
ransum, kesehatan, temperatur lingkungan, ruang tempat pakan, keadaan air
minum dan aktivitas ternak.
2.5. Pertambahan Bobot Badan (PBB)
Pertumbuhan burung puyuh jantan lebih cepat dibandingkan dengan burung
puyuh betina, kadar hormon pertumbuhan pada periode umur tertentu dapat
menjadikan pertumbuhan burung puyuh berada pada titik optimal karena bisa
mempengaruhi bertambahnya bobot badan burung puyuh sehingga dengan tujuan
akhir pertumbuhan optimal dan produktivitas menjadi lebih baik (Rahayuningtyas
dkk., 2014). Pertambahan bobot badan tidak hanya dapat dipengaruhi oleh
konsumsi pakan namun juga dipengaruhi oleh hormon growth hormone yang
dimiliki oleh burung puyuh itu sendiri sehingga akan berpengaruh langsung pada
pertumbuhan dan pertambahan bobot badan (Triyanto, 2007). Menurut Wahju
(2004), kecepatan pertumbuhan akan terhambat oleh beberapa faktor, antara lain
lingkungan parasit, kepadatan kandang, penyakit, temperature, pakan dan tata
laksana pemeliharaan yang kurang baik. Laju pertumbuhan pada burung puyuh
13
paling cepat terjadi pada umur 1 hari – 4 minggu, setelah 4 minggu pertambahan
bobot badannya menurun hingga umur 6 minggu dan pada umur 6 minggu keatas
pertumbuhannya relatif kecil, kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain umur, jenis kelamin, spesies, jumlah ransum yang dikonsumsi,
energi metabolisme, protein dan suhu lingkungan.
Tabel 2. Pertambahan Bobot Badan Puyuh
Jenis Kelamin Umur (Minggu)
0 1 2 3 4 5 6
Betina (g/ekor) 5,43 19,06 40,23 64,66 87,14 101,94
116,59
Jantan (g/ekor) 5,41 18,92 39,91 64,07 84,87 96,13 100,39 Sumber : Aggrey dkk. (2003).
Ilustrasi 1. Grafik Pertumbuhan Puyuh (Aggrey dkk.,2003)
Ternak mengkonsumsi ransum untuk kebutuhan energi dalam tubuh,
kebutuhan energi akan terpenuhi apabila ransum yang dikonsumsi memiliki
energi yang dibutuhkan oleh ternak (Wahju., 2004). Mengurangi intensitas cahaya
dapat menjadikan tingkat kanibalisme rendah (Pond dan Wilson, 2000). Setianto
14
(2009), lama pencahayaan yang pendek pada awal pemeliharaan unggas akan
mengurangi konsumsi pakan dan membatasi pertumbuhan ternak.
Salah satu faktor yang mempengaruhi bobot badan adalah kualitas dan
kuantitas pakan, dengan jumlah pemberian ransum dan kandungan nutrien ransum
yang sama sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan yang sama. Hal ini
sesuai dengan pendapat Widjastuti dan Kartasudjana (2006) yang menyatakan
bahwa bobot badan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang
dikonsumsi. Goa dkk. (2015), faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot
badan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, laju perjalanan pakan dalam saluran
pencernaan, bentuk fisik pakan, komposisi pakan dan imbangan kandungan nutrisi
pakan. Iqbal dkk. (2012) menyebutkan bahwa PBB sangat berpengaruh terhadap
konsumsi protein karena PBB berasal dari protein yang menghasilkan sintesis
protein.
Kombinasi antara pencahayaan dan level protein akan membantu
meningkatkan pertambahan bobot badan. Pencahayaan akan mempengaruhi
pertumbuhan puyuh yang merupakan hasil korporasi, integrasi, dan regulasi
antara sistem saraf dan sistem hormon. Protein yang dikonsumsi dipergunakan
untuk mengoptimalkan pertumbuhan, pemeliharaan, dan proses reproduksi.
Sinyal cahaya yang diterima oleh sistem saraf merangsang hipotalamus untuk
mensintesis dan mensekresi releasing factor yang dapat memacu hipofisis untuk
mensintesis berbagai hormon yang berperan dalam pertumbuhan (Etches, 2000).
Lavergne (2005) menyatakan pemberian cahaya yang terus menerus selama
24 jam akan meningkatkan tingkah laku makan dan minum serta aktivitas lainnya.
15
Pemberian cahaya selama 24 jam pada unggas akan meningkatkan waktu untuk
makan, sehingga mningkatkan pertambahan bobot badan dan meningkatkan
pembentukkan bulu.
Perbedaan pertambahan bobot badan yang terjadi dapat diakibatkan oleh
jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Perlakuan dengan pemberian cahaya
lampu selama 12 jam memiliki rataan pertambahan bobot badan yang paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lama pencahayaan lampu selama 4 jam dan
8 jam, namun hal ini juga sesuai dengan rataan konsumsi pakan yang dihabiskan
untuk memperoleh peningkatan bobot badan tersebut (Negara dkk., 2013).
Classen dkk. (1991) menyatakan lama pencahayaan yang pendek pada awal
pemeliharaan unggas akan mengurangi konsumsi pakan dan membatasi
pertumbuhan ternak.
2.5. Konversi Ransum
Konversi ransum merupakan perbandingan antara konsumsi ransum dengan
pertambahan bobot badan pada waktu tertentu (Jull, 1977). Tinggi rendahnya nilai
konversi ransum sangat dipengaruhi oleh konsumsi ransum dan pertambahan
bobot badan harian (Nuraini, 2009) menambahkan bahwa semakin baik kualitas
ransum, semakin kecil pula nilai konversi ransumnya. Kualitas ransum ditentukan
oleh keseimbangan nutrien dalam ransum. Luas lantai kandang yang digunakan
oleh setiap ternak puyuh akan berbanding lurus dengan berat badan dan
berbanding terbalik dengan nilai konversi ransum yang ada (North dan Bell,
1990). Konversi ransum juga merupakan gambaran dari efisiensi produksi,
16
semakin rendah nilai konversi yang dihasilkan maka makin sedikit ransum yang
digunakan untuk menaikan bobot badan, yang berarti efisiensi penggunaan
ransum tinggi (Anggorodi, 1995).
Level protein akan mempengaruhi tingkat konsumsi ransum, tingkat
konsumsi ransum dipengaruhi oleh adanya pencahayaan yang diberikan kepada
ternak. Hazim dkk. (2010), angka konversi ransum burung puyuh idealnya adalah
3,76-4,71. Achmanu dkk. (2011) yang menyatakan bahwa perbedaan konversi
pakan disebabkan karena adanya perbedaan dalam konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan. Menurut Amrulloh (2003), faktor yang mempengaruhi
konversi ransum adalah kualitas ransum, teknik pemberian, bentuk dan konsumsi
ransum serta bobot badan ternak. Hasil penelitian Achmanu dkk. (2011)
menunjukkan konversi ransum burung puyuh adalah 2,45. Tingginya konversi
ransum penelitian karena puyuh masih produksi pada awal produksi dan belum
mencapai umur puncak produksi.
top related