bab i pendahuluan a. latar...
Post on 06-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan, individu dihadapkan dengan berbagai tugas
dalam aktivitas sehari-harinya. Tugas yang dimiliki individu beraneka ragam
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dimilikinya. Ada individu yang hanya
menjalani satu tugas saja, akan tetapi ada pula individu yang menjalani banyak
tugas dalam kehidupannya, seperti menjalani tugas dalam menuntut ilmu,
pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring dengan perkembangan usia yang
dimiliki. Individu yang memiliki kondisi normal baik dari segi jasmani maupun
rohaninya, mungkin akan lebih mudah menjalani berbagai tugas kehidupan
dibandingkan dengan individu yang memiliki keterbatasan atau penyandang
cacat (cacat penglihatan, komunikasi, mental dan tubuh).
Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Begitu pula
dengan kemampuan yang dimiliki oleh para difabel yang memiliki keunikan
dalam menjalani aktivitasnya. Difabel merupakan istilah untuk mengganti istilah
penyandang cacat. Difabel yang merupakan kepanjangan dari “differently abled”
yaitu perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki
keterbatasan baik pada indera maupun fisik yang dimilikinya (Ro’fah, 2010a).
Adanya keterbatasan yang dimiliki, tidak menutup kemungkinan seorang difabel
untuk menjalani aktivitas dan memenuhi harapan hidup yang dijalaninya. Para
difabel pun dapat menjalani aktivitas yang dilakukan sebagaimana orang pada
2
umumnya, seperti menuntut ilmu hingga mencapai pendidikan yang tinggi di
tingkat perguruan tinggi, bekerja dan melakukan aktivitas apa saja yang
digemarinya dan ingin ditekuninya sesuai dengan kemampuan dan impian yang
diharapkannya.
Difabel perlu memperoleh pendidikan tinggi telah tercantum dalam
Undang-undang penyandang kecacatan Tahun 2007 dan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Adanya dua di antara sekian banyak dasar hukum yang dipaparkan tersebut,
Mangunsong (2009) memberikan jaminan sepenuhnya kepada difabel dalam
memperoleh pendidikan sebagaimana orang lain pada umumnya yang tanpa
difabilitas. Difabel dengan keterbatasan indera penglihatan, indera
pendengaran, kecacatan organ tubuh (fisik) dan lain sebagainya dapat
memperoleh pendidikan di perguruan tinggi dan dapat menjalani proses
pembelajaran serta dapat menjadi seorang mahasiswa.
Lifshitz, Hen, dan Weisse (2007) dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa di israel terdapat banyak individu yang mengalami kerusakan
penglihatan bahkan ketunanetraan yaitu sebanyak 80 % individu yang
bersekolah umum, 74 % dengan penglihatan rendah dan 26% dengan
ketunanetraan dan 20% bersekolah di tempat tinggal mereka. Dapat diketahui
dari penelitian tersebut bahwa prevalensi jumlah individu yang mengalami
ketunanteraan lebih banyak bersekolah di sekolah umum dibandingkan di
tempat tinggal mereka sendiri.
3
Penyebab ketunanetraan salah satunya dapat berasal dari penyakit yang
dialami oleh mata. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kareemsab,
Rachaiah dan Balasubramanya (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa penyakit yang dapat merusak sistem penglihatan dapat mengarahkan
pada ketunanetraan dan penglihatan yang rendah. Singabele, Sokolo dan Adio
(2010) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa katarak dapat
mengarahkan pada penyebab ketunanetraan termasuk yang terjadi di salah
satu Rumah Sakit di Nigeria tersebut. Sehingga penting untuk memperhatikan
kondisi mata dan penanganan yang tepat untuk menangani penyakit katarak
tersebut. Pihak Rumah Sakit yang memiliki wewenang dalam penanganan
penyakit katarak sebaiknya senantiasa memberikan pengarahan pada
masyarakat apabila terjadi permasalahan pada mata segera memberikan
penanganan yang tepat seperti melakukan pembedahan katarak sehingga tidak
mengakibatkan pada ketunanetraan.
Lebih lanjut Rahi dan Cable (2003) mengungkapkan bahwa kerusakan
penglihatan dan ketunanetraan pada anak-anak di Inggris merupakan hal yang
umum yang terjadi lebih banyak dikarenakan kerusakan non-ophthalmic yang
kompleks. 10.000 anak-anak di Inggris mengalami kerusakan penglihatan dan
ketunanetraan kebanyakan pada saat kelahiran pertama dan meningkat hingga
usia 16 tahun. Peningkatan berat kelahiran anak yang rendah juga dapat
menyebabkan adanya kerusakan penglihatan dan ketunanetraan pada anak-
anak di Inggris tersebut.
4
Dupe, Mosunmola dan Tanimola (2010) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa demografi dan masalah psikososial berpengaruh pada
peningkatan individu yang mengalami buta total. Individu dengan kebutaan total
dapat dipengaruhi dari adanya riwayat keluarga yang telah mengalami kebutaan
total pula atau tidak pernah menjalani penanganan mata, sehingga keluarga
merasa ketakutan jika ada anak mereka yang juga mengalami kerusakan
penglihatan sebagaimana yang mereka alami.
Mosunmola (2011) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa individu
dengan kerusakan penglihatan mayoritas sulit dalam hal penyesuaian dengan
pendidikan, latihan vokasional, pekerjaan, dan mobilitas. Faktor yang
kemungkinan menyebabkan gangguan psikologis adalah rendahnya latar
belakang pendidikan dan adanya gangguan medis lainnya. Banyak dari individu
dengan kerusakan penglihatan tidak memiliki akses pada pendidikan formal dan
sistem rehabilitasi yang dikontribusikan dengan adanya ketidakmampuan dalam
penyesuaian lingkungan yang dihadapinya. Dalam penelitian tersebut pula
diketahui bahwa individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki
pendidikan formal dan latihan vokasional tidak memiliki permasalahan dalam hal
perkawinan dan keluarga serta lebih dapat melakukan penyesuaian sosial dan
psikologis dari adanya ketunanetraan yang dimilikinya dibandingkan dengan
individu yang tidak memiliki pendidikan dan latihan vokasional.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pentingnya
pendidikan dan latihan vokasional bagi difabel netra agar mampu melakukan
penyesuaian sosial dan psikologis walaupun dengan keterbatasan penglihatan
5
yang dimilikinya. Sebagaimana dalam penelitian ini, difabel netra yang menjadi
mahasiswa pun memiliki keunikan tersendiri. Tingkat pendidikan yang
dimilikinya dapat menentukan bagaimana karakteristik kognitif, sosial, emosi,
motorik dan kepribadian yang dimilikinya yang pada akhirnya dapat membantu
dalam hal penyesuaian sosial dan psikologis. Sebagaimana Somantri (2007)
mengungkapkan bahwa difabel netra memiliki karakteristik kognitif, sosial,
emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada
sejak kapan difabel netra tersebut mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat
ketajaman penglihatannya, berapa usianya serta bagaimana tingkat
pendidikannya.
Keterbatasan kemampuan penglihatan yang dimiliki difabel netra tidak
menghambat beragam aktivitas dalam kesehariannya. Padahal dapat diketahui
bahwa adanya ketunanetraan yang dialami difabel netra, maka pengenalan atau
pengertian terhadap dunia luar tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh.
Akibatnya perkembangan kognitif difabel netra cenderung terhambat
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan
perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau
kemampuan intelegensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera
penglihatannya. Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam
menerima informasi yang datang dari luar diri individu. melalui indera
penglihatan, individu mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar,
tidak saja pada bentuknya tetapi juga pengamatan dalam, warna, dan
dinamikanya (Somantri, 2007).
6
Penerimaan rangsang yang dialami difabel netra hanya dapat dilakukan
melalui pemanfaatan indera-indera lain di luar indera penglihatannya. Difabel
netra biasanya menggantikannya dengan indera pendengaran sebagai saluran
utama penerima informasi. Indera pendengaran yang dimilikinya hanya mampu
menerima informasi dari luar yang berupa suara. Difabel netra juga akan
mengenal bentuk, posisi, ukuran, dan perbedaan permukaan melalui perabaan.
Melalui indera penciumannya pula, difabel netra dapat mengenal seseorang,
lokasi objek, serta membedakan jenis benda. Indera pengecapan juga dapat
digunakannya untuk mengenal objek melalui rasanya walaupun terbatas.
Adanya indera yang masih berfungsi tersebut memiliki potensi dalam
pengembangan kemampuan kognitifnya (Soemantri, 2007). Dapat dipahami
bahwa betapa pentingnya indera penglihatan bagi individu yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi perkembangan kognitif individu sehingga mampu
berkembang secara optimal.
Efikasi diri sebagai suatu elemen kognitif penting dalam kehidupan
difabel netra. Bagaimana efikasi diri yang dimiliki difabel netra dapat
menggambarkan seberapa besar keyakinan dan semangat yang dimiliki oleh
difabel netra dalam menjalani kehidupannya, sehingga difabel netra mampu
mengatasi kesulitan dalam hal penyesuaian sosial dan psikologis diakibatkan
dari adanya keterbatasan penglihatan yang dimilikinya. Hal ini dapat diketahui
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, Dubuc, Wittich,
Robbilard, dan Overbury (2008) bahwa adanya efikasi diri yang tinggi dapat
membantu individu dalam mengatasi depresi yang diakibatkan dari adanya
7
kerusakan penglihatan yang dialaminya. Hal tersebut dikarenakan efikasi diri
merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri yang berpengaruh dalam
kehidupan manusia sehari-hari (Bandura, 1986). Hal ini diperkuat pula oleh
pendapat Robbins (2001) bahwa efikasi diri merupakan faktor yang
mempengaruhi kinerja individu dalam mencapai tujuan tertentu.
Efikasi diri merupakan bagian dari kepribadian. Pervin dan John (2001)
mengungkapkan bahwa struktur kepribadian didasarkan pada kompetensi-
ketrampilan, tujuan dan diri (Self). Kepribadian merupakan karakteristik personal
individu yang meliputi diri (Self) dan identitas (identity) (Santrock, 2012).
Berkaitan dengan diri (Self), efikasi diri merupakan salah satu aspek penting
dalam upaya mempersepsikan diri agar dapat mengatasi situasi tertentu dalam
kehidupan individu (Pervin & John, 2001).
Dalam perkembangannya, kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor
internal dan ekternal yang biasa dikenal dengan istilah nature dan nurture.
Nature mengacu pada dampak inheritens genetik individu atau disebut faktor
hereditas (Bawaan), sedangkan Nurture mengacu pada dampak dari
pembelajaran, pelatihan, pendidikan atau secara lebih umum yaitu faktor
lingkungan individu (Berndt, 1992).
Istilah kepribadian digunakan untuk menggambarkan perbedaan individu
pada usia remaja dan dewasa seperti kemampuan emosional, aktivitas dan
sosial, sedangkan pada bayi dan anak-anak digunakan istilah temperamen untuk
mendeskripsikan perbedaan individu (Hetherington & Parke, 2003). Difabel netra
dalam penelitian ini merupakan individu yang berada pada usia dewasa
8
sehingga digunakan istilah kepribadian untuk mendeskripsikan perbedaan di
antara difabel netra tersebut.
Hal-hal yang merupakan bagian dari nature (hereditas) antara lain yaitu
maturation dan kondisi fisik. Maturation adalah pola perubahan secara genetik
pada karakteristik fisik seperti ukuran dan bentuk tubuh, pola hormon atau
koordinasi (Bee, 1981). Faktor pribadi yang terdalam (Inner personal factors)
meliputi kognisi,emosi dan peristiwa biologis merupakan bentuk faktor internal
(nature) yang dapat menjadi faktor penentu terbentuknya efikasi diri. Adanya
kemampuan kognitif yang kuat atau kemampuan mensimbolisasi menjadikan
individu dapat mengembangkan ide-ide yang kompleks dan pengalaman pada
orang lain serta dapat berlatih mengendalikan perilaku yang kemudian
berpengaruh tidak hanya pada lingkungan akan tetapi juga pada kognitif, afektif
dan kondisi biologis individu (Snyder & Lopez, 2002).
Galotti (2011) mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif pada usia
dewasa antara lain yaitu penalaran (reasoning), pembelajaran (learning) dan
pemecahan masalah (problem solving), serta pengambilan keputusan (decision
making). Mahasiswa difabel netra dalam penelitian ini berada pada usia dewasa
sehingga mereka dapat melatih dan mengontrol proses kognitifnya dengan cara
melakukan penalaran, pembelajaran dari lingkungan sekitarnya, pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan dalam menghadapi permasalahan yang
dihadapi dalam kehidupannya khususnya kondisi ketunanetraan yang
dihadapinya. Sebagaimana Most, Chun, Widders, dan Zald (2005) dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa kontrol kognitif dapat membantu individu
9
dengan kerusakan penglihatan dalam melakukan seleksi terhadap stimulus
yang ada dihadapannya. Kondisi fisiologis dan afeksi yang merupakan faktor
internal (nature) juga dapat menjadi faktor penentu terbentuknya efikasi diri
(Bandura, 1997).
Feldman (2005) memaparkan bahwa nature sebagai faktor hereditas
yang merupakan faktor genetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan sepanjang kehidupan individu. Hal-hal yang merupakan faktor
genetik yaitu pertama, karakteristik fisik antara lain seperti tinggi badan, berat
badan, intonasi suara, tekanan darah dan lain sebagainya. Kedua yaitu
karakteristik intelektual antara lain seperti memori, kecerdasan, kemampuan
membaca, dan lain sebagainya. Ketiga yaitu karakteristik emosional dan
gangguan antara lain seperti pemalu, terbuka (ekstrovert), neurotis, kecemasan
dan lain sebagainya. Adapun nurture yaitu faktor yang bersumber dari
lingkungan yang berpengaruh pada perilaku individu antara lain pengaruh dari
orang tua, saudara sekandung, keluarga, teman, sekolah, nutrisi, dan segala
pengalaman lainnya yang dapat mempengaruhi individu. .
Sebagaimana ungkapan Feldman (2005) bahwa tipe kepribadian
termasuk dalam faktor nature seperti ekstrovert, neurotis dan lain sebagainya
yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Sebagaimana dapat
diketahui bahwa tipe kepribadian terdiri dari tiga dimensi tipe yaitu ektraversi-
intraversi, neurotisisme, dan psikotisisme (Alwisol, 2009). Tipe kepribadian juga
dapat berpengaruh pada kondisi emosi yang dialami oleh individu yang
mengalami kerusakan penglihatan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
10
Macchiagodena, dkk (2008) bahwa individu dengan kerusakan penglihatan yang
memiliki kepribadian neurotisisme akan mudah mengarah pada emosi-emosi
negatif.
Nevid dan Rathus (2010) mengungkapkan bahwa pengaruh dari faktor
genetik juga dapat berkontribusi pada sebagian besar penyesuaian diri individu
dalam hal menghadapi tuntutan stress seperti masalah emosional yang
melibatkan kecemasan dan depresi, serta gangguan psikologis yang lebih berat.
Adapun faktor eksternal (nurture) dapat berkaitan dengan proses
pembelajaran, transaksi dan interaksi pada lingkungan sekitarnya (Bee, 1981).
Proses pembelajaran, transaksi dan interaksi antara lain dapat dilakukan dengan
cara belajar dari pengalaman keberhasilan sebelumnya, pengalaman orang lain,
persuasi verbal, dan pola asuh orang tua. Individu yang sebelumnya pernah
mencapai pengalaman sukses atau berhasil dalam suatu tugas akan memiliki
keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya sehingga akan meningkatkan
keyakinan saat menghadapi tugas berikutnya (Bandura, 1997).
Individu juga dapat meningkatkan efikasi dirinya dengan cara melihat
atau mencontoh keberhasilan orang lain dalam suatu tugas ataupun kondisi
yang sama. Hal ini dapat diperkuat dari adanya penelitian yang dilakukan oleh
Schunk (1986) bahwa dengan adanya pengalaman melihat dan mencontoh
orang lain maka dapat berpengaruh pada efikasi diri yang dimiliki siswa selama
proses pembelajaran. Dalam penelitian tersebut, siswa melakukan beberapa hal
yaitu kesamaan atribusi, kemampuan yang dirasakan, jumlah model yang
menjadi contoh, strategi yang dilakukan oleh model, informasi tentang beban
11
tugas, dan hasil dari tindakan model. Pada aktivitas imitasi (meniru) pada
individu normal dilakukan dengan imitasi visual, maka pada difabel netra harus
dirangsang melalui stimuli pendengaran dan indera-indera lainnya yang masih
berfungsi secara optimal (Somantri, 2007).
Persuasi verbal memiliki peranan penting dalam meningkatkan efikasi diri
individu. Persuasi verbal dapat berupa saran, nasehat atau bimbingan yang
positif dari orang lain dapat meningkatkan keyakinan tentang ketrampilan dan
kemampuan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Hagen, Gutkin, Caryll, dan Oats (1998) diketahui
bahwa pengalaman orang lain dan persuasi verbal dapat meningkatkan efikasi
diri guru dalam mengatasi kesulitan dalam proses belajar dan mengajar pada
siswa di kelas.
Bentuk interaksi antara anak dengan orang tua pun dapat mempengaruhi
perkembangan kepribadian antara lain yaitu pola asuh yang mendukung dari
orang tua pada anak yang mengalami kerusakan penglihatan dapat membantu
anak dalam hal beradaptasi pada kondisi ketunanetraan yang dialaminya.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ulster dan Antle (2005) bahwa
terdapat suatu temuan yang positif bahwa reaksi emosional orang tua dan
respon yang positif dalam mengarahkan anak dengan keterbatasan penglihatan
dapat meningkatkan perkembangan diri anak dalam segala waktu. Adanya
kepedulian dari lingkungan khususnya dari orang tua merupakan bagian yang
terpenting dalam lingkungan anak berada (Snyder & Lopez, 2002).
12
Kemampuan regulasi diri dapat bersumber dari proses pembelajaran
dari pengetahuan yang telah lalu dan pengalaman dari adanya kepercayaan
akan kejadian di masa depan yang berkaitan dengan kemampuan dan perilaku
yang dimiiliki individu. Kemampuan regulasi diri ini dapat mengarahkan individu
pada terbentuknya efikasi diri (Snyder & Lopez, 2002). Sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Eniola (2007) bahwa pelatihan strategi regulasi diri dan
kecerdasan emosional dapat mengatasi perilaku agresif remaja dengan
kerusakan penglihatan yang disebabkan karena ketidakmampuannya dalam
mengontrol emosi dan menyesuaikan diri dengan masalah ketunanetraannya.
Berdasarkan adanya faktor-faktor penentu terbentuknya efikasi diri
tersebut, maka dapat membantu individu demi terwujudnya efikasi diri yang
positif dalam diri individu tersebut. Adanya hal-hal yang mempengaruhi efikasi
diri tersebut juga dapat membantu dan mengarahkan individu dalam mengatasi
permasalahan yang penuh tekanan (stress) ataupun kejadian negatif dalam
pengalaman kehidupannya.
Adanya efikasi diri yang positif dapat mengarahkan mahasiswa difabel
netra dalam upaya menentukan koping yang tepat demi tercapainya tujuan dan
harapan dalam kehidupannya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
Rokke, Ficek, Siemens dan Hegstad (2004) diketahui bahwa efikasi diri dan
pemilihan strategi koping yang tinggi dapat mentoleransi rasa sakit akut. Lebih
lanjut Rokke, dkk (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pemilihan
strategi koping dan efikasi diri memiliki hubungan yang signifikan dalam
peningkatan kontrol diri dalam mentoleransi rasa sakit. Yang, Yang, Liu, Tian,
13
Zhu dan Miao (2010) juga mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa efikasi
diri sebagai mediator antara masalah psikologis dan dukungan sosial dan
strategi koping.
Difabel netra dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya pada
umumnya cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan
dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang
maupun pekerjaan (Somantri, 2007). Kondisi ketunanetraan yang dialami
difabel netra dapat menjadi stressor dalam aktivitas sehari-hari dalam
kehidupannya. Hal ini dapat diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Lee dan Brennan (2006) bahwa adanya kerusakan penglihatan dapat
mengarahkan pada minimnya kebermaknaan psikososial, meningkatnya gejala
depresi, menurunnya kepuasaan hidup dan minimnya adaptasi akan hilangnya
penglihatan. Adanya permasalahan yang dialami oleh difabel netra tersebut
dapat mengarahkan pada kondisi stress.
Stress dapat berawal dari sumber internal dan eksternal seperti konflik,
kerugian, kehilangan ataupun frustrasi (Davis & Buskist, 2008). Difabel netra
dapat mengalami kondisi stress dikarenakan menurunnya atau bahkan
hilangnya penglihatan sehingga difabel netra mengalami permasalahan
terutama yang bersumber dari lingkungan. Sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Lifshitz, dkk (2007) mengungkapkan bahwa beberapa remaja
mengalami terisolasi secara sosial, memiliki jaringan sosial yang sedikit, dan
cenderung memiliki aktifitas yang pasif. Remaja dengan kerusakan penglihatan
menjadi merasa tidak berdaya dan merasa rendah dikarenakan adanya
14
penolakan dari penerimaan sosial, pencapaian akademik yang rendah, dan
keterbatasan secara fisik.
Kondisi stress dapat diatasi dengan pemilihan strategi koping yang
sesuai. Lee dan Brennan (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
kondisi stress yang dialami individu yang mengalami kerusakan penglihatan
dapat diatasi dengan melakukan strategi koping antara lain yaitu behavioral
coping, psychological coping dan social coping. Behavioral coping didefinisikan
sebagai suatu yang jelas, tindakan yang dapat diamati seperti menggunakan
alat bantu optik atau adaptasi. Psychological coping didefinisikan sebagai hal
yang melibatkan kognisi dan emosi seperti menerima kerusakan
penglihatannya. Social Coping didefinisikan sebagai hal yang melibatkan bagian
jaringan sosial yang informal dan penyedia layanan umum seperti mengaktifkan
dukungan emosional dan dukungan yang membantu.
Lebih lanjut Asim, Zafar, Batool dan Jamal (2012) dalam penelitiannya
juga menyatakan terdapat enam pendekatan yang dapat dilakukan sebagai
strategi positif bagi individu yang mengalami kerusakan penglihatan antara lain
yaitu penerimaan, kepercayaan, penghindaran yang positif, minimalisasi,
ketidakbergantungan dan kontrol.
Pemaparan tersebut dapat diperkuat dengan hasil wawancara peneliti
pada tanggal 1 - 4 - 2013 dengan salah seorang mahasiswa difabel netra yang
berinisial (F) berusia 22 tahun. Berbagai hambatan yang dialaminya yaitu
hambatan sosial, pendidikan dan sebagainya. Permasalahan lingkungan sosial
merupakan hambatan utama yang dialaminya. Ketunanetraan telah dialaminya
15
sejak lahir, akan tetapi ia baru mengetahui kondisinya tersebut ketika ia tamat
dari bangku Taman Kanak-kanak (TK). Di TK, ia sering mengalami ejekan dan
perlakuan negatif dari lingkungannya terutama dari teman sebaya. Ia merasa
tertekan dan tidak nyaman dengan adanya perlakuan tersebut. Adanya
perlakuan negatif tersebut, tidak jarang memicu emosinya bahkan ia pun
berkelahi dengan teman sebayanya. Perlakuan serupa pun juga ia alami ketika
ia duduk di bangku SD, SMP dan SMU. Ia merasa bahwa masih ada individu
yang belum dapat menerima dirinya sepenuhnya, begitu pula selama ia
menjalani studi di Universitas. Walaupun demikian, ia merasa lebih nyaman
berada di lingkungan Universitas. Adanya semangat dan penerimaan diri serta
dukungan khususnya dari orang tua menjadikan dirinya dapat mengatasi
tekanan dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa lingkungan
sosial yang mendukung dan tidak diskriminatif serta sarana fisik yang
mendukung jelas sangat penting dan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan
lingkungan yang ramah bagi difabel. Hal ini dapat diperkuat dari adanya
penelitian yang dilakukan oleh Cimarolli dan Boerner (2005) bahwa dukungan
sosial yang positif dapat berpengaruh pada kebermaknaan hidup dan kepuasan
hidup individu yang mengalami kerusakan penglihatan. Adanya dukungan sosial
dapat membantu individu dalam mengatasi stress dalam kehidupannya
(Feldman, 2010).
Menurut Mangunsong (2009), perkembangan sosial manusia sangat
dipengaruhi oleh kemampuan individu untuk berkomunikasi. Individu yang
16
mengalami ketunanetraan sering mengalami kesulitan komunikasi dan interaksi
karena masyarakat memberikan respons yang tidak sesuai kepada mereka.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Correa (2008) diketahui bahwa
siswa yang mengalami ketunanetraan sering untuk lebih dekat dan lebih
tergantung dengan guru untuk berkomunikasi dan tidak memiliki inisiatif untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya yang tanpa disabilitas.
Segala permasalahan yang dialami difabel netra perlu diantisipasi
dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan dan
kesempatan yang luas bagi difabel netra sehingga permasalahan yang mungkin
timbul dalam berbagai aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin.
Artinya, perlu dilakukan upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidisipliner
untuk mencegah agar permasalahan tersebut tidak meluas, dan mendalam
yang akhirnya dapat merugikan perkembangan difabel netra (Somantri, 2007).
Keterbatasannya dalam melihat, justru memicu mereka untuk
memaksimalkan indera lain yang masih berfungsi dengan baik seperti, indera
pendengaran, indera peraba dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan
salah satu bentuk koping yang dilakukan oleh individu yang mengalami
kerusakan penglihatan. Difabel netra tetap dapat menjalani aktivitasnya sehari-
hari dan tidak menjadikan keterbatasan penglihatan tersebut sebagai
penghalang dalam mencapai harapan dan impian yang diinginkannya. Adanya
semangat dan keyakinan yang kuat dari dalam diri sehingga difabel netra dapat
menjalani kehidupan dengan baik.
17
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Studi Layanan Difabel
(PSLD) di Universitas yang menjadi lokasi penelitian dapat diketahui pula
gambaran kehidupan salah satu mahasiswa difabel netra yang berinisial P (25
tahun). P mengalami ketunanetraan sejak masih duduk di kelas 6 SD. Pada
awal mengalami ketunanetraan, ia sempat merasa putus asa dan berfikir bahwa
masa depannya akan suram. Bermodal semangat untuk meraih impiannya
menjadi seorang guru, ia pun mampu mengatasi kekurangan fisiknya. Ia
berusaha mengoptimalkan fungsi indera lainnya yang masih berfungsi dan pada
tahun 2006 ia dapat masuk ke universitas. Ia pun aktif di beberapa organisasi
seperti di PSLD, Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) serta Ikatan
Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Berdasarkan gambaran tersebut dapat
diketahui adanya efikasi diri yang kuat yang dimiliki oleh seorang difabel netra
demi tercapainya harapan walaupun dengan keterbatasan penglihatannya.
Setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda sesuai dengan dimensi
yang berhubungan dengan performa yang dimiliki oleh individu tersebut antara
lain yaitu tingkat kesulitan tugas, luas bidang tugas atau perilaku dan
kemantapan keyakinan yang dimiliki oleh individu tersebut (Bandura, 1997).
Individu yang memiliki keyakinan dan kemampuan akan menghadapi
tugas yang sukar sebagai suatu tantangan dan tidak menghindarinya. Jika
efikasi diri rendah maka akan membuat individu mengurangi upayanya dalam
menghadapi tantangan tersebut atau mendapatkan umpan balik yang negatif
(Robbins, 2001). Dapat dipahami bahwa efikasi diri yang tinggi sangat berperan
penting dalam mendukung kinerja dan performansi seorang difabel netra dalam
18
mencapai tujuan dalam kehidupannya tersebut, baik dalam dunia pendidikan,
pekerjaan maupun dalam keluarga.
Dapat diperkuat pula dari penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena,
dkk (2008) bahwa efikasi diri yang tinggi dapat menurunkan kondisi depresi
yang dialami individu dengan kerusakan penglihatan dan sebaliknya efikasi diri
yang rendah dapat meningkatkan kondisi depresi yang dialaminya. Individu
dengan kerusakan penglihatan yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih
dapat mengontrol kondisi emosinya baik sehingga terhindar dari perasaan
tertekan baik yang bersumber dari internal maupun eksternal terutama dari
lingkungan. Adapun individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki
efikasi diri yang rendah tidak dapat mengontrol kondisi emosinya dan terus
menerus berada dalam kondisi yang penuh tekanan dalam kehidupannya.
Adanya efikasi diri yang positif dapat membantu individu agar dapat terus
tumbuh berkembang walaupun mengalami kejadian yang penuh tekanan
(stress) dalam pengalaman kehidupannya atau dapat dikenal dengan istilah
Stress Related Growth yang merupakan perubahan positif yang mengikuti
pengalaman dari kejadian kehidupan yang penuh tekanan (Tedeschi & Calhoun,
1996). Efikasi diri dapat dikaitkan dengan konsep Stress Related Growth
(SRG). Hal tersebut diperkuat sebagaimana ungkapan Santrock (2006) bahwa
efikasi diri merupakan suatu keyakinan bahwa individu dapat menghadapi suatu
kejadian dan menghasilkan suatu hasil (outcome) yang positif. Efikasi diri
berkaitan dengan banyaknya perkembangan yang positif dalam kehidupan
19
individu termasuk pemecahan masalah (problem solving), menjadi lebih mudah
bergaul, dan memiliki inisiatif melakukan sesuatu.
Stress Related Growth adalah suatu perubahan positif dari akhir
pengalaman kehidupan yang penuh tekanan (stress) (Park, Cohen & Murch,
1996). Stress related Growth terkadang disebut pula dengan perceived benefits
atau posttraumatic growth yang biasanya diketahui dengan menanyakan pada
individu yang telah mengalami suatu kondisi yang penuh tekanan dengan
perubahan positif yang mereka alami sebagai hasi dari proses koping atas
kejadian yang dihadapi (Park & Fenster, 2004).
Terbentuknya Stress Related Growth dapat dicapai dengan melakukan
beberapa proses yaitu merubah pandangan dunia (Worldview Change),
memproses kognitif (Cognitive Processing) dan menilai dan melakukan proses-
proses koping (Coping Processes). Proses pertama yaitu merubah pandangan
dunia merupakan suatu model yang memiliki tujuan bahwa proses tumbuh
dengan cara mengeluarkan permasalahan dalam memandang dunia yang
dibentuk dari adanya trauma atau stres (Park & Fenster, 2004). Proses kedua
yaitu dengan memproses kognitif. Stress Related Growth dapat terjadi sebagai
hasil dari usaha-usaha ketidaksadan bahwa individu menggabungkan kejadian-
kejadian yang penuh tekanan ke dalam proses kognitif yang ada sebelumnya.
Proses ketiga yaitu proses koping (Coping Processes). Keaslian dari
Stress Related Growth yaitu berdasarkan pada proses koping. Dalam proses
koping ini memiliki tujuan bahwa sumber daya individu (Personal Resources),
penilaian kognitif (Cognitive Appraisals), dan aktivitas koping (Coping Activities)
20
dapat mempengaruhi hasil dari kejadian yang penuh tekanan (stress) tersebut.
Dapat dipahami bahwa Stress Related Growth merupakan hasil yang positif dari
adanya perubahan yang positif dalam kehidupan individu setelah mengalami
pengalaman traumatis atau penuh tekanan dalam kehidupannya.
Berkaitan dengan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa efikasi diri
dapat menunjukkan seberapa besar keyakinan dan motivasi pada difabel netra
tersebut dalam menjalani beragam tugas dalam kehidupannya dan tetap dapat
tumbuh dan berkembang walaupun adanya pengalaman kehidupan yang penuh
tekanan dan adanya keterbatasan dalam hal penglihatan. Dukungan dari
lingkungan sekitar atau lingkungan sosial khususnya lingkungan akademik dan
keluarga pun juga diperlukan agar senantiasa dapat menunjang keberhasilan
difabel netra demi terbentuknya efikasi diri yang positif pada diri mereka yang
dapat menjadi dasar penentu terbentuknya performansi yang positif dan
tercapainya harapan dalam kehidupannya secara lebih positif.
Sebagaimana adanya pemaparan di atas, maka dalam penelitian ini,
peneliti akan menelaah mengenai gambaran dinamika psikologis efikasi diri
pada mahasiswa difabel netra dalam menjalani aktivitas sehari-harinya selama
perjalanan kehidupannya.
21
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang tersebut di atas, maka
dapat difokuskan pertanyaan penelitian dalam hal ini yaitu:
1. Bagaimana pandangan mahasiswa difabel netra tentang kemampuan dirinya?
2. Faktor – faktor apa saja yang menjadi dasar terbentuknya efikasi diri pada
mahasiswa difabel netra sehingga merasa mampu menjalani kehidupannya?
3. Bagaimana persepsi lingkungan sosial terhadap mahasiswa difabel netra
tersebut dalam kesehariannya?
4. Bagaimana hasil yang dicapai dari adanya efikasi diri yang dimiliki mahasiswa
difabel netra dalam menjalani kehidupannya?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
dinamika efikasi diri pada mahasiswa difabel netra.
Berdasarkan adanya tujuan penelitian tersebut maka diharapkan
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait. Manfaat yang
diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan
memperkaya khasanah keilmuan bidang psikologi klinis pada khususnya, juga
kajian tentang perkembangan difabel netra aspek efikasi diri pada khususnya
serta sebagai rujukan bagi penelitian-penelitian berikutnya tentang
permasalahan klinis dan kesehatan lainnya.
22
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan bagi para
konselor, terapis, psikolog, pendidik ataupun instansi yang berkompeten dalam
menangani penyandang cacat baik instansi kesehatan, dinas sosial dan dinas
pendidikan dalam mengembangkan praktek keilmuannya pada umumnya dan
praktisi psikologi klinis dan kesehatan pada khususnya.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang efikasi diri pada mahasiswa difabel netra ini belum
pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya tentang difabel adalah
penelitian yang dilakukan Perwitasari (2012) tentang pengaruh konseling
kebermaknaan hidup terhadap kesejahteraan psikologis difabel. Metode yang
digunakan adalah eksperimen. Partisipan penelitian ini adalah dua kelompok
difabel pada dua lokasi panti yang berbeda. Hasil penelitian ini adalah konseling
kebermaknaan hidup signifikan mempengaruhi kesejahteraan psikologis difabel.
Penelitian yang dilakukan Kinasih (2010) tentang pelatihan mindfulness
untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja difabel fisik. Metode
yang digunakan adalah berupa pemberian pelatihan pada remaja difabel fisik.
Hasil penelitian ini adalah pelatihan mindfulness secara signifikan dapat
meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja difabel fisik.
Penelitian yang dilakukan Halida (2007) tentang pelatihan berfikir positif
untuk meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel. Metode yang
digunakan adalah berupa desain randomized pre test-post test control group.
23
Partisipan merupakan klien Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY) Yogyakarta usia
remaja, berpendidikan minimal SMP, dan memperoleh skor rendah pada Skala
Penerimaan Diri. Hasil penelitian ini yaitu pelatihan berpikir positif secara
signifikan meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel.
Penelitian yang dilakukan oleh Lifshitz, dkk (2007) tentang Self Concept,
Adjustment to Blindness, and Quality of Friendship Among Adolescent with
Visual Impairment. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil
penelitian tersebut adalah terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri,
penyesuaian terhadap ketunanetraan, dan kualitas persahabatan pada remaja
dengan kerusakan penglihatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mosunmola (2011) tentang psychological
and Social Adjustment to Blindness. Metode yang digunakan adalah metode
eksperimen dengan membandingkan dua kelompok tuna netra di Nigeria. Hasil
penelitian tersebut adalah individu dengan kerusakan penglihatan sulit dalam hal
penyesuaian dengan pendidikan, latihan vokasional, pekerjaan, dan mobilitas.
Adapun penelitian sebelumnya tentang efikasi diri adalah penelitian yang
dilakukan Gultom (2012) tentang efikasi diri penyandang tuna daksa dewasa
awal yang dibina dalam panti ditinjau dari dukungan sosial dan persepsi
terhadap rehabilitasi vokasional. Metode yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif yang melibatkan responden yang bertempat tinggal di pusat
rehabilitasi di Solo. Hasil penelitian ini adalah dukungan sosial lebih berkontribusi
daripada rehabilitasi vokasional terhadap efikasi diri penyandang tuna daksa
dewasa awal tersebut.
24
Penelitian yang dilakukan Raihana (2012) tentang kesejahteraan
psikologis ditinjau dari efikasi diri dan kecerdasan emosi remaja awal.
Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Subyek dalam penelitian
ini adalah 90 remaja awal pada SMP N X RSBI di Surakarta. Hasil penelitian ini
adalah adanya korelasi positif antara efikasi diri dan kecerdasan emosi terhadap
kesejahteraan psikologis pada remaja awal.
Penelitian yang dilakukan Sholichah (2012) tentang pelatihan efikasi diri
untuk mengurangi stress kerja perawat rumah sakit jiwa. Metode yang digunakan
adalah metode eksperimen. Partisipan penelitian ini adalah perawat salah satu
rumah sakit jiwa di Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah pelatihan efikasi diri
secara signifikan mengurangi stress kerja perawat rumah sakit jiwa.
Penelitian yang dilakukan oleh Rokke, dkk (2004) tentang Self Efficacy
and Choice of Coping Strategies for Tolerating Acute Pain. Metode yang
digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah efikasi
diri dan pemilihan strategi koping yang tinggi dapat mentoleransi rasa sakit akut.
Penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, dkk (2008) tentang Self
Efficacy and Depression Among Low Vision Seniors. Metode yang digunakan
adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah efikasi diri yang
tinggi dapat menurunkan kondisi depresi pada individu dengan kerusakan
penglihatan dan efikasi diri yang rendah dapat meningkatkan kondisi depresi
yang dialami inidividu dengan kerusakan penglihatan.
25
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui terdapat perbedaan
dengan penelitian sebelumnya yang dapat ditinjau dari beberapa hal yaitu:
1. Keaslian Topik
Pada penelitian sebelumnya belum pernah mengkaji tentang mahasiswa
difabel netra secara khusus dan efikasi diri pada difabel netra. Pada penelitian
kali ini peneliti berfokus mengkaji tentang efikasi diri pada mahasiswa difabel
netra sehingga menunjukkan bahwa topik penelitian kali ini memiliki perbedaan
dengan penelitian sebelumnya.
2 . Keaslian Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian kali ini untuk
mengkaji efikasi diri pada mahasiswa difabel netra adalah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Adapun penelitian sebelumnya tentang difabel dan efikasi
diri menggunakan pendekatan kuantitatif dan eksperimen, sehingga penelitian
kali ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
3. Keaslian informan penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa difabel netra yang
sedang menjalani studi di salah satu universitas di Yogyakarta. Peneliti
berasumsi bahwa difabel netra memiliki keunikan tersendiri dalam menjalani
kesehariannya dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya, terutama
ketika menjalankan perannya sebagai mahasiswa. Berkaitan dengan hal
tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana dinamika efikasi diri yang
dimiliki oleh mahasiswa difabel netra tersebut.
top related