bab i, ii, iii
Post on 26-Nov-2015
44 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi
obat dengan unsur pokok tubuh untuk menghasilkan efek terapi. Interaksi obat
dengan tubuh dibagi menjadi dua kelompok yaitu farmakokinetik dan
farmakodinamik. Farmakokinetik merupakan pengaruh tubuh terhadap obat,
sedangkan kerja obat pada tubuh disebut farmakodinamik.1
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan dapat mengembalikan
kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan serta mempunyai batas
keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat
dicapai bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu anestesi dalam bentuk
kombinasi. Umumnya obat anestesi umum diberikan secara intravena dan
inhalasi.2
Pada makalah ini akan dibahas mengenai farmakologi obat-obat anestesi
intravena, sehingga diharapkan obat-obat tersebut dapat diberikan secara tepat.
1
BAB II
ISI
2.1. Prinsip-Prinsip Farmakologi
2.1.1. Farmakokinetik
Farmakokinetik tersusun atas empat parameter yaitu absorpsi, distribusi,
biotransformasi, dan ekskresi. Absorpsi adalah proses terurainya obat dari
susunannya kemudian larut dalam pembuluh darah, hal ini dipengaruhi oleh
karakteristik fisik obat dan tempat melekatnya obat tersebut. Terdapat banyak
kemungkinan jalur untuk proses absorbsi sistemik: oral, sublingual, rektal,
inhalasi, transdermal, subkutan, intramuskular, dan intravena. Setelah proses
absorpsi obat akan didistribusikan melalui aliran darah ke seluruh tubuh.1
Distribusi memegang peranan penting dalam farmakologi klinik karena
mempengaruhi konsentrasi obat pada end-organ. Distribusi obat dipengaruhi oleh
perfusi organ, ikatan protein, dan kelarutan dalam lemak. Faktor lainnya, seperti
ukuran molekul dan ikatan dengan jaringan –seperti pada daerah paru-paru – juga
mempengaruhi distribusi obat. Setelah obat menyebar dengan rata pada organ
yang kaya pembuluh darah, obat akan di-uptake oleh organ yang sedikit pembuluh
darah. Setelah tercapai kejenuhan konsentrasi, obat akan meninggalkan daerah
yang banyak pembuluh darah untuk menjaga ekuilibrium.1,3
Biotransformasi merupakan perubahan zat akibat proses metabolik, hati
merupakan organ utama dalam proses biotransformasi. Produk akhir dari
2
biotransformasi biasanya dalam bentuk tidak aktif dan larut dalam air yang akan
di ekskresikan oleh ginjal.1,3
Ginjal merupakan organ utama dalam proses ekskresi. Obat-obatan yang
tidak berikatan dengan protein dapat dengan mudah berpindah dari plasma ke
filtrasi glomerulus. Fraksi obat yang tidak terionisasi akan direabsorbsi di tubulus
renalis, sedangkan fraksi yang terionisasi akan diekskresikan melalui urin.
Perubahan pH urin dapat mengubah ekskresi oleh ginjal. Ginjal juga aktif
mensekresi beberapa obat. Renal clearence adalah kecepatan ginjal mengeliminasi
obat. Gagal ginjal mengubah farmakokinetik banyak obat seperti ikatan protein,
volume distribusi dan kecepatan clearence.1,3
2.1.2. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari therapeutic dan efek
toksik obat terhadap system organ (bagaimana efek obat terhadap tubuh). Efek ini
menentukan efikasi obat, potensi dan ratio terapeutik. Farnakodinamik juga
mempelajari tentang mekanisme aksi, interaksi obat, dan hubungan struktur dan
aktivitas. Memahami kurva dose-response dan reseptor obat dapat membentuk
rangka kerja untuk menjelaskan pembagian parameter farmkodinamik.3
Teori yang diterima luas sekarang mengenai kerja obat anestesi (baik
inhalasi maupun intravena) adalah adanya interaksi dengan penghambat sistem
neurotransmiter Gamma Aminobutyric Acid (GABA) sehingga muncullah efek
sedatif dan hipnotiknya. GABA merupakan suatu penghambat neurotransmiter
paling dasar pada sistem saraf pusat. GABA A merupakan suatu reseptor yang
terdiri dari hingga lima subunit glikoprotein. Saat reseptor GABA A teraktivasi,
3
terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran, menyebabkan hiperpolarisasi
pada membran sel postsinaptik dan penghambatan fungsional neuron
postsinaptik.4
Target primer dari agen anestesi intravena adalah reseptor ionotropik
untuk neurotransmiter glutamat endogen yang merupakan transmiter eksitasi
utama, atau GABA yang merupakan transmiter penghambat utama. Reseptor
GABA A merupakan famili dari suatu kanal ion yang terdiri dari reseptor
asetilkolin, glisin, dan 5-HT3 serotonin. Reseptor GABA A berperan dalam
pertukaran ion klorida dan bikarbonat. Reseptor ini merupakan target primer dari
berbagai macam agen anestesi intravena, kecuali ketamin. Reseptor ionotropik
glutamat diklasifikasikan menjadi tipe N-metil-D aspartat (NMDA) atau non-
NMDA. Tipe NMDA berperan dalam pertukaran ion sodium dan kalsium,
menyebabkan depolarisasi membran neuron. Blokade nonkompetitif terhadap
reseptor NMDA merupakan mekanisme primer dari ketamin.5
Potensiasi reseptor GABA maupun blokade reseptor NMDA dapat
memicu terjadinya suatu kondisi yang disebut neurodegenerasi dan defisit
neurokognitif pada model percobaan terhadap hewan. Penemuan ini menjadi dasar
acuan keamanan penggunaan agen anestesi terhadap manusia.5
2.2. Obat-Obat Anestesi Intravena
Perkembangan anestesi intravena dimulai pada akhir abad ke 19, saat
mulai diperkenalkannya needle hollow (jarum infus), syringe, dan terapi cairan,
yang memungkinkan akses langsung menuju aliran darah untuk tujuan distribusi
4
obat yang lebih cepat. Inovasi ini membuka jalan untuk memperkenalkan teknik
anestesi dengan kerja cepat.5
Sekitar tahun 1870an, kloral hidrat mungkin menjadi agen anestesi
intravena yang pertama kali digunakan. Tetapi kurang populer hingga kemudian
sekitar tahun 1930an mulai dikenal barbiturat. Hexobarbital merupakan golongan
barbiturat kerja lambat, merupakan obat yang dengan sukses pertama kali
digunakan secara luas sebagai agen anestesi intravena, diperkenalkan oleh Weese
di Jerman pada tahun 1932. Kemudian diikuti dengan tiopental yang
diperkenalkan oleh Lundy di Minnesota dan Waters di Wisconsin pada tahun
1935. Tiopental kemudian diterima secara luas karena efek gerakan eksitasi
mioklonusnya yang minimal dan terus digunakan hingga 75 tahun kemudian.5,6
Pada tahun 1926, Lundy memperkenalkan konsep “Balance Anestesi”
untuk menjelaskan kombinasi polifarmasi pada anestesi, berupa premedikasi,
anestesi lokal dan anestesi umum untuk menurunkan dosis tiap-tiap agen anestesi
sehingga dapat meningkatkan keamanan pemakainnya. Konsep tersebut kemudian
terus berkembang, termasuk adanya kombinasi dari berbagai macam obat
intravena, termasuk diantaranya hipnotik, sedatif, analgetik, dan pelumpuh otot
serta sering bersama-saam dengan agen anestesi inhalasi yang seringkali
digunakan dalam praktek anestesi pada masa sekarang.5
Unsur-unsur farmakodinamik/farmakokinetik agen induksi anestesi
intravena yang ideal diantaranya:5,6 (Hemmings HC-Induction Anest) (Pandit,
Intravenous)
1. Mampu menyebabkan hiposis dan amnesia
5
2. Memiliki onset yang cepat
3. Memiliki metabolisme yang cepat untuk menjadi metabolit inaktif
4. Memiliki efek depresi sistem kardiovaskular dan respirasi yang minimal
5. Tidak menyebabkan pelepasan histamin atau reaksi hipersensitif
6. Tidak toksisk, tidak bersifat mutagen maupun karsinogen
7. Tidak merangsang efek neurologis, seperti kejang, mioklonus, neurotoksik
8. Memiliki manfaat lain, seperti memiliki sifat analgetik, antiemetik,
neuroprotektif, kardioprotetif
9. terdapat model dasar farmakokinetik sebagai acuan untuk memperoleh dosis
yang akurat
10. Dapat dimonitor secara berkala
Unsur psikokimia:5,6 (Hemmings HC-Induction Anest) (Pandit,
Intravenous)
1. Bersifat larut air
2. Memiliki formulasi yang stabil, tidak bersifat pirogen
3. Tidak menyebabkan iritasi; memiliki efek nyeri yang minimal ketika
diinjeksikan
4. Memiliki volume yang kecil untuk digunakan sebagai induksi
5. Biayanya murah
6. Steril
Secara umum, unsur-unsur farmakologi obat anestesi intravena tersaji
dalam tabel 2.1.4
Nama ObatWaktu Paruh
Ikatan Protein
Volume Distribusi
Klirens (mL/kg/menit
Waktu Paruh
6
Distribusi (menit)
Plasma (%)
)Eliminasi
(jam)Tiopental 2-4 85 2,5 3,4 11
Metoheksikal
5-6 85 2,2 11 4
Propofol 2-4 98 2-10 20-30 4-23Midazolam 7-15 94 1,1-1,7 6,4-11 1,7-2,6Diazepam 10-15 98 0,7-1,7 0,2-0,5 20-50Lorazepam 3-10 98 0,8-1,3 0,8-1,8 11-22Etomidat 2-4 75 2,5-4,5 18-25 2,9-5,3Ketamin 11-16 12 2,5-3,5 12-17 2-4
2.2.1. Benzodiazepin
Benzodiazepin tidak hanya digunakan secara luas sebagai agen
premedikasi, tetpi juga sebagai agen induksi anestesi. Benzodiazepin terdiri dari
diazepam, lorazepam, midazolam dan lain-lain. Diazepam dan lorazepam berupa
suatu cairan yang tidak larut air, formulasinya mengandung propylene flumazenil,
suatu zat yang bersifat mengiritasi jaringan dan menyebabkan nyeri serta iritasi
vena saat diinjeksikan. Diazepam juga tersedia dalam bentuk emulsi lemak yang
tidak menyebabkan nyeri maupun tromboflebitis tetapi memiliki bioavailabilitas
yang lebih rendah. Midazolam tersedia dalam bentuk cairan yang larut air,
memiliki dampak iritasi minimal.4,7
Obat-obat golongan benzodiazepin yang digunakan dalam anestesi
diklasifikasikan menjadi:4
1. Kerja pendek, seperti midazolam, flumazenil
2. Kerja intermediet, seperti diazepam
3. Kerja panjang, seperti lorazepam
7
Ketiga kelompok obat ini memiliki volume distribusi yang hampir serupa,
akan tetapi perbedaan rasio klirensnya menyebabkan perbedaan waktu paruh yang
cukup besar, seperti terlihat pada tabel 2.1.4
Gambar 2.1. Struktur kimia benzodiazepin6
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin membentuk ikatan dengan reseptor spesifik pada sistem
saraf pusat, terutama pada cortex cerebral sehingga dapat menghambat
neurotransmiter dan memudahkan ikatan dengan reseptor GABA. Flumazenil
(imidazobenzodiazepin) merupakan antagonis spesifik reseptor benzodiazepin
dapat melawan semua efek yang ditimbulkan oleh benzodiazepin. Obat golongan
benzodiazepin juga mempunyai sifat antiemetik yang dihubungkan dengan
aksinya terhadap reseptor dopamin.3,8
8
b. Absorpsi
Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral, intramuskular dan intravena
untuk menghasilkan sedasi atau induksi pada anateshi umum. Diazepam dan
lorazepam diabsorbsi dengan baik pada saluran pencernaan, mencapai plasma
dalam waktu satu hingga dua jam, berurutan. Pemberian secara intranasal (0,2-0,3
mg/kg), buccal (0,07 mg/kg), dan sublingual (0,1 mg/kg) midazolam
menghasilkan efek sedasi yang efektif pada preoperasi.3
Injeksi diazepam intramuskular sangat nyeri dan tidak tertahankan.
Midazolam dan lorazepam diabsorpsi sangat baik setelah injeksi intramuskular,
dapat mencapai plasma dalam waktu 30 hingga 90 menit. Induksi midazolam pada
anesthesia umum diberikan secara intravena.3
c. Distribusi
Diazepam larut dalam lemak dan dapat menembus sawar otak dengan
cepat. Midazolam bersifat larut dalam air pada pH yang rendah dan kelarutannya
meningkat dalam lemak. Lorazepam tidak terlalu larut dalam lemak sehingga
onset aksi dan uptake otak menjadi lebih lambat. Redistribusi benzodiazepine
sangat cepat (3-10 menit) dan golongan barbiturat sangat mempengaruhi waktu
kesadaran. Ketiga benzodiazepine ini sangat kuat berikatan dengan protein (90-
98%).3
d. Biotransformasi
Benzodiazepine mengalami biotransformasi di hepar melalui reaksi
oksidasi dan konjugasi glukoronil menjadi produk yang larut dalam air. Diazepam
dimetabolisme menjadi metabolit aktif yang dapat memperpanjang efek sedasi
9
residualnya karena waktu paruh yang panjang. Metabolit ini kemudian akan
mengalami metabolisme sekunder dan menghasilkan produk larut air. Metabolit
diazepam fase I yang berupa zat aktif tersebut dieliminasi selama 30 hari.
Sedangkan waktu eliminasi lorazepam lebih cepat (15 jam) karena walaupun
diekstraksi hepar, tetapi tidak terlalu larut dalam lemak. Namun, durasi lorazepam
sering menjadi lama karena affinitas reseptor yang tinggi. Midazolam mempunyai
waktu eliminasi terpendek yaitu 2 jam.3,4
Penyakit hati kronik mengakibatkan penurunan rasio klirens hati serta
penurunan jumlah protein pengikat diazepam, meningkatkan volume distribusinya
sehingga memperpanjang waktu paruhnya. Pada orang dengan usia tua, rasio
klirens diazepam menurun secara drastis, memperpanjang waktu parahnya hingga
150 jam.4
Lorazepam dimetabolisme oleh asam glukoronil membentuk metabolit
inaktif. Penyakit hati maupun ginjal hanya sedikit mempengaruhi farmakokinetik
lorazepam. Midazolam, melalui metabolisme oksidatif serta oleh kerja enzim hati,
akan membentuk suatu zat larut air yang akan diekskresikan melalui urin.4
e. Ekskresi
Benzodiazepin terutama diekskresi melalui urin. Sirkulasi enterohepatik
menghasikan konsentrasi puncak diazepam dalam plasma setelah 6-12 jam
pemberian. Gagal ginjal menyebabkan memanjangnya waktu sedasikarena faktor
akumulasi metabolit yang terkonjugasi (α-hydroxymidazolam).3
10
f. Efek pada sistem organ
Sistem Kardiovaskular
Benzodiazepine menurunkan kardiovaskular secara minimal meskipun
dalam dosis induksi. Tekanan darah, cardiac output dan tahanan pembuluh darah
perifer biasanya turun perlahan, meskipun denyut jantung terkadang meningkat.
Midazolam cenderung menurunkan tekanan darah dan tahanan pembuluh darah
perifer bahkan lebih dari diazepam. Variabilitas perubahan denyut jantung
sewaktu sedasi menggunakan midazolam dapat mengurangi reaksi vagal (drug-
induced vagolysis).3
Sistem Pernafasan
Benzodiazepin dapat menyebabkan apnue meskipun lebih jarang
dibanding induksi menggunakan barbiturat, dosis diazepam dan midazolam
intravena yang kecil sekalipun dapat menghasilkan respiratory arrest. Karena itu
titrasi midazolam harus diperhatikan dengan baik untuk mencegah overdosis dan
apnue dan harus dimonitor ventilasinya dengan baik serta peralatan resusitasi
harus selalu tersedia.3
Sistem Saraf Pusat
Benzodiazepin dapat menurunkan kebutuhan konsumsi oksigen, aliran
darah otak dan tekanan intrakranial tetapi tidak sehebat barbiturat. Dosis oral
sedatif sering menghasilkan antegrade amnesia yang dapat digunakan sebagai
premedikasi. Sifat relaksasi otot hanya terbatas pada level spinal cord tidak pada
neuromuscular junction. Efek anti anxietas, amnesia, dan sedatif dapat terlihat
mulai dari stupor (pada dosis ringan) hingga hilang kesadaran (pada dosis
11
induksi). Jika dibandingkan dengan thiopental, induksi menggunakan
benzodiazepin lebih lambat menghasilkan ketidaksadaran dan proses recovery
yang memanjang.3
g. Interaksi Obat
Obat yang dapat menghambat metabolisme oksidatif diazepam adalah
penghambat reseptor H2, yaitu simetidin. Eritromisin menghambat metabolisme
midazolam dan menyebabkan dua hingga tiga kali lipat prolongasi dan
intensifikasi efek tersebut. Heparin dapat melepaskan ikatan diazepam dengan
protein dan meningkatkan jumlah free drug (meningkat 200% setelah pemberian
1000 unit heparin).Kombinasi opioid dan diazepam menurunkan tekanan darah
arteri dan tahanan vaskuler perifer terutama pada pasien iskemik atau penyakit
katup jantung. Benzodiazepin menurunkan 30% konsentrasi minimum alveolar
zat anestesi volatile.3,4
Benzodiazepin dapat mempotensiasi efek opioid, seperti midazolam yang
memperkuat efek analgetik dari fentanil. Interaksi antara benzodiazepin dengan
banyak obat hipnotik lain juga menghasilkan efek yang sangat sinergistik.9
2.2.2 Barbiturat
Barbiturat (2,4,6-trioxohexahydropyrimidine) merupakan suatu asam
lemah yang sulit larut dalam air pada pH netral. Golongan barbiturat yang sering
digunakan dalam anestesi antara lain tiopental, tiamilal serta metohexital yang
mana diformulasikan menjadi bentuk garam larut air yang bersifat alkali dengan
pH antara 10-11. Sifat alkali ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada
penyuntikan ekstravaskular maupun intraarterial. Selain itu juga dapat
12
menyebabkan terjdinya pengendapan beberapa macam obat, seperti vecuronium,
rocuronium, lidokain, labetalol dan morfin.5,6
Gambar 2.2. Struktur kimia barbiturat6
Barbiturat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu
tiobarbiturat (terdapat sulfur pada rantai karbon-2 (C2), misalnya tiopental,
tiamilal) dan oksibarbiturat (terdapat ikatan oksigen pada C2, misalnya
metoheksital). Adanya ikatan oksigen yang menggantikan sulfur pada rantai C2
meningkatkan lipopilisitas, berdampak pada terjadinya peningkatan potensi, onset
yang cepat, dan durasi yang lebih pendek. Adanya alkilasi pada ikatan nitrogen-1
(N1) juga meningkatkan lipopilisitas, onset bertambah cepat, akan tetapi juga
meningkatkan efek sampingnya, seperti terlihat pada metoheksital.5
Injeksi tiopental, tiamilal dam metoheksikal akan menghasilkan efek
anestesi dalam waktu 4-8 menit. Metoheksikal 3 kali lebih poten daripada
tiopental, dan tiopental sedikit kurang poten dibandingkan tiamilal. Nyeri saat
penyuntikan lebih sering terjadi pada metoheksikal dibandingkan tiopental.5
Sediaan tiopental sangat tidak stabil ketika telah dibuka dan sebaiknya
segera digunakan dalam waktu 24-48 jam setelahnya, tetapi masa ini dapat lebih
13
panjang menjadi satu minggu bila disimpan dalam lemari pendingin. Dosis
induksi tiopental adalah 3-5 mg/kg. Tiopental sangat larut dalam lemak dan 80%
dari zat ini akan berikatan dengan albumin. Efek analgetik tiopental sangt minim.
Tiopental dapat menyebabkan terjadinya pelepasan histamin dan berhubungan
dengan terjadinya akut intermiten porfiria.6
a. Mekanisme kerja
Barbiturat dapat menurunkan reticular activating system – polysinaptik
kompleks neuron dan pusat pengaturan – terdapat di batang otak yang mengontrol
beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada dosis klinik, barbiturat lebih
mempengaruhi fungsi sinapsis saraf daripada axon dengan menekan transmisi
ekstitatory neurotransmiter (acetylcholine) dan meningkatkan transmisi inhibitor
neurotransmiters (γ-aminobutyric acid [GABA]). Pada presinaps dipengaruhi oleh
mekanisme spesifik sedangkan postsinaps bersifat stereoselektif.3
b. Absorpsi
Pada anestesiologi klinik, barbiturat sering digunakan untuk induksi
anestesia umum pada dewasa dan anak-anak melalui jalur intravena. Pengecualian
pada thiopental atau methohexital juga dapat diberikan melalui rectal pada induksi
anak dan pentobarbital atau secobarbital melalui otot pada premedikasi.3
c. Distribusi
Durasi aksi obat-obatan yang larut dalam lemak dipengaruhi oleh
redistribusi, bukan karena metabolisme dan eliminasi. Meskipun thiopental
berikatan sangat kuat dengan protein (80%), tetapi sangat larut lemak dan
merupakan fraksi tidak terionisasi (60%) sehingga dapat di upatake oleh otak
14
dalam waktu 30 detik. Jika terjadi shock hypovolemic atau serum albumin rendah
(penyakit hati) atau fraksi yang tidak terionisasi meningkat (asidosis) maka dosis
yang tinggi harus diberikan agar uptake pada otak dan jantung tercapai. Untuk
mencapai 10 % konsentrasi minimal pada proses redistribusi subsekuen pada
daerah perifer – kelompok otot – dan otak dibutuhkan waktu 20-30 menit. Dosis
induksi thiopental bergantung pada usia dan berat badan. Dosis induksi yang
rendah pada pasien tua menghasilkan level konsentrasi plasma yang tinggi karena
proses redistribusi yang lambat, tetapi memiliki waktu paruh beberapa menit dan
eliminasi thiopental 3 hingga 12 jam. Pemberian barbiturate yang berulang dapat
menyebabkan akumulasi pada daerah perifer sehingga redistribusi tidak dapat
terjadi dan durasi aksi menjadi lebih bergantung pada eliminasi.3
d. Biotransformasi
Barbiturat mengalami biotransformasi pada hepar menjadi metabolit yag
larut dalam air. Meskipun redistribusi memegang peranan penting dalam
kesadaran pasien dari dosis tunggal barbiturat yang larut lemak, proses
penyembuhan fungsi psikomotor lebih cepat pada penggunaan methohexital
karena proses metabolism yang meningkat.3
e. Ekskresi
Ikatan protein yang kuat menurunkan filtrasi glomerular barbiturate,
sedangkan kelarutan dalam lipid meningkatkan reabsorpsi renal tubular. Kecuali
pada ikatan protein yang lemah dan zat yang sedikit larut dalam lemak seperti
phenobarbital, ekskresi renal terbatas pada kelarutan air dan hasil dari metabolit
hepar. Methohexital diekskresikan lewat feces.3
15
f. Efek pada sistem organ
Sistem Kardiovaskular
Dosis induksi barbiturate yang diberikan secara intravena pada pasien
sehat dapat menurunkan tekanan darah (vasodilatasi perifer), kardiak output dan
takikardi. Hipotensi terjadi sebagai akibat delatasi vena. Dosis lazim tiopental
dapat menyebabkan depresi otot jantung minimal, dan pada dosis tinggi dapat
menurunkan kardiak output. Peningkatan denyut jantung lebih sering terjadi pada
penggunaan metoheksikal dibandingkan tiopental.5
Sistem Pernapasan
Barbiturat menekan pusat pernafasan sehingga menyebabkan hiperkapnia
dan hipoksia. Sedasi menggunakan barbiturat menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan, apnue sewaktu induksi. Sewaktu mulai sadar, volume tidal dan
kecepatan pernafasan menurun. Barbiturat tidak menekan refleks pernafasan
secara lengkap, dan bronkospasme pada pasien asma atau laringospasme pada
pasien dengan anestesi ringan.3
Sistem Saraf Pusat
Barbiturat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, turunnya
aliran darah ke otak dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial
dapat melebihi penurunan tekanan darah sehingga tubuh mengkompensasi dengan
peningkatan cerebral perfusion pressure (cpp). Penurunan tekanan darah ini tidak
terlalu berbahaya karena di iringi dengan penurunan konsumsi oksigen (50% dari
normal). Efek barbiturat ini dapat melindungi otak dari episode fokal iskemia
16
seperti cerebral embolism tetapi mungkin tidak pada global iskemia seperti
cardiac arrest.3
Barbiturat merupakan suatu antikejang yang poten, bersifat
neuroprotekstif. Efek saraf pusat yang tidak diinginkan diantaranya adalah eksitasi
paradoksal terhadap dosis kecil barbiturat serta gerakan otot rangka involunter
(mioklonik).5
Ginjal
Barbiturat menurunkan aliran darah ginjal dan rata-rata filtrasi glomerulus
sehingga tekanan darah menurun.3
Hepar
Barbiturat menyebabkan aliran darah hepar menurun.3
g. Imunologi
Anafilaksis dan reaksi anafilaksis jarang terjadi. Gugus sulfur pada
thiobarbiturat menyebabkan pelepasan histamine mast cell pada percobaan.
Sedangkan oxybarbiturates tidak. Karena itu, beberapa ahli anestesi lebih memilih
methohexital daripada thiopental atau thiamylal pada pasien penderita asma dan
alergi atopik.3
h. Interaksi obat
Media kontras, sulfonamide dan obat lainnya yang berikatan dengan
protein yang sama seperti thiopental akan meningkatkan jumlah obat bebas yang
tersedia dan menghasilkan efek yang kuat pada organ.3
17
2.2.3. Ketamin
Ketamin berupa zat larut air, merupakan turunan arylcyclohexylamine,
terdiri dari 3 macam sediaan larutan, yaitu 1%,5% dan 10%, stabil dalam suhu
ruangan, memiliki pH 3,5-5,5. Kelarutan terhadap lemak lebih tinggi 5-10 kali
dibandingkan tiopental tetapi memiliki proporsi ikatan terhadap protein plasma
yang lebih rendah (sekitar 45%-50%). Ketamin berguna dalam teknik anestesi
cepat pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, misalnya pasien yang
mengalami hipovolemi, hipotensi, kardiomiopati, perikarditis konstriktif atau
tamponade jantung, serta pada pasien yang memilki penyakit jantung
kongenital.5,6
Gambar 2.3. Struktur kimia ketamin6
Ketamin juga dapat diinjeksikan secara intramuskular, tetapi efek anestesi
yang adekuat baru akan tercapai 20-25 menit lebih lambat daripada apabila
diinjeksikan secara intravena.6
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/kg BB (intravena) atay 5-10 mg/kg
BB (intramuskular). Bila hanya ingin mengambil efek sedasi atau analgetiknya,
18
maka dosis yang dianjurkan adalah 200-750 ug/kg BB (intravena) kemudian
diikuti dengan infus secara kontinu dengan dosis 5-20 ug/kgBB/menit. bila
diinjeksikan secara intramuskular, maka dosisnya 2-4 mg/kgBB.10
a. Mekanisme kerja
Ketamin menghambat refleks polisinaptik pada korda spinalis dan
menginhibisi efek neurotransmiter eksitatorik pada area-area tertentu otak.
Ketamin secara fungsional mendisosiasi daerah talamus (yang mengarahkan
impuls sensorik dari RAS ke korteks serebri) dari korteks limbik (yang terlibat
dengan kesadaran sensasi). Walaupun sebagian neuron otak dihambat, neuron lain
dieksitasi secara tonik. Secara klinis, keadaan anestesia disosiatif ini
menyebabkan pasien tampak sadar (seperti pembukaan mata, gerakan menelan,
kontraktur otot) namun tidak mampu memproses atau merespon terhadap input
sensorik. Ketamin telah didemonstrasikan sebagai antagonis reseptor N-metil-D-
aspartat (suatu subtipe reseptor glutamat). Eksistensi reseptor ketamin spesifik dan
interaksi dengan reseptor opioid telah dipostulasikan.3
b. Absorpsi
Ketamin diberikan secara intravena atau intramuskular. Kadar puncak
plasma biasa dicapai dalam 10-15 menit setelah injeksi intramuskular.3
c. Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak dan kurang terikat protein dibanding
thiopental, ia mengalami ionisasi yang sama pada pH fisiologis. Karakteristik ini,
bersama dengan peningkatan aluran darah serebral dan curah jantung terinduksi-
ketamin, berujung pada ambilan otak yang cepat dan redistribusi yang
19
mengikutinya (waktu paruh distribusi adalah 10-15 menit). kemampuan berikatan
antara ketamin dengan protein plasma sangat rendah, yaitu sekitar 12%.3,10
d. Biotransformasi
Produk akhir biotransformasi diekskresikan oleh ginjal.3
e. Efek pada sistem organ
Sistem Kardiovaskular
Sangat berkebalikan dengan agen anestetik lain, ketamin meningkatkan
tekanan darah arteri, denyut jantung, dan curah jantung. Efek-efek kardiovaskular
tidak langsung ini disebabkan oleh stimulasi sentral sistem saraf simpatik dan
inhibisi pengambilan kembali norepinefrin. Karena itu, ketamin harus dihindari
pada pasien dengan penyakit arteri koroner, hipertensi tidak terkontrol, gagal
jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Pada sisi lain, efek stimulatorik tidak
langsung ketamin sering menguntungkan bagi pasien dengan syok hipovolemik
akut.3,5
Sistem Pernafasan
Pada dosis normal pengaruh ketamin terhadap ventilasi adalah minimal.
Pemberian bolus intravena cepat atau persiapan dengan opioid terkadang berujung
pada apneu. Ketamin merupakan bronkodilator poten, yang membuatnya menjadi
agen induksi yang baik bagi pasien asma. Walaupun refleks jalan napas atas
sebagian besar tetap utuh, pasien yang mengalami peningkatan risiko untuk
terjadinya pneumonia aspirasi harus diintubasi. Peningkatan salivasi yang terkait
dengan ketamin dapat dikurangi oleh premedikasi dengan agen antikolinergik.3,5,10
20
Sistem Saraf Pusat
Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial. Efek-efek ini menyingkirkan penggunaannya pada pasien
dengan lesi intrakranial yang menyita ruang. Dari agen-agen non volatil, ketamin
mungkin merupakan pilihan obat yang menghasilkan “complete
anesthetic”(analgesia, amnesia dan hilang kesadaran). Ketamin juga dapat
menyebabkan midriasis, nistagmus dan efek eksitasi sistem saraf pusat. 3,5
f. Interaksi obat
Agen-agen penyekat neuromuskular nondepolarisasi dipotensiasi oleh
ketamin. Kombinasi teofilin dan ketamin merupakan predisposisi terjadinya
bangkitan kejang. Diazepam mengurangi efek kardiostimulatorik ketamin dan
memperpanjang waktu paruh eliminasinya. Propranolol, phenoxybenzamine, dan
antagonis simpatik lain mempunyai efek depresan miokardium langsung dari
ketamin. Ketamin menghasilkan depresi miokardium ketika diberikan pada pasien
yang dianestesi dengan halotan atauanestetik volatil lain. Litium dapat
memperpanjang durasi kerja ketamin.3
Pemberian dengan midazolam dapat menurunkan efek samping ketamin,
yaitu mimpi buruk. Dalam hal ini idazolam memiliki efek yang lebih signifikan
dibandingkan dengan diazepam.10
2.2.4. Propofol
Propofol (2,6-di-isopropylphenol) bersifat lipofilik, asam lemah dan
sangat tidak larut air. Propofol dipresentasikan sebagai cairan berwarna putih,
terbuat dari emulsi minyak dalam air. Propofol menyebabkan nyeri saat
21
disuntikkan, hal ini dapat diminimalisasi dengan cara memilih jalur vena yang
besar, penambahan lidokain saat injeksi (2 ml lidokain 1% untuk setiap 20 ml
propofol 1% bolus) atau opioid sebelum propofol. Dosis induksi propofol adalah
1,5-2,0 mg/kg BB. 98% propofol akan berikatan dengan protein dan menuju
metabolisme hati menjadi metabolit glukoronil yang diekskresikan melalui
urin.5,6,11
Gambar 2.4. Struktur kimia propofol.6
a. Mekanisme kerja
Mekanisme propofol menginduksi keadaan anestesia umum mungkin
melibatkan fasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh GABA.3
b. Absorpsi
Propofol hanya diberikan secara intravena untuk induksi anestesia umum
dan untuk sedasi moderat hingga dalam.3
c. Distribusi
Kelarutan propofol yang tinggi dalam lemak menghasilkan onset kerja
yang nyaris secepat thiopental. Bangun/sadar dari dosis bolus tunggal juga cepat
karena waktu paruh distribusi awal yang sangat singkat (2-8 menit). Pemulihan
dari propofol lebih cepat dan hangover yang kurang dibanding pemulihan dari
22
agen induksi lain4. Sehingga propofol merupakan agen yang baik untuk anestesia
pasien yang tidak dirawat inap. Dosis induksi yang lebih rendah juga
direkomendasikan pada pasien tua. Wanita mungkin memerlukan dosis propofol
yang lebih tinggi dibanding pria dan tampaknya bangun lebih cepat.3
d. Biotransformasi
Klirens propofol melebihi aliran darah hepatik, yang mengimplikasikan
adanya metabolisme ekstrahepatik. Laju klirens yang sangat tinggi (10 kali
thiopental) mungkin ikut menyebabkan kecepatan pemulihan yang relatif tinggi
setelah pemberian infus kontinu. Konjugasi dalam hati menghasilkan metabolit
inaktif yang dieliminasi oleh klirens ginjal. Farmakokinetik propofol tidak tampak
terpengaruh oleh sirosis moderat.3
e. Ekskresi
Walaupun metabolit propofol terutama diekskresikan dalam urin, gagal
ginjal kronis tidak mempengaruhi klirens obat asli.3
f. Efek pada sistem organ
Sistem Kardiovaskular
Efek kardiovaskular utama propofol adalah penurunan tekanan darah arteri
karena penurunan resistensi vaskular sistemik (inhibisi aktivitas vasokonstriktor
simpatis), kontraktilitas jantung, dan preload. Penurunan tekanan darah pada
pasien normal berkisar antara 15%-40%, hipotensi ini lebih sering terjadi
dibanding dengan thiopental. Efek hipotensi biasanya dapat dilawan dengan
stimulasi yang menyertai laringoskopi dan intubasi. Faktor-faktor yang
membangkitkan hipotensi antara lain adalah dosis yang besar, injeksi cepat, dan
23
usia tua. Propofol secara nyata mengganggu respon barorefleks arteri normal
terhadap hipotensi, terutama dalam kondisi-kondisi normokarbia atau hipokarbia.
Jarang terjadi, suatu penurunan preload yang nyata dapat berujung pada refleks
bradikardia termediasi vagus. Perubahan kecepatan denyut jantung dan curah
jantung biasa bersifat transien dan tidak signifikan pada pasien sehat namun dapat
cukup berat hingga berujung pada asistole, terutama pada pasien dengan usia
ekstrim, yang menjalani pengobatan kronotropik negatif, atau mejalani prosedur
bedah yang berkaitan dengan refleks okulokardiak. Pasien dengan gangguan
fungsi ventrikular dapat mengalami penurunan curah jantung yang signifikan
karena penurunan pengisian ventrikular dan kontraktilitas. Walaupun konsumsi
oksigen miokardium dan aliran darah koroner berkurang dalam derajat yang
setara, produksi laktat sinus koroner meningkat pada sebagian pasien. Ini
mengindikasikan ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran oksigen
regional.3,5
Sistem pernapasan
Propofol adalah penekan respirasi yang poten yang biasanya menyebabkan
periode apneu 30-60 detik setelah dosis induksi. Bahkan ketika digunakan untuk
sedasi sadar dalam dosis subanestetik, infus propofol menghambat dorongan
ventilasi hipoksik dan menekan respon normal terhadap hiperkarbia. Depresi
refleks jalan napas atas terinduksi-propofol melebihi depresi yang disebabkan
thiopental dan dapat terbukti bermanfaat selama intubasi atau penempatan makser
laringeal tanpa adanya paralisis. Selain itu, cegukan, batuk maupun laringospasme
lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan tiopental. Walaupun propofol dapat
24
menyebabkan pelepasan histamin, induksi dengan propofol disertai oleh insidensi
mengi yang lebih rendah pada pasien asma dan non asma dibanding dengan
barbiturat atau etomidate dan tidak dikontraindikasikan pada pasien asma.3,5
Sistem Saraf Pusat
Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, propofol dapat menyebabkan
reduksi CPP yang kritis (<500 mm Hg). Propofol dan thiopental mungkin
menghasilkan derajat proteksi serebral yang setara selama iskemia fokal. Propofol
memiliki efek antikonvulsan. Efek anti emetiknya (dengan konsentrasi propofol
dalam darah sebesar 200 ng/mL) membuatnya disukai untuk anestesia pasien yang
tidak dirawat inap. Induksi terkadang disertai oleh fenomena eksitatorik seperti
kedutan, gerakan spontan, oposthotonus, atau cegukan yang mungkin dikarenakan
antagonisme glisin subkortikal. Propofol tampak memiliki sifat antikonvulsan
yang nyata (seperti supresi bangkitan),dan dapat diberikan secara aman terhadap
pasien epileptik. Propofol mengurangi tekanan intraokuler. Toleransi tidak timbul
setelah infus propofol jangka panjang.3,5
g. Interaksi obat
Konsentrasi fentanil dan alfentanil dapat meningkat karena pemberian
propofol konkomitan. Beberapa klinisi memberikan sejumlah kecil midazolam
(seperti 30 μg/kg) sebelum induksi dengan propofol, kombinasi ini menghasilkan
efek sinergistik (seperti onset yang lebih cepat dan dosis total yang lebih rendah).3
Analgetik opioid (fentanil, sufentanil, alfentanil) dapat mempotensiasi
efek hipnotik propofol. Tiopental dan propofol dapat dikombinasikan secara aman
25
dengan opioid, akan tetapi kedua obat hipnotik ini mempotensiasi efek hipotensi,
akibat adanya dilatasi vena.9
26
BAB III
PENUTUP
Dalam memilih obat-obat anestesi yang akan digunakan, sangat penting
memperhatikan farmakokinetik dan farmakodinamik dari masing-masing obat.
Farmakokinetik antara lain terdiri atas absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi. Sedangkan farmakodinamik antara lain berupa mekanisme kerja obat,
efek samping terhadap organ termasuk juga interaksi obat. Karena setiap obat
memiliki cara kerja dan efek samping yang berbeda untuk mencapai suatu
keadaan anestesi yang ideal, tidak ada satupun obat anestesi yang dapat
memberikan efek yang diharapkan tanpa disertai efek samping.
27
top related