bab i, ii, iii

Post on 23-Oct-2015

30 Views

Category:

Documents

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luas daerah Kabupaten Tanah Datar mencapai 1.336 km2 yang hanya sekitar

3,16 % dari luas propinsi Sumatera Barat yang mencapai 42.229,04 km2. Kabupaten

Tanah Datar memiliki populasi kambing yang cukup besar yaitu 24.421 ekor (BPS

Kabupaten Tanah Datar 2011). Kecamatan Tanjung Baru merupakan salah satu

kecamatan yang ada di Kabupaten Tanah Datar, Kecamatan Tanjung Baru memiliki

populasi kambing PE sebanyak 240 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten

Tanah Datar). Untuk meningkatkan populasi ternak kambing PE tersebut diperlukan

suatu program pengembangan kambing berbasis agribisnis di Kecamatan Tanjung Baru

untuk mengatasi kenaikan konsumsi daging sekaligus mensukseskan program pemerintah

untuk swasembada daging tahun 2014.

Ternak kambing merupakan salah satu komoditi sektor peternakan yang

mempunyai prospek ekonomi yang bagus jika dikembangkan dengan intensif. Kalau

dilihat dari perkembangannya ternak kambing saat ini masih dikembangkan dengan cara

tradisional dan hanya sebagai usaha sampingan masyarakat. Sedangkan jenis kambing

yang diusahakan masih tergolong jenis kambing lokal dengan volume ternak yang masih

sedikit (rata-rata 2 ekor induk/KK). Padahal ketersediaan pakan lokal yang melimpah

menjadi pendukung, jika usaha ternak kambing dikembangkan dengan baik dan

mengarah kepada usaha yang komersil akan menjadi sumber usaha dan penghasilan baru.

Perbaikan produktivitas ternak yang rendah harus dipacu dengan mengutamakan

perbaikan pakan yang memadai melalui pemanfaatan sumber-sumber daya lokal.

2

Perkebunan kakao yang terdapat di daerah tersebut merupakan peluang yang baik dalam

mendukung pengembangan ternak kambing yaitu tersedianya limbah kulit kakao yang

cukup potensial sebagai bahan pakan ternak dan terciptanya pola integrasi kakao

kambing. Selain menunjukkan pertambahan berat badan, ternak kambing yang

mengkonsumsi kulit buah kakao memberikan tampilan performans bulu yang mengkilat

dan mata berbinar, ternak terlihat lebih sehat serta aktif . Potensi tanaman kakao di

Kabupaten Tanah Datar cukup melimpah. Kabupaten Tanah Datar memiliki potensi

kebun kakao seluas 2.762 Ha dengan hasil Kakao sebesar 387,5 ton/tahun, limbah kulit

kakao yang dihasilkan sebesar 19.750 kg/tahun, sementara itu ternak ruminansia di

Kabupaten Tanah Datar pertengahan tahun 2011 ini mencapai 101.154 ekor, dengan

asumsi satu ekor ternak setiap hari membutuhkan pakan sebanyak 30 kg, maka

membutuhkan pakan 3.560 ton/tahun (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera

Barat, 2011).

Penyuluhan memiliki peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan peternak

dalam pembangunan peternakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasapoetra (1994)

yang menyatakan penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan perilaku petani,

yaitu mendorong petani mengubah perilakunya menjadi petani dengan kemampuan yang

lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya akan memperoleh

kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani diharapkan menyadari akan

kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan diri, dan dapat berperan di

masyarakat dengan lebih baik.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecepatan adopsi inovasi

peternakan adalah dengan dilakukannya penyuluhan tentang pemanfaatan limbah kakao

3

kepada peternak kambing PE di Kecamatan Tanjung Baru. Beberapa pengkajian para

peneliti tentang pemanfaatan limbah kulit kakao untuk pakan ternak telah banyak

menunjukkan hasil yang menjanjikan. Sehingga pemanfaatan limbah kakao sebagai

pakan ternak kambing PE di Kecamatan Tanjung Baru dapat ditingkatkan untuk menjaga

ketersediaan pakan ternak sepanjang waktu. Pada umumnya peternak telah menggunakan

limbah kakao sebagai pakan ternak kambing PE, namun belum dikembangkan dengan

baik karena kurangnya pengetahuan tentang manfaat limbah kakao sebagai pakan ternak.

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut maka dilakukanlah penelitian yang berjudul

“Kecepatan Adopsi Inovasi Limbah Kakao sebagai Pakan Ternak Kambing PE

(Peranakan Etawa) di Kecamatan Tanjung Baru”.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kecepatan adopsi inovasi limbah kakao sebagai pakan ternak kambing

PE di Kecamatan Tanjung Baru Kabupaten Tanah Datar?

2. Apa masalah yang dihadapi peternak dalam kecepatan adopsi inovasi limbah

kakao sebagai pakan ternak kambing PE di Kecamatan Tanjung Baru Kabupaten

Tanah Datar?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kecepatan adopsi inovasi limbah kakao sebagai pakan ternak

kambing PE di Kecamatan Tanjung Baru Kabupaten Tanah Datar.

4

2. Untuk mengetahui masalah yang dihadapi peternak dalam kecepatan adopsi

inovasi limbah kakao sebagai pakan ternak kambing PE di Kecamatan Tanjung

Baru Kabupaten Tanah Datar.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi instansi terkait dan

peternak kambing PE dalam menentukan strategi penerapan teknologi

peternakan.

2. Sebagai bahan informasi dalam peningkatan usaha peternakan kambing PE.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecepatan

Kecepatan merupakan selang waktu antara diterimanya informasi sampai

dilakukannya penerapan (Mardikanto, 1996). Salah satu faktor yang mempengaruhi

kecepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Secara lebih tegas Soekarwati

(1988) menjelaskan bahwa jika memang teknologi baru bisa memberikan keuntungan

yang lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama maka kecepatan adopsi

inovasi berjalan lebih cepat.

Dalam konteks adopsi inovasi rancangan kecepatan adopsi berhubungan

dengan waktu, berjalannya proses adopsi yang diukur dari mulai mendengar adanya

inovasi hingga menerapkan inovasi itu atau dengan kata lain kecepatan adopsi

ditunjukkan oleh adoption lag yang digambarkan secara grafis akan berbentuk

sigmoid ( Stanley W. et al, 2001) seperti berikut:

Grafis proses berjalannya adopsi (Lag Adoption)

Pada grafis tersebut, kecepatan adopsi ditunjukkan oleh slope garis level

adopsi. Slope landai mencerminkan proses yang lambat, sedangkan slope curam

menunjukkan proses yang cepat. Model kecepatan diarahkan untuk mendorong slope

yang landai menjadi slope adopsi yang curam. Proses adopsi dikatakan cepat apabila

6

memenuhi dua kondisi. Pertama, terjadinya adopsi oleh adopter dalam kurun waktu

yang lebih cepat dari kondisi umum. Kedua, adopter mengadopsi teknologi yang

lebih banyak dari adopter lainnya dalam kurun waktu yang sama.

2.2. Inovasi

Inovasi merupakan istilah yang telah digunakan secara luas dalam berbagai

bidang, baik industri, jasa, pemasaran maupun pertanian. Dalam perspektif

pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, praktek,

atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grup yang relevan. Sedangkan

Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, ide yang dianggap baru oleh

seseorang. Dari berbagai definisi diatas, dapat dijelaskan bahwa dalam suatu inovasi,

terdapat 3 unsur yang terkandung didalamnya yang pertama adalah ide atau gagasan,

kedua metode atau praktek, dan yang ketiga produk (barang atau jasa).

Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi

saja, tetapi mencakup ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku atau

gerakan-gerakan menuju proses perubahan di dalam segala bentuk kehidupan

masyarakat, karena itu Mardikanto (1996) menjelaskan lebih luas pengertian inovasi

sebagai suatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum

banyak diketahui/diterima/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat

dalam lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan

di segala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu

hidup setiap individu dan seluruh masyarakat yang bersangkutan.

7

2.3. Adopsi Inovasi

Adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik berupa

pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric)

seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan. Inovasi adalah sesuatu ide,

perilaku, produk, informasi dan praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima

dan digunakan dilaksanakan oleh sebagian besar warga dalam suatu lokalitas tertentu,

yang dapat mendorong terjadinya perubahan di masyarakat. Menurut Horton et al

(1984) penolakan inovasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1) pemaksaan, 2)

tidak dipahami, dan 3) dinilai sebagai ancaman terhadap nilai-nilai penduduk.

Menurut Satria (2002), perubahan teknologi dapat terjadi melalui adopsi atau inovasi.

2.4. Tahapan Adopsi

Menurut Kartasapoetra (1994) perubahan perilaku yang diusahakan melalui

penyuluhan pertanian pada diri para petani umumnya berjalan dengan lambat, hal ini

disebabkan oleh:

1. Tingkat pengetahuan, kecakapan dan mental petani.

2. Penyuluhan/hal-hal yang disampaikan hanya akan diterima dan dipraktekkan

(diterapkan, diadopsi) setelah para petani mendapatkan gambaran nyata atau

keyakinan bahwa hal-hal baru diterima dari penyuluhan akan berguna, memberikan

keuntungan, peningkatan hasil bila di praktekkan, atau tidak menimbulkan kerugian

terhadap apa yang sedang dilakukan.

8

Jangkauan penyuluhan Sumber: Kartasapoetra (1994)

Bagan 1. Tahapan Adopsi Inovasi

Menurut Anwar, dkk (2009) pada dasarnya, proses adopsi pasti melalui

tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/menerapkan dengan

keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya

itu tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan

lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh

penyuluh).

Tahapan-tahapan adopsi itu adalah:

1. Awareness, atau kesadaran, yaitu sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang

ditawarkan oleh penyuluh.

2. Interest, atau tumbuhnya minat yang seringkali ditandai oleh keinginannya untuk

bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak/jauh tentang segala sesuatu yang

berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.

Awareness Evaluation Interest Trial

Petani Perubahan perilaku

ADOPTION

Penyuluh Materi penyuluhan Sarana peragaan Praktek lapangan

9

3. Evaluation atau penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi yang telah

diketahui informasinya secara lebih lengkap. Pada penilaian ini, masyarakat

sasaran tidak hanya melakukan penilaian terhadap aspek teknisnya saja, tetapi

juga aspek ekonomi, maupun aspek-aspek sosial budaya, bahkan seringkali juga

ditinjau dari aspek politis atau kesesuaiannya dengan kebijakan pembangunan

nasional dan regional.

4. Trial atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan penilaiannya,

sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi.

5. Adoption atau menerima/menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan

penilaian dan uji coba yang telah dilakukan/diamatinya sendiri.

2.5. Ukuran Adopsi Inovasi

Tergantung pendekatan ilmu yang digunakan, adopsi inovasi dapat diukur

dengan beragam tolok ukur (indikator) dan ukuran (ukuran). Jika menggunakan ilmu

komunikasi, adopsi inovasi dapat dilihat jika sasaran telah memberikan tanggapan

(respons) berupa perubahan perilaku atau pelaksanaan kegiatan seperti yang

diharapkan (Berlo, 1961). Di lain pihak, jika menggunakan pendekatan ilmu

pendidikan, adopsi inovasi dapat dilihat dari terjadinya perilaku atau perubahan sikap,

pengetahuan, dan ketrampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tak

langsung (Kibler, 1981).

Di lain pihak, Dusseldorf (1981) mengukur tingkat adopsi dengan melihat

jenjang partisipasi yang ditunjukkan oleh sasaran penyuluhan (komunikasi

pembangunan), yaitu: paksaan, terinduksi, dan spontan. Di dalam praktek

penyuluhan pertanian, penilaian tingkat adopsi inovasi biasa dilakukan dengan

10

menggunakan tolok ukur tingkat mutu intensifikasi, yaitu dengan membandingkan

“rekomendasi” yang ditetapkan dengan jumlah dan kualitas penerapan yang

dilakukan di lapang.

Sehubungan dengan itu, Mardikanto (1996) mengukur tingkat adopsi dengan

tiga tolok ukur, yaitu: kecepatan atau selang waktu antara diterimanya informasi dan

penerapan yang dilakukan, luas penerapan inovasi atau proporsi luas lahan yang telah

“diberi” inovasi baru, serta mutu intensifikasi dengan membandingkan penerapan

dengan “rekomendasi” yang disampaikan oleh penyuluhnya.

2.6. Pengertian Penyuluhan

Penyuluhan secara harfiah bersumber dari kata suluh yang berarti obor atau

alat untuk menerangi yang gelap, jadi secara umum penyuluhan dapat memberikan

penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disuluh. Penyuluhan pertanian

(peternakan) tidak bisa dilepaskan dari pembangunan dunia pertanian. Sampai saat

ini, kegiatan penyuluhan dinilai masih diperlukan untuk membantu peternak

khususnya yang menghadapi masalah dilapangan. Penyuluh pertanian (peternakan)

dalam arti umum merupakan suatu ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses

perubahan pada individu dan masyarakat agar dengan terwujudnya perubahan

tersebut dapat tercapai apa yang diharapkan sesuai dengan pola atau rencana

(Kartasapoetra, 1994).

Tujuan penyuluhan adalah mengembangkan peternak dan keluarganya secara

bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat,

pembendaharaan informasi yang memadai, serta mampu pula memecahkan serta

memutuskan sesuata yang terbaik untuk diri dan keluarganya (Anwar dkk, 2009).

11

Untuk itu dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus mampu untuk

menunjukkan serta meyakinkan peternak bahwa sesuatu yang disuluhkan erat

kaitannya dengan luas atau tidaknya pengetahuan yang dimiliki peternak serta

pengalaman, keterampilan dan sikapnya terhadap teknologa yang disuluhkan.

Menurut Hawkins et al (1982) dalam Suryanti (2011) proses yang dilakukan

dalam penyuluhan adalah: a) membantu petani menganalisis situasi yang sedang

dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, b) membantu menyadarkan petani

terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut, c) meningkatkan

pengetahuan dan wawasan terhadap suatu masalah serta membantu menyusun

kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani, d) membantu petani

memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah

yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkan sehingga mereka mempunyai berbagai

alternatif tindakan, e) membantu petani untuk dapat menerapkan pendapat mereka, f)

meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, g) membantu

petani mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk dan

mengambil keputusan.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 menyatakan

penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan

adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau

dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi

pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk

meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta

meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

12

2.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Proses Adopsi Inovasi

Sejalan dengan semakin berkembangnya penerapan ilmu penyuluhan

pembangunan di Indonesia, studi-studi tentang adopsi inovasi kian menarik untuk

terus dikaji, terutama kaitannya dengan kegiatan pembangunan pertanian yang

dilaksanakan. Bahkan, selama selang waktu 10 tahun, setidaknya ada dua karya

disertasi yang mengkaji proses adopsi inovasi, yaitu yang dilakukan oleh Herman

Soewardi (1976) dan Dudung Abdul Adjid (1985). Semakin pentingnya kajian

tentang adopsi inovasi tersebut, antara lain disebabkan karena, sejak dimulainya

"revolusi hijau" di Indonesia pada awal dasawarsa tujuh puluhan, pembangunan

pertanian lebih memusatkan perhatiannya kepada peningkatan mutu intensifikasi

yang diupayakan melalui penerapan inovasi-inovasi, baik yang berupa inovasi teknis

(mulai pancausaha, saptausaha, sampai sepuluh jurus teknologi) maupun inovasi

sosial (usahatani berkelompok, melalui Insus dan Supra Insus).

Tergantung kepada proses perubahan perilaku yang diupayakan, proses

pencapaian tahapan adopsi dapat berlangsung secara cepat ataupun lambat.

Jika proses tersebut melalui "pemaksaan" (coersion), biasanya dapat berlangsung

secara cepat, tetapi jika melalui "bujukan" (persuasive) atau "pendidikan" (learning),

proses adopsi tersebut dapat berlangsung lebih lambat (Soewardi, 1987). Tetapi,

ditinjau dari pemantapan perubahan perilaku yang terjadi, adopsi yang berlangsung

melalui proses bujukan dan atau pendidikan biasanya lebih sulit berubah lagi. Sedang

adopsi yang terjadi melalui pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah kembali, segera

setelah unsur atau kegiatan pemaksaan tersebut tidak dilanjutkan lagi.

13

Dari khasanah kepustakaan diperoleh informasi bahwa kecepatan adopsi,

ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:

1. Sifat-sifat atau karakteristik inovasi

2. Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna

3. Pengambilan keputusan adopsi

4. Saluran atau media yang digunakan

5. Kualifikasi penyuluh.

Meskipun demikian, Mardikanto (1995) mensinyalir bahwa, identifikasi

beragam faktor penentu kecepatan adopsi inovasi itu masih terbatas pada pendekatan

proses komunikasi. Karena itu, dia mencoba menggali lebih jauh dengan melakukan

pendekatan kebudayaan (Soewardi, 1976), dan pendekatan sistem agribisnis.

Lebih lanjut, karena kegiatan penyuluhan pertanian dapat dilihat sebagai subsistem

pengembangan masyarakat, maka kecepatan adopsi inovasi dapat pula dipengaruhi

oleh perilaku aparat dan hal-hal lain yang terkait dalam kegiatan pengembangan

masyarakat.

Di lain pihak, sejalan dengan perkembangan penerapan ilmu penyuluhan

pembangunan di Indonesia, Slamet (1978) dengan menggunakan pendekatan ilmu

komunikasi seperti yang biasa dilakukan oleh Rogers (1969), mengenalkan variabel-

variabel penentu kecepatan adopsi yang terdiri atas:

1. Sifat-sifat inovasinya,

2. Kegiatan promosi yang dilakukan penyuluh,

3. Ciri-ciri sistem sosial masyarakat sasaran,

4. Jenis pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran.

14

Selain itu, proses adopsi inovasi juga dapat didekati dengan pemahaman

bahwa proses adopsi inovasi itu sendiri merupakan proses yang diupayakan secara

sadar demi tercapainya tujuan pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian,

menurut Hadisapoetro (1970), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses turut

campurnya tangan manusia di dalam perkembangan tanaman dan/atau hewan, agar

lebih dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan manusia (petani) dan

masyarakatnya.

Sebagai suatu proses, pembangunan pertanian merupakan proses interaksi dari

banyak pihak yang secara langsung maupun tak langsung terkait dengan upaya

peningkatan produktivitas usahatani dan peningkatan pendapatan serta perbaikan

mutu hidup, melalui penerapan teknologi yang terpilih (Mardikanto, 1988).

Berlandaskan pada pemahaman seperti itu, dapat disimpulkan beberapa pokok-pokok

pemikiran tentang adopsi inovasi kaitannya dengan pembangunan pertanian, sebagai

berikut:

1. Adopsi inovasi memerlukan proses komunikasi yang terus-menerus untuk

mengenalkan, menjelaskan, mendidik, dan membantu masyarakat agar tahu,

mau, dan mampu menerapkan teknologi terpilih (yang disuluhkan).

2. Adopsi inovasi merupakan proses pengambilan keputusan yang berkelanjutan

dan tidak kenal berhenti, untuk: memperhatikan, menerima, memahami,

menghayati, dan menerapkan teknologi terpilih yang disuluhkan.

3. Adopsi inovasi memerlukan kesiapan untuk melakukan perubahan-perubahan

dalam praktek berusahatani, dengan memanfaatkan teknologi terpilih (yang

disuluhkan).

15

Selaras dengan itu, maka kajian terhadap faktor-faktor penentu adopsi inovasi

dapat dilakukan melalui tiga pendekatan sekaligus, yaitu: pendekatan komunikasi,

psikososial, dan sistem agribisnis.

A. Pendekatan Komunikasi

Berlo (1961) menegaskan bahwa, kejelasan komunikasi sangat

ditentukan oleh keempat unsur-unsurnya, yang terdiri dari: sumber, pesan,

saluran, dan penerimanya. Bertolak dari konsep ini, maka proses adopsi

inovasi ditentukan oleh kualitas penyuluhan yang mencakup: kualitas

penyuluh, sifat-sifat inovasinya, saluran komunikasi yang digunakan, dan ciri-

ciri sasaran yang meliputi: status sosial ekonomi, dan persepsinya terhadap

aparat pelaksana kegiatan penyuluhan maupun program-program

pembangunan pada umumnya (Rogers, 1969).

1. Sifat-sifat Inovasi

Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang

melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (yang dipengaruhi oleh

keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988). Sifat-sifat intrinsik inovasi itu

mencakup:

a. Informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya,

b. Nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya,

dan politis) yang melekat pada inovasinya,

c. Tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi,

d. Mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) inovasi,

e. Mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability),

16

f. Mudah/tidaknyaa inovasi tersebut diamati (observability).

Sedang sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi:

a. kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat (baik

lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis

masyarakatnya).

b. tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan

lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah

ada yang akan diperbaharui/digantikannya; baik keunggulan teknis

(kecocokan dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitasnya),

ekonomis (besarnya biaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomi,

maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya.

2. Kualitas Penyuluh

Termasuk dalam pengertian kualitas penyuluh, terdapat empat tolok ukur yang

perlu mendapat perhatian, yaitu:

a. Kemampuan dan ketrampilan penyuluh untuk berkomunikasi

b. Pengetahuan penyuluh tentang inovasi yang (akan) disuluhkan

c. Sikap penyuluh, baik terhadap inovasi, sasaran, dan profesinya

d. Kesesuaian latar belakang sosial budaya penyuluh dan sasaran

Selain faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas, kecepatan adopsi juga sangat

ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan penyuluh, khususnya tentang upaya yang

dilakukan penyuluh untuk "mempromosikan" inovasinya. Semakin rajin penyuluhnya

menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika

penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan terampil menggunakan saluran

17

komunikasi yang paling efektif, proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat

dibanding dengan yang lainnya. Berkaitan dengan kemampuan penyuluh untuk

berkomunikasi, perlu juga diperhatikan kemampuannya berempati, atau kemampuan

untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain. Kegagalan

penyuluhan, seringkali disebabkan karena penyuluh tidak mampu memahami apa yang

sedang dirasakan dan dibutuhkan oleh sasarannya.

3. Sumber Informasi yang Dimanfaatkan

Golongan yang inovatif, biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber

informasi, seperti: lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-

dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh masyarakat (petani) setempat maupun dari

luar, maupun lembaga-lembaga komersial (pedagang, dll). Berbeda dengan golongan

yang inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya

memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (petani) setempat, dan relatif sedikit

memanfaatkan informasi dari media masa.

4. Saluran Komunikasi yang Digunakan

Secara konseptual, pada dasarnya dikenal adanya tiga macam saluran atau media

komunikasi, yaitu: saluran antar pribadi (inter personal), media masa (mass media), dan

forum media yang dimaksudkan untuk menggabungkan keunggulan-keunggulan yang

dimiliki oleh saluran antar pribadi dan media masa. Tentang hal ini, media masa biasanya

lebih efektif dan lebih murah untuk mengenalkan inovasi pada tahap-tahap penyadaran

dan menumbuhkan minat. Sebaliknya, media antar pribadi biasanya lebih efektif untuk

diterapkan pada tahapan yang lebih lanjut, sejak menumbuhkan minat sampai pada

penerapannya. Berkenaan dengan itu, semakin banyak media yang digunakan oleh

18

masyarakat, akan memberikan pengaruh yang semakin baik. Sebab, selain jumlah

informassi menjadi lebih lengkap, biasanya juga lebih bermutu atau semakin memberikan

kejelasan terhadap inovasi yang diterimanya.

Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat disampaikan lewat media masa,

atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang

disampaikan melalui media masa, maka proses adopsi akan berlangsung relatif lebih

cepat dibanding dengan inovasi yang harus disampaikan lewat media antar pribadi.

Sebaliknya, jika inovasi tersebut relatif sulit disampaikan lewat media masa atau

sasarannya belum mampu (dapat) memanfaatkan media masa, inovasi yang disampaikan

lewat media antar pribadi akan lebih cepat dapat diadopsi oleh masyarakat sasarannya.

5. Status Sosial ekonomi Penerima atau Pengguna Inovasi

Rogers (1971) mengemukakan hipotesisnya bahwa setiap kelompok masyarakat

terbagi menjadi 5 (lima) kelompok individu berdasarkan tingkat kecepatannya

mengadopsi inovasi, yaitu:

a. 2,5 % kelompok perintis (innovator),

b. 13,5 % kelompok pelopor (early adopter),

c. 34,0 % kelompok penganut dini (early mayority),

d. 13,5 % kelompok penganut lambat (late majority),

e. 2,5 % kelompok orang-orang kolot/naluri (laggard).

Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya

mengadopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yang meliputi:

19

a. Luas usahatani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karena

memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

b. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat

pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.

c. Keberanian mengambil resiko, sebab, pada tahap awal biasanya tidak selalu

berhasil seperti yang diharapkan. Karena itu, individu yang memiliki keberanian

menghadapi resiko biasanya lebih inovatif.

d. Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi

inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa

diterapkan oleh warga masyarakat setempat.

e. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya

sendiri. Warga masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar

sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya

melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat setempat.

f. Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat yang aktif

mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-

orang yang pasif apalagi yang selalu keptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang

baru.

6. Cara Mengambil Keputusan

Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakat, cara pengambilan

keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi

kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi

(individual) relatif lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan

20

keputusan bersama (kelompok) warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus

menunggu peraturan-peraturan tertentu.

B. Pendekatan Pendidikan

Osgood (1953) melalui penjelasannya mengenai teori rangsangan dan tanggapan

(stimulus responce theory), mengemukakan bahwa proses adopsi yang merupakan salah

satu bentuk tanggapan atas rangsangan (inovasi) yang diterima, sangat tergantung kepada

manfaat atau reward, yang dapat diharapkannya, sedang besarnya tanggapan tersebut

tergantung kepada: besar atau jumlah manfaat, kecepatan waktu penerimaan manfaat,

frekuensi penerimaan manfaat, dan besarnya energi atau korbanan yang dikeluarkan.

C. Pendekatan Psikososial.

Secara psikologis, kegiatan yang dilakukan oleh seseorang (untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu), dilatar belakangi oleh adanya motivasi, yaitu tekanan atau

dorongan (yang berupa kebutuhan, keinginan, harapan dan atau tujuan-tujuan) yang

menyebabkan seseorang melakukan kegiatan tersebut (Berelson et al 1967).

D. Pendekatan Sistem Agribisnis

Soeharjo (1991) mengemukakan bahwa, kegiatan usahatani merupakan salah satu

subsistem agribisnis, yang terdiri dari: subsistem pengadaan dan penyaluran input,

subsistem produksi, subsistem pasca panen dan pemasaran, dan subsistem pendukung

yang terdiri dari beragam unsur pelayanan (permodalan, perijinan, dll). Sehubungan

dengan itu, Sinaga (1987) menegaskan bahwa analisis tentang penggunaan input di dalam

subsistem produksi usaha tani, harus dilihat sebagai salah satu mata rantai dari analisis-

analisis permintaan input, analisis proses produksi, dan analisis pemasaran produk.

21

Berdasarkan pendekatan ini, maka variabel-variabel yang perlu diperhatikan dalam

proses adopsi adalah:

1. Kualitas pelayanan input, khususnya yang berkaitan dengan: pengadaan

sarana produksi dan kredit.

2. Aplikasi dan supervisi dalam penggunaan input

3. Jaminan harga dan sistem pemasaran produk

E. Pendekatan Pengembangan Masyarakat

Dari definisi baru yang diberikan terhadap istilah penyuluhan pertanian secara

jelas dinyatakan bahwa tujuan akhir dari penyuluhan pertanian adalah untuk mewujudkan

masyarakat pertanian yang mandiri, profesional, dan berjiwa kewirausahaan. Pemahaman

seperti itu, membawa implikasi bahwa kecepatan adopsi inovasi yang diupayakan melalui

kegiatan penyuluhan akan sangat ditentukan oleh:

1. Perilaku atau komitmen pimpinan wilayah selaku administrator dan

penanggungjawab pembangunan terhadap arti penting penyuluhan sebagai

faktor penentu dan pelancar pembangunan.

2. Dukungan stakeholder yang lain yang memungkinkan masyarakat untuk

dapat mengadopsi inovasi yang ditawarkan, terutama lembaga kredit, dan

pelaku bisnis pertanian yang lain.

3. Pemahaman masyarakat tentang pentingnya penyuluhan bagi percepatan

pembangunan yang menuntut partisipasi masyarakat.

Menurut Musyafak dkk (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan

adopsi inovasi adalah :

22

1. Memilih inovasi yang tepat guna, diantaranya:

a) Inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani/peternak.

b) Inovasi harus mamberikan keuntungan konkrit bagi petani/peternak.

c) Inovasi harus mempunyai kompatibilitas/keselarasan.

d) Inovasi harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas.

e) Inovasi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada.

f) Inovasi harus terjangkau oleh kemampuan finansial petani.

g) Inovasi harus sederhana, tidak rumit, dan mudah dicoba.

h) Inovasi harus mudah untuk diamati.

2. Memilih metode penyuluhan yang efektif.

3. Memberdayakan agen penyuluhan secara optimal.

2.8. Tinjauan Umum Limbah Kakao

Tanaman kakao (Theobroma Cacao L) merupakan tanaman perkebunan

berumur panjang, mulai berproduksi 3 – 4 tahun setelah tanam, tergantung dari bahan

tanaman unggul yang digunakan dan agroekosistem pengembangannya. Potensi

produksi tanaman kakao unggul seperti ICCRI 01 dan 02, KW 30, 48 dan 162 dapat

mencapai 2.160 – 3.200 kg/ha/tahun dengan berat per biji kering berkisar antara 1,10

– 1,36 g/biji.

Kulit buah kakao merupakan limbah agroindustri yang berasal dari tanaman

kakao yang umumnya dikenal dengan tanaman coklat. Komposisi buah kakao terdiri

dari 74% kulit, 24% biji kakao dan 2% plasenta. Setelah dilakukan analisis proksimat,

kakao mengandung 22% protein dan 3 – 9% lemak (Nasrullah dkk, 1993).

23

Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai substitusi suplemen 5 – 15%

dari ransum pada ternak domba dan pada ternak sapi dapat meningkatkan pbbh 0,9

kg/hari dengan diolah terlebih dahulu. Kulit buah kakao perlu difermentasi terlebih

dahulu untuk menurunkan kadar lignin (Anonimous, 2001).

Kulit kakao merupakan salah satu potensi pakan ternak kambing yang cukup

memberikan prospek terciptanya pola integrasi kakao-kambing, khususnya pada areal

perkebunan kakao. Pada usaha pola integrasi tanaman dan ternak di Propinsi

Lampung menunjukkan bahwa peternak memberikan kulit kakao sebagai pakan

ternak kambing 2-3 kg/ekor/hari ternak dewasa. Hal tersebut cukup membantu

peternak dalam mensuplai pakan hijauan mencapai 89,8 %, kambing sangat menyukai

sebesar 78,9 % dan sebagai langkah antisipasi kekurangan pakan hijauan sebesar 55,5

% seperti dilaporkan oleh Priyanto et al, (2004).

Produksi kakao di Indonesia sekarang ini cukup meningkat karena seiring

dengan program pemerintah untuk meningkatkan pengembangan tanaman kakao.

Selama lima tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat sebesar 7,14%

pertahun atau 49.200 ton pada tahun 2004 (Suryana, 2005). Jika proporsi limbah kulit

kakao mencapai 74% dari produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 36.408

ton/tahun, maka dari itu limbah kulit buah kakao merupakan suatu potensi yang

sangat besar untuk dimanfaatkan sebgai pakan ternak.

Kulit buah kakao memiliki kandungan gizi sebagai berikut : BK 88 %, PK 8

%, Sk 40 %, TDN 50,8 %. Dan penggunaan oleh ternak ruminansia adalah 30-40 %

(Sunanto,1995). Selanjutnya di katakannya bahwa pemberian kulit buah kakao secara

langsung dapat menurunkan berat badan ternak karena kandungan protein yang

24

rendah dan kadar lignin dan selolusanya yang tinggi. Oleh karena itu sebelum

diberikan ke ternak sebaiknya di fermentasi dulu untuk menurunkan kadar ligin yang

sulit dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan nilai nutrisi yan baik bagi ternak

dengan batasan kosentrasi dalam penggunaanya karena mengandung senyawa anti

nutrisi theobromin.

Kandungan lignin yang tinggi ini menjadi masalah tersendiri dalam memilih

kapang yang akan di gunakan. Kapang yang bisa di gunakan yaitu kapang yang

mampu menghasilkan enzim ligniolitik yang mampu merombak dan menghancurkan

tekstur lignin (delignifikasi) dinding sel. Dilignifikasi dapat terjadi dengan merombak

dan melarutkan yang terkandung dalam kulit buah kakao. Ikatan ligninselulosa dapat

diputus oleh ligninase seperti lignin proksidase (LiP), mangan proksidase (MnP) dan

laccase ( Takano et al. 2004). Enzim LiP dan MnP dihasilkan oleh organisme salah

satunya adalah P.chrysosporium.

Pada penelitian (Laconi, 1998) mengatakan bahwa fermentasi limbah kulit

buah kakao dengan P.chrysosporium dapat menurunkan kandungan lignin sebesar

18,36%. Dengan melihat kemampuan P.chrysosporium dalam menghasilkan lignolitik

dan selulotik.

2.9. Gambaran Umum Ternak Kambing Peranakan Etawa

Kambing perah merupakan komoditas baru di Indonesia yang kemungkinan

memiliki prospek pengembangan yang baik. Walaupun belum terbukti secara Ilmiah,

anggapan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa susu kambing dapat

menyembuhkan berbagai penyakit pernafasan, seperti asma dan TBC. Oleh karena itu

permintaan cenderung semakin meningkat dan harga yang masih cukup tinggi. Di sisi

25

lain kambing perah dapat berperan ganda sebagai peghasil susu dan daging. Dari

kebutuhan investasi, usaha kambing pernah memerlukan investasi jauh lebih kecil

dibandingkan dengan sapi perah dan disamping ini relatif lebih mudah dalam

manajemen.

Kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia umumya kambing

peranakan Etawah (PE), yang umumnya masih lebih dominan sebagai sumber daging

dibandingkan dengan sumber air susu. Susu kambing belum dikenal secara Iuas

seperti susu sapi padahal memiliki komposisi kimia yang cukup baik (kandungan

protein 4,3% dan lemak 2,8%) relatif lebih baik dibandingkan kandungan protein

susu sapi dengan protein 3,8% dan lemak 5,0% (Sunarlim dkk, 1992). Disamping itu

dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing lebih mudah dicerna, karena ukuran

molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah berada dalam

keadaan homogen (Sunarlim dkk, 1992).

Produktivitas biologis kambing cukup tinggi, 8-28% lebih tinggi

dibandingkan sapi (Devendra, 1975). Jumlah anak per kelahiran (litter size) bervariasi

1 sampai dengan 3 ekor dengan tingkat produksi susu yang melebihi dari kebutuhan

untuk anaknya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai produk komersial dan tidak

mengganggu proses reproduksinya. Biaya investasi usaha ternak kambing relatif

rendah dan pemeliharaannya pun jauh lebih mudah dibanding sapi.

2.10. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penggunaan limbah pertanian merupakan salah satu alternatif untuk

memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak. Limbah perkebunan yaitu kulit buah

kakao memiliki potensi sebagai alternatif sumber pengganti hijauan tersebut. Hasil

26

pengamatan usaha pola integrasi tanaman perkebunan dengan ternak di Propinsi

Lampung menunjukkan, bahwa olahan limbah kakao yang diberikan peternak sebagai

pakan kambing mencapai 2-3 kg/ekor/hari pada ternak dewasa. Ini cukup membantu

peternak dalam mensuplai pakan kambing yang dinyatakan mampu menghemat

tenaga kerja penyediaan pakan hijauan mencapai 50% (Badan Penelitian Dan

Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan kulit buah kakao segar yang dikeringkan

dengan sinar matahari kemudian dicincang dapat langsung digunakan sebagai pakan

ternak (Baharuddin, 2007). Sehingga dalam pemanfaatan limbah kakao sebagai pakan

ternak kambing tidak memerlukan tenaga kerja/waktu yang lama dalam

pengolahannya. Kulit buah kakao memiliki peran yang cukup penting dan berpotensi

dalam penyediaan pakan ternak. Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai pakan ternak

dapat diberikan dalam bentuk tepung setelah diolah. Pemanfaatan kulit kakao sebagai

ransum, memberi peluang bagi petani mendapatkan keuntungan ganda (Siregar

2009).

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada peternak kambing PE di Kecamatan Tanjung

Baru Kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini dilakukan selama 1 (satu) bulan, dimulai

dari tanggal 22 November s/d 22 Desember 2012.

3.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian survey yaitu pengamatan atau

penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang baik terhadap suatu

persoalan tertentu di dalam daerah atau lokasi tertentu. (Wirartha M, 2005)

3.3. Responden Penelitian

Jumlah responden yang diperoleh adalah 30 orang dengan metode

pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Metode purposive

sampling merupakan teknik penarikan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu

dengan tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik yang

dikehendaki (Danandjaja, 2012).

3.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Data primer, yaitu data yang diambil langsung dari responden dengan

menggunakan kuesioner sebagai alatnya. Kuisioner tersebut berisi pertanyaan-

pertanyaan yang harus dijawab responden. Data primer yang didapat dalam

penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan peternak kambing PE di

kecamatan Kamang Magek.

28

2. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang

berkaitan dengan penelitian, dengan cara mencatat langsung data yang bersumber

dari dokumentasi yang ada.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

metode sebagai berikut :

1. Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat nonverbal. Observasi

umumnya dilakukan bagi awal dari kegiatan survai yang dijalankan bersama studi

dokumentasi atau eksperimen (Slamet, 2006). Peneliti melakukan observasi

dengan pengamatan langsung dilapangan.

2. Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara

pewawancara dengan responden untuk mendapatkan informasi dengan bertanya

secara langsung (Singarimbun dkk, 1995). Wawancara dilakukan dengan peternak

yang merupakan responden dalam penelitian ini. Peneliti memberikan daftar

pertanyaan kepada responden dan responden memberikan tanggapan atau respon

terhadap pertanyaan yang diajukan.

3. Pencatatan, teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat hasil wawancara pada

kuisioner dan mencatat data sekunder dari instansi yang terkait dengan penelitian.

4. Indepth interview (pertanyaan mendalam) kepada responden yang dianggap lebih

mengetahui tentang inovasi limbah kakao sebagai pakan ternak kambing PE.

29

3.6. Variabel Penelitian

3.6.1. Kecepatan Adopsi Inovasi Limbah Kakao sebagai Pakan Ternak Kambing PE

Tergantung pendekatan ilmu yang digunakan, adopsi inovasi dapat

diukur dengan beragam tolak ukur (indikator) dan ukuran-ukurannya.

Tabel 1. Kecepatan Adopsi Inovasi Limbah Kakao sebagai Pakan Ternak Kambing PE.

Kategori Variabel Indikator

Ukuran adopsi

inovasi

1) Kecepatan atau selang waktu

antara diterimanya informasi dan

penerapan yang dilakukan.

Cepat

Sedang

Lambat

2) Luas penerapan dengan inovasi

atau proporsi jumlah ternak yang

telah diberi inovasi baru.

Diterapkan

Kurang

diterapkan

Tidak

diterapkan

3) Mutu intensifikasi dengan

membandingkan penerapan

dengan rekomendasi yang

disampaikan oleh penyuluh.

Baik

Kurang baik

Tidak baik

Sumber: Mardikanto (1996)

Keterangan :

1. Kecepatan antara diterimanya informasi dan penerapan yang dilakukan.

a) Cepat = < 1 minggu.

b) Sedang = 1 minggu – 1 bulan.

c) Lambat = > 1 bulan.

30

2. Luas penerapan dengan inovasi atau proporsi jumlah ternak yang telah di beri inovasi baru. a) Diterapkan = selalu di berikan kepada peternak

kambing PE.

b) Kurang diterapkan = kadang-kadang diberikan kepada

ternak kambing PE.

c) Tidak diterapkan = tidak diberikan sama sekali kepada

ternak kambing PE.

3. Mutu intensifikasi dengan membandingkan penerapan dengan rekomendasi yang

disampaikan oleh penyuluh.

a) Baik = peternak menerapkan inovasi sesuai

dengan ajaran penyuluh (>60%).

b) Kurang baik = peternak kurang menerapkan inovasi

sesuai dengan ajaran penyuluh (30-60%).

c) Tidak baik = peternak tidak menerapkan inovasi sesuai

ajaran penyuluh (<30%).

31

3.6.2. Masalah yang Dihadapi Peternak dalam Penerapan Limbah Kakao sebagai Pakan Ternak Kambing PE. Dilihat dari sifat inovasinya, masalah yang dihadapi peternak dapat dilihat

dari urutan jenjang kepentingan sifat inovasi.

Table 2. Masalah yang Dihadapi Peternak dalam Penerapan Limbah Kakao

sebagai Pakan Ternak Kambing PE.

Urutan Jenjang Kepentingan

Sifat inovasi

1 Tingkat Keuntungan (profitability) 2 Biaya yang diperlukan (cost of innovation) 3 Tingkat kerumitan/kesederhanaan (complexity-simplicity) 4 Kesesuaian dengan lingkungan fisik (physical compatibility) 5 Kesesuaian dengan lingkungan budaya (cultural

compatibility) 6 Tingkat mudahnya dikomunikasikan (communcicability) 7 Penghematan tenaga kerja dan waktu (saving of labour and

time) 8 Dapat/tidaknya dipecah-pecah/dibagi (divisibility)

Sumber: Crouch and Chamala, 1981

3.7. Analisis Data

1. Analisis data untuk kecepatan adopsi inovasi limbah kakao sebagai pakan ternak

kambing PE adalah analisis deskriptif kuantitatif yang digunakan untuk

menggambarkan periode waktu yang dibutuhkan peternak dalam mengadopsi

inovasi limbah kakao, dan kecepatan adopsi inovasi terhadap pengolahan limbah

kakao dalam pakan ternak kambing.

% Tingkat Penerapan =total penerapan responden

Jumlah semua inovasi yang diterapkan responden x 100%

2. Analisis data untuk masalah yang dihadapi peternak dalam penerapan limbah kakao

sebagai pakan tenak kambing PE adalah analisis deskriptif kualitatif. Analisis data

kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kualitatif berupa

32

kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam kategori-

kategori.

3.8. Batasan Istilah

1. Percepatan adalah perubahan kecepatan dalam satuan waktu tertentu, jika

memang teknologi baru bisa memberikan keuntungan yang lebih besar dari nilai

yang dihasilkan teknologi lama maka kecepatan adopsi inovasi berjalan lebih

cepat.

2. Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek baru yang

belum banyak diketahui, diterima dan digunakan dilaksanakan oleh sebagian

besar warga dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat mendorong terjadinya

perubahan di masyarakat.

3. Adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik berupa

pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric)

seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan.

4. Proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau

menerima/menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu

antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat

inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan

aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh).

5. Penyuluhan adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi

secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

dapat membuat keputusan yang benar.

33

6. Kulit kakao merupakan salah satu potensi pakan ternak kambing yang cukup

memberikan prospek terciptanya pola integrasi kakao kambing, khususnya pada

areal perkebunan kakao.

top related