abstrakrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38060/1/sarah... · mengingat bahwa...
Post on 07-Mar-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EFEK LAMA PEMANASAN TERHADAP PERUBAHAN BILANGAN
PEROKSIDA MINYAK GORENG YANG BERPOTENSI KARSINOGENIK
PADA PEDAGANG GORENGAN DI KELURAHAN PASAR MINGGU
TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Oleh:
SARAH ISLAMIA DHAHONO PUTRI
1111101000023
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
i
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Oktober 2015
Sarah Islamia Dhahono Putri, NIM : 1111101000023
Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak
Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang Gorengan di Kelurahan
Pasar Minggu Tahun 2015 (VII+ 92 halaman, 10 tabel, 3 gambar, 7 lampiran)
ABSTRAK
Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari
yang patut dijaga mutunya agar tidak mengalami kerusakan dan tetap berkualitas. Salah
satu cara untuk menentukan derajat kerusakan minyak goreng adalah dengan
melakukan uji bilangan peroksida. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) (2013),
batas bilangan peroksida adalah 10 meq O2/kg. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan bilangan peroksida pada minyak goreng adalah lama
pemanasan. Berdasarkan studi pendahuluan di Kelurahan Pejaten Timur, didapatkan
peningkatan bilangan peroksida pada lima pedagang gorengan mulai dari frekuensi
menggoreng pertama, kelima, kesepuluh hingga kelima belas. Penelitian ini dilakukan
di Kelurahan Pasar Minggu karena wilayah tersebut merupakan daerah transit dimana
terdapat stasiun kereta api dan terminal bus sehingga konsumen tidak hanya berasal
dari Kelurahan Pasar Minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya perubahan bilangan peroksida
pada frekuensi menggoreng kelipatan lima, dengan lama pemanasan berada nilai
minimal 2 menit dan maksimal 23 menit dan nilai peroksida tertinggi pada frekuensi
menggoreng kelima belas dengan nilai 0,9458 meq O2/kg. Sedangkan pada frekuensi
menggoreng kelipatan sepuluh, terjadi peningkatan serta penurunan bilangan peroksida
dengan lama pemanasan minimal 2 menit dan maksimal 52 menit dan nilai peroksida
tertinggi pada frekuensi menggoreng ke-10 dengan nilai 2,726 meq O2/kg. Pada
frekuensi menggoreng kelipatan lima hasil uji korelasi, didapatkan tidak ada hubungan
antara lama pemanasan dengan perubahan bilangan peroksida, sedangkan pada
kelipatan sepuluh terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemanasan dengan
perubahan bilangan peroksida.
Perubahan bilangan peroksida pada kelipatan lima dan sepuluh merupakan
tanda awal bahwa minyak akan mengalami kerusakan. Bilangan peroksida yang terjadi
akibat pemanasan yang tinggi akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan
berbagai macam penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah
(artero sclerosis), kanker, dan menurunkan nilai cerna lemak. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, sebaiknya pedagang mengganti minyak goreng yang telah
iii
digunakan dengan minyak goreng baru karena lama pemanasan dapat berpengaruh
terhadap perubahan bilangan peroksida.
Daftar bacaan : 43 (1985-2014)
Kata kunci : Bilangan peroksida, Minyak goreng, Gorengan
STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
Undergraduate Thesis, October 2015
Sarah Islamia Dhahono Putri, NIM : 1111101000023
The effect of Frying Time toward The Change of Peroxide Value of Cooking
Oil that Potentially Carcinogenic on Fried Food Traders in Pasar Minggu
2015
(VII+92 pages, 10 tables, 3 pictures, 7 attachments)
ABSTRACT
Cooking oil is one of the basic needs of people that should be
safeguarded in order not damaged and remain qualified. One way to determine
the damage to oil is to test the peroxide. According to the Indonesian National
Standard (SNI) (2013), peroxide value limit is 10 meq O2/kg. One of the factors
that can affect an increase in peroxide value in edible oils is frying time. Based
on preliminary study in Pejaten Timur, obtained an increase in peroxide on five
fried food traders ranging from the first, fifth, tenth to fifteenth. This research
was conducted in Pasar Minggu because this region is a transit area where a
railway and the bus station so the consumers not only from Pasar Minggu, but
also from out of the area.
The results showed that an increase in peroxide value in fifth time of
frying time, which is the minimum value of frying time was 2 minutes and the
maximum was 23 minutes, and the highest peroxide value is 0.9458 meq O2/kg
on fifteenth frequency of frying. Furthermore the frying multiples of ten, there
was an increase and decrease from the length of time peroxide with a frying
time at least 2 minutes and a maximum time was 52 minutes, and the highest
peroxide value is 2.726 meq O2/kg on tenth frequency of frying. The result from
using simple correlation analysis was not significant between frying time and
the change of peroxide value for the fifth time, although for the tenth time was
significant between frying time and the change of peroxide value .
iv
The change of peroxide value in fifth and tenth time is an early sign that
the oil will be perishable. Peroxide value that occurs as a result of extreme heat
will cause a toxicity in human body and various diseases such as diarrhea, fat
deposition in the blood vessels (Artero sclerosis), cancer, and decrease fat
digestibility value. Based on the research, the retail dealers should replace the
cooking oil that has been used with the new one, because frying time can affect
the change of peroxide value.
Reference : 43 (1985-2014)
Keyword : Peroxide value (PV), Cooking oil, Fried food
v
vi
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Efek
Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar
Minggu Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah
SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Aamiin.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes. Selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Dosen Pembimbing I yang
senantiasa memberikan waktu dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kess. Selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Fase Badriah, SKM, M.Kes, Ph.D. Selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberi masukan dan motivasi dalam perbaikan skripsi ini.
viii
4. Para dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan dosen-dosen Peminatan
Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat.
5. Ayah dan Ibu serta adik-adik tersayang yang selalu memberikan dukungan,
nasihat serta doa yang selalu dipanjatkan demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
6. Mba Oma, Bang Jerry, dan Azhar yang turut membantu dalam pengambilan
sampel.
7. Teman-teman Kesling 2011: Ibnu Burhanudin, Chandra Perdana, Rois Solichin,
Hari Agus Pranata, Almen Fercudani, Betti Ronayan Adiwijayanti, Ika Amalia
Putri, Niken Kusuma Wardani, Putri Widiastuti, Sri Wahyu Fitria, Efri Malisha
Dwi Putri, Alifia Nadanti, Feela Zaki Safitri, Ika Nur Atikoh, Shela Ayu
Puryandini, Nurul Fajriati Praptika Putri, Nabila Dewi Ichsani, Anantika Anissa,
Sarah Ajeng Kusumarani, Awaliyah Rizka Safitri, Eka Lestari Sitepu, Ukhfiya
Qurrota Ayuni dan Nur Ihsani Rahmatika.
8. Sahabat-sahabat tersayang: Rahma Yusfarani, Safira Anindita, Nadita Anggiasari,
Putri Handayani, Dwi Nurvita, Unique Gita Claudia, Putri Dwi Karina, dan
Wardah Nafisah
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa mendatang.
Ciputat, 2 Oktober 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................... ii
ABSTRACT .................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ............................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
DAFTAR GRAFIK .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9
F. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 11
A. Kanker ........................................................................................................ 11
B. Minyak Goreng .......................................................................................... 12
C. Sumber Minyak .......................................................................................... 14
D. Jenis-Jenis Minyak Goreng ........................................................................ 16
E. Komponen Minyak Goreng ....................................................................... 25
F. Sifat Fisiko-Kimia ...................................................................................... 27
G. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Minyak Goreng ........................... 36
H. Ketengikan pada Minyak Goreng .............................................................. 37
I. Minyak Jelantah ......................................................................................... 39
x
J. Syarat Mutu Minyak Goreng ..................................................................... 40
K. Bilangan Peroksida .................................................................................... 43
L. Dampak Bilangan Peroksida yang Tinggi terhadap Kesehatan ................. 45
M. Faktor yang Mempengaruhi Bilangan Peroksida dalam Minyak Goreng.. 46
N. Oksidasi ...................................................................................................... 52
O. Kerangka Teori .......................................................................................... 54
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL.. ..... 57
A. Kerangka Konsep ....................................................................................... 57
B. Definisi Operasional .................................................................................. 59
C. Hipotesis .................................................................................................... 59
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 60
A. Desain Penelitian ....................................................................................... 60
B. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 60
C. Populasi dan Sampel .................................................................................. 60
D. Sumber Data ............................................................................................... 62
E. Alat dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 62
F. Pengolahan Data ........................................................................................ 64
G. Analisis Data .............................................................................................. 65
BAB V HASIL ................................................................................................ 67
A. Analisis Univariat ...................................................................................... 67
B. Analisis Bivariat ......................................................................................... 72
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 74
A. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 74
B. Analisis Univariat ...................................................................................... 75
C. Analisis Bivariat ......................................................................................... 81
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 84
A. Kesimpulan ................................................................................................ 80
B. Saran ......................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 88
LAMPIRAN .................................................................................................... 92
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Minyak Nabati ........................................................ 15
Tabel 2.2 Klasifikasi Lemak Hewani ......................................................... 16
Tabel 2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng ..................................................... 42
Tabel 3.2 Definisi Operasional ................................................................. 59
Tabel 5.1 Gambaran Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Lima ............ 67
Tabel 5.2 Gambaran Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Sepuluh ....... 67
Tabel 5.3 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
Kelipatan Lima ........................................................................................... 68
Tabel 5.4 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak goreng
Kelipatan Sepuluh ...................................................................................... 69
Tabel 5.7 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan
Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima ................................ 72
Tabel 5.8 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan
Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima ................................ 72
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.4 Reaksi Pembentukan Peroksida ................................................... 45
Gambar 2.5 Kerangka Teori ............................................................................ 56
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 57
xiii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.5 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan
Lima .............................................................................................................. 70
Grafik 5.6 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan
Sepuluh ............................................................................................................ 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minyak goreng merupakan minyak yang dimasak bersama bahan pangan
atau dijadikan sebagai medium penghantar panas dalam memasak bahan pangan
(Ketaren, 2012). Minyak goreng mengandung vitamin A, D, E, dan lemak untuk
pembentukan sel serta pertahanan tubuh, sehingga minyak goreng dapat disebut
sehat. Namun, minyak goreng juga dapat berbahaya bagi tubuh yang disebabkan
oleh penggunaannya dalam proses memasak seperti pemanasan dengan suhu
tinggi agar makanan terasa lebih gurih. Pemanasan suhu tinggi dapat
mengoksidasi minyak goreng dan menghasilkan radikal bebas (Graha, 2010).
Rusaknya minyak goreng dapat diketahui dengan melakukan uji bilangan
peroksida. Bilangan peroksida merupakan salah satu senyawa yang dapat
menentukan kualitas minyak goreng. Apabila bilangan peroksida melebihi 10
meq O2/kg, maka kualitas minyak goreng sudah tidak lagi baik. Angka peroksida
menunjukkan ketengikan minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis.
Kerusakan minyak karena pemanasan pada suhu tinggi disebabkan oleh proses
oksidasi dan polimerisasi. Pada suhu tinggi 200-2 0 C) terjadinya kerusakan
minyak yang akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam
penyakit misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero
sclerosis), kanker, dan menurunkan nilai cerna lemak (Ketaren, 2012).
2
Kanker pada tubuh manusia karena paparan bahan kimia karsinogen tidak
terjadi seketika, tetapi terjadi pada masa yang lamanya tergantung dari kekuatan
bahan kimia karsinogen, dosis bahan kimia karsinogen, kepekaan sel penderita,
dan berbagai macam faktor lain. Kanker dapat timbul beberapa tahun setelah
terpapar oleh bahan kimia karsinogen (Sumardjo, 2008). Zat atau bahan
karsinogenik sendiri dapat ditemukan pada makanan yang mengalami pengolahan
kurang tepat misalnya: cara menggoreng yang berlebihan, serta penggunaan
minyak goreng berulang kali (menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida,
epoksida, dan sebagainya), dan pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan
lama (menimbulkan zat trans-fatty acid) (Tapan, 2005). Lemak trans digunakan
untuk memperpanjang umur produk-produk olahan. Lemak trans meningkatkan
kadar LDL (kolesterol jahat), inflamasi, dan diabetes. Tepung yang bereaksi
dengan minyak panas juga memproduksi senyawa kimia akrilamida (karsinogen).
Selain itu, minyak goreng yang dipakai berulang kali berpotensi menghasilkan
jenis karsinogen yang akan menempel pada batch makanan berikutnya yang
masuk ke dalam penggorengan (CancerHelps, 2014).
Mengingat bahwa mengonsumsi makanan gorengan merupakan bagian dari
budaya makan masyarakat Indonesia (Anwar dan Khomsan, 2009) dan minyak
goreng merupakan produk pangan yang sering dikonsumsi, maka perlu adanya
jaminan keamanan, mutu, dan gizi dari minyak goreng. Oleh karena itu, dalam
skala internasional, Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health
Organization (WHO) pada tahun 1993 mengeluarkan standar mutu bilangan
peroksida untuk biji bunga matahari yaitu ≤10 meq/kg minyak kemasan) dan ≤1
3
(virgin oil). Standar bilangan peroksida yang ditentukan oleh Sudanese Standard
and Metrology Organization (SSMO) tahun 2003 yaitu ≤10 meq/k (Abdellah,
2012). Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) (2013) yang
menetapkan bilangan peroksida yaitu maksimal 10 meq O2/kg (Badan
Standardisasi Nasional, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, Mudji Triatmo, dan Arianti
Rahayu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemanasan dengan
perubahan bilangan peroksida pada makanan kentang yang digoreng
menggunakan minyak kedelai mulai dari perlakuan menggoreng pertama sampai
kesepuluh dengan suhu pemanasan awal yaitu 140-180°C (Gunawan dkk, 2003).
Untuk mengetahui adanya perubahan bilangan peroksida dapat dilakukan uji
mulai dari frekuensi penggorengan pertama hingga akhir, seperti pada penelitian
terhadap sifat organoleptik tempe pada pengulangan penggorengan menggunakan
minyak curah yang dilakukan oleh Siti Aminah (2010). Penelitian ini
menunjukkan adanya peningkatan bilangan peroksida mulai dari kontrol/minyak
segar, penggorengan pertama, kelima, kesepuluh, kelima belas, dan kedua puluh.
Pada pengulangan penggorengan kesepuluh, angka peroksida melebihi standar
yang ditetapkan yaitu 10,35 meq peroksida/kg. Hal ini menunjukkan semakin
banyak pengulangan penggorengan maka bilangan peroksida semakin meningkat
(Aminah, 2010).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mulasari dan Utami (2012) terhadap
jenis makanan gorengan (tahu, tempe, telur, terong, ayam, dan ikan goreng) di
4
sepanjang Jl. Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo menunjukkan data bahwa 14 dari 15
pedagang minyak goreng termasuk dalam kategori tidak baik dengan frekuensi
penggorengan lebih dari empat kali dengan bilangan peroksida paling tinggi yaitu
11,25 meq/kg (Mulasari dan Utami, 2012).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kelurahan Pejaten
Timur pada empat pedagang gorengan. Pedagang gorengan yang dimaksud adalah
pedagang yang menggoreng ayam, ikan, bebek, tahu, dan tempe. Didapatkan hasil
positif yaitu adanya perubahan peningkatan bilangan peroksida pada minyak
goreng dengan rata-rata yaitu 4.26 mgO2/100gr pada frekuensi pertama, 5.2
mgO2/100gr pada frekuensi ke lima, 5.77 mgO2/100gr pada frekuensi ke sepuluh,
dan 6.14 mgO2/100gr pada frekuensi ke lima belas.
Pasar minggu merupakan daerah dengan luas 21,69 km2 dan memiliki
jumlah penduduk 298.099 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2014). Pasar minggu juga
daerah transit dimana terdapat stasiun kereta api dan terminal bus. Oleh karena itu
aktivitas jual beli di sekitar Kelurahan Pasar Minggu tinggi. Hal lain terjadi
karena konsumen yang datang tidak hanya berasal dari Kelurahan Pasar Minggu.
Hasil observasi yang telah dilakukan, terdapat beberapa pedagang yang menjual
makanan dan diantaranya ada 30 pedagang makanan yang menggoreng ikan lele,
ayam, burung dara, bebek, tahu, dan tempe. Pedagang gorengan umumnya
menggunakan minyak goreng curah dengan kuali berukuran besar sehingga dalam
sehari memiliki frekuensi penggorengan yang tinggi, yaitu lebih kurang 50 kali
penggorengan. Selain itu, pedagang yang berlokasi di pinggir jalan ini, memiliki
tempat penyimpanan bahan makanan yang tidak higiene yang dapat
5
mempengaruhi kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Berdasarkan latar belakang
tersebut, peneliti sebagai mahasiswa kesehatan lingkungan ingin mengetahui efek
lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang
berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu.
B. Rumusan Masalah
Bilangan peroksida merupakan nilai untuk menentukan derajat kerusakan
pada minyak goreng. Standar dari bilangan peroksida itu sendiri yaitu 10 meq
O2/kg. Jika minyak goreng yang telah digunakan memiliki angka peroksida yang
melebihi batas tersebut, maka minyak goreng mengalami kerusakan dan tidak
bagus lagi untuk digunakan. Bilangan peroksida dapat meningkat akibat
pemanasan minyak yang berlebihan sehingga minyak akan teroksidasi
menghasilkan zat-zat radikal bebas. Selain itu, adanya frekuensi penggorengan
berulang akan menghasilkan senyawa yang dapat mengganggu kesehatan yang
masuk ke dalam tubuh yang menyebabkan penyakit apabila dikonsumsi dalam
waktu yang lama, salah satunya adalah kanker. Salah satu pedagang makanan
dengan ciri yang sama pada peningkatan bilangan peroksida adalah pedagang
gorengan. Dalam sehari, pedagang tersebut dapat menggoreng hingga lebih
kurang 50 kali. Itu sebabnya dapat diasumsikan adanya peningkatan bilangan
peroksida dalam 50 kali penggorengan tersebut.
Pada studi pendahuluan yang dilakukan terhadap pedagang gorengan di
Kelurahan Pejaten Timur diketahui bahwa bilangan peroksida dari penggorengan
pertama, ke lima, ke sepuluh, dan ke lima belas terjadi peningkatan bilangan
6
peroksida pada minyak yang digunakan meskipun tidak melebihi standar mutu
yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Oleh karena itu,
peneliti ingin mengetahui efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan
peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan
di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Berapa rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan lima pada
pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015?
a. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng pertama?
b. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kelima?
c. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kesepuluh?
d. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kelima
belas?
2. Berapa rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan sepuluh pada
pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015?
a. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kesepuluh?
b. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng kedua
puluh?
c. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng ketiga
puluh?
d. Berapa rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng keempat
puluh?
7
3. Berapa rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada pedagang
gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015?
a. Berapa rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada
kelipatan lima?
b. Berapa rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada
kelipatan sepuluh?
4. Bagaimana gambaran perbedaan bilangan peroksida minyak goreng antara
kelipatan lima dengan kelipatan sepuluh pada pedagang gorengan di
Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015?
5. Apakah ada hubungan lama pemanasan berdasarkan perubahan bilangan
peroksida minyak goreng dengan masa penggorengan kelipatan lima dan
sepuluh pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efek lama
pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng yang
berpotensi karsinogenik pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu
tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan lima
pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
pertama
8
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
kelima
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
kesepuluh
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
kelima belas
b. Diketahuinya rata-rata lama pemanasan minyak goreng kelipatan sepuluh
pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
kesepuluh
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
kedua puluh
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
ketiga puluh
Diketahuinya rata-rata lama pemanasan pada frekuensi menggoreng
keempat puluh
c. Diketahuinya rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada
pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015
Diketahuinya rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng
pada kelipatan lima
Diketahuinya rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng
pada kelipatan sepuluh
9
d. Diketahuinya gambaran perbedaan bilangan peroksida minyak goreng
antara kelipatan lima dengan kelipatan sepuluh pada pedagang gorengan
di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015
e. Diketahuinya hubungan lama pemanasan terhadap perubahan bilangan
peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada pedagang
gorengan di Kelurahan Pasar Minggu tahun 2015
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan mengenai efek lama pemanasan terhadap perubahan bilangan
peroksida minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan.
2. Bagi Pedagang Gorengan
Sebagai informasi agar pedagang mengetahui pada penggorengan
yang keberapa minyak goreng mengalami kerusakan yang dapat dilihat dari
uji bilangan peroksida.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi agar masyarakat mengetahui pada penggorengan
yang keberapa minyak goreng mengalami kerusakan yang dapat dilihat dari
kondisi fisik yang memperkirakan adanya bilangan peroksida yang tinggi.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai gambaran informasi atau referensi untuk peneliti selanjutnya
dalam menganalisa serta memperdalam faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi peningkatan bilangan peroksida dalam minyak goreng dan
10
kandungan-kandungan berbahaya yang terdapat didalamnya yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini berjudul “Efek Lama Pemanasan terhadap Perubahan
Bilangan Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada
Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015”. Penelitian ini
dilakukan oleh mahasiswa semester delapan Peminatan Kesehatan Lingkungan,
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
dilakukan pada pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu pada bulan Mei-
Agustus tahun 2015.
Sampel pada penelitian ini adalah minyak goreng yang berjumlah 150 dari
30 responden/pedagang gorengan. Masing-masing responden diambil lima kali
sampel minyak goreng. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan
desain cross sectional study karena pada penelitian ini variabel independen dan
dependen diukur pada waktu yang sama. Pengambilan sampel menggunakan total
sampling. Sampel minyak goreng diambil oleh peneliti untuk diuji lebih lanjut
terkait peningkatan bilangan peroksida di Akademi Kimia Analis (AKA) Bogor.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker
Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang tidak normal dan mengancam
kesehatan sel yang masih normal. Sel-sel kanker tidak seperti sel-sel tumor jinak,
menunjukkan sifat invasi dan metastasis serta sangat anaplastik. Jenis kanker
menurut tempat tumbuhnya dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu karsinoma
(kanker yang tumbuh pada sel epitel), sarcoma (kanker yang tumbuh pada
jaringan penunjang tubuh), leukemia (kanker yang tumbuh pada jaringan limfa).
Dari pembagian ini, kanker dibagi menjadi 12 kelompok yaitu kanker
kandungan,kanker payudara, kanker pernapasan (paru dan tenggorokan), kanker
organ cerna (hati-pankreas), kanker tulang dan otot, kanker saluran kencing
(ginjal, prostat, dan kantong kemih), kanker kulit, kanker getah bening, kanker
darah (leukemia), kanker mata (retinoblastoma), kanker saluran cerna (esophagus,
lambung, usus kecil, dan usus besar), dan kanker saraf (otak). Menurut
stadiumnya, kanker dibagi menjadi dua, yaitu stadium dini dan stadium lanjut.
Pada stadium dini, gejala kanker belum terlihat dan serangannya belum menjalar
ke dalam jaringan, sedangkan pada stadium lanjut, kanker sudah menjadi besar,
sudah menyusup ke jaringan sekitar, serta sudah menjalar ke dalam pembuluh
darah dan getah bening (Adi, 2007).
Beberapa jenis makanan yang dapat memicu kanker (karsinogenik) seperti:
makanan yang diasap, makanan yang mengandung nitrosamine, makanan akibat
12
radiasi nuklir, racun pada tembakau. Selain itu pula zat karsinogenik bisa
ditemukan pada makanan yang mengalami pengolahan kurang tepat misalnya:
pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama (menimbulkan zat trans-fatty
acid), cara penggorengan yang berlebihan, serta penggunaan minyak goreng
berulangkali (menimbulkan radikal bebas seperti: peroksida, epioksida, dan
sebagainya). Makanan yang disebutkan terakhir umumnya bisa diperoleh pada
jenis goreng-gorengan (Tapan, 2005).
B. Minyak Goreng
Minyak adalah zat cair atau yang mudah dicairkan pada pemanasan, larut
dalam eter, tetapi tidak larut dalam air, biasanya dapat dibakar; zat demikian,
bergantung pada asalnya, dikelompokkan sebagai minyak nabati, minyak hewani,
atau mineral, dan bergantung pada sifatnya ketika pemanasan dapat
dikelompokkan sebagai asiri atau tetap (Pudjaatmaka, 2002). Minyak goreng
adalah bahan pangan dengan komposisi utamanya trigliserida yang berasal dari
bahan nabati kecuali kelapa sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi,
termasuk hidrogenasi, pendinginan, dan telah melalui proses rafinasi atau
pemurnian yang digunakan untuk menggoreng (Badan Standardisasi Nasional,
2013).
Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, serta penambah rasa
gurih dan penambah nilai kalori pada bahan pangan yang digoreng. Minyak
goreng dapat diproduksi dari berbagai macam bahan mentah, seperti kelapa,
kopra, kelapa sawit, kacang kedelai, biji jagung, biji bunga matahari, biji zaitun,
dan lain-lain. Minyak goreng yang mengandung asam lemak esensial atau asam
13
lemak tak jenuh jamak, bila digunakan untuk menggoreng dengan suhu 150-
180°C, maka asam lemak esensial atau asam lemak tidak jenuh akan mengalami
kerusakan (teroksidasi oleh udara dan suhu tinggi). Demikian pula beta karoten
(pro-vitamin A) yang terkandung dalam minyak goreng tersebut akan mengalami
kerusakan (Muchtadi, 2009).
Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih,
dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh
titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak
diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol
akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik
asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng
tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk
meggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak.
Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan minyak sebaiknya
dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya
suhu penggorengan adalah 177-221°C (Winarno, 2004).
Minyak goreng nabati yaitu minyak goreng yang berasal dari tumbuhan
yang biasanya dibuat dari minyak kelapa sawit, bunga matahari, kedelai ataupun
jagung, tidak mengandung kolesterol, karena secara alam tanam-tanaman tidak
memproduksi kolesterol. Sedangkan minyak goreng yang berasal dari hewan,
seperti lemak kambing atau lemak sapi yang dikenal dengan sebutan minyak
samin mengandung kolesterol. Dilihat dari segi gizinya, kandungan minyak
goreng memang mengandung vitamin A, D, dan E, selain itu juga zat yang
14
dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan sel-sel serta pertahanan tubuh,
sehingga minyak goreng itu disebut sehat. Proses penggunaan minyak goreng
dalam memasak dapat membuat ikatan kimia yang ada pada minyak berubah.
Penggunaan minyak goreng sebagai bahan penghantar panas untuk membantu
memasak makanan mengubah kandungan dalam minyak goreng. Pemanasan
minyak goreng dengan suhu yang sangat tinggi akan merusak ataupun
menghilangkan kandungan vitamin-vitamin yang ada pada minyak tersebut dan
terbentuknya asam lemak yang justru tidak menyehatkan (Graha, 2010).
C. Sumber Minyak
Minyak dan lemak yang dapat dimakan (edible fat), dihasilkan oleh alam,
yang dapat bersumber dari bahan nabati atau hewani. Dalam tanaman atau hewan,
minyak tersebut berfungsi sebagai sumber cadangan energi. Minyak dan lemak
dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, sebagai berikut:
1. Bersumber dari tanaman
a. Biji-bijian palawija: minyak jagung, biji kapas, kacang, rape seed, wijen,
kedelai, dan bunga matahari
b. Kulit buah tanaman tahunan: minyak zaitun dan kelapa sawit
c. Biji-bijian dari tanaman tahunan: kelapa, cokelat, inti sawit, babassu,
cohune, dan sebagainya
2. Bersumber dari hewani
a. Susu hewan peliharaan: lemak susu
b. Daging hewan peliharaan: lemak sapi dan turunannya oleostearin, oleo oil
dari oleo stock, lemak babi, dan mutton tallow
15
c. Hasil laut: minyak ikan sarden, menhaden dan sejenisnya, serta minyak
ikan paus
Komposisi atau jenis asam lemak dan sifat fisiko-kimia tiap jenis minyak
berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber, iklim, keadaan tempat
tumbuh dan pengolahan. Adapun perbedaan antara lemak nabati dan hewani
adalah:
1. Lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati mengandung
fitosterol
2. Kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil dari lemak
nabati
3. Lemak hewani mempunyai bilangan Reichert Meissl lebih besar serta
bilangan Polenske lebih kecil daripada minyak nabati
Tabel 2.1
Klasifikasi Minyak Nabati
No Kelompok Lemak Jenis lemak/minyak
1.
Lemak (berwujud padat) Lemak biji cokelat, inti sawit, cohune, babassu,
tengkawang, nutmeg butter, mowvah butter, dan
shea butter
2. Minyak (berwujud cair)
a. Tidak mengering (non
drying oil)
b. Setengah mengering
(semi drying oil)
c. Mengering (drying
oil)
Minyak zaitun, kelapa, inti zaitun, kacang tanah,
almond, inti alpukat, inti plum, jarak rape, dan
mustard
Minyak dari biji kapas, kapok, jagung, gandum,
biji bunga matahari, croton, dan urgen
Minyak kacang kedelai, safflower, argemone,
hemp, walnut, biji poppy, biji karet, perilla, tung,
linseed, dan candle nut
Sumber: Hilditch, T.P (1945) dalam Ketaren (2012)
16
Tabel 2.2
Klasifikasi Lemak Hewani
No Kelompok Lemak Jenis lemak/minyak
1. Lemak (berwujud padat)
a. Lemak susu
(butter fat)
b. Hewan
peliharaan (gol.
Mamalia)
Lemak dari susu sapi, kerbau, kambing, dan
domba
Lemak babi, skin grease, mutton tallow, lemak
tulang, dan lemak/gemuk wool
2. Minyak (berwujud cair)
a. Hewan
peliharaan
b. Ikan (fish oil)
Minyak neats foot
Minyak ikan paus, salmon, sarden, menhaden
jap, herring, shark, dog fish, ikan lumba-lumba,
dan minyak purpoise
Sumber: Hilditch, T.P (1945) dalam Ketaren (2012)
Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat
dapat mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal,
bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka.
Istilah minyak “setengah mengering” berupa minyak yang mempunyai daya
mengering yang lebih lambat (Ketaren, 2012).
D. Jenis-Jenis Minyak Goreng
Berbagai jenis minyak yang bersumber dari bahan nabati, yaitu
1. Minyak Wijen
Biji wijen kering udara umumnya mempunyai kadar air 5% dengan
variasi kandungan minyak sekitar 35-37%, umumnya antara 44-54%, serta
kandungan protein dari biji antara 19-25%. Biji-biji dengan warna terang
cenderung menghasilkan minyak dengan mutu yang lebih baik dibandingkan
dengan biji yang berwarna gelap. Sedangkan warna gelap akan menghasilkan
17
persentase minyak yang lebih besar. Minyak wijen bersifat larut dalam
alkohol dan dapat bercampur dengan eter, kloroform, petroleum benzene, dan
CS2, tetapi tidak larut dalam eter. Setelah dimurnikan, minyak berwarna
kuning pucat dan tidak menimbulkan gejala kabut pada suhu 0°C. Minyak
wijen ini bersifat synergist terhadap phrethrum yang merupakan sifat khas
minyak wijen. Minyak wijen mempunyai nilai putaran optik positif. Jadi,
unsur non gliserida dalam minyak lebih positif putaran optiknya,
dibandingkan dengan asam-asam lemak maupun gliserida (Ketaren, 2012).
Biji wijen juga dapat diolah menjadi minyak makan atau minyak goreng.
Kandungan dalam biji wijen cukup tinggi, yaitu sekitar 50%. Minyak wijen
mengandung asam oleat dan linoleat, masing-masing 17% dan 40% dari total
asam lemak, dan merupakan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tersebut
dapat mengikat kelebihan kolesterol di dalam darah sehingga menurunkan
kadar kolesterol. Oleh karena itu, minyak wijen sangat baik digunakan
sebagai minyak makan atau minyak goreng. Minyak wijen sebagai minyak
goreng dinilai memiliki kualitas yang tinggi dan mendapat sebutan “the queen
of the oil seed”. Minyak wijen juga mengandung beberapa asam amino
esensial, antara lain leusin, fenil-alanin, dan isoleusin. Asam amino esensial
tersebut dapat mencukupi kebutuhan asam amino yang tidak dapat disintesis
oleh tubuh dan harus tersedia dalam makanan (Juanda dan Cahyono, 2005).
2. Minyak Jagung
Kandungan lemak pada jagung terkonsentrasi pada bagian lembaga
sebanyak 3-8%. Kandungan asam lemak jenuh pada minyak jagung relatif
18
rendah dengan jumlah asam palmitat 11% dan asam stearate 2%. Sedangkan
asam lemak tidak jenuhnya cukup tinggi terutama asam linoleat yang
mencapai 24%. Minyak jagung relatif lebih stabil karena kandungan asam
linolenatnya sangat kecil (0,4%). Minyak jagung mengandung antioksidan
alami yang tinggi. Mutunya lebih tinggi karena distribusi asam lemaknya
berimbang, terutama oleat dan linoleat (Rizki, 2013).
Minyak jagung dianggap sebagai minyak alternatif pengganti minyak
sawit karena diyakini mengandung lebih sedikit asam lemak jenuh. Minyak
jagung murni mengandung 99% triasilgliserol dengan asam lemak tak jenuh
ganda (PUFA) 59%, asam lemak tak jenuh tunggal 24%, dan asam lemak
jenuh (SFA) 13%. Minyak jagung juga mengandung sejumlah ubiquinone dan
kadar tinggi alfa-tokoferol dan gamma-tokoferol (vitamin E) yang dapat
melindunginya dari “ketengikan” oksidatif. Minyak jagung mudah dicerna,
selain itu minyak tersebut juga menyediakan energi dan asam lemak esensial
(EFA). Asam linoleat merupakan asam lemak esensial yang diperlukan untuk
integritas kulit, membran sel, sistem kekebalan, dan untuk sintesis icosanoid.
Icosanoid penting untuk fungsi-fungsi reproduksi, kardiovaskuler, ginjal,
pencernaan, dan ketahanan terhadap penyakit. Minyak jagung juga efektif
dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Oleh sebab mengandung SFA
rendah dan mengandung PUFA tinggi, dan kombinasinya lebih efektif dalam
menurunkan kolesterol dibandingkan dengan sekedar mengurangi konsumsi
SFA (Subroto, 2008).
19
3. Minyak Kedelai
Minyak kedelai (soya oil) merupakan minyak yang diesktraksi dari biji
kedelai berwarna cerah dan mempunyai flavor spesifik, bobot jenis 0,92,
angka saponifikasi 195, dan angka iodin 130. Minyak ini mengandung asam
oleat 25%, asam linoleat 50%, asam linolenat 10%, fosfolipida sekitar 3%,
serta sterol 0,8% (Makfoeld, 2002). Minyak kedelai tidak mengandung
kolesterol dan mengandung lemak jenuh rendah (sekitar 15%) dan lemak tak
jenuh tinggi (61% lemak tak jenuh ganda dan 24% lemak tak jenuh tunggal).
Minyak kedelai merupakan sumber asam lemak linoleat dan asam linolenat
yang merupakan asam lemak esensial bagi tubuh manusia. Lebih dari 50%
lemak dalam minyak kedelai adalah asam linoleat, sedangkan asam linolenat
sekitar 7%. Beberapa penelitian menemukan bahwa asam alfa-linolenat dapat
menurunkan risiko stroke sehingga konsumsi minyak kedelai dapat
mengurangi risiko stroke (Subroto, 2008).
4. Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang
dikonsumsi masyarakat selain minyak kelapa, minyak kedelai, dan lainnya.
Berdasarkan kegunaannya, minyak kelapa sawit digunakan sebagai bahan
utama untuk produk-produk kebutuhan masyarakat, seperti minyak goreng,
margarine, detergen, sabun, kosmetik, dan obat-obatan. Berdasarkan
keunggulannya, minyak kelapa sawit lebih aman, karena sifat dasarnya yang
dapat dimakan dan ramah terhadap lingkungan dan mudah diuraikan (bio-
degradable), selain itu juga terbukti tidak meningkatkan kadar kolesterol,
20
bahkan mengandung beta karoten sebagai pro-vitamin A dan vitamin E
(Andoko dan Widodoro, 2013).
Pada minyak sawit, warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang
masih tersisa setelah proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan
gliserida tidak berwarna. Warna orange atau kuning disebabkan adanya
pigmen karoten yang larut dalam minyak. Bau dan flavor pada minyak
terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai
pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit
ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit berada
dalam nilai kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung beberapa
macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang berbeda-beda (Ketaren,
2012).
5. Minyak Kemiri
Kemiri tergolong bumbu dapur yang kaya akan protein. Dalam daging
biji kemiri terdapat asam hidrosianik yang beracun. Oleh karena itu, kemiri
digolongkan minyak lemak non-pangan (non-edible oil). Biji kemiri (kernel)
mengandung lemak yang sangat tinggi. Karena itu, saat biji kemiri diperas
akan mengeluarkan minyak. Namun, karena dalam biji kemiri terdapat asam
hidrosianik, minyaknya pun jarang digunakan untuk menggoreng. Minyak
kemiri lebih cocok sebagai bahan baku sabun atau bahan bakar setara solar.
Minyak kemiri mengandung sejumlah zat kimia yang mendatangkan berbagai
khasiat. Yang cukup popular adalah khasiat menyehatkan rambut, mulai dari
21
menyuburkan, menguatkan, dan menghitamkan rambut secara alami
(Prihandana dan Hendroko, 2008).
Bagian buah (biji) mengandung minyak sebesar 55-65% dan kadar
minyak dalam tempurung sebesar 60%. Asam lemak yang terkandung dalam
minyak terdiri dari 55% asam palmitat: 6,7% stearate; 105% oleat, 48,5%
linoleat, dan 28,5% linolenat. Asam lemak palmitat dan stearate termasuk
golongan asam lemak jenuh, sedangkan asam oleat, linoleat, dan linolenat
termasuk golongan asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 2012).
6. Minyak Jarak
Minyak jarak adalah minyak nabati yang diekstraksi dari biji tumbuhan
Ricinus communis, terjadi atas gliseril ster dari asam lemak, lebih menonjol
asam (kurang lebih 85%), yaitu asam risinoleat C12H32(OH).COOH. Minyak
jarak juga digunakan dalam cat, pernis, dan sebagai minyak pencahar
(Pudjaatmaka, 2002).
Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang terdiri dari 60% berat
kernel (daging biji) dan 40% berat kulit. Inti biji (kernel) jarak pagar
mengandung sekitar 50% minyak sehingga dapat diekstrak menjadi minyak
jarak dengan cara mekanis ataupun ekstraksi dengan pelarut seperti heksana.
Minyak jarak pagar merupakan jenis minyak yang memiliki komposisi
trigliserida yang mirip dengan minyak kacang tanah. Kandungan asam lemak
esensial dalam kk jarak pagar cukup tinggi sehingga sebenarnya dapat
dikonsumsi sebagai makan, asalkan toksin yang berupa phorbol ester dan
curcin dapat dihilangkan. Minyak jarak tidak lebih kental dibandingkan
22
minyak nabati lainnya. Komponen terbesar minyak jarak adalah trigliserida
yang mengandung asam lemak oleat dan linoleat (Dadang, 2006).
7. Minyak Kacang Tanah
Minyak kacang merupakan minyak yang dihasilkan oleh tekanan
hidraulik atau alat penghancur Anderson dari kacang tanpa kulit dengan tahap
proses awal pada suhu rendah dihasilkan minyak yang bisa dimakan (lebih
kurang 18%) dan sebagian lain dilakukan dengan hidrogenasi. Minyak
tersebut kemudian dihidrogenasi dan dikilang ulang untuk digunakan dalam
industry margarin kacang (peanut butter), salad, dan minyak goreng (peanut
oil) (Pudjaatmaka, 2002).
Kacang tanah termasuk herba dan sebagian besar produknya digunakan
untuk makanan, baik sebagai minyak maupun mentega. Karena itu, kacang
termasuk penghasil minyak/lemak yang bisa dimakan (edible oil). Kandungan
minyak kacang tanah tergolong tinggi, berkisar 35-55% (Prihandana dan
Hendroko, 2008). Biji kacang tanah dapat diolah dan diproses menjadi
minyak goreng. Setiap 100 kg kacang tanah, dapat menghasilkan minyak
antara 40-60 liter (Mashudi, 2007).
8. Minyak Jambu Mete
Biji jambu mete terdiri dari biji (kernel) dan kulit (shell), kedua bagian
ini mengandung minyak. Biji jambu mete terdiri dari 70% kulit biji dan 30%
daging biji. Kulit (shell) mengandung minyak sekitar 50% yang dikenal
dengan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). Komponen minyak jambu mete ini
terdiri dari asam anacardic sekitar 90% dan minyak cardol sebesar 10%. Biji
23
jambu mete (kernel) mengandung minyak sekitar 47%. Komponen
trigliseridanya tersusun dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Minyak kulit
biji (CNSL) tidak digunakan sebagai bahan pangan tetapi digunakan untuk
berbagai macam keperluan pengolahan yang lebih lanjut, misalnya sebagai
bahan penahan air, bahan perekat tahan asam dan alkali, pembuatan tinta,
bahan pengawet, rol mesin ketik, dan bahan pelapis rem pada roda (Ketaren,
2012).
9. Minyak Biji Kapas
Minyak biji kapas yaitu minyak yang diperoleh dengan mengempa biji
kapas yang telah dibersihkan serat-serat kapasnya, juga dapat digunakan
ekstraksi pelarut. Minyak biji kapas juga baik sebagai pengganti minyak
zaitun dalam rumah tangga maupun dalam sediaan farmasi (Pudjaatmaka,
2002).
Biji kapas mengandung asam amino dalam jumlah besar yang
dibutuhkan tubuh. Asam amino histidin yang dibutuhkan anak-anak, juga
ditemukan dalam biji kapas. Dari komposisi ini terlihat bahwa protein yang
terdapat dalam biji kapas merupakan protein yang lengkap yang sangat
dibutuhkan tubuh manusia. Kegunaan minyak biji kapas antara lain sebagai
alat penerangan, minyak pelumas, campuran lemak babi (lard), minyak salad,
bahan untuk membuat sabun, bahan untuk membuat margarin, dan bahan
untuk membuat mentega putih (shortening). Minyak biji kapas yang bermutu
baik, murni, dan sudah mengalami deodorasi biasanya hanya tahan selama 10-
12 jam. Dalam keadaan mudah dioksidasi minya biji kapas akan tengik pada
24
bilangan peroksida 125. Minyak biji kapas kasar lebih tahan terhadap oksidasi
dibandingkan dengan minyak yang sudah dimurnikan, tetapi dengan proses
hidrogenasi, minyak tersebut akan bersifat lebih stabil (Ketaren, 2012).
10. Minyak Kelapa
Minyak kelapa dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, seperti
minyak goreng, bahan margarin, dan mentega putih. Sementara itu,
pemanfaatan minyak kelapa untuk keperluan non-pangan antara lain sebagai
minyak lampu serta bahan pembuat sabun dan kosmetika. Minyak kelapa
tersusun atas senyawa organik campuran ester dari gliserol dan asam lemak
yang disebut dengan gliserida serta larut dalam pelarut minyak atau lemak.
Minyak kelapa secara fisik berwujud cairan yang berwarna bening sampai
kuning kecokelatan dan memiliki karakteristik bau yang khas. Warna pada
minyak kelapa disebabkan oleh zat warna dan kotoran-kotoran lainnya. Zat
warna alamiah yang terdapat pada minyak kelapa adalah karoten yang
merupakan hidrokarbon tidak jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi. Warna
minyak kelapa dipengaruhi oleh bahan dasar dan suhu selama proses
pengolahan. Pada pemrosesan suhu tinggi (100° C), daging kelapa yang
mengandung protein dan karbohidrat akan menghaislkan minyak kelapa
dengan warna kecokelatan. Hal ini disebabkan selama pengolahan terjadi
reaksi antara karbonil dari karbohidrat dan asam amino dari protein (Syah,
2005).
Mengganti minyak goreng dengan minyak kelapa adalah langkah paling
mudah untuk meperoleh khasiat minyak kelapa. Minyak lain terdiri atas
25
lemak tak jenuh yang mudah teroksidasi saat pemanasan. Sebaliknya, minyak
kelapa berisi lemak jenuh yang tahan oksidasi saat pemanasan. Untuk
menggoreng tidak ada yang sehebat minyak kelapa, karena minyak kelapa
tidak diserap ke dalam makanan sebanyak minyak nabati lain. Minyak kelapa
sangat stabil, sehingga tidak perlu disimpan dalam lemari pendingin. Minyak
kelapa murni tahan disimpan sampai 2-3 tahun pada suhu kamar dan akan
tahan lebih lama lagi jika disimpan dalam lemari es (Sukartin dan Sitanggang,
2005).
E. Komponen Minyak Goreng
Minyak goreng yang biasanya berasal dari minyak sawit mengandung
komponen aktif yang menakjubkan. Komponen itu adalah kandungan beta
karoten atau pro-vitamin A dan vitamin E untuk menurunkan kolesterol dan
menghambat penuaan. Asam lemak esensial (linoleat) sangat baik untuk
kesehatan bayi dan kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi dan vitamin E
untuk kesehatan kolesterol (Khomsan dkk, 2008).
Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit sangat berguna bagi
kesehatan dari bayi sampai orang dewasa. Secara alami, minyak sawit merupakan
sumber asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA= Mono Unsaturated Fatty Acid)
dan asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA= Poly Unsaturated Fatty Acid) yang
sangat tinggi kandungannya. Selain itu, minyak sawit juga mengandung
kandungan zat gizi mikro yang beragam jenisnya, yang berguna untuk tubuh
dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal. Zat gizi mikro yang dikenal
sebagai komponen aktif yaitu karotenoid pro-vitamin A (beta karoten), karotenoid
26
nonpro-vitamin A, tokoferol dan tokotrienol, asam lemak esensial (Linoleat dan
Linolenat), dan fito-sterol (Khomsan dkk, 2008).
Karotenoid adalah suatu pigmen alami yang berupa zat warna kuning
sampai merah yang terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama yaitu
karotenoid pro-vitamin A yang berfungsi sebagai zat nurisi aktif. Kedua,
karotenoid non-pro-vitamin A yaitu non-nutrisi aktif, seperti fucoxanthin,
neokanthin, dan violaxanthin (Khomsan dkk, 2008).
Karoten berupa komponen aktif karotenois pro-vitamin A dalam minyak
sawit yang terdiri dari tiga jenis, yaitu alfa, beta, dan gama karoten. Beta karoten
merupakan yang paling dominan jumlahnya dalam minyak sawit. Beta karoten
adalah pro-vitamin A yang digunakan dalam tubuh untuk berbagai keperluan
seperti pertumbuhan, mencegah kebutaan, untuk reproduksi pemeliharaan sel
epitel, dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit.
Karoten berfungsi sebagai antioksidan untuk itu sangat baik untuk kesehatan kulit
(Khomsan dkk, 2008).
Karotenoid non-pro-vitamin A maupun pro-vitamin A berperan sebagai
antioksidan yang berfungsi mencegah timbulnya penyakit kanker. Selain itu,
untuk mencegah proses penuaan yang terlalu dini dan mengurangi terjadinya
penyakit degeneratif lainnya. Kedua zat tersebut mampu bertindak sebagai
pemusnah radikal bebas yang dihasilkan pada proses metabolisme dalam tubuh.
Karotenoid terbukti sangat efisien dalam menetralisasi radikal oksigen dan efek
peroksida lain serta mengurangi peluang terbentuknya sel kanker (Khomsan dkk,
2008).
27
F. Sifat Fisio-Kimia
Penggunaan minyak goreng akan mengubah sifat fisio-kimia minyak tersebut.
Semakin lama digunakan semakin banyak perubahan yang terjadi. Misalnya
minyak tersebut akan semakin kotor akibat terbentuknya warna cokelat (reaksi
browning), semakin kental (akibat terjadinya polimerisasi asam-asam lemak), dan
kadar peroksidanya bertambah. Minyak jelantah yang digunakan untuk
menggoreng bahan makanan berprotein akan menurunkan nilai gizi proteinnya,
bahkan minyak jelantah yang sudah terlalu lama digunakan dapat membahayakan
kesehatan tubuh karena banyak mengandung senyawa peroksida (radikal) serta
asam lemak tidak jenuh trans (Muchtadi, 2009).
1. Sifat Fisio-kimia
a. Warna
Secara alamiah, zat warna dalam minyak mengandung α dan β
karoten, xantofil, klorofil, dan anthosyanin. Zat warna tersebut
menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecokelatan, kehijau-
hijauan, dan kemerah-merahan. Pigmen berwarna merah jingga atau
kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak.
Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh. Jika
minyak dihidrogenasi, karoten tersebut juga ikut terhidrogenasi, sehingga
intensitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil pada
suhu tinggi, dan jika minyak dialiri uap panas, maka warna kuning akan
hilang. Karotenoid tersebut tidak dapat dihilangkan dengan proses
oksidasi.
28
Warna gelap pada minyak disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (vitamin E). Jika minyak bersumber dari tanaman hijau, maka
zat klorofil yang berwarna hijau turut terekstrak bersama minyak, dan
klorofil tersebut sulit dipisahkan dari minyak. Warna gelap ini dapat
terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan, yang disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu:
- Suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu pengepresan dengan
cara hidraulik atau expeller, sehingga sebagian minyak teroksidasi.
Disamping itu minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam
keadaan panas akan mengesktrasi zat warna yang terdapat dalam
bahan tersebut
- Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan
suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna yang
lebih gelap
- Ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut organik tertentu,
misalnya campuran pelarut petroleum benzene akan menghasilkan
minyak dengan warna lebih cerah jika dibandingkan dengan minyak
yang diekstraksi dengan pelarut trikloroetilena, benzol, dan heksan
- Logam seperti Fe, Cu, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak
diinginkan dalam minyak
- Oksidasi terhadap fraksi tidak tersabunkan dalam minyak, terutama
oksidasi tokoferol dan chroman 5,6 quinone menghasilkan warna
kecokelat-cokelatan
29
b. Bau Amis
Bau amis dalam mentega, susu bubuk atau krim disebabkan oleh
terbentuknya trimetil-amin dari lesitin dalam susu dan mentega berturut-
turut dengan jumlah 0,03-0,12 persen dan 0,01-0,17 persen. Mekanisme
pembentukan trimetil-amin dari lesitin bersumber pada pemecahan ikatan
C-N gugus choline (CH2OH. CH2. N Me3) dalam molekul lesitin. Ikatan
C-N ini dapat diuraikan oleh zat pengoksidasi, seperti gugus peroksida
dalam lemak, sehingga menghasilkan trimetil-amin.
Adanya tembaga besi akan mempercepat pembentukan peroksida
lemak dan peroksida tersebut akan mengoksidasi lesitin. Terdapatnya
sejumlah persenyawaan nitrogen yang berkombinasi secara kimia dengan
minyak, disamping menyebabkan bau amis, juga mengakibatkan warna
minyak menjadi kuning atau cokelat. Dalam susu, reaksi antara amino
nitrogen yang dihasilkan dari kasein dengan aldehida sebagai akibat
oksida lemak, menghasilkan sejumlah persenyawaan amin alifatis yang
bersifat dapat menguap. Trimetrilamin oksida (NMe3) terbentuk akibat
oksidasi trimetil-amin oleh peroksida. Umumnya persenyawaan oksida ini
terdapat dalam otot-otot ikan, dalam jaringan hewan dan dalam susu. Jika
persenyawaan tersebut terdapat dalam minyak yang dipanaskan selama
beberapa jam pada suhu sekitar 105°C senyawa tersebut akan tereduksi
sehingga menghasilkan trimetil-amin bebas.
30
c. Odor dan Flavor
Odor dan flavor pada minyak selain terdapat secara alami, juga terjadi
karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek sehingga
hasil penguraian pada kerusakan minyak. Akan tetapi pada umumnya,
odor dan flavor ini disebabkan oleh komponen bukan minyak. Sebagai
contoh, bau khas dari minyak kelapa sawit dikarenakan terdapatnya beta
ionone, sedangkan bau khas dari minyak kelapa ditimbulkan oleh nonyl
methylketon.
d. Kelarutan
Suatu zat dapat larut jika mempunyai nilai polaritas yang sama, yaitu
zat polar larut dalam pelarut bersifat polar dan tidak larut dalam pelarut
nonpolar. Minyak tidak larut dalam air, kecuali minyak jarak (castor oil).
Minyak dan lemak hanya sedikit larut dalam alkohol, tetapi akan melarut
sempurna dalam etil eter, karbon disulfida, dan pelarut-pelarut halogen.
Ketiga jenis pelarut ini memiliki sifat non polar sebagaimana halnya
minyak dan lemak netral. Kelarutan dari minyak dan lemak ini
dipergunakan sebagai dasar untuk mengekstraksi minyak dari bahan yang
diduga mengandung minyak. Asam-asam lemak yang berantai pendek
dapat larut dalam air, semakin panjang rantai asam-asam lemak makan
kelarutannya dalam air semakin berkurang.
e. Titik Cair dan Polymorphism
Pengukuran titik cair minyak, suatu cara yang lazim digunakan dalam
penentuan atau pengenalan komponen-komponen organik yang murni,
31
tidak mungkin diterapkan di sini, karena minyak tidak mencair dengan
tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Sebagai contoh, bila lemak
dipanaskan dengan lambat, maka akhirnya akan mencair. Tetapi ada juga
lemak yang sudah menjadi cair pada waktu temperatur muai naik,
kemudian akan memadat kembali. Pencairan kedua akan terjadi pada
temperatur yang lebih tinggi lagi. Bila lemak dengan sifat seperti diatas
diulangi pemanasannya, maka bahan akan mencair pada temperature yang
lebih rendah dari temperatur pemanasan pertama.
Polymorphism pada minyak adalah suatu keadaan dimana terdapat
lebih dari satu bentuk kristal. Polymorphism sering dijumpai pada
beberapa komponen yang mempunyai rantai karbon panjang, dan
pemisahan kristal tersebut sangat sukar. Namun demikian, untuk beberapa
komponen, bentuk dari kristal-kristalnya sudah dapat diketahui.
Polymorphism penting untuk mempelajari titik cair minyak dan asam
lemak beserta ester-esternya. Untuk selanjutnya, polymorphism
mempunyai peranan penting dalam berbagai proses untuk mendapatkan
minyak. Asam lemak tidak memperlihatkan kenaikan titik cair yang linier
dengan bertambah panjangnya rantai karbon atom. Asam lemak dengan
ikatan trans mempunyai titik cair yang lebih tinggidaripada isomer asam
lemak yang berikatan cis.
f. Titik Didih
Titik didih dari asam-asam lemak akan semakin meningkat dengan
bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
32
g. Titik Lunak
Titik lunak dari minyak ditetapkan dengan maksud untuk identifikasi
minyak tersebut. Cara penetapannya yaitu dengan mempergunakan tabung
kapiler yang diisi dengan minyak. Kemudian dimasukkan ke dalam lemari
es selama satu malam, sehingga minyak akan membeku atau menjadi
padat. Setelah satu malam dalam lemari es, tabung kapiler tadi diikat
bersama-sama dengan termometer yang dilakukan di dalam lemari es,
selanjutnya dicelupkan ke dalam gelas piala yang berisi air. Temperatur
akan naik dengan lambat. Temperatur pada saat permukaan dari minyak
dalam tabung kapiler mulai naik, disebut titik lunak atau softening point.
h. Slipping Point
Penetapan slipping point dipergunakan untuk pengenalan minyak alam
serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Cara penetapannya
yaitu dengan mempergunakan suatu silinder kuningan yang kecil, yang
diisi dengan lemak padat, kemudian disimpan dalam bak yang tertutup
dan dihubungkan dengan termometer. Bila bak tadi digoyangkan,
temperatur akan naik perlahan-lahan. Temperatur pada saat lemak dalam
silinder mulai naik atau temperatur pada saat lemak mulai melincir disebut
slipping point.
i. Shot Melting Point
Shot melting point adalah temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari
minyak. Pada umumnya minyak mengandung komponen-komponen yang
berpengaruh terhadap titik cairnya. Hal ini telah dipelajari pada berbagai
33
asam lemak bebas dan gliserida yang murni. Minyak yang umumnya
mengandung asam lemak tidak jenuh dalam jumlah relatif besar, biasanya
berwujud cair pada temperatur kamar. Bila mengandung asam lemak
jenuh yang relatif besar, maka minyak tersebut akan mempunyai titik cair
yang tinggi. Bila titik cair dari trigliserida sederhana yang murni
ditentukan, akan dijumpai bahwa semakin panjang rantai karbon dari
asam-asam lemaknya, maka titik cairnya pun akan semakin tinggi.
j. Bobot Jenis
Bobot jenis dari minyak biasanya ditentukan pada temperatur 25°C,
akan tetapi dalam hal ini dianggap penting juga untuk diukur pada
temperatur 40°C atau 60°C untuk lemak yang titik cairnya tinggi. Pada
penetapan bobot jenis, temperatur dikontrol dengan hati-hati dalam
kisaran temperatur yang pendek.
k. Indeks Bias
Indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan
pada suatu medium yang cerah. Indeks bias tersebut pada minyak dipakai
pada pengenalan unsur kimia dan untuk pengujian kemurnian minyak.
Abbe Refractometer mempergunakan alat pengontrol temperatur yang
dipertahankan pada 25°C. Untuk pengukuran indeks bias lemak yang
bertitik cair tinggi, dilakukan pada temperatur 40°C atau 60°C. Selama
pengukuran temperatur harus dikontrol dan dicatat. Indeks bias ini akan
meningkat apda minyak dengan rantai karbon yang panjang dan juga
terdapatnya sejumlah ikatan rangkap. Nilai indeks bias dari asam lemak
34
juga akan bertambah dengan meningkatnya bobot molekul, selain dengan
naiknya derajat ketidakjenuhan dari asam lemak tersebut.
l. Titik Asap, Titik Nyala, dan Titik Api
Apabila minyak dipanaskan dapat dilakukan penetapan titik asap, titik
nyala, dan titik api. Titik asap adalah temperatur pada saat minyak
menghasilkan asap tipis kebiru-biruan pada pemanasan tersebut. Titik
nyala adalah temperatur pada saat campuran uap dari minyak dengan
udara mulai terbakar. Sedangkan titik api adalah temperatur pada saat
dihasilkan pembakaran yang terus-menerus, sampai habisnya contoh uji.
Titik asap, titik nyala, dan titik api adalah kriteria penting dalam
hubungannya dengan minyak yang digunakan untuk menggoreng.
m. Titik Kekeruhan (Turbidity Point)
Titik kekeruhan ini ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran
minyak dengan pelarut lemak. Seperti diketahui, minyak kelarutannya
terbatas. Campuran tersebut kemudian dipanaskan sampai terbentuk
larutan yang sempurna. Kemudian didinginkan dengan perlahan-lahan
sampai minyak dengan pelarutnya mulai terpisah dan mulai menjadi
keruh. Temperatur pada waktu mulai terjadi kekeruhan, dikenal sebagai
titik kekeruhan (turbidity point).
2. Sifat Kimia
Pada umumnya asam lemak jenuh dari minyak mempunyai rantai lurus
monokarboksilat dengan jumlah atom karbon yang genap. Reaksi yang
penting pada minyak adalah reaksi hidrolisa, oksidasi, dan hidrogenasi.
35
a. Hidrolisa
Dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam-asam
lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat mengakibatkan
kerusakan minyak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak
tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang
menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak tersebut.
b. Oksidasi
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan
mengakibatkan bau tengik pada minyak. Oksidasi biasanya dimulai
dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya
ialah teruarainya asam-asam lemak disertai dengan konversi
hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas.
Rancidity terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan
peroksida value (PV) hanya indikator dan pernyataan bahwa minyak
sebentar lagi akan berbau tengik. Oksidasi yang lebih lanjut dapat
menghasilkan keton, karena reaksi ini disertai hidrolisa.
c. Hidrogenasi
Proses hidrogenasi sebagai suatu proses industry bertujuan untuk
menjenuhkan ikatan rangkap dari rantai karbon asam lemak pada minyak.
Reaksi hidrogenasi ini dilakukan dengan menggunakan hydrogen murni
dan ditambahkan serbuk nikel sebagai katalisator. Setelah proses
hidrogenasi selesai, minyak didinginkan dan katalisator dipisahkan dengan
36
cara penyaringan. Hasilnya adalah minyak yang bersifat plastis atau keras,
tergantung pada derajat kejenuhannya. Reaksi pada proses hidrogenasi
terjadi pada permukaan katalis yang mengakibatkan reaksi antara
molekul-molekul minyak dengan gas hidrogen. Hidrogen akan diikat oleh
asam lemak yang tidak jenuh, yaitu pada ikatan rangkap, membentuk
radikal kompleks antara hidrogen, nikel, dan asam lemak tak jenuh,
setelah terjadi penguraian nikel dan radikal asam lemak, akan dihasilkan
suatu tingkat kejenuhan yang lebih tinggi. Radikal asam lemak dapat terus
bereaksi dengan hydrogen, membentuk asam lemak yang jenuh.
d. Esterifikasi
Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari
trigliserida dalam bentuk ester, reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui
reaksi kimia yang disebut interesterifikasi atau pertukaran ester yang
didasarkan atas prinsip transesterifikasi friedel-craft. Dengan
menggunakan prinsip reaksi ini, hidrokarbon rantai pendek dalam asam
lemak seperti asam butirat dan asam kaproat yang menyebabkan bau tidak
enak dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap
(Ketaren, 2012).
G. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Minyak Goreng
Parameter uji kualitas minyak goreng dapat dilihat dari perubahan sudut
polarisasi cahaya. Semakin sering memanaskan minyak goreng maka semakin
besar sudut polarisasinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa minyak goreng yang
mempunyai kualitas yang paling baik adalah minyak goreng dengan sudut
37
polarisasi yang paling kecil. Ini berlaku sama antara minyak goreng dari kelapa
maupun minyak goreng kelapa sawit (Nuraniza, 2013).
Dengan suhu 180°C, makanan yang digoreng akan berwarna cokelat merata,
kurang dari itu, minyak akan diserap banyak oleh makanan sehingga rasa dan
penampilannya menjadi berubah. Ketika minyak digunakan kembali untuk
menggoreng, minyak mulai terdegradasi dengan cara memecahkan ikatan
trigliserida. Dari pepecahan itu terbentuk gliserol dan asam lemak bebas yang
menyebabkan minyak berbau tengik dan warnanya berubah menjadi kecokelatan
hingga hitam (Ide, 2007).
H. Ketengikan pada Minyak Goreng
Ada tida penyebab ketengikan pada minyak yaitu ketengikan oleh oksidasi
(oxidative rancidity), ketengikan oleh enzim (enzymatic rancidity), dan
ketengikan oleh proses hidrolisa (hidrolitic rancidity). Berbagai jenis minyak
akan mengalami perubahan flavor dan bau sebelum terjadi proses ketengikan. Hal
ini dikenal sebagai reversion. Beberapa penyelidik berpendapat bahwa hal ini
khas pada minyak atau lemak. Reversion terutama dijumpai dalam lemak di pasar
dan pada pemanggangan atau penggorengan dengan menggunakan temperatur
yang terlalu tinggi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dari
reversion ini adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen, dan
adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi. Jika
suhu penyimpanan minyak dinaikkan, maka waktu untuk menghasilkan flavor
reversion akan lebih singkat. Ketengikan berbeda dengan reversion; beberapa
minyak mudah terpengaruh untuk menjadi tengik tapi akan mempunyai daya
38
tahan terhadap peristiwa reversion, misalnya pada minyak jagung. Perubahan
flavor yang terjadi selama reversion, berbeda untuk setiap jenis minyak,
sedangkan minyak yang telah menjadi tengik, akan menghaislkan flavor yang
sama untuk semua jenis minyak. Bilangan peroksida yang sangat tinggi dapat
menjadi indikasi ketengikan minyak, tetapi bilangan peroksida ini tidak
mempunyai hubungan dengan peristiwa reversion (Ketraren, 2012).
Bila minyak bersentuhan dengan udara untuk jangka waktu lama akan terjadi
perubahan yang dinamakan proses ketengikan (rancidity). Oksigen akan terikat
pada ikatan rangkap dan membentuk peroksida aktif. Senyawa ini sangat reaktif
dan membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah
menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek berupa asam-asam
lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile/mudah menguap,
menimbulkan bau tengik pada minyak dan potensial bersifat toksik. Reaksi ini
bisa terjadi perlahan pada suhu menggoreng normal dan dipercepat oleh adanya
sedikit besi dan tembaga yang biasa ada di dalam makanan. Minyak yang
digunakan untuk menggoreng pada suhu tinggi atau dipakai berulang kali akan
menjadi hitam dan produk oksidasi akan menumpuk. Asam lemak akan pecah dan
terbentuk akrolein dari gliserol. Akrolein mengeluarkan asap tajam yang
merangsang tenggorokan. Hidrogenasi minyak menurunkan kecenderungannya
untuk teroksidasi, dengan demikian meningkatkan stabilitasnya (Almatsier,
2001).
Kerusakan pada minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik
yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam
39
lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat
reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam
berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin,
myoglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang
mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi
tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan
senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Sebuah atom hidrogen yang
terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang
mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi
sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk
peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak
stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek
oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-
senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-
aldehida, dan keton yang bersifat volatile dan menimbulkan bau tengik pada
minyak (Winarno, 2004).
I. Minyak Jelantah
Minyak jelantah adalah minyak yang dihasilkan dari sisa penggorengan, baik
dari minyak kelapa maupun minyak sawit. Minyak jelantah dapat menyebabkan
minyak berasap atau berbusa pada saat penggorengan, meninggalkan warna
cokelat, serta flavor yang tidak disukai dari makanan yang digoreng (Hambali
dkk, 2007). Tidak jarang pedagang kaki lima menggunakan kembali minyak
40
jelantah untuk menggoreng. Ketika minyak jelantah kembali dipakai untuk
menggoreng, minyak jelantah akan diserap secara berlebihan (dapat mencapai
50% dari berat makanan) ke dalam makanan yang digoreng. Selain berminyak,
pada makanan juga terdapat kerak-kerak hitam yang menempel di permukaannya.
Di situlah terdapat radikal bebas yang paling banyak (Ide, 2007).
Kandungan minyak jelantah menurun dari minyak goreng baru. Minyak
jelantah mengeluarkan kandungan polimer yang dapat terserap dalam makanan
berupa asam lemak trans. Dalam minyak jelantah juga terdapat zat radikal bebas,
seperti peroksida dan epioksida yang mutagen dan karsinogen (berpotensi
menyebabkan kanker) sehingga berisiko terhadap kesehatan manusia. Misalnya,
gangguan peroksida pada minyak jelantah mengakibatkan pemanasan suhu tinggi
hingga mengganggu kesehatan, terutama yang berhubungan dengan metabolisme
kolesterol (Mianoki dkk, 2014).
J. Syarat Mutu Minyak Goreng
Standar Nasional Indonesia (SNI) 3741:2003 Minyak goreng yang
merupakan revisi SNI 01-3741-2002 Minyak goreng. Standar tersebut
dirumuskan dengan beberapa tujuan, yaitu:
1. Menyesuaikan standar dengan perkembangan teknologi terutama dalam
metode uji dan persyaratan mutu
2. Menyesuaikan standar dengan peraturan-peraturan baru yang diberlakukan
3. Melindungi kesehatan konsumen
4. Menjamin perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab
5. Mendukung perkembangan dan diversifikasi industri minyak goreng
41
Standar ini dirumuskan dengan memperhatikan ketentuan pada:
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
722/MENKES/PER/IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan atau
revisinya
8. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 24/M-
IND/PER/7/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur
Ulang pada Kemasan Pangan dari Plastik
9. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 75/M-
IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik
(Good Manufacturing Practices)
10. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum
42
Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan (Badan Standar Nasional, 2013).
Berikut merupakan syarat mutu minyak goreng sesuai dengan standar yang
dikeluarkan oleh BSN pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.3 Syarat Mutu Minyak Goreng
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Warna - Normal
2 Kadar air dan bahan menguap %(b/b) Maks. 0,15
3 Bilangan asam mg KOH/g Maks. 0,6
4 Bilangan peroksida mek O2/kg Maks. 10
5 Minyak pelikan - Negatif
6 Asam linolenat (C18:3) dalam
komposisi asam lemak minyak
% Maks. 2
7 Cemaran logam
7.1 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,2
7.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,1
7.3 Timah (Sn) mg/kg Maks.
40,0/250,0
(dalam kemasan
kaleng)
7.4 Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,05
8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1
Pada skala internasional, Food and Agriculture Organization (FAO) dan
World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 mengeluarkan standar mutu
bilangan peroksida untuk biji bunga matahari yaitu ≤10 meq/kg minyak
43
kemasan) dan ≤1 virgin oil). Standar bilangan peroksida yang ditentukan oleh
Sudanese Standard and Metrology Organization (SSMO) tahun 2003 yaitu ≤10
meq/k (Abdellah, 2012).
K. Bilangan Peroksida
Produk utama oksidasi lipid yaitu hidroperoksida, yang umumnya disebut
sebagai "peroksida". Peroksida adalah senyawa organik yang tidak stabil yang
terbentuk dari trigliserida. Bilangan peroksida adalah metode untuk menentukan
tingkat oksidasi minyak dan mengukur pembentukan hidroperoksida dalam
miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida dibentuk oleh
oksidasi lemak bereaksi dengan ion iodida untuk membentuk yodium, yang pada
akhirnya diukur dengan titrasi menggunakan tiosulfat.
Bilangan peroksida berfungsi sebagai indikator kualitas minyak. Meskipun
tidak membedakan antara berbagai asam lemak tak jenuh yang mengalami
oksidasi dan tidak menyediakan informasi tentang produk oksidatif sekunder
yang terbentuk oleh dekomposisi hidroperoksida, umumnya dapat dinyatakan
bahwa bilangan peroksida merupakan indikator dari tingkat dasar oksidasi
minyak. Perubahan nilai peroksida terhadap waktu menunjukkan tahap induksi,
dimana terjadinya peningkatan bilangan peroksida, dan penurunan sebagai hasil
oksidasi lipid. Hidroperoksida rusak pada tingkat yang lebih cepat daripada
pembentukannya. Minyak berkualitas rendah akan memiliki periode induksi yang
lebih pendek.
Senyawa peroksida tidak stabil dalam kondisi menggoreng. peningkatan
bilangan peroksida selama penggorengan akan diikuti oleh penurunan dengan
44
lebih menggoreng karena hidroperoksida cenderung terurai pada 180°C untuk
membentuk produk oksidasi sekunder. Peningkatan keseluruhan nilai peroksida
terjadi khususnya selama masa tenang, di mana minyak goreng terkena udara
pada suhu tinggi. Peroksida dan hidroperoksida memberikan indikasi penurunan
rasa pada makanan (Contemporary Food Engineering Series. 2009).
Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak
goreng. Penyebab kenaikan bilangan peroksida adalah minyak goreng yang
digunakan berkali-kali oleh para pedagang gorengan, mayoritas menggunakan
minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan (Mulasari,
2012).
Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas,
sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan peroksida
dalam jumlah yang kecil. Dalam jangka waktu yang cukup lama, peroksida dapat
mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak
misalnya vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B). Peroksida juga
dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak
dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan
(lebih besar dari 100) akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat dimakan,
disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren,
2012).
45
Secara umum, reaksi pembentukan peroksida dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.4 Reaksi Pembentukan Peroksida
L. Dampak Bilangan Peroksida yang Tinggi terhadap Kesehatan
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida
terbentuk akibat pemanasan yang mengakibatkan kerusakan pada minyak atau
lemak. Pada minyak goreng, angka peroksida menunjukkan ketengikan minyak
goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. erusakan lemak atau minyak
akibat pemanasan pada suhu tinggi 200-2 0 C) akan mengakibatkan
keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit misalnya diare,
pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero sclerosis), kanker, dan
menurunkan nilai cerna lemak (Ketaren, 2012).
Bergabungnya peroksida dalam sistem peredaran darah, mengakibatkan
kebutuhan vitamin E yang lebih besar. Berdasarkan percobaan terhadap ayam,
kekurangan vitamin E dalam lemak mengakibatkan timbulnya gejala
46
encephalomalacia dan jika hidroperoksida diinjeksikan ke dalam aliran darah
menimbulkan gejala celebellar. Peroksida akan membentuk persenyawaan
lipoperoksida secara nonenzimatis dalam otot usus dan mitochondria,
lipoperoksida dalam aliran darah mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang
mempunyai kerapatan rendah. Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai
fungsi aktif sebagai alat transportasi trigeliserida; dan jika lipoprotein mengalami
denaturasi, akan mengakibatkan deposisi lemak dalam pembuluh darah (aorta)
sehingga menimbulkan gejala atherosclerosis (Ketaren, 2012).
M. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
1. Oksigen
Oksigen atau zat asam adalah suatu gas yang sangat penting dalam
kehidupan kita, terutama bagi pernapasan. Pernapasan atau respirasi berarti
mengambil atau menghirup oksigen dan membuang sisa pembakaran, yakni
karbon dioksida dan air. Oksigen disebut juga zat pembakar karena oksigen
berguna dalam pembakaran bahan makanan dan menghasilkan panas kalori.
Sebagian panas kalori berguna untuk memelihara suhu tubuh dan sebagian
lagi diubah menjadi tenaga untuk bekerja. Sebagian besar mikroorganisme
atau jasad renik memerlukan oksigen untuk proses penguraian bahan
makanan. Oksigen merupakan zat yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa, dan bersifat netral. Oksigen tidak dapat terbakar, tetapi
memungkinkan mempunyai daya gabung besar terhadap hampir semua unsur
lain. Zat ini tidak beracun, tetapi dapat mendatangkan maut jika dihirup
banyak-banyak dalam keadaan tidak diencerkan (Sumardjo, 2008).
47
Oksigen adalah suatu diradikal yang stabil dan karena itu merupakan
pereaksi (agent) radikal bebas yang selektif. Senyawa yang mengandung
ikatan rangkap, hydrogen alilik, benzilik atau tersier, rentan (susceptible)
terhadap oksidasi oleh udara juga disebut autoksidasi. Senyawa dengan hanya
hidrogen primer atau sekunder tidak serentan itu. Lemak dan minyak nabati
seringkali mengandung ikatan rangkap. Autoksidasi suatu lemak
menghasilkan campuran produk yang mencakup asam karboksilat berbobot
molekul rendah (dan berbau). Misalnya, mentega tengik mengandung asam
butanoat yang berbau tengik itu (Fessenden dan Fessenden, 1986).
2. Cahaya
Secara garis besar sumber cahaya dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu:
a. Cahaya alam (Natural lighting)
Cahaya alam merupakan cahaya matahari yang merupakan sumber
cahaya utama dan dominan. Cahaya matahari meliputi waktu di siang hari,
musim, cuaca berawan atau tidak
b. Cahaya artifisial (cahaya buatan)
Cahaya buatan meliputi cahaya listrik (cahaya fluoresen), cahaya gas,
lampu, minyak, dan lilin. Cahaya buatan ini sebagai sarana pelengkap
untuk penerangan ruangan dan sebagaian (Gabriel, 1996).
Cahaya alam diatas seperti cahaya matahari juga dapat mempengaruhi
senyawa pada minyak goreng yang digunakan untuk memasak. Ketengikan
pada minyak goreng ditimbulkan oleh cahaya yang merupakan oksidator.
48
Proses oksidasi dipercepat oleh adanya kombinasi dari oksigen dan cahaya.
Misalnya pada lemak yang disimpan tanpa udara (O2), tetapi dikenai cahaya
sehingga menjadi tengik. Hal ini karena dekomposisi peroksida secara
alamiah telah terdapat dalam lemak atau minyak. Cahaya berpengaruh sebagai
akselerator pada oksidasi konstituen tidak jenuh dalam lemak. Radiasi ionisasi
juga merupakan salah satu akselerator, sedangkan sinar ultra violet dan sinar-
sinar gelombang pendek berfungsi sebagai fotolisis persenyawaan aldehida,
sehingga menghasilkan radikal bebas. Konstituen tidak jenuh dan jenuh serta
molekul trigliserida yang terkena cahaya ultra violet dalam jangka waktu yang
lama, akan menghasilkan aldehida dalam jumlah yang kecil dan metil keton
yang berbau tidak enak. Persenyawaan keton dengan asam-asam dengan berat
molekul rendah lebih cepat terbentuk dari senyawa tidak jenuh, terutama
lemak yang mengandung ikatan tidak jenuh (C12) atau lebih rendah, misalnya
asam palmitat. Gugus hidroksil bebas pada molekul mono dan digliserida
akan teroksidasi sehingga menghasilkan gugus aldehida (jika gliserida
tersebut terkena irradiasi sinar ultra violet yang disertai dengan oksigen)
(Ketaren, 2012).
3. Suhu Tinggi
Suhu merupakan suatu sifat yang sukar didefinisikan, meskipun secara
naluri dapat dirasakan. Untuk mengatakan bahwa suhu adalah derajat “panas”
dari suatu benda tidaklah tepat. Bila terdapat dua benda yang memiliki suhu
berbeda disinggungkan, makanya benda yang awalnya bersuhu tinggi akan
turun dan sebaliknya yang bersuhu rendah akan naik. Sehingga kedua benda
49
tersebut mempunya derajat “panas” yang sama dengan kata lain suhu yang
sama. Suhu dapat diukur karena dapat memberikan pengaruh pada sifat yang
dapat diukur lainnya. Termometer adalah alat yang digunakan sebagai
mengukur suhu, yang didasarkan atas panjang kolom cairan dalam tabung
kapiler tipis di dalam gelas kaca. Perubahan suhu membuat panjang kolom
cairan berubah. Kenaikan panjang kolom cairan mengikuti kenaikan suhu.
Titik suhu tertentu dan derajat perubahan suhu dapat menentukan skala suhu.
Titik tetap yang umum dipakai adalah suhu dimana es meleleh (titik es) dan
suhu dimana air mendidih (titik uap), keduanya pada tekanan atmosfer normal
(Petrucci, 1985).
Pada saat penggorengan makanan dapat terjadi perubahan-perubahan
fisika-kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak gorengnya.
Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C)
akan menyebabkan degradasi minyak goreng dengan cepat (antara lain titik
asap menurun). Titik asap adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak
diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan (Devi, 2010).
Pengaruh suhu terhadap kerusakan minyak telah diselediki dengan
menggunakan contoh minyak jagung yang dipanaskan selama 24 jam pada
suhu 120°, 160°, dan 200°C. Minyak dialiri udara pada 150 ml/menit/kilo.
Minyak yang dipanaskan pada suhu 160° dan 200°C, menghasilkan bilangan
peroksida lebih rendah dibandingkan dengan pemanasan pada suhu 120°C.
Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa persenyawaan peroksida bersifat
tidak stabil terhadap panas. Bilangan iod berpengaruh kecil dalam contoh
50
yang dipanasi pada suhu 120°C. Penurunan bilangan iod dalam contoh
tersebut hampir sama dengan pemanasan pada suhu 160°-200°C. Kenaikan
nilai indeks bias setara dengan pertambahan jumlah senyawa polimer yang
dihasilkan akibat pemanasan lemak atau oksidasi lemak. Kenaikan nilai
kekentalan dan indeks bias paling besar pada suhu 200°C, karena pada suhu
tersebut jumlah senyawa polimer yang terbentuk relative cukup besar
(Ketaren, 2012).
4. Frekuensi Penggunaan Minyak Goreng
Ulangan penggorengan setiap periode bervariasi tergantung pada jumlah
bahan makanan yang digoreng. Pengulangan penggorengan pada pedagang
dapat mencapai 10-20 kali dalam satu periode penggorengan. Minyak goreng
yang masih tersisa, digunakan kembali pada hari berikutnya yang
ditambahkan dengan minyak segar (Aminah, 2010).
Adanya pengaruh frekuensi menggoreng makanan dengan minyak
goreng kedelai terhadap kenaikan angka peroksida dan angka asam lemak
bebas. Perlakuan frekuensi menggoreng mulai dari frekuensi pertama hingga
ke sepuluh semakin meningkat angka peroksidanya dan melewati batas
maksimum angka peroksida (Gunawan, 2003).
Pada sebuah penelitian bilangan peroksida terhadap pengulangan
penggorengan menggunakan minyak goreng bekas makanan jajanan hewani
dan nabati, didapatkan hasil positif peningkatan bilangan peroksida untuk
minyak goreng bekas makanan jajanan hewani dengan rata-rata nilai dari
51
empat sampel yaitu 140,62 mek O2/kg pada satu kali penggunaan dan
141,626 mek O2/kg pada dua kali penggunaan. Sedangkan pada minyak
goreng bekas makanan jajanan nabati didapatkan pula peningkatan bilangan
peroksida dari delapan pedagang dengan rata-rata nilai 46,352 mek O2/kg
pada lima kali penggunaan dan 53,908 mek O2/kg pada sepuluh kali
penggunaan (Ayu dan Hamzah, 2010).
5. Lama Pemanasan Minyak Goreng
Kadar bilangan peroksida awal (kontrol) masih rendah karena proses
oksidasi terhadap lemak terutama lemak tak jenuh masih minimal (hanya
dipengaruhi oleh udara dan cahaya matahari). Pemanasan pada menit ketujuh
dengan suhu 140 °C. Setelah pemanasan menit ke-15 reaksi oksidasi mulai
berlangsung atau dapat dikatakan merupakan proses permulaan reaksi atau
inisiasi yaitu pembentukan radikal bebas. Setelah pemanasan menit-menit
selanjutnya hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan rerata
bilangan peroksida. Di sini asam lemak tak jenuh pada minyak goreng yang
mempunyai hidrogen yang labil pada atom karbon berdekatan dengan ikatan
rangkap sehingga terbentuk radikal bebas yang terpisah dari hydrogen yang
labil. Dengan adanya radikal bebas tersebut maka proses oksidasi akan
semakin peka untuk membentuk peroksida radikal bebas yang tak stabil
(Oktaviani, 2009).
Radikal bebas sendiri berperan sebagai inisiator dan promotor
(katalisator) yang kuat pada reaksi oksidasi lebih lanjut sehingga pemecahan
52
oksidatif lemak minyak goreng menjadi terus menerus berlangsung.
Akibatnya akan terjadi kerusakan yang semakin parah pada minyak tersebut,
terbentuk polimer-polimer (benda-benda keton dan aldehid) dan
mengakibatkan bau tengik. Jadi, bila minyak goreng dilakukan pemanasan
yang lebih lama maka akan dapat mengakibatkan peningkatan kadar bilangan
peroksida semakin meningkat walaupun dalam minyak goreng terdapat
antioksidan (tokoferol) ternyata belum mampu mencegah secara total
terjadinya proses oksidasi. Saat pemanasan menit ke-40 dan ke-45, hasil
penelitian menunjukkan bahwa minyak goreng mulai mengalami
dekomposisi, menghasilkan asap yang berbau karateristik menusuk pada suhu
minyak goreng yang mencapai 200°C (Oktaviani, 2009).
Terbentuknya peroksida pada minyak goreng apabila digunakan lebih
dari empat kali pemanasan yang mengalami oksidasi (reaksi dengan udara).
Pemanasan minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-dipanaskan) selama
beberapa hari yang menyebabkan destruksi makin cepat dan mengalami
dekomposisi, bila kemudian didinginkan pada malam hari akan menyebabkan
dekomposisi pada saat minyak dipanaskan kembali (Sartika, 2009).
N. Oksidasi
Oksidasi adalah kehilangan satu atau lebih elektron yang dialami oleh suatu
atom, molekul atau ion. Tidak ada elektron bebas dalam sistem kimiawi yang
biasa, dan kehilangan elektron yang dialami oleh suatu spesies kimiawi selalui
disertai oleh perolehan elektron pada bagian yang lainnya (Day dan Underwood,
1998).
53
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah
oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan
mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi biasanya dimulai
dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah
terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi
aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Rancidity terbentuk oleh
aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan peroxide value (PV) hanya
indikator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik.
Oksidasi yang lebih lanjut dapat menghasilkan keton, karena reaksi ini disertai
hidrolisa. Peristiwa ini dikenal sebagai ketonic rancidity (Ketaren, 2012).
Kerusakan minyak selama proses menggoreng akan mempengaruhi mutu
dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses
oksidasi dan polimerasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang
menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam
lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Kerusakan pada minyak karena
pemanasan dengan suhu tinggi, disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerasi.
Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon,
alkohol, lakton, serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa
getir. Kerusakan minyak karena proses oksidasi terdiri dari enam tahap, yaitu:
a. Pada permulaan terbentuk volatile decomposition product (VDP) yang
dihasilkan dari pemecahan rantai karbon asam lemak
b. Proses oksidasi disusul dengan proses hidrolisa trigleserida karena adanya air.
Hal ini terbukti dari kenaikan jumlah asam lemak bebas dalam minyak
54
c. Oksidasi asam-asam lemak berantai panjang
d. Degradasi ester oleh panas
e. Oksidasi asam lemak yang terikat pada posisi α dalam trigliserida
f. Autooksidasi keton dan aldehida menjadi asam karboksilat (Ketaren, 2012).
O. Kerangka Teori
Kerangka teori pada penelitian ini berdasarkan pada Lamboni dkk (1999),
Oktaviani (2009), Aminah (2010), Mulasari dan Utami (2012), Ketaren (2012),
dan Ayu dan Hamzah (2010). Pada beberapa jurnal yang telah ditelaah, ke enam
variabel di bawah yaitu oksigen, cahaya, suhu tinggi, frekuensi penggunaan, lama
penggunaan, dan lama pemanasan minyak goreng dapat mengoksidasi minyak
goreng sehingga ada peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng. Pada
umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga
minyak yang telah dipanaskan hanya mengandung sejumlah kecil peroksida.
Variabel oksigen dan cahaya jika dikombinasikan keduanya maka akan
mempercepat terjadinya proses oksidasi karena cahaya sebagai akselerator pada
oksidasi (Ketaren, 2012).
Menurut Ketaren (2012), suhu tinggi merupakan salah satu faktor yang
dapat mempercepat oksidasi. Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan (expose)
di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan
penurunan suhu. Kecepatan akumulasi peroksida selama proses aerasi minyak
pada suhu 100-115°C adalah dua kali lebih besar dibandingkan pada suhu 10°C.
Begitu juga dengan pengaruh cahaya terhadap oksidasi, dimana cahaya
merupakan akselerator terhadap timbulnya ketengikan. Kombinasi dari oksigen
55
dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi. Sebagai contoh, lemak yang
disimpan tanpa udara (O2), tetapi dikenai cahaya sebagai menjadi tengik. Hal ini
karena dekomposisi peroksida yang secara alamiah telah terdapat dalam lemak.
Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi konsituen tidak jenuh
dalam lemak.
Penelitian C. Lamboni, A. Kétévi, K. Awaga, dan A. Doh (1999) terkait
adanya peningkatan bilangan peroksida akibat pemanasan dengan suhu yang
ditingkatkan pada setiap frekuensi menggoreng yang menunjukkan bahwa adanya
peningkatan bilangan peroksida pada kedua jenis minyak goreng yaitu minyak
sayur dan minyak kacang tanah. Selain itu, uji eksperimen yang dilakukan oleh
Nita Dwi Oktaviani (2009) menyatakan bahwa adanya hubungan antara tingkat
lamanya pemanasan dengan peningkatan bilangan peroksida ditinjau dari
pemanasan dengan lama waktu 15 menit sampai 45 menit.
Berdasarkan penelitian Siti Aminah (2010) mengenai sifat organoleptik
tempe pada pengulangan penggorengan menggunakan minyak curah,
menunjukkan adanya peningkatan bilangan peroksida mulai dari pengulangan
penggorengan pertama sampai penggorengan kedua puluh. Semakin banyak
pengulangan penggorengan maka bilangan peroksida semakin meningkat.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Surahma Asti Mulasari dan Risa
Rahmawati Utami (2012) terhadap jenis makanan gorengan (tahu, tempe, telur,
terong, ayam, dan ikan goreng) di sepanjang Jl. Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo
menunjukkan data bahwa 14 dari 15 pedagang minyak goreng termasuk dalam
kategori tidak baik dengan frekuensi penggorengan lebih dari empat kali dengan
56
bilangan peroksida paling tinggi yaitu 11,25 meq/kg. Penelitian Dewi Fortuna
Ayu dan Farida Hanum Hamzah (2010) yaitu pada minyak goreng bekas masih
terlihat adanya peningkatan bilangan peroksida pada makanan jajanan nabati dan
hewani.
Sumber: modifikasi dari Lamboni dkk (1999), Oktaviani (2009), Aminah
(2010), Mulasari dan Utami (2012), Ketaren (2012), dan Ayu dan Hamzah
(2010).
Gambar 2.5 Kerangka Teori Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
57
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Badan Standardisasi Nasional Indonesia telah mengeluarkan peraturan
terkait syarat mutu minyak goreng dimana salah satunya menetapkan bilangan
peroksida sebagai bilangan untuk menentukan derajat kerusakan minyak goreng
dengan maksimal nilai 10 meq O2/kg. Salah satu yang dapat merusak minyak
goreng yaitu lama pemanasan. Dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti
yaitu lama pemanasan kelipatan lima dan sepuluh. Variabel tersebut merupakan
variabel independen, sedangkan variabel dependen yaitu perubahan bilangan
peroksida pada minyak goreng.
Pada variabel independen yang akan diteliti bertujuan untuk
menggambarkan lamanya pemanasan yang dihitung dalam menit pada
penggorengan kelipatan lima dan kelipatan sepuluh, serta melihat perbedaan
peningkatan bilangan peroksida pada minyak goreng antara lama penggorengan
58
kelipatan lima dengan kelipatan sepuluh. Salah satu yang memperngaruhi
perubahan bilangan peroksida adalah suhu. Pada penelitian ini, suhu tidak diteliti
karena dapat mengganggu proses pemanasan/menggoreng pada pedagang yang
dijadikan sampel.
59
B. Definisi Operasional
Tabel 3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Lama pemanasan Lamanya waktu memanaskan
minyak mulai dari menyalakan
kompor, adanya proses
menggoreng sampai kompor
dimatikan, setiap kali memanaskan
dihitung dalam menit.
Sampel minyak goreng yang
diambil berdasarkan lama
pemanasan, yaitu:
1. Kelipatan Lima
a. Sebelum minyak dipanaskan
b. Frekuensi pemanasan
pertama
c. Frekuensi pemanasan
kelima
d. Frekuensi pemanasan
kesepuluh
e. Frekuensi pemanasan
kelimabelas
2. Kelipatan Sepuluh
a. Sebelum minyak dipanaskan
b. Frekuensi pemanasan
kesepuluh
c. Frekuensi pemanasan
keduapuluh
d. Frekuensi pemanasan
ketigapuluh
e. Frekuensi pemanasan
keempatpuluh
Observasi Lembar
observasi
dan
stopwatch
Menit Rasio
2. Perubahan
Bilangan Peroksida
dalam Minyak
Goreng
Peningkatan jumlah peroksida
dalam miliekuivalen oksigen aktif
yang dikandung dalam 1000 gram
minyak goreng
Pengukuran Uji Titrasi Meq O2/kg Rasio
60
C. Hipotesis
1. Adanya hubungan lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida
pada minyak goreng
61
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan studi kuantitatif dengan desain studi
cross sectional (potong lintang) dimana data yang menyangkut variabel bebas dan
variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Peneliti memilih
desain studi cross sectional bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen pada pedagang gorengan di Kelurahan
Pasar Minggu.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2015
dengan lokasi di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Berikut batas geografi
Kelurahan Pasar Minggu:
Utara : Kelurahan Pejaten Barat
Selatan : Kelurahan Kebagusan
Barat : Kelurahan Jati Padang
Timur : Kelurahan Pejaten Timur dan Tanjung Barat
C. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah minyak yang digunakan untuk
menggoreng yang berasal dari 30 orang pedagang gorengan di Kelurahan Pasar
Minggu. Kriteria minyak goreng yang ditentukan adalah:
62
1. Minyak yang diteliti adalah minyak baru yang digunakan oleh pedagang
gorengan pada hari tersebut
2. Minyak yang digunakan untuk menggoreng jenis bahan makanan seperti ikan,
ayam, bebek, tempe, dan tahu
Sampel pada penelitian ini adalah minyak goreng yang digunakan oleh
pedagang gorengan. Dalam pengambilan sampel, terdapat dua metode yang
digunakan, yaitu pengambilan sampel minyak goreng kelipatan lima dan sepuluh
kali frekuensi pemanasan. Berikut adalah prosedur pengambilan sampel minyak
goreng kelipatan lima adalah:
a. Minyak goreng sebelum dipanaskan
b. Setelah frekuensi pemanasan pertama
c. Setelah frekuensi pemanasan ke lima
d. Setelah frekuensi pemanasan kesepuluh
e. Setelah frekuensi pemanasan kelima belas
Sedangkan untuk pengambilan sampel minyak goreng kelipatan sepuluh
adalah
a. Minyak goreng sebelum dipanaskan
b. Setelah frekuensi pemanasan kesepuluh
c. Setelah frekuensi pemanasan kedua puluh
d. Setelah frekuensi pemanasan ketiga puluh
e. Setelah frekuensi pemanasan keempat puluh
63
Adapun tahapan pengambilan sampel minyak goreng yaitu sebagai berikut:
a. Menyiapkan alat dan bahan untuk pengambilan sampel, diantaranya gelas
kaca, botol gelap berukuran mini, aluminium foil, dan sampel minyak goreng
b. Pengambilan sampel minyak setelah api dimatikan dengan menggunakan
gelas kaca
c. Sampel minyak langsung dimasukkan ke dalam botol gelap berukuran kecil
sampai penuh, fungsinya untuk mengurangi adanya udara di dalam botol
d. Botol kemudian dibalut dengan aluminium foil agar tidak terkena cahaya dan
disimpan di tempat yang aman untuk kemudian dibawa ke lab uji
Prosedur Penyimpanan dan Distribusi Sampel
a. Botol yang berisi sampel minyak goreng dimasukkan ke dalam paper bag
b. Kemudian disimpan di ruangan yang terlindungi dari paparan sinar matahari
langsung dengan suhu ruangan normal selama 10 jam
c. Setelah penyimpanan, sampel lalu didistribusikan ke lab uji yang
bertempatkan di Akademi Kimia Analis (AKA), Bogor
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer. Data primer pada
penelitian ini adalah lembar kuesioner, lembar observasi, dan lembar pengujian
bilangan peroksida (hasil laboratorium) dari Akademi Kimia Analis (AKA),
Bogor dengan biaya uji per sampel Rp 50.000.
64
E. Alat dan Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penetapan bilangan peroksida menggunakan metode
titrasi berdasarkan AOAC (Association of Analytical Communities) 965.33.
Asam-asam lemak tidak jenuh dari minyak/lemak dapat mengikat oksigen pada
ikatan-ikatan rangkapnya dan membentuk suatu peroksida. Peroksida yang
dihasilkan dari autooksidasi atau permulaan ketengikan ini sangat reaktif dan
dapat ditetapkan secara iodometri. Bilangan peroksida adalah jumlah milligram
oksigen dalam setiap 100 gram lemak/minyak. Hubungan antara bilangan iod
dengan bilangan peroksida adalah apabila bilangan iod tinggi akan menghasilkan
bilangan peroksida yang tinggi dan sebaliknya.
Prinsip:
Penentuan bilangan peroksida yang berdasarkan pada pengukuran sejumlah
Iod yang dibebaskan pada potassium Iodida melalui reaksi oksidasi oleh
peroksida dalam lemak/minyak pada suhu ruang di dalam medium
kloroform/asam asetat.
Alat-alat : Timbangan analitik, Erlenmeyer, Pipet
Bahan-bahan : Contoh minyak/lemak, Larutan asam asetat glasial,
alkohol, Kloroform, Kalium Iodida, Larutan Kanji
Cara Kerja:
1. Timbang dengan teliti 5 gram minyak dalam Erlenmeyer basah
2. Tambahkan 30 ml larutan yang dibuat dari 100 ml asam asetat glasial, 125 ml
65
alkohol, dan 275 ml kloroform
3. Setelah bercampur sempurna, tambahkan 0,5 ml KI jenuh
4. Biarkan selama 30 menit, simpan di tempat gelap sambil digoyangkan
sewaktu-waktu
5. Tambahkan 30 ml air dingin yang telah dididihkan
6. Titrasi dengan tio sulfat 0,1 N dengan menggunakan 0,5 ml larutan kanji 1%
secara perlahan sampai warna birunya hilang. Apabila menggunakan tio 0,1 N
ternyata hasilnya kurang dari 0,5 ml, ulangi dengan menggunakan tio 0,01 N
7. Lakukan penetapan blanko
Perhitungan:
Catatan:
Larutan KI jenuh dapat diganti dengan 1 gram serbuk KI, tetapi air yang
ditambahkan harus 5 ml dan tio yang digunakan 0,01 N.
F. Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan terdiri dari serangkaian tahapan yang harus
dilakukan meliputi:
1. Data Coding
Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk masing-
masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Peneliti membuat
66
kode untuk setiap jawaban dari pertanyaan pada kuesioner. Pada penelitian ini
coding dilakukan saat seluruh responden telah mengisi kuesioner.
2. Data Editing
Penyuntingan data dilakukan sebelum proses pemasukan data. Proses
editing ini dilakukan peneliti setelah data terkumpul untuk pengecekan jika
ada data yang salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali
kepada responden/informan yang bersangkutan.
3. Data Structure
Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan
dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada penelitian ini
perangkat lunak yang digunakan adalah program software statistik.
4. Data Entry
Pada proses data entry, peneliti memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam program software statistik diantaranya data mengenai
frekuensi dan lama penggunaan pada minyak goreng.
5. Data Cleaning
Proses pembersihan data ini dilakukan setelah data telah selesai
dimasukkan. Pembersihan data ini dilakukan dengan melihat distribusi
frekuensi.
67
G. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan distribusi frekuensi
dari setiap variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel
dependen. Pada penelitian ini variabel yang dilakukan analisis dengan
univariat antara lain, gambaran rata-rata lama pemanasan, gambaran rata-
ratabilangan peroksida minyak goreng, dan perbedaan perubahan bilangan
peroksida minyak goreng antara penggorengan kelipatan lima dan kelipatan
sepuluh.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel penelitian. Data dianalisis menggunakan uji korelasi. Uji korelasi
berfungsi untuk mengetahui arah hubungan dua variabel numerik (Hastono
dan Sabri, 2010). Variabel independen pada penelitian ini adalah lama
pemanasan, sedangkan variabel dependennya ada perubahan bilangan
peroksida. Analisis bivariat yang diuji pada penelitian ini adalah hubungan
antara lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida minyak
goreng pada pedagang gorengan.
68
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
1. Gambaran Rata-rata Lama Pemanasan Minyak Goreng pada Pedagang
Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
Tabel 5.1 Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Lima pada Pedagang
Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
Frekuensi
Menggoreng
Lama Pemanasan
Rata-Rata
(meq O2/kg)
SD Nilai Min-Max
Pertama 9.47 5.194 3-23
Kelima 9.93 5.049 2-23
Kesepuluh 8.13 4.853 3-22
Kelima belas 5.33 2.059 3-9
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata lama pemanasan
yang paling lama adalah pada frekuensi menggoreng kelima yaitu 9,93 menit
(SD-5.049) dengan waktu yang digunakan saat pemanasan yaitu minimal 3
menit dan maksimal 23 menit.
Tabel 5.2 Rata-rata Lama Pemanasan Kelipatan Sepuluh pada Pedagang
Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
Frekuensi
Menggoreng
Lama Pemanasan
Rata-Rata
(meq O2/kg)
SD Nilai Min-Max
Kesepuluh 11.13 7.954 3-26
Kedua puluh 13.6 15.245 3-52
Ketiga puluh 10.6 10.736 2-44
Keempat puluh 9.47 10.412 3-35
69
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata lama pemanasan
yang paling lama adalah pada frekuensi menggoreng ke-20 yaitu 13,6 menit
(SD-15.245) dengan waktu yang digunakan saat pemanasan yaitu minimal 3
menit dan maksimal 52 menit.
2. Gambaran Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
a. Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada Kelipatan
Lima
Tabel 5.3 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
Kelipatan Lima pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu
Tahun 2015
Kategori
Rata-Rata
(meq
O2/kg)
Rata-Rata
Perubahan
Bilangan Peroksida
(meq O2/kg)
SD Nilai Min-Maks
Sebelum
pemanasan 0.2756 0 0.3550 0-1.0768
Frekuensi
menggoreng
pertama
0.5727 0.2971 0.6089 0.033-1.848
Frekuensi
menggoreng
kelima
0.6138 0.0411 0.6362 0.099-2.3804
Frekuensi
menggoreng
kesepuluh
0.9198 0.306 1.3930 0.099-4.9898
Frekuensi
menggoreng
kelima belas
0.9458 0.026 1.6658 0.033-6.0091
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bilangan peroksida mengalami
perubahan tertinggi yaitu pada frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar
70
0.306 meq O2/kg (SD=1.3930) dengan nilai minimal 0.099 meq O
2/kg dan
maksimal 4.9898 meq O2/kg.
b. Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada
Penggorengan Kelipatan Sepuluh
Tabel 5.4 Rata-rata Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng
Kelipatan Sepuluh pada Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar
Minggu Tahun 2015
Kategori
Rata-Rata
(meq
O2/kg)
Rata-Rata
Perubahan
Bilangan
Peroksida (meq
O2/kg)
SD Nilai Min-Maks
Sebelum
pemanasan 1.0313 0 0.8826 0.23-3.12
Frekuensi
menggoreng
kesepuluh
2.726 1.6947 1.1479 1.30-5.15
Frekuensi
menggoreng
kedua puluh
2.5587 0.1673 1.2802 1.08-6.57
Frekuensi
menggoreng
ketiga puluh
2.0347 0.524 1.1154 1.02-5.32
Frekuensi
menggoreng
keempat puluh
2.6653 0.6306 1.8927 0.91-6.79
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bilangan peroksida mengalami
perubahan dengan selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi
menggoreng kesepuluh sebesar 1.6947 meq O2/kg (SD=1.1479) dengan
nilai minimal 1.30 meq O2/kg dan maksimal 5.15 meq O
2/kg.
71
3. Gambaran Perbedaan Perubahan Bilangan Peroksida Minyak
Goreng antara Kelipatan Lima dengan Kelipatan Sepuluh pada
Pedagang Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu
Grafik 5.5 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada
Kelipatan Lima
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, didapatkan peningkatan
pada bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga frekuensi
menggoreng kelima belas, dengan selisih nilai pada frekuensi menggoreng
pertama sebesar 0.2971 meq O2/kg, frekuensi menggoreng kelima sebesar
0.0411 meq O2/kg, frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq
O2/kg, dan frekuensi menggoreng kelima belas 0.026 meq O2/kg.
72
Grafik 5.6 Perubahan Bilangan Peroksida Minyak Goreng pada
Kelipatan Sepuluh
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, diketahui adanya perubahan
bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga frekuensi
menggoreng kesepuluh sebesar 1.6947 meq O2/kg. Kemudian mengalami
penurunan pada frekuensi menggoreng kedua puluh dan ketiga puluh
sebesar 0.1673 meq O2/kg dan 0.524 meq O2/kg. Lalu kembali mengalami
peningkatan pada frekuensi menggoreng keempat puluh sebesar 0.6306
meq O2/kg.
73
B. Analisis Bivariat
Minyak yang digunakan sebelum dipanaskan adalah kondisi normal atau
dibawah standar, sehingga perubahan bilangan peroksida yang terjadi disebabkan
adanya pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan terhadap perubahan
bilangan peroksida minyak goreng kelipatan lima dan sepuluh disajikan pada
tabel berikut ini:
Tabel 5.7 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan
Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Lima pada Pedagang Gorengan di
Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
Frekuensi
Menggoreng
Rata-Rata Lama
Pemanasan (m)
Perubahan Bilangan Peroksida
Rata-Rata
(meq O2/kg)
SD P value
Pertama 9.47 0.2971 5.194 .042
Kelima 9.93 0.0411 5.049 .405
Kesepuluh 8.13 0.306 4.853 .940
Kelima belas 5.33 0.026 2.059 .230
Berdasarkan tabel 5.7, hasil perhitungan statistik menggunakan uji korelasi
antara lama pemanasan pertama dengan bilangan peroksida, didapatkan p value
sebesar 0.042 yang menunjukkan terdapat hubungan antara lama pemanasan
dengan perubahan bilangan peroksida. Kemudian, untuk lama pemanasan
kelima, kesepuluh, dan kelima belas didapatkan p value sebesar 0.405, 0.940,
dan 0.230 yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara lama pemanasan
dengan perubahan bilangan peroksida.
74
Tabel 5.8 Hubungan antara Lama Pemanasan terhadap Perubahan
Bilangan Peroksida Minyak Goreng Kelipatan Sepuluh pada Pedagang
Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015
Frekuensi
Menggoreng
Rata-Rata Lama
Pemanasan (m)
Perubahan Bilangan Peroksida
Rata-Rata
(meq
O2/kg)
SD P value
Kesepuluh 11.13 1.6947 5.194 .026
Kedua puluh 13.6 0.1673 5.049 .012
Ketiga puluh 10.6 0.524 4.853 .009
Keempat puluh 9.47 0.6306 2.059 .033
Berdasarkan tabel 5.8, hasil perhitungan statistik menggunakan uji korelasi
antara lama pemanasan dengan bilangan peroksida frekuensi menggoreng
kesepuluh, kedua puluh, ketiga puluh, dan keempat puluh didapatkan p value
sebesar 0.026, 0,012, 0,009, dan 0,033 yang artinya terdapat hubungan yang
bermakna.
75
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian mengenai efek lama pemanasan terhadap perubahan
bilangan peroksida minyak goreng yang berpotensi karsinogenik pada
pedagang gorengan di Kelurahan Pasar Minggu, penulis menyadari beberapa
keterbatasan yang dialami, yaitu:
1. Pada penelitian ini tidak diukur udara dan suhu pemanasan minyak saat
menggoreng bahan makanan. Hal ini disebabkan karena dapat
mengganggu proses menggoreng pedagang itu sendiri.
2. Penelitian ini tidak menghitung sampai akhir penggorengan karena hanya
mengambil pada akhir penggorengan ke-40 saja, tidak sampai pedagang
selesai berjualan.
3. Adanya masa waktu yang lama antara pengambilan sampel minyak
goreng dengan uji titrasi di laboratorium yang berkisar selama kurang
lebih 10 jam yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya bias pada
sampel yang akan diuji.
76
B. Analisis Univariat
1. Lama Pemanasan
Lama pemanasan adalah waktu yang digunakan dalam melakukan
kegiatan penggorengan/minyak dipanaskan (Aminah dan Isworo, 2010).
Lama pemanasan dihitung mulai dari pemanasan minyak goreng hingga
terjadi proses menggoreng.
Pada saat proses menggoreng makanan dapat terjadi perubahan-
perubahan fisika-kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak
gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal
(168-196°C) akan menyebabkan degradasi minyak goreng dengan cepat
(antara lain titik asap menurun) (Devi, 2010). Bilangan peroksida adalah
nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau
lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan oksigen pada ikatan
rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida terbentuk akibat
pemanasan yang mengakibatkan kerusakan pada minyak atau lemak
(Ketaren, 2012).
Hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukan bahwa rata-rata lama
pemanasan paling lama yaitu pada frekuensi menggoreng kelima dengan
lama waktu 9.93 menit. Waktu yang biasanya digunakan pedagang untuk
melakukan kegiatan menggoreng yaitu minimal 2 menit dan maksimal 23
menit. Sedangkan untuk kelipatan sepuluh pada tabel 5.2 diketahui bahwa
77
rata-rata pemanasan paling lama yaitu pada frekuensi menggoreng ke-20
dengan lama waktu 13.6 menit. Lamanya waktu pemanasan pada setiap
frekuensi menggoreng berbeda-beda, karena disesuaikan dengan keadaan
di lapangan. Waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan
menggoreng minimal 2 menit dan maksimal 52 menit.
Kadar bilangan peroksida awal (kontrol) masih rendah karena proses
oksidasi terhadap lemak terutama lemak tak jenuh masih minimal (hanya
dipengaruhi oleh udara dan cahaya matahari). Setelah pemanasan menit
ke-15 reaksi oksidasi mulai berlangsung atau dapat dikatakan proses
permulaan reaksi atau inisiasi yang pembentukan radikal bebas. Setelah
pemanasan menit-menit selanjutnya hasil penelitian menunjukkan
terjadinya peningkatan rerata bilangan peroksida. Hal ini menunjukan
bahwa asam lemak tak jenuh pada minyak goreng yang mempunyai
hidrogen yang labil pada atom karbon berdekatan dengan ikatan rangkap
sehingga terbentuk radikal bebas yang terpisah dari hydrogen yang labil.
Dengan adanya radikal bebas tersebut maka proses oksidasi akan semakin
peka untuk membentuk peroksida radikal bebas yang tak stabil (Oktaviani,
2009).
Pada minyak goreng, angka peroksida menunjukkan ketengikan
minyak goreng akibat proses oksidasi serta hidrolisis. Kerusakan lemak
atau minyak akibat pemanasan pada suhu tinggi 200-2 0 C) akan
78
mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit
misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah (artero
sclerosis), menurunkan nilai cerna lemak, dan kanker (Ketaren, 2012).
Kanker dapat dipicu pada makanan yang mengalami pengolahan kurang
tepat misalnya: pemanasan dengan suhu terlampau tinggi dan lama
(menimbulkan zat trans-fatty acid), cara penggorengan yang berlebihan,
serta penggunaan minyak goreng berulangkali (menimbulkan radikal
bebas seperti: peroksida, epioksida, dan sebagainya). Makanan yang
disebutkan terakhir umumnya bisa diperoleh pada jenis goreng-gorengan
(Tapan, 2005).
2. Perubahan Bilangan Peroksida
Produk utama oksidasi lipid yaitu hidroperoksida, yang umumnya
disebut sebagai "peroksida". Peroksida adalah senyawa organik yang tidak
stabil yang terbentuk dari trigliserida. Bilangan peroksida adalah metode
untuk menentukan tingkat oksidasi minyak dan mengukur pembentukan
hidroperoksida dalam miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel.
Hidroperoksida dibentuk oleh oksidasi lemak bereaksi dengan ion iodida
untuk membentuk yodium, yang pada akhirnya diukur dengan titrasi
menggunakan tiosulfat (Contemporary Food Engineering Series. 2009).
Peroksida merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam
minyak goreng. Penyebab kenaikan bilangan peroksida adalah minyak
79
goreng yang digunakan berkali-kali oleh para pedagang, mayoritas
menggunakan minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali
penggorengan (Mulasari, 2012).
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam
Makanan, salah satu syarat mutu minyak goreng sesuai dengan standar
adalah jumlah kandungan bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg
(Badan Standardisasi Nasional, 2013).
Pada penelitian ini, terlihat dari grafik 5.5 mengenai perubahan
bilangan peroksida minyak goreng kelipatan lima, terjadinya peningkatan
bilangan peroksida mulai dari sebelum pemanasan hingga akhir
penggorengan kelima belas. Diketahui bilangan peroksida mengalami
perubahan denagn selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi
menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq O2/kg.
Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian di atas yaitu adanya
pengulangan penggorengan dapat meningkatkan bilangan peroksida.
namun, tidak terjadi pada grafik 5.6, terlihat adanya peningkatan bilangan
peroksida dari sebelum pemanasan hingga penggorengan ke-10, lalu
mengalami penurunan sampai pada penggorengan ke-30, kemudian
kembali naik pada penggorengan ke-40. Hal ini tidak sejalan dengan
80
penelitian-penelitian terdahulu karena dapat dipengaruhi oleh pengulangan
penggorengan yang berbeda. Pada penelitian Siti Aminah (2010)
menyatakan adanya peningkatan bilangan peroksida setiap penggorengan
kelipatan lima, sedangkan pada penelitian ini, yang menguji bilangan
peroksida pada penggorengan kelipatan sepuluh tidak terjadi peningkatan
secara terus-menerus.
Menurut penelitian Siti Aminah (2010), terjadinya peningkatan
bilangan peroksida pada minyak goreng curah karena semakin banyaknya
pengulangan penggorengan. Terbukti dengan adanya peningkatan
bilangan peroksida disetiap penggorengan kelipatan lima mulai dari
sebelum pemanasan, penggorengan pertama, kelima, kesepuluh, kelima
belas, dan kedua puluh (Aminah, 2010). Menurut penelitian Dewi Fortuna
Ayu dan Farida Hanum Hamzah (2010), seiring peningkatan bilangan
peroksida dapat dilihat minyak yang teroksidasi membentuk senyawa
peroksida akibat frekuensi dan lamanya penggorengan (Ayu dan Hamzah,
2010). Menurut penelitian Gunawan dkk (2003), terjadinya peningkatan
bilangan peroksida disebabkan oleh minyak yang bereaksi dengan oksigen
pada ikatan rangkap dan terjadi reaksi berantai yang terus menerus
menyediakan radikal bebas yang menghasilkan peroksida lebih lanjut.
Selain itu, dengan adanya pemanasan asam lemak tidak jenuh terurai
akibat permukaan minyak yang panas dan kontak langsung dengan udara.
81
Rantai karbon dalam ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak bebas
bertambah. Rantai karbon yang terputus berikatan dengan oksigen
sehingga peroksida minyak juga bertambah (Gunawan dkk, 2003).
Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh
panas, sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan
peroksida dalam jumlah yang kecil. Dalam jangka waktu yang cukup
lama, peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin
dalam bahan pangan berlemak misalnya vitamin A, C, D, E, K dan
sejumlah kecil vitamin B). Peroksida juga dapat mempercepat proses
timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan
pangan. Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan (lebih besar dari 100)
akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan
pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren, 2012).
Kerusakan pada minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa
tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh
otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi
dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh
faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas,
peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe,
Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, myoglobin,
klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang
82
mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan
menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh
pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida
(Winarno, 2004).
Sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang
letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap
dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk
radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif
yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil
dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih
pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim.
Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam
lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile dan
menimbulkan bau tengik pada minyak (Winarno, 2004).
Bergabungnya peroksida dalam sistem peredaran darah,
mengakibatkan kebutuhan vitamin E yang lebih besar. Berdasarkan
percobaan terhadap ayam, kekurangan vitamin E dalam lemak
mengakibatkan timbulnya gejala encephalomalacia dan jika
hidroperoksida diinjeksikan ke dalam aliran darah menimbulkan gejala
celebellar. Peroksida akan membentuk persenyawaan lipoperoksida secara
nonenzimatis dalam otot usus dan mitochondria, lipoperoksida dalam
83
aliran darah mengakibatkan denaturasi lipoprotein yang mempunyai
kerapatan rendah. Lipoprotein dalam keadaan normal mempunyai fungsi
aktif sebagai alat transportasi trigeliserida; dan jika lipoprotein mengalami
denaturasi, akan mengakibatkan deposisi lemak dalam pembuluh darah
(aorta) sehingga menimbulkan gejala atherosclerosis (Ketaren, 2012).
C. Analisis Bivariat
1. Hubungan Lama Pemanasan terhadap Perubahan Bilangan Peroksida
Minyak Goreng
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2013 menentukan
bahwa salah satu syarat mutu minyak goreng yang baik untuk digunakan yaitu
dengan nilai bilangan peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan Standardisasi
Nasional, 2013). Bilangan peroksida merupakan salah satu senyawa yang
dapat menentukan kualitas minyak goreng (Ketaren, 2012). Peroksida
merupakan kandungan senyawa yang terdapat di dalam minyak goreng.
Penyebab perubahan bilangan peroksida adalah minyak goreng yang
digunakan berkali-kali oleh para pedagang gorengan, mayoritas menggunakan
minyak tersebut dengan frekuensi lebih dari empat kali penggorengan
(Mulasari, 2012).
Pada penelitian ini terdapat dua metode pengambilan sampel dalam
satu variabel yang diteliti untuk mengetahui hubungan lama pemanasan
84
terhadap perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan lima
dan sepuluh.
Berdasarkan data pada tabel 5.7, dari hasil uji korelasi didapatkan
hubungan antara lama pemanasan terhadap perubahan bilangan peroksida
dengan p value 0.042 pada lama pemanasan pertama. Sedangkan untuk lama
pemanasan kelima, kesepuluh, dan kelima belas tidak terdapat hubungan
karena p value yang didapatkan masing-masing 0.405, 0.940, dan 0.230.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nita Dwi
Oktaviani (2009) yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara lama
pemanasan dengan peningkatan bilangan peroksida. Adanya perbedaan hasil
penelitian di atas dikarenakan perbedaan desain penelitian, karena desain
penelitian yang digunakan merupakan desain eksperimental murni dengan
melakukan pemanasan pada minyak goreng tanpa memasukkan bahan
makanan ke dalam minyak yang dipanaskan. Sedangkan hasil uji bilangan
peroksida yang didapatkan berbeda, sehingga pada penelitian ini, bergantung
pada kondisi di lapangan. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Siti Aminah (2010) yang menyatakan bahwa
semakin banyak pengulangan penggorengan maka semakin meningkat pula
bilangan peroksida.
Pada hasil uji korelasi hubungan antara lama pemanasan pada
kelipatan sepuluh terhadap perubahan bilangan peroksida, didapatkan p-value
85
0.026 pada lama pemanasan kesepuluh, 0.012 pada lama pemanasan kedua
puluh, 0.009 pada lama pemanasan ketiga puluh, dan 0.033 pada lama
pemanasan keempat puluh yang berarti ada hubungan bermakna antara kedua
variabel tersebut.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan saat pengambilan sampel,
mayoritas pedagang gorengan melakukan penambahan minyak goreng baru
setelah penggorengan ke-20. Hal tersebut dilakukan karena minyak yang telah
digunakan untuk menggoreng berkurang seiring frekuensi menggoreng yang
dilakukan dengan minyak yang sama. Hal lain yaitu karena minyak goreng
telah mengalami perubahan fisik seperti warna minyak menjadi menghitam,
berbau tengik, dan terlihat berbusa.
86
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rata-rata lama pemanasan pada kelipatan lima yaitu frekuensi
menggoreng pertama selama 9.47 menit, frekuensi menggoreng kelima
selama 9.93 menit, frekuensi menggoreng kesepuluh selama 8.13 menit,
dan frekuensi menggoreng kelima belas selama 5.33 menit.
2. Rata-rata lama pemanasan pada kelipatan sepuluh yaitu frekuensi
menggoreng ke-10 selama 11.13 menit, frekuensi menggoreng ke-20
selama 13.6 menit, frekuensi menggoreng ke-30 selama 10.6 menit, dan
frekuensi menggoreng ke-40 selama 9.47 menit.
3. Rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan
lima, didapatkan selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi
menggoreng kesepuluh dengan peningkatan sebesar 0.306 meq O2/kg,
sedangkan selisih perubahan bilangan peroksida paling rendah yaitu pada
frekuensi menggoreng kelima belas dengan nilai 0.026 meq O2/kg.
4. Rata-rata perubahan bilangan peroksida minyak goreng pada kelipatan
sepuluh, didapatkan selisih yang paling tinggi yaitu pada frekuensi
menggoreng kesepuluh dengan peningkatan sebesar 1.6947 meq O2/kg,
sedangkan selisih perubahan bilangan peroksida paling rendah yaitu pada
87
frekuensi menggoreng kedua puluh dengan selisih penurunan sebesar
0.1673 meq O2/kg.
5. Terdapat perbedaan perubahan bilangan peroksida minyak goreng antara
kelipatan lima dan sepuluh. Pada frekuensi menggoreng kelipatan lima,
didapatkan peningkatan pada bilangan peroksida mulai dari sebelum
pemanasan hingga frekuensi menggoreng kelima belas, dengan selisih
nilai pada frekuensi menggoreng pertama sebesar 0.2971 meq O2/kg,
frekuensi menggoreng kelima sebesar 0.0411 meq O2/kg, frekuensi
menggoreng kesepuluh sebesar 0.306 meq O2/kg, dan frekuensi
menggoreng kelima belas 0.026 meq O2/kg. Sedangkan pada kelipatan
sepuluh diketahui adanya perubahan bilangan peroksida mulai dari
sebelum pemanasan hingga frekuensi menggoreng kesepuluh sebesar
1.6947 meq O2/kg. Kemudian mengalami penurunan pada frekuensi
menggoreng kedua puluh dan ketiga puluh sebesar 0.1673 meq O2/kg dan
0.524 meq O2/kg. Lalu kembali mengalami peningkatan pada frekuensi
menggoreng keempat puluh sebesar 0.6306 meq O2/kg.
6. Berdasarkan hasil uji korelasi, bahwa terdapat hubungan antara lama
pemanasan pada frekuensi menggoreng pertama dengan bilangan
peroksida dengan p value sebesar 0.042. Namun, tidak terdapat hubungan
pada lama pemanasan kelima, kesepuluh, dan kelima belas karena p value
yang didapatkan ≥0,05 (0.405, 0.940, dan 0.230).
88
7. Berdasarkan hasil uji korelasi, bahwa ada hubungan yang bermakna antara
lama pemanasan kesepuluh, kedua puluh, ketiga puluh, dan keempat puluh
dengan p value sebesar 0.026, 0,012, 0,009, dan 0,033.
B. Saran
1. Saran untuk Pedagang Gorengan
a. Tidak menggoreng dengan suhu yang terlalu tinggi dalam waktu yang
lama serta menggunakan minyak kemasan untuk menggoreng melalui
pemberian leaflet pada setiap pedagang gorengan di Kelurahan Pasar
Minggu
b. Mengganti minyak goreng ketika sudah terlihat menghitam, berbusa,
dan berbau tengik
2. Saran untuk Peneliti Selanjutnya
a. Meneliti kadar peroksida yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh
b. Mengukur suhu pada setiap tingkat penggorengan yang ditentukan
terhadap peningkatan bilangan peroksida
c. Mengukur frekuensi penggorengan yang dapat melebihi standar
bilangan peroksida
d. Meneliti pengaruh jenis minyak terhadap peningkatan bilangan
peroksida
e. Meneliti pengaruh cahaya terhadap peningkatan bilangan peroksida
89
3. Saran untuk Masyarakat
a. Melihat terlebih dahulu kondisi fisik seperti warna pada minyak
goreng yang digunakan oleh pedagang apakah masih terlihat jernih
atau terjadi perubahan warna.
b. Berani menegur pedagang apabila minyak yang digunakan sudah tidak
bagus yang dapat dilihat dari kondisi fisik.
90
DAFTAR PUSTAKA
Abdellah, Abdelmonem dkk. 2012. Assessing the Sudanese Standards and Guidelines
of Edible Oils: A Case Study of Sunflower Oil. IDOSI Publication
Adi, Lukas Tersono. 2007. Terapi Herbal Berdasarkan Golongan Darah. Jakarta: PT
AgroMedia Pustaka
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat
Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Vol. 01 No. 01.
Jurnal Pangan dan Gizi
Aminah, Siti. 2010. Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak Goreng Sisa pada
Rumah Tangga di RT V RW III Kedungmundu Tembalang Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Unimus. Teknologi Pangan Universitas
Muhammadiyah Semarang
Andoko, Agus dan Widodoro. 2013. Berkebun Kelapa Sawit “Si Emas Cair”.
Jakarta: AgroMedia Pustaka
Anwar, Faisal dan Ali Khomsan. 2009. Makan Tepat Badan Sehat. Bandung: PT
Mizan Publika
Ayu, Dewi Fortuna dan Farida Hanum Hamzah. 2010. Evaluasi Sifat Fisiko-Kimia
Minyak Goreng yang Digunakan oleh Pedagang Makanan Jajanan di
Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Laboratorium Analisis Hasil
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Riau: SAGU
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Perikanan Darat. Jakarta: CV. Nario Sari
Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia-Minyak Goreng.
SNI 3741:2013 ICS 67.200.10
CancerHelps. 2014. Bebas Kanker itu Mudah. Jakarta: FMedia (Imprint AgroMedia
Pustaka)
91
Contemporary Food Engineering Series. 2009. Advances in Deep-Fat Frying of
Foods. Broken Sound Parkway NW: Taylor and Francis Group, LLC
Dadang. 2006. Jarak Pagar: Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta: Penebar
Swadaya
Day, R.A and Underwood, A.L. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif/Edisi Keenam.
Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama
Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara
Fessenden, Ralp J dan Joan S Fessenden. 1986. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga
Gabriel. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC
Graha, Chairinniza K. 2010. 100 Questions & Answers: Kolesterol. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Gunawan dkk. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak
Bebas pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng. Vol. VI, No. 3.
JSKA
Hambali, Erliza dkk. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: AgroMedia Pustaka
Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Ide, Pangkalan. 2007. Seri Diet Korektif-Diet Cabbage Soup. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Juanda, Dede dan Bambang Cahyono. 2005. Wijen, Teknik Budi Daya dan Analisis
Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius
Ketaren. 2012. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-Press
Khomsan, Ali dan Faisal Anwar. 2008. Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat
dengan Makanan Tepat. Jakarta: PT Mizan Publika.
Mashudi. 2007. Bertanam Kacang Tanah dan Manfaatnya. Jakarta: Azka Press
Mianoki, Adika. 2014. Menjaga Kesehatan di Musim Hujan. Yogyakarta: Pustaka
Muslim
92
Muchtadi, Dedi. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Penerbit Alfabeta
Mulasari, Surahma Asti dan Risa Rahmawati Utami. 2012. Kandungan Peroksida
pada Minyak Goreng di Pedagang Makanan Gorengan Sepanjang Jalan Prof.
DR. Soepomo Umbulharjo Yogyakarta Tahun 2012. Vol. 1 No. 2. Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta
Nuraniza dkk. 2013. Uji Kualitas Minyak Goreng Berdasarkan Perubahan Sudut
Polarisasi Cahaya Menggunakan Alat Semiautomatic Polarymeter. Vol. 1,
No. 2. PRISMA FISIKA
Oktaviani, Nita Dwi. 2009. Hubungan Lamanya Pemanasan dengan Kerusakan
Minyak Goreng Curah ditinjau dari Bilangan Peroksida. Jurnal Biomedika
Vol. 1 No. 1
Petrucci, Ralph H. 1985. Kimia Dasar: Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat
Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Prihandana, Rama dan Roy Hendroko. 2008. Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju
Negeri Mandiri. Jakarta: Penebar Swadaya
Pudjaatmaka, A. Hadyana. 2002. Kamus Kimia. Jakarta: Balai Pustaka
Rizki, Farah. 2013. The Miracle of Vegebtables. Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka
Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep
Frying) terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, Sains, Vol. 13,
No. 1 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
Subroto, Muhammad Ahkam. 2008. Real Food True Health. Jakarta: AgroMedia
Pustaka
Sukartin, Kuncoro dan Maloedyn Sitanggang. 2005. Gempur Penyakit dengan VCO.
Jakarta: AgroMedia Pustaka
Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: EGC
93
Syah, Andi Nur Alam. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit.
Jakarta: AgroMedia Pustaka
Tapan, Erik. 2005. Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Zahra, dkk. 2013. Pengaruh Penggunaan Minyak Goreng Berulang Terhadap
Perubahan Nilai Gizi dan Mutu Hedonik pada Ayam Goreng. Vol. 2, No. 1.
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universtitas Diponegoro Semarang
94
95
Lampiran 1
INSTRUMEN PENELITIAN
No Identitas Responden Jawaban
1. Nama
2. Umur … tahun
3. Jenis Kelamin
No Lembar Observasi Jawaban
1. Jenis Minyak Goreng 1. Kemasan
2. Curah
2. Frekuensi Penggorengan … /hari
3.
Lama Penggorengan (kelipatan 5x) … menit
a. Frekuensi penggorengan pertama
b. Frekuensi penggorengan kelima
c. Frekuensi penggorenga kesepuluh
d. Frekuensi penggorengan kelima
belas
Lama Penggorengan (kelipatan 10x) … menit
a. Frekuensi penggorengan
kesepuluh
b. Frekuensi penggorengan kedua
puluh
c. Frekuensi penggorengan ketiga
puluh
d. Frekuensi penggorengan keempat
puluh
96
LEMBAR HASIL UJI BILANGAN PEROKSIDA
Pengambilan sampel kelipatan 5x frekuensi penggorengan
No
Sampel Lama Penggorengan Waktu (m)
Bilangan
Peroksida (meq
O2/kg)
1.
a. Sebelum penggorengan -
b. Frekuensi penggorengan ke 1
c. Frekuensi penggorengan ke 5
d. Frekuensi penggorengan ke 10
e. Frekuensi penggorengan ke 15
Pengambilan sampel kelipatan 10x frekuensi penggorengan
2.
a. Sebelum penggorengan -
b. Frekuensi penggorengan ke 10
c. Frekuensi penggorengan ke 20
d. Frekuensi penggorengan ke 30
e. Frekuensi penggorengan ke 40
97
Lampiran 2
Hasil Uji Lab AKA, Bogor
98
99
100
101
Lampiran 3
Output SPSS
Uji Normalitas Kelipatan Lima
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PV_Sebelum_P
emanasan .291 15 .001 .742 15 .001
PV_Penggoren
gan_1 .294 15 .001 .790 15 .003
PV_Penggoren
gan_5 .281 15 .002 .762 15 .001
PV_Penggoren
gan_10 .332 15 .000 .601 15 .000
PV_Penggoren
gan_15 .356 15 .000 .561 15 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statisti
c df Sig. Statistic df Sig.
trans_pv_sp .226 13 .068 .910 13 .185
trans_pv_p1 .159 13 .200* .937 13 .420
trans_pv_p5 .127 13 .200* .972 13 .914
trans_pv_p10 .170 13 .200* .944 13 .509
trans_pv_p15 .170 13 .200* .945 13 .519
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
102
Uji Normalitas Kelipatan Sepuluh
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PV_Sebelum_P
emanasan .341 15 .000 .726 15 .000
PV_Penggoren
gan_10 .190 15 .152 .882 15 .051
PV_Penggoren
gan_20 .220 15 .049 .760 15 .001
PV_Penggoren
gan_30 .214 15 .064 .794 15 .003
PV_Penggoren
gan_40 .229 15 .033 .830 15 .009
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statis
tic df Sig. Statistic df Sig.
trans_pv_sp2 .234 15 .027 .901 15 .098
trans_pv_p10 .148 15 .200* .960 15 .691
trans_pv_p20 .142 15 .200* .937 15 .351
trans_pv_p30 .127 15 .200* .940 15 .384
trans_pv_p40 .190 15 .149 .899 15 .091
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
103
Uji Korelasi
Kelipatan Lima
Correlations
Lama_Pengg
orengan_F1 trans_pv_p1
Lama_Penggor
engan_F1
Pearson Correlation 1 -.531*
Sig. (2-tailed) .042
N 15 15
trans_pv_p1 Pearson Correlation -.531* 1
Sig. (2-tailed) .042
N 15 15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
Lama_Pengg
orengan_F5 trans_pv_p5
Lama_Penggor
engan_F5
Pearson Correlation 1 .232
Sig. (2-tailed) .405
N 15 15
trans_pv_p5 Pearson Correlation .232 1
Sig. (2-tailed) .405
N 15 15
Correlations
Lama_Penggor
engan_F10 trans_pv_p10
Lama_Penggore
ngan_F10
Pearson Correlation 1 .021
Sig. (2-tailed) .940
N 15 15
trans_pv_p10 Pearson Correlation .021 1
Sig. (2-tailed) .940
N 15 15
104
Correlations
Lama_Penggor
engan_F15 trans_pv_p15
Lama_Penggore
ngan_F15
Pearson Correlation 1 -.330
Sig. (2-tailed) .230
N 15 15
trans_pv_p15 Pearson Correlation -.330 1
Sig. (2-tailed) .230
N 15 15
Kelipatan Sepuluh
Correlations
Lama_Pengg
orengan_F10
trans_pv_p1
0
Lama_Penggor
engan_F10
Pearson Correlation 1 .571*
Sig. (2-tailed) .026
N 15 15
trans_pv_p10 Pearson Correlation .571* 1
Sig. (2-tailed) .026
N 15 15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
Lama_Pengg
orengan_F20
trans_pv_p2
0
Lama_Penggor
engan_F20
Pearson Correlation 1 .629*
Sig. (2-tailed) .012
N 15 15
trans_pv_p20 Pearson Correlation .629* 1
Sig. (2-tailed) .012
N 15 15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
105
Correlations
Lama_Pengg
orengan_F30
trans_pv_p3
0
Lama_Penggor
engan_F30
Pearson Correlation 1 .647**
Sig. (2-tailed) .009
N 15 15
trans_pv_p30 Pearson Correlation .647** 1
Sig. (2-tailed) .009
N 15 15
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Lama_Pengg
orengan_F40
trans_pv_p4
0
Lama_Penggor
engan_F40
Pearson Correlation 1 .552*
Sig. (2-tailed) .033
N 15 15
trans_pv_p40 Pearson Correlation .552* 1
Sig. (2-tailed) .033
N 15 15
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
106
Lampiran 4
Tempat Penjualan Pecel Lele
107
Lampiran 5
Pengambilan Sampel
108
Lampiran 6
Alat dan Bahan
109
Lampiran 7
Cara Kerja Uji Bilangan Peroksida
110
top related