all 1
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Segmen bisnis ritel merupakan salah satu segmen penting bagi PT BNI
(Persero) Tbk dalam upaya melaksanakan strategi Universal Banking. Salah satu
komponen usaha yang cukup potensial dalam rangka meningkatkan aktivitas bisnis
ritel BNI adalah dengan meningkatkan pemberian kredit atau pembiayaan kepada
perorangan.
BNI Syariah Cabang Bandung sebagai Pusat Layanan Pembiayaan Personal
(LPP) diharapkan dapat membantu PT BNI (Persero) Tbk untuk meningkatkan
aktivitas bisnis ritel tersebut, sekaligus meningkatkan fungsi kantor-kantor cabang
dalam memberikan layanan jasa perbankan syariah yang optimal, berkualitas, dan
memuaskan nasabah. Dengan keberadaan LPP, proses pemberian pembiayaan
konsumtif dapat lebih cepat, akurat, dan terkendali.
BNI Syariah dalam aktivitas pembiayaannya, melalui produk Murabahah
tercatat sebagai transaksi yang terbanyak dipilih nasabah untuk pembelian aset.
Murabahah adalah transaksi jual beli antara bank (penjual) dengan nasabah
(pembeli), di mana bank mendapat sejumlah keuntungan, bank membeli barang (aset)
yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar
harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati. BNI Syariah memiliki
beberapa produk pembiayaan Murabahah, diantaranya Murabahah Konsumtif dan
Murabahah Produktif. Murabahah Konsumtif terdiri dari BNI Oto Syariah, BNI
Griya Syariah, Multiguna Syariah, dan BNI Fleksi Syariah, sedangkan Murabahah
Produktif terdiri dari Murabahah Usaha Ritel dan Murabahah Usaha Kecil.
Berdasarkan data nasabah BNI Syariah Cabang Bandung yang berdiri pada
tahun 2001, jumlah nasabah yang mengajukan pembiayaan setiap tahunnya
1
2
mengalami peningkatan yang signifikan, dengan dominasi pembiayaan 75% adalah
Murabahah, selebihnya Musyarakah, Mudharabah, dan pembiayaan lainnya.
2004 2005 2006 2007 2008 20090
500100015002000
115 113339
1099
18362716
Grafik 1.1 Data Jumlah Nasabah yang Melakukan Realisasi Akad Pembiayaan Murabahah
Tahun 2004-2009
Tahun
Jum
lah
Nas
abah
Sumber: BNI Syariah Cabang Bandung (Data Diolah Kembali)
Grafik 1.1 menunjukkan bahwa selama 3 tahun terakhir jumlah nasabah yang
melakukan realisasi akad pembiayaan Murabahah meningkat sebesar 324% di tahun
2007 (dari 339 nasabah menjadi 1.099 nasabah di tahun 2007). Tahun 2008
meningkat sebesar 167% dibandingkan tahun sebelumnya dengan jumlah nasabah
sebanyak 1.836 nasabah sedangkan pada tahun 2009 meningkat sebesar 148%
dibandingkan tahun sebelumnya dengan jumlah nasabah sebanyak 2.716 nasabah.
Bertambahnya nasabah yang melakukan realisasi akad pembiayaan Murabahah
menimbulkan kecemasan pada BNI Syariah akan meningkatnya kredit bermasalah
atau yang lebih dikenal dengan Non Performing Financing (NPF).
Menurut Rivai dan Arifin (2010:742) pembiayaan bank menurut kualitasnya
pada hakikatnya didasarkan atas risiko kemungkinan menurut bank terhadap kondisi
dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban untuk
membayar bagi hasil, mengangsur, serta melunasi pembiayaannya kepada bank.
Unsur utama dalam menentukan kualitas tersebut oleh waktu pembayaran bagi hasil,
pembayaran angsuran maupun pelunasan pokok pembiayaan digolongkan menjadi
lancar (pass), perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard),
3
diragukan (doubtful), dan macet (loss). Adapun untuk lebih jelasnya mengenai profil
risiko pembiayaan Murabahah BNI Syariah Cabang Bandung tahun 2007-2009 dapat
dilihat dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Profil Risiko Pembiayaan Murabahah
Tahun 2007-2009
Kolektabilitas 2007 2008 2009Lancar 48.016.962.650 108.667.848.711 119.891.852.035Perhatian Khusus 5.368.893.174 13.440.543.023 18.049.230.795Kurang Lancar 615.612.769 2.347.423.076 4.492.352.124Diragukan 849.947.996 434.140.370 382.663.131Macet 6.633.899.769 3.298.973.863 0
Jumlah 61.485.316.358 128.188.929.863 142.816.098.085NPF 13,17% 4,74% 3,41%
Sumber: BNI Syariah Cabang Bandung (Data Diolah Kembali)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 tingkat NPF BNI Syariah
Cabang Bandung adalah sebesar 13,17%, pada tahun 2008 mengalami penurunan
yang signifikan menjadi 4,74% dan pada tahun 2009 tingkat NPF kembali menurun
menjadi 3,41%. Penurunan tingkat NPF selama tahun 2008 dan 2009 ini
mencerminkan kinerja BNI yang semakin baik dalam mengelola penyaluran dana
yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan Murabahah walaupun
jumlah nasabah yang melakukan realisasi akad Murabahah mengalami peningkatan.
Adanya sejumlah nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah akan
memunculkan kerugian atau risiko kredit sebagai akibat kegagalan (default) dari
nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Usaha bank syariah untuk menekan
kemungkinan kerugian yang timbul akibat penyaluran pembiayaan adalah dengan
menjaga kualitas pembiayaan. Kualitas pembiayaan pada bank syariah akan dinilai
berdasarkan prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan membayar nasabah.
Bank yang berhasil menjaga kualitas pembiayaannya akan dapat memperkecil
kemungkinan kerugian, sedangkan bagi bank yang tidak berhasil menjaga kualitas
pembiayaannya akan berpotensi memiliki lebih banyak pembiayaan bermasalah,
4
maka semakin besar pula cadangan penghapusan pembiayaan bermasalah yang
berakibat akan memperbesar biaya dan mengurangi laba.
Suatu hal yang sangat penting pada sistem pembiayaan bank syariah yang
membedakan antara sistem perbankan syariah dengan sistem perbankan konvensional
yaitu adanya unsur kepercayaan yang sangat tinggi dalam sistem pembiayaan bank
syariah, oleh sebab itu bank syariah sangat rawan terhadap mereka yang beritikad
tidak baik, sehingga kemungkinan terjadinya Non Performing Financing cukup besar.
Selain kredit atau pembiayaan, faktor lain yang perlu mendapat perhatian khusus
dalam hal menilai tingkat kesehatan bank adalah profitabilitas. Jumlah keuntungan
yang layak, diperlukan setiap bank guna menarik minat para pemilik dana untuk
mendanai perluasan usaha serta membiayai usaha peningkatan mutu jasa.
Tingginya tingkat kemungkinan pembiayaan bermasalah akan berdampak
negatif bagi pihak bank. Menurut Lukman Dendawijaya (2000:88), implikasi bagi
pihak bank sebagai akibat dari timbulnya pembiayaan bermasalah diantaranya akan
mengakibatkan hilangnya kesempatan memperoleh income (pendapatan) bagi kredit
yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi
profitabilitas bank”.
Adapun untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh tingkat pembiayaan
bermasalah terhadap tingkat profitabilitas (return on asset) BNI Syariah Cabang
Bandung dapat dilihat dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Tingkat Kolektibilitas dan Profitabilitas (Return On Asset)
2007 2008 2009Kolektibilitas 86,83% 95,26% 96,59%ROA 0,62% 1,26% 1,4%
Sumber: BNI Syariah Cabang Bandung (Data Diolah Kembali)
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase kolektabilitas maka
ROA yang didapat akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena tingginya
persentase kolektabilitas menunjukkan keberhasilan BNI dalam meminimalisasi
tingkat pembiayaan bermasalah. Semakin tinggi persentase kolektibilitas maka
5
semakin rendah tingkat NPF dan akan semakin tinggi pula persentase tingkat
profitabilitas.
Berdasarkan fenomena yang diuraikan, terutama mengenai pengaruh tingkat
Non Performing Financing pembiayaan Murabahah terhadap profitabilitas dan
didukung oleh penelitian mengenai pengaruh modal, dana pihak ketiga dan Non
Performing Financing terhadap profitabilitas yang dilakukan oleh Andri Priyo Utomo
(2008) yang melakukan penelitiannya di BMT (Baitul Maal wat-Tamwil) Amanah,
menyimpulkan bahwa pengaruh variabel NPF terhadap profitabilitas (return on asset)
BMT Amanah periode 2007 sampai 2008, didapatkan negatif dan tidak signifikan,
tingkat pembiayaan bermasalah yang dihasilkan dari pembiayaan yang disalurkan
berdampak negatif pada peningkatan keuntungan dan pertumbuhan aset BMT Amanah
pada kurun waktu 2 tahun terakhir. Terdapat perbedaan lokasi, variabel, dan waktu
penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Andri Priyo
Utomo, dengan demikian maka peneliti melakukan penelitian yang dituangkan dalam
bentuk skripsi yang berjudul: “PENGARUH TINGKAT NON PERFORMING
FINANCING PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP TINGKAT
PROFITABILITAS BANK SYARIAH” (Studi Kasus Pada PT BNI (Persero)
Tbk Kantor Cabang Syariah Bandung).
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah?
2. Bagaimana tingkat profitabilitas yang diperoleh dari pembiayaan Murabahah?
3. Bagaimana pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah
terhadap tingkat profitabilitas?
6
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data, mengolah, serta
menganalisis, selanjutnya hasil penelitian tersebut akan dituangkan dalam bentuk
skripsi sebagai syarat untuk mengikuti ujian tingkat Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Widyatama.
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian
adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah diidentifikasikan
tersebut, yaitu:
1. Mengetahui tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah.
2. Mengetahui tingkat profitabilitas yang diperoleh dari pembiayaan Murabahah.
3. Mengetahui besarnya pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan
Murabahah terhadap tingkat profitabilitas.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi:
1. Bagi kalangan perbankan
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan masukan yang berguna bagi
kalangan perbankan dalam menyalurkan pembiayaannya dan menjadi
pertimbangan untuk diaplikasikan pada perbankan khususnya BNI Syariah
Cabang Bandung.
2. Bagi pemerintah
Penelitian ini kiranya dapat memberikan masukan pula bagi pemerintah dan
pihak pengambil keputusan terkait memberi alternatif arah pengembangan
industri perbankan kita untuk masa yang akan datang.
3. Bagi penulis
Dapat menambah pengetahuan mengenai industri perbankan umumnya dan
seputar profitabilitas yang dihasilkan pada pembiayaan Murabahah BNI Syariah
Cabang Bandung.
7
4. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat
Sebagai bahan dokumentasi untuk melengkapi sarana yang dibutuhkan dalam
penyediaan bahan studi bagi pihak-pihak yang mungkin membutuhkan untuk
mengetahui pengaruh tingkat kemungkinan kegagalan pembiayaan Murabahah
terhadap profitabilitas BNI Syariah Cabang Bandung..
1.5 Kerangka Pemikiran
Kegiatan perbankan syariah di Indonesia saat ini secara hukum diatur dalam
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008. Bank didefinisikan dalam pasal 1 ayat 2 UU
No. 21 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.”
Bank dalam menjalankan usahanya berfungsi menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan
sebagai Financial Intermediary. Secara lebih spesifik, bank berfungsi sebagai agent
of trust (kegiatannya berdasarkan kepercayaan), agent of development (memperlancar
kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi) dan sebagai agent of service
(menawarkan berbagai jasa).
Pengertian bank syariah dalam pasal 1 ayat 7 UU No .21 Tahun 2008 adalah:
“Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Berdasarkan definisi tersebut prinsip utama operasional bank berdasarkan
prinsip syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist. Bank
syariah dikembangkan atas dasar tidak memperbolehkan pemisahan antara masalah-
masalah duniawi dan agama. Dasar tersebut mengharuskan kepatuhan terhadap
8
syariah sebagai dasar bagi semua aspek kehidupan. Dasar ini tidak mencakup ibadah
saja tetapi juga transaksi bisnis yang harus sesuai dengan hukum Islam. Misalnya,
salah satu aspek yang paling menonjol dari hukum Islam adalah pelarangan riba.
Larangan terhadap riba tersebut seperti tercantum dalam Al-Quran sebagai
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah (2): 278-279)
Penyaluran dana pada bank syariah seperti halnya bank konvensional dalam
bentuk pembiayaan kredit biasanya mendominasi sebagian besar pengalokasian dana
bank. Berdasarkan UU No.21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 25 yang dimaksud dengan
pembiayaan adalah:
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dane. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.”
Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah yaitu pembiayaan Murabahah
didasarkan atas kepercayaan sehingga dengan demikian pemberian dana tersebut
merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabahnya.
9
Menurut Rivai dan Arifin (2010:687) bahwa pembiayaan Murabahah adalah:
“Perjanjian jual-beli antara bank dan nasabah di mana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.”
Pembiayaan merupakan suatu proses mulai dari analisis kelayakan
pembiayaan sampai kepada realisasinya, sehingga pejabat bank syariah perlu
melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Kemungkinan kegagalan yang
terjadi dari pembiayaan adalah kemungkinan kegagalan pembiayaan dikaitkan
dengan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya.
Menurut Siamat (2005:358), Non Performing Financing adalah:
“Pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor
internal yaitu adanya kesengajaan dan faktor eksternal yaitu suatu kejadian
diluar kemampuan kendali kreditur.”
Menurut Mahmoeddin (2010:52), Non Performing Financing pada dasarnya
disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari
mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi
kegiatan usaha bank.
Pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat besar jika
tidak ditangani dengan baik, maka dari itu diperlukan penanganan yang sistematis
dan berkelanjutan. Banyak faktor yang menyebabkan kredit tersebut bermasalah
antara lain faktor internal dan faktor eksternal dari bank. Pembiayaan bermasalah
dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Apabila
penurunan pembiayaan dan profitabilitas sudah sangat parah sehingga mempengaruhi
likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana
terhadap bank akan menurun.
10
Pemberian pembiayaan dana oleh bank syariah dimaksudkan sebagai salah
satu usaha bank untuk meningkatkan perolehan laba. Berkaitan dengan profitabilitas,
menurut Muhammad (2005:271) bahwa alokasi dana bank syariah pada dasarnya
dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank seperti aktiva yang
menghasilkan (earning assets) diantaranya pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (musyarakah),
pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (murabahah), pembiayaan berdasarkan
prinsip sewa (ijarah dan ijarah wa iqtina/ijarah muntahiya biltamlik), surat-surat
berharga syariah dan investasi lainnya serta aset yang tidak memberikan penghasilan
(non performing assets) diantaranya aktiva dalam bentuk tunai, pinjaman (qard), dan
penanaman dana dalam aktiva tetap dan inventaris.
Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan
istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam
menghasilkan laba dan aset yang digunakan. Dengan demikian profitabilitas dapat
digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank.
Menurut www.e-samuel.com bahwa profitabilitas adalah:
“Kemampuan suatu bank mendapatkan profit, biasanya ditunjukkan dengan marjin, baik marjin kotor, marjin usaha, maupun marjin bersih. Profitabilitas juga bisa menunjukkan pengembalian keuntungan bank baik terhadap modal yang dimiliki bank (return on equity) maupun terhadap aset (return on assets).”
Menurut www.peminatanakuntansikeuangan002.com profitabilitas adalah:
“Merupakan perbandingan antara laba operasional dengan jumlah seluruh
aktiva perusahaan pada suatu periode.”
Penyaluran pendanaan kepada masyarakat dilakukan oleh bank untuk
menghasilkan laba. Penyaluran dana tersebut mengandung suatu risiko tidak
dikembalikannya dana yang disalurkan. Oleh karena itu, analisis kredit harus berhati-
hati dalam menyalurkan dana tersebut, agar risiko terjadinya kredit bermasalah dapat
diminimalkan.
11
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat Non
Performing Financing pembiayaan Murabahah memiliki hubungan dengan tingkat
profitabilitas bank syariah. Hubungan tersebut dituangkan dalam bagan kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Bagan Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Diteliti Tidak diteliti
Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran
maka dapat diambil suatu hipotesis yang menyatakan bahwa:
“Terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing
pembiayaan Murabahah terhadap tingkat profitabilitas yang dihasilkan oleh BNI
Syariah Cabang Bandung.”
Sistem Perbankan Indonesia
Bank Syariah Bank Konvensional
Kredit Pembayaran
CAR
Surat Berharga
Analisis Laporan Keuangan
Manajemen
Penilaian Kesehatan
Aktiva Produktif Likuiditas
Pembiayaan Murabahah Bermasalah
Penempatan Pada Bank Lain
Penyertaan Modal
Musyarakah Mudharabah
Tingkat Non Performing Financing Murabahah
(X)
Profitabilitas (Y)
Murabahah Al-Bai’ Salam
Bai’ Al-istishna
12
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode asosiatif. Menurut
Sugiyono (2009:69) pengertian metode asosiatif adalah:
“Suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variable atau lebih serta dapat membangun suatu teori yang berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala atau fenomena.”
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi
kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai landasan teoritis masalah yang
akan diteliti. Studi kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data
sekunder. Penelusuran data sekunder memerlukan cara agar penelitian data sekunder
dapat dilakukan lebih cepat dan efisien. Penelusuran data sekunder dilakukan dengan
penelusuran secara manual. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:151),
penelusuran secara manual adalah:
“Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan.”
Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan antara lain
berupa: jurnal, majalah, bulletin dan bentuk publikasi yang diterbitkan secara
periodik, buku, atau sumber data lainnya seperti laporan tahunan perusahaan.
1.6.2 Operasionalisasi variabel
Sesuai dengan judul yang dipilih yaitu “Pengaruh Tingkat Non Performing
Financing Pembiayaan Murabahah Terhadap Profitabilitas Bank Syariah” maka
terdapat 2 variabel yang akan dianalis, yaitu :
1. Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah (X), yaitu variabel
bebas yang keberadaanya tidak dipengaruhi oleh variabel lain.
Tingkat Profitabilitas Bank Syariah
(variabel dependen)
13
2. Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (Y), yaitu variabel terikat yang dipengaruhi
oleh variabel independen.
Model penelitian yang menunjukkan hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen disajikan dalam bentuk gambar 1.1 berikut ini:
Gambar 1.1 Hubungan antara Variabel Independen (Tingkat Non Performing
Financing Pembiayaan Murabahah) dengan Variabel Dependen (Tingkat
Profitabilitas Bank Syariah)
1.6.3 Rancangan Pengujian Hipotesis
Untuk mengetahui pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan
Murabahah terhadap tingkat profitabilitas bank syariah, digunakan analisis statistik
yaitu analisis korelasi, regresi linier, dan koefisien determinasi. Sedangkan untuk
menguji hipotesis digunakan uji t statistik.
1.7 Lokasi dan waktu
Penelitian ini dilakukan di PT BNI (Persero) Tbk kantor cabang Syariah
Bandung yang beralamat di Jalan Buah Batu No. 157 C Bandung. Waktu yang
digunakan untuk penelitian ini dimulai sejak bulan Agustus 2010 sampai dengan
selesai.
Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan
Murabahah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Bank Syariah
2.1.1 Pengertian Bank Syariah
Kegiatan perbankan syariah di Indonesia saat ini secara hukum diatur dalam
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008. Bank didefinisikan dalam pasal 1 ayat 2
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.”
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Kasmir (2008:2) yang mengartikan bank
adalah sebagai berikut:
“Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke
masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.”
Definisi bank umum menurut pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang perbankan adalah:
“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
Menurut pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 definisi bank
syariah adalah:
“Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
14
15
Berdasarkan pengertian bank syariah menurut pasal 1 ayat 7 Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah bank yang
pengelolaan dan pengoperasionalannya menggunakan prinsip Islam atau prinsip
syariah.
Dirumuskan pada pasal 1 ayat 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
pengertian prinsip syariah, yaitu:
“Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”
Bank syariah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking
atau juga disebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan
Islamic tidak dapat dilepaskan dari asal-usul sistem perbankan syariah itu sendiri.
Bank syariah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok
ekonom dan praktisi perbankan Muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari
berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang
dilaksanakan sejalan dengan moral dan prinsip-prinsip syariah. Misalnya, salah satu
aspek yang paling menonjol dari hukum Islam adalah pelarangan riba.
Larangan terhadap riba tersebut seperti tercantum dalam Al-Quran sebagai
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah (2): 278-279)
16
2.1.2 Prinsip Bank Syariah
Menurut pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007, ditegaskan
bahwa dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan
pelayanan jasa, bank syariah wajib memenuhi prinsip syariah atau prinsip Islam.
Prinsip syariah yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, antara lain:
1. Prinsip Keadilan (‘adl)
Menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya
pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai porsinya.
2. Prinsip Keseimbangan (tawazun)
Meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, sektor keuangan dan
sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan
kelestarian.
3. Prinsip Kemaslahatan (maslahah)
Merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi,
material dan spiritual, individual dan kolektif, serta harus memenuhi tiga
unsur, yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan
(thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan
kemudaratan.
4. Prinsip Universalisme (alamiyah)
Dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan
(stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai
dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).
b. Tidak mengandung unsur-unsur:
1. Gharar
Transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan,
kecuali diatur lain dalam syariah.
17
2. Maysir
Transaksi yang bersifat spekulatif (untung-untungan) yang tidak terkait
langsung dengan produktivitas di sektor riil.
3. Riba
Pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil), antara lain,
dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima
fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasiah).
4. Dzalim
Transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
5. Riswah
Tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang
melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan
dalam suatu transaksi.
6. Objek haram
Suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah.
Ketentuan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menegaskan
bahwa:
“Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip
syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.”
Pasal 2 undang-undang tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa perbankan
syariah dalam melakukan kegiatan usaha diwajibkan berasaskan dan
mengimplementasikan prinsip syariah.
2.1.3 Sasaran Bank Syariah
Sasaran utama pendirian bank syariah menurut Rivai dan Arifin (2010:33)
adalah untuk menyebarkan kemakmuran ekonomi dalam struktur Islam dengan
18
mempromosikan dan mengembangkan prinsip Islam dalam area bisnis. Poin
sasarannya sebagai berikut:
1. Menawarkan Jasa Keuangan
Aturan dan hukum dari bank syariah dengan tepat menerapkan prinsip syariah
untuk transaksi keuangan, dimana riba dan gharar diidentifikasi sebagai tidak
Islami. Pendorong utamanya adalah kearah keuangan yang berbagi risiko dan
fokus pada kegiatan-kegiatan yang halal. Fokusnya adalah menawarkan transaksi
perbankan yang melekat pada prinsip syariah dan menolak transaksi bank
konvensional yang berdasarkan bunga.
2. Menjaga Stabilitas Nilai Uang
Islam mengakui uang sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, dimana
harga dapat digunakan. Sistem tanpa bunga membawa ke stabilitas dalam nilai
uang sehingga bisa menjadi alat tukar yang dapat dipercaya dalam unit transaksi.
3. Pengembangan Ekonomi
Bank syariah mengembangkan ekonomi melalui fasilitas seperti Murabahah,
Mudharabah, dan lain-lain, dengan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian
yang khusus. Hal ini membangun relasi yang langsung dan dekat antara hasil atas
investasi bank dan keberhasilan operasi dari bisnis oleh pengusaha, dimana akan
berdampak pada perkembangan ekonomi negara.
4. Alokasi Sumberdaya yang Optimum
Bank syariah optimis dalam mengalokasi sumber dana melalui investasi dari
sumber keuangan ke proyek-proyek yang diyakini sangat menguntungkan,
diizinkan agama dan memberi keuntungan secara ekonomi.
5. Mendistribusikan Sumberdaya secara Seimbang
Bank syariah yakin keseimbangan pendistribusian dari pendapatan dan
sumberdaya diantara pihak-pihak yang mengambil bagian yaitu bank, nasabah,
dan pengusaha dengan pendekatan pembagian keuntungan.
19
6. Pendekatan yang Optimis
Prinsip pembagian keuntungan mendorong bank untuk memilih proyek-proyek
dengan keuntungan yang jangka panjang daripada keuntungan jangka pendek. Hal
ini memimpin bank untuk mempelajari terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam
suatu proyek yang aman baik bagi bank dan investor. Hasil yang tinggi yang
diperoleh kemudian didistribusikan ke shareholder yang memberikan keuntungan
sosial dan membawa kemakmuran secara ekonomi.
2.1.4 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional
dikemukakan oleh Triandaru dan Budisantoso (2006:156), antara lain:
a. Perbedaan falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada
landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem
bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank konvensional kebalikannya.
Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-
produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem
bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual-beli serta kemitraan yang
dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil.
b. Konsep pengelolaan dana nasabah
Dana nasabah dalam sistem bank syariah dikelola dalam bentuk titipan maupun
investasi. Cara titipan dan investasi berbeda dengan deposito pada bank
konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep
dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan, bank syariah harus dapat
memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang
tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang
membutuhkan pengendapan dana.
20
c. Kewajiban mengelola zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib
membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan
mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada
bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infak, dan sedekah).
d. Struktur organisasi
Struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas
Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan
syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan
menyimpang. DSN juga mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang
memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk
memberikan sanksi.
Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional secara singkat dapat
dilihat pada tabel 2.1, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Bank Syariah Bank KonvensionalBerinvestasi pada usaha yang halal Bebas nilaiBerdasarkan prinsip bagi hasil, margin keuntungan dan fee
Sistem bunga
Besaran bagi hasil berubah-ubah bergantung kinerja usaha
Besarannya tetap
Profit dan falah oriented Profit orientedHubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk debitur-kreditur
Pergerakan dan penyaluran dana harus sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syariah
Tidak terdapat Dewan Pengawas Syariah
Sumber: Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Triandaru & Budisantoso,2006:157)
21
2.2 Pembiayaan
2.2.1 Pengertian Pembiayaan
Dua fungsi utama bank syariah adalah menghimpun dana dan menyalurkan
dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah adalah pemberian pembiayaan
kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi.
Pengertian pembiayaan menurut Rivai dan Arifin (2010:681) adalah:
“Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan,
baik dilakukan sendiri maupun lembaga.”
Menurut Kasmir (2008:102) pembiayaan adalah:
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan
adalah pendanaan atau penyediaan uang dimana didasari oleh kesepakatan atau
persetujuan antara bank dan pihak lain untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan oleh pihak lain yang memerlukan dana dengan jangka waktu yang telah
disepakati.
2.2.2 Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva
produktif dan aktiva tidak produktif, namun dalam praktiknya pembiayaan lebih
banyak diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif.
Pengertian aktiva produktif menurut Mahmoeddin (2010:18) adalah:
“Semua penanaman dana dalam rupiah dan valuta asing yang dimaksudkan
untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya.”
22
Menurut Muhammad (2005:304) pengertian pembiayaan adalah:
“Pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah
dan dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan kepada
nasabah.”
Berdasarkan UU No.21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 25 yang dimaksud dengan
pembiayaan adalah:
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dane. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.”
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan
bank syariah adalah semua pendanaan yang dilakukan oleh bank syariah kepada
nasabahnya untuk mendukung investasi dan memperoleh penghasilan sesuai dengan
fungsinya.
2.2.3 Jenis-jenis Pembiayaan Bank Syariah
Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank syariah memiliki
banyak jenis pembiayaan. Jenis-jenis pembiayaan menurut Rivai dan Arifin
23
(2010:686) pada dasarnya dapat dikelompokkan menurut beberapa aspek, di
antaranya:
1. Pembiayaan menurut tujuan
Pembiayaan menurut tujuannya dibedakan menjadi:
a. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha.
b. Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan
investasi atau pengadaan barang konsumtif.
2. Pembiayaan menurut jangka waktu
Pembiayaan menurut jangka waktunya dibedakan menjadi:
a. Pembiayaan jangka waktu pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu
satu bulan sampai dengan satu tahun.
b. Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan
waktu satu tahun sampai dengan lima tahun.
c. Pembiayaan jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu
lebih dari lima tahun.
Jenis pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva
produktif dan aktiva tidak produktif, yaitu:
1. Jenis aktiva produktif pada bank syariah, dialokasikan dalam bentuk pembiayaan
sebagai berikut:
a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
1. Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang
telah disepakati sebelumnya.
2. Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan Musyarakah adalah perjanjian di antara para pemilik dana
atau modal untuk mencampurkan dana atau modal mereka pada suatu
24
usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana atau
modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli
1. Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dan
nasabah di mana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh
nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan
sebesar harga perolehan ditambah dengan margin atau keuntungan yang
disepakati antara bank syariah dengan nasabah.
2. Pembiayaan Salam
Pembiayaan Salam adalah perjanjian jual-beli barang dengan cara
pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih
dulu.
3. Pembiayaan Istishna
Pembiayaan Istishna adalah perjanjian jual-beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan dan penjual.
c. Pembiayaan dengan prinsip sewa
1. Pembiayaan Ijarah
Pembiayaan Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang antara
bank dengan penyewa dalam waktu tertentu, setelah masa sewa berakhir
maka barang sewaan dikembalikan kepada pihak bank. Ijarah sama
dengan prinsip jual-beli hanya saja yang menjadi objek adalah dalam
bentuk manfaat.
2. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Biltamlik/Wa Iqtina
Pembiayaan Ijarah Muntahiya Biltamlik/Wa Iqtina adalah perjanjian
sewa-menyewa suatu barang yang diakhiri dengan perpindahan
kepemilikan barang dari pihak yang memberikan sewa (bank) kepada
pihak penyewa.
25
d. Surat Berharga Islam
Surat berharga Islam adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip Islam
yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal, antara lain
wesel, obligasi Islam, sertifikat dana Islam, dan surat berharga lainnya
berdasarkan prinsip Islam.
e. Penempatan
Penempatan adalah penanaman dana bank syariah pada bank syariah lainnya
antara lain dalam bentuk giro, dan/atau tabungan wadiah, dan bentuk-bentuk
penempatan lainnya berdasarkan prinsip Islam.
f. Penyertaan Modal
Penyertaan modal adalah penanaman dana bank syariah dalam bentuk saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk
penanaman dana dalam bentuk surat utang konversi dengan opsi saham atau
jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip Islam yang berakibat bank syariah
memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan syariah.
g. Penyertaan Modal Sementara
Penyertaan modal sementara adalah penyertaan modal bank syariah dalam
perusahaan untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau piutang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bank Indonesia yang berlaku,
termasuk dalam surat utang konversi dengan opsi saham atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat bank syariah memiliki atau akan memiliki saham pada
perusahaan nasabah.
h. Transaksi Rekening Administratif
Transaksi rekening administratif adalah komitmen dan kontinjensi
berdasarkan prinsip Islam yang terdiri atas bank garansi,
akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan,
dan garansi lain berdasarkan prinsip Islam.
26
i. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
SWBI adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti
penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
2. Jenis aktiva tidak produktif
a. Pinjaman Qardh
Pinjaman Qardh atau talangan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan
antara bank syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak
peminjam melakukan pembayaran sekaligus ataupun secara berangsur.
2.3 Pembiayaan Murabahah
2.3.1 Pengertian Pembiayaan Murabahah
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( �ُح� yang (الِر�ْب
berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan), sedangkan dalam definisi para ulama
terdahulu adalah jual-beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.
Hakikatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) yang diketahui kedua belah
transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya.
Disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/46/PBI/2007 bahwa yang dimaksud dengan Murabahah adalah:
“Transaksi jual-beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah
dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.”
Menurut Rivai dan Arifin (2010:216) Pembiayaan Murabahah adalah:
“Transaksi jual-beli antara bank dengan nasabah, di mana bank mendapat sejumlah keuntungan (bank menjadi penjual dan nasabah menjadi pembeli). Bank membeli barang yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.”
27
Menurut Heri Sudarsono (2003:47) Pembiayaan Murabahah adalah:
“Jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati antara pihak bank dan nasabah.”
Sedangkan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.59,
2009:59.6), pembiayaan Murabahah adalah:
“Akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
(margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembiayaan Murabahah merupakan bentuk pembiayaan berprinsip jual-beli yang
pada dasarnya merupakan penjualan dengan keuntungan (margin) tertentu yang
ditambahkan di atas biaya perolehan, penjual memberitahukan kepada pembeli biaya
perolehan dan keuntungan yang diinginkannya.
2.3.2 Landasan Hukum Pembiayaan Murabahah
Landasan hukum Islam dari jual-beli berdasarkan Murabahah menurut
Rachmadi Usman (2009:178) dapat ditemukan dalam Al-Quran, Hadits, dan ‘Ijma,
sebagai berikut:
a. QS. Al-Baqarah (2):275
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
b. QS. An-Nisa (4):29
“Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antaramu.”
c. Hadits Riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu Majah
Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka.”
28
d. Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib
Nabi bersabda, “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara
tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jemawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”
e. ‘Ijma Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama tentang kebolehan jual-beli dengan cara Murabahah
sebagaimana dinyatakan Ibnu Rusyd dalam “Bidayah al-Mujtahid Juz 2” dan
al-Kasani dalam “Bada’I as-Sana’I Juz 5.”
2.3.3 Beberapa Ketentuan Umum
Berkenaan dengan pembiayaan Murabahah dalam kegiatan perbankan
syariah, DSN telah mengeluarkan Fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah, yang menetapkan pedoman bagi bank syariah yang memiliki fasilitas
Murabahah. Ketentuan tentang pembiayaan Murabahah yang telah dirumuskan DSN
dalam Fatwanya Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 sebagai berikut:
a. Ketentuan umum Murabahah dalam bank syariah
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
3. Bank membiayai sebagaian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya, jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya, dalam kaitan ini bank harus
memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.
29
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Pencegahan terhadap terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual-beli Murabahah harus dilakukan setelah barang, secara
prinsip, menjadi milik bank.
b. Ketentuan Murabahah kepada nasabah
1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau
aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu
aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus
menerima/membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya
karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah
pihak harus membuat kontrak jual-beli.
4. Jual-beli ini bank diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang
muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini lazim
disebut dengan bai’ ‘arbun. Menurut jumhur ulama, hal ini memang tidak
diperbolehkan. Namun, jika bersandar pada pendapat Iman Ahmad bin
Hambal, jual beli ‘urbun diperbolehkan. Jika nasabah memutuskan untuk
membeli komoditas tersebut, uang muka tersebut bisa digunakan sebagai
pengurangan atas harga yang disepakati.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank
harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank,
bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
30
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka,
maka:
- Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga; dan
- Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut;
dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
c. Jaminan dalam Murabahah
1. Jaminan dalam Murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya. Bank dapat meminta jaminan yang bernilai ekonomis dan sesuai
dengan jumlah transaksi yang dilakukan sebagai pegangan. Jaminan itu
muncul karena jual-beli yang dilakukan adalah secara tempo sehingga dirasa
perlu untuk menghadirkan jaminan.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang.
d. Utang dalam Murabahah
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi Murabahah tidak
ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak
ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut
dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan
utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia
tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh
memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu
diperhitungkan.
31
e. Penentuan pembayaran dalam Murabahah
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian
utangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau jika salah satu
pihak tidak menunaikan kewajibannya, penyelesaiannya dilakukan melalui
badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
f. Bangkrut dalam Murabahah
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank
harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali atau
berdasarkan kesepakatan.
2.3.4 Cakupan Murabahah
Terdapat dua jenis pembiayaan Murabahah berdasarkan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (No.59, 2009:59.6), yaitu:
1. Murabahah tanpa pesanan
Murabahah jenis ini, bank syariah sebagai penjual melakukan pembelian barang
setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah dengan pesanan dapat bersifat
mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya.
Bersifat mengikat berarti pembeli harus membeli barang yang dipesannya dan
tidak dapat membatalkan pesanannya.
2. Murabahah berdasarkan pesanan
Bank syariah baru akan melakukan transaksi Murabahah atau jual-beli apabila
ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang akan dilakukan
jika ada pesanan. Pengadaan barang sangat bergantung atau terikat langsung
dengan pesanan atau pembelian tersebut tidak terikat, nasabah dapat menerima
atau membatalkan barang tersebut.
32
Berdasarkan cara pembayarannya, pembiayaan Murabahah dapat dilakukan
dengan cara tunai atau dengan pembayarn tangguh. Pembiayaan Murabahah
terbanyak yang dijalankan oleh bank syariah saat ini adalah Murabahah berdasarkan
pesanan dengan sifatnya yang mengikat dan cara pembayaran tangguh.
2.3.5 Manfaat dan Risiko Pembiayaan Murabahah
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), pembiayaan Murabahah memiliki
beberapa manfaat dan juga risiko yang harus diantisipasi. Menurut Antonio
(2009:106) pembiayaan Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah.
Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari
penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, pembiayaan Murabahah juga
sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank
syariah.
Kemungkinan risiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:
1. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2. Fluktuasi harga komparatif. Terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah
bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli
tersebut.
3. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena
berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak
mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi.
Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda
dengan yang dipesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan
penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank
mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain.
4. Dijual, karena pembiayaan Murabahah bersifat jual-beli dengan utang, maka
ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas
melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk menjualnya. Jika
terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.
33
Aplikasi pembiayaan Murabahah dapat digambarkan dalam skema pada
gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Murabahah
1.Negoisasi
2.Akad jual-beli
6. Bayar 5.Terima barang & dokumen
3.Beli barang 4.Kirim
Sumber: Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Sudarsono, 2003:48)
2.4 Analisis Pembiayaan
Keamanan pembiayaan harus menjadi pertimbangan utama dalam
memberikan pembiayaan. Bank syariah dalam kebijakan penyaluran pembiayaan
harus benar-benar memperhatikan keamanan dan keselamatan pembiayaan itu,
karena penyaluran pembiayaan jauh lebih mudah daripada penarikan kembali
pembiayaan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pasal 23
disebutkan bahwa:
1. Ayat 1
Bank syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban
pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada
Nasabah Penerima Fasilitas.
2. Ayat 2
Bank syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah
Penerima Fasilitas.
Bank Nasabah
Produsen
34
1.4.1 Tujuan Analisis Pembiayaan
Analisis diperlukan dalam memberikan pembiayaan, dalam analisis
pembiayaan mempunyai dua tujuan. Menurut Muhammad (2005:305) bahwa untuk
keamanan dan keselamatan pembiayaan yang diberikan, bank syariah perlu
melakukan analisis pembiayaan. Analisis pembiayaan memiliki dua tujuan, yaitu:
1. Tujuan Utama
Pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam mendorong
dan melancarkan perdagangan, produksi, jasa-jasa, bahkan konsumsi yang
kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2. Tujuan Khusus
a. Menilai kelayakan usaha calon peminjam.
b. Menekan risiko akibat tidak terbayarnya pembiayaan.
c. Menghitung kebutuhan pembiayaan yang layak.
Analisa pembiayaan dapat dilakukan dengan berbagai metode sesuai dengan
kebijakan bank. Menurut Zulkifli (2003:144), dalam beberapa kasus sering
digunakan metode analisis 5C yang meliputi:
a. Karakter (Character)
Analisa ini merupakan analisa kualitatif yang tidak dapat dideteksi secara
numerik namun hal ini merupakan pintu gerbang utama proses persetujuan
pembiayaan. Kesalahan dalam menilai karakter calon nasabah dapat berakibat
fatal pada kemungkinan pembiayaan terhadap orang yang beritikad buruk seperti
berniat membobol bank, penipu, pemalas, pemabuk, pelaku kejahatan dan lain-
lain.
b. Kapasitas atau Kemampuan (Capacity)
Kapasitas calon nasabah sangat penting diketahui untuk memahami kemampuan
seseorang untuk berbisnis. Hal ini dapat dipahami karena watak yang baik
semata-mata tidak menjamin seseorang mampu berbisnis dengan baik, untuk
memahami kapasitas nasabah, bank harus memperhatikan:
a. Angka-angka hasil produksi.
35
b. Angka-angka penjualan dan pembelian.
c. Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini dan proyeksinya.
d. Data keuangan perusahaan beberapa tahun terakhir yang tercermin dalam
laporan keuangan.
c. Modal (Capital)
Analisa modal diarahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan
calon nasabah terhadap usahanya sendiri, jika nasabah sendiri tidak yakin akan
usahanya maka orang lain akan lebih tidak yakin. Bank harus melakukan
beberapa hal untuk mengetahui hal ini, yakni:
a. Melakukan analisa neraca sedikitnya dua tahun terakhir.
b. Melakukan analisa rasio untuk mengetahui likuiditas, solvabilitas, dan
rentabilitas dari perusahaan yang dimaksud.
d. Kondisi (Condition)
Analisa diarahkan pada kondisi sekitar yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap usaha calon nasabah, seperti kebijakan
pembatasan usaha properti, pelarangan ekspor pasir laut, tren PHK besar-besaran
usaha sejenis dan lain-lain.
Kondisi yang harus diperhatikan bank antara lain:
a. Keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon
nasabah.
b. Kondisi usaha calon nasabah, perbandingannya dengan usaha sejenis, dan
lokasi lingkungan wilayah usahanya.
c. Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah.
d. Prospek usaha di masa yang akan datang.
e. Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi prospek industri dimana
perusahaan calon nasabah terkait didalamnya.
36
e. Jaminan (Collateral)
Analisa ini diarahkan terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan dimaksudkan
harus mampu mengcover risiko bisnis calon nasabah. Analisa yang dilakukan
antara lain:
a. Meneliti kepemilikan jaminan yang diserahkan.
b. Mengukur dan memperkirakan stabilitas harga jaminan dimaksud.
c. Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang dalam waktu relatif singkat
tanpa harus mengurangi nilainya.
d. Memperhatikan pengikatannya, sehingga secara legal bank dapat dilindungi.
e. Rasio jaminan terhadap jumlah pembiayaan. Semakin tinggi rasio tersebut,
maka semakin tinggi kepercayaan bank terhadap kesungguhan calon nasabah.
f. Marketabilitas jaminan. Jenis dan lokasi jaminan sangat menentukan tingkat
marketable suatu jaminan.
2.4.2 Informasi yang Diperlukan dalam Analisis Pembiayaan
Account officer bank syariah membutuhkan berbagai macam data dan
informasi sebagai masukan penting yang disimpan dalam arsip dokumen pembiayaan
yang berguna untuk menyalurkan dan mengevaluasi perkembangan kualitas
pembiayaan yang diberikan kepada debitur.
Menurut Antonio (2009:107), bahwa bank syariah menetapkan syarat-syarat
umum untuk sebuah pembiayaan, seperti hal-hal berikut:
1. Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat antara lain
gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana
penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
2. Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum
perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
3. Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan laba rugi, data persediaan terakhir,
data penjualan dan fotocopy rekening bank.
37
2.5 Kualitas Pembiayaan
Menurut Rivai dan Arifin (2010:742) pembiayaan bank menurut kualitasnya
pada hakikatnya didasarkan atas risiko kemungkinan menurut bank terhadap kondisi
dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban untuk
membayar bagi hasil, mengangsur, serta melunasi pembiayaannya kepada bank.
Unsur utama dalam menentukan kualitas tersebut oleh waktu pembayaran bagi hasil,
pembayaran angsuran maupun pelunasan pokok pembiayaan dan diperinci sebagai
berikut:
1. Lancar (Pass)
Pembiayaan yang digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria berikut ini:
a. Pembayaran angsuran pokok dan/atau margin tepat waktu.
b. Memiliki mutasi rekening yang aktif.
c. Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan agunan tunai.
2. Perhatian Khusus (Special Mention)
Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan dalam perhatian khusus apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang belum melampaui
90 hari.
b. Kadang-kadang terjadi cerukan.
c. Mutasi rekening relatif aktif.
d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan.
e. Didukung oleh pinjaman baru.
3. Kurang Lancar (Substandard)
Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan kurang lancar apabila
memenuhi kriteria berikut ini:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui
90 hari.
b. Sering terjadi cerukan.
c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah.
38
d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari.
e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur.
f. Dokumentasi pinjaman yang lemah.
4. Diragukan (Doubtful)
Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan diragukan apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui
180 hari.
b. Terjadi cerukan yang bersifat permanen.
c. Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari.
d. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan maupun
pengikatan jaminan.
5. Macet (Loss)
Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan macet apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui
270 hari.
b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.
c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada
nilai wajar.
2.5.1 Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
2.5.1.1 Pengertian Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Suatu kenyataan bahwa pembiayaan bermasalah merupakan bagian dari
financing portofolio dari sebuah bank syariah, namum pemberian pembiayaan yang
sukses adalah bank yang mampu mengelola pembiayaan bermasalah pada suatu
tingkat wajar yang tidak menimbulkan kerugian bagi bank yang bersangkutan.
39
Menurut Siamat (www.rasiam.multiply.com), Non Performing Financing
adalah:
“Pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor
internal yaitu adanya kesengajaan dan faktor eksternal yaitu suatu kejadian
diluar kemampuan kendali kreditur.”
Menurut Prasetiyanto (www.indomedia.com), Non Performing Financing
adalah:
“Kredit-kredit yang telah mulai tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada
bank sesuai kesepakatan yang telah disetujui semula dengan kategori
kolektibilitas diragukan atau macet.”
Menurut Alihozi (www.alihozi77.blogspot.com), Non Performing Financing
adalah:
“Suatu kondisi pembiayaan, dimana ada suatu penyimpangan utama dalam pembayaran kembali pembiayaan yang menyebabkan kelambatan dalam pengembalian atau diperlukan tindakan yuridis dalam pengembalian atau kemungkinan potensial loss.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Non
Performing Financing adalah pembiayaan atau kredit yang mengalami kesulitan
dalam memenuhi kewajibannya kepada bank yang disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal bank syariah.
2.5.1.2 Penyebab Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensial
bagi bank jika tidak ditangani dengan baik, karena itu diperlukan penanganan yang
sistematis dan berkelanjutan. Pembiayaan bermasalah menimbulkan biaya yang
menjadi beban dan kerugian bagi bank. Peranan sektor perbankan adalah
menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat, yaitu antara kepentingan
masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan masyarakat yang
40
membutuhkan dana (deficit spending units). Bank syariah adalah selaku lembaga
yang bermodalkan kepercayaan semata dari masyarakat dalam menjalankan
fungsinya sebagai penerima amanah masyarakat. Bank syariah sebagai lembaga
perkreditan dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat,
harus melakukan analisis melalui prinsip 5C, guna meminimalkan risiko
bermasalahnya atau tidak kembalinya pembiayaan. Banyak faktor yang menyebabkan
pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Menurut Mahmoeddin (2010:51) faktor-
faktor penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah, yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal perbankan yang menyebabkan pembiayaan bermasalah ialah adanya
kelemahan atau kesalahan dalam bank itu sendiri, yang terdiri dari:
a. Kebijakan pemberian pembiayaan yang terlalu ekspansif
Peningkatan penghimpunan dana dari pihak ketiga yang cukup pesat
menyebabkan beberapa bank melakukan pertumbuhan pembiayaan yang melebihi
tingkat wajar. Hal ini disebabkan untuk menghindari terjadinya pengumpulan
dana, seharusnya bank tetap melakukan kebijakan pemberian pembiayaan dengan
prosedur berhati-hati untuk menghindari terjadinya risiko non performing
financing.
b. Penyimpangan pemberian pembiayaan
Bank pada umumnya telah memiliki pedoman dan tata cara pemberian
pembiayaan, namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak dilakukan dengan
patuh dan taat asas. Penyimpangan pemberian pembiayaan terhadap prosedur atau
kebijakan yang ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun
kualitas pejabat-pejabat pemberi pembiayaan selain disebabkan oleh adanya
dominasi pemutusan pembiayaan oleh pejabat tertentu pada bank yang
bersangkutan.
c. Itikad kurang baik pemilik atau pengurus dan pegawai bank
Seringkali terjadi pemilik atau pengurus dan pegawai bank memberikan
pembiayaan kepada debitur yang sebenarnya tidak bankable. Kegiatan usaha yang
41
tidak bankable tersebut antara lain kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya
selain tidak jelas debiturnya (debitur fiktif) yaitu penggunaan dana yang
sebenarnya berbeda dengan yang tercantum pada bukti-bukti yang ada.
d. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan
Sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan yang lemah menyebabkan
pemantauan terhadap performance pembiayaan tidak dapat dilakukan
sebagaimana mestinya, dengan demikian permasalahan yang dapat menimbulkan
pembiayaan bermasalah tidak dapat terdeteksi secara dini dan hal ini dapat
menimbulkan kerugian.
e. Lemahnya sistem informasi pembiayaan
Bank cenderung melaporkan gambaran pembiayaan yang lebih baik dari keadaan
yang sebenarnya kepada Bank Indonesia dengan tujuan mendapatkan penilaian
kesehatan yang lebih baik. Bank perlu mengadministrasikan dan memiliki
informasi pembiayaan bermasalah yang sama dengan yang dilaporkan kepada
Bank Indonesia, apabila hal ini tidak dilakukan maka bank tidak memiliki
gambaran yang akurat mengenai keadaan pembiayaan bermasalah yang
sebenarnya sehingga tidak dapat mengambil langkah-langkah pencegahan lebih
dini.
2. Faktor Eksternal
Non Performing Financing dapat pula disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu:
a. Kegagalan usaha debitur
Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdapat
dalam lingkungan usaha debitur. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kegagalan
produksi, distribusi, pemasaran maupun regulasi terhadap suatu industri.
b. Menurunnya kegiatan ekonomi
Menurunnya kegiatan ekonomi terutama pada sektor-sektor usaha tertentu akibat
adanya kebijakan pemerintah telah menjadi salah satu penyebab kesulitan debitur
untuk memenuhi kewajibannya kepada bank.
42
c. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
Persaingan perbankan yang ketat sering dimanfaatkan oleh beberapa calon debitur
dengan cara tertentu yang mendorong bank menawarkan persyaratan pembiayaan
yang lebih ringan dan jumlah pembiayaan yang lebih besar. Pada akhirnya
pemberian yang berlebihan dapat mendorong debitur yang bersangkutan
menggunakan kelebihan dana tersebut untuk tujuan spekulatif.
d. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya
Beberapa pembiayaan bermasalah yang terjadi karena musibah yang dialami
debitur seperti sarana usaha mengalami kebakaran, sementara debitur atau bank
tidak melakukan pengamanan penutupan asuransi.
2.5.1.3 Dampak Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak
yang kurang menguntungkan baik bagi pemberi pembiayaan, dunia perbankan
maupun terhadap kegiatan ekonomi dan moneter negara. Menurut
Mahmoeddin (2010:111), bahwa dampak yang akan diakibatkan oleh pembiayaan
bermasalah, yaitu:
1. Dampak terhadap kelancaran operasi bank pemberi pembiayaan
Bank yang dirongrong masalah pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan
mengalami kesulitan operasional. Pembiayaan dengan kualitas buruk memerlukan
cadangan penghapusan yang semakin besar sehingga menyebabkan biaya yang
harus ditanggung untuk mengadakan cadangan tersebut semakin besar, hal ini
jelas mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Profitabilitas yang semakin
menurun akan mengurangi modal sendiri kemudian CAR akan menurun, sehingga
bank memerlukan modal dana segar, apabila bank syariah tidak dapat menambah
modal sendiri maka nilai kesehatan operasi akan menurun. Hal ini akan
mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut.
43
2. Dampak terhadap dunia perbankan
Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi
bank tersebut. Penurunan pembiayaan dan profitabilitas yang sudah sangat parah
akan mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka
kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun.
3. Dampak terhadap ekonomi dan moneter negara
Sistem perbankan yang terganggu karena pembiayaan bermasalah akan
menghilangkan kesempatan bank untuk membiayai kegiatan operasinya dan
perluasan debitur lain karena terhentinya perputaran dana yang akan dipinjamkan.
Hal ini akan memperkecil kesempatan pengusaha lain untuk memanfaatkan
peluang bisnis dan investasi yang ada.
2.5.1.4 Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Risiko yang terjadi dari pembiayaan adalah pembiayaan yang bermasalah atau
ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan,
untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu menganalisis
metode penyelesaiannya. Sebuah pembiayaan menurut Kasmir (2008:285), bahwa
penyelesaian pembiayaan bermasalah adalah upaya bank untuk menjaga kualitas
pembiayaan dan menghindari risiko kerugian yang mungkin akan diderita bank
dengan sasaran utama dari pendekatan sisi aktiva dan pasiva bank, yaitu:
1. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas aktiva produktif.
2. Menekan penghapusan penyisiha aktiva produktif yang dibentuk.
3. Meningkatkan penerimaan bunga pinjaman dan operasional perkreditan bank.
4. Upaya memperoleh dana murah dari hasil penagihan pembiayaan bermasalah
yang telah dihapus buku (write off) sehingga dapat memberi sumbangan bagi
peningkatan likuiditas maupun ekuitas bank.
5. Memudahkan penyusunan business plan bank tersebut dalam memprediksi target-
target perusahaan yang bermuara pada tingkat kesehatan suatu bank.
6. Memperbaiki reputasi dan citra bank tersebut.
44
Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat dilakukan dengan
beberapa cara sebagai berikut:
1. Rescheduling, yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa jadwal atau jangka
waktu pembiayaan baik pokok, tunggakan margin maupun masa tenggang,
sehingga debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank.
2. Reconditioning, yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa perubahan sebagian
atau seluruh syarat-syarat pembiayaan yang tidak terbatas pada perubahan jadwal
pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak
menyangkut perubahan maksimal saldo pembiayaan, sehingga debitur akan
mampu memenuhi kewajibannya pada bank.
3. Restructuring, yaitu debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank
denngan perubahan syarat-syarat yang menyangkut:
a. Penurunan margin pembiayaan.
b. Penurunan tunggakan pokok pembiayaan.
c. Perpanjangan jangka waktu pembiayaan.
d. Penambahan fasilitas pembiayaan.
e. Pengambilan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan
debitur.
2.5.2 Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah
Setiap pembiayaan memiliki risiko yang dihadapi oleh pihak bank maupun
nasabah. Antonio (2009:132) berpendapat bahwa terdapat risiko dalam pembiayaan
Murabahah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan yang relatif tinggi, yaitu
sebagai berikut:
1. Slide Streaming, yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang
disebut dalam kontrak.
2. Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
45
Kualitas aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan dapat diukur dengan
mengetahui besarnya credit risk yaitu perbandingan besarnya pembiayaan
bermasalah terhadap total pembiayaan yang disalurkan jadi besarnya tingkat
risiko pembiayaan Murabahah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pembiayaan Murabahah Bermasalah Risiko Pembiayaan Murabahah = X 100%
Total Pembiayaan Murabahah
2.6 Profitabilitas Bank Syariah
Sebagaimana bank umum lainnya (bank konvensional), tugas utama bank
syariah adalah mengoptimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin
tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi risiko yang dihadapi bank konvensional
juga dihadapi oleh bank syariah, kecuali risiko tingkat bunga.
Pengertian profitabilitas menurut Mahmoeddin (2010:114), adalah:
“Kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan.”
Kamus Besar Ekonomi (2007:360) mendefinisikan profitabilitas yaitu:
“Kemungkinan yang diprediksi dapat mendatangkan keuntungan”
Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan
istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam
menghasilkan laba dan aset yang digunakan, dengan demikian profitabilitas dapat
digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank.
Menurut www.e-samuel.com bahwa profitabilitas adalah:
“Kemampuan suatu bank mendapatkan profit, biasanya ditunjukkan dengan marjin, baik marjin kotor, marjin usaha, maupun marjin bersih. Profitabilitas juga bisa menunjukkan pengembalian keuntungan bank baik terhadap modal yang dimiliki bank (return on equity) maupun terhadap aset (return on assets).”
46
Menurut www.peminatanakuntansikeuangan002.com profitabilitas adalah:
“Merupakan perbandingan antara laba operasional dengan jumlah seluruh
aktiva perusahaan pada suatu periode.”
Menurut Triyuwono dan As’udi (2001:87), tujuan keuntungan dalam
akuntansi syariah adalah untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu kewajiban
menunaikan zakat, oleh karena itu, keuntungan dalam akuntansi syariah diperlukan
untuk menilai jalannya operasional usaha, apakah sudah dilakukan secara efisien atau
belum. Hal ini sangat penting untuk melakukan pertanggungjawaban, baik
pertanggungjawaban kepada pemilik (pemegang saham) maupun
pertanggungjawaban kepada Allah SWT yang dimanifestasikan dalam bentuk
penentuan pembayaran zakat.
Segala aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran dana bank tercermin
dalam laporan keuangan dimana proses pencatatan sampai tersusunnya laporan
keuangan harus dilakukan dengan benar, sehingga informasi yang dihasilkan dapat
digunakan oleh pihak umum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem akuntansinya harus
menjaga output yang dihasilkan tetap dalam kebenaran, keadilan dan kejujuran
sebagaimana halnya hakikat dalam ajaran agama Islam.
Laporan keuangan yang diterbitkan bank syariah secara lengkap diisyaratkan
dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.59, 2009:59.18) yang terdiri
dari:
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Arus Kas
4. Laporan Perubahan Ekuitas
5. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat
6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infak, dan Shadaqah
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan, dan
8. Catatan atas Laporan Keuangan
47
Mengoptimalkan keuntungan dalam akuntansi syariah tidak berarti bahwa
bank hanya melakukan usaha peningkatan keuntungan, lebih dari itu bank juga harus
memperhitungkan tingkat investasi modal untuk menjaga agar pendapatan terutama
keuntungan terus dapat ditingkatkan. Bank syariah harus mempersiapkan strategi
penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan
kebijakan yang telah digariskan agar mencapai tingkat keuntungan yang cukup dan
tingkat risiko yang rendah.
Tingkat keuntungan yang dihasilkan bank dikenal dengan istilah profitabilitas,
yang merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank untuk menghasilkan
keuntungan dari aset yang digunakan.
Mahmoeddin (2010:20) menjelaskan bahwa:
“Analisa profitabilitas akan dicari hubungan timbal balik antara pos-pos yang ada dalam income statement itu sendiri maupun hubungan timbal balik dengan pos-pos yang ada dalam neraca bank untuk mendapatkan berbagai indikasi yang berguna dalam mengukur efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan.”
Kasmir (2008:234) menyatakan bahwa:
“Rentabilitas rasio sering disebut profitabilitas usaha. Rasio rentabilitas
digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang
dicapai oleh bank yang bersangkutan.”
Menurut Zainul Arifin (2003:64) bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai
untuk mengukur kinerja bank, yaitu:
1. Return On Assets (ROA), adalah perbandingan antara pendapatan bersih (net
income) dengan rata-rata aktiva (average assets) atau perbandingan dari laba
sebelum pajak dan zakat terhadap total asset yang dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Laba Sebelum Pajak dan ZakatROA = X 100%
Total Asset
48
2. Return On Eqity (ROE), didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan
bersih (net income) dengan rata-rata modal (average equity) atau investasi para
pemilik bank. Dilihat dari pandangan para pemilik, ROE adalah ukuran yang
lebih penting karena merefleksikan kepentingan kepemilikan mereka. Secara
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Laba Sebelum Pajak dan ZakatROE = X 100%
Total Equity
Mahmoeddin (2010:20), mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi profitabilitas bank adalah:
1. Kualitas kredit atau pembiayaan yang diberikan dan pengembaliannya
2. Jumlah modal
3. Mobilisasi dana masyarakat dalam memperoleh sumber dana yang murah
4. Manajemen pengalokasian dana dalam aktiva likuid
5. Efisiensi dalam menekan biaya operasi
2.7 Pengaruh Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah
terhadap Tingkat Profitabilitas
Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan
sampai kepada realisasinya, sehingga pejabat bank syariah perlu melakukan
pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Menurut peraturan Bank Indonesia
No.8/21/PBI/2006 tentang ketentuan umum bank syariah yang menyebutkan bahwa
pembiayaan adalah:
“Penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.”
49
Salah satu pembiayaan yang disediakan oleh bank syariah adalah pembiayaan
Murabahah. Disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/46/PBI/2007 bahwa yang dimaksud dengan pembiayaan Murabahah
adalah:
“Transaksi jual-beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah
dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.”
Diberikannya pembiayaan Murabahah oleh pihak bank syariah kepada
nasabah yang membutuhkan, secara tidak langsung pembiayaan tersebut memiliki
risiko yang akan dihadapi oleh pihak bank syariah maupun nasabah. Kemungkinan
kegagalan yang terjadi dari pembiayaan Murabahah adalah kemungkinan kegagalan
pembiayaan dikaitkan dengan kemampuan debitur untuk membayar kembali
pinjamannya, untuk mengantisipasi hal tersebut, maka bank syariah harus mampu
menganalisis penyebab permasalahannya.
Beberapa pihak menyalahkan kondisi perekonomian sebagai penyebab
terjadinya pembiayaan Murabahah bermasalah, namun jika ditelaah melalui
perspektif praktis sehari-hari terjadinya pembiayaan Murabahah bermasalah yang
dapat mempengaruhi profitabilitas terdiri dari beberapa penyebab. Pertama, faktor
internal bank yaitu lemahnya verifikasi atas laporan keuangan debitur dan monitoring
yang lemah setelah pembiayaan Murabahah diberikan. Lemahnya verifikasi ini bisa
terjadi karena kapabilitas pejabat bank yang rendah ataupun karena adanya tekanan
dari pihak lain, sehingga pihak bank tidak terlalu objektif dalam membiayai usaha
debitur. Sementara yang dimaksud dengan lemahnya monitoring merupakan
pemantauan usaha debitur, apakah berjalan dengan baik atau terjadi penyimpangan.
Pada fase ini, jika bank syariah menemukan kejanggalan lalu memberikan toleransi
kepada pihak debitur maka pihak bank syariah tidak disiplin dalam menjalankan
schedule montoring itu sendiri. Kedua, faktor eksternal yaitu yang dipicu oleh kondisi
debitur maupun perekonomian. Faktor-faktor eksternal antara lain penyalahgunaan
50
pembiayaan Murabahah, kegagalan usaha debitur, musibah yang terjadi pada debitur,
dan lain-lain.
Profitabilitas menggambarkan kemampuan bank syariah mendapatkan laba
melalui semua kemampuan dan sumber yang ada. Pendekatan Return on Assets
(ROA) dirasakan tepat untuk digunakan dalam pengukuran tingkat profitabilitas bank
syariah yang nantinya akan dihubungkan dengan perhitungan tingkat Non Performing
Financing pembiayaan Murabahah, karena dengan menggunakan Return on Assets
(ROA) memperhitungkan bagaimana kemampuan manajemen bank syariah dalam
memperoleh laba secara keseluruhan. Tingkat profitabilitas dengan pendekatan
Return on Assets (ROA) bertujuan untuk mengukur kemampuan manajemen bank
dalam mengelola aktiva yang dikuasainya untuk menghasilkan income.
Menurut Dendawijaya (2000:120) menjelaskan bahwa:
“Rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan, semakin besar ROA suatu bank semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aktiva.”
Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, bahwa apabila Return on Assets
(ROA) hanya mempunyai nilai 0% akan memperoleh nilai positif. Secara umum
dikatakan bahwa semakin besar Return on Assets (ROA) semakin baik, itu berarti
semakin efisien penggunaan seluruh aktiva di dalam menghasilkan profit.
Tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah dijadikan
sebuah indikator kualitas aktiva bank syariah, dapat diartikan sebagai perbandingan
antara pembiayaan Murabahah bermasalah dengan total pembiayaan Murabahah
yang diberikan oleh bank syariah. Semakin tinggi tingkat Non Performing Financing
pembiayaan Murabahah menunjukkan jumlah pembiayaan Murabahah yang
bermasalah pada bank tersebut ada pada jumlah yang relatif besar terhadap seluruh
pembiayaan Murabahah yang disalurkan. Dampak dari pembiayaan Murabahah
bermasalah yang terjadi adalah pendapatan margin semakin rendah, dengan demikian
51
keuntungan yang diperoleh bank syariah menjadi kecil. Bank syariah yang
mempunyai tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah yang tinggi
akan semakin berat menanggung beban, sehingga bukan tidak mungkin pihak bank
syariah akan mengalami kerugian atas pembiayaan Murabahah yang diberikan
kepada nasabahnya.
52
BAB III
OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah besarnya tingkat
Non Performing Financing pembiayaan Murabahah serta tingkat profitabilitas. Hal
ini ditetapkan sesuai dengan pendapat Arikunto (2006:100) yang mendefinisikan
variabel sebagai objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian. Variabel-variabel tersebut bersifat kuantitatif, artinya besarnya tingkat
Non Performing Financing pembiayaan Murabahah serta tingkat profitabilitas diukur
dengan besaran rasio dalam suatu rentang waktu tertentu.
Unit analisis menurut Arikunto (2006:121) merupakan satuan tertentu yang
diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah PT
BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung.
3.1.1 Sejarah Singkat PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Sistem syariah yang terbukti dapat bertahan dalam terpaan krisis moneter
1997, meyakinkan masyarakat bahwa sistem tersebut kokoh dan mampu menjawab
kebutuhan perbankan yang transparan. Berdasarkan hal itu dan mengacu pada
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, mulailah PT Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk. merintis Divisi Usaha Syariah.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah dibentuk
secara mandiri melalui Tim Proyek Internal tanpa bantuan konsultan. Pola yang
digunakan perusahaan untuk masuk dalam pasar perbankan syariah adalah Dual
Sistem Bank yakni menyediakan layanan perbankan umum dan syariah sekaligus. Hal
ini sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang memungkinkan bank-
bank umum untuk membuka layanan syariah. Setelah dikeluarkannya Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 yang memperbolehkan Bank Konvensional untuk
53
membuka layanan syariah, kemudian pada tahun 1999 terbentuklah Tim Proyek
Cabang Syariah. Pada tanggal 29 April 2000, dilakukan pembentukan lima cabang
pertama yaitu di Pekalongan, Jepara, Yogyakarta, Malang dan Banjarmasin. Kemudian
pada tahun 2001 pembukaan cabang selanjutnya di lakukan di Padang, Jakarta Timur,
Jakarta Selatan, Bandung dan Makasar serta pembukaan cabang di Medan dan
Palembang pada tahun 2002.
Pada tahun 2003 dilakukan penyusunan Corporate Plan BNI Syariah dan
relokasi cabang Jepara ke Semarang. Pada tahun 2003 , dibentuk Cabang Syariah
Banking and Financial Service (peta navigasi) dan pembukaan cabang syariah Prima
Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 2005, dilakukan pengembangan cabang secara
agresif, penataan organisasi dan adanya otonomi khusus. Keseluruhan kantor cabang
syariah sampai tahun 2010 berjumlah 58 buah di seluruh Indonesia. Selanjutnya
berlandaskan peraturan Bank Indonesia No 8/3/ PBI/2006 tentang pemberian ijin bagi
kantor cabang Bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah untuk melayani
pembukaan rekening produk dana syariah, BNI Syariah merespon ketentuan ini
dengan cara bersinergi dengan cabang konvensional guna melakukan office
channelling. Hingga saat ini outlet layanan syariah pada kantor cabang konvensional
berjumlah 636 outlet.
Beberapa hal yang menjadi alasan pembukaan cabang syariah, antara lain:
1. Menyediakan layanan perbankan yang lengkap untuk mewujudkan BNI sebagai
Universal Banking.
2. Berdasarkan data Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebanyak 30% masyarakat
Indonesia menolak sistem bunga.
3. Landasan operasional perbankan syariah sudah kuat.
4. Terbatasnya saingan.
5. Berdasarkan hasil survei, masyarakat memberikan respon baik dan kepercayaan
yang besar terhadap kehadiran bank syariah.
54
3.1.2 Sejarah Singkat PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Bandung
Berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Bandung berdasarkan ketentuan dan aturan yang berkaitan dengan perbankan syariah
adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/23/Kep/Dir Tanggal 12 Mei 1999
tentang bank umum berdasarkan prinsip syariah, perubahan kegiatan usaha dan
pembukaan kantor cabang syariah.
3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 Tanggal 27 Februari 2000 tentang
giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
4. Peraturan Bank Indonesia No. 2/14/PBI/2000 Tanggal 9 Juni 2000 tentang
perubahan atas peraturan Bank Indonesia No. 1/3/PBI/1999 tentang
penyelenggaraan kliring lokal dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar
kliring lokal.
5. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 Tanggal 23 Juni 2000 tentang pasar
uang atas bank berdasarkan prinsip syariah.
6. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 Tanggal 23 Juni 2000 tentang
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
7. Buku petunjuk pendirian bank syariah.
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Syariah Bandung
merupakan cabang yang kesembilan yang didirikan pada tanggal 15 Agustus 2001.
PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah Bandung adalah
satu dari usaha BNI yang hadir untuk melayani masyarakat dengan landasan sistem
perbankan syariah dalam rangka mewujudkan BNI sebagai Bank Universal.
55
3.1.3 Visi, Misi, dan Tujuan PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Bandung
Visi
Menjadi bank syariah yang unggul dalam layanan dan kinerja sesuai dengan kaedah
sehingga insyaAllah membawa berkah.
Misi
Secara istiqomah melaksanakan amanah untuk memaksimalkan kinerja dan layanan
perbankan dan jasa keuangan syariah sehingga dapat menjadi bank syariah
kebanggaan anak negeri.
Tujuan
Dalam rangka menjadi Universal Banking perlu mengakomodir kebutuhan
masyarakat yang ingin menyalurkan keuangannya melalui perbankan syariah serta
sebagai alternatif dalam menghadapi krisis yang mungkin timbul dikemudian hari,
mengingat kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak terkena negatif spread
seperti yang dialami oleh bank-bank konvensional.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian asosiatif. Data
penelitian yang diperoleh tersebut diolah, dianalisis secara kuantitatif, serta diproses
lebih lanjut dengan alat bantu berupa dasar-dasar teori yang dipelajari sebelumnya
sehingga dapat memperjelas gambaran mengenai objek yang diteliti dan kemudian
dari hasil tersebut ditarik kesimpulan. Menurut Sugiyono (2009:69) pengertian
metode asosiatif adalah:
“Suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variable atau lebih serta dapat membangun suatu teori yang berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala atau fenomena.”
56
3.2.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.2.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data dokumenter.
Pengertian data dokumenter menurut Indriantoro dan Supomo (2002:146) adalah:
“Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang antara lain berupa: faktur,
jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo, atau dalam bentuk laporan
program.”
Data dokumenter memuat apa dan kapan suatu kejadian atau transaksi, serta
siapa yang terlibat dalam suatu kejadian. Data dokumenter dalam penelitian dapat
menjadi bahan atau dasar analisis data yang kompleks yang dikumpulkan melalui
metode observasi dan analisis dokumen yang dikenal dengan content analysis.
3.2.2.2 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder. Pengertian data
sekunder menurut Indriantoro dan Supomo (2002:147) adalah:
“Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain).”
Menurut Marzuki (2002:56) pengertian data sekunder adalah:
“Data sekunder merupakan data yang bukan diusahakan sendiri
pengumpulannya oleh peneliti misalnya dari biro statistik, majalah,
katerangan-keterangan atau publikasi lainnya.”
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa data sekunder diperoleh
data-data yang diberikan dari perusahaan yang bersangkutan, buku-buku dan
informasi selama melakukan penelitian. Data yang diambil penulis juga merupakan
data yang bersifat time series atau bersifat deret waktu menurut Husein Umar
(2002:85) data time series adalah:
“Sekumpulan data dari suatu fenomena tertentu yang didapat dalam beberapa
interval waktu tertentu.”
57
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada data
internal. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:149) data internal adalah:
“Dokumen-dokumen akuntansi dan operasi yang dikumpulkan, dicatat, dan
disimpan di dalam suatu organisasi.”
3.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi
kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai landasan teoritis masalah yang
akan diteliti. Studi kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data
sekunder. Penelusuran data sekunder memerlukan cara agar penelitian data sekunder
dapat dilakukan lebih cepat dan efisien. Penelusuran data sekunder dilakukan dengan
penelusuran secara manual. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002:151),
penelusuran secara manual adalah:
“Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan.”
Data sekunder yang disajikan dalam format kertas hasil cetakan antara lain
berupa: jurnal, majalah, bulletin dan bentuk publikasi yang diterbitkan secara
periodik, buku, atau sumber data lainnya seperti laporan tahunan perusahaan. Data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa neraca, laporan laba
rugi, dan catatan atas laporan keuangan PT BNI (Persero) Tbk. Kantor Cabang
Syariah Bandung selama tiga periode, yaitu dari tahun 2007 sampai dengan 2009.
3.2.4 Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variabel merupakan suatu tindakan dalam membuat batasan-
batasan yang akan digunakan dalam analisis, adapun yang akan dianalisis adalah
hubungan antara variabel bebas (variabel independen) dengan variabel terikat
(variabel dependen), yaitu:
1. Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan Murabahah (X) sebagai variabel
bebas (variabel independen). Variabel bebas merupakan variabel yang
Tingkat Profitabilitas Bank Syariah
(variabel dependen)
58
mempengaruhi variabel yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel terikat (variabel dependen).
1. Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (Y) sebagai variabel terikat (variabel
dependen). Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
Model penelitian yang menunjukkan hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen disajikan dalam bentuk gambar 1.1 berikut ini:
Gambar 3.1 Hubungan antara Variabel Independen (Tingkat Non Performing
Financing Pembiayaan Murabahah) dengan Variabel Dependen (Tingkat
Profitabilitas Bank Syariah)
3.2.5 Rancangan Pengujian Hipotesis
3.2.5.1 Rancangan Analisis
Analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan menggunakan analisis
kuantitatif dengan bantuan ukuran-ukuran statistik yang relevan. Digunakan uji
statistik regresi dan korelasi linier sederhana dalam penelitian ini untuk tingkat Non
Performing Financing pembiayaan Murabahah yang mempunyai pengaruh signifikan
terhadap tingkat profitabilitas bank syariah.
Tahapan pengolahan dan penganalisisan data yang dilakukan penulis adalah:
1. Mendapatkan data yang berhubungan dengan variabel-variabel yang terkait, baik
melalui laporan keuangan maupun laporan-laporan pendukung yang
berhubungan dengan jenis pembiayaan Murabahah dan profitabilitas.
2. Menghitung nilai Non Performing Financing pembiayaan Murabahah dan rasio
profitabilitas.
3. Melakukan pengujian statistik untuk menguji hipotesis serta menginterpretasikan
dan menganalisis hasil pengujian hipotesis.
Tingkat Non Performing Financing Pembiayaan
Murabahah
59
4. Berdasarkan hasil pengujian statistik akan ditarik suatu kesimpulan.
3.2.5.2 Penetapan Hipotesis
Penetapan hipotesis assosiatif dalam penelitian ini, yaitu meneliti ada atau
tidaknya hubungan yang signifikan antara tingkat Non Performing Financing
pembiayaan Murabahah sebagai variabel independen dengan tingkat profitabilitas
bank syariah sebagai variabel dependen.
Bentuk pengujian hipotesis assosiatif yaitu menggunakan uji dua pihak (two
tail). Uji dua pihak digunakan bila hipotesis nol (Ho) berbunyi “tidak terdapat
hubungan” dan hipotesis alternatif (Ha) berbunyi “terdapat hubungan”, perumusan
hipotesis nol dan hipotesis alternatif adalah sebagai berikut:
Hipotesis nol : Tidak terdapat hubungan antara X dengan Y
Hipotesis alternatif : Terdapat hubungan antara X dengan Y
Ho : ρ = 0 (berarti tidak ada hubungan)
Ha : ρ ≠ 0 (berarti terdapat hubungan)
3.2.5.3 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis assosiatif diuji dengan teknik korelasi sederhana, yaitu
menggunakan korelasi Pearson Product Moment (r) karena datanya berbentuk
interval atau ratio dan untuk pengujian hipotesis hubungan antara satu variabel
independen dengan satu variabel dependen. Teknik pengujian hipotesis assoiatif diuji
pula dengan analisis regresi sederhana. Tujuan utama dilakukannya analisis regresi
sederhana adalah untuk mengetahui hubungan fungsional antara variabel-variabel
yang diteliti.
Langkah-langkah perhitungannya adalah:
1. Analisis Regresi Sederhana
Analisis ini bertujuan menunjukkan pola hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Persamaan regresi dapat digunakan untuk melakukan
prediksi seberapa tinggi nilai variabel dependen bila nilai variabel independen
60
dimanipulasi (berubah-ubah). Analisis regresi sederhana (dengan satu prediktor)
secara umum mempunyai persamaan sebagai berikut:
Y’ = a + b X
Keterangan:
Y = Tingkat profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen
X = Tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah sebagai
variabel independen
a = Konstanta atau bila harga X = 0
b = Koefisien regresi, merupakan besarnya perubahan variabel dependen
akibat perubahan variabel independen
Nilai a dan b dari persamaan tersebut dapat dicari dengan menggunakan
rumus:
a=∑ x2∑ y−∑ x∑ xy
n∑ x2−¿¿¿
b=n∑ xy−∑ x∑ y
n∑ x2−¿¿¿
Pengujian Hipotesis
Koefisien β (b) diuji dengan menggunaka uji t untuk menunjukkan ada atau
tidaknya hubungan atau pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing
Financing pembiayaan Murabahah sebagai variabel independen dengan tingkat
profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen. Hipotesis ujinya adalah:
Ho : β = 0
Diartikan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing
Financing pembiayaan Murabahah dengan tingkat profitabilitas bank syariah.
Ho : β ≠ 0
Diartikan terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat Non Performing
Financing pembiayaan Murabahah dengan tingkat profitabilitas bank syariah.
61
Rumus statistik ujinya adalah sebagai berikut:
th itung= β
√MSE/S xx
Keterangan :
MSE=SSR
n−2SSR=S y2−βSxy
Sy2=∑ y2−¿¿¿ Sx2=∑ x2−¿¿¿
Sxy=∑ xy−¿¿
Adapun kriteria untuk uji dua pihak adalah:
Ho diterima atau Ha ditolak jika –t tabel ≤ t hitung ≤ t tabel
Ho ditolak atau Ha diterima jika t hitung > t tabel atau t hitung < -t tabel
Keputusan pemilihan uji dua pihak tidaklah didasarkan atas pertimbangan
statistik, tetapi didasarkan atas keputusan yang akan diambil sebagai hasil dari
penemuan penelitian. Disamping itu, beberapa ahli berpendapat bahwa uji dua pihak
lebih dapat dipertanggungjawabkan untuk ilmu-ilmu sosial karena sangat banyak
variabel yang belum diketahui.
2. Analisis Korelasi Pearson Product Moment
Analisis ini dapat membantu peneliti dalam menunjukkan seberapa besar atau
seberapa erat hubungan antar variabel. Apabila terdapat dua variabel yang ingin
diketahui eratnya hubungan antar variabel tersebut, dengan syarat harus berdistribusi
normal dan menggunakan skala interval atau rasio, dapat digunakan alat ukur
korelasi pearson product moment.
Analisis koefisien korelasi pearson product moment dapat diketahui melalui
rumus berikut:
r=n∑ xy−∑ x∑ y
√¿¿¿
62
Keterangan:
X = Tingkat Non Performing Financing pembiayaan Murabahah sebagai
variabel independen
Y = Tingkat profitabilitas bank syariah sebagai variabel dependen
n = Jumlah pengamatan (sampel)
r = Koefisien korelasi
Pada hakekatnya, nilai r dapat bervariasi dari -1 melalui 0 hingga +1 (-1 < r <
1). Bila r = 0 atau mendekati 0, maka hubungan antar keduanya sangat lemah atau
tidak terdapat hubungan sama sekali. Bila r = +1 atau mendekati +1, maka hubungan
antara kedua variabel sangat kuat dan positif. Bila nilai r = -1, maka hubungan kedua
variabel dikatakan sangat kuat dan negatif. Tanda positif dan negatif pada koefisien
korelasi memiliki arti yang khas.
Bila r positif (+), maka hubungan antara keduanya bersifat searah, dengan
kata lain kenaikan atau penurunan nilai variabel independen akan diikuti pula dengan
kenaikan atau penurunan nilai variabel dependen. Adapun bila r negatif (-), maka
hubungan antara keduanya berlawanan arah dalam arti bahwa apabila terjadi
kenaikan nilai variabel dependen dan demikian juga sebaliknya.
Interpretasi yang digunakan untuk menilai derajat keeratan hubungan dari
variabel yang ada adalah dengan menggunakan interpretasi nilai koefisien korelasi,.
Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi menurut Sugiyono
(2009:184) disajikan dalam bentuk tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1
Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
Sumber: Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D(Sugiyono, 2009:184)
63
Pengujian Hipotesis
Pengujian tingkat signifikansi dari koefisien korelasi, peneliti menggunakan
statistik uji t dengan rumus :
t= r √n−2
√1−r 2
Hasil perhitungan dari statistik uji t (t hitung) kemudian dibandingkan dengan
t tabel yang diperoleh dengan menggunakan tingkat signifikansi 5% dan derajat
kebebasan (degree of freedom) dengan rumus (df) = n – k – 1. Kriteria pengambilan
kesimpulan uji t tersebut adalah
1. Bila – t ½ α ≤ t ½ α maka Ho diterima
2. Bila t < – t ½ α dan t > t ½ α maka Ho ditolak
3. Analisis Koefisien Determinasi
Besarnya kontribusi pengaruh tingkat Non Performing Financing pembiayaan
Murabahah terhadap tingkat profitabilitas bank syariah dapat diketahui dengan rumus
berikut:
Kd = r2 x 100%
Sedangkan untuk mengetahui besarnya kontribusi dan pengaruh faktor-faktor
lain terhadap variabel independen, dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut:
Kk = (1 - r2 ¿ x 100%
3.2.6 Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil pengolahan data dan hasil
pengujian berdasarkan kriteria-kriteria yang telah disebutkan tersebut serta didukung
oleh teori – teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.