alergi, endokrin, ge

90
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK) DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG URTIKARIA Kode ICD : L.50 1. Definisi Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit yang menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian tengah pucat, memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut, khronik atau berulang. Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria lesi jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering dengan rasa nyeri dan terbakar. Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup penderita. 2. Anamnesis Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi Ditanya mengenai faktor pencetus Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis Faktor-faktor eksaserbasi serangan Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain 3. Pemeriksaan fisik Gambaran yang khas, bentuk lesi tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika kecil dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior (urtikaria vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria dingin/ solar) 4. Kriteria Diagnosis Anamnesis PemeriksaanFisik 5. Diagnosis Urtikaria Angioedema 6. Diffrential diagnosis Urtikaria Anak : Eritema multiforme Urtikaria pigmentosa Gigitan serangga Eritema Anulare Infantile Acute Hemoragic edema Purpura Henoch Schonlein, pitriasis rosea Angioedema: Selulitis Erisipelas Dermatitis kontak SLE Kasus bedah abdomen Reaksi anafilaktik laring 7. Pemeriksaan Penunujang Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan dasar Tes berdasarkan kondisi tertentu: Darah perifer lengkap Jika dicurigai vaskulitis : Antinuclear antibody LED Biopsi kulit Urinalisis CH50 Fungsi hati Jika fungsi hati tidak normal: Pemeriksaan serologis untuk hepatitis virus Fungsi tiroid dan autoantibodi Anti-FceR autoantibody (bila ada) Riwayat U. fisik test yang sesuai Kondisi Test Urticaria kolinergik Latihan , mecholyl challenge Dermografisme Menggosok atau menggaruk kulit Solar urticaria Paparan ke sinar matahari terkontrol Cold urticaria Ice challenge HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik & fungsional)

Upload: ajescool

Post on 18-Jan-2016

230 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ppk

TRANSCRIPT

Page 1: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

URTIKARIA Kode ICD : L.50

1. Definisi

Urtikaria (kaligata, gidu, biduran, sumimikang, karumba dll) adalah erupsi kulit yang

menimbul, bengkak (wheal), berbatas tegas, berwarna merah, bagian tengah pucat,

memucat bila ditekan, disertai rasa gatal, dapat berlangsung akut, khronik atau berulang.

Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) = urtikaria lesi

jaringan subkutan, submukosa tidak berbatas tegas, tidak gatal, sering dengan rasa nyeri

dan terbakar.

Urtikaria (U) dan Angioedema (A) kronik dapat mengganggu kualitas hidup

penderita.

2. Anamnesis

Onset: berulang/lamanya (durasi), lokasi

Ditanya mengenai faktor pencetus

Makanan, Obat-obatan, zat aditif, hobi

Inhalasi, Penyakit infeksi akut/kronis

Faktor-faktor eksaserbasi serangan

Riwayat atopi, dan penyakit penyerta lain

3. Pemeriksaan

fisik

Gambaran yang khas, bentuk lesi tipe urtikari linier (dermografisme), Urtika kecil

dikelilingi daerah eritem (urtikaria kolinergik), pada ekstremitas inferior (urtikaria

vaskulitis, papular urtikaria), terbatas pada daerah paparan (urtikaria dingin/ solar)

4. Kriteria

Diagnosis

Anamnesis

PemeriksaanFisik

5. Diagnosis Urtikaria

Angioedema

6. Diffrential

diagnosis

Urtikaria Anak :

Eritema multiforme

Urtikaria pigmentosa

Gigitan serangga

Eritema Anulare

Infantile Acute Hemoragic edema

Purpura Henoch Schonlein, pitriasis

rosea

Angioedema:

Selulitis

Erisipelas

Dermatitis kontak

SLE

Kasus bedah abdomen

Reaksi anafilaktik laring

7. Pemeriksaan

Penunujang

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan dasar Tes berdasarkan kondisi tertentu:

Darah perifer lengkap Jika dicurigai vaskulitis :

Antinuclear antibody

LED Biopsi kulit

Urinalisis CH50

Fungsi hati Jika fungsi hati tidak normal: Pemeriksaan serologis

untuk hepatitis virus

Fungsi tiroid dan autoantibodi

Anti-FceR autoantibody

(bila ada)

Riwayat U. fisik test yang sesuai Kondisi Test

Urticaria kolinergik Latihan , mecholyl challenge

Dermografisme Menggosok atau menggaruk kulit

Solar urticaria Paparan ke sinar matahari terkontrol

Cold urticaria Ice challenge

HAE (hereditary angioneurotic edema) periksa kadar C4, C1 INH (antigenik &

fungsional)

Page 2: Alergi, Endokrin, Ge

8. Tatalaksana

1. Eliminasi kenali dan hindari faktor pencetus dan faktor-faktor yang

mengeksaserbasi serangan

2. Adregenik

a. Diberikan pada urtikaria/angioedema yang luas/meluas dengan cepat,

terdapat distres pernafasan.

b. adrenalin (1:1000) dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum

0,3 ml) dilanjutkan dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor

histamine H1

3. Antihistamin:

a. antihistamin H1generasi I:

klorfeniramin maleat (ctm): 0,35 mg/kg/hari dibagi 3 dosis

b. antihistamin H1 generasi II:

cetirizine 0,25 mg/kg/hari sekali sehari

c. antihistamin H2

untuk membantu aktivitas antihistamin H1

simetidin 5 mg/kg/kali 3x sehari

4. Tabir surya urtikaria solar (panjang gelombang 285-320 nm)

5. U. dingin hindari mandi/ berenang di air dingin

6. HAE : Hindari faktor eksaserbasi: panas, aktivitas, aspirin, alkohol

7. Kortikosteroid

a. Untuk urtikaria/angioedema yamg berat

b. diberikan bila tidak memberikan respon yang baik dengan obat-obat diatas

9. Edukasi

Meyakinkan penderita/keluarga:

U/A remisi spontan ( hari, bulan, tahun)

U /A tidak menyebabkan cacat

U/A dapat dikontrol dengan satu atau kombinasi obat-obatan

10. Komplikasi dan

Prognosis

Komplikasi

Angioedema merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi obstruksi

jalan nafas karena edema laring dan sekitarnya, atau anafilaksis yang dapat mengancam

jiwa.

Prognosis

Baik, dapat sembuh spontan atau dengan obat

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah Kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator medis Ruam /edema menghilang

15. Taksiran lama

perawatan

3-5 hari

16. Kepustakaan

1. Matondang C.S. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak.

Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2. Jakarta. 2008. Hal 224-34

2. Leung DYM, Dreskin SC. Urticaria (Hives) and Angioedema. Dalam: Behrman,N, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.

Philadelphia WB Saunders Co. 2008.

3. Leung DYM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.

Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 3: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

SYOK ANAFILAKSIS

Kode ICD : T78.2

1. Definisi

Reaksi alergi sistemik berat terhadap stimulus apapun, dengan onset mendadak dan

biasanya berlangsung < 24 jam, terdiri dari bentol, kemerahan, gatal, angioedema,

stridor, wheezing, nafas pendek, muntah, diare atau syok yang mengancam

kehidupan.

2. Anamnesis 1. Terdapat berbagai gejala yang timbul mendadak: gelisah, lemah, pucat, sesak,

pingsan, mual, muntah, nyeri perut, suara serak, sesak nafas, batuk kering, pilek,

hidung tersumbat, mengi, gatal pada mulut dan muka, timbul bentol di kulit,

pembengkakan pada mata

2. Penyebab anafilaksis yang dicurigai: makanan, obat-obatan, gigitan serangga

atau transfusi

3. Onset setelah paparan agen penyebab (onset yang disebabkan oleh agen

penyebab yang diinjeksikan lebih cepat daripada yang dicerna)

4. Penyakit penyerta (penyakit kardiovaskuler, asma dan penyakit saluran nafas

yang lain, rhinitis alergi, eksim, penyakit psikiatrik, mastocitosis)

5. Obat-obatan lain yang dikonsumsi (ACE inhibitor, beta bloker)

3. Pemeriksaan

fisik Masalah yang mengancam jiwa:

o Airway: edema saluran nafas, suara serak, stridor

o Breathing: nafas cepat, wheezing, kelelahan, sianosis, SpO2 <92%,

kebingungan

o Circulation: pucat, dingin, tekanan darah turun, pingsan, mengantuk/coma,

takikardi atau nadi tidak teraba.

Adanya urtikaria dan angioedema.

4. Bentuk Klinis

(Klasifikasi)

Tergantung organ dan derajat beratnya serangan, penderita harus dimonitor status

respirasi dan kardiovaskuler

Kulit

Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliformis, pilor erecti

Reaksi lokal

Oral

Pruritus pada bibir, lidah, palatum, edema pada bibir dan lidah, rasa seperti

logam di mulut

Saluran Nafas (organ syok utama)

Laring: pruritus dan rasa sesak pada tenggorokan, disfagia, disfonia, serak, batuk

kering, gatal pada saluran telinga luar

Paru: nafas pendek, dispnu, dada sesak, batuk dalam, wheezing

Hidung: gatal, bengkak, rinore, bersin

Apabila lidah dan orofaring terkena bisa terjadi sumbatan saluran nafas atas

Stridor bila saluran atas terkena

Obstruksi total saluran nafas merupakan penyebab kematian terbanyak

Kardiovaskuler

Pingsan/sinkop, nyeri dada, disritmia, hipotensi

Takikardia kompensata karena penurunan tonus pembuluh darah

Kebocoran kapiler dapat menyebabkan kehilangan volume intravaskuler dan

hipotensi

Gastrointestinal

Mual, kolik, muntah, diare

Diagnosis ditegakkan secara klinis, perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan,

gigitan binatang, atau transfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan

terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding.

Page 4: Alergi, Endokrin, Ge

Kriteria

Diagnosis

Langkah diagnosis anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik

5. Diagnosis

6. Diffrential

diagnosis

Pada reaksi sistemik ringan dan sedang: urtikaria dan angioedema

Pada reaksi sitemik berat:

1. Syok Hipovolemik

2. Syok Septik

3. Syok Kardiogenik

4. Syok Neurogenik

5. Hipoglikemia

6. Ketoasidosis

7. Dehidrasi

7. Pemeriksaan

penunjang

1. Darah rutin

2. Urin rutin

3. Analisis Gas Darah

8. Tatalaksana

Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung, bila pasien mengalami henti

jantung-paru, harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner.

Adrenalin (epinefrin) 1: 1000 mg dosis 0,01 mg/kg intramuskuler maksimal 0,3

mg atau: >12 tahun: 5 mcg IM (0,5 mL); 6-12 tahun: 3 mcg IM (0,3 mL), < 6

tahun: 150 mcg (0,15 mL)

Intubasi dan trakeostomi: bila terdapat sumbatan jalan nafas bagian atas karena

edema

Torniket: kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau

sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang torniket proksimal dari daerah

suntikan atau tempat gig1tan tersebut

Oksigen: diberikan pada penderita yang mengalami sianosis, sesak atau penderita

dengan mengi.

Difenhidramin: untuk mengurangi gejala gatal, kemerahan, angioedema, urtikaria,

gejala pada mata dan hidung, namun tidak dapat menggantikan adrenalin karena

tidak dapat mengurangi gejala obstruksi saluran nafas atas, hipotensi dan syok

dosis 1 mg/kg maksimum 50 mg.

Cairan intravena: untuk mengatasi syok pada anak: kristaloid 20 ml/kg

secepatnya

Aminofilin

Vasopresor

Kortikosteroid, walaupun kortikosteroid tidak menolong pada penatalaksanaan

akut reaksi anafilaksis, kortikosteroid berguna untuk mencegah gejala berulang

Pengobatan suportif

Page 5: Alergi, Endokrin, Ge

9. Edukasi

Jelaskan pada anak agar menghindari faktor penyebab, misalnya makanan, obat-

obatan dan lain-lain.

Jelaskan pada guru-teman, pengasuh, dan pada anak bahwa anak tersebut

menderita reaksi anafilaksis terhadap makanan, obat-obatan dan lain-lain.

Persiapan obat adrenalin pada anak besar, dan dijelaskan tentang cara

pemakaiannya

10. Prognosis Dubia

11. Tingkat

evidens

IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator

medis

Respon klinis baik bila :

a. Keadaan umum : Kompos Mentis

b. Tanda vital stabil

c. Tanda – tanda komplikasi tidak ada

Page 6: Alergi, Endokrin, Ge

15. Taksiran lama

perawatan

16. Daftar

kepustakaan

1. Akib AA, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter

Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008.

2. Sampson HA. Donald Y.M. Leung. Adverse Reactions to Drugs.

Chapter 151. Behrman N, Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and

Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 7: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

SINDROM STEVENS-JOHNSON (SSJ), NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK (NET), SSJ-NET

OVERLAP Kode ICD :L51.1, L51.2, L51.3

1. Definisi

Merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias kelainan pada:

kulit mukosa orifisium serta mata yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas atau

kompleks imun.

2. Anamnesis Gejala prodromal: demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri dada, muntah,

pegal otot dan atralgia.

Timbul ruam (lesi makula eritem) yang secara cepat berkembang menjadi lepuh

(vesikel, bula) pada bagian tubuh yang disertai lesi mukosa dan mata

Identifikasi faktor penyebab: infeksi sebelumnya/riwayat makan makanan tertentu,

riwayat pemakaian obat-obatan, imunisasi, dll.

Jarak waktu paparan faktor penyebab dengan timbulnya gejala (gejala dapat timbul 8

minggu, biasanya 4-30 hari setelah paparan)

3. Pemeriksaan

fisik

Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan bagian dari

severe cutaneous adverse reactions yang diklasifikasikan berdasarkan luas permukaan

tubuh (body surface area/BSA) yang terkena:

1. Steven-Johnson syndrome (< 10% BSA)

2. Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap (10-30%

BSA)

3. Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis (>30% BSA)

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya

menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat

disertai gejala prodromal berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit menelan, nyeri

dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa dan

mata yang dapat diikuti kelainan viseral.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

a. Kelainan kulit

Kelainan kulit dapat berupa eritema, papul, vesikel atau bula, berupa lesi kecil

satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Sering timbul perdarahan

pada lesi menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris atau mata sapi. Predileksi

pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke seluruh tubuh

sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas

dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai

paronikia.

b. Kelainan mukosa

Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian

disusul oleh kelainan di alat genital (50%), sedangkan di hidung dan anus jarang

(masing-masing 8% dan 4%). Pada selaput mukosa dapat ditemukan vesikel, bula,

erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah. Kelainan di mukosa dapat

juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Pada faring

dapat terbentuk pseudomembran berwarna putih atau keabuan yang menimbulkan

kesukaran menelan.

c. Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah

konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa blefarokonjungtivitis, iritis,

iridosiklitis, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat

terjadi erosi dan perforasi kornea.

Kelainan klinis SSJ/NET biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan

umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah, diare,

melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali sampai pada

Page 8: Alergi, Endokrin, Ge

penurunan kesadaran dan kejang.

Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat berlangsung

beberapa hari sampai 6 minggu.

4. Kriteria

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan trias:

1. Kelainan kulit

2. Kelainan mukosa

3. Kelainan mata

5. Diagnosis Steven-Johnson syndrome

Steven-Johnson syndrome- Toxic Epidermal Necrolysis Overlap

Toxic Epidermal Necrolysis/Nekrolisis Epidermal Toksis

6. Diffrential

diagnosis

Staphylococcus scalded skin syndrome

Biasanya timbul pada anak-anak pada lokalisasi tertentu. Berupa bula numular di leher,

ketiak dan wajah. Juga terdapat epidermolisis, tetapi selaput lender jarang dikenai.

7. Pemeriksaan

Penunjang

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungannya dengan faktor

penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan

diantaranya adalah :

1. Pemeriksaan darah tepi (Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, hitung eosinofil total,

LED). Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis

eosinofil meningkat.

2. Elektrolit (Na,K) untuk melihat adanya gangguan elektrolit akibat kehilangan

cairan transdermal

3. Albumin, protein total, fungsi ginjal

4. Biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi.

5. Histopatologik biopsi kulit. Biasanya tidak diperlukan, bila diragukan gambaran

klinisnya dapat dilakukann biopsi dan pemeriksaan histopatologik untuk

membedakan. Pada pemeriksan histopatologik dapat ditemukan gambaran

nekrosis epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis,

pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis

superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM,

IgA, C3 dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik

maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24

jam.

8. Tatalaksana

o Identifikasi dan segera hentikan pemakaian obat/makanan/agen yang dicurigai

sebagai faktor penyebab

o Rawat diruang rawat khusus (isolasi dari penderita lain), bila ada kegawatan rawat

di PICU

o Terapi cairan (jenis dan jumlah) dan elektrolit disesuaikan dengan luas permukaan

tubuh yang terkena dan kelainan elektrolit yang ada

o Antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Dipilih antibiotika yang jarang

menimbulkan alergi, berspektrum luas, bakterisidal dan tidak ada kontrainidkasi

seperti: gentamisin 5mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis, atau netromisin 4-6

mg/kgBB/hari.

o Nutrisi: pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral

kembali normal.

o Topikal :

- Kulit : kompres NaCl 0,9%

- Mulut : kumur-kumur antiseptik

- Mata : lubrikasi dengan air mata buatan

salep mata yang mengandung antibiotika

o Transfusi (bila perlu)

o Konsultasi dengan bagian lain sesuai keadaan penderita (Mata, THT)

9. Edukasi Harus dicegah kontak ulang dengan faktor penyebab

Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang penderita

Page 9: Alergi, Endokrin, Ge

10. Komplikasi

Dan Prognosis

Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis,

bronkopneumonia, nefritis, poliartritis atau septikemia.

Pada kasus yang tidak berat prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu

2-3 minggu. Pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan pengobatan

terlambat dan tidak memadai, angka kematian berkisar antara 5-15%. Prognosis lebih

buruk bila terdapat purpura yang luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah

kritis

Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator

medis

Klinis: tanda vital, luas lesi pada kulit, mukosa dan mata, nafsu makan

Laboratoris: darah perifer, elektrolit, albumin, urinalisis

15. Taksiran lama

perawatan

14-21 hari

16. Daftar

kepustakaan

1. Akin AAP, Takumansang DS. Sindrom Stevens-Johnson. Dalam:Akib AA,

Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak

Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal 307-11

2. Cantani A. Allergic and pseudoallergic reactions to drugs. Dalam: Cantani A.

Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Springerlink.Berlin 2008. 1166-70.

3. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven-Johnson

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis).In: Wolff K, Goldsmith KA, Katz KI,

Gilchrest KA, Paller AS, Leffell DJ editors. Fitzpatrick’s dermatology in general

medicine. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Book Co.2008. 349-55

4. Morelli JG. Vesicobullous disorder. Chapter 653. Dalam: Behrman RE, Kliegman

RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18.

Philadelphia WB Saunders Co 2008.

5. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and

Practice. Pennsylvania WB Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 10: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PURPURA HENOCH-SCHONLEIN

Kode ICD : D69.0

1. Definisi

Sindroma klinis yang disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah kecil sistemik, yang

ditandai dengan lesi kulit spesifik yang berupa purpura nontrombositopenik, artritis atau

artralgia, nyeri abdomen atau perdarahan gastrointestinal dan kadang-kadang dengan

nefritis.

Nama lain : purpura anafilaktoid, purpura alergik atau vaskulitis alergik.

2. Anamnesis Timbul ruam kemerahan yang berubah menajdi ungu di ekstremitas (terutama di

ekstremitas bawah)

Nyeri perut, BAB hitam, nyeri sendi, bengkak pada sendi

Apakah gejala ini sudah berulang sebelumnya

Apakah ada BAK merah, nyeri kepala

3. Pemeriksaan fisik Kulit: ruam makuloeritematosa yang palpabel, berlanjut menjadi purpura, tanpa adanya

trombositopenia, terutama pada kulit bokong dan ekstremitas bagian bawah (pada 100%

kasus) purpura lambat laun berubah menjadi ungu, kemudian coklat kekuning-

kuningan, lalu menghilang, tetapi dapat rekuren. Gejala ini dapat disertai :

Angioedema pada muka (kelopak mata, bibir) pada 20% kasus, dan ekstremitas

(punggung, tangan, kaki) pada 40 kasus,

Artralgria atau artritis migran mengenai sendi besar ekstremitas bawah, tidak

menimbulkan deformitas yang menetap.

Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang berat dan perdarahan

gastrointestinalis pada 35-85% kasus, kadang-kadang dapat perforasi usus dan

intususepsi ileoileal atau ileokolonal pada 2-3% kasus.

Hematuria atau nefritis (pada 20-50% kasus)

4. Kriteria Diagnosis

Gejala klinis yang spesifik yaitu ruam purpurik pada kulit, terutama di bokong dan

ekstremitas bawah dengan satu atau lebih gejala berikut : nyeri obdema, atau perdarahan

gastrointestinalis, artralgia atau artritis dan hematuria atau nefritis.

Langkah Diagnosis :

1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk mendukung atau

menyingkirkan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium pada PHS tidak spesifik,

jumlah trombosit normal atau meningkat, LED dapat meningkat, kadar komplemen

normal, kadar IgA dalam darah mungkin meningkat. Urin dan tinja dapat mengandung

darah. Biopsi lesi kulit ada vaskulitis leukositoklastik. Imunofloresensi pada dinding

pembuluh darah, pada deposit IgA dan komplemen.

3. Tegakkan diagnosis, identifikasi luasnya manifestasi klinis dan telusuri komplikasi.

5. Diagnosis Purpura henoch schonlein

6. Diagnosis Banding Penyakit Kawasaki

Lupus eritematosus sistemik

Polyarteritis Nodosa

Urticarial vasculitis

ITP

7. Pemeriksaan

Penunujang

Laboratorium

1. Darah tepi: trombosit bisa normal atau meningkat, membedakan purpura yang

disebabkan trombositopenia, biasanya juga eosinofilia. LED dapat meningkat.

2. Kadar komplemen seperti C1q, C3, C4 dapat normal. Pemeriksaan kadar IgA dalam

darah mungkin meningkat.

3. Analisa urin dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin

klirens

4. Feses: ditemukan darah

Page 11: Alergi, Endokrin, Ge

Pencitraan:

Bila dicurigai adanya intususepsi: USG dan foto polos abdomen

8. Tatalaksana

1. Suportif dan simptomatis:

Kontrol nyeri dapat dengan analgesik seperti asetaminofen atau ibuprofen.

Artritis ringan dan demam: ibuprofen atau parasetamol

Nyeri perut: makanan lunak

2. Kortikosteroid

diberikan jika ditemukan nyeri perut yang hebat, perdarahan saluran cerna,

purpura yang persisten, adanya gangguan ginjal progresif (sindroma nefrotik,

kerusakan glomerulus), edema jaringan lunak yang hebat, gangguan SSP, dan

perdarahan paru, dengan protokol :

- induksi dengan metilprednisolon 250-750 mg (IV) selama 3-7 hari +

siklofosfamid 100-200 mg/hari (oral)

- maintenance predinson 100-200 mg (oral) selang sehari, siklosfosfamid

100-200 mg selama 30-75 hari

- Tappering off predinon 25 mg/bulan terapi selasai minimal dalam 6

bulan.

Nyeri perut berat dan pencegahan terjadinya nefritis: kortikosteroid oral jangka

pendek dosis 1-2 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 5-7 hari kemudian

diturunkan perlahan-lahan selama 2-3 minggu.

Nyeri perut berat dengan mual dan muntah: 1-2 mg/kg/hari

3. Gagal ginjal ditanggulangi sesuai SP.

4. Jika akut abdomen konsul bedah.

5. Monitoring:

Tekanan darah

Nyeri perut, perdarahan saluran cerna

Purpura/lesi kulit baru yang timbul

Laboratorium: leukosit, LED, urinalisis dan feses

9. Edukasi Menjelaskan pada penderita/keluarga:

Kemungkinan rekurensi terjadi pada 50% kasus

Gejala dan kemungkinan komplikasi yang terjadi

Jadwal pemberian obat terutama kortikosteroid dan jadwal penurunannya, efek

samping dan cara memakan obat

10. Komplikasi dan

Prognosis

Saluran cerna : perdarahan, intususepsi, infark usus.

Ginjal : gagal ginjal akut/kronis.

SSP : defisit neurologik, kejang dan penurunan kesadaran.

Prognosis baik, dapat sembuh spontan beberapa hari atau beberapa minggu. 50% kasus

dapat rekuren.

Nefritis kronis dapat terjadi pada 1% kasus.

11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator medis Tanda vital stabil, terutama tekanand arah normal

Gejala yang mengganggu menghilang: nyeri perut, nyeri sendi, lesi kulit, BAB hitam

Perbaikan dari hasil-hasil laboroatorium: LED, leukosit, fungsi ginjal, urinalisis dan

pemeriksaan feses

15. Taksiran lama

perawatan

10-14 hari

16. Daftar

kepustakaan

1. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akib AA, Munazir Z,

Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke

2. 2008.

2. Miller ML, Pachman LM. . Vasculitis Syndromes. Chapter 166. Dalam:

Page 12: Alergi, Endokrin, Ge

Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Leung, Donald YM, Sampson HA, Geha R. Pediatric Allergy Principles and Practice.

Pennsylvania WB Saunders. 2010.

4. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:

Elsevier Saunders. 2010

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 13: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)

Kode ICD : L93.0

1. Definisi

Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit sistemik evolutif yang mengenai satu atau

lebih organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat,

bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.

2. Anamnesis Demam (onset, tipe demam, riwayat pengobatan sebelumnya)

Astenia

Kelainan kulit:

- Onset

- Jenis ruam: butterfly rash, lupus diskoid lesi vaskulitis kulit fotosensitif, alopesia,

non sikatrik, sindroma Raynaud.

Kelainan selaput mukosa : sariawan yang tidak nyeri

Kelainan sendi: nyeri/ pembengkakan sendi

Kelainan ginjal : edema, nyeri kepala, pandangan mata kabur, BAK merah

Manifestasi neuropsikiatrik : kejang, penurunan kesadaran, perubahan kesadaran

Manifestasi hematologik: pucat, perdarahan

Kelainan kardiovaskuler : sesak nafas

Kelainan saluran nafas : sesak nafas, batuk darah

Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.

Kelainan sistem pencernaan : nyeri perut, BAB hitam

Riwayat pengobatan sebelumnya (bila ada), jenis obat yang dimakan, keteraturan

makan obat,

3. Pemeriksaan

fisik

LES dapat menyerang semua organ, yang dapat muncul sendiri-sendiri atau bersama-

sama. Manifestasi klinis pada masing-masing organ ini yang lazim adalah :

Demam dan astenia merupakan gejala tersering.

Kelainan kulit, berupa :

- Ruam berbentuk sayap kupu-kupu, (Butterfly rash) terdapat didaerah muka

(eritema malar) dapat berupa eritema simpel, atau erupsi makulopapular dengan

squamasi halus berwarna kemerahan, erupsi dapat juga mengenai cuping hidung,

pangkal hidung, daerah leher atau bahu yang terbuka, periorbita, frontal atau darah

telinga luar.

- Lupus diskoid

- Lesi vaskulitis (berupa eritem pada tangan, edema periungual, makuloeritematosa

kulit dan pulpa jari jemari).

- Erupsi populoeritematosa disseminata non spesifik terutama dianggota gerak, kulit

fotosensitif, alopesia, non sikatrik, sindroma Raynaud.

Kelainan selaput mukosa : berupa ulserasi nasal dan oral.

Kelainan sendi, tulang dan otot dapat berupa artritis, deformitas, tenosinovitis,

artralgia, mialgia miositis lupus, serta osteonekrosis aseptik.

Kelainan ginjal : ditandai dengan proteinuria, hematuria, sindrom nefrotik, gagal

ginjal. Klasifikasi lupus nefritis: lupus nefritis mesangial, glomerulonefritis

proliferatif fokal, glomerulonefritis proliferatif difus, glomerulonefritis membranosa.

Manifestasi neuropsikiatrik : psikosis, disorientasi delirium, atau dapat berhubungan

dengan kelainan organik serebral.

Manifestasi hematologik : limfadenopati superfisial atau lebih dalam (mediatinum,

intra abdomen), dapat juga terjadi splenomegali. Anemia: normokrom normositik

dengan kapasitas pengikatan zat besi rendah dapat disertai skizositosis dan

trombositopenia, leukopenia dan gangguan hemostatis.

Page 14: Alergi, Endokrin, Ge

Kelainan kardiovaskuler : perikarditis, miokarditis, hipertensi.

Kelainan saluran nafas : efusi pleura, dapat juga terjadi perdarahan alveolar masif.

Manifestasi gineko-obstetrik : amenore pada anak besar.

Kelainan sistem pencernaan : terjadi akibat vaskulitis seperti : perdarahan

intestinal, pankreatitis, perforasi usus atau ulserasi hemoragis. Dapat terjadi diare

karena infeksi saluran cerna. Perdarahan digestif karena pemberian obat (anti

inflamasi), hepatitis dan dapat terjadi asites.

Ganguan pada mata : dapat mengenai semua struktur dan jalur saraf optik. Pada retina

terdapat eksudat seperti kapas disertai perdarahan (Cotton Wool Spots), papilitis dan

oklusi arteri sentralis (paling jarang), scotoma, gangguan penglihatan unilateral dan

keratitis.

4. Kriteria

Diagnosis

Dasar Diagnosis:

Ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Kriteria diagnosis yang paling bayak dianut

adalah menurut American Rheumathism Association (ACR). Diagnosis LES ditegakkan

bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ARA tersebut. 4 kriteria positif

menunjukkan 90% sensitivitas dan 96% spesifisitas. Salah satu butir pernyataan cukup

untuk memenuhi kriteria. Kriteria ARA ini terdiri dari

1. Eritema malar (Butterfly rash)

2. Lupus diskoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulcerasi mukokutaneus oral dan nasal

5. Artritis

6. Nefritis: proteinuria > 0,5 g/24 jam, slinder dalam urine

7. Ensefalopati, konfulsi, psikosis

8. Pleuritis atau perikarditis

9. Gangguan hematologi: sitopenia

10. Imunoserlogipositif : antibody antidouble stranded DNA (anti dsDNA), antibody

antinuclear Sm, sel LE, serologisifilis (positif palsu)

11. Antibodi Antinuklear positif (ANA).

Langkah Diagnosis

1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat mengidentifikasi manifestasi

klinis dan butir-butir kriteria ACR.

2. Lakukan pemeriksaan laboratorium/ penunjang lain.

Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :

Analisis darah tepi lengkap

Sel LE

antibodi Antinuklear (ANA)

Anti ds DNA (anti DNA natif)

Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll)

Titer komplemen C3, C4 dan CH5O

Titer IgM, IgG dan IgA

Krioglobulin

Masa pembekuan

Uji coombs

Elektroforesis protein

Kreatinin dan ureum darah

Protein urine (total protein dalam 24 jam)

Biakan kuman, terutama dalam urine

Foto rontgen dada.

3. Tegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ACR dan identifikasi luasnya manifestasi

klinis.

4. Telusuri komplikasi.

5. Diagnosis Lupus eritematosus sistemik

Page 15: Alergi, Endokrin, Ge

Nefritis lupus

Cerebral lupus

6. Diagnosis

banding

Tergantung gejala klinis yang pertama muncul:

ARJ

Demam tifoid

AIHA

Demam rematik

7. Pemeriksaan

penunjang

Anjuran pemeriksaan laboratorium/ penunjang untuk LES :

Analisis darah tepi lengkap

Sel LE

antibodi Antinuklear (ANA)

Anti ds DNA (anti DNA natif)

Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolid, antihiston, dll bila ada)

Titer komplemen C3, C4 dan CH5

Titer IgM, IgG dan IgA

Krioglobulin

Masa pembekuan

Uji coombs

Elekroforesis protein

Kreatin dan ureum darah

Protein urine (total protein dalam 24 jam)

Biakan kuman, terutama dalam urine

Foto rontgen dada.

8. Tatalaksana

A. Obat-obatan sistemik (pilihan obat-obatan dibawah tergantung indikasi dan

ketersedian obat):

1. Anti inflamasi non steroid

Indikasi: manifestasi ke kulit, sendi. Pilihan:

a. Salisilat:

75-90 mg/kg/hari peroral terbagi 3-4 dosis

Diberi bersamaan makanan

Meningkatkan SGOT & SGPT

Kontraindikasi: trombositopenia, gangguan hemostasis

b. Naproksen: 10-20 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis

c. Sodium tolmetin: 20-30 mg/kg/hari

2. Antimalaria

a. Untuk dominan kelainan kulit/mukosa dengan atau tanpa artritis dan

gejala konstitusional

b. Dosis 6-7 mg/kg/hari terbagi 1-2 dosis selama 2 bulan dilanjutkan 5

mg/kg/hari (max. 300 mg/hari)

c. Efek toksik ke retina (reversibel) kontrol oftalmologi setiap 6 bulan

3. Steroid

a. Prednison oral dosis rendah (0,5 mg/kg/hari)

Diberikan 2/3 dosis pagi, 1/3 dosis siang interval 8 jam

Untuk gejala konstitusional berat, demam berkepanjangan,

kelainan kulit, pleuritis, atau bersamaan dengan metil

prednisolon dosis tinggi

b. Prednison oral dosis tinggi (1-2 mg/kg/hari, max 60-80 mg/kg/hari

dibagi 3-4 dosis selama 3-6 minggu, dilanjutkan tapp of selama 1-2

minggu)

Untuk lupus fulminan akut, lupus nefritis akut yang berat,

trombositopenia (<50.000/mm3) tanpa perdarahan dan

gangguan koagulasi, lupus eritematosus kutan berat sebagai

bagian terapi inisial lupus diskoid

Page 16: Alergi, Endokrin, Ge

c. Metil prednisolon parenteral

Dosis 30 mg/kg/hari IV (max 1 gr) selama 90 menit 3 hari

berturut-turut dilanjutkan secara intermiten (tiap minggu)

disertai prednison dosis rendah setiap hari

Indikasi: penyakit aktif berat tidak terkontrol dengan steroid

oral dosis tinggi, rekurensi aktif sangat berat, anemia hemolitik

yang berat, trombositopenia berat.

4. Imunosupresan

1. Siklofosfamid:

Oral 1-3 mg/kg/hari

Parenteral: awal 500-750 mg/m2 LPT maksimum 1 g/m2/hari

o Pilih dosis terendah untuk leukopenia , trombositopenia,

kreatinin >2 g/dl) maksimum 1 g/m2/hari.

o Cara pemberian: bolus perinfus 150 ml larutan D5%

dalam NaCl 0,225% (D5 ¼ NS) selama 1 jam bersama

hidrasi 2L/m2/hari perinfus selam 24 jam dimulai 12 jam

sebelum infus siklofosfamid.

o Pemberian parenteral diulangi setiap bulan dengan

peningkatan 250 mg/m2/bulan sesuai dengan toleransi

selam 6 bulan selanjutnay tiap 3 bulan sampai 36 bulan

total pengobatan.

2. Metotreksat.

Dosis 10-20 mg/m2 peroral sekali seminggu diberikan bersama

asam folat

Diberikan pada trombositopenia (trombosit <50.000/mm3)

jangka panjang setelah tercapai inisial metil prednisolon dosis

tinggi, poliartritis berat bila dosis rumatan kortikosteroid> 10

mg/hari, LE kutan berat.

B. Topikal

Diberikan bila ada kelainan kulit. Diberikan:

betametason 0,05% atau

flusinosid 0,05% selama 2 minggu selanjutnya hidrokortison

C. Fisioterapi

Diindikasikan bila ada artritis.

D. Supportif

1. Diet: setiap pemberian kortikosteroid terutama jangka panjang harus disertai

suplemen Ca dan vitamin D

2. Dosis kalsium karbonat:

<6 bulan: 360 mg/hari

6-12 bulan: 540 mg/hari

1-10 tahun: 800 mg/hari

11-18 tahun: 1200 mg/hari

3. Dosis vitamin D (hidroksikolkalsoferol)

BB<30 kg: 20 mcg po 3 kali/minggu

BB>30 kg: 50 mcg po 3 kali/minggu

E. Pencegahan

1. Pencegahan terhadapa paparan sinar matahari

Hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV tertinggi: jam

09.00/10.00-15.00/16.00

Pakai lengan panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam

Pakai tabir surya/sunblock minimal SPF 24

2. Osteoporosis selama terapi steroid dosis tinggi

Page 17: Alergi, Endokrin, Ge

Diet tinggi Ca

Vitamin D adekuat

Olahraga

9. Edukasi

Edukasi kepada penderita dan keluarga agar mengerti penyakit dan

Awasi infeksi sekunder. Infeksi, timbul akibat efek kortikoterapi, akibat pemakaian

imunosupresan atau akibat defisiensi imun akibat penyakit lupus.

10. Komplikasi &

Prognosis

Infeksi banyak terjadi pada stadium evolusi. Disamping akibat defisiensi imun, juga

berhubungan dengan pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan.

Akibat kerterlibatan visera : gagal ginjal, hipertensi maligna, ensefalopati,

perikarditis, sitopenia autoimun, dsb.

Prognosis penyakit lupus telah membaik dengan angka survival untuk masa 10

tahun sebesar 90%.

Penyebab kematian akibat komplikasi viseral : gagal ginjal, hipertensi maligna,

kerusakan SSP, perikarditis, infrak miokard, dan sitopenia autoimun infeksi.

11. Tingkat

Evidens

IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator medis Klinis: Tanda vital, lesi kulit, edema, pucat, peradangan pada sendi

Laboratoris: darah perifer, urinalisis (proteinuria, hematuria) fungsi ginjal, elektrolit,

albumin, CRP

15. Taksiran lama

perawatan

Tergantung perjalanan penyakit dan komplikasi yang timbul: 15-30 hari

16. Daftar

kepustakaan

1. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:

Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter

Anak Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 345-72.

2. Klein-Gitelman MS. Miller ML. Systemic lupus erithematosus. Chapter

157. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook

of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:

Elsevier Saunders. 2010

4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,Harmoniati ED,

Yuliarti K (ed). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid II.

Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesi. 2011. Hal: 175-83.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 18: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

ARTRITIS REUMATOID JUVENIL

Kode ICD : M08.0

1. Definisi

Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu bentuk penyakit rematik yang

termasuk dalam kelompok penyakit jaringan ikat.

2. Anamnesis 1. Usia onset penyakit < 16 tahun

2. Gejala artritis (pembengkakan atau efusi, adanya 2 atau lebih: keterbatasan gerak,

nyeri, atau nyeri saat digerakkan dan perabaan hangat) pada satu atau lebih sendi

3. Lama penyakit > 6 minggu

4. Jumlah sendi yang terkena:

Poliartritis: ≥5 sendi

Oligoartritis < 5 sendi

Sistemik: gejala artritis dengan adanya demam

5. Gejala lain : nafsu makan menurun, BB turun, bila penyakit berat terjadi gangguan

tidur di malam hari akibat nyeri

6. Nyeri sendi tidak berpindah, sendi jarang terlihat merah

7. Terdapat kekakuan sendi pada pagi hari

3. Pemeriksaan

Fisik Tipe onset poliartritis : gejala artritis terjadi pada lebih 4 sendi, terbanyak pada

sendi jari, biasanya simetris, dapat juga pada sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.

Tipe onset oligoartritis : mengenai 4 sendi atau kurang (biasanya mengenai sendi

besar) terutama didaerah tungkai.

Tipe onset sistemik : didapatkan demam intermiten dengan puncak tunggal atau

ganda > 39°C selama 2 minggu atau lebih muncul artritis. Biasanya disertai

kelainan sistemik berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral

(hepatosplenomegali, serositis, limpadenopati).

4. Kriteria

Diagnosis

Sendi yang terkena artritis terasa hangat dan biasanya tidak terlihat eritem. Secara

klinis ditentukan dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi: gerakan sendi

yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Pada anak kecil yang lebih

menonjol adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pagi hari.

Dipakai kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology Association

(ACR),yaitu

Usia penderita kurang dari 16 tahun

Artritis (bengkak atau efusi; adanya dua atau lebih tanda : keterbatasan gerak, nyeri

sendi, dan panas pada sendi) pada satu sendi atau lebih

Lama sakit lebih dari 6 minggu

Tipe onset penyakit (dalam waktu 6 bulan)

- Poliartritis (≥5 sendi)

- Oligoartritis (< 5 sendi)

- Sistemik dan artritis dengan demam minimal 2 minggu, mungkin terdapat ruam

atau keterlibatan ekstrartikuler, seperti limadeopati, hepatosplenomegali, dan

perikarditis.

Kemungkinan penyakit artritis lain dapat disingkirkan.

Gejala klinis yang menyokong kecurigaan ARJ : kaku sendi pada pagi hari, ruam

reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul

reumatoid, tenosinovitis. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi

antinuklear (ANA), faktor reumatoid (RF), serta peningkatan titer komplemen C3 dan

C4.

Langkah Diagnosis :

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis ARJ semata-mata

berdasarkan klinis.

Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung/ menyingkirkan diagnosis.

Page 19: Alergi, Endokrin, Ge

Tegakkan diagnosis dan identifikasi luasnya manifestasi klinis

5. Diagnosis Artritis Reumatoid Juvenil ( ICD 10: M.08.0 )

6. Diagnosis

Banding

Demam rematik akut

Lupus eritematosusu sistemik

Keganasan

7. Pemeriksaan

Penunjang

Pemeriksaan laboratorium:

Darah perifer lengkap:

o Tergantung derajat peradangan sistemik atau persendian, bisa ditemukan

peningkatan leukosit, trombosit, LED dan penurunan Hb dan MCV

CRP

Anti nuclear antibody (ANA): positif pada 40-85% anak ARJ oligoartritis dan

poliartritis tetapi biasa ditemukan positif pada tipe sistemik

Rheumatoid factor

Pemeriksaan radiologi: tidak rutin, dilakukan pada kasus dimana terjadi

pembengkakan sendi yang nyata

Peradangan jaringan ikat lunak, osteoporosis regional

8. Tatalaksana

Dasar pengobatan suportif bukan kuratif. Pengobatan secara terpadu untuk mengontrol

manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli

fisioterapi, latihan kerja, praktek sosial, bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan

psikiatri.

Medikamentosa :

Pilihan obat anti inflamasi non steroid (AINS)

1. Asam Astil Salisat (AAS) dosis 75-90 mg/kgBB/hari peroral, dibagi3-4 dosis,

diberikan bersama makanan, selama 1-2 tahun setelah gejala klinis menghilang,

atau:

2. Naproksen 10-15 mg/ kgBB/hari dibagi 2 dosis.

3. AINS lain : sebagian besar tidak boleh diberikan pada anak. Pemberiannya hanya

untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak tertentu yang tidak

responsif terhadap AAS atau sebagai pengobatan inisial, misalnya :

Tolmetin : dosis inisial 20 mg/kgbb/hari, kemudian 15-30 mg/kgBB/hari

dibagi 3-4 dosis, diberi bersama makanan atau antasid.

Analgesik lain : Asetaminofen dosis 10-15 mg/kgBB/kali, setiap 4-6 jam sesuai

kebutuhan, jangan diberikan lebih 5 kali perhari untuk mengontrol nyeri atau

demam terutama pada penyakit sistemik (pemberian > 10 hari memerlukan

pengawasan yang ketat, tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat

menimbulkan kelainan ginjal.

Obat anti rematik kerja lambat = Slow Acting Anti Rheumatic Drugs (SAARDs)

hanya diberikan pada poliartristik progresif yang tidak menunjukkan perbaikan

dengan AINS, contoh : Hidroksi klorokuin, garam emas (gold salt), Penisilamin dan

sulfa salazin.

- Hidroksi klorokuin (dapat dipakai sebagai obat tambahan AINS), dosis 6-7

mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu turunkan jadi 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis,

jika setelah terapi 6 bulan tidak ada perbaikan obat dihentikan

- Garam emas bisa dipakai jika penderita tidak responsif terhadap pengobatan

AAS/AINS lain setelah 6 bulan. Pengobatan dengan AAS/AINS lain diteruskan

selama pemakaian garam emas. Preparat yang dipakai Gold sodium thiomalate

dan auro thioglucose. Dipakai dosis awal 5 mg IM dan kemudian dosis

ditingkatkan sampai 0,75-1 mg/kgBB/minggu (< 50mg). Jika remisi telah

tercapai dalam 6 bulan diteruskan dengan dosis yang sama dengan injeksi tiap-

tiap 2 minggu selama 3 bulan, kemudian setiap 3 minggu setelah 3 bulan, lalu

setiap 4 minggu, diteruskan sampai beberapa tahun remisi. Preparat oral garam

emas dipakai Auranofin : dosis dimulai 0,1-0,2 mg/kgBB/hari (maksimal 9

Page 20: Alergi, Endokrin, Ge

mg/hari), kemudian ditingkatkan 1 mg/kgBB/hari setiap 3 bulan sampai

mencapai dosis maksimal 6 mg. Lama pengobatan dapat sampai beberapa tahun

remisi.

- Penisilamin diberikan inisial 3 mg/kgBB/hari(< 250 mg/hari) selama 3 bulan,

kemudian 6 mg/kgBB/hari (< 500 mg/hari) dalam 2 dosis selama 3 bulan, sampai

maksimum10 mg/kgBB/hari, dalam 3-4 dosis terbagi selama 3 bulan. Dosis

rumatan diteruskan selama 1-3 tahun.

- Sulfasalazin : dosis 30-50mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis, diberi bersama makan,

jangan diberikan bersama antasid. Setelah tidak ada keluhan dosis diturunkan

perlahan-lahan sampai 25 mg/kgBB/hari. Dapat digunakan beberapa tahun.

Kortikosteroid : diberikan jika gejala penyakit sistemik, uveitis kronis dan untuk

pemberian obat secara parenteral termasuk intra artikuler. Penyakit sistemik yang

tidak terkontrol : prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal, jika keadaan lebih

berat dosis terbagi jika terjadi perbaikan klinis dosis diturunkan pelan-pelan,

kemudian stop.

Imunosupresan : pada keadaan berat yang mengancam kehidupan dipakai

metotreksat dosis inisial 5 mg/m2/minggu, jika respons tidak adekuat setelah 8

minggu pemberian, dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2/minggu. Lama pengobatan

adekuat 6 bulan.

Obat lain yang bisa dipergunakan adalah azatioprin, siklofosfamid dan klorambusil.

Indikasi Pulang

Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi

9. Edukasi

Evaluasi luas manifestasi klinis, periksa mata, terutama pada ARJ tipe oligoartritis

dengan ANA (+) dan penderita yang mendapat terapi hidroksi klorokuin.

Untuk mempertahankan fungsi dan mencegah deformitas tulang dan sendi

dilakukan fisio terapi di bagian URM.

Konsultasi kebagian bedah tulang untuk memperbaiki deformitas, memperbaiki

pergerakan sendi.

10. Komplikasi

Gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis dini.

Komplikasi akibat pengobatan steroid

Vaskulitis, ensefalitis, amiloidosis ginjal sekunder

Kelainan tulang dan sendi yang lain seperti ankilosis, luksasio atau fraktur.

Prognosis 70-90% sembuh tanpa kecacatan, 10% dapat terjadi cacat sampai dewasa.

Sebagian kecil sekali menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa.

Prognosis kurang baik pada tipe onset sistemik atau poliartritis, atau disertai uveitis

kronik, erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid dan faktor

reumatoid positif.

Angka kematian sangat rendah (2-4%), sering dihubungkan dengan gagal ginjal akibat

amilodosis serta infeksi.

11. Tingkat

Evidens

IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator

medis

Klinis: peradangan sendi, ROM, demam

LED, leukosit, CRP, SGOT, SGPT

Indikasi Pulang

Klinis inaktif, komplikasi terdeteksi dan telah ditanggulangi

15. Daftar

kepustakaan

1. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munazir Z, Kurniati N.

Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia : edisi ke 2.

Jakarta. 2008. Hal: 332-44.

2. Miller ML, Cassidy JT. . Juvenile Rheumatoid Arthritis. Dalam: Behrman

RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi

Page 21: Alergi, Endokrin, Ge

ke 18. Philadelphia WB Saunders Co 2008.

3. Cassidy, Petty RE, Laxer RM. Textbook Pediatric Rheumatology. Philadelphia:

Elsevier Saunders. 2010.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 22: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus)

Kode ICD : B20.7

1. Definisi

Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): disebabkan oleh virus HIV, yang

menyerang sel imun tubuh, sehingga terjadi gangguan sistem imun tubuh.

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang menunjukkan

adanya sindrom defisiensiimun seluler sebagai akibat infeksi Human

Immunodeficiency Virus (HIV).

2. Anamnesis

Riwayat penyakit: demam berulang/ berkepanjangan, gagal tumbuh, diare yang

berkepanjangan, kandidiasis oral, pnemonia yang persisten, infeksi bakteri

berulang

Faktor risiko orang tua untuk terinfeksi HIV: riwayat narkoba suntik, pasangan

penderita HIV, sering berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pernah

mengalami operasi/tindakan, pekerjaan orang tua

Riwayat kelahiran, ASI, riwayat pengobatan ibu, kondisi neonatal

3. Pemeriksaan

fisik

Gejala awal tidak nyata, dapat hanya ditemukan limfadenopati,

hepatosplenomegali

Gagal tumbuh

Berat badan turun progresif

Diare persisten

Kandidiasis oral

Otitis media kronik

Pneumonia interstitial

Pembengkakan parotis kronik

Gejala infeksi oportunistik: tuberkulosis, herpes zooster generalisata, pneumonia

P. jiroveci (carinii) , pneumonia berat

4. BentukKlinis

(Klasifikasi)

Kalsifikasi klinis:

a. Klasifikasi CDC :

- kategori N : asimptomatik

- kategori A : simptomatik ringan

- kategori B : simptomatik sedang

- kategori C : simptomatik berat atau AIDS

b. Klasifikasi menurut WHO:

1: asimptomatik

2: ringan

3: sedang

4: berat

Klasifikasi Imunologis:

a. Berdasarkan CD4+ Imunodefisiensi CD4+ menurut umur

<11 bln (%) 12-35 bln (%) 36-59 bln (%) >5 th(sel/mm3)

Tidak ada >35 >30 >25 >500

Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499

Sedang 25-30 20-25 15-20 200-349

Berat <25 <20 <15 <200 atau<15%

Page 23: Alergi, Endokrin, Ge

b. Berdasarkan hitung limfosit total (TLC= total lymphocyte count) Nilai TLC berdasarkan umur

<11 bln

(sel/mm3)

12-35 bln

(sel/mm3)

36-59 bln

(sel/mm3)

≥ 5 th (sel/mm3)

TLC <4000 <3000 <2500 <2000

CD4+ <1500 <750 <350 <200

Kriteria

Diagnosis

a. Diagnosis presumptif (dicurigai) HIV pada anak < 18 bulan:

- Bila ada 1 kriteria berikut:

Pneumonia P jirovecii, mengitis kriptokokus, kandidiasis esofagus.

Toksoplasmosis

Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar

ATAU

- Minimal 2 gejala berikut:

Oral thrush

Pneumonia berat

Sepsis berat

Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang

lanjut pada ibu

CD4+ <20%

b. Dasar diagnosis

- anamnesis adanya faktor risiko tertular HIV

- gambaran klinis menunjukkan penurunan kekebalan

- adanya antibodi IgG spesifik HIV

5. Diagnosis HIV AIDS (Human Immunodefisiensi Virus) (ICD 10: B.20)

6. Diffrential

diagnosis

Imunodefisiensi primer

7. Pemeriksaan

Penunjang

Penegakan diagnosis:

usia <18 bulan:

- bila tersedia: PCR RNA (DNA)

- antibodi anti HIV dapat dilakukan untuk melihat apakah anak

terpapar HIV dari ibu diulang setelah anak berusia 18 bulan

usia >18 bulan:

- antibodi HIV

- konfirmasi : westernblot atau PCR RNA/DNA (bila ada)

- pemeriksaan CD4+ untuk melihat status imunosupresi

pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT, SGPT sesuai indikasi untuk melihat

efek samping obat

pemeriksaan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan dengan infeksi

HIV (TBC, hepatitis B dan C)

pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan dll) dan konsultasi ke ahli terkait

disesuaikan dengan infeksi oportunistik.

8. Tatalaksana

Penilaian:

a. Nilai status nutrisi, pertumbuhan dan kebutuhan intervensinya

b. Nilai status imunisasi dan berikan imunisasi yang sesuai

c. Nilai tanda dan gejala infeksi oportunistik (IO) dan pajanan TB. Bila dicurigai

terdapat IO, lakukan diagnosis dan pengobatan sebelum mulai ART

d. Lakukan penilaian stadium HIV

e. Identifikasi obat-obatan lain termasuk obat tradisional karena mungkin dapat

beinteraksi dengan obat ARV

f. Lakukan penilaian stadium imunologis, bila CD4+ tidak tersedia dapat dipakai

TLC

g. Nilai apakah anak memenuhi kriteria pemberian ART. Indikasi pemberian ART

Page 24: Alergi, Endokrin, Ge

(menurut WHO 2010) usia Stadium klinis Imunologis /CD4+

<24 bulan Semua diterapi

>24 bulan Stadium 3 dan 4 (tangani dulu

IO)

Semua diterapi

Stadium 1 dan 2 CD4+ <25%: terapi

h. Nilai situasi keluarga :

Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediannya untuk mematuhi

pengobatan dan pemantauan pada anak terutama ART

Nilai pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta

informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga

Indikasi rawat:

Gizi buruk

Infeksi berat/sepsis

Pneumonia

Diare kronis dengan dehidrasi

Rekomendasi ART

Regimen lini pertama yang direkomendasikan 2 Nucleoside Reverse Transcriptase

Inhibitor (NRTI) ditambah 1 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor:

a. Anak usia < 3 th:

Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau

Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP)

b. Anak usia ≥ 3 th:

Zidovudine (AZT)+Lamivudine (3TC)+ nevirapine (NVP) atau efavirenz

(EFV)

Stavudine (D4T)+lamivudine (3TC) + nevirapine (NVP) atau efavirenz

(EFV) Nama obat Dosis

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor

Zidovudine (AZT) Usia <4 minggu: 4 mg/kg/dosis 2 kali sehari

(tab 300 mg) Usia 4 minggu-13 tahun: 180-240 mg/m2/ dosis 2x sehari

Max 300 mg/dosis 2x sehari ATAU

6-7 mg/kgBB/ dosis tiap 12 jam = 160 mg/m2/dosis

Lamivudine (3TC) <30 hari: 2 mg/kg/dosis 2x/hari

(tab 150 mg) >30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis 2x hari

Max 150 mg/kg/dosis 2 x hari

Stavudine (d4T) BB <30 kg: 1 mg/kg/dosis 2x sehari

Cap: 15 mg, 20 mg, 30 mg,

40 mg

Syr 200 cc: 1 mg/ml

BB> 30 kg: 2 mg/kg/dosis 2x sehari

Non Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)

Nevirapin (NVP) 2 mgg I: 5 mg/kgBB sekali sehari (max 200 mg)

Tab 200 mg 2 mgg II: 5 mg/kgBB/ dosis (2x sehari)

Selanjutnya: 7 mg/kgBB/dosis (2x sehari) untuk anak < 8 th

Untuk anak >8 th: =dewasa

Efavirenz (EFV) 10-15 kg: 200 mg 1x sehari

Cap: 50mg, 15-<20 kg: 250 mg 1x sehari

100 mg, 200 mg 20-<25 kg: 300 mg 1x sehari

600 mg 25-<32,5 kg: 350 mg 1x sehari

32,5-<40 kg: 400 mg 1x sehari

Profilaksis Pneumonia P. jirovecii: cotrimoxazole 5 mg/kgBB/hari sekali sehari;

Page 25: Alergi, Endokrin, Ge

terapi Pneumonia P. jirovecii 15 mg/kg/hari terbagi 3 dosis selama 21 hari

Pemantauan

Pemantauan anak terinfeksi HIV yang belum terindikasi pemberian ARV Item dasar Bulan

1

Bulan

2

Bulan

3

Bulan

6

Tiap

6 bln

Evaluasi klinis X X X X X X

BB&TB X X X X X X

Status nutrisi & kebutuhannya X X X X X X

Kebutuhan CTX & kepatuhan

berobat

X X X X X X

Konseling mencegah

pemakaian narkoba, penularan

PMS & kehamilan

X X X

Pencegahan IO dan

pengobatan

X X X X X X

Laboratorium

Hb dan leukosit X X

SGPT X

CD4+% atau absolut X X

Pemantauan anak terinfeksi HIV telah mendapat ARV Item dasar Bulan

1

Bulan

2

Bulan

3

Bulan

4

Tiap 2-3

bulan

Bila ada

gejala

Evaluasi klinis X X X X X X X

BB &TB X X X X X X

Perhitungan dosis

ART

X X X X X X

Obat lain

bersamaan

X X X X X X

Kepatuhan minum

obat

X X X X X

Laboratorium

Hb dan leukosit X X

Kimia darah

lengkap

X

Tes kehamilan

pada remaja

X X

CD4+% X X X

9. Edukasi

Pencegahan penularan HIV:

Menghindari tingkah laku seksual yang menyimpang pada anak remaja

Mencegah kehamilan ibu yang sudah terinveksi HIV

Tidak menyuntik anak dengan jarum yang tercemar

Selektif terhadap donor darah, mereka yang berprilaku resiko tinggi tertular HIV

tidak dijadikan donor.

Edukasi pada orang tua/ wali/ keluarga di rumah:

Kegagalan pengobatan seringkali disebabkan karena ketidakpatuhan dalam

pemberian ARV sehingga penting sekali bagi orangtua untuk memastikan ARV

dimakan setiap hari sesuai jadwal

Pentingnya datang kontrol untuk pemantauan gejala klinis

Mencegah terjadinya infeksi (makan obat profilaksis secara teratur, menghindari

orang yang terkena infeksi)

Pemberian nutrisi yang cukup

Imunisasi

10. Komplikasi

dan

Prognosis

Komplikasi

Komplikasi pada organ spesifik : Lymphocytic Interstitial pneumonitis (LIP),

gangguan susunan saraf pusat, gangguan pertumbuhan dan endokrinologi,

gangguan gastrointestinal dan nutrisi, manifestasi hematologis dan keganasan.

Infeksi : infeksi bakteri berulang, infeksi mikobakteria, virus protozoa, jamur dan

Page 26: Alergi, Endokrin, Ge

infeksi pneumonitis karnii.

IRIS (immune reconstitution inflammation syndrome) terjadi 2-12 minggu setelah

memulai ART akibat meningkatnya kemampuan respon imun/ pemulihan sistem

imun.

Prognosis

Penyakit infeksi HIV berakibat fatal, 75% meninggal dalam 3 tahun sejak diagnosis

AIDS ditegakkan.

11. Tingkat

evidens

IV

12. Tingkat

rekomendasi

C

13. Penelaah kritis Divisi alergi imunologi anak RSMH

14. Indikator

medis

Klinis: tanda vital, sesak, pucat, BAB, muntah, toleransi makan obat-obatan, status

nutrisi

Laboratoris: darah perifer

15. Taksiran lama

perawatan

14-30 hari

16. Daftar

kepustakaan

1. Matondang CS, Kurniati. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Dalam: Akib AA,

Munazir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi imunologi anak. Ikatan Dokter Anak

Indonesia : edisi ke 2. 2008. Hal: 378-414

2. Yogev R, Chadwick EG . Acquired Immunodeficiency Syndrome

(Human Immunodeficiency Virus). Bab 273.Dalam: Behrman N,

Kliegman Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia WB

Saunders Co 2008.

3. Suyoko EMD, Sari DY. Gambaran klinis dan diagnosis HIV pada bayi dan anak.

Dalam: Akib AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D. HIV

infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management.

Unit Pendidikan Kedokteran Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan FK UI.

Jakarta 2009

4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,

dkk. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jilid 2. Ikatan

Dokter Anak Indonesia. 2011.

5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana infeksi HIV dan terapi anti retroviral pada anak

di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Alergi Imunologi Anak

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Yusmala Helmy, SpA(K)

NIP 195801261985032006 NIP 195411281983032002

Page 27: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Diabetes Melitus

Kode ICD : E10.41

1. Definisi

Diabetes adalah keadaan akibat tubuh tidak dapat membuat insulin

secara cukup atau insulin tidak dapat bekerja secara optimal

sehingga terjadi peningkatan gula darah dan gangguan metabolisme

lemak serta protein.

2. Anamnesis

polifagia, poliuria (sering kencing malam hari/ngompol), polidipsia,

berat badan turun, badan lemas, gatal-gatal, faktor genetik (riwayat

keluarga dengan DM).

3. Pemeriksaan Fisik - Penilaian Antropometri

- adanya sindroma lain

- acantosis nigrans (+/-)

4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan:

Anamnesis

Gejala klinis

Laboratorium

Diabetes simptomatis/klinis

Gejala klasik: polidipsia, poliuria, polifagia, berat badan turun.

Gula darah puasa > 120 mg/dl atau Gula darah 2 jam PP > 200

mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 mg/dl.

Diabetes ketoasidosis

Hiperglikemia, ketonemia, asidosis, ketonuria, glukosuria.

Diabetes asimtomatis/prediabetes

Curiga bila terdapat 2 gejala pada nomer 1b OGTT

Tes autoantibodi insulin (AAI) + HLA+ ICA+L(Islet Cell

Antibody).

5. Diagnosis

DM tipe I

DM tipe II

Page 28: Alergi, Endokrin, Ge

6. Diagnosis Banding Berdasarkan bentuk klinis:

1. DM tergantung insulin/DM tipe I: 95- 98 % kasus

Predisposisi genetik

Pengaruh lingkungan sebagai trigger factor

Kelainan autoimun

2. DM tidak tergantung insulin/ DM tipe II (resistensi insulin

dan defisiensi insulin relatif): berkisar 2-5%, a.l. maturity onset

of youth (MODY/Mason type)

3. Tipe lain (Diabetik sekunder):

Kriteria DM tipe I/II + sindrom genetik/terapi

obat/penyakit pankreas/penyakit lain.

7. Pemeriksaan

Penunjang

kadar gula darah, bila perlu OGTT (bila meragukan), gula urin /

reduksi, ketonemia urin, C peptide, HbA1c, ICA/IAA (kalau

mampu).

8. Terapi

Mencegah komplikasi

Menghilangkan gejala klinis

Pertumbuhan dan perkembangan yang normal (fisik dan emosi)

Mencapai harapan hidup yang sama dengan bukan penderita

diabetes

Nutrisi dan Exercise

Tujuan:

Tipe I: mempertahankan normal lipemia dan mencegah

hiperlipoproteinemia

Tipe II: mencegah overweight dengan pengaturan diet

dan exercise .

Jumlah kalori sampai usia 12 tahun : 1000 kalori + [100 X

Usia (tahun)]

Pembagian kalori per 24 jam: 20% pagi, 20-25% siang, 25-

30% malam (diantaranya 3X makanan kecil masing-masing

10%)

Komposisi seimbang: karbohidrat 50-55%, lemak 30%,

protein 15-20%.

Insulin

Pertama kali diberikan Reguler Insulin (RI) (insulin jangka

pendek) SC 3-4 kali/hari, dosis inisial 0,5-1 iu/kgBB/hari,

kemudian dosis dinaikkan sesuai profil gula darah.

Terkontrol bila:

Gula darah puasa 130 mg/dl atau

Gula darah sewaktu 200 mg/dl

Page 29: Alergi, Endokrin, Ge

Reduksi urine (-)

Tipe I :

Dosis tergantung individu masing-masing.

Basal Bolus :

- Basal Insulin, sebesar 40-50% dosis harian; dan

- Bolus Insulin sebanyak 3 kali sehari

Basal Insulin menggunakan Insulin Long acting atau Intermediate

acting.

Bolus Insulin menggunakan Insulin kerja pendek/ kerja cepat.

Dosis keduanya disesuaikan dengan profil gula darah. Dengan dosis

total Insulin 0,5 – 2 iu/ kgBB/ hari (rata-rata 0,7 – 1,5 iu/ kgBB/

hari)

Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap (10%) setiap dua atau

tiga hari sekali sampai dosis optimum, dengan monitoring

pemeriksaan gula darah dan reduksi urine.

Tipe II: coba stop insulin, penyesuaian diet dan aktifitas, kalau perlu

obat diabetes oral. Bila berat badan sekitar 80% standar, coba stop

obat diabetes.

Terapi terhadap penyakit penyerta Pengobatan seperti standar

prosedur masing-masing penyakit

Indikasi Rawat:

- Pertama kali didiagnosis diabetes untuk mempersiapkan

anak/anggota keluarga dalam menangani DM dan komplikasi

akut yang dapat timbul.

- Diabetik ketoasidosis/koma diabetik

- Hipoglikemi yang tidak bisa diatasi dengan terapi oral

9. Edukasi

Penyuluhan kepada pasien dan orang tua/keluarga merupakan hal

yang sangat penting, mengenai:

Penyakit, komplikasi dan penanggulangan diabetes

Pemakaian insulin (cara, dosis, waktu, efek samping), insulin

pada Tipe I diberikan seumur hidup, tetapi hati-hati ada periode

“honeymoon”

Pengaturan makanan, olahraga, home monitoring

Aspek psikososial

Tumbuh dan kembang

10. Prognosis

Ad Vitam: dubia ad bonam/malam

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam

Ad Functionam: dubia ad bonam/malam

Page 30: Alergi, Endokrin, Ge

11. Tingkat Evidens

Ib

12. Tingkat

Rekomendasi

A

13. Penelaah Kritis Divisi Endokrinologi IKA RSMH

14. Indikator Medis Kadar gula darah terkontrol

Anak makan dan minum baik

Tanda-tanda infeksi tidak dijumpai

Keluarga / orang tua siap untuk pengobatan mandiri

Nilai HbA1c < 7%

Mencegah komplikasi

tumbuh kembang optimal

15. Daftar

kepustakaan

1. Diabetes control and complication Trial research group: The

effect of intensive treatment of diabetes on the development and

progression of long term complication in insulin dependent

diabetes mellitus. N Engl J Med 1993;329:977-986.

2. Holl RW, Swift PG, Mortensen HB, Lynggaard H, Vanelli M,

Aman J, etc: Insulin injection regimens and metabolic control in

an international survey of adolescents with type 1 diabetes over

3 years: results from the Hvidore study group. Eur J Pediatr

2003; 162: 22-29.

3. Peveler RC, Bryden KS, Neil HA, Fairburn CG, Turner HM,

etc: The relationship of disordered eating habits and attitudes to

clinical outcomes in young adults females with type 1 diabetes.

Diabetes Care 2005; 28: 84-88.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen IKA RSMH Ketua Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 31: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Diabetes Ketoasidosis

Kode ICD :E13.10

1. Definisi

Ketoasidosis diabet adalah keadaan klinis diabetes melitus yang ditandai

dengan: kadar gula darah > 200 mg/dL, pH darah < 7,3 dan / atau

bikarbonat < 15 mmol/L, serta ditemukan ketonemia atau ketonuria.

2. Anamnesis

Poliuria, polidipsia dan polifagia disertai dengan berat badan menurun, sesak

napas dengan / tanpa kesadaran menurun. Penderita DM lama dengan

riwayat kepatuhan berobat yang kurang atau riwayat muntah-muntah disertai

nyeri perut atau sesak disertai kesadaran menurun

Pada kasus rujukan ditanyakan jumlah maupun jenis cairan dan insulin yang

telah diberikan, serta riwayat pemberian Bicnat.

3. Pemeriksaan

Fisik

a. Keadaan umum dan tanda vital. Tampak sakit sedang sampai berat,

kesadaran menurun, asidosis, sesak nafas (pernapasan Kussmaul),

dehidrasi dengan / tanpa tanda-tanda renjatan, kejang +/-, pada pH 6,9

dapat terjadi depresi pernafasan

b. Status lokalis. Kadang disertai distensi abdomen.

4. Kriteria

Diagnosis

Berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang

Hiperglikemia yang nyata (> 300 mg/dl),

Asidosis (pH < 7,30, bikarbonat < 15 mEq/L),

Ketonuria dan ketonemia.

5. Diagnosis

Kerja

KAD ringan : pH antara 7,3 dan kadar bikarbonat < 15 mmol/L

KAD sedang : pH darah antara 7,2 dan kadar bikarbonat < 10 mmol/L.

KAD berat : pH darah < 7,1 dan kadar bikarbonat < 5 mmol/L.

6. Diagnosis

Banding

Diare akut dengan dehidrasi

bronkopneumonia

ensefalitis

7. Pemeriksaan

Penunjang

Darah.

Kimia darah: glukosa darah, serum elektrolit, fungsi ginjal

Darah tepi lengkap.

Analisis gas darah.

Urin: keton urin, reduksi urin, poliuria (> 900 ml/m2/hari).

8. Terapi

Setiap penderita KAD berat, KAD dengan penurunan kesadaran, KAD

Page 32: Alergi, Endokrin, Ge

berusia kurang dari 5 tahun dan KAD dengan kecurigaan edema serebri

sebaiknya dirawat di ICU.

Fase akut

a) Resusitasi cairan

Tentukan status hidrasi dan defisit cairan dalam 48 jam (lihat tabel)

Dehidrasi

Ringan Sedang Berat

Bayi 5%: 50 ml/kg 10%: 100 ml/kg 15%: 150 ml/kg

Anak 3%: 30 ml/kg 6%: 60 ml/kg 9%: 90 ml/kg

Bila ditemukan renjatan

Berikan cairan (NaCl 0,9% atau RL) 20 ml/kg/jam, dapat diulang

sampai renjatan teratasi.

Bila tidak ditemukan renjatan/setelah renjatan teratasi

Pemberian cairan dilakukan secara gradual dalam 48 jam untuk

menghindari terjadinya edema otak

Sisa defisit cairan adalah defisit cairan dalam 48 jam (sesuai tabel di

atas) dikurangi jumlah cairan yang diberikan untuk mengatasi renjatan.

Jumlah cairan yang diberikan dalam 48 jam adalah sisa defisit cairan

ditambah kebutuhan cairan rumat untuk 48 jam kemudian (lihat tabel).

Tabel Cairan Rumat untuk 48 Jam Kemudian

Berat Badan Jumlah Cairan Rumat

10 kg pertama 200 ml/kg

10 kg berikutnya + 100 ml/kg

Penambahan BB selanjutnya + 40 ml/kg

Jenis cairan yang digunakan adalah cairan fisiologis yang isotonis (NaCl

0,9% atau RL) dan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi.

Lakukan balans cairan setiap 4 jam. Bila ada penurunan kesadaran perlu

dipasang kateter urin.

b) Pemberian insulin.

Berikan regular insulin atau Rapid Insulin 0,1 iu/kgBB/jam secara

intravena (perdrip) dan diberikan secara terpisah dengan jalur infus untuk

resusitasi cairan

50 iu insulin dimasukkan dalam 500 ml NS 0,9% atau 10 Iµ insulin

dalam 100 ml NS 0,9%

Berikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam

Kadar gula darah tidak boleh turun > 100 mg/dL per jam

Jumlah cairan untuk pemberian insulin ini diperhitungkan juga, sehingga

Page 33: Alergi, Endokrin, Ge

tetesan resusitasi cairan perlu dikurangi dengan jumlah tetesan insulin.

Insulin tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Kecepatan pemberian

insulin dapat disesuaikan (misal menjadi 0,05 µ/kgBB/jam) sesuai klinis.

Penggantian pemberian secara subkutan harus dilakukan dulu 30 menit

sebelumnya baru insulin drip distop.

Apabila kadar gula darah telah mencapai 250-300 mg/dL, cairan

resusitasi ditambahkan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1 dengan

cairan NaCl 0,9%.

Pertahankan kadar gula darah antara 200-250 mg/dl selama pemberian

insulin intravena dengan melakukan monitoring berkala.

c) Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit

Gangguan asam basa

Koreksi asidosis hanya dilakukan apabila pH darah < 6,9

Koreksi dilakukan secara perlahan dan dosis bikarbonas natrikus yang

diberikan adalah 0,6 X BE X BB

Monitoring dilakukan minimal setiap 2-4 jam.

Gangguan elektrolit.

Pada KAD ditemukan pseudohiponatremia sehingga harus dilakukan

koreksi atas hasil pemeriksaan kadar natrium yang ditemukan. Apabila

kadar natrium yang sesungguhnya berdasarkan hasil perhitungan adalah >

125 mEq/l maka tidak dilakukan koreksi.

Rumus:

Kadar Na+(sebenarnya) =

Kadar Na+ (terukur) + 1,6 (kadar gula darah - 100 mg/dl)

100

Apabila miksi ada, maka sebaiknya sejak awal sudah diberikan kalium

yaitu 40 mEq/L (anak < 30 kg) dan 80 mEq/L (anak > 30 kg)

Lakukan monitoring EKG pada gangguan kalium

Kecepatan pemberian kalium tidak boleh melebihi 40 mEq/jam atau

0,3 mEq/kg/jam.

d) Terapi nutrisi. Sebaiknya tidak diberikan makanan oral bila ditemukan

nyeri perut dan distensi abdomen.

e) Monitoring

Awasi tanda-tanda vital

Monitoring gula darah kapiler: dilakukan secara ketat (setiap jam dan hal

ini harus di cross check dengan gula darah vena) pada 4 jam pertama dan

selanjutnya setiap 4 jam

Periksa Na, K, Cl, ureum, hematokrit, gula darah, analisis gas darah

setiap 2-4 jam. Peningkatan lekosit dapat disebabkan oleh stress dan tidak

dapat dijadikan sebagai tanda infeksi

Waspadai terjadinya edema serebri yang biasanya terjadi pada jam-jam

pertama resusitasi dengan gejala kesadaran menurun dan hiponatremia.

Page 34: Alergi, Endokrin, Ge

Bila terjadi edema serebri berikan manitol 0,5-1 g/kgBB/drip dalam 20

menit dan bisa diulang 2 jam kemudian

Cari faktor pencetus KAD (misal infeksi, noncompliance).

Fase Subakut

Pemberian insulin secara intravena dapat diganti secara subkutan apabila

Penderita sudah tidak mengeluh nyeri perut

Kedaruratan asidosis telah teratasi (pernafasan Kussmaul tidak ada,

kadar HCO3> 15 mEq/L).

Pemberian nutrisi

Edukasi

9. Edukasi

Sangat penting dilakukan edukasi pada orangtua, penderita DM dan

lingkungan agar tercapai kontrol metabolik yang baik dan mencegah

terjadinya komplikasi DM (KAD).

10. Prognosis

Ad Vitam: dubia ad bonam/malam

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam

Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam

11. Tingkat

Evidens

III

12. Tingkat

Rekomendasi

C

13. Penelaah

Kritis

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

14. Indikator

Klinis

Tercapainya kontrol metabolik optimal dengan memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

Insulin

Pengaturan makan

Exercise

Edukasi

Monitoring gula darah teratur.

15. Daftar

kepustakaan

1. Charfen MA, Fernandez-Frackelton M: Diabetic Ketoacidosis. Emerg

Med clin North Am 2005;23:609-628.

2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, Bohn DJ, Daneman D, Danne

TPA, Glaser NS, Hanas R,Hintz. ESPE/Lawrence Wilkins Concensus

Statement on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents.

Paediatrics 2004;113:133-140.

3. Rosenbloom Al. Hyperglycemic crises and their complications in

children. J Pediatr Endocrinol Metab 2007;20:5-18.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen IKA RSMH Ketua Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 35: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

HIPOTIROID KONGENITAL

Kode ICD :E03.0- E03.1

1. Definisi

Keadaan di mana kelenjar tiroid gagal untuk mensekresi hormon tiroid

secara cukup sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan organ-organ

tubuh pada bayi baru lahir.

2. Anamnesis

a. Asal daerah gondok endemik?

b. Riwayat kelainan kelenjar tiroid pada ibu serta pemakaian obat

(pengobatan) selama kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan

anak

3. Pemeriksaan

fisik

a. Tentukan diagnosis hipotiroid berdasarkan scoring neonatal

hypothyroid index (untuk diagnostik pada RS Perifer dan/ atau

Puskesmas) :

Klinis Skor

Feeding problem 1 Constipation 1 Inactivity 1 Hypotonia 1 Umbilical hernia (>0,5) 1 Enlarge tongue 1 Dry skin 1,5 Skin mottling 1 Open posterior fontanella 1,5 Typical facies 3

Bila total nilai skor ≥ 4 dicurigai hipotiroid lakukan

pemeriksaan laboratorium untuk memastikan

b. Bayi baru lahir

Gejala klinis sering belum jelas, dapat berupa:

Ikterus fisiologis yang memanjang

Hipotermi sementara (suhu rektal< 35,5oC) dalam 0-45 jam paska

lahir

Ubun-ubun besar melebar (> 0,5 cm) terutama fontanella posterior

Makroglosi, kesulitan minum, sering keselek dan sering kesulitan

bernafas

Suara besar dan parau, tangis serak

Hernia umbilikalis (hipotoni otot), sering obstipasi, distensi abdomen

Reflek tendon melambat

Nadi lambat, kulit kering dan dingin, terdapat mottling (bercak-

bercak)

Miksedema / sembab pada wajah, hipertelorisme.

Page 36: Alergi, Endokrin, Ge

ECG (tidak spesifik): low voltage, prolonged conduction time

Foto toraks: bayangan jantung membesar.

c. Masa bayi dan anak

Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (motorik, mental, gigi,

tulang, pubertas)

Miksedema, sering obstipasi

Ubun-ubun besar terlambat menutup

Makroglosi

Kesulitan belajar, anemia

Aktivitas lambat, retardasi mental makin jelas.

Catatan: goiter jarang dijumpai (tetapi bayi dengan goiter sering didapat

pada ibu Grave yang diobati dengan PTU).

5. Kriteria

Diagnosis

TSH ↑, T4/fT4 ↓

fT4 ↓, TSH ↓ (suspek pituitary/sekunder hipotiroid, isolated TSH

deficiency atau tersier hypothyroid) evaluasi ulang fT4

T4/fT4 normal, TSH ↑ evaluasi ulang 2-3 minggu T4/fT4 ↓, TSH ↑

(immature feedback mechanism).

Catatan: fT4 lebih disarankan dibanding T4

6.Diagnosis kerja Hipotiroid kongenital

7. Diagnosis

Banding

-

8. Pemeriksaan

Penunjang

Laboratorium: TSH, free T4

i. Untuk skrining bisa dimulai dengan pemeriksaan TSH dulu

ii. Bila TSH > 20 kemungkinan hipotiroid besar

iii. TSH >100 95% merupakan hipotiroid walaupun gejala masih

negatif

Radiologi: bone age, foto toraks, thyroid scanning (atas indikasi)

Lain-lain: BERA / tes pendengaran, EMG (Elektromiografi) atas

indikasi

9. Terapi

Berikan hormon tiroid: Tiroksin (0,1 mg) dengan dosis awal:

Usia: 0 - 3 bulan 8 – 10 g/kg BB/hari

3 – 6 bulan 7 – 11 g/kg BB/hari

6 – 12 bulan 6 – 8 g/kg BB/hari

1 – 5 tahun 4 – 6 g/kg BB/hari

kemudian dosis ditingkatkan atau diturunkan tergantung evaluasi

klinis dan pemeriksaan laboratorium.

Bila terdapat kelainan jantung atau pada hipotiroid berat (dengan

miksedema) dosis dimulai dengan ¼ dosis rumatan dan

ditingkatkan secara bertahap tiap 5 hari sampai tercapai dosis

optimum.

10. Edukasi

Pencegahan : Skrining Hypothyroid saat bayi baru lahir (usia 1 – 2

hari)

Page 37: Alergi, Endokrin, Ge

11. Prognosis

Ad Vitam: dubia ad bonam

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam

Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam

12. Tindak

lanjut

Selama terapi harus selalu dievaluasi :

a. Klinis :

Gejala timbulnya hipotiroid (bila dosis terlalu rendah / tidak

teratur berobat)

Gejala timbulnya hipertiroid ( bila dosis terlalu tinggi)

b. Laboratorium: T4/fT4, TSH 4–6 minggu sekali untuk 3 bulan

pertama, kemudian setiap 3 bulan dan 4 bulan sekali untuk tahun

kedua, seterusnya setiap 6 bulan selama 5 tahun

c. Radiologis: Bone age / maturasi tulang 2 tahun sekali

d. Psikometri: dimulai sejak usia 12-18 bulan setiap 2 tahun

e. BERA / tes pendengaran: sedini mungkin dan evaluasi setiap

tahun

f. EMG (bila mungkin) untuk evaluasi “ conducting nerve “

g. EEG (atas indikasi ).

13. Tingkat

Evidens

III

14. Tingkat

Rekomendasi

C

15 Penelaah

Kritis

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

16. Indikator

Klinis

- Normalisasi fungsi tiroid

- Optimalisasi Pertumbuhan dan perkembangan termasuk :

Motorik kasar

Motorik halus

Bicara

Perkembangan 37sosial

- Pencegahan Komplikasi

17. Daftar

kepustakaan

1. Foley TP Jr, Malvaux P, Blizzard RM: Thiroid disease: in Kappy

MS, Blizard RM, Migeon CJ: Wilkins: the Diagnosis and

treatment of Endocrine Disorders in childhood and adolescence,

ed 4. Springfield, Thomas,1994,pp457-533.

2. Svenson J, ericsson UB, Nilsson P, et al: Levothyroxin treatment

reduces thyroid size in children and adolescence with chronic

autoimun thyroiditis. JClin Endocrinol metabolic

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ketua Departemen IKA RSMH Ketua Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 38: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

HIPERTIROID Kode ICD : P72.1

1. Definisi

Hipertiroid adalah keadaan dimana terjadi kelebihan hormon tiroid dalam

sirkulasi darah.

2. Anamnesis

a. Adanya faktor genetik yang dipicu oleh lingkungan (infeksi, obat, stress,

bahan kimia)

b. Gejala klinis: keluhan dada berdebar, berkeringat, mudah lelah, mata

menonjol

3. Kriteria

Diagnosis

Langkah Diagnosis :

Anamnesis

Pemeriksaan fisis / gejala klinis

Gejala lebih ringan dari dewasa dan muncul perlahan (6-12 bulan).

Krisis tiroid dan hipertiroid apatik jarang dijumpai.

Adanya Trias : Goiter ( diffus), tirotoksikosis, oftalmopati + dermopati

( jarang).

Gejala mayor : Struma, takikardi, tekanan nadi melebar,

eksoftalamus, nervositas.

Gejala minor: tremor, intoleransi panas, berat badan menurun.

Gejala lain: nafsu makan meningkat, banyak berkeringat, kulit panas,

prestasi belajar menurun, emosi labil, sering buang air besar, diare,

menstruasi tidak teratur.

Pemeriksaan penunjang

T4 atau fT4 ↑, T3 ↑, TSH ↓

Uptake RAI naik 34 - 40%

Pada saat sakit T3 meningkat (merupakan tes terbaik untuk

skrining)

Ada thyroid stimulating Ig, TRAb.

4. Diagnosis

Kerja

Hipertiroid

Neonatal/kongenital: transplacental TSH receptor stimulating

immunoglobulin dari ibu yang menderita penyakit Grave (bersifat

transien)

Didapat: penyakit Grave / tirotoksikosis autoimmun (kasus terbanyak),

fungsional adenoma, tiroiditis subakut, tumor hipofise yang

memproduksi TSH atau hipofise resisten thyroxine.

5. Pemeriksaan

Penunjang

Laboratorium fungsi tiroid

USG tiroid dan skintigrafi kalau perlu

EKG bila perlu

Pemeriksaan imunologi (bila fasilitas ada)

Page 39: Alergi, Endokrin, Ge

6.Terapi

a) Konservatif / medikamentosa dengan obat anti tiroid/ATD:

Dapat diberikan :

1. Methimazol dengan dosis :

Dosis inisial 0,4mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis, dilanjutkan dosis

pemeliharaan 0,2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.

2. Propiltiourasil (PTU) dengan dosis :

Anak kecil: 5-7 mg/kgBB/hr dibagi 3 dosis, dosis ditingkatkan /

diturunkan bertahap sesuai dengan evaluasi klinis dan laboratorium

Anak besar : pada umumnya 3 X 100 mg/hari.

Gejala klinis berkurang setelah 1-2 minggu, kelainan laboratorium

normal setelah 4-6 minggu (perlu dipantau T3, fT4, TSH dan

BMR).

Bila fT4 rendah perlu diperiksa TSH untuk menilai over treatment.

Dosis PTU diturunkan sesuai hasil pemantauan klinis dan

laboratorium.

30-40% pasien remisi setelah 2-3 tahun dan di tappering 6 bln-1 th

sehingga bila dihentikan tidak terjadi hipertiroid.

Obat lain yang sering digunakan :

1. Obat Adrenergic antagonis misalnya propanolol

Merupakan obat tambahan yang dapat diberikan selain ATD.

Kerjanya menurunkan gejala hipertiroid dan obat distop

setelah eutiroid.

Dosis propanolol 0,5-3 mg/kg/hari

Hati-hati pada pasien asma atau gagal jantung.

2. Obat yang mengandung iodide

Inorganic Iodide misalnya iopanoic acid dan sodium ipodate

Indikasi pada neonatal Graves: Iopanoic Acid (Telepaque)

500 mg p.o. tiap 3 hari dan diberikan juga dengan Propanolol.

Obat distop dalam 60 hari.

Efek samping: diare.

3. Potassium Iodide dan Lugol ‘s Solution

Indikasi: pasien yang akan dilakukan pembedahan atau pada

krisis tirotoksik.

Dosis 0,1-0,3 ml (iodine 5% dan 10% potassium iodide dalam

air) 3 hari sekali

4. Glukokortikoid

Indikasi: krisis hipertiroid dan progressive severe Grave’s

opthalmopathy.

b) Pembedahan (tiroidektomi)

Dipertimbangkan bila 2-3 tahun terapi konservatif tidak terjadi

Page 40: Alergi, Endokrin, Ge

remisi

Persiapan:

Sebelum pembedahan pasien harus tirah baring dengan diet

cukup 1-3 minggu Pra pembedahan hingga 1 minggu pasca

bedah diberi larutan KY jenuh 10 tetesan untuk mencegah

timbulnya thyroid storm

Thyroid Storm keadaan darurat

Terapi :

Sodium iodida iv 1-2 gram

Dexamethason

Propanolol

Kontrol hipertermi dan cairan (infus)

Setelah tiroidektomi perlu observasi

Hipotiroid akibat reseksi berlebih (harus diberi hormon tiroid

seumur hidup)

Tirotoksikosis berulang karena reseksi tiroid kurang

Hipoparatiroid (kelenjar paratiroid secara tidak sengaja

terambil).

c) Ablasi Terapi dengan Radioactive Iodine (RAI)

Diindikasikan pada tirotoksikosis rekuren setelah pembedahan

Digunakan 131 I atau 123 I (14)

Efek biologi dari 131I adalah partikel radiasi necrosis dan

kegagalan replikasi dari folikel sel yang tidak dirusak.

Sasaran terapi adalah membuat euthyroid atau hipothyroid .

Hipotiroid biasanya terjadi dalam 6 bulan-satu tahun (10%-20%)

dan bisa transien atau permanen sehingga perlu tiroksin

sepanjang hidupnya

7. Prognosis

Ad Vitam: dubia ad bonam/malam

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam

Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam

8.Edukasi/Tindak

lanjut

a. Monitoring efek samping obat

ES PTU : agranulositopenia, hepatitis, cholestasis jaundice,

trombositopenia, anemia aplastik (sangat jarang), gatal,

urtikaria, atralgia, demam (dapat dikurangi dengan

mengganti jenis obat tionamida lain).

b. Monitoring kemungkinan relaps.

c. Monitoring pertumbuhan.

9.Tingkat

Evidens

III

Page 41: Alergi, Endokrin, Ge

10. Tingkat

Rekomendasi

C

11. Penelaah

Kritis

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

12. Indikator

Klinis

- pencegahan komplikasi

- normalisasi fungsi tiroid

- optimalisasi tumbuh kembang

-

13. Daftar

kepustakaan

1. Beck-Pecoz P, Persani L, La Franchi S: Safety of medications and

hormons used in the treatment of pediatric thyroid disorders.

Pediatric endocrinol Rev 2004;2 (suppl 1) 124-133

2. Dallas JS, Folley TP Jr.Hyperthyroidism: inlifshitz F (ed): Pediatric

Endocrinology, ed5 New York, Informa Health Care 2007, pp 415-

442.

3. Hung W, Sarlis NJ: Autoimmune and non-Autoimmune

hyperthyroidism in pediatric patients: a review and personal

commentary on management. Pediatr Endocrinol Rev 2004;2:21-38.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 42: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Perawakan Pendek

Kode ICD : R.62.52

1. Definisi

Perawakan pendek atau short stature merupakan panjang badan /

tinggi badan berada dibawah P3 atau < –2SD pada kurva

pertumbuhan

2. Anamnesis

Pola pertumbuhan anak (berat badan dan tinggi badan

mulai bayi)

Riwayat kehamilan ibu

Riwayat kehamilan dan perkembangan fisis

Riwayat penyakit kronis, operasi dan obat-obatan

Riwayat penyakit dalam keluarga

Riwayat pubertas orang tua

Riwayat nutrisi

Aspek psikososial

Mid Parental Height (MPH):

TB anak laki-laki = (TB ibu + 13) + TB

Ayah

2

TB anak perempuan = (TB ayah – 13 ) + TB Ibu

2

Potensi tinggi genetik = MPH ± 8,5 cm

(Potensi tinggi genetik adalah rentang nilai tinggi badan

akhir seseorang akibat dari kedua orang tua biologis).

3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Antropometri (BB,PB/TB, LK)

Menilai Proporsi tubuh

- Rentang lengan

- Ratio Upper segmen/ lower segmen

Ada tidaknya stigmata dismorfik / sindrom

Ada tidaknya kelainan tulang

Ada tidaknya kelainan GIT, paru, jantung, urogenital,

kulit dan organ lain

Ada tidaknya gejala kelainan neurologis

Status pubertas / tingkat maturasi kelamin

Pemeriksaan fisis lain secara general

Page 43: Alergi, Endokrin, Ge

Interpretasikan hasil pengukuran :

Bila TB di antara –2SD dan –3SD: 80% varian normal.

Bila TB < -3SD: 80% patologis.

Penurunan kecepatan pertumbuhan antara umur 2-12

tahun (memotong beberapa garis persentil) dianggap

patologis kecuali dibuktikan lain.

Ratio BB dan TB mungkin mempunyai nilai diagnostik

dalam menentukan etiologi. (Pada kelainan endokrin

umumnya tidak mengganggu BB sehingga anak terlihat

gemuk. Kelainan sistemik umumnya lebih mengganggu

BB dibanding TB sehingga anak lebih terlihat kurus.

4. Kriteria Diagnosis Perawakan pendek patologis :

TB < P3 atau < –2SD

Kecepatan tumbuh < P25

Prakiraan tinggi dewasa dibawah target height

Umur tulang (bone age) terlambat.

Defisiensi hormon pertumbuhan harus terlebih dahulu

ditetapkan :

TB < P3 atau < –2 SD

Kecepatan tumbuh < P25

Usia tulang terlambat 2 tahun

Kadar GH10 ng/ml pada uji provokasi/stimulasi

hormon pertumbuhan (oleh bagian endokrinologi anak)

Tidak ada dismorfik, kelainan tulang maupun sindrom

tertentu

5. Diagnosis Kerja

Perawakan Pendek (Short Stature)

6. Diagnosis Banding

Berdasarkan Etiologi

Varian normal

Familial / genetic short stature

Constitutional delay of growth and puberty / maturation.

Perawakan pendek primer

Sindrom-sindrom yang dihubungkan dengan kelainan

kromosom

Sindrom-sindrom yang lain

IUGR, yang disebabkan kelainan saat dalam kandungan,

disfungsi plasenta berat

Skeletal dysplasia/osteochondrodysplasia

Storage disorder (jarang).

Perawakan pendek sekunder

Kelainan sistemik (penyakit kronis)

Malnutrisi

Kelainan endokrin

Metabolic disorders

Iatrogenic short stature

Psychososial/ emotional short stature (psychosocial

Page 44: Alergi, Endokrin, Ge

dwarfism).

Perawakan pendek idiopatik

Tidak dijumpai kelainan.

7. Pemeriksaan

Penunjang

a) Lakukan pemeriksaan penunjang:

Lab rutin ( DL, UL, FL ) untuk mencari kelainan

sistemik

Pemeriksaan umur tulang (bone age)

b) Pemeriksaan lanjutan (atas indikasi):

Fungsi tiroid (free T4, TSH)

Analisis kromosom (pada wanita): untuk diagnosis

sindrom Turner

Uji stimulasi/provokasi hormon pertumbuhan

(pemeriksaan hormon pertumbuhan secara acak tidak ada

manfaatnya sama sekali dan hasilnya tidak bisa

diinterpretasikan).

8.Terapi

Perawakan pendek variasi normal tidak memerlukan

pengobatan

Perawakan pendek kelainan patologis terapi sesuai

dengan etiologinya :

Nutrisi

Penyakit organik

Hormonal

Mekanikal/pembedahan

Terapi hormon pertumbuhan (dilakukan atas advis dan

pengawasan dokter di sub endokrinologi anak):

Indikasi :

Defisiensi hormon pertumbuhan

Sindrom Turner, sindrom Noonan

Anak dengan IUGR, gagal ginjal kronik

Sindrom Prader Willi, sindrom Leriweill.

Bedah

Pada kasus tertentu misalnya skeletal dysplasia diperlukan

koreksi mekanik/ pembedahan (bone lengthening), juga pada

kasus tumor.

Suportif.

Psikososial

9.Prognosis

Ad Vitam: bonam

Ad sanationam: Dubia ad bonam/malam

Ad Fungsionam: Dubia ad bonam

Makin cepat diketahui adanya penyimpangan pertumbuhan

makin cepat terapi diberikan hasil yang optimum bisa

tercapai.

Page 45: Alergi, Endokrin, Ge

10.Edukasi

Monitoring terhadap:

Terapi: pertambahan tinggi badan dan efek samping obat

Tumbuh kembang

11.Tingkat

Rekomendasi

C

12.Penelaah Kritis Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

13.Indikator Medis

Pencapaian tinggi potensial genetik

14.Daftar

kepustakaan

1. 1. Dunger DB,Ong KK: Endocrine and metabolic consequences

of intrauterine growth retardation. Endocrinol Metab Clin North

Am 2005;34:597-615

2. 2. Lee MM: Clinical practice. Idiopathic short stature. N Engl J

Med 2006;354:2576-2582.

3. 3. Rosenfeld RG, Hwa V: Toward a molecular basis for

idiopathic short stature. J Clin Endocrinol Metab 2004;89:1066-

1067.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 46: Alergi, Endokrin, Ge

Algoritme

Perawakan Pendek

Dismorfik Tampak Sehat / Dismorfik Tampak Sakit

UT < UK

Penyakit Kromosom

Hambatan Pertumbuhan Intrauterine/IUGR

Disproporsi Tubuh

Penyakit Sistemik

Penyakit Tulang

Anamnesis / Pemeriksaan Fisik

UT > UK UT = UK

Periksa umur tulang (UT).

Bandingkan dengan Umur Kronologis (UK)

Idioptik, periksa faal tyroid, pubertas dini

Familial genetik

Normal T4 ↓/N, TSH ↑ T4 ↓, TSH ↓

Periksa faal tiroid

ITT (Tes GH) Hipotiroidisme Primer Hipopituitarism?

Rendah Normal < 10 ng/ml

Defisiensi GH

Coba beri GH

Respon (+) Respon (-)

GH Bio-inactive Laron Dwarfism (Idiopatik)

GH Bio-inactive

Page 47: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (ppk)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

HIPERPLASIA ADRENAL KONGENITAL

(Congenital Adrenal Hyperplasia)

Kode ICD : E25.0

1.Definisi

Hiperplasia adrenal kongenital adalah suatu kelainan genetik yang

diturunkan secara autosomal resesif akibat defisiensi atau gangguan

pada salah satu dari tahapan-tahapan enzimatik yang diperlukan

untuk biosintesis steroid adrenal.

2.Anamnesis Riwayat muntah berulang, gagal tumbuh, sex ambigus

3.Pemeriksaan fisik Maskulinisasi, failure to thrive, hiperpigmentasi, tanda-tanda

dehidrasi, asidosis (tergantung tipe HAK)

4.Kriteria Diagnosis

Gejala Klinis

a. Ambigus genitalia

Pseudohermafroditism dengan klitoromegali dan fusi lipatan

labioskrotal parsial/komplit.

Keadaan berat laki-laki dengan kriptokismus

b. Pubertas prekoks

c. Salt wasting / Hiponatremia

Kehilangan garam hiponatremia, gagal tumbuh,

dehidrasi, dan hiperkalemia

Krisis adrenal tidak mau minum, muntah-muntah,

diare, failure to thrive, dehidrasi, hiperkalemia,

hiponatremia, asidosis.

Hipoglikemia

Hiperpigmentasi

d. Pertumbuhan linier

e. Fungsi reproduksi

Wanita : oligomenore, amenore, menstruasi tidak teratur

atau infertilitas

Pajanan androgen tingkah laku wanita seperti laki-

laki

Laki-laki defisiensi spermatogenesis

f. Simple virilizing form

g. Tipe non klasik

Tergantung umur onset

Page 48: Alergi, Endokrin, Ge

Pubertas prekoks

Umur tulang maju

Pertumbuhan pesat

Pada perempuan: polikistik ovarii hirsutisme, menstruasi

tidak teratur, perawakan pendek, fertilitas menurun.

h. Heterozigot

Gejala kelebihan androgen

5.Diagnosis Kerja Hiperplasia adrenal kongenital (tipe salt wasting/klasik, non

klasik, simple virilizing form)

6.Pemeriksaan

Penunjang

a. Tipe Klasik

Na rendah dan K tinggi

Peningkatan serum 17-OHP dan hormon androgen

adrenal

Kortisol serum rendah

Ambigus genitalia

Pemeriksaan PRA merupakan indesi sensitif untuk

insufisiensi mineralokortikoid.

Genitografi: terlihat uterogenital dan uterus

USG genitalia interna: terlihat uterus

Foto rontgen usia tulang untuk evaluasi pubertas

prekoks.

Tes genetik

b. Tipe Non Klasik

Perlu uji stimulasi ACTH

7.Terapi

1) Terapi Hormonal

Prinsip: mencegah terjadinya insufisiensi adrenal

a. Pada keadaan akut HAK Salt Wasting

Terapi syok dengan NaCl 0,9% 20 ml/kg, dalam 1

jam dilanjutkan dengan 3.200 ml/m2/24 jam cairan

isotonis.

Bila hipoglikemia berikan 2-4 ml/kgBB Dekstrose

10%

Hidrokortison hemisuksinat 50-100 mg/m2 atau 1-2

mg/kgBB dilanjutkan dengan 50-100 mg/m2 dengan

dosis terbagi tiap 6 jam, dilanjutkan dengan dosis

rumatan per oral seumur hidup 15-20 mg/m2/hari

dalam 2-3 kali pemberian setelah fase akut terlewati.

Alternatif lain Metilprednisolon sodium suksinat

0,25-0,5 mg/kg IV atau Deksametason 1-2 mg/m2.

Page 49: Alergi, Endokrin, Ge

Sebelum diberikan hidrokortison dosis rumatan per

oral, mulai dengan dosis 20-30 mg/m2/hari dalam 1-

2 minggu untuk mengontrol overproduksi ACTH.

Terapi mineralokortikoid pada krisis adrenal dengan

Deoksikortikosteron asetat (DOCA) 0,5-1 mg/hari

IM dilanjutkan dengan Fludrokortison asetat peroral

50-200 mg/hari 3 kali pemberian.

Suplementasi NaCl 1-2 g/hari sampai usia 2 tahun.

Monitoring Terapi

Pemberian kortisol seumur hidup.

Evaluasi 17-OHP dan Astrostenedion tiap 2 bulan-1

tahun dan pemeriksaan plasma renin activity secara

periodik.

Hidrokortison 10-20 mg/m2/hari.

Alternatifnya Prednison 5-7,5 mg/m2/hari atau

Deksametason 0,25-0,5 mg/m2/hari dengan

pemantauan.

Evaluasi terapi dengan memantau pertumbuhan,

umur tulang, serum 17-OHP, androstenedion, dan

testosteron.

b. Kondisi Khusus

Pada pembedahan atau trauma, muntah hebat, dan

diare, pasien dirawat dan obat diberikan secara IM.

Pada kegawatan / infeksi, dosis dapat ditingkatkan 2-

3 kali untuk beberapa hari.

2) Terapi pembedahan

3) Konseling psikiatri

4) Konseling genetik

8.Prognosis

Ad Vitam: dubia ad Bonam/malam

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam

Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam

9. Edukasi Kepatuhan pengobatan, monitoring ketat terhadap timbulnya

komplikasi

10.Tingkat Evidens III

11.Tingkat

Rekomendasi

C

12.Penelaah Kritis Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

13.Indikator Klinis - minimalisir komplikasi

- kadar elektrolit darah normal (tipe klasik)

- optimalisasi tumbuh kembang

Page 50: Alergi, Endokrin, Ge

Daftar kepustakaan

1. Clayton P, Miller WL, Oberfield SE, Ritzen EM, Sippel WG,

Speiser PW: Consensus statement on 21-hydroxylase deficiency

from the Europen Society for Paediatric Endocrine Society. J

Clin Endoc Metab 2002;87: 4048-4053.

2. Speiser PW, White PC, New MI: Congenital adrenal

hyperplasia; James VH (ed): The Adrenal Gland.

Comprehensive Endocrinology, revised ser. New York, Raven

Press, 1992,pp 371-372

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 51: Alergi, Endokrin, Ge

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

OSTEOGENESIS IMPERFECTA

Kode ICD

1. Definisi

kelainan pembentukan jaringan ikat yang umumnya ditandai dengan

tulang mudah patah, kelainan pada ligamen, kulit, sklera, gigi, ataupun

tuli.

2.Anamnesa Riwayat mudah fraktur/patah tulang berulang, adanya riwayat penyakit

yang sama dalam keluarga

Pada bentuk yang ringan penderita bisa tidak mengalami patah tulang

sampai masa dewasa. Sedangkan pada bentuk yang berat patah tulang

dapat dialami sejak dalam uterus/prenatal.

3.Pemeriksaan

fisik

Terdapat fraktur multisegmen, perawakan pendek, sklera berwarna biru,

masalah gigi (dentinogenesis imperfecta), dan gangguan pendengaran

yang makin progresif setelah masa pubertas.

4.Kriteria

Diagnosis

Diagnosis OI ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang sama pada

keluarga dan atau manifestasi klinis yang berbeda-beda tiap penderita,

pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Radiologi dan kadar

kalsium serta fosfat.

5.Diagnosis

Kerja

Osteogenesis Imperfecta tipe I - IV

6.Diffrential

diagnosis

1. Kekerasan anak dan penelantaran pada anak (child abuse & neglect)

2. Osteoporosis Juvenil Idiopatik (OJI)

3. Achondroplasia

4. Riketsia

7.Pemeriksaan

Penunjang

Pemeriksaan kadar Elektrolit Darah (terutama Kalsium dan Fosfat)

Pemeriksaan Radiologi

o Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey):

- Bentuk ringan (tipe I) tampak korteks tulang panjang

yang menipis, tidak tampak deformitas tulang panjang.

Bisa menunjukkan gambaran Wormian (Wormian bones)

pada cranium. - Bentuk sangat berat (tipe II) tampak gambaran manik-

manik (beaded appearance) pada tulang iga, tulang

melebar, fraktur multipel dengan deformitas tulang

panjang.

- Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV) tampak

metafisis kistik atau gambaran popcorn pada kartilago,

tulang dapat normal atau melebar pada awalnya

kemudian menipis, dapat ditemukan fraktur yang

Page 52: Alergi, Endokrin, Ge

menyebabkan deformitas tulang panjang, sering disertai

fraktur vertebra.

o Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur dengan

Dual-Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA) yang

menghasilkan nilai rendah pada penderita.

o Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk

mendeteksi kelainan panjang tulang anggota badan. Yang tampak

dapat berupa gambaran normal (tipe ringan) sampai dengan

gambaran isi intrakranial yang sangat jelas karena berkurangnya

mineralisasi tulang kalvaria atau kompresi kalvaria. Selain itu

dapat juga ditemukan tulang panjang yang bengkok, panjang

tulang berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur iga

multipel. USG prenatal ini terutama untuk mendeteksi OI tipe II.

Selain pemeriksaan Radiologis, juga dapat dilakukan pemeriksaan

berikut :

- Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari

biopsi kulit, terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfecta

tipe I, III dan IV.

- Analisa mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan

resiko OI, melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi

antara analisa DNA dan biopsi kolagen akan mendeteksi hampir

90% dari semua tipe mutasi gen pengkode prokolagen tipe I.

8.Terapi

1. Bisfosfonat (pamidronat) dengan dosis 1,5-3 mg/kgbb/hari

pemberian drip dalam 4 jam, diberikan 3 hari berturut-turut,

diulang tiap 4-6 bulan.

2. Zoledronic acid 0,05mg/kgbb pemberian drip dalam 1 jam, satu

kali pemberian, diulang setiap 6 bulan

3. Suplementasi Vitamin D 400-800 IU dan Kalsium 500-1000 mg

sebagai profilaktik defisiensi Vitamin D dan Kalsium

9.Prognosis

Tergantung tipe

Ad Vitam: dubia ad bonam/malam

Ad Sanationam: dubia ad malam

Ad Fungtionam: dubia ad malam

10.Tingkat

Evidens

III

11.Tingkat

Rekomendasi

C

12.Penelaah

Kritis

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH, UKK Endokrinologi

Pediatric, Jakarta, Indonesia.

13.Indikator

Klinis

Kejadian fraktur berulang berkurang, optimalisasi tumbuh kembang

1. Marini JC. Osteogenesis imperfecta. Dalam: Behrman RE,

Kliegman RM, Jenson HB,eds. Nelson textbook of pediatrics, edisi

Page 53: Alergi, Endokrin, Ge

14.Daftar

kepustakaan

ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004, 2336-8

2. Marini JC. Osteogenesis imperfecta-managing brittle bones. N Engl

J Med 1998; 339: 986-7

3. Root AW, Diamond Jr FB. Disorders of calcium metabolism in the

child and adolescent. Dalam: Sperling MA, eds. Pediatric

endocrinology, edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2002, 657-85.

4. Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. The molecular and

biochemical basis of genetic disease. Dalam: Thompson and

thompson genetic in medicine, edisi ke-6. Philadelphia: Saunders,

2004, 229-346.

5. http://www.ema.europa.eu: Assessment report for Zometa

(Zoledronic acid). European Medicines Agency. Evaluation of

Medicine for human use. London.2010.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 54: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

SINDROMA TURNER

Kode ICD : Q96.8

Definisi

Kelainan pada wanita dengan karakteristik tidak terdapatnya sebagian

atau seluruh dari seks kromosom kedua yang normal yang memegang

peranan pada penampilan fisik yang sering disertai dengan limfedema

kongenital, perawakan pendek, dan disgenesis gonad.

Anamnesis Keluhan perawakan pendek, gambaran klinis

Pemeriksaan

Fisik

Defek Primer Keadaan Sekunder Insiden (%)

Keadaan Fisik

Gangguan pertumbuhan

skletal Perawakan pendek 100

Leher pendek 40

Rasio segmen atas dan bawah

abnormal 97

Cubitus vagus 47

Metakarpal pendek 37

Deformitas madelung 7,5

Skoliosis 12,5

Genu valgum 35

Obstruksi limfatik Muka khas dengan

mikrognati 60

Palatum arch tinggi 36

Webbed neck 25

Low posterior hairline 42

Rotated ears Sering

Edema pada tangan/tungkai 22

Displasia kuku 13

Dermatoglipi yang khas 35

Faktor yang tidak

diketahui Strabismus 17,5

Ptosis 11

Nevi pigmentosa multipel 26

Keadaan Fisiologis

Gangguan pertumbuhan

skeletal Gagal tumbuh 100

Otitis media 73

Defek kromosom sel

germinal Kegagalan gonad 90

Page 55: Alergi, Endokrin, Ge

Infertilitas 95

Gonadoblastoma 5

Faktor-faktor yang tidak

diketahui – Embrionik

Anomali kardiovaskuler 55

Hipertensi 7

Anomali renal dan

renovaskuler 39

Faktor-faktor yang tidak

diketahui – Metabolik

Tiroiditis Hashimoto 34

Hipotiroid 10

Alopesia 2

Vitiligo 2

Kelainan gastrointestinal 2,5

Intoleransi karbohidrat 40

Kriteria

Diagnosis Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis

Kerja Sindroma Turner

Diferential

diagnosis

Banyak gambaran fisik sindroma Turner yang merupakan konsekuensi

adanya limfedema intrauterine. Gambaran yang sangat mirip ditemukan

pada sindroma Noonan dengan gangguan gen yang memberikan efek

pada laki-laki dan wanita dengan gambaran tubuh yang pendek dan

adanya defek kongenital pada jantung (biasanya kardiomiopati pada

jantung kanan.

Pemeriksaan

Penunjang

a. Masa Prenatal : deteksi dengan USG

Jarang ditemukan higroma kistik dan kelainan pada ginjal (horse

shoe kidney) dan abnormalitas jantung.

b. Masa bayi dan anak-anak

- Insiden terjadinya aorta bicuspid lebih dari 50% dan koarktasio

aorta kurang dari 20%. Evaluasi dengan ekokardiografi tiap 5

tahun untuk memantau diameter pembuluh darah jantung.

- Dilakukan skrining terhadap fungsi tiroid meliputi pengukuran

level tirotropin. Sebaiknya pada penderita usia 10 tahun yang

asimptomatik dan diulang tiap tahunnya.

- Terdapat conductive hearing loss menyebabkan otitis media yang

berulang dan puncaknya terjadi pada usia 1-6 tahun. Pemeriksaan

audiologi dapat dilakukan pada usia sekitar 7 tahun.

- Limfedema terjadi waktu bayi pada daerah tangan dan kaki dapat

diberikan stoking. Strabismus, ptosis dapat terjadi, penilaian

dilakukan tiap tahun oleh seorang oftalmolog. Crowding dan

maloklusi yang diakibatkan mandibula yang mengecil.

Pemeriksaan gigi dilakukan pada usia pertengahan anak-anak.

- Pemeriksaan psikologi bila diperlukan

Terapi

Sejak didiagnosis terapi terpenting yaitu pemberian 55egara55

pertumbuhan (oleh subdivisi endokrinologi anak). Terapi 55egara55

pertumbuhan sangat bermanfaat untuk mengoptimalisasi pertumbuhan

Page 56: Alergi, Endokrin, Ge

anak dengan sindroma Turner. Pemberian 56egara56 pertumbuhan

tunggal atau kombinasi dengan 56egara56c steroid seperti Oksandrolon

telah menjadi standar di beberapa 56egara. Yang kedua yaitu pada saat

anak mencapai usia pubertas dilakukan induksi pubertas sesuai usianya

untuk mencegah terjadinya osteoporosis. Terapi lainnya tergantung

klinis yang ditemukan.

Prognosis Ad vitam: dubia ad malam

Ad sanationam: ad malam

Ad Fungsionam: dubia ad malam

Tingkat

Evidens

III

Tingkat

Rekomendasi

C

Penelaah

Kritis

Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

Indikator

Klinis

- optimalisasi pertumbuhan dan pencapaian pubertas

- mengatasi komplikasi sistemik

Daftar

kepustakaan

1. Bannink EM, Raat H, Mulder PG, de Muinck Keizer Schrama SM :

Quality of life after growth hormone theraphy and induced puberty

in women with Turner syndrome. J Pedriatr 2006;148:95-101.

2. Bondy CA: Care of girls and women with Turner syndrome: a

guideline of the Turner syndrome study group. J Clin Endocrinol

Metab 2007;92:10-25.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 57: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

SINEKIA VAGINA

Kode ICD :N89.5

1.Definisi

Sinekia vagina adalah perlekatan labia minora akibat iritasi dan

inflamasi.

Nama lain: aglutinasi labia minora, adhesi labia minora

2.Anamnesa Tidak tampak lubang vagina, lubang vagina tertutup

Terdapat faktor predisposisi (Higiene daerah sekitar

vulvovagina jelek)

3.Pemeriksaan Fisik tampak perlekatan labia minora sebagian atau menyeluruh

4.Kriteria Diagnosis

Gejala klinis: tampak labia minora tertutup dengan adanya rafe

garis tengah translusen yang nyata pada adhesi.

5.Diagnosis Kerja Sinekia Vagina

6.Diagnosis Banding Atresia Vagina

7.Pemeriksaan

Penunjang

-

8.Terapi

Lakukan tindakan pemisahan secara traumatik dengan alat

tumpul, atau

Berikan krim estrogen, dioleskan pada malam hari selama 2

minggu dan dilanjutkan selang sehari selama 2 minggu, atau

Laser vaporasi dengan anestesi lokal

9.Edukasi

Pencegahan

Bersihkan genitalia eksterna setiap BAK/BAB

Gunakan celana dalam longgar dari bahan katun dan diganti bila

basah

Hindari sabun yang bersifat basa

Pengawasan yang cermat dari ibu terhadap hygiene anaknya.

10.Tingkat Evidens III

11.Tingkat

Rekomendasi

C

12.Penelaah Kritis Divisi Endokrinologi Departemen IKA RSMH

Page 58: Alergi, Endokrin, Ge

13.Indikator Klinis - Lepasnya perlengketan labia minora

- hygiene genitalia yang baik

14.Daftar

kepustakaan

1. Papagiani M, Stanhope R. Labial adhesions in a girl with

isolated premature telarch: the important of organization. J

pediatric adolesense Gynecol 2003; 16(1):31,2

2. Leung AK, Robson TL. The incidence of labial fusion in

children. J pediatric Child Health 1993; 29.(3): 235-236

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 59: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Kriptorkismus

Kode ICD :Q53.9

1.Definisi

Kriptorkismus adalah malposisi testis, yaitu tidak terabanya testis di

dalam skrotum, dapat unilateral atau bilateral, dapat disebabkan

oleh:

Disgenesis gonadal: penurunan testis tidak terjadi karena

testisnya abnormal.

Mekanisme / kelainan anatomis lokal: adanya faktor

mekanis yang menghambat.

Endokrin / hormonal: adanya defisiensi gonadotropin.

Genetik / herediter: adanya sindrom dengan atau tanpa

kelainan kromosom.

2.Anamnesis 1. Ibu penderita mengeluh skrotum kosong baik salah satu

ataupun kedua kantong

2. Testis teraba di luar skrotum (sepanjang jalur turun testis)

3. Ada tidaknya riwayat testis “naik-turun” pada skrotum

4. Apakah disertai kelainan kongenital lainnya (hipospadia,

DSD, prunebelly syndrome)

3.Pemeriksaan Fisik Bedakan dengan testis rektraktil dengan teknik:

Cross leg (tailor) position

Squatting position

Kompres hangat pada daerah inguinal.

Cari tanda-tanda sindrom-sindrom yang berhubungan

dengan kriptorkismus, seperti sindrom Kallman, sindrom

Prader-Willi, Prune Belly Sindrome, dll.

Berbagai bentuk klinis:

Retraktil (varian normal): testis terletak di supraskrotal

akibat kontraksi otot kremaster, dapat dimanipulasi dengan

mudah ke dasar skrotum dan dapat menetap selama

beberapa detik tanpa tahanan. Testis rektaktil dapat

mengalami penurunan spontan dengan bertambahnya usia

dan berat badan, sehingga tidak perlu terapi, hanya

pemantauan tahunan.

Page 60: Alergi, Endokrin, Ge

Ektopik: apabila testis tidak teraba sepanjang jalur alamiah

penurunan testis.

Nonpalpabel: testis yang tidak teraba sama sekali (intra-

abdomen atau anorkia).

Gliding: testis yang dapat diturunkan ke dasar skrotum

dengan manipulasi namun segera kembali ke tempat semula

bila dilepaskan.

Gambar 1. Posisi Testis pada Kriptorkismus

Pada kriptorkismus juga dapat terjadi kelainan

perkembangan skrotum maupun kelainan genitalia eksterna

lainnya seperti hipospadia dan mikropenis

4.Kriteria Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis

5.Diagnosis Kriptorkismus/undescendens testes (UDT)

6.Diagnosis Banding Testis ektopik

Testis retraktil

DSD

7.Pemeriksaan

Penunjang

USG untuk menentukan lokasi, bila tidak ditemukan

dapat dilakukan CT scan.

Bila mungkin laparoskopi untuk uji diagnostik inisial.

Bila ditemukan kelainan genitalia eksterna seperti

hipospadia atau hiperpigmentasi skrotum, perlu

dilakukan analisis kromosom.

Pada kriptorkismus bilateral lakukan pemeriksaan :

Uji HCG (oleh endokrinologi anak)

Analisis kromosom (bila perlu)

LH, FSH, testosterone dan elektrolit lengkap (bila

perlu)

8.Terapi

Sebelum usia 6 bulan: observasi sampai usia 6 bulan

Jika masih (+) setelah usia 6 bulan:

Berikan terapi hormonal:

HCG 2 X/minggu selama 5 minggu dengan dosis

<1 tahun: 250 Iµ/dosis, intramuskular

1-5 tahun: 500 Iµ/dosis, intramuskular

> 5 tahun: 1.000 Iµ/dosis, intramuskular..

Pilihan terapi hormonal lain: GnRH agonis intranasal.

Page 61: Alergi, Endokrin, Ge

Tiga kali sehari @ 0,4 mg (2 semprot) selama 4

minggu atau

Gabungan GnRH agonis dan HCG.

GnRH agonis seperti di atas disertai

HCG 1500 Iµ/dosis 1 kali seminggu sebanyak 3 kali.

Lakukan orchidopexy apabila:

Terapi hormonal gagal

Usia > 1 tahun

Testis ektopik.

Indikasi rawat : torsio testis

9.Tindak

Lanjut/Edukasi

(Pediatric Health

Promotion)

Pantau komplikasi

Pada usia pubertas: ajarkan pasien untuk memeriksa testis

sendiri tiap bulan untuk deteksi dini keganasan.

10.Prognosis

Ad vitam: dubia ad bonam/malam

Ad Sanationam: dubia ad bonam/malam

Ad Fungsionam: dubia ad bonam/malam

11.Tingkat Evidens III

12.Tingkat

Rekomendasi

C

13.Penelaah Kritis

Divisi Endokrin Departemen IKA RSMH

14.Indikator Medis - testes berada dalam skrotum

- koreksi sebelum usia satu tahun

- komplikasi minimal

15.Daftar

kepustakaan

1. Ferlin A, Siminato M, Bartolini L, Rizzo G, Betella A,

Dottorini T, dellapicola B: the INSL3-LGR8/GREAT

ligand receptor pair in human cryptochidism. J Clin

Endocrinol Metab 2003;88: 4273-4279

2. Whitesel JA: intrauterine and newborn tortion of spermatic

cord. J urol 106:786,1991

3. Hudson JM, Hasthorpe S, Heyns CF: Anatomic and

functional aspects of testicular descent and cryptorchidism.

Endocr Rev 1997;18:259-280

Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2014

Ka Departemen IKA RSMH Ka Divisi Endokrinologi

Dr. Hj. Rismarini, SpA(K) dr. Aditiawati, SpA(K)

NIP 19580126 198503 2006 NIP 19610527 1988032001

Page 62: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

DIARE AKUT

ICD 10 : A00-A09

1. Pengertian

(definisi) Kumpulan penyakit dengan gejala diare, yaitu defekasi dengan feses cair atau lembek dengan/tanpa lendir atau darah, dengan frekuensi 3 kali atau lebih sehari, berlangsung kurang dari 14 hari, kurang dari 4 episode/bulan.

Perubahan konsistensi feses menjadi lebih lembek/cairdan frekuensi defekasi lebih

seringmenurut ibu

2. Anamnesis Frekuensi BAB: 3 kali atau lebih, konsistensi feses cair atau lembek (konsistensi feses

cair tanpa ampas walaupun hanya sakali dapat disebut diare), ada tidaknya darah dan

atau lendir, jumlah feses.

Ada tidaknya muntah, gejala-gejala klinik lain (batuk-pilek, panas, kejang, dan lain-

lain), riwayat masukan cairan sebelumnya, minum lahap atau malas minum.

3. Pemeriksaan

Fisik

Tanda-tanda dehidrasi, komplikasi, penyakit penyulit (bronkopneumoni, bronkiolitis,

malnutrisi, ensefalitis, meningitis, penyakit jantung dan dekompensasi kordis), dan :

keadaan umum (gelisah, cengeng, rewel, letargi, tampak sakit berat), frekuensi nadi,

suhu, tekanan darah, frekuensi nafas (tanda asidosis atau adanya penyakit penyulit).

Pemeriksaan yang meliputi keadaan umum pasien, status dehidrasi, pemeriksaan

abdomen, ekskoriasi pada bokong, dan manifestasi kulit. Penting untuk mengukur berat

badan, tinggi badan, lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan,

kehilangan berat badan, menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya

4. Kriteria

Diagnosis

1. Diare kurang dari 14 hari

2. Ada tidaknya darah dalam feses

3. Tanda-tanda dehidrasi (keadaan umum gelisah atau letargi, kelopak mata cekung,

minum lahap atau tidak mau, turgor kembali dibawah 1 detik atau 1 samapi 2 detik atau

lebih dari 2 detik)

5. Diagnosis Diare akut dehidrasi (derajat dehidrasi dibagi menjadi: tanpa dehidrasi, ringan sedang,

dan berat)

6. Diagnosis

Banding

Diare akut dehidrasi (atau diare cair akut dehidrasi)

Disentri dehidrasi

Diare prolong dehidrasi

Diare akut dengan penyulit (BP, bronkiolitis, decompensasi kordis, malnutrisi berat,

ensefalitis, dan menengitis)

7. Pemeriksaan

Penunjang

Darah rutin, feses rutin, dan urin rutin atas indikasi

Elektrolit dan atau gas darah atas indikasi

8. Terapi 1. Rehidrasi

2. Obat-obatan

3. Diet

4. Edukasi

Rehidrasi (Terapi cairan dan elektrolit) :

Koreksi cairan dan elektrolit dibedakan 2 macam:

1. Diare akut murni (diare cair akut).

2. Diare akut dengan penyulit/komplikasi.

Ad 1. Diare akut murni

Diare akut dehidrasi ringan sedang menggunakanoralit pada dengan dosis 75 ml/kgBB/4

jam, jika gagal upaya rehidrasi oral (URO) mengunakan IVFD dengan cairan ringer

laktat dosis 75 ml/kgBB/4 jam

Page 63: Alergi, Endokrin, Ge

Diare akut dehidrasi berat dapat mengunakan salah satu cara

1. Cairan ringer laktat dengan dosis 30 ml/jam/kgBB sampai tanda-tanda dehidrasi

hilang(target 4jam atau 120 ml/kgBB).

2. Umur 1 sampai 11 bulan: 30 ml/kgBB dalam satu jam pertama, selanjutnya 70

ml/kgBB dalam 5 jam

Umur 1 tahun ke atas: 30 ml/kgBB dalam 30 menit pertama, selanjutnya 70

ml/kgBB dalam 2,5 jam

Monitoring rehidrasi dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang, rehidrasi

dihentikan.

Ad 2. Pada diare akut dengan penyulit :

Menggunakan modifikasi Sutejo dengan cairan yang mengandung: Na: 63,3 mEq/L. K:

10,4mEq/L, CI: 61,4 mEq/L, HCO3: 12,6 mEq/L(mirip cairan KAEN 3A).

Koreksi diberikan secara intravena dengan kecepatan :

Diare akut dengan penyulit dengan dehidrasi ringan-sedang :

4 jam I : 50 cc/kg BB.

20 jam II : 150 cc/kgBB.

Atau dapat diberikan dengan kecepatan yang sama 200 cc/kgBB/hari

Diare akut dengan penyulit dehidrasi berat :

4 jam I : 60 cc/kg BB.

20 jam II : 190 cc/kgBB.

Rehidrasi yang diberikan perhari tetap dimonitoring. Rehidrasi dihentikan jika status

rehidrasi telah tercapai (tidak ada tanda-tanda dehidrasi). Diare akut dengan penyulit

dengan dehidrasi ringan-sedang memerlukan cairan rehidrasi antara 150 – 200

ml/kgBB/hari sedangkan dehidrasi berat 250 ml/kgBB/hari. Kebutuhan cairan rehidrasi

untuk anak yang lebih besar (lebih dari 10 kg) kurang dari nilai tersebut, sebagai patokan

praktisnya adalah dehidrasi ringan-sedang memerlukan 1,5 sampai 2 kali kebutuhan

maintenance (misalnya anak 20 kg, kebutuhan maitenancenya adalah 1500 mlyang

berarti kebutuhan rehidrasinya 2250-3000ml), sedangkan dehidrasi berat 2,5 kali

maintenance.

Terapi medikamentosa :

Diberikan preparat zink elemenal, untuk usia < 6 bulan sebanyak 1 x 10 mg dan usia ≥ 6

bulan sebanyak 1 x 20 mg selama 10-14 hari. Obat-obatan antimikroba termasuk

antibiotik tidak dipakai secara rutin pada penyakit diare akut. Patokan pemberian

antimikroba/antibiotika adalah sebagai berikut :

1. Kolera.

2. Diare bakterial invasif.

3. Diare dengan penyakit penyerta.

4. Diare karena parasit/jamur.

5. Bayi umur kurang dari 3 bulan

Ad. 1. Kolera :

Semua penderita yang secara klinis dicurigai kolera diberi Tetrasiklin 50

mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 3 hari.

Ad. 2. Diare bakterial invasif :

Secara klinis didiagnosis jika :

Panas lebih dari 38,5oC dan meteorismus.

Page 64: Alergi, Endokrin, Ge

Ada lendir dan darah dalam tinja secara makroskopis maupun mikroskopis.

Leukosit dalam tinja secara mikroskopis lebih dari 10/lpb atau ++

Antibiotika yang dipakai sementara menunggu hasil kultur :

K1inis diduga ke arah Shigella (setiap diare yang disertai darah dapat

dianggap shigelosis, jika tidak ada tanda klinis yang khas untuk penyakit

lainya atau belum dapat dibutikan infeksi lainnya, melalui kultur) diberi

Nalidixid acid 55mg/kgBB/hari diberi 4 dosis selama 10 hari atau

Ciprofloxacin 30 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 5 hari. Jika tidak

ada perbaikan dalam 48 jam, antibiotik diganti dengan ceftriakson 100

mg/KgBB/ hari sekali sehari atau Azitromizin

K1inis diduga ke arah Salmonella diberikan Kloramfenikol 100

mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Klinis diduga amubiasis, segera dilakukan pemeriksaan preparat

langsung tinja: jika ditemukan bentuk trofozoit dengan RBC di dalam

sitoplasmanya diberikan metronidazol dengan dosis 50 mg/kgBB/hari

dibagi 3 dosis.

Ad. 3. Penyakit penyerta diobati sebagaimana mestinya.

Ad. 4 Untuk penyakit parasit diberikan :

Amubiasis diberikan Metronidazole 50 mg/kbBB/hari dibagi dalam 3

dosis selama 5-7 hari.

Helminthiasis: untuk Ascaris/Ankylostoma/Oxyuris: Pyrantel Pamoate

10 mg/kgBB/hari dosis tungga1 atau albendazole 400 mg dosis tunggal

untuk anak lebih dari 2 tahun.

Untuk Trichuris : Mebendazole 2 X l00 mg selama 3 hari.

Giardiasis : Metronidazole 15 mg/kgBB/hari selama 5 hari.

Untuk penyebab jamur diberikan :

Candidiasis diberikan Nistatin :

- Kurang dari 1 tahun : 4 X 100.000 IU se1ama 5 hari.

- Lebih dari 1 tahun : 4 X 300.000 IU se1ama 5 hari.

9. Edukasi Pendidikan kesehatan dilakukan pada saat visite dan di ruangan khusus dimana orangtua

penderita dikumpulkan.

Pokok ceramah meliputi :

Usaha pencegahan diare dan KKP.

Usaha pertolongan untuk mencegah dehidrasi pada diare dengan menggunakan

oralit dan cairan.

Imunisasi.

Keluarga berencana.

Penderita dipulangkan :

Bi1a yakin ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit kepada anak

dengan cukup wa1aupun diare masih berlangsung.

Kausa diare/penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati (tidak mutlak).

10. Prognosis Ad vitam : bonam

Ad sanationam : bonam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator Gambaran klinis dan derajat dehidrasi

Page 65: Alergi, Endokrin, Ge

Medis

15. Target Sembuh dalam 3 sampai 5 hari

16. Kepustakaan 1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman

pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.

2. Nelson Pediatric Text Book King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing

acute gastroenteritis among children oral rehydration: maintenance, and nutritional

therapy. Centers for disease control and prevention. MMWR. 2003;52:1-29.

3. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No:

1216/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi

ke 5, Tahun 2007

4. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi

5. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management

of diarrhea. Bull WHO. 2001; 79: 471-9.

6. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute

diarrhea. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and

Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia:

WB Saunders; 2006. H. 557-81.

7. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including

epidemics due to shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen IKA

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 66: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

DIARE KRONIK

ICD 10 : A06

1. Pengertian

(definisi)

Diare kronik adalah diare berlangsung 14 hari atau lebih, dapat berupa diare cair atau

disentri. Diare akut dengan episode serangan 4 kali atau lebih dalam sebulan.

Dibagi 2: diare persisten dengan sebab infeksi, diare kronik dengan sebab non-infeksi.

2. Anamnesis Riwayat penyakit: saat mulainya diare, frekuensi diare, kondisi tinja meliputi

penampakan, konsistensi, adanya darah atau lendir, gejala ekstraintestinal seperti gejala

infeksi saluran pernafasan bagian atas, failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis),

terjadinya diare sesudah diberikan susu. Buah-buahan (defisiensi sukrase-isomerase),

hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah gangguan

emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome), nyeri abdomen berulang yang berat

(insufisiensi pankreas yang berat), riwayat pengobatan antibiotika sebelumnya

(enterokolitis pseudomembranosa). Kelompok umur dapat memprediksi penyakit. Bayi

muda: diare intraktabel pada bayi, alegi protein susu sapi atau kedelai, enteritis karena

infeksi yang berkepanjangan, atrofi vilus idiopatik, penyakit Hirschrprung, defek transpor

kongenital.Anak 2 tahun keatas, kolon irritabel (irritable colon of infancy, chronic

nonspesific diarrhea), enteritis karena virus yang berkepanjangan, giardiasis, difisiensi

sukrase-isomaltase, tumor sekretori, inflamatory bowel disease, dan penyakit siliak.

3. Pemeriksaan

Fisik

Pemeriksaan meliputi keadaan umum, status dehidrasi, pemeriksaan abdomen, ekskoriasi

bokong, manifestasi kulit.Penting untuk mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar

kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, gejala kehilangan berat badan,

menilai kurva pertumbuhan, dan sebagainya. Tanda;tanda khas: anemia (inflamatory

bowel disease, penyakit siliak, fibrosis kistik), artritis (inflamatory bowel disease),

pubertas terlambat (penyakit Crohn), gagal tumbuh (penyakit Crohn, malabsorpsi lemak),

panas (inflamatory bowel disease, gastroentritis karena infeksi).

4. Kriteria

Diagnosis Ananmesis

Pemeriksaanfisik

Pemeriksaanpenunjang

5. Diagnosis Diare kronis/persisten dehidrasi (derajat dehidrasi sama dengan diare akut)

6. Diagnosis

Banding

Diare kronis

Diare persisten dehidrasi

7. Pemeriksaan

Penunjang

a. Pemeriksaan tinja :

Makroskopis: warna, konsistensi, adanya darah, lendir.

Mikroskopis :

Darah samar dan leukosit yang positif (≥ 10/lpb) menunjukkan kemungkinan

adanya peradangan pada kolon bagian bawah.

PH tinja yang rendah menunjukkan adanya maldigesti dan malabsorbsi

karbohidrat di dalam usus kecil yang diikuti fermentasi oleh bakteri yang ada

di dalam kolon. PH rendah (<5,3):reduksitinjaakibatmaldigestidanmalabsorpsi

KH, pH 6,0-7,5: malabsorbsi asam amino, asam lemak

Clinitest, untuk adanya malabsorbsi karbohidrat.

Uji kualitatif ekskresi lemak di dalam tinja dengan pengecatan butir lemak.

Biakan kuman dalam tinja.

Pengecatan gram: bakteri (mengetahui bakteri dominan), jamur, parasit tinja

(amoeba, giardia, telur cacing/ cacing sebagai etiologi langsung). Beberapa

parasit perlu dikultur.

Elektrolit tinja: stool anion gap = 290 – 2 ([Na]+[K]), jika osmotik > 50,

sekretorik < 50. Osmolalitas tinja:< 250 : kontaminasi dengan air/urin: fistula,

Page 67: Alergi, Endokrin, Ge

banyak minum, > 290 : metabolismekarbohidrat oleh bakteri: overgroth

kuman, penyimpanan lama

b. Pemeriksaan darah: darah rutin, elektrolit (Na, K; Cl) dan bicarbonate, albumin,

kadang diperlukan pemeriksaan kadar serum, dll. Eosinofil tinggi: gastroenteritis

eosinofilik, alergi makanan, infeksi parasit. Netropenia: sindroma Sluvachman. Hb

dan albumin rendah, dan LED tinggi menunjukkan penyakit organik. Anemia:

sindromamalabsorpsi. Anemiahipokrommikrositer: peradarahankronis, malabsorpsi

Fe. Anemiamegaloblast:penySeliak, malabsorpsikronik B12 danasamfolat,LED dan

CRP tinggi: IBD. B12 rendah: bacterial overgrowth,Albumin dan protein lainnya

rendah:malnutrisi, malabsorpsi, protein losing enterophati, IgG campilobacter

pylorik. Imunodefisiensi: HIV, malnutrisi.

c. Breath hydrogen test : mengevaluasi malabsorbsi karbohidrat, overgrowth kuman.

d. Pemeriksaan radiologi :membantu mengidentifikasi cacat bawaan (malrotasi,

stenosis) dan kelainan-kelainan seperti limfangiektasis, inflammatory bowel disease,

penyakit Hirschsprung, enterokolitis nekrotikans.

Kolonoskopi : memeriksa kelainan mukosa kolon, seperti inflamatory bowel diseease, dan

lain-lain.

8. Terapi Umum dan Dietetik.

a. Nutrisi enteral :

Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima

untuk mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita anak

dengan saluran pencernaan yang masih berfungsi. Jalur enteral dapat ditempuh

melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau jejunostomi

dengan feeding tube

Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan

dalam 3 macam diet:

i. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan

dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.

ii. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah

dan dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.

iii. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai

bercabang untuk pemakaian pada ensefalopati hepatik dan pasien dengan

perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan

(inborn errors of metabolism)

Kandungan formula yang ditetapkan meliputi:

i. Karbohidrat berupa glukosa polimer.

ii. Lemak berupa long chain fatty acid dengan unsaturatted chain lebih

dominan ataumiddle chain fatty acid.

iii. Protein berupa protein utuh, protein hidrolisat, asam amino atau

gabungan.

iv. Vitamin dan mineral

Formula yang paling baik diberikan pada diare kronik ialah yang mengandung

glukosa primer (bebas laktosa), protein hidrolisat, medium chain triglyceride,

osmolaritas kurang dari 600 mOsm/l dan bersifat hipoalergik atau yang

mengandung short chain peptide (Pregestimil, Pepti Yunior).

Menaikkan jumlah formula dilakukan perlahan-lahan. Mula-mula dianjurkan

konsentrasi 1/3 oral (2/3 IV), selanjutnya dinaikkan menjadi 2/3 oral (1/3 IV),

dan bila keadaan sudah cukup baik (kenaikan BB minimal 1 kg) diberikan

pregestimil/pepti yunior konsentrasi penuh.

Pemberian melalui pipa nasogastrik diperlukan apabila bayi/anak tidak mampu

atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran

gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan

meningkatkan secara bertahap kecepatan dan kadar formula sampai mencapai

Page 68: Alergi, Endokrin, Ge

kebutuhan nutrisi anak.

Komplikasi nutrisi enteral: hidrasi berlebih, hiperglikemia, azotemia (konsumsi

protein berlebih), hipervitaminosis K, dehidrasi sekunder karena diare,

gangguan elektrolit dan mineral (terutama akibat muntah dan diare), gagal

tumbuh sekunder akibat pemasukan energi tidak cukup, aspirasi, dan defisiensi

nutrisi sekunder karena kesalahan formula.

b. Nutrisi Parenteral

Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh

melalui jalur intravena. Nutrien khusus terdiri atas air, dekstrosa, asam amino,

emulsi lemak, mineral, vitamin, trace elemen. Jalur ini jangan digunakan

apabila penderita masih mempunyai saluran gastrointestinal yang masih

berfungsi serta masih dimungkinkan pemberian secara peroral, enteral atau

gastrostomi. Pada umumnya tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari.

Medikamentosa :

a. Obat anti diare (kaolin, pectin, difenoksilat) tidak perlu diberikan karena tidak

satupun yang memberikan efek positif.

b. Obat anti mikroba :

Pemberian anti mikroba umumnya tidak dianjurkan, bahkan dapat mengubah flora

usus dan memperburuk diare, kecuali pada neonatus, anak dengan sakit berat

(sepsis), anak dengan defisiensi imunologi dan anak dengan diare kronis yang

sangat berat. Metronidazole efektif untuk Giardia lamblia.

c. Kortikosteroid :

Pada anak dengan colitis ulseratif, pemberian enema steroid pada tahap awal

memberikan respon yang baik, dan pada beberapa anak mendapat kombinasi

dengan steroid sistemik.

d. Immunosupressif, seperti Azathioprine digunakan pada penyakit Chron apabila

pengobatan konvensional tidak mungkin.

e. Kolestiramin

Penggunaan kolestiramin sangat bermanfaat pada diare kronik, terutama

malabsorbsi asam empedu serta pada infeksi usus karena bakteri (mengikat

toksin).

f. Operasi

Indikasi operasi adalah pada diare kronis pada kasus-kasus bedah seperti penyakit

Hirschprung, enterokolitis nekrotikans. Operasi hanya dilakukan setelah keadaan

umum membaik.

Tatalaksana diare persistenmeliputi mengatasi infeksi persisten dengan mengunakan

hasil kultur dan resistensi feses (sebelumnya dapat dipertimbangkan mengunakan

antibiotik empiris), mengatasi intoleransi laktosa dengan mengunakan diet yang

bebas laktosa, mencegah atau mengatasi alergi protein susu sapi, mencegah atau

mengatasibakteri tumbuh lampau (dapat dipertimbangkan pengunaan metronidazol),

dan mengatasi malabsorpsi nutrien dengan memberikan multivitamin.

9. Edukasi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpAK

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Gambaran klnis, hasil laboratorium, kemajuan terapi

Page 69: Alergi, Endokrin, Ge

15. Target Sembuh tergantung etiologi

16. Kepustakaan 1. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman

pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.

2. Dep Kes RI, Dirjen PP & PL. Keputusan Menteri Kesehatan RI No:

1216/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare, Edisi ke

5, Tahun 2007

3. Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi

4. Nelson Pediatric Text Book Fortaine O, Newton C. A revolution in the management of

diarrhea. Bull WHO. 2001; 79: 471-9.

5. Santosham M, Duggan C, Brown KH, Greenough III WB. Management of acute

diarrhea. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and

Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-3. Philadelphia:

WB Saunders; 2006. H. 557-81.

6. World Health Organization. Guideline for the control of shigellosis, including

epidemics due to shigella dysenteriae type 1. WHO; 2003. H. 1-70.

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 70: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PENYAKIT HIRSCHPRUNG

ICD 10 : Q.43.1

1. Pengertian

(definisi)

Suatu keadaan tidak ditemukannya sel ganglion Aurbach dan Meissner pada dinding

kolon

2. Anamnesis Riwayat mekonium terlambat dan atau defekasi yang jarang pada masa neonatus

memperkuat diagnosis penyakit Hirschsprung.Riwayat kelahiran dengan mekonium

terlambat keluar, atau keluar pada minggu pertama sehingga terjadi obstruksi parsial dan

total (dengan gejalafeses tidak dapat dikeluarkan, distensi abdomen, dan muntah).

Gambaran klinis obstruksi total pada masa neonatus menunjukkan segmen yang terlibat

lebih panjang. Gambaran klinis konstipasi setelah masa neonatus, penyakit

hirschsprungsebagai penyebab dipikirkan setelah penyebab yang lebih sering (misalnya

hipotiroid) disingkirkan

3. Pemeriksaan

Fisik

Gambaran klinis obstruksi parsial saluran cerna bagian bawah: frekuensi defekasi jarang,

kembung, dan kadang-kadang muntah. Nyeri perut jarang ditemukan pada penyakit ini.

Colok dubur didapatkan hasil: jari akan merasakan jepitan (karena kontriksi usus

aganglionik) dan saat jari dikeluarkan akan diikuti oleh keluarnya udara dan mekonium

feses yang menyemprot (feses yang menyemprot terutama didapatkan pada pemeriksaan

colok dubur pertama kali, feses berbentuk pasta lebih mudah dikenali). Gambaran klinis

pada anak yang lebih besar adalah gejala konstipasi kronis (pada yang ultrashort dapat

menyerupai konstipasi fungsional), kadang-kadang diare dan biasanya disertai gagal

tumbuh.

4. Kriteria

Diagnosis Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Penyakit Hirschsprung segmen pendek

Penyakit Hirschsprung segmen panjang

Penyakit Hirschsprung segmen ultrashort

6. Diagnosis

Banding

Konstipasi idiopatik

Obstruksi parsial saluran cernah bawah lainnya

7. Pemeriksaan

Penunjang

Foto polos abdomen ter1ihat gambaran usus-usus melebar atau gambaran obstruksi usus

letak rendah. Foto barium enema teknik hirschprung ditemukan daerah transisi antara

usus yang melebar dan yang menyempit (gambaraan ini khas untuk penyakit

hirschsprung, tetapi tidak jelas jika terjadi enterokolitis), gambaran kontraksi usus yang

tidak teratur di segmen yang menyempit. Foto barium enema pada enterokolitis yang

berhubungan dengan Hirschsprung: cupping tidak jelas, mukosa usus irreguler (seperti

mata gergaji). Gambaran foto polos terutama posisi tegak, adanya “cut off sign” air dan

udara di kiri bawah abdomen mengarah ke diagnosisentrokoloitis. Diagnosis pasti

dengan biopsi rektal, dengan gambaran PA tidak ditemukan sel ganglion di submukosa

8. Terapi Washing atau irigasi dengan NaCl fisiologis dilakukan jika terdapat distensi abdomen.

Kolostomi dilakukan jika abdomen tetap kembung dan keluarga tidak dapat melakukan

irigasi, diikuti (dalam 3 sampai 6 bulan) operasi difinitif Pullthrough, pada usia 6-12

tahun dengan metode Swenson Duhamel

9. Edukasi Menjaga rektum tetap kosong dengan melakukan irrigasi rektal yang teratur pada

penderita yang belum dilakukan kolonostomi

Perawatan stoma pada penderita yang dilakukan kolonostomi

Mencegah atau mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita yang sudah

melakukan operasi definitif

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Tingkat I

Page 71: Alergi, Endokrin, Ge

evidens

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpAK

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Gambaran klinis

15. Target Operasi kolonostomi atau difinitif

16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &

Lange, 1990.

2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,

BC Decker Inc, 2004

3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.

Netherlands, Saunders, 2006

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 72: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

GASTRITIS DAN DISPEPSIA

ICD 10 : K29, K50-K55

1. Pengertian

(definisi)

Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa gaster yang

dibuktikan dengan endoskopi. Jika belum dibuktikan dengan endoskopi didiagnosis

sebagai dispepsia. Dispepsia dapat diakibatkan oleh esofagitis, gastritis, dan duodenitis

2. Anamnesis Nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah, riwayat penggunaan obat obatan dan

makanan

3. Pemeriksaan

Fisik

Nyeri tekan epigastrium tidak selalu ditemukan

4. Kriteria

Diagnosis

Diagnosis gastritis dibuat berdasarkan gejala klinis adanya dispepsia:mual, muntah, dan

nyeri epigastrik dan dibuktikan dengan endoskopi (EGD)

5. Diagnosis Dispepsia fungsional

Gastritis

Esofagitis

Duodenitis

6. Diagnosis

Banding Berdasarkan penyebab yang diketahui setelah melakukan pemeriksaan penunjang

terutama endoskopi dan histopatologi

7. Pemeriksaan

Penunjang

Dispepsia dengan keluhan yang berat, berdarah, penurunan berat badan, tidak sembuh

dengan obat-obat penekan asam lambung, kronik, atau berulang dilakukan pemeriksaan

endoskopis.

8. Terapi 1) Terapi diet disesuaikan dengan toleransi penderita, sebaiknya lunak, mudah dicerna

dan tidak merangsang.

2) Terapi obat, diberikan berdasarkan gejala yang predominan. Obat-obatan yang

dapat di berikan :

Untuk mengurangi faktor agresi asam lambung diberikan obat-obatan peroral:

antasida 4 ka1i sehari, simetidin 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari atau

ranitidin 2-3 mg/kbBB/dosis diberikan 2-3 kali perhari (maksimum 300

mg/hari), omeprazol 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis (maksimum 2 x 20 mg

perhari), lanzoprazole 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis (maksimum 2 x 30

mg perhari).

Jika terjadi perdarahan saluran cerna atas dapat diberikan sucralfate 40-80

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis (maksimum 1000 mg dibagi 4 dosis).

Untuk menekan muntah yang berlebihan diberikan metoklopramid 0,15-0,3

mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali sehari, domperidon 0,25-0,5 mg/kgBB/hari dibagi

3-4 dosis, ondansentron 0,1-0,15 mg/kgBB/kali sebanyak 3 kali sehari.

Antibakterial diberikan untuk eradikasi Hylicobacter pylori, diberikan Amoxicilin 50

mg/kgBB/hari 4 kali sehari, Clarithromycin 7,5-15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2 ka1i

sehari, ditambah PPI (Omeprazol) dengan dosis 0,4-0,8 mg/kg/dosis 1 kali sehari

9. Edukasi Menghindari makanan yang merangsang, memperbaiki faktor psikologis.

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah kritis 1. Dr. Hasri Salwan, SpAK

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Perbaikan gejala klinis

Page 73: Alergi, Endokrin, Ge

15. Target Membedakan kelainan fungsional atau organik

16. Kepustakaan 1. Soeparto P, Djupri LS, Subijanto MS, Ranuh R. Sindroma Gangguan Motilitas

Saluran Cerna. Seri Gramik: Gastroenterologi Anak. Edisi ke-2. Surabaya :

GRAMIK FK UNAIR; 1999. h. 32-118.

2. Murray KF, Christie DL. Vomiting. Pediatr Rev. 1998;19(10):337-41.

3. Allen JK, Hill DJ, Heine RG, 2006; Food allergy in childhood. MJA, 185:394-400.

4 Berman. Vomiting during infancy. Dalam: Pediatric decision making. Edisi ke-2.

Philadelphia: BC Decker;1991. h. 332-5.

5 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.

Ontario, BC Decker Inc, 2004

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 74: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

OBSTRUKSI USUS

ICD 10 : K 56.60

1. Pengertian

(definisi)

Adalahgangguan pasase usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus

2. Anamnesis Muntah, gejala ini dominan dan pertama muncul pada sumbatan saluran cerna

bagianatas dan menjadi gejala paling akhir muncul pada sumbatan saluran cerna

bagian bawah. Muntah hijau menunjukkan sumbatan berada di bawah valvula

vatery

Sakit perut, kolik.

Tidak ada atau gagal BAB dan flatus, gejala ini dominan dan pertama muncul pada

sumbatan saluran cerna bagianbawah dan menjadi gejala paling akhir muncul

sumbatan saluran cerna bagian atas.

Kembung : pada sumbatan saluran cerna bagianbawah: kembung besifat

menyeluruh, pada sumbatan saluran cerna bagian atas: kembung besifat lokal (di

atas umbilikus) atau tidak tampak.

Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna total terjadi mendadak dan bersifat

progresif. Gejala-gejala pada sumbatan saluran cerna parsial bervariasi tergantung

beratnya derajat obstruksi

Riwayat operasi usus

3. Pemeriksaan

Fisik Distensi usus.

Metallic sound.

Darm contour.

Bising usus meningkat pada awal penyakit, menurun atau menghilang pada akhir

penyakit atau jika ada perforasi.

Gambaran klinis komplikasi, misalnya tanda-tanda dehidrasi, gangguan

keseimbangaan asam-basa.

4. Kriteria

Diagnosis Muntah/muntah hijau

Kembung

Gagal BAB

Nyeri abdomen akut

5. Diagnosis Obstruksi Usus

6. Diagnosis

Banding

1. Kongenital (terjadi kurang dari 2-3 minggu) :

Stenosis pilorus.

Atresia atau stenosis duodenum.

Atresia atau stenosis jejunum.

Ileus mekonium.

Volvulus.

Hirschsprung.

1. Didapat :

Intususepsi.

Bolus askaris.

7. Pemeriksaan

Penunjang

Pada foto polos 3 posisi didapatkan gambaran distensi usus dan step ladder

8. Terapi Perbaiki dehidrasi, sesuai derajat dehidrasi. Cairan yang dapat digunakan adalah NaCL

fisiologis jika muntah tidak hijau dan Ringer laktat jika muntah hijau. Patokan dehidrasi

dan jumlah cairan yang digunakan dapat berpedoman berdasarkan kriteria WHO untuk

diare. Jika nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur diberikan cairan resusitasi 20

ml/kgBB/ secepatnya.

Page 75: Alergi, Endokrin, Ge

Tindakan operatif dilakukan setelah resusitasi cairan telah diberikan pada obstruksi

total. Tindakan operatif terencana jika obstruksi terjadi parsial dengan derajat yang

ringan

9. Edukasi Perlunya dilakukan operasi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Adanya tanda-tanda obstruksi

15. Target Dilakukan operasi

16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &

Lange, 1990.

2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition. Ontario,

BC Decker Inc, 2004

3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.

Netherlands, Saunders, 2006

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 76: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

INVAGINASI

ICD 10 : K.56.1

1. Pengertian

(definisi)

Obstruksi usus yang disebabkan usus bagian proksimal berinvaginasi ke dalam usus

bagian distal. Bagian yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang dimasuki

disebut intususipien.

2. Anamnesis Nyeri perut.

Berak berdarah dan berlendir.

Muntah.

Kembung : tidak selalu ditemukan

3. Pemeriksaan

Fisik

Massa berbentuk pisang ditemukan pada kuadran kanan atas

4. Kriteria

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang

5. Diagnosis Invaginasi

6. Diagnosis

Banding

Obstruksi total saluran cerna bagian bawah lainnya

Disentri

7. Pemeriksaan

Penunjang

a. Foto polos 3 posisi memberikan gambaran obstruksi usus pada stadium lanjut

penyakit.

b. Barium Enema :

1. Tampak cekungan cangkir (cupping) pada puncak invaginasi dan gambaran

pegas (coiled spring).

2. Berguna untuk mereduksi usus yang terkena, merupakan pilihan pada semua

bayi dengan gejala yang timbul kurang dari 24 jam. Berbahaya bila keadaan

umum jelek dan peritonitis karena tekanan enema dapat mengakibatkan

perforasi usus.

c. USG

Tampak gambaran doughnut pada potongan tranversal, yang harus dilanjutkan

dengan pemeriksaan potongan longitudinal

Tampak gambaran pseudo kidney pada potongan longitudinal

8. Terapi Kasus gawat darurat bedah :

1. Reduksi dengan barium enema (bila tidak ada kontraindikasi).

2. Pembedahan (laparatomi eksplorasi).

Tindakan yang harus dilakukan sebelumnya adalah memperbaiki keadaan umum

penderita yaitu memperbaiki cairan dan elektrolit, dekompresi dengan NGT

9. Edukasi Perlunya dilakukan operasi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Gambaran klinis dan umur

15. Target Dilakukan release, jika perlu operasi

Page 77: Alergi, Endokrin, Ge

16. Kepustakaan 1 Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &

Lange, 1990.

2 Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.

Ontario, BC Decker Inc, 2004

3 Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.

Netherlands, Saunders, 2006

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 78: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

PERDARAHAN SALURAN CERNA

ICD 10: K 22,K 29

1. Pengertian

(definisi)

Perdarahan yang terjadi dari saluran cerna. Klassifikasi perdarahan saluran cerna (psc)

berdasarkan lokasi dibagi dua. Psc atas terjadi bila sumber perdarahan terletak di atas

Ligamentum Treitz dan psc bawah bila terletak di bawahnya

2. Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan melihat faktor usia Usia penderita merupakan faktor

yang penting untuk menentukan etiologi. .

Tertelan darah ibu (24 jam pertama) : tes Apt Downey.

Muntah-muntah hebat diikuti perdarahan : sindrom Mallory Weiss.

Riwayat makan obat: aspirin/OARNS : ulkus.

Riwayat perdarahan dalam keluarga : koagulopati.

Riwayat menelan benda asing: erosi/ulkus

3. Pemeriksaan

Fisik

Sebanyak 20% perdarahan gastrointestinal merupakan kelainan sitemik (melibatkan

organ lain).

Tanda-tanda sianosis, peningkatan tekanan ven porta : varises.

Luka bakar luas, penyakit infeksi SSP: ulkus stress, kolitis iskemik.

Hemangioma/telangiektasis: kelainan vaskuler.

Eritema pada kulit, kelainan ginjal: sindrom Henoch Schonlein.

4. Kriteria

Diagnosis Anamnesis

Pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna

6. Diagnosis

Banding

Tabel. Penyebab-penyebab perdarahan saluran cerna

INFAN – 6

BULAN

6 BULAN – 3

TAHUN

3 TAHUN KE

ATAS

Psca Tertelan darah ibu

Irritasi NGT

Ulkus peptikum

Esofagitis

Varises esofagus

Gastritis

Haemoragik

Gastric stress

ulcers

Ulkus duodenum

Hemorrhagic

disease of newborn

Irritasi NGT

Perdarahan

nasopharyngeal

Varises esofgeus

Ulkus peptikum

Esophageal foreign

body

Pengaruh obat-

obatan

Gastritis

Varises esofgeus

Ulkus peptikum

Pengaruh obat-

obatan

Malory Weiss

Syndrome

Hemotobilia

Pscb Fisura Ani

NEC

Volvulus,

Intussuscepsi

Meckel’s

diverticulum

Hemangioma

Duplikasi

Tertelan darah ibu

Infeksi

Alergi susu sapi

Fisura ani

Meckel’s

diveticulum

Intusucepsi

Polip

Diarrhea invasif

HSP, HUS, ITP

Duplikasi

Hemangioma

Fisura ani

Polip

Intususepsi

HUS

IBD

HSP

Trauma

Duplikasi

Hemangioma

Tumor

7. Pemeriksaan

Penunjang Laboratorium : darah lengkap, kimia darah, CT, BT, PT,APTT, feses rutin

Endoskopi

Radiologi

Page 79: Alergi, Endokrin, Ge

Arteriografi

8. Terapi Cari gangguan hemodinamik.

Bila terjadi ancaman syok/syok: IVFD RL/NaCl 0,9% 20cc/kgBB 10 menit sampai

tanda vital membaik.

Transfusi darah (PRC atau FFP) bila diperlukan. Transfusi >85 ml/kgBB, konsul

bedah cito, untuk dilakukan eksplorasi

Observasi perdarahan, jika perdarahan minimal: pastikan darah apa bukan, salah

satu caranya dengan melakukan pemeriksaan darah samar (Benzidine test)

Tentukan adanya riwayat trauma, jika tidak ada

Tentukan adanya kelainan sistemik (misalnya demam atau tanda eksploresensi

kulit) dan kelainan THT, jika tidak ada

Tentukan adanya diastesis hemoragik: lakukan Rumple leed test, CT, BT, PT,

aPTT, hitung trombosit, jika dalam batas normal

Tentukan lokasi perdarahan saluran cerna berdasarkan gambaran klinis

Lakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi dan atau kolonoskopi

Tatalaksana perdarahan saluran cerna berdasarkan penyebab

Tatalaksana umum: stabilisasi KU

Perdarahan saluran cerna atas: pasang NGT jika perdarahan masif atau aktif atau

untuk memastikan lokasi, obat-obat penekan asam lambung, dan obat pelindung

mukosa (misalnya: sucralfat)

9. Edukasi Menerangkan penyebab perdarahan saluran cerna sehingga dapat dilakukan

pencegahan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang

15. Target Mengetahui dan mengobati etiologi dan berhentinya perdarahan

16. Kepustakaan 1. Raffensperger JG. Swenson’s Pediatric Surgery, fifth edition. Norwalk, Appleton &

Lange, 1990.

2. Walker WA, Sherman PM. Pediatric Gastrointestinal Disease, Fourth Edition.

Ontario, BC Decker Inc, 2004

3. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Third Edition.

Netherlands, Saunders, 2006

Algoritme tatalaksana perdarahan gastrointestinal

Page 80: Alergi, Endokrin, Ge

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 81: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

KOLESTASIS

ICD 10 : K.71.0

1. Pengertian

(definisi)

Kolestasis adalah gangguan sekresi dan atau aliran empedu yang biasanya terjadi dalam

3 bulan pertama kehidupan, yang menyebabkan timbulnya ikterus, akibat peninggian

kadar bilirubin direk > 20% dari kadar bilirubin total jika bilirubin total > 5 mg/dl atau

bilirubin direk ≥ 1 mg/dl jika kadar bilirubin total ≤ 5 mg/dl

2. Anamnesis Saat timbulnya ikterus (kurang dari usia 3 bulan), lama ikterus, warna tinja, perdarahan,

riwayat keluarga,riwayat kehamilan dan kelahiran

3. Pemeriksaan

Fisik

Ikterus, hepatomegali dan konsistensi hati, splenomegali, dan tanda perdarahan

4. 4. Kriteria

Diagnosis

Untuk kolestasis evaluasi dilakukan pada usia minimal 2 minggu dan pada bayi preterm

dapat ditunda sampai 3 minggu

Langkah diagnosis :

Bedakan hiperbilirubinemia indirek dengan hiperbilirubinemia direk (kolestasis).

Gambaran klinik hiperbilirubinemia indirek adalah warna kulit kuning terang,

kuning dimulai dari muka kemudian ke bagian distal badan (sesuai dengan

peningkatan kadar bilirubin indirek, mengikuti skala Krammer), dan urin berwarna

jernih. Hiperbilirubinemia indirek dapat disebabkan jaundice fisiologik (sampai

umur 14 hari), “breast milk jaundice”, penyakit sistemik (hemolisis, stadium awal

hipotiroidsm, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia, hipoglikemia,

galaktocemia, dan intoleransi fruktosa), kelainan keturunan : Crigler-Najjar

syndromes (UDPGT deficiency tipe I bersifat total, tipe II bersifat partial) dan

Gilbert syndrome.

Evaluasi klinik (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan warna feses)

Pemeriksaan fraksi bilirubin: direk, indirek, dan total.

Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (SGPT/ALT, SGOT/AST, Alkali

fosfatase, GGT)

Pemeriksaan fungsi liver (albumin, PT/aPTT, kadar glukosa serum, ammonia)

Rule outpenyebab-penyebab yang dapat diobati

Kultur bakteri (urin dan darah)

Serologi dan biakan virus (infeksi hepatitis kongenital)

Deteksi kelainan metabolik (galaktosemia, tyrosinemia heriditer, intoleransi fruktosa

heriditer, dan hipopitutarime/hipotiroid)

Deteksi defek sintesis asam empedu, neonatal iron storage disease, hepatotoksis

karena obat

Kelainan anatomik : atresia bilier, kista koledokus, inspissated bile/calculi in

common bile duct

Rule outobstruksi ekstrahepatikdan intrahepatik dengan ultrasonografi dan biopsi

hati.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kolestasis

6. Diagnosis

Banding Kolestasis intrahepatik

Kolestasis ekstrahepatik

7. Pemeriksaan

Penunjang

Laboratorium :

a. Rutin

Darah lengkap (terutama pada kasus yang dicurigai hiperbilirubinemia indirek),

Page 82: Alergi, Endokrin, Ge

uji fungsi hati: SGOT (AST), SGPT (ALT), gamma GT (normal: meningkat pada

bayi umur-umur muda), alkali fosfatase (normal: meningkat pada waktu

memasuki usia pubertas), waktu protrombin dan tromboplastin (PT, aPTT), kadar

albumin plasma, kolesterol, kadar glukosa, ureum, kreatinin, urine reduction

substance, kadar amonia serum, kultur urine (jika dicurigai kolestasis

intrahepatik), kultur darah (jika dicurigai sepsis), parasintesis (jika terbukti ada

asites pada USG abdomen)

Bilirubin urine positif

Pemeriksaan tinja 3 porsi (pk. 06.00-14.00, pk. 14.00-22.00, serta pk. 22.00-

06.00) dan adanya empedu dalam tinja.

b. Khusus : uji aspirasi duodenum (DAT) yang diperoleh melalui aspirasi dengan

menggunakan sonde (Levine tube), serologi untuk penyakit infeksi (TORCH,

HbsAg, HIV, dan lain-lain), skrining metabolik (asam amino serum dan urin, asam

organik urin), kelainan hormon (kadar hormon tiroid, TSH), kultur virus, kadar α1

antitripsin, dan lain-lain.

Pencitraan :

a. Ultrasonografi hepar

Dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosis atresia bilier, kista koledokus,

masa intra abdomen, dan patensi duktus bilier. Pada atresia bilier: akurasi diagnostik

USG 77%, dilakukan pada tiga fase yaitu pada keadaan puasa (4-6 jam dengan alat

USG berosolusi tinggi dan 10-12 jam dengan alat USG berosulusi rendah), saat

minum, dan sesudah minum (1 sampai 2 jam setelah makan) ataupun dua fase yakni

puasa dan sesudah minum. Apabila pada saat atau sesudah minumkandung empedu

tidak tampak berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%) diagnosis atresia bilier

dapat ditegakkan.

b. Kolangiografi

Apabila diagnosis masih meragukan dapat dilakukan kolangiografi operatif, bila

terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih jauh dengan anestesi umum

Biopsi hepar:

Gambaran histopatologis hati dapat membantu perlu tidaknya laparotomi eksplorasi

• Atresia bilier : gambaran histopatologis menunjukkan proliferasi duktus

dan sumbatan empedu, fibrosis porta, edema, tetapi arsitektur lobuler masih normal

• Hepatitis neonatal : umumnya ditemukan infiltrat inflamasi dari lobulus

yangdisertai dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobul

yang kacau. Selain itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta dan proliferasi duktus

ringan

Paucity sistem bilier

8. Terapi Uji fungsi hati dilakukan untuk menentukan jenis hiperbilirubinemiadan tatalaksana

selanjutnya. Tatalaksana kolestasis intrahepatik :

Memperbaiki aliran empedu: Obat stimulasi aliran empedu adalah :

1. Asam ursodeoksikolat, dosis: 10-30 mg/kgBB/hari, bekerja sebagai

competitive binding empedu toksik, bile fow inducer,suplemen empedu, dan

hepatoprotektor.

2. Kolestiramin, dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari, berfungsi menyerap empedu

toksik dan menghilangkan gatal.

3. Rifampicin, dosis: 10 mg/kgBB/hari, berfungsi meningkatkan aktivitas

enzim mikrosom dan menurunkan ambilan asam empedu oleh sel hati

4. Fenobarbital: induksi enzim glukuronil transferase, digunakan hanya pada

hiperbilirubinemia indirek pada Crigler-Najjar syndromes (UDPGT

deficiency tipe II) dengan dosis: 3-10 mg/kgBB/hari

Multivitamin vitamin A : 5.000 - 25.000 U/ hari, D: D3 calcitriol: 0,05 -

0,2ug/kgBB/hari, E: 25 - 50 IU/kgBB/hari,K: K1 2,5 - 5 mg/ 2-7x/ minggu

Nutrisi : diet lemak MCT.

Trace elemen: trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.

Page 83: Alergi, Endokrin, Ge

Terapi komplikasi yang terjadi: misalnya hiperlipidemia/xantelasma diberikan

kolestipol dengan dosis 250-500 mg/kgBB/hari (gabungan kolestramin dengan

kolestipol), hipertensi portal (dibuktikan dengan USG dopler) diberikan

propanolol dengan dosis 1 – 6 mg/kgBB, gagal hati dengan transplant

Dukungan psikologis

Mengobati penyebab kolestasis yang bisa diobati

Kolestasis ektrahepatik : operasi

Kolestasis intrahepatik, tergantung etiologi.

Infeksi hepatistsis kongenital : Herpes simpleks diberikaan asiklovir intravena, sipilis

diberikan penisilin 50.000 iu/kgBB/hari selama 10-14 hari, tuberkulosis diberikan

OAT, toxoplasmosis diberikan pyrimethamin 1 mg/kgBB/2-4 hari dan sulfadiaazine

50-100 mg/kgBB/hari. Penyakit metabolik: galaktosemia diberikan diet bebas

galaktosa, tyrosinea heriditer diberikan diet tirosin/fenilalamin rendah, intoleransi

fruktosa heriditer diberikan diet bebas fruktosa/laktosa,

hipotiroidisme/hipopitutarisme diberikan hormon-hormon tiroid, adrenal dan growth

hormon .

Obat-obatan dan toksin: obat-obatan penyebab hepatotoksin dihentikan, endotoksin

bakterial diberikan antibiotika yang sesuai (misalnya Tersangka ISK dengan

cefotaksim), TPN ditatalaksana dengan pemberian intake oral secepatnya.

9. Edukasi Menjelaskan kemungkinan etiologi, diagnosisnya, dan tatalaksana

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpAK

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK.

14. Indikator

Medis

Gambaran klinis dan laboratoris yang menunjang diagnosis

15. Target Mengobati etiologi yang dapat diobati

16. Kepustakaan 1. Rosenthal P. Neonatal hepatitis and congenital infections. Dalam: Suchy FJ,

penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-1. St. Louis: Mosby year book;

1994. h. 414-24.

2. Balisteri WF. Cholestasis. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB,

penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders;

2004. h. 1203-7.

3. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic virosis producing hepatitis. Dalam:

Bircher J, dkk, penyunting. Oxford textbook of clinical hepatology. Edisi ke-2.

Oxford: Oxford University Press; 1999. h. 955-63.

4. Emerick KM, Whitington PF. Molecular basis of neonatal cholestasis. Ped Clin N

Am. 2002;49(1):1-3.

Page 84: Alergi, Endokrin, Ge

Langkah awal, bedakan antara hiperbilirubinemia indirek dan direk (kolestasis)

Jika kolestasis, perkirakan kelainan yang terjadi intrahepatik atau ektrahepatik, dengan melakukan

pemeriksaan darah, fungsi hati, dan sintesis hati. Kelainan ektrahepatik dibuktikan dengan pemeriksaan

USG. Biopsi hepar dapat dilakukan untuk membedakan kelainan intrahepatik, ektrahepatik, dan paucity

saluran empedu.

Diagnosis awal kolestatik intrahepatik diberikan antibiotik untuk Tersangka ISK (TISK) yang tidak

hepatotoksik (cefotaksim) sampai hasil kultur dan resistensi urin diketahui. Diagnosis sementara berupa

TISK ditegakkan karena meliputi hampir 30% kolestasis intra hepatik.

Adanya dismorfik mengarahkan diagnosis ke kelainan metabolik dan infeksi TORCH kongenital.

Infeksi TORCH kongenital dicurigai jika bayi dismorfik, adanya riwayat infeksi TORCH saat ibu hamil

(gambaran klinis, riwayat kehamilan terdahulu, atau pemeriksaan serologis), dan adanya kelainan

kombinasi (kelainan pendengaran, mata, jantung, dan hepatosplenogali).

Atresia biler dapat diprediksi dengan feses yaang seperti dempul (spesifisitas tinggi, tetapi sensitivitas

yang rendah)

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 85: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Konstipasi

ICD 10 : K.59.0

1. Pengertian

(definisi)

Batasan konstipasi : jika terdapat 2 atau lebih kriteria

1. Frekuensi < 3x/minggu

2. Konsistensi keras

3. Terdapat distress : nyeri, pengeluaran periodik sejumlah feses besar ≥ 1 x / 7 - 30

hari, perut kembung, sensasi penuh, teraba massa di abdomen atau rektum

Berdasarkan waktu :

1. Konstipasi akut : < 1-4 minggu

2. Konstipasi kronik : > 2- 4 minggu

2. Anamnesis Riwayat konstipasi yang terjadi, yakni lamanya gejala (konstipasi akut atau kronik),

frekuensi defekasi, konsitensi feses, ada tidaknya darah pada feses, dan kebiasaan

defekasi (seberapa sering dan dimana pasien biasa defekasi). mengenai kebiasaan

makan,komsumsi obat-obatan, dan aktifitas fisik. Penting juga untuk menanyakan

umur saat awitan. Jika gejala pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan

besar bersifat fungsional.

3. Pemeriksaan

Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan terutama pada abdomen, tulang belakang dan perineum.

Abdomen dapat terlihat cembung dan dapat teraba skibala. Perineum dapat terlihat

adanya skin tag. Pemeriksaan colok dubur dapat untuk mengevaluasi tonus otot-otot

sfingter ani dan mendeteksi obstruksi atau darah. Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan

adanya kelainan anatomi (seperti anal stenosis dan fisura ani) dan trauma.

4. Kriteria

Diagnosis Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Konstipasi akut

Konstipasi fungsional

Konstipasi organik

6. Diagnosis

Banding Hirschsprung disease

Obstruksi parsial saluran cerna lainnya

Hipotiroid

7. Pemeriksaan

Penunjang

Jarang di lakukan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya

anemia, lekositosis, dan gangguan metabolik, seperti hipotiroidisme (hormon tiroid)

atau uncover excess hormon paratiroid (kalsium). Pemeriksaan urine berupa urin rutin

dan kultur urine juga dilakukan terutama bila diduga terjadi infeksi saluran kemih

akibat konstipasi kronis.

Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengevaluasi konstipasi yaitu

foto polos abdomen, studi transit kolorektal, tes fungsi anorektal, biopsi hisap rektum,

dan defekografi. Karena peningkatan resiko kanker, dapat dilakukan tes untuk

menyingkirkan kanker, yaitu barium enema, sigmoidoskopi atau kolonoskopi.

Pemeriksaan ultrasonografi abdomen dan MRI juga dapat dilakukan untuk mencari

penyebab organik lain yang memberikan gejala konstipasi.Foto tulang belakang daerah

lumbosakral dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan ketika hasil

pemeriksaan neurologi ektremitas bawah atau sakrum tampak abnormal.

8. Terapi Pengobatan konstipasi sangat bervariasi tergantung sumber masalah, usia anak, dan

kepribadian anak.

Jika konstipasi terjadi sebagai akibat suatu keadaan medis, kelainan primer harus

diobati terlebih dahulu.

Penatalaksanaan terhadap konstipasi kronis antara lain dengan menggabungkan teknik

edukasi, evakuasi feses (disimpaction), dan terapi rumatan (modifikasi tingkah laku,

pengaturan diet, dan pemberian laksansia).

Page 86: Alergi, Endokrin, Ge

Evakuasi feses dapat mengunakan gliserin 100% dengan dosis 1-3 ml/kgBB yang

diencerkan dengan NaCl 0,9% dengan jumlah yang sama. Dua kali sehari selama 2

sampai 5 hari. Dapat dikombinasidengan Laktulosa peroral dosis 1-3 ml/kgBB/kali

dalam satu atau dua dosis.

Pemberian laksansia pada terapi rumatan dapat menggunakan laktosa peroral dosis 1-3

ml/kgBB/kali dalam satu atau dua dosis.

9. Edukasi Toilet education

Diet tinggi serat

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

11. Tingkat

evidens

I

12. Tingkat

rekomendasi

A

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpAK

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Kriteria konstipasi

15. Target Disimpaksi berhasil dan rektum kosong

16. Kepustakaan 1. Stephen M. Constipation. Dalam: Walker, penyunting. Pediatric gastrointestinal

disease. Volume ke-1. Philadelphia: BC Decker; 1991. h. 90-108.

2. Benninga. Constipation and faecal incontinence in childhood. Amsterdam:

Universiteit van Amsterdam; 1994. h. 13-35.

3. HM Spiro. Clinical gastroenterology. Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill; 1993.

h. 513-23.

4. Barbara JS. Digestive system disorders. Dalam: RE Behrman, penyunting. Nelson

textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h. 510-8.

5. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, dkk. Constipation in infants and children:

evaluation and treatment. A medical position statement of the North American

Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Ped Gastr Nutr.

1999;29:615-26

6. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, dkk. Pedoman

pelayanan medis IDAI. IDAI 2010. H 58-62.

Page 87: Alergi, Endokrin, Ge

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 88: Alergi, Endokrin, Ge

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

DEPARTEMEN/ SMF KESEHATAN ANAK

RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Nyeri/ Sakit Perut

ICD 10 : R.10

1. Pengertian

(definisi)

Nyeri perut merupakan manifestasi nyeri pada daerah abdomen. Nyeri ini dapat

disebabkan oleh organ di dalam ataupun di luar abdomen

Nyeri perut berulang merupakan serangan sakit perut yang timbul sekurang-

kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan dan mengakibatkan

terganggunya aktivitas sehari-hari.

2. Anamnesis Timbulnya rasa sakit.

Onset dan lamanya sakit.

Kwalitas dan berat ringannya.

Lokalisasi sakit perut.

Demam.

Mual, muntah atau diare yang berhubungan dengan sakit perut.

Ciri-ciri dari muntah atau diare.

Perubahan kebiasan defekasi, konsistensi dan warna feses.

Faktor- faktor yang memperingan dan memperberat sakit perut.

Terapi yang sudah diberikan.

Riwayat trauma.

Riwayat pernah dirawat sebelumnya.

3. Pemeriksaan

Fisik

Pemeriksaan yang terbaik adalah pada waktu serangan, harus lengkap dengan

titik berat pada abdomen.

Pengamatan.

Secara umum penderita tampak tidak anemia, turgor normal, sirkulasi

normal.

Tanda vital : temperatur harus diperhatikan.

Periksa tanda-tanda peradangan dan proses infeksi pada kepala, mata,

telinga, hidung, tenggorokan, seperti faringitis, OMA, dll.

Dada : perhatikan pergerakan dada, retraksi, frequensi respirasi.

Abdomen :

- Pengamatan bentuk perut.

- Distensi / ketegangan dinding perut baik sebelum atausesudah

rangsangan tangan (palpasi).

- Adanya cairan bebas, bising usus diseluruh perut meningkat atau

menurun sampai negatif.

- Perlu dicari tanda akut abdomen yaitu dinding abdomen yang kaku,

defence musculare, nyeri tekan, nyeri lepas.

- Pada pemeriksaan di luar abdomen, cari kemungkinan adanya hernia

strangulata, hernia inguinalis yang menyebabkan obstruksi dan

peritonitis.

Rektum :

Pemeriksaan colok dubur perlu diperhatikan abnormalitas sfingter internal

atau eksternal, adanya massa feces, warna, konsistensi, darah.

Sistem Genitourinaria :

Perhatikan di daerah genitalia adanya trauma, discharge, peradangan nyeri

pada anak remaja periksa daerah pelvis, evaluasi adanya trauma, infeksi

peradangan, besarnya uterus, dan massa.

4. Kriteria

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis

Pemeriksaan fifik

Pemeriksaan penunjang

Page 89: Alergi, Endokrin, Ge

5. Diagnosis Nyeri perut berdasarkan etiologi

6. Diagnosis

Banding Nyeri perut fungsional, klasifikasi berdasarkan Kriteria RomA III, yakni:

funcgsional dispepsia, IBS (irritable bowel syndrome), abdominal migrane,

childhood functional abdominal pain, dan childhood functional abdominal

pain syndrome.(lihat lampiran)

Nyeri perut organik

7. Pemeriksaan

Penunjang

Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan rutin darah, urin, tinja perlu dilakukan.

Jika ada kelainan dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus : WBC dengan hitung

jenis, sedimen urine, urinalisis, kultur urin / tinja, foto polos abdomen.

Sakit perut berulang perlu dilakukan pemeriksaan barium meal, barium enema,

endoskopi, USG.

8. Terapi Ditentukan apakah penyakitnya membutuhkan tindakan bedahatautidak. Bila

tidakditemukan kedaruratan perut, penyebab sakit perutharus dicari dan diberi

pengobatan yang sesuai.

9. Edukasi Memberikan rasa aman dan edukasi kepada penderita dan keluarga.

Meyakinkan bahwa pada sakit perut fungsional, tidak ada bukti adanya kelainan

dasar yang serius

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad Sanationam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat

evidens

I / II / III / IV

12. Tingkat

rekomendasi

A / B / C

13. Penelaah

kritis

1. Dr. Hasri Salwan, SpAK

2. Dr. Achirul Bakri, SpAK

3. Prof. Dr. Rusdi Ismail, SpAK

14. Indikator

Medis

Gambaran klinis

15. Target Etiologi diketahui dan ditatalaksana

16. Kepustakaan Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker. Ontorio: BC Decker Inc

Buku ajar IDAI Gastroenterohepatologi

Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease, Wyllie, Elsevier, 2006

Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Guandalini, Taylor &

Francis, 2004

Nelson Pediatric Text Book

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Mengetahui/Menyetujui

Ka Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Maret 2014

Ka. Divisi Gastroenterohepatologi Anak

Dr. Rismarini, SpA(K)

NIP 195801261985032001

Dr. Hasri Salwan, SpA(K)

NIP. 19670123 199603 1 003

Page 90: Alergi, Endokrin, Ge