aki.pdf

8
Tinjauan Pustaka Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010 Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana Robert Sinto, Ginova Nainggolan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak: Acute kidney injury (AKI) merupakan terminologi baru yang digunakan sebagai pengganti gagal ginjal akut. AKI merupakan sebuah sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens dengan angka mortalitas yang masih cukup tinggi. Perubahan tersebut disertai dengan pengajuan kriteria diagnosis yang terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi AKI lebih dini sehingga dapat diupayakan perbaikan prognosis pasien. Saat ini, diagnosis AKI ditegakkan dengan menggunakan kriteria RIFLE/ AKIN. Berdasarkan sumber masalahnya , AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama, yaitu prarenal, renal dan pascarenal. Dalam upaya diagnosis, perlu ditentukan etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI. Penatalaksanaan AKI harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana komplikasi yang dapat dilakukan secara konservatif atau secara bedah yaitu mengganti ginjal. Kata kunci: Acute kidney injury, pendekatan klinis, tata laksana 81

Upload: gaara-rahman

Post on 24-Apr-2015

80 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: AKI.pdf

Tinjauan Pustaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

Acute Kidney Injury:Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

Robert Sinto, Ginova Nainggolan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Acute kidney injury (AKI) merupakan terminologi baru yang digunakan sebagai

pengganti gagal ginjal akut. AKI merupakan sebuah sindrom dalam bidang nefrologi yang

dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens dengan angka mortalitas yang

masih cukup tinggi. Perubahan tersebut disertai dengan pengajuan kriteria diagnosis yang

terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi AKI lebih dini sehingga dapat diupayakan perbaikan

prognosis pasien. Saat ini, diagnosis AKI ditegakkan dengan menggunakan kriteria RIFLE/

AKIN. Berdasarkan sumber masalahnya , AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama, yaitu prarenal,

renal dan pascarenal. Dalam upaya diagnosis, perlu ditentukan etiologi, tahap penyakit, dan

komplikasi AKI. Penatalaksanaan AKI harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup upaya

tata laksana etiologi, pencegahan menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan

nutrisi, serta tata laksana komplikasi yang dapat dilakukan secara konservatif atau secara

bedah yaitu mengganti ginjal.

Kata kunci: Acute kidney injury, pendekatan klinis, tata laksana

81

Page 2: AKI.pdf

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

Acute Kidney Injury: Clinical Approach and Management

Robert Sinto, Ginova Nainggolan

Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta

Abstract: Acute kidney injury (AKI) is a terminology that substitute the previously known acute

renal failure. AKI is a syndrome that shows increasing incidence rate in the last 15 years with

relatively high mortality rate. This new terminology is follows the proposition of more sensitive

diagnosis criteria in order to detect AKI earlier, thus improve patient’s prognosis. Today, AKI is

diagnosed based on RIFLE/AKIN criteria and this should include determin the etiology, stage and

complications of AKI. According to the etiology, AKI is classified into 3 major categories: prarenal,

renal and pascarenal. Comprehensive management includes management of etiology, prevention

further declining of renal function, fluid, nutrition therapy and complications management, and

this can be done either with conservative method or renal replacement therapy.

Keywords: Acute kidney injury, clinical approach, management

Pendahuluan

Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal

dengan gagal ginjal akut (GGA, acute renal failure [ARF])

merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang

dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens.1

Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang

bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada

pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien

yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka

kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25%

hingga 80%.

Insidens di negara berkembang, khususnya di kom-

unitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang

ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada

komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan

insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan

sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang

lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan

oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya

populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang

beragam, meningkatnya jumlah prosedur transplantasi or-

gan selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang

lebih agresif.1-3

Definisi dan Kriteria Diagnosis

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam

jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang

umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal

untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/

tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.4

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi

dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on

chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai

gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang

seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal

akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepus-

takaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain

kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan

meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat

diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap

penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis

pasien.5,6

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initia-

tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis

di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF

menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney

diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,

sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury

dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan

ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut

beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup

semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar

kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis

penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan

penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO)

yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)

penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO

dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis

(biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat

dilakukan di mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

82

Page 3: AKI.pdf

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori

(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan

LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya

penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-

barkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada

tabel 1.5,7

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi

20078

Kate- Peningkatan Penurunan LFG Kriteria UO

gori kadar Cr serum

Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,

>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,

>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,

atau >4 mg/dL >24 jam atau

dengan kenaikan anuria >12 jam

akut > 0,5 mg/dL

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4

minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3

bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian

dan menunjukkan kegunaaan dalam aspek diagnosis,

klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit

dan prediksi mortalitas.8

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN),

sebuah kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional,

mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN meng-

upayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan

merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3

mg/dL sebagai ambang definisi AKI karena dengan kenaikan

tersebut telah didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali

lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan batasan waktu

terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut, disepakati

selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam

kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang

pemeriksaan kadar Cr serum; (3) semua pasien yang menjalani

terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI

tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai

patokan klasifikasi karena penggunaannya tidak mudah

dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis. Dengan

beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE

secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap

1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan

hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam

tahapan.6,7 Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada

tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan

kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap

kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas,

dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan

dengan kriteria RIFLE.8

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005.8

Tahap Peningkatan kadar Cr serum Kriteria UO

1 >1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam,

>0,3 mg/dL >6 jam

2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,

> 12 jam

3 >3,0 kali nilai dasar atau >4 mg/dL <0,3 mL/kg/jam,

dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL >24 jam atau

atau inisiasi terapi pengganti ginjal anuria >12 jam

Klasifikasi Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama

berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang

menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan

gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2)

penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan

pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit

yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI

pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat

tergantung dari tempat terjadinya AKI.4,9 Salah satu cara

klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)4,10

AKI Prarenal

I. Hipovolemia

- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular

Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi

usus

- Kehilangan darah

- Kehilangan cairan ke luar tubuh

Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran

kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit

(luka bakar)

II. Penurunan curah jantung

- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati

- Penyebab perikard: tamponade

- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal

- Aritmia

- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik

- Penurunan resistensi vaskular perifer

Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan

(contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)

- Vasokonstriksi ginjal

Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,

amphotericin B

- Hipoperfusi ginjal lokal

Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal

- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen

Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi

kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),

penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi

tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,

sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)

- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen

- Penggunaan penyekat ACE, ARB

- Stenosis a. renalis

V. Sindrom hiperviskositas

- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

83

Page 4: AKI.pdf

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

AKI Renal/intrinsik

I. Obstruksi renovaskular

- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,

diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,

kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal

- Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)

- Iskemia (serupa AKI prarenal)

- Toksin

- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,

pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemo-

lisis, asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial

- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bak-

teri, viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),

idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular

- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,

sulfonamida

VI. Rejeksi alograf ginjal

AKI Pascarenal

I. Obstruksi ureter

- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi

eksternal

II. Obstruksi leher kandung kemih

- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana-

san, darah

III. Obstruksi uretra

- Striktur, katup kongenital, fimosis

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di

Bandung selama pengamatan tahun 2005-2006, didapatkan

penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis

(42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada

penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan gastroen-

teritis akut (masing-masing 3%).11

Pendekatan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI

sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama

harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang

merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada

PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan

kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat

etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati

pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI)

dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat

dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada

PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar

seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal

polikistik.4,9 Upaya pendekatan diagnosis harus pula

mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan

penentuan komplikasi.

Pemeriksaan Klinis

Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala

haus, penurunan UO dan berat badan dan perlu dicari apakah

hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat

ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda

hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous

pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stig-

mata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal

jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi

tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak

memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan

dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun

toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat).

Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala

dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis,

glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.4,9,12 AKI

pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostover-

tebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal,

kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang

menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.

Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif,

dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur

menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.

Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan

pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.4,9,12

Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai

penanda inflamasi glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih,

atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang

didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang

transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran

sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat

ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat.

AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat

mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented

“muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel

tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada

kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast

leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada

nefritis interstitial.4,13

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea

plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin)

secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,

seperti yang terlihat pada tabel 4).

Tabel 4. Kelainan Analisis Urin (Dimodifikasi)4,12,13

Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal

Urinalisis Silinder hialin Abnormal

Gravitasi spesifik >1,020 ~1,010

Osmolalitas urin (mmol/kgH20) >500 ~300

Kadar natrium urin (mmol/L) <10 (<20) >20 (>40)

Fraksi ekskresi natrium (%) <1 >1

Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35

Rasio Cr urin/Cr plasma >40 <20

Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

84

Page 5: AKI.pdf

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik,

vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan menyebabkan

peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga

mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum

dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vaso-

konstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang

masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa

= [(Na urin x

Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%,

FEUrea

kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika

vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan

diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan

reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan

FENa

. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK

tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan

pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa

keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan

mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah

ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih

baik sehingga FENa

dapat pula menunjukkan hasil kurang

dari 1%.13

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan

AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin residu pasca-

berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung

dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan

adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab

AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti

foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal

dapat dilakukan sesuai indikasi.4,13

Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien

dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab

pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan

tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-

ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glome-

rulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.4

Peranan Penanda Biologis

Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria di-

agnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa

kelemahan. Kadar Cr serum antara lain (1) sangat tergantung

dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang

berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe

kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomeru-

lus atau tubulus); (3) tidak sensitif karena peningkatan kadar

terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak

baik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG

menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan

perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar

Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi

tidak dapat “ditangkap” oleh rumus-rumus yang ada.

Penggunaan kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor

prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik.

Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan

perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpe-

ngaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksana

sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita.

Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah

diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini sebelum terjadi

peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab

AKI, menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan

prognosis AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang

saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok

yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kid-

ney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3),

penanda kerusakan tubulus (cystatin C, α-1 mikroglobulin,

retinol-binding protein, NAG).14,16

Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini,

dapat disimpulkan bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan

penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI;

NGAL, IL-18, GST-π ð, dan γ-GST merupakan penanda

potensial diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18

merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI.

Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal,

dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda bio-

logis.14,16 Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang

beredar di Indonesia.9

Tata Laksana

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh

penyebab AKI dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika

ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE R

dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-

mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap

AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab

AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian

zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng-

hindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan

pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama

tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan),

beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup

berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan

keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara

cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan

pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit

urin dan serum.18

Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari

penyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Se-

buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status

katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).

Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat

yang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun

kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-

obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.

Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi

luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa

85

Page 6: AKI.pdf

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI

(Dimodifikasi)12,19

Katabolisme

Variabel Ringan Sedang Berat

Contoh keadaan Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,

klinis obat infeksi MODS

Dialisis Jarang Sesuai kebutuhan Sering

Rute pemberian Oral Enteral +/- pa- Enteral +/- pa-

nutrisi renteral renteral

Rekomendasi energi 20-25 kkal/kg 25-30 kkal/kg 25-30 kkal/kg

BB/hari BB/hari BB/hari

Sumber energi Glukosa 3-5 g/ Glukosa 3-5 g/ Glukosa3-5 g/kg

kgBB/hari kgBB/hari BB/hari

Lemak 0,5-1 g/ Lemak 0,8-1,2

kgBB/hari kgBB/hari

Kebutuhan protein 0,6-1 g/kgBB/ 0,8-1,2 g/kgBB/ 1,0-1,5 g/kgBB/

hari hari hari

Pemberian nutrisi Makanan Formula enteral Formula enteral

Glukosa 50-70% Glukosa 50-70%

Lemak 10-20% Lemak 10-20%

AA 6,5-10% AA 6,5-10%

Mikronutrien Mikronutrien

Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis

pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan

pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi

yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi

non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan

ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan

dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak

menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan AKI

(menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis,

proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan peng-

gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko

ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78).20,21 Meskipun

demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat

menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan

tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng-

gunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI

adalah:17,21

1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan

pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin,

dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan

dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-

30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi

terlebih dahulu.

2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak

berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih

dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria

kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40

mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau

diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau

tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum

1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan

dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan

translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak

berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus

dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak

bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas. 17,21

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi

cairan ke intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata

laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegu-

naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan

kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik,

menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan

aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian

manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain

menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin,

pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.22,23

Dopamin dosis rendah (0,5-3 µg/kgBB/menit) secara

historis digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya

pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin

dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh

darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir

peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis.

Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan

vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang

diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan

derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga

tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan

dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga

sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang

meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh

darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis),

sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam

dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang

tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis,

penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat

bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia

miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren

digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian

dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama

6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar

menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas.

Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit

dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki

hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti

agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian

lanjut dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya

dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak

terbukti efektif pada tata laksana AKI.25

Tata Laksana Komplikasi

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat

dilakukan secara konservatif, sesuai dengan anjuran yang

dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat

dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan

pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l),

asidosis berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema

86

Page 7: AKI.pdf

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010

paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati

atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau

<115 mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat

didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang tepat

untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum,

terapi dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah

teratasi.

Tabel 6. Tata Laksana Konservatif Komplikasi AKI4

Komplikasi Tata laksana

Kelebihan cairan § Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (<1 L/hari)

intravaskular § Penggunaan diuretik

Hiponatremia § Batasi cairan (<1 L/hari)

§ Hindari pemberian infus cairan hipotonik

Hiperkalemia § Batasi asupan K(<40 mmol/hari)

§ Hindari suplemen K dan diuretik hemat K

§ Beri resin potassium-binding ion exchange

§ Beri Dekstrosa 50% 50 cc + insulin 10 unit

§ Beri Natrium bikarbonat 50-100 mmol

§ Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-1

mg iv

§ Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit

Asidosis metabolik § Batasi asupan protein (0,8-1 g/KgBB/hari)

§ Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar se-

rum bikarbonat plasma >15 mmol/L dan pH

arteri >7,2)

Hiperfosfatemia § Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)

§ Beri pengikat fosfat

Hipokalsemia § Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat

10% (10-20 cc)

Hiperurisemia § Terapi jika kadar asam urat >15 mg/dL

Pencegahan

Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya me-

muaskan, maka pencegahan sangat penting untuk dilakukan.

Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada pencegahan

umum yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit

dasar yang dapat menyebabkan AKI,seperti usia lanjut dan

seseorang dengan PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah

dengan memperhatikan status hemodinamik seorang pasien,

mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah

penggunaan zat nefrotoksik maupun obat yang dapat

mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan

gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik

tidak terbukti efektif mencegah terjadinya AKI.14,19,27

Kesimpulan

Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom

dalam bidang nefrologi dengan morbiditas dan mortalitas

yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan

klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat

penyakit juga dapat menggambarkan prognosis kematian dan

prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal. Diagnosis dini

yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan

komplikasi AKI mutlak diperlukan. Tata laksana AKI

mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan penu-

runan fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta

tata laksana komplikasi.

Daftar Pustaka

1. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and

the fall of mortality of patients with acute renal failure: what the

analysis of two databases does and does not tell us. J Am Soc

Nephrol. 2006;17:923-5.

2. Roesli RMA. Epidemiologi gangguan ginjal akut. Dalam Roesli

RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan

pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan

Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan

Sadikin; 2008.p.27-40.

3. Waikar SS. Declining mortality in patients with acute renal fail-

ure, 1988 to 2002. J Am Soc Nephrol. 2006;17:1143-50.

4. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,

Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-

tor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16. New York:

McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

5. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-

sification: time for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-

87.

6. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock

DG, et al. Acute kidney injury network: report of an initiative to

improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care.

2007,11:R31.

7. Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya

untuk menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal

ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24.

8. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE

and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients.

Nephrol Dial Transplant. 2008;23:1569-74.

9. Roesli RMA. Diagnosis dan etiologi gangguan ginjal akut. Dalam

Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan

pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan

Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan

Sadikin; 2008.p.41-66.

10. Abuelo JG. Normotensive ischemic acute renal failure. N Engl J

Med. 2007;357:797-805.

11. Roesli RMA, Martakusumah AH, Suryanto. Terapi dialisis pada

penderita sakit kritis dengan gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi.

2007;7(1):12-17.

12. Markum HMS. Gagal ginjal akut. Dalam Sudoyo A, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid I. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006.

p.585-9.

13. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure:

definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.

2004;114:5-14.

14. Waikar SS, Liu KD, Chertow GM. Diagnosis, epidemiology and

outcomes of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol.

2008;3:844-861.

15. Biesen WV, Vanholder R, Lameire N. Defining acute renal fail-

ure: RIFLE and Beyond. Clin J Am Soc Nephrol. 2006;1:1314–9.

16. Coca SG, Parikh CR. Urinary biomarkers for acute kidney injury:

perspectives on translation. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:481-

490.

17. Roesli RMA. Pengelolaan konservatif (suportif). Dalam Roesli

RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R, editor. Diagnosis dan

pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan

Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS dr. Hasan

Sadikin; 2008.p.79-96.

18. Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar,

Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-

ogy & hypertension course and symposium on hypertension.

87

Page 8: AKI.pdf

Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.

19. Gill N, Nally Jr JV, Fatica RA. Renal failure secondary to acute

tubular necrosis. Chest. 2005;128;2847-2863.

20. Ho KM, Sheridan DJ. Meta-analysis of frusemide to prevent or

treat acute renal failure. BMJ. 2006;333(7565):420.

21. Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam

Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th

Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on

hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.

22. Himmelfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa MD,

Warnock D, et al. Evaluation and initial management of acute

kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3: 962-7.

23. Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam

Dharmeizar, Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th

Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on

hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.

24. Loekman JS. Vasoactive drugs and the kidney. Dalam: Dharmeizar,

Marbun MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrol-

ogy & hypertension course and symposium on hypertension.

Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.13-17.

25. Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure. Indian J

Urol. 2000;16:175.

26. Bellomo R, Ronco C. Indications and criteria for initiating renal

replacement therapy in the intensive care unit. Kidney Int. 1998;

53(66):S106-9.

27. O’Leary MJ, Bihari DJ. Preventing renal failure in the critically

ill:There are no magic bullets-just high quality intensive care. Br

Med J. 2001;322:1437-9.

ZN

Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana

88 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 2, Pebruari 2010