aki dan akb

25
AKB Berhasil Turun, AKI Masih Fluktuatif PROBOLINGGO - Hingga Oktober kemarin Angka Kematian Bayi (AKB) tercatat menurun mencapai 119 kasus jika dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 150 kasus. Sementara untuk Angka Kematian Ibu (AKI) hingga kini sudah mencapai 8 kasus, selisih 4 kasus dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 12 kasus. Sedangkan angka bayi lahir mati mencapai 92 kasus. AKB dan AKI adalah salah satu indikator kesehatan di negara kita. Tingginya kedua angka tersebut, harusnya menjadi perhatian serius bagi para praktisi kesehatan. Wulan Sri Hartati selaku Kasi KIB dan Reproduksi pada Dinas Kesehatan mengatakan perlu adanya penanganan serius dari berbagai pihak untuk mengurangi AKI dan AKB ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan diantaranya membangun kemitraan antara bidan dan dukun serta memberikan ketrampilan kepada petugas kesehatan melalui pelatihan maupun magang di rumah sakit. Selain itu juga dapat dilakukan melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Tingginya AKI dan AKB di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pendidikan dan pengetahuan, sosial budaya, sosial ekonomi, geografi dan lingkungan, aksesibilitas ibu pada fasilitas kesehatan serta kebijakan makro dalam kualitas pelayanan kesehatan,” jelas Wulan. Bulan Maret 2008, AKI pernah terjadi 3 kali. Penyebab kematian tersebut diantaranya Ruptura Uteri, Emboli Air Ketuban dan PEB Post SC. Sedangkan AKB juga pernah mencatat angka tertinggi pada bulan Juni yaitu 17 kasus. Sampai Oktober 2008 AKB terbesar terjadi di Kecamatan Kraksaan. Sedangkan AKB terendah terjadi di Kecamatan Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar dan Tongas. Bahkan di empat kecamatan tersebut belum pernah terjadi kematian bayi. “Salah satu penyebab tingginya AKI dan AKB adalah 4T yang meliputi terlalu muda melahirkan, terlalu tua melahirkan, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak melahirkan. Sebenarnya kita harus memberdayakan masyarakat untuk ikut berperan aktif memberikan pengertian kepada keluarga tentang AKI dan AKB ini,” terang Wulan.(wan) SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENURUNAN AKI DAN AKB DI DUNIA DAN INDONESIA o View

Upload: andria-olivia

Post on 24-Oct-2015

1.686 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

aki dan akb

TRANSCRIPT

Page 1: AKI DAN AKB

AKB Berhasil Turun, AKI Masih Fluktuatif PROBOLINGGO - Hingga Oktober kemarin Angka Kematian Bayi (AKB) tercatat menurun mencapai 119 kasus jika

dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 150 kasus. Sementara untuk Angka Kematian Ibu (AKI) hingga kini

sudah mencapai 8 kasus, selisih 4 kasus dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 12 kasus. Sedangkan

angka bayi lahir mati mencapai 92 kasus. AKB dan AKI adalah salah satu indikator kesehatan di negara kita.

Tingginya kedua angka tersebut, harusnya menjadi perhatian serius bagi para praktisi kesehatan.

Wulan Sri Hartati selaku Kasi KIB dan Reproduksi pada Dinas Kesehatan mengatakan perlu adanya penanganan

serius dari berbagai pihak untuk mengurangi AKI dan AKB ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan diantaranya

membangun kemitraan antara bidan dan dukun serta memberikan ketrampilan kepada petugas kesehatan melalui

pelatihan maupun magang di rumah sakit. Selain itu juga dapat dilakukan melalui Program Perencanaan Persalinan

dan Pencegahan Komplikasi (P4K).

 

“Tingginya AKI dan AKB di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pendidikan dan pengetahuan, sosial

budaya, sosial ekonomi, geografi dan lingkungan, aksesibilitas ibu pada fasilitas kesehatan serta kebijakan makro

dalam kualitas pelayanan kesehatan,” jelas Wulan.

Bulan Maret 2008, AKI pernah terjadi 3 kali. Penyebab kematian tersebut diantaranya Ruptura Uteri, Emboli Air

Ketuban dan PEB Post SC. Sedangkan AKB juga pernah mencatat angka tertinggi pada bulan Juni yaitu 17 kasus.

Sampai Oktober 2008 AKB terbesar terjadi di Kecamatan Kraksaan. Sedangkan AKB terendah terjadi di Kecamatan

Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar dan Tongas. Bahkan di empat kecamatan tersebut belum pernah terjadi kematian

bayi.

“Salah satu penyebab tingginya AKI dan AKB adalah 4T yang meliputi terlalu muda melahirkan, terlalu tua

melahirkan, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak melahirkan. Sebenarnya kita harus memberdayakan

masyarakat untuk ikut berperan aktif memberikan pengertian kepada keluarga tentang AKI dan AKB ini,” terang

Wulan.(wan)

 

SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENURUNAN AKI DAN AKB DI DUNIA DAN INDONESIA

o View

o clicks

Posted September 6th, 2008 by novita88

o Tugas Kuliah Lainnya

Kesehatan Ibu dan Anak

BAB I

PENDAHULUAN

Page 2: AKI DAN AKB

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kcmampuan hidup sehat bagi

semua orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari

badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Indikator derajat kesehatan dapat dinilai dari angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI), umur harapan

hidup dan angka kematian balita (Depkes Rl, 1991). OIeh karena itu, persalinan ibu hams mendapatkan fasilitas

dan partisifasi seperti tenaga profesional, pelayanan kesehatan, partisipasi masyarakat setempat dan lainnya.

Kematian ibu atau kematian maternal saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang

sangat penting. Tingginya angka kematian maternal mempunyai dampak yang besar terhadap keluarga dan

masyarakat (L. Ratna Budiarso et al, 1996). Kematian seorang wanita saat melahirkan sangat mempengaruhi

kelangsungan hidup bayinya, karena bayi yang bersangkutan akan mengalami nasib yang sama dan keluarganya

bercerai berai (L. Ratna Budiarso et al, 1990). Oleh karena itu angka kematian maternal dapat digunakan sebagai

salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, khususnya indikator kesehatan ibu.

Angka kematian maternal di Indonesia dewasa ini masih tinggi. Menurut data SKRT tahun 2001, 90 % penyebab

kematian ibu karena adanya komplikasi dan 28 % diantaranya terjadi pendarahan dimasa kehamilan dan

persalinan.(Resty K. 2000)

Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara maju, maka angka kematian ibu/maternal

di Indonesia adalah sekitar 3-6 kali AKI negara ASEAN dan lebih dari 50 kali AKI negara maju (Anonimus,

1996/1997).

Pola penyakit penyebab kematian ibu 84% karena komplikasi obstetrik langsung dan didominasi oleh trias klasik,

yaitu perdarahan (46,7 %), toxemia (14,5%) dan infeksi (8%). Kasus perdarahan yang paling banyak adalah

perdarahan postpartum akibat uri tunggal, sedangkan infeksi umunya merupakan komplikasi akibat ketuban pecah

dini, robekan jalan lahir, persalinan macet serta perdarahan (Sarimawar Djaja et al, 1997). Faktor yang turut

melatar belakangi kematian maternal adalah usia ibu pada waktu hamil tcrlalu muda ( < 20 tahun) atau terlalu tua

(> 35 tahun), jumlah anak terlalu banyak (> 4 orang) dan jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun (Depkes RI,

1994).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Maka permasalahan

yang akan dibahas dalam makalah ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kematian ibu pada saat hamil,

bersalin dan nifas serta factor-faktor yang menyebabkan kematian bayi pada bulan pertama hingga tahun pertama

dilahirkan.

Page 3: AKI DAN AKB

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi kematian ibu dan bayi.

2. Mengetahui penyebab kematian ibu dan bayi.

3. Mengetahui tingkat kematian ibu dan bayi.

4. Mengetahui strategi untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama yang berkaitan dengan kematian ibu

dan bayi.

2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan kematian ibu dan bayi serta upaya-upaya untuk

menurunkannya.

3. Memahami keberadaan fasilitas dan tenaga kesehatan dapat menurunkan kematian ibu dan bayi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kematian Ibu

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dalam ICD X mendefinisikan kematian ibu sebagai kematian wanita saat

hamil sampai 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung pada umur kehamilan dan letak kehamilan

di dalam atau di luar kandungan disebabkan oleh kehamilannya atau kondisi tubuh yang memburuk akibat

kehamilan atau disebabkan oleh kesalahan dalam persalinan, tetapi tidak termasuk kematian yang disebabkan oleh

kecelakaan dan kelalaian (Sarimawar Djaja et al, 1997).

2.2 Definisi Kematian Bayi

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu

tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian

bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.

Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi

pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir,

yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.

Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan

sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan

luar.

Page 4: AKI DAN AKB

2.3 Sejarah Kematian Ibu

Penurunan angka kematian ibu berkaitan dengan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang professional. Seperti halnya negara maju yang memiliki tenaga maju yang memiliki tenaga kesehatan dan

pelayanan kesehatan yang terorganisasi dengan baik dan terjangkau oleh masyarakat. Masalah yang dihadapi

Negara berkembang adalah keraguan tentang keakuratan data tentang kematian ibu yang dikumpulkan.

Sejarah Angka kematian Ibu di Negara Maju

London, seorang pelopor penurunan angka kematian ibu menyimpulkan bahwa penurunan angka kematian ibu

berhungan dengan peningkatan jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan dan peningkatan standar kebidanan.

Penurunan angka kematian ibu jauh lebih ditunjukan pada faktor – faktor yang berhubungan khusus dengan

persalinan dibandingkan dengan faktor – faktor yang berhubungan dengan sebab lain.

• Swedia

Pada awal tahun 1751, Komisi Kesehatan Swedia secara langsung memberikan perhatian terhadap pencegahan

kematian ibu. Hal ini dilakukan setelah pengamatan bahwa sekurang – kurangnya 400 dari 651 kasus kematian ibu

per tahun dapat diselamatkan bila tersedia bidan dalam jumlah cukup untuk menolong persalinan.

Para ahli kesehatan masyarakat mulai melatih bidan untuk memastikan bahwa semua persalinan di rumah dapat

ditangani oleh tenaga kerja berkualitas. Pelatihan bidan ternyata berjalan sangat lambat. Keberhasilan akhirnya

berjalan cepat setelah dikeluarkannya kebijakan politis untuk mengatasi masalah kematian ibu.

Pada tahun 1861 jmulah persalinan yang ditolong bidan meningkat menjadi 40% dan meningkat lagi menjadi 78%

pada tahun 1900, dan diikuti penurunan jumlah persalinan oleh dukun dari 60% pada tahun 1861 menjadi 18%

pada tahun 1900. Pada masa itu mayoritas persalinan dilakukan di rumah. Ternyata bertambahnya cakupan

persalianan yang ditolong oleh bidan, baik di rumah maupun di rumah sakit, langsung diikuti dengan penurunan

angka kematian ibu.

Mulai tahun 1928, para bidan terlatih mempraktekkan teknik persalinan yang modern, dan diizinkan untuk

menggunakan forsep dan alat untuk kraniotomi. Kegiatan para bidan disupervisi oleh dokter kesehatan masyarakat

setempat, yang dapat dipanggil jika bidan menghadapi kasus – kasus komplikasi yang serius. Dokter tersebut juga

bertanggung jawab atas pelaporan hasil pelayanan.

Pada akhir tahun 1870, terjadi penurunan angka kematian ibu secara drastic setelah ditemukan dan

diterapakannya teknik steril. Pada tahun 1881, para bidan memanfaatkan teknik tersebut pada pertolongan

persalinan di rumah sakit. Hal ini menjadikan Swedia sebagai Negara dengan angka kematian ibu paling rendah di

benua Eropa pada awal abad ke-20. Dapat disimpulkan bahwa kebersilan Swedia disebabkan oleh perubahan

penolong pesrsalinan kea rah profesionalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Depkes RI-FKM UI

Page 5: AKI DAN AKB

2005)

• Jepang

Keberhasilan Jepang hampir sama dengan Swedia. Panurunan angka kematian ibu berlangsung cepat dan stabil

pada akhir tahun 1930-an. Seperti halnya Swedia. Keadaan tersebut terutama disebabkan oleh keprofesonalisasi

pertolongan persalianan di rumah.

• Amerika Serikat

Turunnya angka kematian ibu di Amerika Serikat lebih lambat dari Swedia disebabkan oleh perkembangan

informasi, baru tersedia sejak 1900 dan juga bidan, umumnya imigran dari benua Eropa, tidak dianggap penting

karena besarnya pengaruh dokter ahli kebidanan. Pada masa itu tidak ada dorongan kebijakan yang efektif untuk

menurunkan angka kematian ibu, sampai akhirnya masyarakat menyalahkan para ahli kebidanan karena tidak

memperhatikan kematian ibu. Namun para ahli kebidanan masih tetap ingin memegang kendali dan metetapkan

persalianandi rumah sakit sebagai prioritas dan kebijakan utama. Kebijakan tersebut ternyata tidak dapat

menjamin akses perslinana yang berkualitas, bahakan menambahkan kematian akibat keteledoran pelayanan di

rumah sakit.

• Inggris

Situasi di Inggris lebih baik dari dibandingkan dengan keadaan di Amerika Seriakat. Informasi telah tersedia sejak

pertengahan abad ke-19 tidak seperti Swedia sebelum abad ke-20 Inggris tidak mengeluarkan kebijakan aktif untuk

meningkatkan peranan dan profesionalisme bidan. Akibatnya, kemajuan yang dicapai dalam upaya penurunan

angka kematian ibu berjalan sangat lambat. London berpendapat bahwa, keterlambatan dalm memerangi angka

kematian ibu di Inggris disebabkan oleh tiadanya kebijakan pemerintah yang mendukung . Selain itu, wewenang

pengalokasian dana yang diperlukan untuk upaya penurunan angka kematian ibu diserahkan kepada pemerintah

daerah, yang sering kali tidak memprioritaskan upaya penurunan angka kematian ibu. Factor lain yang

mempengaruhi adalah lambatnya upaya pengembangan bidan karena persaingan keras antara dokter umum dan

bidan dalam memperebutkan pasar. (Depkes RI FKM UI 2005)

Sejarah Angka Kematian Ibu di Negara Berkembang

• Amerika Latin

Penurunan angka kematian ibu yang paling awal dan cepat di wilayah ini ternyata dicapai oleh Negara yang

mempunyai pelayanan kesehatan yang terorganisasi dengan baik dan terjangkau oleh masyarakat, misalnya di

Kuba. Masalah lain yang dihadapi Negara-negara Amerika Latin adalah keraguan terhadap keakuratan tentang

kematian ibu yang dikumpulkan. Angka kematian ibu yang tinggi dan menetap ini antara lain berhubungan dengan

Page 6: AKI DAN AKB

tidak meratanya akses terhadap pelayanan kesehatan dan undang-undang yang membatasi segala macam bentuk

pengguguran kandungan(aborsi).

• Sri Langka dan Thailand

Kedua Negara ini berhasil menurunkan angka kematian ibu. Keberhasilan ini berhubungan dengan penerapan

system pelayanan kesehatan pemerintah yang dinilai lengkap dan disediakan secara cuma-cuma kepada

masyarakat yang memanfaatkannya. Hamper semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.

• Malaysia

Penurunan angka kematian ibu di Malaysia cukup pesat yaitu 150 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1970

menjadi 30 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1995. Selain akibatnya pesatnya pertumbuhan social ekonomi

masyarakat, penurunan angka kematian ibu ini tercapai karena dukungan kebijakan dalam manajemen upaya safe

motherhood dan berfungsinya fasilitas pelayanan kesehatan secara baik. Hal ini menghasilkan hubungan erat

antara masyarakat dan pelayanan kesehatan pemerintah yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang

memanfaatkannya.

• Indonesia

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 dan tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa terdapat

penurunan AKI dari 390 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup. Data ini diperoleh dari “Sisterhood Method”

suatu metode yang sangat tergantung dari kemampuan responden untuk melaporkan kematian saudara

perempuannya maupun dalam menentukan kematian ibu dengan cepat. Penyebab kematian ibu langsung di

Inonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi, partuslama, dan komplikasi abortus. Penyebab kematian langsung

tersebut merupakan penyebab kematian ibu terbanyak. Penyakit kematian ibu tidak langsung adalah anemia.

(Depkes RI FKM UI 2005).

2.4 Sejarah Kematian Bayi

Di dunia diperkirakan setiap tahun hampir 3,3 juta bayi lahir mati dan lebih dari 4 juta lainnya mati dalam 28 hari

pertama kehidupannya. Jumlah terbesar kematian bayi terjadi di wilayah Asia Tenggara (1,4 juta kematian bayi dan

1,3 juta lahir mati). Walupun jumlah keamtian tertinggi terjadi di Asia tapi angka kematian bayi dan angka lahir

mati paling besar terjadi di sub-sahara Afrika.

Penyebab utama kematian bayi erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan pemeriksaan ibu yang diperoleh

sebelum, selama, dan segera setelah melahirkan. WHO memperkirakan dari tahun 1995 hingga 2000 sebagian

besar Negara di Amerika, Asia Tenggara, Eropa dan wilayah Barat Pasifik dapat menurunkan angka kematian bayi.

Daerah Mediterania Timur kurang dapat menurunkan angka kematian bayi dan sedangkan Afrika justru mengalami

Page 7: AKI DAN AKB

angka kematian bayi.

Pengalaman dari Negara-negara maju memperlihatkan bahwa penurunan kematian bayi terutama kematian bayi

baru lahir tidak terjadi penurunan secara substansial dalam beberapa tahun apabila penurunan kematian pada bayi

yang lebih besar (post-neonatal) dan anak (childhood) telah tercapai. Pada banyak Negara, kematian bayi baru lahir

mengalami penurunan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lebih tua atau anak.

Sebenarnya penurunan kematian bayi tidak hanya tergantung dari tingginya alokasi dana untuk tekhnologi canggih

sebagai contoh Kolombia dan Sri Langka dengan kematian bayi tidak lebih dari 15 kematian bayi per 100.000

kelahiran hidup. Nikaragua dan Vietnam yang mempunyai angka kematian bayi 17 dan 15 per 1000 kelahiran hidup

mengalokasikan dana sekitar US$45 dan US$20 per kapita 1999. Sedangkan negara-negara di Eropa Utara dengan

upaya mengurangi resiko kematian akibat persalinan dan pasca persalinan dapat menurunkan angka kematian

bayi.

2.5 Penyebab Kematian Ibu

Secara garis besar penyebab kematian ibu dapat dikategorikan dalam penyebab langsung dan tidak langsung

(WHO, 1998):

1. Penyebab langsung (Direct obstetric deaths), yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh komplikasi

obstetric pada masa hamil, bersalin dan nifas, atau kematian yang disebakan oleh suatu tindakan, atau berbagai

hal yang terjadi akibat-akibat tindakan tersebut yang dilakukan selama hamil,bersalin atau nifas, seperti

perdarahan, toxemia dan infeksi.

2. Penyebab tak langsung (Indirect Qbstetric deaths), yaitu kemajian ibu yang disebabkan oleh penyakit yang

bukan komplikasi obstetri,yang berkembang atau bertambah berat akibat kehamiian, persalinan dan nifas.

Sarimawar Djaja dkk (1997) melaporkan bahwa 84% kematian ibu disebabkan oleh komplikasi obstetrik langsung

dan di dominasi oleh tiga sebab utama (trias klasik), yaitu perdarahan (46,7%), toxemia (14,5 %) dan infeksi (8%).

Kematian ibu akibat perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan antepartum, perdarahan post partum,

kehamiian ektopik, perdarahan akibat robekan rahim dan abortus (Erika Royston dan Sue Amstrong, 1994).

Kematian ibu akibat toxemia (keracunan kehamilan) dapat terjadi karena pre-eklampsi dan eklampsi.

Kematian ibu akibat infeksi dapat terjadi karena tractus genitourinarius (infeksi saluran genital), baik setelah

persalinan atau pada saat masa nifas. Infeksi ini dapat terjadi oleh berbagai cara, antara lain melalui penolong

persalinan yang tangannya tidak bersih dan menggunakan instrumen yang kotor, memasukkan benda asing ke

vagina selama persalinan seperti jamu/ramuan.

Selain trias klasik penyebab lain dari kematian ibu adalah ketuban pecah dini, uri tunggal tanpa perdarahan,

robekan jalan lahir, persalinan macet (biasanya karena tulang panggul ibu terlalu sempit) dan ruptura uteri serta

Page 8: AKI DAN AKB

psikosis masa nifas (Sarimawar Djaja, 1997).

Penyebab tak langsung kematian ibu meliputi penyakit-penyakit sistim sirkulasi saperti emboli (segala sesuatu

yang menyebabkan tersumbatnya penibuluh darah), penyakit saluran pernafasan, infeksi dan parasit, terutama

akibat penyakit menular seksual, dan anemia. (Erika Roystone &, Sue Amstrong , 1994; Sarimawar Djaja et al,

1997).

Departemen Kesehatan RI (1994) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dalam 3 faktor,

yaitu :

• Faktor medik

Beberapa faktor medik yang melatarbelakangi kematian ibu adalah faktor resiko tinggi (high risk group), yaitu

primigravida (umur < 20 tahun atau > 35 tahun), jumlah anak > 4 orang dan jarak persaiinan terakhir < 2 tahun,

tinggi badan < 145 cm, berat badan < 38 kg atau lingkar lengan atas (lila) < 23,5 cm, riwayat penyakit Keluarga

dan kelainan bentuk tubuh, riwayat obstetric buruk dan penyakit kronis. Seiain itu komplikasi kehamiian, persaiinan

dan masa nifas adalah penyebab langsung kematian maternal, yaitu perdarahan pervaginum, infeksi, keracunan

kehamiian, komplikasi akibat partus lama dan trauma persalinan.

Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk keadaan ibu pada saat hamil yang berperan dalam kematian

ibu adalah kekurangan gizi dan anemia (Hb' < 8 gr%)serta bekerja fisik berat selama kehamiian, yang memberikan

dampak kehamilan yang kurang baik berupa bayi berat lahir rendah dan prematuritas.

• Faktor non medik

Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal

adalah kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal, terbatasnya pengetahuan ibu tentang

bahaya kehamiian resiko tinggi, ketidakberdayaan sebagian besar ibu-ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan

keputusan untuk dirujuk dan membiayai biaya transportasi dan, perawatan di rumah sakit.

• Faktor pelayanan kesehatan

Faktor pelayanan kesehatan yang memicu tetap tingginya angka kematian maternal adalah belum mantapnya

jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok resiko, masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan

yang dilakukan di rumah oleh dukun yang tidak mengetahui tanda-tanda bahaya.

2.6 Penyebab Kematian Bayi

Bayi yang berumur di bawah 1 tahun meliputi 2,5 persen dari seluruh penduduk, tetapi kematian bayi mencapai 27

persen dari kematian semua golongan umur. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahuu 1986 di 7 provinsi

menunjukkan bahwa 4 penyebab kematian utama pada bayi-tetanus, gangguan perinatal, diare dan infeksi saluran

Page 9: AKI DAN AKB

pernapasan akut (ISPA)~meliputi lebih dari duapertiga seluruh kematian bayi yang diperkirakan 379.800 pada

tahun 1985 (Tabel 2.5). Dari jumlah kematian tersebut, 28 persen disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi, seperti tetanus, campak, difteria dan batuk rejan. Suatu sebab utama lainnya (hampir 1 di antara

setiap 5 kematian bayi) adalah trauma persalinan dan gangguan perinatal lainnya; dan, di samping itu sebanyak 4

persen akibat kelainan bawaan. Gangguan perinatal dan kelainan bawaan ini umumnya dapat I dipengaruhi oleh

keadaan kesehatan dan gizi yang kurang pada masa kehamilannya, selain kurangnya jangkauan pelayanan

kesehatan dan pertolongan persalinan. Tetanus I merupakan sebab dari 19 persen kematian bayi, dan terutama

sebagai sebab dari kematian bayi di bawah umur 1 bulan yang merupakan 40 persen kematian bayi j neonatus.

Kematian sebab tetanus neonatorum erat hubungannya dengan tindakan yang I dilakukan pada waktu pertolongan

persalinan serta perawatan pasca persalinan termasuk cara merawat tali pusat.

Tabel Pola Sebab Kematian Bayi (dibawah umur 1 tahun),1986

Penyakit % kematian bayi Kematian bayi per 100.000 KH Perkiraan jumlah kematian bayi

Tetanus 19,3 1.383,5 73.301

Gangguan perinatal 18,4 1.320,6 69.883

Diare 15,6 1.119,4 59.249

Infeksi saluran pernafasan 14,4 1.031,3 54.691

Campak 7,5 540,8 28.485

Penyakit saraf 5,6 402,5 21.268

Kelainan bawaan 4,2 301,8 15.952

Difteria, batuk rejan 1,0 75,5 3.798

Anemia, kurang gizi 1,0 75,5 3.798

Lain-lain 13,0 930,7 49.374

Jumlah 100,0 7.181,6 319.800

Sumber:Budiarso,L.Ratna, Pola Kematian. Prosiding Seminar Survei Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan, hal 161.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) seperti yang dilakukan pada tahun 1986 itu sudah pemah dilakukan

sebelumnya pada tahun 1980. Sekalipun antara kedua survei tersebut ada perbedaan dalam jumlah sampel dan

metoda klasifikasi penyebab kematian, akan tetapi bilamana data tersebut dianalisa secara hati-hati, maka data

dari kedua survei tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama: Keempat penyebab kematian utama pada tahun 1980 masih merupakan penyebab kematian utama pada

Page 10: AKI DAN AKB

tahun 1986. Akan tetapi peran keempat penyebab utama tersebut sudah berkurang dari tigaperempat menjadi

duapertiga dari seluruh kematian bayi. Walaupun angka kematian bayi dari basil kedua survei tersebut

menunjukkan penurunan, yaitu dari 100 menjadi 71,8 per 1000 KH, tetapi proporsi dari 7 penyebab utama adalah

tetap meliputi 83,0 persen, baik pada tahun 1980 maupun 1986.

Kedua: Tetanus merupakan penyakit pembunuh utama dalam tahun 1980 dan dalam tahun 1986 masih tetap

merupakan demikian. Meskipun angka kematian disebabkan tetanus sudah menurun, yaitu dari 1978,5 per 100.000

KH menjadi 1383,5 per 100,000 KH, tetapi kematian disebabkan tetanus masih meliputi kurang lebih 70.000

kematian bayi dalam tahun 1985, yaitu lebih dari 1 untuk setiap 5 kematian bayi. Proporsi ini tidak berubah

dibandingkan dengan keadaan tahun 1980.

2.7 Tingkat Kematian Maternal Ibu

Tingkat kematian matemal dinyatakan dengan beberapa ukuran, yaitu MMRatio, MMRate, Life Time Risk (resiko

kematian selama hidup) dan proporsi kematian karena sebab maternal pada keiompok umur reproduksi (S.

Soemantri,1997).

Berdasarkan kesepakatan internasional,maka ukuran tingkat kematian maternal yang digunakan adalah MMRatio,

yaitu kematian maternal untuk periode tertentu (biasanya 1 tahun) per 1000 kelahiran hidup pada periode yang

sama.

Kemajuan ilmu kedokteran telah memberi hasil yang menggembirakan bagi menurunnya angka kematian ibu. Di

Inggris, angka kematian maternal menurun dari 442 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1928 menjadi 25 per

100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 (Hanifa S, 1992), sedangkan Malaysia mengalami penurunan angka

kematian maternal yang cukup pesat dari 150 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 menjadi 30 per

100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Hal ini disebabkan antara lain oleh pertumbuhan sosial ekonorni dan

dukungan kebijakan pemerintah yang menyebabkan fasilitas kesehatan berfungsi secara baik.

Sementara di Indonesia belum di dapati data angka kematian ibu yang tepat sebab belum ada system pendaftaran

kematian dan kematian yang berlaku sccara ketat. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992

memperkirakan MMRatio sebesar 455 per 100.000'kelahiran hidup, sedangkan SKRT tahun 1995 membuat

perkiraan yang lebih rendah , yaitu 384 per 100.000 kelahiran hidup, namun untuk luar Jawa-Bali angkanya adalah

469 per 100.000 kelahiran hidup (S.Soemantri, 1997).

Jumlah angka kematian ibu di Indonesia sangat bervariasi, yang tertinggi di NTB 134 per 100.000 kelahiran hidup,

Aceh (1996) 421 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Timur 98,9 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Barat 490 per

100.000 kelahiran hidup, DJY 130 per kelahiran hidup (Poehjati Poedji, dkk 2003)

Angka Kematian ibu (AKI) di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI dari hasil Survei Keserhatam Rumah

Page 11: AKI DAN AKB

Tangga (SKRT) 1985 adalah 450 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1992 menurun menjadi 404 per 100.000

kelahiran hidup. Menurut survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 AKI di Indonesia adalah

sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih jauh lebih tinggi

dibandingkankan dengan negara-negara tetangga ASEAN, yaitu pada tahun 1994 AKI di Vietnam 1231,FiIipina

100,Brunai 60, Malaysia 59, Thailand 50, dan Singapura hanya 10 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut SKRT

tahun 2001 AKI di Indonesia adalah sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangakan menurut Survei

Dernografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 AKI turun menjadi 307 per l00.000 kelahiran hidup.

2.8 Angka Kematian Bayi

Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia berasal dari berbagai sumber, yaitu Sensus Penduduk, Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dan Surkesnas/Susenas. Dalam beberapa tahun terakhir AKB telah banyak

mengalami penurunan yang cukup menggembirakan meskipun pada tahun 2001 meningkat kembali sebagai

dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1971 AKB diperkirakan sebesar 152 per 1.000

kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 117 pada tahun 1980, dan turun lagi menjadi 44 per 1.000 kelahiran

hidup pada tahun 2000. Sedangkan AKB menurut hasil Surkesnas/Susenas berturut-turut pada tahun 2001 sebesar

50 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran

perkembangan estimasi AKB dari tahun 1995 s.d. tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel berikut.

TABEL ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP

DI INDONESIA MENURUT SUPAS 1995 DAN SUSENAS

TAHUN 1995 S.D TAHUN 2002

Tahun Estimasi

SUPAS 1995 Estimasi SUSENAS

1995 55 56

1996 54 -

1997 52 -

1998 49 49

1999 46 -

2000 44 -

2001 - 50

2002 - 45

Page 12: AKI DAN AKB

Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995) dan estimasi Susenas 2002-2003

Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir tersebut memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas

hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan

cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, penempatan bidan di desa, dan

meningkatnya proporsi ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi.

Bila dilihat menurut jenis kelamin, angka kematian bayi pada laki-laki selalu lebih tinggi dibandingkan dengan bayi

perempuan, sebagaimana terlihat pada gambar berikut.

GAMBAR ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA MENURUT JENIS

KELAMIN

TAHUN 1995 S.D. TAHUN 2000

Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995)

Dari hasil penelitian terhadap semua kasus kematian yang disurvei pada SKRT 1992, 1995 serta Surkesnas tahun

2001 diperoleh gambaran proporsi sebab utama kematian bayi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

TABEL PROPORSI PENYAKIT PENYEBAB KEMATIAN BAYI DI INDONESIA

HASIL SKRT 1992, 1995, DAN SURKESNAS 2001

SKRT 1992 SKRT 1995 SURKESNAS 2001

Jenis penyakit % Jenis penyakit % Jenis penyakit %

1. ISPA

2. Diare

3. Tetanus Neonatorm

4. Penyakit Sist Syaraf

5. Gangguan Perinatal

6. ?Difteria, Pertusis, dan Campak 36,0

11,0

9,8

5,4

4,3

3,3 1. Penyakit Sistem Pernafasan

Page 13: AKI DAN AKB

2. Gangguan Perinatal

3. Diare

4. Penyakit Sist Syaraf

5. Tetanus

6. Infeksi dan Parasit Lain 29,5

29,3

13,9

5,5

3,7

3,5 ?1. Gangguan Perinatal

?2. Sistem Pernafasan

?3. Diare

?4. Sistem pencernaan

?5. Gejala tidak jelas

?6. Tetanus

?7. Saraf 34,7

27,6

9,4

4,3

4,1

3,4

3,2

Sumber: Badan Litbangkes, Publikasi hasil SKRT 1992 dan 1995, SURKESNAS 2001

Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian bayi dari tahun 1992 dan 1995 tidak terlalu

banyak mengalami perubahan dan masih didominasi oleh penyakit infeksi. Sedangkan pada tahun 2001 gangguan

perinatal menduduki peringkat pertama, yang diperkirakan karena kualitas pemeriksaan ibu hamil dan pertolongan

persalinan masih perlu ditingkatkan walaupun cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sudah meningkat

BAB III

PEMBAHASAN

Page 14: AKI DAN AKB

3.1 Strategi Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu

Terjadinya kematian maternal di negara-negara berkembang biasanya di dahului oleh berbagai masalah, misalnya

kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, status wanita yang rendah, sanitasi dan gizi yang buruk, tranportasi

dan pelayanan kesehatan yang terbatas. Bila masalah tersebut teratasi, maka angka kematian ibu dapat

diatasi.namun bila masalah tersebut belum dapat diatasi, maka Mainne et al (1993) dalam WHO (I998)menyatakan

bahwa kematian ibu dapat juga dicegah dengan pendekatan sebagai berikut :

1. Mencegah/memperkecil kemungkinan wanita untuk hamil.

Selama seorang wanita tidak berada dalam kehamilan, ia tidak mempunyai resiko untuk mati. Dengan demikian

menurunkan angka kesuburan wanita merupakan cara yang efektif untuk mcncegah kemungkinan menjadi hamil

sehingga menghilangkan resiko kematian akibat kehamilan dan persalinan.

Keikutsertaan ber-KB berhubungan dengan resiko kematian seumur hidup (life time risk)seorang wanita, yang

merupakan fungsi dari aspek kemungkinan selamat dalam menjalani kehamilan dan jumlah kehamilan rata-rata

yang dialami wanita. Keikutsertaan ber-KB mencegah kematian ibu melalui aspek yang kedua.

2. Mencegah/memperkecil kemungkinan wanita hamil mengalami komplikasi dalam kehamilan/persalinan.

Analisis menunjukkan bahwa kebanyakan kejadian komplikasi obstetri tidak dapat dicegah atau diperkirakan

sebelumnya. Disamping itu telah diketahui bahwa wanita dalam kelompok umur < 20 tahun dan > 35 tahun

mempunyai resiko lebih besar terhadap kematian ibu. Namun asuhan antenatal yang berkualitas dan pertolongan

persalinan yang aman akan berperan penting dalam menghasilkan ibu dan bayi yang sehat pada akhir

kehamilan,disamping pcrlunya persiapan terhadap keadaan darurat obstetri yang tidak terduga bagi setiap ibu

hamil.

3. Mencegah/memperkecil kematian wanita yang mengalami komplikasi kehamilan/persalinan.

Walaupun kebanyakan komplikasi obstetri tidak dapat dicegah dan dan diperkirakan sebelumnya, tidak berarti

bahwa komplikasi itu tidak dapat ditangani. Mengingat bahwa setiap ibu beresiko untuk mengalami komplikasi

obstetri, maka mereka perlu mempunyai akses terhadap pefayanan kegawatdaruratan obstetric sehingga semua

kematian ibu dapat dicegah.

Fasilitas, Tenaga dan Cakupan Program

Kematian ibu sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu kedokteran, fasilitas yang ada dalam pelayanan

kebidanan, mutu tenaga yang memberi pelayanan dan factor sosial ckonomi. (H. Hutabarat, 1980).

Kesehatan ibu dan anak (KIA) mempunyai tujuan akhir bagi angka kematian bayi, anak balita dan kematian

ibu/maternal. Untuk keberhasilan program tersebut harus di dukung oleh keberadaan fasilitas dan tenaga yang

memadai dan profesional untuk mendapatkan cakupan program yang setinggi-tingginya.

Page 15: AKI DAN AKB

Strategi yang dilakukan pemerintah adalah 7 T yaitu:

• terlalu muda,

• terlalu tua,

• terlalu sering,

• terlalu banyak, terlambat mengambil keputusan,

• terlambat untuk dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan

• terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan.

Ada pendekatan yang dikembangkan untuk meniirunkan angka kematian ibu yang disebut MPS atau Making gnancy

Safer. 3 (tiga) pesan kunci dalam MPS yang perlu diperhatikan adalah:

1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih.

2. Setiap komplikasi obstetric dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat (memadai).

3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan

penanganan komplikasi keguguran.

3.2 Strategi Untuk Menurunkan Angka Kematian Bayi

1. Pemberian Asi

Bayi-bayi yang diberi air susu ibu jarang sakit dan cukupmendapat makanan lengkap dibandingkan dengan bayi

yangdiberi makanan lain .Karena itu ,pemberian susu botol ,terutama di lingkungan Keluarga ,masyarakat

miskin,merupakan ancaman bagi jiwa dan kesehatan jutaan anak .Air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan

minuman terbaik bagi bayi dalam uisa empat sampai enam bulan pertama kehidupannya .Bayi harus mulai

mendapat air susu ibu secepatnya setelah lahir .Dimana sebenarnya setiap ibu mampu menyusui anaknya .Untuk

menghasilkan susu yang cukup bagi kebutuhan bayi ,diperlukan penghisapan seserimg mungkin. Pemberian susu

botol dapat menyebabkan sakit parah dan kematiaan.Pemberian air susu ibu harus dilanjutakan sampai anak

berusia dua tahun,dan bila mungkin lebih lama.

2. Upaya dehidrasi oral (ORAL)

Diare menyebabkan dehidrasi(kehilangan air dari tubuh atau jaringan),yang mengakibatkan kematian sekitar 3,5

juta anak setiap tahun .Diare juga merupakan penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak .Namun demikian

upaya dehidrasi oral (URO)dapat digunakan untuk mencegah atau merwat dehidrasi yang disebabkan diare yang

merupakan sebab umum dari kematian anak balita . Dalam tahun 1990an promosi oralit atau larutan garam dan

gula yang merupakan atau jenis lain dari larutan dehidrasi yang dibuat di rumah. Telah memberikan terapi ini

kepada kira-kira 20 % dari oranmg tua di dunia dan kini menyelamatkan kira-kira 600.000 jiwa setiap tahun.

3. Imunisasi

Page 16: AKI DAN AKB

Sejauh ini, tempat uji coba utama persekutuan besar bagi anak-anak adalah usaha untuk menyediakan imunisasi.

Imunisasi di dunia berkembang tidak semudah atau seotomatis untuk sebagian besar orang tua sebagaimana di

dunia industri. Dan kalau kita ingin agar mereka mau membawa anak yang tidak sakit ke klinik tiga atau empat kali

dalam tahun pertama dari masa hidup anak-anak tersebut, jadwal imunisasi yang dianjurkan oleh WHO adalah

sebagai berikut :

• Habis lahir- BCG untuk Tuberclosa dan vaksin polio pertama (OPV1)

• 6 minggu – suntikan pertama terhadap dipteri, batuk rejan dan tetanus atau DPT 1 dan OPV2

• 10 minggu – DPT2 dan OPV3

• 14 minggu – DPT2 dan OPV4

• 9 bulan – Campak

Di beberapa Negara vaksinasi DPT dan polio diberikan hanya 2 dosis saja dan vaksinasi campak diberikan setelah

12 bulan. Maka semua orang harus diberi tahu dari semua sumber yang ada bahwa pemberian vaksinasi lengkap

sangat diperlukan untuk melindungi jiwa dan pertumbuhan normal anak-anak mereka diantara penyakit-penyakit

masa kanak-kanak yang paling berbahaya.

Dalam lima tahun belakangan ini, imunisasi telah menghimpun momentum baru. Adalah sangat penting saat ini

untuk mempertahankan momentum itu. Dan dalam tahun 1980 an hany ada tiga infeksi yang dapat dicegah oleh

vaksin – campak, batuk rejan, dan tetanus – yang telah membunuh kurang lebih dari 25 juta jiwa nak-anak kecil –

lebih dari seluruh penduduk dibawah umur 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kita mempunyai sarana

yang murah untuk menghentikan pembunuhan yang keji itu dan menghentikannya dalam beberapa tahun ini. Kalau

tidak memanfaatkan sarana itu, maka pengakuan kita tentang peradaban dunia dan harapan kita bagi kemajuan

manusia tidak akan bertahan terhadap pengujian lebih lanjut.

Melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dunia telah menentukan sasaran untuk mengimunisasikan sebagian

besar anak-anak terhadap enam jenis penyakit utama pada tahun 1990 an. Tidak ada satupun yang pernah

mencapai cakupan imunisasi 100 persen. Negara-negara berkembang telah menentukan target dengan 80%, yang

dianggap sebagai tingkat minimum yang dapat diterima ( cakupan di Negara-negara industri hanya lebih 70%

untuk DPT, dan dibawah 80% untuk Campak dan Folio). Apabila cakupan imunisasi mencapai 80% atau lebih, pola

penyebaran penyakit akan terpengaruhi, dan suatu tingkat perlindungan akan terjadi pada anak-anak yang belum

diimunisasi (asal tersebar merata dan tidak terpusat di daerah-daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah).

Tetanus, yang diakibatkan oleh kelahiran tidaj higienis, telah membunuh sekitar 800.000 anak yang baru lahir

setiap tahun. Dua vaksinasi dengan Tetanus Toxoid diwaktu hamil atau satu dosis tambahan untuk seorang ibu

yang sudah divaksinasi akan melindungi anak yang baru lahir sampai anak tersebut divaksinasi. Separuh dari bayi

Page 17: AKI DAN AKB

dunia berkembang kini sedang diimunisasi dengan vaksin BCG, difteria, batuk rejan, Tetanus dan polio sebelum

usia 12 bulan, 39% sedang diimunisai terhadap campak, 28% wanita hamil di Negara-negara berkembang

diimunisasi terhadap tetanus. Dan dengan segala keuletan dan ketekadan yang diperlukan, sasarn tersebut harus

dicapai. Dan apabila ada insentif lain yang dibutuhkan, perlu kiranya disebutkan bahwa penciptaan system

universal untuk imunisasi mutlak perlu bagi penyampaian vaksin-vaksin baru misanya, terhadap malaria dan AIDS-

yang mungkin sekali dikembangkan dalam 10 tahun mendatang.

Dengan demikian imunisasi tantangan komunikasi yang permanent. Dan masih banyak yang harus dilakukan.

Di Indonesia, sukses dalam mobilisasi ratusan anggota ribu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

sebagai kader gizi yang aktif telah menghasilkan berdirinya sampai 133.000 Posyandu atau pos pelayanan terpadu,

yang sekarang mendukug lebih dari separuh orang tua Negara itu dalam menyediakan satu paket terpadu cara-

cara yang murah untuk melidungi kesehatan dan pertumbuhan normal anak-anak. Melalui imunisasi, rehidrasi oral,

Keluarga berencana, promosi pemberian air susu ibu, perawatan pra-natal, dan pemantauan pertumbuhan setiap

bulan. Posyandu mungkin akan berhasil memberi kuasa kepada orang tua untuk mengurangi angka kematian anak

tahun 1980 dengan 50% atau lebih pada akhir dasawarsa ini.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang tertinggi memberikan dampak yang besar terhadap keluarga

dan masyarakat. Kematian ibu dan anak masih merupakan masalah kesehatan reproduksi di dunia terutama di

Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dunia dan Indonesia masih terus memikirkan upaya-upaya untuk

menurunkan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Adapun upaya yang telah dilakukan

diantaranya :

- Pemberian ASI Eksklusif

- Mencegah terjadinya komplikasi persalinan pada ibu hamil

- Imunisasi

- Memeriksakan kandungan minimal empat kali selama masa kehamilan

- Memberikan zat besi yang cukup untuk ibu hamil

4.2 Saran

1. Kesehatan ibu dan anak dapat lebih ditingkatkan dengan cara menjarangkan kelahiran paling sedikit antaradua

Page 18: AKI DAN AKB

tahun, dengan mencegah kehamilan sebelum usia 18 tahun, dan dengan mem-batasi kehamilan hingga empat kali.

2. Untuk mengurangi bahaya-bahaya pada saat melahirkan, semua wanita yang hamil harus memeriksakan diri

kepada petugas kesehatan, agar mendapatkan perawatan sebelum melahirkan, dan setiap kelahiran bayi harus

dibantu oleh bidan yang terlatih.

3. Selama beberapa bulan pertama kehidupan bayi, air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan minuman yang

paling baik Setelah berusia empat hingga enam bulan, bayi memerlukan makanan lain di samping air susu ibu.

4. Anak-anak di bawah usia tiga tahun memerlukan makanan khusus. Mereka perlu makan lima atau enam kali

sehari datf makanannya harus diperkaya dengan sayuran yang dihaluskan dan sedikit lemak atau minyak.

5. Penyakit diare dapat menyebabkan kematian karena anak kehilangan terlalu banyak cairan di tubuhnya. Karena

itu cairan yang hilang ketika anak berak cair atau mencret, hari diganti dengan cara memberinya minum cairan

yang tepat misalnya air susu ibu, bubur cair, sup, atau larutan ORALIT.

Bila penyakimya lebih parah dari biasa, anak memerlukan pertolongan dari petugas kesehatan dan minum larutan

ORALIT. Agar cepat sembuh, anak yang menderita diare perlu diberi makan.

6. Imunisasi akan melindungi anak-anak terhadap beberapa penyakit yang menghambat pertumbuhan,

menyebabkan kelemahan, dan kematian. Semua imunisasi hams diberikan pada tahun pertama. Setiap wanita

bemsia subur hams diimunisasi terhadap tetanus.

7. Biasanya batuk dan pilek akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi, bila anak yang batuk bernafas lebih cepat dari

biasa, anak tersebut sakit parah dan perlu cepat dibawa ke Puskesmas. Anak yang batuk dan pilek haras diberi

makan dan perlu banyak minum.

8. Banyak penyakit disebabkan oleh kuman penyakit yang masuk mulut. Hal ini dapat dicegah dengan cara buang

air besar di kakus, mencuci tangan dengan air dan sabun setelah buang air dan sebelum menangani makanan,

serta mendidihkan air untuk diminum.

9. Penyakit dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Setelah sembuh dari sakit, setiap hari

selama satu minggu, anak memerlukan makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhan yang terhenti sebagai

akibat dari sakit.

10. Anak-anak yang berusia tiga bulan hingga enam tahun, harus ditimbang setiap bulan. Jika dalam waktu dua

bulan, berat badannya tidak bertambah, pasti ada masalah.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Page 19: AKI DAN AKB

1. Pemerintah Republik Indonesia-UNICEF.1989. Analisa Situasi Anak dan Wanita di Indonesia. Jakarta: Pemerintah

RI-UNICEF.

2. Grant,P.James.1989.Situasi Anak-anak di Dunia 1988. Jakarta: Kantor Perwakilan UNICEF untuk Indonesia.

3. Benson dkk.1994.10 Petunjuk Bagi Kesehatan Ibu dan Anak. Medan: Pustaka Widyasarana.

4. www.

Faktor Ekonomi Tingkatkan AKB dan AKI

Selasa, 24 Maret 2009 10:23:10 - oleh : redaksi - dilihat 507

Tri Lestari Handayani MkepSpMat

Sebuah data tersaji cukup menyesakkan. Semenjak 1990, status kesehatan ibu, bayi, dan anak di Indonesia

tidak mengalami perbaikan yang bermakna. Dilansir dari hasil penelitian Bank Dunia pada 2008, Angka

Kematian Ibu (AKI) di Indonesia meningkat dari 302 per 100 ribu persalinan menjadi 420 per 100 ribu

persalinan. Angka ini tertinggi dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Lebih menyesakkan lagi data yang dilansir oleh Departemen Kesehatan. Angka Kematian Bayi (AKB) sudah

mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Dari dua data ini –AKI dan AKB- menunjukkan bahwa status

kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi di negeri ini masih mengkawatirkan. Kematian masih menjadi

momok yang menghantui keduanya baik pada saat sebelum, selama, bahkan setelah melahirkan.

Secara medis, kematian itu memang bisa disebabkan oleh tiga hal, yaitu pendarahan, infeksi, dan hipertensi.

Namun menurut Tri Lestari Handayani, ada faktor ekonomi yang kuat menjadi unsur pendorong sehingga

terjadi penanganan medis yang minim pada ibu yang melahirkan. Berikut penuturan Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang ini kepada Mas Bukhin dari KORAN PENDIDIKAN.

AKI dan AKB di Indonesia masih cukup tinggi. Secara medis tentu ada penyebab tingginya kedua

angka ini, namun Anda menilai bahwa faktor ekonomi menjadi pendorong yang cukup kuat. Bisa

dijelaskan?

Menurut saya faktor medis yang menyebabkan kematian ibu dan bayi, lebih dikarenakan adanya

keterlambatan dalam menemukan masalah dan keterlambatan dalam mengambil keputusan. Nah

keterlambatan ini sampai terjadi sebagian besar karena ketidaktersediaan cukup dana untuk melakukan

identifikasi serta upaya antisipasi. Makanya saya menganggap bahwa faktor ekonomi itu yang menjadi

pendorong kuat pada tingginya AKI dan AKB di Indonesia.

Dalam konteks ibu dan kehamilan, keterlambatan-keterlambatan itu seperti apa?

Saya contohkan soal keterlambatan menemukan masalah. Dalam kehamilan, idealnya selama 12 jam janin

Page 20: AKI DAN AKB

itu melakukan pergerakan minimal 10 kali. Tidak sedikit ibu hamil yang menganggap normal bila pada satu

hari janinnya tidak bergerak. Ini berimbas pada keterlambatan mengambil keputusan, pergi kontrol ke

dokter misalnya atau berkonsultasi pada tenaga kesehatan yang lain. Nah, minimnya dana menjadikan ibu

hamil tidak punya pilihan, mereka lebih memilih menanggung risiko apapun termasuk bila akhirnya datang

ke dukun beranak.

Bukannya itu lebih terkait dengan minimnya informasi dan sosialisasi tentang kesehatan ibu dan

anak?

Ya, faktor itu juga turut mendukung. Meski saat ini sedang digalakkan berbagai bentuk sosialisasi dan

program-programnya namun pelaksanaan masih belum efektif. Ini disebabkan tidak ada dukungan kebijakan

kesehatan yang memihak serta ketersediaan tenaga kesehatan yang sesuai standar.

Kalau menilik pada kondisi umum tentang layanan kesehatan, bukannya sudah ada dukungan

asuransi dan juga tenaga medis yang berkualitas. Lebih khusus dalam kaitan ibu dan kehamilan,

bukannya sosialisasi seperti Bidan Desa dan Suami Siaga juga gencar dilakukan. Lalu kenapa

AKI dan AKB masih tinggi?

Layanan dan program-progam seperti itukan lebih sebagai upaya penyadaran dan antisipasi, tapi tetap

membutuhkan cukup dana. Ke bidan desa misalnya juga dibutuhkan dana, baik sekadar konsultasi dan

kontrol, apalagi persalinan. Belum lagi kalau ke dokter, malah lebih diarahkan untuk tindakan medis yang

lebih besar seperti operasi yang itu berbiaya sangat tinggi.

Lalu apa yang menurut Anda efektif dalam menurunkan AKI dan AKB ini?

Paling penting bagi saya itu persalinan gratis. Kalau pemerintah mau membuat program atau kebijakan yang

berkesinambungan dalam menurunkan AKI dan AKB ini, ya dengan persalinan gratis. Sudah tidak ada alasan

ekonomi lagi bagi setiap ibu yang hamil untuk mendapat layanan kesehatan yang lebih baik.

Tapi tetap butuh langkah pendukung kan, misalnya program-program sebelum, selama, dan

setelah persalinan?

Pendidikan kesehatan harus terus menerus diberikan kepada masyarakat tentang cara persalinan yang

sehat. Juga pada institusi pendidikan kesehatan harus mempersiapkan calon tenaga kesehatan yang baik,

yang mampu melakukan deteksi dini kehamilan berisiko dan melakukan sistem rujukan yang tepat.

Bila merujuk pada layanan kesehatan bagi ibu hamil pada negara lain, sejauh pengamatan Anda

sudah seperti apa?

Pada banyak negara, modelnya sudah home care (perawatan di rumah). Bahkan sampai persalinanpun

sudah dilakukan di rumah, tidak seperti kondisi di negara kita yang lebih menganggap bila melahirkan di

Page 21: AKI DAN AKB

rumah sakit itu lebih baik dan memberi gengsi. Di rumah sakitpun, tempat persalinan juga mengedepankan

prinsip hospitality, ruangannya sudah didesain seperi kamar di rumah sehingga tidak menimbulkan beban

psikologis. Tren yang lain itu seperti Family Center Maternity Care, semacam pusat belajar bagi ibu yang

hamil beserta suaminya untuk mendapat informasi dan layanan lengkap tentang kehamilan, seperti husband

class juga ada.

Kalau gambarannya seperti itu tentu kebijakan pemerintah mutlak diperlukan, sekaligus

ketersediaan tenaga medis yang berkualitas?

Benar, tanpa ada perubahan situasi politik hingga peraturan perundangan tentang kesehatan yang berpihak,

kondisinya masih jauh dari harapan untuk berubah. Soal tenaga medis dan kesehatannya, selain menjadi

tanggung jawab institusi pendidikan kesehatan juga butuh kebijakan terkait kejelasan wewenang dan

tanggung jawab pada masing-masing tenaga kesehatan.

Kejelasan wewenang dan tanggung jawab, apa maksudnya?

Di negara kita itukan ada semacam stigma, bahwa urusan pengobatan menjadi tanggung jawab dokter,

sedang kegiatan non pengobatannya dilakukan perawat. Istilahnya dokter itu bertanggung jawab pada cure

nya, sedang perawat itu pada care nya. Dalam konteks ibu dan kehamilan, stigma seperti ini yang memberi

pengaruh pada AKI dan AKB. Seorang ibu hamil misalnya hanya tahu dan ingin agar dokter saja yang

menangani persalinannya. Padahal tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan atau perawat itu juga dibekali

dengan kemampuan yang sama. Belum lagi kalau segala sesuatu terkait dengan dokter itu berimplikasi

pada dana yang cukup besar.

Apa boleh diistilahkan bila dalam bidang kesehatan, tenaga kesehatan seperti perawat atau

bidan itu masih jadi profesi nomor dua di bawah dokter?

Kenyataannya masih seperti itu, padahal kondisi terus berubah. Secara keilmuan misalnya, keperawatan itu

sudah ada jenjang sarjana, magister, hingga doktoral, bahkan spesialisasinya juga sudah ada. Bahkan boleh

dibilang bahwa keilmuan keperawatan itu mencakup cure dan care nya sekaligus. Sebab ada latar belakang

psikologi, sosial, biologis bahkan spiritual yang harus dikuasai oleh seorang perawat.

Kembali sepanjang pengetahuan Anda, bagaimana posisi antar tenaga kesehatan ini di luar

negeri?

Sudah banyak rumah sakit di luar negeri itu yang dipimpin oleh perawat, bukan dokter. Di sana dokter itu

tinggal eksekusi saja, sedang informasi awal terkait dengan kondisi biologis, sosial, psikologi, hingga

spiritualitas pasien itu disiapkan oleh perawat. (*)

Page 22: AKI DAN AKB

Sabtu, 2 Mei 2009 @ 07:15:00

AKI DI INDONESIA TERTINGGI DI ASIA    

JAKARTA--bkkbn online : Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia ternyata hingga saat ini masih tertinggi di Asia. Padahal pemerintah sudah berhasil menekan AKI dan AKB di bawah rata-rata negara berkembang. "Tahun 2002, kematian ibu melahirkan mencapai 307 per-100.000 kelahiran hidup. Angka ini 65 kali lebih besar dari angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia, bahkan 2,5 kali lipat dari indeks Filipina," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Dewi Fortuna Anwar, Rabu (29/4). Padahal, MMR merupakan indikator utama yang membedakan suatu negara di golongkan sebagai negara maju atau negara berkembang. Rata-rata MMR di dunia, dari 100.000 kelahiran-tingkat kematian ibu mencapai 400. "Sedangkan negara maju indeks MMR-nya, 20 kematian per-100.000 kelahiran. Rata-rata di negara berkembang 440 kematian ibu per 100.000 kelahiran," kata Dewi menjelaskan. Penyebab tingginya tingkat kematian ibu di Indonesia, menurut Dewi, antara lain budaya patrialki yang masih merekat secara kental. Budaya ini menyiratkan perempuan tidak memiliki kendali sama sekali atas dirinya. "Seringkali perempuan tidak berkuasa menentukan kapan dirinya mengandung. Padahal, saat itu mungkin hamil sangat berbahaya bagi dirinya," tandas Dewi. Selain budaya patrialki, penyebab lainnya disebutkan Dewi adalah kemiksinan, rendahnya pendidikan, kurangnya akses terhadap informasi, tingginya peranan dukun dan terbatasnya layanan medis modern. "Peristiwa tragis RA Kartini yang meninggal dunia saat melahirkan putra pertamanya, membuat kami terus berjuang mencegah kematian ibu melahirkan di Indonesia," kata Dewi Fortuna Anwar.(emon/tb).

Thursday, 20 March 2008 08:17   

Angka Kematian Ibu Di Indonesia Tertinggi Di ASEAN

Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena hamil, melahirkan dan nifas di Indonesia menunjukkan masih

banyaknya persoalan dan masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan di bidang

kesehatan. Jakarta, WASPADA online

Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena hamil, melahirkan dan nifas di Indonesia menunjukkan masih

banyaknya persoalan dan masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan di bidang

kesehatan.

Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003, AKI di Indonesia masih mencapai 307/100

ribu kelahiran hidup dan menjadi yang tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN.

"Itu artinya, dalam 1 jam ada 2 dua orang ibu atau 20 ribu ibu tiap tahunnya meninggal karena kehamilan, persalinan

dan nifas," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP), Meutia Hatta Swasono saat meluncurkan

Page 23: AKI DAN AKB

mobil klinik sehat keliling Indosat di Jakarta, Selasa (18/3).

Padahal kata dia, kehilangan seorang ibu dalam keluarga dapat memecah belah keluarga dan mengancam

kesejahteraan serta kehidupan anak. Baik langsung atau tidak langsung, kematian ibu juga mempengaruhi tingginya

kematian bayi. Tercatat angka kematian bayi (AKB) di Indonesia 45/1000 kelahiran hidup.

Beberapa sebab utama masih tingginya AKI di Indonesia, adalah persoalan kurangnya sarana yang memungkinkan

masyarakat kecil mendapatkan akses kesehatan. Banyak ibu-ibu hamil di daerah-daerah terpencil tidak bisa

memeriksakan kehamilan karena jauh dari sarana rumah sakit atau puskesmas.

"Akibatnya, perempuan-perempuan di pelosok itu banyak yang hanya mampu melahirkan dengan bantuan dukun

beranak, sementara pelatihan bagaimana cara menolong persalinan bagi dukun beranak belum banyak

dilaksanakan," ujarnya.

Tapi lebih dari itu, persoalan budaya patriarki yang masih mendominasi di berbagai wilayah nusantara, menyebabkan

perempuan masih dianggap sebagai sub ordinasi kaum pria. Akibatnya, keputusan dalam kesehatan reproduksi

masih dikuasai kaum pria.

Untuk mengatasi persoalan yang ada, dikatakan Meutia, pihaknya bersama dengan Departemen Kesehatan

(Depkes) sebagai fasilitator, akan melakukan upaya konkrit berupa revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI). "GSI sejak

1996 sudah diluncurkan, tapi kini gaungnya harus diperbaharui lagi.

Sasarannya menurunkan AKI dan AKB menjadi 225/100 ribu kelahiran hidup serta 35/1000 kelahiran hidup pada

2010," ujarnya. (dianw) (ags)