administrasi profilaksis ondansetron dalam pencegahan intrathecal morfin

12
Profilaksis Pemberian Ondansetron dalam Pencegahan Efek Intrathecal Morfin-Induksi Gatal dan Mual- muntah Pasca Operasi pada Pasien yang Menjalani Bedah Caesar Abstrak: Latar belakang: Morfin intratechal biasanya digunakan untuk analgesia pasca caesar. Namun, penggunaannya sering dikaitkan dengan insiden efek samping mual, muntah dan gatal. Beberapa mekanisme telah menyatakan opioid menginduksi pruritus dengan berbagai obat- obatan yang mekanismenya berbeda-beda dari mulai formulasi aksi untuk pencegahan dan pengobatan. Tetapi, hasilnya konsisten dan oleh karena itu pencegahan dan pengobatan pada gatal yang disebabkan opiod tetap menjadi sebuah tantangan. Ondansentron yang merupakan antimimetik, non- sedative dan tidak mempunyai effect analgesic merupakan antagonis reseptor 5-HT3, reseptor dengan interaksi opoid dan memberikan efeknya. Dengan demikian, ondansentron, akan menjadi sebuah strategi pengobatan yang menarik untuk prutitus yang disebabkan opioid dan mual muntah post operative. Metode: Setelah persetujuan dari komite peninjau kelembagaan dan persetujuan tertulis yang diterima dari pasien, 50 ibu yang melahirkan secara sehat dengan status fisik ASA I dan II selama menjalani sectio caesarea dengan anaestesi spinal terdaftar untuk penelitian. Mereka dikelompokkan secara acak dalam kelompok plasebo (2 ml normal saline) dan kelompok pengobatan (2 ml ondasentron 4 mg), setiap kelompok terdiri dari 25 pasien. Pruritus dan mual muntah pasca operasi dicatat hingga 24 jam setelah pemberian morfin intratecal. Statistik analisis dalam penelitian ini menggunakan tes Chi-kuadrat.

Upload: pebinscribd

Post on 06-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

administrasi profilaksis ondansentron dalam pencegahan pruritus dan mual muntah krn morfin intratekal

TRANSCRIPT

Profilaksis Pemberian Ondansetron dalam Pencegahan Efek Intrathecal Morfin-Induksi Gatal dan Mual-muntah Pasca Operasi pada Pasien yang Menjalani Bedah Caesar

Abstrak:Latar belakang: Morfin intratechal biasanya digunakan untuk analgesia pasca caesar. Namun, penggunaannya sering dikaitkan dengan insiden efek samping mual, muntah dan gatal. Beberapa mekanisme telah menyatakan opioid menginduksi pruritus dengan berbagai obat-obatan yang mekanismenya berbeda-beda dari mulai formulasi aksi untuk pencegahan dan pengobatan. Tetapi, hasilnya konsisten dan oleh karena itu pencegahan dan pengobatan pada gatal yang disebabkan opiod tetap menjadi sebuah tantangan. Ondansentron yang merupakan antimimetik, non- sedative dan tidak mempunyai effect analgesic merupakan antagonis reseptor 5-HT3, reseptor dengan interaksi opoid dan memberikan efeknya. Dengan demikian, ondansentron, akan menjadi sebuah strategi pengobatan yang menarik untuk prutitus yang disebabkan opioid dan mual muntah post operative.

Metode:Setelah persetujuan dari komite peninjau kelembagaan dan persetujuan tertulis yang diterima dari pasien, 50 ibu yang melahirkan secara sehat dengan status fisik ASA I dan II selama menjalani sectio caesarea dengan anaestesi spinal terdaftar untuk penelitian. Mereka dikelompokkan secara acak dalam kelompok plasebo (2 ml normal saline) dan kelompok pengobatan (2 ml ondasentron 4 mg), setiap kelompok terdiri dari 25 pasien. Pruritus dan mual muntah pasca operasi dicatat hingga 24 jam setelah pemberian morfin intratecal. Statistik analisis dalam penelitian ini menggunakan tes Chi-kuadrat.

Hasil:Kejadian,keparahan dan kebutuhan pengobatan untuk pruritus dalam kelompok pengobatan secara signifikan berkurang dibandingkan dengan kelompok plasebo (16% vs 88%). Demikan pula, resiko mual muntah pasca operasi pada kelompok pengobatan kurang jika dibandingkan dengan kelompokmplasebo (8% vs 56%).

Kesimpulan:Pemberian ondansentron sebagai profilaksis pada ibu melahirkan yang menerima morfin intratecal untuk analgesia pasca operasi memperlihatkan sebuah penurunan yang signifikan dari pruritus dan mual muntah yang diinduksi oleh morfin intratecal.

Pendaftran percobaan: CTRI/2015/01/005362 terdaftar pada 07/01/2015 dalam uji coba klinis. Registry-India (ctri.nic.in).

Keyword: Sectio caesarea, morfin intratecal, mual dan muntah, ondansentron, opioid, pruritus.

Latar belakang:Anestesi neuraxial, yang mencakup anestesi epidural dan intratecal, adalah cara anaestesi yang paling sering untuk sectio caesarea dan abdomen bagian bawah dan prosedur anaestesi pada ekstremitas bawah. Penambahan neuraxial morfin untuk anaestesi lokal memberikan sebuah analgesi post operasi yang efektif dan berkepanjangan. Pemberian neuraxial morfin-sebuah opioid, yang dianggap sebagai standar emas untuk analgesia, sering dikaitkan dengan kejadian pruritus dan mual muntah pasca operative (PONV). Kejadian PONV pada pasien yang menerima opiat intratechal sebanyak 60-80%. Kejadian pruritus yang diinduksi neuraxial opioid bervariasi dari 30% - 60% setelah pembedahan ortopedi dengan injeksi morfin intratecal dan dari 60% - 100% pada wanita hamil setelah pemberian neuraxial opioid. Ibu melahirkan tampaknya menjadi yang paling rentan terhadap pruritus yang diinduksi neuraxial opiod yang mungkin karena interaksi dari estrogen degan reseptor opioid. Meskipun mekanisme sebenarnya dari pruritus yang diinduksi neuraxial opioid belum jelas, pernyatan dari mekanisme termasuk adanya sebuah pusat gatal pada sistem saraf pusat, aktivasi medula dorsal, antagonis transmiter inhibitor, modulasi 5 hydroxytryptamine subtype 3 (5-HT3) atau jalur serotogenic dan keterlibatan prostaglandin. Terdapat sebuah konsentrasi padat dari reseptor opiod dan reseptor 5-HT3 pada bagian dorsal dari korda spinal dan nucleus dari jalur spinal pada nervus trigeminus pada medulla. Aktivasi dari reseptor-reseptor ini adalah dengan pemberian opioid neuraxial atau dengan estrogen yang beredar pada ibu melahirkan, pruritus yang diinduksi oleh opioid neuraxial biasanya berlokasi pada wajah, leher dan thorax bagian atas. Nalbuphine, propofol dan ondansentron telah digunakan secara efektif pada pengobatan pruritus yang berhubungan dengan morfin neuraxial pada pasien bedah. Di klinik kami, kami melakukan sebuah penelitian propektif, randomnisasi, double blinded dan penelitian kontrol plasebo untuk menilai kefektifan dari profilaksis pemberiam ondansentron itravena pada pencegahan pruritus dan mual muntah yang diinduksi morfin intratecal.

MetodePada penelitian prospektive, randomnisasi, double blind dan kontrol plasebo yang dilakukan di R.S Patan, Patan, dari 17 agustus 2008 sampai 14 januari 2009. Komite peninjau kelembagaan di Patan Academy of Health Sciences (IRC-PAHS) menyetujui protokol penelitian dan tertulis, informed consent diperoleh dari setiap pasien. Ibu melahirkan yang memiliki status fisik (ASA) kelas I atay II dijadwalkan menerima sectio caesarea dengan anaestesi spinal direkrut dalam penelitian. Pasien dengan alergi terhadap ondansentron yang diketahui, morfin atau bupivacaine dan dengan penyakit pruritogenic sistemik, gangguan kulit dan pruritus yang disebabkan kehamilan dikeluarkan atau dieksklusi dari penelitian. Demikian pula, pasien dengan beberapa kontraindikasi untuk anaestesi spinal atau mereka yang menolak ikut serta dalam penelitian juga dieksklusi.Lima puluh pasien dibagi secara randomnisasi menjadi dua kelompok- kelompok P (kelompok plasebo, n=25) dan kelompok O (kelompok pengobatan, n=25). Kelompok P menerima 2 ml dari normal saline sedangkan kelompok O menerima 2m dari 4 mg ondansentron injeksi intravena. Obat yang digunakan pada penelitian (i.e., 2 ml dari 4 mg ondasnetron) dan plasebo (i.e., 2 ml normal saline) telah disiapkan oleh seorang perawat anaestesi. Perawatnya telah diberitahukan mengenai penelitian tetapi tidak ikut terlibat dalam penelitian maupun perawatan pasien. Kami menggunakan ondansentron dan normal saline yang disediakan oleh bagian farmasi yang tersedia di apotik rumah sakit. Telah dipastikan bahwa produsen yang sama telah menggunakan obat-obatan baik pada populasi penelitian. Obat-obatan pada penelitian diberikan 30 menit sebelum pemberian anaestesi spinal. Kedua kelompok pasien dan anaetesiologis melakukan anaestesi spinal dan data buta post operative untuk penelitian obat-obatan. Seorang perawat anaestesi tidak ikut terlibat dalam penelitian, membantu mempertahankan randomnisasi dari sampel dalam sebuah mode double blinded, menggunakan metode lottery sederhana.Kanulasi intravena dilakukan dengan 18 gauge (alat pengukur) kanula dan pasien yang menerima prehydrated dengan cairan kristaloid 5-10 ml/kg. Anaestesi spinal dilakukan pada tingkat L3-4 atau L4-5 interspace dengan sebuah 25 gauge jarum spinal Quincke-type menggunakan 2.3 ml dari 0.5 % (11.5 mg) bupivacaine hyperbaric dan 0.2 ml (0.2 mg) morfin bebas pengawet dicampur dalam syringe yang sama. Dengan pemantuan terus-menerus tekanan darah secara non-invasif, denyut jantung dan urin output, hidrasi dipertahankan dengan cairan kristaloid, intra operative dan post operative untuk setidaknya 24 jam. Nyeri luka post operative dinilai 10 point dengan skala analog visual (VAS). Pethedine digunakan jika pasien mengeluhkan nyeri.Perawatan pasca anaestesi diberikan sesuai dengan protokol pemantauan kelembagaan. Dokter residen yang merupakan blind observer- dilibatkan dalam perawatan pasien dan pengumpulan data dalam format yang tersedia. Onset pruritus dinilai dan dicatat setiap 15 menit untuk 4 jam denngan keluhan yang disampaikan oleh pasien. Skor pruritus di kategorikan sebagai 0 = tidak pruritus, 1 = pruritus ringan, 2 = pruritus sedang, 3 = pruritus berat. Pada saat yang sama, pasien juga dievaluasi untuk keluhan mual muntah dan dikategorikan sebagai 0 = tidak mual atau muntah, 1 = mual ringan, 2 = sangat mual, 3 = muntah. 10 mg metoclorpamide intravena adalah obat pilihan untu perawatan muntah atau mual yang sangat (skor 2). Untuk pasien dengan pruritus yang meminta pengobatan, antihistamin seperti pheniramine maleate dan antagonis reseptor -opioid seperti naloxone yang digunakan tegantung pada keparahan penilaian oleh dokter, jika diperlukan.Daya analisis menunjukan bahwa 21 pasien dalam setiap kelompok akan cukup untuk mendeteksi sebuah perbedaan dari 60% kejadian pruritus antara kelompok pengobatan dan plasebo dengan daya 95% dan tingkat signifikansi 1 %. Perbedaan kejadian pruritus yang dirasakan antara kelompok pengobatan dan kelompok plasebo berasal dari penelitian Yeh et al. Dimana kejadian pruritus dalam kelompok pengobatan (p1) = 0.25 dan kejadian pruritus dalam kelompok plasebo (p2) = 0.85. Analisa statistik dari hasil ini dilakukan dengan menggunakan tes Chi-kuadrat untuk membandingkan variabel kategori. Data juga disajikan dalam mean dengan standar deviasi dan persentase.

Hasil Semua dari 50 pasien terdaftar dalam penelitian selama 5 bulan dan semua pasien terdaftar berpartisipasi sampai penelitian selesai. Data demografis pasien terkait penelitian ditabulasikan dalam. Pruritus pasca pembedahan terjadi 88% dari pasien yang menerima injeksi plasebo sedangkan hanya 16% pasien yang menerima 4 mg profilaksis ondansentron berkembang jadi pruritus. Demikian pula, 56% pasien pada kelompok plasebo mengeluhkan mual pasca operasi sedangkan 8% pasien pada kelompok pengobatan mengeluhkan mual pasca operasi. Kejadian pruritus dan mual post operasi dalam kelompok penelitian yang signifikan secara statistik (p < 0.001) dan diilustrasikan dalam tabel 2. Namun, onset dan durasi pruritus dalam kedua kelompok, seperti yang ditunjukan dalam Tabel 3, adalah sama dan secara statistik tidak signifikan (P>0.05). Perbedaan skor tingkat keparahan pruritus dalam kedua kelompok signifikan secara statistik (P < 0.001) ditunjukkan dalam gambar 1. Tidak terdapat pasien dengan pruritus yang parah dalam tiap kelompok. Dalam kelompok P, 8% dari kasus (n = 2) menderita pruritus sedang, sedangkan tidak ada pasien pada kelompok O yang menderita pruritus sedang. Namun, pada penelitian kami, tidak satupun dari kasus yang diwajibkan mendapatkan beberapa jenis obat-obatan untuk pengobatan pruritus.Kejadian muntah post operasi juga mempunya perbedaan yang signifikan (P < 0.001) antara kelompok P (56%) dan kelompok O (8%). Skor tingkat keparahan mual post operasi pada kedua kelompok juga signifikan secara statistik (P < 0.001) ditunjukan dalam gambar 2. Tidak terdapat kasus muntah pada tiap kelompok. Kelompok O memiliki angka kejadian mual ringan dan berat post operasi yang lebih kecil (masing-masing 4%) sedangkan pada kelompok P angka kejadian mual ringan dan berat post operasi lebih tinggi masing-masing 36% dan 16%. Semua pasien dengan keluhan mual berat post operasi di berikan pengobatan 10 mg IV metoclopramide.Sesuai dengan protokol kelembagaan untuk perawatan pasien, pethedine merupakan pilihan kami dalam pengobatan jika populasi penelitian mengeluhkan sakit yang tak tertahankan. Kami tidak memiliki kasus yang memerlukan pethedine untuk mengelola keluhan sakit selama pasien dalam masa penelitian, mungkin karena analgesia morfin intratechal. Namun, asetaminofin 500 mg per rectal suposituria digunakan pada saat -3 kasus pada kelompok O dan 5 kasus pada kelompok P, selama 24 jam observasi. Data pada skor nyeri dan pengelolaan nyeri tidak dimasukkan dalam penelitian ini sebagai tujuan utama dari penelitian yang bukan pengelolaan rasa nyeri. Tidak ada pasien yang mengalami hipotensi intra-operatif atau post-operatif. Hal ini dikarenakan tanda vital terus-menerus di pantau dan dikelola segera berdasarkan persyaratan. Demikian pula, tidak ada kasus perdarahan berlebihan yang bisa mengakibatkan hipotensi. Selain itu, kristaloid digunakan, setiap kali diperlukan, dengan pemantauan tanda vital terus-menerus. Oleh karena itu, data tanda vital seperti tekanan darah dan denyut jantung tidak disebutkan dalam naskah.

PembahasanMorfin, opioid, merupakan konsistuen alkaloid dari opium. Ini merupakan getah kering yang diperoleh sebagai produk alamai pada opium poppy (Papaver somniferum). Morfin adalah sebuah dasar opioid, dalam obat-obatan klinis, masih dianggap sebagai andalan terapi analgesik yang digunakan untuk meredakan rasa sakit dan penderitaan. Morfin memunculkan analgesia dengan menstimulasi reseptor opioid, sebuah reseptor pasangan protein G (GPCR) yang sangat banyak dalam sistem saraf pusat.

Meskipun morfin bermanfaat dalam penggunaan pada pengobatan nyeri akut dan kronik, morfin menginduksi berbagai efek samping seperti mual, muntah dan yang lebih penting adalah gatal yang diakibatkan injeksi neuraxial. Pruritus- merupakan sebuah sensasi tidak menyenangkan dan menjengkelkan membuat rasa ingin menggaruk efek yang umumnya merugikan dari morfin neuraxial dengan dengan prevalensi tertinggi terkait dengan pemberian morfin intratechal (hingga 100%). Hal ini (gatal) umunya ringan berlokasi di wajah dan tubuh, tetapi hal ini dapat menjadi parah dan menyebabkan ketidaknyamanan pada ibu yang signifikan. Meskipun sering terjadi dan praktek memanfaatkan beberapa obat-obatan untukterapi termasuk antihistamin, propofol (agen hypnotic), obat non steroid anti inflamatory (NSAIDS) dan obat anti dopaminergic, tidak ada terapi terus-menerus yang efektif untuk opioid- menginduksi pruritus.Pruritus yang disebabkan oleh opioid timbul segera setelah analgesia dan prevalensi, onset waktu, durasi dan keparahan tergantung pada jenis, jalur dan dosis dari penggunaan opioid. Opioid larut lipid, seperti fentanyl dan sufentanil meminta (invoke) pruritus dengan durasi singkat. Penggunaan dosis efektif minimum seperti opioid dan penambahan anaestesi lokal tampaknya mengurangi prevalensi dan keparahan pruritus. Pruritus yang diinduksi oleh pemberian morfin intratechal memiliki durasi lebih lama dan susah untuk diobati. Pemberian opioid intratechal mencapai puncak konsentrasi cairan cerebrospinal (CSF) segera dibandingkan denngan pemberian epidural. Pada pemberian opioid epidural, waktu untuk mencapai puncak konsentrasi dalam CSF secara keseluruhan relatif tertunda (10-20 menit dengan fentanyl dan 1-4 jam dengan morfin. Selain itu, ruang epidural berisi pleksus vena dalam jumlah banyak yang membantu reabsorpsi vaskular pada pemberian opioid epidural. Oleh karena itu, efek samping opioid seperti pruritus lebih umum dan sering pada pemberian morfin intratecal dibandingkan pemberian epidural.Meskipun pruritus dianggap sebagai efek samping yang paling umum dari pemberian opioid neuraxial, dengan kejadian yang dilaporkan antara 30% dan 100%, mekanisme sebenarnya tentang bagaimana neuraxial opioid menginduksi pruritus masih belum jelas. Hal ini mungkin tidak berkaitan dengan pelepasan histamin sejak antihistamin tidak efektif dalam pengobatan pruritus yang disebabkan oleh morfin neuraxial. Dan, sama halnya dengan opioid lain seperti fentanyl dan sufentanil yang tidak melepas histamin juga mengakibatkan pruritus saat pemberian neuraxis. Teori lain mengusulkan bahwa opioid reseptor yang berlokasi di kedua supraspinal dan pada di korda spinal diaktivasi oleh morfin. Reseptor terutama bertanggung jawab untuk rasa nyeri dan beberapa efek samping, terutama pruritus dan mual atau muntah yang menjelaskan efek antipruritus dari antagonis reseptor seperti nalbuphine dan naloxone. Ketiga, pruritus dari opioid neuraxial mungkin juga berhubungan efek rangsang opioid pada neuron nocifensive dan non-nocifensive di anterior dan posterior spinal. Propofol, yang memiliki efek inhibitor pada korda spinal dorsal dapat meringankan pruritus yang diinduksi opioid neuraxial. Terakhir, bukti-bukti dari berbagai penelitian dan praktek klinis untuk pengobatan mual, muntah dan pruritus post operasi mengusulkan bahwa interaksi antara reseptor 5-HT3 oleh opioid sebagai mekanisme yang mungkin terjadi. Peminat telah melaporkan bahwa morfin dapat mengaktivasi reseptor 5-HT3 oleh sebuah mekanisme independen dari reseptor opioid yang berarti adanya stimulasi langsung dari reseptor 5-HT3 di dalam korda spinal bagian dorsal dan medula oleh injeksi morfin intratecal yang mungkin menyebabkan pruritus. Reseptor 5-HT3 sangat berlimpah di bagian dorsal korda spinal dan jalur spinal dari nervus trigeminus di medula. Antagonis reseptor 5-HT3, seperti ondansentron efektif untuk pencegahan dan pengobatan PONV. Penelitian juga menunjukan bahwa antagonis reseptor 5-HT3 secara signifikan mengurangi resiko pruritus dibanding dengan kelompok plasebo, sedangkan beberapa penelitian menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan, sehingga menciptakan konflik mengenai keampuhan profilaksis antagonis reseptor 5-HT3 pada pencegahan pruritus yang diinduksi opioid neuraxial. Suatu meta-metanalisis oleh George et al. Menunjukan bahwa profilaksis antagonis reseptor 5-HT3 tidak efektif dalam mengurangi angka kejadian pruritus tetapi secara signifikan efektif dalam mengurangi keparahan dan kebutuhan untuk pengobatan pruritus pada ibu melahirkan yang menerima morfin intratecal pada sectio caesarea. Antagonis reseptor 5-HT3 juga efektif dalam pengobatan pruritus. Namun, lebih banyak penelitian yang menganjurkan untuk menyelesaikan konflik mengenai keampuhan antagonis reseptor 5-HT3 pada pencegahan pruritus yang diinduksi opioid neuraxial. Dengan demikian, kami bermaksud untuk melakukan pengujian dalam penelitian kami mengenai keberhasilan profilaksis pemberian antagonis reseptor 5-HT3 ondasentron dalam pencegahan pruritus yang diinduksi oleh morfin intratecal dan PONV. Kami memilih dosis 4 mg ondansentron sebagai, dosis ini telah terbukti berhasil dalam pengobatan pruritus yang diinduksi oleh morfin intratecal. Namun, dosis 4-8 mg atau 0,1 mg kg-1 juga dalam praktek. Sebagai tambahan, antagonis 5-HT3 lainnya, seperti tropisetron, granisetron, dolasetron juga digunakan. Penelitian ini menunjukan bahwa angka kejadian pruritus setekah injeksi morfin intratechal pada pasien yang menjalani sectio caesarea cukup sering (88%) yang dapat menjadi manajemen profilaksis oleh pemberian ondansentron IV, yang sama hal nya dengan penelitian yang dilakukan oleh Yeh et al. Di sisi lain, angka kejadian PONV dapat juga secara efektif diberikan manajemen profilaksis dengan injeksi ondansentron. Namun, untuk pasien yang menjadi pruritus, onset dan durasi sama pada kedua kelompok. Meskipun ondansentron IV secara signifikan mengurangi kejadian pruritus yang diinduksi morfin intratecal, komplikasi ini tetap terjadi pada sekitar 16% pasien, yang menyarankan bahwa pasien tersebut mungkin perlu regimen pengobatan yang lain seperti naloxone (antagonis reseptor opioid) atau propofol (antagonis rangsang efek pada korda spinal bagian dorsal). Namun, kami membatasi penelitian kami untuk satu jenis antagonis 5-HT3, yaitu ondansentron dengan dosis tetap 4 mg. Oleh karena itu, sebuah penelitian pemeriksaan dosis-dependent efek dan dengan antagonis 5-HT3 dari peredaan potensi akan bermanfaat untuk populasi ini dimasa depan.

KesimpulanMual, muntah dan pruritus adalah efek samping yang umum pada pemberian morfin intratecal sebagai bagian dari anaestesi spinal untuk pasien yang menjalani sectio caesarea. Namun, hal tersebut dapat secara efisien dikelola dengan pemberian ondansentron 4 mg IV selama 30 menit sebelum injeksi morfin intratecal. Pada penelitian kami, hal ini secara signifikan mengurangi angka kejadian, keparahan dan kebutuhan untuk pengobatan pruritus dan mual post operasi.