prinsip dasar pengobatan paliatif · o morfin hidroklorida elixir (mos sirup), kemasan konsentrasi...

16
1 Prinsip Dasar Pengobatan Paliatif A. Pendahuluan Naluri usaha untuk mengurangi penderitaan sesama makhluk sudah tampak sejak awal kehidupan di dunia. Setelah itu, selama berabad-abad tampak pula usaha-usaha untuk penyembuhan penyakit-penyakit yang menyebabkan penderitaan, sehingga terciptalah cara- cara penyembuhan dengan obat-obatan ataupun dengan pembedahan. Hippocrates, hidup di Yunani pada abad ke-5 sebelum Masehi, dikenal sebagai seorang dokter yang cemerlang pada zaman itu. Dia pula yang menganjurkan cara pengobatan epiema dengan menikam pisau di antara tulang rusuk. Sumpah Hippokrates menjadi dasar dari sumpah jabatan dokter di Indonesia. Aesculapius, seorang Yunani Kuno, dikisahkan sebagai penyembuh yang demikian pandai sehingga ia didewakan. Tongkatnya yang berbelit ular masih menjadi lambang dokter sampai sekarang. Banyak penelitian telah dilakukan dan banyak pula penemuan diperoleh baik dalam cara pengobatan maupun teknologi kedokteran. Dengan demikian, kemampuan diagnostik meningkat dan lebih banyak penyakit yang terobati. Pada abad ke-16, Dr. Edward Livingston Trudeau mengatakan bahwa tugas dokter adalah to cure sometimes, to relieve often, to comfort always. Terapi paliatif berkembang dari sejak dulu dimulai dengan adanya perawatan „hospice‟ sebelumnya. Perawatan „hospice‟ berkembang sejak abad ke 4, dimulai dengan adanya pemikiran religi yang berkembang pada saat itu pada masyarakat Inggris yang telah merantau ke negara lain dan pada saat hendak meninggal, pulang ke kampung halamannya untuk meninggal di Irlandia atau London. Pada saat ini perkembangan perawatan „hospice‟ sangat maju, yaitu usaha merawat dan menemani pasien dengan kondisi terminal dengan bantuan suportif obat-obatan, penjagaan 24 jam, dan peralatan medis. Perawatan „hospice‟ dapat dilakukan pada tempat perawatan, dirumah, di rumah sakit ataupun ditempat fasilitas yang mendukung. Perbedaan terapi paliatif dan hospice adalah pada terapi paliatif dilakukan tindakan aktif yang dapat membantu pasien menjalani perawatannya, sedangkan perawatan „hospice‟ bertindak pasif. Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban penederita kanker terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud antara lain menghilangkan rasa nyeri dan keluhan keluhan lain, perbaikan dalam aspek psikologi, sosial dan spiritual. Perawatan ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup yang

Upload: others

Post on 03-Oct-2019

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Prinsip Dasar Pengobatan Paliatif

A. Pendahuluan

Naluri usaha untuk mengurangi penderitaan sesama makhluk sudah tampak sejak

awal kehidupan di dunia. Setelah itu, selama berabad-abad tampak pula usaha-usaha untuk

penyembuhan penyakit-penyakit yang menyebabkan penderitaan, sehingga terciptalah cara-

cara penyembuhan dengan obat-obatan ataupun dengan pembedahan. Hippocrates, hidup di

Yunani pada abad ke-5 sebelum Masehi, dikenal sebagai seorang dokter yang cemerlang

pada zaman itu. Dia pula yang menganjurkan cara pengobatan epiema dengan menikam pisau

di antara tulang rusuk. Sumpah Hippokrates menjadi dasar dari sumpah jabatan dokter di

Indonesia. Aesculapius, seorang Yunani Kuno, dikisahkan sebagai penyembuh yang

demikian pandai sehingga ia didewakan. Tongkatnya yang berbelit ular masih menjadi

lambang dokter sampai sekarang.

Banyak penelitian telah dilakukan dan banyak pula penemuan diperoleh baik dalam

cara pengobatan maupun teknologi kedokteran. Dengan demikian, kemampuan diagnostik

meningkat dan lebih banyak penyakit yang terobati. Pada abad ke-16, Dr. Edward Livingston

Trudeau mengatakan bahwa tugas dokter adalah to cure sometimes, to relieve often, to

comfort always.

Terapi paliatif berkembang dari sejak dulu dimulai dengan adanya perawatan

„hospice‟ sebelumnya. Perawatan „hospice‟ berkembang sejak abad ke 4, dimulai dengan

adanya pemikiran religi yang berkembang pada saat itu pada masyarakat Inggris yang telah

merantau ke negara lain dan pada saat hendak meninggal, pulang ke kampung halamannya

untuk meninggal di Irlandia atau London. Pada saat ini perkembangan perawatan „hospice‟

sangat maju, yaitu usaha merawat dan menemani pasien dengan kondisi terminal dengan

bantuan suportif obat-obatan, penjagaan 24 jam, dan peralatan medis. Perawatan „hospice‟

dapat dilakukan pada tempat perawatan, dirumah, di rumah sakit ataupun ditempat fasilitas

yang mendukung.

Perbedaan terapi paliatif dan hospice adalah pada terapi paliatif dilakukan tindakan

aktif yang dapat membantu pasien menjalani perawatannya, sedangkan perawatan „hospice‟

bertindak pasif. Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban

penederita kanker terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud

antara lain menghilangkan rasa nyeri dan keluhan keluhan lain, perbaikan dalam aspek

psikologi, sosial dan spiritual. Perawatan ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup yang

2

maksimal bagi penderita dan keluarganya. Kualitas hidup dikatakan baik bila manusia dapat

berfungsi dengan baik sebagai mahluk bio-sosio-psiko-spiritual.

Perkembangan pengobatan kanker, termasuk deteksi dini serta bergesernya proporsi

populasi masyarakat usia tua, akhirnya menempatkan fase paliatif pada suatu penderita

kanker stadium terminal akan lebih panjang, sehingga kemampuan pengobatan paliatif pada

penderita kanker mutlak harus dikuasai. Salah satu aspek perawatan paliatif adalah perawatan

paliatif dirumah, yaitu perawatan penderita diluar rumah sakit, di rumah penderita, atau

sering disebut palliative home care atau domiciliary home care.

Salah satu aspek dari perawatan paliatif adalah pengawasan nutrisi dan psikoterapi,

yang dilakukan pada pasien serta keluarganya. Cara pandang terhadap diri sendiri seorang

pasien berpengaruh pada keberhasilan perawatan secara holistik.

B. Terapi Paliatif

Terapi paliatif ialah semua tindakan aktif guna meringankan beban penderita kanker

terutama yang tidak mungkin disembuhkan kankernya. Dikatakan terutama pada yang tidak

mungkin disembuhkan karena tindakan ini tidak hanya dilakukan pada penderita-penderita

yang tidak bisa disembuhkan, tetapi dilakukan juga pada penderita yang masih mempunyai

harapan untuk sembuh bersama-sama dengan tindakan-tindakan atau pengobatan kuratif,

dengan maksud untuk meringankan atau menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu atau

memperberat penderitaan pasien.

Tindakan paliatif yang dimaksudkan antara lain menghilangkan rasa nyeri dan

keluhan-keluhan lain, perbaikan dalam aspek psikologi, sosial, dan spiritual. Semua ini

bertujuan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup yang maksimal bagi kehidupan

penderita.

1. Nyeri

Nyeri adalah keluhan utama yang paling sering diutarakan. WHO menyebutkan

bahwa 2/3 dari penderita kanker akan meninggal karena penyakitnya dan bahwa dalam

perjalanan penyakitnya 45 – 100% dari mereka akan mengalami nyeri yang ringan sampai

berat. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

dihubungkan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak, atau segala keadaan yang

menunjukan adanya kerusakan jaringan.

3

Penyebab nyeri kanker

a. Faktor Jasmani

Akibat Tumor

Nyeri akibat tumor terjadi pada 70% penderita kanker yang disertai rasa nyeri dan

keadaan ini dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme seperti infiltrasi tumor ke

tulang, infiltrasi atau penekanan terhadap jaringan syaraf, pengaruh langsung terhadap

organ yang terkena, pengaruh langsung terhadap jaringan lunak yang terkena, dan

ulserasi jaringan.

Berhubungan dengan Tumor

Nyeri yang terjadi pada penderita kanker dan berhubungan dengan tumor dapat

diterangkan melalui mekanisme seperti dekubitus, infeksi jamur candida, trombosis vena

dalam, dan edema akibat sumbatan pembuluh Limfe.

Akibat Pengobatan Tumor

Nyeri akibat pengobatan kanker dapat terjadi pada 20%, penderita kanker yang disertai

rasa nyeri dan dapat diterangkan melalui mekanisme seperti akibat pembedahan,

kemoterapi, dan radiasi.

b. Faktor Kejiwaan

Nyeri yang terjadi akibat rasa marah, cemas dan depresi.

Jenis Nyeri Kanker

a. Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat rangsangan pada saraf aferen serta saraf

perifer. Nyeri terjadi akibat pengaruh Prostaglandin E2 sehingga nosiseptor serat saraf

perifer menjadi peka terhadap bahan mediator penyebab nyeri.

b. Nyeri Neurogenik

Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf perifer, kerusakan ini

bisa terjadi akibat terpotongnya serat saraf misalnya saraf interkostal akibat mastektomi

atau torakotomi, dan tekanan kronis pada saraf-saraf perifer misalnya invasi tumor yang

menekan pleksus brakhialis lumbosakralis.

c. Nyeri psikogenik

Nyeri psikogenik terjadi akibat faktor non-fisik atau lazim disebut faktor kejiwaan.

Faktor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya nyeri, terutama pada kenker yang lanjut.

Nyeri psikogenik dapat timbul akibat marah (anger), cemas (anxiety), dan depresi.

4

Sifat Nyeri Kanker

a. Akut

Nyeri akut timbul secara mendadak dan segera lenyap apabila penyebabnya hilang.

Nyeri akut ditandai oleh aktivitas sistim saraf otonom berupa takikardia, hipertensi,

hiperhidrosis, midriasis dan pucat. Terdapat perubahan pada wajah seperti menyeringai

dan sebagainya.

b. Kronik

Nyeri kronis dapat terjadi berkepanjangan sehingga dapat berlangsung berbulan-bulan,

penyebabnya sulit dijelaskan dan gejala obyektif tidak jelas.

Pengelolaan nyeri kanker

a. Pedoman Umum

Nyeri kanker merupakan keluhan subyektif. Makin progresif pertumbuhan kanker makin

hebat nyeri yang dapat ditimbulkan. Makin kronis keadaan, nyeri kanker makin kabur

penyebabnya. Nyeri kanker sering mempunyai beberapa penyebab (“multi faktorial”).

Penyebab, jenis, sifat dan derajat nyeri pada seseorang penderita dapat berubah.

Penderita yang tidak mengeluh tentang nyeri, tidak berarti “tidak ada nyeri “. Nyeri

kanker harus dikelola dengan benar hingga dapat dicapai keadaan bebas nyeri.

b. Penilaian nyeri

Untuk mendapatkan penilaian yang tepat perlu dikaji suatu hubungan baik antara dokter

dan penderita sehingga penderita memiliki kepercayaan dalam bahwa dokter dapat

menghilangkan nyeri yang dideritanya. Meskipun demikian anamnesa dan pemeriksaan

yang diteliti harus dilaksanakan.

Percayalah laporan nyeri penderita karena nyeri adalah suatu fenomena yang subyektif.

Tanda-tanda obyektif dapat kita gunakan untuk mendapat suatu penilaian nyeri lebih

yang tepat; antara lain takikardia, berkeringat, pucat. Persilahkan duduk, tenangkan dan

dengarkan keluhan penderita, yakinkan dia bahwa nyerinya dapat diobati.

Riwayat nyeri : tanyakan lokasi, lama, dan frekuensi nyeri, apakah nyeri

menyebabkan tidur dan makan tidak enak.

Obat-obatan : tanyakan macam analgesik yang pernah didapat, dosis, cara dan

lama pemberiannya pada skala nyeri

Lakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang teliti.

Telitilah faktor kejiwaan dan sosial yang dapat memperberat nyeri.

5

Pemeriksaan laboratorium dan radiology, lakukanlah yang benar-benar

diperlukan dan menunjang terapi.

Tentukan penyebab nyeri berdasarkan jenis, sifat dan derajat.

Berikan pengobatan nyeri sementara sambil melengkapi pemeriksaan diagnosa.

Derajat nyeri kanker dapat digolongkan menjadi tiga ialah :

Ringan : tidak mengganggu kegiatan sehari-hari dan penderita dapat tidur.

Sedang : mengganggu kegiatan sehari-hari tetapi penderita dapat tidur.

Berat : mengganggu kegiatan sehari-hari dan penderita tidak dapat tidur.

Gambar 1. Visual Analog Scale

c. Obat Analgesik

Pemberian obat analgesik memiliki peran yang utama dalam penanggulangan nyeri

kanker. Dengan penggunaan analgesik yang tepat, penderita dapat terbebas dari nyeri.

1. Dasar Pengobatan Analgesik

- Mencegah timbulnya nyeri dan bukan menghilangkan nyeri yang telah ada. Oleh

karena itu pemberian analgesik harus teratur, sesuai dengan jadwal (by the clock)

- Menggunakan cara “Analgesic Ladder” sesuai pedoman WHO.

6

2. Langkah-langkah pengobatan Analgesik (“Analgesic Ladder”).

Berikan analgesik nonopiat dengan dosis penuh. Bila nyeri masih ada, secara

bertahap dosis dinaikkan sampai dosis maksimal, ditambah ajuvan analgesik, opiat

lemah. Pada gambar 2 dibawah ini digambarkan skema “analgesic Ladder” untuk

penanggulangan nyeri kanker.

Gambar 2 : Analgesic ladder WHO

d. Pedoman Khusus

Analgesik

Golongan non opiate

Golongan opiate

Golongan ajuvan

Analgesik ajuvan

Antidepresant trisiklik misalnya : Amitripilin, Imipramin, Desipramin dapat

meningkatkan khasiat analgesik dari obat analgesik pada terapi nyeri akibat kerusakan

atau penekanan saraf. Dosis : 25 – 150 mg per hari, terbagi dalam tiga dosis atau satu

dosis malam hari.

Antihistamin mis : Hydroxzine. Mempunyai efek antihistamin, juga mempunyai efek

analgesik, anti muntah dan sedatif. Dapat memperbesar efek analgesik opiat.

Kafein dapat meningkatkan efek analgesik dari asam asetil atau opiat.

7

Streoid dapat mengurangi nyeri pada infiltrasi tumor dalam saraf dan tulang. Juga dapat

mengurangi nyeri akibat tekanan intrakranial yang meningkat. Dapat menaikan berat

badan dan menimbulkan perasaan nyaman yang biasa digunakan ialah dexamethasone 4

– 16 mg atau prednison 20 – 80 mg per hari.

Phenothiazine, mis : mathotrimeprazine, chlorpromazine, dan prochlorpherazine dapat

mencegah rasa mual akibat opiat. Mathotrimeprazine mempunyai efek analgesik, kurang

menimbulkan obstipasi, kurang mengadakan depresi pernafasan. Obat ini dapat

digunakan untuk mengobati nyeri kanker pada penderita yang mengalami toleransi

terhadap opiat.

Antikonvulsan antara lain phenytoin, carbamazepine, clonazepan, sodium valproate.

Dapat menghilangkan rasa nyeri deaferentasi yang bersifat menusuk, misalnya pada

neuralgia trigeminal, neuralgia post herpetik atau neuralgia pasca trauma. Dosis

carbamazepine dimulai dengan dosis 100 mg sehari, ditingkatkan pelan-pelan sampai

400 – 800 mg, terbagi atas 2 – 4 dosis sehari. Phenytoin 200 – 500 mg terbagi atas 2

dosis sehari.

Obat untuk mengatasi efek samping opiat

Antiemetik digunakan untuk mengatasi efek samping opiat. Prochloperasin 10-25 mg

p.o atau (per rektal) 4 kali sehari. Trietilperasin 10 mg p.o atau p.r 3 kali sehari.

Metoklopramid 10 mg p.o 4 kali sehari. Haloperidol 0.5 – 2 mg p.o 3 kali sehari.

Laksansia untuk konstipasi sebagai efek samping yang lazim pada penggunaan opiat.

Preparat yang digunakan adalah : Milk of magnesia 20–60ml tiap 4 jam. Senna,

Metamusil, Bisakodil 10 – 15 mg p.r

Stimulansia : efek samping mengantuk tidak selalu terjadi, dan sering hanya sementara

(terjadi toleransi). Bila perlu untuk mengatasi problem ini dapat diberikan Amfetamin.

Terapi Non Farmakologis

Rehabilitasi medik, radioterapi, kemoterapi, terapi hormonal. Tindakan anestesi dan

bedah.

8

9

Pemakaian Morfin pada Nyeri Kanker

Tidak semua bentuk dan derajat nyeri diberikan opioid kuat sepeti morfin. Untuk

memperoleh keberhasilan dalam pemakaian obat anti nyeri, perlu pemeriksaa yang hati-

hsti. Sementara itu pemilihan analgesik yang rasional haruslah mengikuti langkah

berjenjang yang dianjurkan WHO.

Reseptor Opioid

Didalam tubuh terdapat 3 reseptor opioid, yaitu resptor µ (mu), ҳ (kappa) dan δ (delta),

kesemuanya tersebar diberbagai area otak, terutama di substansi abu-abu

“periaquaductal” dan disepanjang sumsum tulang belakang. Ketiganya punya ciri-ciri

khusus tetapi punya satu kesamaan, yaitu bila resptor-reseptor ini terangsang,

kesemuanya akan memberikan fungsi analgesi.

Morfin yang dimurnikan dari getah papaver somniverum telah lama diketahui

mempunyai sifat penghalau rasa sakit yang luar biasa.

Prinsip penggunaan obat opioid pada nyeri kanker kronis:

o Gunakan obat agonis murni pada terapi awal

o Jangan mencampur obat agonis dengan campuran obat agonis-antagonis

o Jangan mencampur dua obat agonis

o Jangan tetap memberikan obat opioid lemah bila nyeri reda

o Sedapat mungkin menggunakan obat oral

o Pemberian “round the clock”

o Jangan memberikan hanya kalau perlu (p.r.n)

o Dosis titrasi pada individu

o Memakai obat-obat ajuvan

o Menyadari bahwa pengobatan opioid hanya merupakan satu bagian dari perawatan

total.

Pemakaian morfin

Pemakaian morfin hendaknya dicadangkan untuk kasus nyeri terminal, sebelumnya nyeri

kanker ringan atau sedang dapat dicoba dengan obat analgesik non-opioid atau opioid

lemah sesuai dengan langkah berjenjang dari WHO.

Morfin oral diberikan apabila:

o Nyeri sedang atau berat yang tidak reda dengan opioid ringan ( Codein 6 x 60 mg )

o Nyeri yang tdk reda dengan opioid kuat lainnya ( mis: oksikodon)

o Mengganti obat morfin atau meperidin parenteral.

10

Bentuk kemasan morfin, morfin oral ini ada dalam 3 formula :

o Morfin hidroklorida elixir (MOS sirup), kemasan konsentrasi 1 dan 5 mg/ml

o Morfin sulfat tablet (immediate release), kemasan dosis 15 mg dan 30 mg

o Morfin controlled release tablet, kemasan dosis antara 10 – 200 mg

Dosis awal pemakaian, dosis awal pemakaian tergantung kepada :

Total pemakaian obat analgesik perhari sebelumnya

Berat dan seringnya “breakthrough pain”

Umur, berat badan penderita

Biasanya dosis awal pemakaian dimulai dengan 6 x 10 mg, bila penderita sebelumnya

telah mendapat obat opioid lemah seperti codein, maka dosis awal dapat diberikan 6 x 5

mg. Pada orang tua biasanya dimulai dengan dosis 6 x 2,5 – 5 mg. Sedang pada anak-

anak dibawah 5 tahun menerima dosis awal 1/4 – 1/3 dosis orang dewasa dan anak umur

5 – 12 tahun 1/3 – ½ dosis dewasa.

Dosis titrasi

Apabila dengan dosis awal, nyeri muncul kembali sebelum 4 jam, maka dosis berikutnya

dinaikkan 50% - 100%. Bila dosis awal meredakan nyerinya, tetapi penderita mengantuk

terus, maka dosis berikutnya diturunkan 50 – 25%. Demikian seterusnya sampai

mendapat dosis yang optimal untuk meredakan nyeri.

Dosis maksimum

Biasanya nyeri penderita kanker dapat terkontrol dengan dosis 6 x 5 – 30 mg. Namun ada

beberapa penderita memerlukan dosis lebih tinggi, bahkan ada yang sampai 6 x 150-200

mg.

Efek samping pemakaian morfin

1. Konstipasi

Pengaruh morfin dapat menurunkan peristaltic usus dan mengurangi sekresi cairan,

pada penderita kanker dimana kurang minum, kurang gerakan dan diet yang

terganggu, akan menyokong terjadinya komplikasi konstipasi. Untuk itu perlu

ditanyakan kebiasaan buang air besar penderita, serta diawasi dan dicatat tiap hari.

Guna mencegah konstipasi penderita dianjurkan minum banyak, sari buah, buah-

buahan segar, atau menambahkan menu makanan dengan bekatul. Pada pemakaian

morfin dosis tinggi, dapat pula diberikan obat perangsang peristaltic seperti

PriColace. Apabila terjadi konstipasi, perlu diberikan obat pencahar seperti gliserin

atau bisacodyl (Dulcolax). Bila masih kurang efektif, dapat diberikan enema fosfat

11

dan atau larutan sabun. Obat pencahar dosis tinggi harus dihindari, terutama pada

penderita yang berisiko terjadi dehidrasi. Perbaiki kedudukan toilet atau “slipper

pans” agar waktu penderita buang air besar terasa lebih nyaman.

2. Mual /Muntah

Pada permulaan pemberian opioid kuat, sebagian kecil penderita merasa mual atau

muntah, hal ini disebabkan oleh rangsangan morfin pada” Chemoreceptor trigger

zone” di daerah medulla, untuk ini dapat diberikan obat Prochlorperazine 3 x 5-10

mg atau Haloperidol 2 x 0,5 -1 mg. Dapat pula disebabkan karena bendungan

lambung akibat terganggunyan peristaltic usus, bila hal ini terjadi dapat diberikan

Metoclopramid 4 x 10 mg. Selain itu mual/muntah dapat pula disebabkan oleh

rangsangan vestibular, untuk ini diberikan Dipenhydrinate 4 x 100 mg

3. Retensi urine

Morfin dapat menyebabkan kontraksi sfingter kandung kemih, meningkatkan tonus

otot detrussor dan menekan sensor pusat dan kandung kemih. Keadaan ini biasanya

terjadi pada penderita usia lanjut. Apabila hal ini terjadi, dapat dibantu dengan

pemasangan kateter dan “ bladder training”.

2. Nutrisi pada terapi paliatif

Nutrisi makanan mempunyai arti yang luas. Untuk orang sehat tujuan makan yang

ingin segera dicapai adalah untuk mencegah lapar. Selain itu, makan bisa untuk interaksi

sosial dan memberi nutrisi. Pada orang sakit, peranan makanan yang bermacam-macam ini

bisa menjadi kabur. Nafsu makan sering menurun, kenikmatan dan aspek sosial sering

terganggu dan kebutuhan nutrisi bisa berubah sehingga timbul konsep makanan digunakan

sebagai terapi.

Peranan diet yang cocok dalam terapi paliatif didasarkan atas dua fakta, yaitu:

• Pada kanker dan penyakit-penyakit degeneratif lain, diet bisa membantu

mengendalikan gejala-gejala, tetapi tidak bisa untuk mengobati penyakit dasarnya.

• Diet merupakan elemen yang penting dalam mempertahankan kesehatan dan

kesejahteraan. Perbaikan kondisi umum dapat dicapai dengan perbaikan dalam diet.

Perawatan nutrisi berpangkal pada faktor-faktor tersebut, di mana makanan atau status

nutrisi dapat mempengaruhi kesehatan, yaitu :

• Menghilangkan efek akibat kurang nutrisi.

• Menghilangkan problema makan dan gangguan-gangguan gastrointestinal.

12

• Meningkatkan kenikmatan makanan.

Aspek Positif dan Negatif dari Makanan

Makanan bisa mempunyai aspek positif ataupun negatif terhadap kualitas hidup,

tergantung bagaimana dia diperlakukan. Penderita dan orang-orang yang merawatnya perlu

konsultasi/komunikasi untuk mengatur apa yang dapat dicapai dengan diet pada stadium

tersebut.

Cukupkah Nutrisi ?, Pada kenyataannya, jarang terjadi defisiensi salah satu bahan

gizi. Yang paling sering kekurangan nutrisi secara keseluruhan adalah akibat pemasukan

semua makanan yang kurang. Kekurangan energi dan protein ini makin lama akan

menyebabkan berat badan menurun, lesu, otot-otot lemah, dan penyembuhan luka lebih lama.

Terjadi penumpukan cairan/edema akibat protein darah yang rendah. Pada penyakit

yang sudah lanjut, masalah ini tidak selalu bisa kembali seperti sediakala bila diberi makanan

yang cukup. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolisme.

Nutrisi yang kurang dalam waktu lama (berbulan-bulan) akan menyebabkan defisiensi

vitamin B, vitamin C, zat besi, dan zinc, dengan tanda-tanda klinis seperti anemia, bibir

pecah-pecah, lidah bengkak, gusi berdarah, penyembuhan luka lebih lama.

Masalah Makanan dan Gejala-gejala Gastrointestinal

Bisa terjadi baik akibat dari penyakitnya, pengobatan, maupun lingkungan fisik dan

emosional penderita. Ini akan mempengaruhi makanan yang masuk dan kualitas hidupnya.

Beberapa masalah tersebut antara lain anoreksia, luka-luka di mulut dan mulut kering,

perubahan rasa, distensi lambung, mual, dan konstipasi.

Anoreksia

Kurangnya nafsu makan, selain akibat dari sentral, juga dari faktor oral dan

gastrointestinal. Ini berhubungan dengan rasa dan bau makanan, mual, nyeri, kurang tenaga,

konstipasi, depresi, dan obat-obatan.

Penelitian yang terbaru menunjukkan bahwa bahan-bahan yang dilepaskan pada

respons terhadap kanker, mengganggu nafsu makan yang normal dan mekanisme kenyang.

Beberapa faktor penyebab anoreksia dapat dikendalikan dengan obat-obatan dan cara

perawatan. Contoh penanganan, antara lain dengan :

• Nasihat/penyuluhan mengenai kebersihan mulut.

• Mengatasi nyeri.

13

• Obat-obatan anti muntah.

• Lingkungan makan : nyaman, tidak tertekan, hindari bau makanan yang menyengat.

• Pola makan : sedikit-sedikit makanan kecil tetapi Bering, diselingi minuman. Bila

kondisi agak enak, makan lebih banyak.

• Pilihan makanan : sedikit-sedikit, mudah disiapkan, bervariasi, dan bau yang

menambah selera makan.

Luka-luka di mulut dan mulut kering

Luka ini disebabkan oleh higiene mulut yang kurang efektif, kandidiasis oral, kekurangan

bahan-bahan gizi tertentu, dehidrasi, kemoterapi, atau sitotoksik.

Penanganannya, antara lain :

o Kebersihan mulut.

o Gigi palsu direndam tiap malam (dengan 0,2% chlorhexidine).

o Suspensi oral nistatin.

o Makanan yang lunak dan mudah ditelan.

o Hindari makanan yang terlalu panas/dingin atau bau yang terlalu merangsang.

o Kadang-kadang, meskipun tidak jelas terdapat infeksi stomatitis pascakemoterapi,

bisa membaik dengan pemberian kotrimoksasol

Perubahan Rasa

Perubahan ini bisa bervariasi, dari rasa spesifik sampai dengan kehilangan sensitivitas

rasa keseluruhan. Penanganannya, antara lain :

o Tambahkan gula, garam, atau bahan lain bila makanan dilunakkan.

o Dilarutkan dengan makanan yang lebih lembut, misal susu atau krim, bila bau terlalu

menyengat.

o Rasa buah-buahan.

Tidak sanggup mencerna, distensi lambung

Penangganannya antara lain :

o Hindari makanan yang keras, goreng-gorengan, atau lemak.

o Berikan minuman diantaranya.

o Dianjurkan istirahat setelah makan, misalnya membaca atau menonton TV.

o Jangan berbaring minimal 1 jam setelah makan.

14

Mual dan muntah

Penyebabnya antara lain stres emosi, cemas, infeksi, obstruksi usus, konstipasi, efek

samping obat-obatan (mis. opioid, NSAID, antibiotik, sitostatik, digoksin, estrogen,

spironolakton, obat-obatan yang berbentuk sirup), kenaikan tekanan intrakranial, hyperca

cemia, uremia.

Dengan anamnesis yang cermat akan diketahui, penyebab faktor fisik atau emosi.

Penanganannya, antara lain :

o Bila mungkin, hilangkan/koreksi faktor-faktor penyebabnya.

o Periksa higiene mulut.

o Bila sebelumnya pola makan 3 x/hari, diubah dengan pola sedikit-sedikit, teratur,

dengan makanan atau minuman yang tidak terlalu merangsang.

o Jangan sampai lambung kosong karena mudah iritasi.

o Minum pelan-pelan dan bertahap, untuk menghindari distensi.

o Hindari stres atau diskusi masalah kesehatan pada waktu makan.

o Tinjau kembali obat-obat anti emetik.

Bila dengan cara-cara di atas masih gagal dan tetap mual, pertimbangkan faktor

kecemasan/depresi. Pada kasus ini pasien bisa diberi golongan benzodiazepin, misal:

lorazepam 0,5 - 1,0 mg sublingual.

Konstipasi

Penyebabnya sering karena intake cairan yang kurang atau kehilangan banyak lewat

muntah, tachypnea, atau keringat. Dengan terbatasnya makanan yang masuk (terutama

rendah serat), kerja usus juga menurun. Konstipasi juga mudah timbul pada penderita yang

tidak banyak/kurang bergerak dan pengaruh obat-obatan, misalnya: opioid, obat batuk,

antikholinergik, antidepresan trisiklik, dan fenotiazin.

Konstipasi pada penderita harus dicari penyebabnya sebelum diambil tindakan

dras¬tis. Penanganannya, antara lain:

Minum yang cukup dan makan makanan berserat.

Mengonsumsi jus buah-buahan, buah segar, kacang-kacangan.

Melakukan beberapa aktivitas yang bisa membantu, mis. otot-otot perut dan otot

kaki.

15

Bila kondisi umum jelek (tanpa aktivitas/kegiatan, tonus otot perut dan usus menurun, efek

obat nyeri, kesulitan minum dan makan makanan berserat), sering diperlukan pelunak feces.

Nutrisi enteral

Nutrisi enteral dengan pipa lambung (naso gastric tube) adalah alternatif pilihan

pertama rute oral pada penderita dengan fungsi usus yang masih baik.

Cara ini lebih murah jika dibanding dengan parenteral dan dapat dengan mudah

dikerjakan di rumah. Risiko pneumonia karena aspirasi dapat dikurangi dengan monitoring

pengosongan isi lambung yang lama dengan lebih sering mengisap/aspirasi isi lambung.

Sementara itu, risiko diare dikurangi dengan pengenceran larutan yang hipertonis pada hari-

hari pertama.

Nutrisi enteral berguna untuk penderita kanker lanjut di daerah kepala-leher, kanker

oesofagus, yang tidak dapat menelan, tetapi masih mempunyai nafsu makan dan kondisinya

baik.

Kelebihan nutrisi enteral dibanding parenteral, antara lain:

o Rute fisik, Aman, Ekonomis, Mudah

Nutrisi parenteral

Angka kejadian komplikasi mencapai 15% dan perlu biaya besar. Selain itu,

diperlukan perawatan intra vena, sterilitas, dan larutan khusus. Cara ini tidak dilakukan pada

perawatan paliatif karena tidak praktis dan tidak nyaman untuk penderita, juga tidak

menunjukkan perbaikan dalam kelangsungan hidup penderita.

Diperlukan penyuluhan, konsultasi, dan wawancara untuk penderita dan keluarga.

Pada kasus dimana nutrisi oral atau hidrasi tidak bisa, pilih pasien--pasien tertentu untuk

diberi nutrisi enteral. Nutrisi parenteral tidak digunakan rutin pada perawatan paliatif.

Dengan pendekatan multidisiplin dan penanganan secara bio-psiko-sosio-kultural,

pemberian nutrisi yang benar diharapkan bisa meningkatkan kualitas hidup penderita.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhatno. Perawatan Paliatif. Dalam : Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB, editors. Buku

acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1, Cet. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo; 2006 : 687-717.

2. Suhatno. Penatalaksanaan Nyeri Kanker. Dalam : Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB,

editors. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. Ed. 1, Cet. 1. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006 : 720-748.

3. Philip JAM, Lickiss N. Symptom Relief and Palliative Care. In: Berek J.S, Hacker N.F.

Practical Gynecologic Oncology. 5th

ed. Lippincott Williams and Wilkins. USA. 2010 :

834-857.

4. Brun C, Rizk N. Nutritional therapy. In: Berek J.S, Hacker N.F. Practical Gynecologic

Oncology. 5th

ed. Lippincott Williams and Wilkins. USA. 2010 : 720-736.

5. Wenzel L, Penson R, Carter J, Chase D, Cella D. Quality Of Life Issues In Gynecologic

Oncology: Barakat RR, Markman RR. Principles and Practice of Gynecology Oncology.

Fifth Edition. Lippincott ,Williams and Wilkins. Philadelphia. 2009: 1022-1027

6. DiSaia P.J, Much D.G. Clinical Gynecology Oncology. Sixth Edition. Mosby, Inc. St

Louis Missouri. 2002.