refrat (keracunan morfin)

31
BAB I PENDAHULUAN Morfin adalah komponen utama dari opium atau candu yang diperoleh dari tumbuhan Papaver Somniferum. Secara kimia, morfin adalah alkaloid yang termasuk derivat fenantren. Dalam Farmakologi morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa (analgetik). Selagi pemakaian morfin di bawah pengawasan yang ketat, tidak akan terjadi efek samping yang bahaya. Tetapi, sudah umum diketahui telah terjadi penyalahgunaan morfin yang sangat luas di dunia saat ini, yang berakibat timbulnya efek samping yang serius yang disebabkan karena keracunan morfin. 1 Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian berulang- ulang dan inilah yang sering terjadi. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada 1

Upload: ahmad-fachrurrozi

Post on 01-Jan-2016

773 views

Category:

Documents


47 download

DESCRIPTION

Keracunan Morfin

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat (Keracunan Morfin)

BAB I

PENDAHULUAN

Morfin adalah komponen utama dari opium atau candu yang diperoleh dari

tumbuhan Papaver Somniferum. Secara kimia, morfin adalah alkaloid yang

termasuk derivat fenantren. Dalam Farmakologi morfin merupakan obat yang

berkhasiat untuk menghilangkan rasa (analgetik). Selagi pemakaian morfin di

bawah pengawasan yang ketat, tidak akan terjadi efek samping yang bahaya.

Tetapi, sudah umum diketahui telah terjadi penyalahgunaan morfin yang sangat

luas di dunia saat ini, yang berakibat timbulnya efek samping yang serius yang

disebabkan karena keracunan morfin.1

Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan

akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan.

Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang dan inilah yang sering

terjadi. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada suatu keadaan

keracunan kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi,

ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iritabilitas,

tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis,

demam, pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya

penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovaskuler yang bisa

berakhir dengan kematian.1

Morfin dapat diabsorpsi oleh usus, tetapi efek analgetik yang tinggi

diperoleh melalui parenteral. Dari satu dosis morfin, sebanyak 10 % tidak

1

Page 2: Refrat (Keracunan Morfin)

diketahui nasibnya, sebagian mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di

hepar dan sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas.1

Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Urine mengandung bentuk bebas

dan bentuk konjugasi. Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan identifikasi morfin

dalam urine dari penderita yang diduga keracunan morfin.1

Masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian

yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971,

tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti

morfin, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja.

Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang-

Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika.2

Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan

opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opiat adalah morfin dan heroin.

Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk

menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara, kini,

peredaran ilegal narkotika semakin marak. Penyalahgunaan narkotika di kalangan

remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri

ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya.

Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas

menjadi lambat, pengguna merasa ‘melayang’, tekanan darah menurun, dan dapat

membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari

pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena

overdosis atau infeksi. Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid

2

Page 3: Refrat (Keracunan Morfin)

yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya.

Sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi

medis, morfin mempunyai efek analgetik dan morfin sendiri sedikit sekali

diabsorpsi dari saluran cerna. Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk

membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan

narkotika ini, oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat

yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya

adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada

korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sifat Fisik dan Kimia Morfin

Opium atau candu adalah getah papaver somnifeum L yang telah

dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan (1)

3

Page 4: Refrat (Keracunan Morfin)

golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan

benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.3

Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupakan

alkaloid utama dari opium (C17H19NO3). Morfin rasanya pahit, berbentuk

tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya

dengan cara dihisap dan disuntikkan.2

R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga

disebut sebagai OH fenolik; sedangkan OH pada R2-O bersifat alkoholik. Atom

hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk

berbagai alkaloid opium.3

Gugus OH fenolik bebas berhubungan dengan efek analgetik, hipnotik,

depresi napas, dan obstipasi. Gugus OH alkaholik bebas merupakan lawan efek

gugus OH fenolik.3

Gambar 1. Struktur kimia morfin4

4

Page 5: Refrat (Keracunan Morfin)

B. Farmakodinamik Morfin

Efek morfin terjadi pada susunan saraf pusat dan organ yang mengandung

otot polos. Efek morfin pada sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi

dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi,

hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual

muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika

(ADH).2

C. Farmakokinetik Morfin

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit

yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus,

tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek

analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.

Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin

terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan

keringat.3

D. Indikasi Morfin

Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk

meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan

analgetik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.

Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :3

Infark miokard

Neoplasma

5

Page 6: Refrat (Keracunan Morfin)

Kolik renal atau kolik empedu

Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner

Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan

Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

E. Dosis dan Sediaan Morfin

Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.

Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis

anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/

kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai

yang diperlukan.2

F. Toksikokinetika Morfin

Intoksikasi morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Intoksikasi

akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan.

Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas

lambat, 2-4 kali/menit, pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Pasien

sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang

mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini

dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point

pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urine sangat

berkurang karena terjadi pelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan

rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan

6

Page 7: Refrat (Keracunan Morfin)

relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul

konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.3

Intoksikasi kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang dan inilah

yang sering terjadi. Adiksi (kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada

suatu keadaan keracunan kronis. Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut

fenomena berikut: 3

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan

akan morfin.

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan

biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin.

3. Adanya toleransi.

Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap

efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara

morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein, dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-

3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis

besar secara teratur.2

Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah

gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin,

pecandu tersebut merasa sakit, gelisah, dan iritabel, kemudian tidur nyenyak.

Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase

ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin,

mual, midriasis, demam, dan napas cepat. Gejala ini makin hebat disertai

timbulnya muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah

7

Page 8: Refrat (Keracunan Morfin)

meniingkat. Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul

dehidrasi, ketosis, asidosis, dan berat badan pasien menurun. Kadang-kadang

timbul kolaps kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian.3

G. Toksikologi Forensik

Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut

Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of

science to low”, maka secara umum ilmu forensik dapat dimengerti sebagai

aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan

peradilan. Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek

berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme.

Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya

terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,

konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimia toksikan tersebut, kondisi

bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk

efek yang ditimbulkan.5

Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan

ilhpmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi

forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari

bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada

atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan sebagai

bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan

interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang

sesuai dengan hukum dan perundanganundangan. Menurut Hukum Acara Pidana

8

Page 9: Refrat (Keracunan Morfin)

(KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat

Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu

tosikologi untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik

merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai

bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi,

farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.5

Berkaitan dengan analisis penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mengacu

pada hukum yang berlaku di Indonesia (UU no 5 th 1997 tentang psikotropika dan

UU no 22 th 1997 tentang Narkotika), interpretasi temuan analisis oleh seorang

toksikolog forensik adalah merupakan suatu keharusan (Wirasuta, 2005). Heroin

menurut UU no 22 tahun 1997 termasuk narkotika golongan I, namun

metabolitnya (morfin) masuk ke dalam narkotika golongan II. Dilain hal kodein

(narkotika golongan III) di dalam tubuh akan sebagian termetabolisme menjadi

morfin. Menurut UU narkotika ini (pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa

penyalahgunaan narkotika golongan I, II, dan III memiliki konsekuensi hukum

yang berbeda, sehingga interpretasi temuan analisis toksikologi forensik,

khususnya dalam kaitan menjawab pertanyaan narkotika apa yang telah

dikonsumsi adalah sangat mutlak dalam penegakan hukum.5

H. Diagnosa Ketergantungan Narkotika

Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada

penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis,

misalnya kelainan pada organ paru-paru dan liver. Untuk mengetahui adanya

9

Page 10: Refrat (Keracunan Morfin)

komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit

dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk

mengetahui fungsi liver (SGOT dan SGPT). Banks A. dan Waller T. (1983)

menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada

pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya, komplikasi lainnya

adalah hepatitis (4%).2

Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :2

Tanda- tanda pemakai obat

Keadaan lepas obat

Kelebihan dosis akut

Komplikasi medik ( penyulit kedokteran )

Komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb).

GAMBARAN FORENSIK

Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup rumit, karena gejala pada

umumnya samar-samar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat

minim. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan

sebagai berikut:2

Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Gejala klinis :2

10

Page 11: Refrat (Keracunan Morfin)

1. Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturat; antara lain

nausea, vomiting, nyeri kepala, lemah otot, ataxia, suka berbicara, suhu

menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.

2. Pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh.

3. Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium.

Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral,

timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.

Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa

ada tahap 1, terdiri dari :2

Kelihatan tenang dan senang, tetapi tidak dapat istirahat.

Halusinasi.

Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.

Dapat menjadi maniak.

Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam

(gejala ini selalu ada), terdiri dari :2

Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.

Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.

Wajah sianosis, pupil amat mengecil.

Pulse dan respirasi normal.

Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :2

Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.

Proses sekresi.

11

Page 12: Refrat (Keracunan Morfin)

Pupil pinpoint, refleks cahaya negatif. Pupil melebar kalau ada asfiksisa,

dan ini merupakan tanda akhir.

Respirasi cheyne stokes.

Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.

Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti :2

1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.

2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.

3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.

4. Barang bukti lainnya.

Metode yang digunakan :2

1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography

(Gas Liquid Chromatography). Pada metode TLC, terutama pada

keracunan peroral: barang bukti dihidrolisir terlebih dahulu sebab dengan

pemakaian secara oral, morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh

glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa

terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin

bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan,

hasil pemeriksaan ini kurang pasti.

2. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama

dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah

sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau

kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih

besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin

12

Page 13: Refrat (Keracunan Morfin)

bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolik

kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolik

narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai

patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang

mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai

juga kodein cukup banyak.

Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin

Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan

kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensik,

psikiater maupun ahli toksikologi. Penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4

aspek, yaitu :2

1. TKP (Tempat Kejadian Perkara).

2. Riwayat korban.

3. Otopsi.

4. Pemeriksaan Toksikologi

Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya

pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti

narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut.

Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang

bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman,

maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba.2

Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada

pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya

13

Page 14: Refrat (Keracunan Morfin)

temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang

berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang

disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena

pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda

kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas

penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.

Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari

tanda- tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan kavum pleura

dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya

pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya

didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada

pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan narkoba yang masih

utuh tetapi warna dari cairan lambung daapt memberi petunjuk mengenai jenis

narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan

untuk mencari bukti adanya usaha – usaha penyelundupan narkoba.2

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada

daerah - daerah yang dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai

adanya perdarahan, peradangan, benda- benda asing, dan tingkat ketebalan vena

akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan

kebiasaan menyuntik. Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap

dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan

cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung,

urine, darah, dan cairan empedu. Cairan empedu dan urine secara khusus sangat

14

Page 15: Refrat (Keracunan Morfin)

penting pada kasus - kasus kematian akibat pemakaian opiat. Rambut dan kuku

kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain.2

Pemeriksaan pada kematian akibat pemakaian opioid (morfin atau heroin)

Pemeriksaan luar2

Tanda- tanda yang khas biasanya sukar didapat, namun masih ada

beberapa petunjuk yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab

kematian.

1. Needle marks. Lokasi: fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan

dan kaki. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda

perdarahan subkutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan

serum atau darah. Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan

yang lama berupa jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan

disebut “intravenous mainline tracks”. Juga dapat ditemukan abses,

granuloma atau ulkus, yang mana cara ini sering didapatkan pada korban

yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian

efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih

tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda

abses dan lain sebagainya.

2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering

menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah

bening di regio aksiler “Drain phenomenon”.

15

Page 16: Refrat (Keracunan Morfin)

3. Gelembung-gelembung pada kulit. Sering terdapat pada telapak

tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan dalam jumlah

besar (overdosis).

4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan

mulut yang makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis.

Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga

terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga

ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata.

Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada

septum nasi.

Pemeriksaan Dalam2

Paru-paru

1. Perubahan akut : mulai saat suntikan terakhir sampai dengan saat

kematian. Adapun perubahan awal yang terjadi adalah :

a) Dari 0 sampai 3 jam : hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel

mononuklear atau makrofag pada dinding alveoli.

b) Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narkotik lungs (siegel).

Tanda ini sangat bermakna (25 % kasus). Secara makroskopis

tampak paru sangat mengembang (over inflated). Trakea tertutup

busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak

gambaran lobuler akibat adanya bermacam-macam tingkat,

kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di

bagian belakang dan bawah (posterior dan inferior).

16

Page 17: Refrat (Keracunan Morfin)

c) Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata,

tampak sel-sel PMN. Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi

adalah apabila interval > 24 jam, akan tampak pneumonia lobularis

diffusa, tampak kecoklatan dan granula.

2. Perubahan kronis. Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis

vaskular. Akibat tanda adanya reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk

natkotika). Talk ini juga dapat masuk bersama narkotik saat disuntikkan.

Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan mikroskop polarisasi, berwarna

putih, bening atau kekuningan, dan terdapat garis refraksi. Granuloma-

granuloma ini bisa dilihat dalam vascular, perivascular, atau di dalam

alveolus.

Hati

Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama

menyandu. Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel

narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris yang

mengalami proliferasi.

Ada 4 kelainan :

1. Hepatitis agresif kronis : tandanya ada pembentukan septa.

2. Hepatitis persisten kronis : adanya infiltrasi sel radang didaerah portal.

3. Hepatitis reaktif kronis.

4. Perlemakan hati.

Getah Bening

17

Page 18: Refrat (Keracunan Morfin)

Lokasi terutama di daerah portal hepatik, di sekitar kaput pankreas dan

duktus kholedokus. Makin berat menyandunya, makin banyak kelainanya. Pada

pemeriksaan makroskopis tampak pembesaran, dan mikroskopis tampak adanya

hiperplasia dan hipertropi limfosit.

I. Antidotum Morfin

Naloxone merupakan salah satu obat untuk melawan keracunan narkotika

atau disebut opiat antagonis. Obat lain untuk melawan pengaruh morfin atau

heroin adalah nalorphine, levallophan, cyclazocine, tetapi risikonya cukup

berbahaya. Naloxone dapat membantu dengan cepat kalau diberikan dalam bentuk

suntikan. Pemberian dalam bentuk suntikan naloxone HCl (Narcan, Nokoba) yang

dimulai dengan dosis 0,4 mg/dl, dapat memperbaiki keadaan gangguan

pernapasan. Pemberian sebaiknya langsung masuk pembuluh darah balik atau

intravena. Setelah disuntik, diperhatikan keadaan pernapasannya. Jika belum

membaik, setelah diobservasi dalam 3–5 menit dapat diulangi lagi ditambah satu

ampul lagi sampai efeknya tercapai dengan respons perbaikan kesadaran,

hilangnya depresi pernapasan, dan dilatasi pupil.2

Program terapi penyalahgunaan narkotika terdiri atas 2 fase, yaitu:

Terapi detoksifikasi

Terapi rumatan (pemeliharaan)

Kedua terapi di atas harus berkesinambungan, sebab terapi detoksifikasi

saja bukan merupakan penyembuhan. Setelah penderita melewati fase kritisnya

maka dia harus menghentikan ketergantungannya melalui program terapi di atas.

18

Page 19: Refrat (Keracunan Morfin)

Para pecandu narkotika jumlahnya semakin tahun semakin meningkat.

Penyembuhan secara medis untuk para pecandu narkotika sering menimbulkan

kondisi relaps, kambuh lagi. Pasien ketergantungan narkotika dimungkinkan

menjalani detoksifiksi di rumahnya selama 5 hari berturut-turut. Selain itu, untuk

penyembuhan membutuhkan terapi rumatan (pemeliharaan).2

BAB III

PENUTUP

Morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa

(analgetik). Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis.

Keracunan akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang

19

Page 20: Refrat (Keracunan Morfin)

berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang. Adiksi

(kecanduan) atau "morfinisme" tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan

kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi, ketergantungan fisik dan

toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iritabilitas, tremor, lakrimasi,

berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, demam, pernafasan

cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya penderita mengalami

dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovaskuler yang bisa berakhir dengan

kematian.

20