a08brh
TRANSCRIPT
![Page 1: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/1.jpg)
PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGAMINYAK GORENG SAWIT INDONESIA
OLEH:BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG
A 14105519
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008
![Page 2: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/2.jpg)
ii
RINGKASAN
BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG. Pengaruh Ekspor CPO(Crude Palm Oil) Terhadap Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia. (Di bawahbimbingan HARIANTO).
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas yang dalambeberapa tahun terakhir ini menjadi primadona di sektor perkebunan dengandibukakannya peluang investasi sebesar-besarnya oleh pemerintah baik daripemodal asing maupun domestik. Produksi CPO Indonesia pada tahun 2006menyumbang sekitar 43.29 persen terhadap total produksi CPO dunia yangberjumlah 36.7 juta ton atau meningkat delapan persen dari tahun sebelumnya,sedangkan Malaysia sebesar 43.23 persen. Total ekspor Indonesia mencapai 12juta ton, dengan negara tujuan ekspor adalah berturut-turut India, Belanda,Singapura dan Malaysia. Penjualan CPO mencapai 1,857 triliun pada semesterpertama tahun 2006, atau meningkat 17.6 persen dibanding semeter yang samapada tahun sebelumnya. Total keuntungan bersih mencapai 414.7 milyar ataumeningkat menjadi 7.6 persen (IPOC, 2006).
Produksi minyak goreng sawit pada tahun 2006 diperkirakan hanya sekitar0.8 juta ton, dengan kebutuhan CPO sebagai input sebesar 1.17 juta ton. Lainhalnya dengan konsumsi per kapita minyak dan lemak Indonesia, pada tahun 2006untuk wilayah kota dan desa mencapai 8.07 kg per tahun dimana konsumsi perkapita khusus minyak goreng kelapa sawit sebesar 4.80 kg per tahun.
Harga CPO dunia pada awal Mei mencapai US$ 740 per ton dandiperkirakan akan terus naik hingga mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan hargaCPO diindikasi karena adanya peningkatan permintaan dunia dan permainanpelaku pasar di lantai bursa. Oleh karena itu, sangat wajar apabila produsenmerespon dengan meningkatkan ekspor dibanding memasok kebutuhan domestik.Konsekuensi yang timbul adalah kurangnya suplai CPO domestik sehingga hargaminyak kelapa sawit sebagai produk turunan CPO melonjak hingga kisaran Rp7.600 Rp 8.500 per Kg.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan faktor-faktoryang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia,Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit danmengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah. Jenis datayang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat analisisTwo Stages Least Squares (2SLS). Adapun model yang dirumuskan terdiri dariempat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas.
Hasil analisis menunjukkan ekspor CPO Indonesia secara signifikandipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen,harga domestik CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilaitukar (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen. Secara ekonomi, terdapat satuvariabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telahditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yangdibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 91.20 persen.
Peubah produksi MGS secara signifikan dipengaruhi oleh harga MGS(PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS (CCPO), dan ekspor CPO satutahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel
![Page 3: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/3.jpg)
iii
produksi minyak goreng satu tahun yang lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilaiyang signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabelyang tidak signifikan yaitu harga domestik CPO dan impor CPO (MCPO). Modeldapat menjelaskan keragaman produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6persen sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Nilai F-Hitmenunjukkan signifikansi model pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.
Prilaku konsumsi MGS domestik dipengaruhi secara signifikan olehpendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90 persen, nilaitukar (ER) sebesar 95 persen, dan konsumsi MGS tahun sebelumnya (CMGS1)sebesar 80 persen. Hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil yang tidaksignifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman konsumsi MGS87.89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikanoleh harga domestik CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, hargaCPO dunia (PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga padatahun sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanyavariabel nilai tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain itu,model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar56.86 persen dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel di luarmodel dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen.
Berdasarkan simulasi pada kenaikan harga CPO dunia (PWCPO) sebesarsepuluh persen, kenaikan tersebut berdampak pada peningkatan seluruh variabel.Perubahan terbesar ada pada variabel harga minyak goreng sawit, dimanakenaikan harga CPO dunia sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknyaharga minyak goreng sawit sebesar 3.364 persen. Prosentase perubahan terendahada pada variabel XCPO, dimana perubahannya sebesar 0.189 persen.
Peningkatan PE sebesar satu persen ternyata mengakibatkan semuavariabel mengalami penurunan. Perubahan terbesar terjadi pada variabel PMGS,dimana peningkatan sebesar satu persen dari PE akan mengakibatkan penurunanPMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat menggambarkan bahwa kebijakan PEternyata memang memiliki dampak terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikanPE ini ternyata juga mengakibatkan penurunan dari sisi produksi dan konsumsiMGS
![Page 4: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/4.jpg)
PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGAMINYAK GORENG SAWIT INDONESIA
OLEH:BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG
A 14105519
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN
2008
![Page 5: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/5.jpg)
Judul Skripsi : Pengaruh Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Terhadap Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia
Nama : BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG
NRP : A 14105519
`
Bogor, Maret 2008
Menyetujui,
Dr. Ir. Harianto, MS
NIP. 131 430 801
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus: Rabu, 16 Maret 2008
![Page 6: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/6.jpg)
vi
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP
HARGA MINYAK GORENG SAWIT INDONESIA BELUM PERNAH
DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN
MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN
YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN
KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Maret 2008
Bona Rachmat H SitohangA 14105519
![Page 7: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/7.jpg)
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 April 1985 di Kota Jambi, Propinsi
Jambi. Penulis merupakan putera kedua dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda
H. Frabby C Sitohang, BA dan Ibunda Hj. Ani Roslaini.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1997 di
SDN 109 Palembang. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Yayasan Hajjah Rahmah Nasution Al Azhar Medan
dan lulus pada tahun 1999. Di tempat yang sama pula penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2002.
Bulan Agustus 2002, penulis diterima di Program Diploma 3 Program
Studi Pengelola Perkebunan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui
program USMI dan lulus pada tahun 2005. Setelah itu, penulis kembali
melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi lagi pada Program Sarjana
Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan
dan yang terakhir penulis dipercaya sebagai Ketua Keluarga Muslim Ekstensi
(KAMUS) periode 2007/2008.
![Page 8: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/8.jpg)
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Alloh SWT, Tuhan semesta
alam, tiada tuhan selain Alloh, Rabb yang telah menurunkan islam sebagai mabda
(ideologi) yang merupakan solusi atas seluruh problematika kehidupan manusia.
Atas Rahmat, karunia, dan izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan srkripsi yang
berjudul Pengaruh Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Terhadap Harga Minyak
Goreng Sawit Indonesia . Sholawat beriring salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat
serta pengikutnya hingga akhir masa.
Sedikit bercerita mengenai pengalaman penulis selama proses penelitian
topik ini, sungguh sangat penuh tantangan dan cobaan. Dimulai dari proses
hunting data, pencarian informasi, hingga ketika proses pengolahan data, Banyak
hikmah yang penulis dapatkan dari kesemua proses tersebut. Penelitian ini
didasari pada keprihatinan penulis atas kondisi minyak goreng sawit Indonesia.
Indonesia yang dikenal sentra produksi CPO, yaitu sebagai bahan baku minyak
goreng, ternyata mengalami krisis pada tingkat industri maupun tingkat konsumen
minyak goreng.
Akhirnya, semoga karya persembahan penulis ini dapat bermanfaat dan
menginspirasi para pembaca dalam menambah cakrawala berfikir. Akhirul kalam,
semoga aktifitas kita semua di ridhoi oleh Alloh SWT.
Bogor, Maret 2008
Penulis
![Page 9: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/9.jpg)
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan petunjuk dan
kemudahan pada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya. Alloh juga telah mempertemukan kepada penulis orang-orang yang
sangat luar biasa dalam membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa memberikan doa dan menjadi
motivator, pendukung baik moril maupun materil dan pendengar yang baik
atas keluh kesah penulis. Kakak dan adik, Wijaya Kusuma Dewi, ST dan
Sahala Fajarillah Sitohang. Uda Saud dan keluarga serta keluarga besar di
Bekasi. Terima kasih atas segalanya.
2. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS. selaku dosen pembimbing, atas segala masukan
dan bimbingan yang telah bapak berikan. Meskipun kesibukan Bapak sangat
luar biasa, tetap mau menyempatkan diri untuk membagikan ilmunya kepada
penulis.
3. Ibu Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec. sebagai Ketua Program Sarjana Ekstensi
Manajemen Agribisnis, IPB dan dosen evaluator penulis ketika kolokium
proposal skripsi. Masukan, motivasi, dan pujian Ibu sungguh membuat saya
semakin bersemangat.
4. Bapak Ir. Burhanudin, MM selaku dosen penguji utama dan Bapak Ir Joko
Purwono, MS selaku dosen penguji komisi pendidikan atas masukan dan
arahannya.
5. Bapak Rahmat Yanuar, SP, M.Si (Mas Way), dosen, murobbi, sekaligus
teman diskusi penulis ketika terjadi stagnasi dalam penulisan skripsi.
6. Sekretariat Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis yang telah
memberikah pelayanan yang luar biasa kepada penulis. Mba Nur, Mba Rahmi,
Mba Maya, Mba Liesca, Mas Aji, dan Mas Agus terima kasih banyak, mohon
maaf apabila ada kata dan tindak tanduk penulis yang kurang berkenan.
7. Ibu Dinah dan Bapak Hamdan serta keluarga yang telah memberikan nasehat
dan motivasinya.
![Page 10: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/10.jpg)
x
8. Keluarga Muslim Ekstensi (KAMUS) IPB Jazzakumulloh Khairon Katsiron.
Ikhwannya: Akh Rudy, Fajar, Wawan, Ubay, Arif, Aris, Topan, Restu,
Sudarlin, Aulia, Ibrahim, Ari, Solihin, dan lain-lain serta Akhwatnya: Mba
Ella, Mba Matus, Endah, Kiki, Mira, Yuyun, Anggi, Wiwin dan lain-lain.
9. Teman se-angkatan MAB 13 & 14 serta adik-adik dari ekstensi AGB 1 & 2,
terima kasih atas masukannya selama kolokium dan seminar.
10. Mahasiswa PLP 39, David, Fitrial, Uut, Tovan, Ervan. Semoga cepat lulus.
11. Saudara saudari Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan dan Sekitarnya
(IMMAM) IPB, Rusdi, Bang Yuda, Bang Iben, Bang Indra, Riza, Topan,
Fadli, Dana, Lia, Riri, Aziz, Hedi, dan lain-lain. Terima kasih atas
dukungannya.
12. Semua pihak, teman, serta kerabat yang tidak tercantum, penulis ucapkan
permintaan maaf, dan terima kasih atas bantuan yang tidak tertara ini.
Bogor, Maret 2008
Penulis
![Page 11: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/11.jpg)
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 11.1 Latar Belakang .................................................................................... 11.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 51.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 71.4 Lingkup dan Kegunaan Penelitian........................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 82.1 Agribisnis Kelapa Sawit ...................................................................... 82.2 Penelitian Terdahulu............................................................................ 13
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN..................................................... 183.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................... 18 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional ................................................. 18
3.1.2 Teori Ekspor Impor..................................................................... 193.1.3 Penawaran Ekspor CPO.............................................................. 203.1.4 Produksi Minyak Goreng Sawit .................................................. 213.1.5 Konsumsi Minyak Goreng Sawit ................................................ 233.1.6 Pembentukan Harga.................................................................... 233.1.7 Kebijakan Pajak Ekspor.............................................................. 25
3.1.8 Model Persamaan Simultan ....................................................... 283.2 Kerangka Pemikiran Operasional......................................................... 30
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................... 334.1 Jenis dan Sumber Data......................................................................... 334.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 334.3 Spesifikasi Model ................................................................................ 334.4 Identifikasi Model ............................................................................... 364.5 Validasi Model .................................................................................... 374.6 Simulasi Kebijakan.............................................................................. 384.7 Pengujian Model dan Hipotesis............................................................ 394.8 Pendugaan Nilai Elastisitas .................................................................. 404.9 Uji Autokorelasi .................................................................................. 41
BAB V GAMBARAN UMUM KOMODITI CPO DAN MINYAK GORENG SAWIT .................................................................... 425.1 Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit .................................. 425.2 Pola Produksi dan Ekspor CPO ........................................................... 435.3 Pola Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit ........................... 465.4 Pola Harga Minyak Goreng Sawit........................................................ 485.5 Kebijakan Pajak Ekspor....................................................................... 50
![Page 12: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/12.jpg)
xii
BAB VI KETERKAITAN EKSPOR CPO DENGAN HARGA MINYAK GORENG SAWIT .................................................. 536.1 Pendugaan Model Ekspor CPO............................................................ 536.2 Pendugaan Model Produksi Minyak Goreng Sawit (MGS) Domestik ............................................................................................. 556.3 Pendugaan Model Konsumsi Minyak Goreng Sawit Domestik............. 576.4 Pendugaan Model Harga Minyak Goreng Sawit Domestik................... 59
BAB VII EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAPPENETAPAN PAJAK EKSPOR ............................................................... 627.1 Dampak Kenaikan Harga CPO Dunia (PWCPO) Sebesar Sepuluh Persen .................................................................................... 627.2 Dampak Kenaikan PE Sebesar Satu Persen.......................................... 63
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 658.1 Kesimpulan ......................................................................................... 658.2 Saran ................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 68
LAMPIRAN ................................................................................................ 71
![Page 13: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/13.jpg)
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Alokasi Perluasan Lahan Kelapa Sawit Dalam Program Revitalisasi Hingga Tahun 2010 ................................................................................. 42
2. Alokasi Penanaman Kembali Lahan Kelapa Sawit Dalam Program Revitalisasi Hingga Tahun 2010 .............................................................. 43
3. Perkiraan Jumlah Permintaan Domestik dan Produksi Tahunan Terhadap CPO dan Olahannya (Ton), 2006 2010 ................................................. 44
4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO (XCPO)Indonesia................................................................................................. 53
5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Goreng Sawit (QMGS) Indonesia ........................................................................ 56
6. Hasil Estimasi Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Sawit (CMGS) Indonesia ............................................... 58
7. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak Goreng Sawit (PMGS) Indonesia ......................................................................... 60
8. Dampak Kenaikan Harga CPO Dunia (PWCPO) Sebesar Sepuluh Persen ........................................................................................ 62
9. Dampak Kenaikan PE Sebesar Satu Persen.............................................. 64
![Page 14: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/14.jpg)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Utama (Ribu Ton) Tahun 2006. ............................................................................................ 2
2. Pangsa Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit Menurut Wilayah Tahun 2005 ............................................................................................. 3
3. Perkembangan harga beberapa minyak nabati dunia (US$/Ton) CIF Rotterdam, 2001 2007 .......................................................................... 4
4. Mekanisme Perdagangan Internasional .................................................... 20
5. Pembebanan Pajak Ekspor....................................................................... 26
6. Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor CPO Terhadap Industri CPO ......... 27
7. Skema Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 32
8. Hubungan Keterkaitan Antar Model Pengaruh Ekspor CPO Terhadap
Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................... 34
9. Plot data produksi dan ekspor CPO serta keterkaitannya dengan kondisi permintaan CPO dunia dan domestik (000 Ton), 1990 2006 ................. 44
10. Pola Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia (Juta Ton), 1990 2006........................................................... 46
11. Pola Perkembangan Konsumsi CPO Oleh Industri Minyak Goreng Sawit
Indonesia (Ribu Ton), 1996 2006 ......................................................... 47
12. Pola Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit Domestik, 1990 2006............................................................................................. 48
13. Pola Pergerakan Harga Minyak Goreng Sawit (Rp/Kg) dan Kurs Rupiah Terhadap Dollar US, 1990 2006 ........................................................... 49
14. Pola Perkembangan Harga CPO Dunia (PWCPO), Harga CPODomestik (PDCPO) dan Harga Minyak Goreng Domestik (PMGS)(Rp/Kg), 1990 2006 ............................................................................. 50
15. Perkembangan Pajak Ekspor (%), 1998 2007........................................ 51
![Page 15: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/15.jpg)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Pohon Industri Kelapa Sawit ................................................................... 72
2. Instansi atau Lembaga Sumber Pengambilan Data Penelitian .................. 73
3. Data Penelitian........................................................................................ 74
4. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Ekspor CPO ...................................... 76
5. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit......... 77
6. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Konsumsi Minyak Goreng Sawit....... 78
7. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit ............. 79
8. Hasil Output SAS 16.2 Validasi Model ................................................... 80
9. Output SAS 16.2 Kenaikan Harga CPO Dunia Sebesar
Sepuluh Persen ........................................................................................ 82
10. Output SAS 16.2 Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Satu Persen. .............. 83
![Page 16: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/16.jpg)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian, yang
mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan (sektor peternakan
Indonesia belum mampu berbicara banyak di tingkat internasional). Potensi alam
Indonesia memungkinkan pengembangan ke semua sektor tersebut. Khusus pada
sektor perkebunan, telah dikenal komoditas-komoditas seperti karet alam, lada,
kopi robusta, teh, kakao, jambu mete dan kelapa sawit sebagai komoditas ekspor
andalan Indonesia.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas yang dalam
beberapa tahun terakhir ini menjadi primadona di sektor perkebunan dengan
dibukakannya peluang investasi sebesar-besarnya oleh pemerintah baik dari
pemodal asing maupun domestik. Contoh investasi yang dilakukan pemerintah,
yaitu pada tahun 2005, rencana perluasan perkebunan kelapa sawit di perbatasan
Kalimantan dan Malaysia yang dipersiapkan menjadi perkebunan dan fasilitas
pemrosesan kelapa sawit terbesar di Indonesia1. Hal ini juga dapat dilihat dari
perkembangan luas areal kelapa sawit selama dua dekade terakhir menunjukkan
pertumbuhan yang signifikan. Tahun 1980 luas areal kelapa sawit sebesar 290
ribu ha kemudian tumbuh sebesar 26.9 persen per tahun, sehingga pada tahun
2006 luas areal kelapa sawit menjadi 2,636 ribu ha.
Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, merujuk pada investasi
yang dilakukan pada tahun 2005 tersebut, lebih dari 500,000 pekerja akan
dilibatkan dalam proyek ini dan akan menghabiskan biaya sekitar Rp 5.5 triliun
(US$ 567 juta) untuk jangka waktu lima tahun. Proyek ini diproyeksikan mulai
menghasilkan minyak sawit setelah tahun 20102 yang menurut perkiraan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada tahun itu Indonesia
akan menjadi produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia3. Kenyataannya,
tidak perlu menunggu sampai tahun 2010, produksi CPO Indonesia pada tahun
1 http://dte.gn.apc.org [Agustus 2005]2 Loc Cit.3 http://www.kompas.com [17 Mei 2005]
![Page 17: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/17.jpg)
2
2006 telah menjadi yang terbesar di dunia yaitu sebesar 16,080 ribu ton, disusul
kemudian Malaysia dengan total produksi sebesar 15,881 ribu ton. Selengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
16080
15881
815
885
711
0 5000 10000 15000 20000
Indonesia
Malaysia
Nigeria
Thailand
Kolombia
Gambar 1. Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Utama (Ribu Ton)Tahun 2006.
Sumber: Oil World. 2007
Produksi CPO Indonesia pada tahun 2006 menyumbang sekitar 43.29
persen terhadap total produksi CPO dunia yang berjumlah 36.7 juta ton atau
meningkat delapan persen dari tahun sebelumnya, sedangkan Malaysia sebesar
43.23 persen. Total ekspor Indonesia mencapai 12 juta ton, dengan negara tujuan
ekspor adalah berturut-turut India, Belanda, Singapura dan Malaysia. Penjualan
CPO mencapai 1,857 triliun pada semester pertama tahun 2006, atau meningkat
17.6 persen dibanding semeter yang sama pada tahun sebelumnya. Total
keuntungan bersih mencapai 414.7 milyar atau meningkat menjadi 7.6 persen
(IPOC, 2006).
CPO merupakan komoditas unggulan ekspor Indonesia mengingat devisa
yang didapat dan potensi pengembangannya sangat menjanjikan. Sebagai
gambaran, berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perkebunan
(DITJENBUN) (2007), ekspor CPO tahun 1980 sebesar 0.503 juta ton senilai
US$ 0.255 milyar, meningkat menjadi 12.1 juta ton pada tahun 2006 dengan nilai
US$ 4.8 milyar. Hal ini didukung mengingat konsumsi minyak nabati dan lemak
dunia tiap tahunnya mengalami pertumbuhan sebesar 4.18 persen dan khusus
CPO tiap tahunnya tumbuh sebesar 8.07 persen
Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri
melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO
(Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil). CPO dapat diuraikan untuk
![Page 18: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/18.jpg)
3
produksi minyak sawit padat (RBD Stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair
(RBD Olein). RBD Olein merupakan bahan utama dalam pembuatan minyak
goreng. Minyak goreng termasuk kebutuhan pokok konsumsi masyarakat sehari-
hari. Perkembangan industri minyak goreng sawit, dari awal tahun 90-an hingga
sekarang, mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi
masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Tahun
2006 diperkirakan produksi minyak goreng sawit hanya sekitar 0.8 juta ton,
dengan kebutuhan CPO sebagai input sebesar 1.17 juta ton. Lain halnya dengan
konsumsi per kapita minyak dan lemak Indonesia, pada tahun 2006 untuk wilayah
kota dan desa mencapai 8.07 kg per tahun di mana konsumsi per kapita khusus
minyak goreng kelapa sawit sebesar 4.80 kg per tahun.
Pemenuhan kebutuhan minyak goreng sawit dalam negeri berhubungan
dengan sejauh mana industri minyak goreng domestik tumbuh, baik secara
kapasitas produksi maupun penyebarannya. Selama ini industri minyak goreng
sawit dalam negeri masih terpusat di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Persentase volume produksi minyak goreng kelapa sawit terbesar berturut-turut
berada di pulau Jawa, yaitu sebesar 51.4 persen, pulau Sumatera 47.5 persen,
kemudian di pulau Kalimantan yang hanya sebesar 1.1 persen. Kondisi di pulau
Kalimantan sangat bertolak belakang pada fakta bahwa lahan perkebunan kelapa
sawit pulau tersebut paling luas dibanding pulau-pulau lain, namun pabrik
pengolahan CPO-nya sangat terbatas. Data persentase volume produksi pulau ini
hanya berasal dari satu propinsi saja, yaitu propinsi Kalimantan Barat.
Sumatera48%
KalimantanBarat1%
Pulau Jawa51%
Gambar 2. Pangsa Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit Menurut WilayahTahun 20054.
4 http://www.wartaekonomi.com. [10 Juli 2007]
![Page 19: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/19.jpg)
4
Seiring dengan beralihnya pola konsumsi masnyarakat dari minyak goreng
kelapa ke minyak goreng sawit, kondisi minyak goreng sawit domestik sering
mengalami berbagai gejolak krisis. Dimulai pada tahun 1994, kemudian berlanjut
pada tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Pertengahan tahun
2007 tersebut, masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada melonjaknya harga
minyak goreng sawit hingga mencapai 50 persen5 dari harga normal yang berkisar
Rp 6,500 Rp 6,800. Tingginya harga minyak goreng sawit ini merupakan
dampak setelah terjadi kenaikan serupa pada beberapa harga minyak nabati dunia,
termasuk CPO.
0100200300400500600700800900
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
M.Sawit(US$/TON)M.Kedelai(US$/TON)M.Kelapa(US$/TON)M.Bunga Matahari(US$/TON)
Gambar 3. Perkembangan harga beberapa minyak nabati dunia (US$/Ton) CIFRotterdam, 2001 2007.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007
Problematika ini tidak lepas dari peranan dari komoditas CPO itu sendiri
sebagai bahan baku olahan minyak goreng. Kondisi permintaan dan penawaran
domestik CPO tentunya dipengaruhi kekuatan permintaan dan penawaran di pasar
internasional, mengingat Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka. Harga
yang meningkat di pasaran internasional dapat menjadi indikasi bahwa hal ini
dapat menjadi insentif ekspor bagi pengusaha CPO domestik. Laju ekspor yang
tidak terkendali dapat mengakibatkan kurangnya pasokan CPO domestik,
sehingga industri minyak goreng sawit tidak mendapatkan pasokan yang cukup.
Oleh karena itu, pengkajian mengenai mekanisme yang tepat dalam
pengaturan perdagangan CPO serta kaitannya terhadap harga minyak goreng
kelapa sawit menjadi penting untuk dilakukan. Mekanisme yang tepat ini diartikan
sebagai penyeimbang aliran perdagangan CPO, sehingga produsen CPO tidak
5http://www.tempointeraktif.com. [07 Mei 2007]
![Page 20: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/20.jpg)
5
dirugikan dengan hilangnya pasar-pasar potensial di saat harga komoditas yang
tinggi dan industri minyak goreng kelapa sawit pun dapat beroperasi dengan baik
sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.
1.2 Perumusan Masalah
Harga CPO dunia yang pada tahun 2007 melonjak naik lebih tinggi
dibanding tahun-tahun sebelumnya telah memberikan andil yang cukup besar atas
gejolak harga minyak goreng sawit curah yang terjadi di berbagai daerah di
Indonesia. Harga CPO dunia pada awal Mei mencapai US$ 740 per ton dan
diperkirakan akan terus naik hingga mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan harga
CPO diindikasi karena adanya peningkatan permintaan dunia dan permainan
pelaku pasar di lantai bursa. Peningkatan permintaan yang tidak sebanding dengan
produksi dan suplai CPO di pasar internasional mengakibatkan naiknya harga
CPO dunia. Berdasarkan data tahun 2006, konsumsi CPO dunia diperkirakan
sebesar 36 juta ton, sedangkan ekspor CPO dunia baru memenuhi 82.9 persen dari
konsumsi dunia tersebut (Ditjenbun).
Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut sangat wajar apabila produsen
merespon dengan meningkatkan ekspor dibanding memasok kebutuhan domestik.
Selain menguntungkan, pengusaha tidak ingin hilangnya pasar-pasar potensial
dengan adanya pengurangan ekspor. Konsekuensi yang timbul adalah kurangnya
suplai CPO domestik sehingga harga minyak goreng kelapa sawit sebagai produk
turunan CPO melonjak hingga kisaran Rp 7,600 Rp 8,500 per Kg6.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan berbagai kebijakan rasionalisasi harga
minyak goreng di dalam negeri agar turun pada kisaran Rp 6,500 Rp 6,800 per
kg di tingkat eceran. Kisaran harga ini dianggap ideal untuk meredam berbagai
pengaruh negatif terhadap perekonomian seperi inflasi. Kebijakan yang diambil
antara lain menaikkan pajak ekspor (PE) CPO dan kebijakan wajib pasok pasar
domestik (Domestic Market Obligation/DMO) kepada produsen minyak sawit
mentah (CPO) di dalam negeri.
Pajak ekspor (PE) CPO terbaru pada pertengahan Juni 2007 resmi
ditetapkan yaitu sebesar 6.5 persen atau naik sekitar lima persen dari sebelumnya
6http://www.tempointeraktif.com. [21 Mei 2007]
![Page 21: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/21.jpg)
6
sebesar 1.5 persen. Hal ini bertujuan agar pasokan (Supply) CPO yang cenderung
lebih banyak diekspor dapat diseimbangkan dengan kebutuhan dalam negeri.
Menurut Menteri Koordinasi Perekonomian Indonesia, besar PE tergantung dari
kondisi di dalam negeri sehingga perlu dievaluasi tiga sampai enam bulan ke
depan sejak ditetapkan PE yang baru7.
Kebijakan wajib pasok pasar domestik (DMO) yang ditetapkan pemerintah
mewajibkan produsen CPO untuk memasok 100 ribu ton CPO per bulan untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Pembahasan mengenai program ini seperti yang
diungkapkan Menteri Pertanian Indonesia masih belum terperinci dan sampai saat
ini pun belum terealisasi. Contohnya seperti persentase dari produksi yang harus
dipasok, jenis produk apa saja yang terkena DMO (CPO atau produk turunannya),
pihak yang diwajibkan, sangsi serta bentuk pengawasannya. DMO merupakan
solusi yang bisa diharapkan dan diterima karena sesuai dengan isi UU No.
18/2004 tentang perkebunan yang mengamanatkan untuk mengamankan pasokan
dalam negeri. Landasan hukum program ini ditetapkan berdasarkan surat
keputusan (SK) Menteri Pertanian Indonesia8.
Penetapan kedua kebijakan di atas menimbulkan beberapa polemik yaitu
pemerintah belum secara pasti menetapkan apakah DMO dan PE CPO dijalankan
secara bersama-sama, atau DMO secara otomatis menggugurkan kebijakan PE
CPO, ataupun sebaliknya. Kedua pilihan ini dapat menjadi pertimbangan
pemerintah dari berbagai sisi, di mana produsen CPO tidak dirugikan dan begitu
juga konsumen minyak goreng.
Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat diperoleh beberapa permasalahan
yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Bagaimanakah keterkaitan pasar CPO dengan pasar minyak goreng sawit di
Indonesia ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan ketersediaan
minyak goreng sawit di Indonesia?
3. Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah di pasar CPO terhadap kinerja
harga minyak goreng Indonesia ?
7 http://www.antara.co.id. [18 Juni 2007]8 http://www.antara.co.id. [07 April 2007]
![Page 22: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/22.jpg)
7
1.3 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit
di Indonesia.
2. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga
minyak goreng sawit Indonesia.
3. Mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah
dalam program rasionalisasi harga minyak goreng sawit dalam negeri.
1.4 Lingkup dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini membatasi cakupan analisanya hanya pada keterkaitan
antara ekspor CPO, bukan prilaku pasar CPO, dengan variabel-variabel yang
mempengaruhinya terhadap harga eceran minyak goreng sawit juga dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya serta pengaruh kebijakan pajak ekspor CPO.
Studi mengenai peramalan time series, studi integrasi pasar kedua komoditas
tersebut serta studi mengenai pengaruh kebijakan terhadap petani dan konsumen
bukan menjadi bagian dari penelitian ini. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi siapa saja dengan latar belakang apapun baik dari kalangan
pemerintahan, pengusaha, maupun masyarakat yang memiliki perhatian yang
khusus terhadap kondisi pasar CPO dan pasar minyak goreng sawit Indonesia.
![Page 23: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/23.jpg)
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agribisnis Kelapa Sawit
Indonesia telah memulai upaya pengintroduksian tanaman kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) sejak tahun 1848 yaitu dengan penanaman empat pohon kelapa
sawit di Kebun Raya Bogor. Hingga sekarang, perkembangan penanaman kelapa
sawit secara komersil terus meluas di berbagai daerah di Indonesia, sehingga
kelapa sawit telah menjadi komoditas penghasil minyak nabati terbesar di dunia.
Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763
berdasarkan pengamatan pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique,
kawasan Hindia Barat, Amerika Tengah. Kata Elaeis (Yunani) berarti minyak,
sedangkan kata guineensis dipilih berdasarkan keyakinan Jacquin bahwa kelapa
sawit berasal dari Guinea (Afrika). Taksonomi kelapa sawit secara umum sebagai
berikut :
Divisi : Tracheophyta
Subdivisi : Pteropsida
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledoneae
Ordo : Spadiciflorae (Arecales)
Familia : Palmae (Arecaceae)
Subfamilia : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
Pengusahaan kelapa sawit di Indonesia terdiri dari tiga bentuk utama, yaitu
perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta, dan perkebunan besar negara.
Bentuk lain dari pengusahaan kelapa sawit dikenal dengan PIR (Perusahaan Inti
Rakyat), yang pada dasarnya merupakan bentuk gabungan antara perkebunan
rakyat dengan perkebunan besar negara atau dengan perkebunan besar swasta.
Pelaksanaan usaha tani di bidang perkebunan, termasuk di dalamnya
kelapa sawit, harus berpedoman kepada Tridarma Perkebunan yang berbunyi
sebagai berikut:
![Page 24: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/24.jpg)
9
1. Menghasilkan devisa maupun rupiah bagi negara dengan cara seefisien-
efisiennya.
2. Memenuhi fungsi sosial, di antaranya berupa pemeliharaan atau penambahan
lapangan kerja bagi warga negara Indonesia.
3. Memelihara kekayaan alam, berupa pemeliharaan dan peningkatan kesuburan
tanah dan tanaman yang berwawasan kelestarian lingkungan.
Usaha tani kelapa sawit, seperti halnya dengan jenis-jenis usaha tani
lainnya, dibina secara langsung oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Peran
instansi-instansi baik di luar maupun di dalam lingkup Departemen Pertanian dan
Perkebunan sendiri juga sangat diperlukan dalam upaya pengembangan
pengusahaan kelapa sawit.
Berdasarkan kajian Mangoensoekarjo dan Tojib (2000), keterkaitan dalam
ruang lingkup Direktorat Jendral Perkebunan pada usaha tani kelapa sawit
dikaitkan dengan penerapan pola PIR. Peran beberapa bagian atau instansi seperi
Tim khusus PIR (TK PIR), instansi-instansi eselon I dalam Departemen Pertanian
dan Perkebunan yang lingkup tugasnya bersifat sektoral (mencakup seluruh tubuh
Departemen), yaitu sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian
dan Pengembangan (Litbang) dan Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan
(Badan Diklatluh) berperan serta sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.
Selain itu beberapa Biro lain seperti Biro Perencanaan dapat memberikan saran
dan masukan-masukan yang berharga. Penyediaan teknologi dan bibit unggul
sebagai peran Badan Litbang, pada prakteknya dilakukan oleh lembaga-lembaga
penelitian kelapa sawit. Program-program pelatihan kepada para pembina
lapangan dan petani apabila dianggap perlu merupakan peran Badan Litbang
Departemen Pertanian dan Perkebunan.
Keterkaitan luar lingkup Departemen Pertanian dan Perkebunan
menyangkut program atau proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Program atau proyek ini termasuk dalam skala besar dilihat dari luas arealnya,
tenaga kerja yang diserap, dan dana yang dibutuhkan. Oleh karena itu, program ini
termasuk dalam pembinaan Departemen Keuangan dan Menteri Negara
Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas/BPPT. Menteri Negara
tersebut melakukan koordinasi lintas sektoral secara intensif dalam perencanaan,
![Page 25: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/25.jpg)
10
pelaksanaan, dan pengawasan sejumlah program serupa. Peran Badan Koordinasi
dan Penanaman Modal (BKPM), baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam
penelaahan dan penilaian program ini karena menyangkut penanaman modal
dalam jumlah besar yang modal investasi dapat berasal dari dalam atau luar
negeri.
2.1.1 Pengolahan Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak.
Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal
sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak
yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Selain
minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut,
cangkang (tempurung), dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini
dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak, dan bahan
untuk industri.
Keunggulan minyak sawit dapat dilihat dari susunannya yang terdiri dari
asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Minyak kelapa sawit juga
mengandung beta karoten atau pro-vitamin A, antioksidan, dan pro-vitamin E
(tokoferol dan tokotrienol) yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme dan
untuk kesehatan tubuh manusia.
Produk kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam jenis bahan makanan
(oleofood), bahan non makanan (oleochemical), dan bahan kosmetika dan farmasi.
Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan
diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan hidrogenasi. Umumnya CPO
sebagian besar difraksionasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi
stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, sedangkan fraksi
stearin untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan baku olein
antara lain: minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak
(shortening), bahan pengisi (adatif), industri makanan ringan dan sebagainya.
Minyak kelapa sawit sebagai bahan bukan pangan dapat dipakai untuk
bahan industri berat maupun ringan, antara lain untuk industri penyamakan kulit
agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit
![Page 26: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/26.jpg)
11
sebagai minyak pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi. Minyak
kelapa sawit pun digunakan industri perak sebagai bahan flotasi pada pemisahan
bijih tembaga dan cobalt, dan pada industri ringan dipakai sebagai bahan baku
sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak, dan sebagainya.
Pengolahan minyak kelapa sawit melalui proses hidrolisis menghasilkan
asam lemak dan gliserin, yang selanjutnya dapat diproses menjadi turunan-
turunan asam lemak, seperti amine alkohol dan metilester. Bahan-bahan ini dapat
dipakai sebagai bahan dasar pembuatan cat dinding atau cat kayu, tinta cetak,
pasta gigi, pembuatan plastik, minyak diesel, kerosen, atau gasoline.
Minyak kelapa sawit selain untuk industri bahan makanan dan non
makanan, juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan
industri farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak
dipakai untuk pembuatan shampo, krim, minyak rambut, sabun cair, lipstik dan
sebagainya. Prospek pemakaian dan kebutuhan akan minyak kelapa sawit untuk
keperluan pangan menurut Mangoensoekarjo dan Tojib (2000), banyak ditentukan
oleh situasi pasar minyak kedelai, sedangkan untuk keperluan non pangan
ditentukan keadaan pasar lemak sapi (tallow). Lemak sapi sabagai lemak non
pangan merupakan produk yang murah, karena merupakan hasil sampingan
produk daging. Asam lemak sangat tepat dan ekonomis apabila dihasilkan dari
produk ikutan proses fraksinasi dan rafinasi minyak kelapa sawit yaitu acid oil
yang harganya dapat menyaingi harga tallow.
2.1.2 Minyak Goreng Kelapa Sawit
Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang
dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di
pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula
dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman selama
ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak
ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.
Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau
hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya
![Page 27: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/27.jpg)
12
digunakan untuk menggoreng makanan9. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya
dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan,
jagung, kedelai, dan kanola.
Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, pada masa sebelum orde
baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh
jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi
kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak
goreng asal sawit. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak kelapa
mengandung lemak jenuh dalam jumlah tinggi. Rendahnya lemak jenuh dalam
minyak sawit karena produksi minyak sawit melalui proses pemanasan dan
pengepresan.
Besarnya kebutuhan minyak goreng domestik Indonesia menjadikan
peranan pengembangan agribisnis minyak goreng sangat penting artinya bagi
perekonomian nasional. Hal ini mencakup penciptaan nilai tambah, penyerapan
tenaga kerja, penciptaan dan atau penghematan devisa serta pendapatan petani
penghasil bahan baku penghasil minyak goreng.
Agribisnis minyak goreng secara umum berdasarkan definisi Sumaryanto
dan Rantetena (1996), merupakan keseluruhan rangkaian proses mulai dari
produksi bahan baku, pengolahan bahan baku tersebut menjadi minyak goreng,
dan pemasaran produk akhir minyak goreng yang dihasilkan. Sistem produksi
bahan baku sangat tergantung pada jenis minyak goreng. Bahan baku untuk
minyak goreng asal kelapa, sebagian besar berasal dari hasil produksi perkebunan
rakyat. Untuk minyak goreng asal sawit, sebagian besar bahan bakunya berasal
dari hasil produksi perkebunan milik negara dan perkebunan besar swasta.
Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan
swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas
strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu
memantau perkembangan pemasarannya tersebut agar ketersediaannya di pasar
mencukupi dengan harga relatif stabil. Salah satu cara untuk mengindentifikasi
jaringan agribisnis minyak goreng adalah dengan mengetahui pohon industri dari
bahan bakunya. Pohon industri komoditas bahan baku menyajikan ragam jenis,
9 http://id.wikipedia.org [10 juli 2007]
![Page 28: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/28.jpg)
13
alur dan jaringan produk olahan dari bahan baku tersebut (kelapa sawit). Pohon
industri kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Ekspor CPO
Penelitian Mahisya (2004) mengenai analisis permintaan ekspor CPO
Indonesia melalui pendekatan Error Correction Model memberikan hasil
berdasarkan variabel jangka pendek dan jangka panjangnya. Variabel jangka
pendek yaitu harga domestik, lag tiga harga ekspor, lag tiga nilai tukar,
memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume ekspor CPO Indonesia pada
taraf nyata 20 persen dengan pengaruh yang paling besar adalah lag tiga harga
ekspor. Demikian juga variabel jangka panjangnya, hanya variabel harga domestik
dan pertumbuhan ekspor yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor pada
taraf nyata 15 persen. Hal ini berimplikasi, volume permintaan ekspor CPO
Indonesia dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh keseimbangan pasar
dunia. Pengaruh variabel nilai tukar dan dummy hanya bersifat sementara (tidak
kontinu), sehingga lebih merepresentasikan persamaan jangka pendek dibanding
jangka panjang yang tidak berpengaruh nyata.
Volume permintaan ekspor CPO Indonesia membentuk pola yang khas.
Volume tertinggi ekspor terjadi pada akhir tahun, yaitu antara bulan Nopember
dan Desember, kemudian turun drastis pada awal tahun (Januari). Kondisi ini
terjadi berulang tiap tahunnya mengindikasikan pertumbuhan yang proporsional
terhadap tahun sebelumnya. Permintaan ekspor CPO Indonesia mengalami
pertumbuhan rata-rata perbulannya sebesar 1.82 kali.
2.2.2 Harga CPO
Hasil analisis pola data yang dilakukan di tiga pasar (pasar fisik Medan,
pasar berjangka Malaysia dan Rotterdam) berdasarkan penelitian Suganda (2006),
selama dua tahun (2004 2005) harga CPO di pasar fisik dan berjangka secara
umum mengalami trend penurunan harga. Penurunan harga CPO disebabkan oleh
faktor pasokan yang berlebih. Malaysia sebagai produsen CPO terbesar pertama di
![Page 29: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/29.jpg)
14
dunia mengalami kelebihan stok hingga 1.4 juta ton pada akhir Desember 2004.
Model peramalan terbaik untuk pasar berjangka Rotterdam adalah Model ARIMA
(2,0,0)(2,1,0)7, pasar berjangka Malaysia adalah ARIMA (2,0,0), dan pasar fisik
Medan ARIMA (1,0,0)(1,1,0)4.
2.2.3 Minyak Goreng
Penelitian Wijayanti (2006) mengenai analisis input-output peranan
industri minyak goreng dalam perekonomian Indonesia memperoleh hasil bahwa
industri minyak goreng merupakan salah satu industri yang mempunyai
keterkaitan yang besar terhadap sektor-sektor lain dalam penyediaan input.
Analisis keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung menunjukkan industri
minyak goreng memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi dibanding
keterkaitan di depannya, sehingga industri minyak goreng mempunyai keterkaitan
yang kuat dengan sektor perdagangan dan kelapa sawit.
2.2.4 Hubungan Perdagangan CPO Terhadap Pasar Minyak Goreng Sawit
Prahastuti (2000), melalui pendekatan model regresi berganda mencoba
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit
(CPO) serta keterkaitan pasar CPO dan minyak goreng sawit di Indonesia.
Penelitiannya menghasilkan adanya keterkaitan yang erat antara harga CPO
domestik dengan harga minyak goreng sawit di tingkat perdagangan besar
maupun ecerannya. Ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO
domestik, produksi CPO dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika.
Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng sawit dipengaruhi oleh ekspor CPO,
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga CPO domestik, dan penawaran
CPO domestik.
Pembentukan harga CPO domestik dipengaruhi fluktuasi nilai tukar
Rupiah dan Dollar Amerika sedangkan harga ekspor CPO dan penawaran
domestiknya cenderung tidak mempengaruhi dalam pembentukan harga CPO
domestik. Harga ekspor CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO dunia dan
produksi CPO domestik, sedangkan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
![Page 30: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/30.jpg)
15
cenderung tidak mempengaruhi pembentukan harga minyak goreng sawit di
Indonesia.
Produksi minyak goreng sawit di Indonesia dipengaruhi penawaran CPO
domestik. Harga minyak goreng sawit, harga CPO domestik dan pemberlakuan
kebijakan pembatasan ekspor cenderung tidak mempengaruhi minat produsen
untuk memproduksi minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit
dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO domestik, sedangkan produksi CPO dan
produksi minyak goreng sawit cenderung tidak mempengaruhi pembentukan
harga minyak goreng sawit di Indonesia.
2.2.5 Permintaan Barang Input
Analisis permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia yang
dilakukan Afifa (2006) berusaha untuk menjawab keragaan perekonomian kedelai
dan industri kecap di Indonesia serta faktor yang mempengaruhi permintaan
kedelai pada industri kecap. Penelitian ini dilakukan dengan model persamaan
tunggal melalui metode OLS (Ordinary Least Square).
Hasil dari penelitian ini, bahwa sekitar 71.3 persen keragaman permintaan
kedelai pada industri kecap dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel dalam
model. Peubah yang berpengaruh positif pada model permintaan kedelai oleh
industri kecap adalah harga kecap, nilai tukar rupiah dan jumlah perusahaan
kecap. Sisanya, produksi kecap, harga kedelai, permintaan kedelai tahun
sebelumnya dan variabel dummy secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap
model.
2.2.6 Pajak Ekspor
Nurdiyani (2007) dalam penelitiannya mencoba menganalisis dampak
rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao
Indonesia dengan menggunakan model integrasi pasar berupa model
Autoregressive Distributed Lag. Hasil dari penelitiannya, terkait dengan rencana
pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor kakao, penerapan kebijakan ini
pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao dalam negeri semakin tidak
terintegrasi.
![Page 31: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/31.jpg)
16
Adanya kebijakan pungutan ekspor ini akan berimplikasi pada:
melemahnya posisi daya saing ekspor kakao Indonesia di dunia, menurunnya
bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, bagi pedagang (eksportir)
pungutan ekspor mungkin tidak begitu berpengaruh meskipun akan memicu
kegiatan penyelundupan, bagi pihak industri pungutan pajak akan menjamin
ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah akan
menjadi alternatif pendapatan bukan pajak.
2.2.7 Perdagangan Internasional Komoditas Lain
Penelitian Hamdani (2006) terhadap perdagangan udang Indonesia di
pasar Eropa menggunakan model persamaan simultan melalui metode two stages
least squares (2SLS) dalam menganalisis topik amatannya. Hasil yang didapat
dari penelitian ini menunjukkan bahwa model penawaran ekspor udang Indonesia
dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor udang Indonesia di pasar Eropa, nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS, produksi udang Indonesia dan lag ekspor udang
Indonesia ke Eropa. Pembentukan harga udang di pasar Eropa sangat dipengaruhi
oleh total impor udang negara Eropa dan peubah harga udang dunia. Tingkat
pendapatan per kapita masing-masing negara pengimpor udang di Eropa memiliki
pengaruh nyata terhadap permintaan impor udang negara Spanyol, Perancis dan
Denmark. Sementara itu, permintaan impor udang negara Inggris hanya
dipengaruhi secara nyata oleh peubah jumlah impor udang Inggris pada tahun
sebelumnya.
2.2.8 Penggunaan Metode Simultan
Penelitian yang dilakukan Suparno (2003), mencoba untuk menganalisis
kebijakan tataniaga gula terhadap kesejahteraan petani tebu di Indonesia.
penelitian ini betujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
tataniaga gula Indonesia dan juga menguji beberapa kebijakan pemerintah dengan
kaitannya terhadap kesejahteraan petani tebu.
Model yang dibangunnya terdiri dari beberapa persamaan yaitu penawaran
gula domestik, produksi gula total, produksi tebu, luas areal tanaman tebu,
produktivitas tebu, permintaan tenaga kerja usaha tani tebu, harga provenue, stok
![Page 32: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/32.jpg)
17
gula, impor gula Indonesia, harga impor gula Indonesia, permintaan gula
domestik, permintaan gula rumah tangga, harga nominal eceran gula, dan
permintaan gula industri. Suparno juga melakukan simulasi kebijakan dan non
kebijakan yang dilihat dari dua periode perdagangan yaitu pra dan pasca
liberalisasi perdagangan gula.
2.2.9 Penelitian Yang Akan Dilakukan
Penelitian-penelitian terdahulu di atas, telah banyak membantu penulis
dalam membangun model dalam merepresentasikan fenomena mengenai pengaruh
ekspor CPO terhadap harga minyak goreng Indonesia. Variabel-variabel ekspor
CPO banyak diturunkan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
Mahisya (2004). Harga dan model permintaan bahan input banyak diturunkan
beturut-turut berdasarkan penelitian Prahastuti (2000) dan Afifa (2006).
Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan
Prahastuti (2000) yaitu dalam hal objek serta fenomena yang akan diteliti.
Perbedaanya, penelitian ini menggunakan beberapa variabel tambahan baik pada
variabel penjelas maupun responnya berdasarkan kondisi terbaru (up to date) dan
pendalaman informasi yang telah penulis lakukan. Prahastuti (2002) dalam
menganalisis penelitiannya menggunakan model persamaan regresi linear
berganda, sedangkan penelitian ini menggunakan model persamaan simultan,
seperti yang digunakan Suparno (2003). Hal ini dilakukan agar dapat lebih baik
dalam merepresentasikan dan menjelaskan data berdasarkan fenomena yang
terjadi.
![Page 33: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/33.jpg)
BAB 3 KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional berdasarkan Salvatore (1997), merupakan
teori untuk menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta
keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan perdagangan internasional membahas
alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal-hal menyangkut
proteksionisme baru (new protectionism).
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek
mikroekonomi ilmu ekonomi internasional, sebab berhubungan dengan masing-
masing negara sebagai individu yang diperlukan sebagai unit tunggal, serta
berhubungan dengan harga relatif satu komoditas. Di sisi lain, karena neraca
pembayaran berkaitan dengan total penerimaan dan pembayaran, sementara
kebijakan penyesuaian mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan indeks
harga umum, maka kedua hal ini menggambarkan aspek ilmu ekonomi
internasional atau sering disebut ilmu makroekonomi perekonomian terbuka
(open-economy macroeconomics) atau keungan internasional (international
finance).
Pertanyaan-pertanyaan pokok yang sering muncul dalam konsep dan teori
perdagangan internasional atas berlangsungnya perdagangan antar dua negara
yaitu : Apa yang menjadi dasar dari perdagangan (the basis for trade) serta apa
saja keuntungan yang diperoleh dari perdagangan (the gains from trade). Seperti
halnya seorang individu, sebuah negara kemungkinan hanya akan melakukan
perdagangan secara sukarela jika negara tersebut memperoleh keuntungan dari
perdagangan tersebut, namun bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan ? Lalu,
seberapa besar keuntungan tersebut dan bagaimana keuntungan itu dibagi-bagi di
antara negara-negara yang berdagang. Pertanyaan pokok berikutnya adalah
bagaimana dengan pola perdagangan (the pattern of trade) ? Artinya, komoditas
apa yang diperdagangkan dan komoditas mana yang diekspor dan diimpor oleh
masing-masing negara ?
![Page 34: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/34.jpg)
19
3.1.2 Teori Ekspor Impor
Menurut Gonarsyah (1987), ada beberapa faktor yang mendorong
timbulnya perdagangan internasional (ekspor atau impor) suatu negara dengan
negara lain yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran komoditas ekspor,
memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan
permintaan dan penawaran antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan
kebutuhan masyarakat, serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam
menghasilkan komoditas tertentu.
Secara teoritis, kegiatan ekspor atau volume ekspor suatu komoditas dari
suatu negara ke negara lain menurut Kindleberger dan Lindert (1995) merupakan
selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai
kelebihan penawaran (excess supply). Kelebihan penawaran dari negara tersebut
merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan
permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran
domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh kondisi pasar dunia seperti harga
komoditas itu sendiri dan komoditas subtitusinya di pasar internasional serta hal-
hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung.
Analisa penawaran ekspor dan permintaan impor pada pasar internasional
dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan konsep dasar fungsi
penawaran dan permintaan domestik untuk kasus dua negara dengan suatu
komoditas perdagangan tertentu, sebagai contoh komoditas CPO. Misalkan,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, dengan tanpa adanya perdagangan
internasional negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A pada
harga relatif sebesar P1, sedangkan negara 2 akan berproduksi dan berkonsumsi di
titik A pada harga relatif P3. Adanya hubungan dagang antara negara 1 dan 2,
harga relatif akan berkisar antara P1 dan P3. Apabila harga yang berlaku berada di
atas P1, maka negara 1 akan memasok CPO lebih banyak dari tingkat permintaan
domestik. Kelebihan produksi tersebut selanjutnya akan diekspor ke negara 2,
sedangkan pada negara 2 yang menghadapi harga di bawah P3 akan mengalami
peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi dari produksi
domestiknya dan kekurangan akan diimpor dari negara 1.
![Page 35: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/35.jpg)
20
Px/Py Px/Py Px/Py
SX
P3 Ekspor A P3
E*P2 B E B* B E
P1 A A* D Impor Dx
Dx 0 X 0 X 0 X
Negara 1 Perdagangan Internasional Negara 2
(Exporter) (Importer)
Gambar 4. Mekanisme Perdagangan InternasionalSumber : Salvatore. 1997
Harga relatif pada P2, kuantitas impor CPO yang diminta oleh negara 2
(B ) sama dengan kuantitas ekspor CPO yang ditawarkan negara 1 (BE). Hal
tersebut diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan S setelah CPO
diperdagangkan antara kedua negara. Oleh karena itu, P2 adalah harga relatif
ekuiblirium untuk CPO setelah perdagangan internasional berlangsung. Apabila
Px/Py lebih besar dari P2 maka kuantitas ekspor CPO yang ditawarkan akan
melebihi tingkat permintaan impor, sehingga lambat laun harga relatif CPO
(Px/Py) akan mengalami penurunan dan pada akhirnya akan sama dengan P2.
3.1.3 Penawaran Ekspor CPO
Teori penawaran bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran. Penawaran suatu komoditas baik barang maupun jasa
adalah jumlah komoditas yang ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan
tingkat harga serta waktu tertentu. Penawaran ekspor suatu negara, dalam
pengertian yang lebih luas, merupakan kelebihan penawaran domestik produksi
barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara bersangkutan
atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan (Kindleberger dan Lindert, 1995).
Berdasarkan pengertian tersebut, ekspor suatu negara dapat didefinisikan sebagai
berikut :
![Page 36: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/36.jpg)
21
Xt = Qt Ct + St
Dimana :
Xt = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke - t
Qt = Jumlah produksi komoditas suatu negara pada tahun ke - t
Ct = Jumlah konsumsi komoditas suatu negara pada tahun ke - t
St = Jumlah persediaan komoditas suatu negara pada tahun ke t
Indonesia sebagai negara pengekspor CPO terbesar di dunia, berdasarkan
persamaan di atas, relatif sangat kecil dalam mengimpor CPO dibanding jumlah
produksi domestiknya. Oleh karena itu, variabel impor dalam mengukur
perdagangan CPO Indonesia dapat diabaikan. Konsumsi (permintaan) CPO
domestik Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga domestik CPO yang berlaku.
Hal ini menyangkut pada kesediaan industri-industri pengolahan CPO untuk
membeli CPO pada tingkat harga tertentu yang sesuai dengan daya belinya.
Penawaran ekspor CPO juga dipengaruhi oleh kebijakan hambatan perdagangan
yaitu penetapan pajak ekspor oleh pemerintah dan kondisi harga CPO dunia,
mengingat tingginya permintaan dunia akan komoditas CPO, yang dapat
mempengaruhi keseimbangan permintaan dan penawaran CPO domestik. Selain
itu, perbedaan nilai tukar mata uang, yang pada umumnya menggunakan hard
currency (US $), dapat menjadi insentif tersendiri bagi industri CPO untuk
mengekspor komoditas tersebut di pasar internasional.
3.1.4 Produksi Minyak Goreng Sawit (MGS)
Lipsey et al. (1995) mendefinisikan penawaran atau bisa juga disebut
kuantitas yang ditawarkan merupakan jumlah komoditas yang akan dijual oleh
perusahaan. Kuantitas atau jumlah yang ditawarkan merupakan arus, yaitu
banyaknya per satuan waktu. Jumlah komoditas yang akan ditawarkan perusahaan
untuk dijual tidak harus merupakan jumlah yang berhasil dijual perusahaan.
artinya, pembelian yang diinginkan tidak harus sama dengan penjualan yang
diinginkan, maka jumlah yang diminta tidak harus sama dengan jumlah yang
ditawarkan. Tetapi, karena tidak seorang pun dapat membeli sesuatu yang tidak
![Page 37: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/37.jpg)
22
dijual seseorang, jumlah yang sebenarnya dibeli harus sama dengan jumlah yang
sebenarnya dijual.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penawaran suatu industri
pertanian terhadap produk atau komoditas yang dihasilkannya menurut
Soekartawi (2002) antara lain teknologi, harga input, harga produk yang lain,
jumlah produsen, harapan produsen terhadap harga produksi di masa mendatang,
dan elastisitas produksi Telah dijabarkan sebelumnya bahwa MGS merupakan
produk turunan (derived product) CPO. Karena itu, produksi MGS oleh industri
terintegrasi dengan sistem permintaan CPOnya. Hal ini terkait erat dengan
permintaan primer (primary demand) dan permintaan turunan (derived demand).
Permintaan turunan digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input
yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Jumlah barang input yang
diminta dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan dan harga output yang
dihasilkan. Berdasarkan pengertian di atas, fungsi utama produksi suatu negara
dapat di tulis sebagai berikut :
Qst = f ( Pt , PAt , PIt , Tt , It , CDt , Qst-1 )
dimana:
Qst = Produksi suatu komoditas pada tahun ke - t
Pt = Harga output yang dihasilkan pada tahun ke - t
PAt = Harga komoditas alternatif pada tahun ke - t
PIt = Harga input pada tahun ke - t
Tt = Tingkat penggunaan teknologi pada tahun ke - t
It = Jumlah perusahaan pada tahun ke - t
CDt = Konsumsi barang input pada tahun ke - t
Qst-1 = Produksi suatu komoditas pada tahun t-1
Teknologi, di dalam konteks penelitian ini, diasumsikan konstan (sama
dengan nol) atau dapat diartikan perusahaan memiliki tekonologi yang sama
dalam memproduksi MGS. Harga barang lain pun dianggap nol karena mayoritas
penduduk Indonesia (rumah tangga atau industri) menggunakan MGS sebagai
bahan pembantu konsumsi, sehingga diasumsikan komoditas lain relatif belum
menjadi alternatif pilihan.
![Page 38: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/38.jpg)
23
3.1.5 Konsumsi Minyak Goreng Sawit
Lipsey et al. (1995) beranggapan bahwa permintaan merupakan unsur
penting untuk menjelaskan harga pasar dan bentuk kurva permintaan
mempengaruhi prilaku pasar. Permintaan (demand) adalah banyaknya jumlah
barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada
tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi permintaan dari seorang individu atau masyarakat terhadap suatu
barang, diantaranya adalah harga barang yang dimaksud, tingkat pendapatan,
jumlah penduduk, selera dan ramalan atau estimasi di masa yang akan datang,
serta harga barang lain baik subtitusi maupun komplementer (di dalam konteks
penelitian ini dianggap nol). Fungsi konsumsi yang terbentuk dari pengertian di
atas sebagai berikut:
Qdt = f (Pt , PAt , Wt , PNDt , Qdt-1)
dimana:
Qdt = Konsumsi pada tahun ke - t
Pt = Harga produk pada tahun ke - t
PAt = Harga produk alternatif pada tahun ke - t
Wt = Tingkat pendapatan pada tahun ke - t
PNDt = Jumlah penduduk pada tahun ke - t
Qdt-1 = Konsumsi pada tahun ke t-1
3.1.6 Pembentukan Harga
Penentuan harga di dalam perdagangan internasional menurut Salvatore
(1997), didasarkan pada harga relatif dari komoditas yang dipertukarkan di
masing-masing negara. Harga relatif komoditas dalam kondisi equilibrium tercipta
ketika proses perdagangan internasional telah berlangsung cukup lama. Harga
tersebut tercipta setelah hubungan dagang antara kedua negara berlangsung dalam
kurun waktu yang cukup panjang sehingga tersedia cukup waktu bagi kekuatan-
kekuatan penawaran dan permintaan untuk saling bertemu dan menentukan harga
tersebut. Oleh karena itu, dari pengertian di atas dapat ditulis persamaannya
sebagai berikut :
Pt = f (Xt, Mt, Pt-1)
![Page 39: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/39.jpg)
24
Dimana:
Pt = Harga komoditas suatu negara pada tahun ke t.
Xt = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke t.
Mt = Jumlah impor komoditas suatu negara pada tahun ke t.
Pt-1 = Harga komoditas suatu negara pada tahun t-1
Keterkaitan mekanisme pembentukan harga pada pasar internasional dapat
mempengaruhi mekanisme pasar di suatu negara dan sebaliknya. Oleh karena itu,
jika harga suatu komoditas di pasaran internasional mengalami kenaikan, maka
akan berdampak terhadap kenaikan harga komoditas suatu negara. Suatu pasar
dapat terintegrasi dengan pasar lainnya apabila tidak ada hambatan dalam
mengakses informasi pada masing-masing negara. Dengan demikian, fluktuasi
harga suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain. Hal ini dapat menjadi
sinyal dalam pengambilan berbagai keputusan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang
terlibat di dalamnya.
Merujuk dari pemaparan di atas, harga minyak goreng sangat tergantung
dari harga CPO domestik sebagai bahan inputnya, sedangkan harga CPO
domestik tidak terlepas dari pengaruh mekanisme pasar internasional. Karena itu,
segala sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme pengendalian harga CPO
domestik akan mempunyai pengaruh terhadap kondisi harga minyak goreng sawit
domestik. Instrumen kebijakan pengendalian salah satunya adalah pajak ekspor.
Minyak goreng sawit sebagai produk konsumsi, secara ekonomi, tentunya
berkaitan erat dengan nilai uang tersebut atau kurs nominalnya (nilai uang
domestik dibandingkan dengan nilai uang negara lain). Hal ini terkait dengan
kemampuan uang tersebut dalam membeli suatu barang tertentu. Mankiw (2003)
memaparkan bahwa antara inflasi (naiknya harga-harga barang konsumsi) dan
kurs nominal mempunyai hubungan berlawanan. Oleh karena itu, persamaan baru
diperoleh:
Pt = f (Xt, Mt, Txt, ERt, Pt-1)
Dimana:
Txt = Penerapan kebijakan proteksi pasar (pajak ekspor) pada tahun ke t.
ERt = Nilai tukar mata uang terhadap mata uang negara lain pada tahun ke t.
![Page 40: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/40.jpg)
25
3.1.7 Kebijakan Pajak Ekspor
Salvatore (1997), menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan secara
bebas (free trade) akan dapat memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi
setiap negara yang terlibat di dalamnya. Pada kenyataannya, hampir setiap negara
menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan
internasional secara bebas. Hambatan-hambatan tersebut terkait berkaitan erat
dengan praktek dan kepentingan atau komersial dari masing-masing negara.
Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting secara historis adalah
tarif (tariff). Tarif adalah hambatan perdagangan internasional berupa pajak atau
cukai yang dikenakan untuk suatu komoditas yang diperdagangkan lintas-batas
teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, terdapat dua macam tarif, yaitu tarif
impor (import tariff) adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditas yang
diimpor dari negara lain; dan tarif ekspor (export tariff) adalah pajak untuk setiap
komoditas yang diekspor.
Pajak ekspor menurut Piermartini (2004) banyak diterapkan di negara
berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan
menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Produk yang menjadi subjek
pembebanan pajak ekspor biasanya merupakan produk-produk pertanian seperti
gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan,
mineral, produk logam dan produk kulit.
Piermartini lebih lanjut menjelaskan bahwa efek pajak ekspor tergantung
pada kekuatan pasar yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negara yang
memiliki kekuatan pasar akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa
kekuatan pasar dalam mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan,
dan distribusi pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negara
yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan nasional. Karena itu, apabila terjadi peningkatan perdagangan,
hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.
Helpman dan Krugman dalam Rifin (2005) memaparkan bahwa penerapan
pajak ekspor akan mengurangi harga domestik, sementara itu harga ekspor akan
meningkat. Gambar 5 di bawah ini menggambarkan efek pajak ekspor sebesar t.
Harga domestik akan turun menjadi Pt, mengurangi surplus konsumen dan surplus
![Page 41: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/41.jpg)
26
produsen oleh area PfECPt. Pendapatan dari hasil pajak akan sepadan dengan
volume setelah pajak dikalikan dengan tarif pajak atau area P*tACPt. Hilangnya
pajak sama dengan area BCE dan keuntungan perdagangan sepadan dengan area
P*tABPf.
Harga
P*t = Pt+t A S
Pf B
Pt CE
D
Xt Xf Kuatitas Ekspor
Gambar 5. Pembebanan Pajak EksporSumber : Helpman dan Krugman dalam Rifin. 2005
Kebijakan pajak ekspor ini bukannya tidak lepas dari pro dan kontra.
Menurut Arifin (2007), dampak buruk yang akan ditimbulkan PE mulai dari
tekanan pada harga beli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani,
dampak transfer sumberdaya (resource transfer) dari produsen CPO kepada
industri minyak goreng, sampai pada integrasi industri hulu-hilir yang justru
menjadi ancaman baru bagi sistem persaingan usaha yang sehat. Khusus pada
dampak yang pertama, transfer pembebanan tambahan PE yang selama ini
dirasakan oleh pengusaha kepada petani sawit akan mengakibatkan turunnya
harga jual TBS. Tentunya petani lah yang akan menjadi korban dari penerapan PE
ini.
Berdasarkan Gambar 6 berikut, P0 merupakan harga saat tidak
dikenakannya pajak ekspor yaitu kondisi dimana harga ekspor akan sama dengan
harga domestik. Saat itu, jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan
jumlah yang diminta perusahaan domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya CPO
yang diekspor sebesar Q1Q2. Ketika terjadi pengenaan pajak ekspor sebesar lima
persen pada bulan Juli 2007, kurva penawaran akan bergeser (Se) ke kiri atas
menjadi Se1. Saat itu, harga ekspor sebesar Pe1 dan yang diterima eksportir sebesar
P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan
![Page 42: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/42.jpg)
27
sebesar Q4, sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik sebesar Q1,
sehingga jumlah CPO yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4.
Pasar Dalam Negeri Pajak Ekspor
Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor CPO Terhadap Industri CPOSumber: Puteri et al., 2006
Setiap pungutan apa pun yang ditujukan kepada pelaku ekonomi,
eksportir atau pedagang CPO dikhawatirkan menjadi kontra-produktif terhadap
pembentukan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani dan tentu saja
kesejahteraan petani. Harga yang turun di tingkat eksportir kemudian dialami pula
di tingkat produsen membuat posisi tawar petani sangat lemah karena tidak
banyak pilihan untuk menjual hasil produksinya. Tidak mustahil, para pedagang
menciptakan posisi oligopsonis dengan membebankan biaya pungutan ekspor
CPO ini kepada petani.
Hal yang sebaliknya terjadi ketika pemerintah menurunkan pajak ekspor
dari tiga persen menjadi 1.5 persen pada bulan Oktober 2005, kurva penawaran
ekspor Se1 menjadi Se2. Bergesernya kurva penawaran ini membuat harga ekspor
turun dari Pe1 menjadi Pe2, sehingga harga yang diterima eksportir (produsen)
meningkat dari P1 menjadi P2. Jumlah CPO yang ditawarkan kemudian meningkat
dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Tentunya, dengan kenaikan harga CPO yang diterima
produsen akan berdampak pada kenaikan harga TBS yang kemudian akan
meningkatkan pendapatan petani sawit.
Arifin (2007) menjabarkan ada dua hal yang perlu diperhatikan agar
kebijakan protektif seperti PE menjadi efektif. Pertama, adanya rencana strategis
![Page 43: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/43.jpg)
28
pengembangan industri berbasis agro melalui skema pengembangan industri hilir
terintegrasi, selain minyak goreng seperti oleokimia, shortening, margarine,
kosmetika, biodiesel, dan sebagainya. Kedua, membentuk kerjasama antara
pemerintah dan stakeholders di bidang agro-industri perkebunan untuk
mewujudkan earmarking dari PE CPO dan produk turunannya. Tindakan
earmarking atau penandaan alokasi anggaran pemanfaatan penerimaan negara
dari PE CPO untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan keadilan bagi segenap
stakeholders. Contoh pelaksanaannya sebagai berikut: peningkatan kesejahteraan
petani sawit, pengembangan industri hilir berbasis kelapa sawit, pembenahan
kemitraan pelaku kecil dan besar, perbaikan kualitas penelitian dan
pengembangan (Litbang) bidang agroindustri dan bahkan untuk subsidi harga
minyak goreng bagi golongan kurang mampu.
3.1.8 Model Persamaan Simultan
Sifat dasar dari model persamaan simultan berdasarkan penjelasan
Gujarati (2003), ada hubungan dua arah (simultan) antara satu atau beberapa
variabel penjelas, yang membuat perbedaan antara variabel tak bebas dan variabel
yang menjelaskan menjadi meragukan. Karena itu, lebih baik untuk
mengumpulkan bersama-sama sejumlah variabel yang dapat ditentukan secara
simultan oleh kumpulan variabel sisanya. Model seperti ini ada lebih dari satu
persamaan, satu untuk tiap variabel tak bebas, atau bersifat endogen atau
gabungan, atau bersama. Tidak seperti model persamaan tunggal, dalam model
persamaan simultan parameter dari satu persamaan tunggal tidak mungkin ditaksir
tanpa memperhitungkan informasi yang diberikan oleh persamaan lain dalam
sistem.
Model persamaan simultan terdiri dari dua jenis: bersifat endogen, yaitu
variabel-variabel yang nilainya ditetapkan di dalam model; dan predeterminded
(ditetapkan lebih dulu), yaitu variabel yang nilainya ditetapkan di luar model.
Variabel predeterminded dibagi dalam dua kategori: bersifat eksogen, baik saat ini
maupun lag, dan yang bersifat endogen lag, dimana ketiga variabel tersebut
nilainya tidak ditetapkan oleh model dalam periode saat ini, namun dianggap
ditetapkan lebih dahulu.
![Page 44: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/44.jpg)
29
Persamaan yang dibentuk di dalam suatu model ekonomi dikenal sebagai
persamaan yang bersifat struktural atau bersifat behavioral (perilaku), karena
persamaan tersebut menggambarkan struktur dari suatu model ekonomis dari
suatu ekonomi atau perilaku dari pelaku ekonomi. Bentuk struktural dari model
persamaan simultan yang berupa sistem persamaan, pada umumnya dapat ditulis
sebagai berikut:
Y1t = 11 Y1t + 12 Y2t + . . . + 1M YMt + 11 X1t + 12 X2t + . . . + 1k Xkt + u1t
Y2t = 21 Y1t + 22 Y2t + . . . + 2M YMt + 21 X1t + 22 X2t + . . . + 2k Xkt + u2t
Y1t = 31 Y1t + 32 Y2t + . . . + 3M YMt + 31 X1t + 32 X2t + . . . + 3k Xkt + u3t
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
YMt = M1 Y1t + M2 Y2t + . . . + MM YMt + M1 X1t + M2 X2t + . . . + Mk Xkt + uMt
Dimana,
Y1, Y2, ... , YM = variabel independen atau variabel endogen sebanyak M buah,
X1, X2, ... , XM = variabel eksogen (predetermined) sebanyak K buah,
u1, u2, ... , uM = variabel disturbansi (galat) sebanyak M buah,
t = 1, 2, ... , M = jumlah observasi,
= koefisien variabel endogen,
= koefisien variabel eksogen.
Penentuan variabel manakah yang dianggap eksogen dan endogen,
tergantung kepada preferensi peneliti, namun tetap berpijak pada landasan teori
yang mendasari pembangunan model tersebut. Model sistem persamaan simultan
yang dirancang (atau dibangun) dapat memberikan simulasi dari dunia nyata yang
baik apabila model tersebut mempunyai suatu galat baku (standard error) yang
kecil.
Berdasarkan model persamaan simultan di atas, kehadiran peubah Y
sebagai peubah yang menjelaskan, dapat menimbulkan permasalahan bias dalam
pendugaan model. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap asumsi klasik model
regresi linear bahwa peubah bebas tak berkorelasi dengan unsur galat.
Pelanggaran asumsi tersebut, berakibat pendugaan dengan metode kuadrat terkecil
biasa (Ordinary Least Square = OLS) akan berbias dan tak konsisten, serta akan
tetap berbias secara asimptotik walaupun contoh diperbesar (Gujarati, 2003).
Metode yang dapat digunakan untuk menanggulangi masalah korelasi antar
![Page 45: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/45.jpg)
30
peubah endogen sebagai peubah bebas dengan unsur galat dari setiap persamaan
dalam model dan korelasi peubah-peubah antar persamaan dalam model adalah
metode persamaan tunggal berupa metode kuadrat terkecil dua tahap (Two-Stage
Least Square = 2SLS) dan metode sistem berupa metode kuadrat terkecil tiga
tahap (Three-Stage Least Square = 3SLS).
Metode 2SLS mencakup pemakaian kuadrat terkecil klasik terhadap dua
jenis fungsi, yaitu persamaan bentuk reduksi dan persamaan bentuk struktural
yang ditransformasi. Transformasi tersebut merupakan penggantian peubah
endogen Y oleh nilai dugaannya ( ) yang diperoleh dari persamaan bentuk
reduksi.
Menurut Koutsoyiannis (1977), penggunaan metode 2SLS didasari oleh
asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Bentuk galat u dari persamaan struktural harus memenuhi asumsi-asumsi
stokastik biasa, yaitu mempunyai rataan nol, ragam konstan dan peragam nol.
2. Bentuk galat v dari persamaan bentuk reduksi harus memenuhi asumsi-asumsi
stokastik biasa, artinya:
a. v harus mempunyai rataan nol, ragam yang konstan dan peragam nol.
b. v harus bebas dari peubah eksogen yang terdapat dalam seluruh
persamaan struktural (x1, x2, ..., xk)
Asumsi (a) biasanya dipenuhi oleh v, sebab v merupakan fungsi linear dari
unsur galat persamaan struktural u.
3. Peubah-peubah penjelas tidak bersifat multikolinear dan peubah-peubah
makroekonomi dibuat agregat secara tepat.
4. spesifikasi model diasumsikan benar, artinya peubah penjelas dalam sistem
telah diketahui.
5. Jumlah sampel (pengamatan) diasumsikan cukup besar, khususnya jumlah
pengamatan harus lebih besar dari jumlah peubah predetermined dari sistem
struktural.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Melambungnya harga minyak goreng pada kisaran Rp 8,000 Rp 9,000
per kilogramnya mempunyai andil hampir 35 persen terhadap inflasi pada bulan
![Page 46: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/46.jpg)
31
Juni 2007 yang besarnya 0.23 persen10. Pemerintah dalam hal ini sebagai regulator
kebijakan, telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan sebagai upaya
menormalkan kembali harga minyak goreng pada kisaran Rp 6,500 Rp 6,800.
Kebijakan peningkatan pajak ekspor (PE) dari 1.5 persen menjadi 6 persen dan
DMO (kewajiban pasok pasar domestik) yang dibebankan kepada produsen CPO
sebesar 100,000 ton per bulan menggantikan kebijakan operasi pasar pemerintah
yang dinilai gagal.
Kenaikan yang cukup tajam harga minyak goreng sawit hingga 40 persen
sejak April 2007 lalu, faktor dominannya disebabkan oleh kurangnya pasokan
CPO domestik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh naiknya bahan baku minyak
goreng yaitu CPO di pasar dunia. Kencenderungan harga CPO di pasar dunia
mengalami kenaikan setelah pada tahun-tahun sebelumnya pada posisi yang relatif
rendah, bahkan pada tahun 2001 harga CPO di pasar dunia sempat menembus
angka 180 Dollar AS per ton. Naiknya harga CPO di pasar dunia ini disebabkan
oleh adanya kenaikan permintaan dunia tanpa disertai oleh penawaran yang cukup
dari negara penghasil CPO dunia. Kenaikan permintaan terutama karena
meningkatnya permintaan CPO untuk keperluan industri makanan dan semakin
meningkatnya penggunaan bahan bakar biodiesel karena mahalnya harga minyak
mentah (crude oil) dunia.
Permasalahan di atas berkaitan dengan penawaran CPO itu sendiri, baik
untuk kebutuhan ekspor maupun domestik. Kondisi harga CPO dunia pun tidak
bisa dipungkiri mempunyai andil terhadap kondisi tersebut. Oleh karena itu,
penelitian ini berusaha untuk mengkaji pengaruh ekspor CPO terhadap pasar
MGS Indonesia. Selain itu, pengkajian juga ditujukan pada keefektifan kebijakan-
kebijakan pemerintah di dalam upaya stabilisasi harga MGS dan kondisi
penawaran dan permintaan pasar MGS Indonesia. Metode analisis menggunakan
persamaan simultan 2SLS. Skematika kerangka pemikiran operasional penelitian
ini disajikan pada Gambar 7.
10 http://www.metrotvnews.com [03 Juli 2007]
![Page 47: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/47.jpg)
32
: Lingkup Penelitian
Gambar 7. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
Kenaikan Harga Minyak Goreng Sawitdan Kurangnya Pasokan CPO Domestik
Penawaran CPO
Kebutuhan Domestik Kebutuhan Ekspor
Pasar Minyak Goreng Sawit
Produksi MGS
Konsumsi MGS
Analisis Model PersamaanSimultan Melalui Metode 2SLS
Evaluasi dan Rekomendasi Kebijakan
![Page 48: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/48.jpg)
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder
bentuk deret waktu tahunan (time series) dari tahun 1990 sampai dengan 2006 (17
tahun). Data-data tersebut diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan
topik penelitian. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
deskriptif dan kuantitatif. Metode analisis kuantitatif menggunakan pendekatan
model ekonometrika persamaan simultan (simultaneous-equation) dengan metode
Two Stages Least Square (2SLS) melalui program aplikasi Statistical Analysis
System (SAS) versi 16.2.
4.3 Spesifikasi Model
Model ekonometrik yang telah ditaksir dievaluasi atas dasar kreteria
tertentu, untuk melihat apakah taksiran-taksiran terhadap parameter tersebut sudah
bermakna secara teoritis dan nyata secara statistik. Untuk itu digunakan tiga
kreteria berikut:
1. Kriteria a priori ekonomi
Kriteria ini ditentukan oleh prinsip-prinsip teori ekonomi. Jika nilai
maupun tanda taksiran paarameter tidak sesuai dengan kreteria a priori maka
taksiran-taksiran ini harus ditolak, kecuali dengan alasan kuat untuk menyatakan
bahwa khusus kasus ini prinsip-prinsip ekonomi tidak berlaku.
2. Kriteria Statistik (First Order Test)
Kriteria ini ditentukan oleh teori statistik. Termasuk koefisien korelasi dan
standar deviasi dari taksiran.
3. Kriteria Ekonometrik
![Page 49: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/49.jpg)
34
Kriteria ini ditentukan oleh teori ekonometrik. Jika asumsi-asumsi teknik
ekonometrik yang diterapkan untuk menaksir parameter tidak dipenuhi, maka
taksiran-taksiran tersebut dianggap tidak memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan
Model ekonometrika dibedakan atas model persamaan tunggal (single-
equation model) dan model persamaan simultan (simultaneous-equation).
Persamaan tunggal adalah persamaan dimana peubah terikat (dependent
variables) dinyatakan sebagai sebuah fungsi dari satu atau lebih peubah bebas
(independent variables), sehingga hubungan sebab akibat antara peubah terikat
dan peubah bebas merupakan hubungan satu arah. Persamaan simultan adalah
suatu persamaan yang menggambarkan ketergantungan di antara berbagai peubah
dalam persamaan tersebut sehingga membentuk suatu sistem persamaan.
Perumusan model ekonometrika dalam penelitian ini diharapkan dapat
mengabstraksi kondisi pembentukan harga minyak goreng domestik dari
perubahan faktor-faktor permintaan (konsumsi) dan penawaran (produksi) pasar
minyak goreng. Selain itu, kondisi pasar CPO, sebagai pasar penyedia input bagi
industri minyak goreng sawit, turut diabstraksikan untuk melihat
keterhubungannya dengan pasar minyak goreng sawit melalui kondisi permintaan
dan penawaran CPO domestik yang terbentuk. Model struktural penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan: = Variabel Eksogen = Variabel Eksogen
Gambar 8. Hubungan Keterkaitan Antar Model Pengaruh Ekspor CPO TerhadapHarga Minyak Goreng Sawit Indonesia.
![Page 50: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/50.jpg)
35
Model ekonometrik fungsi struktural komoditas CPO dan minyak goreng
sawit dalam bentuk persamaan diformulasikan sebagai berikut:
1. Fungsi Ekspor CPO
XCPOt = a0 + a1 QCPOt + a2 PDCPOt + a3 PWCPOt + a4 PEt + a5 ERt +
a6 XCPOt-1 + ut
Tanda yang diharapkan a4 < 0 ; a1 , a2 , a3 , a5 , a6 > 0
2. Fungsi Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik
QMGSt = b0 + b1 PMGSt + b2 PDCPOt + b3 CCPOt + b4 XCPOt-1 + b5
MCPOt + b6 QMGSt-1 + ut
Tanda yang diharapkan b2 , b4 < 0 ; b1 , b3 , b5 , b6 > 0
3. Fungsi Konsumsi Minyak Goreng Sawit Domestik
CMGSt = c0 + c1 PMGSt + c2 GNPt + c3 ERt + c4 CMGSt-1 + ut
Tanda yang diharapkan c2 , c4 > 0 ; c1 , c3 < 0
4. Fungsi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
PMGSt = d0 + d1 PDCPOt + d2 PWCPOt + d3 PEt + d4 ERt + d5 PMGSt-1 +
ut
Tanda yang diharapkan d1 , d2 , d5 > 0 ; d3 , d4 < 0
5. Fungsi Identitas
PMGSt = XCPOt + QMGSt + CMGSt
Keterangan:
XCPOt = Ekspor CPO Indonesia pada tahun ke t
MCPOt = Impor CPO Indonesia pada tahun ke - t
QCPOt = Produksi CPO Indonesia pada tahun ke - t
PDCPOt = Harga ril CPO domestik pada tahun ke t (1996 = 100)
PWCPOt = Harga ril CPO Internasional berdasarkan CIF Rotterdam pada
tahun ke t (1996 = 100)
PEt = Pajak ekspor CPO pada tahun ke - t
ERt = Nilai tukar ril Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun ke t
(1996 = 100)
![Page 51: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/51.jpg)
36
GNPt = Produk nasional bruto berdasarkan harga berlaku pada tahun
ke - t
CCPOt = Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng Indonesia pada
tahun ke - t
QMGSt = Produksi minyak goreng domestik pada tahun ke - t
CMGSt = Konsumsi minyak goreng domestik pada tahun ke - t
PMGSt = Harga ril minyak goreng domestik pada tahun ke t (1996=100)
XCPOt-1 = lag satu tahun ekspor CPO Indonesia
QMGSt-1 = lag satu tahun produksi minyak goreng sawit domestik
CMGSt-1 = lag satu tahun konsumsi minyak goreng sawit domestik
PMGSt-1 = lag satu tahun harga ril minyak goreng domestik
4.4 Identifikasi Model
Identifikasi dalam model persamaan simultan adalah bagaimana
menyatakan koefisien struktural ( 2, , dsb) dalam bentuk koefisien model dalam
bentuk reduksi ( ). Suatu persamaan dikatakan dapat diidentifikasi (identified)
apabila perkiraan parameter struktural dapat diperoleh dari perkiraan parameter
bentuk reduksi. Persamaan yang identified dapat bersifat tepat teridentifikasi
(exactly identified), terlalu teridentifikasi (over indentified) atau kurang
teridentifikasi (under indentified). Metode yang sesuai untuk estimasi persamaan
ecaxtly identified adalah Indirect Least Square (ILS), sedangkan dalam persamaan
over identified, metode yang digunakan salah satunya adalah Two Stage Least
Square (2SLS).
Suatu kondisi yang perlu dari identifikasi sebuah model, dikenal sebagai
kondisi ordo (order condition), dapat dinyatakan dalam dua cara berbeda (tetapi
ekuivalen). Suatu model dari M persamaan simultan, agar suatu persamaan
diidentifikasikan, persamaan tersebut harus tidak memasukkan sekurang-
kurangnya M 1 variabel (endogen maupun predeterminded) yang muncul dalam
model. Jika persamaan tersebut tidak memasukkan tepat M 1 variabel,
persamaan tersebut disebut tepat diidentifikasikan (exactly identified). Jika
persamaan tadi tidak memasukkan lebih dari M 1 variabel, persamaan tersebut
![Page 52: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/52.jpg)
37
terlalu diidentifikasikan (over identified). Secara ringkas dapat ditulis sebagai
berikut, jika :
K k > m 1 = persamaan tersebut over identified
K k = m 1 = persamaan tersebut exactly identified
K k ≤ m 1 = persamaan tersebut under identified
K k < m 1 = persamaan tersebut unidentified
Dimana:
K = banyaknya variabel predeterminded dalam model
k = banyaknya variabel predeterminded dalam suatu persamaan
tertentu
M = banyaknya variabel endogen dalam model
m = banyaknya variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu.
Model yang dirumuskan di dalam penelitian ini terdiri dari lima persamaan
yang terdiri dari empat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas. Model
ini juga terdiri dari delapan peubah eksogen dan empat peubah endogen bedakala.
Berdasarkan aturan identifikasi model, persamaan yang dibangun di dalam
penelitian ini termasuk kategori over indentified, sehingga metode yang cocok
dalam menganalisis persamaan ini adalah metode 2SLS.
4.5 Simulasi Kebijakan
Sitepu dan Sinaga (2006) menjabarkan bahwa simulasi adalah bagian
integral dari pengembangan keakuratan model-model yang bertujuan untuk
menangkap perilaku suatu data historis (historical data). Simulasi yang dilakukan
pertama sekali bertujuan untuk mencari model yang tepat, bagaimana perubahan
variabel endogen sebagai suatu fungsi dari satu atau lebih variabel eksogen,
dimana ketepatan ini ditentukan oleh validasi model yang dilakukan sebelumnya.
Apabila suatu model yang tepat atau sesuai ditemukan, maka model persamaan
tersebut dapat digunakan untuk melakukan simulasi atau meramalkan nilai-nilai
variabel endogen dengan nilai tertentu variabel-variabel eksogen.
Penelitian ini melakukan simulasi pada dengan dua variabel eksogen, yaitu
harga CPO dunia yang disimulasikan naik sebesar sepuluh persen dan pajak
![Page 53: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/53.jpg)
38
ekspor dengan simulasi kenaikannya sebesar satu persen. Simulasi ini
menggunakan data historis dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006.
4.6 Validasi Model
Beberapa nilai-nilai ukuran statistik (goodness-of-fit statistics) yang
tersedia untuk menilai kemampuan dari suatu model dalam melakukan simulasi,
sebagai berikut:
Mean Error (ME) = ∑=
−T
t
at
st YY
T 1)(1
Mean Percent Error, MPE = ∑=
−T
ta
t
at
st xY
YYT 1
1001
Mean Absolute Error, MAE = ∑=
−T
t
at
st YY
T 1
1
Mean Absolute Percent Error, MAPE = ∑=
−T
ta
t
at
st xY
YY
T 11001
Mean Square Error, MSE = ∑=
−T
t
at
st YY
T 1
2)(1
Root Mean Square Error, RMSE = ∑=
−T
t
at
st YY
T 1
2)(1
Root Mean Square Percent Error, RMSPE =2
11001 ∑
=
−T
ta
t
at
st xY
YYT
Apabila nilai-nilai ringkasan statistik di atas mendekati nol, maka simulasi
model mengikuti nilai-nilai aktualnya. Sebagai tambahan dari validasi model di
atas, nilai statistik U-Theil juga dapat digunakan sebagai ukuran validasi model.
Theil s inequality didefinisikan sebagai berikut:
U =
∑ ∑
∑
= =
=
−
−
T
t
at
T
t
st
T
t
at
st
YT
YT
YYT
1
2
1
1
2
)(1)(1
)(1
Statistik U-Theil selalu bernilai antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka model
secara historis adalah sempurna. Jika U = 1, maka performance model adalah naif.
![Page 54: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/54.jpg)
39
4.7 Pengujian Model dan Hipotesis
Pengujian terhadap suatu model apakah peubah bebas secara simultan
berpengaruh nyata terhadap peubah responnya, umumnya menggunaan uji
statistik F. Hipotesis yang digunakan di dalam pengujian ini adalah :
H0 : ai = 0 ; dimana i = 1, 2, ... , k
H1 : paling sedikit ada satu nilai ai yang tidak sama dengan nol
Uji statistiknya adalah : Fhit =)1/(/
−− knsisakuadratjumlahkregresitengahkuadratjumlah
Jika Fhit > F ( /2; n-k-1), artinya tolak H0
Jika Fhit < F ( /2; n-k-1), artinya terima H0
Dimana :
n = Jumlah tahun pengamatan
k = jumlah peubah respon
Jika H0 ditolak, maka model dugaan dapat digunakan untuk meramalkan
hubungan antara peubah respon dengan peubah penjelasnya pada tingkat
kepercayaan tertentu ( /2 persen). Jika terjadi sebaliknya, maka model dugaan
tidak dapat meramalkan hubungan antara peubah respon dengan peubah
responnya.
Pengujian apakah secara parsial peubah bebas berpengaruh nyata terhadap
peubah respon pada suatu persamaan, umumnya menggunakan uji statistik t.
Langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut :
H0 : ai = 0
H1 : ai > 0 atau ai < 0
Uji statistiknya : thit =i
i
Saa 0−
Dimana Sai adalah simpangan baku dari parameter dugaan ai, kemudian
hasil dugaan thitung dibandingkan dengan ttabel. Jika thit > t ( ; n-k-1), artinya tolak
H0 dimana parameter dugaan secara sistematik berpengaruh nyata pada tingkat
kepercayaan persen. Jika thit < t ( ; n-k-1), artinya terima H0 dimana parameter
dugaan tersebut tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan persen.
![Page 55: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/55.jpg)
40
4.8 Pendugaan Nilai Elastisitas
Elastisitas adalah ukuran tingkat kepekaan suatu variabel respon pada
suatu persamaan terhadap perubahan dari peubah penjelas. Misalkan suatu
persamaan : Yt = a0 + a1X1t + a2X2t + a3X3t + anXt-1
Maka penentuan nilai elastisitasnya sebagai berikut:
1. Elastisitas jangka pendek
ESR = ai)()(
t
ij
YX
Dimana :
ESR = Elastisitas peubah respon (Yt) terhadap peubah penjelas (Xij) dalam
jangka pendek (short run).
ai = Parameter dugaan peubah respon Xij
ijX = Rata-rata peubah penjelas Xij
tY = Rata-rata peubah respon Yt
2. Elastisitas jangka panjang
ELR =n
SR
aE−1
Dimana:
ELR = Elastisitas peubah respon (Yt) terhadap peubah penjelas (Xij) dalam
jangka panjang (long run).
ESR = Elastisitas peubah respon (Yt) terhadap peubah penjelas (Xij) dalam
jangka pendek (short run).
an = Nilai parameter dugaan peubah bedakala.
Nilai elastisitas lebih dari satu berarti peubah respon responsif terhadap
perubahan peubah penjelasnya dan jika kurang berarti peubah respon tidak
responsif terhadap perubahan dari peubah penjelasnya.
![Page 56: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/56.jpg)
41
4.9 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error pada suatu
persamaan bersifat independent atau dependent. Pengujian terhadap kemungkinan
autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin Watson pada taraf nyata lima persen,
dengan kriteria sebagai berikut :
H0 = du < Dw < (4 du), dimana = 0
H1 = Dw < du atau Dw > (4 du), dimana 0
Jika hasil yang didapat nilai H0 diterima, maka pada persamaan yang diuji
tidak terjadi autokorelasi pada taraf nyata lima persen. Sebaliknya jika hasilnya
tolak H0, maka persamaan yang diuji terindikasi mengalami autokorelasi pada
taraf nyata lima persen.
![Page 57: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/57.jpg)
BAB 5 GAMBARAN UMUM KOMODITAS
5.1 Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit
Berdasarkan IPOB (2007), program revitalisasi, yang akan dilakukan
pemerintah hingga tahun 2010, ditujukan pada rencana perluasan dan penanaman
kembali perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Program ini bermaksud untuk
melakukan perluasan kebun kelapa sawit seluas 1.37 juta ha dan melakukan
penanaman kembali sekitar 125 ribu hektar perkebunan yang sudah ada. Berikut
alokasi lahan perluasan kelapa sawit berdasarkan propinsi yang termasuk program
revitalisasi tersebut.
Tabel 1. Alokasi Perluasan Lahan Kelapa Sawit Dalam Program RevitalisasiHingga Tahun 2010
No. Propinsi Luas Area (Ha)1 Nangroe Aceh Darussalam 40,0002 Sumatera Utara 10,4003 Sumatera Barat 15,2004 Riau 12,4005 Kepulauan Riau 21,0006 Jambi 200,0007 Sumatera Selatan 117,0008 Bangka Belitung 5,5009 Bengkulu 8,20010 Lampung 2,00011 Kalimantan Barat 302,41012 Kalimantan Tengah 147,50013 Kalimantan Selatan 77,99614 Kalimantan Timur 301,19415 Sulawesi Tengah 1,80016 Sulawesi Selatan 12,20017 Sulawesi Timur 10,00018 Sulawesi Tenggara 7,20019 Papua 58,00020 Irian Jaya Timur 25,000 Total 1,375,000
Sumber: Indonesian Palm Oil Board (IPOB). 2007
![Page 58: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/58.jpg)
43
Tabel 2. Alokasi Penanaman Kembali Lahan Kelapa Sawit Dalam ProgramRevitalisasi Hingga Tahun 2010
No. Propinsi Luas Area (Ha)1 Nangroe Aceh Darussalam 40,0002 Sumatera Utara 10,4003 Sumatera Barat 15,2004 Riau 12,4005 Jambi 200,0006 Sumatera Selatan 117,0007 Bengkulu 8,2008 Banten 6,3649 Kalimantan Timur 10,67010 Kalimantan Barat 8,26211 Sulawesi Selatan 4,20012 Papua 1,91413 Irian Jaya Timur 2,900 Total 125.000
Sumber: Indonesian Palm Oil Board (IPOB). 2007
Kalimantan merupakan wilayah dengan rencana pembukaan lahan baru
kelapa sawit terluas dengan total 829,100 ha hingga tahun 2010. Hal ini
mengindikasikan program pembangunan kelapa sawit telah beralih ke Indonesia
bagian timur, dimana memang masih tersedia lahan yang cukup luas. Program
penanaman kembali (replanting) kelapa sawit lebih difokuskan di pulau Sumatera,
terutama di propinsi Riau dan Sumatera Selatan, mengingat telah banyak areal
kelapa sawit tidak ekonomis lagi, dimana telah berusia 20 tahun lebih.
5.2 Pola Produksi dan Ekspor CPO
Kebijakan revitalisasi perkebunan ditujukan, selain untuk melakukan
investasi jangka panjang yaitu dalam hal pembangunan bidang ekonomi dan
kemasyarakatan, juga sebagai cara untuk memenuhi konsumsi domestik akan
produk olahannya. Selain untuk pangan, kebutuhan untuk biodiel yang dalam
beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, kedepannya kebutuhan konsumsi
CPO domestik diduga akan meningkat. Diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan
CPO untuk pangan sebesar 11.5 juta ton, sedangkan untuk kebutuhan biodiesel
dan industri oleokimia sebesar 3.7 juta ton. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
3 berikut.
![Page 59: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/59.jpg)
44
Tabel 3. Perkiraan Jumlah Permintaan Domestik dan Produksi Tahunan TerhadapCPO dan Olahannya (Ton), 2006 2010
Deskripsi (Ton) 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi CPO 16,000,000 16,500,000 17,800,000 19,100,000 20,400,000
Pemrosesan CPO secara
Domestik
11,160,000 11,660,000 12,860,000 14,060,000 15,260,000
CPO untuk pangan 10,400,000 10,400,000 10,782,000 11,154,760 11,527,600
- 490,400 1,290,400 2,090,400 2,890,400
CPO untuk non pangan:
• Biodiesel
• oleochemical 760,000 769,600 787,600 814,840 842,000
Sumber: Indonesian Palm Oil Commision. 2007
Produksi CPO Indonesia merupakan yang terbesar di dunia.
Perkembangan produksi CPO dari tahun 1990 2006 menunjukkan trend
peningkatan yang signifikan. Produksi pada tahun 1990 sebesar 2,413 ribu ton
kemudian terus mengalami peningkatan, sehingga pada tahun 2006 produksi CPO
telah mencapai 16,080 ribu ton. Melihat kondisi permintaan dunia akan CPO terus
meningkat tiap tahunnya, ini akan menjadi kesempatan bagi Indonesia masuk ke
pasar Internasional untuk mengembangkan potensi ekspor CPO. Tentu saja ini
merupakan potensi pendapatan yang besar bagi pemerintah dalam bentuk devisa.
Gambar 9 berikut menunjukkan pola produksi (PRODCPO) dan ekspor (XCPO)
serta keterkaitannya dalam pemenuhan permintaan CPO baik domestik (QDCPO)
maupun dunia (QdW).
Gambar 9. Plot data produksi dan ekspor CPO serta keterkaitannya dengankondisi permintaan CPO dunia dan domestik (000 Ton), 1990 2006.
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa potensi CPO sebagai
komoditas andalan ekspor Indonesia sangat menjanjikan. Hal ini terlihat dari
0
5000
10000
15000
20000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
PRODCPO (000 TON) XCPO (000 TON)
0
20000
40000
60000
80000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
QDCPO (000 TON) QdW (000 TON)
![Page 60: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/60.jpg)
45
proporsi volume ekspor terhadap total produksi CPO per tahunnya terus
mengalami peningkatan. Tahun 1990 hanya sekitar 33.80 persen dari total
produksi yang diekspor, dan pada tahun 2006 terjadi peningkatan drastis dimana
lebih dari 75 persen dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan sebagai
komoditas ekspor. Berarti, hanya sekitar 25 persen dari total produksi CPO
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.dan persediaan (stok) domestik.
Melihat trend eksor CPO yang tiap tahunnya terus mengalami
peningkatan, timbul suatu kekhawatiran bahwa akan terjadinya situasi dimana
pasokan CPO domestik menjadi berkurang. Kurangnya pasokan CPO ini tentunya
akan berpengaruh kepada kondisi industri pengolahannya, termasuk industri
minyak goreng sawit. Imbas dari tergoncangnya industri minyak goreng sawit
pastilah melonjaknya harga minyak goreng di pasaran. Pemerintah dalam hal ini
telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi gejolak tersebut, namun
fenomena ini seakan terus berulang.
Volume ekspor CPO masih tetap cukup besar, selain permintaan dunia
akan CPO memang meningkat, ada faktor lain yang menjadi penyebab. Pertama,
pajak ekspor CPO masih relatif lebih rendah dibanding turunannya (hal ini akan
dibahas pada sub bab selanjutnya), sehingga ekspor CPO masih tetap menarik.
Kedua, ada tenggang waktu antara penentuan pajak ekspor dengan harga CPO
yang berlaku di pasar Internasional. Harga CPO di pasar Internasional cukup
tinggi dan cepat berubah, sedangkan penentuan pajak ekspor tidak fleksibel dan
tidak cepat diubah sesuai kenaikan harga CPO di pasar Internasional. Perubahan
tingkat pajak ekspor harus dilaksanakan melalui Surat Keputusan Menteri
Keuangan yang tidak mudah diubah setiap saat, sehingga masih ada peluang
bahwa ekspor CPO cukup menguntungkan. Ketiga, pengekspor CPO melihat
kepentingan jangka panjang di dalam merebut pangsa pasar. Apabila pangsa pasar
berkurang karena kontrak dibatalkan, maka sangat sulit memperoleh pangsa pasar
kembali di masa mendatang pada saat pajak ekspor CPO telah dicabut. Keempat,
porsi biaya pengolahan CPO menjadi minyak goreng masih tetap cukup besar,
sehingga ekspor CPO masih lebih menguntungkan daripada dijual sebagai minyak
goreng di dalam negeri.
![Page 61: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/61.jpg)
46
5.3 Pola Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit
Sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng
kelapa ke minyak goreng kelapa sawit, produksi dari minyak goreng sawit
dituntut untuk memiliki pola yang sama dengan kondisi konsumsi yang ada.
Semenjak tahun 1990 hingga tahun 2006, produksi minyak goreng sawit terus
mengalami fluktuatif. Trend penurunan mulai terlihat pada tahun 2003 hingga
tahun 2006. Lain halnya dengan pola konsumsi minyak goreng sawit masyarakat,
sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan motivasi yang berbeda pada
masyarakat. Dilihat dari perkembangannya dari tahun 1990 hingga tahun 2006
konsumsi terus mengalami pertumbuhan secara signifikan. Berikut pola data dan
konsumsi minyak goreng sawit Indonesia.
0500
10001500200025003000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
KONS MG (000 TON) PROD MG (000 TON)
Gambar 10. Pola Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng SawitIndonesia (Ribu Ton), 1990 2006.
Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. 2008
Perkembangan produksi minyak goreng sawit berbanding lurus dengan
kondisi produksi dan ekspor CPO. Hal ini menyangkut dengan ketersediaan bahan
baku bagi industri minyak goreng. Tahun 2005 dan 2006, dilihat dari pola data di
atas, mulai terjadinya ketimpangan antara produksi dan konsumsi minyak goreng
sawit. Tahun 2005 dan tahun 2006 berturut-turut total produksi minyak goreng
sawit sebesar 947 ribu ton dan 800 ribu ton dengan konsumsi per kapita per tahun
sama-sama sebesr 4.8 kg. Apabila dikali dengan jumlah penduduk pada tahun-
tahun tersebut yang sebesar 219 juta dan 222 juta, konsumsi total penduduk
Indonesia sekitar 1.05 juta ton dan 1.07 juta ton. Tentunya, fenomena ini belum
dapat dijadikan bukti yang kuat adanya krisis pada tahun-tahun tersebut. Selain
![Page 62: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/62.jpg)
47
dipenuhi oleh produksi, ketersediaan minyak goreng sawit pun dipenuhi oleh
cadangan persediaan dari kelebihan produksi tahun-tahun sebelumnya. Namun,
perlu diperhatikan pula bahwa ekspor CPO pada tahun-tahun tersebut memiliki
prosentase yang cukup besar terhadap total produksi CPO Indonesia.
Proporsi CPO yang diperuntukkan bagi industri MGS mulai
menampakkan penurunan sejak tahun 2003. Hal ini mengikuti pola data produksi
MGS. Tahun 2006, proporsi konsumsi CPO untuk industri MGS diperkirakan
hanya 7.3 persen dari total produksi CPO Indonesia dan 29.45 persen dari total
pasokan CPO domestik. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali, karena dengan
kebutuhan konsumsi tahun tersebut yang sebesar 1.07 juta ton, paling tidak
proporsi CPO yang dibutuhkan untuk industri MGS sebesar 39.28 persen dari
total pasokan CPO domestik. Pola data konsumsi CPO oleh industri MGS dapat
dilihat pada grafik berikut.
0
1000
2000
3000
4000
5000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar 11. Pola Perkembangan Konsumsi CPO Oleh Industri Minyak GorengSawit Indonesia (Ribu Ton), 1996 2006.
Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. 2007
Perkembangan industri minyak goreng sawit didominasi oleh pabrik-
pabrik dengan skala besar. Tahun 2006, diperkirakan terdapat 148 pabrik
pengolah minyak goreng sawit di Indonesia. Industri minyak goreng sawit
memiliki struktur oligopoli dengan penyebaran industri paling banyak terdapat di
pulau Sumatera. Realita yang terjadi di lapangan, perusahaan-perusahaan
pengolahan CPO, berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS),
memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap pilihan apakah memproduksi minyak
goreng sawit atau produk lainnya atau pun hanya memproduksi CPO. Hal ini
didukung oleh kondisi pengusaha indutri minyak goreng sawit juga cenderung
![Page 63: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/63.jpg)
48
untuk memiliki pengolah dan kebun sendiri agar pasokan bahan baku dapat
terjamin. Kondisi inilah yang menyebabkan industri minyak goreng dari hulu ke
hilir bersifat integratif.
Indikasi atas kondisi di atas, terlihat dari angket industri yang diterima
BPS dimana tiap tahunnya, perusahaan-perusahaan pengolahan CPO mengalami
fluktuatif yang cukup signifikan. Sebagai contoh, pada tahun 2004 hanya
terlaporkan sebanyak sembilan perusahaan saja yang diperkirakan memproduksi
minyak goreng sawit. Tentunya hal ini pun belum dapat mencerminkan kondisi ril
di lapang, karena banyak faktor-faktor yang dapat mengakibatkan kesenjangan
informasi tersebut. Berikut pola data perkembangan industri minyak goreng sawit
domestik.
11 19 25 28 36 37 36 3748
2652 53
2841
9
35
148
020406080
100120140160
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 12. Pola Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit Domestik,1990 2006.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007
5.4 Pola Harga Minyak Goreng Sawit
Wacana mengenai harga minyak goreng sawit ini sangat berkaitan erat
dengan berbagai kondisi baik dari dalam maupun luar negeri. Harga relatif
komoditas yang terjadi di dalam perdagangan internasional tentunya dipengaruhi
oleh kekuatan permintaan dan penawaran masing-masing negara. Selain itu, dari
segi makroekonomi kondisi harga minyak goreng dipengaruhi kondisi nilai tukar
(kurs) Rupiah terhadap nilai tukar mata uang negara mitra dagang. Semakin lemah
(depresiasi) kurs Rupiah terhadap negara lain akan menyebabkan harga barang-
barang domestik relatif lebih murah dibanding negara tersebut. Efek selanjutnya
akan timbulnya inflasi, yaitu naiknya harga-harga barang konsumsi. Berikut pola
![Page 64: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/64.jpg)
49
keterkaitan antara nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dengan harga
minyak goreng sawit domestik.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
NILAI TUKAR PMG DOM (Rp/Kg)
Gambar 13. Pola Pergerakan Harga Minyak Goreng Sawit (Rp/Kg) dan KursRupiah Terhadap Dollar US, 1990 2006.
Sumber: BULOG DAN BI. 2007
Antara tahun 1997 sampai tahun 1999, ketika krisis ekonomi menimpa
Indonesia, nilai tukar mata uang Rupiah mengalami depresiasi yang sangat tinggi
terhadap Dollar Amerika. Kondisi ini menyebabkan inflasi yang cukup tinggi
pada harga barang-barang domestik. Begitu juga kondisi harga minyak goreng
sawit dimana pada tahun 1998 melonjak tinggi dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Tentunya hal ini akan menciptakan krisis sosial bagi masyarakat,
dimana ketika kondisi ekonomi sedang mengalami krisis, pada saat itu juga harga
bahan pokok termasuk minyak goreng melonjak tinggi.
Krisis ini tidak berlaku pada industri CPO. Nilai tukar mata uang yang
rendah, secara makroekonomi, mengakibatkan nilai produk domestik menjadi
lebih murah dibanding nilai di pasar internasional. Hal inilah yang menyebabkan
tingginya permintaan ekspor CPO Indonesia. Pemerintah, untuk mengatasi
masalah yang terjadi, kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri
Keuangan No 300/KMK/1997 mengenai ketentuan pajak ekspor. SK ini untuk
memperbaharui kebijakan sebelumnya yaitu No 439/KMK.017/1994. Maksud
dari dikeluarkannya SK ini tidak ditujukan untuk menghentikan secara total
ekspor CPO Indonesia. Hal ini tentunya akan merugikan industri CPO dengan
hilangnya pasar-pasar potensial. Penetapan PE ini ditujukan sebagai alat kendali
agar laju ekspor CPO masih dalam taraf rasional yaitu suplai CPO domestik tetap
![Page 65: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/65.jpg)
50
tersedia dengan cukup. Hasilnya, sejak tahun 1999, harga minyak goreng sawit
mulai berangsur-angsur turun, walaupun dari tahun 2002 hingga 2006 mulai
kembali menunjukkan trend naik, namun peningkatannya masih dalam toleransi.
Kondisi Indonesia yang menerapkan sistem ekonomi terbuka
(perdagangan intenasional), mengakibatkan kekuatan-kekuatan permintaan dan
penawaran (harga) di pasar internasional akan mempengaruhi kondisi di pasar
domestik. Berdasarkan Gambar 13 di bawah ini, bagaimana pola data harga CPO
baik domestik maupun dunia sebagai komoditas input mempengarui komoditas
keluarannya yaitu minyak goreng. Kondisi yang sama terjadi pada krisis ekonomi
pada tahun 1998, lonjakan harga yang terjadi di pasar Internasional, berimbas
pada kenaikan yang sama pada harga CPO domestik dan harga minyak goreng
sawit. Begitu pula setelah adanya kebijakan pajak ekspor dari pemerintah, trend
harga kembali turun, walaupun inflasi akan kembali terjadi.
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
PWCPO (Rp/Kg) PDCPO (Rp/Kg) PMG (Rp/Kg)
Gambar 14. Pola Perkembangan Harga CPO Dunia (PWCPO), Harga CPODomestik (PDCPO) dan Harga Minyak Goreng Domestik (PMG) (Rp/Kg),
1990 - 2006Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dan BULOG. 2007
5.5 Kebijakan Pajak Ekspor
Pajak ekspor untuk komoditas CPO dan olahannya mulai diterapkan pada
tahun 1994, dimana pada tahun tesebutlah pertama sekali terjadi gejolak harga
minyak goreng sawit. Kenaikan harga pada tahun tersebut terjadi sehubungan
dengan kenaikan harga CPO yang cepat di luar negeri. Hal ini membut laju ekspor
CPO yang tinggi, sehingga menyebabkan kelangkaan CPO di pasar domestik.
![Page 66: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/66.jpg)
51
Legalisasi pajak ekspor ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri
Keuangan No 439/KMK.017/1994. Oleh karena, harga-harga CPO berubah dari
waktu ke waktu, maka pajak ekspor tersebut selalu direvisi melalui penerbitan SK
baru. Berikut perkembangan pajak ekspor CPO Indonesia.
60
4030
105 3 3 3 1.5 6.5 7.5 10
010203040506070
Jul-98
Feb-99
Jun-99
Jul-99
Sep-99
Feb-01
Jun-02
Feb-03
Okt-05
Jul-07
Sep-07
Des-07
Gambar 15. Perkembangan Pajak Ekspor (%), 1998 2007.Sumber: Departeman Perdagagangan RI, 2007
Besaran pajak ekspor tersebar antara yang paling rendah pada Oktober
2005 sebesar 1.5 persen dan tertinggi pada bulan Juli 1998 sebesar 60 persen.
Pajak ekspor CPO secara langsung mempengaruhi harga jual di pasar lokal karena
harga pasar lokal dihitung berdasarkan harga patokan CPO di Rotterdam, yakni:
Harga CPO di pasar lokal kemudian menjadi patokan untuk menentukan
harga TBS kelapa sawit yang harus di bayar pabrik kepada petani. Harga patokan
ekspor (HPE) ditetapkan sebagai dasar penetapan pajak ekspor terutang pada saat
dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang diajukan pada bank devisa atau pada saat
didaftarkan di kantor pelayanan Bea dan Cukai. HPE merupakan salah satu
komponen untuk menghitung besarnya pajak ekspor yang harus dibayarkan oleh
eksportir komoditas sawit yang terkena pajak ekspor. Besarnya pajak ekspor yang
harus dibayar eksportir adalah perkalian antara tarif pajak ekspor dengan HPE-
nya. Pajak ekspor sendiri sebenarnya dimaksudkan pemerintah untuk
mengamankan pasokan lokal.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2005 tentang
pungutan ekspor atas barang ekspor tertentu perlu menetapkan peraturan menteri
Pendapatan = Harga CPO CIF Rotterdam Biaya Pengapalan Pajak Ekspor
![Page 67: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/67.jpg)
52
perdagangan tentang penetapan HPE setiap bulan oleh menteri yang bertanggung
jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang ditunjuk dalam hal ini Dirjen
Perdagangan Luar Negeri. Penetapan HPE dimaksud, ditetapkan dengan
berpedoman pada harga rata-rata internasional dan atau harga rata-rata FOB di
beberapa pelabuhan di Indonesia dalam satu bulan sebelum penetapan HPE.
Namun, saat ini perhitungan baru dari pajak ekspor berdasarkan tarif ekspor dan
biaya pengapalan yang ditentukan oleh pemerintah atas dasar kondisi harga
minyak goreng domestik. Hal ini dilakukan agar ketika harga minyak goreng
domestik melonjak, maka pemerintah akan segera menaikkan tarif pajak ekspor
dan biaya pengapalan.
![Page 68: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/68.jpg)
BAB 6 PENDUGAAN MODEL DAN KETERKAITAN EKSPOR
CPO DENGAN MINYAK GORENG SAWIT
6.1 Pendugaan Model Ekspor CPO
Peningkatan permintaan dunia akan komoditas CPO dan turunannya telah
mempengaruhi negara-negara penghasil CPO dunia, seperti Indonesia dan
Malaysia, untuk berkompetisi menjadi negara produsen dan suplier CPO terbesar
dunia. Ekspor kedua negara pun meningkat tiap tahunnya mengingat permintaan
CPO dunia yang begitu besar. Berbeda dengan Indonesia. Malaysia cenderung
untuk mengekspor produk industri hilir CPO, seperti coccoa butter, minyak
goreng, atau salad. Tentunya, komoditas ekspor tersebut memiliki nilai tambah
yang lebih tinggi dibanding produk hulunya, seperti komoditas utama ekspor
Indonesia yaitu CPO dan Olein. Ekspor Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga
CPO dunia, kondisi permintaan CPO domestik, nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar, serta kebijakan proteksi (pajak ekspor) CPO oleh pemerintah.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO (XCPO) Indonesia.
Variabel ParameterEstimasi Prob. ESR ELR
Intercept 3.191195 0.2905QCPO 0.422248 0.1369*** 0.461465 0.502383
PDCPO 0.275157 0.2100* 0.085945 0.093565PWCPO 0.136478 0.7461 0.016843 0.018336
PE -0.356289 0.0945**** 0.084431 0.091917ER -0.383333 0.1890** -0.16239 -0.17679
XCPO1 0.081447 0.7818R-Square= 91.20% DW-stat= 2,050 F-hit (α= 0,05) > Prob. (0,000)
Keterangan: **** nyata pada taraf (α) = 0,10*** nyata pada taraf (α) = 0,15** nyata pada taraf (α) = 0,20
* nyata pada taraf (α) = 0,25
![Page 69: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/69.jpg)
54
Berdasarkan Tabel 4 di atas, ekspor CPO Indonesia secara signifikan
dipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen,
harga domestik CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilai
tukar (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen. Secara ekonomi, terdapat satu
variabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telah
ditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yang
dibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 91.20 persen.
Produksi CPO diduga, pada jangka panjang, akan meningkatkan ekspor
CPO sebesar 0.50 persen jika produksi mengalami peningkatan sebesar satu
persen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa peningkatan produksi CPO
Indonesia, sebagian besarnya diperuntukkan untuk ekspor. Hal ini juga diperkuat
dari hasil interpretasi PDCPO, bahwa peningkatan PDCPO sebesar satu persen
diduga pada jangka panjang akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 0.09 persen.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pasar domestik bukanlah target pasar
yang menarik bagi industri CPO. Ekspor CPO juga diduga, pada jangka panjang,
akan meningkat sebesar 0.018 persen ketika harga CPO dunia naik sebesar satu
persen.
Tentunya, orientasi yang lebih dari industri CPO terhadap peluang ekspor,
dapat mengganggu kestabilan industri pengolahan kelapa sawit domestik. Salah
satunya industri minyak goreng. Kebijakan dari pemerintah terhadap penerapan
PE dapat dikatakan berhasil. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang
berlawanan antara ekspor CPO dan PE. Artinya, peningkatan PE akan disertai
dengan turunnya volume ekspor. Tetapi patut untuk diperhatikan, pada jangka
panjang ekspor CPO diduga akan kembali naik sebesar 0.09 persen pada
peningkatan PE sebesar satu persen. Oleh karena itu, penetapan pajak ekspor CPO
akan lebih efektif apabila besarannya terus disesuaikan (progressive) dengan
harga CPO internasional.
Ekspor CPO diduga akan mengalami peningkatan ketika nilai tukar
Rupiah cenderung melemah terhadap nilai mata uang Dollar Amerika. Hasil ini
telah sesuai dengan teori makroekonomi, yaitu ketika nilai tukar mata uang suatu
negara lebih rendah dari negara lain akan membuat harga-harga barang di negara
tersebut relatif lebih murah dibanding harga di negara lain. Artinya, harga CPO
![Page 70: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/70.jpg)
55
domestik akan relatif lebih murah, sehingga akan mendorong pasar internasional
berbondong-bondong untuk mengimpor komoditas CPO domestik. Melemahnya
nilai tukar Rupiah sebesar satu persen, diduga pada jangka panjang akan
meningkatkan ekspor CPO sebesar 0.18 persen.
Tabel 4 di atas juga menunjukkan bahwa elastisitas jangka panjangnya
lebih elastis dibanding elastisitas jangka pendeknya. Artinya, respon perubahan
dari variabel-variabel tersebut pada jangka panjang akan menghasilkan perubahan
yang cukup besar pada eksopor CPO. QCPO memiliki elastisitas terbesar
dibanding variabel-variabel lain. Hal ini mengindikasikan bahwa memang suatu
keniscayaan ekspor CPO untuk terus meningkat tiap tahunnya dimana kondisi
Indonesia yang berlimpah akan komoditas CPO. Kebijakan pengendalian ekspor
yang dilakukan pemerintah agar ditetapkan bukan untuk menghambat industri
untuk melakukan ekspor, namun sebagai instrumen agar ekspor yang terjadi tidak
melupakan kebutuhan pasokan CPO domestik. Hasil analisis statistik ekspor CPO
dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
lnXCPO = 3.191195 + 0.422248 lnQCPO + 0.275157 lnPDCPO + 0.136478
lnPWCPO - 0.356289 lnPE 0.383333 lnER + 0.081447 lnXCPO1
6.2 Pendugaan Model Produksi Minyak Goreng Sawit (MGS) Domestik
Berdasarkan Tabel 5 di bawah ini, produksi MGS secara signifikan
dipengaruhi oleh harga MGS (PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS
(CCPO), dan ekspor CPO satu tahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat
kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel produksi minyak goreng satu tahun yang
lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilai yang signifikan dengan tingkat
kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabel yang tidak signifikan yaitu harga
domestik CPO dan impor CPO (MCPO). Model dapat menjelaskan keragaman
produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6 persen sisanya dijelaskan oleh
faktor-faktor di luar model. Nilai F-Hit menunjukkan signifikansi model pada
tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.
![Page 71: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/71.jpg)
56
Tabel 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi MinyakGoreng Sawit (QMGS) Indonesia.
VariabelParameter
EstimasiProb. ESR ELR
Intercept -2.867839 0.3443
PMGS 1.017904 0.0240***** 0.362522 0.24363PDCPO -0.354193 0.2578 -0.11875 -0.07981CCPO 1.035013 0.0033***** 1.09302 0.734558
XCPO1 0.499847 0.0310***** 0.499339 0.335577MCPO 0.049361 0.5096 0.020402 0.013711
QMGS1 -0.488003 0.0574****R-Square= 79.4% DW= 1,543 F-hit (α= 0,05) > Prob. (0,0109)
Keterangan: ***** nyata pada taraf (α) = 0,05**** nyata pada taraf (α) = 0,10
Harga MGS, secara ekonomi, memiliki hubungan yang positif terhadap
produksi MGS. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan, bahwa
produsen akan mendapatkan insentif untuk memproduksi lebih banyak lagi
produk keluarannya apabila harga produk tersebut di pasaran dalam posisi yang
menguntungkan. Secara statistik dapat diartikan pula, bahwa pada jangka panjang,
kenaikan atau penurunan harga MGS sebesar satu persen akan mengakibatkan
kenaikan atau penurunan produksi MGS sebesar 0.24 persen.
Harga domestik CPO (PDCPO), secara ekonomi, mempunyai hubungan
yang berbanding terbalik dengan ekspor CPO. Elastisitas jangka panjangnya
menunjukkan, bahwa peningkatan atau penurunan PDCPO sebesar satu persen
akan mengakibatkan penurunan atau peningkatan produksi MGS sebesar 0.08
persen.
Produksi MGS, secara ekonomi, mempunyai hubungan yang positif
terhadap variabel CCPO, XCPO1, dan MCPO. Khusus untuk CCPO dan MCPO,
secara statistik, peningkatan atau penurunan kedua variabel tersebut sebesar satu
persen diduga pada jangka panjang akan mengakibatkan peningkatan atau
penurunan dari produksi MGS sebesar 0.73 persen dan 0.014 persen.
Interpretasi yang berbeda dari hipotesis sebelumnya terjadi pada variabel
XCPO1, dimana, secara ekonomi, menunjukkan hubungan yang positif terhadap
produksi MGS. Secara statistik diduga bahwa pada jangka panjang peningkatan
![Page 72: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/72.jpg)
57
atau penurunan XCPO1 sebesar satu persen akan mengakibatkan peningkatan atau
penurunan produksi MGS sebesar 0.34 persen. Hal ini dapat disebabkan oleh
setiap peningkatan ekspor satu tahun sebelumnya, selalu diikuti peningkatan harga
MGS yang cukup signifikan. Karena itu, industri pun meresponnya dengan
meningkatkan produksi pada tahun berikut untuk mendapatkan keuntungan pada
tingkat harga yang sedang tinggi-tingginya.
Patut untuk diperhatikan pula, jika dilihat dari nilai elastisitas di atas,
semakin panjang jangka waktunya akan membuat variabel-variabel tersebut
menjadi tidak elastis. Artinya persentase perubahan tiap variabel pada jangka
panjang akan memberikan pengaruh persentase perubahan yang lebih kecil
terhadap produksi MGS. Variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih
responsif adalah CCPO dan dan yang paling rendah responnya adalah MCPO.
Artinya, apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahan kurangnya
ketersediaan MGS di pasaran, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan
untuk mengamankan pasokan CPO untuk industri pengolahan CPO domestik.
Hasil analisis statistik ekspor CPO dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
lnQMGS = - 2.867839 + 1.017904 lnPMGS - 0.354193 lnPDCPO + 1.035013
lnCCPO + 0.499847 lnXCPO1 + 0.049361 lnMCPO - 0.488003
lnQMGS1
6.3 Pendugaan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Domestik
Kebutuhan terhadap minyak goreng untuk pemenuhan kebutuhan rumah
tangga akan terus mengalami peningkatan, selama komoditas minyak goreng saat
ini masih didominasi oleh minyak goreng asal sawit dan belum ada langkah yang
kongkret untuk mengembangkan produk subtitusinya, seperti minyak kelapa.
Berikut hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi MGS
Indonesia.
Berdasarkan tabel berikut, konsumsi MGS domestik dipengaruhi secara
signifikan oleh pendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90
persen, nilai tukar (ER) sebesar 95 persen, dan konsumsi MGS tahun sebelumnya
(CMGS1) sebesar 80 persen. Hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil
![Page 73: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/73.jpg)
58
yang tidak signifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman
konsumsi MGS 87.89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Tabel 6. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi MinyakGoreng Sawit (CMGS) Indonesia.
Variabel ParameterEstimasi Prob. ESR ELR
Intercept 1.048389 0.2197*PMGS 0.167270 0.2543 0.066934 0.1047GNP 0.236715 0.0995**** 0.238815 0.373556ER 0.354026 0.0223***** 0.180883 0.282939
CMGS1 0.36070 0.1845**R-Square= 87.89% DW= 2.782 F-hit (α= 0,05) > Prob. (0,000)
Keterangan: ***** nyata pada taraf (α) = 0,05**** nyata pada taraf (α) = 0,10
** nyata pada taraf (α) = 0,20* nyata pada taraf (α) = 0,25
Hasil yang tidak signifikan pada harga MGS domestik dapat diindikasikan
bahwa karena begitu pentingnya komoditas ini untuk kebutuhan konsumsi
masyarakat, hampir di segala jenis masakan membutuhkan komoditas ini, adanya
kenaikan harga tidak lantas membuat masyarakat akan mengurangi konsumsinya.
Hal ini didukung oleh tanda positif pada variabel ini yang diartikan, secara
ekonomi, peningkatan atau penurunan dari harga MGS akan menghasilkan respon
yang sama terhadap konsumsi MGS. Kecenderungan prilaku konsumen yang
rentan akan isu-isu yang berkembang dan keputusan konsumsi di masa lalu, akan
mempengaruhi prilaku pembelian mereka. Hal ini dibuktikan dengan tanda positif
pada variabel CMGS1, yang diinterpretasikan bahwa kecenderungan meningkat
atau menurunnya konsumsi masyarakat di masa lalu (satu tahun sebelumnya) akan
memberikan respon yang sama terhadap perilaku pembelian yang akan datang.
Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akan menghasilkan respon
yang positif terhadap harga MGS. Hal ini sesuai dengan penjelasan di atas, bahwa
perbedaan logika ekonomi yang terjadi pada variabel ini, dimana konsumsi
meningkat ketika depresiasi nilai tukar, sehingga menyebabkan inflasi dengan
naiknya harga-harga barang, tetap tidak menyurutkan konsumen untuk
menurunkan konsumsinya. Peningkatan atau penurunan ER, pada jangka panjang,
![Page 74: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/74.jpg)
59
sebesar satu persen akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan harga MGS
sebesar 0.28 persen. Konsumsi tetap meningkat tiap tahunnya, walaupun dengan
kondisi apapun yang terjadi, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pola
konsumsi masyarakat sekarang yang menjadikan MGS satu-satunya bahan pangan
pembantu masakannya.
Konsumsi MGS juga memiliki hubungan positif dengan GNP. GNP
merupakan ukuran pendapatan warga Indonesia baik di dalam wilayah kedaulatan
maupun tidak. Peningkatan atau penurunan GNP sebesar satu persen (cateris
paribus), pada jangka panjang, akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan
konsumsi MGS sebesar 0.37 persen. Perlu diingat pula bahwa, GNP tidak
mencerminkan kondisi ril, karena senjang antara golongan kaya dan miskin,
dengan kata lain distribusi kekayaan, akan menjadi bias.
Nilai elastisitas variabel-variabel di atas yang semakin elastis pada jangka
panjangnya, mengindikasikan bahwa jika tidak ada usaha pemerintah untuk
mengintroduksi produk subtitusi MGS dan peningkatan produksi/ketersediaan
MGS, maka faktor-faktor di atas dalam jangka panjang akan memberikan respon
perubahan yang cukup besar terhadap konsumsi MGS. Variabel GNP memiliki
elastisitas yang relatif lebih besar dibanding variabel-variabel lain. Hasil analisis
statistik Konsumsi MGS dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
lnCMGS = 1.048389 + 0.167270 lnPMGS + 0.236715 lnGNP + 0.354026 lnER -
0.36070 lnCMGS1
6.4 Pendugaan Model Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
Model harga MGS dipengaruhi secara signifikan oleh harga domestik
CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, harga CPO dunia
(PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga pada tahun
sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanya variabel nilai
tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain itu, model yang
dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar 56.86 persen
dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel di luar model
dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 7 berikut.
![Page 75: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/75.jpg)
60
Tabel 7. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak Goreng Sawit (PMGS) Indonesia.
Variabel ParameterEstimasi Prob. ESR ELR
Intercept -0.1416205 0.3608PDCPO 0.474934 0.0425***** 0.447112 0.872606PWCPO 0.469105 0.1843** 0.174487 0.340538
PE -0.238706 0.2150* 0.170493 0.332742ER 0.189595 0.4465 0.24208 0.472455
PMGS1 0.487613 0.1106***R-Square= 56.86% DW= 2,101 F-hit (α= 0,10) > Prob. (0,0901)
Keterangan: ***** nyata pada taraf (α) = 0,05*** nyata pada taraf (α) = 0,15** nyata pada taraf (α) = 0,20
* nyata pada taraf (α) = 0,25
Hubungan positif antara harga MGS dan PDCPO telah memenuhi logika
ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika harga input meningkat, porsi
biaya yang ditanggung industri akan semakin besar, sehingga solusi menaikkan
harga keluaran merupakan alternatif kebijakan yang logis, selain efisiensi proses
produksi. PDCPO diinterpretasikan berdasarkan elastisitas jangka panjangnya,
bahwa peningkatan dan penurunan PDCPO sebesar satu persen akan
mengakibatkan peningkatan dan penurunan harga MGS sebesar 0.87 persen.
PWCPO juga mempunyai peran dalam peningkatan harga MGS, dimana tanda
variabel ini menunjukkan hubungan yang positif. Peningkatan atau penurunan
PWCPO, pada jangka panjang, akan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan
dan penurunan harga MGS sebesar 0.34 persen.
Variabel ER secara parsial tidak menghasilkan signifikansi yang layak
untuk diterima, namun tanda yang dihasilkan telah sesuai dengan logika ekonomi,
dimana depresiasi atau apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akan
mengakibatkan kenaikan atau penurunan harga MGS. Ketidaksignifikanan
variabel ini dapat disebabkan oleh karakteristik dari MGS sendiri, dimana produk
ini telah menjadi konsumsi pokok masyarakat Indonesia dan dapat menyebabkan
keresahan sosial ketika terjadi gejolak. Karena itu, pemerintah akan mengeluarkan
berbagai kebijakan pengendalian jika terjadi kemelut dari sisi ekonomi maupun
![Page 76: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/76.jpg)
61
ketersediaan produk tersebut, agar harga dan ketersediaannya terjamin dan
terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Hasil pada Tabel 7 di atas juga memberikan gambaran, dimana elastisitas
jangka panjangnya lebih elastis dibanding elastisitas jangka pendek. Variabel
PDCPO mempunyai elastisitas jangka panjang yang lebih elastis dibanding
variabel-variabel lain, sedangkan kebijakan PE memiliki elastisitas jangka
panjang paling kecil. Karena itu, kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga
MGS lebih baik difokuskan pada stabilisasi harga CPO domestik. Penetapan
harga minimum dan maksimum oleh pemerintah patut untuk dicoba, selain pajak
ekspor. Harga minimum dipakai ketika harga CPO domestik sangat rendah
dibanding harga internasional dan harga maksimum pada kondisi sebaliknya. Hal
ini dilakukan agar kondisi harga CPO domestik pada tingkat dimana industri CPO
diuntungkan dan begitu juga industri pengolahan CPO. Hasil analisis statistik
harga MGS dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
lnPMGS = - 0.1416205 + 0.474934 lnPDCPO + 0.469105 lnPWCPO - 0.238706
lnPE + 0.189595 lnER + 0.487613 lnPMGS1
![Page 77: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/77.jpg)
BAB 7 EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
PENETAPAN PAJAK EKSPOR
Keakuratan model melalui nilai statistics of fit menghasilkan nilai RMS %
Error lebih kecil dari 11 persen. Dilihat dari nilai RMS % Error tersebut, maka
model ini dapat digunakan sebagai peramalan. Artinya, nilai prediksi dapat
mengikuti kecenderungan data historisnya dengan tingkat kesalahan 11 persen
pada persamaan PMGS. Bias (UM), Reg (UR) dan Var (US), mendekati nilai
idealnya yaitu nol, sedangkan nilai Dist (UD) dan Covar (UC) juga mendekati
nilai idealnya satu. Begitu juga dengan nilai U-Theil mendekati nol, yang
mengindikasikan bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik.
Hasil validasi model penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
7.1 Dampak Kenaikan Harga CPO Dunia (PWCPO) Sebesar Sepuluh
Persen
Tabel 8 di bawah ini menunjukkan hasil simulasi berdasarkan kenaikan
harga CPO dunia sebesar sepuluh persen. Kenaikan PWCPO sebesar sepuluh
persen berdampak kepada peningkatan seluruh variabel. Perubahan terbesar ada
pada variabel harga minyak goreng sawit, dimana kenaikan harga CPO dunia
sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknya harga minyak goreng sawit
sebesar 3.364 persen. Prosentase perubahan terendah ada pada variabel XCPO,
dimana perubahannya sebesar 0.189 persen.
Tabel 8. Hasil Simulasi Kenaikan Harga CPO Dunia Sebesar Sepuluh Persen.
Variabel Nilai Dasar Skenario Simulasi PWCPO naik 10%Predicted Mean Predicted Mean %
XCPO 7.8750 7.8899 0.189206QMGS 7.4903 7.5579 0.902501CMGS 6.6186 6.6425 0.361104PMGS 2.7199 2.8114 3.364094
Hasil yang tidak terduga didapat pada variabel QMGS dan CMGS, dimana
terjadi peningkatan prosentase perubahan pada masing-masing variabel berturut-
turut 0.902 persen dan 0.361 persen. Secara ekonomi, ketika harga CPO dunia
![Page 78: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/78.jpg)
63
menigkat akan menimbulkan kecenderungan bagi industri CPO untuk
mengekspor. Karena itu, ketika ekspor mencapai posisi tertinggi sehingga terjadi
gejolak pada harga MGS, ada dua versi yang menjelaskan. Pertama, volume
ekspor terlalu tinggi sehingga mengakibatkan pasokan CPO untuk industri minyak
goreng sawit kurang,. Dampaknya produksi minyak goreng sawit menjadi
berkurang, sehingga ketersediaan MGS untuk konsumsi tidak tercukupi dan pada
akhirnya harga MGS melonjak. Kedua, naiknya harga minyak goreng sawit murni
karena kenaikan harga minyak nabati dunia, termasuk CPO.
Jika merujuk pada hasil simulasi di atas, versi kedua lebih masuk akal.
Tingginya harga MGS murni karena naiknya harga CPO dunia, karena dari hasil
simulasi produksi MGS tidak mengalami penurunan, sehingga hal ini
mengindikasikan tidak adanya kekurangan pasokan CPO domestik walaupun
ekspor sedang tinggi-tingginya. Tetap naiknya konsumsi MGS ketika harga CPO
dunia mengalami kenaikan, lebih dikarenakan pola konsumsi masyarakat yang
cenderung untuk tetap mengkonsumsi MGS pada situasi apapun.
Oleh karena itu, berdasarkan simulasi di atas, pemerintah lebih baik untuk
menfokuskan kebijakan pengendalian harga MGS dengan melakukan kompensasi
(subsidi) kepada industri atas kenaikan harga CPO. Subsidi ini penting agar harga
MGS dapat ditekan turun dengan telah dikompensasinya peningkatan biaya input
oleh pemerintah.
7.2 Dampak Kenaikan PE Sebesar Satu Persen
Peningkatan PE sebesar satu persen, seperti tertera pada Tabel 9 di bawah
ini, ternyata mengakibatkan semua variabel mengalami penurunan. Perubahan
terbesar terjadi pada variabel PMGS, dimana peningkatan sebesar satu persen dari
PE akan mengakibatkan penurunan PMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat
menggambarkan bahwa kebijakan PE ternyata memang memiliki dampak
terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikan PE ini ternyata juga mengakibatkan
penurunan dari sisi produksi dan konsumsi MGS. Produksi diduga akan
mengalami penurunan sebesar 0.12 dan konsumsi diduga turun sebesar 0.03
persen tiap peningkatan PE sebesar satu persen. Hal ini diindikasikan dapat terjadi
karena dampak multiflier dari penurunan PMGS. Harga MGS yang turun, secara
![Page 79: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/79.jpg)
64
ekonomi, akan mengakibatkan produksi dari MGS itu turun, sehingga dampaknya
pada berkurangnya ketersediaan MGS di pasar. Masyarakat tentunya akan
mengurangi konsumsi dari MGS akibat dampak berkurangnya ketersediaan MGS.
Tabel 9. Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Satu Persen
Variabel Nilai Dasar Skenario Simulasi PE naik 1%Predicted Mean Predicted Mean %
XCPO 7.8750 7.8667 -0.1054QMGS 7.4903 7.4813 -0.12016CMGS 6.6186 6.6164 -0.03324PMGS 2.7199 2.7108 -0.33457
Ekspor sendiri diduga akan mengalami penurunan sebesar 0.105 persen
tiap peningkatan PE sebesar satu persen. Kebijakan PE kembali dapat
membuktikan kehandalannya dalam menurunkan ekspor. Berdasarkan kondisi ini,
timbul sebuah pertanyaan, kemanakah kelebihan produksi ini dialokasikan ketika
produksi MGS mengalami penurunan dan begitu juga dengan ekspor CPO ?.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan Nurdiyani (2007) mengenai
dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao
Indonesia. Penerapan pungutan ekspor pada akhirnya akan membuat kondisi pasar
komoditas tersebut menjadi semakin tidak terintegrasi. Selain itu, adanya
kebijakan pungutan ekspor akan berimplikasi pada: (1) melemahkan posisi daya
saing ekspor Indonesia di dunia. Hal ini ditandai dengan hilangnya potensi pasar
ekspor Indonesia ketika permintaan CPO dunia sedang tinggi-tingginya, serta
yang paling dikhawatirkan adalah akan berpindahnya pembeli ke negara pesaing
(kompetitor), misalnya Malaysia. (2) menurunnya bagian pendapatan yang akan
diterima petani. (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan mungkin tidak akan
begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan. Terakhir
bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input
untuk proses pengolahan dan bagi pemerintah menjadi alternatif pendapatan
bukan pajak.
![Page 80: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/80.jpg)
BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Pola data produksi, ekspor CPO dan permintaan dunia menunjukkan trend
yang relatif identik. Begitu juga dengan pola data harga CPO domestik, harga
CPO dunia, dan harga minyak goreng domestik. Keterhubungan antara tiap pola
data tersebut mengindikasikan adanya hubungan kausalitas yang saling pengaruh
dan mempengaruhi. Model keterkaitan ekspor CPO terhadap harga minyak goreng
domestik menghasilkan empat persamaan struktural dan satu persamaan
indentitas. Sistem persamaan yang dibangun terdiri dari persamaan ekspor CPO,
produksi minyak goreng sawit, konsumsi minyak goreng sawit, dan harga minyak
goreng sawit domestik.
Ekspor CPO dipengaruhi secara nyata oleh produksi CPO, harga CPO
domestik, pajak ekspor, dan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar
Amerika. Penerapan pajak ekspor tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi
ekspor CPO. Variabel produksi CPO memiliki elastisitas jangka panjang terbesar
dalam mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia, dimana peningkatan atau
penurunan satu persen produksi CPO akan meningkatkan atau menurunkan ekspor
CPO sebesar 0.50 persen.
Produksi minyak goreng sawit dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak
goreng sawit, konsumsi CPO oleh industri minyak goreng, ekspor CPO satu tahun
sebelumnya, dan produksi minyak goreng sawit satu tahun sebelumnya. Konsumsi
CPO oleh industri minyak goreng sangat besar pengaruhnya terhadap produksi
minyak goreng sawit. Hal ini diindikasikan dengan nilai elastisitas jangka
panjangnya yang sangat responsif, yaitu peningkatan konsumsi CPO oleh industri
minyak goreng sebesar satu persen akan meningkatkan produksi minyak goreng
sawit sebesar 0.73 persen.
Konsumsi minyak goreng sawit secara nyata dipengaruhi oleh pendapatan
penduduk (GNP), nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan
konsumsi minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Harga konsumsi minyak
goreng ternyata tidak mempengaruhi masyarakat untuk mengurangi konsumsi
![Page 81: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/81.jpg)
66
minyak goreng. GNP mempunyai pengaruh jangka panjang yang lebih responsif
dalam mempengaruhi konsumsi minyak goreng sawit masyarakat.
Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng
sawit adalah harga domestik CPO, harga CPO dunia, pajak ekspor, dan harga
minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Nilai elastisitas jangka panjang yang
paling elastis terdapat pada variabel harga domestik CPO, dimana peningkatan
atau penurunan satu persen harga CPO domestik akan mengakibatkan kenaikan
atau penurunan harga minyak goreng sawit sebesar 0.87 persen.
Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan
model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan
peningkatan sepuluh persen harga CPO dunia akan mengakibatkan kenaikan harga
minyak goreng sawit sebesar 3.36 persen. Hasil sebaliknya didapat dari simulasi
dengan menaikkan pajak ekspor sebesar satu persen, ternyata akan menurunkan
harga minyak goreng sawit sebesar 0.33 persen.
8.2 Saran
1. Perlu adanya penetapan kebijakan alternatif selain tarif pajak ekspor baik
diperuntukkan sebagai komplemen maupun subtitusi untuk mengatasi ataupun
mengurangi kelemahan dari penerapan pajak ekspor.
2. Perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam hal senjang
pengambilan keputusan (decision lag) pada penetapan tarif pajak ekspor agar
penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO internasional yang
sangat fluktuatif.
3. Operasi pasar yang selama ini dilakukan pemerintah untuk menstabilkan harga
minyak goreng di pasaran dapat efektif. Terpenting pemerintah tinggal
mempersiapkan infrastrukturnya secara baik (fisik maupun institusi),
koordinasi yang baik dari aparat pemerintah dari tingkat pusat sampai ke
pelosok daerah, target operasi yang menjangkau kalangan yang kurang
mampu, dan akan menjadi efektif jika dilakukan secara bersama-sama dengan
pelaku pasar lain (stake holders).
![Page 82: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/82.jpg)
67
4. Perlu adanya penelitian yang mengkaji secara mendalam mengenai pajak
ekspor dimana di dalamnya mencakup besaran pajak ekspor yang efektif
berdasarkan harga minyak goreng sawit yang terbentuk di pasar.
5. Penelitian mengenai mekanisme pengendalian manakah yang paling efektif
dan efisien yang dapat dipilih oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan
sekaligus menjaga kestabilan harga dan ketersediaan minyak goreng sawit
tanpa mengorbankan potensi ekspor CPO Indonesia cukup menarik untuk
dilakukan kedepannya.
![Page 83: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/83.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Afifa, Rosaria Dewi. 2006. Analisis Permintaan Kedelai Pada Industri Kecap diIndonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arifin, Bustanul, Prof. Dr. 2007. Operasi Pasar dan Distribusi Minyak Goreng.Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRP). Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007. Road Map Kelapa Sawit.Departemen Pertanian . Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta
Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-IlmuSosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics: Fourth Edition. McGraw Hill.Boston.
Hamdani, Andan. 2006. Analisis Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Eropa.Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. FakultasPertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). 2007. Indonesian Palm Oil Statistics2006. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). Jakarta.
Kindleberger, C. P. dan P. H. Lindert. 1995. Ekonomi Internasional (Terjemahan).Edisi Keempat. Penerbitan Erlangga. Jakarta.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: Second Edition. Harper & RowPublishers, Inc. Barnes & Nobles Import Division. New York.
Lipsey, Richard G., Paul N. Courant, Douglas D. Purvis, Peter O. Steiner. 1995.Pengantar Mikroekonomi Jilid 1. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
Mahisya, Feisal Errick. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia: SuatuPendekatan Error Correction Model. Skripsi. Departemen Sosial EkonomiPertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mangoensoekarjo, S dan A.T. Tojib. 2000. Manajemen Budidaya Kelapa Sawit,hal. 2 317. Dalam: Mangoensoekarjo, S dan H. Semangun, (Eds.).Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Mankiw, N, Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi Kelima. PenerbitErlangga. Jakarta.
![Page 84: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/84.jpg)
69
Nurdiyani, Fitri. 2007. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan EksporKakao Terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia. Skripsi. Program StudiManajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Piermartini, R. 2004. The Role Of Export Taxes In The Field Of PrimaryCommodities. World Trade Organization.
Prahastuti, Indah. 2000. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PerdaganganMinyak Sawit (CPO) serta Keterkaitan Pasar CPO dan Minyak GorengSawit di Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. FakultasPertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Puteri, Eka Intan K, Sri Hartoyo, Heny K Daryanto, Amzul Rifin, Widyastutik.2006. Kebijakan Pungutan Ekspor Crude Palm Oil (CPO). LembagaPenelitian dan Pembedayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LP2M
IPB) dan Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan KerjasamaInternasional (BAPEKKI). Departemen Keuangan RI. Jakarta.
Rifin, A. 2005. The Export Tax And Indonesia s Crude Palm Oil Export. Tesis.International Universitiy of Japan.
Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional: Edisi Kelima. PenerbitErlangga. Jakarta.
Sitepu, Rasidin Karo-karo, Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi ModelEkonometrika: Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan ProgramSAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekartawi, Prof. Dr. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suganda, Dendi. 2006. Analisis Harga CPO di Pasar Fisik Medan, PasarBerjangka Malaysia, dan Rotterdam. Skripsi. Program Sarjana EkstensiManajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Sumaryanto dan Marcellus Rantetana. 1996. Sistem Agribisnis dan PerananMinyak Goreng dalam Perekonomian Nasional. hal. 37 88. Dalam:Amang, Beddu, Pantjar Simatupang dan Anas Rachman, (Eds.). EkonomiMinyak Goreng di Indonesia. IPB Press. Bogor.
Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Gula TerhadapKesejahteraan Petani Tebu Indonesia. Skripsi. Departeman Ilmu-IlmuSosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
![Page 85: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/85.jpg)
70
Wijayanti, Nurlaela. 2006. Analisis Input-Output Peranan Industri MinyakGoreng dalam Perekonomian Indonesia. Skripsi. Departemen IlmuEkonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
![Page 86: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/86.jpg)
LAMPIRAN
![Page 87: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/87.jpg)
72
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit.
![Page 88: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/88.jpg)
73
Lampiran 2. Instansi atau Lembaga Sumber Pengambilan Data Penelitian.
No Variabel Sumber Data1 Ekspor CPO Direktorat Jenderal Perkebunan RI2 Impor CPO Direktorat Jenderal Perkebunan RI3 Produksi CPO Direktorat Jenderal Perkebunan RI4 Harga CPO Domestik Direktorat Jenderal Perkebunan RI5 Harga CPO Dunia Direktorat Jenderal Perkebunan RI6 Pajak Ekspor CPO Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan
Kehutanan Departemen Perdagangan RI7 Nilai Tukar Rupiah Thdp
Dollar AmerikaStatistik Keuangan dan Ekonomi BI
8 GNP Badan Pusat Statistik9 Produksi Minyak Goreng Neraca Bahan Makanan, Dewan Ketahanan
Pangan, Deptan10 Konsumsi CPO oleh
Industri Minyak GorengNeraca Bahan Makanan, Dewan KetahananPangan, Deptan
11 Konsumsi Minyak Goreng Dewan Ketahanan Pangan, Deptan12 Harga Domestik Minyak
GorengBadan Urusan Logistik (BULOG)
13 Indeks Harga Konsumen Badan Pusat Statistik
![Page 89: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/89.jpg)
74
Lampiran 3. Data Penelitian.
PDCPO PWCPO PRODCPO XCPO ER PETAHUN (RP/KG) (US$/TON) (000 TON) (000 TON)1990 585 290 2413 816 1901 0.001991 655 339 2658 1168 1992 0.001992 728 394 3266 1030 2062 0.001993 694 378 3421 1632 2110 0.001994 983 528 4008 1631 2200 0.401995 1275 628 4480 1265 2308 0.401996 1148 531 4899 1672 2393 0.401997 1424 546 5449 2968 4650 0.401998 3925 671 5930 1479 8025 0.601999 2979 436 6456 3299 7100 0.042000 3217 356 7001 4110 9595 0.052001 3242 283 8396 4903 10435 0.032002 4213 390 9622 6334 8940 0.032003 4268 443 10600 6386 8465 0.032004 4584 471 12380 8996 8990 0.032005 4826 422 13920 10476 9751 0.032006 4701 478 16080 12101 9141 0.015
CO PMG CCM PRODMG KONSMG (Rp/Kg) (000 TON) (000 TON) (000 T0N)11 800 1623 1055 44619 900 1528 993 49025 830 2545 1654 53528 905 2201 1431 56336 962 2334 1517 61037 1347 3216 2090 65936 1451 3333 2166 63037 1527 2439 1585 77948 5449 4179 2716 80326 4144 2547 1656 79152 3419 3361 2185 86453 3540 4117 2676 91928 4401 3491 2384 93341 4840 3927 2681 9259 5179 2978 2033 1024
35 5066 1387 947 1051148 5316 1172 800 1067
![Page 90: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/90.jpg)
75
Lampiran 3. (Lanjutan).
MCPO GNP(000 TON) TRILIUN RP
IHK
26 185.9817 62.8438 216.5509 67.89
309 247.4377 73.17152 317.2232 78.26124 367.9411 85.94
50 432.7983 91.29108 518.2958 100.00
92 609.3404 108.8418 901.8598 209.56
2 1015.9674 261.994 1172.7569 249.291 1622.2293 270.289 1767.3203 299.604 1936.2607 302.06
13 2190.4761 319.8522 2649.9599 351.7111 3193.9951 471.00
Keterangan
XCPOt = Ekspor CPO Indonesia pada tahun ke - t
PDCPOt = Harga CPO domestik pada tahun ke - t
PWCPOt = Harga Internasional berdasarkan CIF Rotterdam pada tahun ke - t
PEt = Pajak ekspor CPO pada tahun ke - t
ERt = Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada tahun ke - t
GNPt = Produk nasional bruto berdasarkah harga berlaku pada tahun ke - t
CCMt = Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng Indonesia pada tahun
ke - t
COt = Jumlah perusahaan penghasil minyak goreng di Indonesia pada
tahun ke - t
PRODMGt = Produksi minyak goreng domestik pada tahun
ke - t
KONSMGt = Konsumsi minyak goreng domestik pada tahun
ke - t
PMGt = Harga domestik minyak goreng pada tahun ke - t
MCPOt = Impor CPO Indonesia pada tahun ke - t
IHK = Indeks Harga Konsumen Indonesia (1996 = 100)
![Page 91: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/91.jpg)
76
Lampiran 4. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Ekspor CPO.
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: EKSPOR_CDependent variable: XCPO ekspor CPO
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 6 10.71588 1.78598 15.543 0.0003 Error 9 1.03412 0.11490 C Total 15 11.75000
Root MSE 0.33897 R-Square 0.9120 Dep Mean 7.87500 Adj R-SQ 0.8533 C.V. 4.30441
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|
INTERCEP 1 3.191195 2.841874 1.123 0.2905 QCPO 1 0.422248 0.258606 1.633 0.1369 PD 1 0.275157 0.203845 1.350 0.2100 PWCPO 1 0.136478 0.408752 0.334 0.7461 PE 1 -0.356289 0.190656 -1.869 0.0945 ER 1 -0.383333 0.269762 -1.421 0.1890 XCPO1 1 0.081447 0.285383 0.285 0.7818
Variable Variable DF Label
INTERCEP 1 Intercept QCPO 1 produksi CPO PD 1 harga CPO domestik PWCPO 1 harga CPO dunia PE 1 pajak ekspor ER 1 nilai tukar XCPO1 1 ekspor CPO t-1
Durbin-Watson 2.050 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation -0.043
![Page 92: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/92.jpg)
77
Lampiran 5. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit.
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: PRODUKSIDependent variable: QMGS produksi minyak goreng sawit domestik
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 6 2.85927 0.47655 5.655 0.0109 Error 9 0.75840 0.08427 C Total 15 4.00000
Root MSE 0.29029 R-Square 0.7904 Dep Mean 7.50000 Adj R-SQ 0.6506 C.V. 3.87049
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|
INTERCEP 1 -2.867839 2.873300 -0.998 0.3443 PMGS 1 1.017904 0.375793 2.709 0.0240 PD 1 -0.354193 0.293189 -1.208 0.2578 CCPO 1 1.035013 0.261474 3.958 0.0033 XCPO1 1 0.499847 0.195797 2.553 0.0310 MCPO 1 0.049361 0.071891 0.687 0.5096 QMGS1 1 -0.488003 0.224141 -2.177 0.0574
Variable Variable DF Label
INTERCEP 1 Intercept PMGS 1 harga minyak goreng sawit domestik PD 1 harga CPO domestik CCPO 1 input CPO yang digunakan industri minyak XCPO1 1 ekspor CPO t-1 MCPO 1 MCPO QMGS1 1 produksi minyak goreng sawit domestik t-1
Durbin-Watson 1.543 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation 0.220
![Page 93: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/93.jpg)
78
Lampiran 6. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Konsumsi Minyak Goreng Sawit.
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: KONSUMSIDependent variable: CMGS konsumsi minyak goreng sawit domestik
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 4 3.30668 0.82667 19.964 0.0001 Error 11 0.45549 0.04141 C Total 15 3.75000
Root MSE 0.20349 R-Square 0.8789 Dep Mean 6.62500 Adj R-SQ 0.8349 C.V. 3.07154
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|
INTERCEP 1 1.048389 0.805635 1.301 0.2197 PMGS 1 0.167270 0.139069 1.203 0.2543 GNP 1 0.236715 0.131594 1.799 0.0995 ER 1 0.354026 0.133287 2.656 0.0223 CMGS1 1 0.360870 0.254865 1.416 0.1845
Variable Variable DF Label
INTERCEP 1 Intercept PMGS 1 harga minyak goreng sawit domestik GNP 1 produk nasional bruto ER 1 nilai tukar CMGS1 1 konsumsi minyak goreng sawit domestik t-1
Durbin-Watson 2.782 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation -0.413
![Page 94: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/94.jpg)
79
Lampiran 7. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit.
The SAS System
SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model: HARGA_MGDependent variable: PMGS harga minyak goreng sawit domestik
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F
Model 5 1.70592 0.34118 2.636 0.0901 Error 10 1.29408 0.12941 C Total 15 3.00000
Root MSE 0.35973 R-Square 0.5686 Dep Mean 2.75000 Adj R-SQ 0.3530 C.V. 13.08123
Parameter Estimates
Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|
INTERCEP 1 -1.416205 1.478789 -0.958 0.3608 PD 1 0.474934 0.204428 2.323 0.0425 PWCPO 1 0.469105 0.328955 1.426 0.1843 PE 1 -0.238706 0.180312 -1.324 0.2150 ER 1 0.189595 0.239280 0.792 0.4465 PMGS1 1 0.487613 0.278608 1.750 0.1106
Variable Variable DF Label
INTERCEP 1 Intercept PD 1 harga CPO domestik PWCPO 1 harga CPO dunia PE 1 pajak ekspor ER 1 nilai tukar PMGS1 1 harga minyak goreng sawit domestik t-1
Durbin-Watson 2.101 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation -0.250
![Page 95: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/95.jpg)
80
Lampiran 8. Hasil Output SAS 16.2 Validasi Model.
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variables 12 Endogenous 4 Exogenous 8 Parameters 25 Equations 4
Number of Statements 8
Program Lag Length 1
Model Variables: XCPO QMGS CMGS PMGS QCPO PD PWCPO PE ER CCPO MCPO GNP
Parameters: A0: 3.191 A1: 0.4222 A2: 0.2752 A3: 0.1365 A4: -0.3563 A5: -0.3833 A6: 0.08145 B0: -2.868 B1: 1.018 B2: -0.3542 B3: 1.035 B4: 0.4998 B5: 0.04936 B6: -0.488 C0: 1.048 C1: 0.1673 C2: 0.2367 C3: 0.354 C4: 0.3609 D0: -1.416 D1: 0.4749 D2: 0.4691 D3: -0.2387 D4: 0.1896 D5: 0.4876
Equations: XCPO QMGS CMGS PMGS
The SAS System
SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Solution Summary
Dataset Option Dataset DATA= CPO
Variables Solved 4
Simulation Lag Length 1
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.3616E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 16 Average Iterations 1
Observations Processed Read 17 Lagged 1 Solved 16 First 2 Last 17
Variables Solved For: XCPO QMGS CMGS PMGS
![Page 96: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/96.jpg)
81
Lampiran 8. (Lanjutan) The SAS System
SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable Nobs N Mean Std Mean Std Label
XCPO 16 16 7.8750 0.8851 7.8750 0.8461 ekspor CPO QMGS 16 16 7.5000 0.5164 7.4903 0.4010 produksi minyak goreng sawit CMGS 16 16 6.6250 0.5000 6.6186 0.4449 konsumsi minyak goreng sawit PMGS 16 16 2.7500 0.4472 2.7199 0.3063 harga minyak goreng sawit
Statistics of Fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs % RMS RMS %Variable N Error Error Error Error Error Error R-Square
XCPO 16 0.0000493 0.1043 0.2174 2.84159 0.2537 3.3595 0.9124QMGS 16 -0.009666 0.1085 0.3501 4.75286 0.4091 5.6187 0.3305CMGS 16 -0.006440 -0.0140 0.1145 1.74935 0.1469 2.2359 0.9080PMGS 16 -0.0301 0.2840 0.2239 8.74965 0.2660 10.8459 0.6227
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions Inequality Coef
Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
XCPO 16 0.06437 0.955 0.000 0.000 1.000 0.022 0.978 0.0320 0.0160QMGS 16 0.16737 0.601 0.001 0.046 0.954 0.075 0.925 0.0544 0.0272CMGS 16 0.02157 0.955 0.002 0.047 0.951 0.132 0.866 0.0221 0.0111PMGS 16 0.07074 0.801 0.013 0.035 0.952 0.263 0.724 0.0955 0.0482
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change MSE Decomposition Proportions Inequality Coef
Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
XCPO 16 0.00118 0.848 0.000 0.008 0.992 0.039 0.961 0.5125 0.2693QMGS 16 0.00307 0.740 0.001 0.004 0.995 0.102 0.897 0.6739 0.3777CMGS 16 0.0005485 0.814 0.001 0.000 0.999 0.110 0.889 0.5621 0.3095PMGS 16 0.00906 0.836 0.004 0.016 0.979 0.029 0.967 0.5541 0.2902
![Page 97: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/97.jpg)
82
Lampiran 9. Output SAS 16.2 Kenaikan Harga CPO Dunia Sebesar SepuluhPersen.
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable Nobs N Mean Std Mean Std Label
XCPO 16 16 7.8750 0.8851 7.8899 0.8335 ekspor CPO QMGS 16 16 7.5000 0.5164 7.5579 0.3891 produksi minyak goreng sawit CMGS 16 16 6.6250 0.5000 6.6425 0.4355 konsumsi minyak goreng sawit PMGS 16 16 2.7500 0.4472 2.8114 0.3014 harga minyak goreng sawit
![Page 98: A08brh](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020110/557202ea4979599169a446c5/html5/thumbnails/98.jpg)
83
Lampiran 10. Output SAS 16.2 Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Satu Persen.
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable Nobs N Mean Std Mean Std Label
XCPO 16 16 7.8750 0.8851 7.8667 0.8399 ekspor CPO QMGS 16 16 7.5000 0.5164 7.4813 0.3978 produksi minyak goreng sawit CMGS 16 16 6.6250 0.5000 6.6164 0.4433 konsumsi minyak goreng sawit PMGS 16 16 2.7500 0.4472 2.7108 0.3034 harga minyak goreng sawit