a08brh

98
PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGA MINYAK GORENG SAWIT INDONESIA OLEH: BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG A 14105519 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: yahya-zulkarnain

Post on 26-Jul-2015

185 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: A08brh

PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGAMINYAK GORENG SAWIT INDONESIA

OLEH:BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG

A 14105519

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2008

Page 2: A08brh

ii

RINGKASAN

BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG. Pengaruh Ekspor CPO(Crude Palm Oil) Terhadap Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia. (Di bawahbimbingan HARIANTO).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas yang dalambeberapa tahun terakhir ini menjadi primadona di sektor perkebunan dengandibukakannya peluang investasi sebesar-besarnya oleh pemerintah baik daripemodal asing maupun domestik. Produksi CPO Indonesia pada tahun 2006menyumbang sekitar 43.29 persen terhadap total produksi CPO dunia yangberjumlah 36.7 juta ton atau meningkat delapan persen dari tahun sebelumnya,sedangkan Malaysia sebesar 43.23 persen. Total ekspor Indonesia mencapai 12juta ton, dengan negara tujuan ekspor adalah berturut-turut India, Belanda,Singapura dan Malaysia. Penjualan CPO mencapai 1,857 triliun pada semesterpertama tahun 2006, atau meningkat 17.6 persen dibanding semeter yang samapada tahun sebelumnya. Total keuntungan bersih mencapai 414.7 milyar ataumeningkat menjadi 7.6 persen (IPOC, 2006).

Produksi minyak goreng sawit pada tahun 2006 diperkirakan hanya sekitar0.8 juta ton, dengan kebutuhan CPO sebagai input sebesar 1.17 juta ton. Lainhalnya dengan konsumsi per kapita minyak dan lemak Indonesia, pada tahun 2006untuk wilayah kota dan desa mencapai 8.07 kg per tahun dimana konsumsi perkapita khusus minyak goreng kelapa sawit sebesar 4.80 kg per tahun.

Harga CPO dunia pada awal Mei mencapai US$ 740 per ton dandiperkirakan akan terus naik hingga mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan hargaCPO diindikasi karena adanya peningkatan permintaan dunia dan permainanpelaku pasar di lantai bursa. Oleh karena itu, sangat wajar apabila produsenmerespon dengan meningkatkan ekspor dibanding memasok kebutuhan domestik.Konsekuensi yang timbul adalah kurangnya suplai CPO domestik sehingga hargaminyak kelapa sawit sebagai produk turunan CPO melonjak hingga kisaran Rp7.600 Rp 8.500 per Kg.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan faktor-faktoryang mempengaruhi ekspor CPO dan harga minyak goreng sawit Indonesia,Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit danmengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang dilakukan pemerintah. Jenis datayang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat analisisTwo Stages Least Squares (2SLS). Adapun model yang dirumuskan terdiri dariempat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas.

Hasil analisis menunjukkan ekspor CPO Indonesia secara signifikandipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen,harga domestik CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilaitukar (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen. Secara ekonomi, terdapat satuvariabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telahditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yangdibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 91.20 persen.

Peubah produksi MGS secara signifikan dipengaruhi oleh harga MGS(PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS (CCPO), dan ekspor CPO satutahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel

Page 3: A08brh

iii

produksi minyak goreng satu tahun yang lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilaiyang signifikan dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabelyang tidak signifikan yaitu harga domestik CPO dan impor CPO (MCPO). Modeldapat menjelaskan keragaman produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6persen sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model. Nilai F-Hitmenunjukkan signifikansi model pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Prilaku konsumsi MGS domestik dipengaruhi secara signifikan olehpendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90 persen, nilaitukar (ER) sebesar 95 persen, dan konsumsi MGS tahun sebelumnya (CMGS1)sebesar 80 persen. Hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil yang tidaksignifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman konsumsi MGS87.89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Pembentukan harga minyak goreng sawit dipengaruhi secara signifikanoleh harga domestik CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, hargaCPO dunia (PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga padatahun sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanyavariabel nilai tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain itu,model yang dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar56.86 persen dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel di luarmodel dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen.

Berdasarkan simulasi pada kenaikan harga CPO dunia (PWCPO) sebesarsepuluh persen, kenaikan tersebut berdampak pada peningkatan seluruh variabel.Perubahan terbesar ada pada variabel harga minyak goreng sawit, dimanakenaikan harga CPO dunia sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknyaharga minyak goreng sawit sebesar 3.364 persen. Prosentase perubahan terendahada pada variabel XCPO, dimana perubahannya sebesar 0.189 persen.

Peningkatan PE sebesar satu persen ternyata mengakibatkan semuavariabel mengalami penurunan. Perubahan terbesar terjadi pada variabel PMGS,dimana peningkatan sebesar satu persen dari PE akan mengakibatkan penurunanPMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat menggambarkan bahwa kebijakan PEternyata memang memiliki dampak terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikanPE ini ternyata juga mengakibatkan penurunan dari sisi produksi dan konsumsiMGS

Page 4: A08brh

PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP HARGAMINYAK GORENG SAWIT INDONESIA

OLEH:BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG

A 14105519

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA PERTANIAN

pada

Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN

2008

Page 5: A08brh

Judul Skripsi : Pengaruh Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Terhadap Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia

Nama : BONA RACHMAT HIDAYATULLAH SITOHANG

NRP : A 14105519

`

Bogor, Maret 2008

Menyetujui,

Dr. Ir. Harianto, MS

NIP. 131 430 801

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr

NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus: Rabu, 16 Maret 2008

Page 6: A08brh

vi

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL PENGARUH EKSPOR CPO (Crude Palm Oil) TERHADAP

HARGA MINYAK GORENG SAWIT INDONESIA BELUM PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN

MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.

SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR

HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN

YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN

KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Maret 2008

Bona Rachmat H SitohangA 14105519

Page 7: A08brh

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 April 1985 di Kota Jambi, Propinsi

Jambi. Penulis merupakan putera kedua dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda

H. Frabby C Sitohang, BA dan Ibunda Hj. Ani Roslaini.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1997 di

SDN 109 Palembang. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di Yayasan Hajjah Rahmah Nasution Al Azhar Medan

dan lulus pada tahun 1999. Di tempat yang sama pula penulis menyelesaikan

pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2002.

Bulan Agustus 2002, penulis diterima di Program Diploma 3 Program

Studi Pengelola Perkebunan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui

program USMI dan lulus pada tahun 2005. Setelah itu, penulis kembali

melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi lagi pada Program Sarjana

Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan

dan yang terakhir penulis dipercaya sebagai Ketua Keluarga Muslim Ekstensi

(KAMUS) periode 2007/2008.

Page 8: A08brh

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Alloh SWT, Tuhan semesta

alam, tiada tuhan selain Alloh, Rabb yang telah menurunkan islam sebagai mabda

(ideologi) yang merupakan solusi atas seluruh problematika kehidupan manusia.

Atas Rahmat, karunia, dan izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan srkripsi yang

berjudul Pengaruh Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Terhadap Harga Minyak

Goreng Sawit Indonesia . Sholawat beriring salam semoga tetap tercurahkan

kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat

serta pengikutnya hingga akhir masa.

Sedikit bercerita mengenai pengalaman penulis selama proses penelitian

topik ini, sungguh sangat penuh tantangan dan cobaan. Dimulai dari proses

hunting data, pencarian informasi, hingga ketika proses pengolahan data, Banyak

hikmah yang penulis dapatkan dari kesemua proses tersebut. Penelitian ini

didasari pada keprihatinan penulis atas kondisi minyak goreng sawit Indonesia.

Indonesia yang dikenal sentra produksi CPO, yaitu sebagai bahan baku minyak

goreng, ternyata mengalami krisis pada tingkat industri maupun tingkat konsumen

minyak goreng.

Akhirnya, semoga karya persembahan penulis ini dapat bermanfaat dan

menginspirasi para pembaca dalam menambah cakrawala berfikir. Akhirul kalam,

semoga aktifitas kita semua di ridhoi oleh Alloh SWT.

Bogor, Maret 2008

Penulis

Page 9: A08brh

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan petunjuk dan

kemudahan pada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya. Alloh juga telah mempertemukan kepada penulis orang-orang yang

sangat luar biasa dalam membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu,

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa memberikan doa dan menjadi

motivator, pendukung baik moril maupun materil dan pendengar yang baik

atas keluh kesah penulis. Kakak dan adik, Wijaya Kusuma Dewi, ST dan

Sahala Fajarillah Sitohang. Uda Saud dan keluarga serta keluarga besar di

Bekasi. Terima kasih atas segalanya.

2. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS. selaku dosen pembimbing, atas segala masukan

dan bimbingan yang telah bapak berikan. Meskipun kesibukan Bapak sangat

luar biasa, tetap mau menyempatkan diri untuk membagikan ilmunya kepada

penulis.

3. Ibu Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec. sebagai Ketua Program Sarjana Ekstensi

Manajemen Agribisnis, IPB dan dosen evaluator penulis ketika kolokium

proposal skripsi. Masukan, motivasi, dan pujian Ibu sungguh membuat saya

semakin bersemangat.

4. Bapak Ir. Burhanudin, MM selaku dosen penguji utama dan Bapak Ir Joko

Purwono, MS selaku dosen penguji komisi pendidikan atas masukan dan

arahannya.

5. Bapak Rahmat Yanuar, SP, M.Si (Mas Way), dosen, murobbi, sekaligus

teman diskusi penulis ketika terjadi stagnasi dalam penulisan skripsi.

6. Sekretariat Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis yang telah

memberikah pelayanan yang luar biasa kepada penulis. Mba Nur, Mba Rahmi,

Mba Maya, Mba Liesca, Mas Aji, dan Mas Agus terima kasih banyak, mohon

maaf apabila ada kata dan tindak tanduk penulis yang kurang berkenan.

7. Ibu Dinah dan Bapak Hamdan serta keluarga yang telah memberikan nasehat

dan motivasinya.

Page 10: A08brh

x

8. Keluarga Muslim Ekstensi (KAMUS) IPB Jazzakumulloh Khairon Katsiron.

Ikhwannya: Akh Rudy, Fajar, Wawan, Ubay, Arif, Aris, Topan, Restu,

Sudarlin, Aulia, Ibrahim, Ari, Solihin, dan lain-lain serta Akhwatnya: Mba

Ella, Mba Matus, Endah, Kiki, Mira, Yuyun, Anggi, Wiwin dan lain-lain.

9. Teman se-angkatan MAB 13 & 14 serta adik-adik dari ekstensi AGB 1 & 2,

terima kasih atas masukannya selama kolokium dan seminar.

10. Mahasiswa PLP 39, David, Fitrial, Uut, Tovan, Ervan. Semoga cepat lulus.

11. Saudara saudari Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan dan Sekitarnya

(IMMAM) IPB, Rusdi, Bang Yuda, Bang Iben, Bang Indra, Riza, Topan,

Fadli, Dana, Lia, Riri, Aziz, Hedi, dan lain-lain. Terima kasih atas

dukungannya.

12. Semua pihak, teman, serta kerabat yang tidak tercantum, penulis ucapkan

permintaan maaf, dan terima kasih atas bantuan yang tidak tertara ini.

Bogor, Maret 2008

Penulis

Page 11: A08brh

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 11.1 Latar Belakang .................................................................................... 11.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 51.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 71.4 Lingkup dan Kegunaan Penelitian........................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 82.1 Agribisnis Kelapa Sawit ...................................................................... 82.2 Penelitian Terdahulu............................................................................ 13

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN..................................................... 183.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................... 18 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional ................................................. 18

3.1.2 Teori Ekspor Impor..................................................................... 193.1.3 Penawaran Ekspor CPO.............................................................. 203.1.4 Produksi Minyak Goreng Sawit .................................................. 213.1.5 Konsumsi Minyak Goreng Sawit ................................................ 233.1.6 Pembentukan Harga.................................................................... 233.1.7 Kebijakan Pajak Ekspor.............................................................. 25

3.1.8 Model Persamaan Simultan ....................................................... 283.2 Kerangka Pemikiran Operasional......................................................... 30

BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................... 334.1 Jenis dan Sumber Data......................................................................... 334.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 334.3 Spesifikasi Model ................................................................................ 334.4 Identifikasi Model ............................................................................... 364.5 Validasi Model .................................................................................... 374.6 Simulasi Kebijakan.............................................................................. 384.7 Pengujian Model dan Hipotesis............................................................ 394.8 Pendugaan Nilai Elastisitas .................................................................. 404.9 Uji Autokorelasi .................................................................................. 41

BAB V GAMBARAN UMUM KOMODITI CPO DAN MINYAK GORENG SAWIT .................................................................... 425.1 Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit .................................. 425.2 Pola Produksi dan Ekspor CPO ........................................................... 435.3 Pola Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit ........................... 465.4 Pola Harga Minyak Goreng Sawit........................................................ 485.5 Kebijakan Pajak Ekspor....................................................................... 50

Page 12: A08brh

xii

BAB VI KETERKAITAN EKSPOR CPO DENGAN HARGA MINYAK GORENG SAWIT .................................................. 536.1 Pendugaan Model Ekspor CPO............................................................ 536.2 Pendugaan Model Produksi Minyak Goreng Sawit (MGS) Domestik ............................................................................................. 556.3 Pendugaan Model Konsumsi Minyak Goreng Sawit Domestik............. 576.4 Pendugaan Model Harga Minyak Goreng Sawit Domestik................... 59

BAB VII EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAPPENETAPAN PAJAK EKSPOR ............................................................... 627.1 Dampak Kenaikan Harga CPO Dunia (PWCPO) Sebesar Sepuluh Persen .................................................................................... 627.2 Dampak Kenaikan PE Sebesar Satu Persen.......................................... 63

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 658.1 Kesimpulan ......................................................................................... 658.2 Saran ................................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 68

LAMPIRAN ................................................................................................ 71

Page 13: A08brh

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Alokasi Perluasan Lahan Kelapa Sawit Dalam Program Revitalisasi Hingga Tahun 2010 ................................................................................. 42

2. Alokasi Penanaman Kembali Lahan Kelapa Sawit Dalam Program Revitalisasi Hingga Tahun 2010 .............................................................. 43

3. Perkiraan Jumlah Permintaan Domestik dan Produksi Tahunan Terhadap CPO dan Olahannya (Ton), 2006 2010 ................................................. 44

4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO (XCPO)Indonesia................................................................................................. 53

5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Goreng Sawit (QMGS) Indonesia ........................................................................ 56

6. Hasil Estimasi Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Goreng Sawit (CMGS) Indonesia ............................................... 58

7. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak Goreng Sawit (PMGS) Indonesia ......................................................................... 60

8. Dampak Kenaikan Harga CPO Dunia (PWCPO) Sebesar Sepuluh Persen ........................................................................................ 62

9. Dampak Kenaikan PE Sebesar Satu Persen.............................................. 64

Page 14: A08brh

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Utama (Ribu Ton) Tahun 2006. ............................................................................................ 2

2. Pangsa Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit Menurut Wilayah Tahun 2005 ............................................................................................. 3

3. Perkembangan harga beberapa minyak nabati dunia (US$/Ton) CIF Rotterdam, 2001 2007 .......................................................................... 4

4. Mekanisme Perdagangan Internasional .................................................... 20

5. Pembebanan Pajak Ekspor....................................................................... 26

6. Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor CPO Terhadap Industri CPO ......... 27

7. Skema Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 32

8. Hubungan Keterkaitan Antar Model Pengaruh Ekspor CPO Terhadap

Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................... 34

9. Plot data produksi dan ekspor CPO serta keterkaitannya dengan kondisi permintaan CPO dunia dan domestik (000 Ton), 1990 2006 ................. 44

10. Pola Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia (Juta Ton), 1990 2006........................................................... 46

11. Pola Perkembangan Konsumsi CPO Oleh Industri Minyak Goreng Sawit

Indonesia (Ribu Ton), 1996 2006 ......................................................... 47

12. Pola Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit Domestik, 1990 2006............................................................................................. 48

13. Pola Pergerakan Harga Minyak Goreng Sawit (Rp/Kg) dan Kurs Rupiah Terhadap Dollar US, 1990 2006 ........................................................... 49

14. Pola Perkembangan Harga CPO Dunia (PWCPO), Harga CPODomestik (PDCPO) dan Harga Minyak Goreng Domestik (PMGS)(Rp/Kg), 1990 2006 ............................................................................. 50

15. Perkembangan Pajak Ekspor (%), 1998 2007........................................ 51

Page 15: A08brh

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pohon Industri Kelapa Sawit ................................................................... 72

2. Instansi atau Lembaga Sumber Pengambilan Data Penelitian .................. 73

3. Data Penelitian........................................................................................ 74

4. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Ekspor CPO ...................................... 76

5. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit......... 77

6. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Konsumsi Minyak Goreng Sawit....... 78

7. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit ............. 79

8. Hasil Output SAS 16.2 Validasi Model ................................................... 80

9. Output SAS 16.2 Kenaikan Harga CPO Dunia Sebesar

Sepuluh Persen ........................................................................................ 82

10. Output SAS 16.2 Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Satu Persen. .............. 83

Page 16: A08brh

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian, yang

mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan (sektor peternakan

Indonesia belum mampu berbicara banyak di tingkat internasional). Potensi alam

Indonesia memungkinkan pengembangan ke semua sektor tersebut. Khusus pada

sektor perkebunan, telah dikenal komoditas-komoditas seperti karet alam, lada,

kopi robusta, teh, kakao, jambu mete dan kelapa sawit sebagai komoditas ekspor

andalan Indonesia.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas yang dalam

beberapa tahun terakhir ini menjadi primadona di sektor perkebunan dengan

dibukakannya peluang investasi sebesar-besarnya oleh pemerintah baik dari

pemodal asing maupun domestik. Contoh investasi yang dilakukan pemerintah,

yaitu pada tahun 2005, rencana perluasan perkebunan kelapa sawit di perbatasan

Kalimantan dan Malaysia yang dipersiapkan menjadi perkebunan dan fasilitas

pemrosesan kelapa sawit terbesar di Indonesia1. Hal ini juga dapat dilihat dari

perkembangan luas areal kelapa sawit selama dua dekade terakhir menunjukkan

pertumbuhan yang signifikan. Tahun 1980 luas areal kelapa sawit sebesar 290

ribu ha kemudian tumbuh sebesar 26.9 persen per tahun, sehingga pada tahun

2006 luas areal kelapa sawit menjadi 2,636 ribu ha.

Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, merujuk pada investasi

yang dilakukan pada tahun 2005 tersebut, lebih dari 500,000 pekerja akan

dilibatkan dalam proyek ini dan akan menghabiskan biaya sekitar Rp 5.5 triliun

(US$ 567 juta) untuk jangka waktu lima tahun. Proyek ini diproyeksikan mulai

menghasilkan minyak sawit setelah tahun 20102 yang menurut perkiraan

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada tahun itu Indonesia

akan menjadi produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia3. Kenyataannya,

tidak perlu menunggu sampai tahun 2010, produksi CPO Indonesia pada tahun

1 http://dte.gn.apc.org [Agustus 2005]2 Loc Cit.3 http://www.kompas.com [17 Mei 2005]

Page 17: A08brh

2

2006 telah menjadi yang terbesar di dunia yaitu sebesar 16,080 ribu ton, disusul

kemudian Malaysia dengan total produksi sebesar 15,881 ribu ton. Selengkapnya

dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

16080

15881

815

885

711

0 5000 10000 15000 20000

Indonesia

Malaysia

Nigeria

Thailand

Kolombia

Gambar 1. Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Utama (Ribu Ton)Tahun 2006.

Sumber: Oil World. 2007

Produksi CPO Indonesia pada tahun 2006 menyumbang sekitar 43.29

persen terhadap total produksi CPO dunia yang berjumlah 36.7 juta ton atau

meningkat delapan persen dari tahun sebelumnya, sedangkan Malaysia sebesar

43.23 persen. Total ekspor Indonesia mencapai 12 juta ton, dengan negara tujuan

ekspor adalah berturut-turut India, Belanda, Singapura dan Malaysia. Penjualan

CPO mencapai 1,857 triliun pada semester pertama tahun 2006, atau meningkat

17.6 persen dibanding semeter yang sama pada tahun sebelumnya. Total

keuntungan bersih mencapai 414.7 milyar atau meningkat menjadi 7.6 persen

(IPOC, 2006).

CPO merupakan komoditas unggulan ekspor Indonesia mengingat devisa

yang didapat dan potensi pengembangannya sangat menjanjikan. Sebagai

gambaran, berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perkebunan

(DITJENBUN) (2007), ekspor CPO tahun 1980 sebesar 0.503 juta ton senilai

US$ 0.255 milyar, meningkat menjadi 12.1 juta ton pada tahun 2006 dengan nilai

US$ 4.8 milyar. Hal ini didukung mengingat konsumsi minyak nabati dan lemak

dunia tiap tahunnya mengalami pertumbuhan sebesar 4.18 persen dan khusus

CPO tiap tahunnya tumbuh sebesar 8.07 persen

Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri

melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO

(Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil). CPO dapat diuraikan untuk

Page 18: A08brh

3

produksi minyak sawit padat (RBD Stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair

(RBD Olein). RBD Olein merupakan bahan utama dalam pembuatan minyak

goreng. Minyak goreng termasuk kebutuhan pokok konsumsi masyarakat sehari-

hari. Perkembangan industri minyak goreng sawit, dari awal tahun 90-an hingga

sekarang, mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi

masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit. Tahun

2006 diperkirakan produksi minyak goreng sawit hanya sekitar 0.8 juta ton,

dengan kebutuhan CPO sebagai input sebesar 1.17 juta ton. Lain halnya dengan

konsumsi per kapita minyak dan lemak Indonesia, pada tahun 2006 untuk wilayah

kota dan desa mencapai 8.07 kg per tahun di mana konsumsi per kapita khusus

minyak goreng kelapa sawit sebesar 4.80 kg per tahun.

Pemenuhan kebutuhan minyak goreng sawit dalam negeri berhubungan

dengan sejauh mana industri minyak goreng domestik tumbuh, baik secara

kapasitas produksi maupun penyebarannya. Selama ini industri minyak goreng

sawit dalam negeri masih terpusat di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Persentase volume produksi minyak goreng kelapa sawit terbesar berturut-turut

berada di pulau Jawa, yaitu sebesar 51.4 persen, pulau Sumatera 47.5 persen,

kemudian di pulau Kalimantan yang hanya sebesar 1.1 persen. Kondisi di pulau

Kalimantan sangat bertolak belakang pada fakta bahwa lahan perkebunan kelapa

sawit pulau tersebut paling luas dibanding pulau-pulau lain, namun pabrik

pengolahan CPO-nya sangat terbatas. Data persentase volume produksi pulau ini

hanya berasal dari satu propinsi saja, yaitu propinsi Kalimantan Barat.

Sumatera48%

KalimantanBarat1%

Pulau Jawa51%

Gambar 2. Pangsa Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit Menurut WilayahTahun 20054.

4 http://www.wartaekonomi.com. [10 Juli 2007]

Page 19: A08brh

4

Seiring dengan beralihnya pola konsumsi masnyarakat dari minyak goreng

kelapa ke minyak goreng sawit, kondisi minyak goreng sawit domestik sering

mengalami berbagai gejolak krisis. Dimulai pada tahun 1994, kemudian berlanjut

pada tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Pertengahan tahun

2007 tersebut, masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada melonjaknya harga

minyak goreng sawit hingga mencapai 50 persen5 dari harga normal yang berkisar

Rp 6,500 Rp 6,800. Tingginya harga minyak goreng sawit ini merupakan

dampak setelah terjadi kenaikan serupa pada beberapa harga minyak nabati dunia,

termasuk CPO.

0100200300400500600700800900

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

M.Sawit(US$/TON)M.Kedelai(US$/TON)M.Kelapa(US$/TON)M.Bunga Matahari(US$/TON)

Gambar 3. Perkembangan harga beberapa minyak nabati dunia (US$/Ton) CIFRotterdam, 2001 2007.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007

Problematika ini tidak lepas dari peranan dari komoditas CPO itu sendiri

sebagai bahan baku olahan minyak goreng. Kondisi permintaan dan penawaran

domestik CPO tentunya dipengaruhi kekuatan permintaan dan penawaran di pasar

internasional, mengingat Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka. Harga

yang meningkat di pasaran internasional dapat menjadi indikasi bahwa hal ini

dapat menjadi insentif ekspor bagi pengusaha CPO domestik. Laju ekspor yang

tidak terkendali dapat mengakibatkan kurangnya pasokan CPO domestik,

sehingga industri minyak goreng sawit tidak mendapatkan pasokan yang cukup.

Oleh karena itu, pengkajian mengenai mekanisme yang tepat dalam

pengaturan perdagangan CPO serta kaitannya terhadap harga minyak goreng

kelapa sawit menjadi penting untuk dilakukan. Mekanisme yang tepat ini diartikan

sebagai penyeimbang aliran perdagangan CPO, sehingga produsen CPO tidak

5http://www.tempointeraktif.com. [07 Mei 2007]

Page 20: A08brh

5

dirugikan dengan hilangnya pasar-pasar potensial di saat harga komoditas yang

tinggi dan industri minyak goreng kelapa sawit pun dapat beroperasi dengan baik

sehingga dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.

1.2 Perumusan Masalah

Harga CPO dunia yang pada tahun 2007 melonjak naik lebih tinggi

dibanding tahun-tahun sebelumnya telah memberikan andil yang cukup besar atas

gejolak harga minyak goreng sawit curah yang terjadi di berbagai daerah di

Indonesia. Harga CPO dunia pada awal Mei mencapai US$ 740 per ton dan

diperkirakan akan terus naik hingga mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan harga

CPO diindikasi karena adanya peningkatan permintaan dunia dan permainan

pelaku pasar di lantai bursa. Peningkatan permintaan yang tidak sebanding dengan

produksi dan suplai CPO di pasar internasional mengakibatkan naiknya harga

CPO dunia. Berdasarkan data tahun 2006, konsumsi CPO dunia diperkirakan

sebesar 36 juta ton, sedangkan ekspor CPO dunia baru memenuhi 82.9 persen dari

konsumsi dunia tersebut (Ditjenbun).

Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut sangat wajar apabila produsen

merespon dengan meningkatkan ekspor dibanding memasok kebutuhan domestik.

Selain menguntungkan, pengusaha tidak ingin hilangnya pasar-pasar potensial

dengan adanya pengurangan ekspor. Konsekuensi yang timbul adalah kurangnya

suplai CPO domestik sehingga harga minyak goreng kelapa sawit sebagai produk

turunan CPO melonjak hingga kisaran Rp 7,600 Rp 8,500 per Kg6.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan berbagai kebijakan rasionalisasi harga

minyak goreng di dalam negeri agar turun pada kisaran Rp 6,500 Rp 6,800 per

kg di tingkat eceran. Kisaran harga ini dianggap ideal untuk meredam berbagai

pengaruh negatif terhadap perekonomian seperi inflasi. Kebijakan yang diambil

antara lain menaikkan pajak ekspor (PE) CPO dan kebijakan wajib pasok pasar

domestik (Domestic Market Obligation/DMO) kepada produsen minyak sawit

mentah (CPO) di dalam negeri.

Pajak ekspor (PE) CPO terbaru pada pertengahan Juni 2007 resmi

ditetapkan yaitu sebesar 6.5 persen atau naik sekitar lima persen dari sebelumnya

6http://www.tempointeraktif.com. [21 Mei 2007]

Page 21: A08brh

6

sebesar 1.5 persen. Hal ini bertujuan agar pasokan (Supply) CPO yang cenderung

lebih banyak diekspor dapat diseimbangkan dengan kebutuhan dalam negeri.

Menurut Menteri Koordinasi Perekonomian Indonesia, besar PE tergantung dari

kondisi di dalam negeri sehingga perlu dievaluasi tiga sampai enam bulan ke

depan sejak ditetapkan PE yang baru7.

Kebijakan wajib pasok pasar domestik (DMO) yang ditetapkan pemerintah

mewajibkan produsen CPO untuk memasok 100 ribu ton CPO per bulan untuk

memenuhi kebutuhan domestik. Pembahasan mengenai program ini seperti yang

diungkapkan Menteri Pertanian Indonesia masih belum terperinci dan sampai saat

ini pun belum terealisasi. Contohnya seperti persentase dari produksi yang harus

dipasok, jenis produk apa saja yang terkena DMO (CPO atau produk turunannya),

pihak yang diwajibkan, sangsi serta bentuk pengawasannya. DMO merupakan

solusi yang bisa diharapkan dan diterima karena sesuai dengan isi UU No.

18/2004 tentang perkebunan yang mengamanatkan untuk mengamankan pasokan

dalam negeri. Landasan hukum program ini ditetapkan berdasarkan surat

keputusan (SK) Menteri Pertanian Indonesia8.

Penetapan kedua kebijakan di atas menimbulkan beberapa polemik yaitu

pemerintah belum secara pasti menetapkan apakah DMO dan PE CPO dijalankan

secara bersama-sama, atau DMO secara otomatis menggugurkan kebijakan PE

CPO, ataupun sebaliknya. Kedua pilihan ini dapat menjadi pertimbangan

pemerintah dari berbagai sisi, di mana produsen CPO tidak dirugikan dan begitu

juga konsumen minyak goreng.

Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat diperoleh beberapa permasalahan

yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Bagaimanakah keterkaitan pasar CPO dengan pasar minyak goreng sawit di

Indonesia ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan ketersediaan

minyak goreng sawit di Indonesia?

3. Bagaimanakah pengaruh kebijakan pemerintah di pasar CPO terhadap kinerja

harga minyak goreng Indonesia ?

7 http://www.antara.co.id. [18 Juni 2007]8 http://www.antara.co.id. [07 April 2007]

Page 22: A08brh

7

1.3 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan pasar minyak goreng sawit

di Indonesia.

2. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan harga

minyak goreng sawit Indonesia.

3. Mengkaji pengaruh kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah

dalam program rasionalisasi harga minyak goreng sawit dalam negeri.

1.4 Lingkup dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini membatasi cakupan analisanya hanya pada keterkaitan

antara ekspor CPO, bukan prilaku pasar CPO, dengan variabel-variabel yang

mempengaruhinya terhadap harga eceran minyak goreng sawit juga dengan

faktor-faktor yang mempengaruhinya serta pengaruh kebijakan pajak ekspor CPO.

Studi mengenai peramalan time series, studi integrasi pasar kedua komoditas

tersebut serta studi mengenai pengaruh kebijakan terhadap petani dan konsumen

bukan menjadi bagian dari penelitian ini. Hasil dari penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat bagi siapa saja dengan latar belakang apapun baik dari kalangan

pemerintahan, pengusaha, maupun masyarakat yang memiliki perhatian yang

khusus terhadap kondisi pasar CPO dan pasar minyak goreng sawit Indonesia.

Page 23: A08brh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agribisnis Kelapa Sawit

Indonesia telah memulai upaya pengintroduksian tanaman kelapa sawit (Elaeis

guineensis Jacq.) sejak tahun 1848 yaitu dengan penanaman empat pohon kelapa

sawit di Kebun Raya Bogor. Hingga sekarang, perkembangan penanaman kelapa

sawit secara komersil terus meluas di berbagai daerah di Indonesia, sehingga

kelapa sawit telah menjadi komoditas penghasil minyak nabati terbesar di dunia.

Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

berdasarkan pengamatan pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique,

kawasan Hindia Barat, Amerika Tengah. Kata Elaeis (Yunani) berarti minyak,

sedangkan kata guineensis dipilih berdasarkan keyakinan Jacquin bahwa kelapa

sawit berasal dari Guinea (Afrika). Taksonomi kelapa sawit secara umum sebagai

berikut :

Divisi : Tracheophyta

Subdivisi : Pteropsida

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledoneae

Ordo : Spadiciflorae (Arecales)

Familia : Palmae (Arecaceae)

Subfamilia : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq.

Pengusahaan kelapa sawit di Indonesia terdiri dari tiga bentuk utama, yaitu

perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta, dan perkebunan besar negara.

Bentuk lain dari pengusahaan kelapa sawit dikenal dengan PIR (Perusahaan Inti

Rakyat), yang pada dasarnya merupakan bentuk gabungan antara perkebunan

rakyat dengan perkebunan besar negara atau dengan perkebunan besar swasta.

Pelaksanaan usaha tani di bidang perkebunan, termasuk di dalamnya

kelapa sawit, harus berpedoman kepada Tridarma Perkebunan yang berbunyi

sebagai berikut:

Page 24: A08brh

9

1. Menghasilkan devisa maupun rupiah bagi negara dengan cara seefisien-

efisiennya.

2. Memenuhi fungsi sosial, di antaranya berupa pemeliharaan atau penambahan

lapangan kerja bagi warga negara Indonesia.

3. Memelihara kekayaan alam, berupa pemeliharaan dan peningkatan kesuburan

tanah dan tanaman yang berwawasan kelestarian lingkungan.

Usaha tani kelapa sawit, seperti halnya dengan jenis-jenis usaha tani

lainnya, dibina secara langsung oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Peran

instansi-instansi baik di luar maupun di dalam lingkup Departemen Pertanian dan

Perkebunan sendiri juga sangat diperlukan dalam upaya pengembangan

pengusahaan kelapa sawit.

Berdasarkan kajian Mangoensoekarjo dan Tojib (2000), keterkaitan dalam

ruang lingkup Direktorat Jendral Perkebunan pada usaha tani kelapa sawit

dikaitkan dengan penerapan pola PIR. Peran beberapa bagian atau instansi seperi

Tim khusus PIR (TK PIR), instansi-instansi eselon I dalam Departemen Pertanian

dan Perkebunan yang lingkup tugasnya bersifat sektoral (mencakup seluruh tubuh

Departemen), yaitu sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian

dan Pengembangan (Litbang) dan Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan

(Badan Diklatluh) berperan serta sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.

Selain itu beberapa Biro lain seperti Biro Perencanaan dapat memberikan saran

dan masukan-masukan yang berharga. Penyediaan teknologi dan bibit unggul

sebagai peran Badan Litbang, pada prakteknya dilakukan oleh lembaga-lembaga

penelitian kelapa sawit. Program-program pelatihan kepada para pembina

lapangan dan petani apabila dianggap perlu merupakan peran Badan Litbang

Departemen Pertanian dan Perkebunan.

Keterkaitan luar lingkup Departemen Pertanian dan Perkebunan

menyangkut program atau proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Program atau proyek ini termasuk dalam skala besar dilihat dari luas arealnya,

tenaga kerja yang diserap, dan dana yang dibutuhkan. Oleh karena itu, program ini

termasuk dalam pembinaan Departemen Keuangan dan Menteri Negara

Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas/BPPT. Menteri Negara

tersebut melakukan koordinasi lintas sektoral secara intensif dalam perencanaan,

Page 25: A08brh

10

pelaksanaan, dan pengawasan sejumlah program serupa. Peran Badan Koordinasi

dan Penanaman Modal (BKPM), baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam

penelaahan dan penilaian program ini karena menyangkut penanaman modal

dalam jumlah besar yang modal investasi dapat berasal dari dalam atau luar

negeri.

2.1.1 Pengolahan Kelapa Sawit

Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak.

Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal

sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak

yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Selain

minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut,

cangkang (tempurung), dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini

dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak, dan bahan

untuk industri.

Keunggulan minyak sawit dapat dilihat dari susunannya yang terdiri dari

asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Minyak kelapa sawit juga

mengandung beta karoten atau pro-vitamin A, antioksidan, dan pro-vitamin E

(tokoferol dan tokotrienol) yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme dan

untuk kesehatan tubuh manusia.

Produk kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam jenis bahan makanan

(oleofood), bahan non makanan (oleochemical), dan bahan kosmetika dan farmasi.

Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan

diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan hidrogenasi. Umumnya CPO

sebagian besar difraksionasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi

stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, sedangkan fraksi

stearin untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan baku olein

antara lain: minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak

(shortening), bahan pengisi (adatif), industri makanan ringan dan sebagainya.

Minyak kelapa sawit sebagai bahan bukan pangan dapat dipakai untuk

bahan industri berat maupun ringan, antara lain untuk industri penyamakan kulit

agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit

Page 26: A08brh

11

sebagai minyak pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi. Minyak

kelapa sawit pun digunakan industri perak sebagai bahan flotasi pada pemisahan

bijih tembaga dan cobalt, dan pada industri ringan dipakai sebagai bahan baku

sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak, dan sebagainya.

Pengolahan minyak kelapa sawit melalui proses hidrolisis menghasilkan

asam lemak dan gliserin, yang selanjutnya dapat diproses menjadi turunan-

turunan asam lemak, seperti amine alkohol dan metilester. Bahan-bahan ini dapat

dipakai sebagai bahan dasar pembuatan cat dinding atau cat kayu, tinta cetak,

pasta gigi, pembuatan plastik, minyak diesel, kerosen, atau gasoline.

Minyak kelapa sawit selain untuk industri bahan makanan dan non

makanan, juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan

industri farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak

dipakai untuk pembuatan shampo, krim, minyak rambut, sabun cair, lipstik dan

sebagainya. Prospek pemakaian dan kebutuhan akan minyak kelapa sawit untuk

keperluan pangan menurut Mangoensoekarjo dan Tojib (2000), banyak ditentukan

oleh situasi pasar minyak kedelai, sedangkan untuk keperluan non pangan

ditentukan keadaan pasar lemak sapi (tallow). Lemak sapi sabagai lemak non

pangan merupakan produk yang murah, karena merupakan hasil sampingan

produk daging. Asam lemak sangat tepat dan ekonomis apabila dihasilkan dari

produk ikutan proses fraksinasi dan rafinasi minyak kelapa sawit yaitu acid oil

yang harganya dapat menyaingi harga tallow.

2.1.2 Minyak Goreng Kelapa Sawit

Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang

dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di

pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula

dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman selama

ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak

ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.

Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau

hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Page 27: A08brh

12

digunakan untuk menggoreng makanan9. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya

dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan,

jagung, kedelai, dan kanola.

Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, pada masa sebelum orde

baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh

jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi

kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak

goreng asal sawit. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak kelapa

mengandung lemak jenuh dalam jumlah tinggi. Rendahnya lemak jenuh dalam

minyak sawit karena produksi minyak sawit melalui proses pemanasan dan

pengepresan.

Besarnya kebutuhan minyak goreng domestik Indonesia menjadikan

peranan pengembangan agribisnis minyak goreng sangat penting artinya bagi

perekonomian nasional. Hal ini mencakup penciptaan nilai tambah, penyerapan

tenaga kerja, penciptaan dan atau penghematan devisa serta pendapatan petani

penghasil bahan baku penghasil minyak goreng.

Agribisnis minyak goreng secara umum berdasarkan definisi Sumaryanto

dan Rantetena (1996), merupakan keseluruhan rangkaian proses mulai dari

produksi bahan baku, pengolahan bahan baku tersebut menjadi minyak goreng,

dan pemasaran produk akhir minyak goreng yang dihasilkan. Sistem produksi

bahan baku sangat tergantung pada jenis minyak goreng. Bahan baku untuk

minyak goreng asal kelapa, sebagian besar berasal dari hasil produksi perkebunan

rakyat. Untuk minyak goreng asal sawit, sebagian besar bahan bakunya berasal

dari hasil produksi perkebunan milik negara dan perkebunan besar swasta.

Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan

swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas

strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu

memantau perkembangan pemasarannya tersebut agar ketersediaannya di pasar

mencukupi dengan harga relatif stabil. Salah satu cara untuk mengindentifikasi

jaringan agribisnis minyak goreng adalah dengan mengetahui pohon industri dari

bahan bakunya. Pohon industri komoditas bahan baku menyajikan ragam jenis,

9 http://id.wikipedia.org [10 juli 2007]

Page 28: A08brh

13

alur dan jaringan produk olahan dari bahan baku tersebut (kelapa sawit). Pohon

industri kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.2 Penelitian Terdahulu

2.2.1 Ekspor CPO

Penelitian Mahisya (2004) mengenai analisis permintaan ekspor CPO

Indonesia melalui pendekatan Error Correction Model memberikan hasil

berdasarkan variabel jangka pendek dan jangka panjangnya. Variabel jangka

pendek yaitu harga domestik, lag tiga harga ekspor, lag tiga nilai tukar,

memberikan pengaruh yang nyata terhadap volume ekspor CPO Indonesia pada

taraf nyata 20 persen dengan pengaruh yang paling besar adalah lag tiga harga

ekspor. Demikian juga variabel jangka panjangnya, hanya variabel harga domestik

dan pertumbuhan ekspor yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor pada

taraf nyata 15 persen. Hal ini berimplikasi, volume permintaan ekspor CPO

Indonesia dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh keseimbangan pasar

dunia. Pengaruh variabel nilai tukar dan dummy hanya bersifat sementara (tidak

kontinu), sehingga lebih merepresentasikan persamaan jangka pendek dibanding

jangka panjang yang tidak berpengaruh nyata.

Volume permintaan ekspor CPO Indonesia membentuk pola yang khas.

Volume tertinggi ekspor terjadi pada akhir tahun, yaitu antara bulan Nopember

dan Desember, kemudian turun drastis pada awal tahun (Januari). Kondisi ini

terjadi berulang tiap tahunnya mengindikasikan pertumbuhan yang proporsional

terhadap tahun sebelumnya. Permintaan ekspor CPO Indonesia mengalami

pertumbuhan rata-rata perbulannya sebesar 1.82 kali.

2.2.2 Harga CPO

Hasil analisis pola data yang dilakukan di tiga pasar (pasar fisik Medan,

pasar berjangka Malaysia dan Rotterdam) berdasarkan penelitian Suganda (2006),

selama dua tahun (2004 2005) harga CPO di pasar fisik dan berjangka secara

umum mengalami trend penurunan harga. Penurunan harga CPO disebabkan oleh

faktor pasokan yang berlebih. Malaysia sebagai produsen CPO terbesar pertama di

Page 29: A08brh

14

dunia mengalami kelebihan stok hingga 1.4 juta ton pada akhir Desember 2004.

Model peramalan terbaik untuk pasar berjangka Rotterdam adalah Model ARIMA

(2,0,0)(2,1,0)7, pasar berjangka Malaysia adalah ARIMA (2,0,0), dan pasar fisik

Medan ARIMA (1,0,0)(1,1,0)4.

2.2.3 Minyak Goreng

Penelitian Wijayanti (2006) mengenai analisis input-output peranan

industri minyak goreng dalam perekonomian Indonesia memperoleh hasil bahwa

industri minyak goreng merupakan salah satu industri yang mempunyai

keterkaitan yang besar terhadap sektor-sektor lain dalam penyediaan input.

Analisis keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung menunjukkan industri

minyak goreng memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi dibanding

keterkaitan di depannya, sehingga industri minyak goreng mempunyai keterkaitan

yang kuat dengan sektor perdagangan dan kelapa sawit.

2.2.4 Hubungan Perdagangan CPO Terhadap Pasar Minyak Goreng Sawit

Prahastuti (2000), melalui pendekatan model regresi berganda mencoba

untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit

(CPO) serta keterkaitan pasar CPO dan minyak goreng sawit di Indonesia.

Penelitiannya menghasilkan adanya keterkaitan yang erat antara harga CPO

domestik dengan harga minyak goreng sawit di tingkat perdagangan besar

maupun ecerannya. Ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO

domestik, produksi CPO dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika.

Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng sawit dipengaruhi oleh ekspor CPO,

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga CPO domestik, dan penawaran

CPO domestik.

Pembentukan harga CPO domestik dipengaruhi fluktuasi nilai tukar

Rupiah dan Dollar Amerika sedangkan harga ekspor CPO dan penawaran

domestiknya cenderung tidak mempengaruhi dalam pembentukan harga CPO

domestik. Harga ekspor CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO dunia dan

produksi CPO domestik, sedangkan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika

Page 30: A08brh

15

cenderung tidak mempengaruhi pembentukan harga minyak goreng sawit di

Indonesia.

Produksi minyak goreng sawit di Indonesia dipengaruhi penawaran CPO

domestik. Harga minyak goreng sawit, harga CPO domestik dan pemberlakuan

kebijakan pembatasan ekspor cenderung tidak mempengaruhi minat produsen

untuk memproduksi minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit

dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO domestik, sedangkan produksi CPO dan

produksi minyak goreng sawit cenderung tidak mempengaruhi pembentukan

harga minyak goreng sawit di Indonesia.

2.2.5 Permintaan Barang Input

Analisis permintaan kedelai pada industri kecap di Indonesia yang

dilakukan Afifa (2006) berusaha untuk menjawab keragaan perekonomian kedelai

dan industri kecap di Indonesia serta faktor yang mempengaruhi permintaan

kedelai pada industri kecap. Penelitian ini dilakukan dengan model persamaan

tunggal melalui metode OLS (Ordinary Least Square).

Hasil dari penelitian ini, bahwa sekitar 71.3 persen keragaman permintaan

kedelai pada industri kecap dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel dalam

model. Peubah yang berpengaruh positif pada model permintaan kedelai oleh

industri kecap adalah harga kecap, nilai tukar rupiah dan jumlah perusahaan

kecap. Sisanya, produksi kecap, harga kedelai, permintaan kedelai tahun

sebelumnya dan variabel dummy secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap

model.

2.2.6 Pajak Ekspor

Nurdiyani (2007) dalam penelitiannya mencoba menganalisis dampak

rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao

Indonesia dengan menggunakan model integrasi pasar berupa model

Autoregressive Distributed Lag. Hasil dari penelitiannya, terkait dengan rencana

pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor kakao, penerapan kebijakan ini

pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao dalam negeri semakin tidak

terintegrasi.

Page 31: A08brh

16

Adanya kebijakan pungutan ekspor ini akan berimplikasi pada:

melemahnya posisi daya saing ekspor kakao Indonesia di dunia, menurunnya

bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, bagi pedagang (eksportir)

pungutan ekspor mungkin tidak begitu berpengaruh meskipun akan memicu

kegiatan penyelundupan, bagi pihak industri pungutan pajak akan menjamin

ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah akan

menjadi alternatif pendapatan bukan pajak.

2.2.7 Perdagangan Internasional Komoditas Lain

Penelitian Hamdani (2006) terhadap perdagangan udang Indonesia di

pasar Eropa menggunakan model persamaan simultan melalui metode two stages

least squares (2SLS) dalam menganalisis topik amatannya. Hasil yang didapat

dari penelitian ini menunjukkan bahwa model penawaran ekspor udang Indonesia

dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor udang Indonesia di pasar Eropa, nilai

tukar rupiah terhadap dollar AS, produksi udang Indonesia dan lag ekspor udang

Indonesia ke Eropa. Pembentukan harga udang di pasar Eropa sangat dipengaruhi

oleh total impor udang negara Eropa dan peubah harga udang dunia. Tingkat

pendapatan per kapita masing-masing negara pengimpor udang di Eropa memiliki

pengaruh nyata terhadap permintaan impor udang negara Spanyol, Perancis dan

Denmark. Sementara itu, permintaan impor udang negara Inggris hanya

dipengaruhi secara nyata oleh peubah jumlah impor udang Inggris pada tahun

sebelumnya.

2.2.8 Penggunaan Metode Simultan

Penelitian yang dilakukan Suparno (2003), mencoba untuk menganalisis

kebijakan tataniaga gula terhadap kesejahteraan petani tebu di Indonesia.

penelitian ini betujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi

tataniaga gula Indonesia dan juga menguji beberapa kebijakan pemerintah dengan

kaitannya terhadap kesejahteraan petani tebu.

Model yang dibangunnya terdiri dari beberapa persamaan yaitu penawaran

gula domestik, produksi gula total, produksi tebu, luas areal tanaman tebu,

produktivitas tebu, permintaan tenaga kerja usaha tani tebu, harga provenue, stok

Page 32: A08brh

17

gula, impor gula Indonesia, harga impor gula Indonesia, permintaan gula

domestik, permintaan gula rumah tangga, harga nominal eceran gula, dan

permintaan gula industri. Suparno juga melakukan simulasi kebijakan dan non

kebijakan yang dilihat dari dua periode perdagangan yaitu pra dan pasca

liberalisasi perdagangan gula.

2.2.9 Penelitian Yang Akan Dilakukan

Penelitian-penelitian terdahulu di atas, telah banyak membantu penulis

dalam membangun model dalam merepresentasikan fenomena mengenai pengaruh

ekspor CPO terhadap harga minyak goreng Indonesia. Variabel-variabel ekspor

CPO banyak diturunkan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

Mahisya (2004). Harga dan model permintaan bahan input banyak diturunkan

beturut-turut berdasarkan penelitian Prahastuti (2000) dan Afifa (2006).

Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan

Prahastuti (2000) yaitu dalam hal objek serta fenomena yang akan diteliti.

Perbedaanya, penelitian ini menggunakan beberapa variabel tambahan baik pada

variabel penjelas maupun responnya berdasarkan kondisi terbaru (up to date) dan

pendalaman informasi yang telah penulis lakukan. Prahastuti (2002) dalam

menganalisis penelitiannya menggunakan model persamaan regresi linear

berganda, sedangkan penelitian ini menggunakan model persamaan simultan,

seperti yang digunakan Suparno (2003). Hal ini dilakukan agar dapat lebih baik

dalam merepresentasikan dan menjelaskan data berdasarkan fenomena yang

terjadi.

Page 33: A08brh

BAB 3 KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional berdasarkan Salvatore (1997), merupakan

teori untuk menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta

keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan perdagangan internasional membahas

alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal-hal menyangkut

proteksionisme baru (new protectionism).

Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek

mikroekonomi ilmu ekonomi internasional, sebab berhubungan dengan masing-

masing negara sebagai individu yang diperlukan sebagai unit tunggal, serta

berhubungan dengan harga relatif satu komoditas. Di sisi lain, karena neraca

pembayaran berkaitan dengan total penerimaan dan pembayaran, sementara

kebijakan penyesuaian mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan indeks

harga umum, maka kedua hal ini menggambarkan aspek ilmu ekonomi

internasional atau sering disebut ilmu makroekonomi perekonomian terbuka

(open-economy macroeconomics) atau keungan internasional (international

finance).

Pertanyaan-pertanyaan pokok yang sering muncul dalam konsep dan teori

perdagangan internasional atas berlangsungnya perdagangan antar dua negara

yaitu : Apa yang menjadi dasar dari perdagangan (the basis for trade) serta apa

saja keuntungan yang diperoleh dari perdagangan (the gains from trade). Seperti

halnya seorang individu, sebuah negara kemungkinan hanya akan melakukan

perdagangan secara sukarela jika negara tersebut memperoleh keuntungan dari

perdagangan tersebut, namun bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan ? Lalu,

seberapa besar keuntungan tersebut dan bagaimana keuntungan itu dibagi-bagi di

antara negara-negara yang berdagang. Pertanyaan pokok berikutnya adalah

bagaimana dengan pola perdagangan (the pattern of trade) ? Artinya, komoditas

apa yang diperdagangkan dan komoditas mana yang diekspor dan diimpor oleh

masing-masing negara ?

Page 34: A08brh

19

3.1.2 Teori Ekspor Impor

Menurut Gonarsyah (1987), ada beberapa faktor yang mendorong

timbulnya perdagangan internasional (ekspor atau impor) suatu negara dengan

negara lain yaitu keinginan untuk memperluas pemasaran komoditas ekspor,

memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan

permintaan dan penawaran antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan

kebutuhan masyarakat, serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam

menghasilkan komoditas tertentu.

Secara teoritis, kegiatan ekspor atau volume ekspor suatu komoditas dari

suatu negara ke negara lain menurut Kindleberger dan Lindert (1995) merupakan

selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai

kelebihan penawaran (excess supply). Kelebihan penawaran dari negara tersebut

merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan

permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran

domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh kondisi pasar dunia seperti harga

komoditas itu sendiri dan komoditas subtitusinya di pasar internasional serta hal-

hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung.

Analisa penawaran ekspor dan permintaan impor pada pasar internasional

dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan konsep dasar fungsi

penawaran dan permintaan domestik untuk kasus dua negara dengan suatu

komoditas perdagangan tertentu, sebagai contoh komoditas CPO. Misalkan,

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, dengan tanpa adanya perdagangan

internasional negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A pada

harga relatif sebesar P1, sedangkan negara 2 akan berproduksi dan berkonsumsi di

titik A pada harga relatif P3. Adanya hubungan dagang antara negara 1 dan 2,

harga relatif akan berkisar antara P1 dan P3. Apabila harga yang berlaku berada di

atas P1, maka negara 1 akan memasok CPO lebih banyak dari tingkat permintaan

domestik. Kelebihan produksi tersebut selanjutnya akan diekspor ke negara 2,

sedangkan pada negara 2 yang menghadapi harga di bawah P3 akan mengalami

peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi dari produksi

domestiknya dan kekurangan akan diimpor dari negara 1.

Page 35: A08brh

20

Px/Py Px/Py Px/Py

SX

P3 Ekspor A P3

E*P2 B E B* B E

P1 A A* D Impor Dx

Dx 0 X 0 X 0 X

Negara 1 Perdagangan Internasional Negara 2

(Exporter) (Importer)

Gambar 4. Mekanisme Perdagangan InternasionalSumber : Salvatore. 1997

Harga relatif pada P2, kuantitas impor CPO yang diminta oleh negara 2

(B ) sama dengan kuantitas ekspor CPO yang ditawarkan negara 1 (BE). Hal

tersebut diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan S setelah CPO

diperdagangkan antara kedua negara. Oleh karena itu, P2 adalah harga relatif

ekuiblirium untuk CPO setelah perdagangan internasional berlangsung. Apabila

Px/Py lebih besar dari P2 maka kuantitas ekspor CPO yang ditawarkan akan

melebihi tingkat permintaan impor, sehingga lambat laun harga relatif CPO

(Px/Py) akan mengalami penurunan dan pada akhirnya akan sama dengan P2.

3.1.3 Penawaran Ekspor CPO

Teori penawaran bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran. Penawaran suatu komoditas baik barang maupun jasa

adalah jumlah komoditas yang ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan

tingkat harga serta waktu tertentu. Penawaran ekspor suatu negara, dalam

pengertian yang lebih luas, merupakan kelebihan penawaran domestik produksi

barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara bersangkutan

atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan (Kindleberger dan Lindert, 1995).

Berdasarkan pengertian tersebut, ekspor suatu negara dapat didefinisikan sebagai

berikut :

Page 36: A08brh

21

Xt = Qt Ct + St

Dimana :

Xt = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke - t

Qt = Jumlah produksi komoditas suatu negara pada tahun ke - t

Ct = Jumlah konsumsi komoditas suatu negara pada tahun ke - t

St = Jumlah persediaan komoditas suatu negara pada tahun ke t

Indonesia sebagai negara pengekspor CPO terbesar di dunia, berdasarkan

persamaan di atas, relatif sangat kecil dalam mengimpor CPO dibanding jumlah

produksi domestiknya. Oleh karena itu, variabel impor dalam mengukur

perdagangan CPO Indonesia dapat diabaikan. Konsumsi (permintaan) CPO

domestik Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga domestik CPO yang berlaku.

Hal ini menyangkut pada kesediaan industri-industri pengolahan CPO untuk

membeli CPO pada tingkat harga tertentu yang sesuai dengan daya belinya.

Penawaran ekspor CPO juga dipengaruhi oleh kebijakan hambatan perdagangan

yaitu penetapan pajak ekspor oleh pemerintah dan kondisi harga CPO dunia,

mengingat tingginya permintaan dunia akan komoditas CPO, yang dapat

mempengaruhi keseimbangan permintaan dan penawaran CPO domestik. Selain

itu, perbedaan nilai tukar mata uang, yang pada umumnya menggunakan hard

currency (US $), dapat menjadi insentif tersendiri bagi industri CPO untuk

mengekspor komoditas tersebut di pasar internasional.

3.1.4 Produksi Minyak Goreng Sawit (MGS)

Lipsey et al. (1995) mendefinisikan penawaran atau bisa juga disebut

kuantitas yang ditawarkan merupakan jumlah komoditas yang akan dijual oleh

perusahaan. Kuantitas atau jumlah yang ditawarkan merupakan arus, yaitu

banyaknya per satuan waktu. Jumlah komoditas yang akan ditawarkan perusahaan

untuk dijual tidak harus merupakan jumlah yang berhasil dijual perusahaan.

artinya, pembelian yang diinginkan tidak harus sama dengan penjualan yang

diinginkan, maka jumlah yang diminta tidak harus sama dengan jumlah yang

ditawarkan. Tetapi, karena tidak seorang pun dapat membeli sesuatu yang tidak

Page 37: A08brh

22

dijual seseorang, jumlah yang sebenarnya dibeli harus sama dengan jumlah yang

sebenarnya dijual.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penawaran suatu industri

pertanian terhadap produk atau komoditas yang dihasilkannya menurut

Soekartawi (2002) antara lain teknologi, harga input, harga produk yang lain,

jumlah produsen, harapan produsen terhadap harga produksi di masa mendatang,

dan elastisitas produksi Telah dijabarkan sebelumnya bahwa MGS merupakan

produk turunan (derived product) CPO. Karena itu, produksi MGS oleh industri

terintegrasi dengan sistem permintaan CPOnya. Hal ini terkait erat dengan

permintaan primer (primary demand) dan permintaan turunan (derived demand).

Permintaan turunan digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input

yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Jumlah barang input yang

diminta dipengaruhi oleh harga input yang bersangkutan dan harga output yang

dihasilkan. Berdasarkan pengertian di atas, fungsi utama produksi suatu negara

dapat di tulis sebagai berikut :

Qst = f ( Pt , PAt , PIt , Tt , It , CDt , Qst-1 )

dimana:

Qst = Produksi suatu komoditas pada tahun ke - t

Pt = Harga output yang dihasilkan pada tahun ke - t

PAt = Harga komoditas alternatif pada tahun ke - t

PIt = Harga input pada tahun ke - t

Tt = Tingkat penggunaan teknologi pada tahun ke - t

It = Jumlah perusahaan pada tahun ke - t

CDt = Konsumsi barang input pada tahun ke - t

Qst-1 = Produksi suatu komoditas pada tahun t-1

Teknologi, di dalam konteks penelitian ini, diasumsikan konstan (sama

dengan nol) atau dapat diartikan perusahaan memiliki tekonologi yang sama

dalam memproduksi MGS. Harga barang lain pun dianggap nol karena mayoritas

penduduk Indonesia (rumah tangga atau industri) menggunakan MGS sebagai

bahan pembantu konsumsi, sehingga diasumsikan komoditas lain relatif belum

menjadi alternatif pilihan.

Page 38: A08brh

23

3.1.5 Konsumsi Minyak Goreng Sawit

Lipsey et al. (1995) beranggapan bahwa permintaan merupakan unsur

penting untuk menjelaskan harga pasar dan bentuk kurva permintaan

mempengaruhi prilaku pasar. Permintaan (demand) adalah banyaknya jumlah

barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada

tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi permintaan dari seorang individu atau masyarakat terhadap suatu

barang, diantaranya adalah harga barang yang dimaksud, tingkat pendapatan,

jumlah penduduk, selera dan ramalan atau estimasi di masa yang akan datang,

serta harga barang lain baik subtitusi maupun komplementer (di dalam konteks

penelitian ini dianggap nol). Fungsi konsumsi yang terbentuk dari pengertian di

atas sebagai berikut:

Qdt = f (Pt , PAt , Wt , PNDt , Qdt-1)

dimana:

Qdt = Konsumsi pada tahun ke - t

Pt = Harga produk pada tahun ke - t

PAt = Harga produk alternatif pada tahun ke - t

Wt = Tingkat pendapatan pada tahun ke - t

PNDt = Jumlah penduduk pada tahun ke - t

Qdt-1 = Konsumsi pada tahun ke t-1

3.1.6 Pembentukan Harga

Penentuan harga di dalam perdagangan internasional menurut Salvatore

(1997), didasarkan pada harga relatif dari komoditas yang dipertukarkan di

masing-masing negara. Harga relatif komoditas dalam kondisi equilibrium tercipta

ketika proses perdagangan internasional telah berlangsung cukup lama. Harga

tersebut tercipta setelah hubungan dagang antara kedua negara berlangsung dalam

kurun waktu yang cukup panjang sehingga tersedia cukup waktu bagi kekuatan-

kekuatan penawaran dan permintaan untuk saling bertemu dan menentukan harga

tersebut. Oleh karena itu, dari pengertian di atas dapat ditulis persamaannya

sebagai berikut :

Pt = f (Xt, Mt, Pt-1)

Page 39: A08brh

24

Dimana:

Pt = Harga komoditas suatu negara pada tahun ke t.

Xt = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke t.

Mt = Jumlah impor komoditas suatu negara pada tahun ke t.

Pt-1 = Harga komoditas suatu negara pada tahun t-1

Keterkaitan mekanisme pembentukan harga pada pasar internasional dapat

mempengaruhi mekanisme pasar di suatu negara dan sebaliknya. Oleh karena itu,

jika harga suatu komoditas di pasaran internasional mengalami kenaikan, maka

akan berdampak terhadap kenaikan harga komoditas suatu negara. Suatu pasar

dapat terintegrasi dengan pasar lainnya apabila tidak ada hambatan dalam

mengakses informasi pada masing-masing negara. Dengan demikian, fluktuasi

harga suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain. Hal ini dapat menjadi

sinyal dalam pengambilan berbagai keputusan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang

terlibat di dalamnya.

Merujuk dari pemaparan di atas, harga minyak goreng sangat tergantung

dari harga CPO domestik sebagai bahan inputnya, sedangkan harga CPO

domestik tidak terlepas dari pengaruh mekanisme pasar internasional. Karena itu,

segala sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme pengendalian harga CPO

domestik akan mempunyai pengaruh terhadap kondisi harga minyak goreng sawit

domestik. Instrumen kebijakan pengendalian salah satunya adalah pajak ekspor.

Minyak goreng sawit sebagai produk konsumsi, secara ekonomi, tentunya

berkaitan erat dengan nilai uang tersebut atau kurs nominalnya (nilai uang

domestik dibandingkan dengan nilai uang negara lain). Hal ini terkait dengan

kemampuan uang tersebut dalam membeli suatu barang tertentu. Mankiw (2003)

memaparkan bahwa antara inflasi (naiknya harga-harga barang konsumsi) dan

kurs nominal mempunyai hubungan berlawanan. Oleh karena itu, persamaan baru

diperoleh:

Pt = f (Xt, Mt, Txt, ERt, Pt-1)

Dimana:

Txt = Penerapan kebijakan proteksi pasar (pajak ekspor) pada tahun ke t.

ERt = Nilai tukar mata uang terhadap mata uang negara lain pada tahun ke t.

Page 40: A08brh

25

3.1.7 Kebijakan Pajak Ekspor

Salvatore (1997), menyatakan bahwa perdagangan yang dilakukan secara

bebas (free trade) akan dapat memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi

setiap negara yang terlibat di dalamnya. Pada kenyataannya, hampir setiap negara

menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan

internasional secara bebas. Hambatan-hambatan tersebut terkait berkaitan erat

dengan praktek dan kepentingan atau komersial dari masing-masing negara.

Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting secara historis adalah

tarif (tariff). Tarif adalah hambatan perdagangan internasional berupa pajak atau

cukai yang dikenakan untuk suatu komoditas yang diperdagangkan lintas-batas

teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, terdapat dua macam tarif, yaitu tarif

impor (import tariff) adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditas yang

diimpor dari negara lain; dan tarif ekspor (export tariff) adalah pajak untuk setiap

komoditas yang diekspor.

Pajak ekspor menurut Piermartini (2004) banyak diterapkan di negara

berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan

menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Produk yang menjadi subjek

pembebanan pajak ekspor biasanya merupakan produk-produk pertanian seperti

gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan,

mineral, produk logam dan produk kulit.

Piermartini lebih lanjut menjelaskan bahwa efek pajak ekspor tergantung

pada kekuatan pasar yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negara yang

memiliki kekuatan pasar akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa

kekuatan pasar dalam mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan,

dan distribusi pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negara

yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi

dan kesejahteraan nasional. Karena itu, apabila terjadi peningkatan perdagangan,

hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.

Helpman dan Krugman dalam Rifin (2005) memaparkan bahwa penerapan

pajak ekspor akan mengurangi harga domestik, sementara itu harga ekspor akan

meningkat. Gambar 5 di bawah ini menggambarkan efek pajak ekspor sebesar t.

Harga domestik akan turun menjadi Pt, mengurangi surplus konsumen dan surplus

Page 41: A08brh

26

produsen oleh area PfECPt. Pendapatan dari hasil pajak akan sepadan dengan

volume setelah pajak dikalikan dengan tarif pajak atau area P*tACPt. Hilangnya

pajak sama dengan area BCE dan keuntungan perdagangan sepadan dengan area

P*tABPf.

Harga

P*t = Pt+t A S

Pf B

Pt CE

D

Xt Xf Kuatitas Ekspor

Gambar 5. Pembebanan Pajak EksporSumber : Helpman dan Krugman dalam Rifin. 2005

Kebijakan pajak ekspor ini bukannya tidak lepas dari pro dan kontra.

Menurut Arifin (2007), dampak buruk yang akan ditimbulkan PE mulai dari

tekanan pada harga beli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani,

dampak transfer sumberdaya (resource transfer) dari produsen CPO kepada

industri minyak goreng, sampai pada integrasi industri hulu-hilir yang justru

menjadi ancaman baru bagi sistem persaingan usaha yang sehat. Khusus pada

dampak yang pertama, transfer pembebanan tambahan PE yang selama ini

dirasakan oleh pengusaha kepada petani sawit akan mengakibatkan turunnya

harga jual TBS. Tentunya petani lah yang akan menjadi korban dari penerapan PE

ini.

Berdasarkan Gambar 6 berikut, P0 merupakan harga saat tidak

dikenakannya pajak ekspor yaitu kondisi dimana harga ekspor akan sama dengan

harga domestik. Saat itu, jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan

jumlah yang diminta perusahaan domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya CPO

yang diekspor sebesar Q1Q2. Ketika terjadi pengenaan pajak ekspor sebesar lima

persen pada bulan Juli 2007, kurva penawaran akan bergeser (Se) ke kiri atas

menjadi Se1. Saat itu, harga ekspor sebesar Pe1 dan yang diterima eksportir sebesar

P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan

Page 42: A08brh

27

sebesar Q4, sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik sebesar Q1,

sehingga jumlah CPO yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4.

Pasar Dalam Negeri Pajak Ekspor

Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor CPO Terhadap Industri CPOSumber: Puteri et al., 2006

Setiap pungutan apa pun yang ditujukan kepada pelaku ekonomi,

eksportir atau pedagang CPO dikhawatirkan menjadi kontra-produktif terhadap

pembentukan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani dan tentu saja

kesejahteraan petani. Harga yang turun di tingkat eksportir kemudian dialami pula

di tingkat produsen membuat posisi tawar petani sangat lemah karena tidak

banyak pilihan untuk menjual hasil produksinya. Tidak mustahil, para pedagang

menciptakan posisi oligopsonis dengan membebankan biaya pungutan ekspor

CPO ini kepada petani.

Hal yang sebaliknya terjadi ketika pemerintah menurunkan pajak ekspor

dari tiga persen menjadi 1.5 persen pada bulan Oktober 2005, kurva penawaran

ekspor Se1 menjadi Se2. Bergesernya kurva penawaran ini membuat harga ekspor

turun dari Pe1 menjadi Pe2, sehingga harga yang diterima eksportir (produsen)

meningkat dari P1 menjadi P2. Jumlah CPO yang ditawarkan kemudian meningkat

dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Tentunya, dengan kenaikan harga CPO yang diterima

produsen akan berdampak pada kenaikan harga TBS yang kemudian akan

meningkatkan pendapatan petani sawit.

Arifin (2007) menjabarkan ada dua hal yang perlu diperhatikan agar

kebijakan protektif seperti PE menjadi efektif. Pertama, adanya rencana strategis

Page 43: A08brh

28

pengembangan industri berbasis agro melalui skema pengembangan industri hilir

terintegrasi, selain minyak goreng seperti oleokimia, shortening, margarine,

kosmetika, biodiesel, dan sebagainya. Kedua, membentuk kerjasama antara

pemerintah dan stakeholders di bidang agro-industri perkebunan untuk

mewujudkan earmarking dari PE CPO dan produk turunannya. Tindakan

earmarking atau penandaan alokasi anggaran pemanfaatan penerimaan negara

dari PE CPO untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan keadilan bagi segenap

stakeholders. Contoh pelaksanaannya sebagai berikut: peningkatan kesejahteraan

petani sawit, pengembangan industri hilir berbasis kelapa sawit, pembenahan

kemitraan pelaku kecil dan besar, perbaikan kualitas penelitian dan

pengembangan (Litbang) bidang agroindustri dan bahkan untuk subsidi harga

minyak goreng bagi golongan kurang mampu.

3.1.8 Model Persamaan Simultan

Sifat dasar dari model persamaan simultan berdasarkan penjelasan

Gujarati (2003), ada hubungan dua arah (simultan) antara satu atau beberapa

variabel penjelas, yang membuat perbedaan antara variabel tak bebas dan variabel

yang menjelaskan menjadi meragukan. Karena itu, lebih baik untuk

mengumpulkan bersama-sama sejumlah variabel yang dapat ditentukan secara

simultan oleh kumpulan variabel sisanya. Model seperti ini ada lebih dari satu

persamaan, satu untuk tiap variabel tak bebas, atau bersifat endogen atau

gabungan, atau bersama. Tidak seperti model persamaan tunggal, dalam model

persamaan simultan parameter dari satu persamaan tunggal tidak mungkin ditaksir

tanpa memperhitungkan informasi yang diberikan oleh persamaan lain dalam

sistem.

Model persamaan simultan terdiri dari dua jenis: bersifat endogen, yaitu

variabel-variabel yang nilainya ditetapkan di dalam model; dan predeterminded

(ditetapkan lebih dulu), yaitu variabel yang nilainya ditetapkan di luar model.

Variabel predeterminded dibagi dalam dua kategori: bersifat eksogen, baik saat ini

maupun lag, dan yang bersifat endogen lag, dimana ketiga variabel tersebut

nilainya tidak ditetapkan oleh model dalam periode saat ini, namun dianggap

ditetapkan lebih dahulu.

Page 44: A08brh

29

Persamaan yang dibentuk di dalam suatu model ekonomi dikenal sebagai

persamaan yang bersifat struktural atau bersifat behavioral (perilaku), karena

persamaan tersebut menggambarkan struktur dari suatu model ekonomis dari

suatu ekonomi atau perilaku dari pelaku ekonomi. Bentuk struktural dari model

persamaan simultan yang berupa sistem persamaan, pada umumnya dapat ditulis

sebagai berikut:

Y1t = 11 Y1t + 12 Y2t + . . . + 1M YMt + 11 X1t + 12 X2t + . . . + 1k Xkt + u1t

Y2t = 21 Y1t + 22 Y2t + . . . + 2M YMt + 21 X1t + 22 X2t + . . . + 2k Xkt + u2t

Y1t = 31 Y1t + 32 Y2t + . . . + 3M YMt + 31 X1t + 32 X2t + . . . + 3k Xkt + u3t

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

YMt = M1 Y1t + M2 Y2t + . . . + MM YMt + M1 X1t + M2 X2t + . . . + Mk Xkt + uMt

Dimana,

Y1, Y2, ... , YM = variabel independen atau variabel endogen sebanyak M buah,

X1, X2, ... , XM = variabel eksogen (predetermined) sebanyak K buah,

u1, u2, ... , uM = variabel disturbansi (galat) sebanyak M buah,

t = 1, 2, ... , M = jumlah observasi,

= koefisien variabel endogen,

= koefisien variabel eksogen.

Penentuan variabel manakah yang dianggap eksogen dan endogen,

tergantung kepada preferensi peneliti, namun tetap berpijak pada landasan teori

yang mendasari pembangunan model tersebut. Model sistem persamaan simultan

yang dirancang (atau dibangun) dapat memberikan simulasi dari dunia nyata yang

baik apabila model tersebut mempunyai suatu galat baku (standard error) yang

kecil.

Berdasarkan model persamaan simultan di atas, kehadiran peubah Y

sebagai peubah yang menjelaskan, dapat menimbulkan permasalahan bias dalam

pendugaan model. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap asumsi klasik model

regresi linear bahwa peubah bebas tak berkorelasi dengan unsur galat.

Pelanggaran asumsi tersebut, berakibat pendugaan dengan metode kuadrat terkecil

biasa (Ordinary Least Square = OLS) akan berbias dan tak konsisten, serta akan

tetap berbias secara asimptotik walaupun contoh diperbesar (Gujarati, 2003).

Metode yang dapat digunakan untuk menanggulangi masalah korelasi antar

Page 45: A08brh

30

peubah endogen sebagai peubah bebas dengan unsur galat dari setiap persamaan

dalam model dan korelasi peubah-peubah antar persamaan dalam model adalah

metode persamaan tunggal berupa metode kuadrat terkecil dua tahap (Two-Stage

Least Square = 2SLS) dan metode sistem berupa metode kuadrat terkecil tiga

tahap (Three-Stage Least Square = 3SLS).

Metode 2SLS mencakup pemakaian kuadrat terkecil klasik terhadap dua

jenis fungsi, yaitu persamaan bentuk reduksi dan persamaan bentuk struktural

yang ditransformasi. Transformasi tersebut merupakan penggantian peubah

endogen Y oleh nilai dugaannya ( ) yang diperoleh dari persamaan bentuk

reduksi.

Menurut Koutsoyiannis (1977), penggunaan metode 2SLS didasari oleh

asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Bentuk galat u dari persamaan struktural harus memenuhi asumsi-asumsi

stokastik biasa, yaitu mempunyai rataan nol, ragam konstan dan peragam nol.

2. Bentuk galat v dari persamaan bentuk reduksi harus memenuhi asumsi-asumsi

stokastik biasa, artinya:

a. v harus mempunyai rataan nol, ragam yang konstan dan peragam nol.

b. v harus bebas dari peubah eksogen yang terdapat dalam seluruh

persamaan struktural (x1, x2, ..., xk)

Asumsi (a) biasanya dipenuhi oleh v, sebab v merupakan fungsi linear dari

unsur galat persamaan struktural u.

3. Peubah-peubah penjelas tidak bersifat multikolinear dan peubah-peubah

makroekonomi dibuat agregat secara tepat.

4. spesifikasi model diasumsikan benar, artinya peubah penjelas dalam sistem

telah diketahui.

5. Jumlah sampel (pengamatan) diasumsikan cukup besar, khususnya jumlah

pengamatan harus lebih besar dari jumlah peubah predetermined dari sistem

struktural.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Melambungnya harga minyak goreng pada kisaran Rp 8,000 Rp 9,000

per kilogramnya mempunyai andil hampir 35 persen terhadap inflasi pada bulan

Page 46: A08brh

31

Juni 2007 yang besarnya 0.23 persen10. Pemerintah dalam hal ini sebagai regulator

kebijakan, telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan sebagai upaya

menormalkan kembali harga minyak goreng pada kisaran Rp 6,500 Rp 6,800.

Kebijakan peningkatan pajak ekspor (PE) dari 1.5 persen menjadi 6 persen dan

DMO (kewajiban pasok pasar domestik) yang dibebankan kepada produsen CPO

sebesar 100,000 ton per bulan menggantikan kebijakan operasi pasar pemerintah

yang dinilai gagal.

Kenaikan yang cukup tajam harga minyak goreng sawit hingga 40 persen

sejak April 2007 lalu, faktor dominannya disebabkan oleh kurangnya pasokan

CPO domestik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh naiknya bahan baku minyak

goreng yaitu CPO di pasar dunia. Kencenderungan harga CPO di pasar dunia

mengalami kenaikan setelah pada tahun-tahun sebelumnya pada posisi yang relatif

rendah, bahkan pada tahun 2001 harga CPO di pasar dunia sempat menembus

angka 180 Dollar AS per ton. Naiknya harga CPO di pasar dunia ini disebabkan

oleh adanya kenaikan permintaan dunia tanpa disertai oleh penawaran yang cukup

dari negara penghasil CPO dunia. Kenaikan permintaan terutama karena

meningkatnya permintaan CPO untuk keperluan industri makanan dan semakin

meningkatnya penggunaan bahan bakar biodiesel karena mahalnya harga minyak

mentah (crude oil) dunia.

Permasalahan di atas berkaitan dengan penawaran CPO itu sendiri, baik

untuk kebutuhan ekspor maupun domestik. Kondisi harga CPO dunia pun tidak

bisa dipungkiri mempunyai andil terhadap kondisi tersebut. Oleh karena itu,

penelitian ini berusaha untuk mengkaji pengaruh ekspor CPO terhadap pasar

MGS Indonesia. Selain itu, pengkajian juga ditujukan pada keefektifan kebijakan-

kebijakan pemerintah di dalam upaya stabilisasi harga MGS dan kondisi

penawaran dan permintaan pasar MGS Indonesia. Metode analisis menggunakan

persamaan simultan 2SLS. Skematika kerangka pemikiran operasional penelitian

ini disajikan pada Gambar 7.

10 http://www.metrotvnews.com [03 Juli 2007]

Page 47: A08brh

32

: Lingkup Penelitian

Gambar 7. Skema Kerangka Pemikiran Operasional

Kenaikan Harga Minyak Goreng Sawitdan Kurangnya Pasokan CPO Domestik

Penawaran CPO

Kebutuhan Domestik Kebutuhan Ekspor

Pasar Minyak Goreng Sawit

Produksi MGS

Konsumsi MGS

Analisis Model PersamaanSimultan Melalui Metode 2SLS

Evaluasi dan Rekomendasi Kebijakan

Page 48: A08brh

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder

bentuk deret waktu tahunan (time series) dari tahun 1990 sampai dengan 2006 (17

tahun). Data-data tersebut diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan

topik penelitian. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara

deskriptif dan kuantitatif. Metode analisis kuantitatif menggunakan pendekatan

model ekonometrika persamaan simultan (simultaneous-equation) dengan metode

Two Stages Least Square (2SLS) melalui program aplikasi Statistical Analysis

System (SAS) versi 16.2.

4.3 Spesifikasi Model

Model ekonometrik yang telah ditaksir dievaluasi atas dasar kreteria

tertentu, untuk melihat apakah taksiran-taksiran terhadap parameter tersebut sudah

bermakna secara teoritis dan nyata secara statistik. Untuk itu digunakan tiga

kreteria berikut:

1. Kriteria a priori ekonomi

Kriteria ini ditentukan oleh prinsip-prinsip teori ekonomi. Jika nilai

maupun tanda taksiran paarameter tidak sesuai dengan kreteria a priori maka

taksiran-taksiran ini harus ditolak, kecuali dengan alasan kuat untuk menyatakan

bahwa khusus kasus ini prinsip-prinsip ekonomi tidak berlaku.

2. Kriteria Statistik (First Order Test)

Kriteria ini ditentukan oleh teori statistik. Termasuk koefisien korelasi dan

standar deviasi dari taksiran.

3. Kriteria Ekonometrik

Page 49: A08brh

34

Kriteria ini ditentukan oleh teori ekonometrik. Jika asumsi-asumsi teknik

ekonometrik yang diterapkan untuk menaksir parameter tidak dipenuhi, maka

taksiran-taksiran tersebut dianggap tidak memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan

Model ekonometrika dibedakan atas model persamaan tunggal (single-

equation model) dan model persamaan simultan (simultaneous-equation).

Persamaan tunggal adalah persamaan dimana peubah terikat (dependent

variables) dinyatakan sebagai sebuah fungsi dari satu atau lebih peubah bebas

(independent variables), sehingga hubungan sebab akibat antara peubah terikat

dan peubah bebas merupakan hubungan satu arah. Persamaan simultan adalah

suatu persamaan yang menggambarkan ketergantungan di antara berbagai peubah

dalam persamaan tersebut sehingga membentuk suatu sistem persamaan.

Perumusan model ekonometrika dalam penelitian ini diharapkan dapat

mengabstraksi kondisi pembentukan harga minyak goreng domestik dari

perubahan faktor-faktor permintaan (konsumsi) dan penawaran (produksi) pasar

minyak goreng. Selain itu, kondisi pasar CPO, sebagai pasar penyedia input bagi

industri minyak goreng sawit, turut diabstraksikan untuk melihat

keterhubungannya dengan pasar minyak goreng sawit melalui kondisi permintaan

dan penawaran CPO domestik yang terbentuk. Model struktural penelitian ini

dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan: = Variabel Eksogen = Variabel Eksogen

Gambar 8. Hubungan Keterkaitan Antar Model Pengaruh Ekspor CPO TerhadapHarga Minyak Goreng Sawit Indonesia.

Page 50: A08brh

35

Model ekonometrik fungsi struktural komoditas CPO dan minyak goreng

sawit dalam bentuk persamaan diformulasikan sebagai berikut:

1. Fungsi Ekspor CPO

XCPOt = a0 + a1 QCPOt + a2 PDCPOt + a3 PWCPOt + a4 PEt + a5 ERt +

a6 XCPOt-1 + ut

Tanda yang diharapkan a4 < 0 ; a1 , a2 , a3 , a5 , a6 > 0

2. Fungsi Produksi Minyak Goreng Sawit Domestik

QMGSt = b0 + b1 PMGSt + b2 PDCPOt + b3 CCPOt + b4 XCPOt-1 + b5

MCPOt + b6 QMGSt-1 + ut

Tanda yang diharapkan b2 , b4 < 0 ; b1 , b3 , b5 , b6 > 0

3. Fungsi Konsumsi Minyak Goreng Sawit Domestik

CMGSt = c0 + c1 PMGSt + c2 GNPt + c3 ERt + c4 CMGSt-1 + ut

Tanda yang diharapkan c2 , c4 > 0 ; c1 , c3 < 0

4. Fungsi Harga Minyak Goreng Sawit Domestik

PMGSt = d0 + d1 PDCPOt + d2 PWCPOt + d3 PEt + d4 ERt + d5 PMGSt-1 +

ut

Tanda yang diharapkan d1 , d2 , d5 > 0 ; d3 , d4 < 0

5. Fungsi Identitas

PMGSt = XCPOt + QMGSt + CMGSt

Keterangan:

XCPOt = Ekspor CPO Indonesia pada tahun ke t

MCPOt = Impor CPO Indonesia pada tahun ke - t

QCPOt = Produksi CPO Indonesia pada tahun ke - t

PDCPOt = Harga ril CPO domestik pada tahun ke t (1996 = 100)

PWCPOt = Harga ril CPO Internasional berdasarkan CIF Rotterdam pada

tahun ke t (1996 = 100)

PEt = Pajak ekspor CPO pada tahun ke - t

ERt = Nilai tukar ril Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun ke t

(1996 = 100)

Page 51: A08brh

36

GNPt = Produk nasional bruto berdasarkan harga berlaku pada tahun

ke - t

CCPOt = Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng Indonesia pada

tahun ke - t

QMGSt = Produksi minyak goreng domestik pada tahun ke - t

CMGSt = Konsumsi minyak goreng domestik pada tahun ke - t

PMGSt = Harga ril minyak goreng domestik pada tahun ke t (1996=100)

XCPOt-1 = lag satu tahun ekspor CPO Indonesia

QMGSt-1 = lag satu tahun produksi minyak goreng sawit domestik

CMGSt-1 = lag satu tahun konsumsi minyak goreng sawit domestik

PMGSt-1 = lag satu tahun harga ril minyak goreng domestik

4.4 Identifikasi Model

Identifikasi dalam model persamaan simultan adalah bagaimana

menyatakan koefisien struktural ( 2, , dsb) dalam bentuk koefisien model dalam

bentuk reduksi ( ). Suatu persamaan dikatakan dapat diidentifikasi (identified)

apabila perkiraan parameter struktural dapat diperoleh dari perkiraan parameter

bentuk reduksi. Persamaan yang identified dapat bersifat tepat teridentifikasi

(exactly identified), terlalu teridentifikasi (over indentified) atau kurang

teridentifikasi (under indentified). Metode yang sesuai untuk estimasi persamaan

ecaxtly identified adalah Indirect Least Square (ILS), sedangkan dalam persamaan

over identified, metode yang digunakan salah satunya adalah Two Stage Least

Square (2SLS).

Suatu kondisi yang perlu dari identifikasi sebuah model, dikenal sebagai

kondisi ordo (order condition), dapat dinyatakan dalam dua cara berbeda (tetapi

ekuivalen). Suatu model dari M persamaan simultan, agar suatu persamaan

diidentifikasikan, persamaan tersebut harus tidak memasukkan sekurang-

kurangnya M 1 variabel (endogen maupun predeterminded) yang muncul dalam

model. Jika persamaan tersebut tidak memasukkan tepat M 1 variabel,

persamaan tersebut disebut tepat diidentifikasikan (exactly identified). Jika

persamaan tadi tidak memasukkan lebih dari M 1 variabel, persamaan tersebut

Page 52: A08brh

37

terlalu diidentifikasikan (over identified). Secara ringkas dapat ditulis sebagai

berikut, jika :

K k > m 1 = persamaan tersebut over identified

K k = m 1 = persamaan tersebut exactly identified

K k ≤ m 1 = persamaan tersebut under identified

K k < m 1 = persamaan tersebut unidentified

Dimana:

K = banyaknya variabel predeterminded dalam model

k = banyaknya variabel predeterminded dalam suatu persamaan

tertentu

M = banyaknya variabel endogen dalam model

m = banyaknya variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu.

Model yang dirumuskan di dalam penelitian ini terdiri dari lima persamaan

yang terdiri dari empat persamaan struktural dan satu persamaan indentitas. Model

ini juga terdiri dari delapan peubah eksogen dan empat peubah endogen bedakala.

Berdasarkan aturan identifikasi model, persamaan yang dibangun di dalam

penelitian ini termasuk kategori over indentified, sehingga metode yang cocok

dalam menganalisis persamaan ini adalah metode 2SLS.

4.5 Simulasi Kebijakan

Sitepu dan Sinaga (2006) menjabarkan bahwa simulasi adalah bagian

integral dari pengembangan keakuratan model-model yang bertujuan untuk

menangkap perilaku suatu data historis (historical data). Simulasi yang dilakukan

pertama sekali bertujuan untuk mencari model yang tepat, bagaimana perubahan

variabel endogen sebagai suatu fungsi dari satu atau lebih variabel eksogen,

dimana ketepatan ini ditentukan oleh validasi model yang dilakukan sebelumnya.

Apabila suatu model yang tepat atau sesuai ditemukan, maka model persamaan

tersebut dapat digunakan untuk melakukan simulasi atau meramalkan nilai-nilai

variabel endogen dengan nilai tertentu variabel-variabel eksogen.

Penelitian ini melakukan simulasi pada dengan dua variabel eksogen, yaitu

harga CPO dunia yang disimulasikan naik sebesar sepuluh persen dan pajak

Page 53: A08brh

38

ekspor dengan simulasi kenaikannya sebesar satu persen. Simulasi ini

menggunakan data historis dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006.

4.6 Validasi Model

Beberapa nilai-nilai ukuran statistik (goodness-of-fit statistics) yang

tersedia untuk menilai kemampuan dari suatu model dalam melakukan simulasi,

sebagai berikut:

Mean Error (ME) = ∑=

−T

t

at

st YY

T 1)(1

Mean Percent Error, MPE = ∑=

−T

ta

t

at

st xY

YYT 1

1001

Mean Absolute Error, MAE = ∑=

−T

t

at

st YY

T 1

1

Mean Absolute Percent Error, MAPE = ∑=

−T

ta

t

at

st xY

YY

T 11001

Mean Square Error, MSE = ∑=

−T

t

at

st YY

T 1

2)(1

Root Mean Square Error, RMSE = ∑=

−T

t

at

st YY

T 1

2)(1

Root Mean Square Percent Error, RMSPE =2

11001 ∑

=

−T

ta

t

at

st xY

YYT

Apabila nilai-nilai ringkasan statistik di atas mendekati nol, maka simulasi

model mengikuti nilai-nilai aktualnya. Sebagai tambahan dari validasi model di

atas, nilai statistik U-Theil juga dapat digunakan sebagai ukuran validasi model.

Theil s inequality didefinisikan sebagai berikut:

U =

∑ ∑

= =

=

T

t

at

T

t

st

T

t

at

st

YT

YT

YYT

1

2

1

1

2

)(1)(1

)(1

Statistik U-Theil selalu bernilai antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka model

secara historis adalah sempurna. Jika U = 1, maka performance model adalah naif.

Page 54: A08brh

39

4.7 Pengujian Model dan Hipotesis

Pengujian terhadap suatu model apakah peubah bebas secara simultan

berpengaruh nyata terhadap peubah responnya, umumnya menggunaan uji

statistik F. Hipotesis yang digunakan di dalam pengujian ini adalah :

H0 : ai = 0 ; dimana i = 1, 2, ... , k

H1 : paling sedikit ada satu nilai ai yang tidak sama dengan nol

Uji statistiknya adalah : Fhit =)1/(/

−− knsisakuadratjumlahkregresitengahkuadratjumlah

Jika Fhit > F ( /2; n-k-1), artinya tolak H0

Jika Fhit < F ( /2; n-k-1), artinya terima H0

Dimana :

n = Jumlah tahun pengamatan

k = jumlah peubah respon

Jika H0 ditolak, maka model dugaan dapat digunakan untuk meramalkan

hubungan antara peubah respon dengan peubah penjelasnya pada tingkat

kepercayaan tertentu ( /2 persen). Jika terjadi sebaliknya, maka model dugaan

tidak dapat meramalkan hubungan antara peubah respon dengan peubah

responnya.

Pengujian apakah secara parsial peubah bebas berpengaruh nyata terhadap

peubah respon pada suatu persamaan, umumnya menggunakan uji statistik t.

Langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut :

H0 : ai = 0

H1 : ai > 0 atau ai < 0

Uji statistiknya : thit =i

i

Saa 0−

Dimana Sai adalah simpangan baku dari parameter dugaan ai, kemudian

hasil dugaan thitung dibandingkan dengan ttabel. Jika thit > t ( ; n-k-1), artinya tolak

H0 dimana parameter dugaan secara sistematik berpengaruh nyata pada tingkat

kepercayaan persen. Jika thit < t ( ; n-k-1), artinya terima H0 dimana parameter

dugaan tersebut tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan persen.

Page 55: A08brh

40

4.8 Pendugaan Nilai Elastisitas

Elastisitas adalah ukuran tingkat kepekaan suatu variabel respon pada

suatu persamaan terhadap perubahan dari peubah penjelas. Misalkan suatu

persamaan : Yt = a0 + a1X1t + a2X2t + a3X3t + anXt-1

Maka penentuan nilai elastisitasnya sebagai berikut:

1. Elastisitas jangka pendek

ESR = ai)()(

t

ij

YX

Dimana :

ESR = Elastisitas peubah respon (Yt) terhadap peubah penjelas (Xij) dalam

jangka pendek (short run).

ai = Parameter dugaan peubah respon Xij

ijX = Rata-rata peubah penjelas Xij

tY = Rata-rata peubah respon Yt

2. Elastisitas jangka panjang

ELR =n

SR

aE−1

Dimana:

ELR = Elastisitas peubah respon (Yt) terhadap peubah penjelas (Xij) dalam

jangka panjang (long run).

ESR = Elastisitas peubah respon (Yt) terhadap peubah penjelas (Xij) dalam

jangka pendek (short run).

an = Nilai parameter dugaan peubah bedakala.

Nilai elastisitas lebih dari satu berarti peubah respon responsif terhadap

perubahan peubah penjelasnya dan jika kurang berarti peubah respon tidak

responsif terhadap perubahan dari peubah penjelasnya.

Page 56: A08brh

41

4.9 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error pada suatu

persamaan bersifat independent atau dependent. Pengujian terhadap kemungkinan

autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin Watson pada taraf nyata lima persen,

dengan kriteria sebagai berikut :

H0 = du < Dw < (4 du), dimana = 0

H1 = Dw < du atau Dw > (4 du), dimana 0

Jika hasil yang didapat nilai H0 diterima, maka pada persamaan yang diuji

tidak terjadi autokorelasi pada taraf nyata lima persen. Sebaliknya jika hasilnya

tolak H0, maka persamaan yang diuji terindikasi mengalami autokorelasi pada

taraf nyata lima persen.

Page 57: A08brh

BAB 5 GAMBARAN UMUM KOMODITAS

5.1 Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit

Berdasarkan IPOB (2007), program revitalisasi, yang akan dilakukan

pemerintah hingga tahun 2010, ditujukan pada rencana perluasan dan penanaman

kembali perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Program ini bermaksud untuk

melakukan perluasan kebun kelapa sawit seluas 1.37 juta ha dan melakukan

penanaman kembali sekitar 125 ribu hektar perkebunan yang sudah ada. Berikut

alokasi lahan perluasan kelapa sawit berdasarkan propinsi yang termasuk program

revitalisasi tersebut.

Tabel 1. Alokasi Perluasan Lahan Kelapa Sawit Dalam Program RevitalisasiHingga Tahun 2010

No. Propinsi Luas Area (Ha)1 Nangroe Aceh Darussalam 40,0002 Sumatera Utara 10,4003 Sumatera Barat 15,2004 Riau 12,4005 Kepulauan Riau 21,0006 Jambi 200,0007 Sumatera Selatan 117,0008 Bangka Belitung 5,5009 Bengkulu 8,20010 Lampung 2,00011 Kalimantan Barat 302,41012 Kalimantan Tengah 147,50013 Kalimantan Selatan 77,99614 Kalimantan Timur 301,19415 Sulawesi Tengah 1,80016 Sulawesi Selatan 12,20017 Sulawesi Timur 10,00018 Sulawesi Tenggara 7,20019 Papua 58,00020 Irian Jaya Timur 25,000 Total 1,375,000

Sumber: Indonesian Palm Oil Board (IPOB). 2007

Page 58: A08brh

43

Tabel 2. Alokasi Penanaman Kembali Lahan Kelapa Sawit Dalam ProgramRevitalisasi Hingga Tahun 2010

No. Propinsi Luas Area (Ha)1 Nangroe Aceh Darussalam 40,0002 Sumatera Utara 10,4003 Sumatera Barat 15,2004 Riau 12,4005 Jambi 200,0006 Sumatera Selatan 117,0007 Bengkulu 8,2008 Banten 6,3649 Kalimantan Timur 10,67010 Kalimantan Barat 8,26211 Sulawesi Selatan 4,20012 Papua 1,91413 Irian Jaya Timur 2,900 Total 125.000

Sumber: Indonesian Palm Oil Board (IPOB). 2007

Kalimantan merupakan wilayah dengan rencana pembukaan lahan baru

kelapa sawit terluas dengan total 829,100 ha hingga tahun 2010. Hal ini

mengindikasikan program pembangunan kelapa sawit telah beralih ke Indonesia

bagian timur, dimana memang masih tersedia lahan yang cukup luas. Program

penanaman kembali (replanting) kelapa sawit lebih difokuskan di pulau Sumatera,

terutama di propinsi Riau dan Sumatera Selatan, mengingat telah banyak areal

kelapa sawit tidak ekonomis lagi, dimana telah berusia 20 tahun lebih.

5.2 Pola Produksi dan Ekspor CPO

Kebijakan revitalisasi perkebunan ditujukan, selain untuk melakukan

investasi jangka panjang yaitu dalam hal pembangunan bidang ekonomi dan

kemasyarakatan, juga sebagai cara untuk memenuhi konsumsi domestik akan

produk olahannya. Selain untuk pangan, kebutuhan untuk biodiel yang dalam

beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, kedepannya kebutuhan konsumsi

CPO domestik diduga akan meningkat. Diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan

CPO untuk pangan sebesar 11.5 juta ton, sedangkan untuk kebutuhan biodiesel

dan industri oleokimia sebesar 3.7 juta ton. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel

3 berikut.

Page 59: A08brh

44

Tabel 3. Perkiraan Jumlah Permintaan Domestik dan Produksi Tahunan TerhadapCPO dan Olahannya (Ton), 2006 2010

Deskripsi (Ton) 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi CPO 16,000,000 16,500,000 17,800,000 19,100,000 20,400,000

Pemrosesan CPO secara

Domestik

11,160,000 11,660,000 12,860,000 14,060,000 15,260,000

CPO untuk pangan 10,400,000 10,400,000 10,782,000 11,154,760 11,527,600

- 490,400 1,290,400 2,090,400 2,890,400

CPO untuk non pangan:

• Biodiesel

• oleochemical 760,000 769,600 787,600 814,840 842,000

Sumber: Indonesian Palm Oil Commision. 2007

Produksi CPO Indonesia merupakan yang terbesar di dunia.

Perkembangan produksi CPO dari tahun 1990 2006 menunjukkan trend

peningkatan yang signifikan. Produksi pada tahun 1990 sebesar 2,413 ribu ton

kemudian terus mengalami peningkatan, sehingga pada tahun 2006 produksi CPO

telah mencapai 16,080 ribu ton. Melihat kondisi permintaan dunia akan CPO terus

meningkat tiap tahunnya, ini akan menjadi kesempatan bagi Indonesia masuk ke

pasar Internasional untuk mengembangkan potensi ekspor CPO. Tentu saja ini

merupakan potensi pendapatan yang besar bagi pemerintah dalam bentuk devisa.

Gambar 9 berikut menunjukkan pola produksi (PRODCPO) dan ekspor (XCPO)

serta keterkaitannya dalam pemenuhan permintaan CPO baik domestik (QDCPO)

maupun dunia (QdW).

Gambar 9. Plot data produksi dan ekspor CPO serta keterkaitannya dengankondisi permintaan CPO dunia dan domestik (000 Ton), 1990 2006.

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa potensi CPO sebagai

komoditas andalan ekspor Indonesia sangat menjanjikan. Hal ini terlihat dari

0

5000

10000

15000

20000

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

PRODCPO (000 TON) XCPO (000 TON)

0

20000

40000

60000

80000

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

QDCPO (000 TON) QdW (000 TON)

Page 60: A08brh

45

proporsi volume ekspor terhadap total produksi CPO per tahunnya terus

mengalami peningkatan. Tahun 1990 hanya sekitar 33.80 persen dari total

produksi yang diekspor, dan pada tahun 2006 terjadi peningkatan drastis dimana

lebih dari 75 persen dari total produksi CPO Indonesia diperuntukkan sebagai

komoditas ekspor. Berarti, hanya sekitar 25 persen dari total produksi CPO

digunakan untuk memenuhi kebutuhan.dan persediaan (stok) domestik.

Melihat trend eksor CPO yang tiap tahunnya terus mengalami

peningkatan, timbul suatu kekhawatiran bahwa akan terjadinya situasi dimana

pasokan CPO domestik menjadi berkurang. Kurangnya pasokan CPO ini tentunya

akan berpengaruh kepada kondisi industri pengolahannya, termasuk industri

minyak goreng sawit. Imbas dari tergoncangnya industri minyak goreng sawit

pastilah melonjaknya harga minyak goreng di pasaran. Pemerintah dalam hal ini

telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi gejolak tersebut, namun

fenomena ini seakan terus berulang.

Volume ekspor CPO masih tetap cukup besar, selain permintaan dunia

akan CPO memang meningkat, ada faktor lain yang menjadi penyebab. Pertama,

pajak ekspor CPO masih relatif lebih rendah dibanding turunannya (hal ini akan

dibahas pada sub bab selanjutnya), sehingga ekspor CPO masih tetap menarik.

Kedua, ada tenggang waktu antara penentuan pajak ekspor dengan harga CPO

yang berlaku di pasar Internasional. Harga CPO di pasar Internasional cukup

tinggi dan cepat berubah, sedangkan penentuan pajak ekspor tidak fleksibel dan

tidak cepat diubah sesuai kenaikan harga CPO di pasar Internasional. Perubahan

tingkat pajak ekspor harus dilaksanakan melalui Surat Keputusan Menteri

Keuangan yang tidak mudah diubah setiap saat, sehingga masih ada peluang

bahwa ekspor CPO cukup menguntungkan. Ketiga, pengekspor CPO melihat

kepentingan jangka panjang di dalam merebut pangsa pasar. Apabila pangsa pasar

berkurang karena kontrak dibatalkan, maka sangat sulit memperoleh pangsa pasar

kembali di masa mendatang pada saat pajak ekspor CPO telah dicabut. Keempat,

porsi biaya pengolahan CPO menjadi minyak goreng masih tetap cukup besar,

sehingga ekspor CPO masih lebih menguntungkan daripada dijual sebagai minyak

goreng di dalam negeri.

Page 61: A08brh

46

5.3 Pola Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit

Sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng

kelapa ke minyak goreng kelapa sawit, produksi dari minyak goreng sawit

dituntut untuk memiliki pola yang sama dengan kondisi konsumsi yang ada.

Semenjak tahun 1990 hingga tahun 2006, produksi minyak goreng sawit terus

mengalami fluktuatif. Trend penurunan mulai terlihat pada tahun 2003 hingga

tahun 2006. Lain halnya dengan pola konsumsi minyak goreng sawit masyarakat,

sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan motivasi yang berbeda pada

masyarakat. Dilihat dari perkembangannya dari tahun 1990 hingga tahun 2006

konsumsi terus mengalami pertumbuhan secara signifikan. Berikut pola data dan

konsumsi minyak goreng sawit Indonesia.

0500

10001500200025003000

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

KONS MG (000 TON) PROD MG (000 TON)

Gambar 10. Pola Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng SawitIndonesia (Ribu Ton), 1990 2006.

Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. 2008

Perkembangan produksi minyak goreng sawit berbanding lurus dengan

kondisi produksi dan ekspor CPO. Hal ini menyangkut dengan ketersediaan bahan

baku bagi industri minyak goreng. Tahun 2005 dan 2006, dilihat dari pola data di

atas, mulai terjadinya ketimpangan antara produksi dan konsumsi minyak goreng

sawit. Tahun 2005 dan tahun 2006 berturut-turut total produksi minyak goreng

sawit sebesar 947 ribu ton dan 800 ribu ton dengan konsumsi per kapita per tahun

sama-sama sebesr 4.8 kg. Apabila dikali dengan jumlah penduduk pada tahun-

tahun tersebut yang sebesar 219 juta dan 222 juta, konsumsi total penduduk

Indonesia sekitar 1.05 juta ton dan 1.07 juta ton. Tentunya, fenomena ini belum

dapat dijadikan bukti yang kuat adanya krisis pada tahun-tahun tersebut. Selain

Page 62: A08brh

47

dipenuhi oleh produksi, ketersediaan minyak goreng sawit pun dipenuhi oleh

cadangan persediaan dari kelebihan produksi tahun-tahun sebelumnya. Namun,

perlu diperhatikan pula bahwa ekspor CPO pada tahun-tahun tersebut memiliki

prosentase yang cukup besar terhadap total produksi CPO Indonesia.

Proporsi CPO yang diperuntukkan bagi industri MGS mulai

menampakkan penurunan sejak tahun 2003. Hal ini mengikuti pola data produksi

MGS. Tahun 2006, proporsi konsumsi CPO untuk industri MGS diperkirakan

hanya 7.3 persen dari total produksi CPO Indonesia dan 29.45 persen dari total

pasokan CPO domestik. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali, karena dengan

kebutuhan konsumsi tahun tersebut yang sebesar 1.07 juta ton, paling tidak

proporsi CPO yang dibutuhkan untuk industri MGS sebesar 39.28 persen dari

total pasokan CPO domestik. Pola data konsumsi CPO oleh industri MGS dapat

dilihat pada grafik berikut.

0

1000

2000

3000

4000

5000

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Gambar 11. Pola Perkembangan Konsumsi CPO Oleh Industri Minyak GorengSawit Indonesia (Ribu Ton), 1996 2006.

Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. 2007

Perkembangan industri minyak goreng sawit didominasi oleh pabrik-

pabrik dengan skala besar. Tahun 2006, diperkirakan terdapat 148 pabrik

pengolah minyak goreng sawit di Indonesia. Industri minyak goreng sawit

memiliki struktur oligopoli dengan penyebaran industri paling banyak terdapat di

pulau Sumatera. Realita yang terjadi di lapangan, perusahaan-perusahaan

pengolahan CPO, berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS),

memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap pilihan apakah memproduksi minyak

goreng sawit atau produk lainnya atau pun hanya memproduksi CPO. Hal ini

didukung oleh kondisi pengusaha indutri minyak goreng sawit juga cenderung

Page 63: A08brh

48

untuk memiliki pengolah dan kebun sendiri agar pasokan bahan baku dapat

terjamin. Kondisi inilah yang menyebabkan industri minyak goreng dari hulu ke

hilir bersifat integratif.

Indikasi atas kondisi di atas, terlihat dari angket industri yang diterima

BPS dimana tiap tahunnya, perusahaan-perusahaan pengolahan CPO mengalami

fluktuatif yang cukup signifikan. Sebagai contoh, pada tahun 2004 hanya

terlaporkan sebanyak sembilan perusahaan saja yang diperkirakan memproduksi

minyak goreng sawit. Tentunya hal ini pun belum dapat mencerminkan kondisi ril

di lapang, karena banyak faktor-faktor yang dapat mengakibatkan kesenjangan

informasi tersebut. Berikut pola data perkembangan industri minyak goreng sawit

domestik.

11 19 25 28 36 37 36 3748

2652 53

2841

9

35

148

020406080

100120140160

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Gambar 12. Pola Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit Domestik,1990 2006.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007

5.4 Pola Harga Minyak Goreng Sawit

Wacana mengenai harga minyak goreng sawit ini sangat berkaitan erat

dengan berbagai kondisi baik dari dalam maupun luar negeri. Harga relatif

komoditas yang terjadi di dalam perdagangan internasional tentunya dipengaruhi

oleh kekuatan permintaan dan penawaran masing-masing negara. Selain itu, dari

segi makroekonomi kondisi harga minyak goreng dipengaruhi kondisi nilai tukar

(kurs) Rupiah terhadap nilai tukar mata uang negara mitra dagang. Semakin lemah

(depresiasi) kurs Rupiah terhadap negara lain akan menyebabkan harga barang-

barang domestik relatif lebih murah dibanding negara tersebut. Efek selanjutnya

akan timbulnya inflasi, yaitu naiknya harga-harga barang konsumsi. Berikut pola

Page 64: A08brh

49

keterkaitan antara nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika dengan harga

minyak goreng sawit domestik.

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

NILAI TUKAR PMG DOM (Rp/Kg)

Gambar 13. Pola Pergerakan Harga Minyak Goreng Sawit (Rp/Kg) dan KursRupiah Terhadap Dollar US, 1990 2006.

Sumber: BULOG DAN BI. 2007

Antara tahun 1997 sampai tahun 1999, ketika krisis ekonomi menimpa

Indonesia, nilai tukar mata uang Rupiah mengalami depresiasi yang sangat tinggi

terhadap Dollar Amerika. Kondisi ini menyebabkan inflasi yang cukup tinggi

pada harga barang-barang domestik. Begitu juga kondisi harga minyak goreng

sawit dimana pada tahun 1998 melonjak tinggi dibanding tahun-tahun

sebelumnya. Tentunya hal ini akan menciptakan krisis sosial bagi masyarakat,

dimana ketika kondisi ekonomi sedang mengalami krisis, pada saat itu juga harga

bahan pokok termasuk minyak goreng melonjak tinggi.

Krisis ini tidak berlaku pada industri CPO. Nilai tukar mata uang yang

rendah, secara makroekonomi, mengakibatkan nilai produk domestik menjadi

lebih murah dibanding nilai di pasar internasional. Hal inilah yang menyebabkan

tingginya permintaan ekspor CPO Indonesia. Pemerintah, untuk mengatasi

masalah yang terjadi, kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri

Keuangan No 300/KMK/1997 mengenai ketentuan pajak ekspor. SK ini untuk

memperbaharui kebijakan sebelumnya yaitu No 439/KMK.017/1994. Maksud

dari dikeluarkannya SK ini tidak ditujukan untuk menghentikan secara total

ekspor CPO Indonesia. Hal ini tentunya akan merugikan industri CPO dengan

hilangnya pasar-pasar potensial. Penetapan PE ini ditujukan sebagai alat kendali

agar laju ekspor CPO masih dalam taraf rasional yaitu suplai CPO domestik tetap

Page 65: A08brh

50

tersedia dengan cukup. Hasilnya, sejak tahun 1999, harga minyak goreng sawit

mulai berangsur-angsur turun, walaupun dari tahun 2002 hingga 2006 mulai

kembali menunjukkan trend naik, namun peningkatannya masih dalam toleransi.

Kondisi Indonesia yang menerapkan sistem ekonomi terbuka

(perdagangan intenasional), mengakibatkan kekuatan-kekuatan permintaan dan

penawaran (harga) di pasar internasional akan mempengaruhi kondisi di pasar

domestik. Berdasarkan Gambar 13 di bawah ini, bagaimana pola data harga CPO

baik domestik maupun dunia sebagai komoditas input mempengarui komoditas

keluarannya yaitu minyak goreng. Kondisi yang sama terjadi pada krisis ekonomi

pada tahun 1998, lonjakan harga yang terjadi di pasar Internasional, berimbas

pada kenaikan yang sama pada harga CPO domestik dan harga minyak goreng

sawit. Begitu pula setelah adanya kebijakan pajak ekspor dari pemerintah, trend

harga kembali turun, walaupun inflasi akan kembali terjadi.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

PWCPO (Rp/Kg) PDCPO (Rp/Kg) PMG (Rp/Kg)

Gambar 14. Pola Perkembangan Harga CPO Dunia (PWCPO), Harga CPODomestik (PDCPO) dan Harga Minyak Goreng Domestik (PMG) (Rp/Kg),

1990 - 2006Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dan BULOG. 2007

5.5 Kebijakan Pajak Ekspor

Pajak ekspor untuk komoditas CPO dan olahannya mulai diterapkan pada

tahun 1994, dimana pada tahun tesebutlah pertama sekali terjadi gejolak harga

minyak goreng sawit. Kenaikan harga pada tahun tersebut terjadi sehubungan

dengan kenaikan harga CPO yang cepat di luar negeri. Hal ini membut laju ekspor

CPO yang tinggi, sehingga menyebabkan kelangkaan CPO di pasar domestik.

Page 66: A08brh

51

Legalisasi pajak ekspor ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri

Keuangan No 439/KMK.017/1994. Oleh karena, harga-harga CPO berubah dari

waktu ke waktu, maka pajak ekspor tersebut selalu direvisi melalui penerbitan SK

baru. Berikut perkembangan pajak ekspor CPO Indonesia.

60

4030

105 3 3 3 1.5 6.5 7.5 10

010203040506070

Jul-98

Feb-99

Jun-99

Jul-99

Sep-99

Feb-01

Jun-02

Feb-03

Okt-05

Jul-07

Sep-07

Des-07

Gambar 15. Perkembangan Pajak Ekspor (%), 1998 2007.Sumber: Departeman Perdagagangan RI, 2007

Besaran pajak ekspor tersebar antara yang paling rendah pada Oktober

2005 sebesar 1.5 persen dan tertinggi pada bulan Juli 1998 sebesar 60 persen.

Pajak ekspor CPO secara langsung mempengaruhi harga jual di pasar lokal karena

harga pasar lokal dihitung berdasarkan harga patokan CPO di Rotterdam, yakni:

Harga CPO di pasar lokal kemudian menjadi patokan untuk menentukan

harga TBS kelapa sawit yang harus di bayar pabrik kepada petani. Harga patokan

ekspor (HPE) ditetapkan sebagai dasar penetapan pajak ekspor terutang pada saat

dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang diajukan pada bank devisa atau pada saat

didaftarkan di kantor pelayanan Bea dan Cukai. HPE merupakan salah satu

komponen untuk menghitung besarnya pajak ekspor yang harus dibayarkan oleh

eksportir komoditas sawit yang terkena pajak ekspor. Besarnya pajak ekspor yang

harus dibayar eksportir adalah perkalian antara tarif pajak ekspor dengan HPE-

nya. Pajak ekspor sendiri sebenarnya dimaksudkan pemerintah untuk

mengamankan pasokan lokal.

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2005 tentang

pungutan ekspor atas barang ekspor tertentu perlu menetapkan peraturan menteri

Pendapatan = Harga CPO CIF Rotterdam Biaya Pengapalan Pajak Ekspor

Page 67: A08brh

52

perdagangan tentang penetapan HPE setiap bulan oleh menteri yang bertanggung

jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang ditunjuk dalam hal ini Dirjen

Perdagangan Luar Negeri. Penetapan HPE dimaksud, ditetapkan dengan

berpedoman pada harga rata-rata internasional dan atau harga rata-rata FOB di

beberapa pelabuhan di Indonesia dalam satu bulan sebelum penetapan HPE.

Namun, saat ini perhitungan baru dari pajak ekspor berdasarkan tarif ekspor dan

biaya pengapalan yang ditentukan oleh pemerintah atas dasar kondisi harga

minyak goreng domestik. Hal ini dilakukan agar ketika harga minyak goreng

domestik melonjak, maka pemerintah akan segera menaikkan tarif pajak ekspor

dan biaya pengapalan.

Page 68: A08brh

BAB 6 PENDUGAAN MODEL DAN KETERKAITAN EKSPOR

CPO DENGAN MINYAK GORENG SAWIT

6.1 Pendugaan Model Ekspor CPO

Peningkatan permintaan dunia akan komoditas CPO dan turunannya telah

mempengaruhi negara-negara penghasil CPO dunia, seperti Indonesia dan

Malaysia, untuk berkompetisi menjadi negara produsen dan suplier CPO terbesar

dunia. Ekspor kedua negara pun meningkat tiap tahunnya mengingat permintaan

CPO dunia yang begitu besar. Berbeda dengan Indonesia. Malaysia cenderung

untuk mengekspor produk industri hilir CPO, seperti coccoa butter, minyak

goreng, atau salad. Tentunya, komoditas ekspor tersebut memiliki nilai tambah

yang lebih tinggi dibanding produk hulunya, seperti komoditas utama ekspor

Indonesia yaitu CPO dan Olein. Ekspor Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga

CPO dunia, kondisi permintaan CPO domestik, nilai tukar Rupiah terhadap

Dollar, serta kebijakan proteksi (pajak ekspor) CPO oleh pemerintah.

Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO (XCPO) Indonesia.

Variabel ParameterEstimasi Prob. ESR ELR

Intercept 3.191195 0.2905QCPO 0.422248 0.1369*** 0.461465 0.502383

PDCPO 0.275157 0.2100* 0.085945 0.093565PWCPO 0.136478 0.7461 0.016843 0.018336

PE -0.356289 0.0945**** 0.084431 0.091917ER -0.383333 0.1890** -0.16239 -0.17679

XCPO1 0.081447 0.7818R-Square= 91.20% DW-stat= 2,050 F-hit (α= 0,05) > Prob. (0,000)

Keterangan: **** nyata pada taraf (α) = 0,10*** nyata pada taraf (α) = 0,15** nyata pada taraf (α) = 0,20

* nyata pada taraf (α) = 0,25

Page 69: A08brh

54

Berdasarkan Tabel 4 di atas, ekspor CPO Indonesia secara signifikan

dipengaruhi oleh produksi CPO (QCPO) pada tingkat kepercayaan 85 persen,

harga domestik CPO (PDCPO) 75 persen, pajak ekspor (PE) 90 persen, dan nilai

tukar (ER) dengan tingkat kepercayaan 80 persen. Secara ekonomi, terdapat satu

variabel yang memiliki perbedaan interpretasi dengan hipotesis yang telah

ditetapkan sebelumnya, yaitu harga CPO domestik (PDCPO). Model yang

dibangun dapat menjelaskan keragaman dari ekspor CPO sebesar 91.20 persen.

Produksi CPO diduga, pada jangka panjang, akan meningkatkan ekspor

CPO sebesar 0.50 persen jika produksi mengalami peningkatan sebesar satu

persen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa peningkatan produksi CPO

Indonesia, sebagian besarnya diperuntukkan untuk ekspor. Hal ini juga diperkuat

dari hasil interpretasi PDCPO, bahwa peningkatan PDCPO sebesar satu persen

diduga pada jangka panjang akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 0.09 persen.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pasar domestik bukanlah target pasar

yang menarik bagi industri CPO. Ekspor CPO juga diduga, pada jangka panjang,

akan meningkat sebesar 0.018 persen ketika harga CPO dunia naik sebesar satu

persen.

Tentunya, orientasi yang lebih dari industri CPO terhadap peluang ekspor,

dapat mengganggu kestabilan industri pengolahan kelapa sawit domestik. Salah

satunya industri minyak goreng. Kebijakan dari pemerintah terhadap penerapan

PE dapat dikatakan berhasil. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang

berlawanan antara ekspor CPO dan PE. Artinya, peningkatan PE akan disertai

dengan turunnya volume ekspor. Tetapi patut untuk diperhatikan, pada jangka

panjang ekspor CPO diduga akan kembali naik sebesar 0.09 persen pada

peningkatan PE sebesar satu persen. Oleh karena itu, penetapan pajak ekspor CPO

akan lebih efektif apabila besarannya terus disesuaikan (progressive) dengan

harga CPO internasional.

Ekspor CPO diduga akan mengalami peningkatan ketika nilai tukar

Rupiah cenderung melemah terhadap nilai mata uang Dollar Amerika. Hasil ini

telah sesuai dengan teori makroekonomi, yaitu ketika nilai tukar mata uang suatu

negara lebih rendah dari negara lain akan membuat harga-harga barang di negara

tersebut relatif lebih murah dibanding harga di negara lain. Artinya, harga CPO

Page 70: A08brh

55

domestik akan relatif lebih murah, sehingga akan mendorong pasar internasional

berbondong-bondong untuk mengimpor komoditas CPO domestik. Melemahnya

nilai tukar Rupiah sebesar satu persen, diduga pada jangka panjang akan

meningkatkan ekspor CPO sebesar 0.18 persen.

Tabel 4 di atas juga menunjukkan bahwa elastisitas jangka panjangnya

lebih elastis dibanding elastisitas jangka pendeknya. Artinya, respon perubahan

dari variabel-variabel tersebut pada jangka panjang akan menghasilkan perubahan

yang cukup besar pada eksopor CPO. QCPO memiliki elastisitas terbesar

dibanding variabel-variabel lain. Hal ini mengindikasikan bahwa memang suatu

keniscayaan ekspor CPO untuk terus meningkat tiap tahunnya dimana kondisi

Indonesia yang berlimpah akan komoditas CPO. Kebijakan pengendalian ekspor

yang dilakukan pemerintah agar ditetapkan bukan untuk menghambat industri

untuk melakukan ekspor, namun sebagai instrumen agar ekspor yang terjadi tidak

melupakan kebutuhan pasokan CPO domestik. Hasil analisis statistik ekspor CPO

dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

lnXCPO = 3.191195 + 0.422248 lnQCPO + 0.275157 lnPDCPO + 0.136478

lnPWCPO - 0.356289 lnPE 0.383333 lnER + 0.081447 lnXCPO1

6.2 Pendugaan Model Produksi Minyak Goreng Sawit (MGS) Domestik

Berdasarkan Tabel 5 di bawah ini, produksi MGS secara signifikan

dipengaruhi oleh harga MGS (PMGS), jumlah CPO yang diserap industri MGS

(CCPO), dan ekspor CPO satu tahun yang lalu (XCPO1) dengan tingkat

kepercayaan sebesar 95 persen. Variabel produksi minyak goreng satu tahun yang

lalu (QMGS1) pun menghasilkan nilai yang signifikan dengan tingkat

kepercayaan 90 persen. Terdapat dua variabel yang tidak signifikan yaitu harga

domestik CPO dan impor CPO (MCPO). Model dapat menjelaskan keragaman

produksi MGS sebesar 79.4 persen dengan 20.6 persen sisanya dijelaskan oleh

faktor-faktor di luar model. Nilai F-Hit menunjukkan signifikansi model pada

tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Page 71: A08brh

56

Tabel 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi MinyakGoreng Sawit (QMGS) Indonesia.

VariabelParameter

EstimasiProb. ESR ELR

Intercept -2.867839 0.3443

PMGS 1.017904 0.0240***** 0.362522 0.24363PDCPO -0.354193 0.2578 -0.11875 -0.07981CCPO 1.035013 0.0033***** 1.09302 0.734558

XCPO1 0.499847 0.0310***** 0.499339 0.335577MCPO 0.049361 0.5096 0.020402 0.013711

QMGS1 -0.488003 0.0574****R-Square= 79.4% DW= 1,543 F-hit (α= 0,05) > Prob. (0,0109)

Keterangan: ***** nyata pada taraf (α) = 0,05**** nyata pada taraf (α) = 0,10

Harga MGS, secara ekonomi, memiliki hubungan yang positif terhadap

produksi MGS. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan, bahwa

produsen akan mendapatkan insentif untuk memproduksi lebih banyak lagi

produk keluarannya apabila harga produk tersebut di pasaran dalam posisi yang

menguntungkan. Secara statistik dapat diartikan pula, bahwa pada jangka panjang,

kenaikan atau penurunan harga MGS sebesar satu persen akan mengakibatkan

kenaikan atau penurunan produksi MGS sebesar 0.24 persen.

Harga domestik CPO (PDCPO), secara ekonomi, mempunyai hubungan

yang berbanding terbalik dengan ekspor CPO. Elastisitas jangka panjangnya

menunjukkan, bahwa peningkatan atau penurunan PDCPO sebesar satu persen

akan mengakibatkan penurunan atau peningkatan produksi MGS sebesar 0.08

persen.

Produksi MGS, secara ekonomi, mempunyai hubungan yang positif

terhadap variabel CCPO, XCPO1, dan MCPO. Khusus untuk CCPO dan MCPO,

secara statistik, peningkatan atau penurunan kedua variabel tersebut sebesar satu

persen diduga pada jangka panjang akan mengakibatkan peningkatan atau

penurunan dari produksi MGS sebesar 0.73 persen dan 0.014 persen.

Interpretasi yang berbeda dari hipotesis sebelumnya terjadi pada variabel

XCPO1, dimana, secara ekonomi, menunjukkan hubungan yang positif terhadap

produksi MGS. Secara statistik diduga bahwa pada jangka panjang peningkatan

Page 72: A08brh

57

atau penurunan XCPO1 sebesar satu persen akan mengakibatkan peningkatan atau

penurunan produksi MGS sebesar 0.34 persen. Hal ini dapat disebabkan oleh

setiap peningkatan ekspor satu tahun sebelumnya, selalu diikuti peningkatan harga

MGS yang cukup signifikan. Karena itu, industri pun meresponnya dengan

meningkatkan produksi pada tahun berikut untuk mendapatkan keuntungan pada

tingkat harga yang sedang tinggi-tingginya.

Patut untuk diperhatikan pula, jika dilihat dari nilai elastisitas di atas,

semakin panjang jangka waktunya akan membuat variabel-variabel tersebut

menjadi tidak elastis. Artinya persentase perubahan tiap variabel pada jangka

panjang akan memberikan pengaruh persentase perubahan yang lebih kecil

terhadap produksi MGS. Variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih

responsif adalah CCPO dan dan yang paling rendah responnya adalah MCPO.

Artinya, apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahan kurangnya

ketersediaan MGS di pasaran, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan

untuk mengamankan pasokan CPO untuk industri pengolahan CPO domestik.

Hasil analisis statistik ekspor CPO dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

lnQMGS = - 2.867839 + 1.017904 lnPMGS - 0.354193 lnPDCPO + 1.035013

lnCCPO + 0.499847 lnXCPO1 + 0.049361 lnMCPO - 0.488003

lnQMGS1

6.3 Pendugaan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Domestik

Kebutuhan terhadap minyak goreng untuk pemenuhan kebutuhan rumah

tangga akan terus mengalami peningkatan, selama komoditas minyak goreng saat

ini masih didominasi oleh minyak goreng asal sawit dan belum ada langkah yang

kongkret untuk mengembangkan produk subtitusinya, seperti minyak kelapa.

Berikut hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi MGS

Indonesia.

Berdasarkan tabel berikut, konsumsi MGS domestik dipengaruhi secara

signifikan oleh pendapatan nasional bruto (GNP) dengan tingkat kepercayaan 90

persen, nilai tukar (ER) sebesar 95 persen, dan konsumsi MGS tahun sebelumnya

(CMGS1) sebesar 80 persen. Hanya variabel harga MGS yang memberikan hasil

Page 73: A08brh

58

yang tidak signifikan. Secara umum, model dapat menjelaskan keragaman

konsumsi MGS 87.89 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Tabel 6. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi MinyakGoreng Sawit (CMGS) Indonesia.

Variabel ParameterEstimasi Prob. ESR ELR

Intercept 1.048389 0.2197*PMGS 0.167270 0.2543 0.066934 0.1047GNP 0.236715 0.0995**** 0.238815 0.373556ER 0.354026 0.0223***** 0.180883 0.282939

CMGS1 0.36070 0.1845**R-Square= 87.89% DW= 2.782 F-hit (α= 0,05) > Prob. (0,000)

Keterangan: ***** nyata pada taraf (α) = 0,05**** nyata pada taraf (α) = 0,10

** nyata pada taraf (α) = 0,20* nyata pada taraf (α) = 0,25

Hasil yang tidak signifikan pada harga MGS domestik dapat diindikasikan

bahwa karena begitu pentingnya komoditas ini untuk kebutuhan konsumsi

masyarakat, hampir di segala jenis masakan membutuhkan komoditas ini, adanya

kenaikan harga tidak lantas membuat masyarakat akan mengurangi konsumsinya.

Hal ini didukung oleh tanda positif pada variabel ini yang diartikan, secara

ekonomi, peningkatan atau penurunan dari harga MGS akan menghasilkan respon

yang sama terhadap konsumsi MGS. Kecenderungan prilaku konsumen yang

rentan akan isu-isu yang berkembang dan keputusan konsumsi di masa lalu, akan

mempengaruhi prilaku pembelian mereka. Hal ini dibuktikan dengan tanda positif

pada variabel CMGS1, yang diinterpretasikan bahwa kecenderungan meningkat

atau menurunnya konsumsi masyarakat di masa lalu (satu tahun sebelumnya) akan

memberikan respon yang sama terhadap perilaku pembelian yang akan datang.

Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akan menghasilkan respon

yang positif terhadap harga MGS. Hal ini sesuai dengan penjelasan di atas, bahwa

perbedaan logika ekonomi yang terjadi pada variabel ini, dimana konsumsi

meningkat ketika depresiasi nilai tukar, sehingga menyebabkan inflasi dengan

naiknya harga-harga barang, tetap tidak menyurutkan konsumen untuk

menurunkan konsumsinya. Peningkatan atau penurunan ER, pada jangka panjang,

Page 74: A08brh

59

sebesar satu persen akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan harga MGS

sebesar 0.28 persen. Konsumsi tetap meningkat tiap tahunnya, walaupun dengan

kondisi apapun yang terjadi, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pola

konsumsi masyarakat sekarang yang menjadikan MGS satu-satunya bahan pangan

pembantu masakannya.

Konsumsi MGS juga memiliki hubungan positif dengan GNP. GNP

merupakan ukuran pendapatan warga Indonesia baik di dalam wilayah kedaulatan

maupun tidak. Peningkatan atau penurunan GNP sebesar satu persen (cateris

paribus), pada jangka panjang, akan mengakibatkan peningkatan atau penurunan

konsumsi MGS sebesar 0.37 persen. Perlu diingat pula bahwa, GNP tidak

mencerminkan kondisi ril, karena senjang antara golongan kaya dan miskin,

dengan kata lain distribusi kekayaan, akan menjadi bias.

Nilai elastisitas variabel-variabel di atas yang semakin elastis pada jangka

panjangnya, mengindikasikan bahwa jika tidak ada usaha pemerintah untuk

mengintroduksi produk subtitusi MGS dan peningkatan produksi/ketersediaan

MGS, maka faktor-faktor di atas dalam jangka panjang akan memberikan respon

perubahan yang cukup besar terhadap konsumsi MGS. Variabel GNP memiliki

elastisitas yang relatif lebih besar dibanding variabel-variabel lain. Hasil analisis

statistik Konsumsi MGS dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

lnCMGS = 1.048389 + 0.167270 lnPMGS + 0.236715 lnGNP + 0.354026 lnER -

0.36070 lnCMGS1

6.4 Pendugaan Model Harga Minyak Goreng Sawit Domestik

Model harga MGS dipengaruhi secara signifikan oleh harga domestik

CPO (PDCPO) dengan tingkat kepercayaan 95 persen, harga CPO dunia

(PWCPO) 80 persen, pajak ekspor (PE) 75 persen, dan harga pada tahun

sebelumnya (PMGS1) dengan tingkat kepercayaan 85 persen. Hanya variabel nilai

tukar (ER) yang belum memberikan hasil yang signifikan. Selain itu, model yang

dibangun dapat menjelaskan keragaman dari harga MGS sebesar 56.86 persen

dimana sekitar 43.14 persen dijelaskan oleh variabel-variabel di luar model

dengan tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 7 berikut.

Page 75: A08brh

60

Tabel 7. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Minyak Goreng Sawit (PMGS) Indonesia.

Variabel ParameterEstimasi Prob. ESR ELR

Intercept -0.1416205 0.3608PDCPO 0.474934 0.0425***** 0.447112 0.872606PWCPO 0.469105 0.1843** 0.174487 0.340538

PE -0.238706 0.2150* 0.170493 0.332742ER 0.189595 0.4465 0.24208 0.472455

PMGS1 0.487613 0.1106***R-Square= 56.86% DW= 2,101 F-hit (α= 0,10) > Prob. (0,0901)

Keterangan: ***** nyata pada taraf (α) = 0,05*** nyata pada taraf (α) = 0,15** nyata pada taraf (α) = 0,20

* nyata pada taraf (α) = 0,25

Hubungan positif antara harga MGS dan PDCPO telah memenuhi logika

ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika harga input meningkat, porsi

biaya yang ditanggung industri akan semakin besar, sehingga solusi menaikkan

harga keluaran merupakan alternatif kebijakan yang logis, selain efisiensi proses

produksi. PDCPO diinterpretasikan berdasarkan elastisitas jangka panjangnya,

bahwa peningkatan dan penurunan PDCPO sebesar satu persen akan

mengakibatkan peningkatan dan penurunan harga MGS sebesar 0.87 persen.

PWCPO juga mempunyai peran dalam peningkatan harga MGS, dimana tanda

variabel ini menunjukkan hubungan yang positif. Peningkatan atau penurunan

PWCPO, pada jangka panjang, akan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan

dan penurunan harga MGS sebesar 0.34 persen.

Variabel ER secara parsial tidak menghasilkan signifikansi yang layak

untuk diterima, namun tanda yang dihasilkan telah sesuai dengan logika ekonomi,

dimana depresiasi atau apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akan

mengakibatkan kenaikan atau penurunan harga MGS. Ketidaksignifikanan

variabel ini dapat disebabkan oleh karakteristik dari MGS sendiri, dimana produk

ini telah menjadi konsumsi pokok masyarakat Indonesia dan dapat menyebabkan

keresahan sosial ketika terjadi gejolak. Karena itu, pemerintah akan mengeluarkan

berbagai kebijakan pengendalian jika terjadi kemelut dari sisi ekonomi maupun

Page 76: A08brh

61

ketersediaan produk tersebut, agar harga dan ketersediaannya terjamin dan

terjangkau oleh masyarakat Indonesia.

Hasil pada Tabel 7 di atas juga memberikan gambaran, dimana elastisitas

jangka panjangnya lebih elastis dibanding elastisitas jangka pendek. Variabel

PDCPO mempunyai elastisitas jangka panjang yang lebih elastis dibanding

variabel-variabel lain, sedangkan kebijakan PE memiliki elastisitas jangka

panjang paling kecil. Karena itu, kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga

MGS lebih baik difokuskan pada stabilisasi harga CPO domestik. Penetapan

harga minimum dan maksimum oleh pemerintah patut untuk dicoba, selain pajak

ekspor. Harga minimum dipakai ketika harga CPO domestik sangat rendah

dibanding harga internasional dan harga maksimum pada kondisi sebaliknya. Hal

ini dilakukan agar kondisi harga CPO domestik pada tingkat dimana industri CPO

diuntungkan dan begitu juga industri pengolahan CPO. Hasil analisis statistik

harga MGS dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

lnPMGS = - 0.1416205 + 0.474934 lnPDCPO + 0.469105 lnPWCPO - 0.238706

lnPE + 0.189595 lnER + 0.487613 lnPMGS1

Page 77: A08brh

BAB 7 EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

PENETAPAN PAJAK EKSPOR

Keakuratan model melalui nilai statistics of fit menghasilkan nilai RMS %

Error lebih kecil dari 11 persen. Dilihat dari nilai RMS % Error tersebut, maka

model ini dapat digunakan sebagai peramalan. Artinya, nilai prediksi dapat

mengikuti kecenderungan data historisnya dengan tingkat kesalahan 11 persen

pada persamaan PMGS. Bias (UM), Reg (UR) dan Var (US), mendekati nilai

idealnya yaitu nol, sedangkan nilai Dist (UD) dan Covar (UC) juga mendekati

nilai idealnya satu. Begitu juga dengan nilai U-Theil mendekati nol, yang

mengindikasikan bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik.

Hasil validasi model penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

7.1 Dampak Kenaikan Harga CPO Dunia (PWCPO) Sebesar Sepuluh

Persen

Tabel 8 di bawah ini menunjukkan hasil simulasi berdasarkan kenaikan

harga CPO dunia sebesar sepuluh persen. Kenaikan PWCPO sebesar sepuluh

persen berdampak kepada peningkatan seluruh variabel. Perubahan terbesar ada

pada variabel harga minyak goreng sawit, dimana kenaikan harga CPO dunia

sebesar sepuluh persen akan mengakibatkan naiknya harga minyak goreng sawit

sebesar 3.364 persen. Prosentase perubahan terendah ada pada variabel XCPO,

dimana perubahannya sebesar 0.189 persen.

Tabel 8. Hasil Simulasi Kenaikan Harga CPO Dunia Sebesar Sepuluh Persen.

Variabel Nilai Dasar Skenario Simulasi PWCPO naik 10%Predicted Mean Predicted Mean %

XCPO 7.8750 7.8899 0.189206QMGS 7.4903 7.5579 0.902501CMGS 6.6186 6.6425 0.361104PMGS 2.7199 2.8114 3.364094

Hasil yang tidak terduga didapat pada variabel QMGS dan CMGS, dimana

terjadi peningkatan prosentase perubahan pada masing-masing variabel berturut-

turut 0.902 persen dan 0.361 persen. Secara ekonomi, ketika harga CPO dunia

Page 78: A08brh

63

menigkat akan menimbulkan kecenderungan bagi industri CPO untuk

mengekspor. Karena itu, ketika ekspor mencapai posisi tertinggi sehingga terjadi

gejolak pada harga MGS, ada dua versi yang menjelaskan. Pertama, volume

ekspor terlalu tinggi sehingga mengakibatkan pasokan CPO untuk industri minyak

goreng sawit kurang,. Dampaknya produksi minyak goreng sawit menjadi

berkurang, sehingga ketersediaan MGS untuk konsumsi tidak tercukupi dan pada

akhirnya harga MGS melonjak. Kedua, naiknya harga minyak goreng sawit murni

karena kenaikan harga minyak nabati dunia, termasuk CPO.

Jika merujuk pada hasil simulasi di atas, versi kedua lebih masuk akal.

Tingginya harga MGS murni karena naiknya harga CPO dunia, karena dari hasil

simulasi produksi MGS tidak mengalami penurunan, sehingga hal ini

mengindikasikan tidak adanya kekurangan pasokan CPO domestik walaupun

ekspor sedang tinggi-tingginya. Tetap naiknya konsumsi MGS ketika harga CPO

dunia mengalami kenaikan, lebih dikarenakan pola konsumsi masyarakat yang

cenderung untuk tetap mengkonsumsi MGS pada situasi apapun.

Oleh karena itu, berdasarkan simulasi di atas, pemerintah lebih baik untuk

menfokuskan kebijakan pengendalian harga MGS dengan melakukan kompensasi

(subsidi) kepada industri atas kenaikan harga CPO. Subsidi ini penting agar harga

MGS dapat ditekan turun dengan telah dikompensasinya peningkatan biaya input

oleh pemerintah.

7.2 Dampak Kenaikan PE Sebesar Satu Persen

Peningkatan PE sebesar satu persen, seperti tertera pada Tabel 9 di bawah

ini, ternyata mengakibatkan semua variabel mengalami penurunan. Perubahan

terbesar terjadi pada variabel PMGS, dimana peningkatan sebesar satu persen dari

PE akan mengakibatkan penurunan PMGS sebesar 0.335 persen. Hasil ini dapat

menggambarkan bahwa kebijakan PE ternyata memang memiliki dampak

terhadap penurunan PMGS. Namun, kenaikan PE ini ternyata juga mengakibatkan

penurunan dari sisi produksi dan konsumsi MGS. Produksi diduga akan

mengalami penurunan sebesar 0.12 dan konsumsi diduga turun sebesar 0.03

persen tiap peningkatan PE sebesar satu persen. Hal ini diindikasikan dapat terjadi

karena dampak multiflier dari penurunan PMGS. Harga MGS yang turun, secara

Page 79: A08brh

64

ekonomi, akan mengakibatkan produksi dari MGS itu turun, sehingga dampaknya

pada berkurangnya ketersediaan MGS di pasar. Masyarakat tentunya akan

mengurangi konsumsi dari MGS akibat dampak berkurangnya ketersediaan MGS.

Tabel 9. Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Satu Persen

Variabel Nilai Dasar Skenario Simulasi PE naik 1%Predicted Mean Predicted Mean %

XCPO 7.8750 7.8667 -0.1054QMGS 7.4903 7.4813 -0.12016CMGS 6.6186 6.6164 -0.03324PMGS 2.7199 2.7108 -0.33457

Ekspor sendiri diduga akan mengalami penurunan sebesar 0.105 persen

tiap peningkatan PE sebesar satu persen. Kebijakan PE kembali dapat

membuktikan kehandalannya dalam menurunkan ekspor. Berdasarkan kondisi ini,

timbul sebuah pertanyaan, kemanakah kelebihan produksi ini dialokasikan ketika

produksi MGS mengalami penurunan dan begitu juga dengan ekspor CPO ?.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan Nurdiyani (2007) mengenai

dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao

Indonesia. Penerapan pungutan ekspor pada akhirnya akan membuat kondisi pasar

komoditas tersebut menjadi semakin tidak terintegrasi. Selain itu, adanya

kebijakan pungutan ekspor akan berimplikasi pada: (1) melemahkan posisi daya

saing ekspor Indonesia di dunia. Hal ini ditandai dengan hilangnya potensi pasar

ekspor Indonesia ketika permintaan CPO dunia sedang tinggi-tingginya, serta

yang paling dikhawatirkan adalah akan berpindahnya pembeli ke negara pesaing

(kompetitor), misalnya Malaysia. (2) menurunnya bagian pendapatan yang akan

diterima petani. (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan mungkin tidak akan

begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan. Terakhir

bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input

untuk proses pengolahan dan bagi pemerintah menjadi alternatif pendapatan

bukan pajak.

Page 80: A08brh

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Pola data produksi, ekspor CPO dan permintaan dunia menunjukkan trend

yang relatif identik. Begitu juga dengan pola data harga CPO domestik, harga

CPO dunia, dan harga minyak goreng domestik. Keterhubungan antara tiap pola

data tersebut mengindikasikan adanya hubungan kausalitas yang saling pengaruh

dan mempengaruhi. Model keterkaitan ekspor CPO terhadap harga minyak goreng

domestik menghasilkan empat persamaan struktural dan satu persamaan

indentitas. Sistem persamaan yang dibangun terdiri dari persamaan ekspor CPO,

produksi minyak goreng sawit, konsumsi minyak goreng sawit, dan harga minyak

goreng sawit domestik.

Ekspor CPO dipengaruhi secara nyata oleh produksi CPO, harga CPO

domestik, pajak ekspor, dan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar

Amerika. Penerapan pajak ekspor tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi

ekspor CPO. Variabel produksi CPO memiliki elastisitas jangka panjang terbesar

dalam mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia, dimana peningkatan atau

penurunan satu persen produksi CPO akan meningkatkan atau menurunkan ekspor

CPO sebesar 0.50 persen.

Produksi minyak goreng sawit dipengaruhi secara nyata oleh harga minyak

goreng sawit, konsumsi CPO oleh industri minyak goreng, ekspor CPO satu tahun

sebelumnya, dan produksi minyak goreng sawit satu tahun sebelumnya. Konsumsi

CPO oleh industri minyak goreng sangat besar pengaruhnya terhadap produksi

minyak goreng sawit. Hal ini diindikasikan dengan nilai elastisitas jangka

panjangnya yang sangat responsif, yaitu peningkatan konsumsi CPO oleh industri

minyak goreng sebesar satu persen akan meningkatkan produksi minyak goreng

sawit sebesar 0.73 persen.

Konsumsi minyak goreng sawit secara nyata dipengaruhi oleh pendapatan

penduduk (GNP), nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan

konsumsi minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Harga konsumsi minyak

goreng ternyata tidak mempengaruhi masyarakat untuk mengurangi konsumsi

Page 81: A08brh

66

minyak goreng. GNP mempunyai pengaruh jangka panjang yang lebih responsif

dalam mempengaruhi konsumsi minyak goreng sawit masyarakat.

Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng

sawit adalah harga domestik CPO, harga CPO dunia, pajak ekspor, dan harga

minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Nilai elastisitas jangka panjang yang

paling elastis terdapat pada variabel harga domestik CPO, dimana peningkatan

atau penurunan satu persen harga CPO domestik akan mengakibatkan kenaikan

atau penurunan harga minyak goreng sawit sebesar 0.87 persen.

Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan

model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan

peningkatan sepuluh persen harga CPO dunia akan mengakibatkan kenaikan harga

minyak goreng sawit sebesar 3.36 persen. Hasil sebaliknya didapat dari simulasi

dengan menaikkan pajak ekspor sebesar satu persen, ternyata akan menurunkan

harga minyak goreng sawit sebesar 0.33 persen.

8.2 Saran

1. Perlu adanya penetapan kebijakan alternatif selain tarif pajak ekspor baik

diperuntukkan sebagai komplemen maupun subtitusi untuk mengatasi ataupun

mengurangi kelemahan dari penerapan pajak ekspor.

2. Perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam hal senjang

pengambilan keputusan (decision lag) pada penetapan tarif pajak ekspor agar

penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO internasional yang

sangat fluktuatif.

3. Operasi pasar yang selama ini dilakukan pemerintah untuk menstabilkan harga

minyak goreng di pasaran dapat efektif. Terpenting pemerintah tinggal

mempersiapkan infrastrukturnya secara baik (fisik maupun institusi),

koordinasi yang baik dari aparat pemerintah dari tingkat pusat sampai ke

pelosok daerah, target operasi yang menjangkau kalangan yang kurang

mampu, dan akan menjadi efektif jika dilakukan secara bersama-sama dengan

pelaku pasar lain (stake holders).

Page 82: A08brh

67

4. Perlu adanya penelitian yang mengkaji secara mendalam mengenai pajak

ekspor dimana di dalamnya mencakup besaran pajak ekspor yang efektif

berdasarkan harga minyak goreng sawit yang terbentuk di pasar.

5. Penelitian mengenai mekanisme pengendalian manakah yang paling efektif

dan efisien yang dapat dipilih oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan

sekaligus menjaga kestabilan harga dan ketersediaan minyak goreng sawit

tanpa mengorbankan potensi ekspor CPO Indonesia cukup menarik untuk

dilakukan kedepannya.

Page 83: A08brh

DAFTAR PUSTAKA

Afifa, Rosaria Dewi. 2006. Analisis Permintaan Kedelai Pada Industri Kecap diIndonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arifin, Bustanul, Prof. Dr. 2007. Operasi Pasar dan Distribusi Minyak Goreng.Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRP). Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007. Road Map Kelapa Sawit.Departemen Pertanian . Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta

Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-IlmuSosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics: Fourth Edition. McGraw Hill.Boston.

Hamdani, Andan. 2006. Analisis Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Eropa.Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. FakultasPertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). 2007. Indonesian Palm Oil Statistics2006. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). Jakarta.

Kindleberger, C. P. dan P. H. Lindert. 1995. Ekonomi Internasional (Terjemahan).Edisi Keempat. Penerbitan Erlangga. Jakarta.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: Second Edition. Harper & RowPublishers, Inc. Barnes & Nobles Import Division. New York.

Lipsey, Richard G., Paul N. Courant, Douglas D. Purvis, Peter O. Steiner. 1995.Pengantar Mikroekonomi Jilid 1. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.

Mahisya, Feisal Errick. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia: SuatuPendekatan Error Correction Model. Skripsi. Departemen Sosial EkonomiPertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mangoensoekarjo, S dan A.T. Tojib. 2000. Manajemen Budidaya Kelapa Sawit,hal. 2 317. Dalam: Mangoensoekarjo, S dan H. Semangun, (Eds.).Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Mankiw, N, Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi Kelima. PenerbitErlangga. Jakarta.

Page 84: A08brh

69

Nurdiyani, Fitri. 2007. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan EksporKakao Terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia. Skripsi. Program StudiManajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Piermartini, R. 2004. The Role Of Export Taxes In The Field Of PrimaryCommodities. World Trade Organization.

Prahastuti, Indah. 2000. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PerdaganganMinyak Sawit (CPO) serta Keterkaitan Pasar CPO dan Minyak GorengSawit di Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. FakultasPertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puteri, Eka Intan K, Sri Hartoyo, Heny K Daryanto, Amzul Rifin, Widyastutik.2006. Kebijakan Pungutan Ekspor Crude Palm Oil (CPO). LembagaPenelitian dan Pembedayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LP2M

IPB) dan Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan KerjasamaInternasional (BAPEKKI). Departemen Keuangan RI. Jakarta.

Rifin, A. 2005. The Export Tax And Indonesia s Crude Palm Oil Export. Tesis.International Universitiy of Japan.

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional: Edisi Kelima. PenerbitErlangga. Jakarta.

Sitepu, Rasidin Karo-karo, Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi ModelEkonometrika: Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan ProgramSAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soekartawi, Prof. Dr. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Suganda, Dendi. 2006. Analisis Harga CPO di Pasar Fisik Medan, PasarBerjangka Malaysia, dan Rotterdam. Skripsi. Program Sarjana EkstensiManajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Sumaryanto dan Marcellus Rantetana. 1996. Sistem Agribisnis dan PerananMinyak Goreng dalam Perekonomian Nasional. hal. 37 88. Dalam:Amang, Beddu, Pantjar Simatupang dan Anas Rachman, (Eds.). EkonomiMinyak Goreng di Indonesia. IPB Press. Bogor.

Suparno. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Gula TerhadapKesejahteraan Petani Tebu Indonesia. Skripsi. Departeman Ilmu-IlmuSosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Page 85: A08brh

70

Wijayanti, Nurlaela. 2006. Analisis Input-Output Peranan Industri MinyakGoreng dalam Perekonomian Indonesia. Skripsi. Departemen IlmuEkonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Page 86: A08brh

LAMPIRAN

Page 87: A08brh

72

Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit.

Page 88: A08brh

73

Lampiran 2. Instansi atau Lembaga Sumber Pengambilan Data Penelitian.

No Variabel Sumber Data1 Ekspor CPO Direktorat Jenderal Perkebunan RI2 Impor CPO Direktorat Jenderal Perkebunan RI3 Produksi CPO Direktorat Jenderal Perkebunan RI4 Harga CPO Domestik Direktorat Jenderal Perkebunan RI5 Harga CPO Dunia Direktorat Jenderal Perkebunan RI6 Pajak Ekspor CPO Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan

Kehutanan Departemen Perdagangan RI7 Nilai Tukar Rupiah Thdp

Dollar AmerikaStatistik Keuangan dan Ekonomi BI

8 GNP Badan Pusat Statistik9 Produksi Minyak Goreng Neraca Bahan Makanan, Dewan Ketahanan

Pangan, Deptan10 Konsumsi CPO oleh

Industri Minyak GorengNeraca Bahan Makanan, Dewan KetahananPangan, Deptan

11 Konsumsi Minyak Goreng Dewan Ketahanan Pangan, Deptan12 Harga Domestik Minyak

GorengBadan Urusan Logistik (BULOG)

13 Indeks Harga Konsumen Badan Pusat Statistik

Page 89: A08brh

74

Lampiran 3. Data Penelitian.

PDCPO PWCPO PRODCPO XCPO ER PETAHUN (RP/KG) (US$/TON) (000 TON) (000 TON)1990 585 290 2413 816 1901 0.001991 655 339 2658 1168 1992 0.001992 728 394 3266 1030 2062 0.001993 694 378 3421 1632 2110 0.001994 983 528 4008 1631 2200 0.401995 1275 628 4480 1265 2308 0.401996 1148 531 4899 1672 2393 0.401997 1424 546 5449 2968 4650 0.401998 3925 671 5930 1479 8025 0.601999 2979 436 6456 3299 7100 0.042000 3217 356 7001 4110 9595 0.052001 3242 283 8396 4903 10435 0.032002 4213 390 9622 6334 8940 0.032003 4268 443 10600 6386 8465 0.032004 4584 471 12380 8996 8990 0.032005 4826 422 13920 10476 9751 0.032006 4701 478 16080 12101 9141 0.015

CO PMG CCM PRODMG KONSMG (Rp/Kg) (000 TON) (000 TON) (000 T0N)11 800 1623 1055 44619 900 1528 993 49025 830 2545 1654 53528 905 2201 1431 56336 962 2334 1517 61037 1347 3216 2090 65936 1451 3333 2166 63037 1527 2439 1585 77948 5449 4179 2716 80326 4144 2547 1656 79152 3419 3361 2185 86453 3540 4117 2676 91928 4401 3491 2384 93341 4840 3927 2681 9259 5179 2978 2033 1024

35 5066 1387 947 1051148 5316 1172 800 1067

Page 90: A08brh

75

Lampiran 3. (Lanjutan).

MCPO GNP(000 TON) TRILIUN RP

IHK

26 185.9817 62.8438 216.5509 67.89

309 247.4377 73.17152 317.2232 78.26124 367.9411 85.94

50 432.7983 91.29108 518.2958 100.00

92 609.3404 108.8418 901.8598 209.56

2 1015.9674 261.994 1172.7569 249.291 1622.2293 270.289 1767.3203 299.604 1936.2607 302.06

13 2190.4761 319.8522 2649.9599 351.7111 3193.9951 471.00

Keterangan

XCPOt = Ekspor CPO Indonesia pada tahun ke - t

PDCPOt = Harga CPO domestik pada tahun ke - t

PWCPOt = Harga Internasional berdasarkan CIF Rotterdam pada tahun ke - t

PEt = Pajak ekspor CPO pada tahun ke - t

ERt = Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada tahun ke - t

GNPt = Produk nasional bruto berdasarkah harga berlaku pada tahun ke - t

CCMt = Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng Indonesia pada tahun

ke - t

COt = Jumlah perusahaan penghasil minyak goreng di Indonesia pada

tahun ke - t

PRODMGt = Produksi minyak goreng domestik pada tahun

ke - t

KONSMGt = Konsumsi minyak goreng domestik pada tahun

ke - t

PMGt = Harga domestik minyak goreng pada tahun ke - t

MCPOt = Impor CPO Indonesia pada tahun ke - t

IHK = Indeks Harga Konsumen Indonesia (1996 = 100)

Page 91: A08brh

76

Lampiran 4. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Ekspor CPO.

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: EKSPOR_CDependent variable: XCPO ekspor CPO

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 6 10.71588 1.78598 15.543 0.0003 Error 9 1.03412 0.11490 C Total 15 11.75000

Root MSE 0.33897 R-Square 0.9120 Dep Mean 7.87500 Adj R-SQ 0.8533 C.V. 4.30441

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|

INTERCEP 1 3.191195 2.841874 1.123 0.2905 QCPO 1 0.422248 0.258606 1.633 0.1369 PD 1 0.275157 0.203845 1.350 0.2100 PWCPO 1 0.136478 0.408752 0.334 0.7461 PE 1 -0.356289 0.190656 -1.869 0.0945 ER 1 -0.383333 0.269762 -1.421 0.1890 XCPO1 1 0.081447 0.285383 0.285 0.7818

Variable Variable DF Label

INTERCEP 1 Intercept QCPO 1 produksi CPO PD 1 harga CPO domestik PWCPO 1 harga CPO dunia PE 1 pajak ekspor ER 1 nilai tukar XCPO1 1 ekspor CPO t-1

Durbin-Watson 2.050 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation -0.043

Page 92: A08brh

77

Lampiran 5. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit.

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: PRODUKSIDependent variable: QMGS produksi minyak goreng sawit domestik

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 6 2.85927 0.47655 5.655 0.0109 Error 9 0.75840 0.08427 C Total 15 4.00000

Root MSE 0.29029 R-Square 0.7904 Dep Mean 7.50000 Adj R-SQ 0.6506 C.V. 3.87049

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|

INTERCEP 1 -2.867839 2.873300 -0.998 0.3443 PMGS 1 1.017904 0.375793 2.709 0.0240 PD 1 -0.354193 0.293189 -1.208 0.2578 CCPO 1 1.035013 0.261474 3.958 0.0033 XCPO1 1 0.499847 0.195797 2.553 0.0310 MCPO 1 0.049361 0.071891 0.687 0.5096 QMGS1 1 -0.488003 0.224141 -2.177 0.0574

Variable Variable DF Label

INTERCEP 1 Intercept PMGS 1 harga minyak goreng sawit domestik PD 1 harga CPO domestik CCPO 1 input CPO yang digunakan industri minyak XCPO1 1 ekspor CPO t-1 MCPO 1 MCPO QMGS1 1 produksi minyak goreng sawit domestik t-1

Durbin-Watson 1.543 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation 0.220

Page 93: A08brh

78

Lampiran 6. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Konsumsi Minyak Goreng Sawit.

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: KONSUMSIDependent variable: CMGS konsumsi minyak goreng sawit domestik

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 4 3.30668 0.82667 19.964 0.0001 Error 11 0.45549 0.04141 C Total 15 3.75000

Root MSE 0.20349 R-Square 0.8789 Dep Mean 6.62500 Adj R-SQ 0.8349 C.V. 3.07154

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|

INTERCEP 1 1.048389 0.805635 1.301 0.2197 PMGS 1 0.167270 0.139069 1.203 0.2543 GNP 1 0.236715 0.131594 1.799 0.0995 ER 1 0.354026 0.133287 2.656 0.0223 CMGS1 1 0.360870 0.254865 1.416 0.1845

Variable Variable DF Label

INTERCEP 1 Intercept PMGS 1 harga minyak goreng sawit domestik GNP 1 produk nasional bruto ER 1 nilai tukar CMGS1 1 konsumsi minyak goreng sawit domestik t-1

Durbin-Watson 2.782 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation -0.413

Page 94: A08brh

79

Lampiran 7. Hasil Output SAS 16.2 Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit.

The SAS System

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation

Model: HARGA_MGDependent variable: PMGS harga minyak goreng sawit domestik

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Prob>F

Model 5 1.70592 0.34118 2.636 0.0901 Error 10 1.29408 0.12941 C Total 15 3.00000

Root MSE 0.35973 R-Square 0.5686 Dep Mean 2.75000 Adj R-SQ 0.3530 C.V. 13.08123

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0: Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T|

INTERCEP 1 -1.416205 1.478789 -0.958 0.3608 PD 1 0.474934 0.204428 2.323 0.0425 PWCPO 1 0.469105 0.328955 1.426 0.1843 PE 1 -0.238706 0.180312 -1.324 0.2150 ER 1 0.189595 0.239280 0.792 0.4465 PMGS1 1 0.487613 0.278608 1.750 0.1106

Variable Variable DF Label

INTERCEP 1 Intercept PD 1 harga CPO domestik PWCPO 1 harga CPO dunia PE 1 pajak ekspor ER 1 nilai tukar PMGS1 1 harga minyak goreng sawit domestik t-1

Durbin-Watson 2.101 (For Number of Obs.) 16 1st Order Autocorrelation -0.250

Page 95: A08brh

80

Lampiran 8. Hasil Output SAS 16.2 Validasi Model.

The SAS System

SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 12 Endogenous 4 Exogenous 8 Parameters 25 Equations 4

Number of Statements 8

Program Lag Length 1

Model Variables: XCPO QMGS CMGS PMGS QCPO PD PWCPO PE ER CCPO MCPO GNP

Parameters: A0: 3.191 A1: 0.4222 A2: 0.2752 A3: 0.1365 A4: -0.3563 A5: -0.3833 A6: 0.08145 B0: -2.868 B1: 1.018 B2: -0.3542 B3: 1.035 B4: 0.4998 B5: 0.04936 B6: -0.488 C0: 1.048 C1: 0.1673 C2: 0.2367 C3: 0.354 C4: 0.3609 D0: -1.416 D1: 0.4749 D2: 0.4691 D3: -0.2387 D4: 0.1896 D5: 0.4876

Equations: XCPO QMGS CMGS PMGS

The SAS System

SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Solution Summary

Dataset Option Dataset DATA= CPO

Variables Solved 4

Simulation Lag Length 1

Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.3616E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 16 Average Iterations 1

Observations Processed Read 17 Lagged 1 Solved 16 First 2 Last 17

Variables Solved For: XCPO QMGS CMGS PMGS

Page 96: A08brh

81

Lampiran 8. (Lanjutan) The SAS System

SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable Nobs N Mean Std Mean Std Label

XCPO 16 16 7.8750 0.8851 7.8750 0.8461 ekspor CPO QMGS 16 16 7.5000 0.5164 7.4903 0.4010 produksi minyak goreng sawit CMGS 16 16 6.6250 0.5000 6.6186 0.4449 konsumsi minyak goreng sawit PMGS 16 16 2.7500 0.4472 2.7199 0.3063 harga minyak goreng sawit

Statistics of Fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs % RMS RMS %Variable N Error Error Error Error Error Error R-Square

XCPO 16 0.0000493 0.1043 0.2174 2.84159 0.2537 3.3595 0.9124QMGS 16 -0.009666 0.1085 0.3501 4.75286 0.4091 5.6187 0.3305CMGS 16 -0.006440 -0.0140 0.1145 1.74935 0.1469 2.2359 0.9080PMGS 16 -0.0301 0.2840 0.2239 8.74965 0.2660 10.8459 0.6227

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Inequality Coef

Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

XCPO 16 0.06437 0.955 0.000 0.000 1.000 0.022 0.978 0.0320 0.0160QMGS 16 0.16737 0.601 0.001 0.046 0.954 0.075 0.925 0.0544 0.0272CMGS 16 0.02157 0.955 0.002 0.047 0.951 0.132 0.866 0.0221 0.0111PMGS 16 0.07074 0.801 0.013 0.035 0.952 0.263 0.724 0.0955 0.0482

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions Inequality Coef

Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

XCPO 16 0.00118 0.848 0.000 0.008 0.992 0.039 0.961 0.5125 0.2693QMGS 16 0.00307 0.740 0.001 0.004 0.995 0.102 0.897 0.6739 0.3777CMGS 16 0.0005485 0.814 0.001 0.000 0.999 0.110 0.889 0.5621 0.3095PMGS 16 0.00906 0.836 0.004 0.016 0.979 0.029 0.967 0.5541 0.2902

Page 97: A08brh

82

Lampiran 9. Output SAS 16.2 Kenaikan Harga CPO Dunia Sebesar SepuluhPersen.

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable Nobs N Mean Std Mean Std Label

XCPO 16 16 7.8750 0.8851 7.8899 0.8335 ekspor CPO QMGS 16 16 7.5000 0.5164 7.5579 0.3891 produksi minyak goreng sawit CMGS 16 16 6.6250 0.5000 6.6425 0.4355 konsumsi minyak goreng sawit PMGS 16 16 2.7500 0.4472 2.8114 0.3014 harga minyak goreng sawit

Page 98: A08brh

83

Lampiran 10. Output SAS 16.2 Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Satu Persen.

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable Nobs N Mean Std Mean Std Label

XCPO 16 16 7.8750 0.8851 7.8667 0.8399 ekspor CPO QMGS 16 16 7.5000 0.5164 7.4813 0.3978 produksi minyak goreng sawit CMGS 16 16 6.6250 0.5000 6.6164 0.4433 konsumsi minyak goreng sawit PMGS 16 16 2.7500 0.4472 2.7108 0.3034 harga minyak goreng sawit