› xmlui › bitstream › handle › 123456789 › 8721 › bab 2.pdf... bab ii tinjauan pustaka...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pasar Modal
2.1.1 Pengertian Pasar Modal
Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan (atau
sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang
maupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities,
maupun perusahaan swasta menurut (Suad Husnan, 2009:3). Pasar modal berperan
dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional kea rah peningkatan
kesejahteraan rakyat (Ari Sudrajat, 2015:13). Berikut pengertian tentang pasar modal
yang dikemukakan oleh para ahli :
Pengertian pasar modal menurut (Martalena dan Maya Malinda, 2011:2)
menyatakan bahwa:
“Pasar modal merupakan pasar untuk berbagi instrumen keuangan jangka
panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), ekuitas
(saham), reksadana, instrumen derivative maupun instrumen lainnya. Pasar
modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain
(misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi, dengan
demikian pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan
jual beli dan kegitan terkait lainnya”.
14
Kemudian pengertian pasar modal menurut (Irham Fahmi, 2015:48) adalah:
“Pasar modal adalah tempat dimana berbagai pihak khususnya menjual saham
(stock) dan obligasi (bond) dengan tujuan dari hasil penjualan tersebut
nantinya akan dipergunakan sebagai tambahan dana atau untuk memperkuat
modal perusahaan.”
Dapat disimpukan bahwa pasar modal merupakan pasar diperjual belikannya
instrumen keuangan jangka panjang antara penjual dan pembeli baik itu individu,
korporasi maupun pemerintah. Pasar modal memiliki peran besar dalam pertumbuhan
perekonomian nasional. Selain sebagai sarana berinvestasi, pasar modal juga
merupakan sumber dana bagi perusahaan.
2.1.2 Manfaat Pasar Modal
Menurut (Nor Hadi, 2013:14) sebagai wadah yang terorganisir berdasarkan
Undang-undang untuk mempertemukan antara investor sebagai pihak yang surplus
dana untuk berinvestasi dalam instrumen keuangan jangka panjang, pasar modal
meimiliki manfaat antara lain :
1. Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha
sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara optimal.
2. Alternative investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko
yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi
investasi.
15
3. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai
prospek, keterbukaan dan profesionalisme, menciptakan iklim berusaha yang
sehat.
4. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik.
5. Memberikan akses control social.
6. Menyediakan leading indikator bagi trend ekonomi Negara
2.1.3 Fungsi Pasar Modal
Menurut (Nor Hadi, 2013:16) Pasar modal memberikan fungsi besar bagi
pihak-pihak yang ingin memperoleh keuntungan dalam investasi. Fungsi pasar modal
tersebut antara lain:
1. Bagi perusahaan
Pasar modal memberikan ruang dan peluang bagi perusahaan untuk
memperoleh sumber dana yang relatif memiliki resiko investasi (cost of
capital) rendah dibandingkan sumber dana jangka pendek dari pasar uang.
2. Bagi investor
Alternative investasi bagi pemodal, terutama pada instrumen yang
memberikan likuiditas tinggi. Pasar modal memberikan ruang investor dan
profesi lain memanfaatkan untuk memperoleh return yang cukup tinggi.
3. Bagi Perekonomian Nasional
Dalam daya dukung perekonomian nasional, pasar modal memiliki peran
penting dalam rangka meningkatkan dan mendorong pertumbuhan dan
16
stabilitas ekonomi. Hal tersebut ditunjukan dengan fungsi pasar modal yang
memberikan sarana bertemunya antara lender dengan borrower.
2.1.4 Jenis-Jenis Pasar Modal
Jenis-jenis pasar modal menurut (Sunariyah, 2011:12) adalah sebagai berikut:
1. Pasar Perdana (Primary Market)
Pasar perdana adalah penawaran saham dari perusahaan yang menerbitkan
saham (emiten) kepada permodal selama waktu yang ditetapkan oleh pihak
sebelum saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder.
2. Pasar Sekunder (Secondery Market)
Pasar sekunder didefinisikan sebagai perdagangan saham setelah melewati
masa penawaran pada pasar perdana. Jadi, pasar sekunder dimana saham dan
sekuritas lain diperjual-belikan secara luas, setelah melalui masa penjualan dai
pasar perdana. Harga saham di pasar sekunder ditentukan oleh permintaan dan
penawaran antara pembeliandan penjualan.
3. Pasar Ketiga (Third Market)
Pasar ketiga adalah tempat perdagangan saham atau sekuritas lain di luar
bursa (over the counter market). Bursa parallel merupakan suatu sistem
perdagangan efek yang terorganisasi di luar bursa efek resmi, dalam bentuk
pasar sekunder yang diatur dan dilaksanakan oleh Perserikatan Perdagangan
Uang dan Efek dengan diawasi dan dibina oelh lembaga keuangan.
17
4. Pasar Keempat (Fourth Market)
Pasar keempat merupakan bentuk perdagangan efek antar permodal atau
dengan kata lain pengalihan saham dari satu pemegang saham ke pemegang
saham lainnya tanpa melalui perantara perdagangan efek. Bentuk transaksi
dalam perdagangan semacam ini biasanya dilakukan dalam jumlah besar
(block sale).
2.2 Initial Public Offering
2.2.1 Pengertian Initial Public Offering
Menurut UU Pasar Modal No.8 Tahun 1995 penawaran umum perdana
adalah:
“Kegiatan penawaran Efek oleh Emiten kepada masyarakat pemodal
berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang Pasar Modal dan
peraturan pelaksanaannya.”
Penawaran umum menurut Tjiptono Darmadji dan Fakhruddin (2012) adalah:
“Kegiatan penawaran saham efek lainnya yang dilakukan oleh emiten
(perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham atau efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang di atur oleh undang-undang yang
mengatur tentang pasar modal dan peraturan pelaksanaannya.”
Penawaran umum perdana/Initial Public Offering merupakan kegiatan
pertama kali yang dilakukan perusahaan untuk menjual kepemilikan ke public atau
masyarakat luas atau dalam hal ini disebut investor. Kegiatan ini lebih disebut dengan
18
go public. Go public cara yang dilakukan perusahaan agar mendapatkan tambahan
dana baru yang bersumber dari masyarakat.
2.2.2 Keuntungan Initial Public Offering
Terdapat banyak keuntungan bagi perusahaan untuk melakukan penawaran
umum atau initial public offering (IPO) atau biasa disebut go public. Diambil dalam
(http://www.idx.co.id/Portals/0/StaticData/Information/ForCompany/PanduanGoPubl
ic%20_Dec2015.pdf) sebagai berikut :
a. Akses terhadap pendanaan di pasar saham
b. Tambahan kepercayaan untuk akses pinjaman
c. Menumbuhkan profesionalisme
d. Meningkatkan image perusahaan
e. Likuiditas & kemungkinan divestasi bagi pemegang saham pendiri yang
menguntungkan
f. Menumbuhkan loyalitas karyawan perusahaan
g. Peningkatan nilai perusahaan (company value)
h. Kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
i. Insentif pajak
19
2.2.3 Proses Melakukan Initial Public Offering
Kegiatan yang dilakukan dalam proses penawaran umum yang diakses dalam
(http://www.idx.co.id/Portals/0/StaticData/Information/ForCompany/Panduan
GoPublic%20_Dec2015.pdf) mencakup tahapan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Proses Penawaran Umum Saham Kepada Publik dan Pencatatan Saham
di Bursa Efek Indonesia
1. Persiapan Awal dan Persiapan Dokumen
2. Penyampaian Permohonan Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Saham ke
Bursa Efek Indonesia
20
3. Penyampaian Pernyataan Pendaftaran ke OJK
4. Penawaran Umum, Pencatatan dan Perdagangan Saham di Bursa Efek
Indonesia
2.3 Underpricing
2.3.1 Pengertian Underpricing
Underpricing dapat diartikan sebagai kondisi dimana harga penawaran pada
saat IPO dinilai lebih rendah secara signifikan dibandingkan harga saham pada saat
penutupan hari pertama di pasar sekunder (Beatty, 1989).
Pengertian underpricing menurut (Manurung, 2013:8) underpricing adalah:
“Bila harga IPO saham lebih rendah dari harga penutupan saham pada hari
pertama diperdagangkan maka harga IPO saham tersebut disebutkan
underpricing.”
Underpricing merupakan salah satu fenomena yang sering ditemui ketika
perusahaan melakukan IPO (Initial Public Offering). Saham pertama kali
diperdagangkan melalui pasar perdana. Berbeda dengan pasar sekunder, harga
penawaran di pasar perdan tidak melalui mekanisme penawaran dan permintaa.
Karena itu biasanya akan terjadi penurunan atau bahkan kenaikan harga dari harga
saham sebelumnya di pasar perdana. Jika kondisi harga di pasar sekunder lebih tinggi
dibandingkan harga di masa penawaran umum, maka disebut dengan underpricing
namun jika sebaliknya fenomena tersebut disebut overpricing.
21
Pada penelitian tersahulu, underpricing diukur dengan initial return. Initial
return adalah keuntungan yang didapat pemegang saham karena perbedaan harga
saham yang dibeli di pasar perdana dengan harga jual saham yang bersangkutan di
pasar sekunder (Eka Retnowati, 2013:183). Menurut (Manurung, 2013:19)
underpricing diukur dengan initial return saham, yaitu selisih harga penutupan hari
pertama saham diperdagangkan di pasar sekunder dengan harga penawarannya dibagi
dengan harga harga penawarannya yang dirumuskan menjadi :
2.3.2 Tinjauan Literatur Underpricing
Menurut (Manurung, 2013:19) bila initial return ini mempunyai nilai positif
maka harga Initial Public Offering (IPO) dianggap underpricing. Dan bila tidak
(negatif) maka harga Initial Public Offering (IPO) dianggap kemahalan.
2.4.2 Teori Underpricing
Berdasarkan penelitian sebelumnya, ada beberapa teori mengenai
underpricing telah dikemukakan oleh para ahli seperti yang dikutip dalam (Basana,
2003), diantaranya :
1. Informasi Asimetris
Kebanyakan teori yang menjelaskan Harga Penawaran Perdana (IPO) yang
underpriced didasarkan pada asumsi bahwa terjadi perbedaan informasi antara
22
berbagai pihak terhadap nilai saham yang baru tersebut. Salah satu dari teori
tersebut menganggap bahwa underwriter secara signifikan mempunyai
informasi yang lebih baik daripada issuer (Baron & Holmstrom, 1980). Oleh
karena underwriter memiliki informasi yang lebih lengkap, underwriter akan
mampu meyakinkan issuer bahwa harga yang rendah lebih baik jika issuer
tidak pasti terhadap nilai sahamnya sendiri. Perspektif ini didasarkan pada
anggapan bahwa meskipun issuer mengetahui lebih banyak karakteristik
bisnisnya, tetapi underwriter lebih mengetahui harga pasar sebab underwriter
melakukan survei pasar, melakukan investigasi terhadap issuer, mendapatkan
informasi dari issuer dan juga punya pengalaman dalam pengeluaran saham
baru (Ibbotson, Sindelar,Ritter,1988).
2. Tulah Bagi Pemenang (Winner’s Curse)
Penjelasan lain dari underpricing dikembangkan oleh Rock (1986), yang
dikenal sebagai istilah “Winner’s Curse”. Winner’s Curse ini menekankan
adanya informasi asimetris di antara investor potensial. Menurut pandangan
ini, beberapa investor (informed investor) mempunyai akses informasi
mengetahui berapa sesungguhnya nilai saham yang akan dikeluarkan. Investor
lainnya (uninformed investor) tidak mengetahui karena sangat sulit atau mahal
untuk mendapatkan informasi tersebut. Underwriter diasumsikan tidak
mengetahui dengan pasti nilai saham tersebut. Underwriter (sekaligus issuer)
melakukan kesalahan acak (random error) dalam penetapan harga: beberapa
saham ditetapkan overvalued dan lainnya undervalued. Investor yang punya
23
informasi akan membeli saham yang undervalued dan menghindari saham
yang overvalued. Akibatnya, investor yang tidak punya informasi sulit
mendapatkan saham undervalued, karenanya akan mendapatkan return yang
lebih kecil. Karena issuers harus terus menerus menarik investor yang tidak
mendapatkan informasi seperti investor yang punya informasi, maka rata-rata
harga saham baru tersebut harus underpriced agar investor yang tidak punya
informasi tersebut mendapatkan return yang memadai (Rock,1986).
3. Tradisional
Selain teori Underpricing IPO yang berdasarkan informasi asimetris ada juga
penjelasan tradisional yang diberikan Ibbotson (1975) antara lain:
1. Undang-Undang membuat underwriter menetapkan harga perdana di
bawah harga yang diharapkan. (Walaupun pada kenyataannya tidak semua
negara secara eksplisit menetapkan ini).
2. Terjadi kolusi di antara para underwriter dengan menetapkan kondisi
underpriced, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi, untuk
mengeksploitasi issuer yang tidak berpengalaman dan menyenangkan
investor.
3. Saham yang underpriced meninggalkan kesan yang baik terhadap investor
sehingga pada waktu berikutnya, saham baru yang dikeluarkan dapat
dijual pada harga yang lebih menarik.
4. ”Firm Commitment” membuat Underwriter mencoba mengurangi resiko
dengan cara underpriced saham perdana untuk mengkompensasinya. Pada
24
situasi ini, investor jelas akan mendapat keuntungan dan mau membeli
saham tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
5. Proses underwriting biasanya memasukkan unsur underpricing dalam
IPO, kondisi ini terjadi karena kebiasaan/tradisi atau berdasarkan
perjanjian yang disepakati antara issuer dan underwriter.
6. Perusahaan yang mengeluarkan saham (issuer) dan underwriter
menganggap bahwa underpricing merupakan bentuk jaminan terhadap
tuntutan hukum. SEC Act of 1993 memberlakukan Civil Liability Act pada
situasi atau kasus misinformasi yang dilakukan issuer dan underwriter.
Dari berbagai penjelasan di atas tentang underpricing dari penawaran
saham perdana (IPO), tidak satu pun yang secara sendiri-sendiri mampu
menjelaskan secara memuaskan mengenai kondisi underpricing IPO.
(Ibbotson, Sindelar, Ritter, 1988).
4. Signaling Equilibrium Phenomenom
Teori yang lainnya dalam menjelaskan underpricing IPO adalah sebagai
Signaling Equilibrium Phenomenom [ Allen dan Faulhaber(1989), Grinbaltt
dan Hwang (1989); dan Welch (1989)]. Dasar fundamental dari teori ini
adalah perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan signal (tanda)
tentang tipe atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO
yang underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau
melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat
underpricing. Motivasi dari pengiriman signal lewat underpricing adalah
25
asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari
kerugiannya.
2.4 Saham
2.4.1 Pengertian Saham
Saham adalah salah satu surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal.
Menurut (Tjiptono Darmadji dan Fakhruddin, 2012:5) saham adalah tanda penyertaan
atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseorangan
terbatas. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas
tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut.”
Sedangkan menurut (Martalena dan Malinda, 2011:12) saham adalah:
“Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau
pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dengan
menyertakan modal tersebut maka pihak tersebut memiliki klaim atas
pendapat perusahaan, klaim atas asset perusahaan, dan berhak hadir dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)”.
2.4.2 Jenis Saham
Menurut (Tjiptono Darmadji dan Fakhruddin, 2012:6) terdapat dua jenis
saham, antara lain:
1. Saham Biasa (Common Stock)
Saham biasa merupakan saham yang mendapatkan pemiliknya paling junior
terhadap pembagian dividen, dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila
perusahaan tersebut dilikuidasi.
26
2. Saham Preferen (Preferred Stock)
Saham preferen merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan
antara obligasi dan saham biasa. Karena bisa menghasilkan pendapatan tetap
(seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa mendatangkan hasil seperti yang
dikehendaki investor.
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Underpricing
2.5.1 ROA (Return On Asset)
ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas, yaitu rasio yang menunjukkan
seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau
laba bagi perusahaan. ROA digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ang,
1997) dalam Venantia (2012). Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan
bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba
merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam
menanamkan modalnya. Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan
mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga akan menurunkan tingkat
underpricing (Imam Ghozali dan Irwansyah, 2002).
27
2.5.2 PER (Price Earnings Ratio)
Price earning ratio dipergunakan oleh berbagai pihak atau investor untuk
membeli saham. Investor akan membeli suatu saham perusahaan dengan price
earning ratio yang tinggi, karena price earning ratio yang tinggi menggambarkan
laba bersih per saham yang cukup tinggi.
Menurut Manurung (2004:26) Price earning ratio adalah hasil bagi antara
harga saham dan laba bersih per saham. Harga saham dipasar merupakan harga yang
berlaku. Sedangkan laba bersih merupakan laba bersih per saham proyeksi tahun
berjalan.
Menurut Sugianto (2008) dalam Humaira Enika (2013:7) price earning ratio
(PER) adalah rasio yang diperoleh dari harga saham biasa dibagi dengan laba per
saham (EPS), maka semakin tinggi rasio ini akan mengindikasikan bahwa kinerja
perusahaan juga semakin membaik. Sebaliknya jika PER terlalu tinggi juga
mengindikasikan bahwa harga saham sudah sangat tinggi atau tidak rasional.
Menurut Garrison dan Noreen penerjemah Hinduan dan Tanujaya (2007:594),
price earning ratio adalah hubungan antara harga saham dan laba per saham. Selain
itu, PER dugunakan secara luas oleh investor sebagai panduan umum untuk
mengukur nilai saham perusahaan. kemungkinan karena perusahaan diharapkan
mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan laba
mendatang. Sebaliknya, jika investor yakin prospek pertumbuhan laba mendatang
tidak bagus, PER akan relatif rendah.
28
Menurut (Tandelilin 2001: 244-245) Price Earnings Ratio (PER) atau
earnings multiplier adalah jumlah besarnya rupiah yang harus dibayarkan invetor
untuk memperoleh satu rupiah earnings perusahaan. PER adalah salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan nilai intrinsik saham. Jika nilai
instrinsik saham lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasarnya maka saham
tersebut undervalued sehingga sebaiknya dibeli. Bila nilai intrinsik saham lebih
rendah dibandingkan dengan harga pasarnya, maka saham tergolong overvalued
sehingga saham tersebut sebaiknya tidak dibeli dan investor yang memiliki saham
akan menjual saham tersebut.
2.5.3 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai proxy tingkat ketidakpastian
saham. Perusahaan yang berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga
informasi mengenai prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh
investor daripada perusahaan berskala kecil. Karena lebih dikenal dan informasi
mengenai perusahaan besar lebih banyak dan lebih mudah diperoleh investor, maka
akan meminimkan tingkat ketidakpastian. Tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi
oleh calon investor mengenai masa depan perusahaan emiten dapat diperkecil apabila
informasi yang diperolehnya banyak (Misnen Ardiansyah, 2004).
29
Tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada umumnya rendah
karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar,
sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan.
Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan
berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil
tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko
investasinya lebih besar dalam jangka panjang (Nur Indriyantoro dan Siti
Nurhidayati, 1998).
Perusahaan berskala besar memiliki tingkat ketidakpastian yang rendah,
sehingga akan mengurangi asimetri informasi pada perusahaan berskala besar.
Perusahaan berskala besar akan menurunkan tingkat underpricing dan kemungkinan
initial return yang akan diterima investor akan semakin rendah.
2.5.4 Prosentase Penawaran Saham
Proporsi saham yang ditawarkan dapat digunakan sebagai proksi terhadap
faktor ketidakpastian yang akan diterima oleh investor. Hal tersebut telah
dikemukakan oleh Nur Indriyantoro dan Siti Nurhidayati (1998). Proporsi dari saham
emitren ke calon investor. Semakin tinggi proporsi saham yang dipegang oleh
pemegang saham lama semakin banyak informasi yang dimiliki oleh pemegang
saham lama investor lama mengeluarkan biaya untuk mendapatkan informasi guna
pengambilan keputusan apakah akan membeli saham atau tidak. Sehingga
kompensasinya adalah pengeluaran biaya oleh investor sehingga investor
30
mengharapkan mendapat tingkat initial return yang tinggi, penelitian Beatty (1989)
yang menunjukan adanya hubungan negatif antara saham yang ditawarkan dengan
tingkat underpricing.
2.5.5 Reputasi Underwriter
Menurut Irham Fahmi (2015:53) Underwriter adalah penjamin emisi bagi
setiap perusahaan yang akan menerbitkan sahamnya di pasar modal. Penentuan harga
saham pada saat IPO ditentukan oleh emiten dengan underwriter. Sedangkan menurut
Pasal No.17 UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal menyatakan bahwa :
“Underwriter adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk
melakukan penawaran umum perdana bagi kepentingn emiten dengan atau
tanpa kewajiban untuk membeli sisa efek yang terjual”.
Underwriter bertanggung jawab terhadap terjualnya seluruh saham yang
dikeluarkan oleh emiten pada saat IPO. Dalam praktiknya, underwriter akan
membantu suatu sindikasi penjaminan yang terdiri dari beberapa underwriter dengan
porsi penjaminan yang berbeda-beda. Underwriter mengambil keuntungan dari
selisih harga beli dan harga jual dari saham yang disebur spread.
Menurut Irham Fahmi (2015:53-54) disebutkan bahwa da 2 tipe penjamin
yaitu:
1. Agen Best Efforts, berarti penjamin emisi hanya sebatas pada saham
yang terjual saja.
31
2. Full Commitment, berarti penjamin emisi menjamin penjualan seluruh
yang ditawarkan. Bila ada yang tidak terjual, maka penjamin emisi
yang membelinya.
Jadi, tipe penjamine misi yang biasa dibelikan oleh underwriter yaitu tipe
penjamin Agen Best Efforts dan Full Commitment. Underwriter yang belum
bereputasi biasanya cenderung menghindari resiko tidak terjualnya saham, sedangkan
underwriter bereputasi tinggi berani menetapkan harga saham yang tinggi sebagai
konsekuensi dari kualitas penjaminannya (Yasa,2008) dalam Andina Dwi Cahyanda
(2013:7). Berdasarkan hal tersebut maka dengan menggunakan underwriter
berkualitas baik dapat menurunkan tingkat resiko perusahaan sehingga dapat
mengurani intial retun bagi investor. Pengukuran untuk menilai reputasi underwriter
ini ditentukan dengan memberikan skala satu untuk underwriter yang masuk top 10
dalam 20 most active brokerage house monthly IDX berdasarkan total frekuensi
perdagangan dan nilai nol untuk underwriter yang tidak masuk top 10.
2.6 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson dalam Jurnal Manajemen dan
Bisnis, Volume 1, Tahun 2011, Halaman 1-8 yang berjudul Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Underpricing Harga Saham IPO Saham Perusahaan yang
Terdaftar Di BEI. Secara simultan variable reputasi underwriter, reputasi auditor,
fractional holding, dan ROE berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing.
Secara parsial reputasi underwriter tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
32
underpricing. Secara parsial reputasi auditor berpengaruh terhadap tingkat
underpricing. Secara parsial fractional holding tidak berpengaruh signifikan terhadap
tingkat underpricing. Secara parsial ROE tidak berpengaruh signifikan terhadap
tingkat underpricing.
Hasil penelitian yang dilakukan Eka Retnowati dalam (Accounting Analysis
Journal) Tahun 2013, Halaman 182-190 yang berjudul Penyebab Underpricing
Pada Penawaran Saham Perdana Di Indonesia. Secara simultan variable reputasi
DER, ROA, EPS, umur perusahaan, ukuran perusahaan, presentase penawaran saham
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Secara parsial DER tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Secara parsial ROA tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Secara parsial EPS
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Secara parsial umur
perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Secara
parsial ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadp tingkat underpricing.
Secara parsial presentase penawaran saham berpengaruh signifikan terhadap tingkat
underpricing.
Hasil penelitian Dicky Satrio Wibiwo dalam Tesis dipublikasikan, Program
Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro yang berjudul Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Perbankan
yang IPO Periode 1999-2003. Reputasi underwriter terbukti berpengaruh negatif
terhadap tingkat underpricing yang terjadi pada IPO perusahaan yang telah listing di
BEJ periode 1999-2003. Variabel reputasi auditor memiliki arah hubungan yang
33
positif dan signifikan terhadap tingkat underpricing. Hasil analisis pengujuan variabel
jumlah saham yang ditahan oleh investor lama menunjukan hubungan yang signifikan
dan positif terhadap tingkat underpricing. Variabel ROA memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat underpricing. Dan mempengaruhi tingkat underpricing
secara positif. Variabel PER ditemukan adanya hubungan yang signifikan dan positif
terhadap tingkat underpricing. Variabel financial laverage memiliki pengaruh yang
signifikan dan positif terhadap tingkat underpricing. Tingkat inflasi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing.
2.7 Kerangka Pemikiran
Perusahaan akan membutuhkan dana dalam menjalankan aktivitasnya sesuai
dengan perkembangan perusahaan tersebut. Pendanaan tersebut dapat dipenuhi
dengan dua alternatif yaitu sumber pendanaan internal dan eksternal perusahaan.
Pendanaan yang cukup besar dengan waktu cukup singkat diperoleh melalui
penawaran saham perdana/IPO (Initial Public Offering) atau disebut Go public.
Harga saham pada saat IPO cenderung lebih rendah dibanding harga saham
pada hari pertama di pasar sekunder, kondisi tersebut biasa disebut dengan
underpricing. Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab terjadinya
fenomena underpricing pada saham IPO adalah teori asimetri informasi dan
signaling. Menurut Yurena Prastica (2012:99) adanya Asimetri Informasi terjadi jika
salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak dibanding
dengan pihak lainnya.
34
Signalling theory dalam Indita Azisia Risqi dan Puji Harto (2013:1) adalah
informasi mengenai perusahaan merupakan sinyal bagi investor dalam keputusan
berinvestasi. Sinyal positif yang dibuat oleh emiten dengan underwriter dapat
membedakan perusahaan yang baik dan yang kurang baik. Penerbitan prospektus oleh
emiten yang akan go public memberikan sinyal positif nya bagi investor. Informasi
yang dimuat dalam prospektus akan membnatu investor membuat keputusan yang
rasional mengenai resiko nilai saham yang sesungguhnya ditawarkan emiten (Kim,
Krinsky dan Lee, 1995) dalam Retnowati (2013:183).
2.7.1 Pengaruh ROA Terhadap Tingkat Underpricing
Return on Asset (ROA) adalah rasio antara keuntungan bersih setelah pajak
terhadap jumlah asset secara keseluruhan, atau ukuran untuk menilai seberapa besar
tingkat pengembalian dari aset perusahaan. ROA merupakan salah satu rasio
profitabilitas. Informasi mengenai tingkat profitabilitas perusahaan merupakan
informasi penting bagi investor dalam membuat keputusan investasi. Profitabilitas
perusahaan memberikan informasi kepada investor mengenai efektivitas operasional
perusahaan (Tambunan, 2007). Profitabilitas yang tinggi akan mengurangi
ketidakpastian perusahaan di masa yang akan datang dan sekaligus mengurangi
ketidakpastian IPO, sehingga akan mengurangi underpricing (Kim et al., 1993).
Watts dan Zimmerman (1990) menyatakan bahwa prestasi keuangan, khususnya
tingkat keuntungan, memegang peranan penting dalam penilaian prestasi usaha
perusahaan dan sering digunakan sebagai dasar dalam keputusan investasi, khususnya
35
dalam pembelian saham. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (1993), Gerianta
(2008) dan Sandhiaji (2004), telah membuktikan bahwa profitabilitas perusahaan
berpengaruh signifikan (negatif) pada underpricing. Dengan demikian diajukan
hipotesis sebagai berikut.
2.7.2 Pengaruh PER Terhadap Tingkat Underpricing
Informasi PER mengindikasikan besarnya rupiah yang harus dibayarkan
investor untuk memperoleh satu rupiah earning perusahaan. bagi investor rasio harga
saham terhadap laba bersih berguna dalam menilai investasi yang potensial dari suatu
perusahaan, investor dapat menggunakan PER didalam merumuskan apakah akan
melakukan investasi atau tidak kepada perusahaan investor. Investor juga dapat
menggunakan PER sebagai suatu indikator bagaimana perusahaan tersebut
menetapkan harga saham. Secara teoritis PER merupakan indikator yang dapat
digunakan untuk menentukan apakah harga saham tersebut dinilai terlalu tinggi (over
valued) atau terlalu rendah (unde valued), sehingga para (calon) investor dapat
menentukan kapan sebaiknya harga saham dibeli atau dijual. Dengan asumsi,
semakin rendah PER berarti semakin murah harga saham yang bersangkutan atau
semakin rendah underpricing (Humaira Enika, 2013:9).
2.7.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Tingkat Underpricing
Ukuran perusahaan menunjukan jumlah total aset yang dimiliki perusahaan.
Semakin besar aset perusahaan akan mengindikasikan semakin besar ukuran
36
perusahaan tersebut. Suatu perusahaan dengan skala ekonomi yang lebih tinggi dan
lebih besar dianggap mampu bertahan dalam waktu yang lama. Kebanyakan investor
lebih memilih untuk menginvestasikan modalnya di perusahaan yang memiliki skala
ekonomi yang lebih tinggi, karena investor menganggap perusahaan tersebut dapat
mengembalikan modalnya dan investor akan mendapatkan keuntungan yang tinggi
pula. Perusahaan yang berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat jika
dibandingkan dengan perusahaan kecil (Yurena Prastica, 2013:101).
Ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin
besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk
mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Kemudahan mendapatkan informasi
akan meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi faktor ketidakpastian yang
berarti risiko underpricing lebih kecil (Yurena Prastica, 2013:101). Bram Nugroho
Sandhiaji (2004) serta Chastina Yolana dan Dwi Martani (2005) membuktikan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh signifikan dan negatif pada tingkat underpricing.
Berdasarkan pemikiran ini maka diajukan hipotesis sebagai berikut.
2.7.4 Pengaruh Prosentase Penawaran Saham Terhadap Tingkat Underpricing
Presentase saham yang dipegang oleh pemilik saham menunjukan banyak
sedikitnya pengungkapan informasi privat perusahaan. Informasi kepemilikan saham
oleh pemilik akan digunakan oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek
perusahaannya baik. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditahan akan
memperkecil ketidakpastian (Eka Retnowati, 2013:186). Investor baru akan
37
mengeluarkan biaya untuk mendapatkan informasi guna pengambilan keputusan
apakah akan membeli saham atau tidak. Sehingga kompensasinya adalah pengeluaran
biaya oleh investor sehingga investor mengharapkan mendapat tingkat underpricing
yang tinggi.
2.7.5 Pengaruh Reputasi Underwriter Terhadap Tingkat Underpricing
Underwriter yang memiliki reputasi tinggi biasanya memiliki informasi lebih
mengenai pasar modal. Dalam IPO, underwriter bertanggung jawab terhadap
terjualnya seluruh saham yang dikeluarkan oleh emiten. Underwriter yang memiliki
reputasi tinggi diharapkan akan lebih bisa memberikan penggantian kerugian kepada
investor di masa yang akan datang (Booth, James R et.all, 2010). Ketika underwriter
memiliki reputasi yang tinggi dan berpengalaman, maka yang diharapkan oleh emiten
adalah memberikan pelayanan terbaik bagi para investor. Semakin banyaknya
perusahaan go public yang memakai jasa penjaminan emisi dari suatu perusahaan
underwriter yang dipilih menunjukan bahwa mereka puas akan jasa yang diberikan
(Yurena Prastica, 2012). Menurut Chastina Yolana dan Dwi Martani (2005) bahwa
tidak tedapat hubungan yang signifikan antara variabel reputasi penjamin emisi
dengan underpricing.
38
H1: (-)
H2: (+)
H3: (-)
H4: (+)
H5: (-)
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang diuraikan diatas, maka peniliti
menarik hipotesis untuk diteliti sebagai berikut:
H1: Return On Asset (ROA) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing.
H2: Price Earning Ratio (PER) berpengaruh positif terhadap tingkat underpricing.
H3: Ukuran persahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing.
H4: Prosentase Penawaran Saham berpengaruh positif terhadap tingkat underpricing.
H5: Reputasi Underwriter berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing.
Underpricing
ROA
PER
Ukuran
Perusahan
Prosentase
Penawaran
Saham
Reputasi
Underwriter