› xmlui › bitstream › handle › 123456789 › 6236 › bab 2.pdf... bab ii tinjauan pustaka -...

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Penerapan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), penerapan yaitu : 1. Proses, cara, perbuatan menerapkan 2. Pemasangan 3. Pemanfaatan, perihal mempraktikkan 2.2 Definisi Akuntansi Definisi akuntansi menurut American Accounting Association yang dialihbahasakan oleh Soemarso (2004:3) adalah sebagai berikut : “Akuntansi merupakan suatu proses mengidentifikasikan, mengukur, dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut.” 2.3 Akuntansi Forensik 2.3.1 Pengertian Akuntansi Forensik Pengertian akuntansi forensik menurut Crumbley yang dikutip oleh Theodorus Tuanakotta (2007:7) ialah sebagai berikut : “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judisial atau administratif.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Jack Bologna and Paul Shaw yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:36) yaitu : Forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed, forensic accounting skills go beyond the general realm of white collar crime.” Berdasarkan definisi-definisi di atas, Penulis membuat kesimpulan bahwa akuntansi forensik adalah gabungan berbagai disiplin ilmu dan keahlian seperti akuntansi, hukum, auditing, yang digunakan dalam masalah-masalah litigasi 8

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Penerapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), penerapan yaitu :

1. Proses, cara, perbuatan menerapkan

2. Pemasangan

3. Pemanfaatan, perihal mempraktikkan

2.2 Definisi Akuntansi

Definisi akuntansi menurut American Accounting Association yang

dialihbahasakan oleh Soemarso (2004:3) adalah sebagai berikut :

“Akuntansi merupakan suatu proses mengidentifikasikan, mengukur, dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut.”

2.3 Akuntansi Forensik

2.3.1 Pengertian Akuntansi Forensik

Pengertian akuntansi forensik menurut Crumbley yang dikutip oleh

Theodorus Tuanakotta (2007:7) ialah sebagai berikut :

“Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum.

Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama

proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judisial atau administratif.”

Definisi lainnya dikemukakan oleh Jack Bologna and Paul Shaw yang

dikutip oleh Amin Widjaja (2001:36) yaitu :

“Forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed, forensic accounting skills go beyond the general realm of white collar crime.”

Berdasarkan definisi-definisi di atas, Penulis membuat kesimpulan bahwa

akuntansi forensik adalah gabungan berbagai disiplin ilmu dan keahlian seperti

akuntansi, hukum, auditing, yang digunakan dalam masalah-masalah litigasi

8

9

termasuk untuk membantu menghitung nilai material atau kerugian atas kejahatan

kerah putih yang dilakukan oleh manajemen atau korporat serta proses hukum

pengadilannya.

2.3.2 Tipe akuntansi forensik

Ditinjau dari variasi kerumitan kasus yang diselesaikan, Theodorus

Tuanakotta (2007:17) menjelaskan beberapa model akuntansi forensik yaitu :

1. Akuntansi forensik adalah perpaduan antara akuntansi dan hukum.

Contohnya, penggunaan akuntansi forensik dalam pembagian harta. Unsur

akuntansinya, unsur menghitung besarnya harta yang akan diterima pihak

mantan suami dan istri. Segi hukumnya dapat diselesaikan di dalam atau

luar pengadilan.

2. Bidang tambahan di samping perpaduan bidang akuntansi dan hukum

adalah audit.

Dengan memasukkan kasus tindak pidana korupsi, maka unsur

akuntansinya adalah perhitungan kerugian negara, pencarian bukti dan

temuan dengan audit investigatif serta acara pengadilan tindak pidana

korupsi.

2.3.3 Lingkup Akuntansi Forensik

Lingkup akuntansi forensik berdasarkan lembaga yang menerapkannya

meliputi praktik akuntansi forensik pada sektor swasta dan praktik di sektor

pemerintahan. Lingkup akuntansi forensik pada sektor swasta menurut Bologna

dan Lindquist yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:42) ialah sebagai berikut :

“Pada sektor bisnis, segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi

forensik adalah bersifat dukungan untuk kegiatan litigasi (litigation

support). Misalnya, untuk kasus sengketa bisnis di pengadilan”.

Dalam hal lain, akuntansi forensik juga diaplikasikan oleh perusahaan

yang beraktivitas dalam bidang jasa asuransi akan menekankan aspek tertentu dari

akuntansi forensik yaitu pemulihan kerugian (asset recovery) atas risiko bisnis

yang diasuransikan.

10

Untuk praktek di sektor pemerintahan, tahap-tahap dalam seluruh

rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi diantara berbagai lembaga misalnya

bagian pengawasan internal pemerintahan, lembaga pengadilan, lembaga yang

menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada seperti PPATK dan sebagainya

dimana masing-masing lembaga-lembaga tersebut mempunyai mandat dan

wewenang yang diatur dalam konstitusi atau ketentuan lainnya.

2.4 Auditing

2.4.1 Pengertian Auditing

Arens, Elder, dan Beasley (2008:18) mendefinisikan auditing sebagai

berikut :

“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine on report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person.”

Berikutnya, menurut American Accounting Association berdasarkan

accounting review vol.47 Boynton, Johnson, dan Kell (2001:4), definisi auditing

yaitu :

“Auditing as systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic action and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the result to interest user.”

Menurut Mulyadi (2002:9) auditing adalah :

“Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.”

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses

audit, seorang auditor mengumpulkan bukti-bukti dan mengevaluasi bukti audit

tersebut sehingga diketahui derajat kesesuaian antara kondisi dengan kriteria yang

ada. Bukti audit adalah setiap informasi yang digunakan oleh auditor untuk

menentukan apakah kondisi yang diaudit telah sesuai dengan kriteria yang ada.

Kondisi yang dimaksud jika dalam general financial audit yakni informasi yang

11

disajikan dalam laporan keuangan, sedangkan kriteria yang dipakai untuk

mengukurnya adalah pedoman tertentu (kriteria yang digunakan untuk mengaudit

laporan keuangan historis di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan.)

Apabila auditor sudah mengetahui derajat kesesuaian antara kondisi dan kriteria,

auditor dapat mengeluarkan laporan audit yang sesuai.

2.4.2 Jenis-jenis Audit

Pendahuluan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara BPK RI

(2007:13.14) memuat jenis-jenis pemeriksaan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Keuangan. Adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.

Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan

yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah

disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan

prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi

komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

2. Pemeriksaan Kinerja. Meliputi pemeriksaan atas pengelolaan

keuangan negara yang terdiri dari atas pemeriksaan aspek ekonomi dan

efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan

pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern.

Pemeriksaan kinerja dilakukan secara objektif dan sistematik terhadap

berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara

independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa.

3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bertujuan untuk memberikan

simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan dengan tujuan

tertentu dapat bersifat eksaminasi, reviu, atau prosedur yang disepakati.

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas

hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif.

Arens dan Loebbecke (2003:13) menuliskan jenis-jenis audit ke dalam tiga tipe

yaitu :

12

1. Financial Statement Audit ( pemeriksaan laporan keuangan).

Pemeriksaan laporan keuangan dilakukan dengan tujuan untuk

menentukan apakah keseluruhan laporan keuangan ditampilkan sesuai

dengan kriteria tertentu yang telah ditentukan.

2. Operational Audit (audit operasional).

Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian-bagian tertentu suatu

prosedur operasi dan metode yang terdapat pada perusahaan, bertujuan

untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas. Pada saat penyelesaian audit

operasional, auditor memberikan rekomendasi kepada pihak manajemen

untuk meningkatkan atau memperbaiki segi operasional perusahaan.

3. Compliance Audit (audit ketaatan).

Audit ketaatan dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan apakah

pihak yang diperiksa telah mengikuti atau mematuhi prosedur-prosedur,

aturan atau regulasi tertentu yang telah ditentukan oleh pihak yang

memiliki wewenang lebih tinggi.

2.4.3 Standar Auditing

Indonesia memiliki Standar Auditing yang dideskripsikan dalam buku

Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Dewan Standar

Profesional Akuntan Publik sebagai badan teknis IAI Kompartemen Akuntan

Publik, sekarang disebut dengan Institut Akuntan Publik Indonesia dimana telah

menerbitkan pernyataan-pernyataan tentang Standar Auditing tersebut.

Standar Auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh IAI terdiri dari

10 standar yang terbagi menjadi 3 kelompok yaitu :

A. Standar Umum

1. Audit harus dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian

dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.

2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi

dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

3. Dalam melaksanakan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib

menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

13

B. Standar Pekerjaan Lapangan

1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten

harus disupervisi dengan semestinya.

2. Pemahaman yang memadai tentang pengendalian internal harus diperoleh

untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup

pengujian yang akan dilakukan.

3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,

pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar

memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.

C. Standar Pelaporan

1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun

sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang didalamnya prinsip

akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan

keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi

yang diterapkan dalam periode sebelumnya.

3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang

memadai, kecuali dinyatakan lain dalan laporan audit.

Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan

keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak

dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan,

alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan

dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas

mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang

dipikulnya.

2.5 Audit Investigatif

2.5.1 Definisi Audit Investigatif

Definisi audit investigatif dikemukakan oleh Messier (2003:17) yaitu :

14

“Forensic audit is an audit to detection or deterrence of a wide variety of

fraudulent activities. The use of auditors to conduct forensic audits has

grown significantly, especially where the fraud involves financial issues.”

Definisi audit investigatif lainnya menurut Association of Certified Fraud

Examiners dialihbahasakan oleh Amin Widjaja (2001:36) :

“A methodology for resolving fraud allegations from inception to dispotion. More specifically, fraud examination involves obtaining evidence and taking statements, writing reports, testifying findings and assisting in the detection and prevention of fraud.”

Dari kedua definisi audit investigatif di muka, dapat disimpulkan bahwa

audit investigatif merupakan suatu ilmu yang dapat diterapkan untuk mendeteksi

dan memeriksa kecurangan. Audit investigatif sebagai metodologi bertujuan

untuk mendapatkan bukti dan pernyataan, memberikan kesaksian dan membuat

laporan hasil pemeriksaan sehingga membantu dalam pendeteksian dan

pencegahan tindak kecurangan.

2.5.2 Jenis Audit Investigatif

Berdasarkan siapa yang melakukan Audit Investigatif, menurut Soejono

Karni (2000:7) dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

1. Audit Investigatif dilakukan atas inisiatif lembaga audit

Dasar pelaksanaan audit Investigatif yang dilakukan atas inisiatif lembaga

audit pada umumnya adalah :

a. Pengembangan temuan audit sebelumnya

b. Informasi atau pengaduan dari masyarakat

Apabila audit bersumber dari pengaduan masyarakat sebelum melakukan

audit, umumnya dilakukan dahulu penelitian awal untuk mengidentifikasikan

kasus yang akan diaudit. Apabila dari penelitian awal tersebut dapat

disimpulkan bahwa dapat dilakukan Audit Investigatif baru dapat dibuat satu

surat tugas khusus.

Hal yang terpenting adalah sejauh mana kewenangan lembaga audit untuk

melakukan Audit Investigatif terutama apabila hasil auditnya terbukti ada

15

pelanggaran hukum formal atau material, kemungkinan akan diserahkan kepada

jaksa untuk diselesaikan secara hukum.

2. Audit Investigatif dilakukan atas dasar permintaan penyidik

Sesuai pasal 120 ayat (1) KUHAP, bila penyidik menganggap perlu, dapat

meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

Terdapat kelemahan atau hambatan perundang-undangan yang dihadapi auditor

karena tidak diatur lebih lanjut dalam KUHAP atau Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi. Auditor bekerja atau melaksanakan tugas atas nama penyidik

(polisi atau jaksa).

Pada audit yang dilaksanakan atas dasar permintaan penyidik, auditor

bertanggung jawab atas nama pribadi yang ditunjuk. Oleh karena itu apabila

pernyataan yang dikemukakan oleh auditor adalah pernyataan palsu, auditor

tersebut dijerat hukum.

2.5.3 Bukti-Bukti dalam Audit Investigatif

Audit investigatif dilaksanakan untuk memperoleh bukti pemeriksaan,

memprosesnya dan membantu penyidik sehingga alat buktinya harus sesuai

dengan alat bukti yang sah menurut KUHAP. Alat bukti yang sah yang diatur

dalam pasal 184 KUHAP yaitu :

a. Alat bukti yang sah

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Keterangan saksi adalah alat bukti yang sah apabila saksi memberikan

keterangan di sidang pengadilan di bawah sumpah atau janji tentang apa yang

dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri atau dialaminya sendiri dengan

menyebutkan alasan pengetahuannya itu. Keterangan seorang saksi saja tidak

16

cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang

suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli adalah suatu

pernyataan yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Bukti surat adalah surat yang mempunyai nilai pembuktian yang harus

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Pasal 187 KUHAP

menguraikan empat jenis alat bukti surat yaitu:

a. Surat resmi atau akta otentik merupakan surat yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau

dialaminya sendiri disertai alasan tentang keterangannya itu seperti Akta

Notaris, Berita Acara Lelang Negara.

b. Surat yang dibuat menurut peraturan perundang-undangan atau surat yang

dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk tata laksana yang menjadi

tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal dan

keadaan misalnya paspor, surat perintah perjalanan dinas, dan lain-lain.

c. Surat yang dibuat oleh ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang diminta secara

resmi dari padanya seperti Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI, laporan

pemeriksaan KAP.

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian lain misalnya surat pernyataan.

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, keterangan ahli,

surat dan keterangan terdakwa dimana penilaian atas kekuatan pembuktian dari

suatu petunjuk dilakukan oleh hakim.

17

Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dalam sidang

tentang perbuatan yang ia lakukan atau apa yang ia ketahui sendiri atau apa yang

ia alami sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan

bahwa si terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya

melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Berikutnya menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A menjelaskan alat bukti yang sah untuk tindak

pidana korupsi sebagai berikut :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan

itu

b. Dokumen yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun

selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi

yang memiliki makna misalnya kertas kerja pemeriksaan investigatif.

2.5.4 Standar Audit Investigatif

Peraturan BPK RI No.01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan

Keuangan Negara (SPKN) mengatur standar pelaksanaan dan pelaporan audit

investigatif yang dikelompokkan pada standar pemeriksaan dengan tujuan

tertentu. SPKN ini merupakan pedoman bagi BPK sebagai organisasi dan

pemeriksa untuk melakukan pemeriksan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara untuk dan atas nama BPK dan sebagai pengganti dari Standar

Audit Pemerintahan tahun 1995 karena tidak dapat memenuhi tuntutan dinamika

masa kini. SPKN dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Pemeriksaan yang

selanjutnya disingkat PSP Sistematika Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

ialah sebagai berikut :

1. Pendahuluan Standar Pemeriksaan.

2. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 01 tentang Standar Umum.

18

3. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 02 tentang Standar Pelaksanaan

Pemeriksa Keuangan.

4. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 03 tentang Standar Pelaporan

Pemeriksaan Keuangan.

5. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 04 tentang Standar Pelaksanaan

Pemeriksaan Kinerja.

6. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 05 tentang Standar Pelaporan

Pemeriksaan Kinerja.

7. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 06 tentang Standar Pelaksanaan

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu.

8. Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 07 tentang Standar Pelaporan

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu.

Untuk Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu,

Pernyataan Standar Pemeriksaan Nomor 06 memberlakukan dua pernyataan

standar pekerjaan lapangan perikatan atestasi Standar Profesional Akuntan

Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Adapun

hubungan dengan SPAP yang ditetapkan oleh IAI adalah berikut ini :

1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten

harus disupervisi dengan semestinya.

2. Bukti yang cukup harus diperoleh untuk memberikan dasar rasional bagi

simpulan yang dinyatakan dalam laporan.

Sedangkan standar pelaksanaan tambahan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

yaitu :

a. Komunikasi pemeriksa

Pernyataan standar pelaksanaan tambahan pertama menyatakan bahwa

pemeriksa harus mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan

sifat, saat, dan lingkup pengujian serta pelaporan yang direncanakan atas

hal yang akan dilakukan pemeriksaan, kepada manajemen entitas yang

diperiksa dan atau pihak yang meminta pemeriksaan. Tujuannya tidak lain

untuk mengurangi resiko salah interpretasi atas laporan hasil pemeriksaan.

19

Selain itu, pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya

untuk menentukan bentuk, isi dan intensitas komunikasi.

b. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya

Standar pelaksanaan tambahan kedua ini mengatur bahwa pemeriksa harus

mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut atas

rekomendasi yang signifikan dan berkaitan dengan hal yang diperiksa

dengan tujuan untuk mengidentifikasi tindak lanjut yang telah dilakukan

berkaitan dengan temuan dan rekomendasi yang signifikan (hal-hal yang

apabila tidak dilakukan tindak lanjut, dapat mempengaruhi hasil

pemeriksaan dan simpulan pemeriksa atas objek pemeriksaan).

Selanjutnya, besar manfaat yang diperoleh dari hasil pemeriksaan tidak

terletak pada temuan pemeriksaan yang dilaporkan atau rekomendasi yang

dibuat, tetapi terletak pada efektivitas penyelesaian yang ditempuh oleh

entitas yang diperiksa.

c. Pengendalian internal

Pernyataan standar pelaksanaan tambahan ketiga adalah merencanakan

pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam bentuk eksaminasi dan

merancang prosedur, pemeriksa harus memperoleh pemahaman yang

memadai tentang pengendalian internal yang sifatnya material terhadap

hal yang diperiksa.

d. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari

ketentuan peraturan perundan-udangan, kecurangan (fraud), serta

ketidakpatutan

Dalam merencanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam prosedur

yang disepakati, pemeriksa harus waspada terhadap situasi atau peristiwa

yang mungkin merupakan indikasi kecurangan dan penyimpangan dari

ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ditemukan indikasi

kecurangan dan/atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-

undangan yang secara material mempengaruhi hal yang diperiksa,

pemeriksa harus menetapkan prosedur tambahan untuk memastikan bahwa

20

kecurangan tersebut telah terjadi dan menentukan dampaknya terhadap

hasil pemeriksaan.

e. Dokumentasi pemeriksaan

Pernyataan standar pelaksanaan tambahan kelima adalah pemeriksa harus

mempersiapkan dan memelihara dokumentasi pemeriksaan dalam bentuk

kertas kerja pemeriksaan. Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan

perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan harus berisi

informasi yang cukup untuk memungkinkan pemeriksa yang

berpengalaman tetapi tidak mempunyai hubungan dengan pemeriksaan

tersebut dapat menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan

pemeriksa.

Sama seperti audit laporan keuangan, audit investigatif juga menyusun

hasil audit dalam bentuk kertas kerja audit. Kertas kerja audit semestinya diatur

dalam standar pelaporan audit seperti pelaporan audit BPK RI diatur oleh suatu

Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu sebagai Pernyataan

Standar Pemeriksaan Nomor 07. Untuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu,

Pernyataan Standar Pemeriksaan memberlakukan empat pernyataan standar

pelaporan perikatan atau penugasan atestasi dalam SPAP yang ditetapkan oleh

IAI sebagai berikut :

1. Laporan harus menyebutkan asersi yang dilaporkan dan menyatakan sifat

perikatan atestasi yang bersangkutan.

2. Laporan harus menyatakan simpulan praktisi mengenai apakah asersi

disajikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan atau kriteria yang

dinyatakan dipakai sebagai alat pengukur.

3. Laporan harus menyatakan semua keberatan praktisi yang signifikan

tentang perikatan dan penyajian asersi.

4. Laporan suatu perikatan untuk mengevaluasi suatu asersi yang disusun

berdasarkan kriteria yang disepakati atau berdasarkan suatu perikatan

untuk melaksanakan prosedur yang disepakati harus berisi suatu

21

pernyataan tentang keterbatasan pemakaian laporan hanya oleh pihak-

pihak yang menyepakati kriteria atau prosedur tersebut.

Selain itu, Standar Pemeriksaan menetapkan standar pelaporan tambahan

pemeriksaan dengan tujuan tertentu sebagai berikut :

a. Pernyataan kepatuhan terhadap standar pemeriksaan

Laporan hasil pemeriksaan harus menyatakan bahwa pemeriksaan

dilakukan sesuai dengan Standar Pemeriksaan.

b. Pelaporan tentang kelemahan pengendalian intern, kecurangan,

penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan serta

ketidakpatutan.

Pernyataan standar pelaporan tambahan kedua mendeskripsikan bahwa

laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus mengungkapkan

kelemahan pengendalian intern yang berkaitan dengan hal yang diperiksa,

kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk

pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas

perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak

pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa.

c. Pelaporan tanggapan dari pejabat yang bertanggung jawab

Laporan hasil pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam

pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan

perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi tanggapan dari

pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab pada entitas yang

diperiksa mengenai temuan dan simpulan serta tindakan koreksi yang

direncanakan.

d. Pelaporan informasi rahasia

Informasi rahasia yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan untuk diungkapkan kepada umum tidak diungkapkan dalam

laporan hasil pemeriksaan. Namun laporan hasil pemeriksaan harus

mengungkapkan sifat informasi yang tidak dilaporkan tersebut dan

22

ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan tidak

dilaporkannya informasi tersebut.

e. Penerbitan dan pendistribusian laporan hasil pemeriksaan.

Laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas

yang diperiksa, pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak

lanjut hasil pemeriksaan dan kepada pihak lain yang diberi wewenang

untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.5.5 Metodologi Audit Investigatif

Proses audit investigatif berdasarkan Petunjuk Teknis Pemeriksaan

Investigatif BPK RI (2008) mencakup sejumlah tahapan yang secara umum

dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Prapemeriksaan informasi awal 2. Perencanaan dan persiapan pemeriksaan investigatif 3. Pelaksanaan audit investigatif 4. Pelaporan audit investigatif 5. Tindak lanjut

Pada prapemeriksaan informasi awal, informasi berbentuk lisan ataupun

tulisan yang diterima auditor mengenai indikasi terjadinya kecurangan harus

ditelaah dengan survei pendahuluan yang memperkuat dan mendukung dugaan

terjadinya kecurangan itu. Melalui telaah yang akurat, diharapkan pemeriksaan

dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Penelaahan

adalah peristiwa-peristiwa yang sedang dan telah terjadi dalam suatu entitas.

Peristiwa tersebut perlu didukung dengan suatu bukti sebagai petunjuk bahwa

terjadi suatu tindakan kecurangan.

Proses penanganan informasi awal mencakup tahapan:

a. Memahami informasi awal b. Menganalisis informasi awal c. Mengevaluasi informasi awal d. Keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif

23

Informasi awal mengenai tindak pidana korupsi dan kerugian negara

biasanya memuat hal-hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan secara rinci

masalah yang terjadi sehingga auditor perlu memahami tingkat keandalan dan

validitas informasi.

Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi

awal ke dalam pendekatan 5W dan 1H (what, who, where, when, why dan how)

bersamaan dengan unsur Tindak Pidana Korupsi dan Kerugian Negara (TPKKN).

Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan

informasi dari berbagai sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung

dengan pihak-pihak terkait yang melakukan TPKKN, seperti informasi dari

pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang dan jasa, media massa,

internet dan informasi intern BPK lainnya.

Tahapan-tahapan perencanaan dan persiapan pemeriksaan investigatif

menurut Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif BPK RI meliputi :

a. Pembentukan tim pemeriksa investigatif b. Penyusunan program pemeriksaan c. Persetujuan program pemeriksaan investigatif Pembentukan tim pemeriksa investigatif merupakan langkah awal dalam

perencanaan pemeriksaan investigatif. Tim pemeriksa pada perwakilan BPK

dibentuk oleh Ketua Perwakilan BPK.

Program pemeriksaan investigatif merupakan rencana terinci disusun

berdasarkan struktur yaitu: dasar hukum pemeriksaan, standar pemeriksaan,

tujuan pemeriksaan investigatif, entitas yang diperiksa, lingkup yang diperiksa,

hasil telaahan informasi awal, alasan pemeriksaan, metodologi pemeriksaan,

langkah-langkah pemeriksaan investigatif, waktu dan pelaksanaan pemeriksaan

investigatif, susunan tim dan biaya pemeriksaan investigatif, dan distribusi

laporan hasil pemeriksaan investigatif.

Program pemeriksaan investigatif harus mendapat persetujuan pejabat

yang berwenang. Setelah paket program yang disetujui, maka ketua tim

melakukan pembagian tugas kepada masing-masing anggota tim untuk

penyusunan konsep kerja perorangan.

24

Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan :

a. Pembicaraan pendahuluan b. Pengumpulan bukti pemeriksaan c. Analisis dan evaluasi bukti d. Membuat simpulan e. Pemaparan oleh tim pemeriksa di lingkungan BPK f. Pemaparan oleh tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang

Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif harus

menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang

diperiksa dengan maksud menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam

surat tugas dan memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam

rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya

Pengumpulan bukti pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara meminta

dokumen, meminta keterangan, melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan,

memperoleh bukti elektonik atau digital, melakukan pengamanan data, dan

memotret atau merekam bukti.

Setiap bukti yang diperoleh akan dibaca dan diinterpretasikan oleh auditor.

Kemudian auditor akan menentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap

kasus yang ditangani dan verifikasi atau pengujian kebenaran dari bukti itu

sendiri. Teknik mengevaluasi bukti antara lain dengan mempelajari bagan arus

kejadian (apa, siapa, bilamana dan bagaimana suatu proses kejadian terjadi) dan

kronologis fakta yang dijabarkan dalam bentuk naratif didasarkan pada urutan

kejadian yang sesungguhnya melalui bukti yang diterima.

Setelah menganalisis dan mengevaluasi bukti, auditor akan menyusun

simpulan. Simpulan yang dibuat dapat mendukung atau tidak mendukung

hipotesis yang sudah dirumuskan.

Tim auditor melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk

memperoleh persetujuan ketua perwakilan/auditorat utama atas simpulan tim

pemeriksa. Apabila pejabat berwenang belum sependapat atas simpulan tersebut,

maka tim auditor ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna

memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan.

25

Pemaparan oleh tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang

merupakan tindak lanjut hasil pemaparan setelah dikomunikasikan di intern BPK.

Apabila BPK dan instansi yang berwenang belum sependapat bahwa kasus belum

memenuhi tindak pidana korupsi, penanggung jawab pemeriksaan dapat

memerintahkan tim untuk melakukan pemeriksaan tambahan.

Susunan laporan hasil audit investigatif secara umum ialah sebagai

berikut:

a. Bagian I : Simpulan

b. Bagian II : Umum

c. Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan

d. Lampiran

Menurut Theodorus. M Tuanakota (2006:229) terdapat tujuh teknik audit

yang sering dilakukan oleh auditor yaitu:

1. Memeriksa fisik (Phisical examination) 2. Meminta konfirmasi (Confirmation) 3. Memerisa dokumen (Documentation) 4. Review analitik (Analytical review) 5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditan (Inquiry of the auditee) 6. Menghitung kembali (Reperforming) 7. Mengamati (Observation)

Memeriksa Fisik lazimnya diartikan sebagai perhitungan uang tunai (baik

dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang

aktiva tetap dan barang berwujud (tangible asset) lainnya. Sedangkan mengamati

diartikan sebagai pemanfaatan indera untuk mengetahui sesuatu.

Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk

menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam audit

umumnya konfirmasi diterapkan untuk mendapat kepastian mengenai saldo utang

piutang. Tetapi konfirmasi sebenarnya dapat diterapkan untuk berbagai informasi

keuangan maupun non keuangan.

Dalam memeriksa dokumen tidak diperlukan teknik khusus. Tak ada

investigasi tanpa pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi,

definisi dokumentasi menjadi lebih luas, termasuk informasi yang diolah,

disimpan dan dipindahkan secara elektronik/digital.

26

Analytical review menurut Stringer dan Tewart seperti yang dikutip

Theodorus. M Tuanakotta (2006:231)

“Is a form of deductive reasoning in which property of the individual details

is inferred from evidence of the reasonableness of the aggregate results.”

Menghitung kembali atau reperform adalah menghitung kebenaran dalam

perhitungan. Prosedur ini sangat lazim dalam audit. Dalam investigasi,

perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan atas kontrak

atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegosiasi

berkali-kali dengan pejabat (atau kabinet) yang berbeda.

2.6 Hubungan antara Akuntansi Forensik dengan Audit Investigatif

Menurut Theodorus Tuanakotta (2007:19), kaitan antara audit investigatif

dengan akuntansi forensik dapat digambarkan dalam tabel seperti di bawah ini :

Tabel 2.1

Akuntansi Forensik

Fraud Audit Jenis

Penu

gasan Pro

Aktif

Investi

gatif

Sumber

infor

masi

Peni

laian

resiko

Tuduhan

Keluhan

Temuan

Audit

Temuan

Audit

Output Iden

tifi

kasi

Po

tensi

Kecu

rangan

Indikasi

Awal

Adanya

Fraud

Bukti

ada/tidak

Pelang

garan

Hitung

an Ni

lai

keru

gian

Mencari

bukti

untuk

penyidikan

Berkas

Perkara

Penun

Tutan

Keya

kinan Ber

dasar

kan bukti

untuk

putusan

Penga

dilan

27

Audit investigatif merupakan bagian awal dari proses akuntansi forensik. Dengan

memasukkan unsur tindak pidana korupsi, unsur akuntansi forensik adalah

perhitungan kerugian negara dan proses pengadilan tindak pidana korupsi.

2.7 Kecurangan

2.7.1 Definisi Kecurangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti yang dikutip oleh Theodorus.

M. Tuanakotta (2006:95) menyebutkan pasal-pasal yang mencakup pengertian

fraud diantaranya :

“Pasal 362 Pencurian : Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Pasal 368 Pemerasan dan Pengancaman : Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekuasaaan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang. Pasal 372 Penggelapan : dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan . Pasal 378 Perbuatan Curang : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melanggar hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk, menyerahkan sesuatu barang kepadanya atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang”

2.7.2 Klasifikasi Kecurangan

Kecurangan dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam menurut Soejono

Karni (2000:35), yaitu :

a. Management fraud.

b. Non management (employee) fraud.

c. Computer fraud.

28

a. Management fraud (kecurangan manajemen).

Kecurangan ini dilakukan oleh orang dari kelas sosial ekonomi yang lebih

atas dan terhormat yang biasa disebut white collar crime. Kecurangan

manajemen ada 2 tipe, yaitu kecurangan jabatan dan kecurangan korporasi.

Kecurangan jabatan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jabatan

penting dan menyalahgunakan jabatannya itu. Kecurangan korporasi adalah

kecurangan yang dilakukan oleh suatu perusahaan demi memperoleh

keuntungan bagi perusahaan tersebut, misalnya manipulasi pajak.

b. Employee fraud (kecurangan karyawan).

Kecurangan karyawan biasanya melibatkan karyawan bawahan. Kadang-

kadang merupakan pencurian atau manipulasi. Dibandingkan dengan para

manajemen, kesempatan untuk melakukan kecurangan pada karyawan

bawahan jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan mereka tidak mempunyai

wewenang karena pada umumnya semakin tinggi wewenang semakin besar

kesempatan untuk melakukan kecurangan.

c. Computer fraud (kecurangan komputer).

Tujuan pengadaan komputer antara lain digunakan untuk pencatatan

operasional atau pembukuan suatu perusahaan. Kejahatan komputer dapat

berupa pemanfaatan berbagai sumber daya komputer di luar peruntukan

yang sah dan perusakan atau pencurian fisik atas sumber daya komputer itu

sendiri.

2.7.3 Kecurangan Menurut Akuntansi dan Auditing

Dilihat dari sudut pandang akuntansi Soejono Karni (2000:44)

mengelompokkan kecurangan menjadi menjadi empat yaitu :

1. Kecurangan korporasi 2. Kecurangan pelaporan 3. Kecurangan manajemen 4. Kegagalan audit

Kecurangan korporasi dilakukan oleh pejabat, eksekutif dan atau manajer

pusat laba dan perusahaan publik untuk kepentingan perusahaan jangka pendek.

29

Kecurangan pelaporan adalah penyajian laporan keuangan yang merusak

integritas informasi keuangan dan dapat mempengaruhi korban seperti pemilik,

kreditor bahkan kompetitor.

Kecurangan manajemen dilakukan manajer tingkat atas untuk kepentingan

sendiri dengan jalan menyalahgunakan wewenang.

Kegagalan audit adalah kegagalan auditor untuk dapat mendeteksi dan

mengoreksi atau mengungkapkan setiap kelalaian atau kesalahan besar dalam

penyajian laporan keuangan yang antara lain karena auditor tidak menerapkan

prosedur audit yang seharusnya terutama pada transaksi yang besar.

Menurut Bologna seperti yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:9)

kecurangan adalah penggambaran yang salah dari fakta material dalam buku besar

atau dalam laporan keuangan, bisa juga kecurangan yang ditujukan kepada pihak

luar misalnya penjual, pemasok, kontraktor konsultan dan pelanggan dengan cara

penagihan yang berlebihan.

2.7.4 Kecurangan Menurut Perspektif Hukum

Menurut Bologna yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:8) Kecurangan

dalam arti hukum adalah penggambaran kenyataan materi yang salah yang

disengaja untuk tujuan membohongi orang lain sehingga orang lain mengalami

kerugian ekonomi. Hukum dapat memberi sanksi sipil dan kriminal untuk

perilaku tersebut. Sanksi kriminal dapat melibatkan penilaian denda atau

dipenjara. Sanksi sipil dapat termasuk penggantian kerusakan utnuk kerugian

yang dialaminya.

Kecurangan dalam hukum kriminal dapat disebut dengan berbagai nama,

misalnya penipuan, kebohongan, pencurian dengan akal, kupon palsu, masukan

yang salah, menipu dan lain sebagainya.

2.7.5 Faktor Pendorong Terjadinya Kecurangan

Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya kecurangan sebagai

akibat antara tekanan kebutuhan seseorang dengan lingkungan yang

30

memungkinkan bertindak. Soejono Karni (2000:38) menyatakan pendapatnya

tentang faktor pendorong terjadinya kecurangan sebagai berikut :

a. Lemahnya pengendalian internal 1 Manajemen tidak menekankan perlunya peranan pengendalian internal 2. Manajemen tidak menindak pelaku kecurangan 3. Manajemen tidak mengambil sikap dalam hal terjadinya conflict of interest 4. Internal auditor tidak diberi wewenang untuk menyelidiki para eksekutif

terutama menyangkut pengeluaran yang besar. b. Tekanan keuangan terhadap seseorang

1. Banyak utang 2. Pendapatan rendah 3. Gaya hidup mewah

c. Tekanan non financial 1. Tuntutan pimpinan di luar kemampuan karyawan 2. Direktur utama menetapkan satu tujuan yang harus dicapai tanpa

dikonsultasikan terlebih dahulu kepada bawahannya. 3. Penurunan penjualan

d. Indikasi lain 1. Lemahnya kebijakan penerimaan pegawai 2. Meremehkan integritas pribadi 3. Kemungkinan koneksi dengan orang kriminal

Ciri-ciri atau kondisi adanya kecurangan menurut Soejono Karni

(2000:43) adalah :

a. Terdapat angka laporan keuangan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.

b. Adanya perbedaan antara buku besar dengan buku pembantu. c. Perbedaan yang ditemukan melalui konfirmasi. d. Transaksi yang tidak didukung oleh bukti yang memadai. e. Transaksi yang tidak dicatat sesuai dengan otorisasi manajemen, baik

yang umum maupun yang khusus. f. Terdapat perbedaan kepentingan (conflict of interest) pada tugas

pekerjaan karyawan.

2. 8. Korupsi

2.8.1 Definisi Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptio”. Menurut Soejono

Karni (2000:59) pengertian korupsi adalah :

“Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok

dan sebagainya.”

31

Indonesia memiliki undang-undang khusus untuk korupsi yaitu Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang-Undang No. 20 Tahun

2001. Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, pengertian korupsi adalah :

“Perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Dari Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa korupsi

memiliki 4 unsur pokok, yaitu :

a. Setiap orang, pegawai negeri, korporasi

b. Melawan hukum

c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi

d. Dapat merugikan keuangan negara

Pengertian korupsi dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi disempurnakan dalam Undang-Undang

No.20 Tahun 2001, dan dapat dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu :

1. Kerugian keuangan negara

2. Suap menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi atau pemberian hadiah

2.8.2 Akibat dari Perbuatan Korupsi

Soejono Karni (2000:69) juga menyatakan pendapatnya tentang akibat

dari perbuatan korupsi sebagai berikut :

a. Merusak sistem tatanan masyarakat. Norma-norma masyarakat dirusak oleh persekongkolan-persekongkolan. Korupsi cenderung menggerogoti suatu pemerintahan yang didukung publik.

32

b. Masyarakat sebagian besar menderita, baik dalam dunia ekonomi, administrasi, politik dan hukum.

c. Kehancuran perekonomian negara yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan penderitaan bagi sebagian besar masyarakat.

d. Terjadi biaya tinggi, sulit meningkatkan efisiensi. e. Munculnya berbagai masalah dalam masyarakat antara lain menyangkut

penggunaan atau pembebasan tanah tanpa mengikuti aturan yang berlaku. f. Korupsi menyebabkan orang menjadi frustasi, gangguan batin atau mental

dan akhirnya menimbulkan sifat apatis, suatu sifat yang tidak menguntungkan bagi pembangunan.

2. 9 Dana Upah Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

2.9.1 Definisi Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian pajak daerah adalah sebagai berikut :

“Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah.”

2.9.2 Undang-Undang Biaya Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan

Bermotor

2.9.2.1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Derah

Pasal 1 (Bagian I)

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBB-

KB adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan

untukkendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk

kendaraan di atas air.

Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data

objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai

kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan

penyetorannya.

Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana

33

pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan.

Bab II (Bagian I)

Dalam rangka kegiatan pemungutan Pajak Daerah dapat diberikan biaya

pemungutan.

Pasal 3

(1) Biaya pemungutan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari

realisasi penerimaan Pajak Daerah.

(2) Persentase besarnya biaya pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

a. 80% (delapan puluh persen) untuk aparat pelaksana pemungutan, terdiri

dari : 45% (empat puluh lima persen) untuk Dinas/Instalasi Pengelola;

35% (tiga puluh lima persen) untuk Pertamina dan Produsen bahan bakar

kendaraan bermotor lainnya.

b. 20% (dua puluh persen) untuk aparat penunjang terdiri dari:

5% (lima persen) untuk Tim Pembina Pusat;

15% (lima belas persen) untuk aparat penunjang lainnya.

Pasal 9

(1) Alokasi biaya pemungutan bagian aparat pelaksana pemungutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Pasal 5 huruf a, dan Pasal 6

huruf a, diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah atau Pimpinan

Perusahaan/Instansi yang bersangkutan;

(2) Alokasi biaya pemungutan bagian aparat penunjang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 huruf b, Pasal 5 huruf b, dan Pasal 6 huruf b, diatur Iebih lanjut

oleh :

a. Menteri Dalam Negeri, untuk bagian Tim Pembina Pusat;

b. Kapolri, untuk bagian Kepolisian;

c. Pimpinan Instansi/Lembaga penunjang yang bersangkutan, untuk bagian

aparat penunjang lainnya.

34

2. 10 Dinas Pendapatan (Dinas Perpajakan Daerah)

2.10.1 Definisi Dinas Pendapatan Daerah

Dinas Perpajakan Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah di

bidang Perpajakan Daerah. Dinas Perpajakan Daerah dipimpin oleh seorang

Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati

melalui Sekretaris Daerah.

2.10.2 Tugas dan Fungsi Dinas Pendapatan Daerah

Dinas Perpajakan Daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan

pemerintah daerah di bidang perpajakan berdasarkan azaz otonomi dan tugas

pembantu. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi yaitu :

a. Perumusan kebijakan teknis dinas di bidang perencanaan, pelaksanaan,

pembinaan, valuasi dan laporan penyelenggara sebagai urusan

pemerintah di bidang perpajakan sesuia dengan ketentuan dan/atau

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayan umum di bidang

perpajakan, sesuai dengan ketentuan dan atau peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas dinas dalam menyelenggarakan

sebagian urusan pemerintah di bidang perpajakan, sesuai dengan

ketentuan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsi dinas.

35