a. latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diskursus fiqih (islamic law discourse) hingga kini tetap menjadi sorotan
khusus banyak kalangan. Karena fiqih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
umat Islam. Segala gerak gerik umat Islam baik yang sifatnya Muammalah,
Ibadah (baik itu mahdoh ataupun ghairu mahdah) bermuara pada fiqih
Perhatian terhadap fiqih semakin besar ketika problem sosial-politik-
budaya yang dihadapi umat Islam sekarang tidak terselesaikan. Maka muncul
harapan dari umat bagaimana agama (baca: fiqih) bisa memberikan
kontribusinya bagi problem kemanusiaan? persoalannya siapkah fiqih menjawab
persoalan yang ada pada problem kemanusiaan?
Sementara satu sisi, teks agama yang dijadikan landasan berpijak
pengambilan hukum Islam juga masih menjadi ajang perburuan makna. Kenapa
demikian? Karena pada dasarnya kita mencoba menafsirkan ‘teks’ yang turun
pada abad ketujuh selama kurang lebih 20 tahun dan berusaha untuk mencari
“apa yang dimaui oleh Tuhan” (maqasid al syar’i) dari teks tersebut agar tetap
kontekstual dan tidak lekang oleh jaman. Tidak heran kemudian karena terlalu
banyaknya penafsiran terhadap teks, seolah teks berdiri sendiri dan tafsir berada
di wilayah lain.
2
Upaya untuk mengkontekskan teks (al Qur’an) dan menjadikannya tidak
sekadar “produk budaya” (al mantaj al saqafi - meminjam istilah Nasr Hamid
Abu Zaid ) adalah bukan hal yang mudah. Karena, harus diakui bahwa al Qur’an
lahir dalam struktur budaya Arab dan ditulis berpijak pada aturan-aturan budaya
tersebut, sehingga kajian dan penelusuran tentang dunia Arab menjadi niscaya
bagi kita.
Nah ini yang penting diketahui, bagaimana teks Qur’an sedemikian
akomodatif dan menyesuaikan dengan realitas yang dihadapi saat itu, ini yang
kemudian disebut asbab al nuzul. Oleh karenanya pemahaman terhadap asbab
al nuzul untuk mengetahui makna teks yang sesungguhnya menjadi niscaya
adanya.
Graham (1980, hal.20) sebagaimana dikutip Farid Essack mengatakan
seandainya kejadian dunia menyebabkan turunnya wahyu, maka harus kita
yakini bahwa pewahyuan bukan lagi “sesuatu yang diluar dunia”1. Agamawan
muslim, al Maududi (w.1979) juga berpendapat ‘kandungan al Qur’an secara
universal terkait erat dengan cita rasa dan temperamen, lingkungan, sejarah,
serta adat kebiasaan Arab. Sedangkan Syah Waliyullah Dehlawi, pemikir
tradisionalis (w.1762) mengatakan bahwa “Tuhan tidak berbicara pada suatu
ruang hampa dan tidak mengirim pesan yang dibentuk dalam kehampaan”.
1 Untuk lebih jelas lihat: Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan
yang Tertindas, terj. Watung Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
3
Lepas dari posisi teks Qur’an yang menyesuaikan seting sosial dan
temperamen Arab, sisi lain al Qur’an diyakini sebagai “shalih likulli zaman wa
makan” (tidak rentan oleh masa dan waktu), sebagai petunjuk (hudan)2 bukan
sekadar “qonun” atau “dustur” yang rentan oleh jaman.
Sejak masa klasik, sebetulnya aspek ini sudah disadari bahwa teks agama
tidak muncul di ruang kosong. Ada proses-proses sosial tertentu yang berperan
dalam melahirkan sebuah teks. Sayang, dalam tafsir konservatif asbab al-nuzul
ini masih cenderung dipahami secara literal. Wajar, karena kerangka nalar yang
berkembang saat itu adalah kerangka ortodok3. Sehingga pada akhirnya muncul
ortodoksi terhadap teks al-Qur’an4. Sekalipun, ortodoksi tidak muncul begitu
saja ada proses yang melatarbelakanginya, sehingga pemahaman tentang sejarah
kemunculan teks menjadi mutlak adanya.
Berkenaan dengan sejarah kemunculan teks ini, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam proses penafsiran: satu, naqd al tarikh, melakukan
2 Penjelasan bahwa al Qur’an sebagai hudan (petunjuk) sudah disitir dalam Qur’an surat al
Baqarah: 175. Lihat Qur’an dan terjemahnya, Bandung: CV Dipenogoro, 2000, hal 20 3 Dalam satu pengertian ortodok adalah berpegang teguh pada peraturan dan ajaran resmi,
kolot atau kuno, dalam pandangan agama misalnya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, edisi ketiga.
4 Ortodoksi teks Qur’an muncul seiring dengan munculnya madzhab pemikiran tafsir al Qur’an. Pada medio awal terdapat dua arus besar pemikiran utama yang mewarnai pemikiran tafsir al Qur’an. Pertama, Mu’tazilah dan yang kedua Sunni. Karakter pemikiran Mu’tazilah cenderung rasional dan dekonstruktif sementara pigmen pemikiran Sunni lebih pada semangat ortodoksi. Bagi kalangan Sunni, tidak seluruhnya teks-teks dalam al Qur’an dapat ditelusuri oleh logika tubuh dan nalar manusia. Yang agak khas dari pemikiran ini adalah bahwa tafsir teks berada pada titik kebahasaan an sich, implikasinya adalah model penafsiran yang semakin harafiah, karena asumsinya makin harafiah kita memahami sabda Tuhan, semakin dekat kita pada kehendaknya. Sebaliknya semakin jauh kita dari ketentuan leksikal gramatikal maka semakin jauh kita dari kehendak dan maksud Tuhan. Pada posisi ini, realitas sering diabaikan oleh mufasir jenis ini. (baca juga tulisan Abd Moqsit Ghozali dalam makalahnya, Al Qur’an Teks yang Mendayung dalam Sejarah, di sampaikan 20 Mei 2003 di Jakarta)
4
kritik sejarah terhadap situasi historis yang melingkupi lahirnya sebuah teks.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk melakukan kritik sejarah, diantaranya
adalah menerapkan prinsip-prinsip ilmu sejarah. Dua, tahlil al ijtimaiy, perlu
dilakukan analisis sosial, baik yang berkait dengan situasi saat teks lahir maupun
situasi sosial yang dihadapi. Tiga, naqd al muhtawa, kritik isi, melakukan kritik
atas muatan makna yang ada dalam teks. Kritik isi ini bisa dilakukan dengan
menggunakan instrumen kritik wacana guna melihat wacana apa yang
sebenarnya sedang bekerja dalam teks itu.
Selain sejarah kemunculan teks, mafhum al nash, atau disebut juga
pendekatan hermeneutika adalah hal yang mutlak untuk diketahui. Ada banyak
pendapat tentang Hermeneutik. Rudalf Bultmann memaknai hermeneutika
sebagai upaya menjembatani jurang antara “masa lalu” dan “masa kini”5. Oleh
karenanya perlu diperhatikan beberapa qaidah atau aspek. Diantaranya adalah
aspek bahasa (lughah). Pemahaman aspek kebahasaan yang ada dalam teks
dapat didekati secara hermeneutik yang merupakan disiplin yang memusatkan
kajian pada upaya memahami teks, terutama teks kitab suci yang datang dari
kurun waktu, tempat, dan situasi sosial berbeda, bahkan asing bagi pembacanya.
Dalam kaitan ini paling tidak ada tiga elemen pokok hermeneutik, yaitu
pengarang (Tuhan), teks, serta pembaca yang masing-masing memiliki dunianya
5 Bersama Martin Heidegger, Jurgen Habermas dkk, Rudolf Bulman secara panjang lebar
berbicara tentang Hermeneutika. Lihat Rudolf Bultman Dkk dalam Hermeneutika Transendental; Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (judul terj) editor Nafisul Atho – Arif Fahrudin, Yogyakarta: IRCiSod, 2003
5
sendiri, sehingga masing-masing seharusnya berhubungan secara dinamis,
dialogis, dan terbuka. Karena itu, makna teks tidak pernah tertutup dan selesai,
tetapi senantiasa terbuka.
Diantara tokoh yang melakukan upaya kontekstualisasi terhadap teks al-
Qur’an adalah Zamakhsyari dengan tafsirnya al Kassyaf dan Fakhruddin al Razy
dengan tafsir al Kabirnya. Zamakhsyari yang dilahirkan di Jurjaniyya,
Khawarizmi (1075), adalah salah seorang penganut aliran Mu’tazilah, dan
seorang filolog. Dalam Tafsirnya al Kassyaf tersebut, Zamaksyari mencoba
untuk mengangkat tema dan isu kontemporer yang berkembang saat itu sesuai
dengan ruang dan waktu. Itupun sudah barang tentu tidak akan lepas dari
paradigmanya sebagai kaum rasionalis Mu’tazilah. Sehingga beberapa
kesimpulannya akan selalu mengacu pada kemampuan akal manusia dalam
segala argumen yang diberikan.
Walhasil, dalam penafsirannya Zamaksyari selalu mengarah kepada
penguatan keimanan Mu’tazilah sebagai aliran teologi yang diyakininya. Hal itu
bisa dilihat dari beberapa penafsirannya, misalnya ia berpandangan bahwa
manusia dengan kemampuan rasionalitasnya mampu melakukan olah budi pikir
(nadr) dengan bukti-bukti yang telah tersedia (adilla) tentang eksistensi Tuhan.
Tafsir al Kassyaf juga banyak mengupas tentang sejarah yang ada dalam al-
Qur’an, tanpa melupakan nilai-nilai sastra yang terkandung didalamnya, hal ini
sebagaimana disunting oleh Muhammad Ahmad Khalafullah dalam karyanya al
6
Fann al Qashasi Fi al-Qur’anil Karim6. Zamaksyari menjelaskan “Jika kamu
katakan bahwa kaum Yahudi itu mengingkari kerasulan Isa, serta membenci dan
malah berusaha keras membunuhnya. Mereka juga menuduh Isa seperti tukang
sihir, anak jadah dan tuduhan-tuduhan keji lainnya, maka bagaimana mungkin
mereka akan mengatakan “Sesungguhnya kami telah membunuh isa al Masih,
Isa putra Maryam, Rasulullah. (QS. 4:157). Menurut Zamaksyari pernyataan ini
dilontarkan oleh orang Yahudi sebagai pelecehan dan penghinaan sebagaimana
ejekan yang dilontarkan oleh Fir’aun, ia mengatakan “Bahwa rasul yang kamu
(Allah) utus kepada kami, sebenarnya mereka gila”.
Berbeda dengan Zamakhsyari adalah al Razy. Ia adalah seorang pemuka
al Asyariyyah, Filosof dan ahli retorika. Ia dilahirkan di Rayy 1149, dalam
penafsirannya al Razy selalu berusaha untuk mengkomparasikan berbagai
pendapat, sebelum akhirnya ia mengeksekusi pandangan finalnya. Al Razy tidak
sendiri dalam penafsirannya ia sering memunculkan nama-nama seperti al
Jubba’i, Ibnu Umar, serta al Qadli Abdul Jabbar. Dalam tafsirnya, al Razi
banyak memberikan pembelaan terhadap al-Qur’an. Itu bisa dilihat dari
beberapa bagian yang terdapat dalam al Kabir.
Muhammad Abduh (1649-1905) dengan al Manarnya juga banyak
memberikan dukungan terhadap pendapat-pendapat al Razy. Sekalipun
6 Beberapa kisah dalam al Qur’an dijelentrehkan oleh Muhammad Ahmad Khalafullah
dengan dimensi sasteranya sehingga perspektifnya berbeda dari kebanyakan tafsir dan mufasir al Qur’an lihat Ahmad Khalafullah, Muhammad, al Fann al Qashashi fi al-Qur’an al Karim, terj. Zuhairi Misrawi {Jakarta: Paramadina, 2002})
7
Muhammad Abduh dianggap sebagai neo-Mu’tazilah, akan tetapi beda dengan
Mu’tazilah ala Zamakhsyari, karena isu yang dibawapun berbeda, itupun tidak
lepas dari situasi, peradaban, tradisi, kebiasaan, yang berbeda dari keduanya.
Tidak heran kalau “ide-idenya” pun berbeda. Hanya saja ada titik persamaannya
yakni, sikap anti irasionalnya, termasuk upaya demitologisasi. Artinya,
keduanya mencoba untuk selalu merasionalisasikan sesuatu yang tampak kurang
rasional.
Demitologi yang dimaksud oleh Abduh adalah sikap anti israiliyyat,
cerita-cerita israiliyyat yang berbau mitos dianggapnya tidak rasional, dan
menurutnya tugas rasionalisasi tafsir adalah menjelaskan narasi al-Qur’an dalam
bentuk lain. Abduh berpandangan bahwa israiliyyat hanyalah produk tafsir
klasik bukan al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah kitab yang rasional tidak
akan mengetengahkan mitos dan irasional, oleh karenanya kisah-kisah para Nabi
dan personalia yang terdapat dalam al-Qur’an hanyalah mitos, karena dianggap
tidak memenuhi standar rasionalitas modern. Misalnya kisah para Nabi (Qisas al
anbiyya), al Tsa’labi (w.1035), al Kisa’i dan Katsir.
Mega proyek Abduh yang terkenal adalah “kembali kepada Qur’an dan
hadits” sempat mewacana dibelantika intelektualitas muslim saat itu. Adalah Dr
Aisyah Abdurrahman atau lebih dikenal bintu al Syati’ (1931-1998), pemikir
wanita Mesir yang mendapat pengaruh besar dari Abduh, ia menawarkan
metodologi pemaknaan al-Qur’an yang cukup monumental yakni mencoba
mengartikan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, sehingga makna yang
8
digali lebih valid dan otentik sebagaimana al-Qur’an telah menyebutkan bahwa
dirinya sendiri “Yufassiru ba’duhu ba’dan”.7
Penafsiran terhadap al-Qur’an terus berkembang tidak ketinggalan al
Thabari (838-923), dalam tafsirnya juga banyak memberikan “pemaknaan baru
al-Qur’an”. Lafad mutasyabihat misalnya, at Thabari banyak mengupas tentang
pemaknaan mutasyabihat, menurutnya mutasyabihat8 berarti saling menyerupai
dalam kisah-kisah al-Qur’an ketika di ulang. Artinya, satu kisah bisa sama kata-
katanya tapi maknanya berbeda, dan kisah lain beda kata-katanya tapi
maknanya sama.
Setidaknya, beberapa penafsir tadi bisa mewakili pola penafsiran awal
sekalipun masih banyak mufasir lain yang belum tercantum disini seperti al
Maraghi (1881-1945), Rasyid Ridha (1865-1935), at Thabarsi (w.1153), Sayyid
Qutb (1906-1966), Jalaluddin asy Suyuti dan Jalaluddin al Mahalli atau lebih
dikenal Imam Jalalain.
7 Beberapa metode dipakai untuk membongkar makna teks Qur’an, bintu Syati’ termasuk
Intelektual yang sering mengkritik para mufasir dengan beberapa metodenya, misalnya kritiknya terhadap Dr Mustafha Mahmud yang menafisir Qur’an dengan sangat ortodoks (beberapa kritikannya bisa dilihat dalam Gamal al Banna, Edisi Indonesia, Evolusi Tafsir, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hal. 155 – 159. Memang, penafsiran terhadap teks untuk menguak ‘apa yang dimaui Tuhan’ (maqasid al syar’i ) tak kunjung habis, selalu menjadi perdebatan panjang dikalangan ulama tafsir. Perdebatan makna maqasid al syar’i adalah salah satu problem yang masih menjadi kontroversi dikalangan Mufassir. Tujuan Allah dalam menetapkan hukum atau maqasid al-syari’ah atau maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah atau juga al Syatibi menyebutnya sebagai maqasid min syari’ al hukm. (al-Syatibi, I:21,23 dan II:374). Al-Syatibi menyatakan: “sesungguhnya syari’at itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Tuhan dalam menegakkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan agama dan keduniaan secara bersama-sama” (hadzihi al-syariah ……wudliat li tahqiq maqasid al-syari’ fi qiyami mashalihihim fi al-din wa al-dunya ma’an) (al-Syatibi, II:6).
8 Baca: Muhammad A Khalafullah, Al Fann al Qashashi al Qur’an al Karim, terj. Zuhairi Misarwi (Jakarta: Paramadina, 2002) Hal.34
9
Dalam hal ini, proses pemaknaan dan pemahaman terhadap teks inilah
yang kemudian disebut tafsir. Dalam khazanah Islam, proses penafsiran ini telah
melahirkan berjilid-jilid kitab dengan model berbeda-beda, mulai dari tahlili
sampai maudhu'i. Ada juga yang menafsir teks dengan nalar bayani, akibat
corak nalar ini, teks yang sebenarnya merupakan simbol bahasa dan medium
guna menyampaikan sejumlah gagasan dianggap sebagai segala-galanya.
Gagasan Tuhan menjadi identik dengan teks itu sendiri, ada yang menafsiri
secara irfani (wahyu/ilham) bahkan burhani (rasional).
Berbeda dengan al-Syatibi adalah Najmuddin al-Thufi. Kalau al-Syatibi
masih tetap berpegang kepada teks keagamaan dalam rangka perumusan
maslahah, maka al-Thufi lebih mengedepankan independensi rasio. Bagi al-
Thufi, akal sehat manusia ‘sangat cukup’ untuk mengetahui dan menentukan apa
itu maslahat, dengan menafikan nash pun manusia, menurutnya, sudah bisa
membedakan yang mafsadah ataupun yang manfaat. Menurut al-Thufi maslahat
adalah ‘sesuatu’ yang berkaitan dengan hak-hak mukallaf dan dapat diketahui
dengan hukum al-adah dan hukum-hukum rasional. Bagi al-Thufi, Allah telah
memberi kita ‘kelebihan’ yakni rasio sebagai sarana untuk mengetahui ‘apa
rahasia dibelakang maslahat tersebut? Oleh karenanya menurut al-Thufi, tidak
perlu rujukan pada nash yang masih debateble tersebut.
Perdebatan tentang konsep maslahat dalam memaknai ‘kehendak
Tuhan’(maqasid al Syar’i) sebenarnya hanyalah upaya mufasir untuk
memahami sebuah teks yang ‘sakral’ dan berlaku untuk segala jaman. Akan
10
tetapi memang bukan hal yang mudah karena sebagai medan kontestasi tafsir,
teks tidak turun begitu saja, sekali lagi, teks (Qur’an) turun dalam relitas Arab
dengan segala aspeknya. Oleh karenanya pendekatan terhadap teks keagamaan
tidak bisa difahami dari satu segi saja, secara tekstual atau bayani, atau dengan
menggunakan rasio semata (al Aql), atau dengan intuisi saja?. Harus ada
formulasi pendekatan dalam menggali makna dibalik teks tersebut.
Muhammad Abed al Jabiri adalah intelektual yang mengkaji formasi
nalar dalam memahami teks secara teliti dan kritis. Bagi al Jabiri, harus dicari
akar ‘tradisi’ yang menjadikan mainstream nalar mufasir itu berbeda dalam
memahami teks yang menjadi hudan bagi umat manusia itu. Sebagai seorang
‘pengkaji tradisi’ al Jabiri mencoba memetakan pembacaannya kepada kerangka
nalar dan mekanisme berfikir yang mendominasi peradaban bangsa Arab awal.
Karena bagi al Jabiri bangunan keislaman yang berkembang baik di dunia Arab
maupun seluruh dunia tidak lepas dari epistemologi nalar Arab sebagai titik
kunci untuk memasuki peradaban Arab.9
Sementara, satu sisi di dunia Arab telah terjadi epistemological breaking
(keterputusan epistemologi) dalam ranah pemikiran Islam. Keterputusan itu
terjadi antara al-Maghribiyyun (pemikir/filosuf Muslim di Wilayah Barat) dan
9 Sekalipun kalau dicermati perdebatan seputar epistemologi tidak jauh berkisar dari ranah perkembangan tradisi intelektual saat itu. Menurut al Jabiri, berdasarkan konteks geografis, khazanah pemikiran Islam dapat dibedakan menjadi dua wilayah yaitu al Masyriq (timur) dan al-maghrib (barat). Wilayah al Masyriq meliputi Persia, Mesir, Irak, Syiria, Khurasan dan beberapa wilayah lain. dari beberapa disiplin ilmu yang ada, Filsafat misalnya muncul tokoh seperti Ibnu Sina dan beberapa tokoh dari berbagai disiplin ilmu, seperti Al Ghazali, al Asy’ari, dan Asy-Syafi’i. Sedangkan wilayah al Maghrib meliputi Maroko dan Andalusia (Spanyol) tokoh yang muncul saat itu misalnya Ibnu Hazm, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan beberapa tokoh lain.
11
al-Masyriqiyyun (wilayah Timur). Keterputusan itu sangat terasa terutama
dalam bidang hukum,10nilai filosofis hukum dan rasionalisme menjadi dua kubu
yang saling berbeda dan kadang bertentangan. Keterputusan epistemologi ini
menandai sebuah pergesaran paradigma (shift of paradigm) dalam ranah
pemikiran Islam. Dan, keterputusan epistemologi ini kalau diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani. 11
Dari tiga epistemologi inilah menurut al Jabiri sabab musabab ikhtilaf
(perbedaan) dalam menentukan hukum (Islam). Cara pandang yang berbeda
menjadikan tafsir yang berbeda pula, bahkan menghasilkan produk hukum yang
tidak saling menunjang, sehingga proses pemaknaan terhadap teks untuk
menemukan “makna asli” tetap menjadi kontroversi berbagai kalangan.
Pada sisi ini, apa yang dilakukan al Jabiri merupakan cara baca baru
(qiraah muasyiroh) terhadap epistemologi Arab dengan pendekatan kritiknya
dalam berinteraksi dengan pemikiran Arab baik klasik maupun modern, al Jabiri
mencoba memahami analisis landasan epistemologi yang memproduksi akal
Arab tersebut. Sekalipun aspek historis dan ideologis tidak luput dari analisanya.
Yang menarik, al Jabiri coba memadukan manahij al tajdid-nya Amin al Khuli
yang menitik beratkan pada dimensi interpretasi psikis terhadap sebuah teks (al
Qur’an). Hal tersebut sangat kentara ketika kita membaca Nahnu wa al Tutats
10 Perbedaan yang sangat kentara terlihat jelas dari beberapa tulisan seperti Ibnu Hazm dan
al Syatibi dan Ibn Rusyd. 11 Bayani atau sistem pengetahuan indikasional dan irfani atau sistem pengetahuan Gnostik
adalah sistem pengetahuan yang berkembang di wilayah al Masyriq dan burhani atau sistem pengetahuan yang berkembang di wilayah barat.
12
nya al Jabiri yang juga memuat ‘cerita’ bagaimana Ibnu Sina berusaha untuk
tetap berbeda bahkan berseberangan dengan para pemikir sebelumnya dan
mencoba untuk tidak terpengaruh oleh komunitasnya12
Pilihan epistemologi dan nalar Arab bagi al Jabiri sebenarnya sebuah
pilihan yang sangat sulit (al khiyar al musykil), apalagi sebelumnya
Muhammmad Arkoun lewat magnup opusnya ‘Kritik Nalar Islam’ mengawali
diskursus baik di Timur Tengah maupun di Nusantara dalam konteks wacana
Islamic Studies. Al Jabiri baru memberikan jawaban terhadap teka teki yang
selama ini mewacana di kalangan intelektual muslim dengan menerbitkan
Takwin al aql al Arabi edisi pertama tahun 1986. 13
Dalam wawancaranya dengan Jurnal al Wahdah, al Jabiri menjelaskan
bahwa pemilihan istilah nalar Arab adalah karena jangkauan kritiknya pada
tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan yang lahir dalam
lingkungan geografis dan kultur tertentu. Pada posisi ini ia juga menjelaskan
bahwa kritik terhadap dunia Arab tidak semata-mata kritik teologis yang
bertumpu pada persoalan ortodoksi, ketuhanan, aliran kalam maupun wahyu,
akan tetapi lebih pada kritik epistemologis. Kritik epistemologis yang dimaksud
adalah kritik yang ditujukan pada kerangka dan mekanisme berfikir yang
mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan-babakan sejarah tertentu.
12 Lihat tulisan Muhammad Aunul Abed Syah dan Sulaiman Mapiase dalam buku Islam
Garda Depan, Bandung: Mizan, 2001, hlm 299 – 327. 13 Muhammad Abed al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000. hlm
xxix
13
Sebagaimana pandangan al-Jabiri bahwa Arab mengalami problem
tematik. Tema-tema yang dibahas berkisar masalah haidl, nifas, shalat, ulum al-
Qur’an, dsb. Telah usang dan tidak relevan lagi di era kontemporer. Tema-tema
seperti ini telah ada pada abad II dan III H, masa kodifikasi (‘ashr al-tadwin) .
Saat ini, menurutnya, pembaruan pemikiran Arab kontemporer, wajib
membangun era kodifikasi baru (‘ashr tadwin jadid) . Masyarakat Arab perlu
merubah tema-tema lama kepada tema-tema baru, seperti kebangkitan dan
pembaruan (al-nahdhah wa tajdid) ; otentisitas dan modernitas (al-ashalah wa
al-mu’ashirah) ; agama dan negara (al-din wa al-daulah) ; demokrasi (al-
dimuqrathiyyah) ; cita-cita komunitas, persatuan dan kerjasama; pembebasan
Palestina (tahrir Falasthin) ; membangun filsafat Arab kontemporer dst.
Perubahan tematik penting untuk membentuk wacana Arab kontemporer. Ini
yang diungkapkannya dengan al-khithab al-‘Arabi al-mu’ashir (wacana Arab
kontemporer).
Maka untuk menuju ke arah wacana Arab kontemporer, menurutnya,
harus dilakukan melalui kritik epistemologi (naqd ibistimulujiya) . Kritik
epistemologi ini harus disokong dengan 2 (dua) hal; tradisi (turats) dan
modernitas (al-mu’ashir/al-hadatsah) ¸suatu peradaban Barat. Tradisi (al-turats)
dan modernitas (al-hadatsah) menjadi sesuatu yang penting. Karena modernitas
adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini,
untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang
tradisi. Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau
14
memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian
dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat
kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka
mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan pembacaan di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penyusunan karya skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang konsep trilogi
nalar
2. Bagaimanakah aplikasi pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang
konsep trilogi nalar dalam konteks pengembangan epistemologi hukum
Islam
C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI
Adapun tujuan pokok dari penulisan dan penyusunan karya skripsi ini
adalah:
a. Untuk mengetahui dan mengkaji konsep trilogi nalar Muhammad Abed al-
Jabiri
15
b. Untuk mengetahui aplikasi pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang
konsep trilogi nalar dalam konteks pengembangan epistemologi hukum
Islam
D. KERANGKA TEORI
Persoalan epistemologi dalam hukum Islam merupakan problem klasik
yang terus menggejala, sejak masa awal dari sekian tokoh misalnya kita
menggolongkan Ibnu Hazm, tokoh fiqih kenamaan asal Cordova sebagai tokoh
Zhahiri (literalis), sekalipun dalam satu analisa, kecenderungan literalisme Ibnu
Hazm sebetulnya karena seting ideologi kekuasaan saat itu, dimana dinasti
Umayah berseteru dengan ideologi Fathimiyah dan ideologi Abbasiyah. Lepas
dari itu, ada bangunan epistemologi yang kokoh untuk merekonstruksi dan
membangun kembali tradisi ‘teks’ atau ‘bayan’,14dengan menjadikan ‘burhani’15
sebagai landasan yang memayungi episteme trersebut. Sudah barang tentu pada
posisi ini Ibnu Hazm membuang seluruh tradisi irfan baik Syiah maupun
tasawuf.
Pada posisi ini, kita bisa menyandingkan Ibnu Hazm dengan beberapa
aliran fiqh, ilmu kalam dan filsafat yang dominan pada masanya. Karena yang
paling penting adalah bagimana literalisme Ibnu Hazm difahami dari aspek
epistemologinya, dengan demikian sisi dekonstruksi dan rekosntruksi Ibnu
14 Tradisi bayan adalah tradisi yang melandasi sistem pengetahuan Sunni, Mu’tazilah dan Asy’ari.
15 Metode penalaran aristoteles beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya.
16
Hazm akan nyata nampak, baik kandungan reformis pemikiran maupun aspek
idelogisnya.
Karena, kalau aspek epistemologi lepas dari pemahaman kita, maka
pemikiran ini akan terkesan temporal. Berbeda dengan Ibnu Rusyd yang juga
hidup pada masa itu, saat Umayyah sebagai penguasa Andalusia mendekati
masa kematiannya, posisi pemikiran Ibnu Hazm tidaklah menemukan ruang
yang kondusif bagi pertumbuhan dan penyebarannya hingga mencapai posisi
yang dominan secara kultural.
Kalau ditelisik memang ada dua babak sejarah antara Ibnu Hazm dan
Ibnu Rusyd, sekalipun pada satu sisi, Ibnu Rusyd sebenarnya melanjutkan
‘proyek’pemikiran Ibnu Hazm, sekalipun Ibnu Rusyd mencoba melampaui Ibnu
Hazm dalam soal metodologi. Upaya ini tidak hanya menggambarkan satu
momen perkembangan yang terjadi dalam konteks pemikiran di Andalusia,
akan tetapi mencerminkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
pemikiran Islam di Timur pada masa itu juga.
Yang jelas, eranya Ibnu Rusyd serba berbeda dengan sebelumnya saat
Ibnu Hazm memproklamirkan ideologi ‘literalismenya’. Ibnu Rusyd harus
menghadapi harmonisasi dan eklektisisme Ibnu Sina yang berkembang serta
kecenderungan terhadap Irfan (gnosis) yang menggejala. Serangan al Ghazali
terhadap filsafat menjadikan Ibnu Rusyd semakin berkeyakinan akan kandungan
filsafat Aristoteles yang harus ia jelaskan termasuk kepada pemerintah yang
berkuasa saat itu.
17
Nah, pergulatan metodologi dan perang ideologi saat itu semakin kentara
setelah Ibnu Rusyd menjelaskan empat hal dalam filsafatnya.16 Pertama, Ibnu
Rusyd menjelaskan filsafat Aristoteles sehingga mudah difahami oleh khalayak
umum. Kedua, menyingkap ‘penyimpangan-penyimpangan’ Ibnu Sina dari
pokok-pokok ajaran kaum falasifah, termasuk ketidakpatuhannya terhadap
standar logika filsafat rasional (burhani). Ketiga, melancarkan serangan balik
kepada al Ghazali. Keempat, formulasi dan konseptualisasi metodologi baru
dalam mengkaji metode-metode untuk menimba hukum-hukum agama, berupa
metodologi pengambilan makna-makna zhahir (eksoteris) dari teks-teks agama
dengan tetap mempertimbangkan tujuan Syari’ah (maqasid al syar’i) sebagai
acuan utama. Yang keempat ini yang mutlak kita lakukan menuju syari’at yang
tidak lekang oleh masa dan waktu, karena dengan begitu akan ada formulasi
hukum yang cukup memadai bagi terciptanya kemaslahatan dan antroposentris.
E. TELAAH PUSTAKA
Kebanyakan karya al Jabiri masih berbahasa Arab, kecuali beberapa
yang telah diterjemahkan seperti Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi, taqwin al aql al
‘Arabi dan naqd al ‘Aql al ‘Arabi yang kesemuanya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Buku taqwin al ‘Aql al ‘Arabi yang diterjemahkan
menjadi Formasi nalar Arab oleh Imam Khoiri, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2003)
16 Lihat Muhammad Abed al Jabiri, dalam beberapa tulisannya yang dikumpulkan oleh
Ahmad Baso dalam Post Tradisionalisme Islam, Yogjakarta: LKiS, 2000, hlm 137
18
sedikit banyak mendeskripsikan tentang Nalar Arab, karakteristik, pembentukan
sampai pada epistemoogi klasik dan perkembangan tradisi dan kebudayaan
Arab.
Buku Nalar Filsafat dan Teologi Islam terjemahan dari karya al Jabiri Al
Kasyfu an Manahij al Adillah fi al Aqaid al Millah; an Naqdu ilmi al Kalam
Dlidllan al Tarsim al Ideologi li al Aqidah wa Difa’an al Ilmi al Khuriah al
Ikhtiar fi al Fiqri al fi’li. Referensi lain yang mendukung adalah apa yang di
tulis al Jabiri dalam beberapa artikelnya yang dikumpulkan oleh Ahmad Baso
dalam buku Post Tradisionalisme Islam (Jogjakarta: LKiS, 2000).
Buku lain karya al Jabiri adalah yang diterjemahkan oleh Drs
Mujiburrahman M.A Ad dien Wa ad Daulah Wa Tathbiq al Syari’ah I (judul
terj. Agama negara dan penerapan Syari’ah penerbit Fajar Pustaka Baru,
Jogjakarta, 2001. Buku ini setidaknya memberikan gambaran relasi Agama dan
Negara termasuk memposisikan Syari’at Islam untuk melengkapi referensi
epistemoligi awal Karya Murtadha Muthahari dalam Mengenal Epistemologi
membuka cakrawala epistemologi Islam secara umum.
Setidaknya menurut penulis ada semacam ‘buka wacana’ dalam
menentukan epistemologi Islam, baik secara pemikiran maupun Hukum. Dan ini
yang menurut penulis penting untuk dikaji.
19
F. METODE PENULISAN SKRIPSI
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research) dengan jalan membaca, menelaah buku-buku
dan artikel yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Adapun sumber data
penelitian skripsi ini ada dua:
a. Sumber data primer, yaitu sumber data utama dan paling pokok berupa buku
dan tulisan karya Muhammad Abed al-Jabiri. Di antara buku karya
Muhammed Abid al-Jabir yang penulis jadikan rujukan utama adalah taqwin
al ‘Aql al ‘Arabi dan bunyah al ‘Aql al ‘Arabi yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Ircisod dan LKiS Jogjakarta,
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data pendukung yang berupa buku atau
artikel yang dapat mendukung penelitian skripsi ini.
Adapun metode penelitian tema ini adalah:
1. Metode deskriptif. Yaitu mendeskripsikan data-data yang penulis dapatkan
melalui sumber data primer dan sekunder tersebut. Metode ini penulis pakai
di Bab II yang membahas tentang pemahaman terhadap konsep epistemologi
hukum Islam secara umum. Metode deskriptif juga penulis pakai di Bab III
yang membahas Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri tentang konsep
trilogi nalar
2. Metode Deskriptif-Analitik dan Komparatif-Konfirmatif. Metode Deskriptif-
Analitik penulis gunakan dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan
20
memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan.17 Untuk
mempertajam analisis, metode content analysis (analisis isi) juga bisa
penulis pakai. Content analysis (analisis isi) digunakan melalui proses
mengkaji data yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan
mempunyai sumbangan teoritik.18
3. Sementara Metode Komparatif-Konfirmatif adalah membandingkan data
primer yakni pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri tentang konsep trilogy
nalar dengan pemikiran tokoh lain yang masih dalam tema trilogi secara
umum. Metode deskriptif-analitik dan metode komparatif-konfirmatif ini
akan penulis gunakan dalam BAB IV yaitu Analisis Pemikiran Muhammad
Abed al-Jabiri tentang konsep trilogi nalar dan signifikansinya dengan
pengembangan epistemologi hukum Islam.
G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Agar pembahasan skripsi ini mengarah dan mudah dipahami, penulis
perlu mengetengahkan dan menuangkan sistematika penulisanya yaitu sebagai
berikut :
17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
1992, hlm. 210 18 Phil Astrtid S. Susanto, Pendapat Umum, Bandung: Bina Cipta, cet. II, 1986, hlm. 87.
21
BAB I : PENDAHULUAN.
Meliputi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan skripsi, telaah pustaka, metode Penelitian, sistematika
penulisan skripsi
BAB II. : TINJAUAN UMUM EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Meliputi, (a) Pengertian Hukum Islam (b). epistemologi dalam
filsafat ilmu (c) epistemologi dalam khazanah pemikiran Islam (d)
persoalan epistemologi dalam hukum Islam
BAB III. : AUTOBIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMMAD ABED
AL JABIRI
Meliputi, Biografi Muhammad Abed al Jabiri (1) Latar belakang
Sosio-kultur masa Muhammad Abed al Jabiri (2) Karya-karya
Muhammad Abed al Jabiri (3) Latar belakang pendidikan
Muhammad Abed al Jabiri (4). Pemikiran - pemikiran Muhammad
Abed al Jabiri. Konsep trilogi nalar Muhammad Abed al Jabiri
BAB IV. : APLIKASI KONSEP TRILOGI NALAR MUHAMMAD
ABED AL JABIRI
Meliputi, Problematika pengembangan hukum Islam, Aplikasi
konsep trilogi nalar Muhammad Abed al Jabiri dalam konteks
22
pengembangan epistemologi hukum Islam, Kritik atas trilogi
Muhammad Abed al Jabiri
BAB V. : PENUTUP
Meliputi, Kesimpulan, Saran, penutup