a. bahan dan proses produksi pembuatan mi kering … 3... · menkes/per/ix/88 tentang btp...

47
16 III. TINJAUAN PUSTAKA A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan (BTP) serta bahan pengemas. 1. Bahan Baku Utama a. Tepung Terigu Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta. Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air, glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno, 1984) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh dari fraksi prolamin. Tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.3751- 2006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L (Club wheat) dan/atau Triticum compacticum Host atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B 1 (thiamin), vitamin B 2 (riboflavin) dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan bahan tambahan pangan (BTP) yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan

Upload: vuongngoc

Post on 16-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

16

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING

Bahan baku utama dan bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses

produksi mi kering pada umumnya terdiri atas 4 kelompok, yaitu : bahan baku

utama, bahan baku pembantu dan bahan tambahan pangan (BTP) serta bahan

pengemas.

1. Bahan Baku Utama

a. Tepung Terigu

Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah

tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam

medium hard fluor yang diperoleh dari PT Bogasari Flour Mills di Jakarta.

Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan

karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam

pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari

dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan

globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air,

glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan

menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air

sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno,

1984) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang

dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap

berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh

dari fraksi prolamin.

Tepung terigu sebagai bahan pangan (makanan) menurut SNI 01.3751-

2006 didefinisikan sebagai tepung terigu yang dibuat dari endosperma biji

gandum Triticum aestivum L (Club wheat) dan/atau Triticum compacticum Host

atau campuran keduanya dengan penambahan zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1

(thiamin), vitamin B2 (riboflavin) dan asam folat sebagai fortifikan. Sedangkan

bahan tambahan pangan (BTP) yang dizinkan untuk produk terigu sesuai dengan

Page 2: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

17

peraturan tentang BTP. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan pangan

(makanan) menurut SNI 01.3751-2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat mutu tepung terigu menurut SNI 01.3751-2006 (*)

No. Jenis uji Satuan Persyaratan

1. 1.1. 1.2. 1.3.

Keadaan Bentuk Bau Warna

- - -

Serbuk Normal (bebas dari bau asing) Putih, khas terigu

2. Benda asing - Tidak ada 3. Serangga dalam semua bentuk stadia dan

potongan-potongannya yang tampak - Tidak ada

4. Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70 % (b/b) Minimum 95 5. Kadar air % (b/b) Maksimum 14,5 6. Kadar abu % (b/b) Maksimum 0,6 7. Kadar protein % (b/b) Minimum 7,0 8. Keasaman mg KOH/100 g Maksimum 50 9. Falling number (atas dasar kadar air 14%) detik Mimimum 300 10. Besi (Fe) mg/kg Minimum 50 11. Seng (Zn) mg/kg Minimum 30 12. Vitamin B1 (thiamin) mg/kg Minimum 2,5 13. Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg Minimum 4 14. Asam folat mg/kg Minimum 2 15. 15.1. 15.2. 15.3.

Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg) Tembaga (Cu)

mg/kg mg/kg mg/kg

Maksimum 1,00 Maksimum 0,05 Maksimum 10

16. Cemaran arsen mg/kg Maksimum 0,50 17. 17.1. 17.2. 17.3.

Angka lempeng total E. coli Kapang

koloni/g APM/g koloni/g

Maksimum 106 Maksimum 10 Maksimum 104

(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).

b. Air

Bahan baku utama lain yang digunakan untuk memproduksi mi kering

adalah air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat,

melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan

mengembang dengan adanya air. Menurut Chung et al. (1985) yang dikutip oleh

Mulya (1988) menyebutkan bahwa air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada

selang pH 4-8, makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak mudah patah

karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimal

akan membentuk pasta yang baik.

Page 3: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

18

Air sebagai bahan tambahan lain menurut Surat Keputusan Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 disebutkan/dinyatakan

pada pasal 2 bahwa air yang digunakan untuk produksi makanan dan minuman

yang disajikan kepada masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan air minum.

Persyaratan kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indoneia Nomor 907/ MENKES/ VII/2002 mencakup persyaratan/

parameter fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/ MENKES/ SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 (*)

No. Jenis/Parameter uji Satuan Kadar maksimum yang diperbolehkan

1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.

Parameter fisik Warna Rasa dan bau Suhu/temperatur Kekeruhan Jumlah zat padat terlarut (TDS)

TCU

- oC

NTU mg/l

15

Tidak berasa & berbau Suhu udara ± 3 oC

5 1000

2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15.

Parameter Kimiawi Aluminium (Al) Besi (Fe) Kesadahan Klorida (Cl) Mangan (Mn) pH Natrium (Na) Sulfat Tembaga (Cu) Sisa klor Amonia Air raksa (Hg) Antimon (At) Barium (Ba) Boron (B)

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

- mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

0,2 0,3 500 250 0,1

6,5 – 8,5 200 250 1,0 -

1,5 0,001 0,005

0,7 0,3

3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8.

Kimia An-organik Arsen (As) Fluorida (F) Kromium-valensi 6 Kadmium (Cd) Nitrit, sebgai NO2 Nitrat, sebagai NO3 Sianida (CN) Selenium (Se)

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

0,05 1,5 0,05

0,003 3 50

0,07 0,01

4. Parameter Mikrobiologi - 4.1. E. coli atau feacal coli Jumlah/100 ml 0 4.2. Total bakteri coliform Jumlah/100 ml 0 (*) Sumber : Departemen Kesehatan (2002). 2. Bahan Baku Pembantu

Bahan baku pembantu yang digunakan dalam proses produksi mi kering

terdiri dari jenis, yaitu : garam dan tepung telur.

Page 4: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

19

a. Garam

Garam atau lebih dikenal dengan garam dapur yang dikonsumsi, pada

pembuatan mi instant atau mi kering berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat

tekstur mi, membantu reaksi antara gluten dengan karbohidrat (meningkatkan

elastisitas dan fleksibelitas), dan untuk mengikat air (Sunaryo, 1985). Garam

dapur juga berfungsi untuk menghambat aktivitas enzim protease dan amilase

sehingga mi tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan

(Mulya, 1988). Garam dapur yang dipergunakan oleh PT Kuala Pangan berasal

dari PT Saltindo di Jakarta.

Menurut BSN atau Badan Standarisasi Nasional (2000), garam yang

digunakan dalam produk makanan merupakan garam yang didefinisikan sebagai

pangan (makanan) yang komponen utamanya natrium klorida (NaCl) dengan

penambahan kalium yodat (KIO3). Syarat mutu garam konsumsi beryodium sesuai

dengan SNI 01.3556-2000 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat mutu garam konsumsi beryodium menurut SNI 01.3556-2000 (*)

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu 1. Kadar air (H2O) % (b/b) Maksimum 7 2. Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung

dari jumlah klorida % (b/b), atas dasar bahan

kering

Minimum 94,7

3. Yodium dihitung sebagai kalium yodat (KIO3)

mg/kg Minimum 30

4. 4.1. 4.2. 4.3.

Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg

Maksimum 10 Maksimum 10 Maksimum 0,1

5. Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,1 (*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000).

b. Tepung Telur

Tepung telur ini diperoleh dengan cara mengimpor dari negara Belgia,

Belanda atau India. Tepung telur dalam pembuatan mi kering ini fungsinya untuk

menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan

tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan

kekeruhan saus mi waktu pemasakan. Lesitin yang terdapat pada kuning telur

merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan

bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985).

Page 5: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

20

Penggunaan tepung telur dalam industri pangan mempunyai kelebihan/

keuntungan sebagai berikut : (a) Umur simpan lebih lama; (b) Penyimpannya

lebih mudah atau tanpa refrigerasi; (c) Mengurangi ruang penyimpanan, biaya

penyimpanan dan biaya transportasi, dan (d) Mempermudah pengaturan

komposisi bahan (Dijen IKAH, Depperindag & Fakultas Teknologi Pertanian –

IPB, 2003). Syarat mutu tepung telur ayam menurut Food And Drug

Administration (FDA) USA dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Standar mutu tepung telur ayam menurut FDA-USA (*) No. Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu 1. Kadar air % Maksimum 5,0 2. Kadar lemak % 40,0 3. Kadar protein % Minimum 45,0 4. Kadar abu % 3,7 5. Gula pereduksi % Maksimum 0,1 6. Total mikroba koloni/g Maksimum 25.000 7. Bakteri koliform koloni/g Maksimum 10 8. Bakteri Salmonella - Negatif atau nol 9. Warna - Specified on purchase

10. Bau - Lembut (*) Sumber : Ditjen IKAH, Depperindag dan Fakultas Teknologi Pertanian –IPB

(2003).

3. Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai

senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses

pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan

utama (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1996). Menurut Codex

Alimentarius Commission di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP

didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan

biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai

gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk

membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses

pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,

pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau

diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih

baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.

Page 6: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

21

Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam

Permenkes No.722/MenKes/Per./IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No.

1168/MenKes/ Per/VI/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah

pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan

penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,

pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur

makanan).

Bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan pada pembuatan mi

kering di PT Kuala Pangan adalah garam alkali sodium karbonat atau natrium

karbonat (Na2CO3) dan potasium karbonat atau kalium karbonat (K2CO3) serta

bahan pewarna tartrazin CI 19140. Ketiga bahan tambahan pangan tersebut

diperoleh dan dibeli dari Amerika Serikat (USA) dan Inggris melalui pemasok

lokal PT Union Ajidharma, PT Halim Sakti dan PT Wasiat Chemical atau PT

United Chemical Inter Aneka di Jakarta.

a. Garam Alkali (Natrium Karbonat dan Kalium Karbonat)

Natrium karbonat dan kalium karbonat adalah bahan tambahan yang wajib

ditambahkan sebagai bahan alkali pada proses pembuatan mi kering dan memiliki

peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan mi. Mi tidak akan jadi jika

tidak menggunakan garam alkali tersebut (Puspasari, 2007). Kedua bahan tersebut

ditambahkan dengan perbandingan 9:1 dan dilarutkan dalam air serta berfungsi

untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas

mi, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan sifat kenyal. Bahaya pada

kedua bahan tambahan pangan tersebut adalah dapat menyebabkan iritasi pada

kulit manusia (Sax, 1975). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.722/

MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan

natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan sama penggunaannya dengan

kalium klorida sebagai pengental, yaitu sebanyak 5 gram per kg.

b. Tartrazin C1 19140

Tartrazin merupakan zat warna yang digunakan untuk memberikan warna

kuning khas mi dan untuk menambah daya tarik produk mi. Zat warna yang

digunakan adalah tartrazin CI 19140, yang merupakan zat warna sintetis

berbentuk tepung berwarna kuning yang larut dalam air, dengan larutannya

Page 7: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

22

berwarna kuning keamasan. Menurut Winarno (1989), tartrazin tahan terhadap

cahaya, asam asetat, asam klorida (HCl), dan natrium hidroksida (NaOH) 10

persen. Pada NaOH 30% akan menjadikan warna berubah kemerah-merahan.

Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat larutan zat berwarna

menjadi keruh, tetapi aluminium (Al) tidak berpengaruh.

Zat warna tartrazin C1 19140 yang digunakan oleh perusahaan PT Kuala

Pangan berasal dari PT Wasiat Chemical, Jakarta dan PT United Chemical Inter

Aneka, Jakarta.

Batas maksimal penggunaan tartrazin dalam produk pangan diatur dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per./IX/88

tentang Bahan Tambahan Makanan tahun 1988 sedangkan oleh organisasi

internasional Codex masih dalam tahap pembahasan (CAC, 2006). Namun dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah (2007) tentang ”Kajian Paparan

Tartrazin Dengan Metode Survei Frekuensi Konsumsi Pangan di Wilayah Jakarta

Utara” menyimpulkan bahwa : (a) Hasil survei konsumsi pangan yang

mengandung tartrazin di wilayah Jakarta Utara menunjukkan nilai konsumsi rata-

rata pada seluruh responden sebesar 306,38 g/orang/hari, nilai konsumsi rata-rata

total tertinggi pada responden anak-anak karena frekuensi konsumsi dan ukuran

porsinya relatif lebih besar; (b) Seluruh nilai paparan tartrazin pada hasil

penelitian belum melampaui nilai ADI (Acceptable Daily Intake) tartrazin.

Tingkat paparan rata-rata total pada seluruh responden sebesar 231,24 μg/kg BB

(3,08 % ADI), nilai paparan rata-rata total tertinggi pada responden anak-anak

karena tingkat konsumsinya relatif tinggi sedangkan berat badannya relatif

rendah. Jenis pangan yang berpotensi memberi paparan tartrazin tertinggi pada

seluruh responden adalah mi instan, minuman nonkarbonasi, minuman serbuk,

makanan ringan dan biskuit; dan (c) Mi instan merupakan produk pangan yang

memiliki tingkat konsumsi terbanyak dan berpotensi memberi paparan tartrazin

terbesar pada seluruh responden dan tiap kelompok responden di wilayah Jakarta

Utara. Anak-anak merupakan responden yang memiliki tingkat konsumsi dan

tingkat paparan tartrazin tertinggi di wilayah Jakarta Utara. Hasil penelitian kajian

paparan tartrazin dengan metode survei frekuensi konsumsi pangan di wilayah

Jakarta Utara yang dilaporkan Anisyah (2007) dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 8: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

23

Tabel 6. Kadar tartrazin dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh responden dibandingkan dengan kadar tartrazin yang ditetapkan dalam regulasi (*)

Kadar tartrazin dalam produk pangan (mg/kg)

Batas maksimum tartrazin dalam produk pangan menurut peraturan (mg/kg)

No. Produk pangan

Rata-rata Min - Maks Indonesia Codex Eropa 1. Mi Instan atau Mi

kering - Sebelum diolah - Setelah diolah

22,50 16,77

1 - 100 8,28 - 27,25

300

300

-

2. Kembang gula 90,53 5 - 300 300 300 300 3. Minuman

berkarbonasi 13 10 - 15 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100

4. Minuman nonkarbonasi

22 10 - 40 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100

5. Minuman serbuk 13,30 0,16 - 40 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100 6. Minuman buah,

squash 10 4 - 20 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100

7. Sirup 18 4,2 - 33,33 70 mg/l (produk siap konsumsi) 300 100 8. Kue lapis 200 200 - 200 300 300 200 9. Biskuit 72,86 10 - 200 300 300 200 10. Roti 11 11 - 11 300 300 200 11. Makanan ringan 88,57 10 - 200 300 300 200 12. Jelli 25,95 5,4 - 84,35 200 500 - 13. Jem, selai 213 200 - 226 200 500 - 14. Es krim 76 10 - 200 100 - - 15. Susu fermentasi 50,50 1 - 100 18 (berasal dari aroma yang

digunakan) 300 -

(*) Sumber : Anisyah (2007).

4. Bahan Kemasan

Kemasan dibutuhkan salah satunya adalah berfungsi untuk melindungi

produk mi kering yang dihasilkan dari kerusakan. Bahan pengemas yang

digunakan pada produksi mi kering di PT Kuala Pangan Citeureup, Bogor terdiri

dari dua jenis, yaitu pengemas primer berupa plastik poli propilen atau plastik

jenis PP yang sudah ada labelnya dengan bobot netto 200 gram per kemasan dan

kemasan sekunder (kotak karton atau karton boks) dengan kapasitas 20 kemasan

plastik .

a. Plastik Polipropilen (Plastik jenis PP)

Plastik jenis Polipropilen (PP) merupakan kemasan yang ringan, mudah

dibentuk, kekuatan tarik lebih besar dan tahan terhadap suhu tinggi, serta

merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara

polimer-polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis,

yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan

(Puspasari, 2007).

Sifat utama dari polipropilen (PP) adalah ringan (densitas 0,9 g/cm3),

mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku.

Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku daripada

Page 9: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

24

polietilen (PE), sertra tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan

distribusi. Namun, permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan

tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan

terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang

harus disterilisasi. Polipropilen juga tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak

(Puspasari, 2007).

b. Kotak Karton

Kemasan sekunder adalah kemasan setelah kemasan primer yang

berfungsi untuk melindungi mi dari kerusakan fisik yang dapat terjadi pada saat

distribusi atau pengiriman. Kemasan yang digunakan adalah karton jenis CFB

(Corrugated Fibred Board). Semua jenis pengemas tersebut didatangkan dari

pemasok lokal di daerah Jakarta dan sekitarnya.

5. Proses Produksi Mi Kering

Proses produksi untuk pembuatan mi kering yang dilakukan di perusahaan

industri yang memproduksi mi kering menurut Ridwan dan Wiriano (1990) pada

prinsipnya hampir sama dengan proses pembuatan mi instan, perbedaannya

hanyalah pada tahap setelah pemotongan (cutting); yaitu pada pembuatan mi

kering setelah tahap pemotongan dilakukan pengeringan, sedang pada pembuatan

mi instan setelah tahap pemotongan dilakukan penggorengan. Proses produksi mi

kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1 dan meliputi tahap-tahap

sebagai berikut : penimbangan bahan baku dan bahan lain untuk produksi mi,

pembutan larutan alkali, pencampuran adonan (mixing), pengepresan dengan roll

press, pembentukan untaian pita mi (slitting), pengukusan (steaming),

pendinginan (cooling), pemotongan (cutting), penge-ringan dengan oven (drying),

pendinginan (cooling), pengemasan produk mi kering dan penyimpanan di

gudang.

Page 10: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

25

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Kering (Sumber : Ridwan dan

Wiriano, 1990).

Pendinginan (Cooling)

Pencampuran (Mixing)

Pembentukan adonan menjadi lembaran dengan roll press

Pembentukan untaian pita mi (Slitting)

Pengukusan dengan menggunakan uap panas

(Steaming)

Pengeringan dengan menggunakan uap panas

Pengemasan produk mi kering dalam plastik PP & kotak

karton

Pembuatan Larutan Alkali

Pemotongan (Cutting)

Penimbangan Bahan baku dan

Bahan Lain

Pendinginan (Cooling)

Penyimpanan di Gudang

Page 11: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

26

a. Penimbangan Bahan Baku dan Bahan Lain Untuk Produksi Mi

Penimbangan bahan baku dan bahan lain merupakan tahap awal

pembuatan mi. Pada proses ini dilakukan penimbangan bahan-bahan yang

digunakan untuk proses pembuatan mi kering seperti tepung terigu, garam dapur,

tepung telur, bahan tambahan soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat)

dan bahan pewarna tartrazin untuk pembuatan larutan alkali. Selain penimbangan

bahan-bahan tersebut juga dilakukan pengkuran jumlah volume air yang akan

digunakan untuk pembuatan larutan alkali.

b. Pembuatan Larutan Alkali

Pembuatan larutan alkali bertujuan untuk menghasilkan larutan alkali yang

merupakan merupakan campuran dari soda natrium dan kalium karbonat, air,

garam, tepung telur dan bahan pewarna tartrazin. Larutan alkali berfungsi untuk

memberi warna, rasa, dan memperkuat struktur mi. Pada pembuatan larutan alkali,

uji yang dilakukan yaitu uji standar viskositas, pH, penampakan dan warna.

Viskositas larutan alkali diukur dengan menggunakan viskometer, sedangkan nilai

pH diukur dengan menggunakan pH meter. Penampakan larutan alkali berwarna

kuning, larutan homogen dan tidak terdapat benda asing.

c. Pencampuran Adonan (Mixing)

Proses pencampuran adonan (mixing) merupakan proses awal pembuatan

mi, yaitu pencampuran dan pengadukan tepung terigu dengan larutan alkali yang

dilakukan didalam mixer. Proses pencampuran bertujuan untuk menghasilkan

campuran yang homogen, menghindrasi tepung dengan air dan membentuk

adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Hal yang

harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu

adonan dan waktu pengadukan ( Pribadi, 2004). Umumnya air yang ditambahkan

sekitar 28-35% dari total bobot tepung. Pencampuran adonan dilakukan dan

dipertahankan pada kisaran suhu 32-38oC. Suhu tersebut dipertahankan dengan

cara memanaskan alat mixer menggunakan pemanasan sistem jacket dengan uap

panas. Apabila suhunya kurang dari 32oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar;

sedangkan jika suhunya lebih dari 38oC adonan menjadi lengket dan mi menjadi

Page 12: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

27

kurang elastis. Waktu pengadukan biasanya dilakukan sekitar 15-25 menit, karena

bila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket;

sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering.

Selama proses pengadukan akan terjadi kenaikan suhu akibat gesekan baling-

baling mesin adonan. Kenaikan suhu tersebut berpengaruh terhadap

pengembangan dan kelembutan adonan akibat terjadinya penyebaran dan

distribusi air dalam tepung.

d. Pengepresan Dengan Roll Press

Pengepresan dengan roll press bertujuan untuk membentuk adonan

menjadi lembaran adonan yang halus dan elastis, menghaluskan serat-serat gluten

dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan cara

melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam sampai dicapai

ketebalan tertentu sehingga adonan siap dicetak menjadi untaian pita mi.

Pembentukan lembaran dengan roll press akan menyebabkan pembentukan serat-

serat gluten yang halus, homogen, serta mempunyai ketebalan 1,0 – 1,1 mm. Hal

ini akan mempengaruhi mutu mi yang dihasilkan (Pribadi, 2004). Agar dapat

menghasilkan lembaran yang halus dengan jalur serat yang searah dan lembaran

adonan tidak kasar dan pecah-pecah, maka suhu pengepresan dilakukan pada suhu

sekitar 35-37oC dengan menggunakan pemanas dari uap panas yang berasal dari

boiler melalui saluran uap panas yang mengalir pada alat roll press tersebut.

Mesin pengepres terdiri dari beberapa buah silinder berpasangan yang

berputar berlawanan arah. Pada saat melewati roll press, lembaran akan

mengalami peregangan dan mengalami relaksasi saat keluar dari roll press.

Supaya peregangan dan relaksasi berlangsung dengan baik, maka kedudukan roll

press harus diatur sedemikian rupa sehingga lembaran adonan merata di seluruh

permukaan roll dan seimbang antara roll awal sampai roll akhir.

d. Pembentukan/Pencetakan Untaian Mi (Slitting)

Pencetakan untaian pita mi (slitting) merupakan suatu proses pengubahan

lembaran adonan menjadi untaian pita sesuai dengan ukuran yang diinginkan,

kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi (Ridwan dan Wiriano, 1990).

Page 13: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

28

Proses slitting dimulai dengan melewatkan lembaran tipis adonan yang keluar dari

mesin pengepres ke suatu silinder logam beralur kecil (slitter) yang akan

memotong lembaran adonan menjadi untaian mi yang terpisah oleh sisir-sisir

bergerigi (Noerthana, 2005); selanjutnya untaian mi dilewatkan ke suatu mangkuk

slitter berbentuk segi empat. Mangkuk slitter terdiri dari beberapa lajur yang pada

setiap lajur menghasilkan 70-80 untaian mi tergantung dari nomor slitter yang

digunakan. Dalam mangkuk slitter, mi dipadatkan sehingga terbentuk gelombang-

gelombang mi. Selanjutnya, untaian pita mi akan masuk ke dalam waving net

yang kecepatannya lebih rendah dari mangkuk slitter, sehingga dihasilkan mi

yang bergelombang rata.

Menurut Noerthana (2005), agar untaian mi yang dihasilkan oleh hasil

slitting baik, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Hasil

mixing adonan harus homogen dengan kadar air cukup dengan suhu adonan tidak

panas; (2) Pisau slitter harus tajam dan ukurannya seragam; (3) Fungsi sisir mi

(noodle comb) harus dalam kondisi baik; (4) Ketepatan pemasangan mangkuk

pemisah mi (devider); (5) Khusus untuk slitter baru agar diperhatikan kedalaman

roll cutter-nya, karena semakin dalam akan menyebabkan roll cutter-nya cepat

tumpul; dan (6) kebersihan alat.

e. Pengukusan (Steaming)

Pengukusan (steaming) merupakan proses pengukusan mi yang keluar dari

slitter secara kontinyu dengan menggunakan uap panas. Pada proses ini terjadi

gelatinasasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air

dari gluten akan menyebabkan terjadinya kekenyalan pada mi. Hal ini disebabkan

oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten

menjadi lebih rapat (Pribadi, 2004). Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat

lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Prangdimurti,

1991). Gelatinasasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga

granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1995). Lebih

lanjut Sunaryo (1985) menyatakan bahwa gelatinisasi ini menyebabkan pati

meleleh, kemudian membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mi yang dapat

Page 14: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

29

memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi

daya rehidrasi mi.

f. Pendinginan (Cooling)

Pendinginan (cooling) merupakan proses setelah mi keluar dari proses

pengukusan dengan menggunakan kipas angin. Proses pendinginan ini

dimaksudkan untuk mencegah mi melekat pada conveyor yang berjalan.

Kemudian proses dilanjutkan ke tahap proses pemotongan.

g. Pemotongan (Cutting)

Pemotongan (cutting) mi dilakukan dengan mesin pemotong. Dalam

proses ini mi dipotong dan dibentuk lipatan dengan mendorong bagian tengah

potongan ke dalam dengan menggunakan alat seperti cangkul. Pada bagian atas

tersebut terdapat roll berputar yang berfungsi sebagai alat pelipat yang akan

melipat mi menjadi dua bagian yang sama panjang.

h. Pengeringan (Drying)

Pengeringan didefinisikan sebagai suatu proses pemanasan pada produk

bahan pangan pada kondisi yang terkendali dengan cara menguapkan air yang

terkandung dalam bahan pangan tersebut dengan tujuan untuk memperpanjang

daya simpan dengan mengurangi aktivitas airnya atau aw-nya (Fellows, 2000).

Dalam pembuatan mi kering, bertujuan untuk memantapkan pati tergelatinisasi,

menurunkan kadar air dan mengeringkan mi sehingga produk akan menjadi

kering, kaku dan awet serta memiliki kadar air sekitar 7-8 persen dan mi dapat

disimpan dalam jangka waktu yang lama. Proses pengeringan untuk pembuatan

mi kering biasanya dilakukan pada suhu sekitar 100oC selama 30 menit.

i. Pendinginan (Cooling)

Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan

cara melewatkan mi dalam suatu kotak (tunnel) yang di dalamnya terdapat

sejumlah kipas angin yang menghembuskan udara segar. Tujuan dari proses ini

adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan

Page 15: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

30

suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas dengan etiket

(Pribadi, 2004). Mi yang telah melalui alat pendingin diharapkan telah mengalami

pendinginan secara sempurna.

j. Pengemasan (Packing)

Setelah dilakukan pendinginan, mi langsung dikemas dengan cara

memasukkan produk mi kering ke dalam kemasan plastik yang sudah disiapkan

secara manual. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi mi dari kemungkinan-

kemungkinan tercemar atau rusak sehingga mi tidak mengalami penurunan mutu

sampai di tangan konsumen. Dengan pengemasan yang baik, produk akan

terhindar pencemaran debu dan kotoran tangan, kelembaban oksigen di udara,

serangan serangga, dan lain sebagainya (Syarief et al, 1989).

B. CEMARAN PADA PRODUK MI KERING

Cemaran pada produk mi kering kemungkinan dapat berupa cemaran

mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat

berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan

pangan (BTP).

1. Cemaran Mikrobiologis

Mi kering merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan

terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi kering memiliki aw

sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 (Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan

Buckle et. al (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi

(pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan

demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi kering

tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti

produk mi kering tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau

kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik yang

berasal dari bahan baku dan bahan lainnya.

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk

produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), cemaran mikroba

yang mungkin terdapat pada mi kering dapat berupa bakteri E. Coli, kapang dan

Page 16: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

31

angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut ditetapkan

batasnya di dalam SNI dalam keadaan negatif atau tidak boleh ada cemaran

mikroba dalam produk mi kering. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang

mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan

beberapa jenis kapang; sedang Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh

pada bahan pangan, bakteri dapat menyebakan berbagai perubahan pada

penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut.

Adanya aktifitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan

terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik

pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar

air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber

energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang

ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya

berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna

hitam (Jay, 2000).

Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi kering kemungkinan dapat

tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari

bahan tepung telur serta E. coli dan coliform yang berasal dari bahan air yang

digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang

ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream

cakes, angel cake dan mi kering dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan

Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Matic et. al (1990) dan

Narvaiz et. al (1992) dinyatakan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung

telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi dengan sinar gamma dengan dosis

0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille. Sedangkan

untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung

telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu.

Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang

mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998)

sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke

dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah

Page 17: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

32

dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi

oleh air dari luar.

Cemaran bakteri pada air yang digunakan untuk proses pencampuran guna

menghasilkan produk mi kering, kemungkinannya dapat berupa bakteri patogen E.

Coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia

enterolita dan Aeromonas hydrophila; bila air air tersebut tidak diolah terlebih

dahulu untuk menghasilkan kualitas air yang layak diminum/dikonsumsi (Jones

dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi

kering pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air

minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli

2002, yaitu harus bebas dari bakteri E. coli dan bakteri coliform. Hal ini

disebabkan karena bakteri E. coli dan coliform digunakan sebagai indikator

tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar

manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan

bahwa untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi, sebaiknya dalam

proses pengolahannya mengimplementasikan sistem HACCP.

2. Cemaran Kimia

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01. 2974-1992 untuk

produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa

cemaran kimia yang mungkin timbul/terdapat pada mi kering berupa cemaran

kimia logam-logam berat berupa timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn),

raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga

berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam

proses produksi mi kering. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb,

Cu, Hg, Zn dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal

tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan

hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu

dari bahan baku garam yang tercamar oleh logam-logam berat di tempat asalnya.

Sedang seng (Zn) dan tembaga (Cu) dapat berasal darti proses produksi

pembuatan tepung terigu di pabrik yang menghasilkan tepung terigu dan proses

produksi mi kering di pabrik yang menghasilkan produk mi kering.

Page 18: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

33

3. Cemaran Fisik

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01.2974-1992 untuk

produk mi kering (PUSTAN Departemen Perindustrian, 1992), ditetapkan bahwa

cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi kering berupa serangga

dalam berbagai bentuk stadia dan potongan-potongannya serta benda-benda asing

lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir,

tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber

cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani

produk, pallet kayu, peralatan yang sudah lama tidak digunakan dan tali plastik

yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda

asing pada produk mi kering tersebut oleh SNI 01. 2974-1992 ditetapkan harus

negatif.

C. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI

PANGAN

Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan

telah menetapkan bahwa dalam memproduksi pangan untuk diperdagangkan,

setiap industri pangan baik skala besar, menengah, menegah-kecil maupun skala

kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang

ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses

produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna

menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Pemerintah juga telah

mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan

sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan

gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan

pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain :

PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan

yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); Undang-Undang

Kesehatan No. 23 Tahun 1992; PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang

bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Pedoman higiene makanan

Tahun 1996 (Departemen Kesehatan, 1998); Undang-Undang Pangan RI No. 7

Tahun 1996 tentang keamanan pangan yang tercantum pada pasal 4 sampai

Page 19: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

34

dengan pasal 23 (Kantor Menpangan, 1996); dan Peraturam Pemerintah (PP) No.

28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM,

2004).

Melengkapi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mutu dan

keamanan pangan di atas, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan

Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan

pangan dengan tujuan dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan

memberi informasi mengenai pangan yang disampikan kepada masyarakat adalah

benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan

mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di

hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun

lingkungannya (Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, 1999).

Sementara itu, didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak

atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta

jaminan yang dijanjikannya (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1999).

Implikasinya, konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan

keamanan pangan dari setiap produsen/industri pangan yang memperdagangkan

produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala

menengah.

Berdasarkan laporan selama Pelita V dan VI serta laporan pemberitaan di

media massa menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan peredaran produk

pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, misalnya

adanya cemaran mikroba pada produk pangan; penggunaan bahan tambahan

pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan, terutama zat

pewarna, pengawet dan pemanis; adanya residu pestisida yang masih tinggi pada

produk-produk hortikultura, adanya cemaran logam berat dan lain-lain.

Disamping itu, masih banyak ditemukan peredaran produk pangan yang

komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk

pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang

tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).

Page 20: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

35

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudibyo et al (2001) menunjukkan

bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian,

pada umumnya industri pangan tersebut banyak yang belum menerapkan prinsip-

prinsip atau aspek manajemen keamanan pangan yang baik untuk menjamin

keamanan pangan produk pangan yang dihasilkannya. Persentase industri pangan

yang sudah mengerti dan menerapkan/mengimplementasikan aspek keamanan

pangan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Persentase Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan (*)

Persentase (%) Industri Pangan Yang Sudah Memahami dan Menerapkan Aspek Keamanan Pangan

Aspek Keamanan Pangan

Paham dan menerapkan secara penuh

Paham tapi menerapkan sebagian besar

Paham tapi menerapkan sebagian kecil

Paham tapi tidak menerapkan sama sekali

- GMP (Good Ma-nufacturing Practice)

25 40 25 10

- SOP (Standard Operating Pro-cedure)

25 35 7,5 32,5

- Sanitasi dan Higiene 30 45 20 5

Sumber : Sudibyo et al. (2001).

Berdasarkan data dan keterangan di atas terlihat bahwa bila dirata-ratakan

hasil persentasenya, maka baru sekitar 35-40% industri pangan berskala

menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk

menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP,

sanitasi dan higiene serta SOP. Padahal ketiga aspek tersebut dalam program

jaminan keamanan pangan merupakan program persyaratan dasar (prerequisite

program) yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh setiap industri pangan

termasuk industri pangan berskala menengah sebelum melangkah lebih lanjut

dalam menerapkan sistem HACCP (WHO, 1997; NACMCF, 1998).

Hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menunjukkan bahwa industri

pangan yang tidak mempraktekkan atau mengimplementasikan higiene pangan

pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil

pangan yang mempraktekkan/mengimplementasikan higiene pangan. Persentase

Page 21: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

36

industri kecil pangan yang sudah mengimplementasikan dan yang tidak

mengimplementasikan higiene dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Persentase Industri Kecil Pangan Yang Mengimplementasikan dan Tidak

Mengimplementasikan Higiene (*). Persentase (%) Industri Kecil Pangan yang mengimplementasikan/ tidak mengimplementasikan higiene

No.

Aspek Kegiatan

Ya Tidak 1. Pelatihan terhadap karyawan yang

menangani pangan 15,5 84,5

2. Pengendalian bahan baku dan bahan pembantu lain yang dipakai

25,5 74,5

3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan pangan (BTP)

30,0 70,0

4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan (higiene personil)

30,0 70,0

5. Pengendalian proses produksi dan peralatan produksi yang digunakan

40,0 60,0

6. Pengendalian dalam penanganan dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi

45,5 55,5

7. Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lain-lain)

40,0 60,0

8. Pengendalian hama 35,0 65,0 9. Pengendalian catatan/dokumen 20,0 80,0 (*) Sumber : Sudibyo dan Sumarsi, 2004.

Dari data dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa industri pangan

berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen

untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan

sistem manajemen HACCP secara komulatif baru mencapai 40%. Hal ini

menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan

berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan/kendala

dalam pengembangan dan penerapannya.

Secara umum berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al (2001) terhadap

industri pangan berskala menengah di Indonesia teridentifikasi bahwa program

keamanan pangan dan penerapan sistem keamanan pangan ditinjau dari aspek

GMP, sanitasi dan higiene, SOP, sistem HACCP dan pelatihan sistem keamanan

pangan belum dilaksanakan secara penuh sehingga industri pangan berskala

Page 22: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

37

menengah tersebut perlu dibina, diberdayakan dan ditingkatkan kinerjanya dalam

bidang keamanan pangan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka era globalisasi

dan perdagangan bebas, industri pangan dituntut untuk menghasilkan produk

pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi oleh konsumen, sehingga

mampu bersaing dengan produk pangan sejenis yang dihasilkan oleh industri

pangan dari luar.

D. PENERAPAN GMP SEBAGAI PERSYARATAN KELAYAKAN DASAR

DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP

Di dalam setiap industri pengolahan pangan yang akan menerapkan sistem

keamanan pangan model HACCP harus merencanakan, merancang/mendisain dan

mengimplementasikan suatu program persyaratan kelayakan dasar atau sering

disebut dengan istilah "prerequisite programs". Persyaratan kelayakan dasar

dapat diartikan sebagai suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan

pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene

maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar atau

prerequisite programs ini menurut Bernard dan Parkinson (1999) merupakan

suatu fondasi yang harus dan perlu dipenuhi oleh setiap industri pangan guna

menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu ditinjau dari aspek

keamanan dan kesehatan.

Konsep program persyaratan kelayakan dasar ini pertama kali berasal dan

dicetuskan oleh Agriculture and Agri-Food Canada's (AAFC) dalam rangka

program peningkatan keamanan pangan di Kanada dan mereka mendefinisikan

program persyaratan kelayakan dasar ini sebagai "suatu langkah-langkah universal

atau prosedur yang mengendalikan kondisi oprasional dalam suatu industri

pangan yang didirikannya guna memenuhi kondisi lingkungan tetap baik untuk

menghasilkan pangan yang aman" (Gombas dan Stevenson, 2000). NACMCF

(National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) (1998)

mendefinisikan program persyaratan kelayakan dasar sebagai "suatu prosedur

termasuk prosedur cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing

practice (GMP) yang ditujukan untuk menyediakan kondisi operasional dasar

sistem HACCP". Pada prinsipnya program persyaratan kelayakan dasar untuk

Page 23: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

38

sistem HACCP mencakup suatu program dan prosedur yang sudah harus tersedia

di dalam industri pangan yang didirikannya; termasuk juga didalamnya program

penerimaan bahan baku dan cara penyimpanannya, manajemen terhadap adanya

keluhan pelanggan/konsumen, kemampuan telusur bahan ingredien yang

digunakan hingga produk pangan dihasilkan serta program persetujuan untuk

pemasok (approved supplier) barang-barang yang masuk ke dalam perusahaan

industri pangan (Gombas dan Stevenson, 2000).

Menurut Bernard dan Parkinson (1999), program persyaratan kelayakan

dasar ini seperti halnya rancangan HACCP (HACCP Plan) sebaiknya

terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang

tertulis dan sebaiknya juga dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang

bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan

kelayakan dasar atau prerequisite programs ini jika diperlukan dapat

ditinjau/dikaji ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna

menjamin bahwa program yang didisain dan direncanakan, diimplementasikan

secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai

(NACMCF, 1998).

Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua

bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing

practice (GMP) dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation

standard operating procedure (SSOP). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan

yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang

berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan

pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau GMP. Pedoman penerapan

GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan

perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai

produksi pangan.

Menurut Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM,

1996), tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang

bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen,

baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan

GMP adalah : (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi

Page 24: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

39

pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer

sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman

dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi

berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas,

peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan

penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan

sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan.

Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar

untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara

produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari

penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi

persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang

dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau

meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara

internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan

kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri

pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik

dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak

bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti

kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai

cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi

pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan,

yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3)

Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap

pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996).

Standar prosedur operasi sanitasi atau sanitation standard operating

procedure (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program

persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan

menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang

sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan dan

dimandatorikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan

Page 25: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

40

berisiko tinggi seperti pada industri pengolahan ikan dan daging oleh US FDA

dan USDA (Katsuyama dan Jantschke, 1999).

Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang

perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan

sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC

(2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : Desain bangunan,

fasilitas dan peralatan produksi, Pengendalian proses produksi atau operasi

(Pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah,

pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan

rekaman, prosedur penarikan produk), Pemeliharaan (Maintenance) dan Sanitasi

(Pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian

hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan

pemantauan), Higiene/kebersihan personil/karyawan (Status kesehatan karyawan,

kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan

tamu/pengunjung), Transportasi (Persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya),

Informasi Produk dan Kesadaran (Identifikasi lot, informasi produk, labelling),

dan pendidikan konsumen; serta Pelatihan.

E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI

PANGAN

1. Definisi dan Terminologi HACCP

HACCP atau hazard analysis critical control point adalah suatu

pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi,

mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF,

1998). Pendekatan sistem manajemen keamanan pangan ini pertama kali dimulai

dalam tahun 1960-an oleh perusahaan industri pengolah pangan Pillsbury

company yang bekerja sama dengan NASA (National Aeronatics and Space of

America) untuk memasok/mensuplai produk pangan yang diperlukan oleh para

astronotnya dalam program ruang angkasanya (Stevenson, 1999). Konsep asli

awalnya sistem HACCP sendiri terdiri tiga prinsip, yaitu : prinsip pertama,

identifikasi dan pengkajian bahaya yang berhubungan dengan pemanenan hingga

penyediaannya; prinsip kedua, penentuan titik kendali kritis dan batas kritis untuk

Page 26: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

41

mengendalikan bahaya yang terdidentifikasi; dan prinsip ketiga, menetapkan

sistem prosedur untuk memantau titik kendali kritis (Bauman, 1995).

Selanjutnya, konsep sistem HACCP ini dari tiga prinsip diperluas oleh the

internasional commission on microbiological specifications for foods atau ICMSF

(1988) dan national advisory committee on microbiological criteria for foods atau

NACMCF (1989) menjadi tujuh prinsip. NACMCF membuat konsep sistem

HACCP menjadi lebih ringkas (concise), ada bagian yang dihilangkan, direvisi

dan penambahan definisi, termasuk bagian baru yang disebut sebagai program

persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs, adanya pendidikan dan

pelatihan, serta implementasi dan pemeliharaan rencana/rancangan HACCP-nya.

Sejak saat itu, HACCP telah diusulkan secara kuat sebagai sistem pendekatan

manajemen keamanan pangan yang efektif untuk pencegahan preventif bahaya-

bahaya keamanan pangan oleh kelompok-kelompok ilmuwan nasional dan

internasional, korporasi, lembaga pemerintah dan perguruan tinggi/universitas

serta lembaga penelitian dan pengembangan (Pierson, 1995). Selanjutnya, codex

alimentarius commission (CAC) yang tergabung dalam WHO/FAO dan

NACMCF merevisi dan memperhalus penjelasan prinsip-prinsip HACCP serta

memberikan suatu pedoman (guidelines) yang dapat digunakan dalam penerapan

prinsip-prinsip HACCP pada berbagai industri pengolahan pangan. Saat ini,

komisi gabungan Codex yang berasal dari WHO/FAO telah mengadopsi versi

terakhir pedoman penerapan sistem HACCP yang memasukkan gagasan

NACMCF (FAO/WHO, 1997).

Menurut Motarjeni et al (1996) dan Stevenson (1990), HACCP merupakan

sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara

preventif yang bersifat ilmiah, rasional, sistematis dan komprehensif dengan

tujuan mengidentifikasi, memantau atau memonitor dan mengendalikan bahaya

(hazard) mulai dari bahan baku, proses produksi/pengolahan, manufakturing,

penanganan dan penggunaan bahan pangan; untuk menjamin bahwa pangan

tersebut aman bila dikonsumsi. Dengan demikian, dalam sistem HACCP, bahan

atau materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan

ataupun yang dapat menyebabkan produk pangan tidak dikehendaki; diidentifikasi

dan dikaji dimana kemungkinan besar terjadinya kontaminasi atau kerusakan

Page 27: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

42

produk pangan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahap proses

pengolahan hingga sampai distribusi dan penggunaannya.

Sistem HACCP bersifat rasional atau logis, karena pendekatannya

didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul

(illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP dikatakan bersifat

sistematis, karena sistem HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta

meliputi kegiatan operasional tahap demi tahap, prosedur dan ukuran kriteria

tindakan pencegahan/pengendaliannya. Sedang sistem HACCP juga disebut

bersifat kontinyu, karena apabila ditemukan atau terjadi suatu masalah maka dapat

segera melaksanakan tindakan koreksi untuk memperbaikinya (Bryan, 1990).

Disamping itu, sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif, karena sistem

HACCP ini berkaitan erat dengan ramuan/ingredien pangan, proses pengolahan

dan tujuan penggunaan produk pangan selanjutnya (Stevenson, 1999).

Dalam beberapa kamus bahasa Inggris disebutkan bahwa istilah bahaya

(hazard) dan risiko (risk) kurang lebih hampir sama atau bersinonim. Dalam

istilah HACCP, bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu yang berpotensi

menyebabkan kerusakan atau bahaya. NACMCF (1997) dan CAC (1997)

mendefinisikan bahaya sebagai suatu agen biologis, kimia dan fisik yang

berpotensi menyebabkan sakit (illness) atau cedera (injury) sebagai akibat dari

tidak adanya pengendalian. Sedang risiko (risk) adalah peluang kemungkinan

terjadinya suatu bahaya.

Sampai saat ini sistem HACCP telah dan sedang dikaji untuk diadopsi atau

diterapkan dalam peraturan/hukum di beberapa negara. Di EU (European Union),

HACCP telah diadopsi melalui peraturan the Directive 93/43 pada tahun 1993

(Ziggers, 2000). Di Amerika Serikat, sistem HACCP telah dimandatorikan dalam

industri pengolahan ikan tahun 1995, untuk industri daging dan ternak unggas

pada tahun 1998 dan untuk industri pembuatan sari buah (juice) pada tahun 2001

(FDA, 2001). Di Indonesia, melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah

memutuskan untuk mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System :

Guidelines for application) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya

dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman Penerapannya) dan telah

menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 tentang panduan

Page 28: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

43

penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACC

P (Suprapto, 1999).

Menurut Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (1996), dinyatakan bawa

tujuan umum HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara

mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan, sedang

tujuan khusus HACCP adalah : (1) Mengevaluasi cara memproduksi pangan

untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, (2) Memperbaiki

cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahap-

tahap proses yang dianggap kritis, (3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara

penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi

pangan, dan (4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh

operator dan karyawan. Disamping itu, HACCP sangat berguna bagi industri

pangan, yaitu dalam hal : mencegah penarikan produk, mencegah penutupan

pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk pangan, pembenahan dan

pembersihan pabrik, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan

kepercayaan konsumen dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang

mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan.

2.Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan

Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical

control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut :

(CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999) : (1) Analisis bahaya dan

penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin

timbul/terdapat pada bahan pangan , mulai dari pemanenan bahan mentah dan

ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2)

Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik,

proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan

risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus

dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan

prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan

tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki

sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan

Page 29: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

44

pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record-

keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7)

Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah

berjalan dengan baik.

Untuk menerapkan dan mengembangan sistem HACCP dalam industri

pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah

perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri

pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan

kelayakan dasar sistem HACCP. Adanya komitmen dan manajemen

kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen

puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan

harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang

dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan

manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil

dilaksanakan.

Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat

penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab

manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan

cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP)

termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991). Salah satu buku petunjuk yang

dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP ini di Indonesia adalah

buku "pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik" oleh Departemen

Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996). Aspek-aspek yang

perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan

fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir,

keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan

program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan,

manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk

(recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan.

Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard

Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar

NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan secara ringkas pada Tabel 9.

Page 30: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

45

Tabel 9. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) (*)

No. Kegiatan yang dilakukan untuk penerapan dan pengembangan sistem HACCP

Keterangan

1. Penyusunan tim HACCP dan penentuan lingkup penerapan sistem HACCP

Langkah pendahuluan pertama

2. Penyusunan deskripsi produk dan metode distribusinya Langkah pendahuluan kedua

3. Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk pangan

Langkah pendahuluan ketiga

4. Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap Langkah pendahuluan keempat

5. Verifikasi diagram proses produksi (on-site) di lapangan Langkah pendahuluan kelima

6. Penyusunan dan penentuan semua bahaya yang berkaitan dengan setiap langkah proses atau pembuatan tabel analisis bahaya dan penentuan tindakan untuk pengendaliannya

Prinsip HACCP pertama

7. Penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP)

Prinsip HACCP kedua

8. Penentuan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga 9. Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP Prinsip HACCP

keempat 10. Penyusunan rencana tindakan koreksi untuk setiap

kemungkinan penyimpangan atau ketidaksesuaian Prinsip HACCP kelima

11. Penyusunan prosedur perekaman dan dokumentasi sistem HACCP

Prinsip HACCP keenam

12. Penyusunan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP ketujuh

(*) Sumber : NACMCF (1997) dan CAC (1997).

Langkah-langkah 1 sampai dengan 5 pada Tabel 9 tersebut merupakan

langkah pendahuluan penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Dalam hal

ini, perusahaan industri pengolah pangan perlu menyusun tim HACCP terlebih

dahulu. Tim bisa berjumlah 3-5 orang atau lebih (tergantung besar kecil dan ruang

lingkup kegiatan industri pangan) dan tim ini sebaiknya berasal dari berbagai

disiplin ilmu serta pernah mendapat pelatihan sistem HACCP. Anggota tim

HACCP tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi,

pengendalian mutu atau quality control (QC), jaminan mutu atau quality

assurance (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), penelitian dan

pengembangan atau research and development (R & D) serta sanitasi. Tim

HACCP merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan

Page 31: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

46

pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan

masukan atau input dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem

HACCP secara efektif dan benar. Bila tim belum pernah mendapat pelatihan

sistem HACCP, sebaiknya diberi pelatihan terlebih dahulu baik melalui program

pelatihan di luar perusahaan (eksternal) ataupun pelatihan di dalam perusahaan

(internal). Tujuannya supaya anggota tim HACCP tersebut mampu dan kompeten

menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP dalam perusahaan industri

pangan yang bersangkutan. Bila perlu dapat juga memanfaatkan jasa konsultan

(tenaga ahli) yang sudah berpengalaman dalam menerapkan dan mengembangkan

sistem HACCP.

Deskripsi produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan dan cara

distribusinya diusahakan disusun secara lengkap (langkah pendahuluan ke-2) dan

didiskusikan oleh anggota tim HACCP. Deskripsi produk mencakup : nama

produk, bahan baku, uraian singkat proses pengolahan, pengemasan, daya simpan

atau keawetan produk, sistem penjualan, instruksi pada label, metode distribusi,

target pengguna, serta informasi lain yang sekiranya diperlukan. Sedangkan

deskripsi tujuan penggunaan produk perlu dijelaskan, misalnya dikonsumsi

langsung (ready-to-eat atau ready-to-drink), dimasak terlebih dahulu, dan

sebagainya.

Langkah pendahuluan selanjutnya adalah penyusunan diagram alir proses

produksi pada industri pangan secara lengkap. Diagram alir proses ini harus

dibuat lengkap dari penerimaan bahan di pabrik, bahan penolong untuk keperluan

pengolahan pangan, dan bahan pengemas yang dipakai sampai dengan

penyimpanan produk dan distribusinya. Kemudian, diagram alir proses harus

diverifikasi di lokasi proses produksi agar mencerminkan keadaan/kondisi yang

ada di lapangan (NACMCF, 1999).

Langkah berikutnya adalah penerapan prinsip-prinsip HACCP mulai dari

prinsip pertama HACCP sampai dengan prinsip ketujuh HACCP. Langkah

penerapan prinsip pertama adalah tim HACCP yang dibentuk menganalisis dan

mendaftar semua potensi bahaya (biologis, kimia, fisik) yang mungkin timbul

pada setiap titik/tahap proses pengolahan pangannya beserta menentukan cara

pencegahan/pengendaliannya (preventive measure). Menurut NACMCF (1999)

Page 32: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

47

ataupun CAC (1997). Tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk

mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata

(signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara

efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu :

identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya.

Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore

dan Wallace (1995) adalah perangkat biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat

menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat

menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of

Microbiological Specifications for Food (ICMSF, 1992) membagi bahaya biologi

berdasarkan tingkat risiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar,

grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang

ditimbulkannya berpotensi untuk meyebar, dan grup III yang mempunyai tingkat

bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya

mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Bahaya mikrobiologis (mikroba, virus dan parasit) yang dibagi berdasarkan

risiko keparahan bahayanya (*). Bahaya Tinggi (Grup I) Bahaya Sedang , Potensial

menyebar (Grup II) Bahaya Sedang, Terbatas Penyebarannya (Grup III)

Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F

Listeria monocytogenes Bacillus cereus

Shigella dysenteriae Salmonella sp Campylobacter jejuni Salmonella typhii, paratyphy A, B

Shigella sp Clostridium perfringens

Virus Hepatitis A dan E Enterovirulent Escherichia coli (EEC)

Staphyloccus aureus

Brucella abortis; B. suis Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae, non O1 Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum (*) Sumber : ICMSF (1992).

Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua

macam, yaitu yang secara alami terjadi dan kedua bahan kimia yang ditambahkan

dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari

residu/kontaminan dari bahan yang bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan

produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat

Page 33: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

48

dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan

selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk,

antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan

misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna,

penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah

nilai gizi dan lain-lain. Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat

dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Bahan kimia berbahaya pada pangan (*)

Sumber Bahan Kimia Jenis Bahan Kimia Berbahaya Terbentuk secara tidak sengaja - Mikotoksin

- Skrombotoksin (histamin) - Ciguatoksin - Toksin jamur - Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP) - Alkaloid pirolizidin - Fitohemaglutinin - PCB (polychlorinated biphenyl)

Ditambahkan secara sengaja atau tidak sengaja

- Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan

- Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida) - Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit),

perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis

- Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis cat.

(*) Sumber : Fardiaz (1996).

Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang

secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit

(termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber

bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material

gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik dapat dilihat pada

Tabel 12. Selain bahaya fisik di atas, bahaya fisik lainnya meliputi rambut,

kotoran, kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992).

Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada

kenyataannya memberikan risiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya

memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar,

kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan pangan/

makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh

konsumen (Thaheer, 2005).

Page 34: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

49

Tabel 12. Material utama yang menyebabkan bahaya fisik (*)

Material Bahaya Potensial Sumber Gelas Terpotong, berdarah, luka dan

mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Botol, wadah, lampu, peralatan pengolahan

Kayu Terpotong, infeksi, tercekik dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Pallet, boks, gedung, pohon/ ranting

Batu/kerikil Tercekik, gigi patah Lapangan, gedung Logam Terpotong, infeksi, mungkin perlu

operasi untuk menghilangkannya Mesin pengolahan lapangan, kawat, pekerja

Serangga dan kotorannya Penyakit, trauma psikologis dan tercekik

Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, gudang

Bahan insulasi Tercekik, penggunaan asbes dalam waktu lama

Material bangunan

Potongan tulang Tercekik, trauma Lapangan, proses pengolahan (pemisahan tulang yang tidak benar)

Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Lapngan, bahan pengemas, pallet, pekerja

Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lain-lain)

Tercekik, terpotong, gigi patah dan mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya

Pekerja/karyawan

Sisik, kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar

(*) Sumber : Corlett (1992)

Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara

mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang

yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya

oleh tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang

tentang : bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas

yang dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan

untuk membuat/ menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi,

serta tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya. Sedang

evaluasi bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut

dievaluasi berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya

menyebabkan sakit atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya

tersebut (Bernard et al, 1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai

dasar penyediaan informasi penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical

control point).

Untuk menentukan risiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya

pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori risiko. Kategori

risiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F

Page 35: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

50

disajikan pada Tabel 13, sedang penetapan kategori risiko produk dapat dilihat

pada Tabel 14.

Tabel 13. Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan (*) Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya

Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok berisiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised)

Bahaya B Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik

Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik

Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan

Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya

Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik

(*) Sumber : NACMCF (1995)

Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk (*)

Produk Berisiko Tinggi Produk Berisiko Sedang Produk Berisiko Rendah . Produk-produk yang mengandung ikan, telur,

sayur, serealia dan/atau ingredien susu yang perlu direfrigerasi

. Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia dan atau ingredien atau penggantinya dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene makanan

. Produk asam (nilai pH di bawah 4,6) seperti pikel, buah-buahan, konsentrat buah, sari buah dan minuman asam

. Daging, ikan mentah dan produk-produk olahan

susu

. Sandwich dan kue pies daging untuk konsumsi segar

. Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas

. Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau di atasnya yang disterilisasi dalam wadah yang tertutup secara hermetis

. Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads, mayones dan dressing

. Selai (jam), marmelade dan conserves

. Produk-produk konfeksioneri berbasis gula

. Minyak dan lemak (*) Sumber : NACMCF (1995).

Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku,

ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on

Microbiological Criteria for Foods (1995) mengelompokkan kategori risiko

Page 36: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

51

bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori risiko I sampai dengan VI seperti

yang tercantum pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan (*)

Karakteristik Bahaya Kategori Risiko

Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F (+) I Mengandung satu bahaya B sampai F

(++) II Mengandung dua bahaya B sampai F (+++) III Mengandung tiga bahaya B sampai F

(++++) IV Mengandung empat bahaya B sampai F (+++++) V Mengandung lima bahaya B sampai F

A+ (Kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya B-F

VI Kategori risiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)

(*) Sumber : NACMCF (1995).

Setelah bahaya-bahaya tersebut teridentifikasi, dengan menggunakan

petunjuk yang disebut "diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis"

(Gambar 2), maka tim HACCP dapat menentukan pada tahap atau titik mana yang

ditetapkan sebagai titik kendali kritis atau CCP (critical control point). NACMCF

(1999) dan CAC (1997) mendefinisikan titik kendali kritis atau CCP sebagai suatu

titik lokasi/tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan penting

untuk mencegah atau mengeliminasi atau mengurangi bahaya keamanan pangan

hingga tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pada tahap produksi pangan

yang dapat dikatakan sebagai CCP misalnya : proses thermal, pendinginan

(chilling), pembekuan (freezing), pengujian ingredien untuk residu bahan kimia,

pengendalian formulasi produk, dan pengujian produk terhadap kontaminasi

logam. Oleh karena itu, CCP harus dikembangkan dan didokumentasikan dengan

baik oleh tim HACCP.

Setelah CCP ditetapkan, tim HACCP pada industri pangan harus

menetapkan batas kritisnya, karena batas kritis pada titik kendali kritis atau CCP

menujukkan batas keamanan pangan. NACMCF (1999) mendefinisikan batas

kritis sebagai nilai toleransi maksimal dan/atau minimal parameter biologi, kimia

atau fisik yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk mengendalikan bahaya

tersebut pada CCP secara efektif sampai tingkat yang dapat diterima. Beberapa

Page 37: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

52

contoh batas kritis yang perlu ditetapkan dan harus dipenuhi sebagai alat tindakan

pengendalian/pencegahan bahaya dalam industri pengolahan pangan misalnya

adalah : suhu dan waktu maksimal yang ditetapkan untuk proses kecukupan

thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendingin-an/pembekuan, jumlah

maksimal residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan, pH

maksimal yang diperkenankan pada tahap proses formulasi bahan dan batas

maksimal penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang digunakan dalam

proses produksi pangan.

Page 38: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

53

* ) Identifikasi bahaya dalam menggambarkan proses ** ) Tingkatan yang dapat diterima & tidak dapat diterima yang diperlukan didefinisikan dalam

semua tujuan mengidentifikasi CCP dalam rencana HACCP Gambar 2. Diagram alir bagan penentuan titik kendali kritis atau CCP (Sumber : BSN,

1998; Codex Alimentarius Commission/CAC, 1997)

Ya

Apakah ada tindakan pengendalian terhadap bahaya yang diidentifikasi ?

Apakah pengendalian pd langkah ini perlu untuk pengamanan ?

Bukan CCP

Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk

Apakah langkah tsb dirancang khusus/ spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yg mungkin terjadi sampai ke tingkat yg dapat diterima ? (**)

Dapatkah kontaminasi dgn bahaya yg teridentifikasi terjadi melebihi batas yg dpt diterima atau dapatkah ini meningkat/ berkembang sampai tingkatan yg tdk dapat diterima ?

Bukan CCP

Apakah langkah/tahapan berikutnya dpt menghilangkan bahaya yg teridentifikasi atau mengurangi tingkatan kemungkinan terjadinya bahaya sampai ke tingkat yg dpt diterima ? **)

Titik Kendali Kritis (CCP)

Bukan CCP

Ya

Ya

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Berhenti *)

Berhenti *)

P1

P2

P3

P4 Berhenti *

Page 39: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

54

Langkah penerapan selanjutnya adalah pemantauan (monitoring) terhadap

titik kendali kritis dan batas kritisnya. Monitoring/pemantauan menurut

NACMCF (1999) merupakan rencana pengawasan dan pengukuran

berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dan batas kritisnya dalam

keadaan terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan

dalam tahap verifikasi berikutnya. Kegiatan monitoring ini mencakup : (1)

Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat

dikendalikan dengan baik; (2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap

efektifitas suatu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya; dan (3)

Pengukuran dan pengamatan batas kritis untuk memperoleh data yang teliti

dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat

menjamin keamanan produk (Corlett, 1991).

Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi oleh

tim HACCP agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan

produk pangan masih dalam batas kritisnya dan menjamin tidak ada bahayanya.

Idealnya, pemantauan/monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga

dicapai tingkat kepercayaan 100% sehingga efektif dalam memberi jaminan

keamanan pangan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Namun bila hal ini

tidak memungkinkan, dapat dilakukan pemantauan secara tidak kontinyu dengan

syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga

keamanan benar-benar terjamin.

Kegiatan pemantauan/monitoring terhadap CCP dan batas kritisnya

mencakup, yaitu : apa (what) yang dipantau, dimana (where) tempat dilakukan

pemantauan, bagaimana (how) cara melakukan pemantauan, kapan (when)

pemantauan dilakukan dan siapa (who) orang yang melaksanakan tindakan

pemantauan (Gombas et al, 2000).

Langkah penerapan berikutnya adalah menerapkan prosedur untuk

melakukan tindakan koreksi (corrective action) apabila pada CCP tersebut terjadi

penyimpangan (bias). Menurut NACMCF (1999) dinyatakan bahwa tindakan

koreksi sebaiknya mencakup beberapa unsur sebagai berikut : (a) Penentuan dan

pengoreksian penyebab terjadinya ketidaksesuaian (non-compliance), (b)

Penentuan disposisi produk yang tidak sesuai atau tidak memenuhi standar proses

Page 40: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

55

yang ditetapkan sehingga tidak mengakibatkan potensi bahaya baru, dan (c)

Pencatatan dan pendokumentasian terhadap tindakan koreksi yang telah diambil

dengan tujuan untuk memodifikasi suatu proses atau pengembangan lainnya.

Langkah penerapan selanjutnya adalah menerapkan prosedur pencatatan

dan pendokumentasian sistem HACCP yang efektif. Dokumentasi dan rekaman

sistem HACCP sangat penting bagi industri pangan untuk keperluan kaji ulang

(review) penerapan sistem HACCP dan bagi auditor keamanan pangan untuk

mengetahui apakah rancangan HACCP-nya sudah diterapkan secara efektif dan

konsisten dalam operasionalnya.

Dokumen-dokumen dan rekaman-rekaman sistem HACCP yang

diperlukan untuk keperluan audit keamanan pangan mencakup : susunan tim

HACCP yang telah disahkan oleh pimpinan manajemen perusahaan, deskripsi

produk yang dibuat termasuk penggunaannya, diagram alir dan denah area

produksi, tabel analisis dan identifikasi bahaya, tabel penentuan CCP (critical

control point), tabel pengendalian sistem HACCP, instruksi kerja CCP, rekaman

pemantauan lainnya dan daftar amandemen atau perubahan dokumen.

Langkah penerapan berikutnya adalah tim HACCP melakukan kegiatan

verifikasi terhadap sistem HACCP. Kegiatan verifikasi tim HACCP dalam

industri pangan dapat dilakukan dengan cara mengaji ulang dan audit untuk

mencek terhadap metode, prosedur, cara uji, cara analisis dan lain-lain yang

dipraktekan di lapangan untuk mengetahui apakah sistem HACCP sudah sesuai

dengan rancangan HACCP (HACCP Plan) yang sudah disusun dan

beroperasi/bekerja dengan efektif dan benar (NACMCF, 1999). Verifikasi

menurut SNI 01-4852-1998 adalah penerapan metode, prosedur, pengujian, dan

cara pendataannya, disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan

rencana HACCP (HACCP Plan). Dalam panduan HACCP yang dikeluarkan oleh

Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998

memasukkan validasi ke dalam bagian dari verifikasi. Sementara itu, dalam

standar ISO 22000 : 2005, verifikasi disebutkan sebagai konfirmasi melalui

penyediaan bukti obyektif bahwa suatu persyaratan khusus telah terpenuhi.

Sedang, validasi ditegaskan sebagai konfirmasi melalui penyediaan bukti obyektif

Page 41: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

56

bahwa persyaratan bagi penggunaan khusus atau penerapan telah mampu

dipenuhi.

Verifikasi yang dilakukan oleh tim HACCP mencakup berbagai kegiatan

evaluasi terhadap rancangan dan penerapan sistem HACCP, yaitu : penetapan

jadwal verifikasi yang tepat, peninjauan kembali (review) rancangan HACCP,

pemeriksaan dan penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya,

pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang

harus dilakukan, pengambilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau

mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis; catatan tertulis

mengenai kesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap

rancangan dan tindakan koreksi/perbaikan yang dilakukan; validasi rancangan

HACCP, termasuk pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP serta pemeriksaan

kembali modifikasi rancangan HACCP (Corlett, 1991). Selain itu, verifikasi oleh

tim HACCP dilakukan dengan cara melakukan audit internal dan kaji ulang

manajemen atau management review.

Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat

tertentu, yaitu : (a) secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP

yang ditetapkan masih dapat dikendalikan; (b) jika diketahui bahwa produk

tertentu memerlukan perhatian khuus karena informasi terbaru tentang keamanan

pangan; (c) jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab

terjadinya keracunan pangan; dan (d) jika kriteria yang ditetapkan dalam

rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau jika ada saran/rekomendasi dari

instansi yang berwenang dan kompeten di bidang keamanan pangan.

F. KENDALA DALAM PENERAPAN SISTEM HACCP

Penerapan sistem HACCP dalam industri pangan memerlukan perubahan

sistem manajemen operasional yang harus diikuti oleh seluruh staf organisasi

perusahaan. Untuk mencapai keberhasilan penerapan sistem HACCP, program-

program HACCP memerlukan dukungan yang tepat dan sistem manajemen yang

baik, karena program HACCP tidak bekerja secara otomatis (Stevenson dan

Bernard, 1999). Namun demikian, terdapat bukti bahwa penerapan sistem

HACCP dalam industri pangan mempunyai beberapa kendala dalam

Page 42: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

57

penerapannya. Kendala-kendala dalam penerapan sistem HACCP dalam industri

pangan dapat mencakup : kurangnya manajemen komitmen, hambatan mental

(psikologis), hambatan oraganisasi, biaya yang dikeluarkan untuk implementasi

dan operasional sumber daya sistem HACCP, pengalokasian waktu dan adanya

pemahaman konsep yang salah (misconception) tentang sistem HACCP.

1. Kurangnya Komitmen Manajemen

Program HACCP tidaklah berbeda dengan program-program manajemen

lainnya, yakni menyangkut adanya komitmen dalam pengelolaan sumber daya

manusia dan sumber daya lainnya sehingga hasilnya akan terlihat selama

penerapannya (Stevenson dan Bernard, 1999). Oleh karena itu, kurangnya

manajemen komitmen dari pihak pimpinan manajemen dapat memunculkan

masalah-masalah dan kegagalan dalam praktek penerapan sistem HACCP. Tanpa

adanya dukungan dan komitmen dari individu-individu yang terlibat dalam sistem

HACCP, menyebabkan sistem HACCP akan menjadi tidak dipraktekan dengan

baik dan HACCP tidak akan mencapai sasaran sesuai yang diharapkan sebagai

program keamanan yang dijanjikan (Mayes, 1994). Dengan demikian, agar sistem

HACCP berhasil diterapkan dalam industri pangan, harus ada komitmen yang

jelas terhadap keamanan pangan dan konsep atau filosofi sistem HACCP.

Perlu diketahui bahwa pengorganisasian dan pengelolaan program

HACCP, pihak manajemen harus komitmen untuk menyediakan dan

mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup melalui pendidikan dan

pelatihan bagi penyelia (supervisor), karyawan pabrik dan personil yang

bertanggung jawab di bidang teknis tentang fungsi dan peran mereka dalam sistem

HACCP. Penting untuk dicatat/diperhatikan bahwa komitmen manajemen ini

sebagai proses yang terus berjalan (Woody et al, 1999). Bahkan setelah awal

periode pelatihan sistem HACCP, pelatihan tambahan lain yang diperlukan untuk

pengembangan dan penerapan HACCP perlu diidentifikasi dan dilakukan.

Misalnya, untuk karyawan yang bukan anggota tim HACCP, tetapi karyawan

tersebut mempunyai tanggung jawab untuk memantau CCP, melakukan prosedur

tindakan koreksi bila ada penyimpangan dan menyimpan hasil rekamannya.

Karyawan tersebut perlu diberi pelatihan agar memahami dan mengerti tidak

Page 43: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

58

hanya apa tanggung jawabnya tetapi juga mengapa tanggung jawab tersebut

penting dan dibebankan kepada karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu,

pihak manajemen harus komit terhadap penyediaan waktu dan sumber daya yang

diperlukan sebelum pelatihan secara formal sistem HACCP dilakukan. Komitmen

manajemen ini harus dipelihara atau dijaga dalam rencana pengembangan sistem

HACCP dan penerapannya, serta pengkajian kembali rencana HACCP yang sudah

disusun bila program HACCP itu ingin berhasil diterapkan.

2. Hambatan Mental (Psikologis)

Hambatan mental atau psikologis biasanya ditemui terhadap para peserta

seminar atau pelatihan pada saat pengenalan sistem HACCP melaui seminar atau

pelatihan, karena mereka beranggapan dan berpikir bahwa mereka akan

mendapatkan kesulitan dalam menerapkan sistem HACCP dalam perusahaan

industri pangannya. Mereka biasanya mempunyai perasaan pesimis dengan

kondisi realistik perusahaan yang ada saat ini yang tidak memungkinkan untuk

menerapkan sistem HACCP, bila kondisi perusahaan tidak didukung oleh pihak

manajemen, misalnya perlu adanya penggantian peralatan baru untuk mendukung

sistem HACCP, masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang

sistem HACCP; dan standar prosedur operasi (SOP), instruksi kerja dan lembar

catatan kerja belum dibuat. Disamping itu, hambatan psikologis lainnya adalah

kurangnya dukungan sumber keuangan dan daya beli perusahaan (Jouve, 1994),

lebih kompleksnya praktek dalam penanganan pangan (Sheppard et al, 1990) dan

kurangnya tenaga ahli di bidang teknik/rekayasa/proses dan personil dibidangnya

(Stevenson, 1990), sehingga semua hal tersebut dikatakan sebagai hambatan

mental (psikologis) dalam pengembangan sistem HACCP di industri pangan.

Namun demikian, persepsi mereka terhadap sistem HACCP menjadi gugur,

karena mereka pada prinsipnya belum memahami sistem HACCP secara jelas.

Setelah karyawan dan staf diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan

dengan pemahaman sistem HACCP (termasuk definisi/terminologi, filosofi,

prinsip-prinsip, keuntungan dan penerapan HACCP dalam perusahaan industri

pangan), pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja serta

program kelayakan dasar, maka mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih

Page 44: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

59

perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan karena dirasakan dapat lebih

menjamin keamanan produk pangannya.

3. Hambatan Organisasi

Pada awalnya, umumnya industri pangan tidak mengenal sebelumnya

suatu struktur organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk menerapkan

sistem HACCP guna menjamin keamanan pangan produk yang dihasilkan.

Perusahaan industri pangan hanya mengenal suatu organisasi fungsional sesuai

dengan kebutuhan perusahaan industri pangan. Padahal salah satu keuntungan

sistem HACCP adalah kenyataan bahwa manajemen dalam industri pangan perlu

program organisasi standar yang bertanggung jawab terhadap keamanan pangan

yang mencakup sebagai berikut : bagian penjamin mutu dan keamanan pangan

atau bagian pengendalian mutu; bagian pendidikan dan pelatihan tentang sistem;

pengendalian proses yang ditujukan pada CCP; perbaikan mutu dan keamanan;

inspeksi selama proses produksi dan pengendalian CCP, inspeksi terhadap bahan

baku dan pengujiannya; pengujian produk akhir serta pengendalian dokumen dan

penyimpnan data rekaman.

Namun demikian, tidak berarti bahwa organisasi fungsional tidak dapat

mengelola bagian-bagian tersebut, karena dalam kenyataannya bahwa tugas-tugas

tersebut dapat didisain dan dibangun dengan baik pada setiap departemen yang

sesuai dengan lingkup tanggung jawab tugasnya. Menurut hasil studi Henson et al

(1999), dinyatakan bahwa persoalan mendasar dalam menerapkan dan

mengoperasikan sistem HACCP yang sering dijumpai adalah berkaitan dengan

penempatan personil/karyawan atau staffing. Hal ini disebabkan oleh : Pertama,

perlu adanya pelatihan kembali karyawan terutama personil di tingkat penyelia

(supervisor) dan ditingkat manajerial. Kedua, motivasi karyawan, tidak hanya

termasuk di bagian produksi saja tetapi juga personil di bagian supervisor atau

manajerial.

4. Hambatan Dalam Biaya Implementasi Dan Operasi Sistem HACCP

Untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP dalam industri

pangan memerlukan biaya yang cukup besar tidaklah dipungkiri, karena adanya

Page 45: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

60

beberapa perbaikan dalam sistem yang memerlukan biaya guna mendukung

keberhasilan penerapan sistem HACCP. Pertanyaanya adalah apa saja yang

memerlukan biaya besar untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP?

Menurut hasil penelitian Henson et al (1999) dinyatakan bahwa biaya besar utama

untuk menerapkan dan mengoperasikan sistem HACCP terdiri dari atau mencakup

: biaya untuk konsultan dari luar, biaya investasi untuk peralatan baru, biaya untuk

pendidikan dan pelatihan karyawan, biaya untuk perubahan manajerial, biaya

untuk perubahan struktur pada pabrik dan biaya yang dikeluarkan untuk

menyelesaikan pembuatan dokumen sistem HACCP.

5. Konsepsi Yang Salah Tentang Sistem HACCP

Kendala lain yang membatasi dalam penerapan dan pengoperasian sistem

HACCP adalah adanya sejumlah kontroversi yang timbul dari konsepsi yang salah

tentang sistem HACCP. Bila konsepsi yang salah ini berlanjut hingga bertahan

lama akan dapat merusak reputasi HACCP dan akan membahayakan

keuntungannya terhadap masyarakat (Motarjemi dan kaferstein, 1999). Oleh

karena itu, sangat penting sekali untuk diklarifikasi tentang konsep yang salah ini

pada saat sistem HACCP ini sedang diperkenalkan.

Menurut Motarjemi dan Kaferstein (1999), beberapa konsepsi yang salah

yang perlu diklarifikasi adalah sebagai berikut : Pertama, HACCP dianggap

sebagai suatu metode baru yang menggantikan metode yang sebelumnya sudah

ada untuk menjamin keamanan pangan yang berdasarkan aplikasi cara praktek

higiene yang baik atau good hygiene practice. Meskipun hal tersebut memang

benar bahwa metode tradisional diketahui mempunyai kelemahan dan perbedaan

yang tajam dalam pendekatannya ke arah jaminan keamanan pangan, HACCP

tidak bisa mengganti metode tersebut. Dalam hal ini sistem HACCP dikenal

sebagai pelengkap (komplemen) metode tradisional tersebut dengan cara : (a)

Mengidentifikasi beberapa tindakan pengendalian tambahan atau yang bersifat

khusus pada pangan atau adanya pertanyaan pada saat sedang beroperasi, (b)

Menempatkan penekanan tambahan pada beberapa titik cara praktek higiene yang

baik dan bersifat sangat penting atau adanya operasi yang sedang dipertanyakan

dan perlu dipantau secara ketat, dan (c) Mengamati pengukuran tindakan koreksi

Page 46: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

61

bila hasil pemantauan menunjukkan terjadinya hilang kendali atau lepas kendali

dan (d) Dengan memberi lebih banyak pelatihan dan tanggung jawab kepada

operatornya.

Kedua, penerapan sistem HACCP dalam industri pangan cukup kompleks

dan mencakup sejumlah dokumentasi dan penyimpanan catatan hasil perekaman

yang banyak. Biasanya setiap sistem baru awalnya kelihatan rumit, khususnya bila

personil-personil yang berkenaan menangani dengan hal tersebut tidak diberi

pelatihan secara tepat atau bila pendekatan yang digunakan untuk pelatihan belum

diadopsi. Dalam pengenalan sistem HACCP kepada perusahaan industri pengolah

pangan, sebaiknya dan penting untuk diperhatikan jangan membuat bingung

peserta pelatihan sehingga perlu penyedehanaan konsep serta menerangkan

kebutuhan dan keuntungan sistem HACCP untuk keprluan bisnis perusahaannya.

Pada tahap awal, penekanan sebaiknya difokuskan pada lima langkah/tahap

prinsip HACCP yang membuat sistem benar-benar berbeda dalam konteks

keamanan pangan. Kemudian perusahaan industri pangan perlu menyadari

kebutuhan adanya program verifikasi, penyimpanan rekaman (catatan) dan

dokumentasi. Dengan demikian, dokumen sistem HACCP tersebut perlu dilihat

sebagai alat bukti penjamin keamanan pangan yang memadai dari pada sekedar

hanya memenuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah saja.

Ketiga, penerapan sistem HACCP perlu dukungan suatu sumber daya yang

besar. Memang benar, pada tahap awal penerapan, penerapan sistem HACCP

memerlukan sumber daya tambahan selain sumber daya yang sudah tersedia di

perusahaan industri pangan, misalnya : untuk pelatihan personil/karyawan

perusahaan, dukungan bagian teknisi untuk menjaga sistem keamanan dan

kemungkinan adanya penambahan peralatan dan bahan tambahan lain yang baru.

Tetapi, dalam jangka panjang adanya investasi baru untuk mendukung sumber

daya, peralatan dan bahan tambahan lain tersebut akan kembali terbayar dengan

menurunnya biaya untuk kasus penarikan produk yang terkontaminasi, perbaikan

dalam keamanan pangan, makin tingginya kepercayaan pelanggan terhadap

produk yang dihasilkan, dan berkurangnya keluhan dari pelanggan.

Keempat, penerapan sistem HACCP pada industri menengah-kecil pangan

tidak memungkinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan industri pangan

Page 47: A. BAHAN DAN PROSES PRODUKSI PEMBUATAN MI KERING … 3... · MenKes/Per/IX/88 tentang BTP dinyatakan bahwa batas maksimal penggunaan natrium karbonat dan kalium karbonat ditetapkan

62

skala menengah-kecil pada umumnya mempunyai kesulitan dalam menerapakan

sistem HACCP. Beberapa permasalahan tersebut adalah : karena kurangnya

tenaga ahli teknis-teknologis, terutama yang berkenaan dengan personil yang bisa

melakukan analisis bahaya dan pemantauan secara tepat; makin besarnya perasaan

ketidaknyamanan mereka dalam menyimpan catatan hasil rekaman dan

dokumentasi, cepatnya karyawan perusahaan yang sering pindah ke perusahaan

lain dan makin besarnya berbagai jenis pangan yang mereka sediakan.

Menurut Jouve (1994), masalah utama yang dihadapi oleh indutri

menengah-kecil pangan dalam menerapkan sistem HACCP adalah berkaitan

dengan semakin kecilnya sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan untuk

keperluan persiapan penerapan sistem HACCP (misalnya : biaya potensial

penerapan sistem HACCP relatif lebih besar dibandingkan dengan tingkat

kembalinya modal yang diinvestasikan; ketidakmampuan dan daya beli

perusahaan yang rendah untuk mengusahakan kecukupan penerapan HACCP

berpengaruh terhadap pengembangan sistem HACCP; ketidakcukupan

tersedianya sumber daya teknis, yaitu : tenaga teknis dan data ilmiah yang tepat,

kurangnya tenaga ahli khusus di bidang teknologi, mikrobiologi, kimia pangan

yang berkontribusi terhadap studi HACCP; serta terbatasnya waktu untuk

mendapatkan personil yang ahli untuk mengembangkan sistem HACCP.