a anisa kti bejo
TRANSCRIPT
PENGARUH TERAPI ANTIBIOTIKA TERHADAP KADAR HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2)
Kajian Pada Saliva Neonatus dengan Risiko Sepsis di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin
Periode Agustus – Oktober 2010
Karya Tulis IlmiahDiajukan guna memenuhi sebagian syarat
untuk memperoleh derajat Sarjana KedokteranUniversitas Lambung Mangkurat
Oleh :Anisa Ikawati
I1A007076
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATFAKULTAS KEDOKTERAN
BANJARBARU
Desember, 2010
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam karya tulis ilmiah ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Banjarbaru, 3 Desember 2010
Anisa Ikawati
ii
Karya Tulis Ilmiah oleh Anisa Ikawati iniTelah diperiksa dan sisetujui untuk diseminarkan
Banjarbaru, 3 Desember 2010Pembimbing Utama
dr. Ari Yunanto, Sp. A (K), SHNIP. 19521124 197904 1 001
Banjarbaru, 3 Desember 2010Pembimbing Pendamping
Drs. Eko Suhartono, M. SiNIP. 19680907 199303 1 004
iii
ABSTRAK
PENGARUH TERAPI ANTIBIOTIKA TERHADAP KADAR HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2), KAJIAN PADA SALIVA NEONATUS DENGAN
RISIKO SEPSIS DI RUANG PERINATOLOGIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN BANJARMASIN
PERIODE AGUSTUS-OKTOBER 2010
Anisa Ikawati
Sepsis neonatal merupakan suatu infeksi berat akibat bakteri yang menyebar ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada sepsis neonatal diduga kadar hidrogen peroksidase (H2O2) pada saliva akan lebih tinggi setelah pemberian antibiotika dibandingkan dengan sebelum pemberian antibiotika. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh terapi antibiotika terhadap kadar H2O2
pada saliva neonatus dengan risiko sepsis di Ruang Perinatologi RSUD Ulin periode agustus-oktober 2010. Penelitian ini merupakan penelitian studi eksperimental. Sampel berjumlah 27 neonatus yang memenuhi kriteria inklusi dan pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-probability sampling dengan metode consecutive sampling. Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian antibiotika dan variabel terikatnya adalah kadar H2O2. Kadar H2O2 diukur absorbansinya pada panjang gelombang 505 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar H2O2 sebelum pemberian antibiotika adalah sebesar 42,022 uM dan rata-rata kadar H2O2 setelah pemberian antibiotika adalah sebesar 33,500 uM. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan uji t berpasangan yang menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok tersebut. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah terdapat penurunan kadar H2O2 yang bermakna pada saliva sebelum pemberian antibiotika dibandingkan dengan setelah pemberian antibiotika.
Kata-kata kunci: Sepsis neonatal, H2O2
iv
ABSTRACT
ANTIBIOTIC THERAPY INFLUENCE TOWARD PEROXIDE HYDROGEN (H2O2) DEGREE, STUDY IN SALIVA NEONATUS WITH
RISK SEPSIS AT PERINATOLOGY ROOM ULIN HOSPITAL BANJARMASIN
Anisa Ikawati
Neonatus sepsis is a high infection that cause of spreading bacterium to whole of newborn baby. in sepsis neonatal be guessed that hydrogen peroksidase (H2O2) degree in saliva is higher after gift antibiotic than before. This research was aimed to analyze the effect of antibiotic therapy towards H2O2 degree in saliva neonatus with risk sepsis at perinatology room ulin hospital Banjarmasin august - october 2010 period. It was experimental research. A total sample of 27 neonatus patients were taken with non-probability sampling technique with consecutive sampling method. Independent variable of this research was antibiotic gift and the dependent variable was H2O2 degree. H2O2 degree measuresed the absorbance in wavelength 505 nm. The result showed that the mean of H2O2 degree in saliva before antibiotic gift was 42,022 uM and the mean of H2O2 degree in saliva after antibiotic gift was 33,500 uM. It was analyzed with t pair test that showed significant differences among groups. It is concluded that H2O2 degree before antibiotic gift is higher than after.
Keywords: Neonatal sepsis, H2O2
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN.................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... iii
ABSTRAK.................................................................................................. iv
ABSTRACT.................................................................................................. v
DAFTAR ISI............................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penelitian 3
D. Manfaat Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sepsis Neonatal 4
B. Patofisologi Sepsis Neonatal 6
C. Stres Oksidatif pada Sepsis Neonatal 7
D. Antibiotika Sebagai Terapi pada Sepsis Neonatal 10
E. Hidrogen Peroksida (H2O2) pada Saliva 12
BAB III LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori 14
vi
B. Hipotesis 15
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian 16
B. Populasi dan Sampel 16
C. Bahan dan Alat Penelitian 17
D. Variabel Penelitian 18
E. Definisi Operasional 18
F. Prosedur Penelitian 19
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 20
H. Cara Analisis Data 20
I. Waktu dan Tempat Penelitian 21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 22
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan............................................................................... 26
B. Saran...................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
BIBLIOGRAFI
1. BBLSR : Bayi Berat Lahir Sangat Rendah
2. CHD : Congenital Heart Disiese
3. CONS : Coagulase-Negative Staphylococcus
4. GBS : Group B Streptococcus
5. H2O2 : Hidrogen Peroksida
6. HOCl : Hypochlorous acid
7. ISK : Infeksi Saluran Kemih
8. IL-1 : Interleukin 1
9. LPS : Lipopolisakarida
10. MOF : Multiple Organ Faillure
11. MPO : Myeloperoxidase
12. NADH : Nicotinamide adenine dinucleotide
13. NO : Nitrit Oksida
14. PMN : Polymorphonuclear Neutrophils
15. RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
16. SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome
17. SNR : Senyawa Neutrofil Reaktif
18. SOD : Superoksida Dismutase
19. SOR : Senyawa Oksigen Reaktif
20. SPO : Salivary Peroksidase
21. TNF : Tumor Necrosis Factor
viii
22. TCA : Tricarboxylic acid
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Label Sampel Darah Pre dan Post Terapi
2. Media Pengiriman Sampel
3. Pita Oranye untuk Penanda Sampel Penelitian
4. Inform Concent
5. Skema Prosedur Penelitian
6. Hasil Pengukuran Kadar Hidrogen peroksida pada Pemeriksaan Saliva Neonatus dengan Risiko Sepsis
7. Berat Badan Lahir dan APGAR score menit ke-1 pada Neonatus dengan Risiko Sepsis
8. Perhitungan Hasil dan Statistik
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik yang secara patofisiologis dihasilkan
oleh efek infeksi lokal atau sistemik dalam bulan pertama kehidupan. Angka
kejadian sepsis neonatal di beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara
1,5%-3,7% dan angka kematian berkisar antara 37%-80% (1). Dalam
penelitiannya, Yunanto (2009) melaporkan insidensi sepsis neonatal di RSUD
Ulin Banjarmasin sebesar 17,3% (2).
Telah terbukti bahwa PMN dan produk-produknya berperan besar dalam
patogenesis sepsis. Jaringan yang rusak dan terinfeksi mengaktivasi sistem
komplemen, mengeluarkan sitokin, dan selanjutnya mengaktivasi neutrofil (3).
Aktivitas neutrofil akan menghasilkan SOR dan menjadi mekanisme kunci sistem
imunitas bawaan. Mekanisme yang berperan penting dalam patogenesis sepsis ini
disebut sebagai respiratory burst (4).
Pembentukan SOR selain sebagai lini pertahanan, juga dapat menyebabkan
kerusakan berbagai struktur biomolekul yang selanjutnya berdampak pada
kematian sel, inaktivasi enzim, mutasi, dan lain-lain (5). SOR yang terbentuk
adalah H2O2, singlet oxygen, asam hipoklorat, kloramin, radikal hidroksil dan
anion superoksida (6). Anion superoksida yang dibebaskan akan dikatalisis oleh
SOD menghasilkan H2O2 (5). Pada penelitian ini, oksidan yang diperiksa adalah
H2O2, karena H2O2 bersifat stabil dan paling mudah diperiksa dengan
spektrofotometer (7).
1
Pilihan antibiotika untuk sepsis neonatal harus berdasarkan prosedur tetap di
rumah sakit. Untuk itu Clark (2006) merekomendasikan ampisilin dan gentamisin
digunakan sebagai lini pertama untuk penatalaksanaan sepsis neonatal (8). Pada
penelitian yang dilakukan Wang (2009), antibiotika meningkatkan produksi dari
superoksida yang kemudian akan berubah menjadi H2O2 (9).
Saliva sering digunakan untuk diagnosis penyakit sistemik karena
mengandung unsur-unsur serum. Unsur ini diperoleh dari vaskularisasi lokal
kelenjar saliva dan mencapai kavitas oral melalui aliran cairan ginggival. Dalam
penelitian ini digunakan saliva sebagai cairan diagnostik karena saliva memiliki
manfaat tersendiri dibandingkan serum, yakni saliva bisa dikumpulkan secara non
invasif dan tidak memerlukan peralatan khusus (10).
Saat ini belum banyak penelitian ilmiah yang membahas tentang pengaruh
terapi antibiotika terhadap kadar H2O2 pada saliva bayi dengan risiko sepsis
neonatal sehingga perlu dilakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh terapi antibiotika terhadap kadar H2O2 pada saliva
neonatus dengan risiko sepsis di Ruang Perinatologi RSUD Ulin Banjarmasin?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini untuk menganalisis pengaruh terapi
antibiotika terhadap kadar H2O2 pada saliva neonatus dengan risiko sepsis di
Ruang Perinatologi RSUD Ulin Banjarmasin.
2
Tujuan khusus penelitian ini untuk mengukur kadar H2O2 pada saliva
neonatus dengan risiko sepsis yang diterapi antibiotika di RSUD Ulin
Banjarmasin.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah tentang
pengaruh terapi antibiotika terhadap kadar H2O2 pada saliva neonatus dengan
risiko sepsis dan menjadi dasar untuk penelitian-penelitian selanjutnya serta
menjadikan saliva sebagai bahan pemeriksaan baru untuk sepsis neonatal..
3
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Sepsis Neonatal
American College of Chest Physician and Society of Critical Medicine
(ACCP/SCCM Consensus conference) tahun 1992 mendefinisikan sepsis sebagai
respon inflamasi sistemik karena infeksi dengan manifestasi SIRS (11).
Sepsis neonatal dapat dibedakan berdasarkan onset penyakit, yakni antara
lain :
1. Sepsis neonatal dengan onset cepat/early onset sepsis (EOS), gejala muncul
kurang dari 4 hari pertama setelah lahir.
2. Sepsis neonatal dengan onset yang lama/late onset sepsis (LOS), gejala
muncul dalam kurun waktu 5-30 hari setelah lahir.
3. Sepsis neonatal dengan onset yang lebih lama/very late onset, yakni gejala
muncul lebih dari 30 hari setelah lahir (12).
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif, gram positif, virus dan
jamur. Penyebab tersering sepsis adalah kuman gram negatif. Bakteri gram negatif
mempunyai lapisan LPS atau endotoksin pada dinding luar bakteri. Sepsis dapat
juga disebabkan oleh eksotoksin atau lapisan peptidoglikan dari bakteri gram
positif (11,13)
Pada EOS, kultur organisme yang predominan adalah GBS (47%), diikuti
oleh E coli (23%), spesies Staphylococcous (13%) dan gram negatif batang aerob
selain E coli (8%). Riwayat kehamilan pada pasien-pasien ditinjau untuk
mengidentifikasi faktor risiko EOS. Empat puluh tiga persen adalah prematur,
4
26% terdapat demam, 46% terjadi pecah ketuban dan 20% suspek
korioamnionitis. Untuk grup LOS, kultur organisme predominan adalah CONS
(39%), diikuti E coli (9%), Candida albicans (8%) dan gram negatif batang aerob
selain E coli (20%) (12).
Patofisiologi sepsis terutama berhubungan dengan agen infeksius yang
masuk ketubuh neonatus. Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif, gram
positif, virus dan jamur. Streptococci grup B dan Escherichia coli merupakan
penyebab tersering kasus sepsis neonatus (14).
Menurut Guerina, faktor risiko sepsis dikelompokkan dalam 2 kelompok
yaitu faktor risiko mayor dan faktor risiko minor. Bila terdapat 1 faktor risiko
mayor atau 2 faktor risiko minor maka kecurigaan terhadap sepsis dapat
dipikirkan (15).
1. Faktor risiko mayor antara lain:
a. ketuban pecah> 24 jam
b. ibu demam; saat intrapartum suhu >38oC
c. korioamnionitis
d. denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
e. ketuban berbau.
2. Faktor risiko minor antara lain:
a. ketuban pecah > 12 jam
b. ibu demam; saat intrapartum suhu >37,5oC
c. nilai APGAR rendah (menit ke-1 < 5, menit ke-5<7)
d. BBLSR <1500 gram
5
e. usia gestasi < 37 minggu
f. kehamilan ganda
g. keputihan pada ibu yang tidak diobati
h. ibu dengan ISK/ tersangka ISK yang tidak diobati.
B. Patofisiologi Sepsis Neonatal
Sepsis neonatal dimulai dari infeksi bakteri pada neonatus. Kolonisasi awal
bakteri pada neonatus biasanya terjadi setelah membran maternal ruptur. Pada
sebagian besar kasus, janin terinfeksi oleh mikroba ketika ia melewati jalan lahir
selama proses persalinan. Jika rupturnya membran terjadi dengan durasi lebih dari
24 jam, flora normal vagina dari ibu dapat naik dan menyebabkan inflamasi pada
membran fetus, umbilical cord, dan plasenta (16). Tahap berikutnya dapat terjadi
infeksi pada fetus, bayi lahir prematur, sepsis neonatal, hingga bayi lahir mati
akibat aspirasi cairan amniotik yang sudah terinfeksi (17).
Sistem kekebalan alami (nonspesifik) adalah pertahanan lini pertama tubuh
terhadap infeksi yang diaktifkan bila ada patogen masuk. Sistem kekebalan yang
didapat (spesifik) akan membantu sistem kekebalan alami melalui aktivitas dari
sel limfosit. Sistem imun akan diaktifkan oleh protein patogen yang dapat berasal
dari berbagai mikroorganisme, misalnya endotoksin (Lipopolysaccaharide),
peptidoglycan, lipoechoic acid, lipopeptide, flagelin, mannan dan RNA virus
untuk memfagositosis bakteri tersebut. Penggunaan oksigen dalam proses
fagositosis ini disebut dengan respiratory burst (12,18,19).
Produksi sitokin proinflamasi semakin meningkat jika terdapat infeksi yang
menghasilkan endotoksin. Reaksi dari sitokin proinflamasi ini yang
6
bermanifestasi sistemik sebagai SIRS atau sepsis. SIRS ditandai dengan adanya
hipersitokinemia. Peningkatan respon imun yang berlebihan ini ternyata berakibat
buruk pada pasien. Pasien dapat mengalami fase syok dan MOD dan berakhir
pada MOF dan kematian (20).
C. Stres Oksidatif pada Sepsis
Mekanisme respiratory burst akan mengawali munculnya stres oksidatif
pada sepsis. Pada mekanisme tersebut, terjadi ketika netrofil dan sel fagositik
lainnya menelan bakteri, sel tersebut akan memperlihatkan peningkatan konsumsi
oksigen yang cepat (21). Keadaan ini terjadi bukan untuk respirasi mitokondrial,
tetapi untuk menghasilkan SOR dan SNR (22). SOR yang terbentuk adalah O2,
H2O2, hypochlorous acid, chloramines, singlet oxygen dan hydroxyl radical.
HOCl merupakan oksidator yang sangat kuat yang dibentuk dari H2O2 oleh enzim
MPO yang terdapat pada granula azurophilic neutrofil (6).
H2O2 merupakan oksidan kuat namun bereaksi lambat dengan substrat
organik. Oksidan ini dianggap toksik hanya dalam konsentrasi tinggi. Akumulasi
H2O2 dapat berbahaya bila terdapat bersama dengan ion Fe2+ atau chelating agent
karena akan terbentuk radikal hidroksil yang juga akan terbentuk setelah
menerima e- ketiga (23).
Pada keadaan sepsis, SOR dan SNR dihasilkan dari berbagai sumber, antara
lain, hasil respirasi sel di mitokondria, aktivasi xantin oksidase sebagai hasil dari
iskemia dan reperfusi, respiratory burst yang berhubungan dengan aktivasi
netrofil dan metabolisme asam arakidonat. Aktivasi neutrofil akan memproduksi
ion superoksida sebagai agen sitotoksik sebagai bagian dari respiratory burst (24).
7
SOR dan SNR sebagai bagian respiratory burst, dalam jumlah yang tepat
akan menguntungkan bagi tubuh yang mengalami infeksi. SOR dan SNR
memiliki sifat mikrobisidal yang membantu mengeradikasi kuman pathogen.
Terbentuknya SOR dan SNR pada proses fagositosis, menyebabkan terbentuknya
peroksidase lipid pada membran sel, sehingga mikroorganisme tersebut dapat lisis
(5).
Selain sebagai lini pertahanan, SOR dan SNR dapat berdampak negatif bagi
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila pembentukan SOR atau SNR lebih besar dari
aktivitas antioksidan yang meredamnya. Keadaaan ini disebut sebagai stres
oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan biomolekular meliputi
kerusakan sel, inaktivasi enzim, mutasi dan lain-lain (5,24).
Selama terjadi stres oksidatif pada sepsis, kerusakan oleh SOR dapat terjadi.
Kerusakan meliputi oksidasi DNA dan protein dilanjutkan dengan kerusakan
membran karena peroksidase lipid, menyebabkan perubahan permeabilitas
membran, modifikasi struktur dan fungsi protein. Kerusakan oksidatif pada
membran mitokondrial juga dapat terjadi, menyebabkan membran depolarisasi
dan pemutusan rantai fosforilasi oksidatif dan merubah respirasi sel. Hal ini pada
akhirnya akan menyebabkan kerusakan mitokondria, yang akan membentuk
sitokrom C, aktivasi apoptosis (24).
Pada keadaan sepsis netrofil juga memproduksi nitrit oksida sebagai radikal
bebas, senyawa ini kemudian akan bereaksi dengan superoksida untuk
memproduksi peroksinitrit sebagai oksidan yang lebih kuat. Banyaknya netrofil
pada keadaan sepsis yang sebelumnya diduga dapat mengeradikasi kuman
8
patogen ternyata juga dapat berakibat kerusakan jaringan yang luas karena
produksi oksidan yang berlebihan (24,25)
Selain itu, toksin mikroba akan merangsang produksi TNF dan IL-1
menyebabkan terjadinya adhesi dari leukosit pada endothel dan mensekresi
protease dan metabolit arakidonat. Selain aktif membunuh, neutrofil juga melukai
endothelium dengan mediator-mediator yang dilepaskannya. Mediator-mediator
tersebut dapat meningkatkan permeabilitas membran, sehingga terjadi aliran
cairan yang tinggi protein kedalam paru dan jaringan yang lain. Di satu sisi, sel
endothelial yang teraktivasi dapat melepaskan NO, sebuah vasodilator poten yang
berperan sebagai mediator utama pada shock septik (26).
Endothelium yang terluka akan mengaktivasi sistem koagulasi, sehingga
keseimbangan prokoagulan dan antikoagulan didalam tubuh terganggu, dimana
faktor prokoagulan meningkat dan faktor antikoagulan menurun. LPS
menstimulasi sel endothelial untuk meregulasi faktor jaringan, sehingga sistem
koagulasi teraktivasi. Fibrinogen lalu dikonversi menjadi fibrin, sehingga
terbentuklah trombi mikrovaskular yang dapat memperbesar trauma pada
pembuluh darah (26). Keseimbangan yang terganggu ini menjadi salah satu aspek
penting selain faktor inflamasi tubuh dan peranan sel endotel serta monosit dalam
menentukan prognosis dari pasien sepsis. Perubahan jalur sinyal dalam sel pada
sepsis akhirnya akan menyebabkan luka pada jaringan dan disfungsi multiorgan.
Selanjutnya akan terjadi shock pada sirkulasi dan redistribusi aliran darah (27).
9
D. Antibiotika Sebagai Terapi pada Sepsis Neonatal
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, yang dapat
membasmi mikroba lain. Termasuk didalamnya adalah antimikroba yaitu obat
pembasmi mikroba, dimana yang dimaksudkan mikroba disini adalah jasad renik
yang tidak termasuk kelompok parasit. Definisi lain antibiotika menurut Roger
adalah obat yang merupakan senyawa hasil sintesis dan semisintesis dari
mikroorganisme yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain yang mampu menimbulkan penyakit (28).
Pilihan antibiotika untuk sepsis neonatal harus berdasarkan prosedur tetap di
rumah sakit. Sebelumnya telah dilaporkan bahwa sefalosporin atau karbapenem
yang digunakan untuk neonatus prematur dapat meningkatkan risiko berikutnya
akibat sepsis jamur. Untuk itu direkomendasikan penggunaan ampisilin dan
gentamisin sebagai lini pertama untuk penatalaksaan sepsis neonatal (8).
Ampisilin merupakan antibiotika berspektrum luas. Aktivitasnya meliputi
kokus gram positif dan beberapa kokus gram negatif seperti Escheichia coli dan
Haemophilus influenzae. Mekanisme kerja ampisilin ialah menghambat sintesis
dinding sel mikroba. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi
daripada diluar sel maka kerusakan dinding sel kuman menyebabkan terjadinya
lisis. Pemberian ampisilin pada bayi prematur dan neonatus menghasilkan kadar
dalam darah yang lebih tinggi dan bertahan lama dalam darah dibandingkan
dengan orang dewasa (29,30).
Antimikroba golongan beta laktam kebanyakan dapat meningkatkan sistem
fagosit. Meskipun beberapa beta laktam dapat menurunkan produksi oksidan
10
melalui hambatan terhadap MPO, namun tidak memperlihatkan efek yang berarti
terhadap fungsi fagosit dari neutrofil (6). Ternyata antimikroba golongan beta
laktam dapat menimbulkan perubahan pada membran sel sehingga memudahkan
sistem fagosit untuk memfagosit mikroba yang diberikan beta laktam (31).
Selain itu beberapa beta laktam misalnya meropenem dapat meningkatkan
opsonisasi dari komplemen sehingga memudahkan sistem fagosit. Amoxicillin-
clavulanic acid dapat meningkatkan kemampuan mikrobisidal neutrofil dan
meningkatkan produksi interleukin (6). Meskipun demikian namun beberapa beta
laktam diperkirakan dapat menimbulkan efek neutropenia (32).
Gentamisin adalah suatu kompleks aminoglikosida yang diisolasi dari
Micromonospora purpurea. Mekanismenya dengan menghambat sintesis protein
sel mikroba, dengan cara mengganggu komponen genetik RNA dalam ribosom sel
mikroba, sehingga terjadi kesalahan pembacaan kode-kode genetik pada waktu
sintesa protein, dan terbentuklah protein abnormal yang akan mengganggu fungsi
sel mikroba. Obat ini efektif terhadap organisme gram positif maupun gram
negatif. Gentamisin sistemik diindikasikan untuk infeksi oleh gram kuman negatif
yang sensitif, antara lain : Proteus, Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, Eschericia
coli dan Enterobacter. Kuman-kuman ini menyebabkan bakterimia, meningitis,
osteomielitis, pneumonia, infeksi luka bakar, infeksi saluran kencing, infeksi
telinga-hidung-tenggorok dan tularemia. Dalam keadaan tertentu gentamisin
digunakan pula terhadap gonore dan infeksi Staphylococcuc aureus (33,34).
Pengaruh antimikroba golongan aminogikosid terhadap sistem fagosit masih
meragukan atau kontroversial. Pada kadar di bawah kadar hambat minimal atau
11
pada konsentrasi terapi, aminoglikosid dapat menghambat metabolisme oksidatif
dan dapat menghambat kemotaksis, namun secara klinis masih kontroversial (6).
Pengobatan dengan kombinasi beta laktam dan aminoglikosid diakui lebih
unggul dari monoterapi untuk sepsis berdasarkan manfaat yang potensial seperti
sinergisme in vitro dan pencegahan resistensi (35).
Hasil penelitian Michael (2007), antibiotika golongan bakterisid
(aminoglikosida, kuinolon, dan beta-laktam) berinteraksi dan menstimulasi
oksidasi NADH melalui transpor elektron dalam siklus TCA. Hiperaktivasi
transpor elektron akan menstimulasi formasi superoksid, pembentukan superoksid
dalam keadaan in vivo selalu diikuti oleh pembentukan H2O2 (36).
E. H2O2 pada Saliva
H2O2 adalah senyawa turunan oksigen yang bersifat oksidan kuat, dan
bereaksi lambat dengan substrat organik. Senyawa ini dianggap toksik pada kadar
tinggi (antara 10-100 uM) (5,37). Meskipun bukan radikal bebas, akumulasi
senyawa ini dapat berbahaya bila terdapat bersama-sama dengan logam (Fe dan
Cu) atau zat pengelat (chelating agent) (37).
H2O2 mempunyai efek bakterisidal. Secara langsung H2O2 dapat melisiskan
dinding bakteri. H2O2 berpotensi untuk membunuh kuman dengan cara merusak
komponen-komponen sel, mengakibatkan kerusakan DNA, dan menghambat
proses transport membran (5).
Dengan H2O2 sebagai oksidan, peroksidase defensive seperti SPO dan MPO
menggunakan ion inorganik untuk menghasilkan antimikroba yang secara umum
lebih efektif dari H2O2 itu sendiri. Rekasi oksidasi yang dikatalisis oleh sistem
12
peroksidase di kavitas oral diatur jumlah H2O2 yang tersedia. Sistem dual-oksidase
dari kelenjar saliva adalah sumber endogen dari H2O2. Bakteri oral juga
memproduksi H2O2 selama glikolisis anaerobik. Sumber ketiga dari H2O2 adalah
dari aktivasi neutrofil saat oxidative burst (38).
13
BAB IIILANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Sepsis adalah suatu respon inflamasi yang bersifat sistemik akibat adanya
infeksi berat. Berawal dari masuknya bakteri ke dalam tubuh dan dikenali sebagai
benda asing yang patogen, hal ini akan menghasilkan mediator yang dapat
mengaktivasi sistem imun untuk memfagositosis bakteri tersebut. Penggunaan
oksigen dalam proses fagositosis ini disebut dengan respiratory burst atau ledakan
pernapasan dan terjadi pembebasan senyawa oksigen reaktif pada saat proses
fagositosis (24). Selain proses fagositosis yang melawan patogen, spesies oksigen
reaktif pun juga dapat membunuh patogen tersebut (39,40).
H2O2 adalah salah satu senyawa SOR, saat senyawa oksigen reaktif yang
dihasilkan berlebihan dan terjadi ketidakseimbangan dengan antioksidan endogen
maka akan terjadi stres oksidatif dan menyebabkan kerusakan sel dan endotel
sekitar. Jika kerusakan terus terjadi seiring dengan koagulasi dan inflamasi serta
apoptosis sel akan mengakibatkan kerusakan sistemik sehingga terjadi sepsis
(39,40,41).
Antibiotika memiliki sifat membunuh bakteri (bakterisid) atau
menyebabkan bakteri diam (bakteriostatik) digunakan untuk melawan kuman
patogen penyebab sepsis dan mencegah terjadinya sepsis. Hasil penelitian
Michael (2007), antibiotika golongan bakterisid (aminoglikosida, kuinolon, dan
beta-laktam) memicu terjadinya radikal hidroksil. Antibiotika golongan bakterisid
berinteraksi dan menstimulasi oksidasi NADH melalui rantai transpor elektron di
14
sekitar siklus TCA. Hiperaktivasi rantai transpor elektron menstimulasi formasi
superoksid, pembentukan superoksid dalam keadaan in vivo selalu diikuti oleh
pembentukan H2O2 (36).
Keterangan panah :
: Mengaktivasi : Mengandung: Menghasilkan : Mengkatalisis
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep Pengaruh Terapi Antibiotika Terhadap Kadar Hidrogen Peroksida (H2O2)
B. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori, dapat dibuat hipotesis bahwa terapi antibiotika
meningkatkan kadar H2O2 pada saliva bayi dengan risiko sepsis neonatal.
15
ANTIBIOTIKA (BAKTERISID)
RESPIRATORY BURST
Bakteri Penyebab
Sistem Imunitas Seluler SOR O2-
H2O2
SOD
OH-
NO- , dll
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan mengukur kadar H2O2
pada saliva bayi dengan risiko sepsis neonatal sebelum dan sesudah pemberian
antibiotik.
B. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan adalah bayi dengan risiko sepsis neonatal yang
dirawat selama periode Agustus - Oktober 2010 di Ruang Perinatologi RSUD
Ulin Banjarmasin. Sampel diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi,
yakni neonatus dengan salah satu faktor risiko mayor sepsis neonatal atau dengan
dua faktor risiko minor, terlahir di RSUD Ulin, hanya mendapat terapi ampisilin-
gentamisin, tidak meninggal atau pulang sebelum sampel post terapi diambil, dan
tidak memiliki kelainan bawaan yang berat seperti CHD, atresia ani, atresia
esofagus, ventrikel septal defect.
Faktor risiko mayor antara lain (15):
1. ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38o C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
5. Ketuban berbau
16
Faktor risiko minor antara lain:
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu >37,5o C
3. Nilai APGAR rendah (menit ke-1 < 5, menit ke-5<7)
4. BBLSR <1500 gram
5. Usia gestasi < 37 minggu
6. Kehamilan ganda
7. Keputihan pada ibu yang tidak diobati
8. Ibu dengan ISK/ tersangka ISK yang tidak diobati.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah non-probability
sampling dengan metode consecutive sampling.
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah H2O2, FeCl3, aquadest, O-Fenantrolin, NaCl
0,9%, buffer fosfat (pH 7,0), es batu, preparasi saliva.
2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah alat gelas (Pyrex), spuit injeksi 1 cc, suction
(Mucous Extractor), alat gelas dan tabung reaksi kecil (Pyrex®), rak tabung reaksi,
aluminium foil, sentrifus (G.P.®), stopwatch (Hanhart®), inkubator (GFL®),
mikropipet dan tip mikropipet (Brand®), termos es, freezer bersuhu -200,
spektrofotometer (Genesys 20), kuvet, plastik es dan pita warna oranye.
17
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian antibiotika.
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kadar H2O2 pada saliva bayi
dengan risiko sepsis neonatal.
3. Variabel pengganggu
a. Suhu penyimpanan, dikendalikan dengan menyimpan sampel di dalam
freezer jika pengiriman sampel tidak bisa segera dilakukan dan penggunaan
toples berisi es batu untuk menjaga suhu selama pegiriman sampel.
b. Sterilitas alat dan bahan penelitian, dikendalikan dengan sterilisasi alat
sebelum penggunaan dan mejaga kesterilan bahan.
E. Definisi Operasional
1. Bayi dengan risiko sepsis neonatal
Bayi baru lahir dengan umur 1-28 hari dan memiliki minimal 1 faktor risiko
mayor atau 2 faktor risiko minor sepsis yang menjalani rawat inap di Ruang
Perinatologi RSUD Ulin pada periode Agustus - Oktober 2010.
2. Antibiotika
Senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan pada pengenceran tinggi
mampu menghambat mikroorganisme penyebab sepsis, yaitu kombinasi ampisilin
dan gentamisin.
18
3. H2O2
Senyawa oksidan yang kuat. Dilakukan pemeriksaan sebelum dan sesudah
pemberian antibiotika. Kadar hidrogen peroksida diukur menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 505 nm.
4. Saliva
Seluruh air liur yang disekrisikan ke dalam rongga mulut dari kelenjar
parotis, submaksilaris, sublingualis dan kelenjar mukosa kecil mulut lainnya dari
sepsis neonatal yang diambil sesaat setelah bayi lahir dengan Mucous Extractor
dan antara hari ke 3 - 5 menggunakan spuit 1 cc tanpa jarum.
F. Prosedur Penelitian
Setiap bayi dengan umur 1-28 hari yang sedang menjalani rawat inap di
Ruang Perinatologi RSUD Ulin pada periode Agustus-Oktober 2010 dan memiliki
sedikitnya 1 faktor risiko mayor atau 2 faktor risiko minor adalah subjek
penelitian.
Hal pertama yang dilakukan adalah meminta persetujuan dan memberikan
penjelasan kepada orang tua dari neonatus yang menjadi subjek penelitian dalam
bentuk inform concent. Lalu subjek penelitian diambil salivanya menggunakan
Mucous Extractor oleh tenaga medis. Saliva yang berada dalam Mucous
Extractor, kemudian diikat selangnya lalu dimasukkan ke dalam plastik dan diberi
label yang berisi keterangan berupa nomor dan nama bayi, serta waktu
pengambilan saliva. Mucous Extractor dimasukkan ke dalam termos es dan
dibawa ke Laboratorium Biokimia FK Unlam. Jika tidak memungkinkan untuk
19
segera melakukan pengiriman, maka tabung disimpan dalam freezer bersuhu –
20OC.
Cara pemeriksaan kadar H2O2 yaitu sebanyak 1 µm H2O2 200 µl + 160 µl
PBS pH 7,4 + 160 µl FeCl3 dilarutkan dalam 750 ml aquadest + 160 µl O-
fenantrolin (120 mg O-fenantrolin dilarutkan dalam 100 ml aquadest). Kemudian
diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah itu disentrifus 12.000 rpm
selama 10 menit. Supernatan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 505
nm.
Pengambilan sampel post dilakukan dalam waktu 5 hari setelah pemberian
terapi. Setelah pemberian terapi, kaki bayi yang menjadi subjek penelitian diberi
pita oranye dan dilepas setelah pengambilan sampel post dilakukan.
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data diambil berdasarkan hasil pengukuran kadar H2O2 pada saliva bayi
dengan risiko sepsis neonatal yang diterapi antibiotika. Pengumpulan data
dilaksanakan selama bulan Agustus - Oktober 2010. Data yang didapatkan akan
dimasukkan ke dalam tabel.
H. Cara Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan uji normalitas dengan uji Saphiro-Wilk dan
diperoleh data terdistribusi secara normal. Selanjutnya data dianalisis secara
statistik menggunakan uji-t berpasangan.
20
I. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Perinatologi RSUD Ulin Banjarmasin dan
Laboratorium Kimia/Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru dan terlaksana pada bulan Agustus - Oktober 2010.
21
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai pengaruh terapi antibiotika terhadap kadar hidrogen
peroksida (H2O2) pada saliva neonatus dengan risiko sepsis di Ruang Perinatologi
RSUD Ulin Banjarmasin telah dilaksanakan pada periode Agustus-Oktober 2010.
Adapun subjek penelitian ini berjumlah 27 neonatus yang memenuhi kriteria
inklusi. Data yang telah diperoleh disajikan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Data jumlah, rerata berat badan lahir, rerata APGAR, serta rerata kadar H2O2 pada saliva neonatus dengan risiko sepsis preterapi dan post-terapi antibiotika.
Keterangan n Rerata Stdev
KadarH2O2 pre 27 42,022 8,796
Kadar H2O2post 27 33,500 7,784
Apgar Score 27 4,629 2,059
BB 27 2922,222 654,031
Dari tabel 5.1 dapat dketahui bahwa sampel yang memenuhi inklusi
sebanyak 27 dari keseluruhan sampel sebanyak 63. Lepasnya beberapa sampel di
akibatkan oleh subyek penelitian pulang opname terlebih dahulu sebelum
pengambilan sampel post terapi. Rerata berat badan lahir bayi dalam batas normal,
namun rerata nilai APGAR pada bayi dalam penelitian ini memiliki interpretasi
agak rendah, yaitu 4,654, sehingga diperlukan tindakan medis segera seperti
22
penyedotan lendir yang menyumbat jalan napas, atau pemberian oksigen untuk
membantu bernapas.
1 20.000
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
Diagram 5.2.Rerata Kadar H2O2 pada saliva neonatus dengan risiko sepsis preterapi antibiotika dengan post-terapi antibiotika
23
Preterapi Post terapi
Hasil pemeriksaan kadar H2O2 yang diperoleh diuji normalitas dengan uji
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel yang digunakan termasuk dalam sampel kecil
(< 50 sampel) didapatkan nilai p=0,051 untuk data sebelum pemberian terapi
antibiotika dan nilai p=0,071 untuk data setelah pemberian terapi antibiotika,
yang menunjukkan data tersebut normal sehingga untuk analisis data selanjutnya
bisa dilakukan uji t berpasangan. Data H2O2 kemudian dianalisis dengan uji t
berpasangan yang menunjukkan nilai p = 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat
perbedaan bermakna pada rerata data sebelum dan setalah pemberian antibiotika.
Kelompok sebelum pemberian terapi antibiotika memiliki kadar H2O2 yang
lebih tinggi. Hal ini karena terjadi peningkatan produksi SOR pada sepsis
neonatal. Pada keadaan sepsis, SOR dan SNR dihasilkan dari berbagai sumber,
antara lain, hasil respirasi sel di mitokondria, aktivasi xantin oksidase sebagai
hasil dari iskemia dan reperfusi, respiratory burst yang berhubungan dengan
aktivasi netrofil dan metabolisme asam arakidonat. Akibatnya, H2O2 yang
terbentuk semakin banyak, yaitu dihasilkan langsung akibat fagositosis dan hasil
reaksi katalisis SOD terhadap O2 (24).
Pada kelompok berikutnya, yaitu kelompok yang telah mendapatkan terapi
antibiotika memiliki kadar H2O2 yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok
yang belum mendapatkan terapi antibiotika. Kecenderungan menurunnya kadar
H2O2 pada kelompok yang telah mendapatkan terapi antibiotika diduga akibat
menurunnya aktivitas fagositosis terhadap bakteri yang menyebabkan respiratory
burst menurun. Penurunan aktivitas fagositosis dapat disebabkan berkurangnya
bakteri yang beredar dalam tubuh akibat pemberian antibiotika. Dengan demikian,
24
apabila jumlah kuman menurun, maka kadar H2O2 sebagai respon oksidatif
antimikrobanya juga akan semakin kecil. Namun, meskipun terjadi penurunan,
kadar H2O2 pada kelompok yang telah mendapatkan terapi antibiotika masih
dianggap toksik karena kadarnya antara 10-100 uM, yakni 33,500 uM.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotika pada
neonatus dengan risiko sepsis tidak meningkatkan ROS. Hal ini dapat dilihat dari
tidak terjadinya peningkatan kadar H2O2 pada saliva setelah pemberian
antibiotika. Hal ini diduga terjadi karena aktivitas antibiotika dengan jalur
membunuh bakteri melalui target obat lebih tinggi dibandingkan dengan
aktivitasnya dalam pembentukan radikal hidroksil (SOR). Selain itu banyak
bakteri yang telah mati, sehingga aktivitas fagositosis berkurang akibatnya H2O2
yang terbentuk pun berkurang. Dugaan lain adalah konsentrasi H2O2 sedikit
karena sebagian besar telah diubah ke dalam bentuk radikal hidroksil melalui
reaksi Fenton yang juga berpotensi membunuh bakteri.
Antibiotika ampisilin dan gentamisin, antibiotika lini pertama yang
diberikan pada bayi dengan risiko sepsis, merupakan antibiotika golongan beta
laktam dan aminoglikosid. Kerja obat golongan beta laktam bekerja dengan
menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sementara itu golongan aminoglikosid
dengan menghambat ribosom sehingga terjadi mistranslasi protein. Antibiotika
selain membunuh bakteri dengan berinteraksi terhadap target obat, pada golongan
tertentu dapat menstimulasi pembentukan SOR. Pada penelitian Kohanski dkk
(2007) menunjukkan bahwa antibiotika bakterisidal, seperti aminoglikosid dan
beta laktam dapat menstimulasi pembentukan radikal hidroksil melalui reaksi
25
Fenton (36). Radikal hidroksil dapat menyebabkan kerusakan DNA, protein dan
lipid yang akhirnya mengakibatkan kematian sel. Dengan demikian obat
bakterisidal juga berpotensi membunuh bakteri melalui bentuk radikal hidroksil.
Keterbatasan dari penelitian ini, yaitu jumlah sampel yang minimal sehingga
belum dapat menggambarkan secara umum kadar H2O2 pada saliva bayi dengan
risiko sepsis neonatal yang diberikan terapi antibiotika. Pada penelitian
selanjutnya, diharapkan agar dapat menambah jumlah sampel sehingga hasil yang
diperoleh dapat mewakili populasi sampel dan mengendalikan variabel
pengganggu.
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai
berikut:
1. Rerata kadar Hidrogen Peroksida (H2O2) sebelum pemberian terapi antibiotika
pada saliva neonatus dengan risiko sepsis di RSUD Ulin Banjarmasin periode
agustus – oktober 2010 adalah sebesar 42,022 uM sedangkan rerata kadar
Hidrogen Peroksida (H2O2) setelah pemberian terapi antibiotika adalah sebesar
33,500 uM.
2. Terdapat penurunan kadar Hidrogen Peroksida (H2O2) setelah pemberian
terapi antibiotika dibandingkan sebelum pemberian terapi antibiotika pada
26
saliva neonatus dengan risiko sepsis di RSUD Ulin Banjarmasin periode
agustus – oktober 2010.
3. Terdapat perbedaan kadar H2O2 yang bermakna secara statistik setelah
pemberian terapi antibiotika dibanding sebelum pemberian terapi antibiotik
pada saliva neonatus dengan risiko sepsis di RSUD Ulin Banjarmasin periode
Agustus-Oktober 2010.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah sampel
sehingga hasil yang diperoleh dapat mewakili populasi sampel dan mengendalikan
variabel pengganggu. Kelengkapan data penting agar dapat mengendalikan faktor-
faktor yang mempengaruhi penelitian.
27
0
DAFTAR PUSTAKA
1. Setyawati, Ariningrum D, Sari IUS, Lutfia E. Penampilan diagnostik parameter-parameter hematologis untuk diagnosis sepsis neonatal. Berkala Ilmu Kedokteran 2006;38:31
2. Yunanto A. Kualitas pelayanan bayi baru lahir di RSUD Ulin Banjarmasin. Disampaikan pada Simposium Pencegahan Preeklampsi dan Penatalaksanaan Kegawatan Bayi Baru Lahir Menuju Keamanan Persalinan dan Kesehatan Bayi Baru Lahir, 10 April 2010, Banjarmasin.. Banjarmasin: Perinansia Cabang Kalimantan Selatan, 2010
3. Trautinger F, Hammerle AF, Poschl G, MickscheM. Respiratory burst capability of polymorphonuclear neutrophils and TNF-α serum levels in relationship to the development of septic syndrome in critically ill patients. J Leukoc Biol 1991;49:449
4. Tung JP, Fraser JF, Wood P, Fung YL. Respiratory burst function of ovine neutrophils. BMC Immunology 2009;10:1
5. Suhartono E, Hasyim F, Setiawan B. Kapita selekta biokimia radikal bebas, antioksidan dan penyakit. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2006
6. Labro MT. Interfence of antibacterial agent with phagocyte function; Immunomodulation or “immuno-fairy tales”?. Clinical Microbiology Review 2000;13:621-636
7. Suhartono E, Setiawan B. Models of peroksidative indeks and advanced oxidation protein product (AOPP) from salivary lung tuberculosis patient based on duration of treatment, 16-18 Februari 2009, Malang. Malang: International Conference Molekular and Clinical Aspect of HIV AIDS, Tuberculosis and Malaria, 2009
8. Clark RH, Barry TB, Alan RS, Dale RG. Empiric use of ampicillin and cefotaxime, compared with ampicillin and gentamicin, for neonates at risk for sepsis is associated with an increased risk of neonatal death. Pediatrics 2006;117:68
9. Wang X, Zhao X. Contribution of oxidative damage to antimicrobial lethality. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2009;53:1395
10. Kaufman E, Lamster IB. The diagnostic applications of saliva. Crit Rev Oral Biol Med 2002;13:197
0
1
11. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis ACCP/SCCM consensus conference. Chest 1992; 101:1644
12. Bizzaro MJ, Raskind C, Baltimor RS, Gallagher PG. Seventy-five years of neonatal sepsis at yale: 1928-2003. Pediatric 2005;116;596-598
13. KD Horn. Evolving strategies in the treatment of sepsis and systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Q J Med 1998;91:265
14. Eschenbach DA. Prevention of neonatal group b streptococcal infection. N Engl J Med 2002;347:280
15. Guerina NG. Bacterial and fungal infection. In: Cloherty JP, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. 4th ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1998. p.271-300. Diambil oleh Yadav AK, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid diagnosis of neonatal sepsis. Indian Pediatr 2005; 42: 681-5
16. Chiesa C, Panero A, Osborn JF, Simonetti AF, Pacifico L. Diagnosis of neonatal sepsis: A clinical and laboratory challenge. Clinical Chemistry 2004;50:279
17. Kaufman, David and Fairchild, Karen. Clinical Microbiology of Bacterial and Fungal Sepsis in Very-Low-Birth-Weight Infants. Clinical Microbiology Rev 2004;17:645
18. Kapil Kapoor, Sriparna Basu, B. K. Das and B. D. Bhatia. Lipid Peroxidation and Antioxidants in Neonatal Septicemia. Journal of Tropical Pediatrics 2006;5:372-375
1
2
19. Carrigan DS, Scott G, and Tabrizian M. toward resolving the challenges of sepsis diagnosis. Clin chem 2004;50;8;1301-1314
20. Aryana SIGP, Biran IS. Konsep baru kortikosteroid pada penanganan sepsis. Dexa Media, 2006;19:4
21. Ward, Richard A., Nakamura, Michio., McLeish, Kenneth R. Priming of the Neutrophil Respiratory Burst Involves p38 Mitogen-activated Protein Kinase-dependent Exocytosis of Flavocytochrome b558-containing Granules. The Journal Of Biological Chemistry 2000;275(47):36713
22. Suhartono E. Stres Oksidatif dan Nitrosaif pada sepsis. Seminar Nasional : “Pathobiology sepsis” from Basic Science to Clinical Perspective, 2008 November 2nd, Banjarbaru. Banjarbaru: FK UNLAM, 2008
23. Lautan J. Radikal bebas pada eritrosit dan lekosit. Cermin Dunia Kedokteran 1997;116:50
24. Macdonald J, Galley HF, Webster NR. Oxidative stress and gene expression in sepsis. British Journal of Anaesthesia 2003;90:221-222
25. Marodi, Laszlo. Neonatal Innate Immunity to Infectious Agents. Infection and Immunity 2006;74:1999
26. A.Russell, James. Management sepsis. N Engl Med 2006;355:1700-1701
27. Bochud PY, Calandra. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implications for future treatment. BMJ 2003 ; 326:264
28. Roger H. Obat anti bakteri praktis dalam farmakologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1990
29. Istiantoro YH, Vincent HSG. Penicilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. jakarta: FKUI, 1995
30. Chamberss HF, Hadley WK and Jawetz E. Beta-lactam Antibiotics and Other Inhibitors of Cell Wall Synthesis. In : Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology.7st ed. San Fransisco: A simon and schuter company, 1998
31. Insua H, Perez P, Martinez, et al. Meropenem-induced alteration of the susceptibility of Escherichia coli and Staphylococcus aureus to the bactericidal activity of human polymorphonuclear leukocytes. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 1997;39:226-227
2
3
32. Lianou PE, Votta EG, Papavassiliou JT, et al. In vivo potentiation of polymorphonuclear leukocyte function by ciprofloxacin. J Chemother 1993;5:223
33. Gan SG dan Vincent HSG. Aminoglikosid dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FKUI,1995
34. Chamberss HF, Hadley WK and Jawetz E. Aminoglycosides and Spectinomycin. In : Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology.7st ed. San Fransisco: A simon and schuter company, 1998.
35. Paul M, Silbiger IB, Weiser KS, Leibovici L. β-lactam monotherapy versus β-lactam-aminoglycoside combination therapy for sepsis in immunocompetent patients: systematic review and meta-analysis of randomised trials. BMJ 2004;10:1
36. Kohanski MA, Dwyer DJ, Hayete B, Lawrence CA, Collins JJ. Common mechanism of cellular death induced by bactericidal antibiotics. Cell. 2007;130:797–798
37. Suhartono E, Fachir H, dan Setiawan B. Stres oksidatif dasar dan penyakit. Banjarbaru: Pustaka Banua, 2007
38. Ashby, MT. Inorganic Chemistry of defensive peroxidases in the human oral cavity. J Dent Res 2008;87;900
39. Cinel I, Dellinger RP. Advances in pathogenesis and management of sepsis. Current Opinion in Infectious Diseases 2007;20:345–352
40. Eaton S. Impaired energy metabolism during neonatal sepsis: the effects of glutamine. Proceedings of the Nutrition Society 2003;62:745–751
41. Buchori, Prihatini. Diagnosis sepsis menggunakan procalcitonin. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory 2006;12:131-137
42. Batra S, Kumar R, Seema, Kapoor AK, Ray G. Alterations in antioxidant status during neonatal sepsis. Ann Trop Paediatr . 2000; 20(1):27-33
43. Yunanto A, Setiawan B, Suhartono E. Kapita selekta biokimia peran radikal bebas pada intoksikasi dan patobiologi penyakit. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2009
44. Roberta P, Lucia B, Nigel A, et al. Enzyme-catalyzed mechanism of isoniazid activation in class I and class III peroxidases. J of Biol Chem. 279(37); 2004:39000-9
3
4
4