701434873

67

Upload: fitriars

Post on 19-Oct-2015

136 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

701438472

TRANSCRIPT

  • CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

    Daftar Isi : 2. Editorial

    4. English Summary

    Artikel :

    5. Cakupan Imunisasi dan Morbiditas Penyakit Campak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat Imran Lubis, Djoko Yuwono

    10. Kekebalan terhadap Pertusis pada Bayi usia 636 bulan yang Tidak Diimunisasi di Daerah Kumuh dan Keadaan Sosialnya Muljati Pro janto, Rabea Pangerti Yekti, Farida S, Sumarno, Siti Mariani S, Hambrah Sri Wuryani

    15. Infeksi Ulang Rotavirus pada Anak Sehat di Kotamadya Bandung, Jawa BaratDjoko Yuwono, Eko Rahardjo, Imran Lubis, Suhar-yono W, Sutoto

    20. Pola Kuman Penyebab Diare Akut pada Neonatus dan Anak Pudjarwoto Triatmodjo

    24. Parasit Usus pada Balita Penderita Diare di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Kuningan Suwarni, Eko Rahardjo, Harijani AM

    27. Keadaan Rongga Mulut Anak Usia kurang dari 2 tahun di Poliklinik RSU Penyabungan Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan HH

    30. Diaknostik Talasemia dan Kepentingannya - Sunarto 36. Penggunaan Imunoglobulin Dosis Tinggi pada Purpura Trombo

    sitopenik Idiopatik Khronik Anak Charles Darwin Siregar 40. Lupus Eritematosus Sistemik laporan kasus Julia K Kadang,

    Julius Roma Andilolo 43. Rachitis laporan kasus Herry D Nawing, Satriono, JS Lisal 46.

    Atresia Bilier Parlin Ringoringo 51. Hernia Inguinalis Lateralis pada Anak-anak Made Kusala Giri,

    Farid Nur Mantu 56. Invaginasi pada Anak dan Bayi Muh. Husain, Farid NurMantu 58. Malaria Serebral laporan kasus M Anto Artsanto 61. Humor Kedokteran 62. Abstrak 64. R.P.P.I.K.

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    86. MasalahAnak Juli

    1993

    1995

  • Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 2

    Salah satu indikator kesehatan suatu bangsa ialah derajat kesehatan anak, yang biasanya diukur melalui angka kematian anak, cakupan imunisasi dan parameter parameter lainnya.

    Cermin Dunia Kedokteran kali ini menyoroti berbagai masalah kesehatan anak dari berbagai aspek; masalah imunisasi tentu menjadi fokus utama, di samping penyakit-penyakit lain seperti talasemia dan purpura trombositoponik idiopatik. Tidak ketinggalan pula pembahasan mengenai tindakan bedah pada hernia inguinalis dan invaginasi yang terutama diderita oleh anak.

    Mungkin saja artikel yang ada masih belum mencakup masalah kesehatan anak secara keseluruhan, tetapi mudoh-mudahan dapat memberikan gambaran atas variasi kelainan yang mungkin ditemukan di kalangan anak.

    Semoga memuaskan.

    Redaksi

  • Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 3

    CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

    REDAKSI KEHORMATAN Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

    Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Prof. Dr. R.P. Sidabutar

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

    Prof. DR. B. Chandra

    Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

    Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

    Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Univesitas Trisakti, Jakarta DR. Arini Setiawati

    Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

    REDAKSI KEHORMATAN

    KETUA PENGARAH Dr Oen L.H.

    KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

    PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

    PELAKSANA Sriwidodo WS

    TATA USAHA Sigit Hardiantoro

    ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549. 4891502

    NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

    PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

    PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

    Dr. B. Setiawan Ph.D DR. Ranti Atmodjo

    Drs. Victor S Ringoringo,SE,MSc. Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

    PETUNJUK UNTUK PENULIS

    Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

    Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di-bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

    Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

    Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

    sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

    Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta.

    Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

    Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    1995

    Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempatkerja si penulis.

  • Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993 4

    English Summary INTESTINAL PARASITES INFECTIONS AMONG DIARRHEA PATIENTS IN PANDEGLANG AND KUNINGAN Suwarni, Eko Raharjo, Harijani AM Communicable Diseases Research Centre, Health Research and Develop-ment Board, Department of Health, Indo-nesia, Jakarta

    The study on intestinal parasite

    was done in Kabupaten Pande-glang and Kuningan (Sept '89 March '90) as a part of diarrhoeal etiological study. The objective of the study is to obtain the pre-valence of intestinal parasite in diarrhoeal cases in children under five years of age. Stools were collected from patients in two Health Centers and two Hospitals and were prepared with formalin 5% and Poly Vinyl Alcohol (PVA). Smear examinations were done directly from the samples, using Formalin Ether Concentration Technique and Modified Ziehl-Neelsen.

    Out of 404 stool samples examined, most of the infections were intestinal parasite infec-tion/Protozoa, including the stools from 3 patients with the age of less than 3 months. Cryp-tosporidium had been also de-tected in this study.

    Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 246

    Sw, Er, Hr

    HYGIENE OF ORAL CAVITIES AMONG CHILDREN LESS THAN 2-YEAR OLD IN PENYABUNGAN OUTPATIENT CLINIC

    Charles Darwin Siregar, Bidasari, Ikhwan HH. Penyabungan General Hospital, South Tapanull, North Sumatra, Indonesia

    A prospective study on the

    condition of oral cavity of chil-dren aged 2 years who visited Out Patient Clinic.in Penyabung-an General Hospital was con-ducted on every Thursday from 5th December 1991 up to 30th January 1992.

    During this period there were 1365 patients, 63 of them with diarrhoea, 41 with fever, 14 with anorexia, 8 with carbuncles, 2 with dyspnoe, 2 with otorrhea, 2 with itching, and 3 with gum bleeding.

    Oral hygiene score associated with group DI-S0.0-0.6 were found in only 74 (54,81%) patients, and the oral hygiene of children which were still breastfed were better than the weanling. The parents' attention and knowledge on children's oral hygiene were minimal.

    Delayed eruption was ob-served in 47 patients while 3 of them had malposition of the teeth.

    Dry mouth were found 105 patients, 97 among them were associated with dehydration.

    Stool examination in diarrhoea patients revealed 28 "Candida albicans" cases and all of them

    also suffered oral thrush.

    Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86: 279 Cds, Bs, Iw

    DIAGNOSTICS OF THALASSEMIA

    Sunarto Department of Child Health, Faculty of Medicine, GaJah Mada University/Dr. Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Indonesia

    Thalassemias are genetically

    inherited anemias due to dimi-nished or absence of globin syn-thesisthat makes up hemoglobin. There are various types of tha-lassemias due to the various types of globin chain defect, but -tha-lasemia and -thalassemia are the thalassemias that are of clini-cal importance. Various labora-tory tests are needed in the diag-nosis of thalassemia, from the simple and routine tests to more technically demanding tests like globin synthesis analysis and DNA analysis. The needed tests are in accordance with our goal, either for clinical diagnosis, screening program or prenatal diagnosis. Advances in the diagnostics in thalassemia have brought a great benefit to the thalassemia con-trol program.

    Cermin Dunia Kedokt. 1993; 86;305

    Sn

  • Artikel

    Cakupan Imunisasi dan Morbiditas Penyakit Campak

    di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Imran Lubis, Djoko Yuwono Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

    Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Penyakit Campak (Measles), merupakan suatu penyakit menular yang banyak menyerang golongan umur anak terutama balita (bawah lima tahun). Dalam dekade terakhir ini insidens penyakit campak tampak cenderung terus menurun. Incidence rate campak pada balita menurut data dari Sub. Dit. Surveillance, Dit. Jen. P2M&PLP pada tahun 1989 adalah 26,3/10.000 ke-mudian menurun menjadi 17/10.000 pada tahun 1990. CFR (Case Fatality Rate) penyakit campak pada tahun 1985 masih sebesar 3,5% dan lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1990 menurun menjadi 2,12%. Sedangkan cakupan imunisasi campak tahun 1989 adalah 64,2% dan tahun 1990 naik menjadi 68,4%.

    Perubahan profil epidemiologi penyakit campak yang se-makin menunjukkan penurunan tersebut di atas, menjadi suatu pertanda agar program juga sudah mulai melakukan perubahan alokasi kebutuhan pelayanan kesehatan dan perubahan kebu-tuhan peningkatan kesehatan. Penurunan insidens campak, di samping karena peningkatan cakupan imunisasi, disebabkan juga karena terjadinya perubahan demografi, perubahan epide-miologi, kecenderungan global di bidang sosial, peningkatan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, perubahan perilaku/gaya hidup yang menyebabkan risiko tertular penyakit menjadi tu-run. Di samping keadaan yang menggembirakan tadi, kita ke-tahui juga bahwa pembangunan kesehatan tidak akan dapat secara merata dinikmati oleh seluruh wilayah di Indonesia, terutama di daerah terpencil yang miskin akan infrastruktur ke-sehatan. Daerah seperti ini, untuk beberapa lama akan masih tetap mempunyai profit epidemiologi yang lama, yaitu masih endemisnya penyakit campak dan penyakit menular lainnya.

    Oleh karena itu, besarnya permasalahan epidemiologi penya-kit campak dari waktu ke waktu di suatu daerah tertentu, perlu dipantau oleh pemegang program agar dapat dilakukan evaluasi program, menentukan cost-benefit program dan menentukan

    prioritas tindakan pelaksanaan program di kemudian hari. Penelitian ini merupakan salah satu hasil dari suatu peneli-

    tian campak, yang akan mengungkapkan masalah cakupan imunisasi dan morbiditas penyakit campak di Kabupaten Suka-bumi dan Kuningan Jawa Barat, dilakukan oleh Kelompok Peneliti Penyakit Menular Lainnya, Puslit Penyakit Menular, Badan Litbangkes. BAHAN DAN CARA

    Bahan dan cara kerjapenelitian ini sama dan telah dijelaskan pada laporan penelitian lain yang berjudul "Partisipasi Masya-rakat terhadap Penyakit Campak di 2 Kabupaten di Jawa Barat". Selain hal-hal yang tertulis sama, di sini jugadijelaskan mengenai adanya perbedaan variabel yang diukur.

    Jenis penelitian Bentuk penelitian ini adalah cross sectional.

    Tempat dan waktu penelitian Waktu penelitian adalah tahun 19911992. Tempat penelitian adalah di dua kabupaten di Jawa Barat

    yang mempunyai perbedaan antara lain : Cakupan imunisasi campak berbeda, walaupun di sekitar 80%. Satu daerah perkotaan dan satunya lagi daerah pedesaan. Keduanya belum pernah melaporkan KLB Campak dalam 3 tahun terakhir Populasi sampel

    Jumlah sampel untuk masing-masing daerah penelitian, adalah 400 orang. Responden adalah orangtua anak yang ber-tempat tinggal di daerah penelitian.

    Cara memilih lokasi penelitian : sccara two stage cluster sampling menurut WHO, dengan unit terkecil desa.

  • Koleksi Data Cara koleksi data dengan menggunakan kuesioner khusus,

    yang diisi pada waktu melakukan wawancara dengan orangtua anak.

    Variabel yang diukur adalah : Umur Pekerjaan Jumlah anak Cakupan vaksinasi campak Angka Kesakitan campak menurut jumlah penghuni, kamar. Gejala dan pengobatan penderita campak. Pengolahan Data

    Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer IBM PC Compatible, dengan menggunakan program EPI INFO versi 5.01. Analisis Data

    Penelitian ini akan melakukan metoda analisis deskriptif untuk menghasilkan data berupa tabel frekuensi dari berbagai macam variabel tentang imunisasi dan morbiditas penyakit campak. Keterbatasan Hasil Penelitian

    Hanya menggambarkan keadaan dua kabupaten di Jawa Barat dan kabupaten lain yang mempunyai persamaan, bukan menggambarkan keadaan secara nasional. HASIL DAN DISKUSI

    Dipilih dua lokasi penelitian di Propinsi Jawa Barat yaitu : 1) Kabupaten Sukabumi yang mewakili suatu daerah perko-taan, menurut kriteria Biro Pusat Statistik, belum pernah me-laporkan KLB Campak, dan dengan cakupan imunisasi campak (19881991) : 88,5%92,2%; dan 2) Kabupaten Kuningan, yang mewakili daerah pedesaan, yang juga belum pernah melaporkan KLB Campak, cakupan imu-nisasi campak (19881991) : 91,0%103,6%.

    Jumlah kuesioner yang telah diisi adalah 1241 buah, yang berarti telah melampaui target sampel sebesar 800. Jumlah sampel untuk setiap variabel dapat berbeda, tergantung jumlah responden yang mengisi masing-masing pertanyaan yang diajukan.

    Umur rata-rata seluruh responden adalah 2050 tahun (96,5%). Jumlah anak pada masing-masing responden pada kabupaten Sukabumi dan Kuningan tidak banyak berbeda. Di Sukabumi maupun Kuningan, proporsi responden yang mem-punyai anak satu orang dan dua orang adalah sama, yaitu 32,8% dan 33,0% di Sukabumi dan 30,2% dan 28,7% di Kuningan. Sedangkan responden yang mempunyai 3 anak di Sukabumi adalah 18,9% dan di Kuningan adalah 22,9%. Masih ada respon-den yang mempunyai anak lebih dari 3 orang walaupun sangat sedikit, yaitu antara 0,5%9,0%. Dari segi pekerjaan responden, pada umumnya mereka adalah tani (49,1%), buruh (35,3%) sebagian kecil adalah pegawai (8,8%) dan dagang (6,9%). Pada umumnya untuk kedua kabupaten yang diteliti, sebagian besar pendidikan responden adalah Sekolah Dasar (tamat dan tidak

    tamat) 81,9%, sedangkan SLTP maupun SLTA hampir sama yaitu 8,0% dan 9,6%.

    Sehubungan dengan permasalahan vane akan dibahas, perlu diketahui jarak antara letak rumah responden dalam penelitian ini, karena jarak rumah responden dengan tempat vaksinasi dapat merupakan suatu faktor yang menghambat kepatuhan masyarakatdalam mengikuti program imunisasi bagi anak mereka. Pada Tabel 1 tampak bahwa responden yang mengikuti peneli-tian ini terbagi rata di seluruh kota, yaitu sebagian rumah respon-den terletak di pinggir kota (35,1%), di tengah kota (33,2%); sebagian kecil mempunyai kebun yang luas (17,9%) dan dekat dengan pasar (13,8%). Tabel 1. Letak Rumah Responden di Kabupaten Sukabumi dan Ku-ningan, Jawa Barat

    Jumlah Letak rumah

    n %

    Pinggir kota Di tengah kota Kebun-luas Dekat pasar

    397 376 202 156

    35,1 33,2 17,9 13,8

    Total 1131 100,0

    Jumlah anak, yang mempunyai data tentang status imunisasi campak adalah 1240 orang. Yang menjawab sudah divaksinasi campak adalah 1047 (Tabe12), berarti cakupan imunisasi cam-pak: 84,4%, dan yang belum pernah divaksinasi campak adalah: 193 (15,6%).

    Distribusi status anak yang telah mendapat imunisasi cam-pak menurut urutan anak tampak pada Tabel 2. Tabel 2 Proporsi Status Imunisasi Campak menurut Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Vaksinasi Campak + Vaksinasi Campak TotalUrutan Anak

    n % n %

    Kesatu Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam

    390 298 169 102

    43 45

    82,6 84,1 88,4 87,1 76,7 90,0

    82 56 22 15 13 5

    17,4 15,9 11,6 12,9 23,7 10,0

    47 354 191 117

    56 50

    Total 1047 84,4 193 15,6 1240

    Tampak bahwapada anak pertama cakupan imunisasi campak sudah mencapai angka 82,6%. Angka ini makin meningkat pada anak urutan berikutnya, kecuali pada anak kelima yang meng-alami penurunan sebanyak 10%.

    Secara umum dapat dilihat bahwa Posyandu merupakan tempat terbanyak untuk mendapatkan vaksinasi campak (65,2%); tidak ada perbedaan antara anak pertama sampai anak ke lima. Pilihan ke dua tempat vaksinasi adalah Puskesmas (32,2%) kemudian Rumah Sakit (1,4%) dan Klinik dokter/mantri/bidan (1,1%). Pertimbangan yang paling logis di sini adalah masalah biaya yang paling murah adalah di Posyandu dan Puskesmas.

    Vaksinator yang berjasa dalam memberikan imunisasi campak tampak pada Tabel 4. Bidan dan Jurim (Juru Imunisasi)

  • paling banyak melakukan imunisasi campak, yaitu 50,0% dan 46,3%, dibandingkan dengan tenaga dokter (3,5%). Proporsi ini tetap sama untuk anak pertama sampai anak ke lima.

    Sebaliknya alasan bagi anak yang tidak divaksinasi campak menurut orangtua mereka tampak pada Tabel 5. Secara umum penyebabnya adalah Tidak Tahu (81,1%) kemudian Lupa (10,5%) dan Jauh (5,5%) dan yang terkecil adalah Dilarang (1,6%) dan Umur Kurang (0,02%). Proporsi penyebab ini cukup konstan

    dari 1 minggu (42,9%) atau 1 minggu (37,4%). Penyakit campak yang berlangsung lebih dari 1 minggu

    mungkin disertai dengan infeksi sekunder (Tabel 7). Gejala penyakit yang menyertai penyakit campak sebagian besar adalah batuk pilek (36,8%) kemudian sesak nafas (22,4%) dan diare (32,8%). Jarang dijumpai muntah berak (5,6%) dan gejala kejang (2,4%).

    Perilaku orangtua anak dalam mengobati penderita campak

    Tabel 3. Proporsi Tempat Mendapat Imunisasi Campak dengan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total Tempat Vaksinasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Posyandu 499 64,3 340 66,5 176 63,1 101 68,7 47 67,1 1163 65,2 Puskesmas 252 32,5 159 31,1 96 34,4 45 30,6 23 32,9 575 32,2 RS 13 1,7 6 1,2 5 1,8 1 0,7 0 25 1,4 Klinik 12 1,5 6 1,2 2 0,7 0 0 20 1,1

    Total 776 100,0 511 100,0 279 100,0 147 100,0 70 100,0 1783 100,0 Tabel 4. Proporsi Vaksinator Campak dan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Tabel 5. Proporsi Sebab Tidak Divaksinasi Campak dengan Urutan Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa

    Barat

    Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total Sebab Tidak Divaksinasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Tidak tahu 142 83,0 80 79,2 40 88,9 22 84,6 10 62,5 294 81,1 Lupa 14 8,2 13 12,9 4 8,9 3 11,5 4 25,0 38 10,5 Jauh 12 7,0 5 5,0 1 2,2 1 3,8 1 6,3 20 5,5 Dilarang 3 1,8 3 3,0 0 0 0 6 1,6 Umur kurang 0 0 0 0 1 6,3 1 0,02

    Total 171 100,0 101 100,0 45 100,0 26 100,0 16 100,0 359 100,0

    pada semua urutan anak. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hambatan di bidang

    ekonomi yang menghambat orangtua tidak membawa anaknya untuk divaksinasi campak, atau hambatan jarak maupun ham-batan teknis lainnya seperti halnya rasa takut, adanya keper-cayaan yang salah seperti menganggap bahwa penyakit campak itu merupakan suatu penyakit "biasa" pada balita. Alasan ketidak tahuan dan lupa, lebih banyak menunjukkan kurangnya upaya aksesibilitas dan kontinuitas informasi imunisasi campak.

    Dari 928 anak yang pernah divaksinasi campak ternyata 123 (13,3%) masih dapat sakit campak. Hal ini menunjukkan efikasi vaksinasi campak sebesar 805/928 = 86,7%.

    . Lama sakit campak menurut keterangan dart orangtua (re-call) tampak pada Tabel 6; sebagian besar berlangsung kurang

    Tabel 6. Lama Sakit Campak pada 147 Anak di Kabupaten Sukabumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Jumlah Lama Sakit

    n %

    < 1 minggu 63 42,9 1 minggu 55 37,4 2 minggu 13 8,8 3 minggu 3 2,0> 3 minggu 13 8,8

    Total 147 100,0

    dapat dilihat pada Tabel 8. Tampak bahwa lebih dari separuh (52,4%) membawa anak mereka berobat ke mantri, 15,2%

    Anak Pertama Anak Kedua Anak Ketiga Anak Keempat Anak Kelima Total Vaksinator

    Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

    Bidan Jurim Dokter

    396 349 27

    51,3 45,2 3,5

    245 244 19

    48,2 48,0 3,7

    130 134 13

    46,9 48,4 4,7

    72 70 3

    49,7 48,3 2,1

    44 24 1

    63,8 34,8 1,4

    887 821 63

    50,0 46,3 3,5

    Total 772 100,0 508 100,0 277 100,0 145 100,0 69 100,0 1771 100,0

  • Tabel 7. Gejala Penyakit Campak pada 125 Anak di Kabupaten Suka- bumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Jumlah Gejala

    n %

    Batuk pilek 46 36,8 Sesak nafas 28 22,4Diare 41 32,8 Muntah berak 7 5,6 Kejang 3 2,4

    Total 125 100,0

    memberi jamu-jamuan untuk penurun panas dan menggosok kulit anak dengan ramuan untuk mempercepat timbulnya rash. Tabel 8. Cara Pengobatan 145 Penderita Campak di Kabupaten Suka- bumi dan Kuningan, Jawa Barat

    Jumlah Pengobatan

    n %

    Obat mantri Jamu Obat dokter Obat modem Obat traditional Tidak diberi obat

    76 22 20 13 12 2

    52,4 15,2 13,8 9,0 8,3 1,4

    Total 145 100,0

    Sebagian orangtua membawa ke dokter (13,8%), membeli

    obat-obatan di warung (9,8%), obat tradisional (8,3%) dan yang tidak memberi pengobatan sama sekali sebesar 1,4%.

    Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang penye-barannya dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk; hal ini dapat terlihat pada Tabel 9. Tampak bahwa proporsi sakit cam-pak dengan tidak sakit campak akan terus meningkat sebanding dengan jumlah orang dewasa dalam satu rumah itu. Bila orang dewasa berjumlah antara 0-2 orang maka proporsi yang sakit campak adalah 5,9%, untuk 2-4 orang dewasa menjadi 12,0% dan 4-6 orang dewasa 12,4% dan lebih dari enam orang dewasa men jadi 15,2%. Tabel 9. Hubungan Antara Jumlah Orang Dewasa dalam Rumah dan Kasus Campak pada Anak, Jawa Barat

    Sakit Campak Jumlah Orang Dewasa Tidak Ya

    Total

    0 16 94,1%

    1 5,9%

    17 1,4%

    2 579 88,0%

    79 12,0%

    658 53,5%

    4 326 87,6%

    46 12,4%

    372 30,2%

    > 6 117 84,8%

    21 15,2%

    138 11,2%

    Total 1038 147 1185

    KESIMPULAN Penyakit campak dilaporkan oleh seluruh 27 propinsi di

    Indonesia.lncidence rate penyakit campak per 10.000 penduduk di Indonesia pada tahun 1990 menunjukkan angka terendah (4,75 - 8,02) di lima propinsi yaitu : Bali, SulSel, DI Aceh, DI Yogyakarta dan Sultra, sedangkan untuk angka tertinggi (36,30 57,89) terdapat di propinsi Maluku, Irja, DKI Jakarta, Sulut dan TimTim.

    BerdaSarkan basil penelitian di dua kabupaten Jawa Barat ini, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah Dit. Jen. P2M&PLP, dalam menanggulangi campak sudah berjalan dengan baik. Angka cakupan imunisasi campak 84,4%, efikasi imunisasi 86,7%; tempat untuk vaksinasi yang dipilih adalah Posyandu 65,2% dan Puskesmas 32,2%. Pelaksana program imunisasi terbanyak Bidan 50,0%, Jurim 46,3% dan pengobatan bagi penderita campak yang diberikan oleh mantri 52,4%.

    Masalah yang masih menonjol adalah bahwa di antara masyarakat yang tidak membawa anaknya untuk diimunisasi campak (15,6%) masih banyak yang disebabkan karena faktor tidak tabu (81,1%) ataupun lupa (10,5%) tentang kegunaan imunisasi campak. Keadaan ini dapat disebabkan karena penye-baran dan kontinuitas informasi mengenai imunisasi campak tidak lancar atau tidak mengenai sasarannya. Penduduk dengan sejumlah anak yang masih belum mendapat imunisasi campak ini akan menjadi suatu daerah kantong KLB campak. Intensi-fikasi penyuluhan campak melalui berbagai macam media yang masuk terutama ke daerah pedesaan masih tetap perlu ditingkatkan.

    Dengan melihat data incidence rate penyakit campak di Indonesia tersebut di atas, maka untuk masa mendatang masalah penanggulangan campak akan berpindah dari daerah di Jawa, Bali dan Sumatera ke daerah terutama dengan endemisitas tinggi lain misalnya propinsi Maluku, Irja, Sulut dan TimTim. Daerah sasaran berikut ini diketahui sangat sulit karena mempunyai hambatan di bidang geografis, kabupaten dan desa yang sulit dicapai, infrastruktur kesehatan yang masih miskin, keadaan gizi dan lain-lain. Semua faktor tersebut, akan menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi campak, makin beratnya gejala penyakitcampak, tingginya angka kematian campak. Sedangkan daerah seperti DKI Jakarta akan terus menghadapi peningkatan urbanisasi yang menyebabkan kepadatan penduduk di daerah kumuh main meningkat, kepadatan penduduk dalam satu rumah juga makin meningkat; sehingga risiko tertular campak meningkat. Untuk mengatasi pergeseran masalah campak ke daerah di luar Jawa, Bali dan Sumatera, perlu lebih ditingkatkan kerjasama lintas sektoral, pemerataan penempatan dan peningkatan kuali-tas tenaga kesehatan, dan peningkatan penyuluhan kesehatan.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kakanwil Dep. Kes. Propinsi Jawa Barat, Dinas P2M&PLP Propinsi Jawa Barat, Dokabu Sukabumi dan Dokabu Kuningan dan para staf, Kapuslit Penyakil Menu/or, serta staf Ke-lompok Peneliti Penyakil Menular Lainnya, Puslit Penynkit Menular, Badan Litbangkes, sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik.

  • KEPUSTAKAAN

    1. SEAMIC Health Statistics, International Medical Foundation of Japan, 1990. 2. Profil Kesehatan Indonesia 1991, Pusat Data Kesehatan, Departemen Ke-

    sehatan. 3. Data Surveilans Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dir. Jen. P2M & PLP,

    Departemen Kesehatan, 1990. 4. Mosley WH, Bobadilla JL, Jamison DT. Health Sector Priorities Review.

    Pop. Health Nutr. Div. World Bank, Washington DC. 5. Imran Lubis, Djoko Y. Partisipasi masyarakat terhadap penyakit Campak di

    2 kabupaten di Jaws Barat, (unpublished)

    6. Wibisono H. Penyakit Campak setelah pencapaian UCI. Seminar Sehari Masalah Campak di Perkotaan ditinjau dariberbagai Aspek. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan Univ. Atmajaya, Jakarta 25 Maret 1991.

    7. Imran Lubis. Virologi Campak. Seminar Sehari Masalah Campak di Per-kotaan ditinjau dari berbagai Aspek. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan Univ. Atmajaya, Jakarta 25 Maret 1991.

    8. Imran Lubis, Marjanis S, Mulyono W. Etiologi Infeksi Pemapasan Akut (ISPA) dan Faktor Lingkungan, Bul Penelit Kes 1990; 18(2): 2633.

    9. Sub. Dit. Imunisasi. Strategi Umum Peningkatan Cakupan Campak untuk Pencapaian UCI pada Akhir tahun 1990, Berita POKJA Campak, ed VII, Juli 1990, p 13.

  • Kekebalan terhadap Pertusis pada Bayi usia 6-36 bulan yang

    Tidak Diimunisasi di Daerah Kumuh dan Keadaan Sosialnya

    Muljati Prijanto, Rabea Pangerti Yekti, Farida S, Sumarno, Siti Mariani S,

    Hambrah Sri Wuryani Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

    Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

    Pertusis (batuk rejan) adalah penyakit saluran pernapasan akut. Penyakit ini biasa ditemukan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernapas-an akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat penularannya. Penyakit tersebut dapat merupakan salah satu penyebab tinggi-nya angka kesakitan terutama di daerah padat penduduk. Sirkulasi bakteri pertusis di daerah padat penduduk di Indonesia belum di-ketahui secara pasti. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi DPT. Vaksinasi pertusis lebih efektif dalam melindungi terhadap penyakit daripada melindungi infeksi. Perlindungan yang tidak lengkap terhadap penyakit pada anak yang telah divaksinasi dapat menurunkan keganasan penyakit.

    Infeksi alam memberi kekebalan mutlak terhadap pertusis selama masa kanak-kanak, sedangkan perlindungan akibat imunisasi kurang lengkap karena masih ditemukan pertusis pada anak yang telah mendapat imunisasi lengkap walaupun dengan gejala ringan.

    Proporsi populasi yang rentan terhadap pertusis ditentukan oleh: tingkatkelahiran bayi, cakupan imunisasi, efektivitas vaksin yang digunakan, insiden penyakit dan derajat penurunan kekebalan setelah imunisasi atau sakit(1).

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kekebalan bayi umur 6 36 bulan yang tidak mendapat imunisasi di daerah kumuh dan ingin diketahui pula hubungannya dengan keadaan sosial keluarga bayi tersebut.

    BAHAN DAN CARA

    Daerah kumuh adalah daerah dengan kepadatan penduduk lebih dari 500 jiwa tiap hektar, sedangkan daerah sedang adalah daerah yang kepadatan penduduknya kurang dari 300 jiwa per hektarnya. Data kepadatan penduduk yang digunakan berasal dari laporan Biro Pusat Statistik tahun 1987.

    Telah dipilih secara acak 10 kelurahan dari masing-masing daerah yang memenuhi kriteria. Penentuan terakhir didasarkan pada hasil kunjungan ke daerah tersebut. Pengamatan diutama-kan pada keadaan sosial ekonomi, letak perumahan, dan jumlah anak Balita kurang lebih 4000 orang. Karena sebagian besar kelurahan memiliki kurang lebih 20003000 orang anak Balita, maka dipilih 2 kelurahan dari masing-masing daerah penelitian. Kedua kelurahan tersebut diperlakukan sebagai satu kesatuan yang mewakili daerah penelitian.

    Daerah kumuh diwakili oleh kelurahan Kampung Rawa dan Tanah Tinggi yang berpenduduk masing-masing 17.964 jiwa dan 37.139 jiwa. Luas area untuk kedua kelurahan tersebut masing-masing adalah 0,03 hektar dan 0,62 hektar. Sedangkan daerah menengah diwakili oleh kelurahan Pondok Kopi yang berpenduduk 23.440 jiwa dengan luas area 2,06 hektar dan kelurahan Cipinang Melayu yang berpenduduk 27.432 jiwa dengan luas area 2,63 hektar.

    Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan cara WHO's EPI Cluster Design(2). Satuan cluster adalah Rukun Tetangga (RT). Jumlah cluster terpilih dapat dilihat pada tabel 1. Dipilih secara acak 40 RT dari lebih kurang 200 RT di setiap daerah pe-nelitian. Setelah diadakan musyawarah dengan kepala kelurahan dan para ketua RT, akhirnya dipilih 30 RT sebagai lokasi pene-litian. Sebagai dasar penimbangan adalah jumlah anak umur 5 tahun, kerja sama yang baik dari penduduk dan juga segi ke-amanan bagi pelaksana penelitian.

    Petugas mengunjungi setiap rumah di masing-masing RT sesuai petunjuk yang ada sampai mendapatkan 7 rumah yang mempunyai 7 bayi umur636 bulan dari setiap RT. Apabila pada RT yang bersangkutan sampel penelitian belum mencukupi, maka petugas mengunjungi RT-RT yang bersebelahan hingga jumlah sampel di setiap cluster terpenuhi. Selanjutnya untuk mengetahui status imun bayi/anak yang sama sekali belum

  • Tabel 1. Jumlah RW, RT dan Cluster yang Terpilih untuk Penelitian

    Kecamatan RW (n) RT (n)

    Cluster (n)

    Daerah Kumuh : Kampung Rawa Tanah Tinggi Daerah Sedang : Pondok Kopi Cipinang Melayu

    8 13

    6 7

    32 47

    19 40

    12 18

    13 17

    Jumlah 34 138 60

    mendapat imunisasi, jumlah bayi/anak perlu ditambah hingga diperoleh sedikitnya 50 orang dari setiap daerah penelitian. Pada bayi umur 636 bulan yang belum mendapat imunisasi kemudian dilakukan pengambilan darah. Orang tua dari bayi/anak-anak tersebut juga diwawancarai untuk mengetahui keadaan sosial, situasi dalam rumah dan sanitasi. Cara pengambilan darah: Darah diambil dari ujung jari seba-nyak 0,1 ml dengan pipet kapiler, langsung diencerkan dengan larutan bufer fosfat (PBS) sebanyak 5 kali. Selanjutnya dibawa dengan termos pendingin ke Pusat Penelitian Penyakit Menular untuk dipisahkan seranya.

    Pemeriksaan kadar zat anti pertusis dilakukan dengan cara mikro aglutinasi, menggunakan antigen yang terbuat dari strain Bordetella pertussis 18323(3).

    Definisi Yang dimaksud dengan ventilasi baik adalah bila rumah

    memiliki jendela dan lubang angin. Ventilasi sedang bila rumah hanya memiliki jendela sedangkan ventilasi buruk bila rumah tidak memiliki jendela dan hanya memiliki lubang angin saja.

    Pembuangan asap dapur dibagi menjadi baik, sedang dan buruk. Kriteria pembuangan asap dapur baik, sedang dan buruk mengikuti definisi ventilasi, hanya letak jendela dan lubang angin terletak di dapur. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Jumlah bayi yang mendapat imunisasi tidak lengkap dan belum pernah mendapat imunisasi dapat dilihat pada tabel 2. Di daerah kumuh dari 30 cluster jumlahnya 124 orang (59,05%) dan di daerah sedang sebanyak 136 orang (64,76%). Jumlah tersebut cukup besar karena pada tahun sebelumnya cakupan masih rendah, pencatatan belum baik, penduduk di daerah ter-sebut sering berpindah tempat. Alasan mengapa ibu tidak membawa anaknya untuk di-imunisasi ditunjukkan pada tabel 3. Alasan tertinggi anak tidak Tabel 2. Status Imunisasi DPT Bayi Umur 636 bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta, tahun 1989

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Status Imunisasi

    n % n %

    Lengkap Tidak lengkap Tidak pernah

    86 116

    8

    40,95 55,24 3,81

    74 101 35

    35,24 48,10 16,67

    Jumlah 210 100,00 210 100,00

    diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap adalah anak sedang sakit dan alasan ke dua adalah ibu terlalu sipuk. Di daerah kumuh masing-masing adalah 57,5% dan 17,5% dan di daerah sedang adalah 57,2% dan 12,2%.

    Tabel 3. Penyebab Belum Imunisasi atau Imunisasi yang Belum Lengkap pada Bayi Umur 636 Bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Penyebab n % n %

    A. Tidak mengerti imunisasi* 6 5 12 8,6 Tidak mengerti dosis imunisasi 5 4,2 2 1,4 Takut reaksi samping imunisasi 4 3,4 8 5,7

    B. Tidak mengerti kapan imunisasi* 3 2,5 2 1,4 Tidak percaya imunisasi 1 0,8 2 1,4

    C. Kesulitan transportasi* Tidak ada petugas imunisasi 2 1,4

    Tidak ada vaksin Ibu terlalu sibuk 21 17,5 17 12,2 Masalah keluarga 6 5 3 2,2 Anak sedang sakit 69 57,5 90 57,2

    Waktu tunggu terlalu lama 4 3,3 9 6,4 Lain-lain 1 0,8 2 2,1

    Jumlah 120 100,0 140 100,0 Keterangan : A. Kurang informasi B. Kurang motivasi C. Hambatan

    Tabel 4 menunjukkan jumlah sampel sera yang terkumpul. Jumlah sera yang berasal dari daerah kumuh sebanyak 55 dan yang berasal dari daerah sedang adalah 81. Berhubung kesulitan mencari anak yang belum mendapat imunisasi DPT pada ke-lompok umur tersebut di 30 cluster maka jumlah tersebut telah ditambah dari RT yang berdekatan. Tabel 4. Jumlah Sera Bayi Umur 636 Bulan dari Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Bulan

    Sera (n) Sera (n)

    6 12 13 24 25 36

    22 20 13

    25 32 24

    Jumlah 55 81

    Tabel 5 menunjukkan jumlah bayi yang memiliki zat anti terhadap pertusis positif pada kelompok umur 611 bulan, 1223 bulan dan 2436 bulan. Jumlah bayi yang memiliki titer positif sangat rcndah yaitu 18,18% di daerah kumuh dan 13,58% di daerah sedang. Persentase bayi yang memiliki titer positif makin meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan ada-nya infeksi alam. Bayi yang mcmiliki titer positif hampir se-luruhnya bertiter rcndah di bawah titer yang dapat memberikan perlindungan (160 U/ml). Jumlahnya yaitu 14 orang dengan titer 10 U/ml, 1 orang dengan titer 20 U/ml, 3 orang dengan titer 40 U/ ml dan 2 orang dengan titer 80 U/ml. Dengan demikian berarti semua anak masih rentan terhadap infeksi batuk rejan.

  • Tabel 5. Distribusi Titer Zat Anti Positif terhadap Pertusis pada Bayi Umur 6-36 Bulan di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Positif Negatif Jumlah Kelompok Umur (bulan) n % n % N %

    Daerah kumuh : 6 12 1 4,5 21 95,5 22 100,0 13 24 6 30,0 14 70,0 20 100,0 25 36 3 23,1 10 76,9 13 100,0 Daerah sedang : 6 12

    2

    6,9

    13

    93,1

    25

    100,0

    13 24 3 9,7 29 90,3 32 100,0 25 36 6 24,0 18 76,0 24 100,0

    Jumlah bayi yang rentan terhadap pertusis diharapkan dapat

    turun dari tahun ke tahun dengan meningkatnya cakupan imunisasi, diperluasnya umur cakupan, potensi vaksin dan rantai dingin yang memenuhi syarat, serta ditingkatnya penyuluhan program kesehatan bagi ibu-ibu di daerah tersebut.

    Vaksinasi pertusis ulangan tidak dianjurkan pada anak-anak setelah umur6 tahun. Dengan tidak adanya rangsangan antigenik dari vaksin atau infeksi alam, maka orang dewasa muda tidak terlindung secara lengkap.

    Menurut penelitian di Amerika Serikat(4) dahulu penyakit pertusis sangat umum pada anak-anak dari golongan sosio-ekonomi rendah sehingga anak remaja dan orang dewasa dari kelompok ini berkesempatan mendapat rangsangan ulang secara alami dari pemaparan terhadap penyakit. Di Amerika orang tua kulit hitam dari golongan sosio-ekonomi rendah diduga mem-punyai kekebalan terhadap pertusis lebih besar dari orang kulit putih yang berasal dari golongan sosio-ekonomi menengah. Penelitian tersebut menganggap bahwa orang dewasa sekarang merupakan sumber utama penularan penyakit pertusis di Amerika(4). Orang dewasa agaknya merupakan sumber infeksi terutama bila penyakit terjadi pada periode neonatal.

    Beberapa hasil penelitian di luar negeri seperti di Inggris, Swedia, Kanada, Finlandia dan Amerika menunjukkan bahwa kenaikan pesat cakupan imunisasi pertusis di atas 80% meng-hasilkan penurunan yang lebih besar, tidak seimbang dalam insiden dan bahwa eradikasi pertusis akan mungkin bila cakupan lebih besar dari 95%(1). Pertimbangan teoritis memperkirakan bahwa cakupan yang tinggi (lebih dari 90%) tidak menyebabkan eradikasi dari pertusis tapi hanya mengubah insiden yang ber-hubungan dengan umur. Walaupun anak-anak dewasa muda akan terlindung dari pertusis pada masa bayinya, penurunan kekebalan sejalan dengan umur akan menyebabkan kenaikan jumlah orang dewasa yang rentan dan insiden pada orang dewasa dan pada bayi yang sangat muda untuk diimunisasi di Amerika (dikutip dari 4).

    Di Indonesia telah dicapai cakupan imunisasi di atas 80%, bahkan di beberapa propinsi telah mencapai lebih dari 90%; namun pengamatan seperti di Amerika belum dilakukan.

    Telah dianalisis pula pengaruh faktor-faktor seperti letak dapur, ventilasi rumah, pembuangan asap, penyediaan air bersih pada status kekebalan terhadap pertusis pada bayi-bayi tersebut.

    Namun hasilnya menunjukkan tidak ada pengaruh dari berbagai keadaan tersebut pada status kekebalan terhadap pertusis. Se-lanjutnya data mengenai keadaan sosial di kedua daerah tersebut akan tetap dibahas dalam makalah ini.

    Tabel 6 menunjukkan tingkat pendidikan ibu dari bayi di daerah kumuh dibandingkan dengan daerah sedang. Pendidikan ibu yang terbanyak adalah Sekolah Dasar yaitu 67,31% di daerah kumuh dan 63,86% di daerah sedang. Jumlah ibu yang ber-pendidikan SLTA di daerah kumuh sebesar 1,92% dan di daerah sedang sebesar 15,66%. Jumlah yang buta huruf di kedua daerah tersebut adalah 15,38% di daerah kumuh dan 12,05% di daerah sedang. Tabel 6. Tingkat Pendidikan Ibu Bayi yang Diteliti di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Pendidikan

    n % n % Buta Huruf 8 25,49 8 9,88 SD 35 67,22 53 65,43 SLTP 8 15,38 7 8,64 SLTA 1 1,92 13 16,05 Perguruan Tinggi 0 0

    Jumlah 52 100,0 81 100,00

    Tabel 7 menunjukkan pekerjaan orang tua dari bayi-bayi peserta penelitian yang tinggal di daerah kumuh. Terbanyak adalah sebagai buruh harian/lepas sebesar 60% dan sebagai wiraswasta sebesar 40%. Sedangkan di daerah sedang sebanyak 40,62% sebagai buruh harian, 31,25% sebagai karyawan/pe-gawai dan 28,13% berwiraswasta. Sebagian besar responden tidak mau memberikan jawaban tentang pekerjaan suaminya.

    Tabel 7. Pekerjaan Orang Tua Bayi yang Diteliti di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Jenis Pekerjaan n % n %

    Tidak ada Buruh harian lepas 12 60 13 40,62 Wiraswasta 8 40 9 28,13 Karyawan/pegawai 10 31,25

    Jumlah 20 100,00 32 100,00

    Pelayanan kesehatan yang dipilih oleh keluarga bila anak-nya sakit dapat dilihat pada Tabel 8. Pilihan tertinggi di kedua daerah penelitian tidak berbeda yaitu berobat ke Poliklinik dan pilihan kedua adalah berobatpada Bidan/Mantri. Tindakan yang dilakukan bila anak sakit di kedua daerah tidak berbeda, yang mencapai persentase tertinggi adalah diobati sendiri dan tindakan dengan persentase tinggi ke dua adalah dibawa ke dokter Pus-kesmas (Tabel 9).

    Jumlah ruangan yang dimiliki keluarga di dacrah kumuh rata-rata 2 ruangan dan salah satunya adalah kamar tidur. Di daerah sedang jumlah ruang yang ditempati rata-rata adalah 3

  • ruangan termasuk 2 sebagai kamar tidur. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran luas kamar. Jumlah penghuni rumah di daerah kumuh rata-rata adalah 7 orang, sedangkan di daerah sedang adalah 5 orang. Tabel 8. Pilihan Tempat Berobat bila Anggauta Keluarga Sakit di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Tempat Berobat

    n n % Diobati sendiri 1 4,17 7 15,91 Bidan/Mantri 8 33,33 15 34,09 Poliklinik 13 54,17 19 43,18 Dokter swasta 2 8,33 3 6,82

    Jumlah 24 100,00 44 100,00

    Tabel 9. Tindakan yang Dilakukan bila Anak Sakit Batuk di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Tindakan

    n 46 n % Tidak dimandikan 6 24 8 21,05 Tidak kena angin 2 8 1 2,63 Diobati sendiri 9 36 15 39,47 Dibawa ke dokter/PKM 8 32 13 34,22 Penambahan gizi Pengurangan ASI Lain-lain 1 2,63

    Jumlah 25 100,00 38 100,00

    Ventilasi rumah yang termasuk baik dan sedang tidak ber-

    beda di kedua daerah penelitian, namun ventilasi buruk di daerah kumuh jumlahnya 2 kali lebih besar dari daerah sedang, yaitu 29,41% berbanding 14,81% (Tabel 10). Keadaan pembuangan asap dapur dan ventilasi rumah yang buruk akan berpengaruh buruk pula terhadap kesehatan, terutama anak-anak.

    Tabel 10. Ventilasi Dalam Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Ventilasi Rumah

    n % n %

    Baik Sedang Buruk

    23 13 15

    45,10 25,49 29,41

    44 25 12

    54,32 30,86 14,81

    Jumlah 51 100,00 81 100,00

    Letak dapur dan pembuangan asap dapur dapat dilihat pada

    tabel 11 dan 12. Letak dapur di dalam atau di luar rumah tidak berbeda antara kedua daerah penelitian, namun pembuangan asap yang buruk di daerah kumuh tercatat 51,35% dan di daerah sedang 31,33%. Pembuangan asap yang baik sebanyak 9,64% terdapatdi daerah sedang, namun tidak terdapat di daerah kumuh. Penyediaan air bersih (Tabel 13) di daerah kumuh yaitu dengan membeli air bersih sebanyak 39,22%, menggunakan sumur umum 25,49% dan hanya 23,53% yang menggunakan sumur pribadi. Di daerah sedang yang mcnggunakan sumur

    Tabel 11. Letak Dapur di Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Letak Dapur

    n % n %

    Di dalam rumah Di luar rumah

    25 30

    45,45 54,55

    63 18

    77,78 22,22

    Jumlah 55 100,00 81 100,00 Tabel 12. Pembuangan Asap Dapur di Rumah Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Pembuangan Asap Dapur n % n %

    Baik Sedang Buruk

    26 28

    48,15 51,85

    8 49 24

    9,88 60,49 29,63

    Jumlah 54 100,00 81 100,00 Tabel 13. Sarana Penyediaan Air Bersih di Rumah Keluarga Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Sarana

    n % n % SumurUmum 13 25,49 22 27,16 Beli Air 20 39,22 Sumur Pribadi 12 23,53 59 72,84 PAM 6 11,76

    Jumlah 51 100,00 81 100,00

    pribadi sebanyak 71,08% sisanya menggunakan sumur umum dan tidak ada lagi yang membeli air minum. Keadaan tersebut menyebabkan ban yaknya penampungan air bersih di depan rumah penduduk di daerah kumuh.

    Sarana buang air besar ditunjukkan pada tabel 14. Di daerah kumuh 68,09% menggunakan WC umum, sedangkan di daerah sedang 60,98% telah memiliki WC pribadi. Namun di daerah sedang yang kebetulan letaknya dekat sungai masih terdapat 10,98% yang masih menggunakan sungai sebagai sarana buang air besar.

    Melihat keadaan sosial tersebut di atas maka perbaikan keadaan daerah kumuh perlu mendapat perhatian yang lebih besardari pemerintah. Selain itu peran serta masyarakat dalam program kesehatan dan perbaikan lingkungan perlu ditingkat-kan. Tabel 14. Sarana Tempat Buang Air Besar di Rumah Keluarga Peserta Penelitian di Daerah Kumuh dan Sedang di Jakarta

    Daerah Kumuh Daerah Sedang Sarana

    n % n % Selokan Umum 1 2,13 4 4,94 Sungai 1 2,13 9 11,11 WC Umum 32 68,09 19 23,46 WC Pribadi 13 27,66 49 60,49

    Jumlah 47 100,00 81 100,00

  • KESIMPULAN 1) Status kekebalan terhadap pertusis pada kelompok bayi umur 6-36 bulan sangat rendah yaitu 18,18% di daerah kumuh dan 13,58% di daerah sedang dan keduanya tidak berbeda nyata; namun jumlah anak yang memiliki titer positif terhadap pertusis pada kelompok umur 1-2 tahun yang tinggal di daerah kumuh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tinggal di daerah sedang yaitu 30% berbanding 9,7%.

    Bayi umur 6-36 bulan baik yang tinggal di daerah kumuh maupun daerah sedang 84% tidak memiliki kekebalan terhadap pertusis, sedangkan sisanyakalaupun memiliki kekebalan belum dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi. Berarti anak-anak tersebut masih rentan terhadap infeksi pertusis. 2) Berbagai faktor sosial yang diteliti tidak menunjukkan ada-nya hubungan dengan kekebalan terhadap pertusus. SARAN 1) Di daerah kumuh dan sedang sasaran imunisasi dapat diper-luas pada anak-anak sampai umur 3 tahun mengingat persentase anak-anak yang rentan cukup tinggi. 2) Kondisi sosial ekonomi bayi umur 6-36 bulan di daerah kumuh perlu mendapat perhatian yang lebih besar, karena ke-

    adaan yang ada dapat mempercepat terjadinya penularan penya-kit seperti ISPA, diare dan lain-lain. Penyuluhan pada ibu-ibu di daerah tersebut perlu lebih ditingkatkan agar mereka lebih ber-peran aktif dalam pelaksanaan program kesehatan. UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Mashur, Kepala Bidang Bindal PKPP, Bapak Daud Djayasudarma, koordinator Urban Strategi DKI, Dr Surjadi Gunawan DPH, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Dr Titi Indijati, Kepala Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi, Dir Jen P2M & PLP atas segala petunjuk dan saran yang diberikan.

    Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak-bapak lurah, pim-pinan Pusat Kesehatan Masyarakat, Ketua Rukun Warga, Rukun Tetengga dan ibu-ibu PKK dari Kelurahan Kampung Rawa, Tanah Tinggi, Pondok Kopi, Cipinang Melayu atas segala bantuannya selama penelitian dilaksanakan.

    KEPUSTAKAAN

    1. Thomas MG. Epidemiology of Pertusis. Reviews of infectious diseases,

    vol II; 2; 1989; 255-262. 2. Henderson RH, T Sundaresen. Cluster sampling to assess immunization

    coverage: a review of experience with simplified sampling method. Bull WHO 1982; 60(2): 253-260.

    3. Manclark C, BD Meade. Serological response to Bordetella pertussis. In: Manual of Clinical Immunology. 2nd ed. Am Soc Microbiol 1980; 496-99.

    4. Nelson JD. The changing epidemiology of Pertussis in young infants. Am J Dis Child 1978; 132: 371-3.

  • Infeksi Ulang Rotavirus pada Anak Sehat di Kotamadya Bandung , Jawa Barat

    Djoko Yuwono*, Eko Rahardjo*, Imran Lubis*, Suharyono*, Sutoto**

    *) Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    **) Subdit. Diare dan Kecacingan, Ditjen. Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    ABSTRAK

    Suatu penelitian seroepidemiologi mengenai infeksi rotavirus telah dilakukan didaerah endemik diare, di daerah kumuh dan non kumuh di Kotamadya Bandung dan didaerah pedesaan di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian iniialah untuk mengetahui besarnya prevalensi penularan rotavirus sebagai penyebab diareakut pada anak umur 036 bulan.

    Untuk penelitian tersebut telah dilakukan pcmantauan kasus diare akut akibat infeksirotavirus pada penderita yang berobat ke Puskesmas setempat. Sebanyak 175 sampeltinja telah dikumpulkan dari penderita diare akut, yaitu 89 sampel berasal dari PuskesmasKotamadyaBandung dan 84 sampel berasal dari Puskesmas Kabupaten Ciparay. Untukmengetahui besarnya penularan infeksi rotavirus pada masyarakat, dilakukan penelitianserokonversi terhadap infeksi rotavirus di daerah tersebut, yaitu dengan pemeriksaanantibodi rotavirus secara periodik. Pengambilan serum dilakukan sebanyak tiga kalidengan interval selama dua bulan. Sebanyak 492 sampel darah telah dikumpulkan selamapenelitian, yaitu sebanyak 166 dan 141 spesimen berasal dari daerah kumuh dan nonkumuh di Kotamadya Bandung serta 185 spesimen darah berasal dari daerah pedesaan diKabupaten Ciparay. Untuk mendeteksi rotavirus dalam tinja dilakukan dengan UjiReversed Passive Hemagglutination Assay (RPHA), sedangkan pemeriksaan antibodirotavirus dilakukan dengan Uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yangdiisolasi dari penderita diare akut.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya prevalensi rotavirus pada penderitadiare akut di Puskesmas adalah sebesar 41,3% diKotamadya Bandung dan 19,14% diKabupaten Bandung. Hasil pemeriksaan kekebalan terhadap rotavirus menunjukkanbahwa sebesar 57,8% dan 45,4% anak umur 036 bulan di daerah kumuh dan non kumuhdi KotamadyaBandung telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus, sedangkan 35,2%anak umur 0-36 bulan di Kabupaten Bandung juga telah memiliki kekebalan terhadaprotavirus. Selanjutnya basil pemeriksaan serokonversi terhadap rotavirus pada serumpengambilan kedua dan ketiga menunjukkan bahwa terdapat adanya serokonversi akibatinfeksi rotavirus yang besarnya 7,4% 11,8% sebagai infeksi primer dan 3,6% sebagaiinfeksi sekunder di Kotamadya Bandung, sedangkan di Kabupaten Bandung ditemukan3,1% 6,3% sebagai infeksi primer dan 6,3% sebagai infeksi sekunder.

    Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi infeksi sekunder oleh karenarotavirus pada anak sehat umur 036 bulan.

  • PENDAHULUAN

    Sampai saat ini rotavirus masih merupakan penyebab utama penyakit diare akut non bakteri pada anak dan bayi. Sekitar 20%40% penderita diare anak yang berobat ke rumah sakit di negara berkembang, terkena infeksi rotavirus, sedangkan 35%50% anak di negara maju mengalami hal yang serupa(1). Infeksi rotavirus yang serius dan bahkan fatal terutama terjadi pada anak umur 6-12 bulan di negara berkembang, sedangkan di negara maju hal serupa terjadi pada anak umur 12-18 bulan(2).

    Penelitian rotavirus yang telah dilakukan di Indonesia pada umumnya adalah penelitian klinik, sekitar 30%-40% anak pen-derita diare akut yang berobat ke rumah sakit terkena infeksi rotavirus(3.4.5). Hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat daerah kumuh di Jakarta Utara, menunjukkan bahwa 16,2% anak penderita diare terkena infeksi rotavirus(6). Data dasar tentang etiologi diare yang bersumber pada masyarakat diakui memiliki arti penting dibandingkan dengan data yang diperoleh dari rumah sakit yang telah ditunjuk untuk menangani penyakitdiare. Namun sangat disayangkan bahwa penelitian rotavirus yang dilakukan di Indonesia selama ini masih bersifat sporadik, sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang hasilnya dapat dipakai sebagai penunjang penanggulangan penyakit diare terutama infeksi rota-virus di masa datang. Hal-hal yang masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai infeksi rotavirus antara lain adalah: a) Tipe rotavirus yang dominan, tipe rotavirus yang sering menimbul-kan wabah, b)Seroprevalensi rotavirus, besarnya angka kesakit-an dan kematian rotavirus. Hal tersebut sangat besar manfaatnya mengingat adanya program Badan Kesehatn Sedunia (WHO) tentang perlunya imunisasi rotavirus di negara berkembang.

    Penelitian ini adalah suatu studi kohort rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan yang tinggal di daerah endemik diare, yang selama dua tahun terakhir tidak pemah melaporkan adanya wabah atau KLB (Kasus Luar Biasa) diare. Lokasi penelitian di-pilih daerah perkotaan yang dibedakan atas daerah kumuh dan non kumuh serta daerah pedesaan. Adapun kegiatan penelitian ini terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu: 1) Pemantauan kasus diare akut pada anak umur 0-36 bulan, tujuannya untuk menge-tahui besarnya insiden rotavirus di Puskesmas setempat. 2) Pe-nelitian serokonversi rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan di lokasi penelitian yang sama, yang dilakukan secara periodik selama 6 bulan, dengan interval pengambilan darah setiap 2 bulan. Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui besarnya infeksi rotavirus di masyarakat.

    Pclaksanaan penelitian dilakukan pada pertengahan musim penghujan dan diakhiri pada pertengahan musim panas, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui pengaruh musim terhadap penyebaran rotavirus di alam. Perlu diketahui bahwa daerah desa dan kota ditentukan berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik tahun 1988, sedangkan daerah kum uh dan non kumuh ditentukan berdasarkan angka kepadatan penduduk, yaitu lebih dari 10.000 penduduk tiap km2 dinyatakan sebagai daerah kumuh(7,8).

    Tujuan penelitian ini ialah ingin mencari data dasar mengenai infeksi rotavirus secara lengkap di daerah endemik diare, yang diharapkan dapat mewakili daerah-daerah lain di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh masukan-masukan yang

    dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan program penanggulangan diare akut di Indonesia. BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi dan populasi

    Penelitian ini dilakukan di daerah endemik diare, dengan mengambil lokasi di daerah kumuh dan non kumuh di perkotaan serta daerah pedesaan. Penentuan lokasi ditentukan oleh Di-rektorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehat-an Lingkungan Pemukiman (P2M dan PLP) dan Kanwil Depar-temen Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Kriteria daerah endemik diare ditentukan berdasarkan insiden diare dan selama dua tahun terakhir tidak pernah melaporkan KLB diare. Penentuan daerah desa dan kota ditentukan berdasarkan kriteria Biro Pusat Statistik tahun 1988, sedangkan penentuan daerah kumuh dan non kumuh ditentukan menurut kepadatan penduduknya, yaitu lebih dari 10.000 jiwa tiap km2 dinyatakan sebagai daerah kumuh. Populasi yang diteliti adalah anak-anak umur 0-36 bulan, yang tinggal di daerah kumuh dan nonkumuh di daerah kota serta di daerah pedesaan dengan perincian 150 anak setiap lokasi. Jumlah anak tersebut dikelompokkan menjadi kelompok umur 0-9 bulan; 10-18 bulan; 19-27 bulan dan 28-36 bulan. Peng-ambilan sampel dilakukan secara acak dengan memanfaatkan kegiatan Posyandu setempat. Kelompok lain adalah anak-anak penderita diare akut yang datang berobat ke masing-masing Puskesmas, untuk setiap lokasi diikutsertakan satu Puskesmas.

    Jenis spesimen Sampel yang diteliti dibedakan menjadi dua jenis spesimen

    yaitu: Tinja, diambil dari anak penderita diare akut di setiap Pus-kesmas. Tinja ditampung di dalam kontainer 10 ml, sebanyak 5-10 g tinja diambil dari tiap anak, selanjutnya disimpan di dalam lemari es (refrigerator). Tiap dua minggu sekali petugas pusat datang mengambil spesimen tersebut dibawa dengan thermos berisi es keLaboratoriumVirologi Puslit Penyakit Me-nular di Jakarta. Setibanya di laboratorium spesiinen disimpan dalam suhu -20C untuk kemudian diproses dengan membuat suspensi tinja 10% dalam larutan Fosfat Bufer Salin (PBS) pH 7,2, kemudian diputar 3000 rpm selama 30 menit, supernatannya diperiksa untuk mengetahui adanya rotavirus.

    Sampel berupa darah diambil dari anak sehat umur 0-36 bulan dari tiap lokasi. Darah diambil dari ujung jari dengan meresapkannyapadakertas filter disk, dua kertas filter untuk tiap anak. Kertas filter yang berisi darah sampai jenuh didiamkan pada suhu kamar yang sejuk dan kering sampai darahnya me-ngering. Selanjutnya kertas filter disimpan dalam kemasan rapat dan kering dalam lemari es sampai siap untuk diperiksa atas adanya antibodi rotavirus.

    Pemeriksaan rotavirus dalam tinja Pemeriksaan rotavirus dilakukan dengan Uji Reversed

    Passive Hemagglutination Assay (RPHA) dengan mengguna-kan eritrosit kalkun (turkey) yang telah dilapisi dengan antibodi monoklonal rotavirus. Terjadinya aglutinasi pasif pada spesimen tinja menunjukkan adanya rotavirus. Spesimen yang mem-punyai titer >64 dinyatakan positif, untuk selanjutnya dilakukan

  • uji sertifikasi untuk konfirmasi hasilnya.

    Pemeriksaan antibodi rotavirus dalam darah Kertas saring yang berisi darah terlebih dahulu diproses

    dengan melarutkan dalarn larutan 12,5% kaolin dalam PBS, selama 18 jam pada suhu 4C, untuk menghilangkan inhibitor nonspesifik dan mendapatkan IgG serum. Konsentrasi serum awal dibuat menjadi 1:10 dan selanjutnya dipakai dalam uji Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus. Uji Ham-batan Hemaglutinasi dilakukan dengan microassay pada mikro-plat 96 lubang, modifikasi dari metoda Eiguchi et al, 1987(9). Antigen yang dipakai berasal dari rotavirus hasil isolasi yang diperoleh dari penderita diare akut di Kabupaten,Kuningan, Jawa Barat. 4 HA unit rotavirus antigen dipakai untuk reaksi antigen-antibodi, yang dilakukan pada suhu kamar selama 60 menit. Pembacaan hasil dilakukan setelah penambahan indikator 0,3% eritrosit golongan 0 dalam PBS dan inkubasi pada suhu 37C selama 30 menit. Adanya hambatan hemaglutinasi oleh antigen rotavirus menunjukkan adanya antibodi rotavirus di dalam serum. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Insiden rotavirus pada penderita diare akut di Puskesmas Hasil pemeriksaan 175 spesimen tinja yang berhasil dikum-

    pulkan dari penderita diare akut yang berobat ke Puskesmas menunjukkan bahwa besarnya insiden rotavirus pada penderita diare akut di perkotaan rata-rata sebesar 40,0% dan di pedesaan sebesar 23,8% (Tabel 1). Tabel 1. Persentase Insiden Rotavirus pada Anak umur 0-36 bulan Pen- derita Diare Akut di Puskesmas Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

    Rotavirus positif pada penderlta diare akut

    Puskesmas kotamadya Puskesmas kabupaten Bulan

    n % n %

    Mei 21 43,0 21 19,0 Juni 15 40,0 18 27,5 Juli 15 40,0 17 26,6 Agustus 20 42,6 13 22,3 September 18 40,9 17 24,3

    Hasil penelitian yang telah dilakukan selama ini di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi rota-virus di klinik ternyata berkisar antara 30%40%(3,4,5) dan ter-nyata hasil yang diperoleh dari penelitian ini juga tidak berbeda jauh. Yang terlihat agak berbeda adalah mengenai insiden rota-virus di daerah pedesaan, di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, yaitu antara 19,0%23,0%. Faktor yang merupakan penyebab agak rendahnya insiden rotavirus ini mungkin masih perlu diteliti lebih lanjut.

    Hubungan antara besarnya insidcn rotavirus pada penderita diare akut di Puskesmas dengan besarnya curah hujan dapat dilihat pada Gambar 1. Tujuan penelitian ini semula adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh iklim terhadap besamya penularan rotavirus, namun sangat disayangkan bahwa selama penelitian dilakukan ternyata tidak terdapat perbedaan

    Gambar 1. Insiden Rotavirus dan Curah Hu jan di daerah Bandung tahun 1990

    Gambar 2. Infeksi Rotavirus dan Curah Hujan di daerah Bandung tahun 1990

    iklim yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau, se-hingga besarnya insiden rotavirus tiap bulan hanya dikaitkan dengan besarnya curah hujan pada bulan yang sama. Hasilnya ternyata tidak dapat ditarik suatu kesimpulan yang pasti, sebab pada bulan Juli di saat curah hujan mencapai 100 mm temyata insiden rotavirus tidak menunjukkan adanya kenaikan atau penurunan yang berarti.

    Serokonversi rotavirus pada anak sehat umur 036 bulan Selama penelitian telah berhasil dikumpulkan sebanyak 492

    sampel darah yang masing-masing sebanyak 152 dan 155 berasal dari daerah kumuh dan non kumuh di Kotamadya Bandung serta sebanyak 185 spesimen berasal dari dacrah pcdesaan di Kabu-paten Bandung. Pengambilan sampel dilakukan dengan me-manfaatkan kegiatan Posyandu setempat, hal ini sangat mem-bantu kegiatan pengambilan spcsimcn ulangan kedua atau ke-

  • tiga, sehingga drop out anak yang diteliti dapat ditekan serendah mungkin. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini telah di-tentukan 3 Puskesmas di KotamadyaBandung yaitu Puskesmas Gumuruh dan Puskesmas A. Yani di daerah nonkumuh, sedang-kan Puskesmas Kiara Condong untuk daerah kumuh. Puskesmas Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dipilih sebagai Puskes-mas di daerah pedesaan.

    Hasil pemeriksaan antibodi rotavirus pada survei serologi yang pertama menunjukkan bahwa 57,8% dan 45,4% anak umur 0-36 bulan di daerah kumuh dan nonkumuh di Kotamadya Bandung telah memiliki antibodi rotavirus, sedangkan 35,2% anak umur 0-36 bulan di pedesaan juga telah memiliki kekebal-an terhadap rotavirus (Tabel 2). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan pada anak umur 312 bulan di tepian S:ungai Mahakam, Kabupaten Kutai, yang me-nunjukkan bahwa ternyata 68,6% anak umur 312 bulan telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus(10); sedangkan dalam penelitian ini di daerah kumuh Kotamadya Bandung ternyata 62,5% bayi umur 0-9 bulan juga telah memiliki kekebalan ter-hadap rotavirus. Tabel 2. Persentase Seroprevalensi Rota virus pada Anak umur 0-36 bulan di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

    Kotamadya

    Kumuh Nonkumuh Kabupaten Umur (bulan)

    n % n % n % 0 9 42 62,5 35 47,6 39 29,0

    10 18 40 50,0 43 39,1 48 24,4 19 27 46 82,8 32 91,7 52 40,6 28 36 38 83,4 31 93,8 46 42,1

    0 36 166 57,8 141 45,4 185 35,2 Keterangan : (n) : jumlah spesimen yang diperiksa.

    Hasil pemeriksaan antibodi rotavirus pada survei serologi ke dua ternyata menunjukkan bahwa terdapat infeksi primer sebesar 10,1% dan 3,6% infeksi sekunder pada anak di daerah kumuh, sedangkan 11,8% dan 2,0% anak di daerah nonkumuh pernah terkena infeksi primer dan infeksi sekunder rotavirus. Lebih lanjut dapat diketahui bahwa infeksi rotavirus pada anak umur 0-36 bulan di daerah pedesaan besarnya 6,3% dan 2,3% masing-masing sebagai infeksi primer dan infeksi sekunder (Tabel 3). Tabel 3. Persentase Serokonversi Rotavirus dari Pengambilan Serum ke dua dan Serum pertama pada Anak Sehat umur 0-36 bulan di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

    Serokonversi rasio (%)

    Kumuh Nonkumuh Kabupaten

    IP IP IP Kel. umur

    (bulan)

    n % IS

    n % IS

    n % IS

    0 9 34 8,8 5,9 31 9,7 0,0 31 3,1 0,0 10 18 32 12,5 0,0 31 16,1 0,0 41 9,8 0,0 19 27 39 5,1 5,1 26 19,2 0,0 32 6,3 0,0 28 36 33 15,2 3,0 30 6,7 0,0 38 5,3 0,0

    0 36 138 10,1 3,6 118 11,8 0,0 142 6,3 0,0

    Keterangan : (n) : jumlah spesimen yang diperiksa IP : Perubahan seronegatifinenjadi seropositif IS : Kenai/can titer antibodi >4

    Dari hasil pemeriksaan antibodi rotavirus dari survei sero-logi ke tiga ternyata dapat diketahui terjadi penurunan besarnya infeksi rotavirus pada anak-anak di masing-masing lokasi peneliti-an. Di daerah kumuh ditemukan sebesar 7,4% dan 9,9% sebagai infeksi primer dan sekunder, sedangkan di daerah nonkumuh ditemukan sebesar 5,3% dan 9,6% sebagai infeksi primer dan sekunder. Lebih lanjut di daerah pedesaan ternyata ditemukan infeksi rotavirus sebesar 3,1% dan 6,3% sebagai infeksi primer dan infeksi sekunder (Tabe14). Tabel 4. Persentase Serokonversi Rotavirus dad Pengambilan Serum ke tiga dan Serum ke dua pada Anak Sehat umur 0-36 bulan di Kotamadya dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tahun 1990

    Serokonversi rasio (%)

    Kumuh Nonkumuh Kabupaten

    IP IP IP

    Kel. umur (bulan)

    n % IS

    n % IS

    n % IS

    0 9 31 6,4 6,9 30 3,3 6,6 29 3,4 0,0 10 18 30 3,2 6,6 29 6,8 3,4 26 2,7 2,7 19 27 29 3,4 13,8 26 3,8 11,5 27 7,4 3,7 28 36 31 9,6 9,6 29 6,9 13,8 35 2,8 14,3

    0 36 121 7,4 9,9 114 5,3 9,6 127 3,1 6,3 Keterangan : IP : perubahan seronegatif menjadi seropositif IS : Kenaikan titer antibodi >4 (n) : jumlah spesimen yang diperiksa

    Adanya infeksi primer pada anak-anak yang tidak disertai adanya gejala klinik yang serius (diare dan dehidrasi berat) diduga disebabkan oleh adanya infeksi rotavirus tipe lain yang perlu diteliti lebih lanjut, terutama di Indonesia, di mana tipe rotavirus yang merupakan penyebab wabah (KLB) rotavirus dan tipe virus dominan pada penderita non wabah belum diketahui dengan jelas(11). Adanya infeksi sekunder tanpa gejala klinik yang jelas pada anak-anak dapat diterangkan oleh adanya ke-kebalan yang mungkin diperoleh dari ibu atau mungkin diper-oleh dari infeksi alamiah(10-12).

    Infeksi rotavirus pada anak sehat di alam bebas ternyata be-sarnya antara 6,3% - 11,8%, hasil ini juga tidak terlalu berbeda dengan hasil yang pemah dilakukan di Jakarta Utara pada tahun 1981, yaitu sebesar 16,2%(6).

    Hubungan besamya infeksi rotavirus pada anak sehat umur 0-36 bulan dengan besarnya curah hujan dapat dilihat pada Gambar 2. Dari data insiden rotavirus di Puskesmas, maka besarnya infeksi rotavirus pada anak sehat dan kaitannya dengan curah hujan, juga tidak begitu jelas terlihat. Akan tetapi masih dapat dilihat terjadinya penurunan infeksi rotavirus pada survei ke tiga dibanding dengan survei ke dua, yaitu dari 10,1%-11,8% menjadi 7,4%-9,9%, sedangkan curah hujan pada saat survei ke-tiga dilakukan tampak sudah menurun dari 100 mm menjadi 20 mm. Hasil ini mungkin dapat menjelaskan bahwa penurunan curah hujan akan menghambat terjadinya penyebaran rotavirus

  • di alam. KESIMPULAN 1) Besarnva insiden rotavirus pada Puskesmas di daerah per-kotaan dan pedesaan di Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung sebesar 19,0% 43,0%. 2) Antara 45,4% 57,8% anak umur 036 bulan di Kotamadya Bandung telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus, sedang-kan 35,2% anak serupa di KecamatanCiparay,Kabupaten Ban-dung, juga telah memiliki kekebalan terhadap rotavirus. 3) Besarnya infeksi rotavirus pada anak sehat umur 036 bulan di daerah kumuh dan non kumuh di KotamadyaBandung adalah 7,4% 11,8% sebagai infeksi primer dan 3,6% sebagai infeksi sekunder. Adapun di daerah pedesaan ditemukan 3,1% 6,3% sebagai infeksi primer dan 6,3% sebagai infeksi sekunder. 4) Tidak diperoleh hubungan yang jelas antara besarnya infeksi rotavirus dan besarnya curah hujan di daerah penelitian. SARAN 1) Berdasarkan besarnya insiden rotavirus maka dapat disaran-kan agar penanggulangan rotavirus di Indonesia difokuskan di daerah perkotaan. 2) Dengan adanya infeksi sekunder yang tidak menimbulkan gejala klinik yang jelas, maka pemberian imunisasi terhadap rotavirus masih perlu dipertimbangkan. 3) Dengan belum diketahuinya tipe rotavirus yang dominan di Indonesia, penggunaan jenis vaksin rotavirus yang tepat untuk Indonesia belum dapat ditentukan. UCAPAN TERIMAKASIH

    Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1) Direktur Jenderal Ditjen. PPM dan PLP, DepKes. RI. yang telah mem-berikan ijin dan dana sehingga terlaksananya penelitian ini. 2) Kepala Kanwil DepKes Propinsi Jawa Barra, yang telah memberikan ijin sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. 3) Kepala Puslit Penyakit Menular, yang telah memberikan ijin pelaksanaan

    penelitian ini. 4) Para Dokter dan paramedik baik di kotamadya, kabupalen maupun di Puskesmas, alas kerjasama yang baik sehingga penelitian ini berjalan dengan baik. 5) Semua fihak yang tidak mungkin kanu s,,butkan satu per satu yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan tenaga sehingga penelitian ini berjalan dengan baik.

    KEPUSTAKAAN

    1. Davidson GP, Bishop RF, Townley RR, Holmes III, Ruck BJ. Importance

    of a New virus in Acute sporadic enteritis in children. Lancet 1975; 1: 242-6.

    2. Bishop RF. Epidemiology of diarrhoeal disease caused by rotavirus. In: (11th Eds). Development of Vaccines and Drugs against Diarrhoea. Nobel Conference, Stockholm: JHA. Lindberg & R. Mollby 1985. England: Chanwell-Brau Ltd. 1986; 158-170.

    3. Sunano Y, Sebodo T, Ridho R - et al. . Acute, diarrhoea and rotavirus infection in newborn babies and children in Yogyakarta, Indonesia from June 1978 to June 1979. J. Clin. Microbiol. 1981; 14: 123-9.

    4. Simanjuntak C. Aspek Mikrobiologik Penyakit Diare. Dalam: Prosiding Pertemuan Bmiah Penyakit Diare. I. Koiman (Ed). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes RI. Jakarta 1983. p. 176-98.

    5. Suharyono, Koiman I. Penelitian Penyebab Penyakit Diare Akut di klinik tahun 1974-1982. Dalam: Prosiding Pertemuan Bmiah Penyakit Diare di Indonesia. I. Koiman (Ed.). Badan Penelitian dan Pengembangan Kese-hatan, DepKes RI. Jakarta 1983; p. 199-211.

    6. Sutoto, Muchtar MA, Karyadi, Brotowasisto. Morbidity and mortality study on diarrhoeal diseases in North Jakarta an urban area, 1981. Disaji-kan dalam Kongres Asosiasi Castroenterologi Indonesia, Jakarta, 1981.

    7. NN. Jawa Barat dalam angka 1989. Kantor Statistik Jawa Barat, Bandung. Biro Pusat Statistik p. 3-10.

    8. NN. Klasifikasi Urban-Rural berdasark.n PODS-SE 1986. Biro Pusat Statistik, Jakarta Maret 1988.

    9. Eiguchi Y et al. Hemaglutination and Hemaglutination Inhibittion Test with Porcein Rotavirus. Kitasato Arch. Exp. Med. 1987; 60(4): 167-172.

    10. Djoko Yuwono dkk. Kekebalan terhadap rotavirus pada bayi di kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 65: 25-27.

    11. Yolken RH, Wyatt RG, Zissis GP et al. Epidemiology of I Iuman rotavirus type 1 and type 2 as studied by Enzyme Linked Immunosorbent Assay. New Engl J Med 1978; 299: 1156-61.

    12. Jessudos ES, John TJ, Mathan M, Spencer L. Prevalence of rotavirus antibody in infants and children, India J. Med. Res. 1978; 68: 383-6.

    Learning without thought is labour lost,

    thought without learning is perilous (Confucius)

  • 20

    Pola Kuman Penyebab Diare Akut pada Neonatus dan Anak

    Pudjarwoto Triatmodjo

    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama ke-sakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Saat ini morbidi-tas (angka kesakitan) diare di Indonesia masih sebesar 195 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di Asean(1). Dampak negatip penyakit diare pada bayi dan anak-anak antara lain adalah menghambat proses tum-buh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kuali-tas hidup anak di masa depan.

    Ditinjau dari sudut ctiologinya, diare dapat disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya infeksi mikroba, intoksikasi, ma-labsorpsi, malnutrisi, alergi, immunodefisiensi. Gejala penyakit yang ditimbulkan bervariasi mulai dari yang paling ringan sam-pai dengan yang paling berat. Di kalangan masyarakat luas gejala penyakit diare dikenal dengan berbagai istilah sesuai dengan daerahnya antara lain mencret, murus, muntaber, buang-buang air. Beraneka ragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang ditimbulkannya sering menimbulkan kesu-litan dalam penatalaksanaan diare, sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya diare ber-kepanjangan (prolonged diare) atau bahkan berlanjut menjadi diare khronik (diare persisten). Oleh karena itu mengetahui secara lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) diare akan sangat membantu upaya penatalaksanaan diare akut secara tepat dan tcrarah.

    Dalam makalah ini disajikan informasi etiologi dian, akut pada bayi dan anak-anak, yakni tinjauan dari aspek mikrobiologi yang diperoleh dari berbagai sumber. Diharapkan informasi ini dapat membantu para klinisi dalam upaya penanggulangan diare pada bayi dan anak-anak.

    PERKEMBANGAN POLA KUMAN PENYEBAB DIARE AKUT

    Pada dekade tahun 1950 s/d 1970-an, di negara-negara ber-kembang (termasuk Indonesia) hanya sekitar 20% etiologi diare akut dapat diketahui. Pada waktu itu penyakit diare akut di ma-syarakat (Indonesia) lebih dikenal dengan istilah "Muntaber". Penyakit ini mempunyai konotasi yang mengerikan serta me-nimbulkan kecemasan dan kepanikan warga masyarakat karena bila tidak segera diobati, dalam waktu singkat ( 48 jam) pen-derita akan meninggal. Kematian ini disebabkankarena hilang-nya cairan elektrolit tubuh akibat adanya dehidrasi. Kemudian diketahui bahwa penyebab muntaber adalah kuman Vibrio cholera biotype El-Tor dan sesuai dengan nama penyebabnya tersebut maka kejadian wabah yang sering terjadi pada waktu itu lebih populer dengan istilah wabah Cholera El-Tor". Kejadian wabah cholera El-Tor di Indonesia yang pertama kali diketahui terjadi di Makasar (Ujung Pandang) pada tahun 60-an dengan menimbulkan sejumlah kematian. Wabah cholera ini kemudian diketahui sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.

    Berkat pesatnya perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) di bidang mikrobiologi, penemuan baru bidang etiologi diare taus bermunculan sehingga memperluas wawasan spektrum etiologi diare akut yang disebabkan oleh mikroba. Bakteri Escherichia coli yang pada waktu itu dianggap sebagai mikroba komensal di dalam usus manusia, ternyata beberapa strain di antaranya diketahui merupakan penyebab diare akut baik pada bayi, anak-anak maupun orang dewasa. Sekarang telah dikenal tiga group E. coli sebagai penyebab diare akut yaitu Entero Toxigenic E. coli (ETEC), Entero Pathogenic E. coli (EPEC) dan Entero-Invasive E. coli (EIEC). Selanjutnya pada dekade 1970 s.d 1980-an telah ditemukan beberapa jenis mikroba

  • 21

    baru penyebab diare akut pada bayi dan anak-anak. Mikroba yang dimaksud adalah Rotavirus, Yersinia dan Campylobacter. Rotavirus ditemukan pertama kali sebagai penyebab diare akut di Australia tahun 1973(2). Skirrow (1977) pertama kali melaporkan Campylobacter (dulu disebut Related Vibrio) yang merupakan bakteri patogen pada diare akut(3).

    Dengan bertambahnya beberapa jenis mikroba barn penye-bab diare akut yang ditemukan maka cakrawala mikrobiologi penyebab diare menjadi semakin luas dan komplek. Demikian pula dengan semakin dikembangkannya teknologi pemeriksaan laboratorium mikrobiologi di negara kita, kemampuan peme-riksaan etiologi diare dari sudut mikrobiologi meningkat secara tajam dari 20% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 80% pada tahun 1980-an(2).

    Kemudian pada dekade tahun 1980 s/d 1990-an dengan makin canggihnya teknologi bidang mikrobiologi antara lain dengan dikembangkannya teknologi pemeriksaan mikrobiologi dengan metoda DNA-Probe, maka etiologi diare akut telah dapat diperluas lagi dengan ditemukannya heberapa strain E. call se-bagai penyebab diare akut pada anak-anak. Dua strain baru E. coli yang saat ini telah dinyatakan sebagai penyebab diare pada anak-anak adalah Entero Haemorrhagic E. coli (EHEC) dan Entero Adherent E. coli (EAEC)(4).

    Dan kelompok protozoa telah ditemukn satu spesies baru yang dinyatakan sebagai agent diare akut pada anak-anak. Spesies yang dimaksud adalah Cryptosporidium. Sehingga dengan demikian pada dekade 1990-an ini pola kuman penyebab diare akut pada bayi dan anak-anak yang penting menurut WHO (1990) adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 1. Di sini tampak bahwa ada 9 jenis mikroba yang saat ini dianggap penting sebagai penyebab diane pada bayi dan anak-anak, yaitu dari kelompok virus adalah Rotavirus. Dari kelompok bakteri adalah E. coli patogen (ETEC, EPEC, EIEC, EHEC dan EAEC), Sal-monella non-typhoid, Shigella, Vibrio cholera 01 dan non-01 dan Campylobacter. Dan kelompok protozoa terdiri dari Giardia lamblia, Entamuba histolytica dan Cryptosporidium(4). Tabel 1. Berbagai Jenis mikroba penting penyebab diare akut pada neonatus (bayi) dan anak-anak (WHO, 1990)

    Kelompok mikroba

    Jenis mikroba (genus) Spesies/Serotype

    I. Vitus II. Bakteri

    1. Rota virus 2. Escherichia sp

    Rotavirus E. Coli : ETEC EPEC

    III. Protozoa

    3. Vibrio sp 4. Shigella sp 5. Salmonella sp 6. Campylobacter sp 7. Giardia sp 8. Entamuba sp 9. Cryptosporidium

    ETEC EHEC EAEC V. cholera 0l S. flexneri S. sonnei S. dysentriae S. boydii Salmonella non-typhoid Campylobacter jejuni Giardia lamblia Entamuba histolytica Cryptosporidium

    1) Rotavirus Rotavirus merupakan penyebab utama diare akut pada bayi

    dan anak-anak umur antara 624 bulan dengan morbidity rate untuk daerah Jakarta (19791981) sebesar 30,4%(3). Kejadian infeksi rotavirus meliputi negara-negara di seluruh dunia. Penu-laran berlangsung secara oro-fekal atau dapat pula terjadi secara air-borne droplet.

    Rotavirus menyebabkan kerusakan epithelium usus kecil dengan mengakibatkan viii menjadi kasar/tumpul sehingga kemampuan mengabsorpsi karbohidrat menjadi berkurang, demikian pula absorpsi air. Aktivitas disaccharidase dan laktase menurun, sedangkan aktivitas adenyl cyclase tidak berubah; akibatnya terjadi akumulasi disaccharid di dalam lumen usus yang menyebabkan diare osmotik. Morfologi intestinal dan akti-vitas absorpsi karbohidrat akan kembali normal dalam waktu 23 minggu.

    Rotavirus menyebabkan diare berair disertai demam dan kadang-kadang muntah. Gejala yang ditimbulkan dapat ringan sampai diare akut dengan dehidrasi berat dan dapat menimbul-kan kematian. 2) E. coli patogen

    Di negara-negara berkembang E. coli patogen menyebab-kan lebih kurang seperempat dari seluruh kejadian diare. Trans-misi kuman berlangsung seeara water-borne atau food-borne. Dula dikenal ada 3 grup (kelompok E. coli patogen penyebab diane yaitu ETEC, EPEC dan EIEC. Sekarang ditemukan 2 grup yang diketahui pula sebagai penyebab diane yaitu EHEC dan EAEC. 2.1. ETEC (Entero Toxigenic E. coli)

    ETEC adalah E. coli patogen penyebab utama diare akut dengan dehidrasi pada anak-anak dan orang dewasa di negara-negara yang mempunyai 2 musim maupun 3 musim.

    ETEC menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan ter-jadinya ekskresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare dengan dehidrasi. Secara immunologis enterotoksin yang di-hasilkan oleh ETEC sama dengan enterotoksin yang dihasilkan oleh V. cholera. Enterotoksin ETEC terdiri dari dua macam yaitu: 1) Labile Toxin (LT) yang mempunyai berat molekul yang tinggi dan tidak tahan panas (musnah pada pemanasan 60C selama 10 menit); toksin inilah yang mirip dengan cholera toxin. 2) Stabile Toxin (ST) yang mempunyai berat molekul rendah, tahan pada pemanasan dan tidak mempunyai sifat antigenik.

    Manusia dapat berperan sebagai carrier kuman ini, yaitu sebagai pembawa kuman tetapi dia sendiri tidak sakit. Transmisi kuman dapat berlangsung secara food-borne maupun water-borne. Di daerah endemik diane seperti halnya Indonesia, ETEC merupakan juga penyebab utama diane akut yang mirip cholera serta merupakan penyebab travellers diarrhoea(3). 2.2. EPEC (Entero Pathogenic E. coli)

    Di beberapa daerah urban, sekitar 30% kasus-kasus diare akut pada bayi dan anak-anak disebabkan olch EPEC(4). Meka-nisme terjadinya diane yang disebabkan oleh EPEC belum bisa diungkapkan secara jelas, tetapi diduga EPEC ini menghasilkan cytotoxin yang merupakan penyebab terjadinya diare.

    Penyakit diane yang ditimbulkan biasanya self-limited, te-

  • 22

    tapi dapat fatal atau berkembang menjadi diare persisten ter-mama pada anak-anak di bawah umur 6 bulan. Di negara-negara berkembang, anak-anak yang terkena infeksi EPEC biasanya adalah yang berumur 1 tahun ke atas. 2.3. EIEC (Enteroinvasive E. coli)

    EIEC mempunyai beberapa persamaan dengan Shigella antara lain dalam hal reaksi biokimia dengan gula-gula pendek, serologi dan sifat patogenitasnya. Sebagaimana halnya dengan Shigella, EIEC mengadakan penetrasi mukosa usus dan meng-adakan multiplikasi pada sel-sel epitel colon (usus besar). Ke-rusakan yang terjadi pada epitel usus menimbulkan diare berda-rah. Secara mikroskopis leukosit polimorfonuklear selalu hadir dalam feses penderita yang terinfeksi EIEC. Gejala klinik yang ditimbulkan mirip disentri yang disebabkan oleh Shigella. 2.4. EHEC (Enterohaemorrhagic E. coli)

    Di Amerika Utara dan beberapa daerah lainnya, EHEC me-nyebabkan haemorrhagic colitis (radang usus besar). Transmisi EHEC terjadi melalui makanan daging yang diolah dan dihi-dangkan secara tidak higienis; tapi dapat pula terjadi secara person to person (kontak langsung). Patogenitas EHEC adalah dengan memproduksi sitotoksin yang bertanggung jawab ter-hadap terjadinya peradangan dan perdarahan yang meluas di usus besar yang menimbulkan terjadinya haemolytic uraemic syndrome terutama pada anak-anak.

    Gejala karakteristik yang timbul ditandai dengan diare akut, cramp, panas dan dalam waktu relatif singkat diare menjadi berdarah. Di negara-negara berkembang kejadian diare yang disebabkan oleh EHEC masih jarang ditemukan. 2.5. EAEC (Entero Adherent E. coli)

    EAEC telah ditemukan di beberapa negara di dunia ini. Transmisinya dapat food-borne maupun water-borne.

    Patogenitas EAEC terjadi karena kuman melekat rapat-rapat pada bagian mukosa intestinal sehingga menimbulkan gangguan. Mekanisme terjadinya diare yang disebabkan oleh EAEC belum jelas diketahui, tetapi diperkirakan menghasilkan sitotoksin yang menyebabkan terjadinya diare. Beberapa strain EAEC memiliki serotipe seperti EPEC. EAEC menyebabkan diare berair pada anak-anak dan dapat berlanjut menjadi diare persisten(5). 3) Vibrio cholera 01

    V. cholera 01 menyebabkan diare akut pada semua golong-an umur. Cholera merupakan penyakit endemik di negara Asia (termasuk Indonesia) dan Afrika. Di daerah endemik penyakit ini ditemukan sekitar 5-10% yakni berdasarkan pada penderita yang berobat ke rumah sakit. Cholera ini lebih sering menyerang anak umur 2-9 tahun; tetapi di daerah bukan endemik cholera lebih banyak menyerang golongan umur dewasa muda. Penularan kuman dapat berlangsung secara water-borne maupun food-borne. Penularan dengan cara kontak person to person dilaporkan jarang terjadi.

    Patogenitas V. cholera bersifat non-invasif, kuman me-nempel dan berkembang di bagian mukosa usus halus dan meng-hasilkan enterotoksin yang menstimulir terjadinya eksresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare dengan dehidrasi. V. cholera 01 mempunyai 2 biotipe yaitu El-Tor dan Klasik. Selain

    itu V. cholera juga mempunyai 2 serotipe yaitu Ogawa dan Inaba. Diare yang terjadi dapat ringan sampai berat. Pada diare

    yang berat dapat terjadi dehidrasi berat dan shock, kematian dapat terjadi dalam waktu sekitar 48 jam bila tidak segera diobati.

    4) Shigella sp Shigella sp paling banyak menyebabkan diare invasif pada

    anak-anak dan hanya sekitar 10% menyebabkan diare akut pada anak-anak balita. Penularan kuman paling sering terjadi secara kontak langsung (person to person) dengan dosis infeksi yang rendah yaitu 101-102 organisme. Di samping itu penularan dapat pula terjadi secara food-borne maupun water-borne.

    Patogenitas Shigella bersifat invasif, yakni menyerang sel-sel epitel usus besar (colon), menyebabkan kematian sel dan tim-bul borok sehingga terjadi kerusakan epitel usus dan perdarahan. Shigella juga menghasilkan sitotoksin dan neurotoksin yang menambah patogenitas kuman. Shigdla mempunyai 4 serotipe yaitu S. flexneri yang paling banyak ditemukan di negara-negara berkembang, S. sonnei banyak ditemukan di negara-negara maju, S. dysentriae menyebabkan epidemi dengan kematian yang tinggi, S. boydii yang jarang ditemukan.

    Infeksi Shigella menyebabkan diare invasif disertai dengan gejala demam, nyeri perut dan tenesmus, feses berdarah dengan banyak mengandung leukosit. Shigella terutama menimbulkan serangan hebat pada bayi.

    5) Salmonella non-typhoid Di banyak negara berkembang, diare akut yang disebabkan

    oleh Salmonella tidak begitu besar. Terutama di daerah urban diare pada anak-anak yang disebabkan oleh infeksi Salmonella sekitar 10%. Transmisi kuman terjadi secara meat-borne, yaitu melalui makanan yang berasal dari hewan seperti daging, unggas, telur, susu; tetapi dapat pula terjadi secara water-borne.

    Patogenitas Salmonella bersifat invasif yakni menyerang bagian epithelium dari ileum. Salmonella menghasilkan entero-toksin yang menyebabkan diare berair. Bila selaput lendir men-jadi rusak, diare yang terjadidisertai darah.

    Ada 2000 serotipe Salmonella dan 6-10 di antaranya di-ketahui menimbulkan gastroenteritis. Diare yang ditimbulkan biasanya disertai dengan gejala-gejala mual, demam dan nyeri perut. Di samping menyebabkan diare berair, Salmonella juga menyebabkan mencret (exudative diarrhoea) yang ditandai oleh hadirnya leukosit di dalam feses. Di beberapa negara telah di-temukan strain Salmonella yang resisten terhadap ampisilin, khloramfenikol, dan sulfametoxazol-trimetoprim. 6) Campylobacter jejuni

    Di berbagai negara, Campylobacter jejuni menyebabkan 5-15% diare pada bayi. Di negara-negara berkembang puncak insiden terutama adalah pada usia di bawah satu tahun (batuta). Transmisi kuman dapat berlangsung secara food-borne, dapat pula terjadi secara person to person (kontak langsung).

    Patogenitas Campylobacter dengan invasi pada bagian ileum dan usus besar dengan menghasilkan 2 jenis toksin yaitu sitotoksin dan heat-labile toxin. Diane yang ditimbulkan biasa-nya seperti disentri dengan feses berdarah dan berlendir yang muncul sesudah diare berlangsung selama sehari atau beberapa hari. Muntah biasanya tidak ada dan gejala demam selalu dengan

  • temperatur yang rendah. Diare berair yang ditimbulkan oleh infeksi Campylobacter kasusnya kecil. 7) Giardia lamblia

    Distribusi G. lamblia meliputi berbagai negara di dunia. Pre-valensi infeksi G. lamblia pada anak muda di beberapa negara mencapai 100%. Anak-anak umur 15 tahun (balita) adalah yang paling umum terinfeksi G. lamblia. Transmisinya dapat ber-langsung secara food-borne ataupun water-borne, serta dapat pula terjadi secara oro fecal. Infeksi G. lamblia terjadi pada usus besar, tetapi mekanisme patologinya belum jelas diketahui; pada beberapa kassus terlihat terjadi kerusakan pada bagian epitel usus halus. G. lamblia dapat menyebabkan diare akut atau diare persisten; kadang-kadang menyebabkan malabrospsi dengan feses berlemak, sakit perut dan kembung(5).

    Infeksi G. lamblia kebanyakan asimtomatik sehingga men-imbulkan kesulitan untuk mendeteksi kapan G. lamblia menye-babkan diare. 8) Entamuba histolytica

    Distribusi E. histolytica meliputi berbagai negara di dunia. Prevalensi infeksi E. histolytica sangat bervariasi. Penyakit lebih banyak terjadi pada usia dewasa, penderita laki-laki lebih banyak ditemukan.

    Patogenitas E. histolytica adalah menyerang bagian mukosa dari usus besar yang menyebabkan kerusakan intestinal sehingga menimbulkan ra