7-eleven : gaya hidup remaja perkotaan saat ini (?)

21
7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?) Mirna Desira, Linda Darmajanti Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Tulisan ini berisi gambaran mengenai gaya hidup remaja perkotaan, khususnya Jakarta, terkait dengan kehadiran convenience store 7-Eleven. Nongkrong di 7-Eleven menjadi identik dengan kehidupan remaja Jakarta saat ini, dimana mereka yang nongkrong didominasi oleh usia remaja awal yaitu antara 13 hingga 15 tahun. Kebiasaan nongkrong di 7-Eleven dilihat sebagai suatu bentuk gaya hidup baru yang dianut para remaja Jakarta saat ini. Dibalik kebiasaan nongkrong ini terdapat faktor-faktor sosial yang mendorong kebiasaan ini menjadi suatu gaya hidup tersendiri bagi para remaja, yang diantaranya adalah sosialisasi keluarga, konformitas terhadap peer group, serta status sosial ekonomi yang dimiliki. Penelitian terhadap remaja tersebut dilakukan menggunakan metode kuantitatif terhadap 100 orang responden remaja. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sosialisasi keluarga dan konformitas terhadap peer group memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembentukan gaya hidup nongkrong di 7-Eleven pada remaja-remaja tersebut. Gaya hidup ini terlihat semakin menguat kecenderungannya pada mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah. Dalam hal ini peran pemerintah, perusahaan pengelola 7-Eleven, serta orang tua menjadi sangat penting bagi keberlangsungan masa depan para remaja-remaja di Jakarta maupun perkotaan lainnya. 7-Eleven : Today’s Urban Teenage Lifestyle (?) Abstract This paper provides an overview of the urban youth lifestyle, especially in Jakarta, related to the emergence of convenience store 7-Eleven. Hang out at 7-Eleven become identically to teenagers‟ life in Jakarta recently. They are who hanging out at 7-Eleven dominated by the early adolescence between 13 to 15 years old. This habit is seen as a new form of urban lifestyle today. Behind the habit of hang out, there are social factors that encourage this habit to become a lifestyle of the teenagers, which include family socialization, conformity to the peer group, and also the socio-economic status. This research uses quantitative method to 100 teenage respondents. From the results of this research found that family socialization and conformity to peer group has significant influence to the formation of teenagers‟ hang out lifestyle. This lifestyle trend looks stronger in those with lower socio-economic status. In this case the role of government, corporation, and parents become very important for the sustainability of the teenages future in Jakarta and other urban areas. Keyword : Conformity; Family Socialization; Hang out; Lifestyle; Social-Economic Status Pendahuluan Masyarakat modern kota saat ini cenderung lebih mementingkan aspek konsumsi dibandingkan produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan- Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Mirna Desira, Linda Darmajanti

Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Tulisan ini berisi gambaran mengenai gaya hidup remaja perkotaan, khususnya Jakarta, terkait dengan kehadiran

convenience store 7-Eleven. Nongkrong di 7-Eleven menjadi identik dengan kehidupan remaja Jakarta saat ini,

dimana mereka yang nongkrong didominasi oleh usia remaja awal yaitu antara 13 hingga 15 tahun. Kebiasaan

nongkrong di 7-Eleven dilihat sebagai suatu bentuk gaya hidup baru yang dianut para remaja Jakarta saat ini.

Dibalik kebiasaan nongkrong ini terdapat faktor-faktor sosial yang mendorong kebiasaan ini menjadi suatu gaya

hidup tersendiri bagi para remaja, yang diantaranya adalah sosialisasi keluarga, konformitas terhadap peer group,

serta status sosial ekonomi yang dimiliki. Penelitian terhadap remaja tersebut dilakukan menggunakan metode

kuantitatif terhadap 100 orang responden remaja. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sosialisasi keluarga dan

konformitas terhadap peer group memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembentukan gaya hidup

nongkrong di 7-Eleven pada remaja-remaja tersebut. Gaya hidup ini terlihat semakin menguat kecenderungannya

pada mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah. Dalam hal ini peran pemerintah, perusahaan pengelola

7-Eleven, serta orang tua menjadi sangat penting bagi keberlangsungan masa depan para remaja-remaja di

Jakarta maupun perkotaan lainnya.

7-Eleven : Today’s Urban Teenage Lifestyle (?)

Abstract

This paper provides an overview of the urban youth lifestyle, especially in Jakarta, related to the emergence of

convenience store 7-Eleven. Hang out at 7-Eleven become identically to teenagers‟ life in Jakarta recently. They

are who hanging out at 7-Eleven dominated by the early adolescence between 13 to 15 years old. This habit is

seen as a new form of urban lifestyle today. Behind the habit of hang out, there are social factors that encourage

this habit to become a lifestyle of the teenagers, which include family socialization, conformity to the peer

group, and also the socio-economic status. This research uses quantitative method to 100 teenage respondents.

From the results of this research found that family socialization and conformity to peer group has significant

influence to the formation of teenagers‟ hang out lifestyle. This lifestyle trend looks stronger in those with lower

socio-economic status. In this case the role of government, corporation, and parents become very important for

the sustainability of the teenage‟s future in Jakarta and other urban areas.

Keyword : Conformity; Family Socialization; Hang out; Lifestyle; Social-Economic Status

Pendahuluan

Masyarakat modern kota saat ini cenderung lebih mementingkan aspek konsumsi

dibandingkan produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan-

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 2: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

kebutuhan dasar dan fungsional manusia semata, namun telah menjadi suatu budaya di

masyarakat. Disamping budaya konsumtif, budaya instan juga menjadi salah satu ciri khas

kehidupan masyarakat perkotaan saat ini. Budaya instan yang dimaksud merupakan keinginan

serba cepat dalam menjalani berbagai bidang kehidupan pada masyarakat kota. Dimana

menurut Susanto (2011) masyarakat kota saat ini memang indentik untuk menginginkan

segala sesuatu berjalan serba cepat dan memanfaatkan waktu seefisein mungkin. Dengan

mempelajari kecenderungan pola perilaku masyarakat kota tersebut, akhirnya para pebisnis

memanfaatkannya untuk mengembangkan strategi bisnis mereka, khususnya dalam bidang

jasa. Para pebisnis dan investor berlomba-lomba menyediakan fasilitas yang dapat menunjang

kebutuhan masyarakat kota tersebut. Berawal dari hal inilah muncul 7-Eleven dengan konsep

convenience store yaitu toko ritel yang fokus menjual produk fast moving non sembako dan

memiliki konsep gerai seperti lokasi hangout (Berita-bisnis, 2012), dengan menyediakan

fasilitas seperti tempat duduk, ruangan AC dan Non-AC, serta wi-fi gratis, yang dianggap

dapat menjawab kebutuhan masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta, saat ini. Sehingga

kehadirannya pun menarik minat berbagai kalangan masyarakat di Jakarta, khususnya mereka

yang masih berusia remaja. Dimana menurut data statistik, sebanyak 65% pengunjung yang

datang ke 7-Eleven setiap harinya adalah para remaja (VibizManagement Research, 2011).

Fenomena 7-Eleven yang sedang gencar berkembang di tengah-tengah kehidupan

masyarakat kota Jakarta saat ini sedikit banyak memberikan pengaruh yang cukup signifikan

terhadap dinamika gaya hidup masyarakat di kota tersebut. Kajian yang telah ada selama ini

cenderung hanya melihat dari sudut pandang 7-Eleven sebagai pelaku bisnis dalam hal

menarik pelanggannya. Hasil yang didapat dari berbagai kajian tersebut mengungkapkan

bahwa keberhasilan yang dicapai oleh 7-Eleven sebagai sebuah bisnis ritel terletak pada

kemampuannya untuk menjawab kebutuhan anak-anak muda akan gaya hidup modern ala

Barat yang identik dengan kebebasan memilih dan berkreasi. 7-Eleven dianggap berhasil

memanfaatkan peluang yang ada dengan strategi yang diusungnya yaitu menggabungkan

beberapa jenis organisasi ritel seperti, convenience store, supermarket, dan speciality store

dengan konsep resto, memperhatikan perkembangan jaman (tersedia wifi), serta

memperhatikan kebutuhan konsumen.

Tetapi, tidak bisa hanya berhenti sampai disitu, keberhasilan 7-Eleven dalam menarik

pelanggan dan menjadi salah satu icon dari gaya hidup remaja atau anak muda saat ini juga

harus dilihat dari sisi remaja itu sendiri. Karena dibalik keberhasilan yang dicapai oleh 7-

Eleven dalam mengembangkan startegi bisnisnya, juga ada peran dari konsumen terutama

remaja yang notabene adalah sasaran utama dari 7-Eleven itu sendiri. Maka dari itu, perlu

untuk dilihat dari sisi faktor-faktor sosial yang mendorong para pelanggan remaja cenderung

untuk nongkrong di 7-Eleven yang pada akhirnya membentuk gaya hidup tersendiri bagi

remaja tersebut.

Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi gaya hidup remaja diasumsikan berasal dari

latar belakang sosial ekonomi dan juga lingkungan sosial yang dimiliki remaja tersebut.

Dalam tahapan usia remaja, seseorang akan cenderung mendapatkan pengaruh baik secara

langsung maupun tidak langsung dari lingkungan terdekatnya, seperti keluarga dan peer group

atau teman sebaya yang berlaku sebagai significant other bagi individu tersebut (So‟oed,

1999). Oleh sebab itu akan berkaitan langsung dengan gaya hidup seseorang, dimana baik

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 3: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

keluarga maupun peer group dianggap memiliki pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup

dalam kehidupan remaja.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, tulisan ini dibangun berdasarkan keingintahuan

mengenai apakah proses sosialisasi keluarga dan konformitas terhadap peer group

remaja mempengaruhi pembentukan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven?

Tinjauan Teoritis

Remaja dianggap sebagai masa peralihan status dari anak-anak menjadi dewasa.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh John W. Santrock (2003), remaja atau adolescence

merupakan masa perkembangan atau transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang

mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosional. Masa remaja dimulai kira-kira

pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Namun, batasan

yang paling umum digunakan oleh para ahli adalah antara usia 12 hingga 21 tahun (Desmita,

2010).

Selanjutnya, mengenai konsep gaya hidup, secara sosiologis, gaya hidup mengacu

pada suatu bentuk kehidupan masyarakat modern. Dimana menurut Chaney (2004), gaya

hidup digunakan oleh siapapun yang hidup pada masyarakat modern sebagai suatu gagasan

yang dipakai untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Melanjutkan

penjelasan Chaney, gaya hidup juga dilihat sebagai cara kehidupan yang khas -- yang

dijalankan bersama oleh sekelompok orang tertentu -- yang dapat dikenali dari perilaku

ekspresif dan pola-pola tindakan yang dapat membedakan antara satu orang dengan orang

lain. Sobel menambahkan, bahwa perilaku ekspresif disini terfokus pada konsumsi barang dan

jasa, sehingga hal ini menambahkan anggapan bahwa gaya hidup dipandang sebagai respons

fungsional terhadap modernitas (Chaney, 2004, h.50).

Gaya hidup dianggap memiliki hubungan erat dengan status sosial yang dimiliki.

Menurut Weber, status dapat ditunjukkan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Dalam

bidang pergaulan, status ini dapat berwujud pembatasan pergaulan terhadap pergaulan erat

dengan orang yang statusnya lebih rendah. Berdasarkan keterkaitan gaya hidup dengan status

sosial, pada akhirnya juga memunculkan keterkaitan dengan pola konsumsi seseorang.

Menurut penjelasan dari Engel, Blackwell, dan Miniard (1995), bahwa gaya hidup terdiri dari

kegiatan atau aktivitas, minat, dan opini. Kegiatan adalah tindakan nyata seperti menonton

suatu media, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada orang lain mengenai hal baru

(perilaku konsumtif). Minat akan semacam objek, peristiwa, atau topik adalah tingkat

kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terus menerus kepadanya. Opini adalah

“jawaban” lisan atau tertulis yang orang berikan sebagai respon terhadap situasi stimulus

dimana semacam pertanyaan diajukan. Sejalan dengan penjelasan tersebut, Susanto (2004)

menyebutkan bahwa gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai seseorang dalam

bertingkah laku yang tertuang dalam aktivitas, minat, dan opininya

Mengenai konsep nongkrong, secara ilmiah memang tidak ada yang membahas secara

eksplisit tentang definisi konsep ini. Namun, berdasarkan pemaknaan secara empiris,

nongkrong dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan baik oleh sekelompok orang

pada suatu tempat dalam kurun waktu tertentu. Saat nongkrong, kegiatan yang dilakukan

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 4: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

dapat bermacam-macam, seperti duduk-duduk, mengobrol, bercanda dengan kerabat, dan lain

sebagainya, yang pada intinya menyebabkan terjadinya interaksi sosial di antara orang-orang

yang melakukan kegiatan nongkrong tersebut. Nongkrong juga dapat dikatakan sebagai suatu

aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menghabiskan waktu (Kegiatan Yang

Biasa Dilakukan, 2012). Nongkrong biasanya identik dengan menghabiskan waktu bersama

dengan teman-teman atau kerabat. Untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan waktu, tempat,

dan fasilitas tertentu (Hidayat, 2012).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka disimpulkan bahwa gaya hidup

nongkrong remaja merupakan cara kehidupan khas yang dilakukan oleh remaja yang dikenali

melalui kegiatan yang dilakukan untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman atau

kerabat mereka, sehingga dapat membedakan antara satu orang dengan orang lain, yang

diukur melalui aktivitas atau kegiatan waktu luang, minat, serta opini. Gaya hidup pada remaja dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor-faktor

pendukungnya, yang dimana dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut diasumsikan berasal

dari sosialisasi keluarga, konformitas terhadap peer group, serta status sosial ekonomi. Dalam

penelitian ini sosialisasi keluarga dan konformitas terhadap peer group dianggap sebagai

variabel independen, sementara status sosial ekonomi dijadikan sebagai variabel kontrol untuk

melihat kecenderungan pembentukan gaya hidup pada remaja.

Faktor pertama yaitu sosialisasi keluarga, yang merupakan proses penanaman nilai dan

norma dari keluarga kepada individu. Terkait dengan gaya hidup nongkrong, keluarga

melakukan proses transmisi nilai dan norma mengenai gaya hidup nongkrong kepada para

remaja. Sehingga sosialisasi keluarga mengenai gaya hidup nongkrong dapat didefinisikan

sebagai proses penanaman nilai dan norma mengenai gaya hidup nongkrong yang diberikan

oleh keluarga kepada individu. Gaya hidup yang dimiliki oleh seseorang dapat terbentuk

berdasarkan sosialisasi yang ia dapatkan dari keluarga. Keluarga dapat menjadi salah satu

agen yang memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan gaya hidup seseorang.

Faktor kedua yaitu konformitas terhadap peer group, dapat diartikan sebagai bentuk

interaksi dimana seseorang meniru sikap atau tingkah laku teman sebayanya dikarenakan

adanya tekanan yang nyata maupun yang hanya dibayangkan oleh mereka. Pada masa remaja,

peran teman sebaya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangannya. Salah

satu fungsi dari teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia

di luar keluarga. Salah satu hasil penelitian juga menyebutkan bahwa seseorang akan

cenderung banyak menghabiskan waktu untuk berinteraksi dengan teman sebaya ketika

mereka berusia remaja. Interaksi yang intens dengan teman sebaya ini juga mendorong

terciptanya konformitas bagi remaja itu sendiri terhadap lingkungan pertemanannya.

Konformitas semacam ini termasuk dalam normative conformity atau konformitas normatif.

Menurut Deutsch&Gerrard (1995) dan Kelley (1952) konformitas yang dimaksud disini

terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang ingin mendapat social rewards seperti rasa

kepemilikan dan penerimaan atau pengakuan dari kelompok lain sehingga mereka dapat

terhindar dari social punishment seperti dikucilkan, dipermalukan, dan lain sebagainya.

Konformitas normatif juga terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang mengekspresikan

perilaku dalam cara yang dapat diterima atau dapat membuatnya terhindar dari penolakan

kelompok lain. (Stangor, 2004, h. 90). Konformitas ini juga dapat memicu pembentukan gaya

hidup yang dimiliki oleh remaja. Dimana seorang remaja yang memiliki teman yang

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 5: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

nongkrong di 7-Eleven akan cenderung mendorong remaja tersebut untuk ikut nongkrong di

7-Eleven, sehingga akan terbentuk gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.

Selanjutnya, status sosial ekonomi sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini,

dimana menurut Soekanto (1990), status sosial ekonomi (SSE) mengarah pada konsep yang

menggambarkan posisi seseorang di dalam masyarakat berdasarkan penilaian terhadap tiga

unsur utamanya, yaitu tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah pendapatan. Dalam

penelitian ini status sosial ekonomi digunakan sebagai variabel kontrol untuk melihat

pembedaan mengenai kelas sosial mana saja yang menjadi pengunjung di 7-Eleven. Dari sana

akan dapat terlihat kelas sosial apa yang paling banyak terpengaruh maupun dipengaruhi oleh

kehadiran 7-Eleven ini. Namun, karena objek penelitian ini merupakan remaja khususnya

yang masih usia sekolah, maka status sosial ekonomi mereka akan diukur dengan hanya

melihat pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan orang tua mereka.

Berdasarkan kajian teoritis ini, maka penelitian ini akan menguji beberapa hipotesis,

diantaranya :

1. Semakin tinggi sosialisasi keluarga tentang penerapan penanaman nilai-nilai dan

norma mengenai kebiasaan nongkrong maka akan semakin tinggi pula

kecenderungan remaja untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven

2. Semakin tinggi tingkat konformitas seorang remaja terhadap temannya yang

nongkrong di 7-Eleven, maka akan semakin tinggi pula kecenderungan remaja

tersebut untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.

Disamping kedua hipotesis utama tersebut, peneliti akan juga menguji sebuah

hipotesis turunan, yaitu : Semakin tinggi status sosial ekonomi yang dimiliki oleh remaja

maka akan semakin tinggi pula kecenderungan remaja tersebut untuk memiliki gaya hidup

nongkrong di 7-Eleven.

Metode Penelitian

Penelitian kuantitatif ini menggunakan pengumpulan data melalui data primer yang

didapat dari kuesioner sebagai instrumen penelitian utama. Disamping itu, data juga

dilengkapi melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang terkait dengan isu

gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven ini. Kriteria populasi dalam penelitian ini adalah

remaja yang berusia 13 hingga 21 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Sementara lokasi

penelitian dilakukan di 6 gerai 7-Eleven yang berada di wilayah Jakarta Selatan, yaitu . 7-

Eleven Tebet Barat Dalam, 7-Eleven Tebet Raya, 7-Eleven Bulungan, 7-Eleven Taman

Puring, 7-Eleven Karang tengah, serta 7-Eleven Pondok Labu. Gerai yang dipilih merupakan

gerai yang memiliki pengunjung teramai berdasarkan dari hasil observasi yang peneliti

lakukan. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2013.

Berdasarkan kriteria populasi tersebut, maka sampel ditarik secara non-random

dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan pemilihan anggota sampel

yang didasarkan pada tujuan dan pertimbangan tertentu dari peneliti (Babbie, 1998). Tujuan

peneliti menggunakan teknik penarikan sampel ini adalah karena keterbatasan yang peneliti

miliki dalam hal pendataan pengunjung berusia remaja yang datang ke gerai 7-Eleven setiap

harinya, sebab pengunjung yang datang dapat berbeda-beda setiap harinya sehingga tidak

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 6: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

memungkinkan untuk mendata populasi secara keseluruhan. Maka dari itu, penentuan sampel

dilakukan dengan cara mewawancarai langsung pengunjung yang datang ke gerai 7-Eleven.

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Untuk mengetahui apakah

seseorang dapat memenuhi karakteristik populasi, pertama-tama peneliti akan terlebih dahulu

menanyakan usianya. Jika usianya memenuhi batasan populasi yaitu remaja yang berusia 13

sampai 21 tahun maka proses wawancara akan dilanjutkan.

Temuan dan Analisis

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteritik responden sebagian

besar didominasi oleh remaja berusia 13 hingga 15 tahun dengan persentase sebanyak 56%.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang datang ke 7-Eleven merupakan anak-anak yang

masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Para remaja datang baik disaat

hari biasa atau weekday maupun hari libur atau weekend seperti hari sabtu dan minggu.

Sebagian dari mereka datang disaat jam pulang sekolah, untuk sekedar membeli produk

makanan dan minuman, ataupun memang dengan tujuan untuk nongkrong serta mengabiskan

waktu bersama teman-teman mereka.

Jika dilihat dari status sosial ekonomi keluarga responden yang diukur berdasarkan

pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan orang tua mereka, ditemukan bahwa sebagian besar

responden atau sebanyak 50% dari jumlah keseluruhan responden penelitian ini memiliki

tingkat status sosial ekonomi tinggi. Hanya sebanyak 22% responden yang memiliki tingkat

status sosial ekonomi yang rendah, sedangkan sisanya sebanyak 28% responden tergolong

dalam kategori tingkat SSE sedang. Tingginya status sosial ekonomi responden

memperlihatkan bahwa remaja pengunjung 7-Eleven memiliki latar belakang sosial dan

ekonomi keluarga yang tinggi. Hal ini didukung pula oleh tingginya pendidikan terakhir yang

dimiliki oleh orang tua responden yang juga berkaitan dengan pekerjaan serta penghasilan

yang dimiliki oleh orang tua responden.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pengunjung 7-Eleven didominasi oleh

mereka yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Dengan kata lain, kebiasaan untuk

nongkrong di 7-Eleven dimulai oleh mereka yang berada di kelas menengah atas. Jika hal ini

sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat kelas menengah keatas maka kecenderungan untuk

diikuti kelas sosial lain dan kemudian menjadi gaya hidup akan sangat kuat atau besar. Sebab,

dapat dikatakan bahwa di masyarakat Indonesia saat ini, khususnya mereka yang hidup di

perkotaan, mereka yang termasuk dalam kelas sosial menengah keatas selalu menjadi

trendsetter bagi kelas sosial lain yang berada di bawahnya, dimana kecenderungan ini juga

dapat terjadi pada kebiasaan nongkrong di 7-Eleven.

Temuan lain yang menarik dalam penelitian ini adalah mengenai kecenderungan gaya

hidup nongkrong remaja di 7-Eleven. Berdasarkan hasil olah data statistik ditemukan bahwa

sebanyak 31% responden masuk ke dalam kategori rendah, dimana hal ini berarti 31 orang

responden cenderung belum menjadikan nongkrong di 7-Eleven sebagai suatu gaya hidup.

Hal ini dapat disebabkan berbagai macam hal, termasuk diantaranya terkait dengan ketiga

dimensi yang digunakan untuk mengukur kecenderungan gaya hidup ini. Mereka yang

memiliki gaya hidup nongkrong rendah dapat berarti bahwa kegiatan waktu luang yang

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 7: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

mereka gunakan di 7-Eleven masih sedikit, minat mereka terhadap 7-Eleven rendah, serta

opini yang mereka miliki tentang 7-Eleven cenderung negatif sehingga mengakibatkan

kecenderungan mereka untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven masuk ke dalam

kategori rendah. Namun sebaliknya, bagi responden yang termasuk dalam kategori tinggi,

yaitu sebanyak 20% atau 20 orang responden, dapat berarti bahwa ketiga dimensi tersebut

masing-masing bernilai cukup tinggi sehingga mereka termasuk kategori remaja yang

memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.

Sementara kecenderungan gaya hidup nongkrong yang dimiliki hampir sebagian besar

dari responden atau sebanyak 49% masih termasuk dalam kategori sedang. Yang dimaksud

dengan kategori sedang adalah bahwa kegiatan nongkrong di 7-Eleven belum signifikan

dikatakan menjadi gaya hidup para remaja perkotaan saat ini. Karena melalui kategori ini

dapat digambarkan bahwa kegiatan nongkrong di 7-Eleven masih dilihat sebagai sebuah

proses kearah pembentukan gaya hidup remaja perkotaan nongkrong di 7-Eleven. Dengan

kata lain, dapat dikatakan hal ini masih merupakan suatu kebiasaan baru bagi para remaja dan

belum melekat kuat sehingga belum dapat dijadikan sebagai sebuah gaya hidup.

Hal ini sejalan dengan penuturan informan K1 yang menyatakan bahwa kegiatan

nongkrong yang ia lakukan di 7-Eleven menurutnya bukanlah sebuah gaya hidup yang ia

miliki, melainkan hanyalah suatu kebiasaan baru yang dilakukannya sebagai efek dari

antusiasme yang tinggi akan kehadiran 7-Eleven. Sebab informan menganggap bahwa 7-

Eleven merupakan tempat yang menurutnya berbeda dari kafe-kafe yang selama ini ia

temukan di Jakarta sehingga ia menjadi tertarik untuk selalu mencoba hal-hal baru yang

ditawarkan oleh 7-Eleven. Disamping itu, informan juga menambahkan bahwa tidak menutup

kemungkinan kegiatan nongkrong yang dilakukan para remaja di 7-Eleven saat ini nantinya

akan membentuk sebuah gaya hidup tersendiri. Seperti halnya yang telah terjadi pada

kebiasaan ngopi-ngopi di kafe ataupun nongkrong di mall yang telah lebih dahulu terbentuk

sebagai suatu gaya hidup pada masyarakat Kota Jakarta ini.

Pada fase usia remaja, gaya hidup yang mereka anut dapat dikatakan sebagai „gaya

hidup sementara‟ menuju gaya hidup yang sesungguhnya berdasarkan identitas diri yang lebih

stabil (Susanto,2001). Sebab, pada fase usia ini identitas diri remaja dianggap belum stabil

atau dengan kata lain para remaja masih mengalami krisis identitas. Maka, gaya hidup disini

hadir sebagai pengekespresian identitas diri remaja atau dengan kata lain sebagai alat untuk

mengkomunikasikan siapa diri mereka, yang mereka tampilkan melalui kebiasaan nongkrong

tersebut.

Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong

Seperti yang telah diapaparkan sebelumnya, bahwa dalam penelitian ini melihat bahwa

ada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gaya hidup nongkrong pada remaja,

dimana salah satunya adalah sosialisasi keluarga. Dalam kaitannya dengan gaya hidup

nongkrong, sosialisasi keluarga disini diartikan sebagai suatu proses penanaman nilai dan

norma mengenai gaya hidup nongkrong yang diberikan oleh keluarga kepada individu.

Penanaman nilai dan norma tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, yang diantaranya

1 Wawancara mendalam pada tanggal 21 April 2013

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 8: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

melalui pengenalan, pembicaraan, saran, pengaturan tentang hal yang sebaiknya dilakukan

dan tidak mengenai kegiatan nongkrong, hingga kepada fasilitas yang diberikan untuk

melakukan kegiatan nongkrong tersebut. Berikut adalah grafik yang dapat menggambarkan

mengenai kecenderungan sosialisasi keluarga tentang gaya hidup nongkrong pada remaja.

Grafik 1. Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong

N=100

Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013

Grafik tersebut memperlihatkan bahwa kecenderungan sosialisasi dari keluarga yang

didapatkan oleh responden mengenai gaya hidup nongkrong adalah sedang cenderung tinggi,

karena dapat dilihat bahwa hanya 2% responden yang mendapatkan sosialiasi mengenai gaya

hidup nongkrong dengan kategori rendah dari keluarganya. Hal ini sejalan dengan tingginya

tingkat persentase responden yang mendapatkan pengenalan serta melakukan pembicaraan

dengan keluarga mengenai kegiatan nongkrong. Selain itu, didukung juga tingginya

persentase responden yang mendapatkan izin untuk nongkrong serta banyaknya fasilitas yang

diberikan oleh keluarga terhadap responden.

Disamping itu, hasil temuan diatas juga dapat mendukung bahwa masyarakat

perkotaan saat ini memang sudah identik dengan gaya hidup nongkrong. Semakin banyaknya

fasilitas yang menyediakan tempat untuk nongkrong semakin melekatkan gaya hidup ini pada

kehidupan masyarakat perkotaan saat ini. Maka tidak mengherankan jika para remaja

perkotaan saat ini sejak dini sudah mulai membiasakan diri untuk melakukan kegiatan

nongkrong, sebab hal ini sudah diawali dari sosialisasi keluarga yang mendorong terciptanya

perilaku tersebut.

Hal ini dapat pula dikaitkan dengan temuan mengenai kecenderungan gaya hidup

nongkrong remaja, yang memperlihatkan bahwa kegiatan nongkrong di 7-Eleven masih dalam

proses untuk terbentuk menjadi suatu gaya hidup di kalangan remaja Jakarta. Kehadiran 7-

Eleven yang masih terbilang sangat baru dalam kehidupan masyarakat Jakarta, membuat

kegiatan nongkrong di 7-Eleven belum tersosialisasi secara mendalam pada diri remaja-

remaja perkotaan saat ini. Tetapi dengan melihat kecenderungan sosialisasi keluarga yang

cukup tinggi dapat menunjukkan bahwa seiring dengan jalannya proses sosialisasi dari

keluarga pada akhirnya akan turut membentuk kebiasaan nongkrong di 7-Eleven menjadi

sebuah gaya hidup para remaja Jakarta.

Rendah Sedang Tinggi

2%

50% 48%

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 9: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Konformitas Terhadap Peer Group Mengenai Gaya Hidup Nongkrong

Sebagai salah satu kelompok yang memiliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan

seorang remaja, peer group juga akan turut menentukan pembentukan gaya hidup seseorang.

Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa tekanan yang

datang dari peer group akan cenderung menentukan bagaimana seorang remaja bersikap

sehingga dapat mempengaruhi gaya hidup yang dimilikinya. Dalam variabel ini, konformitas

terhadap peer group dilihat berdasarkan keinginan untuk meniru, tekanan yang diperoleh dari

peer group, serta sanksi yang diberikan oleh peer group. Berikut adalah kecenderungan

responden berkonformitas terhadap peer groupnya terkait dengan kebiasaan nongkrong.

Grafik 2. Konformitas Terhadap Peer Group Mengenai Gaya Hidup Nongkrong

N=100

Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013

Berdasarkan kecenderungan tersebut, didapatkan hasil bahwa konformitas responden

terhadap peer group berada dalam kategori sedang cenderung rendah. Peneliti katakan

demikian karena dapat terlihat bahwa kategori rendah memiliki persentase yang lebih tinggi

dibanding dengan kategori tinggi, yaitu sebesar 16%. Meskipun tidak menunjukkan

perbedaan yang cukup jauh antara kedua kategori tersebut, tetapi dari deskripsi mengenai

pertanyaan dalam variabel yang mencakup tingkat keinginan untuk meniru, tekanan yang

diperoleh dari peer group, serta tingkat sanksi yang diberikan oleh peer group terlihat bahwa

tingkat konformitas responden cenderung rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan

rendahnya tingkatan sanksi dan tekanan yang didapatkan responden dari peer group-nya.

Kecenderungan persentase yang cukup tinggi hanya berada pada aspek keinginan untuk

meniru tetapi tidak disertai adanya tekanan dan sanksi dari peer group mereka dalam

melakukan kegiatan nongkrong.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kecenderungan responden nongkrong

di 7-Eleven didasarkan pada keinginan yang tinggi untuk meniru perilaku peer group mereka

yang juga biasa nongkrong di 7-Eleven. Keinginan yang tinggi untuk meniru perilaku

nongkrong peer group ini juga turut menjadi aspek utama penyebab semakin banyaknya anak-

anak remaja yang nongkrong di 7-Eleven. Karena seperti hasil temuan diatas, bahwa para

remaja ini memiliki keinginan besar untuk ikut nongkrong bersama teman-temannya. Begitu

pula yang terjadi di 7-Eleven, dimana para remaja yang datang ke 7-Eleven sebagian besar

karena meniru atau mengikuti teman-temannya yang juga pergi ke 7-Eleven.

Rendah Sedang Tinggi

16%

74%

10%

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 10: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Hubungan Sosialisasi Keluarga dan Konformitas Peer Group Terhadap Pembentukan

Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven

Disamping melihat kecenderungan dari gaya hidup nongkrong yang dimiliki

responden, sosialisasi yang didapatkan responden dari keluarga mengenai gaya hidup

nongkrong, serta konformitas remaja terhadap peer group yang memiliki kebiasaan

nongkrong, maka selanjutnya akan dilihat pula bagaimana hubungan diantara sosialisasi

keluarga dan konformitas peer group terhadap pembentukan gaya hidup nongkrong remaja di

7-Eleven.

Pertama, ketika diuji hubungan antara sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong

di 7-Eleven didapatkan hasil bahwa kecenderungan gaya hidup nongkrong responden yang

semakin tinggi diikuti dengan sosialisasi keluarga yang cenderung semakin tinggi pula. Hal

ini ditunjukkan dengan hasil uji statistik Somers‟d yang menunjukkan arah positif, seperti

dalam tabel berikut :

Tabel 1. Hasil Uji Statistik Somers’d Antara Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong

Dengan Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven

Uji Statistik Variabel Nilai

Hubungan Signifikansi

Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong Dengan

Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven 0,279 0,001

Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013

Dari tabel ini dapat terlihat bahwa nilai hubungan antara kedua variabel tersebut

adalah 0,279 yang berarti diantara varibel sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong ini

memiliki hubungan yang korelasinya positif dan kekuatan hubungannya termasuk dalam

kategori lemah. Korelasi positif yang didapat dari hubungan kedua variabel ini, membuat

hipotesis penelitian ini diterima. Dimana dalam hipotesis telah disebutkan bahwa semakin

tinggi sosialisasi keluarga tentang penerapan penanaman nilai-nilai dan norma mengenai

kebiasaan nongkrong maka akan semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk memiliki

gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.

Sementara hubungan yang lemah antar kedua variabel ini dapat menggambarkan

bahwa belum tersosialisasinya kebiasaan untuk nongkrong di 7-Eleven, sebab 7-Eleven

sendiri dapat dikatakan sebagai tempat yang kehadirannya terbilang baru di tengah-tengah

masyarakat Jakarta saat ini. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa pada akhirnya

kebiasaan nongkrong di 7-Eleven akan disosialisasikan oleh keluarga seperti halnya kebiasaan

nongkrong di kafe atau mall yang saat ini sudah menjadi gaya hidup pada masyarakat

perkotaan. Jadi, dapat dikatakan gaya hidup nongkrong di 7-Eleven masih dalam suatu fase

pembentukan untuk mengarah menjadi sebuah gaya hidup baru di masyarakat.

Keberlakuan hubungan antar variabel ini pada tingkat populasi dapat dilihat dari nilai

signifikansi yaitu sebesar 0,001 yang lebih kecil dari nilai alpha (0,05). Sehingga hubungan

yang lemah antara sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven dapat

diberlakukan atau digeneralisasikan pada tingkat populasi. Dalam artian, secara luas atau

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 11: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

dalam kehidupan masyarakat perkotaan, terutama Jakarta, sosialisasi keluarga memiliki

pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup yang dimiliki seseorang, salah satunya adalah

gaya hidup nongkrong pada remaja.

Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata memang benar jika

dikatakan sosialisasi yang didapatkan dari keluarga akan membentuk gaya hidup seseorang.

Sebab keluarga sebagai agen sosialisasi primer dalam fase kehidupan seseorang, merupakan

tempat utama individu mendapatkan pelajaran mengenai bagaimana cara-cara kehidupan

masyarakat yang diatur melalui normai dan nilai yang berlaku di masyarakat itu sendiri.

Seorang individu, terutama mereka yang berada pada fase usia remaja, berada pada fase

dimana ia akan mencari identitas dirinya, sehingga ia dapat mengetahui perannya di

masyarakat saat memasuki usia dewasa kelak. Lebih jauh, pada masa ini peran keluarga

dalam mensosialisasikan nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat menjadi penting untuk

kemudian mulai dipraktekkan oleh remaja tersebut ketika ia memasuki dunia yang jauh lebih

luas diluar keluarganya.

Sosialisasi yang mereka dapatkan sejak usia dini mengenai kebiasaan nongkrong

membuat mereka menerapkannya dalam kehidupan sosialnya -- bersama dengan kelompok

teman sebaya -- sehingga banyak dari remaja tersebut pada akhirnya menjadikan nongkrong

sebagai suatu gaya hidup. Disamping itu, meskipun ditemukan bahwa hubungan antara

sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven masih cenderung lemah,

tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa lambat laun keluarga juga akan mensosialisasikan

kebiasaan nongkrong di 7-Eleven kepada para remaja. Sehingga pada akhirnya nongkrong di

7-Eleven terbentuk sebagai suatu gaya hidup baru di tengah-tengah masyarakat perkotaan.

Seperti yang diungkapkan Chaney, bahwa dengan memiliki gaya hidup nongkrong,

para remaja ingin membedakan diri mereka dalam rangka menunjukkan identitas diri, dengan

memiliki suatu cara kehidupan yang khas yang dapat dikenali melalui perilaku ekspresif

berupa kebiasaan nongkrong. Sehingga mereka dapat terlihat berbeda dibandingkan dengan

orang lain yang tidak memiliki gaya hidup ini. Terbukti dengan tingginya tingkat antusiasme

para remaja dalam menyambut kehadiran 7-Eleven, yang notabene menjadikan remaja sebaga

target pemasaran mereka, sehingga secara kasat mata pun dapat terlihat bahwa yang memiliki

kebiasaan nongkrong di 7-Eleven adalah mereka yang berusia remaja.

Selanjutnya, kecenderungan serupa juga dapat terlihat pada hubungan antara variabel

konformitas terhadap peer group dengan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven, yang

memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat konformitas terhadap peer

group maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-

Eleven. Hal ini terlihat dari persentase responden yang memiliki gaya hidup semakin tinggi

diikuti dengan tingkat konformitas terhadap peer group yang semakin tinggi pula. Secara

sosiologis temuan ini menjadi menarik dan menunjukkan kecenderungan bahwa gaya hidup

nongkrong di 7-Eleven merupakan bagian dari gaya hidup kelompok remaja 13-21 tahun.

Melalui tabel berikut akan lebih jelas dipaparkan mengenai korelasi atau hubungan

antara konformitas peer group dan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 12: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Tabel 2. Hasil Uji Statistik Somers’d Antara Konformitas Terhadap Peer Group Mengenai Gaya Hidup

Nongkrong Dengan Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven

Uji Statistik Variabel Nilai

Hubungan Signifikansi

Konformitas Terhadap Peer group Mengenai Gaya Hidup Nongkrong

Dengan Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven 0,239 0,013

Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013

Berdasarkan uji statistik Somers’d tersebut terlihat bahwa kedua variabel ini memiliki

nilai hubungan sebesar 0,239, yang berarti bahwa antara variabel konformitas terhadap peer

group dan variabel gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven memiliki kekuatan hubungan

yang tergolong lemah dengan korelasi yang positif. Hubungan ini menggambarkan bahwa

konformitas terhadap peer group yang memiliki kebiasaan nongkrong memiliki pengaruh

terhadap pembentukan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven, meskipun pengaruh yang

didapatkan terbilang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat

diterima, dimana dalam hipotesis disebutkan bahwa semakin tinggi tingkat konformitas

seorang remaja terhadap temannya yang nongkrong di 7-Eleven, maka akan semakin tinggi

pula kecenderungan remaja tersebut untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.

Dengan nilai signifikansi sebesar 0,013 berarti bahwa korelasi antara kedua variabel ini dapat

diberlakukan di tingkat populasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada kehidupan remaja pada

umumnya, kecenderungan mereka untuk berkonformitas terhadap peer group-nya akan

mempengaruhi gaya hidup yang mereka miliki, terutama yang terkait dengan gaya hidup

nongkrong ini.

Sebagai sebuah tempat baru yang hadir ditengah kehidupan masyarakat Jakarta, 7-

Eleven menjadi salah satu tempat alternatif bagi para remaja untuk menghabiskan waktu

dengan nongkrong bersama teman-teman mereka. Selain didukung oleh adanya sosialisasi

keluarga tentang kebiasaan nongkrong, tingginya minat dan antusiasme para remaja terhadap

kehadiran 7-Eleven ini ternyata didukung juga oleh keinginan mereka untuk meniru perilaku

teman-teman mereka yang memiliki kebiasaan nongkrong di 7-Eleven. Hal ini lah yang

membuat semakin banyaknya para remaja yang nongkrong di 7-Eleven baik saat hari-hari

sekolah maupun saat hari libur seperti weekend dan musim liburan sekolah.

Tinggi rendahnya konformitas seseorang terhadap peer groupnya sangat ditentukan

oleh bagaimana interaksi dalam peer group tersebut berjalan. Dengan melihat data temuan

yang menyatakan bahwa tingkat tekanan dan sanksi yang diberikan oleh peer group tergolong

rendah pada pembahasan sebelumnya, memperlihatkan bahwa kecenderungan pembentukan

gaya hidup nongkrong pada remaja lebih banyak didasari oleh keinginan individual untuk

meniru semata, tanpa adanya tekanan yang berarti dari peer group mereka. Hal ini sejalan

dengan hasil wawancara informan T2 berikut :

“ya ga ada sih paling buat seru-seru aja ngobrol sama ngumpul-ngumpul. Trus juga supaya

lebih deket aja sama mereka. Seneng aja sih aku ngumpul –ngumpul gitu….”

“ngga ko temen-temen ngga ada yang maksa aku untuk ikut nongkrong sama mereka. Soalnya

kalo aku ngga ikut pun mereka juga ngga akan marah. Paling awalnya aku dibujuk-bujuk dulu supaya

mau ikut. Tapi kalo emang aku nya ngga bisa ya mereka juga ngga maksa lagi.”

2 Wawancara mendalam pada tanggal 20 April 2013

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 13: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Disamping itu, informan K3 juga menyebutkan bahwa kebiasaan nongkrong yang ia

lakukan di 7-Eleven berawal dari pengaruh yang dibawa oleh teman-temannya yang

menceritakan pengalaman tentang keberadaan 7-Eleven. Hal tersebut akhirnya membuat

informan ingin mengikuti perilaku peer groupnya yang sudah terlebih dahulu memiliki

kebiasaan nongkrong di 7-Eleven, tanpa didasari tekanan atau paksaan dari peer groupnya

tersebut, seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara berikut :

“awalnya ke sevel gara2 diajakin temen, mereka bilang makanannya enak-enak trus murah.

Setelah gw coba sendiri ternyata emang bener enak trus tempatnya juga enak buat duduk2. Jadi ya

smp skrg gw suka aja pergi ke sevel”

Menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (2008), ada tiga faktor yang dapat

mempengaruhi konformitas, diantaranya kohesivitas kelompok, besar kelompok, dan tipe dari

norma sosial (Sarwono dan Meinarno, 2011). Kohesivitas adalah sejauh mana seseorang

tertarik pada kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Dalam kasus para remaja ini, kohesivitas yang terjadi antara para remaja dengan peer group-

nya dapat tergolong cukup besar, karena seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa

remaja cenderung ingin menjadi bagian dari kelompok teman sebayanya dengan cara

mengikuti teman-temannya untuk nongkrong agar menjadi lebih akrab.

Kemudian mengenai faktor besar kelompok, dimana semakin besar ukuran kelompok

maka akan semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga

semakin banyak yang mau mengikutinya. Melihat banyaknya kelompok remaja yang saat ini

memiliki kebiasaan nongkrong cenderung membuat remaja lain untuk mengikuti perilaku ini.

Dengan hadirnya 7-Eleven maka semakin bertambah fasilitas bagi para remaja untuk

nongkrong.

Selanjutnya mengenai faktor tipe norma sosial, dimana norma sosial terbagi menjadi

dua macam yaitu norma injunctive (hal apa yang seharusnya dilakukan) dan norma

descriptive (hal apa yang kebanyakan orang lakukan). Dalam kasus ini, kebiasaan nongkrong

termasuk kedalam tipe norma descriptive, dimana nongkrong telah menjadi suatu hal yang

kebanyakan orang lakukan, khususnya bagi para remaja. Sehingga para remaja ini akan

cenderung untuk melakukan kegiatan nongkrong seperti yang dilakukan oleh remaja lainnya.

Sehingga semakin meningkatkan kecenderungan remaja berkonformitas terhadap peer group-

nya yang memiliki kebiasaan nongkrong.

Pada pembahasan mengenai kecenderungan konformitas pada remaja ditemukan

bahwa kecenderungan remaja untuk ikut nongkrong bersama teman-temannya cukup tinggi,

yaitu lebih dari 70% dari keseluruhan responden. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari

informan T dan K yang menyatakan bahwa mereka memang selalu ikut dengan teman-

temannya ketika teman mereka pergi nongkrong. Kecenderungan ini juga dapat menjadi dasar

dari munculnya “anak-anak sevel”4 di tengah-tengah kehidupan remaja Jakarta saat ini. Maka

dari itu, meski ditemukan bahwa kebiasaan nongkrong di 7-Eleven belum menjadi suatu gaya

hidup atau dapat dikatakan masih berproses menjadi sebuah gaya hidup, tetapi dengan adanya

3 Wawancara mendalam pada tanggal 21 April 2013 4 “anak-anak sevel” ditujukkan pada para remaja yang biasa menghabiskan waktu luangnya untuk nongkrong di 7-Eleven.

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 14: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

kecenderungan konformitas para remaja terhadap peer group-nya untuk nongkrong di 7-

Eleven ini akan semakin meningkatkan proses pembentukan gaya hidup nongkrong tersebut.

Hubungan Antara Sosialisasi Keluarga dan Konformitas Terhadap Peer group Dengan

Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven berdasarkan Status Sosial Ekonomi

Setelah dikontrol dengan variabel status sosial ekonomi, terjadi perubahan nilai

hubungan dan nilai signifikansi pada hubungan antara variabel sosialisasi keluarga dan gaya

hidup nongkrong. Dimana pada tingkat SSE rendah terjadi peningkatan nilai hubungan

menjadi 0,538, yang berarti bahwa hubungan antar kedua variabel tersebut menjadi cukup

kuat dan korelasinya positif. Pada tingkat SSE sedang juga terjadi peningkatan nilai hubungan

menjadi 0,342 namun masih tetap tergolong hubungan yang lemah dengan korelasi positif.

Sementara hal sebaliknya terjadi pada kategori tingkat SSE tinggi dimana nilai hubungan

antar kedua variabel turun menjadi 0,121 yang berarti bahwa hubungannya menjadi semakin

lemah dan korelasinya masih tergolong positif.

Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa sosialisasi keluarga pada mereka yang

memiliki SSE rendah justru menjadi paling signifikan untuk memiliki gaya hidup nongkrong

di 7-Eleven. Hal ini didukung juga dengan nilai signifikansi kategori ini yang bernilai kurang

dari nilai alpha, sehingga temuan ini dapat diberlakukan atau digeneralisasikan pada tingkat

populasi. Dari aspek sosiologis, temuan ini menjadi menarik karena sebelumnya pada

hipotesis turunan, diduga bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan untuk memiliki

gaya hidup nongkrong di 7-Eleven adalah mereka yang memiliki SSE cenderung semakin

tinggi. Namun hipotesis turunan tersebut ternyata tidak terbukti, sebab pada temuan ini

ternyata justru semakin rendah tingkatan SSE yang dimiliki maka menjadi semakin signifikan

untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.

Hasil tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat yang berada dikelas bawah justru

memiliki sosialisasi mengenai gaya hidup nongkrong paling tinggi dibanding mereka yang

berada dikelas menengah dan atas. Hal ini berarti bahwa para orang tua yang berada pada

kelompok SSE rendah cenderung lebih kuat mensosialisasikan tentang gaya hidup nongkrong

kepada anak-anak mereka. Para orang tua tersebut memiliki keinginan agar anak-anak remaja

mereka dapat mengikuti gaya hidup yang dimiliki oleh kelompok SSE menengah dan tinggi,

meskipun secara status sosial ekonomi mereka berada pada kelompok rendah. Dalam hal ini

mereka yang berada pada kelompok SSE sedang dan tinggi memiliki peranan sebagai

reference group bagi mereka yang berada pada kelompok SSE rendah. Reference group

merupakan kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang yang bukan anggota

kelompok untuk membentuk pribadi dan perilakunya (Soekanto, 1990, h.125). Mereka yang

berada pada SSE rendah mencoba menjadikan gaya hidup kelompok sedang dan tinggi

menjadi acuan mereka dalam berperilaku, yang pada akhirnya membuat mereka mengikuti

gaya hidup yang dimiliki oleh kelompok SSE sedang dan tinggi dengan cara

mensosialisasikan gaya hidup tersebut di dalam keluarga. Hal ini dapat dipahami karena gaya

hidup kelas menengah atas di perkotaan seringkali dijadikan “trendsetter” bagi strata sosial

lainnya.

Kecenderungan ini dapat terjadi sebagai akibat dari usaha masyarakat kelas bawah

untuk mencapai prestise dalam masyarakat. Sebab, dalam status sosial tersimpan unsur

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 15: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

prestise sehingga pemakaian symbol status menjadi suatu hal yang penting (Susanto, 2001,

h.10). Simbol status yang dimaksudkan disini adalah berupa gaya hidup nongkrong di 7-

Eleven tersebut. Tujuan dari penggunaan simbol status ini adalah untuk memproyeksikan citra

diri yang dimiliki oleh seseorang, dimana dalam hal ini meskipun mereka berasal dari

kelompom SSE rendah, tetapi dengan memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven dapat

membuat mereka mendapatkan respect atau pengakuan dari masyarakat akan citra yang ingin

mereka tampilkan, yaitu sebagai masyarakat yang tergolong „mampu‟ karena bisa nongkrong

di tempat yang dianggap modern dan elit oleh masyarakat, khususnya remaja perkotaan saat

ini.

Bagi mereka yang memiliki tingkat SSE tinggi justru memiliki kecenderungan gaya

hidup nongkrong di 7-Eleven yang lebih rendah dengan dipengaruhi oleh sosialisasi mengenai

kebiasaan nongkrong yang cenderung rendah pula dari keluarga mereka. Namun, temuan ini

tidak dapat digeneralisasikan di tingkat populasi karena nilai signifikansi mengalami

peningkatan menjadi 0,375 dan lebih besar dari nilai alpha yang berarti bahwa kecenderungan

ini hanya dapat berlaku di tingkat sampel saja. Sehingga, dapat dikatakan bahwa remaja-

remaja lain yang berada di luar sampel penelitian ini belum tentu memiliki kecenderungan

yang serupa. Karena pada kenyatannya, berdasarkan hasil observasi di lapangan dan

wawancara mendalam dengan informan ditemukan bahwa meskipun mereka memiliki tingkat

SSE yang tergolong tinggi mereka tetap menjadikan nongkrong di 7-Eleven sebagai suatu

kebiasaan baru dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi suatu gaya hidup bagi mereka.

Ditambah lagi jika hal ini juga didukung dengan besarnya tingkat sosialisasi dari keluarga

mengenai kebiasaan nongkrong seperti yang terjadi pada informan T, dimana ia menyatakan

bahwa orang tua dan saudaranya sering mengajaknya untuk pergi nongkrong baik di kafe,

mall dan juga di 7-Eleven pada hari libur atau weekend.

Selanjutnya, pada hubungan antara konformitas peer group dengan gaya hidup

nongkrong remaja di 7-Eleven setelah dikontrol dengan variabel status sosial ekonomi, terjadi

perubahan nilai baik pada korelasi maupun nilai signifikansi didalam hubungan antara

variabel konformitas terhadap peer group dan gaya hidup nongkrong. Pada tingkat SSE

rendah nilai hubungan mengalami peningkatan menjadi 0,515, yang berarti bahwa kekuatan

hubungan kedua variabel menjadi lebih kuat dan berkorelasi positif. Sedangkan pada tingkat

SSE tinggi, juga terjadi sedikit peningkatan hubungan dengan nilai 0,250 dengan hubungan

positif. Namun, hal sebaliknya terjadi pada tingkat SSE sedang, dimana terdapat perubahan

korelasi antara kedua variabel menjadi negatif dengan nilai hubungan -0,041.

Temuan ini memperlihatkan bahwa bagi mereka dengan kelompok SSE rendah, akan

semakin memiliki keinginan untuk menjadi seperti kelompok SSE rendah dan tinggi, atau

dengan kata lain kelompok SSE bawah berkonformitas terhadap kelompok SSE menengah

dan atas. Semakin rendah SSE yang dimiliki mereka akan semakin cedenrung untuk

berkonformitas terhadap peer groupnya sehingga semakin signifikan untuk memiliki gaya

hidup nongkrong di 7-Eleven.

Kelompok SSE rendah memiliki keinginan menjadi seperti kelompok kelas menengah

dan atas sehingga mereka semakin kuat kecenderungannya berkonformitas terhadap peer

groupnya untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven. Konformitas semacam ini

termasuk dalam normative conformity, dimana menurut Deutsch&Gerrard (1995) dan Kelley

(1952) konformitas yang dimaksud disini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 16: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

ingin mendapat social rewards seperti rasa kepemilikan dan penerimaan atau pengakuan dari

kelompok lain sehingga mereka dapat terhindar dari social punishment seperti dikucilkan,

dipermalukan, dan lain sebagainya (Stangor, 2004, h. 90). Untuk menghindar dari social

punishment di masyarakat, maka sebagai kelompok yang memiliki status rendah pada

akhirnya mereka akan berkonformitas dengan kelompok lain yang berstatus lebih tinggi agar

bisa mendapatkan pengakuan di masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan teori reference

group, dimana kelompok SSE rendah menjadikan kelompok SSE sedang dan tinggi sebagai

kelompok acuannya dalam berperilaku, sehingga mereka cenderung untuk mengikuti gaya

hidup yang dimiliki oleh kelompok yang kedudukannya lebih tinggi.

Disamping itu, dalam teori pertukaran sosial, disebutkan bahwa mereka yang sadar

bahwa dirinya berada pada kelompok status yang lebih rendah daripada kelompok lain, akan

cenderung untuk meninggalkan kelompok tersebut. Namun, jika pilihan untuk meninggalkan

kelompoknya menjadi tidak memungkinkan, maka mereka yang berada pada kelompok status

rendah akan meninggalkan kelompok tersebut secara psikologis dengan menciptakan jarak

mereka dengan kelompok mereka berasal atau berusaha meyakinkan diri mereka sendiri

bahwa mereka bukanlah bagian dari kelompok tersebut (Stangor, 2004, h. 79). Penjelasan ini

dapat mendukung temuan diatas, dimana masyarakat yang berada pada tingkat SSE rendah

secaramodal ekonomi tidak dapat meninggalkan kelompok status tersebut. Maka dari itu

mereka berusaha mencari cara lain, yaitu diantaranya dengan menjadikan masyarakata pada

kelompok SSE sedang dan tinggi sebagai reference group mereka. Hal ini bertujuan agar

masyarakat SSE rendah bisa mendapatkan pengakuan dari kelompok masyarakat lain, dengan

meyakinkan diri bahwa mereka bisa mengikuti gaya hidup yang dianut oleh kelompok atas.

Temuan ini dapat menjadi suatu masalah besar pada kehidupan masyarakat perkotaan

di Indonesia saat ini. Disini terjadi sebuah pemaksaan gaya hidup dari kelas bawah kepada

kelas atas. Sebab, kelompok bawah sebagai kelompok yang secara umum dianggap tidak

memiliki cukup modal baik modal ekonomi maupun sosial, memaksakan diri mereka untuk

dapat mengikuti gaya hidup kelompok menengah dan atas. Sehingga hal ini dapat

menimbulkan berbagai permasalahan sosial, terutama yang menyangkut remaja sebagai

generasi penerus bangsa. Jika remaja terbiasa untuk memiliki kecenderungan memaksakan

gaya hidup yang mereka miliki padahal secara modal mereka tidak mampu, maka

permasalahan sosial seperti kriminalitas, prostitusi dan lain sebagainya akan mengalami

peningkatan yang cukup signifikan, hanya demi untuk mencapai gaya hidup yang dianut oleh

kelas atas.

Namun pola sebaliknya justru terjadi pada pada kelompok SSE sedang, dimana

hubungan antara konformitas dengan gaya hidup nongkrong menjadi negatif. Hal ini dapat

diartikan bahwasecara sosiologis memang bisa terjadi kecenderungan pada masyarakat

dengan srata lebih rendah cenderung mengikuti gaya hidup masyarakat yang memiliki strata

lebih tinggi atau dengan kata lain masyarakat kelas menengah atas menjadi “trendsetter” bagi

mereka yang berada di kelas bawah. Agar masyarakat bisa menerima mereka yang berada di

kelas bawah sebagai kelas menengah atas. Disini terjadi apa yang disebut dengan gaya hidup

semu atau gaya hidup yang tidak sesuai dengan keberadaan kelas sesungguhnya.

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 17: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Kesimpulan

Fenomena nongkrong di 7-Eleven telah menjadi sebuah kebiasaan baru pada remaja

Jakarta saat ini. Berdasarkan temuan, didapatkan hasil bahwa kebiasaan nongkrong di 7-

Eleven membentuk kecenderungan untuk menjadi sebuah gaya hidup baru bagi para remaja

tersebut. Proses pembentukan gaya hidup nongkrong ini sudah berpola atau telah menjadi

suatu pola sosial yang dipengaruhi oleh dua faktor utama, yang diantaranya adalah pengaruh

dari sosialisasi keluarga dan konformitas remaja terhadap peer group-nya yang memiliki

kebiasaan nongkrong

Berdasarkan hasil temuan, terlihat bahwa sosialisasi keluarga dan konformitas

terhadap peer group memberikan pengaruh terhadap terbentuknya gaya hidup nongkrong

remaja di 7-Eleven. Meskipun ditemukan bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan

yang lemah, tetapi korelasinya tetap bernilai positif sehingga menunjukkan bahwa baik antara

variabel sosialisasi keluarga dengan gaya hidup nongkrong maupun antara variabel

konformitas peer group dengan variabel gaya hidup nongkrong memiliki pengaruh antara satu

sama lain.

Setelah dikontrol dengan variabel status sosial ekonomi, ternyata didapatkan hasil

bahwa mereka yang berada pada tingkat status sosial ekonomi rendah cenderung menguatkan

hubungan baik antara variabel sosialisasi keluarga dengan gaya hidup nongkrong, mapun

antara variabel konformitas peer group dengan gaya hidup nongkrong. Temuan ini

memperlihatkan bahwa pada kelompok status SSE rendah terdapat kecenderungan

menjadikan kelompok sse sedang dan tinggi sebagai reference group mereka, sehingga

mereka meniru gaya hidup yang dianut oleh kelompok yang statusnya lebih tinggi tersebut

Saran

Saran Akademis

Bagi perkembangan Sosiologi sebagai suatu ilmu, kajian-kajian terhadap kehidupan

remaja di perkotaan akan memberikan kontribusi terhadap dinamika perubahan sosial yang

cepat di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyadari bahwa penelitian

ini memiliki banyak keterbatasan dan kekurangan, oleh karena itu diperlukan berbagai studi

lanjutan secara mendalam (kualitatif) untuk mengungkapkan bagaimana proses sosialisasi

kondusif membentuk gaya hidup berbagai kelompok usia di perkotaan.

Selain itu, peneliti berharap penelitian ini akan dapat lebih dikembangkan dengan

melihat lebih banyak lagi faktor-faktor sosial lain yang dapat membentuk gaya hidup

masyarakat di perkotaan, serta penelitian selanjutnya diharapkan akan lebih dapat

mengungkap dampak dari gaya hidup yang dimiliki masyarakat perkotaan saat ini. Kajian

seperti ini akan bermanfaat baik bagi pemerintah, pasar (pengusaha) dan masyarakat,

khususnya di tingkat keluarga dan komunitas.

Selain bermanfaat bagi kajian sosiologi perkotaan, temuan dalam penelitian ini juga

dapat menjadi sumbangan bagi kajian sosiologi keluarga. Dimana untuk penelitian

selanjutnya disarankan untuk dapat melihat lebih spesifik kearah hubungan antara keluarga

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 18: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

dengan gaya hidup. Misalnya secara kualitatif menelaah keluarga seperti apa yang cenderung

membentuk gaya hidup nongkrong pada anak-anak remaja.

Saran Praktis

Dalam era globalisasi yang tanpa melihat lagi batas-batas wilayah dan negara,

dinamika pasar mampu mendorong perubahan sosial di masyarakat perkotaan. Bagi aktor

yang bergerak di bidang bisnis terkait pasar, peneliti memberikan saran praktis kepada PT.

Modern Indonesia selaku perusahaan yang mengelola 7-Eleven, dan juga kepada pemerintah

serta masyarakat yang dalam hal ini merupakan stakeholders dari perusahaan tersebut.

Pemerintah selaku pejabat negara memiliki andil yang cukup besar dalam hal pesatnya

pertumbuhan 7-Eleven di Jakarta saat ini, terutama dalam hal perizinan pembangunan gerai-

gerai 7-Eleven tersebut. Sebaiknya pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta

bersama dengan kepala dinas pendidikan, membuat peraturan yang lebih tegas dan ketat

dalam hal perizinan pembangunan toko ritel di Jakarta yang berada pada wilayah sekolah.

Karena seperti apa yang telah ditemukan dalam penelitian ini bahwa persebaran 7-Eleven saat

ini banyak yang berlokasi di dekat sekolah-sekolah. Maka, pemerintah sebaiknya mulai

membuat peraturan yang dapat mengatur jarak lokasi gerai 7-Eleven dengan wilayah sekolah

di Jakarta. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat penelitian ini telah menunjukkan bahwa

banyak dari para remaja, yang notabene merupakan anak-anak usia sekolah, yang

menghabiskan waktu luang dengan nongkrong di 7-Eleven.

Selanjutnya, kepada perusahaan pengelola 7-Eleven peneliti menyarankan tidak hanya

mengutamakan remaja sebagai target pasar yang strategis tetapi juga harus bisa bertanggung

jawab secara sosial khususnya kepada para remaja yang masih berusia 13 hingga 15 tahun

yang notabene menjadi kategori umur terbesar sebagai pengunjung 7-Eleven. Tanggung

jawab sosial yang dimaksud disini adalah para pengusaha harus menyadari bahwa konsumen

mereka datang dari remaja yang masih “rentan” terhadap pengaruh perilaku “negatif”,

sehingga aktor di bidang bisnis ikut memberikan edukasi dan menegakkan aturan yang

berlaku, misal pembelian minuman keras, merokok di lingkungan bisnis mereka. Petunjuk

yang akan mempengaruhi terhadap perilaku menyimpang dibuat dalam bentuk menarik atau

ajakan peringatan preventif bagi para konsumen remaja.

Disamping itu, diharapkan juga pengelola 7-Eleven untuk dapat bekerjasama dengan

pemerintah dalam membuat peraturan yang melarang remaja untuk berada di 7-Eleven pada

jam-jam sekolah atau melarang pelajar berpakaian sekolah untuk nongkrong di 7-Eleven. Hal

ini diharapkan akan dapat mengurangi kebiasaan nongkrong yang dimiliki para remaja saat ini

khususnya pada hari-hari sekolah. Sehingga akan mampu membuat para remaja untuk

berkembang lebih produktif. Disamping itu, untuk mengontrol akses para remaja terhadap

rokok dan minuman beralkohol, pengelola 7-Eleven sebaiknya memperketat peraturan

mengenai pembelian rokok dan minuman keras dengan melarang mereka yang tidak berusia

diatas 21 tahun untuk membeli rokok dan minuman keras tersebut.

Saran berikutnya kepada masyarakat, khususnya bagi para remaja sebaiknya dapat

mencari kegiatan-kegiatan yang bersifat kreatif dan produktif dalam rangka menghabiskan

waktu luang yang dimiliki, sehingga nongkrong tidak lagi menjadi pilihan utama bagi mereka

dalam menghabiskan waktu luang. Mendukung hal ini, orang tua juga sebaiknya mengambil

peran secara aktif untuk mengontrol aktivitas atau kegiatan anak-anak remaja mereka,

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 19: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

khususnya bagi orang tua yang memiliki anak-anak berusia remaja awal seperti usia 13

hingga 15 tahun, terutama yang terkait dengan kegiatan dalam waktu luang remaja-remaja

tersebut. Disamping itu, studi ini juga menemukan bahwa ternyata peer group memiliki

pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup remajaperkotaan saat ini. Berdasarkan hal

tersebut diharapkan orang tua lebih dapat mengamati dan mengontrol siapa saja yang menjadi

teman anak-anak mereka. Karena teman sebaya ternyata memiliki pengaruh yang cukup

signifikan bagi perkembangan remaja di perkotaan saat ini.

Disamping itu, berdasarkan temuan dalam penelitian ini, orang tua diharapkan untuk

lebih berhati-hati dalam mensosialisasikan nilai-nilai, terutama terkait dengan hal bersifat

material yang dapat membuat anak merasa harus mempunyai gaya hidup yang dimiliki oleh

kelas atas. Agar pada akhirnya tidak menimbulkan berbagai permasalahan sosial seperti

kriminalitas, prostitusi dan sebagainya, yang terjadi akibat adanya pemaksaan gaya hidup dari

kelas bawah terhadap kelas atas. Orang tua diharapkan lebih dapat memilah-milah hal-hal apa

saja yang sebaiknya diajarkan dan tidak kepada anak khususnya bagi orang tua yang memiliki

anak-anak usia remaja.

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 20: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Daftar Referensi

I. Buku

Chaney, David. (2004). Lifestyle sebuah pengantar komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.

Daljoeni, N. (1992). Seluk beluk masyarakat kota. (Cetakan ke IV). Bandung

Desmita. (2010). Psikologi perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Henslin, James M. (2009). Sosiologi dengan pendekatan membumi. Jakarta : Erlangga

Ismani. (1991). Pokok-pokok sosiologi perkotaan. Cetakan pertama. Malang

Neuman, W. Lawrence. (2006). Social research methods.(6th

ed.). Boston: Pearson Education

Inc.

Rojek, Chris. (2005). Leisure theory : principles and practice. Palgrave Macmillan.

Santosa, Slamet. (2006). Dinamika kelompok. (Ed. Rev., Cet.2). Jakarta : Bumi Aksara

Sarwono, Sarlito W., Meinarno, Eko A. (2011). Psikologi sosial. Jakarta : Salemba

Humanika.

Soekanto,Soerjono. (1990) Sosiologi suatu pengantar. (Cetakan IV). Jakarta.

Stangor, Charles. (2004). Social groups in action and interaction. New York : Taylor and

Francis Books, Inc.

Sunarto, Kamanto. (2003). Pengantar sosiologi. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia.

Susanto, A.B. (2001). Potret-potret gaya hidup metropolis. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Wim van Zanten. (1994). Statistika untuk ilmu-ilmu sosial. (Edisi Kedua). Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

II. Karya Akademis

Amalia, Rani Puti. (2007). Clubbing sebagai gaya hidup remaja Jakarta dalam mengisi waktu

luang. Skripsi Program Sosiologi FISIP UI. Depok.

Anasita, Founda. (2007). Memanfaatkan waktu luang di mal sebagai cermin gaya hidup

perkotaan. Skripsi Program Sosiologi FISIP UI. Depok.

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013

Page 21: 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)

Fandhy H., Muhammad. (2005). Faktor-faktor yang mendorong remaja melakukan kegiatan

main biliar sebagai aktivitas mengisi waktu luang. Skripsi Program Sosiologi FISIP

UI. Depok.

Ismayawati , Dian. (2007). Sosialisasi peer group terhadap pola konsumsi pelajar laki-laki

dan pelajar perempuan SMUN 6 Jakarta. Skripsi Program Sosiologi FISIP UI. Depok.

MPS Kuantitatif Kelompok B. (2010). Mobilitas sosial vertikal antargenerasi di bidang

okupasi di Desa Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Laporan Akhir Metode Penelitian

Sosial. Depok

Vibiz Management Research. (2011). Kunci keberhasilan penetrasi pasar gerai 7-Eleven di

Jakarta.

III. Website

www.7elevenid.com

www.bps.go.id

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/19/07433945/Kelas.Menengah.Tidak.Diantis

ipasi

http://metro.sindonews.com/read/2012/07/31/64/661851/menggapai-peluang-hindari-jebakan

http://www.berita-bisnis.com/data-bisnis/1196--7-Eleven-rajai-bisnis-convenience-store.html

http://finance.detik.com/read/2012/06/19/201642/1945524/4/kisah-awal-masuknya-7-Eleven-

ke-indonesia

http://www.antaranews.com/berita/300726/nongkrong-di-cafe-jadi-gaya-hidup

http://industri.kontan.co.id/news/7-eleven-targetkan-penambahan-23-gerai-baru-pada-2012

http://organisasi.org/kegiatan-yang-biasa-dilakukan-orang-saat-sedang-nongkrong-bersama-

teman

http://www.konsultankreatif.com/2012/11/nilai-tambah-nongkrong.html#axzz2FyC4wxTX

Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013