7 daya dukung pulau dan kesejahteraan 7.1 faktor … · 7.1 faktor yang mempengaruhi daya dukung...
TRANSCRIPT
207
7 DAYA DUKUNG PULAU DAN KESEJAHTERAAN 7.1 Faktor yang Mempengaruhi Daya Dukung dan Kesejahteraan
7.1.1 Faktor Penyebab Rendahnya Daya Dukung Lingkungan
Fakta rendahnya daya dukung ini pertama dilihat dari kondisi terumbu
karang meliputi persentase penutupan karang keras, persentase tutupan karang
mati, indeks mortalitas, kelimpahan karang keras, kelimpahan ikan karang dan
indeks keanekaragaman ikan karang.
Tabel 81 Evaluasi Daya Dukung Ekologi Terumbu Karang
Kriteria 2004 2005 2004 2005
Persentase tutupan karang keras (%) 33.19 33.91 34.22 24.92Persentase tutupan karang mati (%) 22.02 16.6 23.7 19.86Indek mortalitas 0.4 0.33 0.37 0.42Kelimpahan karang keras (ind/ha) 45,730 45,631 Indek keanekargaman karang (H') 1.80 - 3.27 1.98 - 3.01Rerata Indeks keanekaragaman ikan karang (H') 2.07 1.87 2 1.5Jumlah Kelimpahan Jenis ikan karang (jenis) 9-52 14-65 25-52 24-50
Kep. Seribu Kel. P. Panggang
Sumber : Terangi (2007) diolah
Tabel 81 memperlihatkan bahwa hampir semua indikator daya dukung
terumbu karang memperlihatkan penurunan dari tahun 2004 ke 2005. Persentase
penutupan karang di Kelurahan P. Panggang pada tahun 2005 mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2004 dari 34,22% menjadi 24,92%. Persentase
penutupan karang mati juga menunjukkan angka penurunan dari 23.7% tahun
2004 menjadi 19,86% tahun 2005.
Indikator rendahnya daya dukung lingkungan Kelurahan Pulau Panggang
dapat juga dilakukan dengan memperhatikan hasil perhitungan dengan metode
ecological footprint. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa telah terjadi defisit
sumberdaya di Kelurahan P. Panggang baik di P. Panggang sendiri maupun di P.
Pramuka. Daya dukung lingkungan mencapai 893 orang dan 734 orang di P.
Pramuka. Hasil perhitungan footprint juga menunjukkan adanya defisit
sumberdaya di Kelurahan P. Panggang diindikasikan denngan adanya nilai BC
yang lebih kecil dari EF. Nilai EF P. Panggang dan P. Pramuka masing-masing
sebesar 4,46 dan 3,97. Sedangkan daya dukung biologis (biocapacity) di P.
208
Panggang dan P. Pramuka masing-masing sebesar 1,03 dan 1,82. Artinya
ketersediaan lahan produktif secara ekologis tidak mampu mencukupi kebutuhan
penduduk atau lebih kecil dari kebutuhan penduduk per kapita yang berada di
wilayah tersebut. Ketika daya dukung biologis ini rendah maka sumber daya alam
untuk menjamin keberlanjutan sistem manusia makin menipis (defisit sumber
daya) dan dapat dipastikan tingkat kompetisi untuk mendapatkan akses terhadap
sumber daya pesisir dan ruang ekologis (ecological space) makin tinggi. Biasanya
daerah dengan kondisi seperti ini akan rawan terhadap konflik.
Berangkat dari dua fakta di atas persoalan mendasar yang melatar
belakangi terjadinya penurunan daya dukung ekologis terumbu karang dan daya
dukung lingkungan pulau disebabkan oleh beberapa faktor baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Menurut hasil wawancara dengan penduduk, tokoh
masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun FGD, didukung juga
dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan
daya dukung lingkungan P. Panggang dan P. Pramuka antara lain :
1) Keterbatasan lahan dan Kepadatan Penduduk yang tidak dapat diatasi
Fakta keterbatasan lahan menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk
P. Panggang dan P. Pramuka. Data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa luas
Kelurahan P. Panggang sebesar 0,62 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak
4.490 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 7.230. Sampai tahun
2008, jumlah penduduk Kelurahan P. Panggang telah mencapai 5481 jiwa
(Laporan bulanan Kelurahan, 2008). Jumlah penduduk yang demikian besar
dibandingkan lahan yang sangat sempit, tentunya menurunkan porsi rumah yang
layak untuk dibangun. Bukti keterbatasan lahan tersebut akhirnya berakibat
kepada menyempitnya luas rumah, terbukti sekitar 41% luas lantai rumah
mayoritas mencapai 8 x 10 m2, dan 13% diantaranya di bawah < 8 m2.
Jika keterbatasan lahan tidak diiringi dengan pertambahan penduduk
mungkin kondisinya akan lebih baik. Namun, faktanya setiap tahun di Kelurahan
P. Panggang hampir bisa dipastikan terjadi lonjakan penduduk. Jika diasumsikan
P. Panggang dan P. Pramuka mewakili Kelurahan P. Panggang -karena pulau
yang diperuntukkan untuk pemukiman di Kelurahan P. Panggang hanya P.
209
Panggang dan P. Pramuka- pada tahun 2006 jumlah penduduk sebanyak 4490 dan
tahun 2008 sebanyak 5481 maka pertambahan penduduk selama 2 tahun
mencapai 1351 jiwa.
Tingginya pertumbuhan penduduk yang selama ini terjadi disebabkan
karena tidak efektif program KB, kurangnya sosialisasi dan penyadaran, serta
pandangan tradisional masyarakat tentang banyak anak. Pada aras yang lebih
tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam pengendalian pertumbuhan
penduduk menyebabkan padatnya jumlah penduduk dunia.
Sedangkan keterbatasan lahan PPK disebabkan oleh beberapa faktor
seperti faktor alamiah pulau, massifnya pembukaan lahan untuk sarana umum,
alokasi pemanfaatan ruang yang tidak jelas dan keterdesakan masyarakat oleh
intensifnya kegiatan industri. Pada aras yang lebih tinggi, keterbatasan lahan
semakin mempersempit ruang gerak dan akses masyarakat terhadap sumber daya
pesisir dan laut. Pemberian hak akses secara ekslusif kepada kelompok tertentu
memicu terjadinya privatisasi lahan, akibatnya tidak lagi tersedia sumber daya
alam yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat dengan mudah. Keterbatasan akses
dan keterdesakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup memunculkan
pola pemanfaatan SDPL yang destruktif dan memicu kerusakan ekologi.
Industrialisasi dan perdagangan bebas juga memunculkan pola pemanfaatan lahan
untuk memenuhi kebutuhannya. Lahan semakin terbatas akibat maraknya
pengkaplingan-pengkaplingan tanah, air dan sumber daya alam yang berada di
dalamnya atas nama kemajuan industri dan pertumbuhan ekonomi.
Kedekatan wilayah antara Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak
berdampak kemajuan bagi Kepulauan Seribu. Konsentrasi modal keuangan di
Jakarta, kahadiran pasar yang luas dan permintaan terhadap barang dan jasa yang
diikuti oleh gaya hidup ekslusif, pola konsumsi khusus bagi golongan kaya,
menjadikan pola hubungan yang tidak seimbang antara Jakarta dan Kepulauan
Seribu. Investasi yang masuk ke Kepulauan Seribu dalam bentuk pariwisata
bahari, industri perkapalan dan perniagaan di wilayah Teluk Jakarta dan
Kepulauan Seribu, serta industri jasa dan konsumsi yang padat di pesisir Jakarta,
ternyata tidak melahirkan kemajuan bagi Kepulauan Seribu.
210
Berkebalikan dengan itu, yang terjadi justru kemunduran dan ketimpangan
yang semakin menganga antara kota-kota di Jakarta dan Kepulauan Seribu. Hal
itu terbukti dengan tingginya penduduk miskin, tingginya indek keparahan dan
kedalaman kemiskinan di Kepulauan Seribu. Kemakmuran kumulatif muncul di
Jakarta dan kemiskinan kumulatif diderita masyarakat Kepulauan Seribu dan
Kelurahan P. Panggang khususnya. Hubungan ekonomi antara DKI Jakarta
dengan daerah yang berada di sekelilingnya seperti Kepulauan Seribu telah
menimbulkan ”backwash effect” terhadap Kelurahan P. Panggang.
Kepadatan penduduk yang tinggi, pendapatan perkapita yang rendah,
tingkat tabungan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah merupakan efek
dari faktor-faktor seperti kehadiran pasar yang luas, kemajuan ilmu dan teknologi,
pesatnya industrialisasi dan terkonsentrasinya modal keuangan di Jakarta. Pola
hubungan seperti ini disebut Gunnar Myrdal sebagai cumulative causation. Untuk
memberantas kemiskinan maka diperlukan campur tangan pemerintah terutama
dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas.
Kepadatan penduduk menurut Gunnar Myrdal merupakan ciri-ciri
keterbelakangan negara/daerah belum maju karena adanya hubungan yang tidak
seimbang antara negara maju dan negara berkembang, daerah kota dan pedesaan,
daerah maju dan daerah kurang berkembang, antara Jakarta dan Kepulauan
Seribu. Populasi penduduk yang berlebihan banyak dituding sebagai penyebab
tunggal terjadinya degradasi lingkungan yang berkibat pada munculnya
kemiskinan. Bagi John Rockefeller (pendukung pengendalian kelahiran selama
40 tahun) menjelaskan bahwa ekspansi penduduk tidak menciptakan masalah-
masalah yang saat ini menimpa banyak negara. Penambahan populasi hanya
memperburuk dan memperbanyak persoalan-persoalan itu. Hal itu juga tidak
disetujui oleh Cina sebagai negara dengan populasi tertinggi dunia. Cina tidak
mengingkari pentingnya kebijakan pembatasan populasi tetapi bagi Cina hal ini
merupakan bentuk ketidaktepatan perencanaan pembangunan nasional dari sebuah
negara. Menekan jumlah penduduk dunia hanya akan membawa kepada skenario
klasik ”the tragedy of the commons” seperti yang terjadi pada perburuan ikan tuna
dan ikan paus sehingga melahirkan kelangkaan bagi kedua komoditas tersebut.
211
Industrialisasi, kemajuan teknologi dan gaya hidup bangsa-bangsa maju
mempercepat akselerasi kemerosotan lingkungan di seluruh dunia. Pertambahan
penduduk diperkirakan meningkat rata-rata tiga orang per detik atau setara
seperempat juta penduduk per hari. Jika tingkat pertumbuhan penuduk rata-rata
seperti sekarang, populasi bumi pada tahun 2035 akan mencapai lebih dari 12
milyar jiwa dan pada 2070 akan menjadi 27 milyar. Pada kondisi seperti ini dan
kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana, bumi sepertinya tidak akan lagi
mampu untuk memberikan makan secara seimbang kepada populasi sebanyak itu
dari waktu ke waktu. Kalaupun sistem dunia yang kolonialistik dan eksploitatif
tidak dianggap sebagai penyebabnya, maka paradigma pembangunan yang ada
saat ini dan pola pemborosan produksi dan konsumsi masyarakat negara-negara
maju yang sesungguhnya bertanggungjawab terhadap sebagian besar kerusakan
yang terjadi.
Peringatan bagi pengendalian jumlah penduduk oleh negara dunia pertama
telah menimbulkan reaksi keras dari negara dunia ketiga. Hal itu menurut Gorz
(2003) tidak mengherankan mengingat penduduk dunia pertama yang jumlahnya
hanya 13% dari total populasi dunia tapi mereka mengkonsumsi 87 % dari total
energi yang dikonsumsi dunia, mengambil 50% dari pasokan ikan dunia dan
hanya meninggalkan seperlima bagian untuk Dunia Ketiga.
Ancaman sesungguhnya adalah anggapan bahwa dengan meningkatnya
populasi dunia maka pertumbuhan tersebut juga akan mempengaruhi tingkat gaya
hidup rata-rata penduduk kaya –khususnya di negara maju/utara- gaya hidup
dalam hal kepemilikan mobil, televisi, kulkas dan sebagainya. Untuk mendukung
gaya hidup kelompok gaya ini maka tidak ada jalan lain kecuali mempertahankan
pertumbuhan industri yang merusak lingkungan. Maka untuk mencegah
kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh populasi industri seperti otomotif,
populasi penduduk (yang tidak bisa mengkonsumsi produk industri) di negara-
negara berkembang harus diturunkan. Dilema bagi industri ketika pertumbuhan
tidak mungkin ditekan, oleh karenanya mereka melimpahkan kesalahan kerusakan
lingkungan pada korbannya yaitu kaum miskin di negara-negara berkembang,
khususnya kaum perempuan yang melahirkan banyak anak.
212
Populasi penduduk dengan demikian bukan merupakan penyebab
langsung kerusakan lingkungan tapi lebih sebagai strategi dan kedok bagi negara-
negara maju untuk melanggengkan industrialisasi dan gaya hidup kapitalistik serta
bentuk pelarian terhadap tanggungjawab terhadap degradasi lingkungan yang
ditimbulkannya.
2) Perilaku individu masyarakat yang negatif
Kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir umumnya termasuk di
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang diduga karena budaya malas,
apatis, egois dan beberapa perilaku individu negataif lainnya. Kemiskinan
kultural ini disebabkan karena rendahnya sumber daya manusia seperti tingkat
pendidikan yang rendah. Memang jika dilihat dari hasil survey, sebanyak 11%
pendidikan tertinggi responden di P. Panggang dan P. Pramuka tidak lulus sekolah
dan 54% hanya sampai SD. Rendahnya perilaku individu dan psikologis ini
menurut penganjur teori liberal seperti Mc Clelland dan Colleman menyebabkan
kurangnya dorongan berprestasi pada kaum miskin. Tesis Mc Clelland dan
Colleman mungkin benar jika melihat fakta di lapangan dan hasil penelitian
Baihaqie (2004) menyatakan bahwa perilaku individu menempati permasalahan
tertinggi (31,37%) yang terjadi di P. Panggang. Sikap apatisme dan perilaku
negatif ini mendorong aksi-aksi pengrusakan sumber daya pesisir laut seperti
penangkapan dengan alat tangkap terlarang, penggunaan potasium dalam
menangkap ikan karang dan tidak ada upaya aktif untuk merahabilitasinya.
Akibat kerusakan sumber daya pesisir dan laut ini, produktifitas perikanan
menjadi turun dan kesejahteraan masyarakatpun semakin menurun.
Perilaku negatif masyarakat menurut Baihaqie (2004) bermula dari
ketiadaan pemerintah dalam memberikan pelayanan dan banyaknya program
pembangunan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Lemahnya pelayanan pemerintah menurut masyarakat P. Panggang
mengakibatkan rendahnya sumber daya manusia karena pemerintah tidak pernah
menggunakan banyaknya jumlah penduduk sebagai salah satu kekuatan. UMR
rendah menyebabkan banyak anak-anak buruh tidak sekolah, ditambah
pemerintah tidak menyediakan sarana pengembangan SDM seperti pelatihan dan
213
pembangunan sarana pendidikan. Akhirnya masyarakat memanfaatkan sumber
daya pesisir secara optimal bahkan dengan merusaknya.
Pola pemerintahan yang otoriter, selalu mengambil inisiatif dan
memposisikan diri sebagai penyelesai masalah menghilangkan inisiatif, kreatifitas
dan kekompakan warga. Bahkan masyarakat menurut Baihaqie melihat
pemerintah kurang koordinasi, tidak mampu berkomunikasi dan hidup dalam
lingkungan ekslusif sehingga mendorong masyarakat menjadi apatis.
Pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai kebutuhan warga merupakan
bentuk pemborosan biaya pembangunan. Ketidak terlibatan masyarakat
menyebabkan banyaknya sarana tidak terawat sehingga banyak yang rusak dan
tidak berfungsi optimal. Pola pembangunan sarana yang cenderung bersifat
jangka pendek dan berpotensi korupsi, menyebabkan kondisi sosial masyarakat
menjadi tidak sehat. Apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat kepada
pemerintah mengakibatkan masyarakat seringkali tidak mengindahkan larangan
hukum dalam pengrusakan sumber daya pesisir dan laut. Kurangnya pelayanan
pemerintah juga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Bahkan masyarakat
melihat aparat hukum sering melakukan pembiaran terhadap praktek pelanggaran
hukum. Lemahnya aparat hukum membuat masyarakat tidak percaya aparat
hukum dan kerusakan sumber daya dianggap sebagai pemandangan biasa karena
sering terlihat sehari-hari. Pemerintah tidak memberikan keteladanan dalam
mengelola SDPL bahkan sebaliknya, justru pemerintah terlihat ikut merusak
ekosistem pesisir dan laut untuk membangunan sarana umum seperti menjadikan
karang sebagai bahan bangunan. Krisis keteladanan pemerintah baik di tingkat
Kabupaten dan Desa melahirkan perilaku negatif yang berujung pada pengrusakan
ekosistem SDPL.
Melihat keterkaitan permasalahan di atas, maka tesis Mc Clelland (1961)
dalam Hettne (2001) tentang aspek kultural seperti tingkat pendidikan dan
indikator rendahnya SDM lainnya sebagai penyebab kemiskinan perlu diperiksa
kembali. Karena rendahnya SDM bukan semata-mata karena kemalasan
masyarakat tetapi karena pola pendekatan pemerintah yang tidak tepat dalam
pembangunan. Pola pembangunan masih terlihat sentralistik dan top-down
menjadikan setiap program yang dijalankan pemerintah tidak berdasar kepada
214
kebutuhan masyarakat dan mengakibatkan banyak sarana pembangunan yang
tidak berdaya guna. Disamping itu, faktor kedekatan dengan Jakarta telah
membawa pengaruh cukup besar kepada gaya hidup masyarakat Kelurahan P.
Panggang. Pola hidup konsumtif selain menjadi ciri khas masyarakat pesisir,
semakin kental dengan adanya pengaruh Jakarta dan orang-orang baru yang
masuk ke Pulau Seribu melalui wisata bahari. Pola hidup seperti ini mendorong
masyarakat untuk memenuhinya meskipun terkadang melakukannya dengan cara
instant dan merusak SDPL. Dorongan untuk bergaya hidup sebagaimana orang-
orang kota di Jakarta semakin menguat manakala musim panen ikan datang
dengan membelanjakan uang hasil tangkapan menjadi barang-barang mewah dan
kebutuhan lainnya.
3) Degradasi sumber daya pesisir khususnya terumbu karang
Kerusakan sumber daya pesisir yang paling utama adalah rusaknya
ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan P. Panggang.
Kerusakan terumbu karang ditandai dengan penurunan tutupan karang dan
berkurangnya produksi ikan sebagai akibat hancurnya habitat. Penangkapan ikan
karang dengan menggunakan potasium dan alat tangkap terlarang lain diduga
sebagai penyebab utama kerusakan. Disamping itu pemanfaatan batu karang
sebagai bahan bangunan juga berkontribusi terhadap kerusakan karang.
Pengrusakan ekosistem terumbu karang memang diakui oleh masyarakat
dan hal itu diakui karena diawali ketiadaan penegakan hukum oleh aparat.
Banyak pihak menggunakan ketidakjelasan hukum termasuk masyarakat dengan
ikut serta secara terang-terangan merusak sumber daya. Bahkan tidak jarang
masyarakat menilai penggunaan batu karang juga dilakukan oleh pemerintah
untuk membangun fasilitas umum. Perilaku pemerintah yang condong ikut
merusak sumber daya alam ini mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan aparat hukum. Pengrusakan terhadap sumber daya
pesisir bagi masyarakat menjadi hal biasa dan tidak menjadi kekhawatiran karena
aparat tidak tegas dan pemerintah justru melakukannya untuk membangun sarana
umum.
Degradasi terhadap sumber daya juga didorong oleh tingginya tingkat
permintaan pasar terhadap kebutuhan akan ikan karang. Keterdesakan kebutuhan
215
hidup dan kecondongan pemenuhan sikap konsumerisme sebagai pengaruh
aktivitas ekonomi yang berjalan di Jakarta, melahirkan orientasi jangka pendek
untuk semata memenuhi kebutuhan. Masyarakat juga tidak banyak memahami
fungsi penting dari ekosistem terumbu karang dan akibatnya jika hancur.
Kerusakan sumber daya pesisir disebabkan juga oleh beroperasinya kapal-
kapal berjenis trawl yang sudah dimodifikasi seperti arad dan dogol. Mata jaring
yang digunakan berukuran kecil sehingga cenderung menangkap semua jenis ikan
termasuk ikan-ikan yang baru tumbuh atau juvenil. Disamping itu, cara kerja
kapal-kapal ini cenderung ekploitatif dengan menggerus dasar perairan. Larangan
trawl jelas terdapat dalam pasal 84 ayat 2 jo 85 UU 31/2004 tentang perikanan
dan Keppres No.39 tahun 1980 tentang pelarangan trawl. Melalui Kepmen nomor
6/2008 Trawl kembali diberlakukan meskipun dengan alasan “terbatas”.
Keputusan ini bukan lagi bersifat inkonsisten, tetapi keputusan ini menjadi cacat
secara hukum karena sampai sekarang, kedua peraturan yang lebih tinggi tersebut
belum pernah direvisi apalagi dibatalkan.
Penggunaan teknologi penangkapan merupakan bentuk dari kebijakan
modernisasi perikanan yang dikeluarkan pemerintah tahun 1969. Dampak
modernisasi mampu meningkatkan produksi perikanan setidaknya sejak 1969-
1990 karena adanya dukungan unit-unit usaha berskala besar dan padar modal.
Modernisasi merupakan bentuk penetrasi kapitalisme di bidang perikanan dan
hanya dapat diakses oleh nelayan berskala besar atau pengusaha kapal.
Modernisasi terbukti telah melahirkan konflik sosial dalam pemanfaatan SDPL
dan menimbulkan jurang yang lebar antara yang mampu dan yang tidak mampu
memanfaatkan teknologi baru tersebut (Mubyarto, dkk, 1984).
Degradasi ekosistem pesisir dan laut juga disebabkan oleh maraknya
aktivitas pariwisata bahari yang salah satunya menawarkan keindahan terumbu
karang. Aktivitas penyelaman yang tidak profesional menyebabkan rusaknya
terumbu karang. Daerah pariwisata merupakan wilayah ekslusif dengan
kepemilikan khusus bagi pengelola/pengusaha. Sumber daya pesisir di wilayah
pariwisata bahari yang dulunya menjadi milik publik, dengan statusnya sebagai
daerah wisata menjadi privat. Nelayan tidak lagi dengan mudah mendapatkan
akses terhadap sumber daya pesisir dan laut di wilayah tersebut. Keterbatasan
216
akses inilah yang seringkali memicu terjadinya aksi pengrusakan ekosistem oleh
masyarakat karena sumber daya tidak lagi tersedia secara cukup dan tidak
terdistribusi secara adil.
Pada aras yang lebih tinggi, industrialisasi dan kemajuan teknologi serta
gaya hidup negara-negara maju dan masyarakat perkotaan telah mendorong
akselerasi degradasi sumber daya alam. Perkembangan kapitalisme bertumpu
kepada proses pergantian para pekerja oleh mesin-mesin, buruh-buruh digantikan
dengan mesin/buruh yang tidak bernyawa. Mesin-mesin tersebut tentunya
membutuhkan biaya yang tinggi untuk memproduksi. Investasi modal yang
digulirkan haruslah menghasilkan keuntungan. Artinya para investor
mengharapkan pemasukan yang lebh besar daripada biaya yang mereka keluarkan
untuk memasang mesin-mesin tersebut. Dalam perhitungan biaya produksi,
ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil, sementara biaya
kapitalisasi meningkat (jumlah keuntungan yang harus diperoleh untuk dapat
melunasi dan memperharui mesin-mesin menjai semakin meningkat). Dalam
termonilogi Marxis, ”komposisi organik modal” akan semakin meningkat (Gorz,
2003). Industri semakin bersifat modal intensif dengan memakai jumlah kapital
yang lebih besar untuk memproduksi volume komoditi yang sama.
Selain itu, dampak negatif industrialisasi lainnya adalah limbah yang
dihasilkannya. Perairan Teluk Jakarta terindikasi mengalami pencemaran yang
tinggi/buruk. Industri penghasil limbah terdapat di daratan Jakarta maupun
berasal dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang ada di Kepulauan
Seribu. Sampah-sampah responden dan sampah industri juga berperan dalam
merusak kualitas perairan.
Gaya hidup mewah, modern dan padatnya aktivitas masyarakat di Jakarta
telah membawa dampak negatif bagi kerusakan ekosistem pesisir di perairan
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya. Tingkat konsumsi dan
pola pemborosan produksi masyarakat Jakarta dan pinggiran Jakarta, setidaknya
berkontribusi dalam merusak lingkungan pesisir dan laut. Gaya hidup mewah
negara berkembang seperti Indonesia ini adalah pengaruh dari gaya hidup negara-
negara maju yang bersumsi kemajuan dan modernisasi yang telah mereka alami
dapat ditiru oleh negara-negara berkembang untuk bisa merasakan kemajuan yang
217
sama. Untuk itu negara-negara majulah tersebut atau masyarakat kota yang
bergaya hidup mewahlah yang bertanggungjawab terhadap sebagian besar
kerusakan yang terjadi. Sebuah badan organisasi PBB United Nation Fund for
Population Action (UNFPA) dalam laporannya menyatakan bahwa ”dengan
semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam dan sampah yang
dihasilkannya, maka sebenarnya yang bertanggungjawab adalah mereka yang
menjadi penduduk ”negara-negara terkaya”, yaitu mereka yang tinggal di
negara-negara maju”. Pengakuan UNFPA ini semakin mempertegas keyakinan
kelompok ecofeminism yang merupakan varian dari marxis untuk mengatakan
bahwa populasi penduduk bukan merupakan penyebab utama kerusakan SDA
sebagaimana yang banyak dituduhkan, tapi proses industrialisasi, kemajuan
teknologi dan gaya hidup masyarakat negara maju/kota besar yang menjadi
penyebabnya.
Di bawah sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan
dalam situasi harga yang membubung tinggi sebelum tampak terjadinya
kelangkaan secara fisik (Gorz, 2003). Menurut dogma liberal, naiknya harga-
harga barang yang langka di pasaran akan otomatis meningkatkan produksi
barang-barang yang harganya naik tersebut, karena dipandang sebagai sesuatu
yang menguntungkan. Kenaikan harga produksi memicu kenaikan investasi,
belum lagi dampak produksi yang dihasilkan oleh industri dan teknologi modern
seperti polusi dan limbah, menuntut biaya pemulihan yang tinggi pula. Modal,
dalam situasi seperti ini menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak mungkin
dihindari dalam membiaya investasi-investasi lebih lanjut. Penggantian modal
industrial tak lagi dapat dilakukan dengan melakukan transfer dari surplus yang
dipungut dari konsumsi-reproduksi sistem yang membutuhkan biaya yang lebih
besar daripada yang dihasilkan. Industri mengkonsumsi lebih banyak untuk
kebutuhannya sendiri dan mengirimkan lebih sedikit produk-produk kepada
konsumen daripada biasanya. Efisiensi menjadi musnah dan biaya-biaya fisik
meningkat.
Menurut Gorz (2003) peristiwa seperti ini yang sedang terjadi sekarang
dan terjadi dalam dua fase :
218
• Selama fase pertama, produksi menjadi semakin tidak berguna dan
destruktif dalam upaya untuk menghindari krisis over-akumulasi. Terjadi
percepatan terhadap kerusakan SDA yang tak dapat diperbaharui dan
konsumsi berlebihan terhadap SDA terbarahui (air, tanah, ekosistem
pesisir dan laut, dsb) dalam kecepatan yang membuat mereka juga
akhirnya menjadi langka
• Selama fase kedua, dihadapkan dengan situasi menipisnya sumberdaya
alam yang telah dirampas selama ini dan industri berada dalam
kebingungan untuk mengatasi kelangkaan yang lahir akibat meingkatnya
produksi dengan cara semakin mempertinggi produksi.
Ringkasnya, krisis ekologi yang terjadi saat ini terjadi karena krisis over-
akumulasi klasik yang diperparah oleh suatu krisis reproduksi sehingga
sebagaimana mestinya mengarah kepada semakin meningkatnya kelangkaan
sumber daya alam. Oleh karena itu solusi dari krisis ini tidak dapat ditemukan
dalam pemulihan ekonomi, melainkan di dalam pembalikan logika kapitalisme.
Logika kapitalisme cenderung kepada maksimalisasi yaitu bagaimana
menciptakan kemungkinan terbesar dan mengupayakan pemenuhannya dengan
jumlah terbesar yang mungkin atas barang-barang dan jasa yang dapat dipasarkan
demi memperoleh kemungkinan profit yang paling besar dari aliran energi dan
sumber daya. Hal yang perlu dilakukan adalah menyerang sumber utama
kemiskinan yang tidak terletak pada kurangnya produksi, tetapi dalam
karekteristik batang-barang yang diproduksi, pola konsumsi yang dipromosikan
oleh kapitalisme dan dalam situasi ketidaksamaan yang mendorongnya.
Penghapusan kemiskinan tidak pernah terselesaikan dengan meningkatkan
produksi, tetapi dibutuhkan reorientasi produksi. Langkah tersebut disusun
berdasarkan kriteria : 1) barang-barang yang diproduksi secara sosial harus
tersedia bagi setiap orang; 2) produksi barang-barang tersebut tidak harus merusak
sumberdaya alam yang melimpah jumlahnya; 3) proses produksi harus didesain
sedemikian rupa sehingga tersedia bagi setiap orang, tidak menyebabkan
pencemaran dan kerusakan yang menghancurkan nilai guna.
Pemanfaatan sumber daya alam dengan logika kapitalisme telah
menimbulkan munculnya perilaku rent seeking. Kegiatan mencari rente (rent
219
seeking) didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk
meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Kelompok-
kelompok bisnis dan perseorangan mencari rente ekonomi ketika mereka
menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau
peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki (Clark, 1998) dalam Yustika
(2006). Rent-seeking activity dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar
dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan-perusahaan swasta sebagian besar
dikuasai oleh mereka yang memiliki hubungan pribadi khusus dengan elit
pemerintah. Fenomena adanya rent seeking ini terlihat dalam kepemilikan pulau-
pulau kecil di Kepulauan Seribu oleh individu dan kelompok, kegiatan pariwisata
bahari dan penguasaan pulau untuk kegiatan industri tertentu, beroperasinya
kapal-kapal penangkap ikan dengan teknologi tangkap yang modern dan
kolaborasi antara pengusaha pemerintah dalam pembangunan sarana umum. Pada
masa orde baru, gejala rent seeking ini sangat kental sekali dan kepemilikan PPK
di Pulau Seribu adalah contoh nyata hak istimewa yang dimiliki oleh individu,
pengusaha dan perusahaan tertentu yang memiliki kedekatan dengan elite
pemerintah dan dalam banyak kasus dengan Suharto.
Perilaku rent seeker tidak saja membuat alokasi sumber daya ekonomi
melenceng, lebih dari itu, dorongan mendapatkan keuntungan besar dari sebuah
aktivitas produksi akan melahirkan destruktifikasi SDA meskipun mengakibatkan
langkanya SDA dan pada gilirannya mereproduksi kemiskinan. Individu atau
kelompok yang mendapatkan keuntungan dengan cara mengekploitasi SDA di
tengah penderitaan orang lain oleh Chang (2008) disebut sebagai Bad Samaritan.
Bad Samaritan telah menyebabkan kerusakan SDA sekaligus melahirkan
kemiskinan kronis. Untuk mencegah gejala rent seeking Buchanan mengusulkan
agar pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara
sempurna melalui peniadaan halangan masuk (no barrier to entry) bagi pelaku
ekonomi dan peningkatan persaingan. Sedangkan menurut Grindle (1991) dan
Krueger (1998) dalam Dasgupta (1998) untuk mengurangi rent seeker melalui
kebijakan yang tepat seperti mengubah kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan
tarif, membuka aliran informasi, mengaplikasikan sangsi moral dan menerapkan
kebijakan liberalisasi dan privatisasi yang terukur. Usulan yang berhaluan liberal
220
ini bisa saja mengurangi perilaku rent seeking, namun liberalisasi ekonomi justru
melahirkan efek lain seperti kemiskinan dan kerusakan sumber daya alam. Rent
seeking akan selalu ada selama tingkat kebutuhan akan barang dan jasa selalu
naik, penegakan hukum tidak berjalan efektif dan persoalan pemenuhan basic
need belum tuntas. Setidaknya solusi tersebut akan mengalami hambatan yang
berarti untuk diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.
Perilaku rent-seeker sangat sulit diberantas di Indonesia karena gejalanya sudah
masuk di hampir semua lini ekonomi. Untuk memberantas gejala rent seeking
activity dibutuhkan perubahan yang progresif dalam kebijakan pemerintah
khususnya kebijakan ekonomi, penegakan hukum, pemberian reward and
punisment dijalankan dengan baik dan penguatan kelembagaan di tingkat elit
birokrasi sampai masyarakat berjalan maksimal. Bahkan bagi sebagian ekonom
rent seeking activity hampir tidak bisa diputus karena birokrasi Inonesia masih
identik dengan perilaku korup. Pemberantasan rent seeking activity harus diawali
dengan penegakan good governance. Bagi Gorz (2003) selama ketidakadilan
akibat kekuasaan dan hak-hak istimewa tidak dihapuskan maka kemiskinan tidak
akan pernah hilang. Dibutuhkan sebuah revolusi kultural untuk secara progresif,
masyarakat negara-negara maju dan perkotaan merubah cara menkonsumsi
terhadap barang dan jasa.
4) Kebijakan pemerintah yang bias (policy bias)
Ketidaktepatan kebijakan dan program pemerintah serta buruknya sistem
pengelolaan terhadap sumber daya pesisir dan laut, menyebabkan kemiskinan
masyarakat Kelurahan P. Panggang. Bentuk policy bias dapat diperhatikan
dengan beroperasinya armada tangkap dengan teknologi canggih dan destruktuf.
Beroperasinya kapal-kapal arat (modifikasi trawl) dan alat tangkap canggih
lainnya seperti mouroami, purse seine, payang dan dogol telah melahirkan
kemerosotan penghasilan nelayan tradisional yang merupakan kelompok terbesar
responden miskin. Akses terhadap teknologi canggih dan armada yang besar
hanya bisa dimanfaatkan oleh para juragan dan nelayan-nelayan besar dan para
bakul yang mempunyai modal besar untuk operasi. Sedangkan buruh nelayan dan
nelayan-nelayan kecil –mayoritas nelayan Kelurahan P. Panggang- tidak bisa
mengakses fasilitas tersebut. Nelayan tradisional terjebak dalam ikatan
221
ketergantungan yang ekploitatif dan tidak adil bagi nelayan kecil. Sedangkan
pemerintah tidak mampu melakukan intervensi terhadap harga, menfasilitasi
modal dan pasar serta membuat program pemberdayaan masyarakat miskin.
Kebijakan modernisasi perikanan merupakan bentuk ketidaktepatan kebijakan
yang dijalankan pemerintah. Kebijakan modernisasi sejak tahun 1969-1990
memang telah berhasil meningkatkan produksi perikanan tapi menurut Mubyarto
(1984) seperti hasil kajiannya di Jepara menemukan bahwa modernisasi perikanan
bukan hanya melahirkan konflik sosial antara nelayan modern pengguna teknologi
canggih dengan nelayan traisional tetapi juga melahirkan kemiskinan bagi nelayan
tradisional yang sudah miskin. Fakta tersebut terlihat juga dari kondisi nelayan-
nelayan ikan karang yang kebanyakan menggunakan perahu motor tempel, tidak
banyak mengalami perbaikan dalam ekonominya bahkan produktifitas perikanan
diakui semakin menurun. Hal itu terjadi mulai tahun 2000an yang ditandai oleh
maraknya kapal-kapal bermotor dengan alat tangkap purse seine, arad, dogol,
payang dan muoroami. Parahnya kapal-kapal tersebut kebanyakan tidak dimiliki
oleh nelayan Kepulauan Seribu dan hasil tangkapannya didaratkan di Jakarta.
Kebijakan yang tidak tepat juga terlihat dari kurangnya pelayanan
pemerintah dalam menfasilitasi kebutuhan masyarakat serta banyak pemborosan
biaya proyek sebagai akibat tidak berfungsinya sarana yang telah dibangun.
Menurut Baihaqie tingkat permasalahan tertinggi di P. Panggang berasarkan hasil
FGD dengan masyarakat menyatakan bahwa 15,69% pemerintah tidak melayani
dan 15,69% pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua
permasalahan ini menempati urutan kedua dan ketiga dari delapan permasalahan
utama yang ada di P. Panggang.
Kondisi keterbatasan aspek teknis-teknologis ini semakin diperparah
dengan adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali dan tahun
2008 ini. Proporsi BBM mengambil sekitar 40% dari total biaya operasional
nelayan. Meskipun terjadi penurunan BBM saat ini, namun harga di eceran sudah
terpatok tinggi yang disertai dengan masih mahalnya harga-harga bahan pokok.
Akibatnya, biaya operasional nelayan alam melaut semakin tinggi dan parahnya
tidak berimbang dengan hasil tangkapan yang semakin berkurang serta harga ikan
yang stagnan. Jika musim barat datang seperti saat ini (Desember-Januari) yang
222
ditandai oleh cuaca buruk, banyak nelayan yang tidak melaut dan akibatnya
produksi berhenti. Ketergantungan yang tinggi hanya pada usaha melaut, pada
sebagian masyarakat pesisir, merupakan saat paceklik dan menjebak nelayan
dalam pola patron-klien.
Bias kebijakan terlihat juga dalam pola hubungan ekonomi dan
pembangunan yang berorientasi kepada daerah perkotaan. Bias perkotaan ini
terlihat dari padatnya sarana pembangunan di wilayah kota dan minimnya
aksesibilitas di wilayah pheri-pheri (seperti Kepulauan Seribu). Pembagian
Gunder Frank dengan apa yang disebut ”negara metropolis maju” dan ”satelit
terbelakang” menjadi benar adanya ketika melihat terbatasnya sarana transportasi
antar pulau, adanya sarana kesehatan seperti RS yang tidak dilengkapi dengan
fasilitas dan peralatan kesehatan serta tiadanya fasilitasi terhadap permodalan,
pasar dan teknologi. Sedangkan di Jakarta, kemajuan sangat pesat, aktivitas
industri berkembang cepat dan sarana terpenuhi dengan lengkap. Kondisi ini
melahirkan pola hubungan dominasi-exploitatif antara Jakarta dan Kepulauan
Seribu yang mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Jakarta
dan tergerusnya sumber daya laut dan pesisir Kepulauan Seribu untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat Jakarta.
Dalam aras makro, policy bias ini lahir dalam bentuk ketiadaan kebijakan
yang tepat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sehingga seringkali
melahirkan degradasi sumber daya dan tidak optimalnya pemanfaatan terhadap
sumber daya. Policy bias juga ditandai oleh strategi pertumbuhan ekonomi yang
diprediksi dapat meneteskan efek pembangunan ke daerah pedesaan dengan
menjadikan kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dan
arus modal ke daerah pedesaan. Asumsi neoklasik ini terbukti gagal dan justru
melahirkan jurang kemiskinan yang makin tinggi di daerah pinggiran (pheri-
pheri) seperti Kepulauan Seribu. Permintaan ekspor yang tinggi terhadap ikan
tertentu mendorong maraknya aktivitas penangkapan dengan menggunakan
teknologi canggih (modernisasi perikanan) yang menggeser nelayan tradisional
semakin ke pinggir dan terdesak. Permintaan ekspor tersebut juga terjadi pada
pola perdagangan karang hidup dan ikan hias yang marak di Kepulauan Seribu.
Masyarakat didorong untuk berkompetisi memenuhi kebutuhan pasar dunia ikan
223
hias. Penangkapan ikan hias dapat diakses oleh nelayan dan pedagang besar
pemilik modal dan teknologi. Nelayan tradisional dan penangkap ikan hias tetap
terbelit dalam kemiskinan karena terjadinya surplus produksi yang tinggi dari
nelayan ke pedagang kecil-pedagang besar-eksportir. Pola pembagian kerja yang
tidak adil ini menghasilkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh pemilik
modal/bakul yang punya akses pasar.
Demikian halnya dengan perdagangan karang hidup. Upaya rehabilitasi
terumbu karang memang dilakukan di P. Panggang dan P. Pramuka. Namun
kegiatan tersebut ternyata hanya tameng bagi berlakunya perdagangan karang.
Terumbu karang pada usia F2 yang seharusnya layak tumbuh, bukan
dikembalikan kepada alam untuk meregenerasi, namun diambil dan
diperdagangkan. Perdagangan karang ini menjadi usaha tersendiri yang
menguntungkan dan hanya dilakukan oleh kelompok kecil dari
nelayan/masyarakat pesisir P. Panggang. Pemerintah sejatinya mengetahui kedua
aktivitas ini, tapi karena ketiadaan kebijakan yang tegas dan menguatnya perilaku
rent-seeking oleh pedagang, mengakibatkan aktivitas ini terus berjalan tanpa
reserve.
Gerak pemerintah juga terkesan lambat dan kurang serius dalam mencari
jalan keluar bagi meningkatnya jumlah penduduk di Kelurahan P. Panggang.
Kalaupun terdapat upaya program KB tetapi masyarakat juga tidak diberikan
alternatif lain bagi terbukanya diversifikasi usaha sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Keterbatasan lahan di P. Panggang dan Pramuka ditambah
tidak adanya alternatif usaha bagi masyarakat untuk meningkatkan
produktifitasnya membuat masyarakat tidak ada alternatif untuk melangsungkan
hidupnya di tempat lain. Sedangkan kebutuhan akan barang dan jasa semakin
meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk. Di sisi lain kegiatan
pariwisata bahari dan banyaknya pulau-pulau wisata, tidak banyak melibatkan
masyarakat dalam pengelolaannya. Tekanan hidup seperti itu mendorong
masyarakat untuk menempuh jalur cepat dan berpikir jangka pendek untuk
memenuhi kebutuhannya. Karena ketergantungannya yang tinggi terhadap
ekosistem laut, maka sumber daya yang berada di dalamnya menjadi sasaran
ekploitasi yang kadang dilakukan dengan cara destruktif.
224
5) Rendahnya sumber daya manusia
Tingkat pendidikan yang rendah, perilaku boros dan cenderung destruktif
terhadap alam, budaya malas dan perilaku negatif lainnya dituding sebagai akibat
dari rendahnya kualitas SDM masyarakat pesisir. Jika melihat data IPM terlihat
bahwa kondisi SDM di Kepulauan Seribu masih sangat jauh tertinggal dari
Jakarta. Ranking IPM Kepulauan Seribu pada urutan 233 dari 456
Kabupaten/Kota di Indonesia sedangkan Kota-kota di Jakarta rata-rata masuk
dalam urutan 5 besar se Indonesia. Hasil survey juga menunjukkan realitas
tersebut. Sebanyak 64,29% responden rata-rata tidak sekolah dan hanya lulus SD.
Rendahnya kualitas SDM ini juga terungkap dalam penelitian Baihaqie (2004)
meskipun hanya menempati urutan ke empat dan tidak menjadi prioritas bagi
masyarakat P. Panggang.
Realitas rendahnya SDM ini berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku
masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut. Masyarakat tidak banyak
memahami fungsi penting ekosistem pesisir. Akibat pengrusakan sumber daya
pesisir melalui kegiatan penangkan yang destruktif, kerap kali dilakukan. Pola
pembangunan yang top down dan menghilangkan kreatifitas masyarakat,
ditambah dengan tidak adanya pelatihan, penyuluhan dan kurang memberikan
peran serta masyarakat dalam pembuatan keputusan, menambah daftar panjang
ketertinggalan SDM P. Panggang dan Pramuka. Minimnya sarana pendidikan baik
formal maupun informal, aksesibilitas yang terbatas, menghambat laju
peningkatan kapasitas SDM.
Rendahnya kualitas SDM P. Panggang dan Pramuka tidak semata karena
ketidakmaun masyarakat untuk meningkatkan SDM nya tapi lebih karena
permasalahan struktural dan bias kebijakan pemerintah. Pelayanan pemerintah
yang kurang merupakan salah satu bentuk fakta tersebut ditambah banyaknya
sarana fisik yang terbangun dan minimnya pembangunan sosial dan lingkungan,
semakin menyudutkan masyarakat ke dalam jurang kebodohan dan kemiskinan.
6) Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum tercermin dari makin maraknya operasi
armada tangkap dengan menggunakan alat tangkap arad (modifikasi trawl) di
perairan Kepulauan Seribu. Beroperasinya alat tersebut telah mengancam
225
kehidupan nelayan-nelayan tradisional yang dominan di Kelurahan P. Panggang.
Penggunaan potasium dan pengambilan batu karang terlihat oleh masyarakat
sebagai hal biasa dan bersifat keseharian. Masyarakat melihat ada semacam
pembiaran terhadap praktek tersebut. Penggunaan batu karang untuk pondasi
bangunan bahkan sering digunakan dalam proyek-proyek pembangunan sarana
oleh pemerintah.
Lemahnya penegakan hukum menurut Baihaqie (2004) karena kurangnya
pelayanan pemerintah dalam memberikan fasilitas kepada aparat hukum. Tidak
adanya sarana transportasi untuk beroperasinya aparat, minimnya perlengkapan
dan tidak tegasnya peradilan saat ada pelanggaran, melahirkan kekosongan
hukum. Peluang hukum yang lemah seperti ini yang menjadikan masyarakat
apatis, tidak peduli terhadap kelangsungan sumber daya dan terbiasa dengan
pengrusakan sumber daya.
Akibat tidak adanya ketegasan alam penegakan hukum, masyarakat
cenderung ikut serta melakukan upaya penangkapan dengan cara destruktif.
Dukungan masyarakat akhirnya juga kurang dalam penegakan hukum karena
seringkali tidak banyak dilibatkan dalam proses tersebut. Kondisi ini diperparah
dengan adanya budaya konkalingkong antara aparat keamanan dengan pelaku,
antara birokrasi desa dengan masyarakat pelaku, sehingga masyarakat dihadapkan
pada dilema antara pemenuhan kebutuhan hidup yang makin mendesak dan upa
menjamin kelestarian lingkungan bagi masa depannya.
Pada level permasalahan yang lebih tinggi, budaya korupsi ini menjadi
faktor utama yang menyebabkan tata kelola pemerintahan tidak berjalan dengan
baik. Sistem hukum lebih banyak ”memberikan” jaminan keamanan dan keadilan
bagi kaum kelompok kaya meskipun bersalah dibandingkan kaum miskin yang
menjadi korban. Maraknya rent seeker di lingkungan pemerintah maupun swasta
dan kolaborasi keduanya semakin memburamkan masa depan kesejahteraan
nelayan tradisional.
Gambaran permasalahan yang menyebabkan rendahnya daya dukung
lingkungan dan ekologis PPK dipaparkan dalam Gambar 13 di bawah ini.
Permasalahan ini berasal dari hasil wawancara dan analisis terhadap permasalahan
226
baik yang muncul saat survey dilakukan maupun sebelumnya. Penelitian atas
permasalahan ini bersifat saling mempengaruhi dan terkait satu dengan lainnya.
Gambar 13 menjelaskan adanya beberapa permasalahan yang
mengakibatkan rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis P. Panggang dan
P. Pramuka. Permasalahan tersebut ada yang berpengaruh secara langsung seperti
Degradasi ekosistem pesisir dan laut, lemahnya penegakan hukum, keterbatasan
lahan pulau dan kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sedangkan perilaku
negatif masyarakat yang selam ini dituding sebagai penyebab utamanya lebih
disebabkan karena tata kelola pemerintah tidak berjalan dengan baik. Demikian
halnya dengan tingginya jumlah penduduk merupakan bentuk pengalihan masalah
oleh negara-negara dan daerah-daerah maju untuk mengalihkan
tanggungjawabnya kepada korban yaitu negara-negara berkembang dan
msayarakat pedesaan/PPK sebagai akibat dari industrialisasi, ekploitasi berlebih
SDA serta gaya hidup konsumtif dan mewah yang telah menimbulkan bencana
sosial dan kerusakan lingkungan. Kepadatan penduduk merupakan penyebab
tidak langsung dan memperburuk kondisi lingkungan yang telah rusak akibat pola
investasi kapitalistik, industrialisasi dan gaya hidup negara-negara maju dan kota-
kota besar.
Pada aras menengah muncul permasalahan-permasalahan pendukung yang
lebih bersifat internal dan memperkuat permasalahan pokok. Pada aras yang
paling tinggi dan bersifat eksternal terlihat beberapa permasalahan yang
membutuhkan intervensi pemerintah dalam membuat kebijakan terkait dengan
pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
Gambar 13 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Daya Dukung Ekologi (TK) dan Lingkungan Pulau
227
DAYA DUKUNG PULAU RENDAH
kepadatan penduduk
Prilaku individu negatif
masyarakat
Degradasi SDPL khususnya
ekosistem TK
Kebijakan tdk tepat
Pembangunan tdk berdasar
kebutuhan masy
Lemahnya penegakan
hukum
Tidak efektifnya
program KB
Minimnya penyuluhan
dan sosialisasi
Pandangan tradisional tentang
banyak anak banyak rejeki
Pengeboman dgn potasium
Pariwisata bahari yg tdk terkelola dgn
baik
Beroperasinya kapal-kapal
arad
Ekonomi lemah
Industrialisasi dan kemajuan
teknologi
Konsentrasi modal di perkotaan
Keterbatasan lahan
Faktor alamiah pulau
Pembukaan lahan unt
sarana umum
Alokasi ruang pemanfaatan
ruang tdk jelas
Pelayanan pemerintah
kurang
Sarana pembangunan
yg tdk terpakai
Miskinnya faktor
keteladanan
Ketidaktegasan aparat hukum
Pelayanan pemerintah
kurang
Terbtasnya sarana dan pelayanan
Tata kelola pemerintahan
yg jelek
Perencanaan pengelolaan
SDPL tdk jelas
Modernisasi perikanan
Keterbatasan sarana
keamanan
Budaya konkaliko
ng
Dukungan pemerintah
daerah kurang
Dukungan masy
kurang
Komprador birokrat
Keterbatasan akses thd
SDPL
Pembangunan bias perkotaan
Prilaku hidup konsumtif
Pola pembangunan
top-down
Gaya hidup mewah dan
modern
Prilaku korupsi
Rent seeking
Kenaikan BBM
Tdk tepatnya kebijakan
pengaturan kepadatan penduduk
Privatisasi lahan
Mode produksi kapitalistik
Masyrakat terdesak oleh
kegiatan industri
KAPITALISME NEGARA
BERKEMBANG
Krisis reproduksi
228
7.1.2 Faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
Untuk melihat faktor penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat
setidaknya perlu meninjau kembali indikator-indikator responden miskin, baik
yang bersumber dari institusi resmi (BPS) maupun yang langsung dari
masyarakat. Peninjauan ini akan bergerak pada aras makro (Kabupaten
Kepulauan Seribu) dan mikro (P. Panggang dan P. Pramuka). Pada aras makro,
beberapa indikator dapat dijadikan sebagai parameter seperti perkembangan IPM,
jumlah masyarakat pra sejahtera dan sejahtera I, tingkat kesenjangan wilayah dan
parameter kemiskinan regional lainnya. Sedangkan pada aras mikro dapat ditinjau
kembali hasil survey dan analisis data primer yang didasarkan pada kriteria BPS
dan kriteria versi masyarakat sendiri.
Tabel 82 Evaluasi Tingkat Kemiskinan Regional Tahun 2006
Uraian DKI Jakarta Kepulauan Seribu
Jumlah penduduk miskin 675,718 3,882 Jumlah rumah tangga miskin 160,480 1,043 Poverty Gap Index (P1) 0.78 2.69Poverty Severity Index(P2) 0.2 0,80IPM 76.3 69.3Pengeluaran perkapita (Rp)**) 669.643 411.303Garis kemiskinan (Rp/kapita/bln) 237,735 270,071
Catatan : *) pengambilan data dilakukan dengan metode berbeda dg PSE 2006 **) data tahun 2007 Sumber : 1) Potret sosial ekonomi Propinsi DKI Jakarta, BPS Jakarta (2006) (diolah) 2) Data dan informasi kemiskinan 2005-2006, BPS jakarta (2006) (diolah)
Evaluasi tingkat kemiskinan regional sebagaimana yang terdapat dalam
Tabel 82, memperlihatkan bahwa Kepulauan Seribu merupakan kantong
kemiskinan yang terdapat di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal itu tergambar dari
jumlah persentase penduduk miskin yang jauh di atas rata-rata kemiskinan di DKI
Jakarta, demikian juga dengan jumlah penduduk miskin. Jika jumlah penduduk
Kepulauan Seribu tahun 2006 sebanyak 11.920 jiwa (Kecamatan dlm angka,
2007) maka jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mencapai sekitar 33%
dari total jumlah penduduk di Kep. Seribu atau sebesar 0.6% dari seluruh total
penduduk miskin di DKI Jakarta. Tingkat kedalaman (P1) dan keparahan (P2)
229
kemiskinan juga termasuk dalam kategori paling parah dengan tingkat kedalaman
paling tinggi di antara Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta.
Data di atas secara singkat memberi gambaran bahwa terjadi kesenjangan
yang cukup tinggi antara Kepulauan Seribu dengan Kabupaten/Kota lain di DKI
Jakarta. Lokasi Kepulauan Seribu yang cukup jauh untuk dijangkau, akses
terbatas dan terdiri dari pulau-pulau, dianggap sebagai salah satu kendala
terbatasnya program-program pembangunan masuk ke Kepulauan Seribu. Di
samping itu status Kepulauan Seribu yang baru menjadi Kabupaten baru sejak
tahun 2002, merupakan kendala ketertinggalan pembangunan antara Kepulauan
Seribu dengan Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta. Namun sebagai wilayah yang
sangat dekat dengan kekuasaan dan pusat ibu kota, setidaknya pembangunannya
tidak jauh tertinggal jika pemerintah Propinsi dan Pusat betul-betul
memperhatikan Kepulauan Seribu. Karena faktanya, pulau seribu dijadikan
sebagai salah satu andalan wisata bahari oleh Propinsi DKI Jakarta dan
mempunyai sumber minyak yang memberikan kontribusi cukup besar bagi DKI
Jakarta. Namun, potensi dan investasi tersebut faktanya tidak berkontribusi apa-
apa terhadap kemajuan pembangunan di Kepulauan Seribu. Penyedotan dan
kapitalisasi sumber daya alam dengan nilai investasi yang tinggi diperkirakan
hanya masuk kepada DKI Jakarta tanpa menetes ke masyarakat Kepulauan Seribu.
Banyak pulau-pulau kecil yang dimiliki perorangan, swasta dan kelompok
tertentu, pariwisata bahari yang menawarkan investasi mahal untuk sebuah
panorama pantai, padatnya aktivitas ekonomi, jasa di pesisir Jakarta serta kegiatan
perkapalan, pelayaran di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata
tidak berdampak penting bagi Kepulauan Seribu. Terjadi surplus produksi yang
tidak ketahuan alirannya dan seharusnya dinikmati oleh masyarakat Kepulauan
Seribu. Pesatnya pembangunan di DKI Jakarta ternyata tidak diikuti oleh
pembangunan di Kepulauan Seribu.
Kemiskinan di tingkat regional tersebut semakin mendapatkan justifikasi
dengan memperhatikan data kemiskinan responden yang terdapat di salah satu
Kelurahan Kepualaun Seribu yaitu di Kelurahan P. Panggang yang diwakili oleh
P. Panggang dan P. Pramuka. Tabel 82 menunjukkan betapa kemiskinan pada
tingkat regional memberikan imbas kepada responden-responden yang ada di P.
230
Panggang dan P. Pramuka. Data di bawah memperlihatkan bahwa beberapa
indikator pokok kualitas hidup manusia seperti kepemilikan rumah, pendidikan,
kesehatan dan pendapatan responden masih terlihat tinggi. Artinya untuk
beberapa indikator kualitas hidup yang pokok, responden di P. Panggang dan P.
Pramuka belum bisa memenuhi. Meskipun beberapa indikator sudah
menunjukkan angka yang lebih baik seperti keikutsertaan program KB,
kepemilikan luas lantai < 8 m2, kepemilikan aset seperti televisi, tabungan dan
sarana perikanan juga cukup tinggi. Pada beberapa indikator menunjukkan
perbaikan, tetapi masih lebih banyak indikator yang menunjukkan
ketidakmampuan responden miskin dalam memenuhinya. Indikator-indikator
yang menjadi evaluasi bagi perkembangan responden miskin di P. Panggang dan
P. Pramuka dapat dilihat pada Tabel 83.
231
Tabel 83 Evaluasi Perkembangan Responden Miskin di P. Panggang dan P. Pramuka, Kelurahan P. Panggang (%)
Uraian
P. Panggang P. Pramuka TotalStatus rumahmenumpang pada rumah saudara/orang tua 6.67 14.81 10.53rumah kontrakan 0 3.70 1.75semi permanen 23.33 45.45 34.00bahan rumah berupa papan/bilik 10.00 13.64 12.00Kondisi rumahrumah tanpa atap 10.00 0.00 5.36lantai berupa tanah 6.67 11.11 8.77luas lantai < 8 m2 10.00 14.81 12.28kepemilikan WC sendiri/umum 51.72 38.46 45.45Sumber penerangan (non-listrik) 100.00jenis bahan bakar untuk memasak minyak tanahPendidikan kepala rumah tangga yang tidak sekolah 17.24 3.70 10.71SD 55.17 51.85 53.57tidak punya kemampuan menyekolahkan anak 10.00 22.22 15.79Kesehatantidak ikut serta dalam program KB 26.67 25.93 26.32tidak mendapatkan akses air bersih 17.24 51.85 33.93Keperluan Air untuk minum air hujan/ledengPendapatanpendapatan <500000 17.24 11.11 14.29pendapatan tidak tetap, musiman 62.07 37.04 50.00pendapatan harian 31.03 62.96 46.43Kepemilikan asetkepemilikan perahu 67.86 81.82 74.00kepemilikan TV/DVD 96.55 85.19 91.07Kepemilikan sepeda motor 3.45 11.11 7.14Kepemilikan tabungan (tidak memiliki) 43.33 51.85 47.37pola pakaiansetahun membeli satu kali pakaian baru 82.14 48.15 65.45tidak punya pakaian untuk acara-acara khusus 32.14 11.11 21.82
Kelurahan P. Panggang
Berangkat dari fakta di atas dapat dilihat persoalan mendasar apa saja yang
melatar belakangi sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat tergolong rendah
meskipun tingkat kesenjangannya juga rendah. Menurut hasil wawancara dengan
penduduk, tokoh masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun
FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dan isu yang berkembang terkait tingkat kesejahteraan di P.
Panggang dan P. Pramuka antara lain : 1) rendahnya lingkungan alam; 2)
rendahnya lingkungan ekonomi; 3) rendahnya lingkungan sosial ; 4) Rendahnya
lingkungan politik; 5) rendahnya sarana dan pelayanan;
232
1) Rendahnya lingkungan alam
Alasan rendahnya kualitas sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut
Kerusakan lingkungan pesisir dan laut disebabkan oleh beberapa hal yang
masih terjadi sampai saat ini seperti masih adanya penggunaan potasium dalam
penangkapan ikan hias, penangkapan ikan berlebih dan memburuknya kualitas
perairan. Tabel 85 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam penggunaan potasium
sebanyak 17,86 % responden di P. Panggang menyatakan pernah terjadi
kerusakan dengan potasium, 42,86% menyatakan tidak pernah/jarang terjadi dan
39,29% menyatakan pernah terjadi tapi sudah lama sekali dan sekarang sudah
tidak terjadi lagi. Sedangkan menurut penuturan responden di P. Pramuka
kerusakan lingkungan pesisir dan laut karena penggunaan potasium sudah tidak
pernah/jarang terjadi dan sebanyak 46,15% responden menyatakan pernah terjadi
tetapi sudah lama sekali. Penurunan penggunaan potasium dalam penangkapan
ikan khususnya ikan hias menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap kelestarian ekosistem dan lingkungan laut. Namun
menurunnya penggunaan potasium tersebut bisa juga disebabkan karena
ekosistem terumbu karang khususnya yang rusak sudah sangat tinggi sehingga
ketersediaan sumberdaya ikan juga makin turun dan menipis. Akibatnya nelayan
tidak lagi menggunakan potasium dalam menangkap.
Penyebab kerusakan lain dapat disebabkan karena penangkapan ikan
berlebih sampai mencapai kondisi kritis bagi ketersedia sumber daya ikan.
Namun hampir semua responden di P. Panggang maupun P. Pramuka menyatakan
bahwa aktivitas berlebih sudah tidak pernah terjadi apalagi sampai sumberdaya
ikan habis. Hanya sekitar 3,45% responden di P. Panggang yang menyatakan
bahwa hal itu pernah terjadi. Namun pada sisi lain, masyarakat menyatakan
bahwa hasil tangkapan mereka semakin hari semakin berkurang. Hal itu menurut
mereka karena banyak beroperasinya kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat
tangkap mini trawl yang berasal dari luar Kepulauan Seribu. Mungkin nelayan-
nelayan di Kepulauan Seribu tidak menggunakan alat tangkap terlarang tetapi
penyebabnya berasal dari nelayan luar pulau seribu.
Sedangkan ketika ditanyakan tentang kualitas perairan, mayoritas
responden di kedua pulau menyatakan bahwa pencemaran yang menyebabkan
233
kualitas perairan menurun berada dalam batas sedang. Sebanyak 41,38%
responden di P. Panggang menyatakan bahwa kualitas perairan masih aman dan
belum tercemar. Hanya 24,14% responden di P. Panggang yang menyatakan
kualitas perairan di P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya
dalam kondisi buruk dan 34,48% bahkan masih meyatakan kualitas perairannya
dalam kondisi baik. Hal yang tidak jauh berbeda dinyatakan oleh responden di P.
Pramuka bahwa sebanyak 46,43% responden menyatakan kualitas perairan dalam
kondisi sedang, 25,93% menyatakan baik dan 22,22% menyatakan buruk. Secara
umum responden di kedua pulau di Kelurahan P. Panggang tersebut menyetakan
bahwa kualitas perairan dalam kondisi sedang-baik.
Perubahan kualitas perairan di perairan Kelurahan P. Panggang disebabkan
karena masih adanya pembuangan limbah ke laut seperti limbah industri dan
responden. Sedangkan untuk kawasan perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan
Seribu yang dekat dengan Jakarta, kualitas perairannya dalam kondisi buruk. Hal
ini jelas karenan tinggi masukan limbah industri dan responden ke perairan Teluk
Jakarta. Limbah industri berbahaya antara lain seperti logam berat, bahan-bahan
kimia beracun dan air buangan dari kawasan pertambangan di Kepulauan Seribu
dapat menjadi faktor yang mengancam kualitas perairan di Kepulauan Seribu.
Isu dan permasalahan yang muncul
Beberapa isu dan permasalahan masih sering terjadi menyebabkan
lingkungan pesisir dan laut menurun antara lain :
• Degradasi sumber daya pesisir dan laut
Degradasi ekosistem pesisir, khususnya terumbu karang
Mayoritas penduduk P. Panggang menggantungkan hidup ke laut.
Sehingga jika ekosistem pesisir dan laut mengalami kerusakan, maka hal itu akan
berakibat kepada penurunan produktifitas perikanan. Penurunan produksi
berakibat kepada menurunnya jumlah pendapatan masyarakat. Ekosistem laut
yang paling berperan bagi kehidupan masyarakat P. Panggang adalah ekosistem
terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di perairan P. Panggang sudah
mencapai hampir 50% dari total ekosistem yang ada. Padahal kebanyakan dari
nelayan P. Panggang merupakan nelayan ikan hias yang habitat utamanya adalah
234
terumbu karang. Kerusakan terumbu karang tidak hanya terjadi di perairan P.
Panggang, tetapi di hampir seluruh Kepulauan Seribu keberadaannya makin
sedikit dan rentan. Menurut Terangi (2007) tingkat penutupan terumbu karang di
Kepulauan Seribu < 5%. Kerusakan ekosistem TK ditengarai karena masih
adanya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap
terlarang seperti potasium dan sejenisnya. Disamping itu aktivitas pariwisata
yang makin intensif dan tidak mengindahkan kondisi TK menyebabkan rusaknya
TK. Selain itu aktivitas perdagangan ikan hias yang makin massif yang diikuti
oleh pengambilan ikan dengan cara dan alat yang merusak TK, pengambilan batu
karang untuk bangunan, diduga masih sering terjadi di wilayah perairan P.
Panggang dan Kepulauan Seribu umumnya.
Degradasi ekosistem pesisir lainnya
Ekosistem pesisir dan laut lain yang tidak kalah rusaknya adalah mangrove
dan lamun. Kondisi mangrove di P. Panggang dan P. Pramuka sudah sangat kritis
bahkan keberadaannya sudah tidak ada lagi kecuali sedikit terdapat di P. Pramuka.
Secara umum kondisi mangrove yang tersedia baru berupa bibit dan anakan.
Habitat mangrove telah rusak sehingga saat ini baru memulai kembali untuk
menanam mangrove. Bibit mangrove dapat terlihat di P. Panggang dan P.
Pramuka. Demikian halnya dengan lamun yang berasosiasi dengan terumbu
karang dan mangrove. Lamun biasa menjadi habitat udang dan kerang-kerangan.
Masyarakat P. Panggang biasa melakukan penangkapan udang di ekosistem
lamun. Namun seiring dengan tingginya kerusakan terumbu karang dan
mangrove, maka kondisi lamun juga sangat terbatas. Lamun biasa banyak terlihat
agak lebat pada lokasi yang berdekatan dengan terumbu karang. Habitat lamun di
P. Pramuka terlihat lebih lebat dibandingkan dengan P. Panggang.
• Kualitas ekosistem pesisir dan laut menurun
Kerusakan terumbu karang, akibat penangkapan ikan dengan alat tangkap
terlarang (potasium), pengambilan ikan hias yang tidak diikuti dengan rehabilitasi
terumbu karang, kerusakan lamun akibat kerusakan terumbu karang dan
ekosistem pantai lainnya menyebabkan berkuragnya kualitas ekosistem pesisir
dan laut. Selain itu perdagangan karang yang sejatinya lebih diprioritaskan untuk
235
rehabilitasi terumbu karang justru lebih dominan pada aktivitas perdagangan
karang. Hal itu menjadikan kualitas ekosistem pesisir dan terumbu karang
khususnya di P. Panggang dan Pramuka penutupannya mayoritas buruk-sedang.
• Eksploitasi sumber daya pesisir dan laut secara berlebihan
Aktivitas penangkapan diluar batas potensi lestari, penggunaan alat
tangkap yang menggerus seperti trawl, pembatasan hasil tangkapan dan tidak
adanya selektifitas dalam menangkap ikan, intensitas yang tinggi alam
menangkap, penggunaan alat tangkap terlarang seperti trawl dan modifikasinya
(arad, jaring hela, dogol) dan alat tangkap destruktif lain seperti muoroami
menjadikan kualitas sumberdaya pesisir menurun dan penurunan produksi hasil
perikanan.
Penurunan produksi disebabkan karena semakin tinggi kerusakan
ekosistem pesisir dan laut seperti terumbu karang, mangrove dan lamun.
Kerusakan ekosistem tersebut mempengaruhi ketersediaan sumber daya ikan
sehingga juga mempengaruhi produktifitas perikanan.
• Kerentanan usaha nelayan
Faktor lain yang menyebabkan turunnya produksi perikanan adalah
beroperasi armada tangkap yang menggunakan alat tangkap terlarang di perairan
Kepulauan Seribu yang berasal dari luar P. Seribu. Alat tangkap tersebut disebut
arad yang merupakan salah bentuk modifikasi dari trawl yang jelas-jelas dilarang
pemerintah. Masyarakat melihat kurangnya ketegasan hukum untuk menindak
pelaku. Bahkan masyarakat melihat seperti terjadi upaya pembiaran terhadap
beroperasinya alat tangkap tersebut dan penuh aroma perselingkuhan antara
pelaku dan aparat keamanan. Disamping faktor-faktor tersebut, usaha nelayan
dan perikanan merupakan usaha yang penuh dengan resiko dan tergantung kepada
musim. Usaha nelayan yang beresiko ditambah naiknya BBM yang berkontribusi
besar pada biaya operasional nelayan, itambah tidak adanya upaya penegakan
hukum terhadap pelaku armada arad, menyebabkan nelayan terjepit dan rentan
terhadap kemiskinan kronis
236
• Akses terhadap sumberdaya pesisir dan laut semakin terjangkau
Aksesibilitas meningkat baik secara fisik (teknologi, jalur transportasi,
pasar dan permodalan) maupun kelembagaan (birokrasi perijinan, pengakuan atas
hak milik oleh UU). Hal ini dapat menyebabkan perubahan kualitas lingkungan
pesisir dan laut.
Pada aras yang lebih tinggi rendahnya lingkungan alam disebabkan karena
adanya faktor eskternal seperti strategi pengelolaan SDPL yang kurang tepat,
ketergantungan yang tinggi terhadap pasar, aktivitas kompradorisasi dan rent
seeking serta adanya perundang-undangan yang bias kepentingan pemodal dan
tidak berpihak kepada kesejahteraan nelayan tradisional.
Strategi pengelolaan SDPL selama ini lebih banyak menekan pada
pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan pariwisata bahari. Mobilisasi
investasi melalui pariwisata bahari hanya akan melahirkan ekslusifitas bagi
pengelola dan menutup akses masyarakat terhadap SDPL yang dulunya
merupakan barang publik menjadi terbatas dan privat. Pola investasi ini sejalan
dengan anjuran nurske (1952) yang menganggap bahwa kemiskinan dan stagnasi
disebabkan karena rendahnya pendapatan per kapita dan tabungan. Untuk
menghindari dua hal tersebut, dua langkah bisa dilakukan secara serentak yaitu
tindakan untuk merangsang investasi dan memobilisasi dana investasi. Namun,
Robinson (1959) menganggap bahwa kaum Neoklasik dan Keynesian tidak
mempersoalkan kandungan suatu investasi ditinjau dari perspektif sosial.
Akhirnya terjadilah sistem produksi yang banyak memproduksi barang-barang
mewah. Investasi untuk membiayai barang-barang mewah ini akan berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan tingkat persediaan barang modal untuk tujuan
reproduksi dan akumulasi modal.
Sejalan dengan pola investasi yang bersifat kapitalistik, instrumen lain
yang menyebabkan degradasi sumber daya alam. Bagi Singer maupun Robinson,
perdagangan bebas hanya akan mengakibatkan negara-negara
berkembang/pinggiran memproduksi dan mengekspor bahan mentah dan
konsumen, sedangkan negara-negara maju atau negara-negara pusat,
memproduksi produk-produk manufaktur. Dalam ekonomi pasar, pemanfaatan
SDA adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital. Permintaan
237
terhadap SDA dipaksakan sesuai dengan kebutuhan pasar. Orientasi pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan daerah yang tinggi hanya menghitung aktivitas-aktivitas
yang terjadi melalui mekanisme pasar, tidak peduli apakah aktivitas tersebut
produktif, non-produktif atau justri destruktif. Kerusakan SDA akibat penetrasi
pasar yang tinggi mengakibatkan kelangkaan bagi SDA yang sebetulnya
bermanfaat bagi stabilitas ekologi dan menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan
baru. Fenomena perdagangan ikan hias dan karang yang cukup tinggi di
Kepulauan Seribu dapat menerangkan betapa kemiskinan senantiasa melekat pada
nelayan ikan hias namun justru akumulasi kesejahteraan didapatkan oleh
pengusaha ikan hias atau pendagang pengumpul. Demikian halnya yang terjadi
dalam perdagangan terumbu karang. Pengambilan karang dan upaya budidaya
karang yang sejatinya ditujukan untuk menjamin kelestarian lingkungan laut,
justru dialihkan pada pemenuhan kebutuhan pasar internasional. Upaya budidaya
karang tidak berkorelasi positif dengan tingkat pemulihan ekosistem terumbu
karang.
Rendahnya lingkungan alam juga disebabkan karena pola tingkah laku
elite penguasa yang berkolaborasi dengan pemilik modal dalam melakukan
ekploitasi terhadap SDA. Santos (1976) menyebutkan bahwa elit penguasa yang
mengambil keuntungan dari pola kolaborasi dengan pemilik modal harus
bertanggungjawab terhadap timbulnya proses ekploitasi yang luas dan dalam
terhadap masyarakat miskin. Bagi Santos (1976), kemiskinan dan
keterbelakangan negara miskin tidaklah selalu ditentukan karena ”faktor luar”
tetapi juga harus melihat ”faktor dalam” di negara-negara miskin. Cardoso
menyebut kalangan elite yang dominan ini sebagai kelompok komprador.
Komprador birokrat inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis, kekuatan
modal dalam mengekploitasi SDA.
Perilaku komprador ataupun maraknya rent seeking activity dalam
pemanfaatan SDA tidak hanya dilakukan dalam pengelolaan SDA secara teknis
baik melalui investasi maupun akses teknologi, tetapi juga masuk melalui
kebijakan dan perundang-undangan. Kekuatan modal yang berkolaborasi dengan
birokrasi komprador berperan dalam mengatur pasal-pasal dan point-point yang
terkait dengan penguasaan SDA. Beberapa perundangan di bidang perikanan
238
setidaknya menggambarkan fenomena hal itu seperti UU No.31 tahun 2004
tentang perikanan dan UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan. Sebagai contoh pasal tentang Hak pengelolaan perairan pesisir (HP3)
dalam UU No.27/2007 merupakan bentuk privatisasi sumber daya pesisir dan laut
yang hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal. HP3 secara teknis memang
menjelaskan status kepemilikan SDPL sekaligus melahirkan ekslusifitas terhadap
lahan yang tadinya bernilai publik menjadi komoditas. HP3 hanya akan dipenuhi
oleh kekuatan modal dan sebagai konsekwensinya masyarakat tidak bisa secara
leluasa mengakses sumber daya di dalam dan sekitarnya karena statusnya sudah
menjadi privat property. Keterbatasan akses terhadap SDPL dapat mengakibatkan
aksi pengrusakan terhadap SDA sekaligus mengurangi nilai produksi hasil
perikanan. Akibat penurunan produksi, pendapatan dan kesejahteraan nelayan
tradisional khususnya juga menurun.
2) Rendahnya lingkungan ekonomi
Alasan rendahnya lingkungan ekonomi
Masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka sangat menggantungkan
hidupnya pada laut dan sumber daya perikanan yang berada di dalamnya. Kondisi
geografis berupa pulau kecil dan dikelilingi laut menjadikan tidak adanya banyak
pilihan dalam berprofesi. Kalaupun ada diversifikasi usaha, semuanya masih
berkaitan dengan perikanan. Ketergantungan terhadap satu sumber penghasilan
ini dapat menciptakan kerentanan. Hal itulah yang menjadikan masyarakat
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya masih terbelit dengan
kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan mereka. Selain itu, jika terjadi
kerusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut atau adanya degradasi sumber daya
ikan seperti yang belakangan banyak dikeluhkan oleh nelayan karena
beroperasinya kapal-kapal trawl, menyebabkan kerentanan bagi kehidupan
mereka.
Rendahnya lingkungan ekonomi juga dapat disebabkan oleh faktor
eksternal seperti terkonsentrasinya modal keungan, ilmu dan teknologi di Jakarta.
Pola investasi dalam bentuk pariwisata bahari, perdagangan dan jasa yang
berkembang di Kepulauan Seribu hanya menghasilkan hubungan yang tidak
239
seimbang. Surplus produksi yang harusnya dirasakan oleh masyarakat Kepulauan
Seribu, faktanya justru hampir semuanya masuk ke Jakarta. Permintaan barang
dan pasar yang luas di Jakarta juga mendorong masyarakat untuk memenuhi dan
berperilaku konsumtif. Fakta rendahnya lingkungan ekonomi tersebut tergambar
dari tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu, parahnya tingkat
kemiskinan, nilai IPM yang masih jauh tertinggal dari Jakarta dan pendapatan
rata-rata masyarakat yang masih rendah.
Degradasi sumber daya pesisir dan laut pada satu sisi, keterbatasan lahan
pada sisi lain serta padatanya penduduk, mendorong tingkat kebutuhan akan
pangan dan sandang yang tinggi. Kebutuhan akan pangan didapat dengan
mendatangkan dari Jakarta dan Kepulauan Seribu menjadi masyarakat yang net-
importir terhadap barang pokok. Bahkan ironisnya untuk kebutuhan akan ikan-
ikan ekonomi penting, masyarakat Kepulauan Seribu juga harus datang ke Jakarta.
Pasokan ikan dari perairan Kepulauan Seribu mayoritas dimanfaatkan setidaknya
oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan masyarakat Kepulauan Seribu
sendiri hanya untuk kebutuhan pangan yang tidak lebih dari separuhnya.
Isu dan permasalahan yang muncul
• Jumlah sumber penghasilan meningkat
Mayoritas responden yang diwawancarai dalam survey mengatakan bahwa
mereka memiliki lebih banyak peluang penghasilan baru dibandingkan 5 tahun
yang lalu. Beberapa pekerjaan baru tercipta seiring dengan pembentukan
Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru di wilayah DKI Jakarta. Meskipun
sebagian masyarakat juga mengeluhkan bahwa kondisi ekonomi mereka lebih
buruk ketika Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten dan tidak jarang penduduk
yang menginginkan kembali kepada kondisi semula yaitu hanya setingkat
kelurahan.
• Lingkungan bisnis meningkat
Seiring dengan terbentuknya Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru,
pemerintah daerah bergiat untuk mempromosikan Pulau Seribu termasuk
menjadikan Pulau Seribu sebagai kawasan pariwisata bahari. Hal ini mendorong
kemunculan investor di bidang pariwisata. Masuknya jumlah wisatawan yang
240
memanfaatkan keindahan laut, meningkatnya sarana prasarana umum,
perkantoran dan semakin tingginya kebutuhan akan sektor jasa menjadikan
peluang baru bagi masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang
khususnya.
• Pengenalan terhadap pasar meningkat
Dengan semakin banyak alternatif usaha dan bisnis, masuknya investasi
dan tingginya lalu lintas perdagangan, menyebabkan masyarakat lebih intensif
mengenal pasar. Keterlibatan yang besar di pasar telah meningkatkan
ketergantungan mereka terhadap pasar dan mengurangi tingkat swasembada
terhadap hasil perikanan
• Terbatasnya akses pembiayaan
Kedekatan wilayah dengan DKI Jakarta yang dipenuhi oleh berbagai
sarana perbankan dan lembaga keuangan memberikan berbagai skim permodalan
bagi ekonomi mikro. Sektor perikanan yang selama ini jarang mendapatkan akses
perbankan, mulai dilirik oleh perbankan. Ditambah dengan adanya kebijakan
pemerintah melalui program PEMP, dapat memenuhi kebutuhan permodalan
usaha masyarakat. Namun demikian, program PEMP ini belum terasa sampai di
Kelurahan P. Panggang.
Bagi nelayan faktor modal dan pembiayaan usaha merupakan salah satu
kendala pokok bagi keberlanjutan usaha. Keterbatasan terhadap akses
pembiayaan mendorong berlakunya pola hubungan yang tidak seimbang dan
ekplitatif yang sudah tertanam lama di lingkungan masyarakat pesisir yaitu
dengan para tengkulak. Tengkulak memberikan permodalan usaha dan biaya
operasional lain. Tengkulak ini dapat berupa para bakul ikan maupun nelayan
skala besar. Pola hubungan yang biasa terjadi adalah antara buruh nelayan dan
juragan (nelayan pemilik/besar) atau antara nelayan kecil dan bakul ikan.
• Ketergantungan terhadap pasar dan perdagangan bebas
Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar terlihat pada kegiatan
perdagangan ikan karang, ikan hias dan perdagangan karang hidup. Ketiga
perdagangan ikan dan karang ini bukan hanya untuk mensuplai daerah Jakarta saja
tetapi juga memenuhi kebutuhan pasar nasional dan bahkan ekspor
241
(internasional). Perdagangan ikan karang ekonomi berkualitas ekspor seperti
kerapu, kakap, baronang dan ikan karang lainnya. Tujuan ekspor antara lain
negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Sedangkan untuk ikan hias banyak
diekspor ke Amerika, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Perdagangan lain yang paling membahayakan bagi kelestarian ekosistem
sumber daya pesisir adalah karang hidup. Degradasi ekosistem terumbu karang
mendorong munculnya aktivitas budidaya terumbu karang melalui transplantasi
karang. Namun faktanya kegiatan ini justru sebagian kegiatan disponsori oleh
para pengusaha yang memanfaatkan nelayan sebagai klien nya. Karang yang
mulai hidup sebagian di tebar kembali ke lingkungan laut, namun tidak sedikit
yang diambil untuk dijual kembali, khususnya yang sudah berukuran F2. Namun
nelayan hanya sebagai pemelihara dan pembudidaya, sehingga keuntungan yang
diterimapun tidak terlalu besar. Keuntungan terbesar justru dinikmati oleh
pengusaha yang memberikan modal usaha dan menguasai pasar perdagangan
karang hidup. Transaksi ini bukan hanya mendorong ketergantungan terhadap
pasar, tetapi juga memperlambat kelestarian ekosistem terumbu karang.
Dalam aras makro, penyebab rendahnya lingkungan ekonomi adalah
karena keterbatasan akses terhadap SDPL, kekurangan gizi sebagai akibat
rendahnya pendapatan, privatisasi lahan akibat previlage pemerintah pada
kekuatan modal dan pola investasi kapitalistik.
Privatisasi lahan dan investasi kapitalistik muncul dalam kegiatan
pariwisata bahari maupun pengelolaan kawasan PPK untuk kegiatan industri dan
lainnya. Privatisasi lahan membatasi ruang akses masyarakat pesisir dan nelayan
tradisional khususnya dalam memanfaatkan SDPL. Keterbatasan akses bukan
hanya menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang dapat dilakukan melalui
aktivitas destruktif karena keterdesakannya, namun sekaligus mengurangi tingkat
produktifitas perikanan. Penurunan produktifitas akan berujung pada
berkurangnya pendapatan nelayan tradisional dan pada gilirannya dapat
mengakibatkan menurunnya gizi karena upaya untuk membeli tidak bisa
terjangkau dengan baik.
242
3) Rendahnya lingkungan sosial
Alasan rendahnya lingkungan sosial
Rendahnya lingkungan sosial ditandai oleh adanya potensi konflik sosial
yang dipicu oleh nelayan dari luar Kepulauan Seribu yang menangkap di wilayah
perairan Kepulauan Seribu dengan menggunakan alat tangkap terlarang berupa
arat yang merupakan modifikasi dari trawl. Beroperasi alat tangkap tersebut
mengakibatkan hasil tangkapan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka serta
Kepulauan Seribu umumnya mengalami penurunan khususnya bagi nelayan
tradisional. Akses terhadap teknologi merupakan salah satu alasan yang dapat
membenarkan fakta tersebut.
Kerusakan sumber daya pesisir adalah indikasi yang lain dari penurunan
produktifitas nelayan yang salah satunya disebabkan karena ketidaktahuan
masyarakat akan fungsi ekosistem. Rendahnya SDM diduga karena keterbatasan
akses pendidikan yang ditandai oleh minimnya sarana pendidikan di Kelurahan P.
Panggang. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk Kelurahan P.
Panggang rata-rata hanya sampai SD dan bahkan masih banyak yang tidak
sekolah. Meskipun belakangan kesadaran untuk menyekolahkan anak cukup
tinggi. Rendahnya SDM manusia mempengaruhi juga perilaku masyarakat yang
cenderung apatis, malas, boros dan kurang kreatif. Inisiatif masyarakat juga
rendah dalam pelaksanaan pembangunan. Keterbatasan SDM tersebut
mengakibatkan rendahnya akses terhadap pengambilan keputusan di Desa.
Isu dan permasalahan yang muncul
• Rendahnya sumber daya manusia
Pembangunan yang tidak sesuai dianggap oleh masyarakat sebagai
penyebab terjadinya ketidaksesuaian kapasitas manusia terutama dalam
pembangunan sarana pendidikan. Pemerintah juga kurang menyediakan fasilitas
pendidikan yang memadai dan sarana transportasi untuk memperlancar arus
belajar mengajar di Kepulauan Seribu. Terjadinya kerusakan sumber daya pesisir
juga disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat terhadap fungsi ekosistem
serta menimbulkan perilaku negatif karena karakter berpikirnya belum terbangun
dengan baik.
243
Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem telah menimbulkan
dampak negatif berupa aktivitas pengrusakan dalam operasi penangkapan
khususnya dalam penangkapan ikan karang. Parahnya pemerintah juga tidak
memberikan penyadaran yang intensif, penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat
sehingga kesadarannya terbangun dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut
(SDPL).
• Pola hubungan ekploitatif di lingkungan nelayan
Hubungan dengan tengkulak merupakan pola lama yang sudah
membudaya di kalangan masyarakat pesisir. Hubungan yang saling
membutuhkan tersebut biasanya banyak terjadi dalam hal pembiayaan usaha,
pemasaran hasil dan pengadaan sarana. Keterbatasan akses yang dimiliki oleh
buruh atau nelayan kecil menjadikan mereka harus berhubungan dengan para
juragan dan baku dalam pola hubungan kerja yang tidak berimbang. Mekanisme
pembagian hasi dalam hubungan antara juragan dan buruh nelayan senantiasa
menempatkan buruh pada bagian terendah dan hasil yang minim. Kelemahan
dalam permodalan, sarana operasional dan pasar menjadi alat bagi juragan untuk
terus mengekploitasi buruh. Demikian juga antara nelayan kecil dengan bakul.
Bakul mempunyai akses pasar dan modal, sedangkan nelayan kecil biasanya
direpotkan oleh kedua hal tersebut. Nelayan yang mendapatkan bantuan modal
dari bakul harus menjual hasil tangkapan ke bakul tersebut yang kadang tidak
sesuai dengan harga pasaran. Lemahnya bargaining position buruh dan nelayan
kecil seperti itu yang terus menjadikan buruh nelayan dan nelayan kecil senantiasa
terjebak dalam jerat kemiskinan.
Pola hubungan tersebut di Kelurahan P. Panggang dapat selain pada kedua
kelompok di atas, juga dapat diperhatikan pada hubungan antara nelayan ikan hias
dengan pedagang ikan hias, antara pembudidaya kerapu dengan pengusaha
pemodal/bakul. Pada kegiatan pengolahan hasil perikanan, interaksi tersebut
cenderung sedikit karena memang pelaku usahanya juga tidak terlalu banyak.
• Perilaku individu masyarakat
Di P. Panggang perilaku masyarakat masih belum menunjukkan sikap
yang konstruktif. Beberapa perilaku negatif yang kerap kali muncul adalah malas,
egois, tidak saling percaya, kurang percaya diri, apatis, konsumtif, kurang
244
inisiatif, kurang kompak, kurang kesadaran, pragmatis, perbedaan pandangan,
tidak mau tahu dan tidak mandiri. Hal ini menurut Baihaqie (2004) disebabkan
karena pendekatan pemerintan yang sentralistik dan top-down dalam pelaksanaan
pembangunan selama ini. Pola pembangunan yang ada tidak banyak melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak memilik tanggung jawab yang besar
dalam memelihara sarana pembangunan yang telah dibangun. Hal ini berakibat
kepada banyaknya sarana pembangunan yang tidak fungsional. Aktivitas
pengrusakan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai dampak dari perilaku
negatif ini juga diawali dari apatisme masyarakat terhadap pelaksana pemerintah
dan aparat hukum yang kurang tegas dan keteladanan dalam pengelolaan SDPL.
• Konflik sosial masyarakat
Konflik sosial biasanya terjadi baik dengan sesama warga maupun dengan
warga lain. Namun menurut hasil survey, tingkat konflik dengan sesama warga
sangat kecil terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka. Potensi konflik sesama warga
ini kadang-kadang bisa terjadi dengan dipicu oleh pendekatan pemerintah dalam
menjalankan program pembangunan yang kurang tepat. Pemerintah seringkali
hanya melibatkan tokoh masyarakat dan kelompok warga tertentu dalam
pelaksanaan proyek pembangunan. Hal itu kadang mendorong munculnya sikap
iri hati pada kelompok lainnya. Potensi gesekan konfliknya untungnya tidak
sampai menjadi manifest konflik, namun jika dibiarkan terus pola pembangunan
berjalan seperti itu, bukan tidak mungkin akan menjadi konflik sosial sesama
warga.
Konflik yang potensial muncul justru terjadi dengan warga daerah lain
yang melakukan aktivitas penangkapan di Kepulauan Seribu dengan
menggunakan alat tangkap terlarang. Meskipun juga belum pernah menjalar
menjadi konflik fisik, jika aparat tidak mengambil tindakan tegas dan pemerintah
tidak melakukan pengawasan dengan baik, bukan tidak mungkin akan menjalar
menjadi manifest konflik. Konflik yang disebabkan karena modernisasi perikanan
ini terkait dengan terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya oleh
nelayan tradisional dan nelayan kecil lain karena akses teknologi yang lebih
245
rendah dibandingkan dengan nelayan besar/nelayan pengguna alat tangkap
terlarang tersebut (arad).
• Gotong royong untuk kepentingan umum mulai menurun
Meskipun dalam hasil survey menunjukkan bahwa tingkat tolong
menolong dan saling percaya masih tinggi di P. Panggang dan Pramuka, tetapi
masyarakat merasa sulit menggalang tindakan bersama tanpa imbal-imbal
materi/upah. Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh semakin tinggi tingkat kebutuhan
masyarakat dan pola hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh kondisi di ibu kota
Jakarta.
Dalam aras makro, rendahnya lingkungan sosial disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain menguatnya budaya negatif dan gaya hidup konsumtif-
individualis, policy bias dan perdagangan bebas. Perilaku negatif masyarakat
dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan
longgarnya tatanan sosial dalam masyarakat. Rendahnya SDM dalam doktrin
teori liberal merupakan penyebab kemiskinan. Namun dalam kasus P. Panggang
dan P. Pramuka, mereka menganggap bahwa perilaku negatif yang berujung pada
pengrusakan SDPL disebabkan karena kurangnya pelayanan pemerintah,
keterdesakan akibat beroperasinya kapal-kapal modern, lemahnya penegakan
hukum dan tiadanya keteladanan pemerintah dalam pemeliharaan SDPL.
4) Rendahnya Lingkungan Politik
Alasan rendahnya lingkungan politik
Rendahnya lingkungan politik bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal
konflik sosial dengan pendatang dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan
keterlibatan para pemimpin mereka dalam proyek-proyek pemerintah. Konflik
dengan pendatang berasal dari beroperasinya nelayan luar Kepulauan Seribu yang
melakukan aktivitas penangkapan dengan alat tangkap terlarang (trawl) yang
jelas-jelas dilarang dan merusak lingkungan. Sifat alat tangkap yang menggerus
seluruh ikan di dasar dan permukaan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan
nelayan-nelayan kecil/tradisional. Disamping itu keterlibatan para
pemimpin/aparat desa dalam tender-tender pemerintah yang menyebabkan adanya
kecurigaan masyarakat karena ketidak beresan dalam pelaksanaan
246
pembangunan/program. Kurangnya transparansi di kalangan masyarakat dan
semakin terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka dan kritis
dalam menghadapai para pemimpin/aparat desa yang melanggar.
Isu dan permasalahan yang muncul
• Konflik pemanfaatan sumber daya alam
Konflik biasanya terjadi terkait dengan sumber daya yang sebelumnya
bebas diakses sebagai milik bersama tetapi sekarang menjadi komoditas (seperti
ekosistem terumbu karang). Lingkungan sosial dan lingkungan alam berkorelasi
positif. Semakin terdegradasi lingkungan alam, tingkat kohesi sosial semakin
rendah dan potensi konflik cukup besar. Hal ini cukup wajar, mengingat banyak
konflik yang dipicu sumber daya alam terjadi di kawasan dengan lingkungan alam
yang kritis.
Konflik perebutan sumber daya PL di Kepulauan Seribu dipicu juga
karena keterbatasan akses pemanfaatan yang disebabkan karena penggunaan
teknologi penangkapan yang tidak berimbang. Itulah yang terjadi umpamanya
antara nelayan tradisional dengan nelayan yang memiliki teknologi tangkap yang
lebih modern seperti kapal arad, mouroami dan jaring payang. Meskipun faktanya
gesekan yang berpotensi konflik itu lebih banyak disebabkan oleh beroperasinya
armada tangakap arad dengan nelayan tradisional. Masyarakat mengaku setalah
armada tangkap tersebut banyak beroperasi, jumlah hasil tangkapan ikan nelayan
P. Panggang dan P. Pramuka makin berkurang. Anehnya meskipun dimasukkan
dalam kategori alat tangkap terlarang, aparat hukum yang mengetahui hal tersebut
tetap tidak bisa berbuat apa-apa dan bahkan ada kesan pembiaran. Tidak jelasnya
definisi trawl dan tegasnya aparat hukum menjadi alasan bagi nelayan-nelayan
arat untuk tetap beroperasi di wilayah Kepulauan Seribu.
• Hubungan dengan pemerintah daerah meningkat
Sejalan dengan perubahan status Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten,
mendekatkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah. Secara umum menurut
masyarakat, komitmen, kebijakan dan pelayanan informasi dari pemerintah daerah
cukup baik. Akses terhadap pemerintah juga lebih baik mengingat P. Pramuka
merupakan pusat ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga semua aktivitas
247
pemerintahan Kepulauan Seribu lebih banyak berada di P. Pramuka. Hal ini
sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat P. Pramuka dan P. Panggang
yang mempunyai jarak terdekat dari P. Pramuka, disamping makin meningkatnya
akses terhadap layanan pemerintah.
• Tingkat pengetahuan dan kekritisan masyarakat meningkat
Perubahan status menjadi Kabupaten dengan pusat ibu kota di P. Pramuka,
menjadikan wilayah ini sebagai pusat informasi Kepulauan Seribu. Hal ini
mendorong masyarakat di P. Pramuka khususnya dan Kelurahan P. Panggang
umumnya lebih terbuka terhadap masuknya perubahan dan lebih mudah dalam
mengakses berbagai informasi lebih dari satu sumber. Meskipun masih dirasa
masih minim sumber informasi seperti ketersediaan koran lokal, akses internet
dan telpon rumah, namun masyarakat kelurahan P. Panggang terlihat lebih kritis
dan lebih tinggi kualitas SDM nya di bandingkan dengan masyartakat pulau-pulau
lain di Kepulauan Seribu.
• Akses terhadap sumber daya terbatas
Terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya PL bisa disebabkan
oleh banyak faktor seperti teknologi, modal, pasar dan informasi. Realitas ini
terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka dalam bentuk menurunnya produktifitas
nelayan kecil/tradisional karena beroperasinya kapal-kapal dengan teknologi
penangkapan yang lebih maju. Nelayan pengguna jaring payang, muoroami dan
purse seine dengan kecanggihan teknologinya bisa mendapatkan hasil tangkapan
yang lebih besar. Selain itu perahu yang digunakan antara kapal motor dengan
perahu motor tempel, juga berpengaruh terhadap akses pemanfaatan sumber daya
PL.
Keterbatasan akses terhadap SDPL juga bisa dipicu karena ketiadaan
modal dan pasar. Minimnya modal bagi nelayan kecil, tidak mempunyai akses
terhadap pembeli, dan informasi harga ikan yang dimainkan oleh kelompok bakul,
menjadikan ketergantungan yang terus menerus dalam hubungan yang ekploitatif
antara nelayan kecil dengan baku atau antara buruh nelayan dengan juragan.
248
• Kebijakan pemerintah yang bias (policy bias)
Pemerintah tidak/kurang melayani
Masyarakat P. Panggang merasakan bahwa meskipun telah terjadi
perubahan status Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administratif, perilaku
pemerintah sebagai abdi masyarakat belum terlihat. Masyarakat melihat
pemerintah kurang memberikan penyuluhan, pemerintah sepertinya tidak mau
tahu kebutuhan masyarakat, pemerintah kurang membantu pembiayaan usaha,
terlihat kurang koordinasi, kurang komunikasi, tidak transparan dalam
pelaksanaan pembangunan dan kurang perhatian. Baihaqie (2004) menyatakan
bahwa hal itu terjadi karena ketertutupan pemerintah terhadap masyarakat dan
tidak adanya keteladanan pemerintah di mata masyarakat. Disamping itu
ekslusifitas pemerintah dan profesinya sebagai PNS menjadikan mereka berjarak
dengan masyarakat dan merasa profesi lebih baik dari masyarakat umumnya.
Pembangunan tidak sesuai
Masyarakat P. Panggang melihat pembangunan sarana dan prasarana yang
selama ini ada tidak bisa dioperasionalkan dengan baik. Sarana yang dibangun
menjadi terbengkalai dan tidak berfungsi untuk pelayanan sebagaimana mestinya.
Pendekatan pembangunan yang selama ini berjalan menurut masyarakat masih
berisfat fisik dan inisiatif dari pemerintah, masyarakat jarang/tidak pernah
dilibatkan. Sehingga seringkali terjadi pembangunan sarana yang sebetulnya
tidak dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan sarana yang dibutuhkan justru tidak
terbangun. Masyarakat menilai banyak terjadi pemborosan biaya pembangunan
karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak
memperhatikan kondisi ekosistem. Baihaqie (2004) menemukan pembangunan
sarana yang menggunakan terumbu karang sebagai pondasi dan konversi lahan
terbuka menjadi lahan bangunan, banyak sarana rusak dan tidak terawat karena
tidak memperhatikan perilaku masyarakat setempat.
Kepadatan jumlah penduduk
Kepadatan penduduk menyebabkan tingkat kenyamanan dan kualitas
hidup berkurang. Luas P. Panggang yang hanya ± 9 Ha dengan jumlah penduduk
saat ini mencapai 5481 jiwa, menjadikan kondisi bangunan rumah berdesak-
desakan, sempit dan rapat. Keterbatasan lahan pada satu sisi dan jumlah
249
penduduk yang tinggi pada sisi lain, menjadikan daya tampung P. Panggang
sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Harusnya
pemerintah peka terhadap masalah ini dengan mengoptimalkan padatnya
penduduk dengan program-program pemberdayaan masyarakat, pelibatan
masyarakat dalam pembangunan sarana (padat karya), fasilitasi pengembangan
usaha, pelatihan bagi generasi mudanya dan mengupayakan relokasi penduduk ke
pulau lain yang sejenis. Namun pemerintah terlihat kurang berupaya maksimal
dalam menyikapi permasalahan kepadatan penduduk di P. Panggang.
Penegakan hukum yang lemah
Lemahnya penegakan hukum menurut masyarakat karena ketidaktegasan
aparat dalam menindak setiap pelanggaran. Bahkan menurut Baihaqie (2004) ada
upaya menutupi karena banyak terjadi pelanggaran hukum oleh berbagai pihak
terutama dalam pemanfaatan ekosistem pesisir seperti pemanfaatan terumbu
karang sebagai bahan bangunan, penggunaan alat tangkap terlarang dalam
menangkap dan penuh dengan aroma korupsi pada setiap pelanggar yang ditindak.
Akhirnya tidak muncul rasa takut apalagi bertanggungjawab terhadap kelestarian
ekosistem bagi masyarakat karena mereka menganggap setiap pelanggaran pasti
akan selesai dengan cara ”damai” asal dengan persediaan materi (uang) yang
cukup. Bahkan masyarakat melihat bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu dilindungi oleh aparat keamanan. Kondisi seperti inilah
menyebabkan terjadinya apatisme di lingkungan masyarakat dan akhirnya
masyarakatpun ikut serta dalam melakukan kerusakan terhadap sumber daya
pesisir dan laut.
Modernisasi perikanan
Modernisasi perikanan tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi alat
tangkap dan armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Merebaknya operasi
armada arat adalah salah satu contoh nyata modernisasi perikanan yang
berdampak kepada semakin turunnya hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan kecil.
Begitupun antara nelayan-nelayan armada besar seperti muoroami, payang, purse
seine, lampara dasar dengan nelayan pancing, bubu dan pengguna armada motor
tempel, telah mengakibatkan kesenjangan dalam produktifitas perikanan.
Modernisasi perikanan yang tidak diikuti oleh kebijakan pengelolaan perikanan
250
yang tegas seperti zonasi penangkapan, pemberlakuan kuota hasil tangkap dan
perlindungan akses bagi nelayan kecil, berpotensi menimbulkan konflik sosial
dalam pemanfaatan sumber daya.
Kebijakan bias perkotaan
Kebijakan yang bias perkotaan tercermin dari pengadaan sarana prasarana
yang sangat terbatas di P. Panggang dan P. Pramuka. Keterbatasan tersebut masih
terlihat dari minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan, pembiayaan usaha, sarana
transportasi antar pulau dan mobilitas barang dan jasa. Fakta tersebut terlihat dari
ketimpangan dari sisi SDM antara Kota-kota di DKI Jakarta dengan Kepulauan
Seribu, angka melek huruf, angka harapan hidup dan pendapatan rata-rata.
Terbukti dari parahnya tingkat kemiskinan di kepulauan Seribu dan tingginya
proporsi responden miskin di Kepulauan Seribu. Kondisi geografis yang terpencil
dan berupa pulau-pulau diduga sebagai penyebab terhambatnya akses
pembangunan ke Kepulauan Seribu.
Pola investasi wisata bahari yang ekslusif
Pemerintah DKI Jakarta telah menjadikan Kabupaten Kepulauan Seribu
sebagai Kabupaten wisata yang mengandalkan keindahan laut sebagai modal
investasi. Banyaknya pulau-pulau kecil sebagai tempat wisata dan pulau-pulau
yang dimiliki oleh perorangan maupun swasta, mendorong pola kepemilikan
terhadap pulau berubah dari state property menjadi private property. Apalagi
setelah UU No. 27 tahun 2008 diundangkan maka kepemilikan terhadap pulau
beserta sumber daya yang berada di dalamnya akan semakin dijamin. Masyarakat
Kelurahan P. Panggang tidak banyak bisa mendapatkan manfaat dari adanya
pariwisata tersebut karena upaya melibatkan warga dalam pengelolaan tempat
wisata tersebut sangat minim. Hasil investasi kegiatan wisata maupun penyewaan
bagi pulau-pulau tersebut tidak ada sama sekali yang mengalir untuk masyarakat
Kepulauan Seribu. Sebaliknya mobilitas jasa dan keuntungan investasi tersebut
banyak lari ke Jakarta dan elit birokrasi yang berkolaborasi dengan para
pengusaha.
Dalam aras makro, rendahnya lingkungan politik karena disebabkan pola
pembangunan masih bersifat top-down, bias perkotaan dan konsentrasi modal di
perkotaan. Pola pembangunan top-down belum mengakomodasi sepenuhnya
251
kebutuhan masyarakat dan pemerintah senantiasa bertindak sebagai inisiatif.
Banyak sarana umum yang dibangun namun pada akhirnya tidak terawat dan
mudah rusak karena sarana yang ada tidak sesuai kebutuhan masyarakat.
Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban dari masyarakat dan apatisme muncul
berbarengan dengan kerusakan sarana tersebut.
Bias perkotaan terlihat jelas dalam tingkat pendidikan dan ketersediaan
fasilitas pendidikan maupun kesehatan antara Jakarta dan Kepulauan Seribu atau
antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Akumulasi kemakmuran terlihat di kota
dan akumulasi kemiskinan dengan jelas nampak di pedesaan. Demikian yang
terlihat antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Kebijakan bias perkotaan tersebut
berdampak posisif bagi pertumbuhan ekonomi wilayah karena padatnya aktivitas
produksi di perkotaan. Hal itu menyebabkan terjadinya konsentrasi modal di
Jakarta dan menarik daerah-daerah di sekelilingnya termasuk Kepulauan Seribu
untuk memenuhi kebutuhan pasar dan masyarakat Jakarta. Indutrialisasi dan gaya
hidup masyarakat Jakarta mendorong munculnya pemanfaatan SDA yang
ekploitatif dan destruktif. Sistem produksi ekploitatif melahirkan konflik sosial
antar masyarakat pesisir dalam memanfaatkan SDA.
5) Rendahnya prasarana dan sarana
Alasan rendahnya prasarana, sarana dan pelayanan
Keterbatasan sarana terlihat dari minimnya gedung sekolah khususnya
pada tingkat SLTP dan SMU. Disamping itu adanya sarana kesehatan juga tidak
dibarengi dengan kelengkapan fasilitas dan peralatan kesehatan. Kondisi
Kepulauan Seribu berupa pulau menuntut adanya sarana transportasi antar pulau.
Minimnya sarana transportasi mengakibatkan jarak tempuh yang cukup jauh
sekitar 60 km antar pulau dan dari P. Panggang/P. Pramuka ke pusat ibu Kota
menjadi semakin sulit dijangkau.
Isu dan permasalahan yang berkembang
• Keterbatasan sarana transportasi laut antar pulau
Kondisi geografis Pulau Seribu yang berupa pulau-pulau kecil
membutuhkan sarana transportasi bagi setiap warganya untuk saling berhubungan
252
dengan penduduk lain di pulau yang lain. Namun, keterbatasan sarana
transportasi antar pulau menjadikan hal itu tidak dapat dinikmati masyarakat.
Akibatnya kepentingan masyarakat sering terhambat, usaha tidak lancar,
pendidikan tidak berjalan efektif karena lokasi sarana pendidikan yang jauh dan
akses terbatas, dan seringkali menyebabkan kematian bagi penduduk yang sakit
parah dan tidak bisa berobat karena keterbatasan sarana transportasi.
Keterbatasan sarana transportasi ini harusnya bisa diatasi oleh pemerintah dengan
penyediaan sarana, namun yang ada lagi-lagi justru sarana yang terbangun tidak
banyak dibutuhkan masyarakat. Sarana- sarana transportasi yang ada banyak
dimiliki oleh swasta dan perorangan dengan biaya sewa/ongkos yang bervariasi
tergantung tujuan.
• Pemeliharaan fasilitas umum menurun
Banyak sarana-sarana umum setalah dibangun tidak terawat dengan baik.
Contohnya WC umum yang terdapat di P. Panggang, TPI yang hanya melayani
transaksi ikan-ikan skala kecil dan sarana umum lainnya. Meskipun harus diakui
bahwa pemerintah telah membangun banyak sarana umum yang sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Perubahan status menjadi Kabupaten telah
mendorong munculnya berbagai pembangunan sarana umum di P. Panggang dan
P. Pramuka.
• Jumlah guru dan murid meningkat, tapi tidak dibarengi dengan sarana memadai
Kenaikan jumlah guru dan murid makin meningkat, tercatat jumlah murid
SD mencapai sekitar 741 orang, SMP sebanyak 336 orang, SMU sebanyak 437
orang. Jumlah guru juga lumayan banyak, SD/MI sebanyak 61 orang, SMP
sebanyak 27 orang, SMU sebanyak 22 orang. Namun, gedung SD hanya ada 3
unit dan 1 unit MI, SMP 1 unit dan SMU juga 1 unit. Kenaikan jumlah anak yang
sekolah makin tinggi setiap tahunnya.
• Pelayanan kesehatan meningkat
Pelayanan terhadap kesehatan meningkat jika dilihat dari sarana yang
tersedia. RS 1 unit yang terdapat di P. Pramuka, puskesmas hanya 1 unit,
posyandi/BKIA sebanyak 5 unit di seluruh Kelurahan P. Panggang, merupakan
253
bentuk peningkatan program pelayanan kesehatan oleh pemerintah. Meskipun
sayangnya fasilitas peralatan dan jaminan kesehatan masih sangat terbatas.
Pelayanan kesehatan ini juga tercermin pada angka pengikut program KB makin
besar.
• Akses listrik terbatas
Menurut hasil Podes 2006 dan survei 2008, hampir semua keluarga di P.
Panggang dan P. Pramuka menggunakan listrik tapi tidak bersumber dari PLN
(Non-PLN). Pemakaian listrik dilakukan dengan sistem pergiliran dan tidak bisa
menyala sepanjang waktu. Jarak yang jauh dan dipisahkan dengan laut menjadi
penyebab belum terpasangnya jaringan listrik dari PLN. Akses listrik yang
terbatas mengakibatkan aktivitas masyarakat yang menggunakan listrik hanya
dapat dilaksanakan di malam hari.
• Pelaksanaan proyek sering terganggu karena korupsi
Masyarakat melihat adanya indikasi korupsi dan pemborosan anggaran
negara dalam proyek-proyek pemerintah. Seperti pembangunan rumah sakit yang
terdapat di P. Pramuka, meskipun bangunan fisik sudah terbangun tetap kurang
berfungsi optimal bagi pelayanan kesehatan karena tidak tersedianya peralatan
yang memadai. Masyarakat melihat terdapat kesalahan dalam pembangunan
sarana umum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau dilaksanakan
tapi tidak optimal. Pemborosan biaya juga terlihat pada sarana-sarana umum lain
seperti WC umum yang terbangun tapi kurang terawat dan tidak terpakai lagi.
Masyarakat menduga biaya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan tidak
terealisasi secara maksimal sehingga kualitas bangunan rendah dan mudah rusak.
• Akses terhadap informasi meningkat
Salah satu kemajuan yang dicapai pemerintah adalah fasilitasi akses
informasi. Menurut hasil survei hampir 97% masyarakat di P. Panggang dan P.
Pramuka, mempunya televisi dan bisa mengakses informasi. Bahkan terdapat
sekiatr 16% responden yang dapat mengakses lebih dari satu sumber informasi.
Disamping penggunaan HP yang masif di kalangan masyarakat menjadi jalan
keluar bagi terbukanya akses informasi dari pulau seribu ke luar. Namun
demikian, hal itu mendorong pola konsumtif dan perubahan kebudayaan. Perilaku
254
individualis, konsumtif, materialis mulai menyerang masyarakat Kelurahan P.
Panggang karena dorongan untuk tampil trendy sesuai mode menjadi ukuran
pergaulan.
Kurangnya pelayanan dan keterbatasan sarana tersebut disebabkan karena
tata kelola pemerintahan yang jelak, perilaku korup birokrasi dalam pelaksanaan
proyek-proyek pembangunan serta faktor geografis dan lingkungan PPK yang
terpencil dan berjauhan satu sama lain.
Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kelurahan P.
Panggang tidak semata disebabkan karena kerusakan sumber daya pesisir dan laut
meskipun hal itu mendempati proporsi masalah terbesar. Namun, kebijakan
pemerintah yang kurang tepat dan faktor eksternal seperti perdagangan bebas,
pola investasi kapitalistik, pemberian hak istiewa yang melahirkan privatisasi
lahan PPK, merupakan penyebab-penyebab lain rendahnya kesejahteraan
masyarakat pesisir. Masalah utamanya menurut pengakuan masyarakat pesisir
adalah karena kurangnya pelayanan pemerintah atau bisa disebut karena
banyaknya kebijakan dalam pengelolaan SDPL dan penanggulangan kemiskinan,
kurang tepat dijalankan. Hal itu mendorong masyarakat berperilaku negatif
dengan merusak ekosistem pesisir dan laut yang berujung pada penurunan daya
dukung ekologis dan lingkungan PPK. Penurunan daya dukung lingkungan dan
ekologis PPK menyebabkan turunnya produktifitas nelayan yang pada gilirannya
menurunkan kesejahteraan. Gambar 14 di bawah ini menjelaskan kausalitas
penurunan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kelurahan P. Panggang. Potret
permasalahan dilihat dari aras mikro (permasalahan pokok), permasalahan
pendukung dan aras makro yang merupakan permasalahan yang lebih berisifat
eksternal.
Gambar 14 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
255
TINGKAT KESEJAHTERAAN
RENDAH
Rendahnya lingkungan
alam
Rendahnya lingkungan
ekonomi
Rendahnya lingkungan
sosial
Rendahnya lingkungan
politik
Kurangnya sarana dan pelayanan
Degradasi SDPL
(TK, dll)
Kualitas pesisir laut & SDPL
menurun
Akses terhadap sumber daya
terbatas
Konflik pemanfaatan SDPL akibat modernisasi perikanan
Fragmentasi politik
Policy bias
Ketergantungan thd pasar
Konsentrasi modal di perkotaan
Ketergantungan thd pasar tinggi
Kurangnya diversifikasi
usaha
Hilangnya sebagian
pendapatan krn korupsi
SDM rendah krn fasilitas
pendidikan tdk memadai
Pola hubungan (patron-klien) yg eksploitatif
Interaksi sosial antar warga
menurun
Konflik pemanfaatan
SDPL
Sarana transportasi antar pulau
terbatas
Fasilitas & tng pengjar
pendidikan terbatas
Tata kelola pemerintahan
yg jelek
Minimnya perawatan
sarana umum
Fasilitas kesehatan & tng medis terbatas
Kompradorisasi
Keterbatasan akses
Pembangunan bias perkotaan Kekurangan
gizi
Pola pembangunan
top-down
Perdagangan bebas
Prilaku negatif individu
Pola investasi kapitalistik
Strategi pengelolaan
SDPL tidak tepat
Privatisasi lahan
Mode produksi kapitalistik
Terbatasnya akses
pembiayaan
KAPITALISME NEGARA
BERKEMBANG
Eksploitasi SPL
berlebihan
Kerentanan usaha nelayan
Akses thd pemanfaatan
SDPL terbatas
Rendahnya produktifitas masyarakat
Keterpencilan & faktor
geografis lain Menguatnya
budaya negative & pola hidup individualis
Policy bias
Perundang-undangan yg
bias
Gagalnya program
kemiskinan
Prilaku korup birokrasi & pemborosan
biaya
256
Gambar 14 menjelaskan hirarki permasalahan dari tingkatan terendah
sampai yang tertinggi. Permasalahan terendah merupakan permasalahan pokok
yang lebih bersifat teknis dan internal. Permasalahan pokok ini dijelaskan dengan
melihat rendahnya lingkungan kontekstual yang dapat menjadi jalan keluar dari
kemiskinan. Perbaikan lingkungan kontekstual setidaknya menjadi pintu masuk
bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional
khususnya. Perbaikan lingkungan alam menjadi prioritas mengingat
ketergantungan penduduk Kelurahan P. Panggang yang sangat tinggi terhadap
kelestarian SDPL. Perbaikan lingkungan alam dapat dilakukan dengan
memperbaiki kebijakan pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan juga dapat dipotong apabila ketidakadilan akibat kekuasaan dan hak-
hak istimewa juga dihapuskan atau setidaknya akses terhadap SDPL dapat
terdistribusi secara adil. Upaya monopolisasi harus dikurangi, elit birokrasi
bekerja sesuai tugas dan peranannya, perundang-undangan dievaluasi kembali dan
masyarakat diberi ruang dan hak dalam kepemilikan lahan PPK. Dengan
perluasan akses bagi masyarakat dalam memanfaatkan SDPL, maka kemiskinan
yang menjerat nelayan tradisional mempunyai harapan untuk dientaskan.
7.2 Katerkaitan Daya Dukung dan Kesejahteraan
Daya dukung suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan
masyarakat dimana terdapat ketergantungan tinggi masyarakat tersebut terhadap
sumber daya ekosistem yang berada di lingkungannya. Garret Hardin (1991)
mengatakan bahwa daya dukung lingkungan penting diketahui karena berkaitan
dengan kualitas hidup manusia. Hardin menambahkan bahwa carrying capacity
merupakan dasar bagi perhitungan populasi penduduk. Mc Call (1995)
menambahkan bahwa daya dukung merupakan alat untuk analisis penggunaan
tanah dan data populasi yang sistematis.
Bagi sebagian kelompok pendukung konservasi (deep ecology) daya
dukung dijadikan sebagai mekanisme untuk melindungi sumber daya alam tanpa
boleh ada intervensi manusia dalam pemanfaatannya. Kelompok ini tidak jarang
menggunakan kekerasan untuk menghalau upaya-upaya yang mengganggu
kelestarian sumber daya alam. Kelompok environmentalis ini sering disebut
257
sebagai kelompok totaliter. Pendekatan lingkungan hidup yang otoriter atau
ekototaliter adalah konsep bahwa skala dan mendesaknya masalah lingkungan
saat ini sudah sedemikian mendesak sehingga kepemimpinan otoriter dan
teknokratis dibutuhkan. Kelompok ini sering juga disebut sebagai ecofasisme.
Ecofasisme menganggap konservasi lingkungan sebagai jauh lebih penting
daripada kehidupan rakyat, khususnya kehidupan rakyat miskin.
Sebaliknya, sebagian kelompok memandang tetap perlu memperhatikan
kelembagaan lokal dan manusia yang berada di lingkungan sumber daya tersebut.
Lingkungan bukan harus diproteksi penuh tanpa ada aktivitas pemanfaatan.
Kelompok ini menekankan perlunya pengetahuan lama, kearifan lokal dan
warisan budaya dalam pengelolaan sumber daya. Kelompok ini sering disebut
ecopopulisme. Kelompok ini terbagi menjadi dua kekuatan besar yaitu
ecopopulisme garis keras dan garis lunak. Bagi pengusung ecopopulisme garis
lunak, pengetahuan rakyat sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah.
Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat, aparat
desa melalui wawancara dan FGD, dapat digambarkan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan rendahnya daya dukung lingkungan. Kausalitas daya dukung dan
tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada Gambar 16. Kepadatan penduduk,
keterbatasan lahan, degradasi ekosistem sumber daya pesisir dan laut, perilaku
negatif individu, lemahnya penegakan hukum dan kebijakan yang tidak tepat/bias.
Pangkal dari semua permaasalahan di atas adalah karena kebijakan yang ada telah
mengalami disorientasi dan bias. Penurunan kesejahteraan ada yang secara
langsung disebabkan karena rendahnya daya dukung lingkungan pulau, namun
dapat juga disebabkan karena faktor lain. Strategi keluar dari kemiskinan dapat
memanfaatkan lingkungan pendukung yang melingkupinya seperti lingkungan
alam, sosial, ekonomi dan politik. Faktor lain yang mempengaruhui kesejahteraan
secara langsung adalah kurangnya sarana dan pelayanan. Rendahnya nilai
lingkungan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang berakibat pada
penurunan kesejahteraan.
Rendahnya daya dukung lingkungan menimbulkan banyak faktor
kelemahan. Daya dukung lingkungan pulau menyebabkan ketersediaan lahan
terbatas, khususnya bagi pemukiman penduduk. Keterbatasan lahan tersebut
258
menyebabkan pemanfaatan ruang untuk sarana umum juga terbatas. Akibatnya
kepentingan publik akan terabaikan karena tidak didukung oleh sarana yang
memadai. Ketika sarana umum terbatas, kebutuhan rakyat untuk memenuhi
hajatnya juga akan terkurangi. Hal itu dapat mengakibatkan kualitas hidup
masyarakat berkurang yang pada gilirannya mendorong peningkatan kemiskinan
bagi masyarakat.
Degradasi ekosistem sumber daya alam yang menyebabkan daya dukung
ekologi turun menyebabkan fungsi ekosistem menurun. Penurunan fungsi
ekosistem mengakibatkan rendahnya produktifitas masyarakat pesisir yang
ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumber daya pesisir dan lautan.
Penurunan produktifitas menurunkan pendapatan dan penghasilan masyarakat
disamping kebutuhan akan pangan dan sandang akan mengalami kesulitan.
Kepadatan penduduk yang tinggi dan tidak didukung oleh lahan yang memadai
menyebabkan kenyamanan berkurang. Hal itulah yang tergambar di Pulau
Panggang khususnya dan P. Pramuka. Survey membuktikan bahwa 46%
responden di P. Panggang luas lantainya berukuran sekitar 80 m2 dan hanya 13%
yang berukuran lebih dari 100 m2. Dengan lahan hanya sekitar 0,62 km2 dan
jumlah penduduk tahun 2008 mencapai sekitar 5481 jiwa, dapat diperkirakan
bahwa kenyamanan hidup masih jauh dari harapan. Berkurangnya kenyamanan
hidup tentu berpengaruh kepada penurunan kualitas hidup yang berujung pada
turunnya kondisi kesejahteraan.
Penetrasi modal melalui pola-pola investasi dan permintaan eksport yang
tinggi memicu terjadinya ketergantungan terhadap pasar. Strategi pertumbuhan
yang diterapkan oleh birokrasi kapitalistik membuka pelebaran pasar dan akses
terhadap perdagangan bebas makin tinggi dan meluas. Masyarakat semakin
terbuka berkomunikasi dengan pasar melalui pola-pola hubungan pengusaha lokal
dan masyarakat pesisir. Permintaan pasar mendorong ekstraksi besar-besaran
terhadap sumber daya pesisir dan laut. Modernisasi perikanan dan akses
tehnologi menjadi ukuran keberhasilan dalam meraih keuntungan di laut dalam
bentuk produksi ikan. Pola ekstraksi berlebihan tersebut mengakibatkan kerusakan
ekosistem sumber daya pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan kualitas
sumber daya. Globalisasi dan perdagangan bebas yang semakin intensif dapat
259
mengakibatkan kerentanan baik terhadap alam, ekonomi, sosial dan politik.
Kerentanan sumber daya ini berakibat kepada kerentanan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Kerusakan sumber daya pesisir dan laut, kemiskinan, kelaparan,
pemanasan global dan keterbelakangan, merupakan dampak dari sistem ekonomi
yang dijalankan akibat mode produksi kapitalistik.
Secara historis ekploitasi terhadap sumber daya alam ini sudah dimulai era
kolonialisme. Menurut Sukarno, era penjajahan gaya baru ini ditandai oleh moda
produksi yang mengerikan. Hal itu ditandai dengan kasus maraknya praktek
illegal fishing, jutaan tanah yang dirubah menjadi perkebunan raksasa, masifnya
hutan yang dibabat dan semakin gencarnya pembangunan gedung-gedung
pencakar langit. Di banyak negara sedang berkembang, ketidaksesuaian nilai dan
ketidak puasan atas mekanisme produksi (ala kapitalisme) tersebut telah
memperkuat keyakinan tentang struktur ketergantungan sebagai hasil
pembangunan berciri kapitalistik. Pola ekonomi yang mendorong Gunder Frank,
Cardoso dan Santos menolak model ekonomi seperti ini menekankan kepada
ekspansi kapital yang sangat sensitif melalui agensi korporasi transnasional
(TNC), terbukti telah merusak tatanan sosial budaya serta sistem ekologi yang
menyisakan kerusakan memprihatinkan.
Ekspolitasi dan penghisapan sumber daya alam termasuk SDPL dalam
mode produksi kapitalistik semata-mata dijalankan guna mendorong pertumbuhan
ekonomi negara kapitalis yang dipersentasikan oleh negara maju dan industri.
Mekanisme ekploitatif via proses pertukaran antar kawasan yang timpang,
menurut Dharmawan (2005) diperlukan bagi tumbuhnya negara-negara pusat.
Namun, ketersedian bahan mentah yang terbatas, keterbatasan akses pemanfaatan
sumber daya bagi masyarakat di daerah pedesaan dan negara berkembang hanya
menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan. Ketimpangan IPM antara Kota-Kota
di DKI Jakarta dengan Kepulauan Seribu merupakan bukti ketertinggalan
tersebut. Akumulasi modal yang terkonsentrasi di Jakarta sebagai pusat industri,
pusat jasa dan perdagangan mengakibatkan Kepulaun Seribu terus tertinggal
dibandingkan kota-kota lain di DKI Jakarta. Intensifnya perdagangan ikan hias,
maraknya penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang, pariwisata bahari,
kepemilikan pulau oleh swasta dan pribadi untuk pemenuhan kepentingan
260
industri, rekreasi dan hiburan, tidak mengakibatkan bertambahnya kesejahteraan
masyarakat pesisir Pulau Seribu. Tetapi sebaliknya, hal itu mendorong
masyarakat Kepulauan Seribu termasuk P. Panggang dan P. Pramuka, berada
dalam kondisi kemiskinan. Letak geografis yang terpencil dan jauh, aksesbilitas
yang terbatas dan rendahnya tingkat penduduk, semakin memiskinkan responden-
responden Kepulauan Seribu.
Fakta itu salah satunya dapat dibuktikan dengan melihat jumlah
perdagangan ikan hias laut. Nilai perdagangan ikan hias dunia sekitar US$ 1
miliar, dengan 10-20% merupakan ikan hias air laut. Pemasok dunia saat ini
dipegang oleh sejumlah negara Asia termasuk Indonesia dan Filipina. Indonesia
sendiri memasok sekitar 60% kebutuhan ikan hias dunia. Sedangkan importir
terbesar adalah Amerika Serikat mencapai 25% dari total import dunia, diikuti
Jepang (12%) dan Jerman (9%) (Poernomo, 2005) dalam Terangi (2007).
Penangkapan ikan di Kepulauan Seribu sendiri dimulai sejak 1960-an. Total
tangkapan dari Maret-September 2005 untuk seluruh jenis ikan sebesar 47.653
ekor. Tercatat sebanyak 155 jenis ikan hias telah ditangkap dalam selang waktu
Maret-September 2005. Namun jika dilihat dari fakta ekologis, persentase
penutupan pada tahun ini di Kepulauan Seribu mencapai rata-rata antara 3.36-
71.83%, dengan nilai rata-rata persentase penutupan karang sebesar 31.36%
(kategori sedang). Disamping itu, jika melihat tingkat kesejahteraan responden di
Kepulauan Seribu pada tahun 2006 tercatat sebanyak 1043 responden dari
160.480 responden di DKI Jakarta. Dilihat dari kondisi fisik rumah dan parameter
kemiskinan lainnya, kebanyakan dari responden nelayan ikan hias masuk dalam
kategori miskin-cukup. Perdagangan ikan hias merupakan contoh nyata aliran
modal dari sumber daya Kepulauan Seribu melalui agen-agen kapitalis nasional
yang banyak berpusat di Jakarta untuk memenuhi permintaan pasar Amerika.
Nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu harusnya bertambah sejahtera, tetapi
faktanya para pengusaha yang mengeksport ikan hias justru yang mendapatkan
banyak keuntungan.
Penetrasi kapital oleh negara maju menuju negara berkembang, dari kota
menuju desa, dari Jakarta menuju Kepulauan Seribu, bagi Larrain, 1989
merupakan bentuk kolonialisme baru terhadap sumber daya alam, dalam konteks
261
interaksi antar daerah maju dan daerah berkembang. Larrain, 1989 dalam
Dharmawan (2004) menyebutkan dua faktor utama yang mendorong negara maju
perlu melakukan eksploitasi sumber daya alam via kolonialisme yaitu :
• Underconsumptionism ; disebabkan prinsip akumulasi yang dianutnya
sehingga masyarakat akan terus terpenjara oleh perasaan kekurangan.
• Search for super-profits; disebabkan oleh utopia tentang the glory of
economic and political power yang selalu diidamkan. Dua dampak
penting dalam penyedotan surplus-ekonomi dari Negara/daerah pinggiran
oleh Negara penjajah adalah rusaknya sendi-sendi struktur sosial
masyarakat terjajah dan hancurnya lingkungan (natural capital).
Tesis Larrian ini mendapatkan pembenaran jika melihat tingkat kerusakan
sumber daya pesisir dan laut di kepulauan Seribu. Persentase penutupan di
Kepulauan Seribu yang mencapai < 5 % adalah bukti kerusakan lingkungan
tersebut. Demikian juga jika diperhatikan dari persentase penutupan karang keras
di wilayah pengamatan Kelurahan P. Panggang yang mencapai 14,81-71,83%
(2004) dan 10,84-67,56% (2005). Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu
karang Kelurahan P. Panggang berada dalam kategori buruk-sedang. Persentase
penutupan karang keras di P. Pramuka sendiri pada tahun 2005 hanya mencapai
16% (buruk). Data ini meneguhkan analisis Larrain (1989) tentang konsekwansi
bagi berlangsungnya pola hubungan produksi kapitalistik ini yaitu munculnya
natural resources are let underdeveloped, akibat pemanfaatan tanpa konservasi.
Akibat lainnya menurut Larrain (1989) dapat mengakibatkan keterbelakangan
komunitas dan bahkan dalam kondisi tertentu bisa memicu munculnya revolusi.
Pengalaman perebutan kemerdekaan Indonesia merupakan contoh yang paling
baik untuk menggambarkan semangat melawan kolonialisme tersebut.
Moda produksi kapitalistik yang bergerak mengikuti arus jalan neo-
liberalisme ini juga ditandai oleh munculnya praktek privatisasi, deregulasi dan
liberalisasi pasar. Fenomena berkembangnya wisata bahari dan kepemilikan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu oleh swasta maupun per orangan adalah
contoh nyata adanya praktek privatisasi sumber daya alam tersebut. Dari sekian
banyak pulau kecil yang digunakan untuk pariwisata bahari, masyarakat di sekitar
pulau tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Nelayan di sekitar tempat
262
wisata tersebut hanya dilibatkan paling-paling sebagai pengantar dengan perahu
wisata atau hanya sekedar menjadi penjaga tempat wisata. Daya serap kegiatan
wisata bahari terhadap masyarakat lokal relative kecil. Masyarakat sekitar tempat
wisata menjadi terbatas aksesnya untuk menangkap sedangkan masyarakat sendiri
tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan tempat wisata. Penetrasi modal
melalui investasi di bidang wisata bahari biasanya menegasikan hukum-hukum
adat lokal, kebudayaan setempat dan peran serta masyarakat. Dengan alasan
kenyamanan dan privasi wisatawan, maka tempat-tempat wisata tersebut harus
dijauhkan dari keterlibatan masyarakat. Demikian logika kapitalistik
meminggirkan nelayan lokal dan mempersilahkan investor asing untuk masuk ke
Kepulauan Seribu.
Pariwisata bahari yang berkembang tanpa pelibatan masyarakat di
dalamnya, merupakan sebuah akses yang ekslusif. Akses ekslusif merupakan
salah satu penyebab kemiskinan. Kaum minoritas dominan merintangi orang lain
untuk mengakses sumber daya yang ada, entah karena keterbatasan atau karakter-
karakter intrinsik sumber daya-sumber daya tersebut sehingga tidak dapat
didistribsikan secara adil. Akses dan kontrol terhadap sumber daya pesisir dan
laut merupakan intensif terbesar bagi masyarakat pesisir. Selama pengelolaan
wisata bahari yang ada di Kepulauan Seribu tidak memberi ruang bagi ikut
sertanya masyarakat dalam mengelola, maka selama itu pula ketimpangan akan
terjadi dan kemiskinan adalah keniscayaan. Masyarakat Kelurahan P. Panggang
khususnya yang terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka harus berdesak-desakan
dengan tingkat kepadatan penduduk yang setiap tahunnya makin tinggi,
sedangkan di sisi lain, banyak pulau-pulau wisata dan pulau-pulau dengan
pemanfaatan lain yang tidak bisa ikut dinikmati oleh nelayan.
Akses yang ekslusif ini terkait juga dengan kepemilikan terhadap sumber
daya alam. Pulau-pulau kecil dan sumber daya alam yang berada di dalamnya di
kepulauan Seribu sudah banyak beralih kepemilikan dari state property menjadi
private property. Pulau-pulau yang harusnya dikelola oleh negara untuk
kemakmuran rakyat justru dimiliki oleh segelintir orang dan kelompok yang
mendapatkan akses melalui kompradorisasi birokrasi. Kepemilikan tersebut telah
berlangsung sejak pemerintahan orde baru yang kental dengan perilaku
263
kompradorisasi birokrasi. Kebanyakan dari pulau-pulau tersebut sudah menjadi
hak milik dan mempunyai sertifikat. Kepemilikan terhadap pulau disertai juga
dengan kepemilikan terhadap sumber daya yang berada di dalamnya. Laut yang
tadinya merupakan common property menjadi semakin sulit diakses khususnya
yang berada di wilayah sekitar pulau milik pribadi atau kelompok tersebut.
Akibatnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
tentunya makin terbatas. Keterdesakan dan tiadanya pilihan tersebut menimbulkan
sikap-sikap destruktif dari masyarakat yang dilampiaskan dengan merusak sumber
daya pesiri dan laut. Perilaku negatif masyarakat tersebut tidak timbul karena
semata culture yang selama ini dituduhkan tapi lebih karena permasalahan
struktural akibat ketiadaan dalam mendapatkan akses terhadap SDPL.
Pembatasan akses dalam pemanfaatan SDPL merupakan wujud dari ketidakadilan
ekonomi dan sosial yang melahirkan kemiskinan.
Marshall Sahlins (1972) meyakinkan bahwa kemiskinan dan ketidakadilan
saling berhubungan. Keterbatasan fisik seperti yang terdapat dalam apa yang
disebut masyarakat primitif, menurutnya mungkin menciptakan sebuah kerapuhan
atau bahkan melahirkan kemiskinan, tapi hal itu tidak meyebabkan kemiskinan
sepanjang sumber daya-sumber daya yang ada dapat diakses dan didistribusikan
kepada orang-orang secara adil. Peruntukan pulau di Kelurahan P. Panggang saja
dari 12 pulau yang masuk di dalamnya hanya 2 pulau yang dijadikan sebagai
lokasi pemukiman yaitu P. Panggang dan P. Pramuka. Pulau-pulau lain seperti P.
Kotok besar, P. Kotok kecil, P. Semak daun, P. Opak kecil dan pulau lainnya
sebagian besar diperuntukkan bagi penghijauan dan pariwisata. Untuk pulau yang
diperuntukkan bagi penghijauan dan cagar alam, pengelolaannya ditangan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu, sedangkan untuk pariwisata biasanya dikelola
oleh swasta. Dari beberapa pulau yang ada, sebagian merupakan pulau yang
termasuk dalam zona pemanfaatan tradisional seperti P. Karya, P. Kotok besar, P.
Kotok kecil, P. Opak kecil, P. Karang Bongkok, P. Karang Congkak dan P.
Semak Daun. Zona pemanfaatan tradisional artinya pemanfaatan SDPL hanya
bisa dilakukan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan tidak
merusak sumber daya, mengingat keberadaan SDPL dalam perlindungan. Namun
faktanya, menurut penuturan masyarakat seringkali kesulitan dan mendapatkan
264
hambatan saat melakukan penangkapan ikan. Pembatasan akses bukan hanya
datang dari pihak swasta dengan sumber daya PL yang sudah menjadi privat
property nya, tetapi juga seringkali bersinggungan dengan pihak taman nasional
laut yang mengelola ekosistem sumber daya PL.
Fenomena kepemilikan lahan-lahan pulau oleh segelintir orang dan
kelompok ini merupakan bentuk monopoli orang kaya terhadap sumber daya-
sumber daya yang sebenarnya tersedia dalam jumlah yang cukup bagi setiap
orang. Hal ini merupakan penyebab kemiskinan yang paling jelas. Monopoli
sumber daya-sumber daya oleh beberapa orang tidak dapat dihitung akibat fakta
kelangkaan -justru sebaliknya, mereka menjadi langka karena dimonopoli- tapi
hanya melalui dominasi dari suatu kelas atau kasta terhadap kelas atau kasta lain.
Keterbatasan akses terhadap sumber daya tersebut harusnya dapat
diselesaikan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak dan program
penanggulangan kemiskinan yang tepat. Namun, alih-alih mengeluarkan
kebijakan yang berpihak kepada masyarakat pesisir yang mayoritas miskin, yang
terjadi justru upaya memiskinkan masyarakat pesisir secara bertahap melalui
pemberlakuan undang-undang pengelolaan pesisir No.27 tahun 2007 yang
berpotensi semakin memperburuk akses nelayan terhadap SDPL khususnya pasal
tentang hak pengelolaan perairan pesisir (HP-3). Kebijakan dan program
pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya PL serta
penanggulangan kemiskinan belum terlaksana dengan baik. Bahkan menurut
pengakuan masyarakat, meskipun mereka cukup senang dengan program-program
pemerintah tersebut tetapi mereka kurang puas karena banyak proyek-proyek yang
terbangun tetapi tidak terawat dan bahkan cenderung mudah rusak. Masyarakat
menilai pembangunan sarana yang mudah disebabkan karena adanya indikasi
korupsi dalam pelaksanaan proyek. Setiap program juga seringkali dilaksanakan
tanpa melihat tingkat kebutuhan masyarakat. Masyarakat merasa tidak
bertanggung jawab terhadap sarana yang ada, akibatnya kerusakan sarana banyak
terjadi pasca pembangunan dilakukan.
Fakta dan uraian di atas sepertinya semakin meneguhkan bahwa kerusakan
ekosistem pesisir dan laut yang berakibat kepada menurunnya daya dukung
lingkungan sesungguhnya terjadi karena ketidakseimbangan kekuasaan di
265
kalangan para pihak yang terlibat. Para pengusaha, pemilik modal pada satu sisi
dan masyarakat pesisir, nelayan, pembudidaya, pedagang kecil dan pengolah kecil
pada sisi lainnya. Pengelolaan SDPL dengan demikian tidak lebih merupakan
ajang pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk mendapatkan akses dan
kontrol terhadap SDPL. Perdagangan bebas, mode produksi kapitalis yang
diusung melalui strategi pertumbuhan ekonomi dengan neo-liberalisme sebagai
payung ideologi terbukti banyak menyisakan kehancuran bagi lingkungan dan
SDPL khususnya. Lemahnya tata kelola pemeritah (weak governance), tidak
jelasnya rezim penguasaan sumber daya alam publik (unclear common property
regimes), ketidakpastian hak-hak property (insecure property right), policy bias
yang melahirkan lemahnya penegakan hukum, merupakan beberapa penyebab
yang melanggengkan ketidakadilan ekologi yang berujung pada kemiskinan
masyarakat pesisir. Paradigma pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
masih bias pada otoritas kelembagaan pemerintah ketimbang pada kemampuan
rakyat, bias pada otoritas ilmu pengetahuan modern ketimbang pada ilmu
pengetahuan lokal, bias kepada kepentingan pemodal ketimbang kepentingan
rakyat miskin, bias kepada perkotaan ketimbang pedesaan dan bias kepada daratan
ketimbang lautan.
Daya dukung lingkungan menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir menurun. Penurunan daya dukung berakibat pada ketersediaan rumah
yang layak terbatas serta sarana umum tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.
Keterbatasan akses sarana umum mengakibatkan kepentingan publik tidak
terpenuhi dengan baik dan itu artinya tingkat kesejahteraan masyarakat berkurang.
Daya dukung lingkungan PPK juga mengakibatkan produktifitas masyarakat
menurun. Penurunan kualitas SDPL akan mengganggu produksi sumber daya
ikan di ekosistem laut tersebut. Penurunan produksi berpotensi menurunkan
pendapatan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir umumnya yang sangat
menggantungkan hidupnya dari keberadaan ekosistem SDPL. Pendapatan rendah
merupakan ciri utama dari rendahnya kesejahteraan.
Rendahnya daya dukung lingkungan mengakibatkan kenyamanan hidup
berkurang dan kualitas hidup berkurang. Selain itu rendahnya daya dukung
lingkungan PPK mengakibatkan keterbatasan PPK dalam memenuhi kebutuhan
266
pokok masyarakat pesisir kelurahan P. Panggang. Keterbatasan tersebut
mendorong ketergantungan yang tinggi terhadap pasar. Pasar bebas senantiasa
menekankan pada akumulasi modal dan maksimalisasi keuntungan. Logika
ekonomi tersebut tidak mengindahkan pola investasi yang masuk, apakah
produktif, non produktif atau destruktif. Kecenderungan untuk memaksimalkan
keuntungan memicu terjadinya pemanfaatan SDPL secara destruktif dengan
bantuan modal yang intensif dan padat teknologi. Pemanfaatan lahan secara
destruktif mengakibatkan kualitas SDPL menurun dan pada gilirannya
menjadikan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial mengalami kerentanan yang
tinggi. Rentannya kondisi ekologi, ekonomi dan sosial memicu terjadinya
penurunan tingkat kesejahteraan karena SDPL sudah tidak bisa lagi berfungsi
dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal.
Rendahnya daya dukung ekologi dan lingkungan PPK menyebabkan
tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir rendah. Kausalitas daya dukung
lingkungan dan tingkat kesejahteraan dijelaskan pada Gambar 15.
7.3 Analisis Kebijakan
Kebijakan merupakan cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu
dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya
dengan mneggunakan instrument tertentu (ICRAF, 2003). Kebijakan dapat
dinyatakan dalam berbagai hal antara lain : 1) instrumen legal (hukum) seperti
peraturan perundangan; 2) instrumen ekonomi seperti kebijakan fiskal, pajak,
subsidi, harga, kebijakan keuangan, moneter, finansial; 3) petunjuk, arahan atau
instruksi dan perintah; 4) pernyataan politik semata dan 5) kebijakan dapat
dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, rencana, program
dan diterjemahkan dalam proyek pembangunan serta rencana anggaran tertentu.
267
GAMBAR 15
268
Tujuan utama dibuatnya sebuah kebijakan pada dasarnya adalah untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada, tehnik atau cara mengatasinya, tujuan
yang akan dicapai, kepentingan yang diinginkan, aktor yang terlibat, instrumen
serta aturan yang akan dipakai untuk menjalankan instrumen. Kebijakan dibuat
untuk mengatasi masalah. Hubungan sebab akibat antara masalah dan penyebab
masalah serta apa pengaruh dan dampak akibatnya jika suatu masalah diatasi atau
suatu tindakan diambil pemerintah untuk mengatasi suatu masalah, perlu
dianalisis dengan seksama.
Kebijakan yang akan diamati dalam kasus ini adalah untuk melihat
bagaimana pemerintah menyelesaikan permasalahan terkait dengan pengelolaan
sumber daya pesisir dan laut. Rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis
pulau sangat terkait dengan kebijakan pengelolaan sumber daya pesisir dan
lautnya. Demikian juga perkembangan tingkat kesejahteraan, akan dibahas
kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan
di Kepulauan Seribu dan kelurahan Panggang khususnya. Analisis kebijakan
akan berbasis kepada hasil survey dan studi literatur terhadap kebijakan terkait
yang dibahas secara deskriptif. Analisis akan dilihat kesesuaiannya dengan aliran
ideologi bawaannya sehingga dapat dianalisis letak keberhasilan dan kegagalan
dari kebijakan tersebut.
7.3.1 Kebijakan Pengelolaan SDPL dan Pengentasan Kemiskinan
Persepsi Responden Terhadap Kebijakan Pemerintah
Mengukur keberhasilan kebijakan, menarik untuk melihat bagaimana
persepsi masyarakat terhadap perhatian pemerintah, kebijakan yang telah
dilaksanakan, bentuk program dan pihak yang mengeluarkan kebijakan.
269
Tabel 84 Persentase Responden Menurut Perhatian, Peraturan dan Pihak yang Membantu Usaha Perikanan (%)
Karekteristik kebijakan P. Panggang P. Pramuka Total
Perhatian pemerintah tinggi, sangat perhatian 30.00 11.11 21.05cukup perhatian 36.67 59.26 47.37kurang perhatian 33.33 29.63 31.58
Total 100.00 100.00 100.00Peraturan pemerintah dalam pengelolaan SDPL ada 68.00 75.00 71.43tidak ada 20.00 12.50 16.33tidak tahu 12.00 12.50 12.24
Total 100.00 100.00 100.00 Sumber : Data Primer
Tabel 84 menggambarkan bahwa pemerintah cukup berhasil dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari total responden di P. Panggang
dan P. Pramuka, sekitar 47.37% responden menyatakan bahwa perhatian
pemerintah cukup tinggi, 31.58% menyatakan kurang/tidak perhatian dan hanya
sekitar 21.05% yang menyatakan sangat perhatian. Angka tersebut menunjukkan
kecenderungan yang sama jika diperhatikan persepsi masyarakat terhadap
perhatian pemerintah baik di P. Panggang maupun P. Pramuka. Perhatian
pemerintah yang dimaksud adalah bentuk-bentuk program pemerintah baik berupa
sarana pelayanan, fasilitasi modal, pasar, pelatihan dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Data ini cukup relevan jika dibandingkan dengan hasil penelitian Baihaqie (2004)
di P. Panggang yang menyatakan bahwa akar permasalahan dari sekian banyak
permasalahan di P. Panggang disebabkan karena kurangnya pelayanan
pemerintah.
Baihaqie (2004) mencatat beberapa permasalahan di P. Panggang
berdasarkan derajat keparahannya antara lain : 1) perilaku individu (31,37%) ; 2)
pemerintah tidak melayani (15,69%); pembangunan tidak sesuai (15,96%); 4)
SDM manusia rendah (9,80%); 5) Rendahnya ekonomi (9,80%) ; 6) sosial
semakin turun (9,80%); 7) kerusakan alam (3,92%) dan 8) hukum kurang
ditegakkan (3,92%). Dari hasil tersebut terlihat bahwa permasalahan terparah
kedua dan ketiga disebabkan karena kebijakan pemerintah yang tidak tepat dan
270
kurang memberikan pelayanan yang baik. Bahkan masyarakat menganggap
bahwa perilaku individu negatif masyarakat seperti apatis, malas, kurang kreatif,
tidak bertanggung jawab dan lainnya terjadi karena disebabkan kurangnya
pelayanan pemerintah dan kebijakan yang kurang tepat (policy bias).
Dengan menggunakan metode Logic Frame Analysis (LFA), Baihaqie
(2004) bersama masyarakat menyatakan bahwa akar permasalahan dari sekian
masalah yang ada bersumber dari kurangnya pelayanan pemerintah dan
banyaknya pembangunan yang tidak sesuai. Pola pembangunan masih dijalankan
dengan pola top-down dengan menegasikan peran masyarakat, pemerintah
seringkali mengambil inisiatif sendiri tanpa melihat kebutuhan masyarakat.
Akibatnya banyak program yang tidak jalan, sarana umum tidak terawat dan
akhirnya masyarakat apatis terhadap pembangunan yang ada. Masyarakat juga
mengatakan bahwa kurangnya koordinasi dan komunikasi antar pemerintah dalam
berbagai lapisan menjadi penyebab ketidaksinergisan program pembangunan yang
ada. Masyarakat juga melihat adanya indikasi korupsi pada banyak proyek yang
dijalankan sehingga sikap masyarakat menjadi semakin cuek dan tidak percaya
kepada pemerintah.
Persepsi masyarakat tersebut patut menjadi perhatian karena ternyata
responden responden menyatakan bahwa kebijakan tentang pengelolaan SDPL itu
memang ada. Sekitar 71.43% mengakui bahwa terdapat peraturan pemerintah
dalam pengelolaan SDPL, 16,33% menyatakan tidak ada dan sekitar 12,24%
menyatakan tidak tahu. Masyarakat mengetahui kebijakan tentang pengelolaan
yang dimaksudkan adalah aturan tentang larangan pengrusakan dan pemanfaatan
secara tidak benar sumber daya pesisir dan laut. Peraturan tersebut terpampang
jelas di pintu masuk pulau dan hampir semua masyarakat dan tamu yang masuk
mengetahui hal tersebut. Namun, jika ditanyakan tentang kebijakan pengelolaan
SDPL yang lain selain larangan tersebut, masyarakat tidak mengetahuinya.
Menurut masyarakat, pemerintah kurang menanggapi permasalahan yang
berkembang, tidak memberikan penyuluhan walaupun ada kebutuhan masyarakat
membuat peraturan desa dan masyarakat kurang mengetahui berbagai aturan
perundangan terkait dengan pengelolaan SDPL.
271
Satu-satunya peraturan yang banyak dikenal masyarakat adalah larangan
melakukan pengrusakan terhadap SDPL yang akan dikenakan sangsi bagi yang
melanggarnya. Beberapa aturan tersebut adalah :
Tabel 85 Jenis Larangan, Dasar Hukum dan Sanksi dalam Pengelolaan SDPL Kepulauan Seribu
Jenis Larangan Dasar Hukum Sanksi
Menangkap ikan dengan menggunakan potasium, bahan peledak dan jaring trawl
Pasal 6 Yo pasal 24 UU No.9 Th 1985
Penjara max 10 tahun atau denda max 100 juta
Mengambil pasir laut dan terumbu karang tanpa ijin
Pasal 41 Yo pasal 23 UU No.9 Th 1997
Penjara max 10 tahun atau denda max 500 juta
Mendirikan/menempatkan bagan
Perda no.11 th 1988 Pembongkaran secara paksa
Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
Pasal 40 UU No.5 Th 1990
Penjara max 10 tahun atau denda max 200 juta
Membajak/merompak kendaraan air
Pasal 438;439;440 dan 441 KUHP
Penjara max 10 tahun atau denda maz 100 juta
Sumber : TNKS, 2008
Peraturan di atas harusnya bisa membuat jera masyarakat yang
melanggarnya. Namun, karena penegakan terhadap hukum dan setiap pelanggaran
tidak pernah dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku, maka masyarakat
menjadi apatis dan tidak percaya kepada aparat hukum. Parahnya apatisme
masyarakat tersebut berakibat kepada semakin maraknya aksi-aksi pengrusakan
dilakukan oleh masyarakat. Karena kosongnya penegakan hukum, masyarakat
memanfaatkan celah kekosongan tersebut untuk berbuat kerusakan. Aksi negatif
masyarakat tersebut juga didasarkan atas fakta menurut masyarakat bahwa
pemerintah dan aparat hukum cenderung melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi
pengrusakan yang ada dan bahkan masyarakat menemukan bahwa sarana
pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, pondasinya dibuat dari batu karang.
Bukannya menegakkan atau mematuhi aturan yang ada, justru pemerintah kadang
melakukan aksi pengrusakan serupa, dan hal itu jelas diketahui oleh aparat
hukum. Ketidakjelas penegakan aturan dan penegakan hukum tersebut membuat
perilaku destruktif dan negatif masyarakat muncul di P. Panggang.
272
Ketidakjelasan aturan tersebut membuat masyarakat tidak banyak mau tahu
dengan program yang ada dan buktinya banyak sarana yang tidak terawat.
Masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah banyak memberikan
bantuan terhadap usaha perikanan khususnya. Beberapa instansi pemerintah dan
lembaga lain yang memberikan bantuan baik berupa bantuan fisik, pelatihan
maupun pelayanan masing-masing adalah : (1) Pemerintah daerah Kabupaten
Administrasi kepulauan Seribu (70%); (2) Pemerintah daerah Propinsi DKI
Jakarta (30%); (3) perorangan (21%); (4) DKP pusat (14%); (5) organisasi
masyarakat/paguyuban (9 %); (6) LSM dan swasta masing-masing (7%) dan (7)
perguruan tinggi (2%).
Data di atas menyebutkan bahwa peran pemerintah daerah Kepulauan
Seribu sangat besar diikuti oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta, DKP pusat dan
perorangan. Sedangkan peran LSM, ormas, dan perguruan tinggi masih sangat
rendah. Fakta membenarkan fungsi dan peran pemerintah khususnya pemerintah
Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu sebagai yang paling bertanggung jawab
terhadap sumber daya pesisir dan laut serta masyarakat Kepulauan Seribu. Data
ini juga menggambarkan bahwa peran perorangan juga cukup besar dalam
memberikan bantuan. Hal ini ternyata banyak dilakukan oleh para calon kepala
desa/calon Bupati/Calon legislatif yang banyak turun ke lapangan menjelang
pemilihan, disamping terdapat beberapa anggota masyarakat yang secara
perorangan melakukan pendampingan.
Peran LSM dan ormas cukup besar dalam pembangunan di P. Panggang
dan P. Panggang. Salah satu LSM yang secara intensif melakukan pendampingan
khususnya dalam hal pengelolaan terumbu karang adalah yayasan terumbu karang
Indonesia (TERANGI). Yayasan ini banyak memberikan penyadaran kepada
masyarakat tentang arti penting terumbu karang dan mengajarkan kepada
masyarakat tentang cara budidaya terumbu karang. Yayasan ini juga rutin
melakukan pengamatan tentang status dan kondisi terumbu karang di seluruh
Kepulauan Seribu secara rutin dan berkala. Dengan pendampingan yang
dilakukan Terangi, masyarakat mengakui bahwa kesadaran masyarakat semakin
tinggi untuk memelihara ekosistem TK dan kegiatan pengrusakan semakin
menunjukkan penurunan. Sedangkan perguruan tinggi yang aktif memberikan
273
bantuan kepada masyarakat Kepulauan Seribu dan kelurahan P. Panggang
khususnya adalah Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB.
Beberapa program yang pernah dijalankan PKSPL antara lain menggalakkan
budidaya kerapu dengan sistem Sea farming (saat ini masih berjalan),
pendampingan sosial, penyadaran lingkungan dan bantuan sosial lainnya.
Implementasi kebijakan dapat diperhatikan dari program kerja. Masyarakat
mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap program kerja yang ada di
Kepulauan Seribu.
Selain yayasan Terangi dan PKSPL, beberapa organisasi nelayan ikan hias
dan LSM juga pernah melakukan program-program pemberdayaan dan penguatan
kelembagaan. Setiap lembaga mempunyai misi dan bentuk gerakan yang
berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing. Secara umum pemataan
terhadap para aktor yang melakukan kerja-kerja sosial dan ekonomi di Kelurahan
P. Panggang digambarkan dalam Tabel 86 berikut.
Tabel 86 Profil LSM/Lembaga/Organisasi Masyarakat
Nama LSM/Org/Lembaga
Orientasi Gerakan
Wilayah kerja
Pendanaan Bentuk program
Waktu Pendampi-
ngan Terangi Perlindungan
ekosistem terumbu karang, riset dan penguatan kelembagaan masyarakat
Kepulauan Seribu
Donatur luar negeri Pemerintah pusat, daerah
Pendampingan, penelitian terumbu karang, avdokasi
Jangka panjang
Pernitas (Perhimpunan nelayan karang ikan hias)
Perlindungan terumbu karang dan ikan hias
Kepulauan Seribu
TNKS Rehabilitasi, penyadaran
Jangka panjang
TNKS Perlindungan ekosistem pesisir dan laut Konservasi SDA Penegakan hukum
Kep. Seribu Pemerintah pusat dan daerah
Pengembangan manajemen, Pemberdayaan masyarakat, konservasi, penyuluhan konservasi, penegakan hukum
Jangka panjang
274
Nama LSM/Org/Lembaga
Orientasi Gerakan
Wilayah kerja
Pendanaan Bentuk program
Waktu Pendampi-
ngan PKSPL Pengelolaan
wilayah pesisir dan PPK Pengembangan ekonomi produktif Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM
P. Panggang dan P. Pramuka Kep. Seribu
Pemerintah daerah
Pemberdayaan masyarakat, pendampingan, pengembagan manajemen
Jangka panjang
Kolompis Perlindungan terumbu karang dan ikan hias
P. Panggang TNKsP dan swadaya
Rehabilitasi, penyadaran, advokasi
Jangka panjang
SALAM Penguatan kapasitas kelembagaan Membangun tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
P. Panggang dan Kep. Seribu
Pemerintah dan Swadaya
Pendampingan, penguatan kapasitas kelembagaan
Jangka pendek
WALHI Pengelolaan lingkungan laut
P. Panggang dan Kep. Seribu
Swadaya/Donatur asing
Penyadaran lingkungan, advokasi
Jangka pendek
Berbagai lembaga dan organisasi baik formal maupun informal datang ke
Kelurahan P. Panggang masing-masing dengan orientasi gerakan dan tujuan yang
berbeda-beda sesuai lingkup wilayah organisasi dan program yang dibawa.
Namun bagi masyarakat Kelurahan P. Panggang, peran pemerintah baik pusat
maupun daerah tetap yang paling utama diharapkan dapat banyak membantu
meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Melalui berbagai bentuk
program, pemerintah membantu masyarakat.
Tabel 87 menggambarkan bentuk program atau proyek yang pernah ada di
P. Panggang dan P. Pramuka. Bentuk proyek yang paling sering diterima oleh
responden P. Panggang dan P. Pramuka adalah pelatihan. Sebanyak 55.32%
responden di kedua pulau tersebut menyatakan bahwa mereka sering menerima
pelatihan terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut (rehabilitasi
terumbu karang, mangrove dan ekosistem lain), pemberdayaan ekonomi pesisir
dan beberapa pelatihan lainnya. Bentuk proyek terbanyak kedua yang diterima
oleh responden di P. Panggang dan P. Pramuka adalah bantuan modal yang
275
dinyatakan oleh sekitar 48.94% responden. Selanjutnya sekitar 19.15% menerima
bantuan fisik, sekitar 8.51% berupa pendampingan dan sisanya yaitu sekitar
19.5% adalah program-program lainnya.
Tabel 87 Persentase Responden Menurut Bentuk dan Kebijakan yang Memberatkan (%)
Karakteristik Kebijakan P. Panggang
P. Pramuka Total
Bentuk program bantuan fisik 29.17 8.70 19.15 bantuan modal 41.67 56.52 48.94 pelatihan 50.00 60.87 55.32 pendampingan (penyadaran) 12.50 4.35 8.51 lainnya 20.83 17.39 19.15 Kebijakan yang memberatkan BBM naik 33.33 0 16.67 Larangan alat tangkap terlarang 33.33 0 16.67 Penempatan lokasi kapal 33.33 0 16.67 Larangan Potasium 0 33.33 16.67 Peraturan penangkapan 0 33.33 16.67 Perda 0 33.33 16.67
Sumber : Data Primer
Bagi masyarakat tidak semua kebijakan meringankan bagi kehidupan
mereka. Sebagian anggota masyarakat merasa berat untuk melaksanakan
kebijakan yang ada. Beberapa kebijakan yang bagi masyarakat cukup berat
menjalankannya antara lain Kenaikan BBM, larangan menggunakan alat tangkap
terlarang, larangan menggunakan potasium, penempatan lokasi kapal, peraturan
tentang penangkapan dan beberapa peraturan daerah yang mengatur tentang
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Sebagian besar kebijakan yang
memberatkan berupa peraturan yang melarang melakukan aktivitas yang dapat
merusak lingkungan laut. Hanya kebijakan kenaikan BBM yang berasal dari
faktor eksternal dan tidak berupa larangan.
Kenaikan BBM sangat wajar jika memberatkan masyarakat. Sekitar 40%
biaya operasional untuk melaut adalah berasal dari BBM. Kenaikan harga BBM
memicunya tinggi biaya operasional, sedangkan kenaikannya seringkali tidak
dibarengi dengan nilai jual ikan hasil tangkapan. Sehingga seringkali nelayan
khususnya mengalami banyak kerugian. Akibat kenaikan BBM banyak nelayan
276
yang tidak melaut karena merugi. Jika musim sedang tidak bersahabat, contohnya
ketika masuk musim Barat seperti kenaikan BBM tahun 2008 kemaren bersamaan
dengan musim Barat yang biasanya karean angin besar, banyak nelayan yang
tidak melaut. Maka kenaikan BBM diiringi oleh kondisi alam yang tidak
bersahabat tersebut menambah panjang penderitaan nelayan. Belum lagi kenaikan
harga pokok akibat kenaikan BBM, semakin memperburuk kualitas hidup nelayan
dan masyarakat pesisir umumnya. Parahnya, pemerintah seringkali tidak
mengimbanginya dengan kebijakan lain yang meringankan beban hidup
masyarakat pesisir.
Beberapa program pernah digulirkan dalam rangka mengatasi kenaikan
BBM antara lain pemberian subsidi bagi harga solar sekitar Rp 100.000,- per liter,
program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan terakhir
pemberian BLT. Pemberian subsidi BBM ternyata tidak sampai di harga eceran
yang berlaku di P. Panggang dan P. Pramuka. Pedagang pengecer tetap saja
menaikkan harga solar di atas harga sebelum kenaikan BBM karena bagi
pedagang, biaya transportasi dan biaya lainnya mengalami kenaikan. Tetap saja
nelayan yang sudah miskin tidak bisa mendapatkan harga solar yang rendah.
Program PEMP yang dijalankan DKP sejak tahun 1999 ternyata sampai tahun
2008 ini belum menyentuh masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka.
Faktanya ketika ditanyakan tentang program PEMP, hampir semuah responden
menyatakan tidak mengetahui program tersebut, apalagi mendapatkannya.
Sedangkan program terbaru yang digulirkan pemerintah dalam rangka
menanggulangi kenaikan BBM adalah pemberian BLT. BLT ternyata banyak
mengalami bias sasaran karena yang dipergunakan adalah data tahun 2005,
sehingga banyak masyarakat yang sebetulnya tidak berhak karena kehidupannya
sudah membaik, masih mendapatkannya. Sebaliknya masyarakat yang seharusnya
berhak, ternyata tidak bisa mendapatkannya.
Sedangkan kebijakan lain yang memberatkan rata-rata berupa pelarangan
melakukan aktivitas destruktif yang dapat merusak lingkungan laut. Peraturan
seperti penangkapan ikan dengan potasium, alat tangkap terlarang dan
pemasangan alat tangkap, memang terpampang jelas di pintu masuk P. Panggang
dan P. Pramuka. Masyarakat merasa bahwa peraturan yang memberikan sanksi
277
berat terhadap pelanggarnya tersebut tidak efektif dan tidak ditegakkan dengan
baik oleh pemerintah dan aparat hukum. Jika aturan tersebt ditegakkan dengan
baik, harusnya tidak ada lagi aksi-aksi kerusakan sumber daya laut dan pesisir.
Tapi faktanya, masih sering ditemukan aksi-aksi pengrusakan tersebut.
Masyarakat mengakui bahwa pemerintah pernah menjatuhkan sanksi penjara bagi
nelayan pengguna potasium, namun hal itu tidak berjalan lama. Masyarakat
kemudian menjadi apatis terhadap aturan pelarangan tersebut dan menganggap
bahwa peraturan tersebut hanya sebatas papan nama dan tidak lebih. Bahkan
masyarakat melihat bahwa aparat hukum dan pemerintah sepertinya melakukan
pembiaran terhadap praktek negatif di laut. Sebagian masyarakat lainnya justru
melihat pemerintah kadangkala menggunakan terumbu karang untuk pondasi bagi
sarana umum yang dibangun di Pulau Seribu. Padahal dalam aturan sangat jelas
bahwa dilarang menggunakan pasir dan terumbu karang tanpa ijin, bagi pelanggar
akan dikenakan sanksi 500 juta atau kurungan penjara 10 tahun. Kekosongan
penegakan hukum, perilaku pemerintah yang ikut merusak sumber daya alam,
mengakibatkan masyarakat merasa keberatan dengan pemberlakuan larangan
tersebut.
Keberatan masyarakat juga didasari oleh kondisi keterdesakan akibat
menurunnya produktifitas perikanan. Sebagian masyarakat menggunakan
potasium, selain karena faktor kebiasaan, mereka juga terdesak oleh kondisi alam
yang fluktuatif sehingga produktifitasnya juga tidak menentu. Beroperasinya
kapal-kapal arad (trawl) menyebabkan kerusakan lingkungan laut dan penurunan
produksi ikan Kepulauan Seribu. Kebutuhan hidup yang makin tinggi dan
banyak, barang-barang konsumsi mahal, kenaikan BBM, kenaikan harga pokok
dan pola hidup yang berubah, menyebabkan responden nelayan untuk menempuh
jalan singkat agar mendapatkan ikan tangkapan. Menangkap dengan
menggunakan alat tangkap terlarang seperti potasium dan aksi-aksi pengrusakan
ekosistem lain, adalah pilihan terakhir bagi masyarakat pesisir. Kebijakan yang
berupa larangan tersebut terbukti tidak efektif menjerat pelaku pengrusakan
SDPL. Karena faktornya bukan semata culture atau karena pendidikan rendah
tetapi lebih bersifat struktural dan keterbatasan akses pemanfaatan terhadap
SDPL.
278
Keterlibatan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan
Tingkat partisipasi masyarakat sangat menentukan baik buruknya
pengelolaan SDPL dan keberhasilan pembangunan. Hasil survey menunjukkan
bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan masih sangat
rendah.
Tabel 88 Persentase Responden Menurut Partisipasinya dalam Pengambilan Keputusan (%)
Faktor kelembagaan P. Panggang P. Pramuka Total
Pengambilan keputusan/partisipasitidak pernah 40.00 55.56 47.37kadang-kadang ikut 46.67 44.44 45.61selalu ikut serta 13.33 0 7.02
Total 100.00 100.00 100.000 Sumber : Data Primer
Tabel 88 menunjukkan bahwa 47% penduduk merasa tidak pernah
dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan pengelolaan SDPL
maupun kegiatan lainnya. Hanya sekitar 7% responden yang merasa selalu ikut
serta dan diajak oleh pemerintah baik di tingkat Kabupaten ataupun aparat desa
dalam pengambilan keputusan. Kelompok masyarakat tersebut diduga adalah
para tokoh masyarakat dan kaum elit desa. Masyarakat mengakui bahwa
kesalahan pembangunan terletak kepada kurangnya pelayanan pemerintah akibat
kurangnya mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam setiap
pelaksanaan program. Selain pemerintah dalam pelaksanaan program/proyek
seringkali hanya menghubungi tokoh masyarakat tertentu dan kelompok
masyarakat tertentu, hal ini menimbulkan iri hati dan ketidaksenangan kelompok
lain. Akhirnya perilaku seperti ini seringkali menimbulkan friksi dan
terbentuknya kelompok-kelompok kecil yang potensial besar menjadi konflik
sosial. Konflik sosial antar warga adalah pemicu mengendornya kohesitas
masyarakat dan interaksi antar warga menjadi beku dan rusak. Konflik antar
warga akan mempengaruhi setiap program yang berjalan di wilayah ini sekaligus
menjadi potensi kerusakan bagi SDPL.
Minimnya partisipasi masyarakat ini pula menunjukkan bahwa pemerintah
dalam menjalankan program pembangunan tidak menyesuaikan diri dengan
279
kebutuhan masyarakat. Hal itu terbukti dari banyaknya sarana pembangunan yang
kemudian tidak terawat setelah terbangun dan mengalami kerusakan. Mekanisme
konsultasi publik dan musyawarah sebelum pelaksanaan kegiatan atau
perencanaan pembangunan semestinya dilakukan terlebih dahulu dengan
melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Keterlibatan
masyarakat akan mendorong pertanggungjawaban oleh masyarakat yang
berdampak kepada keberlanjutan program atau proyek. Contoh seperti adanya
banyak sarana umum rusak seperti WC umum, dermaga, TPI dan sarana lainnya
merupakan bukti dari kurang pekanya pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat.
Pemerintah seringkali menjadi pihak yang selalu mengambil inisiatif dan
cenderung menegasikan masyarakat serta selalu menganggap masyarakat bodoh,
tidak berpendidikan, tidak informatif dan perilaku negatif lain. Fakta bahwa
banyak responden dengan pendidikan tertinggi SD dan SMP bukan berarti mereka
bodoh karena pada setiap masyarakat mempunyai pengalaman hidup sendiri-
sendiri dan masyarakat biasanya mempunyai tingkat kearifan tertentu yang
dimiliki oleh setiap orang dan setiap komunitas.
Renstra dan Program
Kebijakan dibuat untuk menjawab kepentingan umum dan mengatasi
permasalahan yang ada. Kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah dan
publik untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan
mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Mengamati sebab akibat
sebuah masalah penting dalam penyusunan kebijakan. Karena bisa jadi kebijakan
dibuat untuk mengatasi masalah tetapi tujuannya untuk kepentingan sekelompok
orang, partai atau untuk kepentingan pemerintah sendiri. Untuk melihat kadar
keberhasilan kebijakan, setidaknya bisa melihat bagaimana visi, misi, tujuan dan
strategi dari pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dibuat.
Visi kepulauan seribu adalah ”Kepulauan Seribu sebagai ladang dan taman
kehidupan bahari yang berkelanjutan. Misi : 1) Mewujudkan wilayah Kepulauan
Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari ; 2) Menegakkan hukum yang
terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan.
Sedangkan tujuannya adalah :
280
1) Kelestarian Kepulauan Seribu sebagai satu kesatuan gugus ekosistem.
2) Terwujudnya kelestarian dan berkembangnya fungsi sumber daya
kelautan.
3) Berkembangnya pariwisata Kepulauan yang berkualitas dan berkelanjutan.
4) Terkendalinya pertumbuhan dan meningkatnya kualitas kehidupan SDM.
5) Terciptanya kenyamanan dan kemudahan melalui pengadaan prasarana
dan sarana Kepulauan.
Untuk perwujudan visi, misi dan tujuan dibuat skenario rencana strategi
pencapaian selama periode 2008-2012. Skenario rencana strategi ini diturunkan
lagi menjadi program-program kerja yang diselenggarakan oleh dinas-dinas
terkait. Point dari rencana strategi tersebut antara lain :
1) Menjadikan Kepulauan Seribu Sebagai Destinasi wisata bahari yang
berskala nasional/internasional.
2) Pemanfaatan dan Pengelolaan Perairan guna pengembangan ekonomi
berbasis masyarakat melalui budidaya perikanan.
3) Meningkatkan nilai tambah ekonomi yang berdaya saing (Competitive)
dan berkelanjutan dengan membangun sektor unggulan di masing-masing
wilayah (One Product One Village).
4) Penegakan supremasi hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan
dan segala aspek kehidupan.
5) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur melalui
penguasaan IPTEK.
6) Pengembangan sistem manajemen kepegawaian, struktur organisasi dan
administrasi publik yang efisien, efektif, transparan, akuntabel dan
profesional.
7) Mencegah dan meminimalisir dampak negatif pembangunan infrastruktur
terhadap daya dukung lingkungan dan Sumber Daya Alam.
8) Meningkatkan pembangunan sarana / prasarana fisik guna mengatasi
masalah-masalah antara lain : Pemukiman kumuh, abrasi, air bersih,
pencemaran laut, mitigasi bencana, transportasi, sampah, pengambilan
karang, dsb.
281
9) Pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya alam guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Gas / Air Strip).
10) Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat dengan
membangun sarana / pra sarana yang dibutuhkan serta tenaga SDM yang
berkualitas.
11) Pemerataan pendidikan dengan membuka kesempatan pendidikan seluas-
luasnya kepada masyarakat baik di tingkat SD, SMP mupun SMU /
Kejuruan.
12) Penataan dan pembangunan pranata sosial dengan mengoptimalkan peran
serta masyarakat
13) Meningkatkan dan membangun infrastruktur ekonomi yang baik
(termasuk pelayanan investasi guna menarik investor yang simple,
kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia usaha / Public Private
Partnership).
14) Meningkatkan kualitas ekosistem pulau dan perairan serta melakukan
konservasi lingkungan fisik, perairan dan keanekragaman hayati.
15) Menjadikan Kepulauan Seribu sebagai basis / Pilot Project penataan dan
pemanfaatan perairan dalam skala nasional / internasional.
Program Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu
• Bidang Ekonomi
1. Rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang,
padang lamun, pohon produktif)
2. Pengembangan Sea Farming Right, teknis sosial ekonomis, sumber daya
dan lingkungan
3. The Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island)
4. Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu
5. Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
6. Pemanfaatan Pujasera di Pulau Untung Jawa
7. Pengembangan fasilitas Docking kapal nelayan di Pulau Untung Jawa
8. Peningkatan menara pengawas / pengintai di P. Untung Jawa
282
• Bidang Kesejahteraan Masyarakat
1. Pembangunan Puskesmas di Pulau Lancang
2. Kegiatan wisata bahari oleh pelajar
3. Magang pemuda Kepulauan Seribu
4. Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu
5. Penyediaan lahan pemakaman
6. Pembangunan tribun lapangan sepakbola Pulau Pramuka
7. Pembangunan lapangan tenis dan futsal di Pulau Karya
8. Peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan
kelembagaan
9. Rehap rumah dinas guru di Pulau Pari dan Pulau Panggang
Program Prioritas Wilayah Tahun 2008
1. Menjadikan Pulau Lancang sebagai kawasan wisata andalan kedua setelah
Pulau Untung Jawa
2. Menjadikan Pulau Tidung Kecil sebagai kawasan wisataagro dan edukasi
3. Meningkatkan kualitas lingkungan Pulau Pramuka sebagai kawasan
percontohan (Ibukota Kabupaten)
4. Penyediaan pemukiman bagi masyarakat di Pulau Panggang dan Pulau
Kelapa serta melakukan kajian penyediaan sumber tenaga listrik di Pulau
Damar.
7.3.2 Analisis Program Pengelolaan SDPL dan Kesejahteraan
Program Pengelolaan SDPL
Untuk menilai kebijakan program yang terkait dengan pengelolaan SDPL
dapat ditinjau dari tiga hal yaitu melihat ketepatan sasarannya, dampak program
dan kedalaman penyelesaian permasalahan.
Menilik program yang terkait dengan pengelolaan SDPL yang bisa
menjadi jalan bagi peningkatan daya dukung lingkungan, dapat ditemukan pada
bidang ekonomi. Dari delapan program yang dicanangkan, hanya satu program
yang berorientasi kepada pengelolaan SDPL yaitu Rehabilitasi ekosistem
Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif).
Program yang sudah dilaksanakan adalah : 1) pengembangan dan pemanfaatan
283
sumber daya laut antara lain melalui perbaikan ekosistem laut/Pembuatan Fish
Shelter di Kepulauan Seribu; 2) Perlindungan dan pelestarian sumber daya alam
hayati antara lain melalui rehabilitasi hutan mangrove di Kepulauan Seribu.
Dari kedua program tersebut, yang berkaitan secara langsung dengan
masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka hanya program rehabilitasi
mangrove yang ada di P. Pramuka. Melihat tingkat kerusakan SDPL yang
diderita oleh Kepulauan Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnyanya
maka antara upaya untuk memulihkan dengan tingkat kerusakan sangat tidak
sebanding. Dari proporsi jumlah program yang dijalankan saja, sangat jelas
bahwa pemerintahan daerah Kepulauan Seribu sepertinya tidak mengetahui
karekteristik wilayahnya yang terdiri dari laut dengan ekosistem yang berada di
dalamnya. Kondisi fisik berupa pulau menjadikan masyarakat Kepulauan Seribu
sangat tergantung dari kualitas lingkungan dan ekologi pesisir dan laut beserta
SDPL yang berada di dalamnya. Namun, rupanya pemerintah daerah tidak peka
terhadap hal itu dan justru banyak mengalokasikan program untuk kegiatan wisata
dan pemenuhan kebutuhan sekunder lainnya.
Dari tingkat proporsi program yang dialokasikan terlihat bahwa kebijakan
yang dijalankan mengalami bias dan tidak mengatasi permasalahan utama.
Pemerintah daerah sepertinya belum melihat bahwa pemulihan SDPL merupakan
program yang penting dan tingkat kerusakan SDPL masih dianggap berada di
ambang yang masih bisa ditolerir. Permasalahan kerusakan SDPL di Kepulauan
Seribu sudah sangat parah khususnya terumbu karang dan mangrove. Program
rehabilitasi mangrove yang dijalankan, termasuk yang berada di P. Pramuka,
jumlahnya tidak terlalu besar. Masyarakat menilai, bahwa perhatian pemerintah
dalam mengalokasikan program untuk pemulihan ekosistem pesisir dan laut
sangat kurang.
Biasnya kebijakan dan sedikitnya program pengelolaan SDPL oleh
pemerintah daerah Kepulauan Seribu dapat disebabkan oleh banyak faktor :
• Pemerintah belum menyadari dengan baik bahwa kondisi geografis berupa
pulau dan laut, menuntut adanya kelestarian SDPL dimana masyarakat
sangat tergantung di dalamnya. Ketika SDPL rusak maka akan berdampak
kepada penurunan kesejahteraan masyarakat
284
• Kebanyakan mind set aparatur pemerintah Kepulauan Seribu masih
berpikir kedarat-daratan. Perubahan status menjadi Kabupaten baru terjadi
tahun 2002 dan perubahan status pastinya membutuhkan banyak aparatur
pemerintah seiring dengan terbangunnya instansi-instansi baru. Dinas-
dinas tersebut kebanyakan diisi oleh orang-orang yang mind set
berorientasi kedaratan. Sedangkan masyarakat Kepulauan Seribu sendiri
yang menjadi aparatur pemerintah masih sangat sedikit dan jarang.
Ketiadaan mind set yang berorientasi ke laut tersebut menjadikan pola
pelaksanaan program masih berbau kedarat-daratan seperti pembangunan
sarana fisik yang memboroskan banyak biaya. Alokasi untuk
pembangunan SDM dan SDA masih sangat sedikit.
• Aparatur birokrasi pemerintah daerah Kepulauan Seribu mayoritas bukan
warga Kepulauan Seribu sehingga mereka kurang merasakan tingkat
permasalahan mendasar masyarakat dan sumber daya alam.
• Pola interaksi pemerintah-masyarakat tidak terbangun dengan baik.
Pelaksanaan pembangunan yang biasa diterapkan dengan model top-down
sangat mempengaruhi gejala ini. Keterbatasan akses dan lokasi pulau-
pulau yang dipisah oleh jarak yang cukup jauh semakin mengurangi akses
pemerintah daerah ke pulau-pulau tersebut. Ketiadaan akses terhadap
masalah dan minimnya interaksi mengakibatkan input terhadap
permasalahan utama juga sedikit.
• Minimnya pengetahuan aparatur pemerintah termasuk pembuat kebijakan
utama terhadap fungsi dan peran SDPL termasuk ekosistem yang berada di
dalamnya serta dampkanya jika terjadi kerusakan.
• Tidak adanya visi pemimpin yang berpihak kepada kelestarian sumber
daya pesisir dan laut.
Karakteristik Kepulauan Seribu yang berupa pulau-pulau kecil dengan laut
yang mengelilinginya beserta ekosistem yang berada di dalamnya, menuntut
perhatian lebih pemerintah untuk melihat keterkaitan antara kelestarian SDPL
dengan kesejahteraan masyarakat. Baik buruknya SDPL untuk daerah seperti
Kepulauan Seribu akan sangat berdampak kepada kesejahteraan masyarakat dan
285
pada gilirannya berdampak kepada meningkatknya ekonomi wilayah Kepulauan
Seribu.
Program Peningkatan Ekonomi dan Kesejahteraan
Alokasi program untuk peningkatan kesejahteraan terlihat lebih besar
proporsinya dibandingkan dengan program pemulihan SDPL. Setidaknya hal itu
dapat terlihat dari dua bidang yang ada yaitu bidang ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Beberapa program yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
yang terdapat di bidang ekonomi antara lain : Pengembangan Sea Farming, teknis
sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan, The Attraction Of Tourism 2008
(Enjoy Jakarta Marine & Island), Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu,
Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu,
Pengembangan fasilitas Docking kapal nelayan di Pulau Untung Jawa.
Dari sekian program yang ada, yang berkenaan langsung dengan
masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka adalah program pengembangan
Sea farming right. Program ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten
kepulauan Seribu dengan bekerjasama dengan PKSPL IPB. Program sea farming
merupakan upaya diversifikasi usaha melalui pengembangan budidaya laut
(budidaya kerapu). Program ini telah memberi alternatif usaha bagi nelayan dan
masyarakat pesisir lainnya yang biasanya sangat tergantung dari usaha nelayan.
Masyarakat menyatakan bahwa program ini sangat membantu masyarakat karena
menjadi alternatif usaha, kesulitan permodalan untuk membuat usaha budidaya
teratasi dengan metode pembentukan kelompok dan pembayaran secara cicil
dalam kelompok ini. Masyarakat bisa mendapatkan benih kerapu dengan cara
mencicil biaya yang dikoordinir dalam sebuah kelompok. Model tersebut
menurut masyarakat sangat membantu kesulitan modal yang selama ini menajdi
permasalahan usaha. Namun, memang sebagian masyarakat khususnya
pembudidaya ikan kerapu yang tidak mengikuti program menganggap bahwa
sebaiknya program pendampingan tidak hanya dilakukan kepada para anggota
kelompok, tetapi juga pembudidaya kerapu lain yang tidak menjadi kelompok.
Sedangkan program yang bertujuan langsung untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat tertampung dalam satu bidang yang secara khusus
286
dibuat yaitu bidang kesejahteraan masyarakat. Klasifikasi bidang kesejahteraan
masyarakat dilaksanakan untuk menjawab permasalahan di bidang pendidikan,
kesehatan, olahraga dan kesenian. Klasifikasi program di bidang kesejahteraan
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 89.
Tabel 89 Program Umum Bidang Kesejahteraan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Bidang Program Pendidikan Peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui
penguatan kelembagaan Rehap rumah dinas guru di Pulau Pari dan Pulau Panggang
Kesehatan Pembangunan Puskesmas di Pulau Lancang Ketenagakerjaan Magang pemuda Kepulauan Seribu
Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu Olahraga Pembangunan tribun lapangan sepakbola Pulau
Pramuka Pembangunan lapangan tenis dan futsal di Pulau Karya
Kebudayaan Kegiatan wisata bahari oleh pelajar Umum Penyediaan lahan pemakaman
Sumber : Skenario Renstra Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Seribu (2008) diolah
Melihat program di bidang kesejahteraan masyarakat yang dialokasikan,
ternyata secara umum masih belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Program yang ada justru hanya bersifat sekunder dan bukan kebutuhan pokok.
Sedangkan untuk menjawab permasalahan pendidikan, program yang ada berupa
peningkatan kualitas SDM dan rehab rumah guru. Program peningkatan kualitas
tidak dijelaskan secara detail programnya. Sedangkan untuk rehab perumahan
guru, hal ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup guru. Program ini sangat
penting untuk menjaga kualitas belajar mengajar. Karena kesejahteraan guru akan
berpengaruh kepada pola mengajarnya. Secara umum program-program ini masih
belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Program ini hanya akan
menyelesaikan persoalan penunjang dan bukan persoalan pokok. Peningkatan
kualitas SDM dapat berupa fasilitasi pendidikan, pengadaan buku dan kebutuhan
sekolah, pelatihan-pelatihan dan kegiatan lainnya. Permasalahan ini untuk
menjawab permasalahan kultural yaitu rendahnya SDM. Sedangkan penyebab
utama kemiskinan masyarakat pesisir lebih disebabkan karena kondisi struktural
seperti ketiadaan akses dan kontrol terhadap sumber daya pesisir dan laut.
287
Kebijakan lainnya bisa dilihat dari program prioritas yang dijalankan di
Kepulauan Seribu. Terdapat empat program kerja yang menjadi prioritas antara
lain dua program di bidang pariwisata, dua bidang lainnya lebih ke pengadaan
sarana dan pemukiman. Dua program di bidang pariwisata dilakukan di Pulau
Lancang dan pulau Tidung kecil. Sedangkan dua bidang lainnya berkaitan
langsung dengan P. Pramuka yaitu peningkatan kualitas lingkungan dan
pemukiman di P. Panggang. Program peningkatan kualitas lingkungan di P.
Pramuka terdiri dari beberapa proyek antara lain : 1) Penyediaan IPAL di Pulau
Pramuka; 2) Penyelesaian jalan lingkar (keliling) Pulau Pramuka; 3) Pembuatan
taman interaktif di lingkungan pemukiman; 4) Mempercantik dermaga kolam
labuh depan Kantor Kabupaten; 5) Pembuatan restoran apung di Pulau Pramuka;
6) Pembuatan tribun VIP lapangan olah raga Pulau Pramuka.
Program peningkatan lingkungan yang dilaksanakan di P. Pramuka masih
terlihat tidak sesuai dengan permasalahan lingkungan yang ada. Penyusunan
program ini mungkin terkait dengan status P. Pramuka sebagai ibu kota
Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga yang lebih diutamakan mendorong P.
Pramuka sebagai pusat jasa dan pelayanan. Program-program ini menurut
penuturan masyarakat tidak menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
Beberapa proyek memang bermanfaat seperti pembangunan jalan lingkar P.
Pramuka, namun program lainnya lebih bersifat sekunder dan pemborosan biaya.
Karena taman yang sejatinya ramai, tidak dilengkapi dengan fasilitas dan
acara/kegiatan. Sedangkan rekreasi/tempat bermain bagi masyarakat P. Pramuka
khususnya sudah tersedia laut dengan panoramnya yang indah. Proyek-proyek
yang dijalankan pemerintah dirasakan kurang memberikan manfaat, sehingga
terkesan pemborosan biaya. Saran yang telah dibangun dan tidak diiringi dengan
perawatan yang baik dan pemeliharaan yang tepat menyebabkan banyak sarana
yang telah dibangun tidak terawat. Sedangkan kebutuhan masyarakat seperti
usaha-usaha alternatif, pelibatan aktif masayarakat dalam kegiatan pariwisata,
kurangnya sarana pendidikan dan permasalahan kesehatan belum dilayani dengan
baik. Pelaksanaan program pembangunan seperti inilah yang membuat masyarakat
menjadi apatis, tidak peduli dan tidak mau tahu dengan lingkungannya.
288
Sedangkan program nasional yang diterima oleh masyarakat Kepulauan
Seribu termasuk masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka adalah program
pengembangan kecamatan dan program P2KP. Program ini berbasiskan kepada
pengadaan sarana dan prasarana serta permodalan bagi usaha kecil.
Tinjauan Kebijakan
Tinjauan kebijakan ini akan mengacu pada kategorisasi dari Damanhuri
(1997) yang membagi teori pembangunan ke dalam tiga besar teori yaitu teori
liberal, teori kritis (radikal) dan teori heterodox. Kebijakan pemerintah daerah
Kepulauan Seribu akan coba ditelusuri dengan mencari basis pijakan teori yang
melatarbelakangi. Dari pijakan ini setidaknya setiap proses akan diketahui latar
belakang dan tujuan akhirnya. Identifikasi program didasarkan atas kriteria-
kriteria yang mencirikan teori ekonomi tertentu. Matrik penciri utama dari setiap
program ekonomi dan kesejahteraan dijelaskan dalam Tabel 90.
Tabel 90 Matrik Penciri Utama Berdasarkan Teori Ekonomi
No Ciri-Ciri Liberal – Kapitalis Struktural – Kritis
Heterodox
1 Pendekatan Individual – kapitalis dan orientasi profit yang dominan
Anti individu-kapitalis Kolektivitas (komunis), Koperasi modern (sosial) dan Nasionalisasi
Kekuatan Ekonomi lokal
2 Basis analisa Mentalitas, perilaku individu
Individu, Negara, pasar, central-pheriphery
Nilai tradisional dan modern
3 Alat analisa Tehnokratis : dalam pengambilan keputusan (demokrasi berbasis kekuatan kapital)
Elit sentral communis : demokrasi perwakilan (buruh, tani, nelayan)
Partisipatory decision making process (gotong royong) Konsensus (Negara, swasta, legislatif)
4 Tujuan pembangunan
Growth oleh individu, privat sektor yang dominan
Growth oleh sentral komunis/Negara Keseimbangan swasta, Negara dan koperasi (sosial demokratis)
Kesejahteraan masyarakat lokal
5 Nilai Nilai luar (modern) menguat
Nilai luar (sentral komunis/sosial) menguat
Nilai lokal menguat
Sumber : Hasil Wawancara dgn Prof. Didin S. Damanhuri, 2009 (Dimodifikasi)
289
Kebijakan yang akan ditinjau lebih kepada beberapa bidang yang dianggap
penting dan berkenaan secara langsung dengan pengembangan ekonomi wilayah
dan kesejahteraan masyarakat. Bidang-bidang antara lain bidang ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat serta program prioritas wilayah di tahun 2008 ini
ditinjau dari tiga teori ekonomi. Setiap program dicari relevansinya dengan ciri-
ciri yang dimiliki oleh tiga teori ekonomi (liberal-kapitalis, struktural-kritis dan
heterodox). Chek list dilakukan pada setiap nomor yang menunjukkan ciri khusus
dari masing-masing teori. Program yang mendapatkan chek list terbanyak
menunjukkan platform ideologi dari masing-masing program.
Program Ekonomi
Tabel 91 menunjukkan beberapa program ekonomi yang dijalankan oleh
pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Seribu memiliki enam program utama di bidang ekonomi yang berkaitan langsung
dengan masyarakat pesisir.
Tabel 91 Program Bidang Ekonomi
No Program Frek Frek Frek
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 51 Rehabilitasi ekosistem Kepulauan
Seribu (mangrove, terumbu karang,padang lamun, pohon produktif)
√ √ 2 √ √ √ 3
2 Pengembangan Sea Farming Right , teknis sosial ekonomis, sumber dayadan lingkungan
√ 1 √ √ √ √ √ 4
3 The Attraction Of Tourism 2008(Enjoy Jakarta Marine & Island)
√ √ √ √ 4 √ 1
4 Pendampingan UKM di KepulauanSeribu
√ √ √ √ 4 √ 1
5 Pengembangan produk unggulKabupaten Administrasi KepulauanSeribu
√ 1 √ 1 √ √ √ 3
Teori Liberal Teori Radikal
Teori Heterodox
290
Tabel 92 Platform Ideologi Program Bidang Ekonomi
No Program Teori Liberal Teori Radikal
Teori Heterodox
1 Rehabilitasi ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon produktif)
√
2 Pengembangan Sea Farming Right, teknis sosial ekonomis, sumber daya dan lingkungan
√
3 The Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island)
√
4 Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu
√
5 Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
√
Tabel 92 memperlihatkan bahwa lima program kerja yang ada di bidang
ekonomi menunjukkan bahwa tiga program berhaluan heterodox, dua program
berhaluan liberal dan satu program berhaluan radikal.
Beberapa program yang berhaluan heterodox antara lain : 1) Rehabilitasi
ekosistem Kepulauan Seribu (mangrove, terumbu karang, padang lamun, pohon
produktif) ; 2) Pengembangan Sea Farming, teknis sosial ekonomis, sumber daya
dan lingkungan ; 3) Pengembangan produk unggul Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu. Program-program tersebut mendorong terjadinya transformasi
dalam struktur ekonomi, sosial dan kultural. Partisipasi masyarakat dalam
pembuatan keputusan nampak terlihat dalam program rehabilitasi ekosistem
Kepulauan Seribu. Masyarakat diminta partisipasinya dalam menentukan lokasi
rehabilitasi ekosistem dan pertanggungjawaban akan keberlanjutan program.
Namun tingkat partisipasi tersebut kurang berjalan dengan baik karena faktanya
pemerintah masih sering menggunakan pola pendekatan top-down dan hanya
menghubungi beberapa elite desa yang diklaim sebagai representasi seluruh warga
masyarakat.
Sedangkan program pengembangan sea farming dimasukkan dalam
pendekatan heterodox karena keunggulannya terletak pada aspke kemandirian
yang terbangun di kalangan masyarakat pembudidaya ikan. Sea farming adalah
sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut angkal berbasis marikultur dengan
291
tujuan akhir untuk meningkatkan sumberdaya ikan bagi keberlanjutan perikanan
tangkap dan aktivitas berbasis kelautan lainnya seperti ekowisata bahari. Sea
farming tidak sama dengan marikultur. Marikultur dan kegiatan ekonomi berbasis
sumberdaya laut lainnya adalah sub-sistem dalam sea farming (PKSPL, 2008).
Pengembangan sea farming merupakan model inovasi pengembangan usaha
perikanan melalui keramba jaring apung (KJA), keramba jaring tancap (KJT),
penculture, rumput laut, hatchery skala responden dan pengolahan ikan. Program
ini bertempat di P. Semak Daun dan anggotanya kebanyakan dari P. Panggang.
Program sea farming dibuat sebagai bentuk diversifikasi usaha bagi
masyarakat pesisir khususnya nelayan. Selama ini nelayan hanya mengandalkan
usaha penangkapan yang sangat tergantung dari kondisi alam dan musim.
Kebanyakan nelayan tidak mempunyai usaha alternatif atau mempunyai usaha
lain, sehingga ketika musim paceklik datang, petani banyak terjebak dalam
keberhutangan dan terciptalah pengangguran. Melalui pengembangan usaha baru,
menciptakan harapan lain selain usaha penangkapan yang selama ini banyak
terjadi di kalangan nelayan. Program sea farming dijalankan dengan
menggunakan tiga pilar utama yaitu : 1) fishing right ; 2) insentif teknis dan sosial
ekonomi; 3) pengelolaan sumberdaya. Dalam pilar kedua, menekankan pada
pengembangan skill teknis, skill bisnis dan social capitalizing (trust building).
Sedangkan dalam pilar ketiga lebih menekankan pada pengelolaan lingkungan
perairan, pengaturan pemanfaatan sumberdaya dan natural capitalizing.
Sedangkan program ketiga yang masuk dalam kategori berhaluan
heterodox adalah program pengembangan produk unggulan Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu. Pada program ini lebih menekankan pada
kekuatan ekonomi lokal sebagai basis pengembangan produk. Program dijalankan
dengan memadukan antara nilai tradisional dan modern.
Program yang lebih berhalauan liberal tercermin dalam program The
Attraction Of Tourism 2008 (Enjoy Jakarta Marine & Island). Program ini lebih
memberi ruang bagi sektor privat dalam bentuk investasi di bidang pariwisata.
Pengambilan keputusan lebih didasarkan atas kekuatan kapital dan pasar
mempunyai peranan penting dalam kesuksesan program. Ciri-ciri program yang
292
seperti ini lebih dekat kepada pendekatan liberal yang lebih menekan pada
pertumbuhan ekonomi dan kekuatan individu.
Beberapa ciri dari pendekatan liberal dalam program bidang ekonomi
tersebut adalah : 1) Tujuan program berorientasi PAD, pertumbuhan, distribusi
dan nilai kompetitif barang; 2) pasar mempunyai peranan besar dalam kesuksesan
program yang diindikasikan dengan promosi; 3) investor dalam hal ini pemilik
kapital mempunyai peranan dominan; 4) menguatnya nilai-nilai kemodernan
karena adanya banyak atraksi wisata.
Hanya terdapat satu program yang berhalauan struktural yaitu
Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu. Dalam proses pendampingan tujuan
akhirnya adalah membangun kemandirian usaha bagi UKM. Pemerintah dalam
hal ini mempunyai peranan dominan khususnya dalam menfasilitasi UKM baik
dalam bidang permodalan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan usaha.
Pendampingan UKM mendorong agar UKM tidak terjebak pada pola patronase
akibat ketiadaan akses terhadap sumber-sumber permodalan maupun pemasaran.
Kondisi ini seringkali membawa UKM kepada ketergantungan yang tinggi kepada
pemilik modal dan pengusaha besar.
Program Kesejahteraan masyarakat
Sedangkan dalam bidang kesejahteraan masyarakat mayoritas program
juga lebih banyak berhalauan liberal. Dari empat program yang berkenaan
langsung dengan masyarakat pesisir di Kelurahan P. Panggang, tiga diantaranya
berhalauan liberal yaitu 1) Magang pemuda Kepulauan Seribu ; 2) Pendataan
ketenagakerjaan Kepulauan Seribu; 3) Kegiatan wisata bahari oleh pelajar.
Pencirian program lebih dekat kepada halauan liberal diindikasikan oleh
beberapa hal yang merujuk kepada ciri-ciri pendekatan liberal. Pada program
magang pemuda Kepulauan seribu, aspek mental dan perilaku individu menjadi
salah satu ciri khas pendekatan liberal. Pendekatan dalam program ini adalah
meningkat skill individu agar bersikap terampil, perilaku positif dan modern
sesuai dengan kebutuhan kerja. Orientasi dari program ini diperkirakan untuk
membangun individu yang kompetitif dalam dunia kerja atau setidaknya dapat
berwiraswasta. Sebagai konsekwensinya maka indiviu yang magang harus
293
mengenal nilai-nilai modern agar bisa maju dan terampil dalam mengoperasikan
tehnologi tertentu. Ciri pendekatan liberal lainnya adalah terserapnya tenaga kerja
dan mengurangi pengangguran.
Program ini mempunyai kemiripan dengan program pendataan
ketenagakerjaan Kepulauan Seribu. Tujuan dari program ini diduga adalah untuk
mengurangi pengangguran dengan melakukan pendataan awal ketenagakerjaan.
Basis analisa dari program ini adalah lebih menekankan pada perubahan perilaku
individu dan mental yang siap kerja.
Satu-satunya program yang bercirikan pendekatan non liberal adalah
program peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan
kelembagaan. Program ini lebih dekat kepada pendekatan heterodox karena
beberapa ciri antara lain : pertama, pengembangan kualitas SDM didasarkan atas
faktor kelembagaan. Penguatan faktor kelembagaan merupakan upaya untuk
membangkitkan kekuatan lokal seperti jaringan sosial, organisasi masyarakat dan
aturan yang berkembang di masyarakat. Ciri kedua, penekanan pada aspek
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. Jenis-jenis kegiatan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Program bidang kesejahteraan
masyarakat dan platform ideologinya dapat dilihat pada tabel 93 dan 94 di bawah
ini.
Tabel 93 Program Bidang Kesejahteraan Masyarakat
No Program Frek Frek Frek
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 51 Peningkatan kualitas SDM
Kepulauan Seribu melaluipenguatan kelembagaan
√ √ 2 √ √ √ 3
2 Magang pemuda KepulauanSeribu
√ √ √ 3 √ √ 2
3 Pendataan ketenagakerjaanKepulauan Seribu
√ √ √ √ √ 5
4 Kegiatan wisata bahari olehpelajar
√ √ √ √ 4 √ 1
Teori Liberal Teori Radikal
Teori Heterodox
294
Tabel 94 Platform Ideologi Program Bidang Kesejahteraan Masyarakat
No Program Teori Liberal Teori Radikal
Teori Heterodox
1 Peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan kelembagaan
√
2 Magang pemuda Kepulauan Seribu
√
3 Pendataan ketenagakerjaan Kepulauan Seribu
√
4 Kegiatan wisata bahari oleh pelajar
√
Selain dua bidang penting di atas, yang perlu mendapatkan perhatian juga
adalah program kerja yang menjadi prioritas pengembangan wilayah Kepulauan
Seribu di Tahun 2008. Prioritas program lagi-lagi lebih banyak didominasi oleh
program yang berbasiskan kepada pendekatan liberal. Investasi pariwisata bahari
menjadi pilihan utama bagi pemerintah Kepulauan Seribu guna meningkatkan
pembangunnya. Kebijakan pembangunan pariwisata bahari tidak memiliki nilai
adaptabilitas dan keadilan karena kurangnya memberikan manfaat bagi nelayan
dan masyarakat pulau. Kawasan pariwisata bahari akan menjadi kawasan khusus
dan ekslusif dengan kepemilikan usaha dan pengelolaan biasanya diserahkan
kepada investor/swasta. Pola seperti ini jelas dilakukan dengan tujuan untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi, PAD dan PDRB.
Banyaknya pulau-pulau kecil yang disulap menjadi pulau wisata tanpa
pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan hanya akan menyingkirkan
masyarakat ke jurang kemiskinan dan ketiadaan aset. Nelayan akan semakin
kehilangan akses terhadap sumber daya pesisir dan laut, apalgi undang-undang
No.27 Th 2007 tentang pengelolaan pesisir dan laut tentang HP3 semakin
membuka ruang lebar bagi masuknya para investor dalam menguasai pulau-pulau
kecil. Kepadatan penduduk semakin tinggi, sedangkan lahan untuk tinggal seperti
di P. Panggang dan Pramuka semakin terbatas. Sedangkan pulau-pulau lain yang
seharusnya bisa menjadi lokasi baru pemukiman, justru disewakan kepada
investor untuk kegiatan wisata bahari.
Keterdesakan masyarakat sebagai akibat melonjaknya populasi dan tidak
adanya ruang untuk tinggal akan berdampak kepada munculnya perilaku-perilaku
295
negatif masyarakat seperti merusak sumber daya alam yang ada. Degradasi
sumber daya pesisir dan laut khususnya ekosistem terumbu karang bukan semata
karena permasalahan teknis semata akibat pengeboman atau ketidaktahuan
masyarakat, tapi lebih karena terbatasnya akses masyarakat terhadap SDPL akibat
pola kepemilikan lahan yang sudah berubah dari bersifat common menjadi
komoditas. Pola investasi seperti ini terjadi karena adanya perselingkuhan antara
kaum pengusaha yang merepresentasikan kelompok kapitalis/borjuis dengan elit
birokrat yang memberikan ijin usaha. Elit penguasa dan yang menopang elit
pengusaha sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab terhadap proses
ekploitasi yang luas dan dalam di negara miskin. Dalam definisi penganut
marxian, kelompok ini biasa disebut sebagai kelas ”komprador” (compradore
class). Klas otoriter birokratis inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis
dengan kekuatan modalnya, mengekploitasi rakyat miskin. Kolaborasi pemilik
modal dalam program-program pembangunan melahirkan inefisiensi dalam
pembangunan. Akibatnya banyak program yang tidak bisa berjalan efektif.
Pola investasi pariwisata bahari merupakan bentuk lain dari kebijakan
yang pro pasar. Memang hal itu menjadi salah satu strategi dari pemerintah
daerah Kabupaten Kepulauan Seribu seperti tertera dengan jelas paa butir 13 dari
skenario rencana strategis Kepulauan Seribu yang berbunyi ” Meningkatkan dan
membangun infrastruktur ekonomi yang baik (termasuk pelayanan investasi guna
menarik investor yang simple, kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia
usaha / Public Private Partnership)”. Kebijakan sangat jelas menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah daerah Kepulauan Seribu didominasi oleh haluan
liberal.
Namun masih ada program yang sebetulnya dapat menjadi penyemangat
hidup masyarakat P. Panggang dan P. Kelapa yaitu penyediaan pemukiman.
Program ini terkesan aneh dan susah untuk dicapai maksimal mengingat luas
lahan kosong di P. Panggang dan P. Kelapa sudah sangat terbatas. Luas P.
Panggang saja hanya 9 Ha dan saat ini jumlah penduduk mencapai 5.481 jiwa.
Kondisi perumahan yang ada di P. Panggang sangat padat dan berdempetan.
Bahkan dalam sebuah sumber, tingkat kepadatan P. Panggang lebih tinggi
dibandingkan Jakarta. Kondisi rumah berdempetan menyebabkan kualitas
296
pemukiman tidak nyaman. Begitu halnya dengan P. Kelapa merupakan pulau
yang sangat padat penduduknya. Program penyediaan pemukiman pada satu sisi
penting dilakukan karena memenuhi kebutuhan dasar penduduk, namun jika
dilaksanakan di lokasi yang tidak sesuai hanya akan mengakibatkan penambahan
penduduk, pengurangan daya dukung lingkungan dan pemborosan biaya.
Demikian halnya dengan program kualitas lingkungan pulau Pramuka.
Beberapa kegiatan dalam program ini antara lain : 1) Penyediaan IPAL di Pulau
Pramuka; 2) Penyelesaian jalan lingkar (keliling) Pulau Pramuka; 3) Pembuatan
taman interaktif di lingkungan pemukiman; 4) Mempercantik dermaga kolam
labuh depan Kantor Kabupaten ; 5) Pembuatan restoran apung di Pulau Pramuka ;
6) Pembuatan tribun VIP lapangan olah raga Pulau Pramuka. Dari enam sub
program yang ada, hanya penyediaan IPAL dan kegiatan jalan lingkar keliling
yang dapat diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup masyarakat. Pola
kegiatan ini sebetulnya lebih condong kepada pendekatan liberal karena lebih
banyak pendekatannya biasanya dilakukan melalui proyek-proyek jangka pendek.
Tujuan membangun harmoni dan kenyamanan memang dapat dilakukan melalui
pemenuhan kebutuhan psikologis melalui rekreasi dan wisata. Tapi membangun
tempat wisata di daerah wisata, apakah merupakan kebijakan yang tepat,
mengingat Kepulauan Seribu merupakan tujuan wisata. Tabel 94 memperlihatkan
program prioritas wilayah tahun 2008 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
ditinjau dari teori ekonomi.
297
Tabel 95 Program Prioritas Wilayah Tahun 2008
No Program Frek Frek Frek
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 51 Menjadikan Pulau Lancang
sebagai kawasan wisata andalankedua setelah Pulau UntungJawa
√ √ √ √ 4 √ 1
2 Penyediaan pemukiman bagimasyarakat di Pulau Panggangdan Pulau Kelapa sertamelakukan kajian penyediaansumber tenaga listrik di PulauDamar
√ √ √ 3 √ 1 √ 1
3 Menjadikan Pulau Tidung Kecilsebagai kawasan wisataagro danedukasi
√ √ √ √ 4 √ 1
4 Meningkatkan kualitaslingkungan Pulau Pramukasebagai kawasan percontohan(Ibukota Kabupaten)
√ √ √ 3 √ 1 √ 1
Teori Liberal Teori Radikal Teori Heterodox
Tabel 96 Platform Ideologi Program Prioritas Wilayah Tahun 2008
No Program Teori Liberal
Teori Radikal
Teori Heterodox
1 Menjadikan Pulau Lancang sebagai kawasan wisata andalan kedua setelah Pulau Untung Jawa
√
2 Penyediaan pemukiman bagi masyarakat di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa serta melakukan kajian penyediaan sumber tenaga listrik di Pulau Damar
√
3 Menjadikan Pulau Tidung Kecil sebagai kawasan wisataagro dan edukasi
√
4 Meningkatkan kualitas lingkungan Pulau Pramuka sebagai kawasan percontohan (Ibukota Kabupaten)
√
Melihat kebijakan yang ada melalui program kerja di bidang ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat serta program-program prioritas terlihat bahwa
kebijakan yang dijalankan pemerintah Kepulauan Seribu lebih berhalauan liberal.
Strategi pengembangan ekonomi ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi
dengan tujuan pembangunan ditekankan pada tingginya PAD dan PDRB. Pola
298
pendekatan pembangunan seperti ini merupakan cerminan dari kebijakan
pemerintah pusat. Kepulauan Seribu yang masih berada dalam wilayah DKI
Jakarta tentunya sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang ada di atasnya.
Pendekatan liberal memberi ruang sebesar-besarnya kepada mekanisme pasar
dengan strategi mendatangkan investor dalam mengelola pulau-pulau kecil di
Kepulauan Seribu untuk berbagai pemanfaatan khususnya sebagai lokasi wisata
bahari.
Investasi pariwisata bahari terbukti hanya akan membatasi akses nelayan
dan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut.
Mekanisme pengelolaan yang cenderung ekslusif hanya akan menjadikan nelayan
semakin tersudut dan terpojok pada lingkungan hidup yang kumuh, padat, sesak
dengan kondisi sumber daya alam yang semakin rusak. Faktor alam dan pola
pendapatan yang sangat ditentukan musim, ditambah akses yang terbatas, pola
hubungan ekploitatif di lingkungan nelayan dan lemahnya faktor kelembagaan
dan kebijakan, semakin memperburuk masa depan kehidupan nelayan dan
masyarakat pesisir serta memperjelas kemiskinan kronis yang akan dideritanya.
7.3.3 Peran Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS)
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem Pulau-
Pulau Sangat Kecil dan Perairan Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan
dengan 78 pulau sangat kecil, 86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir
karang pulau sekitar 2.136 hektar (Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha
dan Teluk 5 ha), terumbu karang tipe fringing reef, Mangrove dan Lamun
bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar
20-40 m.
Dari jumlah pulau yang berada di dalam kawasan TNKS yang berjumlah
78 pulau, diantaranya 20 pulau sebagai pulau wisata, 6 pulau sebagai hunian
penduduk dan sisanya dikelola perorangan atau badan usaha.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004
tentang Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, membagi
zonasi pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sebagai berikut :
299
• Zona Inti Taman Nasional (4.449 Hektar) adalah bagian kawasan taman
nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya
perubahan apapun oleh aktivitas manusia
• Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284, 50 Hektar) adalah bagian
kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti
taman nasional.
• Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 Hektar) adalah
bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan
kunjungan wisata.
• Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Hektar) adalah bagian kawasan
taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan
penduduk masyarakat.
• Zona Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang
Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage
Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang Bongkok, Karang
Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang,
dan Pramuka, pada posisi geografis 5°38'00"-5°45'00" LS dan 106°33'00"-
106°40'00" BT
Kelurahan P. Panggang termasuk dalam wilayah TNKS, sehingga setiap
aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di wilayah ini senantiasa
bersinggungan dengan pihak TNKS. Keberadaan TNKS bagi sebagian
masyarakat telah banyak membantu khususnya dalam upaya pemulihan terumbu
karang, mangrove dan ekosistem pesisir lainnya. Beberapa program yang pernah
dijalankan dengan mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya, antara lain :
a. Program Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Kawasan Konservasi
Mandiri
Program ini merupakan salah satu bentuk dari pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan oleh TNKS. Program ini diinisiasi dengan pertimbangan kondisi
Kepulauan Seribu tersusun dari ekosistem pulau-pulau sangat kecil dan perairan
laut dangkal yang unik, khas dan berpotensi sebagai daerah reproduksi biota laut
namun sangat rentan dan mudah rusak. Adanya program ini juga didorong oleh
fakta masyarakat Kepulauan Seribu yang mayoritas nelayan dan mempunyai
300
ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove dan
ekosistem pesisir lainnya. Di sisi lain, kerusakan ekosistem pesisir dan laut
semakin tinggi yang mengancam kualitas ekosistem SDPL tersebut dan pada
gilirannya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pesisir Kepulauan Seribu.
Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Rehabilitasi Karang
dan Perlindungan Kawasan Konservasi Mandiri telah di mulai sejak Tahun 2003
dengan kegiatan penyuluhan penyadaran dan pembangunan percontohan
penangkaran. Tahun 2005 program pemberdayaan masyarakat berjalan dengan
Surat Dirjen PHKA Nomor : S.684/IV-KKH/2005 tanggal 11 Nopember 2005
perihal transplantasi koral di TNKS.
Program ini dilaksanakan dengan rehabilitasi karang secara mandiri oleh
nelayan dan sebagai insentif adalah usaha ekonomi budidaya karang hias di
sekitar pulau pemukiman di zona pemukiman TN Kepulauan Seribu. Peserta
program adalah nelayan yang tergabung dalam PERNITAS (Perhimpunan
Nelayan Karang Hias) dan dilakukan dengan sistem "Bapak Angkat" dengan
bekerjasama dengan Pengusaha sebagai bapak angkat.
Sampai Tahun 2008 sebanyak 17 kelompok nelayan yang ikut serta atau
mampu menyerap tenaga kerja kurang lebih sebanyak 110 orang. Perusahaan
(bapak angkat) yang iku serta mendukung program ini sebanyak 24 buah.
Diperkirakan program ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 200 - 300
orang. Secara finansial, kegiatan pemberdayaan masyarakat ini mampu
mengangkat perekonomian nelayan dengan peningkatan pendapatan 1-3 juta/
bulan. secara ekologi juga mampu mendukung penyelamatan terumbu karang,
dengan menurunnya pencurian dan pengeboman terumbu karang sehingga tutupan
karang menjadi naik, nelayan berkewajiban melakukan restoking karang ke alam.
Berdasarkan hasil survey lapangan, keberadaan organisasi Pernitas tidak
terlalu aktif, bahkan dipenuhi konflik internal sehingga memicu terbentuknya
kelompok nelayan ikan hias lain yaitu Klompis (organisasi nelayan pencinta ikan
hias). Usaha budidaya karang hias secara kasat mata dapat menjadi mata
pencaharian alternatif bagi masyarakat nelayan. Namun, jika diperhatikan pola
kemitraan yang terjalin yaitu dengan sistem ”bapak angkat” dimana pengusaha
karang hias sebagai bapak angkatnya, maka yang keuntungan terbesar cenderung
301
dinikmati oleh pengusaha sebagai bapak angkat. Nelayan ikan hias hanya
diposisikan sebagai buruh dan akses terhadap pasar tetap dipegang oleh
pengusaha sebagai Bapak angkat. Pola hubungan seperti ini merupakan bentuk
ketergantungan ekonomi yang lazim terjadi di lingkungan masyarakat pesisir,
seperti dalam pola hubungan antara nelayan buruh dengan pemilik kapal atau
nelayan kecil dengan bakul ikan. Keterbatasan akses modal dan pasar seringkali
menjadi hambatan meskipun pelaksanaan program ini dalam bentuk kelompok.
Hambatan yang sering terjadi adalah konflik internal dalam kelompok akibat
sikap-sikap individu dan pragmatisme masing-masing anggota. Hal itu yang
dapat dilihat dalam Kelmpok Pernitas yang saat ini mulai kurang aktif dan
nelayan mendirikan organisasi baru yaitu Klompis.
b. Model Desa Konservasi
Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model
dalam upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, budaya dan
aspek lainnya. Tujuan pembentukan MDK adalah untuk pelestarian kawasan
Taman Nasional Kepulauan Seribu dan mewujudkan kesejahteraan Masyarakat.
Ujung tombak dari MDK adalah SPKP (Sentra Penyuluhan Konservasi
Pedesaan). Ada 3 (tiga) SPKP yaitu SPKP Bintang laut di kelurahan Pulau
Kelapa, SPKP Elang Bondol di Kelurahan P. Harapan, SPKP Samo-samo di
Kelurahan P. Pramuka. Sebagai ujung tombak, SPKP akan berperan sebagai
kordinator, fasilitator dan atau pelaksana.
Model Desa Konservasi (MDK) diluncurkan secara resmi pada tanggal 19
Agustus 2008, bertempat di Kantor Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, BTN
Kepulauan Seribu secara resmi meluncurkan. Pembentukan sampai peluncuran
MDK memerlukan waktu yang panjang dan berbagai langkah. Perjalanan MDK
dimulai Desember 2005 dengan kegiatan identifikasi dan penetapan desa terpilih
sekaligus penyusunan master plan MDK. Bulan November 2006 dilakukan
pembentukan SPKP di kelurahan Panggang, Bulan Desember 2006 pembentukan
SPKP Kelurahan Pulau Harapan dan Bulan Nopember 2007, pembentukan SPKP
302
kelurahan Pulau kelapa. Untuk memperkuat kelembagaan SPKP dilakukan
kegiatan penguatan kelembagaan antara lain workshop MDK dan rembug warga.
Proses pembentukan MDK dilakukan secara bertahap mulai dari proses
identifikasi, pembuatan master plan, pembentukan Sentra Penyuluhan Kehutanan
Pedesaan (SPKP) dan penguatan kelembagaan melalui workhsop dan rembug
desa. Dalam program ini pelibatan masyarakat berperan penting dalam
pelestarian kawasan TNKS. Upaya pihak TNKS dengan melibatkan masyarakat
merupakan langkah yang tepat karena aktivitas-aktivitas pengrusakan ekosistem
pesisir dan laut di kawasan konservasi ini seringkali dilakukan oleh masyarakat.
Tindakakan ini dilakukan guna mendorong masyarakat agar ikut
bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan kawasan taman nasional.
Pendekatan keamanan yang cenderung represif selama ini terbukti kurang ampuh
dalam menghalau upaya-upaya pengrusakan. Masyarakat selama ini kurang
dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan. Akibatnya seringkali terjadi
pengrusakan ekosistem di kawasan taman nasional.
Namun demikian, idealnya masyarakat di lingkungan kawasan taman
nasional ini juga merasakan dampak positif dari keberadaan taman nasional.
Berdasarkan hasil wawancara 47% penduduk merasakan cukup diperhatikan oleh
pemerintah daerah termasuk pihak taman nasional, khususnya dalam peningkatan
kesejahteraan melalui program pemberdayaan masyarakat. Meskipun sebagian
masyarakat masih merasakan bahwa sangsi dan peraturan yang diterapkan oleh
pihak TNKS seringkali memberatkan sehingga tidak jarang di beberapa tempat
terjadi konflik sosial antara nelayan dengan pihak taman nasional. Namun
intensitas konflik ini sangat minim. Hal ini menunjukkan pola pendekatan yang
dilakukan pihak TNKS cukup baik.
Pelibatan masyarakat dalam membangun MDK idealnya mampu
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Faktanya, penduduk di
kawasan TNKS masih berada dalam kemiskinan. Masyarakat dilibatkan dalam
pengelolaan sumber daya pesisir dan laut namun aktivitas-aktivitas penangkapan
dengan alat tangkap terlarang dan teknologi modern seperti mouroami seringkali
luput dari perhatian aparat TNKS. Hal ini mendorong ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat yang terkesan melakukan pembiaran terhadap
303
aktivitas penangkapan yang merusak. Ketidakpercayaan ini melahirkan tindakan
pengrusakan serupa terhadap ekosistem pesisir dan laut oleh nelayan tradisional
dengan menggunakan potasium. Saat ini kecenderungan pemakaian potasium
mengalami penurunan yang sangat signifikan. Kesadaran untuk menjaga kualitas
ekosistem pesisir dan laut khususnya terumbu karang makin tinggi. Terbukti
aktivitas pengeboman menurut Yayasan Terangi menurun dan upaya rehabilitasi
terumbu karang mulai terbangun di kalangan masyarakat Keluarahan P.
Panggang. Perubahan sikap ini terbentuk karena upaya massif dan pendampingan
yang dilakukan oleh TNKS dan beberapa LSM termasuk Yayasan Terangi tentang
pentingnya memelihara eksosistem terumbu karang dan SDPL lainnya.
Perubahan main set dan paradigma masyarakat dalam hal ini terbentuk sebagai
akibat adanya pengaruh dari pihak luar dan tidak terbangun dari masyarakat
sendiri.