6. bab 1 pendahuluan revisi

Upload: annisa-setyanti

Post on 20-Jul-2015

355 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1 BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Dewasa ini retardasi mental masih merupakan masalah yang sering dijumpai di negara berkembang maupun di negara maju. Menurut WHO, di negara Belanda 2,6% dari penduduknya mengalami keterbelakangan mental, di negara Inggris 18%, sedangkan di negara Asia sebanyak 3% penduduknya mengalami keterbelakangan mental. Data dari APA sekitar 1-3% dari jumlah penduduk Amerika menyandang retardasi mental yang dapat dijumpai di lingkungan sekitar tempat tinggal. Studi yang dilakukan di Pakistan dan India, menunjukkan angka kejadian retardasi mental berat berkisar 12-24/1000, sedangkan di Bangladesh berkisar 5,9/1000 kelahiran anak. Negara Indonesia sendiri belum memiliki data angka pasti mengenai jumlah penderita retardasi mental. Berdasarkan data Depdiknas tahun 2009 terdapat 50.000 ribu anak retardasi mental yang terdaftar pada sekolah luar biasa di seluruh Indonesia. Prevalensi retardasi mental di Indonesia berkisar 1-3 persen dalam satu populasi (1,2,3). Insiden retardasi mental sulit diketahui karena retardasi mental kadangkadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Anak dengan retardasi mental yang berusia kurang dari 5 tahun seringkali tidak terdiagnosis (3).

1

2 Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan. Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna grahita. Secara klinik retardasi mental tidak bisa ditegakkan hanya dengan mengandalkan ukuran IQ, tetapi juga perlu memperhatikan faktor pendukung berupa penanda fisik seperti morfologi atau dismorfologi (3,4). Morfologi adalah ilmu mengenai bentuk dan struktur organisme khususnya pada bagian tertentu. Morfologi kepala pada anak tuna grahita dapat ditemukan dengan keadaan yang berbeda dengan anak normal lainnya, ini disebabkan karena struktur kepala yang dimiliki oleh anak retardasi mental mengalami gangguan dalam pertumbuhannya. Morfologi kepala pada penderita retardasi mental yang perlu diperhatikan adalah bentuk kepala dan ukuran lingkar kepala (5,6). Morfologi kepala pada anak retardasi mental biasanya terlihat dari bentuk kepala yang tidak seperti anak normal lainnya seperti craniosynostosis,

macrocephaly, microcephaly, hydrocephaly, brachiocephaly, occipital bossing, frontal bossing, trigonocephaly (7). Pengukuran lingkar kepala anak adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan otak anak juga terhambat. Ukuran lingkar kepala dapat dihubungkan dengan volume otak dan tulang tengkorak (8,9).

3 Anak-anak dengan microcephaly lebih mungkin untuk memiliki kondisi neurologis tertentu, seperti epilepsi dan cerebral palsy, serta keterbelakangan mental, gangguan mata dan telinga. Bahkan 50 % anak dengan microcephaly memiliki keterbelakangan mental. Sebaliknya bila kepala membesar kemungkinan ada penyumbatan aliran serebrospinal seperti pada hydrocephalus yang akan meningkatkan volume kepala, atau terkena cardiofaciocutaneous syndrome, bahkan peningkatan prevalensi makrosefali juga ditemukan pada autism (10,11). Penelitian tentang anak retardasi mental sangatlah penting, karena menyangkut kualitas sumber daya manusia. Deteksi anak-anak retardasi mental umumnya hanya berdasarkan penilaian akademis dan psikomotor ketika mereka memasuki usia sekolah. Penilaian aspek fisik (morfologi) pada anak retardasi mental diharapkan dapat membantu menegakkan diagnosis dini sehingga dapat melakukan intervensi agar pertumbuhan anak pada tahap selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik. Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota besar di Kalimantan Selatan yang memiliki populasi retardasi mental paling terdata di Kalimantan Selatan. Penelitian tentang perbedaan morfologi kepala pada anak normal dengan penderita retardasi mental belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian tentang perbedaan morfologi kepala antara anak normal dengan penderita retardasi mental pada tingkat sekolah dasar di kota Banjarmasin. A. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan penelitian, yaitu apakah terdapat perbedaan morfologi kepala antara

4 anak normal dengan penderita retardasi mental pada tingkat sekolah dasar di kota Banjarmasin? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan morfologi kepala antara anak retardasi mental dengan anak normal di Kota Banjarmasin. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengukur lingkar kepala pada anak retardasi mental dengan anak normal di Kota Banjarmasin. 2. Mendeskripsikan bentuk kepala pada anak retardasi mental dengan anak normal di Kota Banjarmasin. 3. Menganalisis perbedaan morfologi kepala antara anak retardasi mental dengan anak normal di Kota Banjarmasin.

B. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam ilmu pengetahuan tentang perbedaan gambaran klinis morfologi kepala antara anak tuna grahita dengan anak normal agar orang tua, guru, dan masyarakat dapat mengetahui secara dini ciri-ciri penderita tuna grahita, untuk dilakukan pengelolaan dan pembimbingan secara dini terhadap perkembangan mental dan sosial.