5 efisiensi dan akurasi pada proses analisis foto … v... · (1997) pada petunjuk survey metode...

21
5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG 5.1 Pendahuluan Penggunaan metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo Transect (UPT) untuk menilai kondisi terumbu karang bisa menjadi salah satu metode alternatif selain beberapa metode lain yang telah dikenal dan dipakai dalam penelitian terumbu karang (Kenchington 1978, Loya 1978, Moll 1983, Mundy 1990, English et al. 1997, DeVantier et al. 1998, Sukmara et al. 2001, Long et al. 2004, Oliver et al. 2004, Hill and Wilkinson 2004, Lam et al. 2006, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Proses analisis foto hasil pemotretan bawah air merupakan bagian penting pada penggunaan metode UPT. Proses analisis foto bawah air juga dilakukan dalam penelitian dengan metode dan cara yang beragam (English et al. 1997, Hill and Wilkinson 2004, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Dalam beberapa literatur tidak disebutkan secara jelas bagaimana menganalisis foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air. English et al. (1997) pada petunjuk survey metode Permanent Quadrat dengan teknik fotografi, tanpa merinci lebih dalam, menghitung nilai luasan suatu koloni berdasarkan panjang dan lebar koloni tersebut. Hill and Wilkinson (2004) menentukan persentase tutupan dari foto yang dihasilkan dengan metode Permanent Photo Quadrat dengan cara menggunakan sampel titik dengan penempatan grid di atas kuadrat (tanpa menyebutkan berapa banyak titik dan grid yang dipakai), atau dengan cara mendigit foto (tanpa menyebut piranti lunak yang dipakai). Burt et al. (2008) untuk memantau pemulihan karang setelah peristiwa pemutihan karang (bleaching) di Dubai, Emirat Arab menganalisis foto menggunakan piranti lunak CPCe (Kohler and Gill 2006) menggunakan 50 sampel titik acak pada setiap frame foto hasil pemotretan pada luasan sekitar 0,25 m 2 . Leujak and Ormond (2007) berdasarkan penelitiannya di Ras Um Sidh, Sinai Selatan, Mesir,

Upload: trannhan

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5 EFISIENSI DAN AKURASI PADA PROSES ANALISIS FOTO BAWAH AIR

UNTUK MENILAI KONDISI TERUMBU KARANG

5.1 Pendahuluan

Penggunaan metode Transek Foto Bawah Air atau Underwater Photo

Transect (UPT) untuk menilai kondisi terumbu karang bisa menjadi salah satu

metode alternatif selain beberapa metode lain yang telah dikenal dan dipakai

dalam penelitian terumbu karang (Kenchington 1978, Loya 1978, Moll 1983,

Mundy 1990, English et al. 1997, DeVantier et al. 1998, Sukmara et al. 2001,

Long et al. 2004, Oliver et al. 2004, Hill and Wilkinson 2004, Lam et al. 2006,

Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al. 2008). Proses

analisis foto hasil pemotretan bawah air merupakan bagian penting pada

penggunaan metode UPT. Proses analisis foto bawah air juga dilakukan dalam

penelitian dengan metode dan cara yang beragam (English et al. 1997, Hill and

Wilkinson 2004, Alquezar and Boyd 2007, Leujak and Ormond 2007, Burt et al.

2008).

Dalam beberapa literatur tidak disebutkan secara jelas bagaimana

menganalisis foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air. English et al.

(1997) pada petunjuk survey metode Permanent Quadrat dengan teknik fotografi,

tanpa merinci lebih dalam, menghitung nilai luasan suatu koloni berdasarkan

panjang dan lebar koloni tersebut. Hill and Wilkinson (2004) menentukan

persentase tutupan dari foto yang dihasilkan dengan metode Permanent Photo

Quadrat dengan cara menggunakan sampel titik dengan penempatan grid di atas

kuadrat (tanpa menyebutkan berapa banyak titik dan grid yang dipakai), atau

dengan cara mendigit foto (tanpa menyebut piranti lunak yang dipakai). Burt et

al. (2008) untuk memantau pemulihan karang setelah peristiwa pemutihan

karang (bleaching) di Dubai, Emirat Arab menganalisis foto menggunakan

piranti lunak CPCe (Kohler and Gill 2006) menggunakan 50 sampel titik acak

pada setiap frame foto hasil pemotretan pada luasan sekitar 0,25 m2. Leujak and

Ormond (2007) berdasarkan penelitiannya di Ras Um Sidh, Sinai Selatan, Mesir,

60

selain dengan cara menghitung luasan setiap koloni karang, juga dengan cara

menggunakan 100 sampel titik acak pada setiap frame foto yang dihasilkan dari

luasan bidang sekitar 1m2, dimana foto tersebut dihasilkan dari jarak pemotretan

sekitar 2 m dari substrat. Piranti lunak yang digunakan adalah Sigma ScanPro5.

Alquezar and Boyd (2007) pada penelitiannya di the Great Barrier Reef,

Australia, berdasarkan foto dengan luasan yang sama dengan Leujak and

Ormond (2007) yaitu 1 m2

5.2 Bahan dan Metode

menganalisis foto dengan piranti lunak CPCe (Kohler

and Gill 2006) menggunakan 20 titik yang dipilih secara acak pada setiap

framenya.

Adanya perbedaan-perbedaan jumlah titik acak yang dipilih dalam

menganalisis setiap frame foto, ditambah dengan lokasi penelitian yang berada di

luar Indonesia yang mungkin berbeda dengan kondisi terumbu karang di

Indonesia, menjadi alasan perlunya dilakukan analisis foto bawah air yang

pengambilan datanya menggunakan metode UPT dan dilakukan di perairan

Indonesia. Dari analisis tersebut diharapkan dapat diperoleh teknik yang efisien

dan akurat dalam proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu

karang.

5.2.1 Tempat dan waktu penelitian

Analisis data dilakukan berdasarkan pemilihan acak dari sepuluh lokasi

penelitian yang dilakukan di Kepulauan Seribu Jakarta (Lampiran 2) pada

Agustus 2008. Lokasi yang terpilih adalah Pulau Jukung dengan posisi koordinat

stasiun penelitian yang dicatat dengan menggunakan GPS (Global Positioning

System) berada pada posisi: 106° 31,44’ BT; 05°3 4,10’ LS.

5.2.2 Metode pengambilan data

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara penyelaman

menggunakan peralatan selam SCUBA. Metode penarikan sampelnya dilakuakn

dengan menggunakan metode UPT yang teknis pelaksanaan di lapangan seperti

yang telah diuraikan pada Bab 3 (Metodologi Penelitian).

61

Walaupun jarak antara kamera dengan dasar substrat telah ditentukan

sekitar 60 cm dari dasar substrat dan tanpa menggunakan pembesaran (zoom),

tetapi luas area hasil pemotretan untuk setiap kamera belum tentu sama,

tergantung ukuran lensa yang digunakan. Oleh karena itu, pada penelitian ini

pengambilan foto bawah air dilakukan dengan menggunakan dua macam kamera

yang berbeda. Dengan demikian juga bisa diketahui apakah penggunaan dua

macam kamera dengan luas area hasil pemotretan yang berbeda akan

memperoleh hasil analisis yang berbeda juga. Sebagai catatan, meskipun luas

area pemotretan tidak mutlak ditentukan oleh penggunaan tipe kamera (karena

bisa juga dengan merubah jarak pemotretan atau menggunakan pembesaran),

tetapi dalam penelitian ini, untuk pelaksanaan penelitian di lapangan dengan

tidak merubah-rubah pembesaran (zoom) dan juga untuk mempermudah istilah

penyebutan, perbedaan luas area pemotretan disebutkan oleh tipe kamera yang

digunakan. Kedua macam kamera digital yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah:

- Olympus µ720SW (selanjutnya hanya disebut SW) (Gambar 31),

- Olympus Camedia C8080WZ (selanjutnya hanya disebut WZ) (Gambar 32).

Gambar 31 Kamera digital Olympus µ720SW; a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung

Gambar 32 Kamera digital Olympus Camedia C8080WZ;

a. tanpa pelindung; b. dengan pelindung

62

Kamera SW merupakan kamera saku tahan air yang mampu dipakai di

bawah air hingga kedalaman 3 m. Untuk pemakaian bawah air yang

kedalamannya lebih dari 3 m diperlukan peralatan tambahan berupa pelindung

kamera (casing/housing) agar tahan terhadap tekanan dan rembesan air laut.

Sedangkan kamera WZ merupakan kamera darat sehingga untuk pemakaian

bawah air selalu diperlukan pelindung kamera untuk penggunaan bawah air.

Resolusi maksimum kamera SW adalah 3072 x 2304 piksel, sedangkan pada

kamera WZ sedikit lebih tinggi yaitu 3264 x 2448 piksel.

Pemotretan dengan jarak 60 cm dari dasar dan tanpa pembesaran (zoom)

dengan menggunakan kamera SW (lensa AF Wide zoom 6,71 mm)

menghasilkan luas bidang pemotretan (40 cm x 30 cm) = 1200 cm2 (Gambar

33a). Sedangkan bila menggunakan kamera WZ (lensa AF Wide zoom 7,1 mm)

menghasilkan luas bidang pemotretan (58 cm x 44 cm) atau 2552 cm2

(Gambar

33b) atau sekitar 2 kali lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hasil

pemotretan kamera SW.

Gambar 33 Luas bidang pemotretan dengan kamera: a. Olympus µ720SW; b. Olympus Camedia C8080WZ

5.2.3 Analisis foto

Foto-foto hasil pemotretan bawah air yang diperoleh dengan metode UPT

kemudian dianalisis di ruang kerja dengan menggunakan komputer dan piranti

lunak (software) CPCe (Kohler and Gill 2006). Piranti lunak ini bisa diunduh

(download) secara bebas lewat internet. Dengan menggunakan CPCe ini, analisis

foto dilakukan berdasarkan keseluruhan gambar (entire image) dari masing-

63

masing foto yang dihasilkan. Untuk panjang transek 70 m dengan pemotretan

dimulai dari titik 1 m dan rentang jarang pemotretan 1 m, maka dihasilkan foto

sebanyak 70 frame foto). Frame-frame tersebut masih berupa foto-foto yang

harus dianalisis untuk mendapatkan data-data kuantitatif, yang selanjutnya masih

perlu diolah untuk mendapatkan nilai-nilai seperti persentase tutupan.

Untuk mendapatkan data-data kuantitatif berdasarkan foto-foto bawah air

yang dihasilkan dari metode UPT ini, analisis data dilakukan terhadap setiap

frame dengan cara:

1. Menghitung luas area dari masing-masing kategori biota dan substrat.

(Gambar 34).

2. Pemilihan sampel titik acak (Gambar 35).

Banyaknya titik acak (random point) yang dipilih dalam analisis ini yaitu 5,

10, 20, 30, 40, 50 dan 60 titik. Cara ini merupakan aplikasi dari penarikan

sampel, dimana sebagai populasinya adalah semua biota dan substrat yang

terdapat dalam foto, sedangkan sampelnya adalah titik-titik yang dipilih

secara acak pada foto tersebut. Dengan cara ini, data yang dicatat hanyalah

biota dan substrat yang berada tepat pada posisi titik yang telah ditentukan

secara acak oleh software CPCe.

Pada kedua macam cara pengambilan data tersebut diatas, untuk kelompok

biota khususnya karang keras (hard coral) dicatat pula nama jenisnya.

Pencatatan nama karang keras diusahakan hingga tingkatan jenis (species) yang

mengacu pada Veron (2000a, 2000b, 2000c).

Gambar 34 Perhitungan luas area dari masing-masing kategori

64

Gambar 35 Pemilihan sampel titik acak

5.2.4 Analisis data

Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame foto

yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk

setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

(1). Untuk foto yang dianalis dengan teknik menghitung luas area:

𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 = 𝑙𝑙𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃

𝑙𝑙𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚 𝑓𝑓𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑓𝑓𝑘𝑘𝑃𝑃𝑘𝑘 𝑚𝑚 100%

(2). Untuk foto yang dianalisis dengan pemilihan sampel titik acak:

𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑃𝑃𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑝𝑝𝑚𝑚𝑃𝑃 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 = 𝑝𝑝𝑡𝑡𝑚𝑚𝑙𝑙𝑚𝑚ℎ 𝑃𝑃𝑖𝑖𝑃𝑃𝑖𝑖𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑃𝑃𝑃𝑃𝑘𝑘𝑘𝑘𝑃𝑃𝑖𝑖 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃

𝑡𝑡𝑚𝑚𝑃𝑃𝑏𝑏𝑚𝑚𝑘𝑘𝑃𝑃𝑏𝑏𝑚𝑚 𝑃𝑃𝑖𝑖𝑃𝑃𝑖𝑖𝑘𝑘 𝑚𝑚𝑎𝑎𝑚𝑚𝑘𝑘 𝑚𝑚 100%

Selain itu, untuk karang keras (HC) juga dihitung nilai keanekaragaman

seperti jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks

kemerataan Piellou (J’) menggunakan rumus yang telah diuraikan pada Bab 3

( Metodologi Umum Penelitian).

Berdasarkan analisis foto yang dilakukan pada 70 frame dengan dua

macam tipe kamera (SW dan WZ) dimana untuk setiap framenya digunakan

delapan macam teknik analisis foto (sebagai perlakuan) yaitu: teknik menghitung

luas bidang area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya

sampel titik acak yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60, maka tersedia =

65

70 x 2 x 8 = 1120 unit sampel. Dari data yang dihasilkan tersebut kemudian

dilakukan beberapa analisis statistik baik yang bersifat grafis maupun statistik

inferensi seperti uji statistik menggunakan Analisis Variansi (Analysis of

Variance = anova) untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang

pada kedua faktor (Neter et al. 1996). Anova dilakukan menggunakan program

Minitab v16. Selain itu dilakukan pula teknik eksplorasi seperti Multi

Dimensional Scaling (MDS) (Clarke and Warwick 2001) untuk melihat posisi

masing-masing perlakuan dengan menggunakan Primer v5 (Clarke and Gorley

2001).

5.2.5 Efisiensi

Untuk menentukan teknik mana yang lebih efisien maka digunakan analisis

biaya dan waktu (cost and time analysis), meliputi biaya untuk peralatan kamera

yang akan dipergunakan untuk pengambilan foto bawah air dan waktu saat

proses analisis foto untuk penyimpanan data kedalam komputer. Biaya-biaya

yang lainnya diasumsikan tidak berbeda. Semakin rendah biaya dan waktu yang

digunakan, maka semakin efisien teknik tersebut.

5.2.6 Akurasi

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Bab 4 sebelumnya terbukti bahwa

hasil yang diperoleh menggunakan metode UPT berdasarkan hasil pemotretan

dengan kamera WZ tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh menggunakan

metode BT dan LIT (p>0,01). Oleh karena itu, pada penelitian ini diasumsikan

bahwa analisis foto yang dihasilkan oleh kamera WZ (luas bidang pemotretan

yang lebih luas dibanding kamera SW) dan dianalis menggunakan teknik

menghitung luas area merupakan yang paling akurat. Dengan demikian hasil

yang diperoleh dari kamera WZ dan dihitung dengan menggunakan teknik

menghitung luas area (WZArea) dianggap sebagai kontrol untuk perlakuan-

perlakuan lainnya yang ingin diuji. Pertimbangan lainnya bahwa WZArea

ditetapkan sebagai perlakuan kontrol adalah sebagai berikut:

1. Analisis foto menggunakan cara menghitung luas area semua biota dan

substrat yang berada dalam foto dianalogikan dengan melakukan sensus

66

terhadap biota dan substrat yang berada dalam foto tersebut. Analisis foto

dengan teknik pemilihan sampel acak merupakan aplikasi dari teknik

penarikan sampel, dimana diharapkan hasil yang diperoleh dengan

menggunakan sampel titik acak akan mendekati hasil yang diperoleh dengan

cara menghitung luas area, yang dalam hal ini dianggap sebagai populasinya.

2. Semakin besar sampel yang diambil, maka akan semakin mewakili populasi

yang ingin digambarkan lewat sampel tersebut. Pengambilan foto dengan

hasil pemotretan yang lebih luas bisa diartikan sampel yang diambil semakin

besar.

Sokal and Rohlf (1995) mendefinisikan akurasi sebagai kedekatan suatu

pengukuran atau nilai yang diperoleh terhadap nilai yang sesungguhnya. Oleh

karena itu untuk menentukan keakurasian suatu teknik analisis foto (5, 10, 20, 30,

40, 50 dan 60 sampel titik acak), hasil analisisnya dibandingkan dengan hasil

perlakuan kontrol (WZArea). Semakin tinggi akurasi suatu teknik yang dipakai,

maka akan semakin berdekatan posisinya dengan WZArea pada gambar hasil

analisis MDS.

5.3 Hasil

5.3.1 Analisis biaya dan waktu

Analisis biaya dan waktu meliputi biaya yang harus dikeluarkan untuk

pembelian peralatan kamera bawah air serta waktu yang diperlukan untuk

menganalisis foto hasil pemotretan bawah air. Hasil analisisnya berupa data

kuantitatif berupa lembaran data (worksheet) yang tersimpan dalam komputer

yang siap untuk diolah lebih lanjut. Semakin rendah biaya yang harus

dikeluarkan serta semakin cepat waktu yang diperlukan untuk menganalis foto

per framenya, maka semakin efisien teknik analisis yang dipergunakan.

5.3.1.1 Biaya peralatan kamera bawah air

Biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian kamera bawah air tipe SW

berikut pelindungnya relatif lebih murah dibandingkan dengan kamera tipe WZ

berikut pelindungnya. Harga tipe kamera WZ berikut pelindungnya sekitar

67

sepuluh jutaan rupiah, atau sekitar dua setengah kali lebih mahal dibandingkan

kamera SW beserta pelindungnya yang berharga sekitar empat jutaan rupiah.

Dengan demikian, dari segi biaya, penggunaan kamera SW lebih efisien

dibandingkan kamera WZ. Ukuran kamera SW yang lebih kecil juga

mempermudah dalam pengoperasiannya di bawah air. Meskipun dari segi biaya

penggunaan kamera SW lebih efisien dibanding kamera WZ, tetapi karena dalam

penelitian ini penekanannya adalah ke luas bidang pemotretan (penyebutan tipe

kamera hanya untuk mempermudah dalam penyebutan istilah luasan bidang

pemotretan), maka untuk faktor biaya mungkin saja efisiensinya menjadi sama.

Misalnya kamera yang digunakan tetap kamera SW yang memiliki efisiensi yang

lebih tinggi dibanding kamera WZ, tetapi jarak pemotretan di perjauh sehingga

memiliki luas bidang pemotretan yang sama dengan yang dihasilkan kamera WZ.

5.3.1.2 Waktu analisis foto untuk penyimpanan data (data entry)

Foto yang dihasilkan dari pemotretan bawah air (dari pemotretan dengan

kamera SW dan WZ) dianalisis untuk masing-masing framenya dengan delapan

teknik analisis foto yang berbeda yaitu dengan teknik menghitung luas bidang

area dan teknik pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak

yang dipilih yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak. Lamanya waktu

yang dibutuhkan (dalam menit) dalam menganalisis setiap frame foto (terdapat

total 70 frame ) dengan menggunakan program CPCe sehingga diperoleh data

kuantitatif yang tersimpan dalam bentuk lembaran kerja (worksheet) dari

masing-masing perlakuan (berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang

digunakan) ditampilkan pada Lampiran 9.

Analisis pendahuluan menunjukkan bahwa data waktu yang diperlukan

untuk analisis foto perlu ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma

menggunakan bilangan dasar e (ln = natural logarithm). Hasil anova (Tabel 9)

menunjukkan adanya perbedaan waktu yang diperlukan untuk menganalisis data

dari setiap frame foto (p < 0,01). Keadaan seperti ini merupakan sesuatu yang

wajar dan sering terjadi. Berdasarkan pengalaman selama menganalisis foto,

semakin banyak jumlah kehadiran maupun keragaman biota dan substrat yang

ada dalam suatu frame maka semakin lama waktu yang diperlukan. Sebagai

68

contoh misalnya, frame foto yang terdiri hanya pasir saja, pasti akan lebih cepat

untuk dianalisis bila dibandingkan dengan frame foto yang terdiri dari

beranekaragam jenis karang.

Tabel 9 Nilai p terhadap waktu analisis foto frame berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (frame acak, faktor kamera acak dan faktor teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk ln

Sumber variasi Nilai p Frame 0,000 Kamera 0,985 Teknik 0,000 Kamera*Teknik 0,009

Selain itu, hasil anova (Tabel 9) menunjukkan bahwa waktu yang

diperlukan untuk menganalisis foto tidak berbeda secara nyata pada analisis yang

dilakukan terhadap hasil pemotretan dengan dua macam kamera yang berbeda

(p > 0,01). Meskipun begitu, terlihat bahwa teknik analisis foto yang digunakan

akan sangat berpengaruh terhadap lamanya waktu yang diperlukan untuk

melakukan analisis (p < 0,01) (Tabel 8). Gambar 36 menunjukkan bahwa waktu

yang diperlukan untuk analisis foto akan meningkat dengan semakin banyaknya

sampel titik acak yang dipilih untuk setiap frame foto, baik dari hasil pemotretan

menggunakan kamera SW maupun WZ. Pada proses analisis foto yang

dihasilkan dari kamera SW, waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto

menggunakan teknik menghitung luas area relatif tidak berbeda bila

dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dengan teknik pemilihan 60

sampel titik acak. Tetapi bila analisis datanya dilakukan berdasarkan hasil

pemotretan menggunakan kamera WZ, maka waktu yang diperlukan untuk

penyimpanan data dengan teknik menghitung luas area akan sedikit lebih lama

dibandingkan dengan teknik pemilihan 60 sampel titik acak (Gambar 36).

Adanya perbedaan tersebut ditunjukkan oleh nilai p < 0,01 untuk sumber variasi

interaksi antara Kamera dan Teknik (Kamera*Teknik) (Tabel 9).

69

Gambar 36 Lamanya waktu analisis foto untuk penyimpanan data berdasarkan tipe kamera dan teknik analisis foto yang digunakan. Data ditransformasi ke bentuk ln

Hasil analisis MDS (Gambar 37) memperjelas hasil yang diperoleh dimana

kelompok data yang berkode awalan ”SW” berhimpitan posisinya dengan

kelompok data yang berkode awalan ”WZ” untuk setiap teknik analisis foto

yang digunakan. Kedekatan tersebut semakin tampak jelas pada teknik pemilihan

sampel titik lebih dari 30 dan teknik menghitung luas area. Selain itu juga terlihat

bahwa pada penggunaan teknik pemilihan 60 sampel titik hampir berhimpit

posisinya dengan penggunaan teknik menghitung luas area. Ini menunjukkan

bahwa secara umum penggunaan kamera SW ataupun WZ tidak begitu

mempengaruhi waktu untuk proses analisis foto. Waktu yang dibutuhkan untuk

menganalisis frame foto menggunaan teknik pemilihan 60 sampel titik acak

relatif sama bila menggunakan teknik menghitung luas area.

Dengan demikian, dari segi efisiensi waktu analisis foto dapat disimpulkan

bahwa pemilihan sampel acak sebanyak 70 titik acak atau lebih tidak lagi

seefisien penggunaan waktu yang diperlukan untuk menganalisis data foto

dengan teknik perhitungan luas area. Oleh karena itu, untuk proses analisis foto

tidak disarankan menggunakan 70 sampel titik acak atau lebih untuk setiap

framenya, meskipun pada program CPCe memungkinkan untuk memilih hingga

500 sampel titik acak.

70

Gambar 37 MDS berdasarkan tipe kamera dan teknik yang digunakan terhadap

data lamanya waktu yang diperlukan untuk menganalisis foto (transformasi ln) menggunakan jarak Euclidean

5.3.2 Persentase tutupan biota dan substrat

Hasil perhitungan persentase tutupan biota dan substrat yang dihasilkan

dari pemotretan dua tipe kamera (kamera SW dan WZ) dengan delapan teknik

analisis foto yang berbeda (teknik menghitung luas bidang area dan teknik

pemilihan sampel titik acak dimana banyaknya sampel titik acak yang dipilih

yaitu 5, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 sampel titik acak). Dalam hal ini, biota dan

substrat dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu, Karang keras

(Hard Coral = HC), Karang mati (Dead Scleractinia = DS), Alga (Algae = ALG),

Biota Lain (Other Fauna = OF) dan Abiotik (Abiotic = ABI). Persentase tutupan

yang diperoleh untuk masing-masing kelompok berdasarkan tipe kamera dan

teknik analisis foto yang digunakan ditampilkan pada Lampiran 10 (kelompok

HC), Lampiran 11 (kelompok DS), Lampiran 12 (kelompok ALG), Lampiran 13

(kelompok OF) dan Lampiran 14 (kelompok ABI).

Hasil anova menunjukkan bahwa persentase tutupan yang dihitung dengan

berbagai teknik analisis foto menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk

kelompok HC, ALG, OF dan ABI (p < 5%), sedangkan untuk kelompok DS

tidak berbeda nyata (p > 5%) (Tabel 10).

Hasil MDS untuk melihat posisi masing-masing kombinasi perlakuan

ditampilkan pada Gambar 38. Untuk kelompok HC dan ALG, persentase tutupan

yang dihasilkan dengan teknik analisis foto menggunakan 5 sampel titik acak per

frame (baik dengan kamera SW maupun WZ) tampak sangat berbeda sekali

71

dengan teknik lainnya. Untuk kelompok DS dan OF, terlihat bahwa semakin

banyak sampel titik yang dipilih, maka akan semakin dekat posisinya dengan

hasil yang diperoleh menggunakan perhitungan luas area. Untuk kelompok ABI,

pemilihan 30 atau lebih sampel titik acak per framenya akan menghasilkan

persentase tutupan ABI yang dekat dengan teknik menghitung luas area (Gambar

38).

Tabel 10 Nilai p terhadap persentase tutupan biota dan substrat berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Data ditransformasikan ke bentuk arcsin akar pangkat dua

Sumber variasi Nilai p

HC DS ALG OF ABI Frame 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Kamera 0,313 0,088 0,923 0,039 0,633 Teknik 0,010 0,505 0,001 0,012 0,007 Kamera*Teknik 0,800 0,391 0,836 0,836 0,828

Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pemilihan sampel titik yang lebih

sedikit akan menyebabkan hasil yang lebih berbeda dengan perhitungan luas area.

Padahal, penggunaan sampel titik acak dimaksudkan untuk menduga nilai

persentase tutupan yang diperoleh dengan teknik perhitungan luas area. Jadi,

secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan sampel 30 titik acak per frame

sudah cukup akurat untuk menduga persentase tutupan kelompok biota dan

substrat (HC, DS, ALG, OF dan ABI) sekaligus. Sedangkan bila hanya tertarik

pada persentase tutupan HC saja, penggunaan 10 sampel titik acak per framenya

sudah cukup.

Gambar 38 MDS untuk persentase tutupan kelompok biota dan substrat menggunakan jarak Euclidean pada data yang ditransformasi ke

dalam bentuk arcsin akar pangkat dua

73

5.3.3 Keanekaragaman karang keras

Hasil perhitungan nilai–nilai keanekaragaman karang keras seperti nilai

jumlah jenis (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan

Piellou (J’) ditampilkan pada Lampiran 15 (untuk S), Lampiran 16 (untuk H’)

dan Lampiran 17 (untuk J’). Sebelum dilakukan anova, data jumlah jenis (S)

karang keras yang dihitung pada setiap framenya dinormalkan distribusinya

terlebih dahulu dengan mentransformasikannya ke dalam bentuk akar pangkat

dua. Untuk data nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks

kemerataan Pielou (J’) tidak perlu ditransformasi. Hasil anova menunjukkan

bahwa data jumlah jenis dan nilai indeks keaneragaman setiap framenya

bervariasi, ditunjukkan oleh nilai p < 1% pada sumber variasi ”Frame” (Tabel

11).

Tabel 11 Nilai p terhadap jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) berdasarkan hasil anova untuk rancangan dua faktor dengan pengukuran berulang pada kedua faktor (Frame acak, faktor Kamera acak dan faktor Teknik tetap). Transformasi akar pangkat dua diterapkan pada data S

Sumber variasi Nilai p

S H’ J’ Frame 0,000 0,000 0,000 Kamera 0,001 0,003 0,002 Teknik 0,000 0,000 0,000 Kamera*Teknik 0,077 0,109 0,941

Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman karang pada setiap framenya

bervariasi, dimana foto yang dihasilkan dengan kamera WZ cenderung lebih

tinggi menggambarkan keanekaragaman karang yang terjadi di lokasi penelitian

dibandingkan dengan foto yang dihasilkan kamera SW (p < 0,01) (Tabel 11,

Gambar 39). Keadaan seperti ini cukup beralasan karena luasan foto yang

dihasilkan oleh kamera WZ adalah dua kali lebih luas dibandingkan dengan foto

yang dihasilkan kamera SW. Semakin besar luasan foto yang dihasilkan maka

kemungkinan untuk menggambarkan keanekaragaman di suatu lokasi akan

semakin besar pula.

74

Selain itu, semakin banyak sampel titik acak yang dipilih maka akan

semakin dekat nilainya dengan hasil yang diperoleh menggunakan teknik

menghitung luas area, meskipun perbedaannya masih tetap tinggi antara hasil

yang diperoleh dengan teknik pemilihan sampel titik acak maksimum yang

digunakan dalam penelitian ini (60 titik) dengan teknik menghitung luas area.

(Gambar 39). Penggunaan lebih dari 60 titik kemungkinan akan menghasilkan

sampel yang akurat, tetapi tidak lagi efisien dari segi waktu analisis foto (lihat

hasil penelitian pada bagian analisis biaya dan waktu).

Gambar 39 MDS untuk jumlah spesies karang keras (S), indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan indeks kemerataan Pielou (J’) menggunakan jarak Euclidean. Untuk data S, ditransformasi akar pangkat dua

Gambar 39 memperlihatkan bahwa posisi nilai S, H’ dan J’ antara teknik

pemilihan sampel acak (baik kamera SW maupun WZ), teknik menghitung

luasan area hasil pemotretan kamera SW dan teknik menghitung luasan area

hasil pemotretan kamera WZ masih agak berjauhan. Berdasarkan asumsi yang

75

digunakan pada ”Metode Penelitian” untuk ”akurasi” maka dapat dikatakan

bahwa analisis foto untuk menghitung nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’)

menggunakan teknik analisis sampel titik acak (≤ 60 titik) memiliki keakuratan

yang rendah, termasuk juga bila menggunakan teknik perhitungan luas area

berdasarkan hasil pemotretan dengan kamera SW. Jadi, keakurasian perhitungan

nilai keanekaragaman (S, H’ dan J’) menggunakan teknik perhitungan luas area

berdasarkan hasil foto dengan kamera yang luas bidang pemotretan lebih besar

(kamera WZ), tidak dapat digantikan dengan menggunakan teknik sampel titik

acak ataupun teknik perhitungan luas area menggunakan kamera SW (bidang

pemotretan lebih kecil).

5.4 Pembahasan

Seiring dengan perkembangan teknologi, baik teknologi kamera digital

maupun teknologi komputer termasuk piranti lunaknya, membuat penggunaan

foto bawah air menjadi salah satu alternatif untuk menilai kondisi terumbu

karang. Bila dulu sebelum adanya teknologi kamera digital, penggunaan kamera

bawah air selain mahal dari segi peralatan, juga mahal dari segi pemrosesan

fotonya. Lagipula foto yang diambil dengan kamera analog tidak langsung

diketahui hasilnya, sehingga mungkin saja hasil foto yang diambil selama

penelitian tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lain halnya dengan penggunaan

kamera digital yang bisa langsung terlihat hasilnya. Bila hasil fotonya kurang

baik, bisa langsung diulang seketika. Selain itu, penggunaan fotografi bawah air

selain diyakini dapat mempercepat pengambilan data di lapangan, juga dapat

sebagai foto dokumentasi.

Untuk proses analisis foto, bila dulu sebelum berkembangnya piranti lunak

untuk analisis foto, objek yang akan difoto diberi frame yang terbagi atas

beberapa kotak kecil-kecil (grid) agar bisa diperkirakan luasan/persentase

tutupannya (atau bila pemotretan tanpa menggunakan frame, maka persentase

tutupan koloni dilakukan secara manual dari foto yang dihasilkan), kini terdapat

beberapa piranti lunak untuk pemrosesan analisis fotonya. Piranti lunak yang

dipakai antara lain Sigma Scan Pro, Image J ataupun CPCe. Sigma Scan Pro,

merupakan piranti lunak komersil, yang harus dibeli untuk mendapatkannya.

76

Image J dan CPCe merupakan piranti lunak yang bisa diunduh (download)

secara bebas. Image J, dapat digunakan untuk menghitung luas area, sedangkan

CPCe selain dapat menghitung luas area juga dapat dipakai untuk pemilihan

sampling titik. Menurut pengalaman penulis, penggunaan CPCe lebih mudah

dibandingkan dengan Image J. Oleh karena itu, untuk proses analisis foto pada

penelitian ini digunakan CPCe (Kohler and Gill 2006).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, secara umum dapat dikatakan bahwa

penggunaan 30 sampel titik acak per framenya sudah cukup untuk

mengetahui persentase tutupan dari semua kategori biota dan substrat secara

sekaligus. Bila hanya tertarik pada persentase tutupan kelompok Karang mati

(Dead Scleractinia = DS) saja, penggunaan lima sampel titik acak saja sudah

cukup. Bila hanya ingin melihat persentase tutupan Karang keras (HC = Hard

Coral), Alga (ALG), dan Biota lain (OF = Other Fauna) diperlukan sedikitnya

10 sampel titik acak, sedangkan bila ingin mengetahui persentase tutupan

Abiotik (ABI) setidaknya diperlukan 30 sampel titik acak. Untuk

keanekaragaman, baik untuk jumlah jenis, nilai indeks keanekaragaman Shannon

dan indeks kemerataan Pielou untuk karang keras sebaiknya menggunakan

teknik menghitung luas area berdasarkan hasil foto kamera WZ yang memiliki

luas bidang pemotretan yang lebih besar.

Penggunaan 30 sampel titik acak untuk menilai persentase biota dan

substrat agak berbeda dengan yang digunakan oleh Leujak and Ormond (2007)

yang menggunakan 100 sampel titik acak, Alquezar and Boyd (2007) yang

menggunakan 20 sampel titik acak serta Burt et al. (2008) yang menggunakan

50 sampel titik acak. Leujak and Ormond (2007) serta Burt et al. (2008) tidak

mengulas alasan pemilihan dalam menentukan banyaknya sampel titik acak.

Tetapi, sebenarnya bila diteliti lebih dalam, kedua macam pemilihan sampel titik

acak (100 dan 50 titik) yang dilakukan kemungkinan hasilnya tidak akan berbeda

bila dilakukan dengan hanya menggunakan 30 sampel titik acak. Penggunaan 50

atau 100 sampel titik acak memerlukan waktu analisis foto yang lebih lama bila

dibandingkan hanya menganalisis 30 sampel titik acak. Jadi, berdasarkan hasil

yang diperoleh dalam penelitian ini, pemilihan 100 sampel titik acak tidak akan

seefisien, terutama dari segi waktu analisis foto, bila dibandingkan dengan

77

menghitung luas area. Penggunaan sampel acak sebanyak 70 titik atau lebih

sebaiknya dihindari (Gambar 34).

Hasil yang diperoleh Alquezar and Boyd (2007), bila disimak mendalam

kemungkinan juga tidak berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian ini.

Alquezar and Boyd (2007) menyebutkan bahwa penggunaan 50 sampel titik acak

memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi dengan pertimbangan analisis waktu

maka digunakan 20 sampel titik acak. Sebagai catatan, Alquezar and Boyd

(2007), dalam penelitiannya tidak mengambil sampel titik antara 30 dan 50 titik,

melainkan hanya membandingkan antara 5 , 10, 20 dan 50 sampel titik acak.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dengan pertimbangan efisiensi dan akurasi

hasil yang diperoleh maka terdapat tiga pilihan proses analisis foto pada

penggunaan metode UPT untuk menilai kondisi terumbu karang. Ketiga pilihan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan 10 sampel titik acak per framenya dimana untuk setiap

framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan minimal (40 x

30) cm2

Merupakan pilihan bagi pengguna yang hanya ingin mengetahui kondisi

umum terumbu karang karena yang ingin diketahui hanyalah persentase

tutupan karang kerasnya saja (yang merupakan komponen utama penyusun

terumbu karang), tanpa ketertarikan akan biota dan substrat yang lainnya.

Pada pilihan ini, kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras juga

tidak diperlukan, sehingga pilihan ini juga sangat cocok bagi pengamat yang

memiliki kemampuan dasar (basic), dimana hanya bisa membedakan antara

kelompok karang keras dan kelompok selain karang keras.

.

Untuk mendapatkan foto dengan luas bidang pemotretan (40 x 30) cm2

tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kamera tipe SW dengan

jarak pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom.

Penggunaan kamera WZ yang memiliki luas bidang pemotretan yang lebih

besar dari yang dihasilkan kamera SW juga dimungkinkan meskipun tidak

lebih efisien dalam segi biaya karena harga kameranya lebih mahal. Bila

kamera SW maupun WZ tidak tersedia maka dapat juga digunakan kamera

78

tipe lain dengan cara mengatur zoom atau pun jarak pemotretan dari dasar

sehingga luas bidang pemotretan yang dihasilkan uintuk setiap framenya

minimal (40 x 30) cm2

2. Menggunakan 30 sampel titik acak per framenya dimana untuk setiap

framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan minimal (40 x

30) cm

.

2

Pilihan ini diperuntukkan bagi pengguna yang hanya tertarik untuk

mengetahui persentase tutupan kategori biota dan substrat, tanpa

ketertarikan akan keanekaragaman jenis karang keras. Dalam hal ini,

kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras tidak diperlukan.

Adapun tipe kamera yang digunakan adalah kamera SW dengan jarak

pemotretan dari dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Seperti

halnya pada pilihan 1 di atas, penggunaan kamera WZ yang memiliki luas

bidang pemotretan yang lebih besar dari yang dihasilkan kamera SW juga

dimungkinkan meskipun tidak lebih efisien dalam segi biaya karena harga

kameranya lebih mahal. Bila kamera SW maupun WZ tidak tersedia maka

dapat juga digunakan kamera tipe lain dengan cara mengatur zoom atau pun

jarak pemotretan dari dasar sehingga luas bidang pemotretan yang

dihasilkan uintuk setiap framenya minimal (40 x 30) cm

.

2

3. Menggunakan teknik menghitung luas area per framenya dimana untuk

setiap framenya dihasilkan dari foto dengan luas bidang pemotretan

minimal (58 x 44) cm

.

2

Pada pilihan ini, pengguna selain ingin mengetahui persentase tutupan biota

dan substrat, juga tertarik untuk mengetahui keanekaragaman karang keras

di suatu lokasi penelitian. Pilihan ini sangat cocok bagi pengguna yang

memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang keras. Adapun

kamera yang dipergunakan adalah kamera WZ dengan jarak pemotretan dari

dasar substrat 60 cm dan tanpa menggunakan zoom. Bila kamera WZ tidak

tersedia dan hanya tersedia tipe kamera yang menghasilkan bidang

pemotretan yang lebih kecil dibandingkan dengan kamera WZ (misal

kamera SW), maka bisa dilakukan dengan mengatur jarak pemotretan

.

79

sedemikian hingga bidang hasil pemotretannya sama dengan kamera WZ.

Misalnya dengan cara memperjauh jarak pemotretan terhadap substrat (lebih

dari 60 cm).

5.5 Kesimpulan

Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan akurasi hasil yang diperoleh serta

dikaitkan dengan tujuan dari penelitian, maka teknik yang digunakan untuk

analisis foto bisa dibagi ke dalam tiga pilihan. Pilihan ke-1 menggunakan 10

sampel titik acak, Pilihan ke-2 menggunakan 30 sampel titik acak, dan Pilihan

ke-3 menggunakan perrhitungan luas area untuk setiap frame yang dianalisis.

Luas minimal bidang pemotretan untuk setiap frame pada Pilihan ke-1 dan ke-2

adalah (40 x 30) cm2, sedangkan pada Pilihan ke-3 adalah (58 x 44) cm2

. Pilihan

ke-1 bertujuan hanya untuk mengetahui persentase tutupan karang keras saja,

Pilihan ke-2 bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan semua kelompok

biota dan substrat (kelompok HC, DS, ALG, OF dan ABI) yang berada dalam

ekosistem terumbu karang, sedangkan kelompok ke-3 selain bertujuan ingin

mengetahui persentase tutupan semua kelompok biota dan substrat, juga tertarik

untuk mengetahui keanekaragaman karang keras.