3. proposal final

24
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur, sehingga infeksi oleh karena jamur di Indonesia banyak ditemukan. (1) Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan negara tropis beriklim panas dan lembab,apalagi hygiene juga kurang sempurna. Di Jakarta golongan penyakit ini sepanjang masa selalu menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di daerah lain, seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Manado, keadaannnya kurang lebih sama, yakni menempati urutan ke-2 sampai ke-4 terbanyak dibandingkan golongan penyakit lainnnya (2) . M. Nasution, dkk melaporkan jumlah penderita dermatomikosis pada tahun 1996-1998 sebanyak 4.162 orang dari 20.951 penderita baru penyakit kulit yang berkunjung ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FK USU, RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi Medan. Dan pada tahun 2002 penyakit mikosis superfisialis merupakan penyakit kulit yang menduduki urutan pertama dibandingkan dengan penyakit kulit yang lain . (1). 1

Upload: tengku-reza-maulana

Post on 26-Dec-2015

37 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

aaa

TRANSCRIPT

Page 1: 3. Proposal Final

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan suhu

dan kelembaban yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur, sehingga

infeksi oleh karena jamur di Indonesia banyak ditemukan. (1)

Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan

negara tropis beriklim panas dan lembab,apalagi hygiene juga kurang sempurna.

Di Jakarta golongan penyakit ini sepanjang masa selalu menempati urutan kedua

setelah dermatitis. Di daerah lain, seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya,

dan Manado, keadaannnya kurang lebih sama, yakni menempati urutan ke-2

sampai ke-4 terbanyak dibandingkan golongan penyakit lainnnya(2).

M. Nasution, dkk melaporkan jumlah penderita dermatomikosis pada

tahun 1996-1998 sebanyak 4.162 orang dari 20.951 penderita baru penyakit kulit

yang berkunjung ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FK USU,

RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi Medan. Dan pada tahun 2002 penyakit

mikosis superfisialis merupakan penyakit kulit yang menduduki urutan pertama

dibandingkan dengan penyakit kulit yang lain. (1).

Di National Skin Centre Singapura pada tahun 1999–2003 didapatkan 12

903 kasus mikosis superfisialis. Kasus yang paling banyak adalah tinea pedis

(27,3%), kemudian pitiriasis versikolor (25,2%), dan tinea kruris (13,5%).

Kandidiasis juga sering didapatkan dengan kasus terbanyak adalah kandidiasis

intertriginosa. Tinea kapitis jarang didapatkan. (3).

1.2 Rumusan Masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi

peneliti untuk merumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan jumlah penderita mikosis superfisialis dengan

penderita penyakit kulit kelamin lainnya?

1

Page 2: 3. Proposal Final

2. Bagaimana prevalensi mikosis superfisialis rawat jalan di Rumkit tkt II

Putri Hijau Kesdam I/ BB Medan

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran umum mikosis superfisislais di Rumkit Tkt II

Putri Hijau Kesdam I/BB periode 2011–2013 , yang meliputi: kasus baru,

distribusi jenis penyakit, distribusi umur penderita, distribusi kelamin

penderita, distribusi waktu.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui perbandingan jumlah mikosis superfisialis dengan jumlah

penyakit kulit kelamin lainnya.

1.4 Manfaat

Dari uraian tujuan penelitian diatas, maka manfaat yang diharapkan adalah:

1. Peneliti dapat mengambil banyak pengetahuan yang lebih mendalam

mengenai berbagai mikosis superfisialis baik secara teori maupun

praktik.

2. penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan informasi tambahan

bagi dunia pendidikan kesehatan.

2

Page 3: 3. Proposal Final

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Mikosis Superfisialis

Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh

kolonisasi jamur atau ragi. Mikosis superfisialis yang paling sering dijumpai

adalah dermatofitosis, pitiarisis versikolor, dan kandidiasis superfisialis (4).

Mikosis Superfisialis yaitu jamur-jamur yang menyerang lapisan luar pada

kulit, kuku,dan rambut(5)

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur

dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum

korneum epidermis, rambut, dan kuku. Penyebab dermatofitosis adalah spesies

dari Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. (3).

Pitiriasis versikolor merupakan penyakit infeksi jamur superficial kronis pada

kulit yang disebabkan oleh Malasssezia furfur atau Pityrosporum orbiculare. (2,3,5).

Kandidiasis superfisialis merupakan infeksi primer pada kulit dan mukosa

dari genus Candida, terutama karena spesies Candida albicans. Kandidiasis

superfisialis yang sering dijumpai yaitu mengenai lipatan-lipatan kulit seperti

inguinal, aksila, lipatan dibawah dada (kandidiasis intertriginosa), daerah

popok/diaper, paronikia, onikomikosis, dan mengenai mukosa (kandidiasis oral,

vagintis,balinitis) (3,5).

2.2 Etiologi dan Klasifikasi Mikosis Superfisialis

Tabel 2.1 Ada dua golongan jamur yang menyebabkan mikosis superfisialis

yaitu non dermatofita dan dermatofita:

Jamur Lokasi Penyakit

Dermatofita

Microsporum canis

Microsporum audouini

Microsporun gypseum

rambut, kulit

rambut

kulit, rambut

3

Page 4: 3. Proposal Final

Trychophyton tonsurans

Trychophyton rubrum

Trychophyton mentagrophytes

Trychophyton violaceum

Epidermophyton flocosum

rambut, kulit,kuku

rambut. kulit, kuku

rambut, kulit

rambut,kulit,kuku

kulit

Non-Dermatofita

Pityrosporum orbiculare

(Malassezia furfur)

Cladosporium werneckii

Piedraia hortae

Trichosporon beigelii

kulit

kulit

rambut

rambut

Tinea vesikolor

Tinea nigra

Piedra hitam

Piedra putih

Sumber: (6)

Tabel 2.2 Pembagian Mikosis Superfisialis

Mikosis superfisialis

Dermatofitosis Nondermatofitosis

Tinea kapitis

Tinea barbae

Tinea kruris

Tinea pedis et manum

Tinea korporis

Tinea imbrikata

Tinea favosa

Tinea unguium

Pitiriasis versikolor

Piedra hitam

Piedra putih

Tinea nigra palmaris

Otomikosis

keratomikosis

Sumber : (5)

4

Page 5: 3. Proposal Final

2.2.1 Dermatofitosis

Penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk, seperti kuku,

rambut dan stratum korneum pada epidermis, yang disebabkan golongan jamur

dermatofita(2,5)

Jamur dermatofit dinamai sesuai dengan genusnya (Microsporum,

Trichophyton, dan Epidermophyton) dan spesiesnya (misanya: M.canis,

T.rubrum). Satu sama lain dapat dibedakan dengan pemeriksaan kultur(7)

Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari

tiga genus yaitu genus: Mikrosporon, Trikofiton dan Epidermofiton. Dari 41

spesies dermafito yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan

penyakit pada manusia dan binatang yang terdiri dari 15 spesies Trichophyton, 7

spesies Microsporum dan 1 spesies Epidermophyiton. (5,6).

Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit ialah:(4,5,6).

- Tinea kapitis, yaitu dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.

- Tinea barbae, yaitu dermatofitosis pada dagu dan jenggot.

- Tinea kruris, yaitu dermatofitosis pada daaerah genitokrural, sekitar anus,

bokong , dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.

- Tinea pedis et manum, yaitu dermatofitosis pada kaki dan tangan.

- Tinea unguium, yaitu dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.

- Tinea korporis, yaitu dermatofitosis pada bagian lain yang tidak

termasuk ke dalam bentuk tinea di atas.

2.2.2 Nondermatofitosis

Infeksi nondermatofitosis pada kulit biasanya terjadi pada kulit yang

paling luar. Hal ini disebabkan oleh jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat

yang dapat mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang

paling luar. (5)

5

Page 6: 3. Proposal Final

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassseizia furfur yang ditandai

dengan bercak putih sampai coklat yang bersisik, umumnya menyerang badan

dan kadang-kadang terlihat diketiak, sela paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit

kepala. (2,5,7,11)

Piedra adalah infeksi jamur pada rambut ,ditandai dengan benjolan

(nodus) sepanjang rambut, dan disebabkan oleh piedra hortai (black piedra) atau

Trichosporon beigelii (white piedra). (4,5)

Tinea nigra adalah infeksi jamur superficial yang disebabkan oleh

Cladosporium werneckii yang biasanya menyerang kulit telapak kaki dan tangan

dengan memberikan warna hitam sampai coklat pada kulit yang terserang. (5)

Otomikosis adalah infeksi jamur kronik atau subakut pada liang telinga

luar, yang ditandai dengan inflamasi eksudatif dan gatal, yang disebabkan oleh

Aspergillus, Penissilium, dan Mukor.(4,5)

Keratomikosis adalah infeksi jamur Aspergillus, Fusarium,

Cephalosporum, Curvularia, dan penicillium pada kornea mata yang

menyebabkan ulserasi dan inflamasi setelah trauma pada bagian tersebut diobati

dengan obat-obat antibiotic dan kortikosteroid(4).

Perbedaan antara dermatofitosis dan nondermatofitosis terletak pada

infeksi dikulit. Golongan dermatofitosis menyerang atau menimbulkan kelainan

didalam epidermis, mulai dari stratum korneum sampai stratum basalis, sedangkan

golongan nondermatofitosis hanya pada bagian superfisialis dari epidermis. Hal

ini disebabkan dermatofitosis mempunyai afinitas terhadap keratin yang terdapat

pada epidermis, rambut, dan kuku sehingga infeksinya lebih dalam. ( 5)

2.3 Patogenesis Mikosis Superfisialis

Dermatofita merupakan jamur keratinofilik yang normalnya ditemukan

pada jaringan keratinisasi yang sudah mati, seperti pada stratum korneum, sekitar

rambut, dan di lapisan kuku atau pangkal kuku. Gejala klinis dari infeksi

dermatofita menunjukkan hasil kerja kombinasi antara jaringan dan respon imun.

Jaringan yang rusak itu menunjukkan kelainan mekanis dan aktivitas enzimatis.

6

Page 7: 3. Proposal Final

Dermatofita memproduksi keratinolitik proteinase yang efektif pada pH asam dan

enzim ini berperan dalam faktor virulensinya. (8).

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi

pertahanan tubuh nonspesifik dan spesifik. Pada waktu menginvasi penjamu

(host), jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa

penjamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan penjamu. Selanjutnya

jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan penjamu dan dapat

menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia penjamu untuk dapat

berkembang biak dan menimbulkan reaksi radang. Dari berbagai kemampuan

tersebut, kemampuan jamur untuk menyesuaikan diri, dan kemampuan mengatasi

pertahanan selular, merupakan dua mekanisme terpenting dalam patogenesis

penyakit jamur. (9).

2.4 Cara Penularan Mikosis Superfisialis

Selain kontak langsung dengan manusia, penularan juga dapat terjadi

antara individu dengan binatang peliharaan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi

karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Infeksi

spesies antropofilik, seperti E.floccosum atau T.rubrum sering menyertai

autoinokulasi dari bagian tubuh lain yang terinfeksi misalnya kaki. Penyebaran

juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot, alat mandi, dan

sebagainya. (10).

Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-

kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor : (5,6).

1. Faktor virulensi dari dermatofita. Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur

itu, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing -

masing jenis jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap

manusia maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya: Trichophyton rubrum jarang

menyerang rambut, Epidermatophyton floccosum paling sering menyerang lipat

pada bagian dalam.

7

Page 8: 3. Proposal Final

2. Faktor trauma. Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih sulit untuk terserang

jamur.

3. Faktor suhu dan kelembaban.Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh

terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak

keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur

ini.

4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan. Faktor ini memegang peranan

penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan

sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan

dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.

5. Faktor umur dan jenis kelamin. Penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemuka

pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering

ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak

berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktor-

faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya), faktor

transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilan, dapat mempermudah

penyakit jamur ini.

2.5 Gejala klinis Mikosis Superfisialis

umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas

yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain,

sehingga memberikan kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang

aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang .Gejala objektif ini

selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papel-

papel atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit

dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya

menyerupai dermatitis (ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa

8

Page 9: 3. Proposal Final

makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder

menyerupai gejala-gejala pioderma (impetigenisasi). (5,6,12).

Dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi yang

khas, yaitu penderita merasa gatal dan kelainan yang terjadi berbatas tegas.

Bagian tepi lesi lebih aktif, tanda-tanda peradangan terlihat jelas daripada bagian

tengahnya. Eczema marginatum adalah istilah yang tepat untuk lesi dermatofitosis

secara deskriptif.(4,12).

Dermatofita merupakan organisme penyebab utama pada kepala, sela-sela

jari, telapak kaki, telapak tangan, dan kuku. Di negara berkembang, tinea pedis

merupakan kasus yang sering ditemukan. Berbeda dengan negara tropis yang

didominasi oleh kasus Tinea kapitis dan Tinea korporis. (1,12).

Golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan beberapa bentuk klinis

yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda,

bergantung pada lokasi anatominya. (2,5,12).

2.6 Penatalaksanaan Mikosis Superfisialis

A. Pengobatan Pencegahan : . (5,6,12)

1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika

faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan

lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus

dikeringkan betul dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.

2. Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat.

3. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun

yang menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau

bahan sintetis.

4. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air

panas.

B. Pengobatan lokal : . (5,6,12)

Infeksi pada badan dan lipat paha dan lesi-lesi superfisialis, di daerah

jenggot, telapak tangan dan kaki, biasanya dapat diobati dengan pengobatan

topikal saja.

9

Page 10: 3. Proposal Final

1. Lesi-lesi yang meradang akut disertai vesikula dan eksudat harus dirawat

dengan kompres basah secara terbuka, selang-seling atau terus menerus. Vesikel

harus dikempeskan tetapi kulitnya harus tetap utuh.

2. Toksilat, haloprogin, tolnaftate dan derivat imidasol seperti mikonasol,

ekonasol, bifonasol, kotrimasol dalam bentuk larutan atau krem dengan

konsentrasi 1-2% dioleskan 2 x sehari akan menghasilkan penyembuhan dalam

waktu 1-3 minggu.

3. Lesi hiperkeratosis yang tebal, seperti pada telapak tangan atau kaki

memerlukan terapi lokal dengan obat-obatan yang mengandung bahan keratolitik

seperti asam salisilat 3-6%. Obat ini akan menyebabkan kulit menjadi lunak dan

mengelupas. Obat-obat keratolotik dapat mengadakan sensitasi kulit sehingga

perlu hati-hati kalau menggunakannya.

4. Pengobatan infeksi jamur pada kuku, jarang atau sukar untuk mencapai

kesembuhan total. Kuku yang menebal dapat ditipiskan secara mekanis misalnya

dengan kertas amplas, untuk mengurangi keluhan-keluhan kosmetika. Pemakaian

haloprogin lokal atau larutan derivat asol bisa menolong. Pencabutan kuku jari

kaki dengan operasi, bersamaan dengan terapi griseofulvin sistemik, merupakan

satu-satunya pengobatan yang bisa diandalkan terhadap onikomikosis jari kaki.

C. Pengobatan sistemik. (5,6,12)

Pengobatan sistemik pada umumnya mempergunakan griseofulvin.

Griseofulvin adalah suatu antibiotik fungisidal yang dibuat dari biakan spesies

penisillium. Obat ini sangat manjur terhadap segala jamur dermatofitosis.

Griseofulvin diserap lebih cepat oleh saluran pencernaan apabila diberi bersama-

sama dengan makanan yang banyak mengandung lemak, tetapi absorpsi total

setelah 24 jam tetap dan tidak dipengaruhi apakah griseofulvin diminum

bersamaan waktu makan atau diantara waktu makan.

10

Page 11: 3. Proposal Final

Dermatofitosis

Mikosis Superfisialis

Nondermatofitosis

Tinea kapitisTinea barbaeTinea krurisTinea pedis et manumTinea korporisTinea imbrikata Tinea favosa Tinea unguium

Pitiriasis versikolorPiedra hitam Piedra putihTinea nigra palmarisOtomikosiskeratomikosis

Etiologi dan Klasifikasi Mikosis Superfisialis, Patogenesis Mikosis Superfisialis, Cara Penularan Mikosis Superfisialis, Gejala Klinis Mikosis Superfisialis,Penatalaksanaan Mikosis Superfisialis

Dosis rata-rata orang dewasa 500 mg per hari. Pemberian pengobatan

dilakukan 4 x sehari , 2 x sehari atau sekali sehari. Untuk anak-anak dianjurkan 5

mg per kg berat badan dan lamanya pemberian adalah 10 hari. Salep ketokonasol

dapat diberikan 2 x sehari dalam waktu 14 hari.

2.7 Kerangka Teori

Gambar 2. Kerangka Teori

11

Page 12: 3. Proposal Final

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif berdasarkan data rekam

medik dari Rumkit Tkt II Putri Hijau Kesdam I/BB. Bahan penelitian berupa data

sekunder dari buku registrasi pasien mengenai kejadian penyakit mikosis

superfisial.

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Rumkit Tkt II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan. Penelitian

berlangsung pada Juni 2014 - Febuari 2015.

3.3 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini, kerangka konsep prevalensi mikosis superfisialis rawat jalan

di Rumkit Tkt.II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan diuraikan berdasarkan

variabel-variabel dibawah :

12

Page 13: 3. Proposal Final

Gambar 3 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang diteliti.

: Variabel yang tidak diteliti.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan kejadian penyakit

Mikosis superfisialis pada tahun 2011 - 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. Pengambilan Sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

stratified random sampling. Adapun kriteria inklusi adalah sebagai berikut:

semua pasien yang menderita Mikosis Superfisialis yang berobat ke

Rumkit Tkt II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.

Berobat antara tahun 2011 sampai 2013.

Sedangkan kriteria ekslusi yang digunakan adalah pasien yang tidak mederita

Mikosis Superfisialis dan bukan berobat antara tahun 2011 sampai 2013.

Mikosis Superfisialis

Dermatofitosis

Nondermatofitosis

Pasien mikosis

superfisialis rawat jalan di

Rumkit Tkt.II Putri Hijau

Kesdam I/BB Medan

(2011-2013)

Virulensi dermatofita

Trauma

Suhu

Kelembaban

Kebersihan

Jenis kelamin

Usia

Variabel Dependent Variabel Independent

Variabel Pengganggu

13

Page 14: 3. Proposal Final

3.5 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berhubungan dari data medik

penderita penyakit mikosis superfisialis terbanyak di Poliklinik Kulit dan Kelamin

Rumkit Tkt II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan. Data yang dicatat berupa jenis

penyakit mikosis superfisialis, jenis kelamin, dan umur. Seluruh data yang

dikumpulkan untuk penelitian ini diperoleh dengan cara mencatat data yang

tersedia pada buku registrasi pasien

3.6 Metode Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama editing yaitu

mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta

memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding

yaitu memberi kode atau angka tertentu pada data untuk mempermudah waktu

mengadakan tabulasi dan analisa, tahap ketiga entry yaitu memasukkkan data

kedalam program computer dengan menggunakan program SPSS, tahap keempat

adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry

untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak (13).

14

Page 15: 3. Proposal Final

DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution MA. Mikrologi dan Mikologi Kedokteran: Beberapa Pandangan

Dermatologis. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam

Bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran

USU. (Online), (http://library.usu.ac.id/, diakses 31 Maret 2010),2006.

2. Harahap M. Dermatofitosis. in: Harahap M, Rachmah L, eds. Ilmu

Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000: 75-80.

3. Afif Nurul Hidayati, Sunarso Suyoso, Desy Hinda P, Emilian Sandra.

Dermatomikosis di Instalasi Rawat Inap Medik Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya (Penelitian Retrospektof Januari

1998-Desember 2002): Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK

UNAIR/RSU Dr.Soetomo.(Online) Vol 21,No1 (http://journal.unair.ac.id/,

diakses 31 Maret 2010), 2003

15

Page 16: 3. Proposal Final

4. Budimulja U. Mikosis. In: Budimulja U, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002: 90-7.

5. Siregar R.S. Mikosis Superfisialis. In: Hartanto H, ed. Penyakit Jamur

Kulit. Palembang: EGC, 2004: (II) 1-43.

6. Boel T. Mikosis Superfisial. USU digital library, (Online),

(http://library.usu.ac.id/, diakses 31 Maret 2010), 2003.

7. Graham R., Burns BT. Dermatologi. Alih Bahasa oleh M. Anies Zakaria.

Edisi 8. 2003. Jakarta: EMS. 32-41

8. Warnock DW. Texbook of Infectious Disease.2nd ed. Philadelphia: Mosby

Elsevier ltd, 2004.

9. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. In: Dermatomikosis

Superfisialis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

2004: (II) 7-18.

10. Goedadi MH. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. in: Dermatomikosis

Superfisialis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2004: 31-5.

11. Jawetz,Melnick . Textbook of Adelberg’s Medical Microbiology.23th ed.

The Mc Graw-Hill Companies, Inc.

12. Abidin T. Proporsi Dermatofitosis Superfisialis di RSUD Mataram

Periode Januari –Desember 2006.Mataram: Fakultas Kedokteran

Universitas Mataram. pp:8-16. 2008. Skripsi

13. Wahyuni AS. in Statistika kedokteran , Wahyuni AS ed , Jakarta Timur :

Bamboedoea Communication. 8-9

16

Page 17: 3. Proposal Final

17