3 pbl seven jump nursalam new 1

75
KONSEP PBL (PROBLEM BASED LEARNING) 2.2.1 Definisi PBL Menurut Prof.Howard Barrows dan Kelson. PBL adalah krurikulum dan proses pembelajaran, dan didalam di dalam kurikulumnya dibahas masalah-masalah yang menuntut mahasiswa mendap[atkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar sendiri, sehingga memiliki kecakapan berpartisopasi dalam tim, proses pembelajaran menggunakan metode pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah yang nanti diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari. Menurut Dutch (1994) PBL adalah metode instruktisional yang menantang mahasiswa “belajaar untuk belajar”, bekerja sama untuk mencari solusi bagi yang nyata. 2.2.2Manfaat PBL Menurut Smith (2005) 1)Meningkatkana kecakapan pemecahan masalahnya, 2)Lebih mudah mengingat, 3)Meningkatkan pemahaman, 4)Meningkatkan pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik 5)Mendorong mereka penuh

Upload: sylvia-febriana

Post on 22-Oct-2015

83 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

gvsz

TRANSCRIPT

Page 1: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

KONSEP PBL (PROBLEM BASED LEARNING)

2.2.1 Definisi PBL

Menurut Prof.Howard Barrows dan Kelson. PBL adalah krurikulum dan

proses pembelajaran, dan didalam di dalam kurikulumnya dibahas masalah-masalah

yang menuntut mahasiswa mendap[atkan pengetahuan yang penting, membuat

mereka mahir memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar sendiri, sehingga

memiliki kecakapan berpartisopasi dalam tim, proses pembelajaran menggunakan

metode pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah yang nanti

diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari. Menurut Dutch (1994) PBL

adalah metode instruktisional yang menantang mahasiswa “belajaar untuk belajar”,

bekerja sama untuk mencari solusi bagi yang nyata.

2.2.2 Manfaat PBL

Menurut Smith (2005)

1)Meningkatkana kecakapan pemecahan masalahnya,

2)Lebih mudah mengingat,

3)Meningkatkan pemahaman,

4)Meningkatkan pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik

5)Mendorong mereka penuh pemikirannya, membangun kemampuan,

kepemimpinan, dan kerja sama kecakapan belajar dan motivasi belaajar.

Dalam Problem Base Learning (PBL), proses belajar mengajar berpusat Pada

pembelajar (Learner Center) yang membuat pembelajar terbedakan. Sedangkan

pendekatan dengan Teacher Center sudah dianggap tradisional dan perlu diubah

Ching and Gallow.2000) dikarenakan “pendidikan bukanlah satu- satunya orang

yang memiliki sumber pengetahuan.”  TCL (teacher centered learning) adalah

suatu system pembelajaran dimana guru atau dosen menjadi pusat dari kegiatan

belajar mengajar sehingga terjadi komunikasi satu arah. Di sini ilmu di transfer

secara cepat dari dosen kepada mahasiswa secara drill sehingga daya serap dari

mahasiswa lemah karena hanya mendengarkan dari dosen. SCL atau Student

Page 2: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Centered Learning atau yang lebih dikenal dengan pembelajaran berpusat

mahasiswa. Pelaksanaan metode pembelajaran SCL diarahkan pada integrasi

knowledge management system sehingga diharapkan menghasilkan intellectual

capital yang bermanfaat. Dengan konsep SCL, mahasiswa bukan lagi sebagai

obyek dari pengembangan ilmu pengetahuan namun diharapkan menjadi pelaku

aktif dari pengisi content di dalam proses pembelajaran. Dosen hanya berperan

sebagai fasilitator dan motivator. Metode ini memiliki beberapa jenis

pembelajaran,yakni Dalam Problem Base Learning (PBL), proses belajar mengajar

berpusat Pada pembelajar (Learner Center) yang membuat pembelajar terbedakan.

Sedangkan pendekatan dengan Teacher Center sudah dianggap tradisional dan

perlu diubah Ching and Gallow.2000) dikarenakan “pendidikan bukanlah satu-

satunya orang yang memiliki sumber pengetahuan.”  TCL (teacher centered

learning) adalah suatu system pembelajaran dimana guru atau dosen menjadi pusat

dari kegiatan belajar mengajar sehingga terjadi komunikasi satu arah. Di sini ilmu

di transfer secara cepat dari dosen kepada mahasiswa secara drill sehingga daya

serap dari mahasiswa lemah karena hanya mendengarkan dari dosen. SCL atau

Student Centered Learning atau yang lebih dikenal dengan pembelajaran berpusat

mahasiswa. Pelaksanaan metode pembelajaran SCL diarahkan pada integrasi

knowledge management system sehingga diharapkan menghasilkan intellectual

capital yang bermanfaat. Dengan konsep SCL, mahasiswa bukan lagi sebagai

obyek dari pengembangan ilmu pengetahuan namun diharapkan menjadi pelaku

aktif dari pengisi content di dalam proses pembelajaran. Dosen hanya berperan

sebagai fasilitator dan motivator. Metode ini memiliki beberapa jenis

pembelajaran,yakni diantaranya Cooperative learning, Collaborative learning,

Competitive learning, Case based learning, Project based learning,dan Problem

based learning. 1. Sistem pembelajaran collaborative merupakan system

pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkup kelompok kecil. Dimana para

mahasiswa saling bekerja sama untuk bertukar pengetahuan guna mencapai tujuan

pembalajaran secara umum. Didalam proses diskusi setiap mahasiswa harus aktif,

bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai., saling memberi masukan,

saling menerima pendapat orang lain dengan bijak dan saling menghargai

Page 3: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

kemampuan dari mahasiswa lain nya. Proses pembelajaran ini terjadi di lingkungan

social yang memungkinkan terjadinya komunikasi. 2. Sistem pembelajaran

cooperative merupakan system pembelajaran yang dilaksanakan oleh sekelompok

kecil mahasiswa yang dimana mahasiswa tersebut belajar dari dan dengan teman-

temannya. Dengan system ini mahasiswa dituntut untuk aktif guna mencapai tujuan

belajar tertentu sehingga mahasiswa bertanggung jawab atas hasil pembelajaran

yang dicapai. Dalam pembelajaran ini terdapat kunci pertanyaan yakni know ( apa

yang anda ketahui tentang pokok bahasan yang sedang di diskusikan?), want to

know (apa yang ingin anda ketahui dalam diskusi itu?), learnt( apa yang telah anda

pelajari sehubungan dengan diskusi itu?) 3. Sistem pembelajaran competitive

merupakan system pembelajaran yang memiliki maksud adanya suatu kompetisi.

Mahasiswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Hal

ini kompetisi dapat terjadi secara individu (berkompetisi dengan dirinya sendiri

dibandingkan prestasi sebelumnya) maupun kompetisi kelompok (membangun

kerjasama kelompok untuk mencapai prestasi tinggi) 4. Sistem pembelajaran

Project/research based merupakan system pembelajaran yang dilakukan dengan

cara melakukan penelitian-penelitian untuk dapat menyelesaikan suatu masalah

serta untuk mencapai tujuan belajar. 5. System pembelajaran case based merupakan

system yang memiliki tujuan untuk mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan

kehidupan yang sesungguhnya. System ini menuntut mahasiswa bertindak sebagai

subjek pembelajaran aktif. 6. Problem based learning (PBL) a) Definisi PBL adalah

proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam

kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari

masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai

sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk

pengetahuan dan pengalaman baru. b) Ciri-ciri utama Berdasarkan pendapat dari

Bridges ( 1992 ) dan Charlin ( 1998 ) system PBL memiliki 9 ciri utama,yaitu: i.

Pembelajaran bermula dengan masalah ii. Masalah yang digunakan merupakan

masalah nyata iii. Pengetahuan yang diharapkan dicapai mahasiswa disusun

berdasarkan masalah. iv. Mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses

pembelajaran mereka sendiri. v. Mahasiswa akan bersifat aktif vi. Pengetahuan

Page 4: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pengetahuan yang baru. vii.

Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna. viii. Mahasiswa

berpeluang untuk meningkatkan pengetahuan ix. Pembelajaran berlaku dalam

kumpulan kecil/kelompok. c) Metode Menurut Alder ( 1997 ) dan Milne ( 1995 )

mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada identifikasi

permasalahan serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan. Metode ini

dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan

interaksi serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan.

Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi menerapkan

PBL, berbeda dengan kurikulum konvensional. Kurikulum PBL mengubah dan

mentransformasikan seluruh kurikulum konvensional menjadi system blok melalui

pemetaan kurikulum dan tujuan belajar yang terintegrasi. Konsep integrasi dengan

pendekatan PBL sesuai dengan paradigma baru pendidikan kedokteran yakni

SPICES (Student centered, Problem based learning, Integrated curriculum,

Community based, Early clinical exposure dan Systematic). Dengan demikian

diharapkan mahasiswa mampu belajar mandiri dan sistematis, dalam suatu

kerangka pemahaman yang terintegrasi dan berdasar pada masalah yang umum

timbul dalam masyarakat.“Perbedaan antara system pembelajaran TCL dengan

SCL” Perubahan dari TCL menuju SCL di pendidikan tinggi merupakan tantangan

terhadap administrator, dosen, dan mahasiswa. Tantangan tadi bersumber pada

berbagai perbedaan yang ada sebagai akibat dari perubahan system pembelajaran.

Perbedaannya ialah :

Page 5: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Table 5. Perbedaan TCL dan SCL

TCL (Teacher Centered

Learning)

SCL (Student Centered

Learning)Dosen berperan sebagai otoritas formal Dosen memberi kuliah kepada mahasiswa

Belajar adalah kegiatan individualis dan kompetitif

Aktivitas mahasiswa bersifat pasif

Isi tidak bersifat kontekstual

Materi kuliah merupakan bagian terpenting

Pengetahuan diberikan secara terpisah oleh beberapa dosen

Waktu yang digunakan lebih singkat

Dosen berperan sebagai fasilitator, motivator

Mahasiswa bertanggung jawab atas pembelajarannya

Mahasiswa belajar dalam suasana kolaboratif

Aktivitas bersifat aktif Isi bersifat kontekstual dan relevan

Proses belajar dan isi yang dipelajari merupakan dua hal yang penting

Mahasiswa dihadapkan pada masalah yang otentik dan terintegrasi

Waktu yang digunakan cukup lama

“Hubungan system SCL dengan PBL “Dengan adanya suatu system yang bersifat

non konvensional, setiap mahasiswa dituntut aktif dalam system pembelajaran SCL

(Student Centered Learning). Setiap pembelajarannya mahasiswa akan selalu

dihadapkan pada suatu masalah yang terjadi di masyarakat. Dengan system ini

mahasiswa harus dapat menguraikan masalah-masalah tersebut secara ilmiah dan

sistematis melalui suatu metode. System SCL memiliki beberapa metode,salah satu

diantaranya adalah metode PBL Di dalam metode ini terdapat tujuh langkah yang

harus di tempuh mahasiswa yang sering dikenal dengan istilah seven jumps.

Metode PBL ini memiliki keunggulan serta kelemahan di bandingkan dengan

metode-metode lain yang terdapat dalam system SCL.

Page 6: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa adalah pembelajaran dengan

menggunakan sepasang perspektif, yaitu fokus pada individu pembelajar

(keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, dan

kebutuhan) dengan fokus pada pembelajaran (pengetahuan yang paling baik tentang

pembelajaran dan bagaimana hal itu timbul serta tentang praktek pengajaran yang

paling efektif dalam meningkatkan tingkat motivasi, pembelajaran, dan prestasi

bagi semua pembelajar. Fokus ganda ini selanjutnya memberikan informasi dan

dorongan pengambilan keputusan pendidikan.

Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif mahasiswa ini berarti dosen

tidak mengambil hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya.

Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, maka mahasiswa

memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya

sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning),

dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas mahasiswa.

Tantangan bagi dosen sebagai pendamping pembelajaran mahasiswa, untuk dapat

menerapkan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa perlu memahami tentang

konsep, pola pikir, filosofi, komitmen metode, dan strategi pembelajaran. Untuk

menunjang kompetensi dosen dalam proses pembelajaran berpusat pada mahasiswa

maka diperlukan peningkatan pengetahuan, pemahaman, keahlian, dan ketrampilan

dosen sebagai fasilitator dalam pembelajaran berpusat pada mahasiswa.

Peran dosen dalam pembelajar berpusat pada mahasiswa bergeser dari semula

menjadi pengajar (teacher) menjadi fasilitator. Fasilitator adalah orang yang

memberikan fasilitasi. Dalam hal ini adalah memfasilitasi proses pembelajaran

siswa. Dosen menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai pendamping

(guide on the side) bagi mahasiswa.

Bekal bagi para dosen untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator salah

satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.

Page 7: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Ada 5 faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip

psikologis pembelajaran berpusat pada mahasiswa, yaitu:

1) Faktor Kognitif yang menggambarkan bagaimana mahasiswa berpikir dan

mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses

pembentukan makna informasi dan pengalaman;

2) Faktor Afektif yang menggambarakan bagaimana keyakinan, emosi, dan

motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa

banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti

pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi

pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar,

semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi mahasiswa untuk belajar;

3) Faktor Perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual,

emosional, dan sosial dipengaruhi oleh factor genetik yang unik dan faktor

lingkungan;

4) Faktor Sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam

proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini

mencerminkan bahwa dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat

saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual;

5) Faktor Perbedaan yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu

yang unik dan kapasitas masing-masing berpengaruh dalam pembelajaran.

Prinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang

berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.

Page 8: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

2.2.3 Peran Pengajar Dalam Model PBL

Pengajar yang baik akan memaksimalkan kesempatan tutorial dengan bersikap aktif

dalam segala cara : dalam perencanaan dan persiapan, dalam menedengar, dalam

mendorong pemikiran kritis, dalam memperkaya wawasan, dalam memberikan

umpan balik verbal dan non verbal dan terkendali dalam menyampaikan informasi.

Pengajar yang aktif harus mempunyai rencana untuk setiap tutorial, akan tetapi

jarang mengacu padanya ; harus memiliki pengetahuan tetapi tidak

mengungkapkannya; harus mempunyai pertanyaan tetapi tidak terpaksa untuk

mengajukannya. (Glick, 1991, hlm. 1)

Makna peran pengajar dalam model PBL dan strategi untuk keberhasilan

pelaksanaan peran tersebut, sudah lama dikaji dari sudut pandang peserta didik

maupun pengajar dan dijelaskan oleh sejumlah penulis.

1. Persepsi peserta didik terhadap makna peran pengajar

Menurut peserta didik, peran pengajar sangat penting untuk mewujudkan

pembelajaran yang efektif dalam tutorial PBL. Pernyataan tersebut dipertegas

oleh hasil studi terbaru Rideout (1999) yang memuat beberapa komentar peserta

didik dalam program PBL mengenai peran dan pengaruh pengajar.

Menurut saya, pengajar merupakan tokoh vital yang menggerakkan kelompok

dan memungkinkan kami mengungkap segala sesuatu yang penting karena

pengajar mengetahui lebih baik daripada kami apa yang penting dan apa yang

harus kami lakukan dari hal tersebut.

Kelompok kami menjadi berkat upaya pengajar. Ia membantu kami

mengidentifikasi masalah kami sendiri,jika seseorang tertinggal, maka ia akan

membantu kami menghadapinya. Ia membuat proses menjadi mudah.

Komentar serupa tampak dalam hal penelitian Vortanen, Kosunen, Holmberg-

Marttila, dan Virjo (1999) erhadap peserta didik kedokteran di Finlandia, yang

menjelaskan peran pengajar sebagai fasilitator dan bukan pemimpin kelompok,

dan membantu kelompok tetap terfokus: Komentar khusus yang diajukan

mencakup : pengajar mengkaji di arah yang benar tetapi tidak menguliahi.

Pengajar tidak banyak bicara. Ia dapat mengendalikan segala sesuatu jika perlu.

Page 9: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Von Dobeln (1996) menceritakan pengalamannya yang serupa sebagi peserta

didik dalam program kedokteran PBL di Swedia; ia menekankan pentingnya

keterlibatan pengajar dalam pembelajarannya pada mata ajaran dinamika

kelompok, dan pengajar juga membantu menyadarkan kelompok jika kelompok

terlalu hanyut dalam diskusi yang menyimpang dari topic permasalahan yang

sebenarnya. Menurutnya : “Jebakan yang dapat mengenai pengajar adalah jika

pengajar menjadi terlalu ikut campur dan tidak membiarkan peserta didiknya

menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri. Memang tidak mudah

menjadi pengajar yang baik” (hlm 96).

2. Persepsi pengajar terhadap peran pengajar

Peran pengajar menurut hasil penelitian Rideout (1999), adalah sebagai

pembimbing dan penasihat. Dalam memenuhi peran tersebut pengajar hadir

untuk menantang peserta didik mengkaji masalah dalam hal kedalaman,

memastikan bahwa peserta didik mengembangkan informasi yang tepat dan

terbaru, dan menetapkan standar pencapaian. Pengajar juga menjelaskan

pentingnya “menyadarkan peserta didik bahwa anda mengetahui apa yang

mereka bicarakan” dan “menantang mereka jika mereka memiliki informasi

tidak benar”. Peserta didik juga mengakui bahwa semua kegiatan di atas harus

berlangsung dalam lingkungan yang mendukung, dalam suasana saling percaya

dan perhatian yang difasilitasi oleh pembimbing.

3. Perilaku pengajar yang efektif dan tidak efektif

Ada beberapa karakteristik pribadi dan professional dari seorang pengajar

berguna yang disebutkan oleh beberapa penulis. Mayo, Donnelly, dan Schwartz

(1995) menyatakan bahwa pengajar yang efektif atau sangat baik memiliki

kemampuan dan kesabaran untuk mendengarkan peserta didik. Karena pengajar

yang menjawab langsung dapat “memperpendek” keseluruhan proses

pembelajaran, pengajar yang efektif memiliki sikap yang tegas untuk tidak

memberikan jawaban secara dini atau tidak memaksakan pandangan pribadi

saat peserta didik tersendat. Selain itu, pengajar yang trampil mendukung

kelompok dalam rangkaian tindakan dan membimbing mereka menjalani

Page 10: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

langkah-langkah yang ada dalam proses PBL. Mereka menjaga agar dialog tetap

terfokus, member umpan balik yang membangun dan berfokus pada perilaku

dan bukan pada sifat kepribadian, dan bertindak sebagai model peran dengan

memperlihatkan kemampuan mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip PBL.

Menurut Rdeout (1999), pengajar dapat dikatakan membantu jika mereka 1)

memperlihatkan pengetahuan dan keahlian, termasuk mengikuti perkembangan

di bidang klinis dan 2) berinteraksi dengan peserta didik dengan cara

menunjukkan antusiasme, minat terhadap peserta didik dan pembelajaran

mereka, empati dan kesabaran, dukungan, fleksibilitas, dan perhatian serta

keterlibatan dalam pembelajaran peserta didik.

Berikut karakteristik dan perilaku pengajar yang menghambat pembelajaran

menurut Rideout (1999) : 1) bersikap kasar dank eras di dalam interaksi peserta

didik-pengajar (misalnya terlalu vocal, sinis, kritis, dan/atau kaku); dan 2)

memperlihatkan kurangnya kedekatan dengan peserta didik (mis : tidak teratur,

tidak berkarisma, tidak tepat waktu, terlalu menjauh, tidak konsisten, dan

subyektif ; serta tidak ikut mengatasi masalah dalam proses kelompok).

Page 11: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

KONSEP METODE SEVEN JUMP

2.3.1 Definisi Metode Seven Jump

Seven jump adalah suatu cara belajar yang membentuk, mengarahkan dan

menuntun mahasiswa untuk menjadi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Seven

Jump merupakan salah satu metode yang telah banyak digunakan di dunia

pendidikan kedokteran. Metode tersebut digunakan mengingat pada dunia

pendidikan kedokteran diberlakukan model Problem Based Learning. Metode ini

juga akan merangsang mahasiswa untuk berfikir aktif, inovatif dan explorative.

Pembelajaran dimulai dari pemunculan suatu masalah, kemudian mahasiswa

bersama dosen akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan tujuh langkah

yang dikenal sebagai Seven Jump Method.

Page 12: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

2.3.2 Langkah-langkah Metode Seven Jump

SJM merupakan sebuah metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Gijselaers

(1995) sebagai metode pembelajaran untuk tutorial calon dokter pada University of

Limburg-Maastricht dengan pendekatan Problem Based Learning. Sesuai dengan

namanya, pada metode ini terdapat tujuh langkah pembelajaran yang harus dialami

oleh peserta didik, yaitu 1) Klarifikasi terminologi dan konsep yang belum

dipahami, 2) Mendefinisikan Permasalahan, 3) Menganalisis permasalahan dan

menawarkan penjelasan sementara, 4) Menginventarisir berbagai penjelasanan yang

dibutuhkan, 5) Menformulasi tujuan belajar, 6) Mengumpulkan informasi melalui

belajar mandiri, 7) Mensintesis informasi baru dan menguji serta mengevaluasinya

untuk permasalahan yang sedang dikemukakan dan melakukan refleksi penguatan

hasil belajar.

Senada dengan Gijselaers, Global Supply Chain Management Blog menyebutkan

tujuh langkah SJM sebagai berikut:

1) Identify and define unknown terms and concepts, 2) Identify and describe the

problem in the case, 3) Analyze the problem by brainstorming possible solutions, 4)

Critique the results of your brainstorming session and choose the most appropriate

solutions, 5) Define the learning issues and objectives. What must you learn to

implement the solutions? 6) Engage in self-direct study to collect information and

knowledge to fill the gaps specified by the learning issues, 7) Synthesize the

information and evaluate its utility in resolving the original problem.

Ketujuh tahap tersebut dilakukan dalam tiga sesi belajar, yaitu tatap muka pertama,

belajar mandiri, dan tatap muka kedua. Selengkapnya, tahap-tahap SJM disajikan

pada Tabel 6.

Page 13: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Tabel 6. Tahap Pelaksanaan SJM

‘ Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa SJM memiliki tiga sesi belajar, yakni 1)

pertemuan klasikal pertama, 2) belajar mandiri, dan 3) pertemuan klasikal

kedua. Pada pertemuan klasikal pertama, dosen akan menyampaikan permasalahan

yang harus diselesaikan oleh mahasiswa sekaligus mengembangkan diskusi singkat

tentang terminologi atau konsep baru yang mungkin belum difahami oleh

mahasiswa. Mahasiswa dengan difasilitasi dosen akan mendefinisikan

permasalahan dan menentukan daftar penjelasan (teori) yang harus dikuasai untuk

menjawab permasalahan. Pada bagian akhir sesi pertama ini, mahasiswa akan

menentukan tujuan belajarnya.Setelah pertemuan klasikal pertama, mahasiswa akan

belajar secara mandiri untuk mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan.

Mahasiswa ditugaskan untuk melakukan kaji pustaka dengan cara mencari referensi

baik di perpustakaan maupun internet atau sumber informasi yang lain. Selanjutnya

pembelajaran memasuki sesi ketiga, yaitu pertemuan klasikal kedua. Pada

pertemuan kedua ini, mahasiswa bersama dosen akan menggunakan berbagai

informasi yang telah diperoleh untuk mensintesis jawaban atas permasalahan yang

Page 14: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

diajukan pada sesi pertama. Selain itu, pada pertemuan kedua ini, mahasiswa

bersama dosen akan melakukan refleksi dan sekaligus penguatan atas proses dan

hasil belajar yang telah dilakukan.

Sebuah skenario membutuhkan 2 kali pertemuan untuk diskusi kelompok

dalam waktu satu minggu. Konsultasi pakar bila dibutuhkan oleh mahasiswa.

Diskusi pleno pada akhir blok sekaligus bersifat sebagai konsultasi pakar,

dengan kehadiran seluruh pakar yang terlibat. Belajar Mandiri, Praktikum,

Keterampilan Medik, Role play / bermain peran, Case-based teaching dan Bed

side teaching

Page 15: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Langkah-langkah SJM vs Komponen Kemampuan Critical Thinking vs Asuhan Keperawatan

Langkah-Langkah SJM

Kemampuan Critical

Thinking

Asuhan Keperawatan

1.Klarifikasi terminology dan konsep yang belum difahami

2.Mendefinisikan permasalahan

3.Menganalisis permasala han dan menawarkan penjelasan sementara

4.Menginventarisir berbagai penjelasanan yang dibutuhkan

5.Menformulasi tujuan belajar

6.Mengumpulkan informasi melalui belajar mandiri

7.Mensintesis informasi baru dan menguji serta mengevaluasinya untuk permasalahan yang sedang dikemukakan. Melakukan refleksi penguatan hasil belajar.

1. Interpretasi2. Analisis3. Evaluasi4. Inferensi

1. Pengkajian Pengumpulan data Pengolahan data

2.Analisis data Merumuskan masalah Merumuskan diagnosa

keperawatan Menentukan prioritas

diagnosa keperawatan3. Perencanaan Tujuan Intervensi Rasional

4. Implementasi5. Evaluasi

Page 16: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian kajian teori, bahwa tujuh tahap

pembelajaran yang menggunakan metode SJM secara garis besar dapat dilakukan

dalam tiga sesi kegiatan belajar.

Sesi pertama: dilaksanakan suatu kegiatan pembelajaran

klasikal untuk menyelesaikan langkah petama sampai

langkah kelima.

Sesi kedua: dilaksanakan kegiatan belajar mandiri untuk

menyelesaikan langkah keenam.

Sesi ketiga: kembali dilakukan kegiatan belajar klasikal

untuk melaksanakan langkah ketujuh SJM.

Pada sesi kegiatan belajar pertama berlangsung tahap-tahap sebagai berikut: 1)

Klarifikasi terminologi dan konsep yang belum difahami, 2) Mendefinisikan

permasalahan, 3) Menganalisis permasalahan dan menawarkan penjelasan

sementara, 4) Menginventarisir berbagai penjelasanan yang dibutuhkan, dan 5)

Menformulasi tujuan belajar. Pada awal sesi pertama, dosen menyampaikan

permasalahan yang harus dipecahkan oleh mahasiswa (hal ini sebagai ciri khas

Problem Based Learning). Setelah permasalahan dilontarkan, mahasiswa dengan

bimbingan dosen akan mendiskusikan terminologi atau konsep-konsep baru yang

mungkin belum diketahui oleh sebagian atau keseluruhan mahasiswa. Agar

permasalahan lebih kongkrit, dosen perlu untuk membawa permasalahan tersebut di

dalam kelas, baik melalui demonstrasi, pemutaran video, maupun penggunaan

model dari suatu permasalahan. Jalan ini ditempuh agar mahasiswa dapat

mendefinisikan permasalahan secara utuh. Setelah masalah berhasil didefinisikan

secara utuh oleh mahasiswa, diskusi kelas dikembangkan untuk menganalisis

permasalahan dan sekaligus menawarkan solusi sementara. Solusi sementara ini

dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan mahasiswa sebelumnya dan

oleh karena itu harus diuji kebenarannya. Untuk itu dilakukan kajian pustaka dalam

rangka menginventarisir berbagai penjelasan yang dibutuhkan dalam rangka

Page 17: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

menguji “solusi sementara” yang telah dilontarkan. Sehingga diakhir sesi pertama

ini, diharapkan mahasiswa dapat menentukan cara yang tepat untuk membuktikan

kebenaran “solusi sementara” melalui serangkaian kegiatan mandiri yang akan

dikerjakan pada sesi kedua pembelajaran.

Berdasarkan uraian kegiatan pembelajaran pada sesi pertama, dapat dibuat

hubungan antara sesi ini dengan komponen kemampuan critical thinking dan

asuhan keperawatan Langkah pertama dan kedua SJM, yakni 1) Klarifikasi

terminologi dan konsep yang belum difahami, dan 2) Mendefinisikan

permasalahan, dapat dimanfaatkan dosen untuk meningkatkan kemampuan

interpretasi dari komponen critical thinking dan kemampuan mengumpulkan dan

mengolah data dalam komponen asuhan keperawatan. Hal ini dapat berlangsung

dengan baik jika permasalahan yang diajukan diperlihatkan langsung oleh dosen

baik melalui ilustrasi sebuah kasus klinis, demonstrasi, penggunaan model, ataupun

pemutaran video yang relefan. Aktivitas ini akan melatih mahasiswa mengamati

sebuah fenomena, kemudian mencerna obyek amatan tersebut sehingga dapat

memberi tafsir atas apa yang baru saja diamati dan ini akan meningkatkan

kemampuan interpretasi. Langkah ketiga SJM, yakni menganalisis permasalahan

dan menawarkan penjelasan sementara, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan

kemampuan mahasiswa dalam analisis. Setelah mahasiswa berhasil menafsirkan

hasil pengamatan, maka berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah

dimiliki mahasiswa diminta untuk menganalisis permasalahan yang baru saja

diamati, mahasiswa diharapkan mampu merumuskan masalah, menentukan

diagnose keperawatan dan menentukan prioritas diagnose keperawatan Jadi langkah

ketiga SJM dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam

menyusun diagnose keperawatan melalui sebuah analisis. Langkah keempat dan

kelima SJM adalah menginventarisir berbagai penjelasanan yang dibutuhkan dan

menformulasi tujuan belajar. Inventarisir permasalahan dilakukan dengan jalan

kajian pustaka dan atau diskusi baik dengan dosen maupun antar mahasiswa

sendiri. Pada langkah ini mahasiswa melakukan kajian pustaka untuk menyusun

langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam merumuskan diagnose keperawatan.

Jadi langkah keempat dan kelima SJM dapat digunakan untuk meningkatkan

Page 18: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

kemampuan mahasiswa menganalisis sebuah konteks pembelajaran yang sedang

dilaksanakannya.. Sesi kedua, kegiatan belajar pada SJM adalah kegiatan mandiri,

yaitu mengumpulkan informasi melalui belajar mandiri yang merupakan langkah

keenam SJM. Dosen perlu memodifikasi langkah keenam ini dengan cara

memaknai aktifitas “mengumpulkan informasi” sebagai mengumpulkan

data/informasi melalui pengkajian. Modifikasi berikutnya adalah pada teknik

pengumpulan informasinya, yakni dilakukan secara berkelompok dan bukan secara

individu. Bahkan jika perlu, pada sesi kedua kegiatan belajar ini dosen tetap

menyertai kegiatan mahasiswa di laboratorium. Hal ini untuk memberikan peluang

adanya diskusi antara dosen dan mahasiswa khususnya jika mahasiswa mengalami

kesulitan sehingga mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada kegiatan sesi kedua

. Dengan demikian, langkah keenam SJM dapat digunakan untuk meningkatkan

keterampilan mahasiswa dalam menentukan intervensi keperawatan sesuai dengan

diagnose keperawatan. Sesi ketiga, kegiatan belajar pada SJM adalah kegiatan

klasikal: yang berisi langkah ketujuh SJM, yakni: Mensintesis informasi baru dan

menguji serta mengevaluasinya untuk permasalahan yang sedang dikemukakan dan

melakukan refleksi hasil belajar. Data dan atau informasi yang telah dikumpulkan

pada sesi belajar sebelumnya, pada tahap ini akan dianalisis untuk memperoleh

kesimpulan. Jika kesimpulan telah diformulasikan, maka hal ini berarti

permasalahan yang diajukan dalam pembelajaran sudah terjawab. Setelah itu akan

dilakukan diskusi klasikal untuk merefleksikan keseluruhan proses dan hasil belajar

yang telah ditempuh. Langkah ketujuh SJM ini jika dikaitkan dengan kemampuan

critical thinking masuk dalam kategori kemampuan untuk menganalisis data dan

mengkomunikasikan hasil pembelajaran dari langkah satu sampai 6. Dengan kata

lain, tahap ketujuh SJM dapat meningkatkan kemampuan menganalisis data dan

menginferensi hasil pembelajaran.

Page 19: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

2.4 Konsep Kemampuan Critical Thinking

2.4.1 Definisi Critical Thinking

Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir

dengan benar berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir

yang beralasan, relfektif, bertanggungjawab, dan mahir. Seorang yang berfikir

kritis dapat menanyakan suatu hal dengan tepat, mencari informasi dengan tepat

yang akan dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah, dapat mengelola

informasi tersebut dengan logis, efisien dan kreatif sehingga dia dapat membuat

simpulan yang logis dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan

tepat berdasarkan analisis informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.

John Dewey, dikutip oleh Fisher (2001) menjelaskan bahwa critical

thinking adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan

dan keilmuan untuk mendukung kesimpulan. Selain itu, Fisher (2001) juga

mengambil pendapat Ennis, yang menyatakan bahwa critical thinking adalah

kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang memfokuskan pada apa yang

diyakini dan apa yang akan dilakukan.

The APA Concensus Definition (dalam Facione, 1996) memberikan

definisi berfikir kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan

sendiri oleh pelaku kegiatan berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi,

analisis, evaluasi dan inferensi serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan

pada bukti, konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian

melandasi keputusan yang dibuat oleh orang tersebut.

2.4.2 Tujuan dan Dasar Pemikiran Pengajaran Critical Thinking

Schafersman (1991) menjelaskan bahwa tujuan utama pengajaran critical

thinking adalah meningkatkan kemampuan berfikir siswa, agar mereka siap meraih

kesuksesan di dunia yang semakin kompleks persoalannya ini. Sesungguhnya

ketika staf akademik mengajarkan mata kuliahnya maka bersamaan itu pula

diharapkan mereka juga mengajarkan siswanya untuk berfikir kritis. Akan tetapi

kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar dosen hanya mengajarkan ’what to

think’ ’apa yang harus difikirkan’ (yakni materi kuliah) dan bukan ’how to think’

Page 20: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

’bagaimana cara berfikir’ (yakni cara memahami material tersebut, hingga materi

tersebut dapat dipelajarinya sendiri Banyak dosen yang dapat melakukan tugas

transfer materi dengan baik, akan tetapi tidak banyak dosen yang berhasil untuk

mengajarkan bagaimana berfikir kritis untuk memahami materi tersebut dan

bagaiman cara mengevaluasi pemahamannya terhadap material tersebut secara

mandiri. Alasan lainnya adalah karena riset menunjukkan bahwa lebih dari 70%

siswa yang berusia 17 tahun tidak memiliki kemampuan ’high order intelectual

skill’. 40% dari mereka tidak dapat melakukan inferensi dari teks tulis yang

dibacanya, hanya seperlima dari mereka yang mampu menulis essay persuasif , dan

hanya sepertiga dari mereka yang dapat menyelesaikan soal matematika yang

mengharuskan dipergunakannya banyak langkah (Schafersman,1991). Fenomena

ini terjadi juga karena sistem pendidikan tradisional yang lebih menekankan pada

transfer pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa, dan bukan mendidik mereka

agar dapat berfikir kritis tentang subjek yang sedang dipelajarinya (Pithers, 2000).

Harus disadari bahwa agar dapat mengikuti perkembangan ilmu, siswa tidak

diharuskan memiliki kemampuan menghafal seluruh ilmu tersebut, akan tetapi

diharuskan memiliki kemampuan untuk menguasai metode yakni critical thinking

agar dapat memahami ilmu, menguasainya dan mengevaluasi informasi yang terkait

dengan keilmuan tersebut. Alasan lainnya, adalah terkait dengan pendapat Dam dan

Volman (2004), yang menekankan bahwa critical thinking adalah kompetensi wajib

bagi seorang warga Negara yang baik. Oleh karena itu, penguasaan kompetensi

berfikir kritis ini harus menjadi tujuan pendidikan bagi setiap warganegara.

Dijelaskan bahwa seorang yang selalu berfikir kritis adalah orang yang memiliki

kepribadian yang baik dan hubungan social yang baik pula. Dengan kata lain,

orang yang berfikir kritis tidak akan melakukan hal-hal yang tidak procedural, dan

hal-hal yang merugikan/agregatif. Seorang yang berfikir kritis selalu berusaha

menjadi anggota masyarakat yang baik, yang selalu memecahkan persoalan

masyarakat dengan akurat menggunakan kemampuan critical thinking-nya. Ketika

dia menyelesaikan masalah dalam komunitasnya, dia selalu menggunakan reflective

thinking-nya yakni system berfikir yang mendasarkan pada alasan yang jelas dan

bukti yang akurat, melalui tahap-tahap interpretasi masalah, analisis masalah,

Page 21: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

evaluasi, menjelaskan, dan introspeksi diri. Sistem ini membutuhkan kejujuran

intelektual, dan antisipatif terhadap apa yang akan terjadi di kemudian hari,

kedewasaan dalam memberikan penilaian, keadilan, meminimalkan bias, dan sikap

selalu mencari kebenaran. critical thinking harus diarahkan sampai pada critical

participation, yakni kemampuan berfikir kritis dalam keikutsertaannya sebagai

warga masyarakat yang bertanggungjawab atas persoalan di lingkungannya.

Bertolak dari pendapat tersebut, maka critical thinking wajib diajarkan, bahkan

harus sampai pada tujuan untuk menstimulasi siswa agar memberikan partisipasi

dalam seluruh kegiatan dan permasalahan masyarakat dengan menerapkan

kemampuan berfikir kritisnya. Seluruh partisipasi yang diberikan dan ditawarkan

hendaknya dilandasi dengan analisis dan reflective thinking, berpendapat dengan

alasan (reasoning) yang jelas dan masuk akal dan berdasarkan bukti. Siswa dituntut

untuk mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang (perspective),

menentukan isu pokok di masyarakat, dan asumsi-asumsi masyarakat, kemudian

menganalisisnya. Selain itu, siswa juga dituntut untuk mampu memberikan

pendapat berdasarkan norma dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat,

prinsip-prinsip umum yang ada di masyarakat, budaya, dan lain sebagainya.

2.4.3 Hal-hal yang harus diajarkan dalam critical thinking

Kemampuan yang harus dimiliki oleh critical thinker, bertolak dari

definisi APA Concensus Definition adalah interpretasi, analisis, evaluasi dan

inferensi. Facione (2004) menambahkan dua kemampuan lain yakni expalining dan

self regulation. Saya sependapat dengan Duldt-Battey (1997) yang menyatakan

bahwa kemampuan-kemampuan tersebut dapat diperoleh dengan membiasakan

siswa untuk debat dan menjelaskan. Menurutnya, jika seseorang mampu

menerangkan sebuah fenomena, mampu memberikan label pada setiap kejadian dan

hal-hal yang terkait dengannya, maka sesungguhnya dia sudah menguasai sebagian

kecil dari ilmu tersebut. Selanjutnya, jika dia telah mampu menghubungkan dua

atau lebih konsep yang terkait dengan suatu kejadian serta menjelaskan bagaimana

hubungan konsep-konsep tersebut, sehingga dia harus menyusun argumentasi yang

menjelaskan logika hubungan antar konsep tersebut, dan mempertahankannya

posisi dan pandangannya dalam debat, maka dia sudah berada pada posisi

Page 22: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

pemahaman yang lebih tinggi. Proses internal untuk mendefinisikan fenomena,

menyusun kriteria, mengevaluasi informasi yang dikumpulkannya, memilih

informasi mana yang relevan, memilih pendapat yang benar dan aman untuk

diyakini, adalah kegiatan penting dalam melatih critical thinking. Duldt-Battey

(1997) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan berpikir kritis

a. Tahap verbal – tahap ini adalah tahap yang paling superfisial, karena

mahasiswa hanya menyatakan atau memberi definisi atas sesuatu. Mahasiswa

menyampaikan pengetahuan yang difahaminya dan definisi-definisi tersebut

dengan kata-kata. Dosen yang baik harus mendengarkan apa yang dikatakan

oleh mahasiswa mengenai definisi dan pemahaman siswa terhadap materi.

b. Tahap membaca- tahap ini agak lebih sulit dari tahap verbal, karena pada tahap

ini siswa diharuskan untuk memahami bagaimana orang lain menjelaskan

sesuatu. Sebagai dosen harus mengetahui bagaimana siswa menginterpretasikan

apa yang telah dibacanya. Dalam membaca terjadi proses kombinasi antara apa

yang dibaca, pengetahuan pembaca sebelumnya dan pembaca

menginterpretasikan, memeriksa dan mengoragnisasikan bahan yang dibaca

untuk membentuk suatu pengertian yang baru. Cognitive learning theory

menjelaskan bahwa proses belajar terjadi jika informasi baru tersebut dapat

disisipkan pada informasi lama yang tersimpan dalam long term memory

(Simon, 2001).

c. Tahap menulis – tahap yang paling sulit adalah menjelaskan dengan menulis.

Pada tahap ini, mahasiswa harus mampu menuliskan apa yang difikirkannya

dan mempresentasikannya dalam bentuk kalimat yang harus bisa difahami oleh

orang lain. Dosen harus memeriksa struktur dan isi substansi tulisan serta

presentasi mahasiswa atas tulisan tersebut secara oral. Oleh karena itu, jika

pendidikan berorientasi untuk mencetak sumber daya yang mampu bekerja pada

level profesional, maka kemampuan menulis, membaca, dan berbicara ini harus

diajarkan juga. Konsekuensinya adalah intruksional juga harus didesain untuk

mengajarkan kemampuan ketiga kemampuan tersebut. Sayangnya, di banyak

institusi pendidikan tinggi, ketrampilan menulis tidak banyak disentuh. Siswa

Page 23: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

umumnya memiliki kesempatan untuk menulis hanya ketika menyusun tugas

akhir, baik dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah atau skripsi.

2.4.4 Kegiatan akademik yang dapat dimanfaatkan untuk pengajaran critical thinking

Ada beberapa pendekatan instruksional yang dapat meningkatkan berpikir kritis

menurut Cotton (1991), yaitu

a. Redirecting/probing/reinforcement.

Redirecting artinya bila mahasiswa dalam diskusi keluar dari topik yang

dibahas, maka tutor mengarahkan kembali. Probing artinya rasa keingintahuan

mahasiswa hendaknya dibangkitkan atau dimotivasi, dan Reinforcement artinya

bila mahasiswa dapat menjawab dengan baik dan berani berargumentasi, tutor

memberikan pujian atau diberikan tepuk tangan.

b. Mengajukan pertanyaan yang bersifat higher-order, terutama dalam

mengevaluasi, tidak hanya untuk level recall tetapi sampai pada jawaban

analisa dan sintesis

c. Memberikan waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk menjawab pertanyaan.

Sedangkan menurut Resnick (1990), beberapa program peningkatan critical

thinking yang dapat dilakukan adalah:

a. General problem solving skill. Program ini difungsikan untuk melatih

kemampuan reasoning dan penyelesaian masalah. Ada dua jenis program yang

biasa dipakai, yakni CoRT Thinking Program yang disusun oleh De Bono, dan

Productive Thinking Program yang disusun oleh Covington.

b. Reading and study strategy . program ini umum dipergunakan, dan yang paling

banyak diterapkan. Pada program ini, critical thinking diajarkan sebagai context

dependent.

c. Informal logic and critical thinking. Program ini lebih bernuansa filsafat

ketimbang psikologi. Pembelajaran mengenai logika biasanya diajarkan pada

level perguruan tinggi, dan lebih difokuskan untuk penyusunan argumentasi dan

penalaran (reasoning).

Page 24: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Karena penguasaan kemampuan critical thinking dapat dipelajari sekalipun

membutuhkan waktu yang cukup lama, maka critical thinking sebaiknya diajarkan

dalam seluruh kegiatan pendidikan di perguruan tinggi, sejak semester 1 hingga

akhir pendidikan. Pada semester awal, kegiatan dapat berupa pembiasaan berfikir

logis, debat, dan peningkatan kemampuan berbicara. Pada semester-semester akhir

dalam kegiatan rotasi klinik bagi mahasiswa fakultas keperawatan misalnya,

critical thinking dapat diajarkan melalui kegiatan ’clinical problem solving’, yang

mengharuskan mereka untuk berfikir kritis terhadap informasi holistik yang mereka

gali dari pasien, baik melalui anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik dan

penunjang. Seluruh kegiatan akademik pada dasarnya dapat dimanfaatkan oleh

dosen untuk mengajarkan kemampuan critical thinking pada mahasiswa. Berikut

penjelasannya:

a. Perkuliahan

Banyak ahli yang menyatakan bahwa tidak perlu mengajarkan topik khusus

mengenai critical thinking secara langsung pada siswa (Schafersman, 1991, Kee

dan Bicle 2001, Pithers, 2000). Mereka menjelaskan bahwa pengajaran critical

thinking akan lebih tepat jika dilakukan dalam context-dependent. Bahkan

dalam laporan penelitiannya, Abraham dkk (2004) menyatakan bahwa critical

thinking dapat diajarkan secara efektif jika diterapkan dalam konteks atau situasi

sesungguhnya (real-world context) dan sesuai dengan kebutuhan siswa.

Meskipun demikian, saya sepakat dengan pendapat Winch (2006) yang

menyatakan bahwa critical thinking dapat pula diajarkan dalam context

independent. Pada kondisi ini, konsep-konsep critical thinking, reasoning,

arguing, dll. dapat diajarkan kepada siswa, sekalipun contoh-contoh, misal

contoh argumentasi, logika, evaluasi terhadap sesuatu, dll., yang diberikan atau

yang dibuat oleh siswa tetap didasarkan pada kasus atau peristiwa atau konteks

tertentu. Pada kegiatan perkuliahan hal yang dapat dilakukan oleh dosen agar

dapat meningkatkan kemampuan critical thinkingnya adalah dengan:

1) Memberikan pertanyaan yang tidak hanya mengharuskan siswa untuk

memahami material, tetapi juga mengharuskan mereka untuk menganalisa

dan menerapkan pada contoh yang lain (Schafersman, 1991)

Page 25: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

2) Dosen harus dapat mengajar secara multiperspektif dan berfokus pada

keterkaitan dan kesamaan dari materi. Mahasiswa harus aktif; mengajukan

pertanyaan, mencari informasi, menghubungkan dengan pertanyaan yang

relevan.

3) Memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut siswa untuk memberikan

penjelasan yang mengharuskannya berfikir sebelum memberikan jawaban

(Abraham, 2004)

4) Memberikan tugas kepada siswa, baik perorangan maupun kelompok untuk

membuat dan menyampaikan simpulan dari kegiatan perkuliahan yang baru

saja dilakukan, sebelum perkuliahan ditutup (Brown dan Monague, 2001)

Kegiatan tersebut dapat dilakukan jika kuliah yang diberikan oleh dosen

menggunakan komunikasi dua arah, dan menekankan learning oriented, tidak

sekedar content oriented.

b. Praktikum di laboratorium

Kegiatan ini juga dapat dimanfaatkan oleh dosen untuk meningkatkan

kemampuan critical thinking mahasiswa, karena ilmu yang dipelajari di

laboratorium tersebut adalah sains yang pada umumnya membutuhkan

penalaran. Dosen dapat meminta siswa menjelaskan penalarannya atas kejadian

atau fenomena yang dipraktekkan di laboratorium dengan menggunakan logika

ilmu yang dikajinya. Kegiatan seperti ini dapat meningkatkan kemampuan

reasoning.

c. Pekerjaan rumah

Pada pola pembelajaran tradisional, PR sama sekali tidak diorientasikan untuk

meningkatkan critical thinking. Umumnya, kegiatan ini hanya diorientasikan

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disediakan oleh dosen ataupun

yang tersedia di teksbook. PR sebaiknya diawali dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab sebelum mereka membaca

teks. Selanjutnya, perintahkan juga kepada siswa untuk membuat tulisan baru

dengan bahasa mereka sendiri untuk menjelaskan topik yang ditulis oleh

Page 26: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

pengarang tulisan yang dikajinya tersebut (membuat parafrase), membuat

ringkasan, atau membuat bagan-bagan yang menjelaskan hubungan topik-topik

yang dibacanya tersebut, atau bahkan mengharuskan mereka untuk melakukan

critical appraisal atas tulisan yang dibacanya. Kegiatan-kegiatan tersebut

diyakini dapat menumbuhkan kemampuan critical thinking mereka. Hasil

pekerjaan mereka selanjutnya diberi bobot nilai sebagai penghargaan.

d. Term paper

Cara terbaik untuk mengembangkan critical thinking adalah mengharuskan

siswa untuk menulis, karena menulis dapat mendorong siswa untuk

mengorganisir pemikirannya, melakukan kontemplasi atas topik-topik yang

ditulisnya, mengevaluasi data dan logika penyampaiannya, dan menyampaikan

simpulan dalam bentuk persuasif.

e. Tutorial atau small group discussion

Tutorial sangat mendidik siswa untuk berfikir kritis dan komprehensif. Dalam

kegiatan ini, siswa dibiasakan untuk mengkaji masalah dan menyelesaikannya

dengan menggunakan langkah-langkah yang terorganisir. Duldt-Battey (1997)

mengambil contoh metode Chubinski yang mengembangkan strategi mengajar

berdasarkan teori berpikir kritis Richard Paul yaitu dengan menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi masalah

2) Menentukan tujuan

3) Mengungkapkan asumsi

4) Mengenal dan menggunakan paradigma yang berbeda 10

5) Demonstrasi berbagai metoda penalaran (reasoning)

6) Menguji data

7) Membuat berbagai pemecahan alternatif

8) Mengevaluasi pendapat orang lain

Page 27: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Chubinski menggunakan permainan ’pemilik sepatu’ ia memberikan

sekumpulan sepatu dan mahasiswa ditugaskan untuk menjelaskan siapa

pemiliknya. Pertama-tama, mahasiswa bekerja secara individual, kemudian

dalam kelompok kecil dan kelompok kelas. Pada sesi terakhir, Chubinski

mengungkapkan pemilik sepatu yang sebenarnya. Langkah-langkah tersebut

sebenarnya hampir sama dengan 7 langkah yang dipergunakan dalam kegiatan

tutorial atau biasa disebut dengan seven jump step yang saat ini dipergunakan.

Diskusi pada keseluruhan step, terutama di step 2 (penyusunan masalah), 3

(analisis masalah), step 4 (brain storming untuk menentukan jawaban tentative

dan penyusunan skema yang menjelaskan jawaban tentative tersebut) serta step 7

(sharing hasil belajar) adalah kegiatan yang mengharuskan siswa mengaktifkan

kemampuan berfikir kritisnya. Tutor, yang bertindak sebagai fasilitator dalam

kegiatan diskusi tersebut, harus benar-benar meyakinkan bahwa siswa

menggunakan dan mengaktifkan kemampuan critical thinkingnya dalan seluruh

step. Memberikan tantangan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang mendorong

siswa berfikir kritis dan mendalam terhadap topik tertentu, memberikan topik

atau kasus baru yang mengharuskan siswa berfikir lebih mendalam, evaluasi

terhadap kelayakan rujuk sumber pustaka yang diambil oleh mahasiswa, dan lain

sebagainya adalah contoh aktivitas yang dapat dilakukan tutor selama kegiatan

tutorial berlangsung. Dengan kata lain, dalam seluruh kegiatan tersebut, tutor

harus memfasilitasi penyusunan hipotesa, interpretasi, informasi atau data,

menentukan kriteria atau membantu mahasiswa untuk memahami penerapan

prinsip dalam situasi baru atau dalam membuat prediksi. Mahasiswa harus

dibantu dalam membuat pertanyaan, mengumpulkan informasi, diskusi, dan

menentukan jenis dan validitas data dan membuat kesimpulan tentatif.

f. Belajar mandiri

Kegiatan belajar mandiri yang dilakukan siswa untuk mencari bahan belajar,

mengkajinya dan memahaminya agar dapat disampaikan dalam kegiatan tutorial

pada step 7 sangat mendidik siswa untuk menjadi independent learner dan pada

Page 28: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

gilirannya akan mengarahkan mereka pada independent thinker. Harus diingat

bahwa independent thinking adalah tujuan utama dari transformational learning

(Meriam, 2004). Mezirow (1997) menjelaskan bahwa mengembangkan

kemandirian dalam berfikir adalah tujuan dan metode pembelajaran orang

dewasa, dan memperoleh kemandirian dalam berfikir adalah produk dari

transformative learning. Bertolak dari pendapat tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa kegiatan belajar mandiri juga bagian yang harus mendapat

porsi perhatian bagi tutor/dosen. Dosen bahwa kegiatan belajar mandiri yang

dilakukan siswa benar-benar kegiatan belajar aktif, yang mengharuskan mereka

menkaji dan mempertimbangkan berbagai sumber belajar, dan bukan sekedar

copy and paste pendapat atau tulisan dari teksbook ini dan itu. Dalam kegiatan

belajar mandiri, siswa diharuskan untuk mengkritisi berbagai bahan yang

dikumpulkan dan dibacanya, mengaitkan pendapat satu dengan lainnya sehingga

memberikan penjelasan yang logis. Jika ditemukan pendapat yang saling

bertentangan atau sulit difahami, siswa dapat berkonsultasi pada ahli (dosen

mata kuliah terkait).

g. Skill lab

Kegiatan pelatihan penguasaan ketrampilan klinik atau biasa disebut dengan skill

lab juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan critical thinking. Pada

kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya diajarkan untuk melakukan kegiatan

tersebut, akan tetapi mereka juga harus diajak berfikir mengapa aktivitas tersebut

harus dilakukan. Oleh karena itu, instruktur ketrampilan klinik harus rajin

menanyakan kepada siswa, ”menurut anda mengapa aktivitas (misal resusitasi)

ini harus dilakukan, mengapa dilakukan seperti ini, mengapa bagiam yang

diperiksa sebelah sini (misal pada pemeriksaan fisik), mengapa jika terjadi ini

maka yang anda lihat atau yang anda dengar seperti itu (misal pada pemeriksaan

thorax, suara perkusi pekak jantung karena ada kelainan tertentu) dan lain

sebagainya, untuk membiasakan siswa melakukan kegiatan reasoning.

h. Rotasi klinik

Page 29: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Seluruh kegiatan dalam rotasi klinik harus diorientasikan pada peningkatan

kemampuan reasoning dan critical thinking, karena pada fase ini siswa sudah

harus menghadapi pasien, sehingga sejak memilih pertanyaan yang harus

diajukan pada pasien dalam anamnesis, memilih pemeriksaan fisik yang arus

dilakukan, menentukan pemeriksaan penunjang yang harus disarankan pada

pasien, serta menentukan diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan penyakit

pasien, keseluruhannya harus menggunakan critical thinking. Selain itu, kegiatan

refleksi, yang semestinya dilakukan oleh siswa untuk mengevaluasi seluruh

kegiatan yang dilakukannya dalam menangani pasien (Branch dan Paranjape,

2002) sejak melakukan anamnesis hingga menatalaksa penyakit pasien, juga

merupakan kegiatan critical thinking. Perlu diingat bahwa selain mampu

melakukan interpretasi, analisis, evaluasi, dan eksplanasi, seorang critical

thinker juga harus dapat melakukan self regulation, yang ditandai dengan

kemampuannya untuk mengkaji ulang kegiatan berfikir yang telah dilakukannya

(Facione, 2004)

i. Ujian

Ujian, baik oral, praktek maupun tertulis, keseluruhannya harus diarahkan pada

peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa. Oleh karena itu, pada ujian tulis,

soal dalam bentuk esay yang menjelaskan pemikiran kritis siswa perlu juga

diberikan. Jika bentuk soal pilihan ganda yang dipergunakan, maka bentuk-

bentuk soal yang membutuhkan analisis, sintesis dan evaluasi serta problem

solving (atau yang memenuhi kriteria C4, C5, dan C6 dalam konsep Bloom dan

problem solving dalam konsep Gagne) harus dipergunakan. Meskipun demikian,

Sternberg (dalam Pithers, 2000) menyatakan bahwa kegiatan pengajaran critical

thinking sebagai generic skill tidak pernah berhasil. Selanjutnya Raths dkk.

(dalam Pithers, 2000) menjelaskan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh

berbagai kendala, diantaranya adalah:

1) Dosen merasa tidak perlu belajar sesuatu dari mahasiswa: dalam berpikir

kritis, dosen adalah pembelajar yang perlu mendapatkan ide-ide baru, salah

satunya adalah dari mahasiswa.

Page 30: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

2) Dosen hanya memberikan kuliah: seharusnya dosen menanggapai respon dari

mahasiswa dan menyajikan kuliah dengan lancan dan menggunakan

teknologi. Dalam konteks problem- based learning yang difungsikan untuk

meningkatkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa, dosen harus terlibat

aktif dalam proses belajar mengajar sebagai fasilitator dan bukan sebagai

instruktur.

3) Program yang tepat untuk meningkatkan kemampuan critical thinking. Dalam

berpikir kritis, program tergantung pada tujuan dan isi, serta tergantung pada

konteks dan kultur tempat siswa melaksanakan kegiatan berfikir.

4) Pilihan program berpikir kritis berdasarkan pilihan biner (holistic or

processed-based, flexible delivery vs face to face); program akan lebih efektif

jika dilakukan dengan pendekatan gabungan.

5) Hal yang terpenting adalah jawaban ’benar’, seharusnya yang perlu diketahui

justru adalah proses berpikir yang terjadi untuk dapat menjawab dengan

benar.

6) Diskusi merupakan alat untuk meraih penyelesaian akhir. Dalam konsep

critical thinking, seharusnya, critical thinking itulah yang harus menjadi alat

penyelesaian akhir.

7) Penguasaan materi, jika mahasiswa dapat menjawab 90% benar, berarti telah

belajar dalam 90% waktu. Padahal, seharusnya thinking dan performa dapat

ditingkatkan terus menerus.

8) Peran pembelajaran berpikir kritis adalah mengajar berpikir kritis, yakni

mengajarkan tentang konsepr dan teori berfikir kritis, bukannya melatih

kemampuan berfikir kritis.

2.4.5 Evaluasi Critical Thinking

a. Sasaran.

Sasaran evaluasi proses pembelajaran adalah pelaksanaan dan pengelolaan

pembelajaran untuk memperoleh pemahaman tentang strategi pembelajaran

yang dilaksanakan oleh dosen, cara mengajar dan media pembelajaran yang

Page 31: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

digunakan oleh dosen dalam pembelajaran, serta minat, sikap dan

cara/kebiasaan belajar mahasiswa.

b. Tahapan pelaksanaan evaluasi

Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan,

menentukan desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan

informasi/data, analisis dan interpretasi dan tindak lanjut

1) Menentukan tujuan

Tujuan evaluasi proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk

pernyataan atau pertanyaan. Secara umum tujuan evaluasi proses

pembelajaran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah

strategi pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh dosen efektif, (2)

Apakah media pembelajaran yang digunakan oleh dosen efektif, (3)

Apakah cara mengajar dosen menarik dan sesuai dengan pokok materi

sajian yang dibahas, mudah diikuti dan berdampak mahasiswa mudah

mengerti materi sajian yang dibahas, (4) Bagaimana persepsi mahasiswa

terhadap materi sajian yang dibahas berkenaan dengan kompetensi dasar

yang akan dicapai, (5) Apakah mahasiswa antusias untuk mempelajari

materi sajian yang dibahas, (6) Bagaimana mahasiswa mensikapi

pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen, (7) Bagaimanakah cara

belajar mahasiswa mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen.

2) Menentukan desain evaluasi

Desain evaluasi proses pembelajaran mencakup rencana evaluasi proses

dan pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk

matriks dengan kolom-kolom berisi tentang: No. Urut, Informasi yang

dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen,

responden dan waktu. Selanjutnya pelaksana evaluasi proses adalah dosen

mata kuliah yang bersangkutan.

3) Penyusunan instrumen evaluasi

Instrumen evaluasi proses pembelajaran untuk memperoleh informasi

deskriptif dan/atau informasi judgemental dapat berwujud (1) Lembar

Page 32: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

pengamatan untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan belajar

mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen

dapat digunakan oleh dosen sendiri atau oleh mahasiswa untuk saling

mengamati, dan (2) Kuesioner yang harus dijawab oleh mahasiswa

berkenaan dengan strategi pembelajaran yang dilaksanakan dosen, metode

dan media pembelajaran yang digunkan oleh dosen, minat, persepsi maha-

siswa tentang pembelajaran untuk suatu materi pokok sajian yang telah

terlaksana.

4) Pengumpulan data atau informasi

Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan secara obyektif dan

terbuka agar diperoleh informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat

bagi peningkatan mutu pembelajaran. Pengumpulan data atau informasi

dilaksanakan pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran untuk materi

sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud dosen dan

mahasiswa memperoleh gambaran menyeluruh dan kebulatan tentang

pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk pencapaian

penguasaan satu kompetensi dasar.

5) Analisis dan interpretasi

Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau

informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evalusi berkenaan

dengan proses pembelajaran yang telah terlaksana; sedang interpretasi

merupakan penafsiran terhadap deskripsi hasil analisis hasil analisis proses

pembelajaran. Analisis dan interpretasi dapat dilaksanakan bersama oleh

dosen dan mahasiswa agar hasil evaluasi dapat segera diketahui dan

dipahami oleh dosen dan maha-siswa sebagai bahan dan dasar

memperbaiki pembelajaran selanjutnya.

6) Tindak lanjut

Tindak lanjut merupakan kegiatan menindak lanjuti hasil analisis dan

interpretasi. Dalam evaluasi proses pembelajaran tindak lanjut pada

dasarnya berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan

Page 33: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

selanjutnya dan evaluasi pembelajarannya. Pembelajaran yang akan

dilaksanakan selanjutnya merupakan keputusan tentang upaya perbaikan

pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu

pembelajaran; sedang tindak lanjut evaluasi pembelajaran berkenan

dengan pelaksanaan dan instrumen evaluasi yang telah dilaksanakan

mengenai tujuan, proses dan instrumen evaluasi proses pembelajaran.

c. Evaluasi Hasil Relajar Ranah Kognitif :

Ranah kognitif sebagai ranah hasil belajar yang berkenaan dengan kemampuan

pikir, kemampuan memperoleh pengetahuan, pengetahuan yang berkaitan

dengan pemerolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisai,

penentuan dan penalaran dapat diartikani sebagai kemampuan intelektual;

Bloom mengklasifikasi ranah hasil belajar kognitif atas enam tingkatan, yaitu

pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, síntesisdan

evaluasi.

Evaluasi hasil belajar kognitif dapat dilakukan dengan menggunakan tes

objektif maupun tes uraian. Prosedur evaluasi hasil belajar ranah kognitif

dengan menggunakan tes sebagai instrumennya meliputi menyusun tes,

melaksanakan testing, melakukan skoring, analisis dan interpretasi dan

melakukan tindak lanjut.

1) Menyusun tes hasil belajar

Page 34: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Menyusun tes hasil belajar diawali dengan penyusunan kisi-kisi. Contoh kisi-

kisi tes obyektif dan uraian adalah sebagai berikut:

Mata Kuliah :

Semester/Tahun :

Lama/Waktu Testing : 100 menit

Tipe Tes : Obyektif

Jumlah Butir Tes : 100

Tabel 7. Contoh Kisi-kisi Tes Objektif

Keterangan Jenjang Kemampuan :

C1: Proses berfikir ingatan (pengetahuan)

C2: Proses berfikir pemahaman

C3: Proses berfikir penerapan (Aplikasi)

C4,5,6 : proses berfikir analisis, sintesis, evaluasi15

Mata Kuliah :

Semester/Tahun :

Lama/Waktu Testing : 100 menit

Tipe Tes : Uraian

Jumlah Butir Tes : 10

Tabel 8. Contoh Kisi-kisi Tes Uraian

Page 35: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Langkah berikutnya setelah kisi-kisi tersusun adalah menulis butir soal dengan

mengacu pada pedoman penulisan soal untuk tipe tes obyektif atau tes uraian.

1) Melakukan testing

Dosen melaksanakan testing harus tertib dalam arti mengikuti prosedur

administrasi testing agar diperoleh informasi atau data hasil testing secara

obyektif, sahih dan dapat dipercaya yang pada gilirannya memberi gambaran

yang sebenarnya tentang. capaian kemampuan yang diungkap yang sesuai

dengan jenis dan bentuk tes yang digunakan.

2) Melakukan skoring, analisis dan interpretasi

Dosen dalam memberi skor pada hasiil testing harus mengikuti pedoman16

scoring sesuai dengan jenis dan bentuk tes yang digunakan serta dilakukan

secara obyektif. Skoring dilaksanakan dengan segera setelah pelaksanaan

testing . Analisis dan interpretasi hasil testing dilaksanakan pada setiap kali

dosen selesai melakukan skoring. Dengan analisis dan interpretasi dosen

memperoleh gambaran tentang capaian penguasaan kompetensi bagi setiap

mahasiswa, dan secara umum dapat memperoleh gambaran tentang

keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam hal ini kriteria

keberhasilan pembelajaran adalah ketuntasan pencapaian hasil belajar atau

penguasaan kompetensi yang direncanakan dapat dicapai oleh setiap

mahasiswa; selanjutnya dapat ditentukan tindak lanjutnya.

3) Melaksanakan tindak lanjut

Page 36: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi hasil testing dosen melaksanakan

tindak lanjut dalam bentuk melaksanakan kegiatan melanjutkan pembelajaran

pokok materi sajian selanjutnya bilamana tingkat ketuntasan penguasaan

kompetensi telah tercapai, dan melaksanakan pembelajaran/pengajaran

remedial apabila tingkat ketuntasan penguasaan kompetensi oleh mahasiswa

belum tercapai. Pembelajaran/pengajaran remedial dlaksanakan secara

individual, kelompok atau klasikal sesuai dengan hasil prosedur diagnosis

ketidakmampuan mahasiswa mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan

d. Evaluasi hasil belajar psikomotor

1) Sasaran Evaluasi

Ranah ketrampilan motorik atau psikomotor dapat diartikan sebagai

serangkaian gerakan otot-otot yang terpadu untuk dapat menyelesaikan

suatu tugas. Sejak lahir manusia memperoleh ketrampilan-ketrampilan yang

meliputi gerakan-gerakan otot yang terpadu atau terkoordinasi mulai yang

paling sederhana misalnya berjalan, sampai ke hal yang lebih rumit ; berlari,

memanjat, dan sebaginya. Akan tetapi ketrampilan motor atau psikomotorik

yang diperlukan oleh seorang tenaga profesional seperti mengemudi mobil,

berenang, mengambil darah dari pembuluh vena, mengajar, harus

dikembangkan secara sadar melalui suatu proses pendidikan Penilaian

ketrampilan psikomotor memang lebih rumit dan subjektif dibandingkan

dengan penilaian dalam aspek kognitif. Karena penilaian ketrampilan

psikomotor memerlukan teknik pengamatan dengan keterandalan

(reliabilitas) yang tinggi terhadap demensi-demensi yang akan diukur.

Sebab bila tidak demikian unsur subjektivitas menjadi sangat dominan.

Oleh karenanya upaya untuk menjabarkan ketrampilan psikomotor ke dalam

demensi-demensinya melalui analisis tugas (Task analyisis) merupakan

langkah penting sebelum melakukan pengukuran. Dengan analisis tugas itu

akan dapat dipelajari ciri-ciri demensi itu dan dapat tidaknya demensi itu

untuk diobservasi dan diukur.

2) Tujuan Penilaian

Page 37: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

a) Mengukur perilaku mahasiswa yang kompleks (kompetensi) setelah dia

menjalani proses pendidikan.

b) Pengukuran harus mewakili kemampuan keseluruhan yang jauh lebih

besar (representativitas)

c) Penilaian bagian-bagian dari keseluruhan perilaku yang berdiri sendiri-

sendiri hanya mempunyai sedikit arti (kognitif , psikomotor, afektif)

3) Tahap penilaian ketrampilan psikomotor

Tahap penilaian keterampilan dapat digambarkan dalam diagram berikut:

a) Penyusunan Instrumen

1) Tahap Analisis Tugas : upaya untuk menjabarkan ketrampilan

psikomotor kedalam demensi-demensinya, ini merupakan langkah

penting sebelum melakukan pengukuran. Dengan analisis tugas akan

dapat dipelajari ciri-ciri demensi itu dan dapat tidaknya demensi itu

untuk diobservasi dan diukur.

2) Tahap penentuan Dimensi Psikomotorik : disini demensi diartikan

sebagai komponen penyusun suatu ketrampilan yang dapat diamati

dan diukur. Agar demensi dapa diukur harus memenuhi syarat

sebagai berikut : demensi itu harus secara umum didapatkan pada

suatukelompok benda atau manusia, demensi itu harus dapat

memberikan data sensorik yang dapat ditangkap oleh indera

manusia, demensi itu harus dapat dirumuskan dengan jelas, demensi

itu harus memiliki nilai variasi, demensi itu harus dapat memberikan

respons yang mirip pada berbagai pengamat yang berbeda.

Instrumen atau Alat ukur ketrampilan psikomotor

a) Daftar Cek (check list)

b) Skala Nilai (Rating Scale)

c) Catatan Anekdotal (Anecdotal record). Dll

Tabel 9. Contoh form Daftar Cek Penilaian Ketrampilan Psikomotor

Kompoetensi :

Tingkatan :

Berikan tanda cek (V) bila dilakukan dengan benar

Page 38: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Tabel 10. Contoh form Skala Nilai untuk Penilaian Ketrampilan Psikomotor

Kompoetensi :

Tingkatan :

3 = dilakukan dengan sangat memuaskan

2 = dilakukan denga memuaskan

1 = dilakukan kurang memuaskan

0 = tidak dilakuakan

b) Pelaksanaan pengukuran

c) Penilaian

e. Evaluasi hasil belajar afektif :

1) Sasaran Evaluasi

Ranah penilaian hasil belajar afektif adalah kemampuan yang berkenaan

dengan perasaan, emosi, sikap/derajad penerimaan atau penilakan status

obyek, meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

Page 39: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

a) Menurut Bloom, aspek-aspek domain afektif ádalah:

(1) Menerima/mengenal, yaitu bersedia menerima dan memperhatikan

berbagai stimulus yang masíh bersikap pasip, sekedar mendengarkan

atau memperhatikan.

(2) Merespons/berpartisipasi, yaitu keinginan berbuat sesuatu sebagai

reaksi terhadap gagasan, benda atau sistem nilai lebih dari sekedar

mengenal.

(3) Menilai/menghargai, yaitu keyakinan atau anggapan bahwa sesuatu

gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai/harga atau

makna.

(4) Mengorganisasai, yaitu menunjukkan saling berkaitan antara nilai-nilai

tertentu dalam suatu sistem nilai, serta menentukan nila mana

mempunyai prioritas lebih tinggi dari pada nilai yang lain. Seseorang

menjadi commited terhadap suatu sistem nilai tertentu.

(5) Karakterisasi/internalisasi/mengamalkan, yaitu mengintegrasikan nilai

ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan meyakinkan, serta

perilakunya selalu konsisten dengan filsafat hidupnya tersebut.

b) Menurut Anderson (dalam Robert K. Gable), aspek-aspek afektif meliputi:

attitude/sikap, self concept/self-esteem, interest, value/beliefs as to what

should be desired.

2) Tujuan dan sasaran penilaian hasil belajar afektif

Tujuan dilaksanakannya penilaian hasil relajar afektif ádalah untuk

mengetahui capaian hasil belajar dalam hal penguasaan domain afektif dari

kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh setiap peserta didik setelah

kegiatan pembelajaran berlangsung.

3) Teknik penilaian hasil belajar afektif

Pemilihan Tenik penilaian hasl belajar disesuaikan dengan jenis dan

karakteristik hasil belajar yang akan diungkap, yaitu (1) pemerolehan

pengetahuan, (2) keterampilan —koginitif, personal-sosial, psikomotorik dan

pemecahan masalah, atau (3) perubahan sikap, perilaku dan tindakan.

Pertimbangan-pertimbangan pemilihan dan pengembangan teknik penilaian

Page 40: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

hasil belajar, yaitu: (1) kualitas, baik dan benar secara teknis dan dapat

memberikan hasil yang menunjukkan dan memperbaiki proses belajar peserta

didik, (2) tepat untuk menunjukkan pencapaian kompetensi yang diungkap,

(3) praktis, efisien, adil dan mampu membedakan kemampuan peserta didik

dan layak digunakan, (4) dimengerti oleh peserta didik, (5) ada alternatif

teknik pengkuran lain, (6) tidak mempersulit peserta didik, dan (7) tersedia

waktu, peralatan, sarana dan prasarana untuk pengadministrasiannya. Hal-hal

yang perlu dilakukan oleh pembelajar berkenaan dengan pemilihan teknik

penilaian adalah (1) memilih teknik penilaian berdasarkan jenis dan

karakteristik kompetensi yang akan diukur dan dinilai, (2) menyusun

perangkat alat ukur dengan urutan menyusun kisi-kisi kemudian menyusun

perangkat alat ukur, (3) menyusun petunjuk administrasi, dan (4) menetapkan

cara/system penilaian. Teknik pengukuran dan penilaian hasil belajar afektif

terdiri atas (1) Teknik testing, yaitu teknik penilaian yang menggunakan tes

sebagai alat ukurnya, dan (2) Teknik non-testing, yaitu teknik penilaian yang

menggunkan bukan tes sebagai alat ukurnya. Termasuk dalam kategori teknik

non-testing adalah observasi/pengamatan yang dapat berbentuk rating scale,

anecdotal record, atau rekaman, interview, questionaire, dan inventori.

4.) Penyusunan instrumen/alat penilaian hail belajar afektif

Langkah kerja penyusunan instrumen penilaian hasil belajar afektif adalah

sebagai berikut:

a) Menyusun Kisi-kisi dengan format berikut:

b) Menyusun perangkat instrumen

Page 41: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Perangkat instrumen yang disusun sesuai dengan tipe teknik pengukuran

dan penilaian yang akan digunakan, yaitu:

1) Teknik testing dengan tes sebagai intrumennya dapat menggunakan tipe

atau bentuk tes obyektif atau esai.

2) Teknik non-testing dengan bukan tes sebagai instrumennya dapat

menggunkan tipe terbuka atau tertutup. Tipe terbuka berisi

pertanyaan /pernyataan yang membutuhkan jawaban uraian dari

perserta didik. Sedang tipe tertutup yang berisi pertanyaan/pernyataan

diikuti dengan jawaban pendek dari peserta didik yang terdiri atas

beberepa bentuk:

(a) Ya dan Tidak: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Ya atau

Tidak.

(b) Persetujuan: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Setuju atau

Tidak Setuju

(c) Frekuensi: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Selalu –

Kadang-kadang – Tidak Pernah

(d) Kepentingan: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Penting –

Tidak Penting..

(e) Kemungkinan: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Mungkin –

Tidak Mungkin.

(f) Kualitas: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Baik – Cukup –

Kurang/Tidak Baik.

(g) Skala Penilaian/Angka: pernyataan/pertanyaan dengan angka skala

penilaian 5 , 4 , 3 , 2 , 1 . atau 5 , 4 , 2 , 1 .

f. Asesmen Alternatif

1) Pengertian

Asesmen alternatif diartikan sebagai pemanfaatan pendekatan non-tradisional

untuk memberi penilaian kinerja atau hasil belajar mahasiswa. Ada kalanya

asesmen alternative diidentikan dengan asesmen otentik atau asesmen kinerja.

Asesmen otentik yang dapat diartikan sebagai proses penilaian perilaku

kinerja mahasiswa secara multidimensional pada situasi nyata sedangkan

Page 42: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

asesmen kinerja diartikansebagai penilaian terhadap proses perolehan,

penerapan pengetahuan dan ketrampilan melalui proses pembelajaran yang

menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam proses maupun produk.

2) Bentuk

Asesmen alternative dapat diberikan dalam bentuk :

a) Asesmen Kinerja (Performance Assesment)

Asesmen kinerja dapat dilakukan dengan memberikan Task (contoh

tugas) dan Rubrik. Rubrik merupakan wujud asesmen kinerja yang dapat

diartikan sebagai kriteria penilaian yang bermanfaat membantu dosen

untuk menentukan tingkat ketercapaian kinerja yang diharapkan. Sebagai

kriteria dan alat penskoran rubric terdiri dari senarai yaitu daftar kriteria

yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau

konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat

yang paling sempurna sampai dengan tingkat yang paling buruk.

Rubrik Deskriptif

Rubrik deskriptif memiliki empat komponen atau bagian, yaitu deskripsi

tugas, skala nilai, dimensi, dan deskripsi dimensi. Bentuk umum rubrik

deskriptif ditunjukkan pada Gambar 17. Keempat komponen tersebut

adalah (1) Deskripsi tugas: menjelaskan tugas atau objek yang akan

dinilai atau dievaluasi. Deskripsi tugas ini harus benar-benar jelas agar

mahasiswa memahami tugas yang diberikan; (2) Skala nilai: menyatakan

tingkat capaian mahasiswa dalam mengerjakan tugas untuk dimensi

tertentu. Skala nilai biasanya dibagi menjadi beberapa tingkat, misalnya

dibagi menjadi tiga tingkat yaitu sangat memuaskan, memuaskan, dan

cukup. Jumlah skala nilai ini bersifat fleksibel, dapat diperbanyak atau

dikurangi sesuai kebutuhan. Pada umumnya tiga skala nilai telah dapat

mencukupi keperluan penilaian; (3) Dimensi: Dimensi menyatakan

aspek-aspek yang dinilai dari pelaksanaan tugas yang diberikan. Sebagai

contoh, dalam tugas presentasi, aspek-aspek yang dinilai adalah

pemahaman, pemikiran, komunikasi, penggunaan media visual, dan

Page 43: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

kemampuan presentasi. Aspek-aspek yang dinilai dapat saja diberikan

bobot yang berbeda dalam penilaian, misalnya aspek pemikiran diberi

bobot lebih tinggi daripada aspek lain dan kemampuan presentasi tidak

terlalu tinggi dibandingkan aspek yang lain. Contoh: diberikan bobot

30% untuk pemikiran, 10% untuk kemampuan presentasi, dan 20% untuk

yang lainnya. Pemberian bobot bergantung pada kepentingan penilaian;

dan (4) Tolok Ukur Dimensi: disebut juga tolok ukur penilaian.

Merupakan deskripsi yang menjelaskan bagaimana karakteristik dari

hasil kerja mahasiswa. Digunakan untuk standar yang menentukan

pencapaian skala penilaian, misalnya nilai sangat memuaskan,

memuaskan, atau cukup. Rubrik deskriptif memberikan deskripsi

karakteristik atau tolok ukur penilaian pada setiap skala nilai yang

diberikan. Format ini banyak dipakai dosen dalam menilai tugas

mahasiswa karena memberikan panduan yang lengkap untuk menilai

hasil kerja mahasiswa. Meskipun memerlukan waktu untuk

menyusunnya, manfaat rubrik deskriptif bagi dosen dan mahasiswa

(sebagai umpan balik atas kinerja) melebihi usaha untuk membuatnya.

Rubrik Holistik/komprehensif

Berbeda dengan rubrik deskriptif yang memiliki beberapa skala nilai,

rubrik holistic hanya memiliki satu skala nilai, yaitu skala tertinggi. Isi

dari deskripsi dimensinya adalah kriteria dari suatu kinerja untuk skala

tertinggi. Apabila mahasiswa tidak memenuhi kriteria tersebut, penilai

memberi komentar berupa alasan mengapa tugas mahasiswa tidak

mendapatkan nilai maksimal. Gambar 18. menunjukkan bentuk umum

dari rubrik holistik. Deskripsi tugas :

Page 44: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

Gambar 2. Bentuk Umum Rubrik Deskripsi .

Kelemahan rubrik holistik adalah dosen masih harus menuliskan

komentar atas capaian mahasiswa pada setiap dimensi bila mahasiswa

tidak mencapai kriteria maksimum. Karena tidak ada panduan terperinci

mungkin sekali terjadi ketidakajegan pemberian komentar atau umpan

balik kepada mahasiswa. Dosen perlu menuliskan komentar yang sama

pada tugas mahasiswa yang menunjukkan karakteristik yang sama,

Page 45: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

sehingga akan memerlukan lebih banyak waktu. Diakui bahwa menyusun

rubrik holistik lebih sederhana daripada rubrik deskriptif, namun waktu

yang diperlukan untuk melakukan penilaian menjadi lebih lama.

Cara membuat Rubrik

Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam membuat

rubrik adalah:

1) Mencari berbagai model rubrik

Saat ini penggunaan rubrik mulai berkembang luas. Berbagai model

rubrik dapat diperoleh dengan melakukan pencarian di website, karena

banyak institusi pendidikan dan staf pengajar yang menaruh rubrik

mereka dalam website. Berbagai model rubrik yang ada dapat dipelajari

dengan membandingkan sebuah rubrik dengan rubrik lainnya sehingga

menginspirasi ide-ide contoh dimensi dan tolok ukur yang selanjutnya

diadaptasi sesuai dengan tujuan pembelajaran (menggunakan atau

mengadaptasi rubrik dosen lain, tentu dengan meminta ijin kepada

penulis aslinya).

2) Menetapkan Dimensi

Setelah mengetahui pokok-pokok pemikiran tentang tugas yang

diberikan dan harapan terhadap hasil kerja mahasiswa dapat disusun

komponen rubrik yang penting, yaitu dimensi. Pembuatan dimensi

dilakukan dalam beberapa tahap: (a) Membuat daftar yang berisi

harapan-harapan dosen dari tugas yang akan dilaksanakan oleh

mahasiswa; (b) Menyusun daftar yang telah dibuat mulai dari harapan

yang paling diinginkan; (c) Meringkas daftar harapan, jika daftar harapan

masih panjang. Daftar dapat disederhanakan dengan cara menghilangkan

elemen yang kurang penting atau menggabungkan elemen yang memiliki

kesamaan; (d) mengelompokkan elemen tersebut berdasarkan hubungan

yang satu dengan yang lainnya. Jadi, setiap kelompok berisi elemen-

Page 46: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

elemen yang saling berhubungan; (e) langkah berikutnya adalah memberi

nama masing-masing kelompok dengan nama yang menggambarkan

lemen-elemen di dalamnya; (f) nama-nama yang diberikan pada langkah

di atas disebut dengan dimensi dan elemen-elemen di dalamnya menjadi

deskripsi dimensi untuk skala tertinggi.

3) Menentukan Skala

Tingkat pencapaian hasil kerja mahasiswa untuk setiap dimensi

ditunjukkan dengan skala penilaian. Jumlah skala yang dianjurkan sesuai

dengan tingkatan penilaian yang ada di program studi masing-masing,

misalnya penilaian sampai skala 5, yaitu sangat baik, baik, cukup,

kurang baik, dan sangat kurang. Semakin banyak skala yang

dipergunakan semakin tidak mudah membedakan tolok ukur setiap

dimensi, sehingga dapat menimbulkan subjektif. Tingkatan skala yang

digunakan harus jelas dan relevan untuk dosen dan mahasiswa. Berikut

beberapa contoh nama tingkatan skala penilaian: (a) melebihi standar,

memenuhi standar, mendekati standar, di bawah standar; (b) bukti yang

lengkap, bukti cukup, bukti yang minimal, tidak ada bukti; (c) baik

sekali, sangat baik, cukup, belum cukup; dan seterusnya. Apapun nama

yang digunakan pada setiap tingkatan skala, dosen dan mahasiswa

mengerti dengan jelas, skala yang mencerminkan hasil kerja mahasiswa

yang dapat diterima.

4) Membuat Tolok Ukur pada Rubrik Deskriptif

Pada penyusunan rubrik deskriptif, setelah skala penilaian didefinisikan,

langkah selanjutnya adalah membuat deskripsi dimensi (tolok ukur

dimensi) untuk setiap skala. Tahapan pembuatan tolok ukur dimensi : a.

tolok ukur dimensi untuk skala tertinggi sudah dibuat sebelumnya, yaitu

daftar daftar yang telah dibuat saat pada proses pembuatan dimensi.

Daftar tersebut berupa harapan-harapan dosen pada tugas mahasiswa; b.

membuat tolok dimensi untuk skala terendah. Pembuatannya mudah

karena merupakan kebalikan tolok ukur dimensi untuk skala tertinggi; c.

Page 47: 3 Pbl Seven Jump Nursalam New 1

membuat deskripsi dimensi untuk skala pertengahan. Semakin banyak

skala yang digunakan, semakin sulit membedakan dan menyatakan

secara tepat tolok ukur dimensi yang dapat dimasukkan dalam suatu skala

nilai. Jika menggunakan lebih dari tiga skala, tolok ukur dimensi yang

dibuat terlebih dahulu adalah yang paling luar atau yang lebih dekat ke

skala tertinggi atau terendah. Kemudian selangkah demi selangkah

menuju ke bagian tengah. Rubrik dan segala bentuk penilaiannya

diharapkan dapat diketahui secara terbuka oleh mahasiswa di awal

semester. Oleh karenanya, pada saat proses perencanaan studi (pengisian

KRS), semua perencanaan dan alat pembelajaran harus telah diterimakan

pada mahasiswa, hal ini dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa.