3 pbl seven jump nursalam new 1
DESCRIPTION
gvszTRANSCRIPT
KONSEP PBL (PROBLEM BASED LEARNING)
2.2.1 Definisi PBL
Menurut Prof.Howard Barrows dan Kelson. PBL adalah krurikulum dan
proses pembelajaran, dan didalam di dalam kurikulumnya dibahas masalah-masalah
yang menuntut mahasiswa mendap[atkan pengetahuan yang penting, membuat
mereka mahir memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar sendiri, sehingga
memiliki kecakapan berpartisopasi dalam tim, proses pembelajaran menggunakan
metode pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah yang nanti
diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari. Menurut Dutch (1994) PBL
adalah metode instruktisional yang menantang mahasiswa “belajaar untuk belajar”,
bekerja sama untuk mencari solusi bagi yang nyata.
2.2.2 Manfaat PBL
Menurut Smith (2005)
1)Meningkatkana kecakapan pemecahan masalahnya,
2)Lebih mudah mengingat,
3)Meningkatkan pemahaman,
4)Meningkatkan pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik
5)Mendorong mereka penuh pemikirannya, membangun kemampuan,
kepemimpinan, dan kerja sama kecakapan belajar dan motivasi belaajar.
Dalam Problem Base Learning (PBL), proses belajar mengajar berpusat Pada
pembelajar (Learner Center) yang membuat pembelajar terbedakan. Sedangkan
pendekatan dengan Teacher Center sudah dianggap tradisional dan perlu diubah
Ching and Gallow.2000) dikarenakan “pendidikan bukanlah satu- satunya orang
yang memiliki sumber pengetahuan.” TCL (teacher centered learning) adalah
suatu system pembelajaran dimana guru atau dosen menjadi pusat dari kegiatan
belajar mengajar sehingga terjadi komunikasi satu arah. Di sini ilmu di transfer
secara cepat dari dosen kepada mahasiswa secara drill sehingga daya serap dari
mahasiswa lemah karena hanya mendengarkan dari dosen. SCL atau Student
Centered Learning atau yang lebih dikenal dengan pembelajaran berpusat
mahasiswa. Pelaksanaan metode pembelajaran SCL diarahkan pada integrasi
knowledge management system sehingga diharapkan menghasilkan intellectual
capital yang bermanfaat. Dengan konsep SCL, mahasiswa bukan lagi sebagai
obyek dari pengembangan ilmu pengetahuan namun diharapkan menjadi pelaku
aktif dari pengisi content di dalam proses pembelajaran. Dosen hanya berperan
sebagai fasilitator dan motivator. Metode ini memiliki beberapa jenis
pembelajaran,yakni Dalam Problem Base Learning (PBL), proses belajar mengajar
berpusat Pada pembelajar (Learner Center) yang membuat pembelajar terbedakan.
Sedangkan pendekatan dengan Teacher Center sudah dianggap tradisional dan
perlu diubah Ching and Gallow.2000) dikarenakan “pendidikan bukanlah satu-
satunya orang yang memiliki sumber pengetahuan.” TCL (teacher centered
learning) adalah suatu system pembelajaran dimana guru atau dosen menjadi pusat
dari kegiatan belajar mengajar sehingga terjadi komunikasi satu arah. Di sini ilmu
di transfer secara cepat dari dosen kepada mahasiswa secara drill sehingga daya
serap dari mahasiswa lemah karena hanya mendengarkan dari dosen. SCL atau
Student Centered Learning atau yang lebih dikenal dengan pembelajaran berpusat
mahasiswa. Pelaksanaan metode pembelajaran SCL diarahkan pada integrasi
knowledge management system sehingga diharapkan menghasilkan intellectual
capital yang bermanfaat. Dengan konsep SCL, mahasiswa bukan lagi sebagai
obyek dari pengembangan ilmu pengetahuan namun diharapkan menjadi pelaku
aktif dari pengisi content di dalam proses pembelajaran. Dosen hanya berperan
sebagai fasilitator dan motivator. Metode ini memiliki beberapa jenis
pembelajaran,yakni diantaranya Cooperative learning, Collaborative learning,
Competitive learning, Case based learning, Project based learning,dan Problem
based learning. 1. Sistem pembelajaran collaborative merupakan system
pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkup kelompok kecil. Dimana para
mahasiswa saling bekerja sama untuk bertukar pengetahuan guna mencapai tujuan
pembalajaran secara umum. Didalam proses diskusi setiap mahasiswa harus aktif,
bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai., saling memberi masukan,
saling menerima pendapat orang lain dengan bijak dan saling menghargai
kemampuan dari mahasiswa lain nya. Proses pembelajaran ini terjadi di lingkungan
social yang memungkinkan terjadinya komunikasi. 2. Sistem pembelajaran
cooperative merupakan system pembelajaran yang dilaksanakan oleh sekelompok
kecil mahasiswa yang dimana mahasiswa tersebut belajar dari dan dengan teman-
temannya. Dengan system ini mahasiswa dituntut untuk aktif guna mencapai tujuan
belajar tertentu sehingga mahasiswa bertanggung jawab atas hasil pembelajaran
yang dicapai. Dalam pembelajaran ini terdapat kunci pertanyaan yakni know ( apa
yang anda ketahui tentang pokok bahasan yang sedang di diskusikan?), want to
know (apa yang ingin anda ketahui dalam diskusi itu?), learnt( apa yang telah anda
pelajari sehubungan dengan diskusi itu?) 3. Sistem pembelajaran competitive
merupakan system pembelajaran yang memiliki maksud adanya suatu kompetisi.
Mahasiswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Hal
ini kompetisi dapat terjadi secara individu (berkompetisi dengan dirinya sendiri
dibandingkan prestasi sebelumnya) maupun kompetisi kelompok (membangun
kerjasama kelompok untuk mencapai prestasi tinggi) 4. Sistem pembelajaran
Project/research based merupakan system pembelajaran yang dilakukan dengan
cara melakukan penelitian-penelitian untuk dapat menyelesaikan suatu masalah
serta untuk mencapai tujuan belajar. 5. System pembelajaran case based merupakan
system yang memiliki tujuan untuk mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan
kehidupan yang sesungguhnya. System ini menuntut mahasiswa bertindak sebagai
subjek pembelajaran aktif. 6. Problem based learning (PBL) a) Definisi PBL adalah
proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam
kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari
masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai
sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. b) Ciri-ciri utama Berdasarkan pendapat dari
Bridges ( 1992 ) dan Charlin ( 1998 ) system PBL memiliki 9 ciri utama,yaitu: i.
Pembelajaran bermula dengan masalah ii. Masalah yang digunakan merupakan
masalah nyata iii. Pengetahuan yang diharapkan dicapai mahasiswa disusun
berdasarkan masalah. iv. Mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses
pembelajaran mereka sendiri. v. Mahasiswa akan bersifat aktif vi. Pengetahuan
sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pengetahuan yang baru. vii.
Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna. viii. Mahasiswa
berpeluang untuk meningkatkan pengetahuan ix. Pembelajaran berlaku dalam
kumpulan kecil/kelompok. c) Metode Menurut Alder ( 1997 ) dan Milne ( 1995 )
mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada identifikasi
permasalahan serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan. Metode ini
dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan
interaksi serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling melaporkan.
Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi menerapkan
PBL, berbeda dengan kurikulum konvensional. Kurikulum PBL mengubah dan
mentransformasikan seluruh kurikulum konvensional menjadi system blok melalui
pemetaan kurikulum dan tujuan belajar yang terintegrasi. Konsep integrasi dengan
pendekatan PBL sesuai dengan paradigma baru pendidikan kedokteran yakni
SPICES (Student centered, Problem based learning, Integrated curriculum,
Community based, Early clinical exposure dan Systematic). Dengan demikian
diharapkan mahasiswa mampu belajar mandiri dan sistematis, dalam suatu
kerangka pemahaman yang terintegrasi dan berdasar pada masalah yang umum
timbul dalam masyarakat.“Perbedaan antara system pembelajaran TCL dengan
SCL” Perubahan dari TCL menuju SCL di pendidikan tinggi merupakan tantangan
terhadap administrator, dosen, dan mahasiswa. Tantangan tadi bersumber pada
berbagai perbedaan yang ada sebagai akibat dari perubahan system pembelajaran.
Perbedaannya ialah :
Table 5. Perbedaan TCL dan SCL
TCL (Teacher Centered
Learning)
SCL (Student Centered
Learning)Dosen berperan sebagai otoritas formal Dosen memberi kuliah kepada mahasiswa
Belajar adalah kegiatan individualis dan kompetitif
Aktivitas mahasiswa bersifat pasif
Isi tidak bersifat kontekstual
Materi kuliah merupakan bagian terpenting
Pengetahuan diberikan secara terpisah oleh beberapa dosen
Waktu yang digunakan lebih singkat
Dosen berperan sebagai fasilitator, motivator
Mahasiswa bertanggung jawab atas pembelajarannya
Mahasiswa belajar dalam suasana kolaboratif
Aktivitas bersifat aktif Isi bersifat kontekstual dan relevan
Proses belajar dan isi yang dipelajari merupakan dua hal yang penting
Mahasiswa dihadapkan pada masalah yang otentik dan terintegrasi
Waktu yang digunakan cukup lama
“Hubungan system SCL dengan PBL “Dengan adanya suatu system yang bersifat
non konvensional, setiap mahasiswa dituntut aktif dalam system pembelajaran SCL
(Student Centered Learning). Setiap pembelajarannya mahasiswa akan selalu
dihadapkan pada suatu masalah yang terjadi di masyarakat. Dengan system ini
mahasiswa harus dapat menguraikan masalah-masalah tersebut secara ilmiah dan
sistematis melalui suatu metode. System SCL memiliki beberapa metode,salah satu
diantaranya adalah metode PBL Di dalam metode ini terdapat tujuh langkah yang
harus di tempuh mahasiswa yang sering dikenal dengan istilah seven jumps.
Metode PBL ini memiliki keunggulan serta kelemahan di bandingkan dengan
metode-metode lain yang terdapat dalam system SCL.
Pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa adalah pembelajaran dengan
menggunakan sepasang perspektif, yaitu fokus pada individu pembelajar
(keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, dan
kebutuhan) dengan fokus pada pembelajaran (pengetahuan yang paling baik tentang
pembelajaran dan bagaimana hal itu timbul serta tentang praktek pengajaran yang
paling efektif dalam meningkatkan tingkat motivasi, pembelajaran, dan prestasi
bagi semua pembelajar. Fokus ganda ini selanjutnya memberikan informasi dan
dorongan pengambilan keputusan pendidikan.
Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif mahasiswa ini berarti dosen
tidak mengambil hak anak untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, maka mahasiswa
memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya
sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning),
dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas mahasiswa.
Tantangan bagi dosen sebagai pendamping pembelajaran mahasiswa, untuk dapat
menerapkan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa perlu memahami tentang
konsep, pola pikir, filosofi, komitmen metode, dan strategi pembelajaran. Untuk
menunjang kompetensi dosen dalam proses pembelajaran berpusat pada mahasiswa
maka diperlukan peningkatan pengetahuan, pemahaman, keahlian, dan ketrampilan
dosen sebagai fasilitator dalam pembelajaran berpusat pada mahasiswa.
Peran dosen dalam pembelajar berpusat pada mahasiswa bergeser dari semula
menjadi pengajar (teacher) menjadi fasilitator. Fasilitator adalah orang yang
memberikan fasilitasi. Dalam hal ini adalah memfasilitasi proses pembelajaran
siswa. Dosen menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai pendamping
(guide on the side) bagi mahasiswa.
Bekal bagi para dosen untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator salah
satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.
Ada 5 faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip
psikologis pembelajaran berpusat pada mahasiswa, yaitu:
1) Faktor Kognitif yang menggambarkan bagaimana mahasiswa berpikir dan
mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses
pembentukan makna informasi dan pengalaman;
2) Faktor Afektif yang menggambarakan bagaimana keyakinan, emosi, dan
motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa
banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti
pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi
pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar,
semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi mahasiswa untuk belajar;
3) Faktor Perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual,
emosional, dan sosial dipengaruhi oleh factor genetik yang unik dan faktor
lingkungan;
4) Faktor Sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam
proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini
mencerminkan bahwa dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat
saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual;
5) Faktor Perbedaan yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu
yang unik dan kapasitas masing-masing berpengaruh dalam pembelajaran.
Prinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang
berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.
2.2.3 Peran Pengajar Dalam Model PBL
Pengajar yang baik akan memaksimalkan kesempatan tutorial dengan bersikap aktif
dalam segala cara : dalam perencanaan dan persiapan, dalam menedengar, dalam
mendorong pemikiran kritis, dalam memperkaya wawasan, dalam memberikan
umpan balik verbal dan non verbal dan terkendali dalam menyampaikan informasi.
Pengajar yang aktif harus mempunyai rencana untuk setiap tutorial, akan tetapi
jarang mengacu padanya ; harus memiliki pengetahuan tetapi tidak
mengungkapkannya; harus mempunyai pertanyaan tetapi tidak terpaksa untuk
mengajukannya. (Glick, 1991, hlm. 1)
Makna peran pengajar dalam model PBL dan strategi untuk keberhasilan
pelaksanaan peran tersebut, sudah lama dikaji dari sudut pandang peserta didik
maupun pengajar dan dijelaskan oleh sejumlah penulis.
1. Persepsi peserta didik terhadap makna peran pengajar
Menurut peserta didik, peran pengajar sangat penting untuk mewujudkan
pembelajaran yang efektif dalam tutorial PBL. Pernyataan tersebut dipertegas
oleh hasil studi terbaru Rideout (1999) yang memuat beberapa komentar peserta
didik dalam program PBL mengenai peran dan pengaruh pengajar.
Menurut saya, pengajar merupakan tokoh vital yang menggerakkan kelompok
dan memungkinkan kami mengungkap segala sesuatu yang penting karena
pengajar mengetahui lebih baik daripada kami apa yang penting dan apa yang
harus kami lakukan dari hal tersebut.
Kelompok kami menjadi berkat upaya pengajar. Ia membantu kami
mengidentifikasi masalah kami sendiri,jika seseorang tertinggal, maka ia akan
membantu kami menghadapinya. Ia membuat proses menjadi mudah.
Komentar serupa tampak dalam hal penelitian Vortanen, Kosunen, Holmberg-
Marttila, dan Virjo (1999) erhadap peserta didik kedokteran di Finlandia, yang
menjelaskan peran pengajar sebagai fasilitator dan bukan pemimpin kelompok,
dan membantu kelompok tetap terfokus: Komentar khusus yang diajukan
mencakup : pengajar mengkaji di arah yang benar tetapi tidak menguliahi.
Pengajar tidak banyak bicara. Ia dapat mengendalikan segala sesuatu jika perlu.
Von Dobeln (1996) menceritakan pengalamannya yang serupa sebagi peserta
didik dalam program kedokteran PBL di Swedia; ia menekankan pentingnya
keterlibatan pengajar dalam pembelajarannya pada mata ajaran dinamika
kelompok, dan pengajar juga membantu menyadarkan kelompok jika kelompok
terlalu hanyut dalam diskusi yang menyimpang dari topic permasalahan yang
sebenarnya. Menurutnya : “Jebakan yang dapat mengenai pengajar adalah jika
pengajar menjadi terlalu ikut campur dan tidak membiarkan peserta didiknya
menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri. Memang tidak mudah
menjadi pengajar yang baik” (hlm 96).
2. Persepsi pengajar terhadap peran pengajar
Peran pengajar menurut hasil penelitian Rideout (1999), adalah sebagai
pembimbing dan penasihat. Dalam memenuhi peran tersebut pengajar hadir
untuk menantang peserta didik mengkaji masalah dalam hal kedalaman,
memastikan bahwa peserta didik mengembangkan informasi yang tepat dan
terbaru, dan menetapkan standar pencapaian. Pengajar juga menjelaskan
pentingnya “menyadarkan peserta didik bahwa anda mengetahui apa yang
mereka bicarakan” dan “menantang mereka jika mereka memiliki informasi
tidak benar”. Peserta didik juga mengakui bahwa semua kegiatan di atas harus
berlangsung dalam lingkungan yang mendukung, dalam suasana saling percaya
dan perhatian yang difasilitasi oleh pembimbing.
3. Perilaku pengajar yang efektif dan tidak efektif
Ada beberapa karakteristik pribadi dan professional dari seorang pengajar
berguna yang disebutkan oleh beberapa penulis. Mayo, Donnelly, dan Schwartz
(1995) menyatakan bahwa pengajar yang efektif atau sangat baik memiliki
kemampuan dan kesabaran untuk mendengarkan peserta didik. Karena pengajar
yang menjawab langsung dapat “memperpendek” keseluruhan proses
pembelajaran, pengajar yang efektif memiliki sikap yang tegas untuk tidak
memberikan jawaban secara dini atau tidak memaksakan pandangan pribadi
saat peserta didik tersendat. Selain itu, pengajar yang trampil mendukung
kelompok dalam rangkaian tindakan dan membimbing mereka menjalani
langkah-langkah yang ada dalam proses PBL. Mereka menjaga agar dialog tetap
terfokus, member umpan balik yang membangun dan berfokus pada perilaku
dan bukan pada sifat kepribadian, dan bertindak sebagai model peran dengan
memperlihatkan kemampuan mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip PBL.
Menurut Rdeout (1999), pengajar dapat dikatakan membantu jika mereka 1)
memperlihatkan pengetahuan dan keahlian, termasuk mengikuti perkembangan
di bidang klinis dan 2) berinteraksi dengan peserta didik dengan cara
menunjukkan antusiasme, minat terhadap peserta didik dan pembelajaran
mereka, empati dan kesabaran, dukungan, fleksibilitas, dan perhatian serta
keterlibatan dalam pembelajaran peserta didik.
Berikut karakteristik dan perilaku pengajar yang menghambat pembelajaran
menurut Rideout (1999) : 1) bersikap kasar dank eras di dalam interaksi peserta
didik-pengajar (misalnya terlalu vocal, sinis, kritis, dan/atau kaku); dan 2)
memperlihatkan kurangnya kedekatan dengan peserta didik (mis : tidak teratur,
tidak berkarisma, tidak tepat waktu, terlalu menjauh, tidak konsisten, dan
subyektif ; serta tidak ikut mengatasi masalah dalam proses kelompok).
KONSEP METODE SEVEN JUMP
2.3.1 Definisi Metode Seven Jump
Seven jump adalah suatu cara belajar yang membentuk, mengarahkan dan
menuntun mahasiswa untuk menjadi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Seven
Jump merupakan salah satu metode yang telah banyak digunakan di dunia
pendidikan kedokteran. Metode tersebut digunakan mengingat pada dunia
pendidikan kedokteran diberlakukan model Problem Based Learning. Metode ini
juga akan merangsang mahasiswa untuk berfikir aktif, inovatif dan explorative.
Pembelajaran dimulai dari pemunculan suatu masalah, kemudian mahasiswa
bersama dosen akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan tujuh langkah
yang dikenal sebagai Seven Jump Method.
2.3.2 Langkah-langkah Metode Seven Jump
SJM merupakan sebuah metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Gijselaers
(1995) sebagai metode pembelajaran untuk tutorial calon dokter pada University of
Limburg-Maastricht dengan pendekatan Problem Based Learning. Sesuai dengan
namanya, pada metode ini terdapat tujuh langkah pembelajaran yang harus dialami
oleh peserta didik, yaitu 1) Klarifikasi terminologi dan konsep yang belum
dipahami, 2) Mendefinisikan Permasalahan, 3) Menganalisis permasalahan dan
menawarkan penjelasan sementara, 4) Menginventarisir berbagai penjelasanan yang
dibutuhkan, 5) Menformulasi tujuan belajar, 6) Mengumpulkan informasi melalui
belajar mandiri, 7) Mensintesis informasi baru dan menguji serta mengevaluasinya
untuk permasalahan yang sedang dikemukakan dan melakukan refleksi penguatan
hasil belajar.
Senada dengan Gijselaers, Global Supply Chain Management Blog menyebutkan
tujuh langkah SJM sebagai berikut:
1) Identify and define unknown terms and concepts, 2) Identify and describe the
problem in the case, 3) Analyze the problem by brainstorming possible solutions, 4)
Critique the results of your brainstorming session and choose the most appropriate
solutions, 5) Define the learning issues and objectives. What must you learn to
implement the solutions? 6) Engage in self-direct study to collect information and
knowledge to fill the gaps specified by the learning issues, 7) Synthesize the
information and evaluate its utility in resolving the original problem.
Ketujuh tahap tersebut dilakukan dalam tiga sesi belajar, yaitu tatap muka pertama,
belajar mandiri, dan tatap muka kedua. Selengkapnya, tahap-tahap SJM disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Tahap Pelaksanaan SJM
‘ Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa SJM memiliki tiga sesi belajar, yakni 1)
pertemuan klasikal pertama, 2) belajar mandiri, dan 3) pertemuan klasikal
kedua. Pada pertemuan klasikal pertama, dosen akan menyampaikan permasalahan
yang harus diselesaikan oleh mahasiswa sekaligus mengembangkan diskusi singkat
tentang terminologi atau konsep baru yang mungkin belum difahami oleh
mahasiswa. Mahasiswa dengan difasilitasi dosen akan mendefinisikan
permasalahan dan menentukan daftar penjelasan (teori) yang harus dikuasai untuk
menjawab permasalahan. Pada bagian akhir sesi pertama ini, mahasiswa akan
menentukan tujuan belajarnya.Setelah pertemuan klasikal pertama, mahasiswa akan
belajar secara mandiri untuk mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan.
Mahasiswa ditugaskan untuk melakukan kaji pustaka dengan cara mencari referensi
baik di perpustakaan maupun internet atau sumber informasi yang lain. Selanjutnya
pembelajaran memasuki sesi ketiga, yaitu pertemuan klasikal kedua. Pada
pertemuan kedua ini, mahasiswa bersama dosen akan menggunakan berbagai
informasi yang telah diperoleh untuk mensintesis jawaban atas permasalahan yang
diajukan pada sesi pertama. Selain itu, pada pertemuan kedua ini, mahasiswa
bersama dosen akan melakukan refleksi dan sekaligus penguatan atas proses dan
hasil belajar yang telah dilakukan.
Sebuah skenario membutuhkan 2 kali pertemuan untuk diskusi kelompok
dalam waktu satu minggu. Konsultasi pakar bila dibutuhkan oleh mahasiswa.
Diskusi pleno pada akhir blok sekaligus bersifat sebagai konsultasi pakar,
dengan kehadiran seluruh pakar yang terlibat. Belajar Mandiri, Praktikum,
Keterampilan Medik, Role play / bermain peran, Case-based teaching dan Bed
side teaching
Langkah-langkah SJM vs Komponen Kemampuan Critical Thinking vs Asuhan Keperawatan
Langkah-Langkah SJM
Kemampuan Critical
Thinking
Asuhan Keperawatan
1.Klarifikasi terminology dan konsep yang belum difahami
2.Mendefinisikan permasalahan
3.Menganalisis permasala han dan menawarkan penjelasan sementara
4.Menginventarisir berbagai penjelasanan yang dibutuhkan
5.Menformulasi tujuan belajar
6.Mengumpulkan informasi melalui belajar mandiri
7.Mensintesis informasi baru dan menguji serta mengevaluasinya untuk permasalahan yang sedang dikemukakan. Melakukan refleksi penguatan hasil belajar.
1. Interpretasi2. Analisis3. Evaluasi4. Inferensi
1. Pengkajian Pengumpulan data Pengolahan data
2.Analisis data Merumuskan masalah Merumuskan diagnosa
keperawatan Menentukan prioritas
diagnosa keperawatan3. Perencanaan Tujuan Intervensi Rasional
4. Implementasi5. Evaluasi
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian kajian teori, bahwa tujuh tahap
pembelajaran yang menggunakan metode SJM secara garis besar dapat dilakukan
dalam tiga sesi kegiatan belajar.
Sesi pertama: dilaksanakan suatu kegiatan pembelajaran
klasikal untuk menyelesaikan langkah petama sampai
langkah kelima.
Sesi kedua: dilaksanakan kegiatan belajar mandiri untuk
menyelesaikan langkah keenam.
Sesi ketiga: kembali dilakukan kegiatan belajar klasikal
untuk melaksanakan langkah ketujuh SJM.
Pada sesi kegiatan belajar pertama berlangsung tahap-tahap sebagai berikut: 1)
Klarifikasi terminologi dan konsep yang belum difahami, 2) Mendefinisikan
permasalahan, 3) Menganalisis permasalahan dan menawarkan penjelasan
sementara, 4) Menginventarisir berbagai penjelasanan yang dibutuhkan, dan 5)
Menformulasi tujuan belajar. Pada awal sesi pertama, dosen menyampaikan
permasalahan yang harus dipecahkan oleh mahasiswa (hal ini sebagai ciri khas
Problem Based Learning). Setelah permasalahan dilontarkan, mahasiswa dengan
bimbingan dosen akan mendiskusikan terminologi atau konsep-konsep baru yang
mungkin belum diketahui oleh sebagian atau keseluruhan mahasiswa. Agar
permasalahan lebih kongkrit, dosen perlu untuk membawa permasalahan tersebut di
dalam kelas, baik melalui demonstrasi, pemutaran video, maupun penggunaan
model dari suatu permasalahan. Jalan ini ditempuh agar mahasiswa dapat
mendefinisikan permasalahan secara utuh. Setelah masalah berhasil didefinisikan
secara utuh oleh mahasiswa, diskusi kelas dikembangkan untuk menganalisis
permasalahan dan sekaligus menawarkan solusi sementara. Solusi sementara ini
dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan mahasiswa sebelumnya dan
oleh karena itu harus diuji kebenarannya. Untuk itu dilakukan kajian pustaka dalam
rangka menginventarisir berbagai penjelasan yang dibutuhkan dalam rangka
menguji “solusi sementara” yang telah dilontarkan. Sehingga diakhir sesi pertama
ini, diharapkan mahasiswa dapat menentukan cara yang tepat untuk membuktikan
kebenaran “solusi sementara” melalui serangkaian kegiatan mandiri yang akan
dikerjakan pada sesi kedua pembelajaran.
Berdasarkan uraian kegiatan pembelajaran pada sesi pertama, dapat dibuat
hubungan antara sesi ini dengan komponen kemampuan critical thinking dan
asuhan keperawatan Langkah pertama dan kedua SJM, yakni 1) Klarifikasi
terminologi dan konsep yang belum difahami, dan 2) Mendefinisikan
permasalahan, dapat dimanfaatkan dosen untuk meningkatkan kemampuan
interpretasi dari komponen critical thinking dan kemampuan mengumpulkan dan
mengolah data dalam komponen asuhan keperawatan. Hal ini dapat berlangsung
dengan baik jika permasalahan yang diajukan diperlihatkan langsung oleh dosen
baik melalui ilustrasi sebuah kasus klinis, demonstrasi, penggunaan model, ataupun
pemutaran video yang relefan. Aktivitas ini akan melatih mahasiswa mengamati
sebuah fenomena, kemudian mencerna obyek amatan tersebut sehingga dapat
memberi tafsir atas apa yang baru saja diamati dan ini akan meningkatkan
kemampuan interpretasi. Langkah ketiga SJM, yakni menganalisis permasalahan
dan menawarkan penjelasan sementara, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam analisis. Setelah mahasiswa berhasil menafsirkan
hasil pengamatan, maka berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah
dimiliki mahasiswa diminta untuk menganalisis permasalahan yang baru saja
diamati, mahasiswa diharapkan mampu merumuskan masalah, menentukan
diagnose keperawatan dan menentukan prioritas diagnose keperawatan Jadi langkah
ketiga SJM dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
menyusun diagnose keperawatan melalui sebuah analisis. Langkah keempat dan
kelima SJM adalah menginventarisir berbagai penjelasanan yang dibutuhkan dan
menformulasi tujuan belajar. Inventarisir permasalahan dilakukan dengan jalan
kajian pustaka dan atau diskusi baik dengan dosen maupun antar mahasiswa
sendiri. Pada langkah ini mahasiswa melakukan kajian pustaka untuk menyusun
langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam merumuskan diagnose keperawatan.
Jadi langkah keempat dan kelima SJM dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa menganalisis sebuah konteks pembelajaran yang sedang
dilaksanakannya.. Sesi kedua, kegiatan belajar pada SJM adalah kegiatan mandiri,
yaitu mengumpulkan informasi melalui belajar mandiri yang merupakan langkah
keenam SJM. Dosen perlu memodifikasi langkah keenam ini dengan cara
memaknai aktifitas “mengumpulkan informasi” sebagai mengumpulkan
data/informasi melalui pengkajian. Modifikasi berikutnya adalah pada teknik
pengumpulan informasinya, yakni dilakukan secara berkelompok dan bukan secara
individu. Bahkan jika perlu, pada sesi kedua kegiatan belajar ini dosen tetap
menyertai kegiatan mahasiswa di laboratorium. Hal ini untuk memberikan peluang
adanya diskusi antara dosen dan mahasiswa khususnya jika mahasiswa mengalami
kesulitan sehingga mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada kegiatan sesi kedua
. Dengan demikian, langkah keenam SJM dapat digunakan untuk meningkatkan
keterampilan mahasiswa dalam menentukan intervensi keperawatan sesuai dengan
diagnose keperawatan. Sesi ketiga, kegiatan belajar pada SJM adalah kegiatan
klasikal: yang berisi langkah ketujuh SJM, yakni: Mensintesis informasi baru dan
menguji serta mengevaluasinya untuk permasalahan yang sedang dikemukakan dan
melakukan refleksi hasil belajar. Data dan atau informasi yang telah dikumpulkan
pada sesi belajar sebelumnya, pada tahap ini akan dianalisis untuk memperoleh
kesimpulan. Jika kesimpulan telah diformulasikan, maka hal ini berarti
permasalahan yang diajukan dalam pembelajaran sudah terjawab. Setelah itu akan
dilakukan diskusi klasikal untuk merefleksikan keseluruhan proses dan hasil belajar
yang telah ditempuh. Langkah ketujuh SJM ini jika dikaitkan dengan kemampuan
critical thinking masuk dalam kategori kemampuan untuk menganalisis data dan
mengkomunikasikan hasil pembelajaran dari langkah satu sampai 6. Dengan kata
lain, tahap ketujuh SJM dapat meningkatkan kemampuan menganalisis data dan
menginferensi hasil pembelajaran.
2.4 Konsep Kemampuan Critical Thinking
2.4.1 Definisi Critical Thinking
Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir
dengan benar berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir
yang beralasan, relfektif, bertanggungjawab, dan mahir. Seorang yang berfikir
kritis dapat menanyakan suatu hal dengan tepat, mencari informasi dengan tepat
yang akan dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah, dapat mengelola
informasi tersebut dengan logis, efisien dan kreatif sehingga dia dapat membuat
simpulan yang logis dan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan
tepat berdasarkan analisis informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.
John Dewey, dikutip oleh Fisher (2001) menjelaskan bahwa critical
thinking adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan
dan keilmuan untuk mendukung kesimpulan. Selain itu, Fisher (2001) juga
mengambil pendapat Ennis, yang menyatakan bahwa critical thinking adalah
kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang memfokuskan pada apa yang
diyakini dan apa yang akan dilakukan.
The APA Concensus Definition (dalam Facione, 1996) memberikan
definisi berfikir kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan
sendiri oleh pelaku kegiatan berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi,
analisis, evaluasi dan inferensi serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan
pada bukti, konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian
melandasi keputusan yang dibuat oleh orang tersebut.
2.4.2 Tujuan dan Dasar Pemikiran Pengajaran Critical Thinking
Schafersman (1991) menjelaskan bahwa tujuan utama pengajaran critical
thinking adalah meningkatkan kemampuan berfikir siswa, agar mereka siap meraih
kesuksesan di dunia yang semakin kompleks persoalannya ini. Sesungguhnya
ketika staf akademik mengajarkan mata kuliahnya maka bersamaan itu pula
diharapkan mereka juga mengajarkan siswanya untuk berfikir kritis. Akan tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar dosen hanya mengajarkan ’what to
think’ ’apa yang harus difikirkan’ (yakni materi kuliah) dan bukan ’how to think’
’bagaimana cara berfikir’ (yakni cara memahami material tersebut, hingga materi
tersebut dapat dipelajarinya sendiri Banyak dosen yang dapat melakukan tugas
transfer materi dengan baik, akan tetapi tidak banyak dosen yang berhasil untuk
mengajarkan bagaimana berfikir kritis untuk memahami materi tersebut dan
bagaiman cara mengevaluasi pemahamannya terhadap material tersebut secara
mandiri. Alasan lainnya adalah karena riset menunjukkan bahwa lebih dari 70%
siswa yang berusia 17 tahun tidak memiliki kemampuan ’high order intelectual
skill’. 40% dari mereka tidak dapat melakukan inferensi dari teks tulis yang
dibacanya, hanya seperlima dari mereka yang mampu menulis essay persuasif , dan
hanya sepertiga dari mereka yang dapat menyelesaikan soal matematika yang
mengharuskan dipergunakannya banyak langkah (Schafersman,1991). Fenomena
ini terjadi juga karena sistem pendidikan tradisional yang lebih menekankan pada
transfer pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa, dan bukan mendidik mereka
agar dapat berfikir kritis tentang subjek yang sedang dipelajarinya (Pithers, 2000).
Harus disadari bahwa agar dapat mengikuti perkembangan ilmu, siswa tidak
diharuskan memiliki kemampuan menghafal seluruh ilmu tersebut, akan tetapi
diharuskan memiliki kemampuan untuk menguasai metode yakni critical thinking
agar dapat memahami ilmu, menguasainya dan mengevaluasi informasi yang terkait
dengan keilmuan tersebut. Alasan lainnya, adalah terkait dengan pendapat Dam dan
Volman (2004), yang menekankan bahwa critical thinking adalah kompetensi wajib
bagi seorang warga Negara yang baik. Oleh karena itu, penguasaan kompetensi
berfikir kritis ini harus menjadi tujuan pendidikan bagi setiap warganegara.
Dijelaskan bahwa seorang yang selalu berfikir kritis adalah orang yang memiliki
kepribadian yang baik dan hubungan social yang baik pula. Dengan kata lain,
orang yang berfikir kritis tidak akan melakukan hal-hal yang tidak procedural, dan
hal-hal yang merugikan/agregatif. Seorang yang berfikir kritis selalu berusaha
menjadi anggota masyarakat yang baik, yang selalu memecahkan persoalan
masyarakat dengan akurat menggunakan kemampuan critical thinking-nya. Ketika
dia menyelesaikan masalah dalam komunitasnya, dia selalu menggunakan reflective
thinking-nya yakni system berfikir yang mendasarkan pada alasan yang jelas dan
bukti yang akurat, melalui tahap-tahap interpretasi masalah, analisis masalah,
evaluasi, menjelaskan, dan introspeksi diri. Sistem ini membutuhkan kejujuran
intelektual, dan antisipatif terhadap apa yang akan terjadi di kemudian hari,
kedewasaan dalam memberikan penilaian, keadilan, meminimalkan bias, dan sikap
selalu mencari kebenaran. critical thinking harus diarahkan sampai pada critical
participation, yakni kemampuan berfikir kritis dalam keikutsertaannya sebagai
warga masyarakat yang bertanggungjawab atas persoalan di lingkungannya.
Bertolak dari pendapat tersebut, maka critical thinking wajib diajarkan, bahkan
harus sampai pada tujuan untuk menstimulasi siswa agar memberikan partisipasi
dalam seluruh kegiatan dan permasalahan masyarakat dengan menerapkan
kemampuan berfikir kritisnya. Seluruh partisipasi yang diberikan dan ditawarkan
hendaknya dilandasi dengan analisis dan reflective thinking, berpendapat dengan
alasan (reasoning) yang jelas dan masuk akal dan berdasarkan bukti. Siswa dituntut
untuk mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang (perspective),
menentukan isu pokok di masyarakat, dan asumsi-asumsi masyarakat, kemudian
menganalisisnya. Selain itu, siswa juga dituntut untuk mampu memberikan
pendapat berdasarkan norma dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat,
prinsip-prinsip umum yang ada di masyarakat, budaya, dan lain sebagainya.
2.4.3 Hal-hal yang harus diajarkan dalam critical thinking
Kemampuan yang harus dimiliki oleh critical thinker, bertolak dari
definisi APA Concensus Definition adalah interpretasi, analisis, evaluasi dan
inferensi. Facione (2004) menambahkan dua kemampuan lain yakni expalining dan
self regulation. Saya sependapat dengan Duldt-Battey (1997) yang menyatakan
bahwa kemampuan-kemampuan tersebut dapat diperoleh dengan membiasakan
siswa untuk debat dan menjelaskan. Menurutnya, jika seseorang mampu
menerangkan sebuah fenomena, mampu memberikan label pada setiap kejadian dan
hal-hal yang terkait dengannya, maka sesungguhnya dia sudah menguasai sebagian
kecil dari ilmu tersebut. Selanjutnya, jika dia telah mampu menghubungkan dua
atau lebih konsep yang terkait dengan suatu kejadian serta menjelaskan bagaimana
hubungan konsep-konsep tersebut, sehingga dia harus menyusun argumentasi yang
menjelaskan logika hubungan antar konsep tersebut, dan mempertahankannya
posisi dan pandangannya dalam debat, maka dia sudah berada pada posisi
pemahaman yang lebih tinggi. Proses internal untuk mendefinisikan fenomena,
menyusun kriteria, mengevaluasi informasi yang dikumpulkannya, memilih
informasi mana yang relevan, memilih pendapat yang benar dan aman untuk
diyakini, adalah kegiatan penting dalam melatih critical thinking. Duldt-Battey
(1997) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan berpikir kritis
a. Tahap verbal – tahap ini adalah tahap yang paling superfisial, karena
mahasiswa hanya menyatakan atau memberi definisi atas sesuatu. Mahasiswa
menyampaikan pengetahuan yang difahaminya dan definisi-definisi tersebut
dengan kata-kata. Dosen yang baik harus mendengarkan apa yang dikatakan
oleh mahasiswa mengenai definisi dan pemahaman siswa terhadap materi.
b. Tahap membaca- tahap ini agak lebih sulit dari tahap verbal, karena pada tahap
ini siswa diharuskan untuk memahami bagaimana orang lain menjelaskan
sesuatu. Sebagai dosen harus mengetahui bagaimana siswa menginterpretasikan
apa yang telah dibacanya. Dalam membaca terjadi proses kombinasi antara apa
yang dibaca, pengetahuan pembaca sebelumnya dan pembaca
menginterpretasikan, memeriksa dan mengoragnisasikan bahan yang dibaca
untuk membentuk suatu pengertian yang baru. Cognitive learning theory
menjelaskan bahwa proses belajar terjadi jika informasi baru tersebut dapat
disisipkan pada informasi lama yang tersimpan dalam long term memory
(Simon, 2001).
c. Tahap menulis – tahap yang paling sulit adalah menjelaskan dengan menulis.
Pada tahap ini, mahasiswa harus mampu menuliskan apa yang difikirkannya
dan mempresentasikannya dalam bentuk kalimat yang harus bisa difahami oleh
orang lain. Dosen harus memeriksa struktur dan isi substansi tulisan serta
presentasi mahasiswa atas tulisan tersebut secara oral. Oleh karena itu, jika
pendidikan berorientasi untuk mencetak sumber daya yang mampu bekerja pada
level profesional, maka kemampuan menulis, membaca, dan berbicara ini harus
diajarkan juga. Konsekuensinya adalah intruksional juga harus didesain untuk
mengajarkan kemampuan ketiga kemampuan tersebut. Sayangnya, di banyak
institusi pendidikan tinggi, ketrampilan menulis tidak banyak disentuh. Siswa
umumnya memiliki kesempatan untuk menulis hanya ketika menyusun tugas
akhir, baik dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah atau skripsi.
2.4.4 Kegiatan akademik yang dapat dimanfaatkan untuk pengajaran critical thinking
Ada beberapa pendekatan instruksional yang dapat meningkatkan berpikir kritis
menurut Cotton (1991), yaitu
a. Redirecting/probing/reinforcement.
Redirecting artinya bila mahasiswa dalam diskusi keluar dari topik yang
dibahas, maka tutor mengarahkan kembali. Probing artinya rasa keingintahuan
mahasiswa hendaknya dibangkitkan atau dimotivasi, dan Reinforcement artinya
bila mahasiswa dapat menjawab dengan baik dan berani berargumentasi, tutor
memberikan pujian atau diberikan tepuk tangan.
b. Mengajukan pertanyaan yang bersifat higher-order, terutama dalam
mengevaluasi, tidak hanya untuk level recall tetapi sampai pada jawaban
analisa dan sintesis
c. Memberikan waktu yang cukup bagi mahasiswa untuk menjawab pertanyaan.
Sedangkan menurut Resnick (1990), beberapa program peningkatan critical
thinking yang dapat dilakukan adalah:
a. General problem solving skill. Program ini difungsikan untuk melatih
kemampuan reasoning dan penyelesaian masalah. Ada dua jenis program yang
biasa dipakai, yakni CoRT Thinking Program yang disusun oleh De Bono, dan
Productive Thinking Program yang disusun oleh Covington.
b. Reading and study strategy . program ini umum dipergunakan, dan yang paling
banyak diterapkan. Pada program ini, critical thinking diajarkan sebagai context
dependent.
c. Informal logic and critical thinking. Program ini lebih bernuansa filsafat
ketimbang psikologi. Pembelajaran mengenai logika biasanya diajarkan pada
level perguruan tinggi, dan lebih difokuskan untuk penyusunan argumentasi dan
penalaran (reasoning).
Karena penguasaan kemampuan critical thinking dapat dipelajari sekalipun
membutuhkan waktu yang cukup lama, maka critical thinking sebaiknya diajarkan
dalam seluruh kegiatan pendidikan di perguruan tinggi, sejak semester 1 hingga
akhir pendidikan. Pada semester awal, kegiatan dapat berupa pembiasaan berfikir
logis, debat, dan peningkatan kemampuan berbicara. Pada semester-semester akhir
dalam kegiatan rotasi klinik bagi mahasiswa fakultas keperawatan misalnya,
critical thinking dapat diajarkan melalui kegiatan ’clinical problem solving’, yang
mengharuskan mereka untuk berfikir kritis terhadap informasi holistik yang mereka
gali dari pasien, baik melalui anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik dan
penunjang. Seluruh kegiatan akademik pada dasarnya dapat dimanfaatkan oleh
dosen untuk mengajarkan kemampuan critical thinking pada mahasiswa. Berikut
penjelasannya:
a. Perkuliahan
Banyak ahli yang menyatakan bahwa tidak perlu mengajarkan topik khusus
mengenai critical thinking secara langsung pada siswa (Schafersman, 1991, Kee
dan Bicle 2001, Pithers, 2000). Mereka menjelaskan bahwa pengajaran critical
thinking akan lebih tepat jika dilakukan dalam context-dependent. Bahkan
dalam laporan penelitiannya, Abraham dkk (2004) menyatakan bahwa critical
thinking dapat diajarkan secara efektif jika diterapkan dalam konteks atau situasi
sesungguhnya (real-world context) dan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Meskipun demikian, saya sepakat dengan pendapat Winch (2006) yang
menyatakan bahwa critical thinking dapat pula diajarkan dalam context
independent. Pada kondisi ini, konsep-konsep critical thinking, reasoning,
arguing, dll. dapat diajarkan kepada siswa, sekalipun contoh-contoh, misal
contoh argumentasi, logika, evaluasi terhadap sesuatu, dll., yang diberikan atau
yang dibuat oleh siswa tetap didasarkan pada kasus atau peristiwa atau konteks
tertentu. Pada kegiatan perkuliahan hal yang dapat dilakukan oleh dosen agar
dapat meningkatkan kemampuan critical thinkingnya adalah dengan:
1) Memberikan pertanyaan yang tidak hanya mengharuskan siswa untuk
memahami material, tetapi juga mengharuskan mereka untuk menganalisa
dan menerapkan pada contoh yang lain (Schafersman, 1991)
2) Dosen harus dapat mengajar secara multiperspektif dan berfokus pada
keterkaitan dan kesamaan dari materi. Mahasiswa harus aktif; mengajukan
pertanyaan, mencari informasi, menghubungkan dengan pertanyaan yang
relevan.
3) Memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut siswa untuk memberikan
penjelasan yang mengharuskannya berfikir sebelum memberikan jawaban
(Abraham, 2004)
4) Memberikan tugas kepada siswa, baik perorangan maupun kelompok untuk
membuat dan menyampaikan simpulan dari kegiatan perkuliahan yang baru
saja dilakukan, sebelum perkuliahan ditutup (Brown dan Monague, 2001)
Kegiatan tersebut dapat dilakukan jika kuliah yang diberikan oleh dosen
menggunakan komunikasi dua arah, dan menekankan learning oriented, tidak
sekedar content oriented.
b. Praktikum di laboratorium
Kegiatan ini juga dapat dimanfaatkan oleh dosen untuk meningkatkan
kemampuan critical thinking mahasiswa, karena ilmu yang dipelajari di
laboratorium tersebut adalah sains yang pada umumnya membutuhkan
penalaran. Dosen dapat meminta siswa menjelaskan penalarannya atas kejadian
atau fenomena yang dipraktekkan di laboratorium dengan menggunakan logika
ilmu yang dikajinya. Kegiatan seperti ini dapat meningkatkan kemampuan
reasoning.
c. Pekerjaan rumah
Pada pola pembelajaran tradisional, PR sama sekali tidak diorientasikan untuk
meningkatkan critical thinking. Umumnya, kegiatan ini hanya diorientasikan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disediakan oleh dosen ataupun
yang tersedia di teksbook. PR sebaiknya diawali dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab sebelum mereka membaca
teks. Selanjutnya, perintahkan juga kepada siswa untuk membuat tulisan baru
dengan bahasa mereka sendiri untuk menjelaskan topik yang ditulis oleh
pengarang tulisan yang dikajinya tersebut (membuat parafrase), membuat
ringkasan, atau membuat bagan-bagan yang menjelaskan hubungan topik-topik
yang dibacanya tersebut, atau bahkan mengharuskan mereka untuk melakukan
critical appraisal atas tulisan yang dibacanya. Kegiatan-kegiatan tersebut
diyakini dapat menumbuhkan kemampuan critical thinking mereka. Hasil
pekerjaan mereka selanjutnya diberi bobot nilai sebagai penghargaan.
d. Term paper
Cara terbaik untuk mengembangkan critical thinking adalah mengharuskan
siswa untuk menulis, karena menulis dapat mendorong siswa untuk
mengorganisir pemikirannya, melakukan kontemplasi atas topik-topik yang
ditulisnya, mengevaluasi data dan logika penyampaiannya, dan menyampaikan
simpulan dalam bentuk persuasif.
e. Tutorial atau small group discussion
Tutorial sangat mendidik siswa untuk berfikir kritis dan komprehensif. Dalam
kegiatan ini, siswa dibiasakan untuk mengkaji masalah dan menyelesaikannya
dengan menggunakan langkah-langkah yang terorganisir. Duldt-Battey (1997)
mengambil contoh metode Chubinski yang mengembangkan strategi mengajar
berdasarkan teori berpikir kritis Richard Paul yaitu dengan menggunakan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi masalah
2) Menentukan tujuan
3) Mengungkapkan asumsi
4) Mengenal dan menggunakan paradigma yang berbeda 10
5) Demonstrasi berbagai metoda penalaran (reasoning)
6) Menguji data
7) Membuat berbagai pemecahan alternatif
8) Mengevaluasi pendapat orang lain
Chubinski menggunakan permainan ’pemilik sepatu’ ia memberikan
sekumpulan sepatu dan mahasiswa ditugaskan untuk menjelaskan siapa
pemiliknya. Pertama-tama, mahasiswa bekerja secara individual, kemudian
dalam kelompok kecil dan kelompok kelas. Pada sesi terakhir, Chubinski
mengungkapkan pemilik sepatu yang sebenarnya. Langkah-langkah tersebut
sebenarnya hampir sama dengan 7 langkah yang dipergunakan dalam kegiatan
tutorial atau biasa disebut dengan seven jump step yang saat ini dipergunakan.
Diskusi pada keseluruhan step, terutama di step 2 (penyusunan masalah), 3
(analisis masalah), step 4 (brain storming untuk menentukan jawaban tentative
dan penyusunan skema yang menjelaskan jawaban tentative tersebut) serta step 7
(sharing hasil belajar) adalah kegiatan yang mengharuskan siswa mengaktifkan
kemampuan berfikir kritisnya. Tutor, yang bertindak sebagai fasilitator dalam
kegiatan diskusi tersebut, harus benar-benar meyakinkan bahwa siswa
menggunakan dan mengaktifkan kemampuan critical thinkingnya dalan seluruh
step. Memberikan tantangan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang mendorong
siswa berfikir kritis dan mendalam terhadap topik tertentu, memberikan topik
atau kasus baru yang mengharuskan siswa berfikir lebih mendalam, evaluasi
terhadap kelayakan rujuk sumber pustaka yang diambil oleh mahasiswa, dan lain
sebagainya adalah contoh aktivitas yang dapat dilakukan tutor selama kegiatan
tutorial berlangsung. Dengan kata lain, dalam seluruh kegiatan tersebut, tutor
harus memfasilitasi penyusunan hipotesa, interpretasi, informasi atau data,
menentukan kriteria atau membantu mahasiswa untuk memahami penerapan
prinsip dalam situasi baru atau dalam membuat prediksi. Mahasiswa harus
dibantu dalam membuat pertanyaan, mengumpulkan informasi, diskusi, dan
menentukan jenis dan validitas data dan membuat kesimpulan tentatif.
f. Belajar mandiri
Kegiatan belajar mandiri yang dilakukan siswa untuk mencari bahan belajar,
mengkajinya dan memahaminya agar dapat disampaikan dalam kegiatan tutorial
pada step 7 sangat mendidik siswa untuk menjadi independent learner dan pada
gilirannya akan mengarahkan mereka pada independent thinker. Harus diingat
bahwa independent thinking adalah tujuan utama dari transformational learning
(Meriam, 2004). Mezirow (1997) menjelaskan bahwa mengembangkan
kemandirian dalam berfikir adalah tujuan dan metode pembelajaran orang
dewasa, dan memperoleh kemandirian dalam berfikir adalah produk dari
transformative learning. Bertolak dari pendapat tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kegiatan belajar mandiri juga bagian yang harus mendapat
porsi perhatian bagi tutor/dosen. Dosen bahwa kegiatan belajar mandiri yang
dilakukan siswa benar-benar kegiatan belajar aktif, yang mengharuskan mereka
menkaji dan mempertimbangkan berbagai sumber belajar, dan bukan sekedar
copy and paste pendapat atau tulisan dari teksbook ini dan itu. Dalam kegiatan
belajar mandiri, siswa diharuskan untuk mengkritisi berbagai bahan yang
dikumpulkan dan dibacanya, mengaitkan pendapat satu dengan lainnya sehingga
memberikan penjelasan yang logis. Jika ditemukan pendapat yang saling
bertentangan atau sulit difahami, siswa dapat berkonsultasi pada ahli (dosen
mata kuliah terkait).
g. Skill lab
Kegiatan pelatihan penguasaan ketrampilan klinik atau biasa disebut dengan skill
lab juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan critical thinking. Pada
kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya diajarkan untuk melakukan kegiatan
tersebut, akan tetapi mereka juga harus diajak berfikir mengapa aktivitas tersebut
harus dilakukan. Oleh karena itu, instruktur ketrampilan klinik harus rajin
menanyakan kepada siswa, ”menurut anda mengapa aktivitas (misal resusitasi)
ini harus dilakukan, mengapa dilakukan seperti ini, mengapa bagiam yang
diperiksa sebelah sini (misal pada pemeriksaan fisik), mengapa jika terjadi ini
maka yang anda lihat atau yang anda dengar seperti itu (misal pada pemeriksaan
thorax, suara perkusi pekak jantung karena ada kelainan tertentu) dan lain
sebagainya, untuk membiasakan siswa melakukan kegiatan reasoning.
h. Rotasi klinik
Seluruh kegiatan dalam rotasi klinik harus diorientasikan pada peningkatan
kemampuan reasoning dan critical thinking, karena pada fase ini siswa sudah
harus menghadapi pasien, sehingga sejak memilih pertanyaan yang harus
diajukan pada pasien dalam anamnesis, memilih pemeriksaan fisik yang arus
dilakukan, menentukan pemeriksaan penunjang yang harus disarankan pada
pasien, serta menentukan diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan penyakit
pasien, keseluruhannya harus menggunakan critical thinking. Selain itu, kegiatan
refleksi, yang semestinya dilakukan oleh siswa untuk mengevaluasi seluruh
kegiatan yang dilakukannya dalam menangani pasien (Branch dan Paranjape,
2002) sejak melakukan anamnesis hingga menatalaksa penyakit pasien, juga
merupakan kegiatan critical thinking. Perlu diingat bahwa selain mampu
melakukan interpretasi, analisis, evaluasi, dan eksplanasi, seorang critical
thinker juga harus dapat melakukan self regulation, yang ditandai dengan
kemampuannya untuk mengkaji ulang kegiatan berfikir yang telah dilakukannya
(Facione, 2004)
i. Ujian
Ujian, baik oral, praktek maupun tertulis, keseluruhannya harus diarahkan pada
peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa. Oleh karena itu, pada ujian tulis,
soal dalam bentuk esay yang menjelaskan pemikiran kritis siswa perlu juga
diberikan. Jika bentuk soal pilihan ganda yang dipergunakan, maka bentuk-
bentuk soal yang membutuhkan analisis, sintesis dan evaluasi serta problem
solving (atau yang memenuhi kriteria C4, C5, dan C6 dalam konsep Bloom dan
problem solving dalam konsep Gagne) harus dipergunakan. Meskipun demikian,
Sternberg (dalam Pithers, 2000) menyatakan bahwa kegiatan pengajaran critical
thinking sebagai generic skill tidak pernah berhasil. Selanjutnya Raths dkk.
(dalam Pithers, 2000) menjelaskan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh
berbagai kendala, diantaranya adalah:
1) Dosen merasa tidak perlu belajar sesuatu dari mahasiswa: dalam berpikir
kritis, dosen adalah pembelajar yang perlu mendapatkan ide-ide baru, salah
satunya adalah dari mahasiswa.
2) Dosen hanya memberikan kuliah: seharusnya dosen menanggapai respon dari
mahasiswa dan menyajikan kuliah dengan lancan dan menggunakan
teknologi. Dalam konteks problem- based learning yang difungsikan untuk
meningkatkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa, dosen harus terlibat
aktif dalam proses belajar mengajar sebagai fasilitator dan bukan sebagai
instruktur.
3) Program yang tepat untuk meningkatkan kemampuan critical thinking. Dalam
berpikir kritis, program tergantung pada tujuan dan isi, serta tergantung pada
konteks dan kultur tempat siswa melaksanakan kegiatan berfikir.
4) Pilihan program berpikir kritis berdasarkan pilihan biner (holistic or
processed-based, flexible delivery vs face to face); program akan lebih efektif
jika dilakukan dengan pendekatan gabungan.
5) Hal yang terpenting adalah jawaban ’benar’, seharusnya yang perlu diketahui
justru adalah proses berpikir yang terjadi untuk dapat menjawab dengan
benar.
6) Diskusi merupakan alat untuk meraih penyelesaian akhir. Dalam konsep
critical thinking, seharusnya, critical thinking itulah yang harus menjadi alat
penyelesaian akhir.
7) Penguasaan materi, jika mahasiswa dapat menjawab 90% benar, berarti telah
belajar dalam 90% waktu. Padahal, seharusnya thinking dan performa dapat
ditingkatkan terus menerus.
8) Peran pembelajaran berpikir kritis adalah mengajar berpikir kritis, yakni
mengajarkan tentang konsepr dan teori berfikir kritis, bukannya melatih
kemampuan berfikir kritis.
2.4.5 Evaluasi Critical Thinking
a. Sasaran.
Sasaran evaluasi proses pembelajaran adalah pelaksanaan dan pengelolaan
pembelajaran untuk memperoleh pemahaman tentang strategi pembelajaran
yang dilaksanakan oleh dosen, cara mengajar dan media pembelajaran yang
digunakan oleh dosen dalam pembelajaran, serta minat, sikap dan
cara/kebiasaan belajar mahasiswa.
b. Tahapan pelaksanaan evaluasi
Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan,
menentukan desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan
informasi/data, analisis dan interpretasi dan tindak lanjut
1) Menentukan tujuan
Tujuan evaluasi proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk
pernyataan atau pertanyaan. Secara umum tujuan evaluasi proses
pembelajaran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah
strategi pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh dosen efektif, (2)
Apakah media pembelajaran yang digunakan oleh dosen efektif, (3)
Apakah cara mengajar dosen menarik dan sesuai dengan pokok materi
sajian yang dibahas, mudah diikuti dan berdampak mahasiswa mudah
mengerti materi sajian yang dibahas, (4) Bagaimana persepsi mahasiswa
terhadap materi sajian yang dibahas berkenaan dengan kompetensi dasar
yang akan dicapai, (5) Apakah mahasiswa antusias untuk mempelajari
materi sajian yang dibahas, (6) Bagaimana mahasiswa mensikapi
pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen, (7) Bagaimanakah cara
belajar mahasiswa mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen.
2) Menentukan desain evaluasi
Desain evaluasi proses pembelajaran mencakup rencana evaluasi proses
dan pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk
matriks dengan kolom-kolom berisi tentang: No. Urut, Informasi yang
dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen,
responden dan waktu. Selanjutnya pelaksana evaluasi proses adalah dosen
mata kuliah yang bersangkutan.
3) Penyusunan instrumen evaluasi
Instrumen evaluasi proses pembelajaran untuk memperoleh informasi
deskriptif dan/atau informasi judgemental dapat berwujud (1) Lembar
pengamatan untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan belajar
mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen
dapat digunakan oleh dosen sendiri atau oleh mahasiswa untuk saling
mengamati, dan (2) Kuesioner yang harus dijawab oleh mahasiswa
berkenaan dengan strategi pembelajaran yang dilaksanakan dosen, metode
dan media pembelajaran yang digunkan oleh dosen, minat, persepsi maha-
siswa tentang pembelajaran untuk suatu materi pokok sajian yang telah
terlaksana.
4) Pengumpulan data atau informasi
Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan secara obyektif dan
terbuka agar diperoleh informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat
bagi peningkatan mutu pembelajaran. Pengumpulan data atau informasi
dilaksanakan pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran untuk materi
sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud dosen dan
mahasiswa memperoleh gambaran menyeluruh dan kebulatan tentang
pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk pencapaian
penguasaan satu kompetensi dasar.
5) Analisis dan interpretasi
Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau
informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evalusi berkenaan
dengan proses pembelajaran yang telah terlaksana; sedang interpretasi
merupakan penafsiran terhadap deskripsi hasil analisis hasil analisis proses
pembelajaran. Analisis dan interpretasi dapat dilaksanakan bersama oleh
dosen dan mahasiswa agar hasil evaluasi dapat segera diketahui dan
dipahami oleh dosen dan maha-siswa sebagai bahan dan dasar
memperbaiki pembelajaran selanjutnya.
6) Tindak lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan menindak lanjuti hasil analisis dan
interpretasi. Dalam evaluasi proses pembelajaran tindak lanjut pada
dasarnya berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan
selanjutnya dan evaluasi pembelajarannya. Pembelajaran yang akan
dilaksanakan selanjutnya merupakan keputusan tentang upaya perbaikan
pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu
pembelajaran; sedang tindak lanjut evaluasi pembelajaran berkenan
dengan pelaksanaan dan instrumen evaluasi yang telah dilaksanakan
mengenai tujuan, proses dan instrumen evaluasi proses pembelajaran.
c. Evaluasi Hasil Relajar Ranah Kognitif :
Ranah kognitif sebagai ranah hasil belajar yang berkenaan dengan kemampuan
pikir, kemampuan memperoleh pengetahuan, pengetahuan yang berkaitan
dengan pemerolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisai,
penentuan dan penalaran dapat diartikani sebagai kemampuan intelektual;
Bloom mengklasifikasi ranah hasil belajar kognitif atas enam tingkatan, yaitu
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, síntesisdan
evaluasi.
Evaluasi hasil belajar kognitif dapat dilakukan dengan menggunakan tes
objektif maupun tes uraian. Prosedur evaluasi hasil belajar ranah kognitif
dengan menggunakan tes sebagai instrumennya meliputi menyusun tes,
melaksanakan testing, melakukan skoring, analisis dan interpretasi dan
melakukan tindak lanjut.
1) Menyusun tes hasil belajar
Menyusun tes hasil belajar diawali dengan penyusunan kisi-kisi. Contoh kisi-
kisi tes obyektif dan uraian adalah sebagai berikut:
Mata Kuliah :
Semester/Tahun :
Lama/Waktu Testing : 100 menit
Tipe Tes : Obyektif
Jumlah Butir Tes : 100
Tabel 7. Contoh Kisi-kisi Tes Objektif
Keterangan Jenjang Kemampuan :
C1: Proses berfikir ingatan (pengetahuan)
C2: Proses berfikir pemahaman
C3: Proses berfikir penerapan (Aplikasi)
C4,5,6 : proses berfikir analisis, sintesis, evaluasi15
Mata Kuliah :
Semester/Tahun :
Lama/Waktu Testing : 100 menit
Tipe Tes : Uraian
Jumlah Butir Tes : 10
Tabel 8. Contoh Kisi-kisi Tes Uraian
Langkah berikutnya setelah kisi-kisi tersusun adalah menulis butir soal dengan
mengacu pada pedoman penulisan soal untuk tipe tes obyektif atau tes uraian.
1) Melakukan testing
Dosen melaksanakan testing harus tertib dalam arti mengikuti prosedur
administrasi testing agar diperoleh informasi atau data hasil testing secara
obyektif, sahih dan dapat dipercaya yang pada gilirannya memberi gambaran
yang sebenarnya tentang. capaian kemampuan yang diungkap yang sesuai
dengan jenis dan bentuk tes yang digunakan.
2) Melakukan skoring, analisis dan interpretasi
Dosen dalam memberi skor pada hasiil testing harus mengikuti pedoman16
scoring sesuai dengan jenis dan bentuk tes yang digunakan serta dilakukan
secara obyektif. Skoring dilaksanakan dengan segera setelah pelaksanaan
testing . Analisis dan interpretasi hasil testing dilaksanakan pada setiap kali
dosen selesai melakukan skoring. Dengan analisis dan interpretasi dosen
memperoleh gambaran tentang capaian penguasaan kompetensi bagi setiap
mahasiswa, dan secara umum dapat memperoleh gambaran tentang
keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam hal ini kriteria
keberhasilan pembelajaran adalah ketuntasan pencapaian hasil belajar atau
penguasaan kompetensi yang direncanakan dapat dicapai oleh setiap
mahasiswa; selanjutnya dapat ditentukan tindak lanjutnya.
3) Melaksanakan tindak lanjut
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi hasil testing dosen melaksanakan
tindak lanjut dalam bentuk melaksanakan kegiatan melanjutkan pembelajaran
pokok materi sajian selanjutnya bilamana tingkat ketuntasan penguasaan
kompetensi telah tercapai, dan melaksanakan pembelajaran/pengajaran
remedial apabila tingkat ketuntasan penguasaan kompetensi oleh mahasiswa
belum tercapai. Pembelajaran/pengajaran remedial dlaksanakan secara
individual, kelompok atau klasikal sesuai dengan hasil prosedur diagnosis
ketidakmampuan mahasiswa mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan
d. Evaluasi hasil belajar psikomotor
1) Sasaran Evaluasi
Ranah ketrampilan motorik atau psikomotor dapat diartikan sebagai
serangkaian gerakan otot-otot yang terpadu untuk dapat menyelesaikan
suatu tugas. Sejak lahir manusia memperoleh ketrampilan-ketrampilan yang
meliputi gerakan-gerakan otot yang terpadu atau terkoordinasi mulai yang
paling sederhana misalnya berjalan, sampai ke hal yang lebih rumit ; berlari,
memanjat, dan sebaginya. Akan tetapi ketrampilan motor atau psikomotorik
yang diperlukan oleh seorang tenaga profesional seperti mengemudi mobil,
berenang, mengambil darah dari pembuluh vena, mengajar, harus
dikembangkan secara sadar melalui suatu proses pendidikan Penilaian
ketrampilan psikomotor memang lebih rumit dan subjektif dibandingkan
dengan penilaian dalam aspek kognitif. Karena penilaian ketrampilan
psikomotor memerlukan teknik pengamatan dengan keterandalan
(reliabilitas) yang tinggi terhadap demensi-demensi yang akan diukur.
Sebab bila tidak demikian unsur subjektivitas menjadi sangat dominan.
Oleh karenanya upaya untuk menjabarkan ketrampilan psikomotor ke dalam
demensi-demensinya melalui analisis tugas (Task analyisis) merupakan
langkah penting sebelum melakukan pengukuran. Dengan analisis tugas itu
akan dapat dipelajari ciri-ciri demensi itu dan dapat tidaknya demensi itu
untuk diobservasi dan diukur.
2) Tujuan Penilaian
a) Mengukur perilaku mahasiswa yang kompleks (kompetensi) setelah dia
menjalani proses pendidikan.
b) Pengukuran harus mewakili kemampuan keseluruhan yang jauh lebih
besar (representativitas)
c) Penilaian bagian-bagian dari keseluruhan perilaku yang berdiri sendiri-
sendiri hanya mempunyai sedikit arti (kognitif , psikomotor, afektif)
3) Tahap penilaian ketrampilan psikomotor
Tahap penilaian keterampilan dapat digambarkan dalam diagram berikut:
a) Penyusunan Instrumen
1) Tahap Analisis Tugas : upaya untuk menjabarkan ketrampilan
psikomotor kedalam demensi-demensinya, ini merupakan langkah
penting sebelum melakukan pengukuran. Dengan analisis tugas akan
dapat dipelajari ciri-ciri demensi itu dan dapat tidaknya demensi itu
untuk diobservasi dan diukur.
2) Tahap penentuan Dimensi Psikomotorik : disini demensi diartikan
sebagai komponen penyusun suatu ketrampilan yang dapat diamati
dan diukur. Agar demensi dapa diukur harus memenuhi syarat
sebagai berikut : demensi itu harus secara umum didapatkan pada
suatukelompok benda atau manusia, demensi itu harus dapat
memberikan data sensorik yang dapat ditangkap oleh indera
manusia, demensi itu harus dapat dirumuskan dengan jelas, demensi
itu harus memiliki nilai variasi, demensi itu harus dapat memberikan
respons yang mirip pada berbagai pengamat yang berbeda.
Instrumen atau Alat ukur ketrampilan psikomotor
a) Daftar Cek (check list)
b) Skala Nilai (Rating Scale)
c) Catatan Anekdotal (Anecdotal record). Dll
Tabel 9. Contoh form Daftar Cek Penilaian Ketrampilan Psikomotor
Kompoetensi :
Tingkatan :
Berikan tanda cek (V) bila dilakukan dengan benar
Tabel 10. Contoh form Skala Nilai untuk Penilaian Ketrampilan Psikomotor
Kompoetensi :
Tingkatan :
3 = dilakukan dengan sangat memuaskan
2 = dilakukan denga memuaskan
1 = dilakukan kurang memuaskan
0 = tidak dilakuakan
b) Pelaksanaan pengukuran
c) Penilaian
e. Evaluasi hasil belajar afektif :
1) Sasaran Evaluasi
Ranah penilaian hasil belajar afektif adalah kemampuan yang berkenaan
dengan perasaan, emosi, sikap/derajad penerimaan atau penilakan status
obyek, meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a) Menurut Bloom, aspek-aspek domain afektif ádalah:
(1) Menerima/mengenal, yaitu bersedia menerima dan memperhatikan
berbagai stimulus yang masíh bersikap pasip, sekedar mendengarkan
atau memperhatikan.
(2) Merespons/berpartisipasi, yaitu keinginan berbuat sesuatu sebagai
reaksi terhadap gagasan, benda atau sistem nilai lebih dari sekedar
mengenal.
(3) Menilai/menghargai, yaitu keyakinan atau anggapan bahwa sesuatu
gagasan, benda atau cara berpikir tertentu mempunyai nilai/harga atau
makna.
(4) Mengorganisasai, yaitu menunjukkan saling berkaitan antara nilai-nilai
tertentu dalam suatu sistem nilai, serta menentukan nila mana
mempunyai prioritas lebih tinggi dari pada nilai yang lain. Seseorang
menjadi commited terhadap suatu sistem nilai tertentu.
(5) Karakterisasi/internalisasi/mengamalkan, yaitu mengintegrasikan nilai
ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan meyakinkan, serta
perilakunya selalu konsisten dengan filsafat hidupnya tersebut.
b) Menurut Anderson (dalam Robert K. Gable), aspek-aspek afektif meliputi:
attitude/sikap, self concept/self-esteem, interest, value/beliefs as to what
should be desired.
2) Tujuan dan sasaran penilaian hasil belajar afektif
Tujuan dilaksanakannya penilaian hasil relajar afektif ádalah untuk
mengetahui capaian hasil belajar dalam hal penguasaan domain afektif dari
kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh setiap peserta didik setelah
kegiatan pembelajaran berlangsung.
3) Teknik penilaian hasil belajar afektif
Pemilihan Tenik penilaian hasl belajar disesuaikan dengan jenis dan
karakteristik hasil belajar yang akan diungkap, yaitu (1) pemerolehan
pengetahuan, (2) keterampilan —koginitif, personal-sosial, psikomotorik dan
pemecahan masalah, atau (3) perubahan sikap, perilaku dan tindakan.
Pertimbangan-pertimbangan pemilihan dan pengembangan teknik penilaian
hasil belajar, yaitu: (1) kualitas, baik dan benar secara teknis dan dapat
memberikan hasil yang menunjukkan dan memperbaiki proses belajar peserta
didik, (2) tepat untuk menunjukkan pencapaian kompetensi yang diungkap,
(3) praktis, efisien, adil dan mampu membedakan kemampuan peserta didik
dan layak digunakan, (4) dimengerti oleh peserta didik, (5) ada alternatif
teknik pengkuran lain, (6) tidak mempersulit peserta didik, dan (7) tersedia
waktu, peralatan, sarana dan prasarana untuk pengadministrasiannya. Hal-hal
yang perlu dilakukan oleh pembelajar berkenaan dengan pemilihan teknik
penilaian adalah (1) memilih teknik penilaian berdasarkan jenis dan
karakteristik kompetensi yang akan diukur dan dinilai, (2) menyusun
perangkat alat ukur dengan urutan menyusun kisi-kisi kemudian menyusun
perangkat alat ukur, (3) menyusun petunjuk administrasi, dan (4) menetapkan
cara/system penilaian. Teknik pengukuran dan penilaian hasil belajar afektif
terdiri atas (1) Teknik testing, yaitu teknik penilaian yang menggunakan tes
sebagai alat ukurnya, dan (2) Teknik non-testing, yaitu teknik penilaian yang
menggunkan bukan tes sebagai alat ukurnya. Termasuk dalam kategori teknik
non-testing adalah observasi/pengamatan yang dapat berbentuk rating scale,
anecdotal record, atau rekaman, interview, questionaire, dan inventori.
4.) Penyusunan instrumen/alat penilaian hail belajar afektif
Langkah kerja penyusunan instrumen penilaian hasil belajar afektif adalah
sebagai berikut:
a) Menyusun Kisi-kisi dengan format berikut:
b) Menyusun perangkat instrumen
Perangkat instrumen yang disusun sesuai dengan tipe teknik pengukuran
dan penilaian yang akan digunakan, yaitu:
1) Teknik testing dengan tes sebagai intrumennya dapat menggunakan tipe
atau bentuk tes obyektif atau esai.
2) Teknik non-testing dengan bukan tes sebagai instrumennya dapat
menggunkan tipe terbuka atau tertutup. Tipe terbuka berisi
pertanyaan /pernyataan yang membutuhkan jawaban uraian dari
perserta didik. Sedang tipe tertutup yang berisi pertanyaan/pernyataan
diikuti dengan jawaban pendek dari peserta didik yang terdiri atas
beberepa bentuk:
(a) Ya dan Tidak: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Ya atau
Tidak.
(b) Persetujuan: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Setuju atau
Tidak Setuju
(c) Frekuensi: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Selalu –
Kadang-kadang – Tidak Pernah
(d) Kepentingan: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Penting –
Tidak Penting..
(e) Kemungkinan: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Mungkin –
Tidak Mungkin.
(f) Kualitas: pernyataan/pertanyaan dengan jawaban Baik – Cukup –
Kurang/Tidak Baik.
(g) Skala Penilaian/Angka: pernyataan/pertanyaan dengan angka skala
penilaian 5 , 4 , 3 , 2 , 1 . atau 5 , 4 , 2 , 1 .
f. Asesmen Alternatif
1) Pengertian
Asesmen alternatif diartikan sebagai pemanfaatan pendekatan non-tradisional
untuk memberi penilaian kinerja atau hasil belajar mahasiswa. Ada kalanya
asesmen alternative diidentikan dengan asesmen otentik atau asesmen kinerja.
Asesmen otentik yang dapat diartikan sebagai proses penilaian perilaku
kinerja mahasiswa secara multidimensional pada situasi nyata sedangkan
asesmen kinerja diartikansebagai penilaian terhadap proses perolehan,
penerapan pengetahuan dan ketrampilan melalui proses pembelajaran yang
menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam proses maupun produk.
2) Bentuk
Asesmen alternative dapat diberikan dalam bentuk :
a) Asesmen Kinerja (Performance Assesment)
Asesmen kinerja dapat dilakukan dengan memberikan Task (contoh
tugas) dan Rubrik. Rubrik merupakan wujud asesmen kinerja yang dapat
diartikan sebagai kriteria penilaian yang bermanfaat membantu dosen
untuk menentukan tingkat ketercapaian kinerja yang diharapkan. Sebagai
kriteria dan alat penskoran rubric terdiri dari senarai yaitu daftar kriteria
yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau
konsep-konsep yang akan dinilai, dan gradasi mutu, mulai dari tingkat
yang paling sempurna sampai dengan tingkat yang paling buruk.
Rubrik Deskriptif
Rubrik deskriptif memiliki empat komponen atau bagian, yaitu deskripsi
tugas, skala nilai, dimensi, dan deskripsi dimensi. Bentuk umum rubrik
deskriptif ditunjukkan pada Gambar 17. Keempat komponen tersebut
adalah (1) Deskripsi tugas: menjelaskan tugas atau objek yang akan
dinilai atau dievaluasi. Deskripsi tugas ini harus benar-benar jelas agar
mahasiswa memahami tugas yang diberikan; (2) Skala nilai: menyatakan
tingkat capaian mahasiswa dalam mengerjakan tugas untuk dimensi
tertentu. Skala nilai biasanya dibagi menjadi beberapa tingkat, misalnya
dibagi menjadi tiga tingkat yaitu sangat memuaskan, memuaskan, dan
cukup. Jumlah skala nilai ini bersifat fleksibel, dapat diperbanyak atau
dikurangi sesuai kebutuhan. Pada umumnya tiga skala nilai telah dapat
mencukupi keperluan penilaian; (3) Dimensi: Dimensi menyatakan
aspek-aspek yang dinilai dari pelaksanaan tugas yang diberikan. Sebagai
contoh, dalam tugas presentasi, aspek-aspek yang dinilai adalah
pemahaman, pemikiran, komunikasi, penggunaan media visual, dan
kemampuan presentasi. Aspek-aspek yang dinilai dapat saja diberikan
bobot yang berbeda dalam penilaian, misalnya aspek pemikiran diberi
bobot lebih tinggi daripada aspek lain dan kemampuan presentasi tidak
terlalu tinggi dibandingkan aspek yang lain. Contoh: diberikan bobot
30% untuk pemikiran, 10% untuk kemampuan presentasi, dan 20% untuk
yang lainnya. Pemberian bobot bergantung pada kepentingan penilaian;
dan (4) Tolok Ukur Dimensi: disebut juga tolok ukur penilaian.
Merupakan deskripsi yang menjelaskan bagaimana karakteristik dari
hasil kerja mahasiswa. Digunakan untuk standar yang menentukan
pencapaian skala penilaian, misalnya nilai sangat memuaskan,
memuaskan, atau cukup. Rubrik deskriptif memberikan deskripsi
karakteristik atau tolok ukur penilaian pada setiap skala nilai yang
diberikan. Format ini banyak dipakai dosen dalam menilai tugas
mahasiswa karena memberikan panduan yang lengkap untuk menilai
hasil kerja mahasiswa. Meskipun memerlukan waktu untuk
menyusunnya, manfaat rubrik deskriptif bagi dosen dan mahasiswa
(sebagai umpan balik atas kinerja) melebihi usaha untuk membuatnya.
Rubrik Holistik/komprehensif
Berbeda dengan rubrik deskriptif yang memiliki beberapa skala nilai,
rubrik holistic hanya memiliki satu skala nilai, yaitu skala tertinggi. Isi
dari deskripsi dimensinya adalah kriteria dari suatu kinerja untuk skala
tertinggi. Apabila mahasiswa tidak memenuhi kriteria tersebut, penilai
memberi komentar berupa alasan mengapa tugas mahasiswa tidak
mendapatkan nilai maksimal. Gambar 18. menunjukkan bentuk umum
dari rubrik holistik. Deskripsi tugas :
Gambar 2. Bentuk Umum Rubrik Deskripsi .
Kelemahan rubrik holistik adalah dosen masih harus menuliskan
komentar atas capaian mahasiswa pada setiap dimensi bila mahasiswa
tidak mencapai kriteria maksimum. Karena tidak ada panduan terperinci
mungkin sekali terjadi ketidakajegan pemberian komentar atau umpan
balik kepada mahasiswa. Dosen perlu menuliskan komentar yang sama
pada tugas mahasiswa yang menunjukkan karakteristik yang sama,
sehingga akan memerlukan lebih banyak waktu. Diakui bahwa menyusun
rubrik holistik lebih sederhana daripada rubrik deskriptif, namun waktu
yang diperlukan untuk melakukan penilaian menjadi lebih lama.
Cara membuat Rubrik
Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam membuat
rubrik adalah:
1) Mencari berbagai model rubrik
Saat ini penggunaan rubrik mulai berkembang luas. Berbagai model
rubrik dapat diperoleh dengan melakukan pencarian di website, karena
banyak institusi pendidikan dan staf pengajar yang menaruh rubrik
mereka dalam website. Berbagai model rubrik yang ada dapat dipelajari
dengan membandingkan sebuah rubrik dengan rubrik lainnya sehingga
menginspirasi ide-ide contoh dimensi dan tolok ukur yang selanjutnya
diadaptasi sesuai dengan tujuan pembelajaran (menggunakan atau
mengadaptasi rubrik dosen lain, tentu dengan meminta ijin kepada
penulis aslinya).
2) Menetapkan Dimensi
Setelah mengetahui pokok-pokok pemikiran tentang tugas yang
diberikan dan harapan terhadap hasil kerja mahasiswa dapat disusun
komponen rubrik yang penting, yaitu dimensi. Pembuatan dimensi
dilakukan dalam beberapa tahap: (a) Membuat daftar yang berisi
harapan-harapan dosen dari tugas yang akan dilaksanakan oleh
mahasiswa; (b) Menyusun daftar yang telah dibuat mulai dari harapan
yang paling diinginkan; (c) Meringkas daftar harapan, jika daftar harapan
masih panjang. Daftar dapat disederhanakan dengan cara menghilangkan
elemen yang kurang penting atau menggabungkan elemen yang memiliki
kesamaan; (d) mengelompokkan elemen tersebut berdasarkan hubungan
yang satu dengan yang lainnya. Jadi, setiap kelompok berisi elemen-
elemen yang saling berhubungan; (e) langkah berikutnya adalah memberi
nama masing-masing kelompok dengan nama yang menggambarkan
lemen-elemen di dalamnya; (f) nama-nama yang diberikan pada langkah
di atas disebut dengan dimensi dan elemen-elemen di dalamnya menjadi
deskripsi dimensi untuk skala tertinggi.
3) Menentukan Skala
Tingkat pencapaian hasil kerja mahasiswa untuk setiap dimensi
ditunjukkan dengan skala penilaian. Jumlah skala yang dianjurkan sesuai
dengan tingkatan penilaian yang ada di program studi masing-masing,
misalnya penilaian sampai skala 5, yaitu sangat baik, baik, cukup,
kurang baik, dan sangat kurang. Semakin banyak skala yang
dipergunakan semakin tidak mudah membedakan tolok ukur setiap
dimensi, sehingga dapat menimbulkan subjektif. Tingkatan skala yang
digunakan harus jelas dan relevan untuk dosen dan mahasiswa. Berikut
beberapa contoh nama tingkatan skala penilaian: (a) melebihi standar,
memenuhi standar, mendekati standar, di bawah standar; (b) bukti yang
lengkap, bukti cukup, bukti yang minimal, tidak ada bukti; (c) baik
sekali, sangat baik, cukup, belum cukup; dan seterusnya. Apapun nama
yang digunakan pada setiap tingkatan skala, dosen dan mahasiswa
mengerti dengan jelas, skala yang mencerminkan hasil kerja mahasiswa
yang dapat diterima.
4) Membuat Tolok Ukur pada Rubrik Deskriptif
Pada penyusunan rubrik deskriptif, setelah skala penilaian didefinisikan,
langkah selanjutnya adalah membuat deskripsi dimensi (tolok ukur
dimensi) untuk setiap skala. Tahapan pembuatan tolok ukur dimensi : a.
tolok ukur dimensi untuk skala tertinggi sudah dibuat sebelumnya, yaitu
daftar daftar yang telah dibuat saat pada proses pembuatan dimensi.
Daftar tersebut berupa harapan-harapan dosen pada tugas mahasiswa; b.
membuat tolok dimensi untuk skala terendah. Pembuatannya mudah
karena merupakan kebalikan tolok ukur dimensi untuk skala tertinggi; c.
membuat deskripsi dimensi untuk skala pertengahan. Semakin banyak
skala yang digunakan, semakin sulit membedakan dan menyatakan
secara tepat tolok ukur dimensi yang dapat dimasukkan dalam suatu skala
nilai. Jika menggunakan lebih dari tiga skala, tolok ukur dimensi yang
dibuat terlebih dahulu adalah yang paling luar atau yang lebih dekat ke
skala tertinggi atau terendah. Kemudian selangkah demi selangkah
menuju ke bagian tengah. Rubrik dan segala bentuk penilaiannya
diharapkan dapat diketahui secara terbuka oleh mahasiswa di awal
semester. Oleh karenanya, pada saat proses perencanaan studi (pengisian
KRS), semua perencanaan dan alat pembelajaran harus telah diterimakan
pada mahasiswa, hal ini dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa.