3-fenomena ipa dikeluarga

28
DISUSUN OLEH : M TEGUH ADANG DIANTARIS RATNANINGSIH RISTIANA NUGRAHANI PRIYONO ARI SANDI PRIANDANA ELINA LESTARIYANTI Fenomena Keluarga dalam Pendidikan IPA

Upload: elinabeth-swann

Post on 03-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

fenomena pendidikan IPA dalam keluarga

TRANSCRIPT

Fenomena Keluarga dalam Pendidikan IPA

Fenomena Keluarga dalam Pendidikan IPA

Fenomena Keluarga dalam Pendidikan IPA2014DISUSUN OLEH :M TEGUH ADANG DIANTARISRATNANINGSIHRISTIANA NUGRAHANIPRIYONOARI SANDI PRIANDANAELINA LESTARIYANTI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar BelakangLingkungan belajar dalam keluarga adalah merupakan lingkungan belajar yang pertama bagi anak untuk mendapatkan berbagai hal, berperan memberikan warna dalam pembentukan kepribadian anak didik. Lingkungan belajar juga merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar kita, yang mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap perkembangan anak didik. Berpengaruh artinya bermakna, berfungsi, dan berperan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Lingkungan yang nyaman, kondusif, dan bersih dapat menjadi lingkungan belajar yang bermakna bagi anak didik.Keluarga merupakan tempat utama anak-anak dapat menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif. Pembentukan karakter positif dapat dikembangkan melalui pembiasaan nilai-nilai, baik nilai sosial maupun agama yang diinternalisasikan melalui interaksi sosial. Karakter yang telah terbentuk diharapkan kelak dapat mengakar kuat dan menjadi prinsip hidup dalam kehidupan anak. Dalam konteks ini, orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam proses pembentukan karakter anak. Orang tua hendaknya dapat menjadi contoh teladan yang baik pada anak karena sebagian besar waktu anak dihabiskan dalam keluarga. Teladan dan pembiasaan yang baik menjadi langkah fundamental dalam pendidikan karakter.Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat mulai sering terjadi. Hal-hal yang dulunya dianggap tabu, saat ini menjadi hal biasa. Kasus korupsi, fenomena penampilan para remaja dengan pakaian ketat dan mininya, gaya pacaran yang berlebihan, sampai tragedi hamil di luar nikah. Di sekolah pun terjadi aksi contek massal dimana hasil yang ditonjolkan dan proses diabaikan. Pada saat ini terjadi split of personality (kepribadian yang terpecah) dimana individu belum mampu menyatukan antara perkataan dengan perbuatan. Budaya malu tampaknya sudah mulai terkikis. Oleh karena itu, pola asuh orang tua yang tepat diharapkan dapat membentuk karakter anak sehingga anak memiliki karakter mental yang kokoh, yang senantiasa menjadikan nilai-nilai sebagai pegangan dan prinsip hidup, tidak hanya sekedar tahu tapi juga mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu pola asuh yang demokratis, bukan pola asuh permisif yang serba membolehkan ataupun pola asuh yang terlalu otoriter yang membatasi anak. Berbagai aspek, baik pihak keluarga, sekolah, masyarakat dan bangsa (pemerintah) perlu bersinergi dalam upaya mensukseskan pendidikan karakter.

B. TujuanTujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peranan keluarga dalam pendidikan IPA (Sains), khususnya di indonesia berkaitan dengan pendidikan karakter.

C. PermasalahanBerdasarkan beberapa paparan yang menjadi latar belakang penyusunan makalah ini, maka permasalah yang akan dikaji adalah, Bagaimana fenomena keluarga dalam pendidikan IPA (Sains), khususnya di Indonesia berkaitan dengan pendidikan karakter?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan IPA (Sains)IPA dapat diartikan secara berbeda menurut sudut pandang yang dipergunakan. Orang awam sering mendefinisikan IPA sebagai kumpulan informasi ilmiah. Di lain pihak ilmuwan memandang IPA sebagai suatu metode untuk menguji hipotesis. Sedangkan filosof mungkin mengartikannya sebagai cara bertanya tentang kebenaran dari apa yang diketahui. Semua pandangan tersebut sahih, tetapi masing-masing hanya menunjukkan sebagian dari definisi IPA. Kebulatan atau gabungan dari pandangan-pandangan tersebut mewakili pengertian IPA sehingga dapat digunakan sebagai definisi yang komprehensif. Oleh karena itu IPA harus dipandang sebagai cara berpikir, sebagai cara untuk melakukan penyelidikan dan sebagai kumpulan pengetahuan tentang alam. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Collete dan Chiappetta (1994) yang menyatakan bahwa Sains/IPA, pada hakekatnya merupakan : 1) Sekumpulan pengetahuan (a body of knowledge); 2) Sebagai cara berpikir (a way of thinking); dan 3) Sebagai cara penyelidikan (a way of investigating) tentang alam semesta ini.

1. IPA sebagai kumpulan pengetahuan (a body of knowledge) Hasil-hasil penemuan dari kegiatan kreatif para ilmuan selama brabad-abad dikumpulkan dan disusun secara sistematik menjadi kumpulan pengetahuan yang dikelompokkan sesuai dengan bidang kajiannya, misalnya fisika, biologi, kimia dan sebagainya. Di dalam IPA, kumpulan tersebut dapat berupa : fakta, konsep, prinsip, hukum, teori maupan model. a. Fakta Fakta-fakta sains memberikan landasan bagi konsep, proinsip dan teori Fakta merupakan suatu kebenaran dan keadaan suatu objek atau benda, serta mempresentasikan pada apa yang dapat diamati. Fakta sains dapat didefinisikan berdasarkan 2 (dua) kriteria yaitu: 1) dapat diamati secara langsung; 2) dapat ditunjukkan atau didemonstrasikan setiap waktu. Oleh karena itu, fakta terbuka bagi siapa saja untuk mengamatinya, Namun demikian, harus diingat bahwa tidak semua fakta dapat ditunjukkan setiap saat, misalnya letusan gunung api, tsunami, gerhana matahari atau gerhana bulan dan sebagainya.b. KonsepKonsep merupakan abstraksi dari kejadian-kejadian, ojek-objek atau fenomena yang memiliki sifat-sifat atau atribut tertentu, misalnya konsep tentang bunyi, konsp tentang panas atau kalor, konsep ion, atom, molekul dan sebagainya. Dalam pelajaran IPA ada konsep-konsep yang sudah dipahami oleh siswa, tetapi ada juga yang sukar. Sukar mudahnya suatu konsep untuk dipahami tergantung pada tigkat abstraksi atau keabstrakan dari konsep tersebut.c. Prinsip dan hokumPrinsip dan hukum sering digunakan secara bergantian karna keduanya dianggap sebagai sinonim. Kedua hal tersebut dibentuk dari fakta-fakta dan konsep-konsep, bersifat lebih umum dari pada fakta, tetapi juga berkaitan dengan fenomen yang dapat diamati. Sebagai contoh tentang hukum-hukum gas dan hukum Newton tentang gerak dapat diamati di bawah kondisi tertentu.d. TeoriSelain mendeskripsikan fenomena alam dan pengklasifikasiannya, IPA juga berusaha menjelaskan sesuatu yang tersembunyi atau tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mencapai hal itu disusunlah teori, misalnya teori atom, teori kinetik gas, teori relativitas dan sebagainya. Suatu teori tidak pernah berubah menjadi fakta atau hukum, melainkan tetap bersifat tentatif sampai ia terbukti tidak benar atau direvisi.e. ModelModel merupakan representasi atau wakil dari sesuatu yang tidak dapat kita lihat. Model sangat berguna dalam membantu kita untuk memahami suatu fenomena alam. Selain itu model juga membantu kita dalam menjelaskan dan memahami suatu teori. Misal, model gerhana membantu kita dalam menjelaskan peristiwa gehana bulan maupun gerhana matahari. Model sistem tata surya membantu kita dalam memahami gerak planet-planet mengellingi matahari.

2. IPA sebagai cara berpikir (a way of thinking)IPA merupakan aktifitas manusia yang ditandai dengan proses bepikir yang berlangsung di dalam pikiran orang-orang yang berkecimpung alam bidang itu. Kegiatan mental para ilmuwan memberikan gambaran tentang rasa ingin tahu (curiousity) dan hasrat manusia untuk memahami fenomena alam. Para ilmuwan didorong oleh rasa ingin tahu, dan alasan yang kuat berusaha menggambarkan dan menjelaskan fenomena alam. Pekerjaan mereka oleh para ahli filsafat IPA dan para ahli psikologi kognitif, dipandang sebagai kegiatan yang kreatif dimana ide-ide dan penjelasan dari sesuatu gejala alam disusun di dalam pikiran. Oleh karena itu, argumentasi para ilmuwan dalam bekerja memberikan rambu-rambu penting yang berhubungan dengan hakikat IPA. Kecenderungan para ilmuwan untuk penemuan sesuatu nampaknya terdorong atau termotivasi oleh rasa percaya bahwa hukum-hukum alam dapat disusun dari hasil observasi dan dijelaskan melalui pikiran dan alasan. Selain itu rasa percaya bahwa alam semesta ini dapat dipahami juga terdorong oleh keinginan untuk menemukan sesuatu (rasa ingin tahu bawaan lahir). Rasa ingin tahu tersebut tampak pada anak-anak yang secara konstan melakukan eksplorasi terhadap lingkungan mereka dan seringnya mereka bertanya mengapa sesuatu dapat terjadi.Lebih dari itu rasa ingin tahu merupakan karakteristik para ilmuwan yang memiliki ketertarikan pada fenomena alam, yang bahkan kadang-kadang jauh di luar jangkauan pikiran orang pada umumnya. Nicolas Copernicus, misalnya dengan berani menyatakan bahwa matahari merupakan pusat sistem tata surya (helioscentris), pada hal saat itu paham yang dianut adalah paham geosentris di mana bumi dianggap sebagai pusat sistem tata surya. Masih banyak contoh ilmuwan-ilmuwan lain yang memiliki ras ingin tahu yang begitu besar, misalnya Newton, Benjamin Franklin, Faraday dan sebagainya.

3. IPA sebagai cara penyelidikan (a way of investigating)IPA sebagai cara penyelidikan memberikan ilustrasi tentang pendekatan-pendekatan ang digunakan dalam menyusun pengetahuan. Di dalam IPA kita mengenal banyak metode, yang menunjukkan usaha manusia untuk menyelesaikan masalah. Sejumlah metode yang digunakan oleh para ilmuwan tersebut mendasarkan pada keinginan laboratorium atau eksperimen yang memfokuskan pada hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, orang yang ingin memahami fenomena alam dan hukum-hukum yang berlaku harus mempelajari objek-objek dan kejadian-kejadian di alam. Objek dan kejadian alam tersebut harus diselidiki melalui eksperimen dan observasi serta dicari penjelasannya melalui proses pemikiran untuk mendapatkan alasan atau argumentasinya. Jadi pemahaman tentang proses yaitu cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji, dan divalidasikan merupakan hal yang sangat penting dalam IPA.

B. Peran Keluarga dalam PendidikanKeluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang didalamnya terdapat ayah, ibu dengan anak-anaknya. Keluarga menempati posisi pertama sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kondisi generasi penerus bangsa, dalam hal ini adalah anakanaknya. Setiap orangtua memiliki peran dan tanggung jawab penuh terhadap anak-anaknya. Peran orangtua memiliki posisi yang tidak dapat tergantikan tingkat kepentingannya. Apabila mengaitkan peran orang tua dengan pendidikan dalam pengembangan karakter anak, peran seorang ibu tidaklah dapat dipungkiri merupakan peran sentral yang amat sangat penting. Agama Islam pun menyampaikan bahwa ibu adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama, artinya anak akan dapat berkembang dengan baik sangat tergantung pada bagaimana ibu mampu mengoptimalkan peranannya dalam mendidik anak-anaknya.Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan anak. Sebagai orang tua sudah seyogyanya memberikan yang terbaik pada anak agar nantinya anak menjadi insan yang bermanfaat dan berkualitas. Upaya orang tua diantaranya diwujudkan dengan memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang yang optimal, memberikan asupan gizi dan nutrisi yang baik, memilih lembaga pendidikan yang berkualitas, memberikan motivasi, menyalurkan minat dan bakat anak melalui kegiatan, baik di sekolah maupun di luar sekolah, memfasilitasi anak dengan berbagai sarana pendukung misalnya buku-buku bacaan, komputer, laptop, internet, dan sebagainya (Wright, 2009:). Upaya-upaya tersebut menitikberatkan pada aspek kognitif dan termasuk upaya orang tua dalam memberikan makanan jasmani pada anak.Faktor keluarga atau orang tua sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam belajar. Anak akan mempunyai semangat belajar yang tinggi bila situasi keluarga mendukung kegiatan belajarnya, artinya penuh pengertian, penuh perhatian serta hubungan anggota keluarga yang cukup harmonis. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan yang terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini (Dewantara dalam Shochib, 2000).Keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (Soelaeman dalam Shochib, 2000). Faktor-faktor tersebut apabila berjalan sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing dengan baik, kemungkinan dapat menciptakan situasi dan kondisi yang dapat mendorong anak untuk lebih giat belajar. Sikap orang tua yang kasar dan keras, perilaku orang tua yang menyimpang, dinginnya Orang tua sebagai coordinator keluarga harus berperilaku proaktif. Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena didalam keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan. Farrington dalam Shochib (2000) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa hubungan antara anak dengan orang tua dan antara ayah dengan ibu, orang tua yang bercerai, dan ekonomi yang lemah menjadi pendorong utama anak untuk berperilaku agresif yang negatif.Keberhasilan belajar sangat tergantung kepada sejumlah variabel yang saling berinteraksi dalam bentuk faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik menyangkut sarana dan prasarana sekolah, fasilitas belajar di sekolah dan di rumah, keadaan guru dan sekolah, dan lain-lain. Sedangkan faktor intrinsic mencakup motivasi belajar siswa, disiplin belajar, IQ, kesehatan serta keyakinan untuk berhasil dalam belajar, kematangan dalam belajar serta kesiapan siswa menerima pelajaran di sekolah. Orang tua yang membantu anak untuk mengembangkan minat belajar berarti melakukan tindakan:1. Tidak sekedar memberi contoh, tetapi perilakunya yang disiplin patut dicontoh oleh anak.2. Anak-anak perlu didorong untuk berdialog dengan perilaku-perilaku yang taat moral dalam kehidupannya sehari-hari.3. Membantu anak-anak memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelajaran.4. Membantu anak agar mampu untuk mengobservasi dirinya sendiri.Berdasarkan data penelitian (Yositha, 2007) menunjukkan bahwa mayoritas orang tua siswa tidak pernah mengawasi kegiatan anak di luar rumah sebanyak 28 orang (65,12%) dengan alasan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, orang tua memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada anaknya untuk menjaga dirinya dan aktif terhadap kegiatan diluar rumah, adanya orang tua siswa yang acuh tak acuh terhadap aktivitas yang dikerjakan anknya diluar rumah. Kemudian orang tua siswa yang memberikan pernyataan bahwa anaknya harus meminta izin bila melakukan kegiatan di luar rumah sebanyak 15 orang (34,88%). Dari data penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peranan orang tua dalam meningkatkan hasil belajar siswa kurang terlaksana.Peranan orang tua dalam memberikan pengawasan kepada anak akan sangat menentukan tingkat prestasi belajar yang dicapai anaknya. Orang tua dalam mengembangkan dan meningkatkan potensi dasar siswa merupakan faktor utama dalam menentukan berhasil tidaknya pengembangan potensi anak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tingkat prestasi siswa tergantung dari tingkat pengawasan orang tua secara otomatis akan berperan pada daya dan kemampuan anak terutama dalam mencapai prestasi belajarnya di sekolah. Upaya orang tua menciptakan situasi minat belajar anak adalah mengupayakan anak mempunyai kesadaran tinggi yang secara otonom berasal dari diri sendiri. Cara orang tua dalam mendidik anak kemungkinan akan berpengaruh terhadap belajar anak. Hal ini berkaitan dengan peran orang tua dalam memikul tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik, guru dan pemimpin bagi anak-anaknya. Orang tua yang menginginkan prestasi anaknya meningkat harus menjadi orang tua yang teladan, cermat, tidak memilih-milih kasih antara anak yang satu dengan yang lainnya. Memiliki anak yang bermoral, cerdas, dan berprestasi merupakan dambaan setiap orang tua. Akan tetapi, tidak ada anak yang tumbuh dan berkembang sendiri menuju apa yang dicita-citakan orangtua tanpa ada bimbingan dari orangtua sendiri

BAB III PEMBAHASAN

A. Fenomena Pendidikan IPA dalam KeluargaKeluarga merupakan tempat utama anak-anak dapat menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif. Pembentukan karakter positif dapat dikembangkan melalui pembiasaan nilai-nilai, baik nilai sosial maupun agama yang diinternalisasikan melalui interaksi sosial. Karakter yang telah terbentuk diharapkan kelak dapat mengakar kuat dan menjadi prinsip hidup dalam kehidupan anak. Dalam konteks ini, orang tua sebagai penanggung jawab utama dalam proses pembentukan karakter anak. Orang tua hendaknya dapat menjadi contoh teladan yang baik pada anak karena sebagian besar waktu anak dihabiskan dalam keluarga. Teladan dan pembiasaan yang baik menjadi langkah fundamental dalam pendidikan karakter.Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat mulai sering terjadi. Hal-hal yang dulunya dianggap tabu, saat ini menjadi hal biasa. Kasus korupsi, fenomena penampilan para remaja dengan pakaian ketat dan mininya, gaya pacaran yang berlebihan, sampai tragedi hamil di luar nikah. Di sekolah pun terjadi aksi contek massal dimana hasil yang ditonjolkan dan proses diabaikan. Pada saat ini terjadi split of personality (kepribadian yang terpecah) dimana individu belum mampu menyatukan antara perkataan dengan perbuatan. Budaya malu tampaknya sudah mulai terkikis. Oleh karena itu, pola asuh orang tua yang tepat diharapkan dapat membentuk karakter anak sehingga anak memiliki karakter mental yang kokoh, yang senantiasa menjadikan nilai-nilai sebagai pegangan dan prinsip hidup, tidak hanya sekedar tahu tapi juga mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu pola asuh yang demokratis, bukan pola asuh permisif yang serba membolehkan ataupun pola asuh yang terlalu otoriter yang membatasi anak. Berbagai aspek, baik pihak keluarga, sekolah, masyarakat dan bangsa (pemerintah) perlu bersinergi dalam upaya mensukseskan pendidikan karakter.Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, yang didalamnya terdapat ayah, ibu dengan anak-anaknya. Keluarga menempati posisi pertama sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kondisi generasi penerus bangsa, dalam hal ini adalah anakanaknya. Setiap orangtua memiliki peran dan tanggung jawab penuh terhadap anak-anaknya. Peran orangtua memiliki posisi yang tidak dapat tergantikan tingkat kepentingannya. Apabila mengaitkan peran orang tua dengan pendidikan dalam pengembangan karakter anak, peran seorang ibu tidaklah dapat dipungkiri merupakan peran sentral yang amat sangat penting. Agama Islam pun menyampaikan bahwa ibu adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama, artinya anak akan dapat berkembang dengan baik sangat tergantung pada bagaimana ibu mampu mengoptimalkan peranannya dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua hendaknya janganlah merasa bahwa tanggung jawab keluarga, hanya dalam bidang materi saja, namun perlu diketahui oleh seluruh orang tua bahwa kebutuhan rohani dan pendidikan adalah hal yang lebih utama anak. Pengetahuan agama, sudah semestinya ditanamkan sejak kecil, sejak usia dini, sehingga apa yang ditanamkan dapat lebih melekat kuat pada diri anak. Pemikiran dan pandangan bahwa pendidikan itu dapat diperoleh anak nanti pada saat anak duduk di bangku sekolah dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru, adalah pemikiran dan pandangan yang salah, sehingga perlu diluruskan. Keluarga tempat pertama dan utama bagi anak mendapatkan pendidikan, sedangkan sekolah memberikan tambahan dan pengayaan saja. Keluarga ditempatkan sebagai pembentuk dan pengembang moral anak. Kalau anak sudah dibimbing sejak dini dengan hal positif maka anak itu akan tumbuh menjadi anak yang takut akan dosa. Impian semua orangtua adalah dalam mendidik anak-anak dengan dan menjadi baik. Setiap orang tua pasti ingin agar anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan perilaku sopan, mulia dan penuh dengan kasih sayang, artinya tumbuh dan berkembang suatu karakter positif dalam dirinya.Peran orangtua adalah sebagai teladan dalam segala hal bagi anak-anaknya, karena pada mula dan awalnya anak akan selalu belajar dari lingkungan terdekatnya, yaitu orang tua. Mereka menyerap informasi dengan baiknya dari kelima indera mereka, bukan hanya perkataan orang tua tetapi sikap serta perilaku orang tua akan mereka serap juga, baik disadari ataupun tidak. Tanggung jawab orangtua sudah semestinya mampu mengevaluasi diri, seberapa berhasilkah orang tua sudah menjalankan peranannya, suatu cara yang paling mudah adalah dengan melihat bagaimana karakter anak-anak yang ditunjukkan dalam perilakunya. Secara kongkritnya, bagaimana kualitas karakter anak dapat dilihat dari bagaimana pergaulannya, cara bersikap, berbicara, menyelesaikan masalah.Mengutip apa yang diungkapkan Dorothy Law Nollte :a. Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memakib. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahic. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah dirid. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali dirie. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar mengendalikan dirif. Jika anak dibesarkan dengan motivasi, maka ia belajar percaya dirig. Jika anak dibesarkan dengan kelembutan, maka ia belajar menghargaih. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar percayai. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menghargai diri sendirij. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan kasih dalam kehidupannya

B. Peran Keluarga dalam Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan karakter ini penting agar tidak terjadi split of personality (kepribadian yang terpecah) yaitu belum mampu menyatukan perkataan dengan perbuatan, ada kesenjangan antara teori dengan praktik (http://aminabd.wordpress.com). Sebagian orang telah mengetahui dan memahami nilai-nilai atau ilmu, tapi masih minim dalam mempraktikkannya.Mahatma Gandhi juga memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu education without character (pendidikan tanpa karakter). Selain itu, Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: Intelligence plus character.that is the goal of true education yang artinya kecerdasan ditambah karakter, itulah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya. Tokoh dunia terkenal lainnya adalah Theodore Roosevelt juga mengatakan: To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society yang artinya mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman membahayakan (http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm).Pada saat ini telah terjadi pergeseran beberapa nilai di masyarakat tentang makna tabu/tidak patut dan patut. Budaya malu tampaknya sudah mulai terkikis. Hal-hal yang dahulu dianggap tabu/tidak patut seperti menggunakan baju yang terlalu ketat atau minim, pakaian mini, pacaran yang berlebihan, hamil di luar nikah dan beberapa hal tabu lainnya saat ini seolah-olah dianggap lumrah. Sebagian masyarakat mulai permisif dengan tindakan tersebut. Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada anak agar mereka mampu membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.Sebagian orang tua sudah mencoba memperingatkan anaknya untuk lebih berkarakter, tapi mereka kurang atau tidak mau mendengarkan. Tentunya dalam hal ini orang tua perlu mencari strategi lain, sehingga anak lebih memahami masukan dari orang tua yang pada intinya sebenarnya demi kebaikan anak. Sebagian orang tua ada yang bersikap acuh tak acuh karena dalih kesibukan dan sudah termakan oleh pergeseran nilai tersebut. Orang tua menganggap sikap anaknya tidak salah karena sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Anggapan seperti ini dapat melunturkan budaya sopan santun dan tata krama yang sudah ada dalam masyarakat dan hal ini menjadi racun yang mengancam pendidikan karakter.Pendidikan karakter juga dinodai dengan aksi contek massal dalam ujian. Lembaga pendidikan yang seharusnya ikut aktif menyukseskan program pembentukan karakter dipaksa untuk menyukseskan hasil ujian peserta didiknya dalam ujian dengan mengabaikan proses. Guru dipaksa untuk buta dan tuli, mengijinkan anak melakukan kegiatan yang merusak karakter kejujuran dan disiplin. Bahkan yang lebih ironis ketika seorang ibu yang tidak setuju dengan aktivitas contek massal ini, justru dicemooh dan diusir. Selain itu kasus korupsi juga merajalela di negara kita. Bukankah kejujuran harus dijunjung tinggi? Bukankah orang yang jujur itu patut diacungi jempol? Apakah benar jargon orang jujur itu ajur ataukah orang jujur itu mujur. Kemanakah Indonesiaku dulu yang berkarakter? Dimanakah karaktermu kini?Menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) jujur/amanah dan arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong-royong; (6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan adil; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleran, cinta damai dan kesatuan. Anak harus belajar memahami aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga mampu mengaplikasikan aturan main tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua perlu membiasakan anak dengan pembiasaan positif, meskipun hal kecil Misalnya kebiasaan anak sejak dini untuk menempatkan Tuhan dalam hati mereka, mencintai kebersihan, berkata lembut (tidak kasar), memiliki kepekaaan nurani, tidak merugikan atau menyakiti orang lain (tidak egois), peduli pada orang lain, membantu yang membutuhkan, mau bekerjasama/gotong royong, menjunjung tinggi kejujuran, tidak mementingkan hasil semata dan mengabaikan proses, tidak mencontek saat ulangan, menjaga kesopanan (tata karma), mandiri, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan dimanapun berada, mau antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, serta perilaku-perilaku lain yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial.Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka sekolah, masyarakat, media massa, atau komunitas lainnya juga ikut mengambil peran dalam perkembangan karakter anak. Mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab bersama.Sebagian besar waktu anak dihabiskan dalam keluarga. Dalam keluarga, umumnya anak-anak tidak mengembangkan sifat-sifat dengan sendirinya, tapi orang dewasa atau orang tua memiliki andil dalam mengarahkan anak. Menurut resolusi (Pamilu: 2007). Majelis Umum PBB (Megawangi: 2003), fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera.Pola asuh merupakan hal yang fundamental dalam pembentukan karakter. Teladan sikap orang tua sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak-anak karena anak-anak melakukan modeling dan imitasi dari lingkungan terdekatnya. Keterbukaan antara orang tua dan anak menjadi hal penting agar dapat menghindarkan anak dari pengaruh negatif yang ada di luar lingkungan keluarga. Orang tua perlu membantu anak dalam mendisiplinkan diri. (Sochib: 2000). Selain itu, pengisian waktu luang anak dengan kegiatan positif untuk mengaktualisasikan diri penting dilakukan. Pengisian waktu luang juga merupakan salah satu wadah katarsis emosi. Di sisi lain, orang tua hendaknya kompak dan konsisten dalam menegakkan aturan. Apabila ayah dan ibu tidak kompak dan konsisten, maka anak akan mengalami kebingungan dan sulit diajak disiplin.Era modern yang serba ada dan instant ini menyebabkan beberapa dampak negatif pada generasi muda diantaranya agak malas dan kurang tangguh. Kemampuan remaja untuk menulis masih rendah, bahkan mereka cenderung suka copy paste untuk menyelesaikan tugas sekolah/kampus. Bahan atau materi difotokopi, sehingga kebiasaan mencatat pun semakin berkurang. Tugas yang yang banyak apalagi berat membuahkan keluh kesah. Artikel Perlunya Sekolah Hidup Susah tampaknya cukup menggelitik pikiran. Generasi muda yang sudah terbiasa dengan fasilitas serba ada dan instant ini bisa saja terlena karena menjadikan dependence semakin tinggi dan kurang siap untuk hidup prihatin, memanfaatkan sesuatu yang ada dan belajar dalam keterdesakan. Orang tua perlu membentuk karakter anak agar ketahanmalangannya (adversity quotient) teruji dengan tidak selalu mengenakkan anak, sehingga mempunyai mental yang tangguh. Pola asuh orang tua dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :(1) pola asuh otoriter; (2) pola asuh demokratis, dan ;(3) pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai karakteristik dimana orangtua yang membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai karakteristik dimana orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Sedangkan pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Orang tua berkewajiban untuk memberikan contoh/teladan, memberitahu dan atau mengingatkan, mengajar, membiasakan, berperan serta atau terlibat dan memberikan wewenang dan tanggung jawab pada anak.Sebagian orang tua berharap terlalu banyak dengan anaknya sehingga terkesan bersikap otoriter dan berdampak pada banyaknya kasus anak yang menjadi korban ambisi orang tuanya. Tentunya hal ini membuat anak menjadi tertekan secara psikologis dan terhambat perkembangannya. Kita semua mengakui bahwa setiap orang tua mempunyai niat dan maksud yang baik untuk anak-anaknya, namun barangkali cara atau metodenya yang perlu dievaluasi. Sikap orang tua yang permisif juga tidak dibenarkan. Memberi kebebasan yang berlebihan akan membuat anak menjadi salah arah. Orang tua tetap perlu mendampingi dan mengarahkan anak.Upaya membentuk karakter anak memerlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Selain itu, anak memerlukan rasa aman, yaitu lingkungan yang stabil dan aman. Lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi anak. Anak juga memerlukan stimulasi fisik dan mental dalam pembentukan karakter anak sehingga anak bias tampil lebih percaya diri.Studi yang dilakukan oleh Fagan (Badingah: 1993) menunjukkan ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga. Keluarga broken home menunjukkan kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga. Sedangkan pola asuh yang terlalu otoriter cenderung memunculkan remaja yang bermasalah. Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebasan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah. Menurut Arkoff (Badingah: 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakantindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan. Hasil penelitian Rohner juga menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.

BAB IV PENUTUP

A. KesimpulanBerdasarkan paparan dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga, khususnya orang tua sangat memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak, baik secara jasmani maupun rohani. Keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani dengan pondasi agama yang kuat akan menciptakan suatu karakter terpuji (akhlak mulia), sebagaimana esensi hidup yang sebenarnya.

B. SaranAnak merupakan investasi masa depan bagi orang tua. Setiap orang tua menginginkan kebaikan bagi anaknya, baik di dunia maupun di akhirat. Anak merupakan tanggung jawab utama orang tua. Bagi anak, keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Orang tua memiliki peranan penting dalam memberikan teladan dan meletakkan dasar-dasar penting melalui pembiasaan. Berkaitan dengan pendidikan karakter, maka orang tua perlu menerapkan pola asuh yang tepat, sehingga anak memiliki karakter positif, kepribadian yang tangguh, dan menjadikan karakter-karakter tersebut mengakar kuat dan selamanya akan menjadi prinsip hidup anak untuk mencapai kemuliaan hidup.

DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Amin. 2010. Pendidikan Karakter: Mengasah Kepekaan Hati Nurani. http://aminabd.wordpress.com/2010/04/16/pendidikan-karaktermengasah- kepekaan-hati-nurani/ diunduh pada tanggal 22 Nopember 2014

Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonton Film Keras. Program Studi Psikologi Pascasarjana, UI. Depok. (http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm) diunduh pada tanggal 22 Nopember 2014

Collette, Alfred T., dan Eugene L. Chiappetta. 1994. Science Instruction In the Middle and Secondary Schools. 2nd Edition. New York: Macmillan Pub. Co.

Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.

Sochib, Moch. 2000. Pola Asuh Orang Tua. Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta: Jakarta

Wright, Norman. 2009. Menjadi Orang Tua Yang Bijaksana. Andi Offset: Yogyakarta

Yoshita, 2013. http://www.unimed-undergraduate-231113-061244420135-babp1 diunduh pada tanggal 22 Nopember 2014

LAMPIRANPRINT OUT POWER POINT (PPT)

Tugas Mata Kuliah Dasar-dasar Pendidikan IPA-Prodi Pend. IPA-Biologi-2014-KhususPage 19