2.1. kondisi umum waduk ir. h. juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air...

20
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi serbaguna. Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 milyar m 3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata, dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi 6 0 30’ sampai 6 0 49’ LS dan 107 0 14’ sampai 107 0 22’ BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004). Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004). Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H. Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine), zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.

Upload: phungdiep

Post on 06-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda

Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam

melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan

Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan

waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi

serbaguna. Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kapasitas

waduk mencapai ± 3 milyar m3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air

minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata,

dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya

dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi 60 30’ sampai 60 49’ LS dan 1070 14’

sampai 1070 22’ BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004).

Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan

anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan

air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu

Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran

Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam

jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di

Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004).

Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan

terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah

tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh

fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H.

Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine),

zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang

sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring

apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa

parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.

Page 2: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)

2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)

Keramba jaring apung (KJA) adalah tempat pemeliharaan ikan yang

terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air

dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air. Budidaya ikan dalam KJA

atau Floating Net Cage merupakan salah satu cara pemanfaatan badan air

semaksimal mungkin sebagai media budidaya (Susanti 2003). Menurut

Ilyas et al. (1990) in Nastiti et al. (2001), paket teknologi budidaya ikan dalam

KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan

danau dan waduk Indonesia. Beberapa jenis ikan yang dapat dipelihara di

KJA adalah ikan mas, nila grass crap, tawes, jelawat dan patin.

Paket teknologi KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan

yang cocok untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya

perairan danau dan waduk di Indonesia; yang luasnya 2,1 juta hektar (Ilyas et al.

1992 in Iskandar dan Suryadi 2000) termasuk Waduk Ir. H. Juanda, Cirata, dan

Saguling. Menurut Krismono (1993) in Iskandar dan Suryadi (2000), bila 1% saja

dari luas perairan tersebut digunakan untuk budidaya ikan dalam KJA, maka akan

dapat menghasilkan 800 ton ikan/hari. Namun, perkembangan KJA yang tidak

terkendali akan banyak mengakibatkan kematian ikan yang dipelihara di KJA

seperti yang terjadi pada tahun 1996 jumlah ikan yang mati mencapai 1.560 ton dan

kerugian mencapai 7 milyar rupiah (Krismono et al. 1996).

Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Di bagian bawah/hilir

Ketinggian dari muka laut (m) 111

Selesai dibangun 1967

Volume air × 1000 m3 2.970.000.000

Luas permukaan (A) (ha) 8.300

Kedalaman rata-rata (m) 35,8

Kedalaman maksimum (Zmaks) (m) 90

Status Kesuburan Mesotrofik-Eutrofik

Pola pencampuran massa air Oligomictic (jarang)

Kondisi tanpa oksigen dimulai pada kedalaman (m) > 11-20 (anoksik)

Page 3: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

Teknologi KJA merupakan sistem budidaya perairan yang relatif baru

dibandingkan dengan teknologi budidaya lainnya. Pertama kali diuji coba pada

tahun 1974 di Waduk Ir. H. Juanda dibawah pengelolan Perum Jasa Tirta II dan

mulai dibudidayakan pada tahun 1988. Berkembangnya budidaya ikan KJA di

Waduk Ir. H. Juanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap

peningkatan produksi ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan

peningkatan pendapatan. Namun sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan

yang mengganggu pelestarian sumberdaya air waduk maupun usaha perikanan itu

sendiri.

Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda mengalami peningkatan yang cukup

besar dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan

unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit

dengan produksi ikan 1.998 ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada

tahun 2004 adalah 3.216 unit dengan produksi 12.580 ton/tahun (Sudjana 2004).

Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai 4.714 unit (Dinas Perikanan

Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam

jumlah yang cukup tinggi. Dalam penetapan batas maksimum jumlah unit KJA di

Waduk Ir. H. Juanda terdapat perbedaan dari masing-masing instansi terkait

seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan jumlah dan luas areal budidaya KJA di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004)

Kriteria Satuan POKJA

1996 PJT II 2004

SK Bupati

06/2000

Batasan

kriteria

Luas waduk ha 8.300 8.300 8.300 6.000

Elevasi air minimum m dpl 90,00 - 87,65 87,65

Jarak antar unit m 25 - 50 50

Luas desain/unit KJA m2 453 - 624 624

Jumlah KJA maksimum unit 5.480 3216 2100 962

Luas perairan KJA ha 209,5 83 131 60

Luas perairan KJA % 2,52 1 1,58 1

Pada perkembangannya, paket teknologi budidaya ikan dalam KJA belum

dipahami secara baik oleh petani khususnya dalam cara pemberian pakan. Untuk

mengejar keuntungan besar, maka cara pemberian pakan dilakukan dengan sistem

Page 4: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

pompa supaya panen lebih cepat. Pemberian pakan dengan sistem ini

menyebabkan pakan yang terbuang pada KJA ukuran 7 x 7 x 3 m3 adalah 20-30%

dan untuk ukuran 1 x 1 x 1 m3 sebanyak 30-50% (Wahyudi 1996 in Krismono 2004).

Dampak pakan yang terbuang akan mengendap ke dasar perairan dan

menunjukkan perbedaan antara daerah bebas KJA, daerah KJA baru, dan daerah

KJA lama mempunyai endapan paling tebal.

Pada pengembangan budidaya ikan di KJA diperlukan beberapa

pertimbangan agar kegiatan budidaya ikan tersebut tidak melebihi daya dukung

dari perairan itu sendiri. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam pengembangan budidaya ikan sistem KJA dari ketiga waduk

di Sungai Citarum dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk

pengembangan budidaya ikan dalam KJA (modifikasi Krismono 2004)

Persyaratan KJA berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten

Purwakarta No. 53.32/Kep.234-Diskan/2000 in Sudjana (2004) yaitu:

1. Ukuran petak KJA : 7 x 7 x 3 m3

2. Unit KJA : maksimal 8 petak/unit KJA

3. Ukuran per unit KJA : maksimal 28 × 14 m2

4. Jarak antar unit KJA : minimal 50 m

5. 1 % dari luas waduk efektif : ± 60 ha

6. Dilengkapi gudang pakan dan ruang tunggu: maksimal 4 × 4 m2

7. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas, nila/nila merah, patin,ikan

hias, dan ikan lain yang cocok serta tidak merusak lingkungan

8. Usia, ukuran, dan padat tebar ikan

Parameter Saguling Cirata Jatiluhur

Pakan maks harian (kg) 53.459,67 60.142,1 80.189,5

Daya dukung ikan maksimum (kg) 1.781.988,89 2.004.737,5 1.672.983,3

Padat tebar KJA (kg/m3) 7,5 7,5 7,5

Ukuran keramba (m3) 98 98 98

Bobot rataan ikan/KJA (kg) 735 735 735

Jumlah maksimum KJA (unit) 2.424,4 2.727,5 3.636,7

Page 5: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

9. Jenis pakan ikan yang dipergunakan harus memenuhi Standar Industri

Indonesia (SII) dan lolos pengujian dari Pemerintah daerah melalui Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Purwakarta

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2002), waktu pemeliharaan

tiap periode di Waduk Ir. H. Juanda pada umumnya adalah 2,5 bulan/musim

tanam dengan frekuensi panen 2,5 bulan/musim tanam; produksi ikan rata-

rata/jaring/musim tanam adalah 1.167,14 kg dengan total 23.076.692,08 kg/tahun;

dan jumlah pakan rata-rata 1.753,57 kg/musim dengan total adalah 34.671.586,04

kg/tahun.

2.3. Umbalan (Pencampuran Massa Air)

Pada saat terjadinya peralihan musim antara musim kemarau ke musim

hujan intensitas cahaya matahari menjadi berkurang. Kondisi ini dapat

menyebabkan terjadinya proses umbalan (upwelling), yaitu pembalikan massa air

pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba hingga

mencapai kisaran suhu yang lebih kecil daripada suhu di dasar yang selanjutnya

akan mempengaruhi kehidupan biota perairan khususnya ikan budidaya di

keramba jaring apung. Masalah arus balik ini telah beberapa kali dialami oleh

Waduk Ir. H. Juanda berupa naiknya massa air dari dasar ke permukaan secara

tiba-tiba. Hal ini juga dapat terjadi pada awal musim hujan saat terjadi penurunan

suhu secara mendadak pada lapisan permukaan akibat hujan deras yang terjadi

secara tiba-tiba.

Waduk Ir. H. Juanda memiliki stratifikasi temperatur yang merupakan salah

satu penyebab terjadinya proses umbalan di waduk tersebut. Waduk-waduk yang

dibangun di dataran tinggi atau pegunungan sering mengalami umbalan karena

morfologinya seperti corong dan cenderung disebabkan oleh suhu. Menurut

Jangkaru (2003), proses umbalan umumnya terjadi pada badan air dengan

permukaan yang sempit dan dalam, serta curam seperti corong atau botol. Dengan

bentuk seperti corong dan botol maka proses pengadukan alamiah yang umumnya

dilakukan oleh angin tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan

dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin

dalam lapisan air maka akan semakin rendah mutunya. Jika umbalan terjadi pada

Page 6: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan maka dapat berakibat fatal bagi

organisme di dalamnya karena kualitas air yang rendah umumnya terdapat di

dasar dan akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak

berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang

dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam

kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa

senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan.

Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada

malam hari, pada waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang

oleh awan, asap, debu, atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu air

permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air

permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses

pembauran atau pencampuran air. Apabila suhu air permukaan terus

berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu air dasar maka akan

terjadi proses pembalikan atau umbalan (upwelling).

Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling berdasarkan

banyaknya upwelling yang terjadi dalam satu tahun, yaitu :

1). Monomictic : pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam

setahun. Biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis.

2). Dimictic : pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun

yaitu pada permulaan musim semi dan pada musim dingin atau musim

salju.

3). Polymictic : pencampuran massa air yang terjadi secara terus menerus

dalam setiap tahun.

Berdasarkan derajat pencampuran, Goldman dan Horne (1983)

membagi upwelling menjadi dua yaitu:

1). Holomictic : pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga

ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini

biasanya terjadi setiap tahunnya.

Page 7: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

2). Meromictic : pencampuran massa air yang terjadi pada kedalaman

tertentu saja dan tidak terjadi secara sempurna hingga ke dasar.

Pencampuran ini biasanya terjadi pada perairan yang dalam.

Menurut Mann (1978) in Nastiti dan Krismono (2003) faktor yang

menyebabkan terjadinya umbalan adalah sebagai berikut :

1). Pendinginan secara konveksi

Pendinginan secara konveksi bisa terjadi setiap hari terutama pada

perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi

pada waktu malam hari yang menyebabkan pendinginan di daerah

permukaan. Partikel–partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam

sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama.

Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan

massa air dari bawah ke permukaan perairan. Proses pendinginan secara

konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan

karena penguapan, ataupun cuaca yang dingin.

2). Angin

Angin topan akan menimbulkan arus kuat, yang mampu

memindahkan massa air dari dasar ke permukaan. Jangkaru (2003)

menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di

atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal.

Angin mengangkat sejumlah massa air lalu akan menumpuk di sisi lain,

yang umumnya disebut dengan gelombang. Ruang kosong yang

ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya

sehingga terjadilah umbalan.

3). Aliran Sungai

Masukan air sungai kedalam perairan waduk ataupun danau akan

menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air

waduk atau danau. Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada

perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air

waduk atau danau maka air sungai tersebut akan mengalir di bawah air

Page 8: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari air

waduk atau danau maka air sungai akan mengalir diatas air waduk atau

danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai

yang dingin mengalir kebawah hingga mencapai daerah yang mempunyai

berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya diatas hipolimnion.

4). Pasang Surut

Proses pemindahan massa air dari bawah ke permukaan disebabkan

oleh pasang surut yang umumnya terjadi di pantai.

Menurut Azwar et al. (2004), kematian massal ikan yang sering terjadi

di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara

mendadak karena umbalan akibat dari massa air di lapisan bawah yang

memiliki kadar oksigen rendah akibat tingginya pembusukan bahan

organik, tingginya NH3-N, H2S, dan gas metan. Ketiga senyawa terakhir ini

bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting

dalam mempertahankan kehidupan ikan.

2.4. Oksigen Terlarut - Dissolved Oxygen (DO)

2.4.1. Sumber oksigen terlarut

Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung

pada suhu, salinitas, turbulensi, air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar

suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar

oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003).

Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan berasal dari

hasil fotosintesis fitoplankton, difusi udara, dan susupan dari inflow.

Di perairan yang subur, fotosintesis merupakan input utama dalam

produksi oksigen di perairan. Pada umumnya konsentrasi oksigen saat

permulaan fajar masih rendah, lalu tinggi pada siang hari, kemudian secara

kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas.

Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen

selama proses respirasi dan menghasilkan CO2 yang akan digunakan untuk

Page 9: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

fotosintesis. Fotosintesis terjadi di zona fotik, namun respirasi terjadi

dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga

permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan

bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland 1990 in Simarmata 2007).

Selain dari hasil fotosintesis, oksigen terlarut juga bersumber dari

difusi udara. Menurut Welch (1952), adsorpsi oksigen dari udara ke air

melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui

bentuk agitasi air permukaan seperti gelombang, air terjun, turbulensi. Di

perairan danau dan waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh

fotosintesis alga yang banyak terdapat di epilimnion. Kadar oksigen

maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada

pagi hari (Effendi 2003).

Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting dalam

reaksi secara biologi dan biokimia di perairan. Konsentrasi oksigen yang

tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya

respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen

terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima

beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan

organisme hidup (Umaly and Cuvin 1988 in Effendi 2003).

2.4.2. Cadangan oksigen terlarut di hipolimnion

Sumber oksigen di lapisan hipolimnion hampir tidak ada, kecuali jika terjadi

pembalikkan massa air. Menurut Cornett dan Rigler (1987) in Krismono (2000),

konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa

dekomposisi bahan organik di sedimen dasar dan respirasi biota perairan ditambah

oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis biota pelagis dan bentik serta transport

oksigen secara vertikal karena turbulensi. Distribusi oksigen ke dalam kolom

perairan lambat kecuali jika terjadi turbulensi kuat.

Page 10: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

2.4.3. Penurunan oksigen terlarut di perairan

Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas

mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi

pada subtrat dan kolom air diatasnya. Akibatnya akan menambah

kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang

pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen

merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan. Stadia kritis terjadi jika

jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan

organik, baik allochtonous atau autochtonous (Simarmata 2007).

Oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan dikarenakan

oksigen merupakan faktor utama dalam mendukung kelangsungan hidup

ikan. Kondisi oksigen yang minim di perairan dapat mengancam

kehidupan ikan dan biota air lainnya, namun jika oksigen mencapai titik

jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat

seiring dengan peningkatan unsur hara, maka akan membahayakan

kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi

perairan yang mengakibatkan oksigen pada saat malam hari menjadi sangat

minim atau bahkan mencapai nol.

Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat

mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Di

perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada 0 0C

dan 8 mg/liter pada suhu 25 0C (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003).

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan

musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan

(turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent)

yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Menurut Welch (1952),

ketersediaan oksigen terlarut di perairan akan mengalami penurunan akibat

proses respirasi oleh biota air baik hewan maupun tumbuhan di sepanjang

hari, dekomposisi bahan organik, inflow dari tanah, dan keberadaan besi di

perairan.

Page 11: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

Menurut Effendi (2003), ikan dan organisme akuatik lain

membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Pada siang hari

ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis

pada lapisan eufotik lebih besar daripada konsumsi oksigen oleh proses

respirasi. Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus

berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya

fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan.

Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen

terlarut di suatu perairan, yaitu (Gambar 2):

a. Tipe orthograde : terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau

danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Pada tipe ini konsentrasi

oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan.

Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu

dengan bertambahnya kedalaman.

b. Tipe clinograde : terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan

kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini

oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman

atau bahkan habis sebelum mencapai dasar. Penurunan ini diakibatkan

oleh adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme.

c. Tipe heterograde positif dan negatif : pada tipe ini terlihat bahwa

fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan

meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.

d. Tipe anomali : tipe ini terjadi aliran air yang deras, dingin, kaya oksigen

dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.

Page 12: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

Gambar 2. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde, (d). anomali (Goldman dan Horne 1983).

2.5. Bahan Organik di Perairan

Bahan organik yang terdapat di perairan waduk terdiri dari

allocthonous organic matter dan autochthonous organic matter. Allocthonous

organic matter adalah bahan organik yang berasal dari luar perairan seperti

limbah rumah tangga dan sisa aktivitas perairan di sekitar waduk,

sedangkan autochthonous organic matter adalah bahan organik yang berasal

dari dalam waduk itu sendiri seperti sisa pakan, buangan hasil ekskresi

ikan, dan hasil dekomposisi organisme plankton. Akumulasi bahan organik

di perairan juga mempengaruhi kelangsungan hidup ikan seperti kematian,

akibat defisiensi oksigen karena dipakai untuk menguraikan bahan organik

tersebut.

Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan

kotoran ikan. Dengan meningkatnya jumlah unit KJA maka secara otomatis

bahan organik menjadi berlipat ganda. Bahan organik dari sisa pakan yang

tidak termakan oleh ikan akan semakin bertambah dengan meningkatnya

Page 13: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

jumlah unit KJA karena semakin banyak jumlah pakan yang masuk ke

perairan. Selain itu peningkatan jumlah unit KJA juga mengakibatkan

peningkatan bahan organik dari hasil ekskresi ikan karena dengan

meningkatnya jumlah unit KJA tersebut maka akan semakin banyak ikan

budidaya yang ditebar.

Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami dalam

KJA sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme

ikan. Bahan organik tersebut akan larut dan terkandung dalam air dan

sebagian mengendap di dasar yang kemudian akan dimakan dan dirombak

oleh makroorganisme dan mikroorganisme. Dalam batas tertentu,

kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan.

Namun, jika melampaui batas, bahan organik justru akan menghambat

pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003).

Menurut Vitner et al. (1999) peningkatan konsentrasi bahan organik di

perairan diduga karena: (a) pengadukan massa air secara merata, (b)

penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi

pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh

buangan yang makin hari semakin besar dari luar waduk. Jika peningkatan

bahan organik terjadi secara terus menerus maka akan memberi dampak

seperti:

a. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik

b. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologi dan biologi waduk

c. Berdampak berupa menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi

perubahan siklus air. Tingginya konsentrasi bahan organik akan meningkatkan

pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan terjadi pembalikkan

massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat

pertumbuhan fitoplankton. Pembalikkan yang diiringi blooming plankton akan

menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan

mempercepat kematian ikan.

d. Menurunnya kualitas air produksi Perusahaan Air Minum (PAM), yang akan

berdampak pada menurunnya sanitasi masyarakat konsumen.

Page 14: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang

2.6.1. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara

visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan

meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan

padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi

2003). Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari

yang masuk ke suatu perairan.

Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang

diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal

pada kolom air (Effendi 2003). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air

semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Menurut Effendi (2003),

stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang berdasarkan perbedaan

intensitas cahaya yang masuk ke perairan dikelompokan menjadi tiga, yaitu :

(a). Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari.

Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar

daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi.

(b). Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari

intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama

dengan respirasi.

(c). Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan

intensitas cahaya yang kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya

(afotik).

Menurut Simarmata (1998), apabila intensitas cahaya ke permukaan

menurun, maka ketebalan zona eufotik pun akan semakin menipis. Penyebab

peredupan cahaya di Waduk Ir. H. Juanda juga diakibatkan oleh bahan organik

terlarut dan total padatan tersuspensi. Menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan

yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm. Dengan

mengetahui kecerahan suatu perairan maka akan dapat diketahui batasan masih

adanya kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan yang tidak keruh

dan yang paling keruh.

Page 15: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

2.6.2. Suhu

Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),

ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,

penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu

berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut.

Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.

Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0C menyebabkan terjadinya

peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat.

Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen

terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan

oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan

respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan

dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Adanya hubungan

antara oksigen terlarut dengan suhu di perairan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada

tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983 in Effendi 2003).

Suhu (0C)

Konsentrasi O2 terlarut (mg/l)

Suhu (0C)

Konsentrasi O2 terlarut (mg/l)

Suhu (0C)

Konsentrasi O2 terlarut (mg/l)

0 14,62 12 10,78 24 8,42 1 14,22 13 10,54 25 8,26 2 13,83 14 10,31 26 8,11 3 13,46 15 10,08 27 7,97 4 13,11 16 9,87 28 7,83 5 12,77 17 9,66 29 7,69 6 12,45 18 9,47 30 7,56 7 12,14 19 9,28 31 7,43 8 11,84 20 9,09 32 7,30 9 11,56 21 8,91 33 7,18 10 11,29 22 8,74 34 7,06 11 11,03 23 8,58 35 6,95

Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan

perubahan menjadi energi panas. Kondisi tersebut menyebabkan stratifikasi panas

pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air akan semakin

berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Dengan kata lain, cahaya

mengalami penghilangan atau pengurangan yang semakin besar dengan

bertambahnya kedalaman. Cahaya yang mencapai perairan yang diubah menjadi

Page 16: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

energi panas tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu

dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan terjadinya

perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya akan menyebabkan

terjadinya pencampuran massa air (Effendi 2003). Meskipun terdapat stratifikasi

suhu di Waduk Ir. H. Juanda tetapi pada perairan ini tidak sampai terbentuk

termoklin mengingat Waduk Ir. H. Juanda yang terletak di daerah tropis.

Suhu udara di dataran tinggi relatif rendah, demikian juga suhu airnya.

Curah hujan relatif tinggi, sebaliknya intensitas sinar matahari rendah. Suhu air di

lapisan bawah badan air dalam waduk sedikit lebih dingin dibandingkan dengan

lapisan permukaan. Suhu air lapisan atas dipengaruhi oleh intensitas sinar

matahari. Distribusi suhu air dan oksigen terlarut pada danau eutrofik di musim

panas ditunjukkan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram yang menggambarkan tipe distribusi CO2, O2, dan

temperatur selama musim panas pada danau eutrofik (Goldman dan Horne 1983).

Pada umumnya danau/waduk yang memiliki kedalaman rata-rata

kurang dari 10 meter tidak mempunyai perbedaan suhu yang nyata.

Sebaliknya, danau/waduk dengan kedalaman lebih dari 10 meter

Page 17: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

mempunyai stratifikasi temperatur sebagai berikut (Goldman dan Horne

1983) :

(a). Epilimnion, yaitu lapisan air yang berada di bawah permukaan dengan

suhu relatif sama.

(b). Metalimnion/termoklin, yaitu lapisan air yang mengalami penurunan

suhu cukup besar (lebih dari 1 ºC/m) yang mengarah ke dasar

danau/waduk.

(c). Hipolimnion, yaitu lapisan dibawah metalimnion, lebih dingin,

perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air bersifat stagnan,

tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih

besar. Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang

rendah dan relatif stabil

2.6.3. Derajat keasaman (pH)

Keasaman atau kebasaan waduk diukur dalam unit pH, dengan skala

1-14. Derajat keasaman (pH) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari

konsentrasi ion hydrogen. Keasaman ditunjuk dengan nilai dari 0-7

sedangkan basa dari 7-14. Jika pH perairan di bawah 4 atau 5 maka

keragaman spesiesnya sangat terbatas (Goldman dan Horne 1983). Larutan

yang bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif (Effendi 2003).

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses

biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH

rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah

(Novotny dan Olem 1994 in Effendi 2003).

2.6.4. Amonia (NH3)

Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik

(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah

dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota

akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik

Page 18: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan

amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal

dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik (Effendi

2003).

Amonia dapat terserap ke dalam bahan-bahan tersuspensi dan koloid

sehingga akan mengendap di dasar perairan. Amonia di perairan dapat

menghilang karena tekanan parsial dalam larutan yang meningkat dengan

semakin meningkatnya pH. Hilangnya amonia ke atmosfer juga dapat

meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin dan suhu.

Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap

organisme akuatik. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan

meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu.

Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu

tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.

Amonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan

oksigen. Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya

terdapat di dasar perairan, kadar amonia relatif tinggi (Effendi 2003).

Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter

(McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Kadar amonia yang tidak terionisasi

(NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/liter (Sawyer

dan McCarty 1978 in Effendi 2003). Menurut Jangkaru (2003), amonia

sangat bersifat racun terhadap ikan dan organisme hidup lainnya. Dalam

suhu yang tinggi dan suasana alkali, konsentrasi NH3 akan meningkat. Air

yang mengandung NH3 sebanyak 0,5 mg/l dapat dikategorikan tercemar

dan pada konsentrasi 5 mg/l dapat mematikan sebagian besar jenis ikan.

Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya

pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan

limpasan (runoff) pupuk pertanian. Kadar amonia yang tinggi juga dapat

ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen

(Effendi 2003).

Page 19: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

2.6.5. Hidrogen Sulfida (H2S)

Hidrogen Sulfida atau H2S pada kondisi perairan anoksik bersifat

beracun karena berasal dari sulfat yang terbentuk secara reduksi pada

kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Pada perairan alami

yang cukup aerasinya biasanya tidak ditemukan H2S karena teroksidasi

menjadi sulfat. Reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen)

anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan

oleh bakteri heterotrof selama proses dekomposisi bahan organik dapat

menimbulkan bau busuk.

Pada pH 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Oleh karena

itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan nilai pH. Kadar sulfida

total kurang dari 0,002 mg/l dianggap tidak membahayakan bagi

kelangsungan hidup organisme akuatik (Mcneely et al. 1979 in Effendi 2003).

Bakteri heterotrof dapat mereduksi sulfit, tiosulfat, hiposulfat, dan unsur

sulfur menjadi hidrogen sulfida. Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera

dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri,

misalnya Chlorobactericeae dan Thiorhodaceae dapat mengoksidasi hidrogen

sulfida menjadi sulfur.

Di dalam perairan dihasilkan hidrogen sulfida yang berasal dari proses

dekomposisi bahan yang mengandung protein dan baunya sangat

mengganggu. Ketika kandungan oksigen terlarut di perairan habis terpakai

untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan suplai oksigen terganggu,

maka kondisi perairan akan menjadi anaerob. Pada kondisi seperti ini

bahan-bahan organik akan mengalami proses fermentasi membentuk asam-

asam organik yang menyebabkan pH perairan menurun dengan keasaman

yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan kematian total ikan.

Apabila diperairan tidak terdapat oksigen dan nitrat maka sulfat

berperan sebagai sumber oksigen pada proses oksidasi yang dilakukan oleh

bakteri anaerob. Pada kondisi ini ion sulfat direduksi menjadi ion sulfit yang

Page 20: 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir

membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk

hidrogen sulfida (Effendi 2003). Pada pH 9 sebagian besar sulfur (99%)

berada dalam bentuk ion HS-, jumlah H2S sangat sedikit, permasalahan bau

tidak muncul pada kondisi ini. Ion sulfida berada pada pH yang sangat

tinggi mendekati 14 dan tidak ditemukan pada perairan alami. Pada pH < 8

kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang tidak terionisasi

(Effendi 2003).