2.1. business needs versus family needsthesis.binus.ac.id/doc/bab2/03. thesis bab 2.pdfyang dimaksud...
TRANSCRIPT
6
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Business Needs versus Family Needs
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Fortune 500, sejak tahun 1955 hanya 77
perusahaan yang masih bertahan sebagai family company di dunia. Lebih dari 80 %
telah dijual atau diakuisisi (Carlock,S.R.,Ward,J.L,2001). Sebelum memformulasikan
strategic planning dalam family business ada lima buah faktor yang dapat menimbulkan
dilema bagi terciptanya rancangan strategi bisnis mereka, yaitu : control, careers,
capital, conflict, culture.Kelima hal ini sangat berpengaruh bagi level manajemen
perusahaan dalam memformulasikan antara kebutuhan bisnis dan kebutuhan daripada
keluarga, dimana hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1.1 Dilema Family Business (Carlock,S.R.,Ward.J.L.,2001,p4).
Menurut Carlock, L.Ward (2001) dalam merancang strategi bisnis untuk
mempertemukan dilema diatas dapat menggunakan konsep PPP (Parallel Planning
7
Process). Dimana tools ini dapat digunakan untuk menghasilkan family business
planning.
Gambar 2.1.2 Parallel Process Planning (Carlock,S.R.,Ward.J.L.,2001,p11).
PPP adalah serangkaian perencanaan dan aktivitas program yang dapat
memimpin family dan management kepada business strategy yang sesuai dengan
ketertarikan dari family juga memiliki potensial terhadap perkembangan bisnis.
Aktivitas dalam program tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1.3 Pemilihan Business Strategy (Carlock,S.R.,Ward.J.L.,2001,p14)..
8
Kesuksesan sebuah bisnis keluarga menurut Carlock, L.Ward (2001) sangat
tergantung kepada :
1. Kedua generasi harus saling percaya bahwa penerusnya dapat berkontribusi bagi
kesuksesan bisnis keluarga.
2. Kedua generasi ini harus saling bekerja sama untuk dapat meneruskannya
kepada generasi berikutnya atau mereka bekerja sama dalam menjual bisnis
tersebut.
3. Tidak adanya konflik pribadi diantara para penerus bisnis keluarga tersebut.
2.2. Family Business Model & Business Model
Menurut penelitian yang dilakukan di indonesia oleh David Sukardi Kodrat dan
Lenny Gunawan (2007), ada sebuah mitos di dunia yang mengatakan bahwa generasi
pertama membangun bisnis, generasi kedua menikmatinya, generasi ketiga
menghancurkannya. Ini menandakan bahwa menyerahkan dan mempertahankan sebuah
bisnis dari generasi kedua ke generasi selanjutnya bukanlah sebuah perkara mudah. Di
Indonesia sendiri hanya tersisa 3% bisnis yang didirikan di tahun 1932-1943 dan masih
bertahan sampai sekarang, dan hanya 37% untuk bisnis yang didirikan tahun 1992-
2003.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh David dan Lenny di perusahaan Ny.
Meneer, maka sebuah family business success model haruslah memiliki strategi atau
business model yang yang saling beririsan, yaitu: business management, family
management, dan ownership management.
9
Gambar 2.2.1 Family Business Success Model (David dan Lenny, 2007)
Maka selanjutnya barulah pemilihan business model yang telah diatur dalam
keluarga dan diatur hak, wewenang dan kepemilikannya tersebutlah yang dibuat
kerangka modelnya seperti yang digambarkan oleh Applegate(2009,p43). Model bisnis
yang dimaksud adalah bagaimana sebuah organisasi dapat mendefinisikan suatu strategi
yang unik untuk dapat berinteraksi dengan lingkungannya, menggunakan segala macam
sumber daya dan membangun sebuah kemampuan untuk dapat mengeksekusi strategi
tersebut, dan menciptakan sebuah value yang diinginkan oleh stakeholders.
Gambar 2.2.2 Kerangka Model Bisnis (Applegate,2009,p43)
2.3. Definisi Strategi Bisnis
Menurut John Ward dan Joe Peppard (2002,p188-191) dalam mengintrepertasikan
sebuah strategi bisnis baik yang dipengaruhi oleh elemen internal dan external sangatlah
10
dipengaruhi dari hasil analisa proses bisnis internal, lingkungan organisasi dan
keterkaitan antar sumber daya yang ada dan bagaimana melakukan monitoring atas
strategi dan aktivitas bisnis tersebut. Yang lebih terpenting lagi adalah bagaimana
menterjemahkan dan tetap mengkomunikasikan strategi bisnis tersebut konsisten di
setiap langkah berikut.
Vision ditemukan di dalam pencapaian yang ingin dicapai dalam mencapai strategi
bisnis di masa mendatang, dan bagaimana mengoperasikan bisnis dengan berbagai
aspek yang dimiliki organisasi.
Mission merupakan sebuah pernyataan yang dimiliki organisasi (values) yang
diperuntukkan sebagai arahan bagi organisasi.
Business Driver adalah sekumpulan nilai-nilai kritikal yang harus dimiliki oleh
organisasi untuk menanggapi perubahan ataupun pertumbuhan bisnis. Hal ini dapat
dipresentasikan sebagai faktor-faktor untuk jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang yang dapat memenuhi business objective atau CSF.
Objective adalah sebuah target yang harus dicapai oleh setiap aspek dalam
organisasi untuk mewujudkan visi. Objective haruslah memiliki karakteristik : tidak
ambigu dan berorientasikan pada hasil, dapat diukur, dapat dicapai oleh semua
pihak yang terlibat didalamnya, relevant dan dapat dicapai serta memberikan
dorongan untuk mencapai high-performance.
Strategy mendefinisikan langkah-langkah yang diambil dalam mencapai objective,
kemungkinan dapat merubah kebijakan organisasi yang ada saat ini atau bahkan
menciptakan sebuah kebijakan yang baru bagi organisasi.
11
Critical Success Factor merupakan beberapa bagian kunci utama yang haruslah
berjalan dengan benar untuk dapat mengantarkan bisnis kepada kejayaannya.
Sesungguhnya CSF merupakan kristalisasi daripada business objective dan business
strategy.
Business Area Plan mencakup berbagai rencana daripada berbagai area bisnis yang
mendokumentasikan setiap respon mereka terhadap strategi bisnis organisasi.
2.4. IT/IS Strategic Plan
IT/IS Strategic Plan secara kasat mata seperti terlihat ada dua bagian yang
terpisahkan, yaitu IT (Information Technology atau Information & Communication
Technology) dan IS (Information System), namun sesungguhnya menurut John Ward
dan Joe Peppard (2004,p385) IT/IS Strategic Plan sesungguhnya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dimana IT memberikan dukungan atau menjadi
landasan dasar bagi tersusunnya IS requirement yang menjadi landasan bagi dibuatnya
IS Strategic Plan atau lebih dikenal dengan Strategic Information System Planning
(SISP). Adapun menurut Ward & Peppard model perancangan rencana strategi TI / SI
digambarkan dalam kerangka model di bawah ini:
12
Gambar 2.4.1 Model Perencanaan Strategi SI/TI (Ward & Peppard, 2002, p154)
Dalam proses strategi SI / TI menurut John Ward dan Joe Peppard sesuai dengan
kerangka model diatas, maka memiliki input: lingkungan bisnis internal dan lingkungan
bisnis eksternal, lingkungan SI/TI eksternal dan lingkungan SI/ TI internal. Kemudian
dari keempat input tersebut dilakukan pendekatan atau analisa kemampuan SI/TI dan
kerangka berpikir yang mampu memenuhi efisiensi, efektivitas proses bisnis internal,
dan objektivitas yang diharapakan bisnis untuk memberikan nilai tambah terhadap
strategi bisnis. Proses Strategi SI/ TI ini kemudian menghasilkan output: Strategi SI,
Strategi Manajemen SI/TI, dan Strategi TI. Dimana strategi SI adalah sebagai business
demand, strategi yang dijalankan untuk memenuhi permintaan bisnis dalam memenuhi
objektivitasnya. Strategi TI adalah bagaimana trend dan kondisi TI saat ini dapat
mendukung strategi SI itu sendiri Kedua hal tersebut kemudian haruslah didukung oleh
13
strategi manajemen TI/SI yang mengatur dan mengelola portofolio aplikasi saat ini dan
sumber daya tenaga ahli TI dan SI sehingga dapat menciptakan IT blue print / milestone
daripada langkah pengembangan portofolio aplikasi di masa mendatang.
Sedangkan menurut Anita Cassidy (2006) dalam mendefinisikan SISP (Strategic
Information System Planning) lebih ditekankan kepada perancangan SISP yang sejajar
dengan strategi bisnis itu sendiri. Dimana bisnis strategi yang diterjemahkan ke dalam
tiga bentuk yaitu: goals, objectives, strategies haruslah dapat disejajarkan dengan
rancangan IS Strategy. Rancangan IS Strategy itu sendiri diterjemahkan ke dalam
delapan bentuk yaitu: strategy, organization, processes, infrastructure, applications,
projects, budget, dan metrics. Dimana setelah menetapkan fokus strategi bisnis, maka
setiap organisasi haruslah dapat menterjemahkannya ke dalam delapan hal yang
tercakup dalam IS Strategy di atas.
Gambar 2.4.2 Business Strategy Focus (Cassidy,2006,p11)
Dimana industri retail seperti restoran lebih banyak cenderung bergerak dalam
fokus operational excellence, sehingga rancangan strategis IS menurut Anita
Cassidy(2006) dapat diterjemahkan ke dalam gambar tabel berikut.
14
Gambar 2.4.3 Operational Excellence (Cassidy,2006,p12)
2.5. Korelasi antara Business Strategy, IS Strategy dan IT Strategy
Gambar 2.5.1 Hubungan antara Business Strategy, IS Strategy & IT Strategy
(Ward & Peppard,2002,p41)
Gambar diatas menjelaskan hubungan antara strategi bisnis, strategi IS dan
strategy IT sehingga dapat menciptakan suatu perencanaan strategi teknologi dan sistem
informasi suatu organisasi. Dimana hubungan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
15
1. Business Strategy
Pada tahapan ini sebuah keputusan strategi bisnis haruslah ditetapkan
berdasarkan kondisi industri bisnis, IS/IT dan kondisi organisasi itu sendiri.
Sehingga strategi bisnis dapat menjadi arahan dan objective daripada aktivitas
organisasi.
2. IS Strategy
Maka setelah mengatahui arahan dan objective daripada aktivitas bisnis,
selanjutnya dapat ditetapkan dan dilakukan evaluasi sistem informasi yang
seperti apa yang dibutuhkan oleh organisasi, serta yang dapat mendukung
langkah strategi bisnis untuk mewujudkan visi dan misi organisasi itu sendiri.
3. IT Strategy
Sesungguhnya merupakan langkah aktivitas yang dibutuhkan sebelum
menentukan sistem informasi strategis yang diinginkan organisasi dimana harus
ditentukan infrastruktur dan dukungan teknologi seperti apa yang dapat
menunjang aktivitas bisnis.
2.6. Analisa BSC untuk Strategi Manajemen Perusahaan
Balance Scorecard adalah sebuah model yang digunakan untuk mengukur suatu
kinerja bisnis yang dapat digunakan oleh para manajer dari empat prespektif penting
berikut:
1. Bagaimana pelanggan melihat bisnis kita? (customer prespective)
2. Apa yang dapat kita tingkatkan lagi? (internal prespective)
3. Dapatkah kita lanjut untuk maju dan menciptakan value? (innovation and
learning prespective)
16
4. Bagaimana kita melihat apa yang menjadi harapan shareholder? (financial
prespective)
Balanced Scorecard dapat digunakan pada berbagai level yang berbeda (unit bisnis,
departemen, group/individual) dan melibatkan banyak pihak dan mengukur kinerja dari
empat prespektif diatas. Menurut S. Kaplan dan P. Norton (2005) pendekatan BSC
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.6.1 Empat Prespektif Balance Scorecard
(S.Kaplan & P.Norton, 2005)
1. Customer prespective
BSC harus dapat mendefinisikan apa yang menjadi prespektif pelanggan
terhadap produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi, hal-hal tersebut
cenderung seperti waktu, kualitas, kinerja dan layanan yang pelanggan tersebut
terima serta biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka. Jadi bagaimana sebuah
produk atau jasa yang dihasilkan dapat memberikan nilai tambah bagi
17
pelanggan, dimana sasaran dan misi terhadap segmen pasar dan pelanggan
pastinya sudah didefinisikan di dalam misi organisasi.
2. Financial prespective
BSC harus memberikan ukuran yang jelas terhadap shareholder terhadap nilai
ekonomis yang diberikan kepada organisasi, pengaruhnya terhadap arus kas
organisasi dan bagaimana memberikan peningkatan nilai penjualan maupun
efisiensi biaya operasi. Langkah- langkah pengukuran keuangan yang dapat
diambil adalah ROI atau ROE (return of equity).
3. Internal business process
BSC harus dapat mendefinisikan hal-hal apa yang menjadi keinginan pelanggan
dengan mentransformasikannya ke dalam langkah-langkah internal yang
organisasi harus lakukan sehingga dapat memenuhi empat kriteria yang
berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan , seperti : waktu, kualitas, layanan,
kinerja, dan biaya.
4. Learning and growth (Innovation)
BSC harus dapat mendefinisikan apa saja yang dapat ditingkatkan lagi secara
internal (continual improvement) , sehingga apa yang menjadi kemampuan
perusahaan dalam hal terus-menerus melakukan perubahan dalam menghadapi
segmen pasar yang semakin competitive.
Menurut S.Kaplan dan P.Norton (2007) manajemen dalam mentransformasikan visi
dan strategi organisasi ke dalam model Balance Score Card terdiri atas empat proses
berikut:
18
Gambar 2.6.2 Empat Proses Balance Scorecard
(S.Kaplan & P.Norton, 2007)
1. Translating the vision, yang membantu manajer untuk membangun konsensus di
semua unit bisnis perusahaan, sehingga ditemukan pemahaman yang sama antar
setiap unit bisnis terhadap strategi organisasi dan bagaimana mengekspresikannya
ke dalam istilah yang dapat diterjemahkan di tingkat operasional.
2. Communication and linking, adalah bagaimana manajer mengkomunikasikan hal
yang sudah menjadi strategi mereka secara top-down di setiap unit bisnis yang
saling berinteraksi dan berkerja sama di dalam organisasi.
3. Business planning, adalah langkah yang diambil manajemen dalam
mengintegrasikan strategi bisnis dengan rencana keuangan organisasi.
4. Feedback and learning, adalah langkah yang penting diambil oleh manajemen
dalam memberikan continual improvement, maka hal keempat ini sangatlah penting
19
bagi organisasi untuk dapat belajar dan bila perlu dapat menyesuaikan strategi
dengan didukung oleh informasi yang berasal dari umpan balik.
Analisis IT BSC
Menurut Rosemann dan Wiese (1999) menyatakan bahwa IT BSC dapat
digunakan pada tingkat sistem untuk mengevaluasi implementasi software atau
mengevaluasi keberlangsungan operasi software. Analisis IT BSC juga berguna untuk
melihat sampai sejauh mana tingkat maturity sistem sebuah organisasi.
Menurut Grembergen dan Bruggen (2000) menyatakan bahwa IT Balanced
Scorecard merupakan gambaran kinerja unit TI berdasarkan visi, misi dan strategi TI
perusahaan. Dimana IT Balancescorecard merupakan transisi dari BSC Kaplan &
Norton itu sendiri sehingga dapat digambarkan sebagai berikut (dikutip dari Ronald
Saull, 2000):
Gambar 2.6.3 Perubahan Prespektif BSC
(Ronald Saull, 2000)
Dalam IT BSC empat perspektif standar menjadi:
1. Kontribusi perusahaan adalah untuk mencapai kontribusi TI terhadap
kelangsungan bisnis, sehingga terhadap investasi disikapi dengan strategi
pengendalian biaya TI, nilai bisnis dan proyek TI, dan bagaimana TI dapat
menyediakan kemampuan/peluang bisnis baru bagi perusahaan.
20
2. Orientasi pengguna adalah untuk menjadi penyedia pilihan sistem informasi
dengan langkah strategi memberikan dukungan aplikasi dan sistem operasi
sesuai dengan ukuran SLA (Service Level Agreement) dan bagaimana mengukur
kepuasan pengguna dari kualitas, biaya dan waktu.
3. Penyempurnaan operasional adalah bagaimana memberikan produk dan layanan
TI yang efektif dan efisien dengan ukuran biaya, kualitas dan kecepatan layanan.
Juga bagaimana produk dan layanan TI dapat mendukung kinerja operasional
dengan lebih efektif dan efisien.
4. Orientasi masa depan adalah bagaimana unit bisnis TI mampu menjawab
tantangan masa mendatang dengan strategi melatih dan mendidik keahlian para
staf TI, melakukan riset perkembangan TI dan tetap memantau umur dari sistem
informasi /aplikasi.
2.7. CSF (Critical Success Factor)
Menurut Parmenter (2009,p.199) CSF adalah suatu daftar isu-isu yang ada
didalam organisasi atau aspek kinerja organisasi yang sangat menentukan kondisi suatu
organisasi, baik dalam keadaan sedang berlangsung, maupun yang sangat vital.
Sedangkan menurut Rockart (1986) yang dikutip oleh Ngai, E. W. T., Cheng, T. C. E.
and Ho, S. S. M. (2004) CSF merupakan batasan dari beberapa hal daripada area yang
memerlukan hasil yang memuaskan untuk memastikan kesuksesan competitive
performance daripada individu, departemen, atau organisasi. CSF juga kerap kali
disebut sebagai aktivitas-aktivitas kunci yang harus dijalankan dengan benar agar bisnis
dapat menuju kesuksesan dan bagaimana tujuan dari para manajer dapat diperoleh.
Menurut John Ward & Joe Peppard (2002,p.211) proses mendefinisikan CSF
21
merupakan langkah yang harus sejalan dengan strategi organisasi yang tertuang dalam
misi organisasi, seperti tergambar berikut:
Gambar 2.7.1 Proses Dasar Pembuatan CSF
(Ward & Peppard,2002,p41)
2.8. Portofolio Aplikasi
Menurut Ward dan Peppard (2002,p.42) portofolio aplikasi harus direncanakan
dan dikelola menurut kontribusi pada bisnis saat ini dan di saat mendatang. Sehingga
harus dapat mendefinisikan sistem informasi / aplikasi yang tidak hanya memenuhi
kebutuhan saat ini tetapi juga potensi aplikasi di masa mendatang dan rencana untuk
meningkatkan strategi bisnis mendatang. Model analisis portofolio aplikasi (strategic
grid) yang digunakan adalah framework McFarlan yang menceritakan konsep matriks
daripada kontribusi SI/TI pada bisnis sekarang dan mendatang, sehingga mampu
22
menjelaskan dampak dari variabel yang tidak berkaitan namun saling mempengaruhi.
Portofolio aplikasi ini terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan penilaian
kepentingan aplikasi di saat ini dan mendatang, namun seiringnya waktu maka
portofolio aplikasi berubah dan isi segmen portofolio akan dipengaruhi beragam faktor
eksternal dan internal. Kegunaan dari matriks turunan McFarlan ini memberikan
kemudahan bagi manajemen dalam mengkategorisasikan aplikasi sesuai dengan
kontribusi dan potensi sistem informasi terhadap bisnis.
Gambar 2.8.1 Portofolio Aplikasi McFarlan
(Ward & Peppard, 2002,p42)
a. Strategic application maksudnya adalah aplikasi yang sangat kritis menentukan
kepada keberhasilan bisnis di masa mendatang. Aplikasi ini membuat atau
mendukung perubahan dalam cara organisasi melaksanakan bisnisnya dengan
tujuan mendapatkan keuntungan yang kompetitif (competitive advantage).
Teknologi yang digunakan tidaklah langsung mengindikasikan bahwa aplikasi
tersebut strategis, melainkan kontribusinya terhadap bisnislah yang menentukan
bahwa aplikasi tersebut strategis.
23
b. Key operational maksudnya adalah aplikasi yang menjadi kunci utama dalam
mendukung operasi bisnis yang ada, sehingga mampu menghindari kerugian.
Dalam berbagai industri dapat dicontohkan sebagai berikut : EPOS (Electronic
POS), ATM, ERP, dimana aplikasi –aplikasi tersebut menjadi sangat
mandatory bagi sebuah organisasi untuk bertahan dalam sebuah industri.
c. Support maksudnya adalah aplikasi yang meningkatkan efisiensi bisnis dan
efektifitas manajemen, tetapi tidak secara langsung mendorong bisnis apalagi
memberikan competitive advantage.
d. High Potential maksudnya adalah aplikasi inovatif yang mungkin saja dapat
menciptakan peluang untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang, namun
sulit untuk dapat dibutktikan.
2.9. SWOT Analysis
Menurut Thompson dan Strickland (2005, p.89-98) analisis SWOT berguna untuk
mengindentifikasi beberbagai macam faktor di dalam organisasi dan faktor eksternal
secara sistematis sehingga mampu memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai
posisi bisnis suatu organisasi. Komponen dari analisis SWOT mencakup:
1. Strength merupakan kekuatan internal organisasi dengan adanya sumber daya
dan kemampuan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan
keuntungan kompetitif. Strength dapat didefinisikan dalam berbagai bentuk:
a. Keahlian perusahaan.
b. Aset-aset fisik yang penting.
c. Sumber daya manusia.
24
d. Aset-aset organisasi yang penting.
e. Aset-aset penting lainnya yang tidak dapat dilihat.
f. Kemampuan kompetitif perusahaan.
g. Posisi perusahaan yang menguntungkan dalam pasar
2. Weakness merupakan kelemahan organisasi yang dapat menempatkannya dalam
posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan organisasi lain.
Kelemahan internal organisasi dapat berupa:
a. Kekurangan dalam kemampuan atau keahlian untuk berkompetisi.
b. Kurangnya asset-aset yang penting untuk berkompetisi.
c. Lemah dalam area-area kunci pada kompetisi
3. Opportunity merupakan kesempatan baru bagi organisasi dalam
mengembangkan dan meningkatkan keuntungan di masa mendatang, sehingga
faktor ini sangat penting dalam menentukan strategi organisasi di masa
mendatang. Opportunities yang paling relevan dengan keadaan organisasi adalah
yang menawarkan keuntungan, serta mampu meningkatkan sisi kompetitif
organisasi tentunya sesuai dengan sumber daya yang dimiliki perusahaan.
4. Threat merupakan ancaman dari luar organisasi yang bisa mempengaruhi
kelangusngan bisnis. Ancaman ini dapat timbul dari munculnya teknologi yang
lebih murah, pesaing yang menampilkan produk yang lebih baik, masuknya
pesaing baru, peraturan-peraturan pemerintah yang membebani organisasi
dibandingkan pesaing, kenaikan tingkat suku bunga, dan lain-lain.
25
Menurut Ward dan Peppard (2002, p82-84, p205) analisis SWOT berfokus pada
dua elemen yakni dalam organisasi dan luar organisasi. Elemen-elemen tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Elemen pertama fokus pada strategi saat ini dan pemahaman kekuatan dan
kelemahan perusahaan saat ini yang melibatkan analisis; sumber daya yang
tersedia dalam organisasi, kesehatan finansial, karyawan, ketrampilan,
latihan, pengalaman, motivasi, kompetensi bisnis, aset teknologi, organisasi,
struktur dan hubungan, sikap dan budaya, efektivitas operasional dan proses
manajemen, kemampuan beradaptasi untuk mengubah keadaan.
b. Elemen kedua melibatkan analisis lingkungan kompetitif sehingga
perusahaan bisa cepat mengidentifikasi dengan jelas posisi dalam pasar dan
pilihan strategis mendatang yang mungkin, yang melibatkan; segmen pasar
dan saham pasar, posisi organisasi, pemeriksaan semua pesaing, tindakan
persaingan mendatang yang mungkin dilakukan.
1. Penentuan Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Menurut Rangkuti (2004, p22-24) sebelum membuat matriks faktor strategi
eksternal, perlu mengetahui lebih dahulu faktor strategi eksternal. Adapun cara
penentuan faktor strategi eksternal mencakup;
a. Susun dalam 1 kolom (5 – 10 peluang dan ancaman).
b. Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat
penting)–0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat
memberikan dampak terhadap faktor strategis.
26
c. Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan
skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh
faktor terhadap kondisi perusahaan. Pemberian nilai faktor peluang bersifat
positif dimana peluang yang besar bernilai (+4) dan peluang kecil (+1).
Pemberian nilai ancaman kebalikan dari peluang jika ancaman sangat besar nilai
1 dan ancaman sangat kecil nilai 4.
d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh
faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang bernilai variasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai
dengan 1,0 (poor).
e. Gunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-
faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
f. Jumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 untuk memperoleh total skor
pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan
bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategis
eksternalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan
ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama.
Tabel 2.9.1 EFAS (Rangkuti, 2004, p24)
Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Bobot x Rating Komentar Peluang 1. 1,0 1 2. 0,5 4 Ancaman 1. 0,5 1 2. 1,0 4 Total
27
2. Penentuan Faktor Strategi Internal (IFAS)
Menurut Rangkuti (2004, p24-25) setelah faktor internal perusahaan diidentifikasi,
maka table IFAS disusun untuk merumuskan faktor strategis internal dalam
kerangka strength dan weakness perusahaan dengan tahapan;
a. Tentukan faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan dalam kolom 1.
b. Beri bobot masing-masing faktor dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) –
0,0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktor terhadap posisi strategis
perusahaan. Semua bobot dijumlahkan tidak boleh melebihi skor total 1,00.
c. Hitung rating dalam kolom 3 untuk masing-masing faktor dengan memberikan
skala dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor
terhadap kondisi perusahaan. Variabel yang bersifat positif kategori kekuatan
diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik) dengan
membandingkannya dengan rata-rata industri atau dengan pesaing utama. Untuk
variabel bersifat negatif, jika kelemahan perusahaan besar sekali nilai 1 dan
kelemahan dibawah rata-rata nilai 4.
d. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh
faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilny berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang bernilai variasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai
dengan 1,0 (poor).
e. Gunakan kolom 5 untuk memberikan komentar atau catatan mengapa faktor-
faktor tertentu dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
f. Jumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 untuk memperoleh total skor
pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan
28
bagaimana perusahaan tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor strategis
internalnya. Total skor ini dapat digunakan untuk membandingkan perusahaan
ini dengan perusahaan lainnya dalam kelompok industri yang sama.
Tabel 2.9.2 IFAS (Rangkuti, 2004, p24)
Faktor Strategis Internal Bobot Rating Bobot x Rating Komentar Kekuatan Kelemahan Total
3. Matrik SWOT
Menurut Rangkuti (2004, p31-32) matrik SWOT adalah alat yang dipakai
untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan. Matrik ini dapat
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi perusahaan secara jelas dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan
yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif
strategis seperti terlihat pada Tabel 2.9.3.
Tabel 2.9.3 Matriks SWOT (Rangkuti, 2004, p31)
a. Strategi SO: dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan yakni memanfaatkan
seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
29
b. Strategi ST: strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk
mengatasi ancaman.
c. Strategi WO: diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimalkan kelemahan yang ada.
d. Strategi WT: didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan yang ada serta menghindari ancaman.
2.10. Sistem Order PDA yang Wireless di Store
Menurut Prasad,Scornavacca dan Lehmman (2005) bahwa penggunaan aplikasi
dengan teknologi mobile di industri yang melibatkan keramahtamahan terhadap
pelanggan , terutama industri makanan seperti : café, restoran, bars, dan lain-lain.
Penggunaan aplikasi mobile lebih ditujukan kepada peningkatan kualitas layanan
kepada pelanggan (SERVQUAL), yang menurut Parasuraman dan Grewal (2000) terdiri
atas lima kriteria:
a. Reliability: kemampuan untuk menyediakan layanan yang dijanjikan dan
akurat.
b. Responsiveness: kemauan untuk menolong pelanggan dan menyediakan
layanan yang cepat.
c. Assurance: pengetahuan akan produk yang ditawarkan dan kesopanan serta
kemampuan mereka dalam mengambil kepercayaan dan keyakinan
pelanggan.
d. Empathy: kepedulian terhadap keluhan ataupun kemauan pelanggan.
e. Tangibles: penampilan fasilitas fisik,peralatan teknologi dan komunikasi dan
personil yang menyajikan layanan.
30
Penggunaan wireless PDA (Personal Digital Assistant) dalam hal pelayanan di
restoran lebih cenderung mengalami dampak yang signifikan terhadap B2E (Business to
Employee). Dimana penerimaan pekerja itu sendiri terhadap penggunaan PDA ini harus
dapat diukur dari beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan sebelum mengadopsi
suatu inovasi dalam hal mobile technology, adalah sebagai berikut:
1. Relative Advantage: penggunaan PDA di restoran menyediakan keuntungan
dalam kategori kecepatan, akurasi, efisiensi dan layanan kepada pelanggan.
Hal ini juga dapat membantu dalam hal otomatisasi proses bisnis.
2. Compatibility: penggunaan PDA harus sejalan dengan tujuan utama dari
bisnis restoran , yaitu meningkatkan revenue, menghemat biaya, dan tetap
menyediakan layanan kepada pelanggan yang berkualitas.
3. Complexity: sistem di dalam PDA haruslah memiliki graphic interface yang
mudah untuk dipelajari dan layar sentuh. Sistem didalamnya haruslah sangat
mudah untuk dimengerti bagaimana caranya melakukan order oleh
pengguna.
4. Observability : para pekerja mendapatkan bahwa PDA memberikan efek
‘wow’ dan memberikan proyeksi citra yang positif . Hal ini juga sudah
pernah dikutip oleh Barnes (2003) dan Lim dan Nam (2003).
Menurut Vince Stanford (2003) dalam artikelnya menyimpulkan bahwa penggunaan
wireless PDA di sebuah restoran memberikan keuntungan berikut:
a. Bagi pelanggan adalah pelayanan yang cepat, sedikitnya kesalahan dalam
pesanan, dan teknologi yang menyenangkan.
31
b. Bagi pemilik / jajaran manajemen adalah pengurangan waste, inventory yang
lebih baik, biaya yang lebih rendah.
Jadi di dalam sistem dengan wireless PDA harus juga ada aplikasi yang dapat
melakukan monitoring penjualan dan open table. Menu- menu tersebut harus dapat
dimengerti oleh penggunanya dengan baik dan tentunya fungsi-fungsi kontrol dan
monitoring ini diberikan kepada level supervisor sampai dengan manager di outlet.
Gambar 2.10.1 Fungsi Aplikasi Order
di Wireless PDA(Vince Stanford,2003)
Hal yang juga dapat menjadi keunggulan dengan pencatatan pesanan melalui
wireless PDA adalah bagaimana pelayan dapat melakukan pencatatan kustomisasi menu
makanan yang diminta oleh pelanggan (personal), sehingga di bagian dapur dapat
menerimanya dengan baik pemesanan-pemesanan dengan sajian dan kemauan khusus
dari pelanggan. Sedangkan menurut Jue Chen (2005) bahwa dalam industri restoran,
salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan dan memberikan
kualitas pelayanan yang terbaik adalah dengan menyajikan menu yang dapat
32
dikustomisasi dan sesuai dengan selera pelanggan. Kualitas sajian menu yang personal
dan kecepatan dalam waktu penyajian menjadi kunci penilaian oleh pelanggan terhadap
tingkat kualitas pelayanan sebuah restoran. Maka dalam membuat sistem pemesanan
menu makanan, hal ini perlu disediakan, sebagaimana yang dicontohkan dalam jurnal
yang diterbitkan oleh Vince Stanford (2003) di bawah ini.
Gambar 2.10.2 Fungsi Aplikasi Custom Order
di Wireless PDA(Vince Stanford,2003)
2.11. Sistem Pengelolaan Bahan Makanan yang Real-Time
Penggunaan POS di bagian pelayanan dalam sebuah restoran, merupakan bagian
dari keseluruhan value chain sebuah proses kerja di restoran cepat saji maupun restoran
ala carte. Hal ini seperti yang ditulis oleh Shimmura, Akamatsu dan Takenaka (2009),
yaitu proses berawal dari pemesanan lewat PDA, kemudian data akan ditransfer ke POS
dan ke bagian dapur yang hadir dengan berupa sistem order-checking sehingga proses
33
pengolahan bahan makanan dapat terkontrol dari segi waktu dan urutan penyediaan dari
dapur ke pelanggan.
Gambar 2.11.1 Value Chain Restoran
(Shimmura, Akamatsu & Takenaka, 2009)
Proses pengolahan bahan makanan yang real-time juga merupakan salah satu
kunci dalam memberikan layanan yang terbaik bagi pelanggan restoran. Salah satu
faktor terpenting bagi seorang pelanggan dalam penyajian di restoran adalah waktu
tunggu, waktu diterima, dan kepuasan (Bram Faubert, 2009), maka real-time process
management yang mampu mengontrol waktu pengolahan, pembuatan dan penyajian,
serta juga ada perbedaan warna yang dapat membedakan tingkat mendesak dari sebuah
penyajian. Maka ada baiknya sistem yang dikembangkan di dapur restoran harus dapat
menyajikan menu–menu yang disajikan dalam gambar berikut.
34
Gambar 2.11.2 Order Checking System
(Shimmura, Akamatsu & Takenaka, 2009)
Sistem yang mengontrol ini haruslah mampu mempresentasikan beberapa
aktivitas berikut, yaitu: verbal confirmation, order sheet, dan POS System. Kemudian
dari informasi yang didapat dari ketiga aktivitas di atas harus dapat diolah oleh sistem
dan sistem harus memiliki fungsi-fungsi berikut:
1. Order checking function by dish at each kitchen
Informasi yang diterima dari order sheet oleh staf pelayan, kemudian dihitung
total menu dan jumlah piring yang dibutuhkan, dan kemudian membagi pilihan
menu tersebut ke dalam setiap bagian yang ada di dalam dapur.
2. Elapsed time display and delay warning functions
PMS (Process Management System) kemudian mengukur standar waktu
pengerjaan setiap menu di setiap bagian. Dimana setiap melewati batas waktu
tertentu akan mengalami perubahan warna dari biru-kuning-merah. Sehingga
35
seorang resto manager dapat mengambil keputusan untuk lebih mengutamakan
menu mana yang diproses dan disajikan terlebih dahulu.
3. Checking function of all kitchen position status
Dengan sistem informasi yang disediakan seperti pada gambar juga dapat
membantu seorang resto manager dalam mengatur proporsi petugas yang
mengerjakan suatu tugas yang sekiranya dilihat lebih perlu banyak bantuan.
Kedepannya harus dapat diukur load kerja dari setiap posisi di dapur sehingga
dapat dibandingkan dengan besarnya skala outlet.
4. Search function and reissue for lost order sheet
Dikarenakan sistem PMS tidaklah mengeluarkan cetakan order sheets, maka
perlu ada sebuah fungsi yang dapat mencari order sheets yang sempat
menghilang dan dapat dicetak keluar untuk mengkonfirmasikan menu kepada
pelanggan atau kepada bagian kasir.
2.12. Data Warehouse
Data warehouse adalah sekumpulan database yang berorientasi pada
sekumpulan dimensi dari berbagai subyek yang terintegrasi, berdasarkan waktu, data
yang terkumpul bersifat read, yang mengandung data operasional dan lainnya yang
digunakan untuk menganalisis dan mendukung proses pengambilan keputusan (Turban
dan Liang, 2007, p.209). Menurut Mutaz, M (2011) yang mengutip dari Ang dan Teo
(2000) karakteristik data warehouse itu sendiri adalah:
a. Subject Oriented; maksudnya adalah bahwa data warehouse dirancang untuk
menganalisa data berdasarkan subyek tertentu di dalam organisasi bukan pada
36
proses maupun fungsi aplikasi tertentu. Data warehouse berfungsi untuk
menyimpan data yang dapat digunakan sebagai pendukung keputusan.
b. Integrated; maksudnya adalah bahwa data disimpan dalam sebuah media yang
sama dari berbagai sumber data yang saling terintegrasi. Integrasi harus
dilakukan dengan penamaan variabel data, ukuran, struktur kode dan atribut
yang konsisten.
c. Time Variant; maksudnya adalah bahwa data yang disimpan dalam data
warehouse dalam rentang waktu tertentu (5-10 tahun) haruslah dapat tetap
akurat. Hal ini dapat dilakukan dengan menyajikan data warehouse dengan
menggunakan perbedaan waktu yang disajikan melalui beberapa snapshot
(tampilan dari sebagian data sesuai keinginan pengguna dari seluruh data yang
bersifat read-only).
d. Non-volatile; maksudnya adalah bahwa data yang disimpan pada data
warehouse tidak dapat diperbarui secara real time tetapi di refresh dari database
yang digunakan oleh sistem operasi secara berkala.
Data warehouse memiliki arsitektur dengan komponen utama yaitu database yang read-
only, dimana komponen-komponen utamanya adalah :
a. Data Sources adalah sumber data dari berbagai macam sumber database
operasional, yang biasanya merupakan database OLTP (Online Transaction
Processing). Kemudian sumber data ini digabungkan dengan berbagai macam
sumber data eksternal dari berbagai macam aplikasi yang ada. Selanjutnya ETL
(Extraction Transform Load) akan menggabungkan dan menterjemahkan ke
37
dalam sebuah struktur database yang sama dengan pengelompokkan berdasarkan
subyek-subyek yang diinginkan oleh pengguna.
b. Data Marts adalah bagian dari data warehouse biasanya terdiri dari area subyek
tunggal (misal: pemasaran, operasi) yang bisa dependen maupun independen.
Dependent data mart merupakan bagian yang berhubungan langsung dengan
data warehouse dengan menggunakan model data yang konsisten dan
memberikan data berkualitas. Independent data mart adalah bagian data yang
dirancang untuk unit bisnis strategis tapi bukan sumber data warehouse.
c. Tools adalah bagian front-end yang bersentuhan langsung dengan pengguna data
warehouse. Dimana data warehouse ini haruslah memiliki kemampuan untuk
menyajikan laporan, hasil analisa dan data mining sehingga dapat digunakan
oleh pengguna dalam mengambil keputusan.
Gambar 2.12.1 Arsitektur Data Warehouse
(Ahmad et al,2004)
38
2.13. Business Intelligence
Sesungguhnya Data warehouse adalah sebuah model database yang berguna
untuk menyimpan dan memproses data dengan pendekatan pada kegunaan data dalam
pengambilan keputusan, sehingga mampu menjadi backbone bagi Business Intelligence.
Business Intelligence membutuhkan data warehouse agar dapat menjalankan kerjanya
dengan baik dan sesungguhnya data warehouse sendiri dibangun untuk kebutuhan
Business Intelligence. Menurut Turban dan Liang (2007,p.24) menyatakan Business
Intelligence adalah kombinasi arsitektur, tool, database, analytical tool, aplikasi dan
metodologi dengan tujuan untuk pengguna mendapatkan akses yang interaktif pada
data, kemudian menggunakan data, dan memberikan kemampuan untuk melakukan
analisis yang tepat.
Menurut Turban dan Liang (2007,p.28), manfaat utama dari BI adalah
menyediakan informasi yang akurat ketika dibutuhkan, hal ini mencakup pandangan
perusahaan, waktu dan informasi perbagian. Berdasarkan beberapa survey maka
manfaat BI mencakup:
1. Pelaporan yang lebih cepat dan akurat.
2. Pelaporan yang lebih dinamis dan dapat dikombinasikan dengan data pendukung
3. Informasi yang ditampilkan di dashboard dapat membantu mengambil
keputusan.
Kebanyakan manfaat Business Intelligence bersifat intangible. Rata-rata
penggunaan aplikasi umum Business Intelligence adalah untuk pelaporan umum,
penjualan dan analisis pasar, perencanaan, perkiraan, konsolidasi keuangan, pelaporan
status, penganggaran, analisis profitabilitas.
39
2.14 Evaluation for IT Function
Menurut Remenyi (2007, p182), Evaluation for IT function merupakan analisis
yang ditujukan untuk mengukur sistem informasi melalui persepsi kepuasan pengguna.
Instrumen ini digunakan oleh banyak perusahaan utk sektor –sektor berbeda pula.
2.15 Study Value for Money
Menurut Remenyi (2007, p233), memiliki tujuan untuk menetapkan apakah
departemen SI/TI telah berfungsi dengan efisien, dan apakah dana yang telah
dikeluarkan di departemen tersebut sesuai dengan layanan (service) yang didapatkan.
Beberapa hal yang menjadi pertanyaan di dalam studi ini adalah:
a. Apakah manajemen telah melakukan investasi terbesarnya di departemen
SI/TI?
b. Apakah organisasi mendapatkan layanan (service) yang sama baiknya
dengan harga yang lebih rendah?
c. Apakah manajemen departemen SI/TI memberikan kemajuan signifikan
terhadap perubahan, membantu organisasi mendapatkan layanan (service)
yang lebih baik?
d. Improvement (perbaikan) apa saja yang dapat dilakukan untuk menghemat
biaya secara umum?
Hasil yang diharapkan dapat dihasilkan dari studi value for money adalah
sebagai berikut:
a. Laporan yang menjelaskan secara objektif kekuatan dan kelemahan
departemen SI/TI.
40
b. Ide yang lebih baik tentang bagaimana menggunakan sumber daya manusia,
anggaran yang ada di departemen SI/TI.
c. Manajemen departemen SI yang lebih termotivasi, dampak dari keterlibatan
di dalam studi ini yaitu menyangkut penilaian pekerjaan mereka dan rekan-
rekan mereka.
d. Tim manajemen tingkat atas yang lebih mengerti akan tantangan yang
dihadapi oleh departemen SI/TI mereka.
4 (empat) pertanyaan yang menyertai penentuan tujuan studi value for money:
a. Apakah departemen SI/TI menghasilkan value for money?
b. Apakah permintaan sumber daya manusia untuk departemen SI masuk di
akal?
c. Apa saja peluang yang ada untuk mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi
dan efektivitas.
d. Hal-hal apa saja yang dilakukan dengan sangat baik oleh departemen SI/TI
dan bagaimana hal tersebut dapat ditingkatkan?
2.16 Agile Development
Menurut Satzinger, W.J., Jackson, B.R., Burd, D.S (2012,p414-420), metode
Agile merupakan salah satu metode pengembangan sistem informasi. Beberapa turunan
metodenya adalah Unified Process, Xtreme Programming, Scrum. Sedangkan menurut
Eckfeldt (2004) mensejajarkan rancangan strategis SI/TI di sebuah industri restoran
dengan metode pengembangan sistem informasi yang sesuai dapat dilakukan dengan
metode pengembangan sistem informasi Agile Development XP.