200620070144511

Upload: lidya-sinedu

Post on 06-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pdf

TRANSCRIPT

  • LAPORAN PENDAHULUAN

    PENATAAN SISTEM PENGATURAN TATALAKSANA PERIJINAN BIDANG PEREKONOMIAN

    Penyusun:

    Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof. Irfan Ridwan Maksum, Dr, M.Si

    Epakartika, S.Pi, M.Si Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc

    KERJASAMA ANTARA

    KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN

    PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI

    DAFTAR ISI

    I.

    Kondisi Objektif Perizinan Di Indonesia

    1

    II.

    Kajian Best Practices

    18

    III.

    Arah Pertumbuhan Reformasi Penyederhanaan Perizinan

    33

    IV.

    Perubahan Sistem Perizinan

    65

    Referensi

    72

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 1

    BAB I

    KONDISI OBJEKTIF PERIZINAN DI INDONESIA A. PERIZINAN, IKLIM INVESTASI DAN PERSAINGAN GLOBAL Kurang kondusifnya lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama dan sektor manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi ke-34. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina (urutan ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management Development (IMD) yang juga menerbitkan World Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Dari sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003. Peringkat Indonesia hanya berada diatas Argentina (59) dan Venezuela (60). Dalam pengamatan lembaga ini, posisi Filipina relatif lebih baik (yaitu pada urutan ke-52), walaupun peringkatnya juga terus mengalami penurunan dari posisinya di urutan ke-35 pada tahun 2000. Terpuruknya daya saing tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolak ukur WEF, diidentifikasi 5 (lima) faktor penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor, yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat. Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya, (c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 2

    tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89. Penelaahan terhadap tingginya kedua pos pembiayaan di atas permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, antara lain yaitu permasalahan KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8.7 persen - 11.2 persen. Permasalahan yang perlu mendapat sorotan khusus, adalah terkait dengan kebijakan dan kelembagaan pemerintah. Dalam hal peningkatan daya saing melalui peningkatan investasi, kelembagan dan kebijakan pemerintah tersebut sangat menentukan kondisi iklim investasi yang menjadi salah satu kunci dalam kelangsungan dan keberlanjutan investasi. Dalam tahun 1999 sampai 2004, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh sebesar 1,3% per tahun, jauh dibawah rata-rata tahun 1991-1996 yang rata-rata tumbuh 10,6% per tahun. Dengan lambatnya pembentukan investasi, maka proporsi investasi terhadap Produk Domestik Bruto, menurun dari 29,6% pada tahun 1997 menjadi 19,7% pada tahun 2003. Laju pertumbuhan yang demikian melambat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Indonesia menghadapi tantangan eksternal yang sangat marginal, sebagai pengaruh dari kebijakan ekonomi dunia, persaingan pengaruh kekuasaan politik antar negara, rendahnya rasa aman terhadap kondisi dalam negeri dan demokratisasi serta rendahnya kepercayaan dalam tata hubungan antar negara, menjadi penentu dalam pertumbuhan investasi usaha. Kedua, untuk merespon tantangan eksternal yang terus berkembang dinamis, cepat dan penuh dengan ketidakpastian maka Indonesia harus bergerak searah dengan perubahan tersebut dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian secara mendasar dengan penuh rasionalitas. Beberapa faktor yang mendorong buruknya situasi iklim investasi antara lain adalah akibat adanya proses perizinan yang panjang dan mahal. Studi bank dunia di tahun 2004 menunjukkan hal tersebut dimana jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, maka biaya administrasi berinvestasi di Indonesia adalah yang paling mahal. Belum lagi permasalahan seperti rendahnya kepastian hukum, mis-manajemen pengelolaan administrasi publik hingga masalah lemahnya sumberdaya manusia dan terbatasnya infrastruktur. Membangun iklim investasi yang sehat dan kondusif bukanlah persoalan mudah. Sebab iklim investasi merupakan suatu kumpulan faktor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi perusahaan untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan mengembangkan diri. Kebijakan dan perilaku pemerintah

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 3

    memiliki suatu pengaruh yang besar melalui dampaknya terhadap biaya, risiko dan pembatasan persaingan. Suatu iklim investasi yang baik tidak hanya berkaitan dengan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Akan tetapi iklim investasi yang baik berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat. Banyak jenis biaya dan resiko yang sudah selayaknya ditanggung oleh perusahaan. Pengurangan pembatasan bagi persaingan akan memperluas kesempatan memacu inovasi, dan menjamin bahwa manfaat peningkatan produktivitas akan dibagi bersama antara para pekerja dan konsumen. Disamping itu, iklim investasi yang baik adalah iklim investasi yang memberikan manfaat bagi siapapun dalam dua dimensi. Pertama, iklim investasi tersebut akan memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya perusahaan termasuk melalui dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja, penurunan tingkat harga dan perluasan sumber pajak. Kedua, iklim investasi yang baik akan menguntungkan seluruh perusahaan, tidak hanya perusahaan besar atau yang berpengaruh saja. Pemerintah mempengaruhi faktor penentu iklim investasi melalui suatu kombinasi dari kebijakan-kebijakan formal dalam bidang-bidang tertentu seperti stabilitas dan keamanan, peraturan dan perpajakan, pendanaan dan infrastruktur, pekerja dan pasar tenaga kerja serta aspek-aspek pemerintahan yang lebih luas. Hal yang terakhir meliputi pengendalian usaha pencarian rente, kredibilitas, kepercayaan publik dan legitimasi serta kesesuaian institusional. Pengendalian usaha pencarian rente yang lemah dapat mempengaruhi baik isi maupun penerapan kebijakan formal. Kredibilitas yang lemah dapat meruntuhkan dampak dari setiap kebijakan formal. Keprihatinan mengenai kepercayaan publik dan legitimasi dapat menghambat implementasi perubahan dan melemahkan keberlanjutan (dan karenanya kredibilitas) kebijakan. Intervensi terhadap kebijakan yang tidak disesuaikan dengan baik terhadap kondisi lokal dapat pula memberikan hasil yang buruk atau bahkan berlawanan dengan yang diharapkan. Penanganan keempat sumber kegagalan kebijakan tersebut merupakan hal yang mendasar dalam upaya-upaya untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik, pemerintah dihadapkan pada persoalan bagaimana menghadapi tantangan mendasar serta bagaimana membangun hal-hal yang menjadi faktor kunci keberhasilan untuk menghadapi tantangan tersebut. Tantangan yang bersifat mendasar dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik berhubungan dengan menghadapi tekanan preferensi perusahaan atau kepentingan publik, usaha pencarian rente, kredibilitas pelaku usaha dan pemerintah, kepercayaan dan legitimasi publik, respon kebijakan dan institusi yang berkenaan. Sementara hal-hal mendasar yang harus segera dibangun terutama berkenaan dengan stabilitas dan kepastian hak, peraturan dan perpajakan, pendanaan dan infrastruktur, pekerja dan pasar tenaga kerja. Disamping tantangan mendasar tersebut, juga terdapat hal-hal lain yang perlu mendapat perhatian khusus seperti intervensi secara selektif terhadap sektor perekonomian dan penggunaan aturan-aturan dan standar-standar internasional. Dibeberapa negara, pihak pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya untuk menarik modal asing untuk masuk ke dalam negaranya. Berbagai hal sebelumnya dikeluhkan oleh pelaku usaha dicoba untuk dibenahi, bahkan secara revolusioner.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 4

    Penyederhanaan prosedur, pengurangan biaya hingga insentif-insentif khusus menjadi instrumen pilihan dalam mendorong arus masuk invstasi. Tidak ketinggalan negara-negara di dunia ketiga melakukan serangkaian reformasi yang bahkan juga mendapat dukungan penuh dari lembaga-lembaga internasional. Hasilnya, banyak negara yang sebelumnya tidak masuk kedalam daftar lokasi tujuan investasi, justru menjadi sasaran baru relokasi industri yang sebelumnya telah berlangsung lama di beberapa negara. Misalnya Vietnam, setelah terjadi krisis ekonomi yang diikuti oleh krisis multidimensi di Indonesia maka negara tersebut seperti mendapatkan keuntungan dengan berelokasinya pabrik beberapa perusahaan multinasional ke negara tersebut yang sebelumnya sudah sangat lama beroperasi di Indonesia.

    Kotak 1.: Memudahkan persyaratan-persyaratan pendaftaran usaha di Vietnam dan Uganda Biaya pendaftaran usaha yang tinggi akan menghambat perusahaan-peusahaan untuk memasuki perekonomian yang formal. Vietnam dan Uganda mengilustrasikan keberhasilan strategi-strategi untuk mengurangi biaya-biaya ini. Vietnam Sebelum suatu Badan Usaha hukum yang baru ditetapkan pada bulan Januari tahun 2000, persyaratan-persyaratan pendaftaran usaha dan perizinan sangatlah memberatkan di Vietnam. Para wirausahawan diharuskan untuk mengajukan rencana-rencana usaha yang rinci, CV, referensi karakter, sertifikat kesehatan, dan dokumen-dokumen lainnya bersama dengan permohonan untuk pendaftaran. Secara rata-rata, pendaftaran usaha memakan waktu selama tiga bulan, dan mambutuhkan 10 kunjungan ke berbagai instansi serta pengajuan 20 dokumen dengan cap segel resmi. Izin-izin tambahan sering kali diperlukan sebelum perusahaan-perusahaan dapat memulai operasinya. Sebagian dari perizinan ini tampaknya tidak ditujukan bagi kepentingan-kepentingan publik yang vital (seperti izin untuk mengoperasikan mesin foto kopi). Membutuhkan waktu selama 6 sampai 12 bulan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan legal dalam pendirian suatu usaha dengan biaya sekitar $700 sampai $1400. Hukum yang baru mengurangi biaya-biaya untuk mendirikan usaha baru. Jangka waktu pendirian dapat berkurang hingga sekitar dua bulan-dengan pendaftaran memakan waktu hanya 15 hari-dan biaya pendirian total yang berkurang sampai $350. Para wirausahawan Vietnam meresponnya. Sekitar 6.000 badan usaha baru telah didaftarkan pada tahun 1999, akan tetapi jumlahnya meningkat pesat mencapai lebih dari 14.000 pada tahun 2000 dan lebih dari 21.000 baik pada tahun 2001 maupun pada tahun 2002. Uganda Suatu program perintis yang baru dijalankan di Entebbe telah mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mendaftarkan suatu usaha. Dengan merampingkan proses-proses perizinan serta mengurangi jumlah persetujuan dan penilaian yang sebelumnya dibutuhkan, maka waktu yang dibutuhkan untuk mendaftarkan suatu usaha telah berkurang dari 2 hari menjadi sekitar 30 menit. Hal ini mengurangi biaya pendaftaran sekitar 75%. Meskipun pendaftaran usaha hanya merupakan satu dari beberapa tahapan untuk memulai usaha-usaha di Uganda (usaha harus didaftarkan untuk tujuan-tujuan perpajakan dan banyak usaha yang mambutuhkan perizinan-perizinan tambahan), namun biaya ini dapat bersifat signifikan oleh karena untuk sebagian usaha proses pendaftaran ini harus diulang setiap tahunnya. Program perintis ini meningkatkan jumlah pendaftaran usaha, dengan perkiraan empat kali lipat dari pendaftaran usaha di Entebbe untuk tahun setelah tahun dimulainya program perintis tersebut. Meskipun biaya pungutan registrasi yang diterapkan lebih rendah jumlah pendaftaran yang lebih tinggi berarti bahwa penerimaan pendapatan meningkat sebesar 40%. dengan penghematan admistratif sebesar 25% dalam selang waktu kerja staf dan 10% dalam penggunaan sumber-sumber keuangan, maka program tersebut juga memberikan manfaatnya kepada otoritas kotamadya. Sumber: World Development Report 2005. Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Semua Orang. Bank Dunia, hal. 186

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 5

    Dengan situasi yang demikian, Indonesia ditengah-tengah kepungan globalisasi menghadapi dua pilihan, melakukan perubahan secara fundamental atau semakin terperosok ke dalam posisi yang semakin sulit. Dimensi yang sangat luas dalam pembenahan posisi daya saing dan daya tarik Indonesia diantara negara-negara lain, merupakan persoalan yang multisektor dengan melibatkan multipihak. Tentunya, mengandalkan kemampuan pemerintah semata bukanlah pilihan yang bijaksana, mengingat pemerintah juga memiliki sangat banyak keterbatasan. Akan tetapi menempatkan pemerintah sebagai agen utama pembaharuan menuju daya saing yang kuat, sudah sepantasnya karena memang disitulah peran pemerintah. Sehingga reformasi terhadap regulasi pemerintah merupakan salah satu langkah tepat yang bisa menjadi pilihan. Memulai dari perbaikan prosedur perizinan, bisa jadi akan membuka pintu terciptanya iklim investasi yang akan membentuk daya tarik yang kuat bagi pelaku usaha dari manapun untuk memilih Indonesia sebagai sasaran berinvestasi. Reformasi perizinan sebagai salah satu bagian dari reformasi regulasi memiliki tujuan fundamental yakni meningkatkan efisiensi perekonomian nasional dan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mengadopsi perubahan demi peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks daya saing sektor perekonomian, reformasi regulasi memiliki tujuan utama yang sangat terkait dengan bagaimana menciptakan iklim usaha yang sehat bagi perkembangan sektor perekonomian. Dengan demikian, reformasi regulasi di sektor ini, akan sangat terkait dengan reformasi regulasi yang berkaitan secara langsung dengan aktivitas pelaku usaha sejak mulai pra operasi hingga masa pasca operasi. Sebagai bagian dari proses masa pra operasi yang menjadi legitimasi aktivitas usaha di mata negara maka sangat jelas jika aspek perizinan merupakan hal yang sangat penting. Salah satu langkah nyata reformasi disektor perizinan adalah dengan melakukan pembenahan pada institusi-institusi yang sebelumnya memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan perizinan. Reformasi kelembagaan tersebut, bukan hanya dengan melakukan pembenahan internal terhadap lembaga yang sebelumnya terbangun, akan tetapi juga dengan melakukan terobosan-terobosan pada posisi lembaga itu sendiri. Bentuk nyatanya antara lain dengan diperkenalkannya sistem pelayanan satu atap/instansi sebagai jawaban atas kelambanan prosedur selama ini akibat terlampau banyaknya meja birokrasi yang harus dilalui ketika mengurus sebuah perizinan. Pengenalan sistem pelayanan satu atap ini, merupakan rekomendasi yang secara luas disebarkan oleh lembaga-lembaga asing kepada negara open economy di dunia. Akan tetapi, interpretasi terhadap konsep kelembagaan tersebut sangat bervariasi tergantung pada level mana pemerintah setempat memaknai arti penyederhanaan prosedur.

    Kotak 2.: Pelayanan satu instansi-atau satu instansi pelayanan lagi? Di banyak Negara, perusahaan-perusahaan harus memperoleh peretujuan dari berbagai instansi yang berbeda-beda sebelum mereka dapat memulai usahanya: satu persetujuan untuk pendaftaran usaha, persetujuan yang lain untuk pendaftaran pajak, pendaftaran perizinan lingkungan, persetujuan kesehatan dan keselamatan, dan seterusnya. Untuk mengurangi beban ini pemerintah telah membentuk suatu pelayanan satu instansi (one-stop shops) dimana perusahaan-perusahaan dapat memperoleh seluruh

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 6

    informasi dan melengkapi seluruh prosedur regulatif yang diperlukan untuk memulai suatu usaha dalam suatu area kewenangan tertentu. Salah satu pendekatan adalah untuk memberikan suatu instansi tunggal kewenangan untuk mengeluarkan seluruh lisensi, perizinan, dan persetujuan yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan baru untuk memulai usahanya. Praktiknya merupakan hal yang sulit. Kementrian dan instansi-instansi lain sering kali menolak untuk menyerahkan kewenangan mereka kepada lembaga yang baru tersebut. Terlebih lagi, dalam kerangka pemikiran bahwa persetujuan-persetujuan merupakan suatu respon terhadap suatu kekhawatiran atas kebijakan yang valid, maka pelayanan perizinan oleh satu instansi harus melakukan duplikasi terhadap keahlian dan fasilitas pada suatu bagian tertentu dalam pemerintahan. Tentu saja apabila persetujuan-persetujuan yang diberikan tidak memenuhi tujuan-tujuan kabijakan yang valid tersebut, maka prosedur terkait dapat saja dihilangkan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, sebagian besar pelayanan terpadu dalam satu instansi tersebut memiliki mandat yang lebih terbatas, dengan kewenangan untuk memberikan sebagian dari persetujuan tersebut dan memberikan bimbingan atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan-persetujuan yang lain.Untuk persetujuan-persetujuan yang masih menjadi kewenangan instansi-instansi lainnya, maka instansi pelayanan terpadu tersebut dapat menampung para staf dari instansi-instansi yang bersangkutan atau cukup dengan meneruskan pengajuan yang diterimanya ke instansi-instansi yang terkait. Walaupun para staf dari instansi-instansi lainnya yang bertugas pada instansi pelayanan terpadu tersebut tidak dapat mengeluarkan persetujuan secara tersendiri, setidaknya mereka dapat memfasilitasi proses-proses pemberian persetujuan yang dimaksud. Pusat Investasi Tanzania (Tanzania Investment Center) mempunyai sembilan orang pejabat senior dari kementrian-kementrian lainnya, dan umumnya dapat menyelesaikan satu proses aplikasi dalam waktu beberapa hari. Cepatnya waktu penanganan tersebut sebagian disebabkan oleh suatu provisi tidak terdapat penolakan yang tertulis dalam peraturan investasiapabila dalam jangka waktu 14 hari suatu instansi tidak menyampaikan penolakannya maka Pusat Instansi tersebut dapat memberikan persetujuannya terhadap aplikasi yang ada. Pendekatan ini tidak akan begitu berhasil apabila batas kewenangan yang ada tidak digariskan dengan jelas. Setelah pendiriannya pada tahun 1987, Pusat Pelayanan satu Atap di Filipina (One-Stop Service Center) menampung perwakilan-perwakilan dari tujuh instansi yang bertanggung jawab atas pemberian informasi kepada para pemohon dan menangani sebagian dari aplikasi yang ada. Ketiadaan representasi instansi yang efektifserta perilaku sebagian instansi yang tidak memberikan laporannya kepada Pusat Pelayanan tersebut mengakibatkan hasil yang mengecewakan, yang mengharuskan pihak pemerintah untuk melakukan reorganisasi Pusat Pelayanan tersebut pada akhir tahun 1990-an. Pada saat instansi-instansi yang ada tidak memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan yang dibutuhkan, maka merupakan suatu hal yang penting bahwa setidaknya mereka masih memberikan tambahan nilai pada proses perizinan tersebut dan tidak hanya memjadi beban regulatif tambahan. Di Thailand, Pusat Pelayanan Investasi (Investment Service Center) dapat mengeluarkan perizinan bagi badan-badan usaha untuk aktivitas-aktivitas yang bersifat nonpolusi, akan tatapi pabrik-pabrik tetap harus mandapatkan izin dari Kementrian Industri (Ministry of Industry) sebelum dapat memulai kegiatan sebenarnya. Untuk menghindari keterlambatan-keterlambatan selanjutnya dalam proses tersebut, banyak perusahaan yang memilih untuk mendapatkan perizinan yang dibutuhkan secara langsung dari kementrian terkait sejak dari tahap awal. Pelayanan terpadu pada suatu instansi dengan mandat yang lebih terbatas kadang kala dapat mempercepat proses-proses untuk memperoleh persetujuan-persetujuan tertentu. Sebagai contoh, dengan berganti dari sistem audit ke sistem pasca verifikasi, maka Pusat Pelayanan Satu Atap untuk Visa dan Izin Kerja di Thailand telah mengurangi waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan asing untuk mendapatkan visa bagi para tenaga kerja asing dari 45 hari menjadi hanya 3 jam. Sumber: World Development Report 2005. Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Setiap Orang. Bank Dunia, hal. 187

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 7

    B. DESENTRALISASI DAN DAMPAKNYA BAGI PERIZINAN Sejalan dengan desentralisasi kewenangan maka porsi partisipasi pemda dalam membangun daerahnya menjadi besar. Yang berarti bahwa tuntutan terhadap daerah menjadi besar dalam memenuhi kebutuhan pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Fakta yang terjadi bahwa sejak otonomi daerah dilakukan, praktis tidak membawa perubahan yang besar bagi kondisi makro ekonomi regional. Bahkan di beberapa daerah cenderung tumbuh lebih lambat dibandingkan perekonomian nasional pun kesenjangan antar daerah semakin terlihat. Sementara di satu sisi, pembagian kewenangan dan tanggung jawab penganggaran yang lebih besar tidak paralel dengan keberhasilan daerah dalam menstimulasi perekonomian daerah. Kenyataan yang terjadi adalah kadangkala daerah terlalu bersemangat untuk meningkatkan PAD nya dengan membabi buta tampa memperdulikan aspek yang kontradiktif yang muncul karena tindakan tersebut. Daerah berusaha mengoptimalkan potensi penerimaannya dengan menggali sumber-sumber baru. Celakanya, sumber-sumber baru tersebut sebagian besarnya diharapkan bersumber dari aktivitas usaha, terutama aktivitas usaha yang sedianya baru akan muncul di daerah tersebut. Mekanisme yang digunakan untuk mendapatkan retribusi dari pelaku usaha yang baru, biasanya dibuat dalam bentuk retribusi perizinan. Dalam berbagai format, daerah memunculkan aturan baru atau bahkan istilah baru demi mendapatkan pemasukan. Situasi yang demikian, pada dasarnya muncul akibat adanya penafsiran yang salah dari esensi desentralisasi oleh pemerintah daerah setempat. Desentralisasi yang sejatinya merupakan instrumen untuk mendekatkan pelayanan dengan masyarakat justru diterjemahkan secara salah sehingga membuat kedekatan tersebut menjadi tidak sehat. Dalam konteks perizinan, seharusnya dengan desentralisasi maka prosedur perizinan menjadi mudah dan murah akan tetapi prosedur justru menjadi semakin sulit dan mahal. Dalam pada itu, bisa jadi perizinan diartikan terlalu dominan pada fungsi budgetering-nya. Memang pada dasarnya sah-sah saja jika dari perizinan akan diharapkan memberikan kontribusi yang positif bagi penerimaan daerah. Minimal, proses perizinan tersebut akan membiayai dirinya sendiri (self fund) dan tidak menjadi beban anggaran daerah yang sudah dari sananya terbatas. Akan tetapi, mengedepankan fungsi budgetering semata-mata sebagai fungsi dari perizinan sudah pasti merupakan penafsiran yang keliru. Sebab, perizinan pada dasarnya memiliki fungsi lain yang jutru sangat mendasar yakni menjadi instrumen pembangunan. Dalam fungsi tersebut, perizinan akan berperan sebagai suatu bentuk rekayasa kebijakan yang berperan dalam setiap siklus pembangunan yakni sejak perencanaan hingga ke pengawasan dan evaluasi. Dalam proses perencanaan, perizinan akan menjadi salah satu variabel kebijakan yang dapat memaksa pelaku usaha untuk bekerja sesuai dengan target yang ingin dicapai dalam pembangunan nasional/daerah. Dengan demikian, pemberian izin tidak lepas dari kepentingan

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 8

    pembangunan secara luas dengan berbagai persyaratan sebagai indikator tujuannya. Dalam proses pembangunan, perizinan akan menjadi legitimasi keterlibatan pihak pemilik izin dalam aktivitas pembangunan, dalam porsi yang menjadi lingkup dalam izinnya. Dalam proses pengawasan, sangat jelas bahwa dengan dikeluarkannya perizinan maka telah terjadi kontrak antara pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan izin dan pelaku usaha yang memperoleh izin untuk melakukan tindakan/prestasi tertentu sesuai dengan lingkup yang telah diperjanjikan sebelumnya. Walaupun kontrak tersebut dalam implementasinya bersifat asimetris dalam artian posisi pemerintah terkadang ditempatkan sangat superior, namun perizinan tetap bisa menjadi instrumen yang efektif dalam pengawasan. Begitu pun dalam proses evaluasi, izin dapat menjadi objek penerapan sanksi. Sangat lumrah di suatu negara/daerah atau dalam suatu aturan perundang-undangan yang menjadikan pencabutan izin sebagai salah satu bentuk pemberian sanksi. Secara umum, perizinan juga memiliki fungsi pembinaan. Dalam artian bahwa, dengan diberikannya izin oleh pemerintah, maka pelaku usaha sudah diakui sebagai pihak yang memiliki kompetensi untuk melakukan praktek usaha. Dan karenanya, sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan pembinaan bagi pelaku usaha, maka pemerintah akan memiliki tanggung jawab pada pelaku usaha yang sebelumnya sudah memperoleh izin.

    Kotak 3.: Retribusi dan Perizinan Usaha Kecil di Era Desentralisasi

    Izin dan biaya retribusi khususnya mempersulit dan mengganggu kegiatan usaha kecil. Formalisasi bisnis memerlukan banyak izin, tapi hanya sedikit yang diperlukan untuk alasan kepentingan publik. Proses perizinan terlalu berbelit-belit dan memerlukan dokumen serta persetujuan yang tidak perlu. Penetapan biaya tidak transparan, kurang rasionalitas dan sangat sulit. Seringkali, surat izin dari dari satu badan tumpang tindih dengan izin dari badan yang lain tapi diberlakukan untuk usaha yang sama. Lebih lagi, perizinan sering melarang perluasan usaha kecil ke kabupaten tetangga, karena izin baru (dan oleh karenanya hubungan dengan aparat setempat) harus diminta lagi. BIGS (2002) mencatat bahwa aparat setempat biasanya bertahan tidak berusaha menyederhanakan proses perizinan. Hanya 20% izin di area survey yang dikeluarkan dengan layanan satu atap. Lebih lagi tidak ada usaha untuk mendesentralisasikan wewenang perizinan kepada tingkat yang lebih rendah, dan di beberapa kasus yang lebih diposisikan secara layak, badan-badan seperti desa dan kantor camat (yang perannya terbatas mengeluarkan surat rekomendasi kepada badan yang lebih tinggi). BIGS (2002) juga mencatat bahwa ada kekurangan kompetensi dari aparat yang mengeluarkan perizinan. Masalah ini menjadi sangat serius saat aparat harus mengerti masalah-masalah teknis, seperti dampak lingkungan dari suatu proyek, atau dampak pasar (dan lainnya) dari dikeluarkannya surat izin/permit dalam jumlah besar. Hal ini juga menghidari koordinasi yang lebih diperlukan dengan badan-badan lainnya, termasuk mereka yang berasal dari pemerintah daerah tetangga (ini khususnya penting saat mengkoordinasikan transportasi publik di Jawa Barat dan Jakarta). Survey REDI (2002) melaporkan bahwa di bawah sistim desentralisasi, lingkungan usaha perizinan paling tidak sama. Muncul peningkatan dalam waktu pembuatan dan dalam hal prosedur dan transparansi biaya. Akan tetapi, peningkatan ini dikenai biaya perizinan yang tinggi karena pemda berniat menaikkan pendapatan asli daerahnya, melalui pengenaan biaya retribusi izin diluar yang diperlukan untuk cost-recovery. Satu poin yang menonjol yang terdapat dalam survey REDI adalah bahwa hampir separuh responden melaporkan bahwa mereka masih membayar fasilitas tidak resmi atau biaya perantara/komisi kepada petugas badan yang mengeluarkan perizinan. Sumber: David Ray, 2003, Desentralisasi, Reformasi Peraturan dan Iklim Usaha

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 9

    Permasalahan desentralisasi yang secara umum terjadi di Indonesia antara lain sangat berkenaan dengan pendelegasian kewenangan dan kesiapan pelaksanaannya. Dalam banyak hal, kewenangan yang dibagikan pada berbagai level pemerintahan selama ini tidak diikuti dengan pelaksanaan kewenangan tersebut secara efektif. Sangat banyak studi yang menyebutkan bahwa aparatur pelaksana di daerah tidak siap untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Ketidaksiapan aparatur tersebut sangat berkaitan dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimilikinya. Kapabilitas dan kompetensi yang dimaksud, dapat diterjemahkan dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dengan tidak dimilikinya pengetahuan, keahlian dan perilaku yang sesuai dan dibutuhkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Dalam hal pelaksanaan perizinan, lack of competencies sangat mudah untuk di jelaskan. Pertama, proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak hanya sebatas pada aspek legal dari proses perizinan akan tetapi lebih jauh dari aspek tersebut. Misalnya untuk memberikan izin, pihak pelaksana juga harus mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seseorang yang dapat memperkirakan dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari segi konsepsional maupun hal-hal teknis. Dalam beberapa kasus, sangat sering ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yang dimaksud. Alhasil, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak yang buruk di masa depan. Kedua, proses perizinan memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak hanya dalam mengikuti tata urutan prosedurnya akan tetapi hal-hal lain yang sangat mendukung kelancaran proses perizinan itu sendiri. Pengoptimalan penggunaan teknologi informasi, misalnya dianggap menjadi solusi yang sangat tepat untuk mengefisienkan prosedur perizinan. Sehingga, hampir disemua sektor perizinan dituntut untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak memiliki keahlian untuk mengoperasikan teknologi tersebut akan menjadi ganjalan. Aparat yang demikian, masih sangat banyak ditemui di lapangan. Ketiga, proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dengan pemberi izin. Dalam interaksi tersebut terkadang muncul perilaku yang menyimpang baik yang dilakukan oleh aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha. Sehingga, aparatur pelaksana perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Masih sangat sering dijumpai praktek-praktek yang tercela dalam proses perizinan seperti suap dan sebagainya. Disamping itu, masalah perilaku juga menjadi persoalan manakala prinsip good governance dituntut untuk dilakukan dalam pelayanan perizinan. Sebab, masih jarang ditemui aparatur pelayanan yang memiliki sikap profesionalisme dan mengedepankan prinsip customer relationship manakala berhubungan dengan pihak yang diberi layanan.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 10

    Kotak. 4: Desentralisasi di Sektor Pertambangan Umum

    UU Pokok Pertambangan No. 11 Tahun 1967 membagi bahan galian menjadi tiga golongan: 1) bahan galian golongan A atau strategis seperti migas, batubara dan timah; 2) bahan galian golongan B atau vital seperti emas, tembaga dan intan; dan c) bahan galian golongan C atau bukan strategis dan bukan pula vital seperti pasir, batu granit dan batu permata lainnya. Pengadministrasian bahan galian golongan C telah mengalami pendelegasian oleh pusat ke pemda (dalam hal ini kepada Gubernur terkait, yang selanjutnya membagi tugas pendelegasian ini dengan pemda tk II). Bahkan untuk bahan galian golongan B-pun, tidak tertutup kemungkinan untuk pendelegasian. Hanya yang terakhir ini jarang sekali terjadi karena sifat pendelegasiannya yang berdasarkan permohonan (Gubernur terkait mengajukan permohonan kepada pusat, dalam hal ini Menteri yang membidangi sektor pertambangan dengan alasan demi kepentingan pembangunan di daerahnya). Akan halnya dengan pengadministrasian bahan galian golongan C ini, dalam sejarahnya, telah mengalami kejanggalan. Pada zaman kolonial Belanda, bahan galian yang digolongkan kepada golongan C ini tidak diatur oleh UU Pertambangannya Indische Mjinwet 1899). Kewenangan bahan galian golongan C ini berada di tangan Gubernur. Jadi ketika Indonesia merdeka, bahan galian golongan C ini bukannya mengalami deregulasi tetapi sebaliknya mengalami regulasi. Yang justru dalam perjalanan pengadministrasiannya terjadi ekstra kehati-hatian pusat dalam pendelegasiannya. Pertama-tama, pendelegasiannya berdasarkan azas dekonsentrasi dimana pemda yang kerja atas biaya pusat, yang dirasakan kurang oleh pemda karena menginginkan pemberian power yang lebih besar. Hal tersebut baru menjadi kenyataan 20 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1986, ketika bahan galian golongan C didelegasikan pengadministrasiannya kepada Gubernur terkait atas dasar desentralisasi. Alasan yang sering dikemukakan atas lambannya pemberian otonomi bahan galian golongan C adalah alasan praktis seperti ketidaksiapan personel (termasuk personel untuk pengawasan compliance atau inspeksi tambang). Tetapi hal tersebut juga sebagai akibat kerancuan UU Pokok Pertambangan yang telah memasukkan bahan galian golongan C ini bersama-sama dengan bahan galian lainnya, dimana UU mengharuskan bahwa Menterilah yang bertanggung-jawab atas seluruh bahan galian, tidak hanya atas pengadministrasian tetapi juga atas pengawasan pengusahaan atau supervision. UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan UU Perimbangan Keuangan No. 25 Tahun 1999, yang diberlakukan pada 1 Januari 2001, adalah peraturan yang dikeluarkan sebagai pelaksanaan TAP MPR No. XV/MPR/1998 yang menetapkan pemberian otonomi kepada daerah, pemanfaatan kekayaan nasional secara adil, dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan. UU Otdanya sendiri mengatur pendesentralisasian bahan galian selain migas kepada pemda tingkat II terkait, kecuali mengenai policynya yang masih menjadi tanggung-jawab pusat untuk membuatkan formulanya. Karena hal ini tidak langsung diikuti dengan penggantian UU Pokok Pertambangan, maka sebelum ini telah muncul pertanyaan dapatkah UU Otda mengalahkan UU Pokok Pertambangan yang lebih tua usianya? Mengantisipasi hal ini MPR telah mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/2000 pada 18 Agustus 2000 yang khusus ditetapkan demi pelaksanaan otonomi daerah. Apabila tadinya sejak tahun 1986 hanya bahan galian golongan C yang didesentralisasikan ke pemda, itupun kepada pemda tk I (Gubernur) bukan kepada pemda tk II (Walikota/Bupati), maka dengan pemberlakuan UU Otda, bukan hanya bahan galian golongan B saja yang diminta untuk didesentralisasikan seperti halnya bahan galian golongan C, tetapi juga bahan galian golongan A (kecuali migas). Dan semua bahan galian tersebut didelegasikan bukannya kepada Gubernur tetapi kepada Walikota/Bupati. Jadi dapat dibayangkan bagaimana generousnya pendelegasian sekarang ini tetapi juga merupakan suatu perubahan yang sangat drastis. Jika sebelumnya bupati hanya diberi wewenang untuk mengelola SIPD bahan galian golongan C yang wilayah pengusahaan di bawah 25 hektar, tiba-tiba diberi power untuk mengelola tidak saja SIPD bahan galian golongan C untuk wilayah pengusahaan yang lebih luas tetapi juga mengelola pengusahaan bahan

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 11

    galian golongan B yang luasnya ribuan hektar (yang tadinya dalam bentuk KP yang diperoleh dari Menteri atau Dirjen). Tidak cukup itu saja, Bupati juga sekarang punya power untuk mengelola pengusahaan bahan galian golongan A selain migas, seperti KP batubara misalnya. Tidak heran jika banyak yang meragukan kesiapan para Bupati (termasuk Walikota). Terus terang masalah manajemen pengusahaan tambang tidak sekedar masalah pemberian izin pengusahaan saja. Masalah hukum bisa timbul di luar masalah perizinan, seperti overlapping dan ganti rugi. Pertikaian dapat saja melibatkan banyak pihak. Dapat terjadi pertikaian antara masyarakat, pemegang izin usaha, atau pemohon dengan penguasa. Atau antara pemegang izin usaha atau pemohon dengan pemegang izin usaha lainnya. Atau antara pemegang izin usaha atau pemohon dengan pemegang hak atas tanah. Atau bisa juga antara sesama pemohon. Tanpa menganggap kecil kemampuan dan pengetahuan kantor Bupati dalam menyelesaikan pertikaian-pertikaian, dapat dimengerti apabila ada keragu-raguan terhadap kapasitas kantor-kantor tersebut. Dan hal ini sangat penting untuk segera diantisipasi mengingat bahayanya apabila ada pihak yang nakal yang akan memanfaatkan loopholes. Sumber: Dr Sony Rospita Simanjuntak, Desentralisasi di Sektor Pertambangan Umum, http://www.minergynews.com/opinion/sony1.shtml

    C. KONDISI OBJEKTIF PERIZINAN DI INDONESIA 1. Kewajiban Untuk mengikuti kesepakatan dan standar internasional Kesepakatan dan standar internasional yang berkenaan dengan iklim usaha mengalami pertumbuhan secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir. Pengaturan-pengaturan internasional sangat jelas tujuannya yakni untuk membatasi hambatan yang muncul terkait transaksi internasional. Dalam berbagai tingkatannya, kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut baik yang bersifat bilateral maupun multilateral, memberikan warna tersendiri bagi regulasi domestik. Kesepakatan World Trade Organization (WTO) misalnya, dimana Indonesia terlibat aktif didalamnya menganut prinsip non diskriminasi melalui penerapan doktrin Most Favour Nation dan National Treatment. Kedua kesepakatan tersebut mengharuskan negara-negara WTO untuk memperlakukan secara adil suatu negara atau perusahaan dan bahkan produk dari negara tertentu. Dengan demikian, aspek perizinan dalam konteks yang demikian, tidak terlepas dari kewajiban untuk memperlakukan secara adil/setara dengan memberikan akses yang seimbang baik ke pelaku usaha domestik maupun ke perusahaan-perusahaan trans nasional. Sebab jika tidak menerapkan prinsip tersebut secara benar, maka akan terdapat sanksi-sanksi yang juga sedari awal telah disepakati secara bersama. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan internasional tersebut serta untuk menghindari adanya perbedaan persepsi perihal aspek-aspek yang menjadi kesepakatan, maka dalam beberapa sektor dibuat standar-standar internasional yang menjadi acuan teknis. Untuk mendorong terjadinya integrasi komunikasi global misalnya, maka lembaga-lembaga dunia seperti International Telecommunication Union menetapkan berbagai standar yang berkenaan dengan aspek teknis dan non teknis interkoneksi. Bahkan untuk mendorong konvergensi secara luas disektor teknologi informasi dan komunikasi, maka lembaga-lembaga di dunia menyusun pedoman yang menjadi acuan penerapan standar yang dapat diikuti secara internasional. Dengan demikian, arus perizinan sektor telekomunikasi pun tidak bisa mengabaikan hal tersebut. Sebut saja, pemberian lisensi operator

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 12

    telekomunikasi mewajibkan operator tersebut untuk memiliki kompabilitas teknis yang dapat memenuhi standar internasional sehingga operator tersebut bisa berkoneksi atau bahkan dapat berfungsi sebagai jaringan terminasi telekomunikasi dan informasi. Standar internasional yang memberikan aspek yang lebih khusus terhadap keberlanjutan daya dukung lingkungan dan perlindungan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang, terutama dapat ditemui pada sektor-sektor seperti industri manufaktur, kehutanan, pertambangan, pertanian dan kelautan. Kewajiban masyarakat internasional adalah menjaga daya dukung lingkungan hidup dengan menghindari kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, pemberian izin usaha di sektor-sektor tersebut mewajibkan adanya telaah terhadap dampak (eksternalitas) dari keberadaan suatu unit usaha. Di Indonesia, dokumen telaah tersebut biasa dikenal dengan dokumen AMDAL (analisa mengenai dampak lingkungan hidup). Aspek-aspek yang menjadi poin-poin dalam dokumen tersebut telah menjadi bahan diskusi komunitas internasional. Sehingga pemberian izin dengan memperhatikan ketentuan standar internasional terkait dengan aspek lingkungan hidup, sudah barang tentu menjadi kewajiban negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Selain memperhatikan standar-standar pelestarian lingkungan hidup, komunitas internasional juga menerapkan berbagai standar-standar dengan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan masyarakat, hak-hak asasi manusia, kesehatan, keselamatan dan hak-hak pekerja, kesetaraan gender, perlindungan anak dan lain sebagainya. Pemberiaan izin usaha yang menyalahi aturan internasional berkenaan dengan hal-hal tersebut akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Walapun sejauh ini, implementasi standar yang bekenaan dengan aspek tersebut masih sangat bervariatif, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip dasar yang tidak bisa dilanggar. Sehingga, sudah jelas jika perizinan di sektor perekonomian di Indonesia, tidak bisa mengabaikan begitu saja kesepakatan internasional tersebut. 2. Masalah Koordinasi Horizontal dan Vertikal Lembaga Pemerintahan Persoalan egosektoral, sudah sejak lama dikemukakan ke hadapan publik. Persoalan ini dilatarbelakangi oleh adanya perilaku yang mengkotak-kotakkan sebuah permasalahan yang berujung pada pembatasan lingkup pihak yang berkompeten. Cara pandang yang demikian sangat bersifat parsial dan membahayakan penyelesaian holistik dari sebuah permasalahan. Tidak terkecuali di bidang perizinan. Pola pikir parsialis masih sering ditemukan tidak hanya di tingkat daerah, bahkan juga ditingkat pusat. Bukti nyata dari perilaku yang berfikir sektoral dapat ditemukan dari berbagai produk perundang-undangan, yang biasa disebut dengan aturan sektoral. Permasalahan perizinan sektor pertambangan seringkali berbenturan dengan perizinan sektor kehutanan. Hal ini dikarenakan adanya pemberian konsesi pembukaan tambang di lingkungan hutan lindung, yang dibenarkan oleh sektor pertambangan akan tetapi disalahkan oleh sektor kehutanan. Celakanya, kekisruhan ini juga dipicu oleh aturan yang memiliki kedudukan hukum yang relatif tinggi yakni undang-undang. Oleh karena masing-masing sektor merasa memiliki pembenaran, maka terkadang permasalahan tersebut mengalami

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 13

    deadlock dalam penyelesaiannya. Jika hal demikian berlarut-larut terjadi, maka akan memberikan dampak ketidakkonsistenan regulasi yang akan menjadi preseden buruk bagi kredibilitas bangsa. Apalagi persoalan dikedua sektor tersebut seringkali melibatkan komunitas internasional karena investor yang berperan umumnya melibatkan pihak asing. Selain persoalan koordinasi antar sektor, masalah koordinasi juga terjadi secara vertikal yakni antar pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Contoh regulasi perizinan di sektor kehutanan yang digambarkan dalam tabel 1 berikut memperlihatkan hal tersebut. Betapa tidak, untuk komponen yang sama terjadi pengaturan yang berbeda-beda untuk setiap level pemerintah. Jika demikian, maka aturan yang mana yang dapat menjadi pegangan bagi masyarakat. Sebab satu sama lain aturan tersebut bukannya saling melengkapi, akan tetapi justru tidak harmonis dan bahkan bisa saling bertentangan. Ditengah-tengah persoalan koordinasi regulasi baik antar sektor maupun antar level pemerintahan, permasaahan koordinasi implementasi juga seringkali muncul. Keluhan pelaku usaha akibat lambannya perizinan yang harus diberikan persetujuannya oleh beberapa instansi, menjadi salah satu bukti kurangnya koordinasi. Masalah muncul ketika sebuah instansi yang harus mengeluarkan izin berdasarkan rekomendasi instansi lain tidak memenuhi batasan waktu yang ditetapkan, sehingga menimbulkan efek domino kelambanan perizinan. Dan yang paling menyedihkan adalah kelambanan tersebut seringkali muncul karena persoalan sepele seperti pejabat yang berwenang untuk melakukan persetujuan sedang tidak ada di tempat dalam beberapa waktu karena sedang sakit atau ada urusan keluarga, dan tidak ada pejabat lainnya yang dapat menggantikan tugas tersebut.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 14

    Tabel 1.: Analisis Kebijakan Sistem Alokasi Perizinan Pemuguntan Hasil Hutan Oleh Masyarakat di Kabupaten Manokwari

    Sumber: Max J. Tokede, Dede Wiliam, Sin McGrath, dan Yosias Gandhi, 2005, Decentralization Brief, No. 8, April

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 15

    3. Mekanisme Konvensional, Inefisiensi Prosedural dan Moral Hazard Berdasarkan tahapannya, proses berinvestasi di Indonesia dibagi kedalam tiga tahapan yakni tahapan inisiasi, tahapan formasi perusahaan dan tahapan izin usaha. Tahap inisiasi biasanya berupa pemberitahuan/permintaan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) perihal maksud dan tujuan investasi. Pada prinsipnya, pemberitahuan tentang diterimanya usulan ke BKPM adalah satu minggu. Sementara tahap formasi berupa proses legislasi dan registrasi perusahaan pada departemen terkait seperti halnya Departemen Hukum dan HAM dan departemen teknis lainnya. Proses ini biasanya memakan waktu hingga 11 minggu. Tahap selanjutnya adalah proses perizinan yang dilakukan ke departemen teknis dan pemerintah daerah. Biasanya proses ini memakan waktu 6 hingga 27 minggu atau bahkan lebih. Masing-masing setiap fase di atas, memiliki hal-hal yang secara krusial dapat mempengaruhi kesuksesan proses berinvestasi. Dalam proses inisiasi, beberapa permasalahan yang kerapkali muncul adalah informasi yang bersifat kompleks dan tidak jelas dan aplikasi awal yang seringkali ditolak. Disamping itu, permasalahan yang muncul juga terkait dengan perlakuan yang tidak setara serta kompleksnya prosedur yang harus dilalui, maka pihak investor seringkali harus mengeluarkan biaya untuk pengurusan seperti biaya notaris dan firma hukum. Indonesia tidak memiliki informasi yang jelas atau sederhana terkait dengan negatif list sebab panduan investor yang dimiliki oleh BKPM sangat tebal dan sulit untuk digunakan serta tidak semua informasi yang dibutuhkan tersedia dalam panduan tersebut. Permasalahan yang seringkali muncul terkait dengan proses registrasi dan legislasi perusahaan antara lain adalah keharusan untuk memperoleh legalisasi notaris sebelum mendapat persetujuan menteri hukum. Proses ini memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Sementara walaupun sudah mendapatkan persetujuan dari menteri, akan tetapi registrasi perusahaan tersebut harus diumumkan dalam lembar negara. Pengumuman tersebut memerlukan waktu selama 6 bulan. Selama belum diumumkan tanggung jawab yang menyertai setiap aktivitas perusahaan masih merupakan tanggung jawab personal. Tentu saja hal ini akan menjadi riskan bukan hanya pada perusahaan yang bersangkutan akan tetapi pada pihak-pihak lain yang berhubungan dengan perusahaan. Setelah mendapatkan persetujuan dari BPKM dan telah diregistrasi di departemen hukum, maka perusahaan dihadapakan lagi pada sejumlah izin yang harus dipenuhi sebelum aktivitas pra operasi dimulai. Sejumlah izin tersebut melibatkan banyak pihak, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Keterlibatan banyak pihak dan sejumlah prosedur yang berbelit-belit dan waktu yang panjang, akan menimbulkan masalah sendiri bagi perusahaan. Belum lagi persoalan prosedur tersebut semakin dipersulit oleh penggunaan metode-metode konvensional seperti antrian, akses formulir, pengembalian dan pengisiannya yang masih bersifat manual.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 16

    Dalam setiap tahapan tersebut, terdapat biaya yang yang harus dibayarkan. Aturan formal terkait biaya tersebut sejauh ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan biaya prosedur yang mahal. Hal ini karena titik-titik pembayaran menyebar dalam setiap proses. Biaya yang relatif besar tersebut lebih dipermahal dengan adanya biaya yang harus dibayar diluar biaya yang seharusnya. Biaya tersebut ditengarai bahkan sangat jauh diatas biaya yang formal. Belum lagi biaya tersebut tidak dapat diprediksi besarannya dan bisa terjadi kapan saja. Posisi biaya non formal ini, sifatnya seringkali menentukan kelancaran pengurusan. Dalam artian jika tidak dipenuhi, maka akan berdampak pada terbengkalainya izin dan atau bahkan tidak dikeluarkannya izin. Praktek-praktek pengeluaran biaya non formal, sudah menjadi rahasia umum. Namun anehnya, walaupun praktek tersebut masih saja terjadi dan dikeluhkan oleh pelaku usaha akan tetapi pemerintah sepertinya tidak memperlihatkan upaya penanganan yang lebih serius. Bahkan di era otonomi daerah saat ini, praktek tersebut ditengarai justru terjadi dengan suburnya. Dalam kondisi demikian, sangat sulit untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai surga investasi. Jika begitu, apa masih ada alasan untuk membiarkan moral hazard terjadi dan menggerogoti eksistensi bangsa secara sistemik. Kotak 5.: Tidak Efisien dan Termahal di Dunia Prosedur Perizinan Investasi di Persimpangan Jalan Untuk itu, demi menggenjot investasi, semua bentuk hambatan akan dipangkas habis oleh pemerintah. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan investasi adalah dengan membenahi aspek perizinan seperti penyederhanaan prosedur dan penyingkatan waktu. Terkait masalah perizinan, berdasarkan laporan Internatioanl Finance Corporation (IFC), Indonesia ditempatkan sebagai negara paling tidak efisien dan mahal. Di Indonesia, pengurusan izin baru berinvestasi harus melalui 12 prosedur yang membutuhkan 151 hari dan biaya yang dikeluarkan US$ 1.163. Sebanyak 12 prosedur berarti 12 instansi dihadapi investor. Bandingkan dengan negara lain yang dinilai IFC prosedurnya lebih mudah dan tidak mahal. Di Malaysia, jumlah prosedur 9 dan 30 hari pengurusan dengan biaya US$ 966. Pengurusan izin di Thailand lebih murah cuma US$ 160 selama 33 hari yang melalui sebanyak 8 prosedur sedangkan Cina hanya membutuhkan biaya US$ 158 dengan melalui 12 pintu instansi selama 41 hari. Australia hanya perlu 2 hari dan dua instansi dengan biaya yang dikeluarkan pengusaha US$ 600. Beranjak dari laporan itu, pemerintah merasa harus membenahi prosedur perizinan ini dengan memangkas perizinan dari 151 hari menjadi 30 hari. Salah satu sasaran yang mungkin akan dihapus adalah Keputusan Presiden Nomor (Keppres) 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Satu Atap. Keppres ini memberi kewenangan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal menyelenggarakan sistem pelayanan satu atap dalam hal pemberian persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal. Berpegang pada Keppres, kewenangan BKPM menjadi luas. Pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal yang sebelumnya ada di departemen teknis masing-masing melimpahkan kewenangannya dalam satu atap, yaitu BKPM. Namun, Keppres yang tujuannya menyederhanakan sistem pelayanan ternyata tidak bisa efektif. Sistem layanan satu atap tidak berjalan efektif. Tiap departemen ternyata tidak bersedia melimpahkan kewenangan perizinan ke BKPM. Sementara itu, rencana pemerintah mengembalikan perizinan usaha terhadap departemen teknis tidak mendapat sambutan baik dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, opsi semacam itu justru menjadi kontraproduktif dan menciptakan kondisi yang makin ruwet terhadap investor. Jika Inpres No 29 Tahun 2004 dicabut dan dikembalikan ke departemen teknis berarti suatu kemunduran. Pada era pemerintahan

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 17

    Suharto sampai Abdurrahman Wahid perizinan usaha hanya melalui salah satu direktorat di departemen perdagangan sehingga investor tidak berhadapan dengan berbagai pintu birokrasi. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati aturan banyak berubah di mana setiap perizinan usaha harus meminta persetujuan departemen teknis. Sampai saat ini hanya Departemen Keuangan (Depkeu) dan Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) yang bersedia melimpahkan kewenangan perizinan ke BKPM. Dari Depkeu untuk mengurus dokumen pabean dan dari Depnaker perizinan penggunaan tenaga kerja asing. Di lain pihak, departemen sektoral belum ada yang bersedia melimpahkan kewenangan itu. Sementara itu, ketentuan pelayanan satu atap saja tidak digubris oleh departemen lain, mungkin sulit jika harus kembali ke departemen teknis. Pengembalian kewenangan hanya menciptakan timbulnya masalah baru. Semua orang tahu jika berurusan dengan birokrasi itu berarti harus mempersiapkan sejumlah uang di atas meja pejabat. Disamping harus mengeluarkan biaya besar, investor harus menunggu waktu berbulan-bulan. Perilaku birokrasi Indonesia menyebabkan investor lama-lama jadi enggan berinvestasi. Untuk menarik minat investasi asing dan domestik agar mau masuk ke Indonesia lagi sebaiknya mengefektifkan lembaga yang sudah ada, sembari melakukan perbaikan sistem yang belum sempurna. Investor sebaiknya langsung berurusan dengan lembaga yang langsung dibawah presiden sehingga tidak menciptakan masalah dengan departemen teknis. Dengan sistem perizinan satu pintu, urusan akan dipersingkat. Jika dikembalikan ke departemen teknis masalah data base juga menjadi kendala karena BKPM sendiri saja saat ini tidak mempunyai data base yang lengkap investor apa lagi departemen teknis. Data base investor diperlukan agar tidak terjadi praktek-praktek seperti monopoli, pemalsuan pelaporan jenis usaha dan sebagainya. Sumber: Sinar Harapan, 13 April 2005, http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2005/0413/ind1.html

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 18

    BAB II KAJIAN BEST PRACTICES

    Dalam bagian ini akan dipaparkan Best Practices penyelenggaraan pelayanan perizinan yang ada di Indonesia, khususnya yang berasal dari Kabupaten Sragen dan juga Kota Pare-Pare. Sebagaimana diketahui, Kabupaten Sragen melalui Kantor Pelayanan Terpadu (KPT)-nyasekarang Badan Pelayanan Terpadu (BPT)merupakan contoh sukses dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi sehingga patut dicontoh oleh Daerah-Daerah lainnya di Indonesia, bahkan oleh instansi Pemerintah Pusat. Melalui penggambaran terhadap Best Practices yang ada di Kabupaten Sragen tersebut dan juga Kota Pare-Pare diharapkan dapat memberikan arahan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pelayanan perizinan di Indonesia. A. SUBSTANSI PERIZINAN BERDASARKAN VARIABEL ANALISIS (1) Prinsip-prinsip

    Dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan terpadu, KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen menggunakan sejumlah prinsip sebagaimana diatur dalam Keputusan Menpan No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, yakni sederhana, jelas, aman, transparan, efisien, ekonomis, adil dan tepat waktu. Sementara itu, SINTAP Kota Pare-Pare menggunakan sejumlah prinsip berikut dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan-nya: o Kesederhanaan, prosedur tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan o Kejelasan, mencakup persyaratan teknis dan administrasi, kejelasan unit

    kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan

    o Kepastian Waktu, pelaksanaan pelayanan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang terukur

    o Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, sah o Sarana dan Prasarana, tersedia sarana prasarana kerja yang memadai, termasuk

    teknologi telekomunikasi dan informatika o Kedisiplinan, Kesopanan, Keramahan, pemberi pelayanan bersikap disiplin, sopan,

    santun, ramah, tidak sakit gigi, dan melayani secara ikhlas o Kenyamanan, lingkungan pelayanan tertib, teratur, ruang tunggu nyaman, bersih,

    rapi, indah, areal parkir, toilet, mushallah (2) Tujuan-tujuan Terdapat sejumlah tujuan dari dilaksanakannya pelayanan perizinan dengan menggunakan sistem satu pintu melalui keberadaan KPT (sekarang BPT) di Kabupaten Sragen, yakni:

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 19

    o Untuk mewujudkan pelayanan prima. Dalam rangka meningkatkan kualitas layanan dan menghadapi tantangan persaingan bebas, maka kemudahan dan penyederhanaan perizinan merupakan suatu keharusan

    o Untuk meningkatkan effisiensi dan efektivitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen, khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat. Pelayanan perizinan yang ditangani oleh banyak instansi mengesankan berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat

    o Untuk mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya masyarakat dapat terdorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kagiatan pembangunan

    o Untuk mengubah image dan kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap Pemerintah akibat cara pelayanan yang buruk, diskriminasi pelayanan serta pungli yang dianggap wajar

    (3) Prosedur Berdasarkan Perda 15/2003 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen, Instansi Pelaksana Pelayanan Terpadu di Kabupaten Sragen berbentuk Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Selanjutnya berdasarkan Perda 4/2006, status KPT ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Terpadu (BPT). Dengan peningkatan status ini, maka Kepala BPT menjadi Pejabat Eselon II sehingga memiliki kesetaraan eselon dengan Para Kepala Dinas yang kewenangannya dilimpahkan kepada Kepala BPT. BPT (dh KPT) mempunyai tugas membantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di bidang Pelayanan Terpadu; melalui penyelenggaraan fungsi-fungsi berikut: a. perumusan kebijakan teknis dibidang Pelayanan Terpadu ; b. penunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang Pelayanan Terpadu; c. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya; Dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya tersebut, BPT (dh KPT) memiliki sejumlah kewenangan, yaitu: o Menerima, memproses dan menanda tangani dokumen o Menyediakan uang saku, uang makan bagi tim teknis o Menugaskan Tim Teknis Perizinan o Menyetor Retribusi perizinan ke kasda sesuai rekening Dinas Melalui penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu melalui BPT (dh KPT), masyarakat yang mengurus perizinan memperoleh sejumlah kemudahan, diantaranya: o Syarat pengurusan izn yang disederhanakan o Waktu yang dipercepat sesuai standar baru o Mekanisme sederhana

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 20

    o Biaya sesuai aturan o Gratis pengurusan izin untuk SIUP dan TDP pengusaha pemula; semua perizinan di

    kawasan industri; serta izin untuk industri yang ramah lingkungan dan menyerap 100 tenaga kerja di zone industri 720 ha

    Hampir serupa dengan penyelenggaraan Pelayanan Perizinan yang ada di Kabupaten Sragen, di Kota Pare-Pare, Prosedur Perizinan bermula dan berakhir di OSS. Adapun praktek penyelenggaraan perizinan yang ada di OSS Kota Pare-Pare adalah sebagai berikut: o Tanda bukti penerimaan berkas pengajuan perizinan mencantumkan waktu selesainya

    perizinan o Scanning tanda tangan pejabat yang berwenang o Pembayaran biaya perizinan melalui Bank o Mekanisme pengajuan keberatan yang terlembaga o Statistik kinerja OSS dalam hal kesesuaian waktu pelayanan o Jaminan mutu pelayanan bersertifikat ISO o Survei kepuasan penerima jasa/layanan o Petugas pelayanan tidak berseragam pemda o Fisik bangunan kantor OSS yang nyaman o Insentif finansial khusus bagi petugas OSS (4) Monitoring dan evaluasi Untuk menjamin kesinambungan pelayanan yang berkualitas dalam pengurusan perizinan di Kabupaten Sragen, dilakukan sejumlah upaya monitoring dan evaluasi proses terhadap pelaksanaan tugas BPT (dh KPT) sebagai beirkut: o Audit internal mingguan dan bulanan dengan menggunakan jasa Auditor bersertifikat o Pembuatan ranking Prestasi pegawai setiap 3 bulan serta mekanisme hadiah dan

    hukuman. Bagi pegawai yang berprestasi akan diberikan sertifikat dan uang sebesar Rp 500 ribu serta souvenir

    o Mekanisme Evaluasi 3 bulanan oleh tim pembina yang anggotanya terdiri dari Kepala Dinas Teknis terkait

    o Survey kepuasan pelanggan yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali o Pelaksanaan diskusi rutin dengan stakeholder setiap tahunnya. Melalui diskusi ini

    dijaring kritik, saran dan masukan guna perbaikan pelayanan di BPT (dh KPT) Sragen

    B. PROSEDUR DAN KONDISI DI LOKASI BEST PRACTICES (1) Urutan kerja Mekanisme/bagan alir pelayanan perizinan ataupun non perizinan di Kabupaten Sragen dibuat sesederhana mungkin, sehingga masyarakat cepat bisa memahami dalam

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 21

    mengurus perizinan maupun non perizinan yang dibutuhkan sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut:

    Gambar 1.: Mekanisme Pelayanan di KPT (sekarang BPT) Sragen Berdasarkan Keputusan Bupati Sragen Nomor 18/2002 juncto Peraturan Bupati Sragen Nomor 12/2006 tentang pedoman Pelayanan Umum di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen dan Keputusan Bupati Sragen Nomor 22a Tahun 2002 juncto Peraturan Bupati Sragen Nomor 06/2005 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Di Bidang Perizinan Kabupaten Sragen, bahwa dalam rangka untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat khususnya di bidang perizinan dan mewujudkan One Stop Service (OSS), maka perlu adanya pelimpahan sebagian kewenangan dibidang perizinan kepada Kepala Kantor Pelayanan Terpadu. Adapun sebagian kewenangan yang dilimpahkan kepada Kepala KPT tersebut meliputi : 1) Izin Prinsip 2) Izin Lokasi 3) Izin Mendirikan Bangunan 4) Izin Gangguan / Izin Tempat Usaha 5) Surat Izin Usaha Perdagangan 6) Izin Usaha Industri 7) Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum 8) Izin Usaha Rumah Makan 9) Izin usaha Salon Kecantikan 10) Izin Usaha Hotel Tanda Bunga Melati 11) Tanda Daftar Perusahaan 12) Tanda Daftar Industri 13) Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalan Wisata 14) Izin Pondok Wisata 15) Izin Penutupan Jalan 16) Pajak Reklame 17) Izin Usaha huller 18) Izin Praktek bersama Dokter Umum / Gigi 19) Izin Pendirian Ruman Bersalin

    PEMOHON

    Loket Pelayanan Penyerahan

    Pemeriksaan Berkas Pembayaran

    Pemeriksaan Lapangan Proses

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 22

    20) Izin Pendirian Balai Pengobatan 21) Izin Praktek Dokter Spesialis 22) Izin Praktek Dokter Umum / Gigi 23) Izin Praktek Bidan 24) Izin Praktek Perawat 25) Izin Pendirian Apotik 26) Izin Pendirian Optik 27) Izin Praktek Tukang gigi 28) Izin Pendirian Toko Obat 29) Izin Pengobatan Tradisional 30) Izin Produksi Makanan & Minuman 31) Rekomendasi Pendirian RS. Swasta 32) Rekomendasi Pendirian Pusat Kebugaran 33) Rekomendasi Pendirian Salon Kecantikan 34) Rekomendasi Pendirian Lembaga Pendidikan 35) Rekomendasi Praktek Bersama Dokter Spesialis 36) Tanda Daftar Gudang (TDG) 37) Perizinan penggunaan Ketel Uap, Minyak untuk setiap Ketel 38) Perizinan penggunaan bejana Uap / pemanas Air atau ekonomiser yang berdiri sendiri

    / penguapan 39) Perizinan penggunaan Bejana tekan 40) Perizinan botol baja 41) Perizinan penggunaan Pesawat Angkat dan Angkut 42) Perizinan penggunaan Pesawat Tenaga dan Produksi 43) Perizinan penggunaan Instalasi Kebakaran 44) Perizinan penggunaan Instalasi Listrik 45) Perizinan penggunaan Instalasi Penyalur Petir 46) Izin Trayek Tetap 47) Izin Usaha Angkutan 48) Izin Kursus 49) Izin Usaha Peternakan 50) IzinPemotongan Hewan 51) Izin Pendirian Keramba Apung 52) IzinUsaha Jasa Kontruksi Dengan kewenangan tersebut Kepala KPT (sekarang BPT) dapat segera memproses dan menandatangani 52 jenis perizinan yang dibutuhkan masyarakat, sehingga birokrasi lebih pendek, lebih effisien dan efektif. Pedoman Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12/2006 terdiri dari: a. Dasar Hukum, Persyaratan dan Mekanisme Pelayanan Umum di KPT Kabupaten

    Sragen b. Tabel Biaya/Retribusi Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen c. Tabel Standar Waktu Penyelesaian Pelayanan Umum di KPT Kabupaten Sragen

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 23

    Melalui pembuatan pedoman pelayanan umum berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12/2006 tersebut diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum, biaya serta waktu bagi masyarakat yang ingin melakukan pengurusan perizinan tertentu. (2) Personil yang terlibat Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya KPT (sekarang BPT) Sragen didukung oleh staf-staf terbaik dari masing-masing dinas di lingkup Kabupaten Sragen. Mereka adalah orang-orang yang sudah ahli di bidangnya. Misalnya, untuk mengurusi masalah perizinan IMB, diambilkan staf dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU), untuk HO diambilkan dari bagian Lingkungan Hidup (LH), dan untuk SIUP dari Indagkop. Pada awal pembentukannya Pegawai KPT (sekarang BPT) berjumlah 24 orang dengan tingkat pendidikan beragam. Pegawai dengan tingkat pendidikan S2 berjumlah 1 orang (4,2%), S1 berjumlah 6 orang (25,0%), Diploma III sebanyak 2 orang (8,3%), dan SLTA berjumlah 15 orang (62,5%). Sampai dengan tahun 2006, pegawai KPT (sekarang BPT) berjumlah 30 orang dengan rincian pendidikan S2 sebanyak 1 orang (3,33%), S1 sebanyak 14 orang (46,67%), Diploma III sebanyak 1 orang (3,33%), serta SLTA sebanyak 14 orang (46,67%). Pegawai-pegawai tersebut direkrut berdasarkan kompetensi pada bidangnya masing-masing, sehingga telah berpengalaman dan ahli dibidang pelayanan yang akan ditangani. Dari struktur organisasinya, berdasarkan Perda 15/2003 jabatan struktural di KPT Sragen terdiri atas Kepala KPT, Kasubbag Tata Usaha, Kasi Perizinan, Kasi Pelayanan dan Kasi Bina Program dan Informasi. Sementara berdasarkan Perda 4/2006, jabatan struktural di BPT Sragen terdiri atas Kepala BPT, Kabag Tata Usaha yang membawahi Kasubbag Umum dan Kasubbag Keuangan; Kabid Pelayanan Umum dan Pengaduan yang membawahi Kasubbid Pelayanan KTP, KK dan Akta Capil serta Kasubbid Informasi, Dokumentasi dan Penanganan Pengaduan; Kabid Perizinan Jasa Usaha yang membawahi Kasubbid Perizinan Indag, Koperasi dan Reklame serta Kasubbid Perizinan Pertanian, Perhubungan, Pariwisata, SIUJK, K3; dan Kabid Perizinan Tertentu yang membawahi Kasubbid Prizinan Prinsip Lokasi, IMB dan HO serta Kasubbid Perizinan Pendidikan dan Kesehatan. (3) Pencapaian tenggang waktu Semenjak didirikan, KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen telah mencatat sejumlah prestasi terkait dengan waktu penyelesaian perizinan dan non perizinan yang dilakukannya, dimana berdasarkan data yang ada, 100% perizinan ataupun pelayanan non perizinan dapat diselesaikan tepat waktu, bahkan sebagian besar bisa lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Sesuai hasil survey yang dilakukan ADB di tahun 2003, realisasi penyelesaian perizinan bisa 30% lebih cepat dari waktu standar atau dari waktu yang ditentukan. KPT Kabupaten Sregan selama tahun 2004 telah melayani baik pelayanan perizinan ataupun non perizinan dari sebanyak 43.902 pemohon dengan jumlah penerimaan pada tahun 2004 sebesar Rp. 1.575.242.700,-.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 24

    Untuk perizinan sendiri, pada tahun 2004 tercatat sebanyak 3.319 pemohon. Untuk proses pembuatan izin, pihak KPT selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan dinas teknis terkait, sehingga proses perizinan menjadi lancar dan akuntabel karena prosesnya yang dilakukan melalui pengecekan lapangan oleh tim teknis dari dinas terkait. Setiap bulan tim teknis rata-rata melakukan pengecekan lapangan terhadap 264 pemohon. (4) Penetapan tarif Penetapan Tarif dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan di KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 12/2006 yang menggantikan Keputusan Bupati Nomor 18/2002. C. SIMPUL-SIMPUL KRUSIAL DALAM PELAKSANAAN PERIZINAN (1) Pembagian tugas dan tanggung jawab person in charge dalam setiap tahapan

    prosedur serta mekanisme koordinasi antar para pihak Jenis layanan yang ditugaskan kepada KPT (sekarang BPT) terdiri dari Pelayanan Perizinan yang merupakan pelayanan satu pintu dan pelayanan non perizinan yang merupakan pelayanan satu atap, yang prosesnya masih di Dinas/Instansi yang bersangkutan. Peranan dinas-dinas pemerintah Kabupaten sangat besar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari KPT (sekarang BPT), seperti DPU, Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), dan Biro Organisasi dan Tatalakana (Ortala). Kepala dinas-dinas ini merupakan anggota dari Tim Kecil yang mengevaluasi keberadaan KPT yang telah ada sebelumnya dan mendesain KPT yang cocok untuk diterapkan di Sragen seperti yang ada saat ini. Sementara itu, pendapatan finansial di KPT, secara otomatis merupakan pemasukan bagi dinas teknis bersangkutan. Pemasukan untuk pengurusan IMB secara otomatis akan masuk ke dalam kas DPU, izin reklame akan masuk ke LH dan sebagainya. Sedangkan KPT mendapatkan sharing 1% dari semua jumlah pemasukan. Dalam proses perizinan tersebut, Dinas terkait memiliki sejumlah fungsi diantaranya: o Memberikan pertimbangan teknis melalui Tim Teknis yang ditunjuk o Membina dan mengawasi pelaksanaan izin di lapangan o Bertanggung jawab terhadap PAD o Memberi peringatan dan penindakan pada pelanggaran Berdasarkan kondisi di atas, dapat dilihat bahwa KPT (sekarang BPT) pada dasarnya merupakan Kantor/Badan pelayanan yang siap memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang datang mencari izin, sedangkan Dinas Teknis terkait yang harus menggerakkan masyarakat untuk melengkapi izin tersebut, sehingga dalam proses

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 25

    pemberian izin, KPT (sekarang BPT) harus selalu berkoordinasi dengan Dinas Teknis melalui Tim Teknis Pelayanan Perizinan.. Tim ini diketuai oleh Kepala KPT (sekarang BPT) dan bertugas melakukan pengecekan lapangan terhadap permohonan perizinan. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan akan diputuskan apakah permohonan izin akan diterima atau ditolak. Untuk kelancaran tugas, KPT (sekarang BPT) telah dibentuk Tim Pembina KPT (sekarang KPT) yang anggotanya terdiri dari Kepala Dinas Teknis yang Terkait. Dengan adanya Tim Pembinaan KPT (sekarang BPT), Dinas Teknis ikut bertanggung jawab terhadap kaelancaran pelayanan perizinan. Dengan demikian antara KPT (sekarang BPT) dan Dinas Teknis akan terus terjalin komunikasi dan koordinasi untuk pemberian pelayanan perizinan kepada masyarakat. (2) Keterlibatan/partisipasi pengguna Setelah KPT (sekarang BPT) berdiri, Pemerintah Kabupaten Sragen melakukan berbagai sosialisasi baik dengan iklan di radio ataupun sosialisasi program di kecamatan-kecamatan. Masyarakat dunia usaha juga dilibatkan dalam rapat stakeholder yang diadakan pada tahun 2003. Dalam forum tersebut, pengusaha banyak memberikan masukan mengenai pelayanan yang mereka inginkan. Kegiatan sosialisasi paradigma dan mekanisme pelayanan publik yang baru kepada masyarakat juga dilaksanakan dengan memanfaatkan komunikasi antara Bupati dan warga masyarakat, melalui dinas-dinas terkait dalam aktivitas kerja mereka, reklame yang dipasang di bagian dalam dan luar ruangan KPT (sekarang BPT), standing banner di beberapa penjuru KPT (sekarang BPT), serta billboard di jalan protokol. Setelah dilakukan sosialisasi dalam forum-forum semacam ini, banyak kalangan dunia usaha yang mengurus perizinan. Selain memberikan penawaran kemudahan perizinan, pihak KPT (sekarang BPT) juga memberikan bantuan modal kepada asosiasi-asosiasi stakeholder, misalnya Persatuan Ahli Kecantikan Indonesia (PAKI). Secara berkala (enam bulan sekali), masyarakat pengguna jasa KPT (sekarang BPT) juga dilibatkan dalam survei kepuasan pelanggan. Survei ini pada awalnya dilakukan terhadap 100 orang pemohon yang datang ke KPT (sekarang BPT). Berdasarkan hasil survei tahun 2004, tidak ada satu pun responden yang mengeluhkan pelayanan KPT (sekarang BPT). Hasil serupa juga didapatkan dari survei ADB dimana tingkat kepuasaan pelanggan mencapai 81%. Kalaupun pemohon memiliki keluhan terhadap layanan, KPT (sekarang BPT) menyediakan satu ruangan yang khusus untuk mendengarkan keluhan. Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 08 Tahun 2006, BPT (dh KPT) menyelenggarakan survey kepuasan pengguna jasa pelayanan perizinan dan nonperizinan terhadap 150 responden yang dipilih secara acak. Survey ini dilakukan setiap enam bulan sekali terhadap 14 unsur pelayanan publik. Kategori penilaian menggunakan nilai persepsi 1 hingga 4 secara berturut-turut menunjukkan kategori tidak baik hingga sangat baik.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 26

    Survey dilakukan dengan menggunakan sumber daya staf BPT (dh KPT) sendiri atau pelibatan pihak independen dari kalangan perguruan tinggi, Badan Pusat Statistik (BPS), atau lembaga swadaya masyarakat. Pengisian kuesioner dalam survey bisa dilakukan secara mandiri oleh responden atau secara aktif diwawancarai oleh petugas survey. (3) Mekanisme evaluasi dan kontrol kinerja unit dan aparat Selain SDM dan sistem kerja, sarana dan prasarana pendukung juga diperhatikan. Di BPT (dh KPT) kegiatannya bisa dipantau secara online oleh Bupati dengan mekanisme pelaporan yang memanfaatkan jaringan wireless. Mekanisme kontrol tidak hanya dilakukan oleh Bupati tetapi juga dinas-dinas terkait. Jadi, berlaku double control dan berlaku pula secara resiprokal antara BPT (dh KPT) dan dinas-dinas, misalnya penerimaan uang pengurusan pelayanan di BPT (dh KPT) segera dilaporkan ke dinas-dinas, demikian pula dengan pelaksanaan kajian dan uji teknis yang dilakukan dinas dalam rangka pengurusan suatu perizinan/nonperizinan pun diketahui oleh BPT (dh KPT). Penggunaan teknologi informasi, mempermudah koordinasi antar satuan kerja dan antara satuan kerja, Bupati, dan BPT (dh KPT). BPT (dh KPT) juga memiliki tim auditor internal Pemkab yang personilnya telah disekolahkan agar bisa ahli di bidangnya. Sementara itu, PT Sucofindo menjadi pihak auditor eksternal terhadap kinerja BPT (dh KPT). (4) Sistem pencegahan dini terhadap KKN Partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan pelaksanaan program BPT (dh KPT) mensyaratkan adanya keterbukaan. Oleh karena itu, BPT (dh KPT) menerapkan keterbukaan dalam hal pelayanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya publikasi prosedur dan biaya pelayanan di ruang tunggu pelayanan, berupa leaflet atau brosur yang dipajang di rak kecil meja pusat informasi dekat kasir; juga kasir yang terbuka sehingga watchable, siapa pun bisa menyaksikan proses penyerahan uang atau biaya pelayananjika memang pelayanan yang bersangkutan dipungut biaya dalam jumlah tertentuserta pemberian jaminan bagi setiap warga yang mengurus bahwa tidak ada pungutan liar dalam pelayanan. Keterbukaan BPT (dh KPT) menutup celah ketidakpastian. Saat pengurusan perizinan dan nonperizinan, masyarakat mendapatkan kepastian tentang jangka waktu penyelesaian berkas, tanggal berkas yang diajukan bisa diambil oleh masyarakat pemohon, serta jumlah biaya yang harus dibayar atas diurusnya suatu berkas yang diajukan. BPT (dh KPT) menyediakan saluran pengaduan bagi warga masyarakat pengguna jasa BPT (dh KPT), tidak hanya dalam bentuk penyediaan kotak Saran & Kritik tetapi juga disediakan prosedur dan ruangan tersendiri dalam penyampaian komplain. Pengaduan yang dilaporkan ke Ruang Pengaduan akan ditindaklanjuti dengan pemberian informasi balik kepada pihak yang mengajukan komplain tersebut, ini termasuk hak warga masyarakat pengguna jasa BPT (dh KPT) dan tercantum dalam perda. Atas pelayanan yang diberikan, masyarakat pengguna jasa diberikan waktu 3 x 24 jam untuk menyampaikan pengaduan. Setelah pengaduan diajukan, staf BPT (dh KPT) yang menangani pengaduan akan menyampaikan jangka waktu penyelesaian masalah yang

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 27

    bersangkutan kepada pihak yang menyampaikan pengaduan. Di samping menyampaikan langsung ke BPT (dh KPT), masyarakat bisa menyampaikan pengaduan via telepon atau e-mail. Secara umum pekerjaan di BPT (dh KPT) telah terkomputerisasi meskipun dalam sebagian proses pelayanan masih bersifat manual. Namun, akuntabilitas dan transparansi tetap dipertahankan sehingga penyimpangan relatif bisa diantisipasi. Penggunaan sarana dan prasarana dengan memanfaatkan sistem online memungkinkan pula pelayanan pembuatan KTP dan perpanjangannya (bila ditangani oleh BPT, tidak di kecamatan) ditangani dalam waktu dua menit, rentang waktu ini sudah termasuk konfirmasi ke kantor pusat.

    D FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN (1) Komitmen pimpinan tertinggi Kunci sukses utama dari keberhasilan reformasi perizinan di Kabupaten Sragen adalah adanya komitmen yang kuat dan sungguh-sungguh dari pimpinan tertinggi di Kabupaten Sragen. Bupati selaku pengambil kebijakan tertinggi di daerah sangat terbuka, mau menerima perubahan dan melakukan inovasi dalam hal layanan publik. Berdirinya KPT (sekarang BPT) mengubah orientasi Pemkab dari PAD ke pertumbuhan ekonomi dengan meningkatnya investor. Keterbukaan ini juga ditunjang dengan berbagai sumber daya yang mendukung pembentukan KPT (sekarang BPT) seperti tersedianya hardware, gedung, staf, dan payung kebijakan. KPT (sekarang BPT) memiliki gedung sendiri yang letaknya sangat strategis. Gedung ini terletak di deretan depan kompleks kantor pemerintah daerah Sragen. Kunci sukses lainnya adalah persamaan persepsi antar dinas tentang perlunya lembaga ini. (2) Penegakan sanksi dan pemberian kompensasi/penghargaan Untuk mendukung kinerja stafnya, KPT (sekarang BPT) menerapkan sistem insentif. Tujuannya, para staf berlomba memberikan pelayanan yang terbaik. Bagi staf KPT (sekarang BPT) diberikan reward berupa fee selain gaji pokok dari pemda yang memang telah dianggarkan dalam APBD. Reward ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan atas kerja keras mereka dalam memberikan layanan kepada masyarakat dan untuk memotivasi petugas agar senantiasa melakukan inovasi dalam memberikan layanan. Jumlah reward yang diberikan beragam, berdasarkan kedudukannya di KPT (sekarang BPT). (3) Penguasaan dan optimalisasi penggunaan teknologi informasi Pembentukan KPT (sekarang BPT) didukung pengadaan hardware dan software. Untuk hardware, mereka memililiki 10 unit komputer pentium 4 dan software (IT) gratis karena mendapatkan bantuan dari provinsi yang bekerja sama dengan CEMSED UKSW. CEMSED UKSW melakukan build up sistem software untuk peningkatan pelayanan masyarakat.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 28

    KPT (sekarang BPT) pada awalnya juga memiliki modal berupa mesin pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi, untuk mesin ini mereka tak mengeluarkan modal apapun. Pihak KPT (sekarang BPT) Sragen bekerja sama dengan PT. Jasvindo Jakarta yang memiliki perlengkapan ini. Dari biaya pengurusan KTP dilakukan sharing, Rp 4.000,00 untuk KPT sedangkan sisanya Rp 1.000,00 menjadi jatah Jasvindo. (4) Pembinaan aparat pelaksana Pemerintah Kabupaten Sragen menyadari bahwa SDM aparat merupakan faktor kunci keberhasilan reformasi perizinan melalui pembentukan KPT (sekarang BPT). Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Sragen memberikan perhatian yang besar terhadap keberadaan SDM aparat yang akan bertugas di KPT (sekarang BPT) tersebut. Pada awal pendirian KPT misalnya, satu pekan sebelum diimplementasikan, staf yang nantinya bertugas di KPT harus magang dulu di Kabupaten Gianyar. Mereka melihat praktik UPT dan bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang prima kepada masyarakat, dan untuk mewujudkan one stop service (oss), maka sumber daya menusia yang ditugaskan sebagai tenaga pelaksana di KPT (sekarang BPT) harus betul-betul handal, sehingga untuk hal tersebut perlu dilakukan on the job training dan pelatihan-pelatihan yang berkesinambungan, disamping sarana dan prasarana kantor yang memadai, hal ini dimaksudkan sebagai Empowering / Pemberdayaan Aparatur . Adapun On the Job training dan pelatihan pelatihan tersebut antara lain : 1. On the Job Training/Magang Untuk menambah bekal pegawai KPT (sekarang BPT) agar dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan baik, maka pegawai KPT (sekarang BPT) telah ditugaskan untuk magang di KPT Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali selama 1 minggu, sehingga dengan program ini diharapkan pegawai-pegawai tersebut sudah mempunyai pengalaman dan bekal untuk melayani dengan baik. 2. Pelatihan-Pelatihan 1. Diklat Komputer Sejak tanggal 6 januari 2003 telah dilaksanakan diklat komputer dengan mengundang instruktur untuk melatih tenaga pelaksana di KPT (sekarang BPT), adapun waktunya setiap hari senin sampai kamis setelah jam 13.00, karena diasumsikan setelah jam tersebut pelayanan sudah relatif berkurang. Sedangkan materi yang diajarkan meliputi: Program Microsoft Word, Program Microsoft Excel, dan Program Microsoft Access.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 29

    Dalam waktu 3 bulan telah berhasil dilatih 20 orang operator yang terampil komputer, dan beberapa oarng dikembangkan untuk dapat menjalankan program-program aplikasi terbaru yang mempunyai nilai lebih, misalnya: Powerpoint, Corel Draw, Photoshop, arsip dalam bentuk CD, moving movie, serta pelayanan dengan internet. 2. Training of Sucsess Untuk bisa tampil prima dalam melayani customer/pelanggan, telah dilakukan training terhadap SDM pelaksana di KPT (sekarang BPT) dengan mengundang instruktur dari bagian pengembangan Sumber Daya Manusia perusahaan awasta. Selama 30 kali pertemuan. Adapun materi dari pelatihan tersebut meliputi : Bagaiman caranya agar tampil rapi dalam melayani customer Bagaimana caranya harus tampil sopan dan santun dalam menghadapi customer Bagaimaan harus selalu ceria dalam menyambut customer Bagaimana harus mampu memperhatikan sikap tubuh dan bertindak setenang

    mungkin saat melayani customer Bagaimana taknik-teknik menghadapi customer Dengan prinsip hari ini lebih baik dari kemarin, SDM terus dikembangkan, pada tahun 2004 telah diadakan pelatihan ESQ dan sistem manajemen mutu dari konsultan yang ditunjuk oleh Sucofindo, hal ini sebagai syarat mendapat ISO 9001 2000, selain hal tersebut pada tahun 2005 telah dilatih oleh psikolog profesional (Direktur pengembangan SDM perusahaan swasta) untuk pengembangan kepribadian. 3. Kerapian Untuk memberikan kesan positif dan menyenangkan terhadap pelanggan, tenaga pelaksana di KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen telah diberikan seragam kerja secara khusus, yaitu untuk laki-laki kemeja lengan panjang memakai dasi, sedangkan untuk wanita memakai jas/blazer seperti seragam yang digunakan oleh karyawan-karyawati pada perusahaan swasta. 4. Paradigma Pelayanan Dalam era reformasi dan keterbukaan saat ini dalam menghadapi pasar bebas, dimana akan terjadi kompetensi yang sangat ketat dalam bidang usaha dan investasi, maka birokrasi dituntut harus mampu melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam melayani masyarakat. Para birokrat yang masih mengedepankan perilaku kenapa harus capek-capek, bagini aja toh udah dapat gaji juga, atau kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Pikiran-pikiran semacam ini (terutama perilaku), harus segera diakhiri dan dibuang jauh-jauh, mengingat para birokrat digaji untuk melayani bukan untuk dilayani. Untuk hal tersebut maka KPT (sekarang BPT) Kabupaten Sragen telah

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 30

    berupaya mengubah paradigma lama dilayani menjadi paradigma baru yaitu melayani dengan tulus dan ikhlas. Adapun paradigma baru tersebut : o Menempatkan customer menjadi orang terpenting yang harus dilayani, sebab karena

    merekalah kami bekerja dan mendapat gaji o Kami tidak merasa berjasa dengan melayaninya, justru kami berterima kasih telah

    mendapat ksempatan untuk melayaninya. Paradigma ini akan menjadi tata nilai baru dan budayakerja.

    5. Penanganan Pengaduan/Keluhan Secara Efisien Dalam penanganan pengaduan/keluhan diharapkan akan dapat memberikan peluang untuk mengubah seorang pelanggan yang kurang puas menjadi pelanggan abadi. Untuk itu ada 4 aspek yang perlu diperhatikan yaitu : Empati pelanggan yang kurang berkenan Kecepatan dalam penanganan pengaduan/keluhan Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan pengaduan/keluhan Akses terhadap komunikasi dan informasi (5) Penyederhanaan prosedur KPT (sekarang BPT) memberikan pelayanan dalam bentuk perizinan dan nonperizinan. Dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, KPT menerapkan beberapa strategi. Pertama, transparansi perizinan baik waktu yang dibutuhkan ataupun biaya yang harus dibayar oleh pemohon. Transparansi ini ditunjang upaya untuk memberikan layanan yang lebih cepat dari waktu standar yang dibutuhkan. Berdasarkan penelitian dari ADB pada 2003, rata-rata pelayanan di KPT bisa diberikan 30% lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. Kedua, staf KPT berpakaian rapi dan bersikap ramah. KPT mengalokasikan dana untuk membeli pakaian seragam. Staf pria diharuskan memakai dasi, sedangkan staf perempuan wajib mengenakan blazer. Selain itu, mereka mendapatkan pelatihan bagaimana memberikan pelayanan yang baik, seperti yang lazim dilakukan oleh perusahaan swasta. Ketiga, pengurusan izin yang cepat dan kewenangan perizinan berada di tangan kepala KPT. Setelah pemohon memasukan berkas ke KPT, dinas teknis terkait langsung mengadakan pengecekan di lapangan. Pengecekan biasanya dilaksanakan selama satu hari. Setelah itu, apabila ada ketidaksesuaian dengan berkas yang diajukan, berkas dikembalikan dan pemohon diminta melengkapi lebih dulu.

  • Laporan Pendahuluan: Penataan Sistem Pengaturan Tatalaksana Perizinan Bidang Perekonomian PKPADK FISIP UI 31

    (6) Keberlanjutan dan keterpaduan sistem Efektivitas kerja BPT (dh KPT) ditunjang oleh beberapa hal kunci. Pertama, penyederhanaan struktur organisasi BPT (dh KPT) untuk memudahkan koordinasi internal, monitoring, serta pengambilan keputusan yang cepat dan tanggap. Kedua, perampingan jumlah pegawai dan pengubahan mindset beserta kultur (budaya) kerja mereka dalam pelayanan publik. Ketiga, pemangkasan jalur-jalur birokrasi dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan demi mencapai batasan waktu maksimal 12 hari. Keempat, pe