2. skripsi
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib
melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh
kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara
negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut
pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan kata lain
seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau
perlu adanya suatu pelayanan.
Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses
berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan
suatu negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan
pemerintahan, melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang
dijalankan oleh penguasa administrasi negara yang harus mempunyai
wewenang. Pemerintah Indonesia sangat menyadari bahwa jika masyarakat
sudah mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu pelayanan yang baik, maka
masyarakat juga akan menjalankan kewajibannya dengan penuh kesadaran.
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup layak
dan produktif, untuk itu diperlukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
terkendali biaya dan terkendali mutu. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H
dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menetapkan
2
bahwa setiap orang berhak medapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu, setiap
individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap
kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhinya hak
hidup sehat bagi penduduknya.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui program promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Disamping itu perlu pula dilakukan perbaikan pembiayaan kesehatan
sehingga sistem pembiayaan akan menjadi lebih jelas, sarana dan prasarana
kesehatan dan kualitas sumber daya manusia serta peningkatan mutu pelayanan
juga perlu mendapat perhatian.
Pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan
yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Tidak mengherankan apabila
bidang kesehatan perlu untuk selalu dibenahi agar bisa memberikan pelayanan
kesehatan yang terbaik untuk masyarakat. Pelayanan kesehatan yang dimaksud
tentunya adalah pelayanan yang cepat, tepat, murah dan ramah. Mengingat
bahwa sebuah negara akan bisa menjalankan pembangunan dengan baik
apabila didukung oleh masyarakat yang sehat secara jasmani dan rohani.
Berangkat dari kesadaran tersebut, rumah sakit-rumah sakit maupun
puskesmas yang ada di Indonesia baik milik pemerintah maupun swasta, selalu
berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien dan
keluarganya. Baik melalui penyediaan peralatan pengobatan, tenaga medis yang
berkualitas sampai pada fasilitas pendukung lainnya seperti tempat penginapan,
3
kantin, ruang tunggu, apotik dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat
benar-benar memperoleh pelayanan kesehatan yang tepat dan cepat.
Pergeseran atau perubahan pada masalah kesehatan dengan ditandai
terjadinya transisi kesehatan yang berupa transisi demografi, transisi
epidemiologi, transisi gizi dan transisi perilaku. Transisi epidemiologi misalnya
peningkatan umur harapan hidup sehingga meningkatkan proporsi kelompok usia
lanjut (usila) yang akan menjadi beban program kesehatan. Disamping itu terjadi
pergeseran pola penyakit yang meningkat secara drastis (misalnya HIV-AIDS,
tekanan darah tinggi, Diabetes, Jantung, dan lain-lain).
Terjadi pula pergeseran pola makan dimana saat ini makanan siap saji
menjadi bahan makanan sehari-hari, demikian pula dengan banyaknya beredar
makanan yang pakai bahan pengawet bahan kimia sehingga terjadi perubahan
terhadap status kesehatan. Selain itu terjadi pula perubahan perilaku masyarakat
yang sudah jauh dari petunjuk hidup sehat. Akibatnya timbul beban ganda
masalah kesehatan.
Adanya transisi ini serta akibat terjadinya globalisasi ekonomi, maka
jumlah jenis penyakit meningkat dan terjadi perubahan jenis penyakit yang
diderita masyarakat sehingga biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh
masyarakat akan sangat besar, mahal dan banyak masyarakat masih kurang
mampu untuk mengatasinya. Pemerintah dalam menyikapi hal tersebut maka
dikeluarkannya Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang mengatur bagaimana Pemerintah berkewajiban untuk
memberi jaminan sosial kepada seluruh penduduk di Indonesia baik berupa
jaminan biaya pelayanan kesehatan, tunjangan hari tua dan sebagainya.
4
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sejak awal
Agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah berupaya untuk
mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini
diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT
Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang
penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat miskin.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berupaya dengan jalan
memberikan keringanan kepada penduduk di Sulawesi Selatan dalam hal biaya
mengatasi masalah kesehatannya dengan melakukan pembebaskan pelayanan
kesehatan dasar sampai rawat inap kelas III di semua unit pelayanan kesehatan
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Melalui kebijakan ini maka diharapkan
tidak ada lagi masyarakat di Sulawesi Selatan yang tidak dapat mengatasi
masalah kesehatannya karena alasan ekonomi atau tidak punya biaya.
Menjamin akses penduduk Sulawesi Selatan terhadap pelayanan
kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Gubernur Sulawesi
Selatan Nomor 13 tahun 2008, maka sejak awal agenda 101 hari pemerintahan
Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Sulawesi Selatan berupaya untuk
mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan
Program Pelayanan kesehatan Gratis. Program ini diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, selanjutnya dan jajaran
5
kesehatan sebagai instansi teknis yang ditugaskan dan diberi tanggungjawab
dalam pelaksanaannya.
Pemerintah mengubah program jaminan kesehatan dari Asuransi
Kesehatan untuk Warga Miskin (Askeskin) menjadi Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas). Pemerintah mengklaim perubahan program ini bakal
lebih mempermudah pelayanan, khususnya soal klaim pembayaran. Untuk
mengoptimalkan program tersebut, pemerintah menyiapkan dana Rp
46.000.000.000,00. Anggaran sebesar itu diperuntukkan bagi 76,4 juta warga
miskin di seluruh Indonesia, khusus di Sulsel. Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Sulsel, jumlah penduduk miskin saat ini mencapai 2.523.277
jiwa. Mereka tersebar pada 23 kabupaten/kota di Sulsel.
Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan menargetkan sebanyak 4.298.100
masyarakat di Sulawesi Selatan masuk dalam daftar kesehatan gratis.
Berdasarkan pengalaman penanganan kesehatan di Sulsel menyebutkan, dari
data 4,2 juta lebih penduduk yang tidak masuk dalam klien asuransi kesehatan
ini, setiap tahunnya sekira 25-30 persen di antara mereka sakit. Dinas Kesehatan
mengasumsikan bahwa setiap tahun jumlah masyarakat yang dibiayai dalam
program kesehatan gratis setiap tahun sebanyak 1,5 juta hingga 2 juta orang.
Anggaran yang dibutuhkan untuk setengah tahun terakhir ini sekira Rp 40 miliar
hingga Rp 50 miliar. Dananya ditanggung oleh Pemprov Sulawesi Selatan dan
masing-masing pemkab/pemkot se – Sulawesi Selatan.
Dana kesehatan Pemerintah Kota Makassar untuk layanan program
kesehatan gratis pada 2011 mencapai Rp38,7 miliar. "Alokasi anggaran
kesehatan gratis ini merupakan dana sharing APBD Kota Makassar sebesar 60
6
persen dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan 40 persen," kata Kadis Kesehatan
Makassar dr Naisyah tun Asikin, Dia mengatakan, program kesehatan gratis
mulai digulirkan pada 2003 sesuai kebijakan Pemkot Makassar tentang
pembebasan biaya pelayanan kesehatan, mulai tingkat pelayanan kesehatan
dasar hingga rujukan kelas tiga di rumah sakit.
Pemberian pelayanan kesehatan dasar yang diberikan pada masyarakat
itu, diberlakukan pada 38 puskesmas dan rumah sakit pemerintah di Kota
Makassar. Sementara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis
khususnya bagi masyarakat miskin, lanjut dia, persyaratan cukup mudah yakni
cukup membawa kartu Jamkesmas atau kartu Askes. "Apabila tidak memiliki
kedua kartu itu, maka akan terdaftar dalam program Jamkesda dengan
persyaratan foto kopi KTP dan Kartu Keluarga.
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat di kota
berjulukan "Angin Mammiri" ini, dari 38 puskesmas yang tersebar di 14
kecamatan, delapan puskesmas diantaranya telah memberikan pelayanan rawat
inap, sekaligus unit gawat darurat 24 jam. Kedelapan puskesmas yang dimaksud
adalah Puskesmas Pattingalloang, Minasa Upa, Barranglompo, Bara-baraya,
Batua, Kassi-Kassi, Ujung Pandang Baru dan Mamajang.
Kegiatan pelaksanaan program kesehatan gratis di puskesmas batua
Makassar ada beberapa kondisi faktual yang dapat ditemui dilapangan yakni
belum sepenuhnya masyarakat mengetahui adanya program & prosedur
kesehatan gratis yang bergulir di masyarakat artinya jika tidak disosialisasikan
dengan luas maka tujuan dari program ini tidak dapat sesegera mungkin dicapai.
Masalah lain yang muncul adalah kurangnya penyuluhan kesehatan kepada
7
warga masyarakat sehingga tatanan untuk hidup bersih dan sehat sangat sulit
tercapai. Adanya faktor kemiskinan dan kurangnya kesadaran masyarakat juga
mempengaruhi hasil dari implementasi pogram kesehatan gratis.
Mengenai adanya kasus yang tidak terlayani dan banyaknya keluhan
masyarakat dengan program kesehatan gratis, Kepala dinas kesehatan
mengakui ada sejumlah layanan yang tidak masuk program tersebut. Adapun
beberapa jenis pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung diantaranya operasi
jantung, ct scan, cuci darah, bedah syaraf, bedah plastik, penyakit kelamin akibat
hubungan seksual dan alat bantu kesehatan.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian
yang di rumuskan dalam bentuk :
1. Bagaimana implementasi program kesehatan gratis di Puskesmas Batua
Makassar ?
2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi program
kesehatan gratis di Puskesmas Batua Makassar ?
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sesuai dengan rumusan masalah
yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu :
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi program kesehatan
gratis di puskesmas batua Makassar.
8
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program
kesehatan gratis di puskesmas batua Makassar.
I.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
kita dalam pembahasan-pembahasan mengenai kebijakan publik. diharapkan
hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi yang berguna bagi
masyarakat dan sebagai bahan referensi yang mendukung bagi peneliti
maupun pihak lain yang tertarik dalam bidang penelitian yang sama.
b. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
positif bagi pihak pemerintah daearah Kota Makassar dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan implementasi program kesehatan gratis
dan masukan bagi pihak puskesmas batua untuk meningkatkan peran dan
kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaan program
kesehatan gratis.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Konsep Implementasi
Secara garis besar, implementasi merupakan setiap kegiatan yang
dilakukan menurut rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Upaya
untuk memahami adanya perbedaan antara yang diharapkan dengan fakta yang
telah yang telah terjadi telah menimbulkan kesadaran mengenai pentingya suatu
pelaksanaan. Untuk lebih jelas mengenai arti implementasi, berikut beberapa
pendapat ahli.
Udoji dalam Sholichin A. Wahab, (2008:59), mengatakan bahwa :
“The execution of policies is as important if not more important than policymaking. Policies will remaindreams or blue prints file jackets unless theyare implemented”.(Pelaksanaan kebijaksanaan adalah suatu yang pentingbahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijaksanaan.Kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yangtersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan).
Implementasi kebijakan menurut Van Metern dan Van Horn dalam Ismail
Nawawi (2009) adalah
Those actions by public or private individual (or group) that are directed atthe achievement of objectives set forth in prior policy decision”, yangartinya tindakan-tindakan yang dilakukan baik individu-individu maupunpejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yangdiarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalamkeputusan kebijaksanaan.
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu
argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan
dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang dilaksanakan. Selanjutnya mereka
menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu
kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan
10
kebijaksanaan dengan prestasi kerja (performance). Kedua ahli ini menegaskan
pula pendiriannya bahwa peru bahan, control dan kepatuhan bertindak
merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.
Problema implementasi diasumsikan sebagai sebuah deretan keputusan
dan interaksi sehari-hari yang tidka perlu mendapat perhatian dari para sarjana
yan g mempelajari politik. Implementasi itu dianggap sederhana meski anggapan
ini dianggap menyesatkan. Dengan kata lain, kelihatannya tidak mengandung
isu-isu besar.
Definisi Konsep implementasi yang dikemukakan Mazmanian dan
Sabatiar yaitu, implementasi adalah melaksanakan sebuah keputusan kebijakan,
biasanya dikaitkan dengan sebuah perundang-undangan, disusun oleh
pemerintahan baik eksekutif maupun keputusan peradilan.
George C. Edward III dalam Ismail Nawawi (2009), bahwa berhasil atau
terhambatnya suatu proses implementasi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
1. Komunikasi
Menurut Agustino (2006:157); ”komunikasi merupakan salah-satu variabel
penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat
menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”.
Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan
mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui
para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik.
Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan
variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan
tiga variabel tersebut yaitu:
11
1. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam
penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi)
yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam
proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah
jalan.
2. Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-
level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak
ambigu/mendua.
Berdasarkan hasil penelitian Edward III yang dirangkum dalam Winarno
(2005:127) Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam
transmisi komunikasi yaitu:
Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan
perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti
ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam
komunikasi kebijakan.
Kedua, informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki
birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai
informasi yang dapat mengakibatkan bias informasi.
Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh
persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami
persyaratan-persyaratan suatu kebijakan”.
12
Menurut Winarno (2005:128) Faktor-faktor yang mendorong
ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan publik biasanya karena
kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan
publik, adanya masalah-masalah dalam memulai kebijakan yang baru serta
adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban kebijakan.
Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor yang terlibat
mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat bawah. Komunikasi
yang efektif menuntut proses pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua
tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari pelaksana, maka kebijakan tersebut
akan diabaikan dan terdistorsi. Untuk itu, Winarno (2005:129) menyimpulkan:
”semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang terlibat dalam implementasi
kebijakan, semakin besar kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi”.
Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan
dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik
pengembangan saluran-saluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi
probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan secara benar.
Dalam kejelasan informasi biasanya terdapat kecenderungan untuk
mengaburkan tujuan-tujuan informasi oleh pelaku kebijakan atas dasar
kepentingan sendiri dengan cara mengintrepetasikan informasi berdasarkan
pemahaman sendiri-sendiri. Cara untuk mengantisipasi tindakan tersebut adalah
dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang jelas mengenai persyaratan,
tujuan, menghilangkan pilihan dari multi intrepetasi, melaksanakan prosedur
dengan hati-hati dan mekanisme pelaporan secara terinci.
13
Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan
oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi
dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan demikian,
penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan
mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media
komunikasi yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada
kelompok sasaran akan sangat berperan.
2. Sumber daya
Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu
sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara
ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung
yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan
potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis,
sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi.
(Tachjan, 2006:135)
Menurut Edward III dalam Agustino (2006:158-159), sumberdaya
merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-
indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya mempengaruhi
implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau
pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai
yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam
bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup
14
menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan
sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang
diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan
kebijakan.
2. Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara
melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari
para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan.
3. Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan
otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan
kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada,
maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi,
sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi
dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering
terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi
di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
4. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi,
kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana
dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan
berhasil.
15
3. Disposisi atau sikap
Salah satu faktor yang memepengaruhi efektifitas implementasi kebijakan
adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi akan mengalami banyak masalah.
Menurut Edward III dalam Winarno (2005:142-143) mengemukakan
kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika
para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya
dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang
besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal.
Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak
terhadap implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi
kebijakan akan menghadapi kendala yang serius.
Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan
Edward III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan
melalui keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat
implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan
penghambatan lainnya.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006:162):
”Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangatmempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakanpublik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakanbukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betulpermasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan
16
publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambilkeputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan,keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus (2006:159-160)
mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
1. Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang
diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,
pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah
orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan,
lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
2. Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.
Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi
tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan
atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
4. Struktur birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari
struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-
pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang
17
mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dalam menjalankan kebijakan.
Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam
struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi
pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi
diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin
dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi
sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
1. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-
keperluan publik (public affair).
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi
kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam
setiap hierarkinya.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.
5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu
jarang ditemukan birokrasi yang mati.
6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari
pihak luar.
Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya
kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap
18
implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan
dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan. Berdasakan penjelasan di atas,
maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk
mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam Winarno
(2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard
Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.
”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari
tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan
penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno,
2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk
menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta.
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang
tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat
dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno
(2005:152) menjelaskan bahwa:
SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan
baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan
membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi,
semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi.
19
Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP
juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur
perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat
fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada
birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan
kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan
bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan
kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”. Pada
umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan
kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.
Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari
banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang
merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut hambatan-
hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan dengan
implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005:153-154):
Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena
terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-
beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas
atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan
dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk.
20
Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat
perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-
misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar
kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan
perubahan.
Merilee S. Grindle dalam Ismail Nawawi (2009) mengatakan bahwa
implementasi :
Merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti padatingkat program tertentu. Grindle menambahkan bahwa prosesimplementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telahditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dantelah disalurkan untuk mencapai sasaran.
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul
sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkanakibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang
dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama
mereka yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi. Hal ini
dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier dalam Ismail Nawawi (2009) bahwa
jalan yang menghubungkan antara kebijaksanaan dan prestasi kerja dipisahkan
oleh sejumlah variable bebas (independent variable) yang saling berkaitan.
Variabel-variable bebas itu Adalah :
a. Ukuran dan tujuan kebijakan
21
b. Sumberdaya
c. Karakteristik agen pelaksana
d. Sikap/kecenderungan (dispotition) para pelaksana
e. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana
f. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Berdasarkan penjelasan akan konsep implementasi di atas, maka
penelitian ini berlandaskan pada satu acuan teori dari beberapa teori
implementasi kebijakan yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar
implementasi kebijakan di atas. Grindle memperkenalkan model implementasi
sebagai proses politik dan administrasi.
Grindle Menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan
administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Grindle
menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan
sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap
dan telah di salurkan untuk mencapai sasaran. Grindle menyatakan,
implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti
pada tingkat program tertentu. Grindle menambahkan bahwa proses
implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan,
program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk
mencapai sasaran.
Dalam proses implementasi suatu kebijakan, dipengaruhi oleh konten
atau isi dan konteks kebijakan.
a. Isi kebijakan
22
1. Kepentingan yang dipengaruhi, bahwa setiap kebijakan yang akan diambil
akan mempertimbangkan dampak terhadap aktivitas politik yang distimulasi
oleh proses pengambilan keputusan.
2. Tipe manfaat, bahwa program yang memberikan manfaat secara kolektif akan
dapat mendapatkan dukungan dalam implementasinya dan sebaliknya.
3. Derajat perubahan yang diharapkan, bahwa program yang di tetapkan yang
mengharapkan akan adanya sedikit perubahan perilaku di masyarakat akan
mudah untuk diimplementasikan, tetapi untuk program yang mengharapkan
adanya perubahan yang mendasar di masyarakat dalam jangka panjang akan
sulit untuk diimplementasikan.
4. Letak pengambilan keputusan, bahwa setiap keputusan akan
mempertimbangkan dimana keputusan tersebut akan diambil, misalnya di
tingkat Departemen (pemerintah pusat) atau ditingkat Dinas (pemerintahan
daerah), dan akan berdampak pada tingkat implementasi dari kebijakan
tersebut.
5. Pelaksana program, bahwa keputusan yang dibuat dalam tahapan formulasi
kebijakan akan mengindikasikan siapa yang akan ditugaskan untuk
melaksanakan berbagai macam program, dan keputusan itu juga akan
mempengaruhi bagaimana kebijakan tersebut akan dicapai.
6. Sumber daya yang dilibatkan, bahwa setiap keputusan yang diambil akan
berakibat pada pemenuhan sumber daya yan dibutuhkan untuk
mengimplementasikan program yang telah ditetapkan.
b. Konteks kebijakan
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, bahwa mereka yang
akan mengimplementasikan program mungkin akan mencakup partisipasi
23
tingkat pemerintah pusat dan pemerrintahan daerah, baik itu kalangan
birokrat, pengusaha maupun masyarakat umum. Keseluruhan aktor tersebut
mungkin secara intensif ataupun tidak, tergantung konten dari program dan
strukturnya dimana kebijakan tersebut dilaksanakan. Mereka ikut terlibat
dalam implementasi program, dan setiap masing-masing aktor memiliki
kepentingan tertentu terhadap program tersebut dan mereka berusaha
mencapainya dengan membuat ketentuan-ketentuan dalam prosedur
alokasinya.
2. Karakteristik lembaga dan penguasa, bahwa apa yang diimplementasikan
mungkin merupakan hasil dari perhitungan politik dari kepentingan dan
persaingan antar kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas,
respon dari petugas yang mengimplementasikan, dan tindakan-tindakan elit
politik, semuanya berinteraksi dalam konteks kelembagaan masing-masing.
Analisis atas implementasi dari program yang spesifik dalam interaksinya
akan mempertimbangkan penilaian kapabilitas kekuasaan dari para aktor,
kepentingan-kepentingannya, dan strategi untuk mencapainya, serta
karakteristik dari penguasa.
3. Kepatuhan dan daya tanggap, bahwa dalam upanyanya untuk mencapai
tujuan, birokrat berhadapan dengan dua masalah yang timbul dari interaksi
antara lingkungan program dan administrasi program. Yang pertama, birokrat
harus berhadapan dengan masalah yang berkaitan dengan bagaimana
menjaga ketaatan agar hasil akhir dari kebijakan dapat dicapai walaupun
mereka harus menangani berbagai interaksi diantara aktor yang
berkepentingan dalam implementasi kebijakan tersebut. Yang kedua,
bagaimana responsivitas dari birokrat terhadap keinginan-keinginan dari
24
mereka yang akan menerima manfaat dari pelayanan yang diberikannya agar
tujuan kebijakan dan program dapat tercapai. Agar efektif, maka implementor
harus memiliki keahlian dalam seni berpolitik dan harus memahami dengan
baik lingkungan dimana mereka akan merealisasikan kebijakan publik dan
program-programnya.
II.2 Konsep Program
Secara umum, pengertian program adalah penjabaran dari suatu
rencana. Dalam hal ini, program merupakan bagian dari perencanaan, sering
pula diartikan bahwa program adalah kerangka dasar dari pelaksana suatu
kegiatan. Program-program tersebut merupakan sarana pemerintah dalam
meningkatkan harkat dan kehidupan rakyat. Untuk lebih memahami mengenai
pengertian program, berikut ini akan dikemukakan para ahli.
Dalam heirarki kebijakan, dikenal istilah program. Beberapa definisi
mengenai program dikemukakan oleh beberapa ahli seperti yang dikemukakan
Bintoro Tjokromidjojo dalam buku Pengantar Administrasi Pembangunan
(1987:19) yang mengemukakan bahwa program adalah cara untuk memilih dan
menghubungkan dalam merumuskan tindakan yang kita anggap perlu untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
Sutomo Kayatamo (1985:162) yang mengatakan bahwa program adalah
rangkaian aktifitas yang mempunyai saat permulaan yang harus dilaksanakan
serta diselesaikan untuk mendapatkan suatu tujuan.
Dilaksanakannya suatu program tidka hanya menyiratkan rencana yang
kongkrit, akan tetapi diimbangi dengan budget/anggaran program tersebut.
Selanjutnya dapat dilihat dalam pengertian program yang dikemukakan oleh
25
Pariata Westra dkk (1989:236) : “ Program adalah rumusan yang memuat
gambaran pekerjaan yang akan dilaksanakan beserta petunjuk cara-cara
pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat bahwa program tidak saja tercantum tujuan
kebijaksanaan serta tindakan, prosedur atau atau aturan-aturan kan tetapi
disertai pula dengan budgt atau anggaran.
Selain itu, adapun definisi program yang termuat dalam Undang-Undang
RI Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
mengatakan bahwa :
“ Program adalah instrument kebijakan yang berisi satu atau lebih
kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai
sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran , atau masyarakat yang
dikordinasikan oleh instansi masyarakat.”
Berdasarkan defenisi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
program adalah suatu jenis rencana yang kongkret karena di dalamnya sudah
tercantum sasaran, kebijaksanaan, prosedur anggaran, dan waktu pelaksanaan.
Menurut Mannulang (1987:1) yang mengatakan bahwa :”Sebagai unsur
dari suatu perencanaan, program dapat pula dikatakan sebagai gabungan dari
politik, prosedur dan anggaran yang dimaksudkan untuk menetapkan suatu
tindakan untuk waktu yang akan datang”
S.P Siagian (2002) mengatakan bahwa:
“ penyusunan program kerja adalah penjabaran suatu rencana yang telah
ditetapkan sedemikian rupa, sehingga program kerja itu memiliki ciri-ciri
operasional tertentu”
Dari definisi di atas, program merupakan pedoman (rumusan tindakan
yang terencana) dalam melaksanakan rangkaian-rangkaian kegiatan yang
26
didukung oleh ketersedian anggaran, sehingga tujuan program dapat tercapai
meskipun setiap implementasi program memiliki model yang beragam.
Dengan penjabaran yang tepat terlihat dengan jelas paling sedikit lima
hal, yaitu :
1. Berbagai sasaran kongkrit yang hendak dicapai
2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu
3. Besarnya yang diperlukan beserta identifikasi sumbernya
4. Jenis-jenis kegiatan operasional yang akan dilaksanakan
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan, baik ditinjau dari sudut kualifikasinya maupun
ditinjau dari segi jumlahnya.
Suatu program pembangunan yang baik, menurut Bintoro Tjokroamidjojo
(1994:181) harus mempunyai paling sedikit ciri-ciri sebagai berikut :
a. Tujuan yang dirumuskan
b. Penentuan peralatan yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut
c. Suatu kerangka kebijaksanaan yang konsisten dan/atau proyek-proyek yang
saling terkait untuk mencapai tujuan program selektif mungkin
d. Pengukuran dengan ongkos-ongkos yang diperkirakan dan keuntungan-
keuntungan yang diharapkan akan dihasilkan program tersebut
e. Hubungan dengan kegiatan-kegiatan lain dalam usaha pemerintah dan
program pembangunan lainnya.
f. Berbagai upaya di bidang manajemen, termasuk penyedian tenaga,
pembiayaan dan lain-lain untuk melaksanakan program tersebut.
Dalam proses pelaksanaan suatu program kenyataan yang
sesungguhnya, dapat berhasil, kurang berhasil, ataupun gagal sama sekali
apabila ditinjau dari wujud hasil yang dicapai atau outcomes, karena dalam
27
proses tersebut turut bermain dan terlihat berbagai unsur yang pengaruhnya
bersifat mendukung maupun menghambat pencapaian sasaran program.
Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa di dalam proses pelaksanaan
suatu program sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak
ada menurut Syukur Abdullah (1987) antara lain sebagai berikut.
a. Adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan
b. Target group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan
diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut dalam bentuk
perubahan dan peningkatan.
c. Unsur pelaksanaa (implementer) baik organisasi maupun perorangan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan dari
proses implementasi tersebut.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari
beberapa tahap, yaitu :
1. Merancang (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan
yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur-struktur
dan personalia, dana serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode
yang tepat.
3. Membangun system penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan
yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan.
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sebalum suatu program
diimplementasikan, terlebih dahulu harus diketahui secara jelas mengenai uraian
pekerjaan yang dilakukan secara sistematis, tata cara pelaksanaan, jumlah
28
anggaran yang dibutuhkan dan kapan waktu pelaksanaannya agar program yang
direncanakan dapat mencapai target yang sesuai dengan keinginan.
II.3 Konsep Kesehatan Gratis
II.3.1 Pengertian Kesehatan
Istilah kesehatan dalam kehidupan sehari-hari sering dipakai untuk
menyatakan bahwa sesuatu dapat bekerja secara normal. Bahkan benda mati
pun seperti kendaraan bermotor atau mesin, jika dapat berfungsi secara normal,
maka seringkali oleh pemiliknya dikatakan bahwa kendaraannya dalam kondisi
sehat. Kebanyakan orang mengatakan sehat jika badannya merasa segar dan
nyaman. Bahkan seorang dokterpun akan menyatakan pasiennya sehat
manakala menurut hasil pemeriksaan yang dilakukannya mendapatkan seluruh
tubuh pasien berfungsi secara normal. Berikut pengertian beberapa ahli
mengenai kesehatan.
Menurut World Health Organization (1974) , Kesehatan adalah :
a state of complete physical, mental, and social well being and not merelythe absence of illness or indemnity. (sesuatu keadaan yang sejahteramenyeluruh baik fisik, mental, dan social dan tidak hanya bebas daripenyakit atau kelemahan).
Kesehatan Menurut Depkes RI
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal
karena ada faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya
terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan
pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain
bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep
sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit
29
merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis
maupun sosio budaya.
UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa :
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini
maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur
–unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan
bagian integral kesehatan.
II.3.2 Pengertian Kesehatan Gratis
Kesehatan gratis adalah salah satu program yang dicanangkan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten guna
membebaskan atau meringankan biaya kesehatan bagi penderita penyakit di
Sulawesi Selatan. Salah satu janji yang paling dinantikan oleh masyarakat
Sulawesi Selatan adalah tentang kesehatan gratis. Janji tersebut memang
menjadi program andalan sehingga bisa memenangkan pemilihan gubernur
sulawesi selatan periode 2008 - 2013.
Kesehatan gratis di Sulawesi Selatan merupakan program prioritaskan
Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2013. Program ini merupakan janji
Gubernur terpilih saat PILKADA 2008 yang harus diimplementasikan selama
periode kepemimpinannya. Implementasi tersebut telah dituangkan dalam
PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG PELAYANAN KESEHATAN GRATIS
30
Departemen Kesehatan mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
SKN (Sistem Kesehatan Nasional). RUU ini akan menjadi acuan bagi peraturan
kesehatan di Indonesia. Sebelumnya, SKN yang lama yaitu UU no.23 tahun
1992. “Tetapi untuk lebih menyempurnakan, maka dibuatlah UU SKN yang baru,”
kata Menteri Kesehatan Achmad Sujudi, dalam jumpa persnya di kantornya,
Kamis (31/7).
SKN ini merupakan acuan bagi upaya-upaya peningkatan kesehatan.
Menurut Sujudi, nantinya akan ada UU kesehatan lain yang mengacu pada UU
SKN baru. Misalnya UU tentang narkotika atau UU tentang obat yang
kesemuanya menginduk pada UU SKN.
Saat ini RUU SKN masih berupa rancangan. Rancangan tersebut baru
dari sektor kesehatan. “Tentunya nanti akan diikurtsertakan dari sektor-sektor
yang lain,” ujarnya. Diharapkan, UU SKN tersebut dapat diselesaikan dengan
cepat sehingga tahun ini pula mudah-mudahan bisa mulai dijalankan. “Lebih
cepat lebih bagus,” katanya.
Sujudi menjelaskan upaya sosialisasi UU SKN ini karena penegakan
hukumnya akan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Mengenai substansinya,
Sujudi menjelaskan beberapa poin yang dijabarkan dalam UU SKN tersebut.
Yaitu masalah sub sistemnya, baik perorangan maupun masyarakat. Kemudian
masalah pembiayaannya. Lalu masalah pemberdayaan masyarakat dan
perannya dalam SKN.
Peran masyarakat dalam SKN meliputi tiga hal, yaitu ikut memberikan
pelayanan kesehatan, ikut memberikan advokasi untuk kesehatan, ikut
31
mengawasi pelayanan masyarakat dengan menggunakan potensi yang
dimilikinya. Kemudian mengenai masalah sumber daya kesehatan. Dan
selanjutnya adalah soal manajemen SKN. Diharapkan pembangunan kesehatan
dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya.
II.3.3 Daftar Pengobatan Kesehatan Gratis
Pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk Kota di puskesmas dan
jaringannya dibebaskan dari biaya pelayanan meliputi :
1. Pelayanan rawat inap persalinan dan rawat Inap umum
2. Pemeriksaan dokter, pengobatan dan konsultasi kesehatan
3. Pelayanan laboratorium yang terdiri dari ;
a) pemeriksaan darah rutin
b) pemeriksaan urine rutin
c) pemeriksaan tinja
d) pemeriksaan sputum
e) pemeriksaan malaria/DDR
f) pemeriksaan widal
g) pemeriksaan golongan darah
h) pemeriksaan tes kehamilan
4. Tindakan medik dasar terdiri dari ;
1) Tindakan medik umum meliputi ;
a. jahit luka;
b. ganti verband;
c. cross insisi;
32
d. insisi abses;
e. ekstraksi corpus alienum;
f. perawatan :
a) luka ringan;
b) luka sedang;
c) luka berat.
g. resusitasi kardio pulmoner (RKP).
2) Tindakan medik gigi mulut dasar yang meliputi ;
a.pencabutan gigi dewasa;
b.pencabutan gigi anak anak;
c.tumpatan tetap;
d.tumpatan sementara;
e.insisi abses;
f. pembersihan karang gigi manual.
5. Pelayanan dasar kesehatan ibu dan anak (kia) dan keluarga berencana
(kb) yang terdiri dari :
1) pelayanan ibu hamil (antenatal care)
2) pelayanan post natal care ( pnc )
3) pelayanan imunisasi
4) Pelayanan keluarga berencana :
a. suntik
b. pil
5) perawatan tali pusat;
6) Perawatan payudara;
7) Tindik telinga.
33
6. Surat keterangan lahir;
7. Surat keterangan sakit;
8. Surat keterangan kematian.
9. Pelayanan kesehatan rawat jalan lanjutan dan pelayanan kesehatan
rawat inap lanjutan pada RSUD dibebaskan dari biaya rawat jalan dan
rawat inap kelas III setelah mendapatkan surat rujukan dari
Puskesmas.
II.3.4 Dasar Hukum Kesehatan Gratis
Beberapa dasar hukum yang melatarbelangi pelaksanaan program
Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan, antara lain :
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
3. Peraturan Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.
4. Pergub Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Pelayanan Kesehatan Gratis Di Provinsi Sulsel.
5. Perda Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Kesehatan
Di Kota Makassar.
II.3.5 Sasaran Kesehatan Gratis
Sasaran program pelayanan kesehatan gratis Menurut Pergub Sulsel
Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan
Kesehatan Gratis Di Provinsi Sulsel. Pada Bab II Tujuan dan Sasaran Bagian
Kedua sasaran pasal 4 adalah seluruh penduduk Sulawesi Selatan yang
34
mempunyai identitas (KTP/Kartu Keluarga), tidak termasuk yang sudah
mempunyai jaminan kesehatan lainnya.
Sasaran atau peserta yang akan mendapatkan layanan kesehatan gratis
melaui pembagian kartu anggota dilakukan melalui pendataan sasaran, registrasi
peserta, dan penetapan oleh Bupati Atau Walikota. Pendataan sasaran dilakukan
secara berjenjang, mulai dari tingkat Desa/ Kelurahan yang dilakukan oleh tim
Desa/ Kelurahan selanjutnya dilaporkan ke tingkat Kecamatan, untuk dilakukan
rekapitulasi (Pasal 10 Pergub Nomor 13 Tahun 2008).
II.3.6 Tujuan Kesehatan Gratis
Program kesehatan gratis yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi
sulsel yang bertujuan (goal) untuk meningkatkan (improve) akses guna
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan meningkatkan
kualitas dan pemerataan untuk mendapatkan pelayanan yang meringankan
beban penduduk dalam pembiayaan pelayanan (Pasal 3 Perda Nomor 2 Tahun
2009).
Tujuan pelayanan kesehatan gratis juga diperkuat lagi dalam Pasal 2
dan Pasal 3 Pergub Nomor 13 Tahun 2008 sebagai bentuk peraturan
pelaksanaan, yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis adalah meningkatnya akses
pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh penduduk
Sulawesi Selatan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal
secara efektif dan efesien. Sementara tujuan khusus dari pelaksanaan pelayanan
kesehatan gratis adalah:
35
a. Membantu dan meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pelayanan
kesehatan.
b. Meningkatnya cakupan masyarakat dalam mendapatakan pelayanan
kesehatan di Puskesmas serta jaringannya di rumah sakit milik pemerintah dan
pemerintah daerah di wilayah Sulawesi Selatan.
c. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi
Selatan.
d. Meningkatnya pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi
Selatan.
e. Terselenggaranya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat dengan pola
jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan.
II.3.7 Komponen Kesehatan Gratis Tiap Puskesmas
Komponen yang dibiayai kesehatan gratis pemerintah Sulawesi Selatan
adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Untuk mengoptimalkan
program tersebut, pemerintah menyiapkan dana Rp 46.000.000.000,00.
Anggaran sebesar itu diperuntukkan bagi 76,4 juta warga miskin di seluruh
Indonesia, khusus di Sulsel. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi
Sulsel, jumlah penduduk miskin saat ini mencapai 2.523.277 jiwa. Mereka
tersebar pada 23 kabupaten/kota di Sulsel.
Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan menargetkan sebanyak 4.298.100
masyarakat di Sulawesi Selatan masuk dalam daftar kesehatan gratis.
Berdasarkan pengalaman penanganan kesehatan di Sulsel menyebutkan, dari
data 4,2 juta lebih penduduk yang tidak masuk dalam klien asuransi kesehatan
36
ini, setiap tahunnya sekira 25-30 persen di antara mereka sakit. Dinas Kesehatan
mengasumsikan bahwa setiap tahun jumlah masyarakat yang dibiayai dalam
program kesehatan gratis setiap tahun sebanyak 1,5 juta hingga 2 juta orang.
Anggaran yang dibutuhkan untuk setengah tahun terakhir ini sekira Rp 40 miliar
hingga Rp 50 miliar. Dananya ditanggung oleh Pemprov Sulawesi Selatan dan
masing-masing pemkab/pemkot se – Sulawesi Selatan.
Untuk dana pelayanan kesehatan masyarakat miskin di Puskesmas dan
jaringannya disalurkan langsung ke Puskesmas, sedangkan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit dikelola Departemen Kesehatan dan pembayaran ke
PPK langsung melalui kas negara. Penyaluran dana ini tetap dalam kerangka
penjaminan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak terpisahkan sebagai
kerangka jaringan dalam subsistem pelayanan yang seiring dengan subsistem
pembiayaannya.
Jumlah penduduk Sulawesi Selatan tahun 2008 sebesar 7,5 juta jiwa,
jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, baik Askes, Jamsostek
maupun Jamkesmas sebanyak 3,1 juta jiwa, sementara sisanya yakni sebanyak
4,4 juta jiwa, inilah yang kemudian ditanggung oleh pemerintah daerah melalui
jaminan pemeliharaan kesehatan daerah yang merupakan wujud dari pelayanan
kesehatan gratis yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Selanjutnya dari Indikator
Indonesia Sehat tentang Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam
Prabayar ditargetkan pemerintah Pusat sebesar 60 % di tahun 2008, dengan
adanya program pelayanan gratis ini, target tersebut justru telah terlewati yakni
sebesar 67,77 % atau mengalami peningkatan sebesar 7,8 %. Data inilah
37
kemudian semakin menguatkan bahwa pelayanan kesehatan gratis menunjang
program Jamkesmas.
Komitmen pemerintah Sulawesi Selatan untuk mensukseskan
pelayanan kesehatan gratis ini dapat dilihat dari besarnya anggaran yang di
alokasikan, dimana pada tahun 2008 anggaran yang disiapkan untuk itu sebesar
Rp. 81,8 000.000.000,00. Pada tahun 2009 alokasi anggaran untuk Kabupaten
dan Kota sebesar 30,4 Milyar dengan asumsi 40% bersumber dari propinsi dan
70% bersumber dari Kabupaten dan kota masing-masing.
Dana kesehatan Pemerintah Kota Makassar untuk layanan program
kesehatan gratis pada tahun 2011 mencapai Rp38,7 miliar. "Alokasi anggaran
kesehatan gratis ini merupakan dana sharing APBD Kota Makassar sebesar 60
persen dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan 40 persen," kata Kadis Kesehatan
Makassar dr Naisyah tun Asikin, sementara itu besaran anggaran untuk Rumah
Sakit Provinsi, Rumah Sakit Regional dan Balai Kesehatan mencapai angka
85,9 Milyar Rupiah.
II.4 Kerangka Pemikiran
Secara garis besar, Implementasi merupakan setiap kegiatan yang
dilakukan menurut rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Upaya
untuk memahami adanya perbedaan antara yang diharapkan dengan fakta yang
telah terjadi dan menimbulkan kesadaran mengenai pentingnya suatu
pelaksanaan.
Begitu pula dengan implementasi program Kesehatan Gratis (Studi
Kasus Puskesmas Batua Makassar), dalam penelitian ini peneliti ingin
38
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah
program sehingga peneliti menggunakan teori menurut George C. Edward III,
implementasi kebijakan di pengaruhi oleh komunikasi, sumber daya, disposisi
atau sikap, dan struktur birokrasi, atau lebih mendetailnya berikut dijelaskan pada
gambar. 1 di bawah ini.
Gambar 1.
Model implementasi Menurut George C. Edward III
Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka konseptual yang akan menjadi
acuan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
KOMUNIKASI
SUMBER DAYA
STRUKTUR BIROKRASI
IMPLEMENTASI
DISPOSISI/SIKAP
39
KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 2. Skema Kerangka Konseptual
IMPLEMENTASI
PROGRAM
KESEHATAN
GRATIS (STUDI
KASUS
PUSKESMAS
BATUA
MAKASSAR)
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
IMPLEMENTASI:
1. KOMUNIKASI
2. SUMBER DAYA
3. DISPOSISI/SIKAP
4. STRUKTUR
BIROKRASI
TUJUAN
PROGRAM
KESEHATAN
GRATIS
40
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Puskesmas Batua Makassar mengingat
puskesmas ini merupakan puskesmas yang terbesar dan merupakan salah satu
puskesmas yang mendapatkan program kesehatan gratis.
III.2 Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Dimana penulis
menggunakan wawancara, observasi langsung ke lapangan dan analisis dari
bahan-bahan tertulis sebagai sumber data utama.
Tujuan penelitian melalui pendekatan kualitatif ini adalah bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.
Misalnya perilaku, motivasi, tindakan dan kain-lainnya. Secara holistik dan
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode yang alamiah.
Selanjutnya digunakan teknik deskriptif untuk mengetahui dan
menggambarkan tentang bagaimana implementasi Program Kesehatan Gratis
(Studi Kasus Puskesmas Batua Makassar).
III.3 Tipe dan Dasar Penelitian
III.3.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif yang
memberikan gambaran mengenai implementasi program kesehatan gratis di
41
Puskesmas Batua Makassar. Penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan sejumlah variable-variable yang
berkenan dengan masalah dan unit yang sedang di teliti. Variable yang diteliti
yaitu komunikasi, sumber daya, sikap/disposisi dan struktur birokrasi.
III.3.2 Dasar Penelitian
Dasar penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang mengkaji
bagaimana implementasi program kesehatan gratis di Kota Makassar, tepatnya
pada Puskesmas Batua Makassar.
III.4 Unit Analisis
Sehubungan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian
ini, maka yang menjadi unit analisis adalah program kesehatan gratis yang
dilaksanakan di Puskesmas Batua Makassar. Unit analisis ini didasarkan pada
pertimbangan bagimana implementasi program kesehatan gratis di Kota
Makassar sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi untuk
memberikan kesehatan berkualitas bagi seluruh masyarakat khususnya di
Puskesmas Batua Makassar.
III.5 Teknik Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling yaitu informan yang dipilih dengan secara sengaja atau
menunjuk langsung kepada orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik-
karakteristik populasi. Penggunaan teknik ini senantiasa mempunyai
pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu penelitian harus terlebih dahulu
42
memiliki pengetahuan tentang cirri-ciri tertentu yang telah didapat dari populasi
sebelumnya.
Salah satu jenis teknik ini adalah sampel purposive, yaitu suatu teknik
penarikan sampel yang digunakan dengan cara sengaja atau menunjuk langsung
orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik-karakteristik populasi.
Penggunaan teknik ini senantiasa mempunyai pengetahuan tentang cirri-ciri
tertentu yang telah didapat populasi sebelumnya.
Dalam penelitian ini, digunakan informan, yaitu :
1. Dari pihak pemerintah, Kepala Puskesmas Batua Kota Makassar yang
secara langsung menangani implementasi program kesehatan gratis ini.
2. Tokoh masyarakat diluar target group
3. Aparat pemerintah daerah yang terkait.
4. Dan dari target group, yaitu masyarakat yang menjadi sasaran dari
program kesehatan gratis ini.
III.6 Fokus Penelitian
Untuk mempermudah dan memperjelas pemahaman terhadap konsep-
konsep penting yang digunakan dalam penelitian ini, maka di kemukakan focus
penelitian sebagai berikut :
1. Implementasi program adalah suatu tindak lanjut setelah suatu program
(program kesehatan gratis) di tetapkan, baik strategi-strategi maupun
operasionalnya guna mencapai tujuan program tersebut.
2. Faktor yang berpengaruh dalam berhasil atau terhambatnya implementasi
program kesehatan gratis adalah sebagai berikut :
43
a. Komunikasi, penyampaian informasi dari pembuat program kepada aparat
pelaksana kesehatan gratis serta konsistensi informasi yang disampaikan.
b. Sumberdaya, ketersedian sumberdaya dalam melaksanakan sebuah
program merupakan salah satu faktor yang harus selalu diperhatikan.
Sumber daya yang dimaksud adalah staff yang cukup, informasi,
kewenangan, serta Fasilitas.
c. Disposisi, Pengangkatan birokrasi dan Insentif pegawai Puskesmas Batua
dalam menjalankan Program Kesehatan Gratis sehingga dapat terlaksana
dengan baik.
d. Struktur Birokrasi, Standard operational procedure (SOP) dan Fragmentasi
Puskesmas Batua Makassar dalam proses implementasi program
kesehatan gratis.
III.7 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan para
informan sebagai data primer dan tulisan aatau dokumen-dokumen yang
mendukung pernyataan informan. Untuk memperoleh data-data yang relevan
dengan tujuan penelitian, maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut :
1. Data Primer
Data primer dapat diperoleh melalui :
a. Observasi (pengamatan), dilakukan dengan mengadakan pengamatan
langsung terhadap objek penelitian yang diteliti untuk memperoleh data yang
kongkrit di lokasi penelitian. Pengamatan yang dilakukan melalui observasi
terbatas dengan berupaya mengumpulkan data primer dan data sekunder.
44
b. Interview (wawancara), dilakukan dengan wawancara langsung atau tanya
jawab terhadap sejumlah informan yang dianggap mengetahui objek penelitian.
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder dapat diperoleh melalui kepustakaan yaitu teknik
pengumpulan data dengan cara membaca dan menelaah bahan bacaan atau
literature yang bersumber dari
buku-buku, internet, majalah dan Koran-koran untuk bahan yang berhubungan
dengan penelitian.
III.8 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana
yang dikemukakan Moleong, proses analisa data kualitatif dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari
wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan,
dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.
Langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan
dengan jalan abstraksi. Abtraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang
inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada
didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya ke dalam satu-satuan itu,
kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Tahap terakhir dari data
ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.
Dalam peneliti ini, data-data tentang Implementasi Program Kesehatan
Gratis (Studi Kasus Puskesmas Batua Makassar) yang telah didapatkan, baik
melalui wawancara atau dokumentasi disajikan secara menyeluruh, kemudian
46
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
IV.1 Gambaran Umum Kota Makassar
Kota Makassar mempunyai posisi strategis karena berada di
persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam provinsi di
Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah selatan Indonesia. Dengan kata
lain, wilayah kota Makassar berada koordinat 119 derajat bujur timur dan 5,8
derajat lintang selatan dengan ketinggian bervariasi antara 1-25 meter dari
permukaan laut.
Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan
0 – 5 derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai tallo yang
bermuara di bagian utara kota dan sungai jeneberang yang bermuara di selatan
kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 km2
daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan
kurang lebih 100 km2. Dengan batas-batas berikut :
a. Batas Utara : Kabupaten Pangkajene Kepulauan
b. Batas Selatan : Kabupaten Gowa
c. Batas Timur : Kabupaten Maros
d. Batas Barat : Selat Makasar
Secara administrasi Kota Makassar terbagi atas 14 Kecamatan dan 143
Kelurahan dengan 885 RW dan 4446 RT. Diantara kecamatan tersebut, ada
tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate,
Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanayya. Ketinggian
47
Kota Makassar bervariasi antara 0 - 25 meter dari permukaan laut, dengan suhu
udara antara 20° C sampai dengan 32° C.
Penduduk kota Makassar tahun 2009 adalah sebesar 1.272.349 jiwa
yang terdiri dari 610.270 jiwa laki-laki dan 662.079 jiwa perempuan. Jumlah
rumah tangga di Kota Makassar tahun 2009 mencapai 296.374 rumah tangga.
Dengan Kecamatan Tamalate memiliki posisi nomor satu untuk jumlah penduduk
terbesar di Kota Makassar yakni sebanyak 154.464 jiwa pada tahun 2009.
Sementara Kecamatan Rappocini menempati posisi kedua dengan jumlah
penduduk sebesar 145.090 jiwa pada tahun 2009, disusul oleh Kecamatan Tallo
dengan jumlah penduduk sebesar 137.333 rumah tangga.
Kecamatan yang memiliki jumlah rumah tangga terbesar di Kota
Makassar adalah Kecamatan Biringkanaya dengan jumlah rumah tangga
sebesar 35.684 rumah tangga. disusul dengan Kecamatan Tallo dengan jumlah
rumah tangga sebesar 35.618 rumah tangga dan Kecamatan Tamalate terbesar
ketiga dengan jumlah rumah tangga sebesar 32.904 rumah tangga. sedangkan
kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil dan jumlah rumah tangga terkecil
adalah Kecamatan Ujung Pandang dengan jumlah penduduk adalah sebesar
29.064 jiwa dan jumlah rumah tangganya adalah sebesar 7.177 rumah tangga.
Laju pertumbuhan penduduk di Kota Makassar yang paling tinggi untuk
periode 2000-2009 adalah Kecamatan Biringkanaya dengan laju pertumbuhan
penduduk sebesar 3,57 persen per tahun. Sedang kecamatan yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk terkecil adalah Kecamatan Wajo dan Kecamatan
48
Mamajang yakni sebesar 0,45 persen per tahun. Penduduk Kota Makassar tahun
2010 tercatat sebanyak 1.339.374 jiwa yang terdiri dari 661.379 laki-laki dan
677.995 perempuan. Sementara itu komposisi penduduk menurut jenis kelamin
dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin penduduk kota Makassar, yaitu
sekitar 92,17 % yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 92 penduduk
laki-laki.
IV.2 Puskesmas Batua Kota Makassar
Dalam penelitian ini karakteristik data (primer dan sekunder) serta
identifikasi/penelurusan informan kunci (Kelompok Aktor Implementasi Kebijakan
Peraturan Daerah) diinput dari Puskesmas Batua Kota Makassar. Sebagai salah
satu Lembaga Teknis Daerah, Puskesmas Batua Kota Makassar yang
beralamat Kantor di Jl. Abdullah Dg.Sirua No.338 Kelurahan Batua, Kecamatan
Manggala Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan ini mempunyai kedudukan
sebagai unsur pendukung dalam melaksanakan tugas tertentu Pemerintah Kota.
Di mana dalam pelaksanaan tugas, dipimpin oleh seorang Kepala yang berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Adapun Wilayah Kerja dari Puskesmas Batua :
1. Kelurahan Batua Kec.Manggala : 11 RW
2. Kelurahan Borong Kec. Manggala : 11 RW
3. Kelurahan Tello Baru Kec Panakkukang : 11 RW
4. Kelurahan Paropo Kec. Panakkukang : 10 RW
Nilai-nilai organisasi Puskesmas Batua yang disingkat dengan SEGAR, yaitu :
a. Senyum merupakan modal dalam memberi pelayanan
b. Efektif dengan pelayanan tepat guna, berdaya guna , berhasil
49
c. Gerakan adalah upaya cepat tindak dalam pemberian pelayanan kesehatan
masyarakat
d. Amal merupakan bentuk kerelaan hati petugas dalam memberi pelayanan
e. Ramah adalah sikap yang tertanam dalam jiwa petugas kesehatan.
IV.3 Visi dan Misi Puskesmas Batua Kota Makassar
Adapun Visi dan Misi Puskesmas Batua dalam hal ini sebagai salah satu
lembaga teknis daerah sebagai berikut :
Visi
Menjadi Puskesmas dengan pelayanan terbaik di Makassar
Misi :
1. Meningkatkan sarana prasarana
2. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan secara berkelanjutan
3. Mengembangkan jenis pelayanan dan mutu pelayanan kesehatan
4. Meningkatkan sistem informasi dan manajemen puskesmas
5. Mengembangkan kemitraan
6. Meningkatkan kemandirian masyarakat
IV.4 Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas Batua Kota Makassar
Secara umum tugas pokok dan fungsi Pusat Kesehatan Masyarakat atau
yang biasa disingkat dengan nama Puskesmas Batua adalah memberikan
pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat yang ada di wilayah kerjanya.
Dalam hal ini ada empat Kelurahan yaitu Borong, Batua, Tello Baru, dan Paropo,
yang merupakan basis kerja dari puskesmas batua.
50
IV.5 Struktur Organisasi Diklat Puskesmas Batua Kota Makassar
1. Penanggung jawab : dr. Hj. Syamsiah Densi R, Mars
2. Koordinator diklat : Ramluddin,SKM
3. Sekretaris : Arfain,SKM
4. Bendahara : Lusiana,AMK
5. Pembimbing Siswa Mahasiswa :
a). Fak. Kedokteran :
1) Dr.Hj.Eny Murtini,M.Kes
2) Dokter Umum Puskesmas Batua
b). Fak. Kedok. Gigi :
1) drg. Nurwahidah
2) Dokter gigi Puskesmas Batua
c). Keperawatan :
1) S1 Kep :
1) Herawati,S.Kp,Ns
2) Marwah,Skp,Ns
2) D3 Kep :
1) Ramluddin,SKM
2) Lusiana, AMK (SMK KEP)
3) Abd. Latif,SKM
4) Maritha Pasenggong,AMK
5) Muliana,AMK
6) Sundari,AMK
7) Reskiati Aprianti,AMK
51
d). D3 Kebidanan :
1) Hermin Lambe,SKM
2) Herlina AR,A.Mkeb
3) Adriyani Amiruddin,A.MKeb
4) Ratih Puspita Ratu, A.Mkeb
e). Farmasi :
1) Decy Tandilinting,S.Si.Apt
2) Miryam (SMK,D3,S1)
f). FKM :
1) Epidemiologi :
1) Ramluddin,SKM
2) Naba,SKM
2) AKK :
1) Abd.Latif,SKM
2) Arfain,SKM
3) H.Muchlis Ali,SKM
3) Gizi/Kespro :
1) Hermin Lambe,SKM
2) Hj. Rosdiana,AMKG
3) Naomi,B.Sc
4) Kesling/Promkes :
1) Nurjannah,SKM
2) Rita,AMKL
g). APIKES :
1) (Rekam Medik) :
52
1) Ramluddin,SKM
2) Syarifuddin,AMK
3) Hj.Kurniati, S.Sos
h). Perawat Gigi :
1) H. Muchlis Ali,SKM
2) Nurhaedah,BSc
i). D3/SMK Analis :
1) Naba,SKM
j). D3 Gizi :
1) Rosdiana,AMKG
2) Naomi Pangingi,B.Sc
3) Nurhaedah, B.Sc
k). Penelitian/Pengambilan Data/ Institusi Non Kesehatan :
1) Ramluddin,SKM
2) Nurlaela Ridha
IV.6 Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Kerja Puskesmas Batua Makassar
1. Kepala Puskesmas
Kepala Puskesmas mempunyai tugas memimpin, mengawasi dan
mengkoordinasi pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat secara paripurna dalam wilayah kerjanya. Dalam
melaksanakan tugas, Kepala Puskesmas menyelenggarakan fungsi :
a. Melaksanakan fungsi-fungsi manajemen
b. Membuat rencana, program kerja dan jadwal kegiatan puskesmas
sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan
53
c. Menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan
uraian tugas dan tanggung jawab
d. Melaksanakan koordinasi termasuk melaporkan kegiatan puskesmas
dengan dinkes kota Makassar untuk mendapatkan masukan, informasi
serta untuk mengevaluasi permasalahan agar diperoleh hasil kerja
yang optimal dan sebagai pertanggung jawaban kegiatan
2. Bagian Poli Umum
Bagian Poli Umum Mengatur kelancaran proses pelayanan di poli
umum, Mengatur pembagian tugas di poli umum, dan Meningkatkan kinerja
petugas poli. Dalam melaksanakan tugas, Bagian Poli Umum
menyelenggarakan Fungsi :
a. Memberi pengarahan kepada staf poli umum
b. Memberi teguran/peringatan kepada staf poli umum yang tidak
menjalankan tugasnya dengan benar
c. Kontroling kelengkapan dokumen poli umum
3. Bagian Ruang Bersalin
Bagian Ruang Bersalin mempunyai tugas mengatur dan
mengkoordinasikan seluruh kegiatan pelayanan di kamar bersalin dan
perawatan umum, mengupayakan pengadaan peralatan dan obat sesuai
standar, serta mengendalikan pelaksanaan asuhan kebidanan dan
keperawatan yang telah ditentukan. Dalam melaksanakan tugas, Bagian
Ruang Bersalin menyelenggarakan fungsi :
a. Memantau dan menilai keadaan pasien
b. Melakukan rujukan pada pasien yang mengalami komplikasi
c. Mengatur jadwal dinas
54
d. Membimbing siswa/mahasiswa yang melakukan praktek klinik
4. Bagian Rawat Inab
Bagian Rawat Inab mempunyai tugas mengatur dan
mengkoordinasikan seluruh kegiatan pelayanan dari perawatan umum.
Dalam melaksanakan tugas, Bagian Rawat Inab mempunyai fungsi :
a. Memantau dan menilai keadaan pasien
b. Melakukan rujukan pada pasien yang mengalami komplikasi
c. Mengatur jadwal dinas
d. Membimbing siswa/mahasiswa yang melakukan praktek klinik
5. Bagian GIzi
Bagian Gizi berfungsi membantu kepala puskesmas dalam kegiatan
yang dilaksanakan puskesamas. Dalam melaksanakan fungsi, Bagian Gizi
mempunyai tugas :
a. Melaksanakan kegiatan perbaikan gizi di wilayah kerjanya
b. Demonstrasi makanan sehat
c. Pemberian vitamin pada anak balita
d. Membuat pencatatan dan laporan
6. Bagian Loket/Kartu
Bagian Loket/Kartu mempunyai tugas mencatat dan membuat nomor
index family folder , serta membuat laporan penggunaan nomor index
family folder. Dalam melaksanakan tugas, Bagian Loket/Kartu berfungsi :
a. Menyiapkan buku folder baru
b. Mencatat penerimaan dan pengeluaran ATK
c. Member nomor index family folder sesuai urutan
55
7. Bagian Kamar Obat
Bagian Kamar Obat mempunyai tugas pokok pembuatan
perencanaan obat, pengadaan/permintaan obat, penerimaan dan
penyimpanan obat, pelaporan serta penyuluhan obat. Dalam
melaksanakan tugas, Bagian Kamar Obat berfungsi :
a. Bertanggung jawab terhadap pengelolaan obat yaitu perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan distribusi, penggunaan,
pencatatan, dan pelaporan
b. Membuat laporan LB:2 LP LPO tipa bulan
c. Membuat perencanaan obat pertahun
d. Membuat laporan tahunan pemakain obat
e. Memberikan penyuluhan obat kepada masyarakat
IV.7 Kondisi Pegawai Puskesmas Batua Kota Makassar
Tabel 1.1 Keadaan Pegawai Puskesmas Batua Kota Makassar
Berdasarkan Pangkat Golongan
Pangkat Golongan Jumlah
Golongan IV 2 Orang
Golongan III 36 Orang
Golongan II 8 Orang
Honorer 1 Orang
Total 47 Orang
Sumber : Puskesmas Batua Kota Makassar,2012
56
Tabel 1.2 Keadaan Pegawai Puskesmas Batua Kota Makassar
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki 8 orang
Perempuan 39 Orang
Total 47 Orang
Sumber : Puskesmas Batua Kota Makassar,2012
IV.8 Kondisi Penduduk Di Wilayah Kerja Puskesmas Batua Kota Makassar
Berdasarkan data dari Puskesmas Batua Kota Makassar bahwa
jumlah warga masyarakat yang berobat dengan menggunakan program
kesehatan gratis pada tahun 2011, tercatat sebanyak 58.580 jiwa.
Tabel 2.1 Daftar Jumlah Penduduk Yang Menggunakan
Program Kesehatan Gratis, Tahun 2011
No. BulanJumlah
Jamkesda Jamkesmas Askes Total
1 Januari 4272 298 747
2 Februari 3802 225 688
3 Maret 4268 250 780
4 April 4348 234 737
5 Mei 4780 285 795
6 Juni 4274 236 693
7 Juli 4150 202 756
8 Agustus 3630 205 620
9 September 3458 168 661
10 Oktober 3298 270 770
11 November 3142 264 699
12 Desember 3542 300 733
Jumlah 46964 2937 8679 58,580Sumber : Puskesmas Batua Kota Makassar,2011
57
Data Tabel di atas menunjukkan bahwa tercatat 46.964 jiwa yang
menggunakan Jamkesda, 2.937 jiwa yang menggunakan Jamkesmas, dan 8.679
jiwa yang menggunakan Askes. Meraka tersebar di empat kelurahan yang
merupakan wilayah kerja dari Puskesmas Batua Kota Makassar.
Selanjutnya disajikan perkembangan penduduk yang menggunakan
program kesehatan gratis dalam empat tahun terakhir sebagaimana yang tertera
di bawah ini.
Tabel 2.2 Perkembangan penduduk yang menggunkan
program kesehatan gratis Tahun 2008 s/d 2011
No. TahunJumlah
TotalJamkesda Jamkesmas Askes
1 2008 36576 9163 7940 53679
2 2009 34439 8266 7813 50518
3 2010 54607 4795 8007 67409
4 2011 46964 2937 8679 58580
Rata-rata 43146.5 6290.25 8109.75 57546.5Sumber : Puskesmas Batua Kota Makassar, 2011
Dari data Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang
menggunakan program kesehatan gratis selama empat tahun terakhir
mengalami penurunan dari tahun 2008 ke tahun 2009 sebanyak 3.161 jiwa,
kenaikan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebanyak 16.891 jiwa, dan
penurunan dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebanyak 8.829 jiwa.
58
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat penjelasan atau uraian mengenai hasil penelitian dan
pembahasan tentang :
1) Deskripsi Pelaksanaan Program Kesehatan Gratis Pada Wilayah
Kerja Puskesmas Batua
2) Implementasi Program Kesehatan Gratis yang dinilai dari faktor-
faktor yang berpengaruh dalam proses pelaksanaan kesehatan
gratis
Kedua pokok pembahasan tersebut dianalisis berdasarkan hasil
wawancara sebagaimana diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
V.1 Deskripsi Pelaksanaan Program Kesehatan Gratis Pada Wilayah Kerja
Puskesmas Batua Kota Makassar
Kedudukan Kota Makassar sebagai salah satu kota metropolitan di
Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi berlangsungnya berbagai kegiatan
usaha dan pembangunan, namun efek dari berbagai kebijakan pembangunan
juga tidak terlepas dari timbulnya permasalahan sosial atau ekses-ekses negatif
berupa gangguan terhadap kesehatan tubuh warga masyarakat.
Pada pendeskripsian ini kami mencoba mengkritisi peraturan perundang-
undangan (regulation) program kesehatan gratis, digunakan dua metode. Metode
pertama, kritik terhadap bentuk (form) peraturannya. Kedua adalah melihat
bagaimana penerapan hukumya (law in action) dari peraturan tersebut
berdasarkan isi (substance) dari undang-undang tersebut yang tersegmentasi
dalam Pasal-Pasal.
59
Dasar hukum dari program kesehatan gratis sebagai kebijakan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi selatan, pada dasarnya
berpedoman pada tiga peraturan perundang-undangan yaitu, Pergub Sulsel
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan
Kesehatan Gratis di Provinsi Sulsel, Pergub Sulsel Nomor 15 Tahun 2008
tentang Regionalisasi Sistem Rujukan RS di Provinsi Sulsel dan Peraturan
Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.
Kejanggalan dari peraturan tersebut adalah lebih awal diterbitkan
peraturan pelaksanaannya, yakni peraturan Gubernur, ketimbang peraturan
daerahnya. Padahal hirearki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 7 UU No. 10/ 2004), jika dibandingan
dengan peraturan pemerintah, selalu ditegaskan bahwa pelaksanaan undang-
undang ini, kemudian akan diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Artinya
Peraturan Gubernur mestinya juga dibentuk setelah adanya Peraturan Daerah.
Peraturan Gubernur yang lebih awal dilembagakan, yakni Pergub Nomor
13 Tahun 2008 kemudian terbit Perda Nomor 2 Tahun 2009, dibandingkan
dengan Peraturan Daerah, berarti lembaga yang diberikan kewenangan untuk
menjalankan program kesehatan gratis seperti Dinas Kesehatan, Kepala Balai
Kesehatan, dan pelaksana tingkat Rumah Sakit, belum memilki wewenang
secara penuh (full power) dalam melaksanakan tata kelola pendanaan, dan
pemanfaatan dana kesehatan gratis.
60
Demikian juga yang terjadi pada Tim pengendali provinsi, tim pengendali
kabupaten, dan pelaksana tingkat rumah sakit (Pasal 39 ayat 1 Pergub No. 13
tahun 2008) belum memilki kewenangan secara penuh (full power) sebagai
lembaga yang terlibat dalam program kesehatan gratis.
Pembentukan Perda sebagai peraturan perundangan-undang, penting
untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagai
lembaga eksekutif. Apalagi dengan mengacu pada asas otonomi daerah, Perda
selayaknya dijadikan setingkat dengan undang-undang. Kalau begitu maka
Perda menjadi mutlak untuk dibentuk oleh Gubernur bersama dengan DPRD
dalam program kesehatan gratis ini, tidak mesti dengan langsung saja
menerbitkan peraturan Gubernur, hanya karena dikejar janji program kesehatan
gratis.
Oleh karena tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang/ Perda lembaga yang menjadi pelaksana program kesehatan gratis,
lembaga pelaksana tersebut dapat dikatakan bertindak sewenang-wenang,
walaupun hal ini tampak sepele. Penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota sebelum melaksanakan program
kesehatan gratis dalam kerangka otonomi dan kewenangan melakukan
pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah agar dalam setiap kebijakan yang
dikeluarkan, walaupun untuk tujuan kesejahteraan agar ada dasar hukum yang
kuat. Hanya hukum (lex) sebagai peraturan yang dapat melegitimasi kebijakan
pemerintah itu sehingga pemerintah dikatakan tidak sewenang-wenang
(willekeur).
61
Disamping itu, untuk mengkritisi undang-undang bagaimana mekanisme
pelaksanaanya berpihak pada keadilan, dapat digunakan fungsi Ilmu Hukum
Administarsi Negara yaitu sifat dasar dari suatu peraturan. Apa yang menjadi
tujuan dari suatu peraturan dan apa yang menjadi dasar hukum lahirnya suatu
peraturan. Hal ini dapat dilihat pada kata konsiderant mengingat, menimbang dan
memutuskan suatu peraturan.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam konsideran menimbang Pergub
Nomor 13 Tahun 2008, menegaskan ”bahwa penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan dasar gratis bagi masyarakat perlu
dilakukan secara terpadu, terintegrasi, sinergi dan holistik serta pengaturan
pembagian (sharing) pembiayaan dengan memadukan berbagai upaya dari
pemerintahan kabupaten/ kota di sulawesi selatan dengan pemerintah provinsi
sulawesi selatan dalam suatu sistem pembiayaan yang jelas, sarana dan
prasarana kesehatan, sumber daya manusia, dan mutu pelayanan sesuai
dengan standar pelayanan minimal.
Hanya dengan standar pelayanan minimal. Makanya tidak heran jika
dalam Pasal 1 ketentuan umum Pergub Nomor 13 Tahun 2008. Pelayanan
kesehatan gratis adalah semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan
jaringannya dan pelayanan kesehatan rujukan di kelas III rumah sakit pemerintah
daerah, yang tidak dipungut biaya dan obat yang diberikan menggunakan obat
generik
Dari pengamatan di lapangan. Penelitian di Puskesmas Batua Makassar
ternyata pasien yang berobat dengan menggunakan program kesehatan gratis
untuk pengobatan umum kurang terlayani secara maksimal. Pasien rawat inab
62
kelas III yang berada di puskesmas batua kurang diperhatikan pelayanannya
oleh perawat dan dokter, dokterpun hanya sekali-kali melakukan cek up pada
setiap pasien. Adapun pasien di ruang persalinan masih ada yang mengeluhkan
mengenai adanya pembiayaan yang ditanggung pasien.
Dalam Pasal 27 Pergub Nomor 13 Tahun 2008, ditegaskan bahwa pelayanan
kesehatan yang tidak ditanggung antara lain:
1. Operasi jantung.
2. Kateterisasi jantung.
3. Pemasangan cincin jantung.
4. CT Scan.
5. Cuci darah (haemodialisa).
6. Beda syaraf.
Berdasarkan ketentuan tersebut masih terjadi disparitas (disparity) untuk
memperoleh pelayanan kesehatan gratis, dengan cara apa masyarakat dapat
menghindari penyakit dan tidak mengikuti standar pelayanan kesehatan gratis.
Artinya hanya orang yang memiliki kekayaan yang dapat menggunakan fasilitas
pelayanan yang layak.
V.2 Implementasi Program Kesehatan Gratis Puskesmas Batua Makassar
Dinamika Perkembangan Kota Makassar sebagai kota metropolis di
Indonesia, menghadapi beragam permasalahan sosial, termasuk di antaranya
adalah permasalahan kesehatan penduduk Kota Makassar.. Timbulnya berbagai
macam penyakit dianggap sebagai suatu permasalahan oleh Pemerintah Kota
Makassar, khususnya Puskesma Batua yang dalam hal ini bertugas menangani
63
penduduk yang terganggu kesehatan dalam wilayah kerjanya. Oleh karena itu
dengan adanya program kesehatan gratis diharapkan dapat membantu warga
masyarakat.
Keberadaan berbagai macam penyakit yang muncul belakangan ini,
karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan dan tata
pengelolaan hidup sehat, tidak jarang dikeluhkan oleh warga sekitar karena
dinilai akan menyebarkan penyakit bagi warga lainnya.
Menyadari kenyataan itu, Pemerintah Kota Makassar, khususnya
Puskesmas Batua Kota Makassar menyepakati Program Kesehatan Gratis yang
selanjutnya diimplementasikan kepada warga masyarakat yang merupakan
sasaran dari pelaksaan program tersebut.
Implementasi Program Kesehatan Gratis kepada warga Kota Makassar
dinilai berdasarkan variable keberhasilan yaitu :
V.2.1 Komunikasi
Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi program kesehatan gratis, khususnya pada Puskesmas Batua.
Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah
mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan
mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga
implementasi program harus dikomunikasikan kepada pihak yang tepat. Selain
itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten.
Komunikasi diperlukan agar para pembuat kebijakan dan para implementer
program tersebut akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap program
yang akan diterapkan kepada sasaran dari program tersebut.
64
Terdapat tiga indikator yang digunakan dalam mengukur keberhasilan
variable komunikasi, yaitu :
a) Transmisi (Proses Penyampaian Informasi)
Program Kesehatan Gratis yang di terapkan oleh pemerintah, pada
dasarnya program ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat miskin dan kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai. Yang paling penting dalam operasional program ini
adalah bahwa masyarakat tahu akan fasilitas kesehatan gratis yang
diluncurkan oleh pemerintah.
Namun kenyataannya dilapangan penulis melihat bahwa tidak semua
masyarakat tahu akan adanya program kesehatan gratis ini. Keterlibatan
stakeholder dalam penyampaian program ini menjadi kunci utama dalam
kesuksesan program tersebut. Bila dikaitkan yang ada dilapangan sosialisasi
hanya dilakukan sampai pada tingkat perangkat saja, sedangkan untuk ke
masyarakat sangat kurang atau sangat minim.
Pengetahuan masyarakat akan adanya program kesehatan gratis ini
ketika masyarakat yang bersangkutan sedang berobat di puskesmas. Hanya
masyarakat yang pernah berobat di puskesmas saja yang tahu akan
keberadaan program tersebut.
Sebagaimana yang di ungkapkan oleh NI, salah seorang keluarga pasien
yang berobat di puskesmas batua, beliau mengatakan :
“ Dapat informasi kesehatan gratis dari sinijie semenjak berobat, ndak
pernah ada sosialisasi diposyandu dan sekitar rumah.”
(Wawancara, 16 Maret 2012)
65
Adapun media sosialisasi yang di gunakan oleh puskesmas batua untuk
mensosialisasikan program kesehatan gratis yaitu melalui spanduk, baligho,
dan banner. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Kepala Puskesmas Batua
Kota Makassar, AN beliau mengatakan :
“ Kesehatan gratis di Makassar bukan sesuatu yang baru sudah
bertahun-tahun, sudah lama dilakukan untuk sosialisasi kesehatan gratis
di puskesmas batua dilakukan dengan menggunakan spanduk, baligho
dan banner.”
(Hasil wawancara, Selasa 13 Maret 2012)
Melihat kondisi dilapangan mengenai media yang digunakan untuk
mensosialisasikan program kesehatan gratis penulis merasa sangat minim
yakni hanya melalui baligho, spanduk serta banner yang hanya penulis
dapatkan di Puskesmas Batua. Media komunikasi yang cukup sederhana itu
menghambat kelancaran penyampaian pesan ke masyarakat yang pada
akhirnya akan menganggu implementasi program tersebut. Pesan akan
adanya kesehatan gratis di masyarakat, jika dikaitkan dengan kemampuan
para pelaksana akan isi dari program ini, tentu saja masyarakat memiliki
pemahaman yang kurang akan program. Dengan melihat realita di atas
penulis menyimpulkan bahwa proses penyampaian informasi yang di terima
masyarakat sebagai sasaran dari program tersebut belum tersosialisasikan
dengan maksimal.
b). Kejelasan Informasi
Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana program atau pihak yang
terlibat dalam implementasi program haruslah jelas dan tidak membingungkan.
66
Dengan kejelasan informasi maka akan mendukung pihak manapun dan
menutup adanya kesalapahaman yang berdampak pada hasil dari program
tersebut. Informasi tentang program kesehatan gratis yang disampaikan melalui
lisan maupun tulisan dapat saja menimbulkan pertanyaan jelas atau tidak
informasi yang disampaikan dan diterima.
Hasil Wawancara penulis dengan Kepala Puskesmas Batua Kota
Makassar, AN mengungkapkan bahwa :
“ Pelayanan kesehatan gratis itu merupakan kerjasama Walikota dan
Dinas Kesehatan kemudian dinas kesehatan mensosialisasikan ke
puskesmas dan saya mensosialisasikan melalui rapat, jadi berjenjang.
Adapun kejelasan informasinya sudah jelas di perda.”
(Hasil wawancara, Selasa 13 Maret 2012)
Namun kenyataan setelah penulis mewancarai beberapa pegawai di
puskesmas Batua Makassar beliau agak kebingungan dan hanya mengatakan
sudah jelas dari kepala puskesmas dan Koran.
SA seorang warga yang sempat penulis wawancarai mengatakan bahwa :
“untuk pengobatan umum di sini ndak dibayar, tapi kalau cabut gigi
dibayar Rp. 10. 000.”
(Wawancara, 17 Maret 2012)
Padahal dalam Perda Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Kesehatan Di Kota Makassar, tercantum bahwa salah satu
pemeriksaan dan tindakan medik yang di bebaskan biaya adalah pencabutan gigi
dewasa dan pencabutan gigi anak.
67
Jadi, berdasarkan wawancara tersebut penulis menyimpulkan bahwa
informasi yang diterima dari pembuat program ke pelaksana program dan
kesasaran program kesehatan yakni warga masyarakat belum begitu jelas.
V.2.2 Sumber Daya
Dalam suatu kebijakan mungkin saja informasi yang disampaikan sudah
jelas dan konsisten tetapi bukan hanya faktor tersebut yang mempengaruhi
pengimplementasian suatu program. Faktor sumber daya juga mempunyai
pengaruh yang sangat penting. Ketersedian sumber daya dalam melaksanakan
sebuah program merupakan salah satu faktor yang harus selalu diperhatikan.
Dalam hal ini sumber daya yang dimaksud adalah staf yang cukup,
informasi,wewenang, dan juga fasilitas atau sarana dan prasarana yang
mendukung jalannya implementasi program kesehatan gratis di Kota Makassar,
khususnya pada puskesmas batua. Indikator sumber daya terdiri dari dari
beberapa elemen, yaitu :
a. Staf yang cukup (jumlah dan mutu)
Sumber daya yang utama dalam implementasi program adalah staf.
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya
disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak
kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementer saja tidak
mencukupi, tetapi diperlukan staf yang cukup serta memiliki kemampuan yang
sesuai untuk menjalankan program tersebut. Berkenaan mengenai staf, hasil
wawancara dengan Kepala Puskesmas Batua Kota Makassar, AN
menyatakan :
68
“Semuanya pegawai yang diturunkan dalam hal pelaksanaan program
kesehatan gratis. Adapun jumlah secara keseluruhan pegawai
puskesmas batua sekitar 47 orang pegawai yang tersebar di beberapa
ruangan puskesmas batua.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Dari hasil pemantauan penulis dilapangan bahwasanya jumlah petugas
yang berada di Puskesmas Batua sangat minim dibandingkan dengan kondisi
pasien yang begitu banyak. Sehingga beberapa pasien yang penulis temui
sedang ingin berobat terkadang tidak dilayani oleh petugas loket, dengan
alasan sudah tutup. Banyaknya juga laporan oleh pasien rawat inab yang
sering kehilangan barang bawaan ini menandahkan masih minim staf yang
bertugas di Puskesmas Batua. Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan
Kepala Puskesmas Batua Kota Makassar, AN mengungkapkan bahwa :
“ Untuk laporan yang sering masuk ke kami banyaknya barang yang
kehilangan di puskesmas, karena memang betul kami belum memiliki
penjaga dalam hal ini satuan pengamanan khusus untuk di puskesmas.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Selanjutnya, berkenaan dengan mutu staf yang bertugas
mengimplementasikan program kesehatan gratis, hasil wawancara dengan
Kepala Puskesmas Batua Kota Makassar, AN mengungkapkan bahwa :
“ Disini ada bidan, perawat, dokter,apoteker. Mereka punya keahlian
masing-masing. Dia bisa implementasikan kemampuannya masing-
masing. Kalaupun ada tenaga dari luar kesehatan misalnya dari sospol
kita tempatkan ia di bagian tata usaha.”
(wawancara, 13 Maret 2012)
69
Terkait dengan informasi tersebut, berdasarkan temuan penulis di
lapangan mengenai yang diungkapkan Kepala Puskesmas Batua Kota
Makassar dengan fakta di lapangan. Bahwasanya penulis menemukan
adanya seorang kepala ruang yang tidak sesuai dengan keahlian yang
dimiliki.
b. Informasi yang dibutuhkan
Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan.
Ketersedian informasi yang cukup sangat mendukung pelaksanaan program.
Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan program
akan mendatangkan konsekuensi para implementer yang tidak melaksanakan
tanggungjawabnya sehingga berakibat pada ketidakefesienan pelaksanaan
program. Informasi dalam hal ini merupakan informasi mengenai bagaimana
melaksanakan atau menjalankan sebuah program. Informasi-informasi
mengenai bagaimana melaksanakan atau menjalankan sebuah program.
Informasi mengenai bagaimana melaksanakan program kesehatan gratis dan
data kepatuhan para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah
yang telah di tetapkan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Kepala
Puskesmas Batua Kota Makassar, AN mengenai informasi pelaksanaan
program kesehatan gratis mengungkapkan bahwa :
“ Ya… setiap petugas untuk informasi mengenai laporan kinerjanya
mereka melaporkan hasil pelaksanaan kepada Kepala puskesmas,
kalaupun ada keluhan diteruskan untuk mencari solusi. Kepala
puskesmas juga menambahkan untuk mengenai informasi kepatuhan
70
para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah berjalan
baik.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
c. Kewenangan
Pada umumnya, kewenangan harus bersifat formal agar program dapat
dilaksanakan.Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan program yang ditetapkan. Ketika wewenang
itu nihil, maka kekuatan para implementer dimata publik tidak terlegitimasi,
sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
Berkenaan dengan wewenang pelaksana sebagai sumberdaya di dalam
proses implementasi, hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Batua
Kota Makassar, AN yaitu sebagai berikut :
“ Kewenangannya melaksanakan amanah yang tercantum pada program
kesehatan gratis dengan penuh tanggungjawab, toleransi dan
transparansi, namun semuanya harus berjalan bersamaan.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Wewenang para pelaksana program kesehatan gratis adalah melayani
warga masyarakat dalam hal pemeriksaan, pengobatan, persalinan, rawat
inab pasien, dan lain-lain yang tercantum dalam program kesehatan gratis.
d. Sarana yang dibutuhkan
Implementer mungkin saja memiliki staf yang cukup, mengerti apa yang
harus dilakukan, memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi
tanpa sarana yang mendukung maka implementasi program tersebut tidak
akan berhasil.
71
Dalam pelaksanaan pogram kesehatan gratis memerlukan sarana dan
prasarana seperti kantor, kendaraan dinas untuk menunjang proses
implementasi. Hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Batua Kota
Makassar, AN sehubungan dengan fasilitas yang diperoleh untuk para
implementer dalam melaksanakan tugasnya yaitu sebagai berikut :
“ Fasilitas yang diberikan mobil ambulance untuk membantu pasien dan
semua yang ada atau Nampak yang anda lihat di puskesmas batua, baik
ruang pengobatan, rawat inab pasien, kamar obat dan lain-lain.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Berdasarakan hasil wawancara dan observasi penulis dilapangan bahwa
sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah di dalam
pengimplementasian program kesehatan gratis sangat berpengaruh terhadap
jalannya proses implementasi yang dilakukan oleh implementer karena
dengan fasilitas yang mencukupi maka implementer juga dapat bekerja
dengan baik sehingga tujuan dari pelaksanaan program kesehatan gratis
dapat terealisasikan. Berikut sarana dan prasarana yang tersedia di
Puskesmas Batua Makassar :
1. Gedung poliklinik : 1 unit
2. Gedung kantor : 1 unit
3. Gedung Rawat Inap/RB : 1 unit
4. Ruang Obat : 1 unit
5. Rumah dinas : 3 unit
6. Pustu : 1 unit
7. Poskesdes : 1 unit
8. Mobil Puskel : 1 unit
72
9. Kendaraan roda dua : 3 unit
10. Telepon : 493808
11. Air : PDAM + sumur
12. Listrik
V.2.3 Disposisi (Sikap Birokrasi dan Pelaksana)
Salah satu faktor yang memepengaruhi efektifitas implementasi kebijakan
adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi akan mengalami banyak masalah. Dalam disposisi
Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan
bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Berkenaan dengan pengangkatan birokrasi
sebagai aparat pelaksana, hasil wawancara penulis dengan Kepala Puskesmas
Batua Kota Makassar, AN beliau mengatakan :
“ untuk pengangkatan pegawai, ya sesuai dengan prosedur yang berlaku
dan penempatannya sesuai dengan keahlian mereka masing-masing.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Menurut pantauan penulis dilapangan bahwa benar untuk pengangkatan
birokrasi telah sesuai dengan prosedur dan penempatan pegawai sudah tepat
pada keahlian mereka masing-masing.
73
Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Dengan
cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor
pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik.
Hasil wawancara penulis mengenai insentif dengan seorang pegawai puskesmas
batua, TW beliau mengatakan :
“ Disini untuk mencari insentif tambahan beberapa pegawai pergi mencari
pekerjaan sampingan, misalnya mengajar di SMK Kesehatan.”
(Wawancara, 16 Maret 2012)
Dari hasil penelitian kami setelah mengadakan penelusuran kepegawai
bahwasanya benar insentif tambahan itu tidak ada, sehingga banyak pegawai
yang mencari pekerjaan sampingan diluar, padahal masih jam kerja di
puskesmas Makassar. Dengan demikian pelaksanaan dari program kesehatan
terkadang kurang optimal di karenakan kurangnya pegawai dan keterlambatan
pegawai.
V.2.4 Struktur Birokrasi
Menurut Edward III, variable keempat yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi.
Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan sudah
tersedia atau para pelaksana kebijakan sudah mengetahui apa yang
seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu
kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau
terealisasi karena terdapatnya kelemhan struktur birokrasi. Kebijakan yang
begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur
birokrasi tidak kondusif pada kebijakan, maka hal ini akan mengakibatkan
74
sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.
Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung
kebijakan yang telah diputuskan dengan jalan melakukan koordinasi dengan
baik.
Dalam penelitian ini, struktur birokrasi standar yang dimaksudkan adalah
Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Fragmentasi. Adapun
pembahasannya sebagai berikut :
a. Standar operasional prosedur
Dalam standar operasional prosedur merupakan perkembangan
dari tuntunan internal akan kepastian waktu, sumber daya, serta kebutuhan
penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Dengan
menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang
tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan
pejabat dalam organisasi. Mengenai standar operasional prosedur hasil
wawancara penulis dengan kepala puskesmas batua Makassar, AN beliau
mengatakan:
“ Bahwa prosedur kerjanya sesuai dengan apa yang telah dicantumkan
peraturan daerah.”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Dari hasil penelusuran penulis mengenai pelaksanaan SOP dari
puskesmas batua Makassar sudah berjalan dengan baik terbukti dengan
puskesmas batua menerima sertifikat ISO 9001:2008. Puskesmas Batua
dianggap telah memberlakukan pelayanan kesehatan berdasarkan standar ISO.
Yakni berupa penyimpanan obat yang sesuai dengan standar suhu yang
ditetapkan, tingkat sumber daya tenaga kesehatan, penjagaan masa
75
kedaluwarsa, serta pemenuhan gudang obat berstandar Internasional sehingga
menghasilkan pelayanan yang maksimal. P EMAAN SERT9001:
b. Fragmentasi
Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan
kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi.
Berkenaan dengan fragmentasi, hasil wawancara penulis dengan Kepala
Puskesmas Batua Kota Makassar, AN beliau mengatakan :
“ Untuk penyebaran tanggung jawab sudah jelas, sesuai dengan
kapabilitas yang dimiliki pegawai di tiap ruangan dan untuk koordinasinya
melalui rapat untuk pengevaluasian kinerja”
(Wawancara, 13 Maret 2012)
Menurut hasil penelusuran penulis di tempat penelitian, penulis melihat
koordinasinya kurang begitu berjalan terbukti masih banyaknya pegawai yang
telat datang bahkan tak jarang pulang kerja sebelum waktunya. Ini
menandahkan masih kurang maksimalnya koordinasi antara pihak pelaksana
program kesehatan gratis.
76
BAB VI
PENUTUP
VI.I Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik
kesimpulan sehubungan dengan permasalahan penelitian yang diajukan sebagai
berikut :
1. Dari hasil penelitian penulis dilapangan bahwa implementasi program
kesehatan gratis dipuskesmas belum maksimal dan masih banyak
kekurangan yang perlu diperbaiki.
2. Implementasi Program Kesehatan Gratis belum optimal. Hal ini terutama
terlihat dari :
a. Komunikasi yaitu masih banyaknya masyarakat yang merupakan sasaran
dari program kesehatan gratis yang belum memahami isi program
kesehatan gratis
b. Sumber daya, setelah diadakan penelitian bahwa sumber daya sudah
cukup baik namun perlu di tingkatkan kedepannya
c. Disposisi
Faktor disposisi yang meliputi,Pengangkatan Birokrasi dan Insentif sudah,
untuk pengangkatan birokrasi sudah berjalan cukup maksimal. Namum
segi Intensifnya dari pengelolaan bank perlu di cek kasalihan
d. Struktur Birokrasi
Untuk struktur birokrasi sudah cukup baik, terbukti dengan berhasilnya
puskesmas batua mendapatkan penghargaan, namun dari koordinasi
masih perlu di tingkatkan.
77
VI.2 Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan diatas, dapat direkomendasikan saran-
saran sebagai berikut :
1. Pentingnya Pemerintah Kota Makassar dan jajaran instansi terkait
mengoptimalkan implementasi program kesehatan gratis sesuai dengan
tujuan, misi dan sasaran yang diiginkan dalam rangka terwujudnya
masyarakat yang bersih dan sehat serta meringankan beban pembiayaan
pengobatan. Puskesmas Batua Kota Makassar sebagai pelaksana program
kesehatan gratis diharapkan untuk mengintensifkan sosialisasi dan
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat serta lebih berkomitmen dalam
menjalankan tugasnya.
2. Diharapkan kepada pemerhati masalah kesehatan, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), Yayasan Kesehatan, Lembaga Pendidikan dan
Pemberdayaan, Pengusaha, Stakeholder dan Elemen Masyarakat lainnya
untuk mengambil peran dan berpartisipasi dalam mendukung program
kesehatan gratis demi tecapainya masyarakat yang sehat.
3. Diharapkan kepada warga masyarakat untuk mengikuti program kesehatan
gratis dengan baik dan jika ada keluhan mengenai program kesehatan
gratis segera melaporkan ke pimpinan puskesmas untuk dicarikan
solusinya.
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Syukur. 1987. Studi Implementasi, Latar Belakang, KonsepPendekatan, dan Relevansinya dalam Pembangunan. Makassar:Persadi.
Kayatomo, Sutomo. 1985. Program Pembangunan, Bandung : Sinar Baru.
Mannulang, M. 1987. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia
McKenzie F. James, dkk. 2003. Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar Edisi 4,Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Moleong J. Lexi. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT RemajaRosdokarya.
Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy Analisis, Strategi Advokasi Teori danPraktek. Surabaya: PMN
Pasolong, Harbani. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Makassar. LEPHASUNHAS
Siagian, Sondang P, 2002. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: BumiAksara.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. Manajemen Pembangunan. Jakarta: CV Haji MasAgung.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1994. Perencanaan Pembangunan, Jakarta: CV HajiMas Agung
Wahab Solichin Abdul. 2008. Analisis kebijaksanaan, dari formulasi keimplementasi kebijakan Negara.Jakarta:Bumi Aksara
Westra, Pariata, dkk.1989. Ensiklopedia Administrasi, Jakarta: Gunung Agung
Winarno, Budi. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: MediaPressindo
Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung
Peraturan Undang-undang
1. Peraturan Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.
79
2. Pergub Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Pelayanan Kesehatan Gratis Di Provinsi Sulsel.
3. Perda Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Kesehatan
Di Kota Makassar.
Lainnya
Di unduh pada http://septian77.wordpress.com/2010/11/18/6/ hari selasa 24Januari 2012
Di unduh pada http://bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html hari selasa24 Januari 2012
Di unduh pada http://PERDA-TENTANG-KESEHATAN-GRATIS.htm hari selasa24 Januari 2012
Di unduh pada http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2003/07/31/brk,20030731-29,id.html hari selasa 24 Januari 2012
Di unduh pada Seminar Proposal\METODE PENELITIAN STUDI KASUS «Aflahchintya23's Weblog.htm hari selasa 16 April 2012
Di unduh pada Seminar Proposal\IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MODEL C GEDWARD III « Kertya Witaradya – Governance Consultant.htm hari selasa 16April 2012