2. landasan teori 2.1 leader member exchange (lmx) …
TRANSCRIPT
9 Universitas Kristen Petra
2. LANDASAN TEORI
2.1 Leader Member Exchange (LMX)
2.1.1 Pengertian Leader Member Exchange
LMX adalah sebuah teori yang berfokus pada kualitas hubungan antara
pemimpin dan bawahan untuk memahami pengaruh peran pemimpin terhadap
member, tim atau organisasi(Berrin, E., & Bauer, T, N, 2014). Teori LMX
mengatakan bahwa seorang pemimpin membedakan relasi dengan bawahan.
Terdapat kemungkinan pemimpin membentuk hubungan secara merata pada seluruh
bawahannya tetapi membentuk hubungan baik membutuhkan pengorbanan waktu
dan energi dan karyawan memiliki kualitas kerja dan motivasi yang berbeda
sehingga pemimpin akan lebih sering membeda–bedakan relasi pada karyawan
organisasi (Liden, R. C., & Graen, G, 1980). Pembedaan hubungan antara pemim-
pin dan bawahan dikategorikan menjadi dua yaitu in–group dan out–group.
Dasar dibalik teori LMX adalah pemimpin membuat dua kelompok dimana
masing–masing kelompok membangun jenis relasi yang berbeda dengan pemimpin.
Teori LMX berbeda dengan kebanyakan teori kepemimpinan lain yang berasumsi
bahwa pemimpin berperilaku sama terhadap setiap member bawahan. LMX
berfokus pada pembahasan hubungan pemimpin dan bawahan secara independen
daripada hubungan pemimpin pada bawahan secara keseluruhan dimana terdapat
pembedaan kualitas hubungan pada individu yang berbeda (dalam Lunenburg, FC,
2010). Kualitas LMX yang baik ditandai dengan adanya sikap saling support antara
pemimpin dan bawahan, rasa saling percaya, komunikasi yang baik dan nyaman,
kesetiaan terhadap sesama serta daya tarik interpersonal yang baik sedangkan
kualitas LMX yang rendah ditandai dengan pengaruh dan support timbal balik yang
terbatas antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin juga memberlakukan otoritas
formal dan memberikan benefit hanya sebatas standar organisasi kepada
bawahan(Deluga, R. J, 1998).
10 Universitas Kristen Petra
2.1.2 Diferensiasi Leader Member Exchange
Kategori in–group dalam teori LMX terdiri dari bawahan yang terpercaya dan
memiliki tanggung jawab yang lebih bedasarkan negosiasi peran dengan pemimpin.
Kategori out–group terdiri dari bawahan lain yang masih memiliki hubungan atau
relasi lebih formal terhadap pemimpin (Kang, D., & Stewart, J., 2006). Proses
pengembangan relasi dua arah ini secara teoritis didasarkan pada role theory (Katz,
D. & Kahn, R.L, 1978) dan social exchange theory (Emerson, 1962). Kedua teori
tersebut membantu bagaimana teori LMX terbentuk.
Menurut Liden, R. C., & Graen, G (1980), seseorang dipilih menjadi anggota
in-group karena tiga alasan yaitu kompetensi atau skill yang dimiliki, kepercayaan
atau seberapa besar seseorang tersebut dapat dipercaya oleh pemimpin dan terakhir
adalah motivasi seseorang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar
daripada tugas yang diberikan. Individu yang masuk dalam kelompok in-group akan
berkontribusi lebih daripada sekedar tugas formal yang diberikan sehingga
mendapat perhatian, support dan sensitifitas lebih dari pemimpinnya. Individu yang
berada pada kategori out-group hanya berkontribusi sesuai tugas rutin dan formal
yang diberikan dan memiliki hubungan yang formal terhadap pemimpinnya.
2.1.3 Pengertian Role Theory dan Social Exchange Theory
Pada role theory, seorang pemimpin memiliki ekspektasi peran terhadap
bawahan dan sejauh mana bawahan dapat memenuhi harapan pemimpin tersebut
akan membantu pembentukan relasi (Kang, D., & Stewart, J, 2006). Graen &
Scandura (1987) mengusulkan model tiga fase pengembangan LMX yaitu role
taking ketika individu menerima tanggung jawab, role making ketika bawahan
mengerjakan tugas dan role routinisation dimana peran dijalankan secara rutin.
Dalam tahapan role making, derajat dimana bawahan menyanggupi tugas dan
menunjukan kelayakannya dalam melakukan tugas tersebut dapat turut
mempengaruh jenis relasi LMX yang terbentuk. Kualitas LMX yang terbentuk, me-
nentukan tugas dan autonomi yang diberikan pemimpin kepada bawahan, dalam hal
11 Universitas Kristen Petra
ini pemimpin dan bawahan memiliki relasi yang didasarkan pada peran (Dienesch &
Liden, 1986).
Social exchange theory berfokus pada pertukaran antara atasan dan bawahan
yang tidak didasarkan oleh peran. Menurut Blau (1964, p. 91) social exchange
merujuk pada aksi volunter individu yang termotivasi oleh ekspektasi return atau
keuntungan dari interaksi sosial tersebut sebagai urutan awal dari pembentukan
relasi antara kedua pihak tetapi ekspekasi tersebut tidaklah pasti (dalam Cook, K. S.,
& Rice, E, n.d.). Menurut Uhl-Bien, M., Graen, G & Scandura, T (2000) social
exchange merupakan interaksi awal diikuti dengan pertukaran sosial dimana
individu melakukan tes untuk memutuskan apakah mereka mampu membangun
komponen relasi kepercayaan, rasa hormat dan hal lain yang dibutuhkan untuk
membangun kualitas pertukaran sosial yang baik. Kualitas LMX yang akan
terbentuk ditentukan oleh ekspektasi dari pertukaran sosial dan kepuasan terhadap
perilaku pertukaran sosial tersebut.
2.1.4 Dimensi Leader Member Exchange
Menurut Dienesch & Liden (1986) terdapat beberapa dimensi dari LMX,
antara lain:
1) Contribution adalah persepsi kinerja yang ditunjukan oleh setiap anggota pada
tujuan bersama (baik secara eksplisit atau implisit) Dienesch & Liden (1986).
2) Loyalty adalah sejauh mana baik pemimpin maupun bawahan secara terbuka
mendukung satu sama lain baik dari segi aksi dan karakter.
3) Affect adalah afeksi yang dimiliki kedua pihak terhadap satu sama lain yang di-
dasarkan pada atraksi interpersonal daripada nilai–nilai profesional atau
pekerjaan. Dienesch & Liden (1986).
4) Other Dimensions, ketiga dimensi diatas bukanlah satu–satunya dimensi dari
LMX. Dienesch & Liden (1986) menyadari bahwa terdapat kemungkinan
bahwa terdapat dimensi lain yang turut berperan dalam pengembangan teori
LMX. Contoh dimensi lain dari LMX mungkin terdiri dari trust, respect,
openness dan honesty (dalam Graen, G. B., & Scandura, T. A, 1987).
2.1.5 Indikator Leader Member Exchange
12 Universitas Kristen Petra
Indikator yang akan digunakan untuk LMX adalah indikator yang dikem-
bangkan dari angket LMX–7 menurut Graen & Uhl-Bien (1995). Joseph, D. L.,
Newman, D. A & Sin, H. P (2011) mengatakan bahwa sebanyak 66 prosen
penelitian LMX dari total sebanyak 241 penelitian setelah tahun 1999 hingga tahun
2010 mengukur LMX dengan LMX–7 dan sebanyak 19 prosen penelitian
menggunakan LMX-MDM (Liden & Maslyn, 1998). Sebelum tahun 1999,
sebanyak 22 prosen penelitian menggunakan LMX–7 (Graen & Uhl-Bien, 1995)
sebagai instrumen pengukuran sedangkan sub-indikator terinspirasi oleh hasil
penelitian (Wibowo, N, 2013). Indikator LMX–7 dan sub–indikator ditunjukan
sebagai berikut:
1. Respect sebagai syarat pembentukan hubungan antara atasan dan bawahan.
Respect akan diukur dengan sub-indikator sebagai berikut:
− Pemimpin mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam peker-jaan
karyawan sehingga timbul rasa hormat pada karyawan terhadap
pemimpin.
− Pemimpin mengakui dan menghargai potensi karyawan sehingga
karyawan juga menghargai pemimpin.
2. Trust, tanpa ada rasa saling percaya yang timbal balik maka hubungan antara
atasan dan bawahan akan sulit terbentuk. Trust akan diukur dengan sub-
indikator sebagai berikut:
− Karyawan memiliki rasa percaya untuk dapat berpihak atau membela
pemimpinnya dan sebaliknya.
− Karyawan dipercaya untuk dapat melakukan pekerjaan secara
independen oleh pemimpin artinya terdapat unsur kepercayaan pemim-
pin kepada kinerja karyawan.
3. Obligation, pengaruh kewajiban akan berkembang menjadi suatu hubungan
kerja antara atasan dengan bawahan.
− Pemimpin bersedia menolong karyawan dalam menyelesaikan masa-
lah pekerjaan.
13 Universitas Kristen Petra
− Pemimpin bersedia menjamin karyawan yang berada dalam masalah
dengan apa yang ia miliki.
− Karyawan memiliki keyakinan terhadap pemimpinnya sehingga kar-
yawan akan membela dan mempertahankan keputusan pemimpin.
− Hubungan kerja antara pemimpin dan karyawan yang efektif.
2.2 Work–Life Balance
2.2.1 Pengertian Work–Life Balance
Menurut Parkes & Langford (2008), work–life balance merupakan kondisi
dimana individu yang mampu berkomitmen dalam pekerjaan dan keluarga, serta
bertanggung jawab baik dalam kegiatan non-pekerjaan. Brough, Timms, O’Driscoll,
Kalliath, Siu, Sit & Lo (2014) mendefinisikan Work–Life Balance sebagai penilaian
subjektif individu terhadap kesesuaian antara kegiatan pekerjaan dan yang tidak
menyangkut pekerjaan dan kehidupan (dalam Gravador, L. N., & Teng-Calleja, M.,
2018). Pengertian work–life balance juga didapat dari Greenhaus & Allen (2011, p.
174) mendefinisikan work–life balance sebagai penilaian dimana efektifitas dan
kepuasan individu terhadap peran pekerjaan dan keluarga konsisten dengan nilai
kehidupan yang dianut individu tersebut pada suatu waktu.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work–life Balance
Menurut Schabracq (2003), terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi
Work–life balance seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Karakteristik Kepribadian. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan
di luar kerja. Terdapat hubungan antara tipe attachment yang didapatkan
individu ketika masih kecil dengan work–life balance. Individu yang memiliki
secure attachment atau keterikatan emosional yang baik dengan keluarga cen-
derung mengalami positive spillover dibandingkan individu yang memiliki
insecure attachment atau keterikatan emosional yang tidak baik.
2. Karakteristik Keluarga adalah aspek yang dapat turut menentukan adanya
konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
14 Universitas Kristen Petra
3. Karakteristik Pekerjaan mengacu pada beban kerja, pola bekerja dan waktu
kerja yang dapat memicu adanya benturan dalam pekerjaan dan kehidupan
pribadi.
4. Sikap yaitu aspek yang menyinggung komponen pengetahuan, perasaan dan
kecenderungan berperilaku. Sikap dari masing-masing individu merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi work–life balance.
Berbagai peneliti dan pakar pada bidang work–life balance sepakat bahwa
jumlah jam kerja, jadwal bekerja, kehidupan pribadi karyawan dan tanggung jawab
pribadi, cuti karir dan keterlibatan serta komitmen top management adalah faktor
utama yang berkontribusi terhadap work–life balance. Praktik work–life balance yang
baik akan meningkatkan kepuasan karyawan, kesetiaan karyawan terhadap
perusahaan dan produktivitas karyawan (Dizaho, E & Othman, M, 2013).
2.2.3 Dimensi Work–life Balance
Menurut Fisher, G, Bulger, C & Smith, C. S (2009), terdapat empat dimensi
work-life balance, yaitu:
1. Work Interference with Personal Life (WIPL) Dimensi ini mengacu pada
sejauh mana pekerjaan dapat mengganggu kehidupan pribadi individu
2. Personal Life Interference With Work (PLIW). Dimensi ini mengacu pada
sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan pekerjaan-
nya.
3. Personal Life Enhancement Of Work (PLEW). Dimensi ini mengacu pada
sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa
individu dalam dunia kerja
4. Work Enhancement Of Personal Life (WEPL). Dimensi ini mengacu pada
sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi
individu.
2.2.4 Indikator Work–life Balance
Indikator yang digunakan untuk mengukur Work–life balance menurut
Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D (2003) antara lain:
15 Universitas Kristen Petra
1. Time balance merujuk pada ketersediaan waktu individu baik bagi
pekerjaannya maupun keluarga.
2. Involvement balance merujuk pada keterlibatan individu secara psikologis dan
komitmen dalam pekerjaannya maupun keluarga.
3. Satisfaction balance merujuk pada kepuasan individu dalam menjalani
kegiatan pekerjaannya maupun kegiatan keluarga.
2.3 Turnover Intention
2.3.1 Pengertian Turnover Intention
Menurut Carmeli & Weisberg (2006), istilah turnover intention merujuk pada
tiga elemen dalam proses kognitif yaitu pikiran untuk keluar dari pekerjaan, intensi
untuk mencari pekerjaan lain dan pikiran untuk berhenti bekerja (dalam Rahman,
Wali & Nas, Zekeriya, 2013). Menurut Robbins & Judge (2009) turnover intention
adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan
baik secara sukarela atau tidak. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan
keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Saeed, I.,
Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) dalam penelitiannya mendefinisikan
turnover intention sebagai rencana karyawan perusahaan untuk meninggalkan peru-
sahaan atau rencana perusahaan untuk memecat karyawan. Ronald & Milkha (2014,
p.5) mengemukakan bahwa Turnover Intention merupakan kecenderungan atau
intensitas keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dengan berbagai alasan
dan diantaranya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
2.3.2 Faktor-Faktor penyebab Turnover Intention
Penelitian meta–analisis yang dilakukan oleh Cotton, J. L., & Tuttle, J. M.
(1986) mengidentifikasi 24 variabel yang berdampak pada turnover dan mengklasifi-
kasikan variabel tersebut menjadi tiga jenis kategori korelasi yaitu faktor eksternal,
faktor pekerjaan dan faktor pribadi. Hal yang masih belum diketahui adalah variabel
manakah yang berpengaruh signifikan terhadap turnover di organisasi kemanusiaan.
Penelitian faktor turnover sangat berguna bagi peneliti dan praktisioner. Meninjau
16 Universitas Kristen Petra
penelitian Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) maka Dubey, Gunasekaran, Altay,
Childe & Papadopoulos (2016) mengolah klasifikasi tersebut menjadi tiga kategori
yang akan dibahas sebagai berikut.
1. Faktor Eksternal yang meliputi presensi serikat pekerja, presepsi terhadap
jabatan, tingkat pengangguran. Tingkat turnover yang tinggi secara garis besar
dapat dijelaskan dengan teori kebudayaan dan teori perkembangan negara.
2. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu gaji, performa kerja, kejelasan
peran, repetitif pekerjaan, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap pekerjaan
itu sendiri, kepuasan terhadap kesempatan promosi dan komitmen
organisasional.
3. Faktor pribadi, pada faktor ini Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) telah mengi-
dentifikasi bahwa faktor pribadi mencangkup usia, masa kerja, jenis kelamin, in-
formasi biografi, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, kemampuan
atau bakat, kecerdasan, intensi perilaku dan ekspektasi murni.
Penelitian Dubey et al (2016) menemukan bahwa variabel yang telah
diidentifikasi oleh Cotton, J. L., & Tuttle, J. M. (1986) telah digunakan pada konteks
penelitian yang berbeda oleh berbagai peneliti. Pada tahun 2015, Atique Siddiqui,
Atif & Jamil, R, melakukan penelitian berkaitan dengan hal yang menyebabkan
gejala turnover intention pada 176 responden berasal dari institusi edukasi yang
berbeda. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa stress kerja adalah faktor utama
penyebab karyawan berpikir untuk keluar dari pekerjaan. Temuan penelitian milik
Atique Siddiqui, Atif & Jamil, R (2015) dan Dubey et al (2016) didukung oleh
kesimpulan hasil penelitian Zentner, Aeron (2014) dimana personal factors dan fak-
tor organisasional atau pekerjaan juga menjadi faktor yang mempengaruhi turnover
intention.
2.3.3 Jenis-Jenis Turnover Intention
Pengelompokan jenis turnover oleh Mathis & Jackson (2001) dibedakan
menjadi tiga jenis utama yaitu turnover bedasarkan kesediaan karyawan, tingkat
fungsionalitas dan bentuk pengendaliannya.
17 Universitas Kristen Petra
1. Turnover bedasarkan kesediaan karyawan terdiri dari turnover secara sukarela
yaitu karena keinginan pribadi dan tidak secara sukarela misalnya dikarenakan
pemecatan akibat kinerja yang buruk.
2. Turnover dari segi fungsionalitas dibedakan menjadi dua yaitu fungsional dan
disfungsional. Turnover fungsional artinya karyawan yang melakukan
turnover memiliki kinerja yang rendah dan menganggu rekan kerja sehingga
menganggu performa perusahaan. Turnover disfungsional adalah turnover
yang dilakukan oleh karyawan yang memiliki peran penting dan kinerja baik
dan meninggalkan perusahaan di saat yang penting.
3. Turnover dari bentuk pengendalian ada dua yaitu turnover yang tidak dapat
dikendalikan karena dipengaruhi dari faktor diluar kendali pemberi kerja atau
organisasi misalnya karyawan berhenti kerja karena alasan keluarga. Turnover
yang dapat dikendalikan perusahaan misalnya perusahaan mampu memelihara
dan membantu karyawan menyelesaikan permasalahan kerja sehingga tidak
jadi melakukan turnover.
2.3.4 Indikator Turnover Intention
Tingkat turnover intention diukur dengan skala pengukuran menurut Harnoto
(2002, p. 2) yaitu sebagai berikut:
1. Absention, yaitu keinginan karyawan untuk melakukan absensi yang tinggi,
disertai dengan tingkat tanggung jawab karyawan yang kurang baik.
2. Work Attitude, yaitu perilaku dan sikap kerja karyawan seperti pelanggaran tata
tertib, perilaku protes terhadap atasan, kemalasan bekerja.
2.4 Hubungan Antar Konsep
2.4.1 Hubungan Leader Member Exchange terhadap Turnover Intention
Para ahli di bidang turnover, baik akademik maupun praktisioner telah la-
ma menekankan bahwa pengawasan terhadap karyawan memiliki peran penting
dalam keputusan turnover secara sukarela (Morrow, P., Suzuki, Y., Crum, M.,
Ruben, R., & Pautsch, G, 2005). Kualitas hubungan atasan dan bawahan
diidentifikasi sebagai kerangka berpikir yang mungkin mampu menjelaskan perilaku
pengawasan yang mempengaruhi keinginan turnover (Gaertner, 1999). Penemuan
18 Universitas Kristen Petra
beberapa penelitian meta-analisis walaupun memiliki jumlah sampel yang kecil
namun hasil penemuan menunjukan adanya indikasi bahwa kualitas LMX
berpengaruh negatif terhadap keinginan melakukan turnover dan turnover actual
(Gerstner & Day, 1997). Pernyataan bahwa terdapat pengaruh negatif LMX terhadap
turnover intention didukung penelitian Day & Gerstner (1997) dimana hasil
penelitian mereka menunjukan terdapat korelasi LMX negatif signifikan terhadap
turnover intention.
Penelitian terdahulu oleh Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M
(2014) dengan jumlah sampel sebanyak 200 karyawan menyatakan bahwa terdapat
hubungan negatif secara signifikan antara LMX dan turnover intention. Analisis
Saeed, I., Waseem, M., Sikander, S & Rizwan, M (2014) membuktikan hipotesis
mereka bahwa LMX memiliki asosiasi negatif secara langsung terhadap turnover
intention. Hasil yang identik didapat dari penelitian Hossam, M & Abu, E (2014)
dengan sampel sebanyak 241 karyawan pada 15 organisasi menyatakan bahwa
kualitas LMX memiliki pengaruh fungsional terhadap turnover intention karyawan
secara negatif. Mayer, D. M. & Nishii, L. H. (2009) pada penelitiannya dengan
sampel sebanyak 1800 orang pada berbagai departemen supermarket di United States
menunjukan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara diversitas demografis
dan turnover pada nilai group mean LMX yang rendah dan hubungan tersebut
melemah ketika nilai mean LMX tinggi.
Penelitian Mayer, D. M. & Nishii, L. H. (2009) memiliki makna bahwa LMX
memainkan peran pengaruh pada hubungan diversitas demografi pada tingkat
turnover dan tingkat turnover itu sendiri secara tidak langsung. Merujuk pada
berbagai ulasan diatas maka dibentuklah hipotesis seperti yang dicantumkan dibawah.
H1: Diduga leader Member Exchange berpengaruh terhadap turnover intention
pada karyawan divisi produksi PT Mustika Dharmajaya.
2.4.2 Hubungan Work–life Balance terhadap Turnover Intention
Penelitian terdahulu menampilkan bukti empiris bahwa presepsi terhadap
kualitas kehidupan bekerja berhubungan secara negatif terhadap turnover intentions
(Huang, T, C., Lawler, J., & Lei, C, 2007). Grover & Crooker (1995) menemukan
19 Universitas Kristen Petra
bahwa karyawan yang memiliki akses kepada praktik yang bersifat family-responsive
memperlihatkan komitmen organisasional yang lebih dan turnover intention yang
lebih rendah (Huang, T. C, et al., 2007). Penelitian terdahulu Huang, T. C, et al.
(2007) dengan random sampel sebanyak 600 pekerja pada empat perusahaan
akunting terbesar di Taiwan menunjukan bahwa empat faktor kualitas kehidupan
bekerja secara negatif berhubungan dengan turnover intention. Hasil penelitian diatas
juga menunjukan bahwa beberapa aspek kulitas kehidupan bekerja berdampak secara
langsung terhadap turnover intention dan beberapa aspek lainnya berdampak secara
tidak langsung melalui mediasi aspek karir dan komitmen afeksi.
Hubungan work–life Balance terhadap Turnover Intention, dibuktikan dengan
sebuah penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suifan, T & Abdallah, A & Diab, H
(2016) dengan ukuran sampel sebanyak 382 karyawan. Penelitian tersebut berhasil
membuktikan bahwa praktik Work–life Balance lebih efektif dalam mempengaruhi
tingkat turnover intention sehingga bedasarkan penelitian ini oleh Suifan, T,
Abdallah, A & Diab, H (2016) menyimpulkan Work–life Balance memiliki peran
vital dalam mengurangi tingkat turnover intention. Penelitian ini juga menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara work-life conflict dan turnover in-
tention.
Semakin banyak konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi maka akan
semakin sulit bagi karyawan tersebut untuk menjaga keseimbangan dan akhirnya
berujung pada pengunduran diri dari pekerjaan(Houston & Waumsley, 2003).
Kualitas work-life balance yang baik dapat menghasilkan keuntungan finansial secara
langsung dari berkurangnya rasio turnover dan pilihan rekruitmen karyawan yang
lebih baik dengan mempekerjakan karyawan berkinerja tinggi yang menghargai
work-life balance (Suifan, T, Abdallah, A & Diab, H.,2016). Merujuk pada berbagai
ulasan diatas maka dibentuklah hipotesis seperti yang dicantumkan dibawah.
H2: Diduga Work–life Balance berpengaruh terhadap terhadap turnover intention
pada karyawan divisi produksi PT Mustika Dharmajaya.
20 Universitas Kristen Petra
2.5 Kerangka Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian
Sumber: Graen & Uhl-Bien (1995), Greenhaus, J. H., Collins, K. M., & Shaw, J. D.
(2003), Harnoto (2002, p.2).
Gambar di atas menunjukkan adanya tiga variabel dalam penelitian ini, yaitu Leader
Member Exchange (X1), Work–life Balance (X2) dan garis anak panah menunjukan
hubungan pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap variabel Turnover intention (Y)
sehingga menghasilkan dua hipotesis yang akan diuji. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dan membuat kesimpulan pengaruh pada masing-masing variabel X1
dan X2 terhadap variabel Y.