2. hukum tanah & tata guna tanah
DESCRIPTION
HTTGTTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari tiap orang umumnya mempunyai hubungan
dengan tanah karena mempunyai nilai sosial ekonomi. Tanah diperlukan sebagai
prasarana atau sebagai tempat berdirinya prasarana guna melaksanakan berbagai
kegiatan sosial ekonomi tersebut. Karena itu, dalam beberapa ilmu fisika dan
sosial, tanah merupakan bahan yang penting.
Dalam bahasan Diktat Ajar ini di antaranya adalah penggunaan tanah di
wilayah pedesaan dan perkotaan, yang sifatnya berlainan. Dibicarakan pula
penggunaan tanah di wilayah yang lebih luas, yang merupakan gabungan kedua
macam penggunaan tanah itu, serta saling mempengaruhi.
Secara umum diuraikan beberapa contoh tata guna tanah, serta cara
memanfaatkan tanah supaya diperoleh hasil optimal dan agar tanah tetap lestari.
Supaya lebih jelas, diberikan beberapa contoh penggunaan tanah di berbagai
negara industri dan dibandingkan dengan penggunaan tanah di Indonesia yang
merupakan negara pertanian.
Untuk memahami tata guna tanah lebih lanjut, dicantumkan garis besar
beberapa teori pembangunan yang dapat digunakan sebagai dasar atau latar
belakang bagi penentuan kebijaksanaan tata guna tanah tertentu.
1
BAB II
KEBIJAKAN DALAM PENATA-GUNAAN TANAH
A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari pokok bahasan tentang pengantar
perpajakan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian tata
guna tanah, catur tertib pertanahan, gerakan nasional sadar tertib pertanahan,
penatagunaan tanah pertanian, penertiban pemakaian tanah secara liar.
B. Uraian Materi
1. Pengertian Tata Guna Tanah
Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya
sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan
dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah
tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi:
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang
merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah yang
tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang
meliputi:
a. Tata Guna Tanah (land use planning)
b. Tata Guna Air (water use planning)
c. Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)
Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun
2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
ditegaskan bahwa bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus
2
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan
generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
a. Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur
peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana
dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal,
seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dan negara.
b. Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan,
penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana
dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek
pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh
dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala
prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan
tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan
yang berlaku.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang
ada, yaitu:
1) Adanya serangkaian kegiatan.
Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut
tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah,
pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan
pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam
pelaksanaanya.
2) Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus
dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip
tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
3) Adanya tujuan yang hendak dicapai.
3
Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju
masyarakat yang adil dan makmur.
c. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata
guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah
melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk
kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun
2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan
permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun
buatan manusia.
d. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai
tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.
Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan
hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan
hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian
bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun
2004 ialah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan
bentukan alami maupun buatan manusia.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan
ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah.
Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan
aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.
2. Catur Tertib Pertanahan
Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan.
Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam bidang
4
pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan
mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.
Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar
pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No.
IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan
yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat
dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:
a. Tertib Hukum Pertanahan
Diarahkan pada program:
1) Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
2) Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan
3) Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
4) Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan
hukum agraria.
b. Tertib Administrasi Pertanahan
Diarahkan pada program:
1) Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan
pertanahan.
2) Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial
ekonomi masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan
perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-kegiatan
pembangunan. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-
tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-
tanah negara.
3) Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria
maupun di kantor PPAT.
4) Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan
hak atas tanah.
c. Tertib Penggunaan Tanah
Diarahkan pada usaha untuk:
5
1) Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan
tanah secara berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.
2) Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional
maupun tingkat daerah.
3) Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan
penggunaan tanah.
4) Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan
tanah, peta kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.
d. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
Diarahkan pada usaha:
1) Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan
kewajiban setiap pemegang hak atas tanah.
2) Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan,
melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau
isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
3) Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak
atas tanah dan perubahan penggunaan tanah.
Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat
kaitannya dengan bidang tata guna tanah adalah tertib penggunaan
tanah dan tertib pemeliharaan tanah & lingkungan hidup.
3. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan
Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995
tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah
suatu gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional Pemasangan
Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan kesadaran masyarakat
untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan.
Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik
tanah yang berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam
wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan
6
(POKMASDARTIBNAH)
Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:
a. Tujuan
Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka
mempercepat Catur Tertib Pertanahan serta menigkatkan pelayanan
kepada masyarakat.
b. Prinsip Dasar
1) Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara
bersama-sama pemilik tanah yang berdampingan
2) Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh
masyarakat untuk mensukseskan kegiatan ini.
c. Sasaran
Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui
kelompok POKMASDARTIBNAH, di mana Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bertindak selaku motivator maupun
sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.
4. Penatagunaan Tanah Pertanian
Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian
terutama hanya akan berpedoman pada kepentingan masing-masing atau
pada keuntungan insidentil yang mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman
tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai keseimbangan yang baik
antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan
negara.
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan
negara untuk jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang
pangan, baik bagi bahan pangan maupun tanaman perdagangan.
Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi
belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan
seperti:
7
a. UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu
yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin
produksi tebu dan kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus
diimbangi dengan penetapan maksimum luas tanah di daerah sekitar
perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami
tanaman perdagangan lain.
b. UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa
yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas
tanah-tanah yang diharuskan ditanam (tebu).
c. Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang
pembangunan sektor pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:
1) Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan
2) Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat
dibukanya mekanisme impor dan makin menurunya tarif bea
masuk
3) Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju
konversi lahan pertanian yang semakin meningkat.
5. Penertiban Pemakaian Tanah Secara Liar
Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:
Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden
UU Darurat No. 8 Tahun 1954
UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan UU No. 51 Prp
Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang
berhak atau kuasanya.
Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil
tindakan-tindakan penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan
bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang
sah yang ada di daerahnya antara lain dengan perintah pengosongan,
dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan.
8
Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-
tanah di dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin.
Juga pemekaian tanah secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang
melanggar norma hukum dan tata tertib yang menghambat pembangunan
yang direncanakan.
C. Rangkuman Materi
Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai
“Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek
hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang
tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata
guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari
obyek hukum agraria.
Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan.
Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timgul dalam bidang
pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan
mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.
D. Latihan/Tugas
1. Apakah pengertian tata guna tanah ?
2. Apa maksud dari catur tertib pertanahan ?
3. Jelaskan tentang gerakan nasional sadar tertib pertanahan !
E. Rambu-rambu Jawaban Soal
Anthony J dan J. Snyder, 1992. Perenanaan Kota. Erlangga. Jakarta
Johara T. Jayadinata, 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaaan Perkotaan & Wilayah. Edisi Ketiga. ITB : Bandung.
9
F. Daftar Pustaka
http://tatagunatanah.blogspot.com/http://tatagunatanah.blogspot.com/2008/08/pengertian-tata-guna-tanah.html
BAB III
PENYEDIAAN TANAH BAGI KEPERLUAN UMUM
A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari pokok bahasan tentang pengantar
perpajakan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang Penyediaan dan
Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan, Macam Hak atas tanah yang
dapat diberikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah, Penggunaan dan
Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-tanaman Tertentu, Landasan Hukum
Tata Guna Tanah.
B. Uraian Materi
1. Penyediaan dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan
Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya
tanah sebagai sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat
terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan tanah bagi perusahaan-
perusahaan terutama perusahaan yang menunjang perekonomian negara
tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam
proses pembangunan.
Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan tentang bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi
keperluan perusahaan (diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974):
10
a. Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan
bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan.
b. Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan
pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan
memuaskan.
Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan
tidak hanya didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga
harus diperhatikan segi-segi yang lain, yaitu: segi yuridis pengaruhnya
terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada asas-
asas pembangunan nasional.
Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974
yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989
ditentukan antara lain:
a. Penetapan lokasi perusahaan:
1) Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian
yang subur.
2) Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat
kediamannya.
3) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya
pengotoran/pencemaran lingkungan.
Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari
tanah pertanian menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan.
Perubahan yang demikian biasanya didasarkan pada pertimbangan:
Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah
pertanian menjadi lokasi perusahaan. Perubahan ini harus
mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi. Perusahaan
yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
mungkin. Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau
kurang produktif. Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang
tanahnya masuk dalam lokasi proyek. Harus memperhatikan
11
persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran
lingkungan.
b. Penetapan luas tanah yang diperlukan:
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya
disesuaikan dengan kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang
benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan usahanya dan
kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus
dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-
akibat yang tidak baik:
1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar
diperlukan
Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan
/ditelantarkan di mana hal ini bertentangan dengan asas optimal
dan fungsi sosial hak atas tanah.
2) Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan
spekulatif.
Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa
peraturan:
Surat Keputusan PMDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan
bahwa perusahaan yang memperoleh tanah dari negara harus
memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut dalam waktu 10 tahun
sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.
Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan
kepada Gubernur untuk melarang perusahaan baik perseorangan
maupun badan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah yang
melampaui tanah kebutuhan usaha sesungguhnya.
12
2. Macam Hak Atas Tanah Yang Dapat Diberikan
a. Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya
WNI hak atas tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan
hak pakai.
b. Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang
diberikan ialah: Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.
Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak
mempunyai wewenang:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang
memerlukan.
Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam
kegiatannya berupa:
a. Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan
pembangunan perumahan. Pelaksanaan pembangunan perumahan
b. Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak
3. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan
mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan
pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus
sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW. Penggunaan dan
pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi
alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.
Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus
dipelihara dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan
budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu, dan
memberikan peningkatan nilai tambah terhadap penggunan tanahnya.
Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah yang menjadi
syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah.
13
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas
tanah wajib mengikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Persyaratan ini antara lain pedoman teknis
penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam
analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan
lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan
bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau,
sempadan waduk, dan atau sempadan sungai harus memperhatikan:
a. Kepentingan umum;
b. Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan,
keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi
lingkungan.
Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan
pemanfaatan tanah mengikuti RTRW yang terakhir. Pemanfaatan tanah
dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya.
Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya
serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung
dapat ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan ekowisata apabila
menganggu fungsi kawasan.
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah
tanah yang tidak terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan
apabila tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
bersangkutan. Jika kegiatan tersebut menggangu pemanfaatan tanah harus
mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai
dengan RTRW disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
14
4. Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman
Tertentu
Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk
tanaman-tanaman tertentu ialah:
UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-
tanaman tertentu.
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi
(TRI)
Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:
a. Mengenai letak tanah
Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja
perusahaan yang memerlukan tanah
b. Mengenai luas tanah
Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta
kelangsungan kesuburan tanah
c. Pola tanam
Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara
bergiliran.
Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:
Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani
dengan perusahaan yang memerlukan tanah. Yang perlu diperhatikan
dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah uang sewa
minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan
sendiri oleh pemiliknya. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Yang
perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian
hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
5. Landasan Hukum Tata Guna Tanah
15
a. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana dalam pasal tersebut terkandung
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.
Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia
harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
2) Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan
hubungan menguasai.
3) Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14
dan 15 UUPA
Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana
umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA +
K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis,
sosial dan keagamaan.
Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan
Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana
(planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan
bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan
hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning)
yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci
menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap
daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat
dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa
manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah
dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat
akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana
industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang
16
penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu
diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan
(ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud
menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan,
industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk
memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus
dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang
menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun
perseorangan untuk memelihara tanahnya.
Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih
lanjut tentang pembuatan rencana umum penggunaan tanah
sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah peraturan
pemerintah
b. No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
c. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
d. UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang
Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman
tertentu.
Mengenai penertiban/pemanfaatan:
a. UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang
berhak atau kuasanya.
b. Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982
c. Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982
Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No.
3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.
d. PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan
penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada
kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam
17
UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan
tanah.
Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:
a. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan
penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;
b. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;
c. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah
tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
d. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses
penatagunaan tanah;
e. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan
dan pemilikan tanah;
f. penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang
juga merupakan subsistem dari system pembangunan;
g. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik,
hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya
harus diselenggarakan secara koordinatif;
h. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua
kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan
tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
i. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah
pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau
medebewind.
Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna
tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan
pedesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik
serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata
penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.
18
C. Rangkuman Materi
Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah
sebagai sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh
karena itu apabila keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama
perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya
tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara
tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik.
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah
wajib mengikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Persyaratan ini antara lain pedoman teknis
penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam
analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan
lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
D. Latihan/Tugas
1. Bagaimana cara penyediaan tanah dan penggunaan tanah bagi keperluan
perusahaan ?
2. Jelaskan macam hak atas dan yang diberikan ?
3. Bagaimana penggunaan tanah dan pemanfaatan tanah ?
4. Bagaimana penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman
tertentu ?
5. Apa landasan hukum tata guna tanah ?
E. Rambu-rambu Jawaban Soal
Johara T. Jayadinata, 1999. Tata Tuna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilayah, Edisi Ketiga. ITB : Bandung.
Djoko Sujarto, 1990. Pengembangan Lahan, Jurusan Teknik Planologi. FTSP, ITB.
19
F. Daftar Pustaka
Johara T. Jayadinata, 1999. Tata Tuna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilayah, Edisi Ketiga. ITB : Bandung.
F. Stuart. Chapin, Urban Planing. Universitas of Illions, Chichago.
Djoko Sujarto, 1990. Pengembangan Lahan, Jurusan Teknik Planologi. FTSP, ITB.
20
BAB IV
LIBERALISME PERTANAHAN
A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari pokok bahasan tentang pengantar
liberalisme pertanahan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang agen
tunggal pemegang merk, mencegah liberalisme pertanahan.
B. Uraian Materi
1. Agen Tunggal Pemegang Merk
ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) tidaklah hanya terdapat di
dunia usaha. Bila tidak berhati-hati, dalam reforma agraria juga berpeluang
mengundang hadirnya ATPM dalam konotasi negatif, yaitu para ATPM
Kapitalisme dan Liberalisme. Para ATPM ini akan menghalangi laju
sukses reforma agraria yang berbasis UUPA values, yang nasionalis-
populis. Mereka ini, yang pernah dididik di negara-negara penebar
kaliptalisme dan liberalisme akan dengan penuh semangat melepas rantai
jebakannya. Mereka juga telah melihat kesuksesan kapitalisme dan
liberalisme dalam menciptakan kasta pengusaha yang kemudian menjadi
penguasa.
Oleh karena itu, para ATPM berupaya memasukkan unsur-unsur
kapitalisme dan liberalisme dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia.
Akibatnya, tanah menjadi komoditas yang paling populer. Transaksi jual
beli atau tukar menukar semakin gencar, tanpa memperhatikan
ketimpangan dan ketidak-adilan dalam hal penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Para ATPM Kapitalisme dan Liberalisme akan berupaya agar
reforma agraria tidak menyentuh kepentingan mereka. Bahkan bila perlu
reforma agraria yang sedang digagas, disosialisasikan, dan dilaksanakan
diarahkan, agar menjadi reforma agraria yang mendorong kapitalisme dan
21
liberalisme. Mereka lupa bahwa nilai-nilai reforma agraria merupakan tata
nilai yang berbasis pada UUPA.
Dengan demikian, jangan ada siapapun dan dalam kondisi
bagaimanapun, yang memandang ringan permasalahan ini. Sebab
kapitalisme hanya menguntungkan kelompok para pengusaha, sedangkan
liberalisme lebih banyak mengorbankan masyarakat. Oleh karena itu, saat
ini tidaklah tepat untuk masuk dalam kelompok, yang menganggap
persaingan bebas sebagai solusi kesenjangan.
Sudah saatnya reforma agraria merevitalisasi UUPA values, agar
penataan kembali agraria di Indonesia sejalan dengan semangat
nasionalisme dan populisme, sebagaimana diamanatkan UUPA dan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Amandemen ke-4). Penataan yang
komprehensif terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan agraria yang berkeadilan dan mensejahterakan.
2. Mencegah Liberalisme Pertanahan
Menyusul kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari 2007)
untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (UUPA), kini pemerintah melalui Badan Pertanahan
Nasional (BPN) RI sedang menggodok RUU tentang Pertanahan. Inisiatif
penyusunan RUU Pertanahan perlu dicermati dalam dua konteks yang
paradoksal.
Pertama, sebagai upaya lebih lanjut pemerintah dalam menyiapkan
dasar hukum baru bagi pelaksanaan reforma agraria, sebagaimana
dijanjikan Presiden Yudhoyono mulai tahun 2007. Yang kedua, bagian
dari grand design liberalisasi pertanahan lewat produk legislasi yang
justru menghambat realisasi reforma agraria. Keduanya seperti air dan
minyak, namun keduanya potensial.
Pernah diingatkan jika pemerintah konsisten ingin melaksanakan
reforma agraria, memang dibutuhkan legislasi (setingkat UU) yang secara
operasional mengatur apa dan bagaimana reforma agraria dijalankan
22
(Sinar Harapan, 15/02/07). Eksistensi UUPA, terutama menyangkut pasal-
pasal prinsipilnya tetap relevan dijadikan rambu-rambu dasar bagi reforma
agraria (Sinar Harapan, 15/06/04).
Yang patut diwaspadai ialah substansi legislasi pertanahan jangan
sampai jadi produk politik yang mengganjal reforma agraria. Harus
dicegah, pertanahan jadi urusan sektoral yang lepas konteks dari
keagrariaan utuh yang menyangkut semua bidang kehidupan, dan hindari
pengarusutamaan kepentingan investasi skala besar melalui liberalisasi
pertanahan yang selama ini memicu massifnya konflik agraria yang
merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/
keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus deras
neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung pikiran elit
politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arah neo-imperialisme
alias penjajahan baru yang membiaskan makna kemerdekaan republik ini.
Perlu diwaspadai untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang
menghantui politik agraria nasional selama ini, dan mungkin kelak
menjangkiti RUU Pertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting,
jika pemerintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU
Pertanahan sebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan
sebaliknya.
Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangat dan
substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan mendasar yang
menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak di pemerintahan
maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, penguasaan, dan
pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golongan ekonomi
lemah/miskin haruslah diprioritaskan.
Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 September
2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: "Reforma agraria
membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangun konsensus.
Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dan keagrariaan kita -
23
untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepada Pancasila, UUD 1945, dan
UUPA. Itu komitmen awal yang didapat. Itulah langkah awal yang
tersepakati dengan DPR-RI. Kita berproses menyusun Undang-undang
pertanahan di bawah payung UUPA".
Kalau dicermati sejumlah undang-undang baru terkait agraria yang
dihasilkan eksekutif-legislatif periode 2004-2009, tampak kita tak bisa
terlalu berharap akan lahirnya produk legislasi yang memenuhi dua
semangat dasar sebagaimana penulis singgung di atas -anti-sektoralisme
dan anti-liberalisme, sehingga lebih pro-integralisme agraria dan pro-
populisme kerakyatan.
Contoh, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal telah secara
telanjang menunjukkan komitmen ideologis-politik elite dieksekutif/
legislatif yang mengutamakan kepentingan modal besar tanpa
membedakan asing atau domestik. Hak atas penggunaan dan pemakaian
tanah untuk investor diberikan nyaris setengah abad.
Inkonsistensi UU Penanaman Modal dengan UUPA, dan bahkan
UUD 1945, telah menyeret UU ini ke meja Mahkamah Konstitusi untuk
diuji materi-kini sedang menunggu putusan.
Belum lagi kita lihat UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, dan UU Sumberdaya Air juga
kontroversial karena sektoralisme dan liberalismenya yang begitu kental.
Liberalisme yang membuka ruang lebar bagi berkuasanya kekuatan kapital
akan menggerogoti kewibawaan dan kewenangan negara dalam mengatur
urusan agraria kita.
Berbagai produk legislasi yang liberalistik ini disimpulkan bukan
solusi atas akar soal agraria, melainkan akan memperumit dan
mempertajam konflik kepentingan lintas tataran yang menempatkan
rakyat/bangsa sebagai korban.
Mumpung masih cukup waktu, agar legislasi pertanahan melalui
RUU Pertanahan terhindar dari jebakan sektoralisme dan liberalisme,
disarankan beberapa langkah strategis.
24
Pertama, perlu dibentuk Panitia Negara yang terdiri dari unsur
pemerintah, parlemen, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan
lembaga swadaya masyarakat yang bertugas khusus;
a. mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria
atau tanah dan kekayaan alam lainnya (hutan, tambang, kebun,
pertanian, kelautan, dlsb), dan
b. Merekomendasikan grand desain rancangan pembaruan hukum agraria
secara menyeluruh agar konsisten dengan semangat dan isi UUD 1945
dan UUPA 1960.
Kedua, mendesak dilakukan konsultasi publik secara luas, sehingga
aspek partisipasi publik terakomodir dalam proses penyusunan RUU
Pertanahan. Konsultasi bukan hanya terhadap "kalangan atas" di hotel-
hotel berbintang, tapi juga dilakukan di kampus-kampus yang melibatkan
cerdik cendekia, hingga kampung-kampung yang merangkul rakyat kecil
yang tergantung pada tanah.
Ketiga, dari segi waktu, periode 2008-2009 tampaknya terlalu
sempit untuk melahirkan produk legislasi sestrategis UU Pertanahan.
Untuk itu, RUU Pertanahan yang tengah digodok pemerintah, pembahasan
dan pengesahannya lebih tepat dilakukan setelah Pemilu 2009. Pemerintah
dan legislatif baru produk Pemilu 2009 akan memiliki legitimasi politik
lebih kuat untuk mengarahkan politik-hukum agraria nasional melalui
berbagai produk legislasinya.
Agar dongkrak politik reforma agraria kian kuat, maka partai-partai
politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 kita dorong untuk
mengadopsi agenda reforma agraria ke dalam plattform dan program
politiknya. Peran partai politik dalam sistem demokrasi amat vital,
sehingga memungkinkan reforma agraria dapat digiring ke jantung
kekuasaan negara untuk kemudian dilaksanakan secara teguh.
C. Rangkuman Materi
Sudah saatnya reforma agraria merevitalisasi UUPA values, agar
penataan kembali agraria di Indonesia sejalan dengan semangat nasionalisme
dan populisme, sebagaimana diamanatkan UUPA dan Undang-Undang Dasar
25
Tahun 1945 (Amandemen ke-4). Penataan yang komprehensif terhadap
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan agraria yang
berkeadilan dan mensejahterakan.
Berbagai produk legislasi yang liberalistik ini disimpulkan bukan solusi
atas akar soal agraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik
kepentingan lintas tataran yang menempatkan rakyat/bangsa sebagai korban.
Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/ keagrariaan
yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus deras neo-liberalisme.
Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung pikiran elit politik sehingga
mengarahkan kebijakan publik ke arah neo-imperialisme alias penjajahan baru
yang membiaskan makna kemerdekaan republik ini.
D. Latihan/Tugas
1. Jelaskan tentang agen tunggal pemegang merk !
2. Bagaimana mencegah liberalisme pertanahan ?
E. Rambu-rambu Jawaban Soal
Hadi Sabari Yunus, 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar
Dewberry & Davis, 1996. Land Development Handbook; Planning, Engineering. Andi Surveying, Mc Graw Hill.
F. Daftar Pustaka
Dewberry & Davis, 1996. Land Development Handbook; Planning, Engineering. Andi Surveying, Mc Graw Hill.
http://mkn-unsri.blogspot.com/2009/08/hantu-liberalisme-pertanahan.html (Oleh Usep Setiawan. Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria)
http://sosiologipertanahan.blogspot.com/2007/08/jangan-jadi-atpm.html (Diposkan oleh Aristiono Nugroho)
26
BAB V
ASPEK HUKUM TANAH DI INDONESIA
A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari pokok bahasan tentang pengantar
perpajakan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian hukum
tanah, fungsi tanah, ketetentuan hukum tanah, konsep hukum kepemilikan
tanah.
B. Uraian Materi
1. Pengertian Hukum Tanah (Agraria)
Kata Agraria, bisa mempunyai arti yang sempit (tanah), dan bisa
mempunyai arti yang luas (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya). Hukum Agraria, juga bisa mempunyai arti
yang sempit, dan luas, yang objeknya senada dengan arti kata agraria di
atas.
Hukum Agraria dilaksanakan berdasar UUPA yang bertujuan
untuk: (1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional; (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan (3) Meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
Adapun Hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
nasional, secara hirarkhi dibagi sebagai berikut; (1) hak Bangsa
Indonesia; (2) hak Menguasai dari Negara; (3) Hak Ulayat
masyarakat-masyarakat hukum adat; dan (4) Hak-hak perorangan
hak-hak atas tanah; wakaf; hak jaminan atas tanah; hak tanggungan.
2. Fungsi Tanah
27
Tanah adalah sumber kehidupan, kekuasaan, dan kesejahteraan.
Karena kedudukan tanah yang demikian strategis ini, maka di dalam
politik dan hukum pertanahan Indonesia, negara sebagai organisasi
kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui :
a. Pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah
b. Mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah
c. Perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan tanah bagi
kepentingan umum.
Selain itu digariskan pula bahwa setiap hak atas tanah harus
memiliki fungsi sosial dengan pengertian tanah tersebut wajib digunakan,
dan penggunaannya tidak boleh merugikan kepentingan orang lain.
Namun dalam praktiknya, perangkat hukum pertanahan cenderung
diterapkan secara silogisme dengan logika deduktif semata tanpa
mempertimbangkan pengaruh faktor dan proses sosial yang ada. Ini
merupakan akibat pengaruh aliran positivisme dalam sistem hukum
Indonesia. Kaedah hukum yang dibuat penguasa lewat undang-undang
harus ditaati masyarakat tanpa memperhitungkan apakah kaedah itu benar
dan adil, atau malah sebaliknya. Keberadaan peraturan demi peraturan di
bidang pertanahan tidak menjamin perlindungan bagi rakyat dari
kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang selalu membawa jargon
‘pembangunan dan kepentingan umum.
Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para
pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa juga akan
ditunjukkan pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta.
Tetapi kalau jalan tengah tak tercapai, sengketa warga dengan
pengembang terus berlanjut, pemerintah cenderung selalu memihak swasta
dibanding kepentingan masyarakat. Tidak jarang dilakukan dengan unsur-
unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanahnya
dengan ganti rugi yang tidak layak. Kalaupun perkara pertanahan berujung
ke pengadilan, nasib rakyat tidak berarti lebih mujur. Dalam mengadili
28
sengketa pertanahan, hakim lebih mementingkan ‘fakta atau peristiwa’
ketimbang ‘hukumnya’.
3. Ketentuan Hukum Tanah
Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan
dokumen tertulis yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah
( badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ) untuk dipergunakan sebagai
tanda bukti hak dan alat pembuktian yang dikeluarkan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah. Bila mana sertipikat dikatakan
sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti hak atas tanah,
berarti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang
sertipikat tanah menunjukan mereka itu mempunyai suatu hak atas tanah
atas suatu bidang tanah tertentu. Ketika suatu sertipikat dikonsepkan
sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka sertifikat bukan
merupakan alat bukti satu – satunya adanya keberadaan hak kepemilikan
atas tanah.
Ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 PP No. 24
tahun 1997, menunjukkan konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya
alat bukti tertentu yang dapat dijadikan alas hak ( title) yang dapat
dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum dapat menuntut kepada
Negara adanya keberadaan hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki.
Secara hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan
landasan yuridis guna dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya
untuk dapat diterbitkan sertipikat tanda bukti sekaligus alat bukti
kepemilikan hak atas tanah.
Pertama, instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang
disebut sebagai “hak baru” atas tanah harus dibuktikan dengan
“Penetapan pemerintah” yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
apabila hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan.
Wujud kontret dari penetapan pemerintah ini adalah Surat Keputusan
29
Pemberian hak kepemilikan atas tanah (SK hak milik, SK HGB, dst); dan
atau
Kedua, akta otentik PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah )
menurut ketentuan hukum termasuk alat bukti kepemilikan hak baru,
dimana akte otentik tersebut memuat pemberian hak tersebut oleh
pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila
mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik. ( pasal
23 PP No. 24 tahun 1997)
Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang disebut sebagai hak
atas tanah yang “lama” ( pasal 24 PP No. 24 tahun 1997), yang diakui
keberadaannya oleh hukum sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas
tanah. Selanjutnya instrument yuridis tentang keberadaan alat bukti
kepemilikan tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria ( PMNA)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional ( KBPN ) No. 3
tahun 1997. Didalam pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 dan pasal 60 dari
PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, beserta penjelasan pasalnya disebutkan
alat bukti kepemilikan lama yakni: grosse/salinan akte eigendom, surat
tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja,
surat tanda bukti hak milik yang dikeluarka berdasarkan peraturan Menteri
Agraria No. 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari
pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA,
yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan,
tetapi telah memenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, petok D
/ girik, pipil, ketitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No.
10 tahun 1961, akta pemindahan hak dibawah tangan yang dibubuhi tanda
kesaksian oleh kepala Adat/desa/kelurahan yang dibuat sebelum
berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang
dialihkan, akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum
dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta ikrar wakaf / surat
ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28
tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, risalah lelang, surat
30
penunjukan pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil
pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala
kantor PBB dengan disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat
pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud
dalam pasal II, VI, dan VII ketentuan konversi. Alat-alat bukti
kepemilikan hak ini pada hakekatnya merupakan representasi dari
pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang dipunyai oleh
warga Negara Indonesia.
4. Konsep Hukum Kepemilikan Tanah
Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak
kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara
hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh
diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber
kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang
mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan
oleh negara.
Hak milik ( property rights ) merupakan suatu hak yang mempunyai
hubungan kepemilikan yang tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan
hak-hak kepemilikan lainnya. Hubungan tanah dengan pemiliknya
menimbulkan hak dan kewajiban maupun wewenang atas tanah yang
dihaki, secara luas dikatakan oleh Lisa Whitehouse “ property is basic to
the social walfare, people seek it, nations war it, and no one can do without
it”. Hak milik atas tanah melekat pada pemiliknya selama mereka tidak
melepaskan haknya ( peralihan hak).
Demikian juga bila dicermati ajaran John Locke mengenai hak
milik ini yang mengatakan bahwa: Ownership of property is a natural right
and that the purpose of Government is to protect and preserve natural
property right. Hak milik merupakan hak asasi manusia yang harus
dihormati dan keharusan bagi negara untuk melindungi, memelihara dan
menjaga hak kepemilikan warga negaranya. Ajaran maupun teori hak
31
kepemilikan ini yang selanjutnya masuk dalam Konstitusi yang merupakan
hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 28 H dan 28 G, Amandemen Undang- undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( UUDNRI 1945). Implementasi
dari jaminan perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan yang berkaitan
dengan tanah ( agraria ) oleh Negara selanjutnya dijabarkan ke dalam
UUPA.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas,sebagai konsekuensi yuridisnya
maka diatur bahwa terhadap tanah hak yang berasal dari hak lama ( adat )
oleh hukum dilakukan perubahan hukum berdasarkan prinsip pengakuan
Negara terhadap hak kepemilikan atas tanah rakyat karena hukum
dikonversi sebagai hak-hak yang baru dan jenis-jenis hak atas tanah yang
diciptakan oleh UUPA. Pengakuan Negara tersebut memunculkan model
sertipikat hak atas tanah yang berkarakter yuridis yang bersifat “
Deklaratif” ( declaratoir). Di samping model pengakuan Negara terhadap
hak atas tanah rakyat, Negara mengakomodir adanya hak atas tanah yang
muncul yang berasal dari status tanah-tanah diluar tanah hak yang dikuasai
rakyat ( tanah Negara ). Hak atas tanah ini terbit berdasarkan pada tindakan
pemerintah yang berupa “penetapan” atau “ keputusan” hak memunculkan
model sertifikat yang berkarakter yuridis yang bersifat
“Konstitutif”(Konstitutief).
Dalam ajaran hukum bahwa yang disebut sebagai suatu ketetapan
atau keputusan yang bersifat deklaratif yakni suatu ketetapan atau
keputusan yang menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum yang
sebetulnya memang telah ada sebelumnya. Utrecht menyebutkan bahwa
suatu ketetapan / keputusan deklaratif merupakan ketetapan yang hanya
menyatakan yang bersangkutan dapat diberikan haknya karena termasuk
golongan ketetapan yang menyatakan hukum ( rechtsvastellende
beschikking), sedang yang disebut sebagai ketetapan Konstitutif adalah
ketetapan membuat hukum baru ( rechtscheppend).
32
Menurut P. de Haan cs, “ Bestuursrecht in de sociale rechtsstaat”
halaman 30, yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon terdapat
pengelompokan Beschikking, khusus yang disebut sebagai keputusan
deklaratur maupun konstitutif (Rechtsvastellend en rechtsscheppend )
diuraikan bahwa Pada keputusan Tata Usaha Negara deklaratif hubungan
hukum pada dasarnya sudah ada. Contoh: akte kelahiran, hak milik atas
tanah eks hukum adat. Relevansi praktis dari pembedaan ini berkaitan
dengan alat bukti. Keputusan tata usaha Negara deklaratif bukanlah alat
bukti mutlak. Adanya hubungan hukum masih mungkin dapat dibuktikan
dengan alat bukti lain. Pada keputusan Tata Usaha Negara konstitutif,
adanya keputusan tata usaha Negara merupakan syarat mutlak lahirnya
hubungan hukum. Contoh: sertifikat HGB, SK pengangkatan sebagai
pegawai negeri dan lain-lain; berbeda dengan keputusan tata usaha Negara
deklaratif, dalam keputusan tata usaha Negara konstitutif merupakan alat
bukti mutlak. Dengan kata lain, tidak ada hubungan hukum tanpa adanya
keputusan tata usaha Negara yang sifatnya konstitutif.
C. Rangkuman Materi
Kata Agraria, bisa mempunyai arti yang sempit (tanah), dan bisa
mempunyai arti yang luas (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya). Hukum Agraria, juga bisa mempunyai arti yang
sempit, dan luas, yang objeknya senada dengan arti kata agraria di atas.
Konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan
hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung
tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak
kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya,
oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus
mendapatkan perlindungan oleh negara.
Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para pihak
memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa juga akan ditunjukkan
pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan
33
tengah tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut,
pemerintah cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan
masyarakat
D. Latihan/Tugas
1. Apa pengertian hukum tanah ?
2. Jelaskan fungsi tanah ?
3. Bagaimana ketetentuan hukum tanah ?
4. Bagaimana konsep hukum kepemilikan tanah ?
E. Rambu-rambu Jawaban Soal
Boedi Harsono, 1980. Beberapa analisis tentang hukum agrarian, bagian 3, Era study Club, Jakarta, 1980.
John Locke, 2001. Second treatise on Government, dikutip oleh Rock Deborah, Property Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press Limited Aldine Place, London,
F. Daftar Pustaka
John Locke, 2001. Second treatise on Government, dikutip oleh Rock Deborah, Property Law & Human Rights, First Published, Blackstone Press Limited Aldine Place, London,
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?Itemid=74&catid=29:fisip&id=95:isip-4130-pengantar-ilmu-hukum-pengantar-tata-hukum-indonesia&option=com_content&view=article
http://sertifikattanah.blogspot.com/
34
BAB VI
ASAS-ASAS TATA GUNA TANAH
A. Kompetensi Dasar
Setelah mahasiswa mempelajari pokok bahasan tentang pengantar
perpajakan maka mahasiswa mampu menjelaskan tentang beberapa asas
dalam hukum tata guna tanah, perencanaan tata agraria, asas tata guna tanah
untuk daerah perdesaan, asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan, landasan
hukum tata guna tanah.
B. Uraian Materi
1. Beberapa Asas Dalam Hukum Tata Guna Tanah
a. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 1 ayat (2) UUPA : Seluruh bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah
RI sebagai karunia Tuhan YME bagi bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional.
b. Asas Persatuan Indonesia
Pasal 9 ayat (1) UUPA : Hanya warga negara Indonesia dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang
angkasa
Catatan : WNA hanya dapat memperoleh Hak Pakai.
c. Asas Demokrasi dan Kerakyatan
Pasal 9 ayat (2) UUPA : Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun
wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi
diri sendiri maupun orang lain.
Catatan: dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara
warga negara pribumi dan non-pribumi dan antara laki-laki dan
perempuan.
35
2. Perencanaan Tata Agraria
a. Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use)
Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi
beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.
b. Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production)
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria
diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk
memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.
c. Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use)
Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat
memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada
orang yang menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam
itu sendiri.
Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok
asas tata guna tanah yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik
berat penggunaan tanah diantara keduanya di mana penggunaan tanah di
daerah perdesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian.
Sedangkan penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan pada
kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat
pedesaan dengan perkotaan. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP
No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis
penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS)
diwilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di
wilayah perkotaan yang menjadi persyaratan penyelesaian administrasi
pertanahan.
3. Asas Tata Guna Tanah Untuk Daerah Perdesaan (rural land use
planning).
a. Lestari
36
Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu
yang lama yang akan berdampak pada:
1) Akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah.
2) Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya
untuk mewariskan sumber daya alam kepada generasi yang akan
datang.
Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to
a great family of which many member are dead, some are living and
the large number still to the born. (tanah bukan milik masyarakat
sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat
sekarang dan masyarakat yang akan datang).
b. Optimal
Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan
ekonomis yang setinggi-tingginya.
c. Serasi dan seimbang
Suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam
kepentingan pihak-pihak, sehingga dapat dihindari adanya
pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah.
4. Asas Tata Guna Tanah Untuk Daerah Perkotaan (urban land use
planning)
a. Aman
Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan,
bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari
ketunakaryaan.
b. Tertib
Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan
wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam hukum.
c. Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan
lancar dalam komunikasi.
37
d. Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.
Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No. 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan
berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Pasal 2).
5. Landasan Hukum Tata Guna Tanah
a. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.
2) Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia
harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
3. BARA + K merupakan hubungan menguasai.
b. Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan
15 UUPA
Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana
umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA +
K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis,
sosial dan keagamaan.
Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan
Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana
(planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air
dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat
dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-
rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan
adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara
38
terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-
besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah
dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan
corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan
pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka
disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula
keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e).
Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk
pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi
juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan
Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang
dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang
menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun
perseorangan untuk memelihara tanahnya. Undang-undang yang
diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pembuatan
rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14
UUPA ialah peraturan pemerintah
c. No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
d. UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
e. UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang
Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman
tertentu.
Mengenai penertiban/pemanfaatan:
f. UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang
berhak atau kuasanya.
g. Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982
39
h. Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982
Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No.
Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.
i. PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan
penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada
kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam UUPA
dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Dasar-
dasar penatagunaan tanah itu adalah:
a. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan
tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;
b. Hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang hak untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;
c. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah
tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
d. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses
penatagunaan tanah;
e. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan
dan pemilikan tanah;
f. penggunaan tanah di samping sebagai subsistem penatagunaan ruang
juga merupakan subsistem dari sistem pembangunan;
g. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, sosial, politik,
hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya
harus diselenggarakan secara koordinatif;
h. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua
kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan
tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
i. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah
pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau
medebewind.
40
Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna
tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan
perdesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik
serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata
penggunaan tanah di perkotaan dan perdesaan ialah Konsolidasi Tanah.
6. Perbedaan Tataguna Tanah dan Tata Ruang
Penelaahan problematika penatagunaan tanah dan penataan ruang
yang secara empirik carut-marut memerlukan pendekatan teori hukum post
modern "hemeneutika hukum" secara terstruktur memberi interpretasi teks
norma menurut konteks. Di samping itu pendekatan socio-legal menjadi
sebuah keniscayaan. Demikian antara lain sinopsis buku berjudul "Aspek
Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang".
Perbedaan tersebut penulis ingin menegaskan, pendekatan legal
positivistik dalam urusan tataguna tanah dan tata ruang adalah penting,
namun bukan satu-satunya dan jangan pula menisbikan pendekatan socio-
legal. Hal ini menurut dikarenakan urusan tataguna tanah dan tata ruang
bukan terletak pada pemerintah/pemda namun semua stakeholders.
Lebih jauh, juga menyebutkan perlunya disusun dokumen neraca dan peta
spasial eksisting yang isinya memuat ketersediaan SDA untuk mendukung
penatagunaan tanah subsistem penataan ruang.
Terkait hal ini, digarisbawahi perlunya pembakuan pengumpulan,
penyajian, analisis, dan perubahan data sebagai bahan penyusunan neraca
penatagunaan tanah, selain itu, ditegaskan pula pentingnya pemahaman
peran hukum dalam perencanaan, implementasi, kontrol, evaluasi
pemanfaatan ruang dikarenakan hukum merupakan instrument penilaian
perilaku manusia dalam jejaring relasi sosial.
Dalam pembahasannya perlu pembenahan aspek hukum dan
kebijakan publik terkait tataguna tanah dan tata ruang. Ketidaksinkronan
ini menurutnya menimbulkan kewenangan ganda dan kerumitan dalam
pengurusan perijinan terkait tataguna tanah dan tata ruang.
41
Perbedaan meliputi beberapa hal diantaranya kebijaksanaan (konsepsi,
orientasi dan karakteristik), Konsepsi dan arah kebijaksanaan pertanahan,
Hukum dalam konteks perubahan sosial, Landasan dan pola penerapan
kebijaksanaan tata guna tanah, dan Kebijaksanaan manajemen tanah
perkotaan sebuah keniscayaan. Buku ini dilengkapi pula dengan epilog sisi
kefilsafatan dan teori hukum pengaturan tata ruang.
7. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Keppres 34/2003 Sebagai Solusi
Sementara
a. Di tengah derasnya arus tuntutan pelaksanaan reforma agraria dan
penyelesaian konflik-konflik pertanahan serta penataan penguasaan
sumber-sumber agraria, Pemerintahan Megawati dengan bersandarkan
pada TAP MPR No. IX Tahun 2001 mengeluarkan satu kebijakan
tentang penataan pertanahan nasional, yaitu Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 2003. Kebijakan
ini dikeluarkan dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. IX Tahun
2001, dengan memandatkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN)
untuk:
1) Menyusun RUU Penyempurnaan UUPA 1960 dan RUU Hal Atas
Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang
pertanahan;
2) Menyusun pembangunan sistem informasi dan manajemen
pertanahan untuk menunjang landreform dan pemberian hak atas
tanah;
3) Menyusun norma-norma dan/atau standarisasi mekanisme
ketatalaksanaan, kualitas produk dan sumber daya manusia yang
diperlukan dalam rangka pemberian sebagian besar kewenangan
pemerintah di bidang pertanahan kepada pemerintah propinsi/
kabupaten/kota.
42
b. Solusi
Persoalan agraria sebagai praktek poliytik memiliki 2 arah
kecendrungan. Yang pertama adalah penguatan politik rakyart dalam
lapangan kehidupan agrarian dan pengakuan kedaulatan rakyat dalam
pengelolaan sumber-sumber agraria. Semntara yang kedua justru
melemahkan rakyat dan megalihkan penguasaan pengelolaan sumber-
sumber agraria entitas lain, negara ataupun modalatau bahkan
merupakan kolaborasi antara keduanya.
Di Indonesia, sisa ekonomi feodal masih mempunyai serabut
akar yang menyerap kesuburan tanah di desa dalam berbagi bentuk
yang merupakan penghisapan terhadap kaum tani penggarap.
Masyarakat feodal adalah hubungan produksi yang terbentuk dan
berlangsung sesuai dengan tuntutan perkembangan tenaga produktif
bagi kelonggaran geraknya. Sebagaimana budak yang merupakan
tenaga kerja produktif telah mendapat kebebasan dan kemerdekaan
sesuai dengan tuntutannya. Budak yang kemudian menjadi tani hamba
dalam hubungan produksi feodal, pada hakekatnya juga budak yang
hidupnya bertalian eat dengan tanah garapan milik tuan feodal. Tani
hamba menjadi sangat sulit untuk bisa melepaskan diri dari ikatan
tanah garapannya, mereka sangat takut dan tidak berani meninggalkan
tanah garapannya yang mengikat hidupnya sangat erat.
Bagi tanah hamba sangat sulit meninggalkan tanah garapannya
yang berarti kehilangan sumber pangan atau sumber hidup karena
tidak mempunyai tanah milik untuk digarap sebagai sumber pangan
atau sumber kehidupannya. Hukum ekonomi pokok feodalisme adalah
kepemilikan tanah oleh tuan tanah dan kerja tani hamba dkam ikatan
tanah garapan milik tuan feodal dibawah syarat ketentuan dan
kepentinga tuan feodal;. Tanah-tanah dikuasai merupakan milik tuan
feodal
43
C. Rangkuman Materi
Dalam literatur Hukum Agraria dibedakan 2 kelompok asas tata
guna tanah yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat
penggunaan tanah diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah
pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian.
Sedangkan penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan
pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan
masyarakat pedesaan dengan perkotaan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis penggunaan tanah
bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta
aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang
menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan.
D. Latihan/Tugas
1. Sebutkan beberapa asas dalam hukum tata guna tanah !
2. Bagaimana perencanaan tata agraria ?
3. Apa saja asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan ?
4. Apa saja asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan ?
5. Jelaskan landasan hukum tata guna tanah !
6. Terangkan perbedaan tataguna tanah dan tata ruang !
7. Jelaskan mengenai kebijakan pertanahan berdasarkan Keppres 34/2003
sebagai solusi sementara !
E. Rambu-rambu Jawaban Soal
Harsono Budi, 2003. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pementukan, UUPA, Isi dan Pelaksanaannya (Edisi Revisi), Jakarta : Djambatan
Wiratmoko, Nick. T, 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal, Antara Dominasi Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal, Yogyakarta. Pustka Pelajar dan Pustaka Percik
44
F. Daftar Pustaka
Harsono Budi, 2003. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pementukan, UUPA, Isi dan Pelaksanaannya (Edisi Revisi), Jakarta : Djambatan
Wiratmoko, Nick. T, 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal, Antara Dominasi Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal, Yogyakarta. Pustka Pelajar dan Pustaka Percik
http://www.indolawcenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=781%3Aasas-asas-dalam-hukum-tanah&catid=220%3Ahukum-pertanahan&Itemid=237
45
PROFIL PENULIS
Soediro, S.H., LL.M. lahir di Purwokerto pada tanggal 13 Februari 1966. Lulusan DI Pendidikan Jurnalistik Jakarta Tahun 1986 ini pada tahun 2001 menempuh S1 Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, lulus Tahun 2005. Setahun kemudian ia menempuh studi lanjut S2 Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, lulus Tahun 2008.
Sebelum menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum UMP, penulis bekerja di berbagai media, di antaranya adalah: Koresponden SKM Bintang Indonesia (1986); Wartawan Free Lance (1987-1996), Koresponden Majalah FAKTA Surabaya (1997-2000); Wartawan SKH Sudirman Pos Purwokerto (1998); Pemred SKM Suara Gerilya Purwokerto (1999); dan Pemred Tabloid Media Promo Purwokerto (2000).
Pengalaman Organisasi Penulis adalah: Ketua KJI (Komunitas Jurnalis Indonesia) Wilayah Eks- Karesidenan Banyumas (1998-2000), Pengurus PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) Banyumas (2000-2008), Ketua I PEPADI Banyumas (2008-2012) Kegiatan Ilmiah yang pernah dilakukan antara lain: Juri Lomba Debat Tingkat SMU Se-Eks Karesidenan Banyumas, BEM FH UMP, 25 April 2005; Narasumber dalam Pelatihan Kesadaran Hukum di Kalangan Pelajar, Masalah-masalah dan Strategi Penanganannya, BEM FH UMP, 10 Mei 2005; Pembicara dalam Leadership and Outbond Training, BEM FH UMP, 26-27 Februari 2005; Pembicara dalam Orientasi Pengenalan Studi Intelektual (OPSI) BEM FH UMP, 7-8 September 2005 ; Juri Lomba Debat SMA Se-Eks Karesidenan Banyumas, BEM FH UMP, 22 Mei 2006; Pembicara dalam OSPEK FH UMP Tahun 2007, BEM FH UMP, 8 September 2007; Peserta Diskusi Panel Pembangunan Hukum Nasional tentang Arah Pengembangan Sistem Peradilan di Indonesia, Departemen Hukum dan HAM RI bekerja sama dengan FH UGM Yogyakarta, 24-27 April 2007; Peserta Seminar Nasional Manajemen Dampak Pergeseran Iklim Global dalam Pelestarian Lingkungan Hidup, UNY Yogyakarta, 23 Mei 2007; dan Peserta Seminar Nasional dan Sosialisasi UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, UKSW Salatiga, 3 November 2008; dan Peserta Training of Trainer di Hotel Sandaan Pangandaran, 1-3 Maret 2010. Di samping itu, Penulis juga aktif mengisi acara “Bina Hukum” di Pro 2 RRI Purwokerto.
46