1.alergi obat

12
1 ALERGI OBAT Heru Sundaru Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan Alergi obat merupakan bagian dari reaksi adversi obat. Menurut Ditto, reaksi adversi obat didefinisikan sebagai respon yang tidak disengaja, dan tidak dikehendaki terhadap obat, dalam dosis normal, untuk tujuan profilaksis, diagnosis atau pengobatan 1 . Reaksi adversi obat sering rancu dengan alergi obat, padahal alergi obat adalah reaksi adversi yang mekanismenya melalui reaksi imunologis atau dikenal dengan istilah hipersensitivitas obat. Baik di masyarakat maupun di kalangan medis istilah alergi obat dan hipersentivitas obat sering dipertukarkan atau dianggap sama. Namun dalam prakteknya untuk menentukan apakah sistem imun terlibat, tidaklah mudah, banyak kejadian yang gejalanya mirip bahkan sama dengan gejala alergi, tetapi mekanismenya bukan alergi, seperti sesak napas serta angioedema yang disebabkan aspirin atau obat anti inflamasi non-steroid (AINS). Alergi obat sangat perlu dipahami terutama oleh tenaga kesehatan. Berbagai reaksi dapat muncul setelah pemberian obat, mulai dari yang ringan berupa eritema sampai yang berat seperti anafilaksis Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET). Masalah alergi obat selain menambah penderitaan penderitanya, biaya yang harus ditanggung, juga dapat menyebabkan kecacatan atau bahkan kematian, sehingga tidak jarang bagi dokter menyebabkan berurusan dengan medikolegal. Makalah ini akan membahas epidemiologi, klasifikasi, manifestasi klinik, diagnosis, terapi, dan pencegahan alergi obat. Epidemiologi Data mengenai insidensi alergi obat umumnya berasal dari rumah sakit, khususnya dari pasien rawat inap dan rawat jalan; sangat jarang yang berasal dari masyarakat. Hal ini

Upload: hutomorezky

Post on 23-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

ipd

TRANSCRIPT

Page 1: 1.Alergi Obat

1

ALERGI OBAT

Heru Sundaru

Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan

Alergi obat merupakan bagian dari reaksi adversi obat. Menurut Ditto, reaksi adversi obat

didefinisikan sebagai respon yang tidak disengaja, dan tidak dikehendaki terhadap obat,

dalam dosis normal, untuk tujuan profilaksis, diagnosis atau pengobatan1. Reaksi adversi

obat sering rancu dengan alergi obat, padahal alergi obat adalah reaksi adversi yang

mekanismenya melalui reaksi imunologis atau dikenal dengan istilah hipersensitivitas

obat. Baik di masyarakat maupun di kalangan medis istilah alergi obat dan hipersentivitas

obat sering dipertukarkan atau dianggap sama. Namun dalam prakteknya untuk

menentukan apakah sistem imun terlibat, tidaklah mudah, banyak kejadian yang

gejalanya mirip bahkan sama dengan gejala alergi, tetapi mekanismenya bukan alergi,

seperti sesak napas serta angioedema yang disebabkan aspirin atau obat anti inflamasi

non-steroid (AINS).

Alergi obat sangat perlu dipahami terutama oleh tenaga kesehatan. Berbagai

reaksi dapat muncul setelah pemberian obat, mulai dari yang ringan berupa eritema

sampai yang berat seperti anafilaksis Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis

Epidermal Toksik (NET). Masalah alergi obat selain menambah penderitaan

penderitanya, biaya yang harus ditanggung, juga dapat menyebabkan kecacatan atau

bahkan kematian, sehingga tidak jarang bagi dokter menyebabkan berurusan dengan

medikolegal.

Makalah ini akan membahas epidemiologi, klasifikasi, manifestasi klinik,

diagnosis, terapi, dan pencegahan alergi obat.

Epidemiologi

Data mengenai insidensi alergi obat umumnya berasal dari rumah sakit, khususnya dari

pasien rawat inap dan rawat jalan; sangat jarang yang berasal dari masyarakat. Hal ini

Page 2: 1.Alergi Obat

2

tidak mengherankan karena diagnosis alergi obat tidak mudah. Oleh sebab itu dalam

membuat interpretasi harus berhati-hati mengenai sumber populasi dan cara diagnosis,

karena pada umumnya diagnosis alergi obat berdasarkan riwayat penyakit yang tentu saja

tidak dapat menggantikan uji kulit atau uji diagnosis alergi lainnya.

Laporan dari The Boston Collaborative Study Program, dari 4301 pasien rawat

inap didapatkan 247 (6,1%) pasien mengalami reaksi adversi, 41,7% berat dan 1,2%

menyebabkan kematian.2 Thong dkk. dari Singapura melaporkan penelitian prospektif

selama 2 tahun, melalui rekam medik elektronik. Dari 90.910 pasien rawat inap, 366

pasien dinyatakan alergi obat, namun setelah dievaluasi oleh ahli alergi hanya 210 yang

dinyatakan alergi obat. Manifestasi kulit merupakan manifestasi yang paling sering

(95,7%), SSJ, NET dan dermatitis eksfoliatif generalisata terjadi pada 11 (5,2%) pasien. 3

Kidon dan See melakukan penelitian retrospektif pada 8.437 anak yang dirawat, dan

mendapatkan reaksi adversi didapatkan pada 222 (2,6%) pasien, 70% daripadanya

disebabkan oleh antibiotik (45% oleh antibiotik beta laktam) dan 18,5% disebabkan obat

anti-inflamasi non-steroid. Manifestasi kulit didapatkan pada 98% kasus.4

Data dari pasien rawat jalan diperoleh diantaranya dari pasien demam rematik

yang mendapat terapi pencegahan dengan suntikan Penisilin G sekali sebulan. Dari 1790

pasien, 57 (3,2%) mengalami reaksi alergi atau 0,19% dari jumlah injeksi, 4 (0,2%)

mengalami anafilaksis atau 0,01% dari jumlah suntikan, dan satu kematian (0,05%) atau

0,005% dari jumlah suntikan.5

Insidensi alergi obat pada mahasiswa dilaporkan oleh Gomez dkk (6). Dari 2309

mahasiswa, 181 (7,8%) melaporkan diri mengidap alergi obat, 4,5% disebabkan penisilin

atau beta laktam, 1,5% aspirin atau AINS, dan sisanya obat-obat yang lain. Manifestasi

kulit terjadi pada 63,5% kasus.

Klasifikasi reaksi adversi obat

Reaksi adversi obat dibagi dalam dua kategori, reaksi yang dapat diprediksi (tipe A) dan

reaksi yang tidak dapat diprediksi (tipe B). Reaksi yang dapat diprediksi biasanya

tergantung dosis, berhubungan dengan aksi farmakologik suatu obat dan terjadi pada

pasien normal. Reaksi yang tidak dapat diprediksi umumnya tidak tergantung dosis, tidak

berhubungan dengan aksi farmakologi suatu obat dan hanya terjadi pada individu yang

Page 3: 1.Alergi Obat

3

peka. Diperkirakan reaksi yang dapat diprediksi merupakan 80% dari semua reaksi

adversi obat, reaksi yang serius dan mengancam nyawa umumnya termasuk kategori

yang tidak diperkirakan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi reaksi adversi obat7

Contoh Reaksi

Obat Akibat

Dapat diprediksi

Overdosis Asetaminofen Nekrosis Hati

Efek Samping Albuterol Tremor

Efek Sekunder Klindamisin Clostridium difficile Kolitis

Pseudomembran

Interaksi antar obat Terfenadin / eritromisin Aritmia torsade de pointes

Tidak dapat diprediksi

Intoleransi Aspirin Tinnitus (dosis normal)

Idiosinkrasi Kloroquin Anemia Hemolitik pada pasien

defisiensi G6PD

Alergi Penisilin Anafilaksis

Pseudoalergi Zat Radiokontras Reaksi Anafilaktoid Solensky R. Drug hypersensitivity. Med Clin N Am 2006; 90:232-60

Yang membedakan reaksi alergi obat dengan reaksi yang tidak dapat diprediksi

adalah karena reaksi alergi obat dimediasi oleh reaksi imun yang spesifik, sedangkan

reaksi hipersensitifitas apapun mekanismenya, gejalanya menyerupai reaksi alergi obat.

Meskipun demikian tidak ada satu klasifikasi pun yang dapat merangkum semua reaksi

alergi obat.

Di bawah ini dikemukakan pula klasifikasi Gell dan Coombs yang meliputi reaksi

hipersensitivitas tipe I sampai tipe IV7 yang dapat diaplikasikan pada sebagian reaksi

alergi obat (Tabel 2).

Page 4: 1.Alergi Obat

4

Tabel 2. Klasifikasi Gell dan Coombs untuk reaksi alergi7 Reaksi

Tipe Mekanisme Obat Akibat

I Antibodi IgE menyebabkan

degranulasi sel mast / basofil Penisilin Anafilaksis

II Reaksi sitotoksik terhadap

permukaan sel melalui IgG / IgM Kuinidin Anemia hemolitik

III Reaksi komplek imun Sefaleksin Serum sickness

IV Reaksi lambat di mediasi limfosit T Neomisin Dermatitis kontak

Manifestasi Klinik

Manfestasi alergi obat sangat bervariasi, sehingga ada yang membagi menjadi multi

sistem dan organ spesifik, seperti terlihat pada Tabel 3. Reaksi sistemik akut seperti

anafilaksis perlu mendapat perhatian karena dapat menyebabkan kematian. Gejalanya

dapat muncul beberapa detik sampai beberapa menit, tetapi umumnya dalam waktu 30

menit, makin cepat gejala muncul setelah pemberian obat, makin berat derajat penyakit.

Gejala akan segera menghilang setelah pengobatan dan jarang sampai bertahan sampai 24

jam, tetapi sebagian gejala ada yang muncul kembali 6-8 jam setelah gejala pertama.

Rute pemberian obat seperti oral, suntikan, inhalasi, atau topikal pada kulit yang luka

dapat menyebabkan anafilaksis. 8-10

Kulit merupakan organ yang paling sering terlibat, bisa mencapai 95% dari

seluruh gejala alergi obat. Erupsi eksantem, makulopapular, atau morbiliform merupakan

erupsi yang paling sering, disusul oleh urtikaria, angioedema, dan dermatitis kontak.

Erupsi lain dalam frekuensi yang lebih jarang yaitu fixed drug eruption, sindroma Steven-

Johnson, nekrolisis epidermal toksik dan eritema nodosum. Gejala pada kulit muncul

setelah 1-2 minggu pemberian obat, kecuali sindroma hipersensitivitas obat, gejalanya

berupa eritema, demam, artralgia, limfadenopati, dan keterlibatan organ-organ dalam

seperti paru, hati, ginjal, serta eosinofilia yang gejalanya dapat muncul 2-6 minggu

setelah pemberian obat.

Organ-organ yang lain juga dapat terlibat, dan kadang-kadang beberapa organ

serentak seperti pada penyakit serum atau yang menyerupai (serum sickness –like

Page 5: 1.Alergi Obat

5

reaction) yang gejalanya muncul 1-3 minggu setelah pemberian obat berupa demam,

erupsi kulit, sakit sendi, dan limfadenopati.

Tabel 3. Manifestasi klinik pada berbagai organ7 Multisistem

Paru Bronkospasme

Pneumonia Edema Paru Pulmonary infiltrates with Eosinophilia

Anafilaksis Serum-sickness dan serum sickness-like reactions Demam Obat Sindroma Hipersensitifitas Vaskulitis Lupus Erythematosus-like Syndrome

Ginjal Kulit

Nefritis interstisial Sindroma nefrotik

Hati

Hepatitis Kolestasis

Jantung

Urtikaria / angioedema Sindroma Stevens-Johnson Toksik Epidermal Nekrolisis Erupsi Obat Maculopapular atau Morbiliform Rashes Dermatitis Kontak Fotosensitifitas Erythema Nodosum

Sumsum Tulang

Anemia Hemolitik Trombositopenia Neutropenia Anemia Aplastik Eosinofilia

Miokarditis

Diagnosis Prosedur diagnostik pada alergi obat dapat diklasifikasikan dalam riwayat penyakit atau

wawancara, uji kulit, uji laboratorium dan uji provokasi.

1) Wawancara

Untuk membuat diagnosis alergi obat tidak mudah, karena bervariasinya gejala klinis,

patofisiologi sebagian besar alergi obat belum jelas, serta belum tersedianya standar

diagnostik yang telah divalidasi. Riwayat penyakit melalui anamnesis merupakan

komponen utama dalam upaya menentukan penyebab alergi obat, karena gejala yang

timbul mungkin saja disebabkan oleh penyakit dasarnya atau pasien memakai berbagai

Page 6: 1.Alergi Obat

6

macam obat pada saat yang bersamaan sehingga sulit menentukan obat mana yang

menjadi penyebab. Anamnesis yang baik akan menuntun atau membantu kita dalam

menentukan pilihan uji diagnostik atau mengambil keputusan apakah obat aman untuk

dipakai. Catatan medis diperlukan untuk melihat riwayat alergi obat di masa lampau.

Pertanyaan-pertanyaan penting tentang alergi obat antara lain: 7

• Nama atau nama-nama obat yang dipakai saat timbul reaksi alergi. Bila pasien

memakai banyak obat sulit menentukan penyebabnya. Termasuk obat disini

adalah vitamin, tonikum, maupun suplemen.

• Lama waktu yang diperlukan mulai dari memakai obat sampai timbul gejala. Pada

anafilaksis gejala timbul segera, tetapi pada sindroma Steven-Johnson bisa 1-2

minggu, bahkan pada penyakit serum bisa sampai 2-3 minggu.

• Organ yang terlibat (kulit, pernapasan, gastrointestinal, dan sebagainya). Contoh

bila kulit terlibat apakah urtikaria, morbilliform, bula, dan sebagainya.

• Apakah gejala alergi muncul sebelum, selama, atau sesudah memakai obat.

• Apakah indikasi pemakaian obat tepat.

• Apakah pasien pernah mengkonsumsi obat tersangka atau sejenisnya (reaksi

silang) di masa lampau.

• Apakah pasien mempunyai gejala yang sama bila tidak sedang mengkonsumsi

obat.

• Di samping obat tersangka, apakah pasien pada saat yang sama mengkonsumsi

obat-obat yang lain.

Pertanyaan-pertanyaan di atas yang bertujuan untuk mencari obat sebagai penyebab

alergi akan diperkuat bila gejala alergi menghilang setelah obat dihentikan dan timbul

kembali bila obat diberikan.

2) Uji Kulit

Uji kulit dapat dipakai dalam mengevaluasi alergi obat. Manfaat diagnostik uji kulit

belum sepenuhnya dievaluasi, konsentrasi obat yang dipakai belum diketahui serta

validasi berbagai jenis obat sangat sedikit diselidiki. Uji kulit dilakukan sesuai dengan

dugaan mekanisme patologi dari alergi obat. Pada reaksi cepat atau segera dimana IgE

sangat berperan dipakai uji tusuk atau uji intradermal sedangkan pada reaksi lambat yang

Page 7: 1.Alergi Obat

7

dimediasi oleh sel-T dipakai uji intradermal atau uji tempel yang pembacaannya

dilakukan setelah 6-8 jam sampai 2-3 hari (Tabel 4).

Table 4. Indikasi klinis yang memerlukan uji kulit pada reaksi alergi obat11

Uji Tempel Uji Tusuk dan Uji IntradermalAcute generelized exanthematous pustulosis Anafilaksis

Dermatitis Kontak Bronkopasme

Erythema multiforme Konjungtivis

Exanthematous drug eruption Rinitis

Fixed drug eruption Urtikaria/angioedema

Photoallergic reactions

Purpura/Leucocytoclastic

Vaskulitis

Sindroma Stevens-Johnson

Nekrolisis Epidermal Toksik

3) Uji Provokasi Obat (test dosing, controlled challenge atau graded challenge)12

Dengan segala keterbatasannya uji provokasi telah diterima secara luas sebagai baku

emas untuk menentukan atau menyingkirkan diagnosis alergi obat, karena tidak hanya

mereproduksi gejala alergi tetapi juga menimbulkan manifestasi klinik yang lain tanpa

memandang mekanisme terjadinya. Oleh karena itu, uji provokasi obat mempunyai

beberapa keuntungan dan bahkan dapat membuktikan hubungan klinik dengan uji-uji

baik in vivo (uji kulit) dan in vitro. Tetapi uji provokasi obat hanya dilakukan bilamana

uji yang kurang berbahaya tidak dapat mengambil kesimpulan yang berarti. Uji provokasi

obat dilakukan setelah mempertimbangkan rasio untung rugi pemberian suatu obat

kepada pasien.

Uji provokasi sebaiknya tidak dilakukan pada wanita hamil, pasien dengan risiko

tinggi akibat adanya komorbiditas seperti infeksi akut atau asma tidak terkontrol, pasien

dengan penyakit jantung, hati, ginjal, atau penyakit lain dimana pajanan terhadap obat

akan memprovokasi situasi di luar kontrol medis. Pengecualian diberikan jika obat yang

dicurigai tersebut penting untuk pasien.9

Page 8: 1.Alergi Obat

8

Secara umum, uji provokasi tidak direkomendasikan atau dikontraindikasikan

pada keadaan generelized bullous fixed drug eruptions, acute generelized exanthematous

pustulosis (AGEP), NET, SSJ, sindrom hipersensitivitas obat dengan eosinofilia,

vaskulitis sistemik, manifestasi organ spesifik (sitopenia, hepatittis, nefritis, dan

pneumonitis), anafilaksis berat, dan penyakit autoimun yang diinduksi obat (lupus

eritematosus sistemik, pemfigus vulgaris, pemfigoid bulosa)9.

4) Uji Laboratorium13-15

Berbagai uji laboratorium dilakukan pada reaksi obat, namun seperti pemeriksaan IgE

spesifik, uji degranulasi basofil, uji mediator inflamasi, serta pemeriksaan-pemeriksaan

yang lain. Umumnya uji-uji tersebut mempunyai spesifisitas yang tinggi tetapi

sensitivitasnya rendah. Sehingga memberikan nilai prediktif negatif yang rendah. Artinya

bila uji tersebut negatif masih besar kemungkinannya penderita alergi obat.

Pengobatan

Prinsip umum

Menghentikan pemakaian obat tersangka merupakan langkah pertama dampak

pengobatan. Tetapi ada kalanya obat yang harus dihentikan sangat diperlukan, terlebih

lagi bila belum ada obat alternatifnya. Maka pemakaian obat tersangka dapat dilanjutkan

sepanjang risiko melanjutkan pengobatan lebih ringan dibanding tidak mengobati

penyakit dasarnya. Pengawasan memberatnya reaksi alergi diperketat sampai penyakit

dasarnya sembuh.

Pengobatan Simtomatik1,16

Pengobatan simptomatik tergantung manifestasi klinik yang terjadi. Bila gejala ringan,

mungkin tidak diobati atau cukup dengan antihistamin atau kortikosteroid dosis rendah.

Tetapi pada kasus reaksi anafilaksis yang gejalanya bervariasi dari pruritus, urtikaria,

asma, sampai kepada edema larings atau syok maka perlu pengobatan sesuai dengan

kondisi masing-masing gejala. Pemberian epinefrin 0,3 cc IM sangat dianjurkan dapat

diulang beberapa kali, bahkan pada syok anafilaksis, pemberian cairan kristaloid 1-2 liter

dalam 10 menit pertama sangat dianjurkan selain oksigen.

Page 9: 1.Alergi Obat

9

Pemberian kortikosteroid pada penyakit-penyakit sindroma Stevens Johnson atau

NET masih silang pendapat. Bagi yang setuju memberikan steroid, pasien mendapat 40-

60 mg metilprednisolon setiap 6 jam, sementara yang tidak setuju menyatakan

kortikosteroid pada NET tidak akan menekan proses yang terjadi dan bahkan akan

meningkatkan kejadian sepsis.

Pencegahan

Cara yang paling efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat

yaitu memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan

pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30

kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 penderita yang mempunyai indikasi yang

jelas.15

Jika sudah tepat indikasinya, barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat

di masa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan obat yang akan kita berikan. Sering

pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat, yang sebenarnya kurang

masuk akal. Tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada

pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan.

Masalahnya reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti

penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, serta sulfa

dengan obat-obat golongan sulfonilurea.

Pada pasien dengan riwayat alergi obat atau dicurigai alergi obat sedangkan obat

atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada

fasilitas dengan uji laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap

harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif, dan obat memang harus diberikan,

dipetimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang

uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila reaksinya

positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi.

Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko,

yang kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa

syarat yang ketat sebelum melakukan uji provokasi atau desentisasi.

Page 10: 1.Alergi Obat

10

Sebelum memberikan obat kepada pasien setiap dokter hendaknya menanyakan

riwayat alergi obat yang akan diberikan atau obat sejenis. Kalau mungkin obat dapat

dilakukan uji kulit manakala pasien ragu-ragu apakah ia pernah alergi obat atau tidak.

Pemberian obat sebaiknya melalui oral karena paling sedikit menimbulkan sensitisasi.

Seandainya obat diberikan secara suntikan sebaiknya pasien menunggu 15-20 menit

setelah suntikan untuk mengantisipasi terjadinya reaksi alergi obat yang tidak terduga.

Bagi pasien-pasien yang pernah mengalami alergi obat sebaiknya berkonsultasi dengan

dokter yang berpengalaman di bidang alergi obat, biasanya kepada pasien diberikan kartu

pengenal alergi obat atau tanda pengenal seperti gelang (Medic Alert) yang berisikan

informasi mengenai alergi obat yang di derita pasien. Akhirnya jangan lupa menuliskan

jenis obat yang menimbulkan alergi pada sampul depan catatatan medis dengan tinta

merah.

Kesimpulan

Telah disampaikan selayang pandang mengenai alergi obat baik dari segi diagnostik,

pengobatan, dan pencegahan. Alergi obat perlu dipahami oleh setiap tenaga kesehatan,

agar pelayanan dapat diberikan sebaik-baiknya dan dapat dihindari kecacatan atau

kematian yang tidak perlu terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ditto AM: Drug Allergy Part A: Introduction, Epidemiology, Classification of Adverse Reactions. Immunochemical Basis, Risk Factors, Evaluation of Patients with Suspected Drug Allergy, Patient Management Considerations. In Grammer LC, Greenberger PA. Editors. 6th ed Philadelphia. Lipincott William & Williams; 2002: p295-385.

2. Bates DW, Cullen DJ, Laird N, et al: Incidence of adverse drug events and potential adverse drug events. JAMA 1995; 274:29-34.

3. Thong BY, Leong KP, Tang CY, Chng HH: Drug allergy in a general hospital: result of a novel prospective inpatient reporting system. Ann Allergy Asthma Immunol 2003; 90:342-347.

4. Kidon MI, See Y: Adverse drug reactions in Singaporean children. Singapore Med J 2004; 45:574-577.

5. International Rheumatic Fever Study Group: Allergic reactions to long-term benzathine penicillin prophylaxis for rheumatic fever. Lancet 1991; 337:1308-1310.

6. Gomes E, Cardoso MF, Praca F, et al: Self-reported drug allergy in a general adult Portuguese population. Clin Exp Allergy 2004; 34:1597-1601.

7. Solensky R. Drug hypersensitivity. Med Clin N Am 2006; 90 :232-60 8. Lieberman P, Kemp SF, Oppenheimer JJ, Land I, Bernstein IL, Nicolas RA, et al. The diagnosis and

management of anaphylaxis: an updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2005; 115 (suppl):S485-523.

Page 11: 1.Alergi Obat

11

9. Stark BJ, Sullivan TJ. Biphasic and Protracted Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 1986. 78:76-83 10. Golden DBK. Pattern of Anaphylaxis: Acute and Late Phase Features of Allergic Reaction. Novartis

Foundation Symposium 2004 ; 257 : 101 -15. 11. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P. General considerations for skin test

procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57:45-51. 12. Aberer W, Bircher A, Romano A, Blanca M, Campi P, Fernandez J, et al. Drug provocation ujit in the

diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy 2003; 58:854-63. 13. Torres M, Mayorga C, Blanca M. Urticaria and anaphylaxis due to betalactams (penicillins and

cephalosporins). In: Pichler WJ. Drug hypersensitivity. Karger. Basel. 2007. p. 190-203 14. Torres MJ, Blanca M, Fernandez J, Romano A, de Weck , Aberer, et al. Diagnosis of immediate

allergic reaction to betalactam antibiotic. Allergy 2003 ;58: 961-72 15. Rosenthal A. Follow up study of fatal penicillin reactions. JAMA 1959;167:118-121. 16. Grammer L, Greenberger PA. Editors. Drug allergy and protocols for management of drug allergies.

Providence, Rhode Island: Ocean Side Publication, Inc. 2003.

Page 12: 1.Alergi Obat

12