1.alergi obat
DESCRIPTION
ipdTRANSCRIPT
1
ALERGI OBAT
Heru Sundaru
Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta
Pendahuluan
Alergi obat merupakan bagian dari reaksi adversi obat. Menurut Ditto, reaksi adversi obat
didefinisikan sebagai respon yang tidak disengaja, dan tidak dikehendaki terhadap obat,
dalam dosis normal, untuk tujuan profilaksis, diagnosis atau pengobatan1. Reaksi adversi
obat sering rancu dengan alergi obat, padahal alergi obat adalah reaksi adversi yang
mekanismenya melalui reaksi imunologis atau dikenal dengan istilah hipersensitivitas
obat. Baik di masyarakat maupun di kalangan medis istilah alergi obat dan hipersentivitas
obat sering dipertukarkan atau dianggap sama. Namun dalam prakteknya untuk
menentukan apakah sistem imun terlibat, tidaklah mudah, banyak kejadian yang
gejalanya mirip bahkan sama dengan gejala alergi, tetapi mekanismenya bukan alergi,
seperti sesak napas serta angioedema yang disebabkan aspirin atau obat anti inflamasi
non-steroid (AINS).
Alergi obat sangat perlu dipahami terutama oleh tenaga kesehatan. Berbagai
reaksi dapat muncul setelah pemberian obat, mulai dari yang ringan berupa eritema
sampai yang berat seperti anafilaksis Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis
Epidermal Toksik (NET). Masalah alergi obat selain menambah penderitaan
penderitanya, biaya yang harus ditanggung, juga dapat menyebabkan kecacatan atau
bahkan kematian, sehingga tidak jarang bagi dokter menyebabkan berurusan dengan
medikolegal.
Makalah ini akan membahas epidemiologi, klasifikasi, manifestasi klinik,
diagnosis, terapi, dan pencegahan alergi obat.
Epidemiologi
Data mengenai insidensi alergi obat umumnya berasal dari rumah sakit, khususnya dari
pasien rawat inap dan rawat jalan; sangat jarang yang berasal dari masyarakat. Hal ini
2
tidak mengherankan karena diagnosis alergi obat tidak mudah. Oleh sebab itu dalam
membuat interpretasi harus berhati-hati mengenai sumber populasi dan cara diagnosis,
karena pada umumnya diagnosis alergi obat berdasarkan riwayat penyakit yang tentu saja
tidak dapat menggantikan uji kulit atau uji diagnosis alergi lainnya.
Laporan dari The Boston Collaborative Study Program, dari 4301 pasien rawat
inap didapatkan 247 (6,1%) pasien mengalami reaksi adversi, 41,7% berat dan 1,2%
menyebabkan kematian.2 Thong dkk. dari Singapura melaporkan penelitian prospektif
selama 2 tahun, melalui rekam medik elektronik. Dari 90.910 pasien rawat inap, 366
pasien dinyatakan alergi obat, namun setelah dievaluasi oleh ahli alergi hanya 210 yang
dinyatakan alergi obat. Manifestasi kulit merupakan manifestasi yang paling sering
(95,7%), SSJ, NET dan dermatitis eksfoliatif generalisata terjadi pada 11 (5,2%) pasien. 3
Kidon dan See melakukan penelitian retrospektif pada 8.437 anak yang dirawat, dan
mendapatkan reaksi adversi didapatkan pada 222 (2,6%) pasien, 70% daripadanya
disebabkan oleh antibiotik (45% oleh antibiotik beta laktam) dan 18,5% disebabkan obat
anti-inflamasi non-steroid. Manifestasi kulit didapatkan pada 98% kasus.4
Data dari pasien rawat jalan diperoleh diantaranya dari pasien demam rematik
yang mendapat terapi pencegahan dengan suntikan Penisilin G sekali sebulan. Dari 1790
pasien, 57 (3,2%) mengalami reaksi alergi atau 0,19% dari jumlah injeksi, 4 (0,2%)
mengalami anafilaksis atau 0,01% dari jumlah suntikan, dan satu kematian (0,05%) atau
0,005% dari jumlah suntikan.5
Insidensi alergi obat pada mahasiswa dilaporkan oleh Gomez dkk (6). Dari 2309
mahasiswa, 181 (7,8%) melaporkan diri mengidap alergi obat, 4,5% disebabkan penisilin
atau beta laktam, 1,5% aspirin atau AINS, dan sisanya obat-obat yang lain. Manifestasi
kulit terjadi pada 63,5% kasus.
Klasifikasi reaksi adversi obat
Reaksi adversi obat dibagi dalam dua kategori, reaksi yang dapat diprediksi (tipe A) dan
reaksi yang tidak dapat diprediksi (tipe B). Reaksi yang dapat diprediksi biasanya
tergantung dosis, berhubungan dengan aksi farmakologik suatu obat dan terjadi pada
pasien normal. Reaksi yang tidak dapat diprediksi umumnya tidak tergantung dosis, tidak
berhubungan dengan aksi farmakologi suatu obat dan hanya terjadi pada individu yang
3
peka. Diperkirakan reaksi yang dapat diprediksi merupakan 80% dari semua reaksi
adversi obat, reaksi yang serius dan mengancam nyawa umumnya termasuk kategori
yang tidak diperkirakan seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi reaksi adversi obat7
Contoh Reaksi
Obat Akibat
Dapat diprediksi
Overdosis Asetaminofen Nekrosis Hati
Efek Samping Albuterol Tremor
Efek Sekunder Klindamisin Clostridium difficile Kolitis
Pseudomembran
Interaksi antar obat Terfenadin / eritromisin Aritmia torsade de pointes
Tidak dapat diprediksi
Intoleransi Aspirin Tinnitus (dosis normal)
Idiosinkrasi Kloroquin Anemia Hemolitik pada pasien
defisiensi G6PD
Alergi Penisilin Anafilaksis
Pseudoalergi Zat Radiokontras Reaksi Anafilaktoid Solensky R. Drug hypersensitivity. Med Clin N Am 2006; 90:232-60
Yang membedakan reaksi alergi obat dengan reaksi yang tidak dapat diprediksi
adalah karena reaksi alergi obat dimediasi oleh reaksi imun yang spesifik, sedangkan
reaksi hipersensitifitas apapun mekanismenya, gejalanya menyerupai reaksi alergi obat.
Meskipun demikian tidak ada satu klasifikasi pun yang dapat merangkum semua reaksi
alergi obat.
Di bawah ini dikemukakan pula klasifikasi Gell dan Coombs yang meliputi reaksi
hipersensitivitas tipe I sampai tipe IV7 yang dapat diaplikasikan pada sebagian reaksi
alergi obat (Tabel 2).
4
Tabel 2. Klasifikasi Gell dan Coombs untuk reaksi alergi7 Reaksi
Tipe Mekanisme Obat Akibat
I Antibodi IgE menyebabkan
degranulasi sel mast / basofil Penisilin Anafilaksis
II Reaksi sitotoksik terhadap
permukaan sel melalui IgG / IgM Kuinidin Anemia hemolitik
III Reaksi komplek imun Sefaleksin Serum sickness
IV Reaksi lambat di mediasi limfosit T Neomisin Dermatitis kontak
Manifestasi Klinik
Manfestasi alergi obat sangat bervariasi, sehingga ada yang membagi menjadi multi
sistem dan organ spesifik, seperti terlihat pada Tabel 3. Reaksi sistemik akut seperti
anafilaksis perlu mendapat perhatian karena dapat menyebabkan kematian. Gejalanya
dapat muncul beberapa detik sampai beberapa menit, tetapi umumnya dalam waktu 30
menit, makin cepat gejala muncul setelah pemberian obat, makin berat derajat penyakit.
Gejala akan segera menghilang setelah pengobatan dan jarang sampai bertahan sampai 24
jam, tetapi sebagian gejala ada yang muncul kembali 6-8 jam setelah gejala pertama.
Rute pemberian obat seperti oral, suntikan, inhalasi, atau topikal pada kulit yang luka
dapat menyebabkan anafilaksis. 8-10
Kulit merupakan organ yang paling sering terlibat, bisa mencapai 95% dari
seluruh gejala alergi obat. Erupsi eksantem, makulopapular, atau morbiliform merupakan
erupsi yang paling sering, disusul oleh urtikaria, angioedema, dan dermatitis kontak.
Erupsi lain dalam frekuensi yang lebih jarang yaitu fixed drug eruption, sindroma Steven-
Johnson, nekrolisis epidermal toksik dan eritema nodosum. Gejala pada kulit muncul
setelah 1-2 minggu pemberian obat, kecuali sindroma hipersensitivitas obat, gejalanya
berupa eritema, demam, artralgia, limfadenopati, dan keterlibatan organ-organ dalam
seperti paru, hati, ginjal, serta eosinofilia yang gejalanya dapat muncul 2-6 minggu
setelah pemberian obat.
Organ-organ yang lain juga dapat terlibat, dan kadang-kadang beberapa organ
serentak seperti pada penyakit serum atau yang menyerupai (serum sickness –like
5
reaction) yang gejalanya muncul 1-3 minggu setelah pemberian obat berupa demam,
erupsi kulit, sakit sendi, dan limfadenopati.
Tabel 3. Manifestasi klinik pada berbagai organ7 Multisistem
Paru Bronkospasme
Pneumonia Edema Paru Pulmonary infiltrates with Eosinophilia
Anafilaksis Serum-sickness dan serum sickness-like reactions Demam Obat Sindroma Hipersensitifitas Vaskulitis Lupus Erythematosus-like Syndrome
Ginjal Kulit
Nefritis interstisial Sindroma nefrotik
Hati
Hepatitis Kolestasis
Jantung
Urtikaria / angioedema Sindroma Stevens-Johnson Toksik Epidermal Nekrolisis Erupsi Obat Maculopapular atau Morbiliform Rashes Dermatitis Kontak Fotosensitifitas Erythema Nodosum
Sumsum Tulang
Anemia Hemolitik Trombositopenia Neutropenia Anemia Aplastik Eosinofilia
Miokarditis
Diagnosis Prosedur diagnostik pada alergi obat dapat diklasifikasikan dalam riwayat penyakit atau
wawancara, uji kulit, uji laboratorium dan uji provokasi.
1) Wawancara
Untuk membuat diagnosis alergi obat tidak mudah, karena bervariasinya gejala klinis,
patofisiologi sebagian besar alergi obat belum jelas, serta belum tersedianya standar
diagnostik yang telah divalidasi. Riwayat penyakit melalui anamnesis merupakan
komponen utama dalam upaya menentukan penyebab alergi obat, karena gejala yang
timbul mungkin saja disebabkan oleh penyakit dasarnya atau pasien memakai berbagai
6
macam obat pada saat yang bersamaan sehingga sulit menentukan obat mana yang
menjadi penyebab. Anamnesis yang baik akan menuntun atau membantu kita dalam
menentukan pilihan uji diagnostik atau mengambil keputusan apakah obat aman untuk
dipakai. Catatan medis diperlukan untuk melihat riwayat alergi obat di masa lampau.
Pertanyaan-pertanyaan penting tentang alergi obat antara lain: 7
• Nama atau nama-nama obat yang dipakai saat timbul reaksi alergi. Bila pasien
memakai banyak obat sulit menentukan penyebabnya. Termasuk obat disini
adalah vitamin, tonikum, maupun suplemen.
• Lama waktu yang diperlukan mulai dari memakai obat sampai timbul gejala. Pada
anafilaksis gejala timbul segera, tetapi pada sindroma Steven-Johnson bisa 1-2
minggu, bahkan pada penyakit serum bisa sampai 2-3 minggu.
• Organ yang terlibat (kulit, pernapasan, gastrointestinal, dan sebagainya). Contoh
bila kulit terlibat apakah urtikaria, morbilliform, bula, dan sebagainya.
• Apakah gejala alergi muncul sebelum, selama, atau sesudah memakai obat.
• Apakah indikasi pemakaian obat tepat.
• Apakah pasien pernah mengkonsumsi obat tersangka atau sejenisnya (reaksi
silang) di masa lampau.
• Apakah pasien mempunyai gejala yang sama bila tidak sedang mengkonsumsi
obat.
• Di samping obat tersangka, apakah pasien pada saat yang sama mengkonsumsi
obat-obat yang lain.
Pertanyaan-pertanyaan di atas yang bertujuan untuk mencari obat sebagai penyebab
alergi akan diperkuat bila gejala alergi menghilang setelah obat dihentikan dan timbul
kembali bila obat diberikan.
2) Uji Kulit
Uji kulit dapat dipakai dalam mengevaluasi alergi obat. Manfaat diagnostik uji kulit
belum sepenuhnya dievaluasi, konsentrasi obat yang dipakai belum diketahui serta
validasi berbagai jenis obat sangat sedikit diselidiki. Uji kulit dilakukan sesuai dengan
dugaan mekanisme patologi dari alergi obat. Pada reaksi cepat atau segera dimana IgE
sangat berperan dipakai uji tusuk atau uji intradermal sedangkan pada reaksi lambat yang
7
dimediasi oleh sel-T dipakai uji intradermal atau uji tempel yang pembacaannya
dilakukan setelah 6-8 jam sampai 2-3 hari (Tabel 4).
Table 4. Indikasi klinis yang memerlukan uji kulit pada reaksi alergi obat11
Uji Tempel Uji Tusuk dan Uji IntradermalAcute generelized exanthematous pustulosis Anafilaksis
Dermatitis Kontak Bronkopasme
Erythema multiforme Konjungtivis
Exanthematous drug eruption Rinitis
Fixed drug eruption Urtikaria/angioedema
Photoallergic reactions
Purpura/Leucocytoclastic
Vaskulitis
Sindroma Stevens-Johnson
Nekrolisis Epidermal Toksik
3) Uji Provokasi Obat (test dosing, controlled challenge atau graded challenge)12
Dengan segala keterbatasannya uji provokasi telah diterima secara luas sebagai baku
emas untuk menentukan atau menyingkirkan diagnosis alergi obat, karena tidak hanya
mereproduksi gejala alergi tetapi juga menimbulkan manifestasi klinik yang lain tanpa
memandang mekanisme terjadinya. Oleh karena itu, uji provokasi obat mempunyai
beberapa keuntungan dan bahkan dapat membuktikan hubungan klinik dengan uji-uji
baik in vivo (uji kulit) dan in vitro. Tetapi uji provokasi obat hanya dilakukan bilamana
uji yang kurang berbahaya tidak dapat mengambil kesimpulan yang berarti. Uji provokasi
obat dilakukan setelah mempertimbangkan rasio untung rugi pemberian suatu obat
kepada pasien.
Uji provokasi sebaiknya tidak dilakukan pada wanita hamil, pasien dengan risiko
tinggi akibat adanya komorbiditas seperti infeksi akut atau asma tidak terkontrol, pasien
dengan penyakit jantung, hati, ginjal, atau penyakit lain dimana pajanan terhadap obat
akan memprovokasi situasi di luar kontrol medis. Pengecualian diberikan jika obat yang
dicurigai tersebut penting untuk pasien.9
8
Secara umum, uji provokasi tidak direkomendasikan atau dikontraindikasikan
pada keadaan generelized bullous fixed drug eruptions, acute generelized exanthematous
pustulosis (AGEP), NET, SSJ, sindrom hipersensitivitas obat dengan eosinofilia,
vaskulitis sistemik, manifestasi organ spesifik (sitopenia, hepatittis, nefritis, dan
pneumonitis), anafilaksis berat, dan penyakit autoimun yang diinduksi obat (lupus
eritematosus sistemik, pemfigus vulgaris, pemfigoid bulosa)9.
4) Uji Laboratorium13-15
Berbagai uji laboratorium dilakukan pada reaksi obat, namun seperti pemeriksaan IgE
spesifik, uji degranulasi basofil, uji mediator inflamasi, serta pemeriksaan-pemeriksaan
yang lain. Umumnya uji-uji tersebut mempunyai spesifisitas yang tinggi tetapi
sensitivitasnya rendah. Sehingga memberikan nilai prediktif negatif yang rendah. Artinya
bila uji tersebut negatif masih besar kemungkinannya penderita alergi obat.
Pengobatan
Prinsip umum
Menghentikan pemakaian obat tersangka merupakan langkah pertama dampak
pengobatan. Tetapi ada kalanya obat yang harus dihentikan sangat diperlukan, terlebih
lagi bila belum ada obat alternatifnya. Maka pemakaian obat tersangka dapat dilanjutkan
sepanjang risiko melanjutkan pengobatan lebih ringan dibanding tidak mengobati
penyakit dasarnya. Pengawasan memberatnya reaksi alergi diperketat sampai penyakit
dasarnya sembuh.
Pengobatan Simtomatik1,16
Pengobatan simptomatik tergantung manifestasi klinik yang terjadi. Bila gejala ringan,
mungkin tidak diobati atau cukup dengan antihistamin atau kortikosteroid dosis rendah.
Tetapi pada kasus reaksi anafilaksis yang gejalanya bervariasi dari pruritus, urtikaria,
asma, sampai kepada edema larings atau syok maka perlu pengobatan sesuai dengan
kondisi masing-masing gejala. Pemberian epinefrin 0,3 cc IM sangat dianjurkan dapat
diulang beberapa kali, bahkan pada syok anafilaksis, pemberian cairan kristaloid 1-2 liter
dalam 10 menit pertama sangat dianjurkan selain oksigen.
9
Pemberian kortikosteroid pada penyakit-penyakit sindroma Stevens Johnson atau
NET masih silang pendapat. Bagi yang setuju memberikan steroid, pasien mendapat 40-
60 mg metilprednisolon setiap 6 jam, sementara yang tidak setuju menyatakan
kortikosteroid pada NET tidak akan menekan proses yang terjadi dan bahkan akan
meningkatkan kejadian sepsis.
Pencegahan
Cara yang paling efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat
yaitu memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan
pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30
kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 penderita yang mempunyai indikasi yang
jelas.15
Jika sudah tepat indikasinya, barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat
di masa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan obat yang akan kita berikan. Sering
pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat, yang sebenarnya kurang
masuk akal. Tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada
pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan.
Masalahnya reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti
penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, serta sulfa
dengan obat-obat golongan sulfonilurea.
Pada pasien dengan riwayat alergi obat atau dicurigai alergi obat sedangkan obat
atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada
fasilitas dengan uji laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap
harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif, dan obat memang harus diberikan,
dipetimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang
uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila reaksinya
positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi.
Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko,
yang kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa
syarat yang ketat sebelum melakukan uji provokasi atau desentisasi.
10
Sebelum memberikan obat kepada pasien setiap dokter hendaknya menanyakan
riwayat alergi obat yang akan diberikan atau obat sejenis. Kalau mungkin obat dapat
dilakukan uji kulit manakala pasien ragu-ragu apakah ia pernah alergi obat atau tidak.
Pemberian obat sebaiknya melalui oral karena paling sedikit menimbulkan sensitisasi.
Seandainya obat diberikan secara suntikan sebaiknya pasien menunggu 15-20 menit
setelah suntikan untuk mengantisipasi terjadinya reaksi alergi obat yang tidak terduga.
Bagi pasien-pasien yang pernah mengalami alergi obat sebaiknya berkonsultasi dengan
dokter yang berpengalaman di bidang alergi obat, biasanya kepada pasien diberikan kartu
pengenal alergi obat atau tanda pengenal seperti gelang (Medic Alert) yang berisikan
informasi mengenai alergi obat yang di derita pasien. Akhirnya jangan lupa menuliskan
jenis obat yang menimbulkan alergi pada sampul depan catatatan medis dengan tinta
merah.
Kesimpulan
Telah disampaikan selayang pandang mengenai alergi obat baik dari segi diagnostik,
pengobatan, dan pencegahan. Alergi obat perlu dipahami oleh setiap tenaga kesehatan,
agar pelayanan dapat diberikan sebaik-baiknya dan dapat dihindari kecacatan atau
kematian yang tidak perlu terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ditto AM: Drug Allergy Part A: Introduction, Epidemiology, Classification of Adverse Reactions. Immunochemical Basis, Risk Factors, Evaluation of Patients with Suspected Drug Allergy, Patient Management Considerations. In Grammer LC, Greenberger PA. Editors. 6th ed Philadelphia. Lipincott William & Williams; 2002: p295-385.
2. Bates DW, Cullen DJ, Laird N, et al: Incidence of adverse drug events and potential adverse drug events. JAMA 1995; 274:29-34.
3. Thong BY, Leong KP, Tang CY, Chng HH: Drug allergy in a general hospital: result of a novel prospective inpatient reporting system. Ann Allergy Asthma Immunol 2003; 90:342-347.
4. Kidon MI, See Y: Adverse drug reactions in Singaporean children. Singapore Med J 2004; 45:574-577.
5. International Rheumatic Fever Study Group: Allergic reactions to long-term benzathine penicillin prophylaxis for rheumatic fever. Lancet 1991; 337:1308-1310.
6. Gomes E, Cardoso MF, Praca F, et al: Self-reported drug allergy in a general adult Portuguese population. Clin Exp Allergy 2004; 34:1597-1601.
7. Solensky R. Drug hypersensitivity. Med Clin N Am 2006; 90 :232-60 8. Lieberman P, Kemp SF, Oppenheimer JJ, Land I, Bernstein IL, Nicolas RA, et al. The diagnosis and
management of anaphylaxis: an updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2005; 115 (suppl):S485-523.
11
9. Stark BJ, Sullivan TJ. Biphasic and Protracted Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 1986. 78:76-83 10. Golden DBK. Pattern of Anaphylaxis: Acute and Late Phase Features of Allergic Reaction. Novartis
Foundation Symposium 2004 ; 257 : 101 -15. 11. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P. General considerations for skin test
procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002; 57:45-51. 12. Aberer W, Bircher A, Romano A, Blanca M, Campi P, Fernandez J, et al. Drug provocation ujit in the
diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations. Allergy 2003; 58:854-63. 13. Torres M, Mayorga C, Blanca M. Urticaria and anaphylaxis due to betalactams (penicillins and
cephalosporins). In: Pichler WJ. Drug hypersensitivity. Karger. Basel. 2007. p. 190-203 14. Torres MJ, Blanca M, Fernandez J, Romano A, de Weck , Aberer, et al. Diagnosis of immediate
allergic reaction to betalactam antibiotic. Allergy 2003 ;58: 961-72 15. Rosenthal A. Follow up study of fatal penicillin reactions. JAMA 1959;167:118-121. 16. Grammer L, Greenberger PA. Editors. Drug allergy and protocols for management of drug allergies.
Providence, Rhode Island: Ocean Side Publication, Inc. 2003.
12