1235667

54
1. Definisi Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku 1 . Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek. Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki

Upload: darklove

Post on 06-Aug-2015

19 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kortikosteroiddd

TRANSCRIPT

Page 1: 1235667

1. Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian

korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang

dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada

banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem

kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein,

kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang

menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara

menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok

lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi

mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa

kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan

lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang

terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom

P450.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti

hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan

turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja

mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

2. Penggunaan Klinis

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia

kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada

pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic

lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral,

terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga

Page 2: 1235667

inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk

mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansetron)2.

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan

kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk

pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya

diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan

insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang

ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan

tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan

hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom

chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing.

Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11

malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi

kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya

lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi,

ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan

pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom

gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok

penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid

pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon

imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk

mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi

dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon

peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2.

Page 3: 1235667

3. Farmakodinamik kortikosteroid

Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus

sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock

protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor

ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon

glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau

menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat

dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.

Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein

spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur

respons glukokortikoid utama.

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang

terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh

mekanisme nontranskripsi3.

4. Efek Samping Kortikosteroid

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus

dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap

bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan

menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang

dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.

Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma,

dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti

inflamasi.

Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau

steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh

penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,

Page 4: 1235667

bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom

iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis

adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan dosis steroid

total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor

glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke

dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks

kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat

DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan

menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel

limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu

golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap

kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan

limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid

lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T

daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum

diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme

yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer

ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan

limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah

pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah

pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan

lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg

atau 80 mg.

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan

akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga

Page 5: 1235667

menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)

maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat

penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada

makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag.

Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid

mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat

penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar

suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat

sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan

eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang

menggunakan 35–70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa

kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil.

Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di

samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.

Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi

bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi

dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada

makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada

penggunaan kortikosteroid setiap hari2.

Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi

netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap

pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid

selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga

mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas

membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh

tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear,

Page 6: 1235667

dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik

ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara

invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo

dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap

sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat

dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya

infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping

lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan

hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan

komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan

jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk

menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami

miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada

penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon

berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa

penderita4.

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar

kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular

posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini.

Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga

terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi

retardasi pertumbuhan pada anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison

dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat

menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan

fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik

Page 7: 1235667

hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia,

penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung,

tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.

5. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid

Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek

samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid

secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin.

Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi

ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi

diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya

digunakan apabila diperlukan5.

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas.

Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari preparat ini cukup besar

tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya

dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling

sering diberikan kepada pasien.1,2 Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang

dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah,

kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.3,4

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu

glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan

tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas

antiinflamasinya, misalnya deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat

dan efek retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara

penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid

topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada tempat tertentu dan

Page 8: 1235667

merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan menyediakan

banyak pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit,

melicinkan, atau mendinginkan area yang dirawat. 3,4,5

Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai

antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak

digunakan dalam bidang dermatologi. Dibidang dermatologi pada umumnya lebih ditekankan

sebagai obat antialergi. Terapi dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi

pengendalian atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal. Sejak kortikosteroid

digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai

penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis, penyakit

berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat

ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Jhonson yang

berat dan nekrolisis epidermal toksik.3,6

Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggunakan kortikosteroid sudah menjadi

kegiatan sehari-hari di setiap poliklinik penyakit kulit. Sejak salap hidrokortison asetat pertama

kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada tahun 1952, perkembangan pengobatan

dengan kortikosteroid berjalan dengan pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak

pula ditemukan berbagai jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai keunggulan

dan efek samping yang semakin sedikit. Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan mengenai

mekanisme kerja serta pemahaman patogenesis berbagai penyakit, khususnya mengenai

peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan ini, pemakaian kortikosteroid menjadi semakin

rasional dan efektif.7

BAB II

KORTIKOSTEROID

1. DEFINISI

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks

kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan

Page 9: 1235667

oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya

tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,

metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.8

Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian

korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata

mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata

menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan

glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar

dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan

elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang

merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,

triamsinolon, dan betametason.3,9

Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap

keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan

pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh karena itu

mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan ini adalah

desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang

berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan

sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.

Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik

dan kortikosteroid topikal.1,3,9

10

2. FARMAKOLOGI

Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun

siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A – D

(Gambar 1). Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan

pada efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10

dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk

glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan 1

cincin pentana.2,3,9,11

Page 10: 1235667

Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma.

Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim

diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan

19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari

luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.9

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus

menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang

tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya

kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang

menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia.1,9

Kecepatan sekresi

dalam keadaaan

optimal (mg/hari)

Kadar plasma

(μg/100ml)

Jam 08.00 Jam 16.00Kortisol 20 16 4Aldosteron 0,125 0,01 -

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu

sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi hari

kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi

lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran kortisol mengikuti

kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendah yaitu

pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan cukup.12

3. MEKANISME KERJA

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul

hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,

kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu

bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi

RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek

fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang

transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas

Page 11: 1235667

hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-

sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.1,3,9,11

Gambaran mekanisme kerja kortikosteroid 13

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga

disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme

perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi

secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang

ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang

dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol

terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan

globulin- 2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat

lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma

kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan

cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar

dibandingkan CBG.1

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat

meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau

pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa

perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal

dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur

kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi

afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat

diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.1

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi

akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini

menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi

leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat

manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan

kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,

distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne

Page 12: 1235667

dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa

memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam

jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi

yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat

oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja

pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil

dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6

jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan

aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah,

sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.1

Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen

lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek

terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk

memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,

interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi

leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis

prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor. 1

Gambar mekanisme inflamasi 14

Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan

sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau

struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi epidermal,

re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal,

striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif vaskuler (telangiektasis,

purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat

glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-proliferatif, dan imunosupresif. Melalui

proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen

tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan

protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi,

Page 13: 1235667

menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses radang.

Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang

dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.3,11

Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas

kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid

ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan

dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak

berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi

dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal

mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan.

Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.

Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di

antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik

penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal,

misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah

ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14

kali yang melalui daerah telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali

yang melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali

melalui kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi

dermatitis atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya

sedikit sawar untuk penetrasi.2,3,11

Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang

terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa

menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan

kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.

Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.

Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi

pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang

turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan

menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit. 2,3,11

4. KLASIFIKASI

Page 14: 1235667

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya

potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan

penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid

sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi

glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid. 1,2,5,6,9

Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid15

KortikosteroidPotensi

Lama kerjaDosis

ekuivalen (mg)*Mineralkortikoid Glukokortikoid

GlukokortikoidKortisol(hidrokortison)

1 1 S 20

Kortison 0,8 0,8 S 256-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4Prednisone 0,8 4 I 5Prednisolon 0,8 4 I 5Triamsinolon 0 5 I 4Parametason 0 10 L 2Betametason 0 25 L 0,75Deksametason 0 25 L 0,75MineralokortikoidAldosteron 300 0.3 S -Fluorokortison 150 15.0 I 2.0Desoksikortikosteron asetat

20 0.0 - -

Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)

I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)

L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan

deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid

mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari

yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason

mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan

Page 15: 1235667

hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat

semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.5

Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,

antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk

menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan

biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari

suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan

besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super

poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).2

Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis :2,3,6,11

Klasifikasi Nama Dagang Nama GenerikGolongan 1: (super poten)

Golongan II: (potensi tinggi)

Golongan III: (potensi

Diprolene ointment Diprolene AF cream Psorcon ointment Temovate ointment Temovate cream Olux foamUltravate ointmentUltravate cream

Cyclocort ointment Diprosone ointment Elocon ointment Florone ointment Halog ointment Halog creamHalog solution Lidex ointment Lidex cream Lidex gelLidex solution Maxiflor ointment Maxivate ointment Maxivate cream Topicort ointment Topicort cream Topicort gel

Aristocort A ointment

0,05% betamethason dipropionate

0,05% diflorasone diacetate0,05% clobetasol propionate

0,05% halobetasol propionate

0,1% amcinonide0,05% betamethasone dipropionate0,01% mometasone fuorate0,05% diflorasone diacetate0,01% halcinonide

0,05% fluocinonide

0,05% diflorasone diacetate0,05% betamethasone dipropionate

0,25% desoximetasone

0,05% desoximetasone

0,1% triamcinolone acetonide

Page 16: 1235667

tinggi) Cultivate ointment Cyclocort cream Cyclocort lotion Diprosone cream Flurone cream Lidex E cream Maxiflor cream Maxivate lotion Topicort LP cream Valisone ointment

0,005% fluticasone propionate0,1 amcinonide

0,05% betamethasone dipropionate0,05% diflorosone diacetate0,05% fluocinonide0,05% diflorosone diacetate0,05% betamethasone dipropionate0,05% desoximetasone0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi medium)

Aristocort ointment Cordran ointment Elocon cream Elocon lotion Kenalog ointment Kenalog cream Synalar ointment Westcort ointment

0,1% triamcinolone acetonide0,05% flurandrenolide0,1% mometasone furoate

0,1% triamcinolone acetonide

0,025% fluocinolone acetonide0,2% hydrocortisone valerate

Golongan V: (potensi medium)

Cordran cream Cutivate cream Dermatop cream Diprosone lotion Kenalog lotion Locoid ointment Locoid cream Synalar cream Tridesilon ointment Valisone cream Westcort cream

0,05% flurandrenolide0,05% fluticasone propionate0,1% prednicarbate0,05% betamethasone dipropionate0,1% triamcinolone acetonide0,1% hydrocortisone butyrate

0,025% fluocinolone acetonide0,05% desonide0,1% betamethasone valerate0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI: (potensi medium)

Aclovate ointment Aclovate cream Aristocort cream

0,05% aclometasone

0,1% triamcinolone acetonideDesowen creamKenalog cream Kenalog lotion Locoid solution Synalar cream Synalar solution Tridesilon cream Valisone lotion

0,05% desonide0,025% triamcinolone acetonide

0,1% hydrocortisone butyrate0,01% fluocinolone acetonide

0,05% desonide0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: (potensi lemah)

Obat topical dengan hidrokortison,

Page 17: 1235667

5. PEGGUNAAN KLINIK

dekametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk

suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan

supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada

kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia

lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada

dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis

dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik,

dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.2,3,6,11

Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan

harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan

steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematousus

diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo,

granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa

biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada

eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.2,3,11

Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison

karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan

prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid yang

memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (lebih daripada

sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan

sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara

intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet

prednison.6

Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.

Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap

pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat.

Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum

Page 18: 1235667

sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis,

ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan

efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi

prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat

tinggi.2,11 Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat.

Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses

penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan

pengawasan yang ketat.1,2

Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu

atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering

digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar pelayanan).

Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan

menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan

dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di

absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah

yang besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan

memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester

pertama dengan bimbing sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate

saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada

saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan

hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid

topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal

diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.1,2,16

Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis

yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30

mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya

memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat

menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.17

6. DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN

Page 19: 1235667

Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit

dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan yaitu jenis

penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya lesi,

dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita3,11

Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep

(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi

seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis ini

merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung

pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan

kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan

potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang bervariasi

dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap

kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik

dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang

mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas

campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion

mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan kortikosteroid dan

lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung minyak tetapi kandungannya terdiri

dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada

saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah

dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp

dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.2,6

Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut sembuh.

Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons kulit

terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang

berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek

vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap

dilanjutkan. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk

steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.2,3,9

Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :3,11

1. Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.

Page 20: 1235667

2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya jangan

lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari golongan sedang dan

bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.

3. Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea) untuk semua

dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai kortikosteroid poten

karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito

adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian

kortikosteroid.

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular,

intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu

penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata,

kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.

Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang dugunakan

untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika

digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang

paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek

samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik

yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang

rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai

5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal

pada kasus akne maupun hirsustisme.2

Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami

perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami

eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi

supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis

prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat

keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39ºC. 6

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu

dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan

menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis

tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk

Page 21: 1235667

mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari

sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada

pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat

kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan

kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat.

Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,

selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya

ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya

dapat diberikan selang sehari.6

Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya:1,6

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehariDermatitis

Erupsi alergi obat ringan SJS berat dan NET

EritrodermiaReaksi lepra

DLE Pemfigoid bulosa Pemfigus

vulgaris Pemfigus foliaseus Pemfigus

eritematosa Psoriasis pustulosa

Reaksi Jarish-Herxheimer

Prednison 4x5 mg atau 3x10mg Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Deksametason 6x5 mgPrednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Prednison 3x10 mg Prednison 3x10 mg Prednison 40-80 mg

Prednison 60-150 mg Prednison 3x20 mg Prednison 3x20 mg

Prednison 4x10 mg Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak

bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan

berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan

sampai ada perbaikan.6

7. MONITOR

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk

mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan

perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi,

hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan

darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu

Page 22: 1235667

Tempat Macam efek sampingSaluran cerna

OtotSusunan saraf pusat

Tulang

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif. Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan

computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry

(DEXA).2

Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya

menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur

dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadinya

efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di

monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan

regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu,

pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma.2

Berikut hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid jangka panjang2

No. Efek samping Monitor1.2.3.4.

5.6.

7.

8.

HipertensiBerat badan meningkat Reaktivasi infeksi Abnormalitas metabolik

OsteoporosisMata

KatarakGlaukoma

Ulkus peptik

Supresi kelenjar adrenal

Tekanan darahBerat badanPPD, (12 hari setelah pemakaian prednison) Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan hiperlipidemia)Densitas tulang

Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan) Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam) Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton pump inhibitorDosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

8. EFEK SAMPING

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat

luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan

cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi.6

Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.1

1.

2.3.

4.

Page 23: 1235667

5. Kulit

6. Mata7. Darah8. Pembuluh darah9. Kelenjar adrenal

bagian kortek10. Metabolisme

protein, KH dan lemak

11. Elektrolit

12. Sistem immunitas

Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.Glaukoma dan katarak subkapsular posterior Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit Kenaikan tekanan darahAtrofi, tidak bisa melawan stres

Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.

Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan, buffalo hump,

penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis

akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala,

psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan

aterosklerosis dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.6

Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik1

Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang

serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:

Gangguan tidur

Meningkatkan nafsu makan

Meningkatkan berat badan

Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi

Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari

kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptik

yang pinggul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama1

Page 24: 1235667

Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka

kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di

bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan

setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti

infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.

Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang yang

kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru.

Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama

dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien

dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50%

dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.

Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika

steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).

Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.

Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).

Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).

Kenaikan lemak darah (trigliserida).

Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.

Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan dan

gagal jantung.

Kegoyahan dan tremor.

Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak

subcapsular posterior.

Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan,

delirium atau depresi.

Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya

tuberkulosis).

Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.

Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri

otot dan sendi dan depresi.

Page 25: 1235667

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek samping, hendaknya diperiksa

tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada usia diatas 40 tahun dan

pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, L.E.D, urin lengkap kadar Na dan K

dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3bulan

sekali).6

Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :3,11

1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.

2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan

sangat oklusif.

Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat potensiasinya,

tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali mungkin

merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping hanya bisa

dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid yang lebih lemah atau mengetahui dengan

pasti tentang cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan jika menggunakan yang lebih

paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise,

telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi,

dermatitis peroral.3,11

Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat yaitu3,11

Efek Epidermal

Ini termasuk :

1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu

penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-

epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.

2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini

muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.

Efek Dermal

Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini

menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan

Page 26: 1235667

mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan

menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap

dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.

Efek Vaskular

Efek ini termasuk :

1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi

pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.

2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang

kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut,

dan kadang-kadang pustulasi.

Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid. Pada

pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya

pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan tindakan untuk

mencegah terjadi efek tersebut, yaitu :6

Diet tinggi protein dan rendah garam

Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi K

Obat anabolik

ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya kami berikan ialah ACTH sintetik yaitu

synacthen depot sebanyak 1 mg (qoo IU). Pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat

diberikan seminggu sekali

Antibiotik perlu diberikan jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari

Antasida

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada

kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang

sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat

intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai

life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan

hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified

derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.18

Page 27: 1235667

BAB III

RINGKASAN

kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan kepada pasien.

Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal..

Kortikosteroid terbagi kepada dua golongan utama yaitu glukokortikoid dan

mineralokortikoid.1,2,3,10

Berdasarkan potensi klinisnya dibedakan ke dalam beberapa golongan yaitu super poten,

potensi tinggi, potensi medium, dan potensi lemah. Kortikosteroid bekerja dengan

mempengaruhi kecepatan sintesis protein yang mana terjadi induksi sintesis protein yang

merupakan perantara efek fisiologis steroid. Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada

kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka serta mengurangi akses dari

sejumlah limfosit ke daerah inflamasi yaitu di daerah yang menghasilkan vasokontriksi.

Efek klinis dari kortikosteroid topikal berhubungan dengan empat hal yaitu :

vasokontriksi, efek anti-proliferasi, immunosupresan, dan efek anti-inflamasi.1,2,3,10

Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan

sebelum obat kortikosteroid digunakan: (1) Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif

harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan

perubahan penyakit. (2) Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. (3)

Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak

membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar. (4) Bila pengobatan diperpanjang sampai 2

minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal

potensial akan bertambah. (5) Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid

bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-

inflamasinya. (6) Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis

besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.9

Efek samping dapat terjadi apabila penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan

berlebihan serta pada potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif. Dapat dibagi

beberapa tingkat yaitu efek epidermal, dermal, dan vaskular. Efek samping lokal yang terjadi

Page 28: 1235667

meliputi atrofi, telangiektasis, striae atrofise, purpura, dermatosis acneformis, hipertrikosis

setempat, hipopigmentasi, dan dermatitis perioral.3,10