10e00027

117
TINJAUAN HUKUM ATAS TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEMAKAMAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA NOMOR 26 TAHUN 2000 TESIS Oleh TIMBUL KUSNADI 067011130/MKn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Timbul Kusnadi : Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

Upload: ahmad-taisir-arman-nasution

Post on 25-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nothing

TRANSCRIPT

Page 1: 10E00027

TINJAUAN HUKUM ATAS TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEMAKAMAN

DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA

NOMOR 26 TAHUN 2000

TESIS

Oleh

TIMBUL KUSNADI 067011130/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

Timbul Kusnadi : Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

Page 2: 10E00027

  2

TINJAUAN HUKUM ATAS TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEMAKAMAN

DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA

NOMOR 26 TAHUN 2000

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

TIMBUL KUSNADI 067011130/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

 

Page 3: 10E00027

  3

Judul Tesis : TINJAUAN HUKUM ATAS TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEMAKAMAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA NOMOR 26 TAHUN 2000

Nama Mahasiswa : Timbul Kusnadi Nomor Pokok : 067011130 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum) Ketua

(Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S) Anggota

(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi

Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Tanggal lulus: 15 Oktober 2009

 

Page 4: 10E00027

  4

Telah diuji pada Tanggal: 15 Oktober 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S.

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.

4. Notaris/PPAT Syafnil Gani, S.H., M.Hum.

 

Page 5: 10E00027

  5

ABSTRAK

Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan dikeluarkan pemerintah Deli Serdang, berlaku mulai 2003. Sejak itu pajak kuburan berlaku bagi semua kawasan kuburan di Deli Serdang, termasuk kuburan Tionghoa yang dikelola 12 yayasan pada tahun 2007. Sementara itu, pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan tidak diatur tentang pajak kuburan mewah.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai Tanggung Jawab Yayasan pengelola tanah pemakaman dalam melakukan pembayaran pajak tanah pemakaman berdasarkan Peraturan Daerah di Kabupaten Deli Serdang. Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian akan dianalisa terhadap berbagai aspek hukum baik dan segi hukum pertanahan nasional maupun hukum politik dan hukum administrasi Negara serta hukum pajak. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku masyarakat dan pejabat pemerintah di daerah Kabupaten Deli Serdang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembayaran pajak luas dan kemewahan penghiasan kuburan berdasarkan Perda Nomor 26 tahun 2000 tidak dapat dilaksanakan oleh 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang, namun 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang merasa mempunyai rasa tanggung jawab dalam upaya pembayaran pajak sebagai sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu, 12 yayasan pengelola tanah pekuburan dan pemerintah Kabupaten Deli Serdang melakukan kesepakatan dengan pembayaran pajak luas dan kemewahan serta pengiasan kuburan di Kabupaten Deli Serdang ditetapkan sebesar Rp. 150.300.000,- (seratus lima puluh juta tiga ratus ribu rupiah) setiap tahun yang menjadi tanggung jawab 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan yang menjadi kendala di dalam pembayaran pajak luas dan kemewahan serta penghiasan pekuburan di Kabupaten Deli Serdang adalah sulitnya bagi yayasan untuk menghubungi ahli waris di dalam pengutipan pajak.

Kata Kunci : Yayasan; Pajak Kuburan.

 

Page 6: 10E00027

  6

ABSTRACT

The Local Regulations No.26 of 2000 regarding the luxurious funeral taxes as issued by Deli Serdang Authority commenced since 2003, since that year the grave tax shall be effective to all funeral plot throughout Deli Serdang area, including Chinese grave as controlled by at least 12 foundations in 2007. The Regulations No.34 of 2000 regarding amendment upon the Regulations No.18 of 1997 regarding Local Taxes and Local Revenue and the Regulations No. 16 of 2000 regarding a secondly amendment upon the Regulations regarding a general rules of the imposition for taxes is not ruled about a tax on luxurious funeral.

This study adopted an analytical descriptive method which research aims to obtain a comprehensive and detail description and systematic about the responsibility of the management to the funeral in their willingness to pay the tax of the funeral itself according to local regulations, still with analytical sense for the indication and the reality as expressed by those respondents as later to be analyzed upon variously legal aspect either its law side of national land or political law and state administration law and tax law, in completing this study was with a empirical juridical approaching namely a study to research the regulations rule as later once to connect it with the data and people behavior and public official on Deli Serdang District.

The result of research shown that payment the tax on its width and luxurious with decoration to the funeral based on the regulations No.26 of 200 is unallowable by those 12 foundations as the management of the funeral plot, but to the 12 foundations perhaps feel has own responsibility in effort to pay the taxes as the source revenue for the local district. Therefore, all the 12 foundations as the management and local authority should make agreement with the board for the foundation in paying the taxes upon the funeral and decoration over the funeral is already made with a Rp.150,300,000 charged annually, to be paid by the 12 foundation management of the funeral. It is noted that found barriers mainly in pay the tax upon the width and the luxurious on the decoration on Deli Serdang District such as difficulties for the foundations to contact all the heir while collecting the tax.

Keywords: Foundation, Funeral Tax

 

Page 7: 10E00027

  7

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang

Kuasa, karena berkat dan hidayah-Nya, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan

judul; Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman

Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26

tahun 2000.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam

menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai

pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada

yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Pendastaren Tanigan, SH, MS.

dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku anggota Komisi

Pembimbing, dan juga kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N

dan Notaris/PPAT Syafnil Gani, S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji, yang masing-

masing telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam

penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

 

Page 8: 10E00027

  8

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., dan Ibu Dr. T. Keizerina

Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak

Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH., Prof. Dr. Tan Kamello, Prof. Dr. Syafruddin Kalo,

SH., M.Hum., Ibu Hj. Chairani Bustami, SH., M.Kn dan lain-lain yang telah

banyak membimbing penulis mulai saat studi sampai dengan penyelesaian

tesis ini

5. Para pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH., Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak

Afni, Mas Adi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyask membantu dalam

penulisan ini dari awal hingga selesai.

6. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta pada Program Magister Kenotariatan

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan

semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan di kala

lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk

menyelesaikan studi.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima

kasih yang tak terhingga kepada yang tercinta Ayahanda almarhum Suyanto dan

Ibunda almarhumah Aw Siu Lien yang telah bersusah payah melahirkan,

membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang,

 

Page 9: 10E00027

  9

serta memberikan doa restu, dan juga adik-adikku yang telah memotivasi sehingga

penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister

Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis, mendapa rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, keseahatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada

kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat

kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan

ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

Medan, Oktober 2009 Penulis,

Timbul Kusnadi

 

Page 10: 10E00027

  10

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Timbul Kusnadi

Tempat/ Tgl. Lahir : Lubuk Pakam, 10 Juli 1978

Jenis Kelamin : Laki-laki

II. Orang Tua

Nama Ayah : Suyanto (Alm).

Ibu : Aw Siu Lien (Almh).

III. Pekerjaan

Anggota DPRD Kabupaten Serdang Bedagai

IV. Pendidikan

1. SD Methodist Lubuk Pakam

2. SMP Methodist Lubuk Pakam

3. SMA Methodist Lubuk Pakam

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

5. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara

Medan, Oktober 2009

Timbul Kusnadi

 

Page 11: 10E00027

  11

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .................................................................................................... i

ABSTRACT ................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR.................................................................................. iii

RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .............................................................. 11

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 11

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 12

E. Keaslian Penelitian ................................................................ 13

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi .............................................. 14

1. Kerangka Teori ............................................................... 14

2. Konsepsi .......................................................................... 19

G. Metode Penelitian .................................................................. 25

BAB II. TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK LUAS DAN KEMEWAHAN / PENGHIASAN KUBURAN DI KABUPATEN DELI SERDANG ............................................. 29

 

Page 12: 10E00027

  12

A. Pengaturan Hukum Yayasan di Indonesia ............................ 29

B. Eksistensi Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial ............... 38

C. Pengaturan Pembayaran Kewajiban Pajak di Indonesia ....... 44

D. Problemática Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang .......................................................................... 63

BAB III. KENDALA YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG ............................................ 69

A. Problemática Yayasan Antara Badan Sosial dan Komersil .. 69

B. Yayasan Sebagai Subjek Pajak .............................................. 72

C. Kendala Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak di Kabupaten Deli Serdang ..................... 74

BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM MEMBAYAR PAJAK BERDASARKAN PERDA NOMOR 26 TAHUN 2000 DI KABUPATEN DELI SERDANG ............................................ 81

A. Sekilas Tentang Kabupaten Deli Serdang ............................ 81

B. Pengenaan dan Penetapan Pajak Luas dan Kemewahan/ Penghiasan Kuburan di Indonesia ......................................... 85

C. Kesepakatan Pembayaran Pajak Kuburan Antara Yayasan Pengelola Tanah Kuburan Dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang ......................................................................... 90

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 99

A. Kesimpulan ........................................................................... 99

B. Saran ..................................................................................... 100

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 101

 

Page 13: 10E00027

  13

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Tentang Kesepakatan Yayasan Untuk Pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan Tahun Anggaran 2003 ..... 96

2. Tentang Hasil Keputusan Rapat Tanggal 29 Juli 2005 Tempat Aula Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Deli Serdang ............ 97

 

Page 14: 10E00027

  14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini tanah pekuburan di kota-kota besar di Indonesia, seperti di

Jakarta, Medan dan kota-kota besar lainnya, serta persoalan areal pekuburan ini sudah

merembes ke kota-kota lainnya di Indonesia, sehingga tanah merupakan sesuatu yang

sangat mahal sehingga sulit didapatkan secara layak oleh masyarakat miskin,1

misalnya yang dialami masyarakat Tionghoa di Daerah Kabupaten Deli Serdang.

Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang mempunyai Peraturan Daerah

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan,

yang mulai berlaku sejak tahun 2003 bagi semua kawasan kuburan di Deli Serdang,

termasuk kuburan Tionghoa yang dikelola 12 yayasan di daerah tersebut.

Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang itu mengatur pajak atas

kemewahan kuburan senilai Rp. 100.000,- (seratus ribu) sampai dengan

Rp. 4.000.000,- (empat juta) tergantung luas kuburan. Pajak itu harus dibayarkan tiap

tahun, bahkan kini dengan harapan dapat menambah pemasukan, Pemerintah

Kabupaten Deli Serdang berencana merevisi peraturan itu dan menaikkan pungutan

pajak pekuburan tersebut.

Rencana revisi peraturan daerah ini menuai protes, khususnya bagi

masyarakat Tionghoa, sebagaimana yang dikemukakan Yogi Lingga:

1 Yani Kurniawi, Mahalnya Mati di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66.

 

Page 15: 10E00027

  15

Bagi mereka (masyarakat Tionghoa), membuat kuburan bagus bagi keluarga yang meninggal adalah bentuk bakti mereka kepada leluhur. Sehingga jika Peraturan Daerah soal pajak kuburan ini direvisi, mereka akan mengeluarkan biaya yang lebih banyak lagi. Apalagi juga bukan rahasia bahwa selain biaya yang tertulis, ada banyak biaya siluman yang harus mereka bayar, agar kuburan keluarga tetap terawat. Karenanya masyarakat keturunan Tionghoa di Deli Serdang sejak awal Pebruari kemudian berusaha melobi atau melakukan pendekatan kepada DPRD Kabupaten Deli Serdang sampai Depatemen Dalam Negeri agar Peraturan Daerah itu tidak hanya gagal direvisi tapi juga dicabut. Selain jumlahnya yang besar, aturan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang juga memaksa dan bahkan dengan ancaman sanksi. Bagi mereka yang menolak membayar, Pemerintah Daerah bisa melakukan penyitaan atau bahkan pidana dengan sanksi maksimun dua tahun kurungan kepada ahli waris. Yang lebih menyebalkan, pembayaran uang pajak pekuburan itu tidak termasuk biaya perawatan pekuburan.2

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun

2000, Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang sudah mengutip pajak kuburan

Rp. 2,8 juta per tahun untuk kuburan berukuran 4 meter x 16 meter. Padahal, kuburan

itu berdiri di atas tanah milik sendiri yang setiap tahun dibayar Pajak Bumi Dan

Bangunan (PBB). Di mana tanah itu dibeli dari yayasan, dan yayasan pula yang

membayar Pajak Bumi Bangunan dan pajak kemewahan kuburan itu,3

Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000

menurut Abdul Latif Khan selaku Wakil Sekretaris Panitia Khusus Peraturan Daerah

Kuburan Mewah DPRD Deli Serdang:

Bahwa dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) perubahan itu, nilai pajak untuk kuburan mewah memang akan disesuaikan. Namun berapa penyesuaiannya, masih dalam pembahasan. Sekarang kami sedang membahas kedudukan Ranperda itu. Peraturan Daerah kuburan mewah tidak berbicara

2 Yogi Lingga, Perda Pajak Di Deli Serdang Menuai Protes, Harian Analisa, Edisi Hari

Rabu, Tanggal 23 September 2005, hal. 3. 3 Karya Elly, Pejabat Sementara Ketua Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa, Harian

Analisa, Hari Rabu, tanggal 30 September 2005, hal. 3.

 

Page 16: 10E00027

  16

apa pun dari sisi teks terhadap etnis tertentu, siapa saja mestinya bisa menjadi objek Peraturan Daerah ini. Sebelum disahkan, mestinya perlu dikonsultasikan ke Departemen Dalam Negeri.4

Perwakilan Warga Tionghoa berencana melakukan uji publik, bahkan

mengajukan peninjauan kembali jika Rancangan Perda itu disahkan DPRD dan

Bupati Deli Serdang. Peraturan Daerah ini dari sisi hukum sangat lemah. Sebab,

dalam aturan yang lebih tinggi tidak aturannya memungut pajak dari tempat

pemakaman mewah.

Tim Pencari Keadilan Perda Kuburan menuntut agar Pemerintah Kabupaten

Deli Serdang tidak lagi memberlakukan Peraturan Daerah itu, apalagi merevisinya

dengan tarif pajak baru, karena dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan tidak

diatur tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

Pembahasan Rencana revisi Peraturan Daerah pajak untuk kuburan mewah itu

belum bersifat final, masih dimungkinkan membuat Peraturan Daerah sejauh tidak

melanggar Undang-Undang. Tanah lokasi pekuburan atau kuburan di Deli Serdang,

Sumatera Utara, dikenai pajak tahunan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan

Kuburan, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang sudah mengutip pajak kuburan Rp. 2,8

juta per tahun untuk kuburan berukuran 4 meter x 16 meter.

4 Abdul Latif Khan, Wakil Sekretaris Panitia Khusus Peraturan Daerah Kuburan Mewan

DPRD Deli Serdang, Harian Analisa, Hari Rabu Tanggal 30 September 2005, hal. 3.

 

Page 17: 10E00027

  17

Yayasan Pengelola Pekuburan Tionghoa menolak pemberlakuan pajak atas

kuburan mewah di Kabupaten Deli Serdang yang diatur dalam Peraturan Daerah

Nomor 26 Tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan revisi oleh Eksekutif dan

DPRD Kabupaten Deli Serdang. Sehingga apapun hasil pembahasan rencana

perubahan peraturan daerah itu, akan tetap ditolak. Alasan penolakan itu sudah jelas,

bahwa itu tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Tidak ada aturannya pajak

diberlakukan pada tempat makam mewah.5

Selama ini Yayasan Angsa Pura mengordinasikan 12 yayasan pengelola

kuburan Tionghoa untuk mengurus pungutan pajak ke Pemerintah Kabupaten Deli

Serdang. Dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor

26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu hanya

diperuntukkan bagi warga Tionghoa. Sementara tempat makam etnis lain yang juga

menempati tanah luas, bangunannya tinggi dan mewah, tidak dikenai pajak.6 Oleh

karena itu itu, yayasan menolak membayar sehingga beban pajak ditanggung oleh

ahli waris. Padahal ahli waris keluarga Tionghoa yang mempunyai makam berasal

dari strata sosial yang berbeda kesanggupannya untuk membayar pajak sesuai

ketentuan Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2003 tersebut.

Walaupun adanya berbagai protes atau keberatan masyarakat Tionghoa atas

pajak pekuburan menurut Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 yang kini sedang

dalam pembahasan revisi di DPRD tetap akan dilanjutkan, sebagaimana yang

5 Tarman Hartono, Sekretaris Umum Yayasan Sosial Angsa Pura, pada Siaran Pers Yayasan

Sosial Angsa Pura dalam hal Peraturan Daerah Kuburan di Deli Serdang, Minggu 25 Februari 2005, hal. 1.

6 Ibid., hal. 1.

 

Page 18: 10E00027

  18

dikemukakan Abdul Latif selaku Wakil Sekretaris Pansus DPRD Kabupaten Deli

Serdang, bahwa “pihak eksekutif tetap menginginkan Peraturan Daerah ini berlaku

meskipun nantinya ada perubahan dalam pasal-pasalnya, bisa jadi setelah

mendapatkan masukan dari masyarakat, nama dan sejumlah pasal di dalamnya akan

berubah secara revolusioner”.7

Pembahasan revisi atas Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu,

mengakibatkan warga Tionghoa membentuk Tim Pencari Keadilan Perda Kuburan

yang sudah menyiapkan langkah hukum jika Peraturan Daerah itu tidak dibatalkan,

bahkan langkah hukum sampai ke Mahkamah Agung. Jika memang latar belakang

diterbitkannya pajak kuburan tersebut adalah untuk Pendapatan Asli Daerah, maka

seharusnya Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dapat mencari sumber dari banyak

sektor, termasuk industri. Mengapa harus mencari dari kuburan yang tidak ada

aturannya.8

Langkah yang hendak dilakukan Tim Pencari Keadilan Kuburan Tionghoa

adalah menyurati Mahkamah Agung agar melakukan Judicial Review atas Peraturan

Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan tersebut, dan juga menyurati Menteri Dalam

Negeri agar membatalkan peraturan itu. Selain itu Tim Pencari Keadilan Kuburan

Tionghoa juga melaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Upaya hukum

ini terpaksa ditempuh karena warga Tionghoa menganggap peraturan tentang

7 Abdul Latif Khan, Op. Cit., hal. 3. 8 Karya Elly, Op. Cit., hal. 3

 

Page 19: 10E00027

  19

kuburan merupakan perlakuan diskriminasi kepada warga Tionghoa, karena warga

diluar suku Tionghoa tidak dipungut pajak kuburan.9

Demikian juga, Yayasan Marga Ong keberatan terhadap pemungutan pajak

itu. Di mana pada saat ini terdapat puluhan kuburan di Yayasan Marga Ong. Ukuran

pekuburan itu bervariasi yaitu lebar 4 meter x 5 meter, atau lebar 6 meter x 6 meter

dan lebar 8 meter x 12 meter. Di areal yang luas sedikitnya dua hektare itu terdapat

juga tempat penyimpanan abu kremasi. Semua kuburan dan Pajak Bumi dan

Bangunan dikenakan pajak. Dengan adanya Peraturan Daerah Daerah Kabupaten

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan

Kuburan, pihak keluarga yang anggota keluarganya dikuburkan di sini wajib

membayar pajak.

Pasal 1 huruf f Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan menyebutkan pajak

yang dimaksud Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan adalah pungutan

daerah setiap kuburan yang melebihi panjang 2 meter x lebar 1,75 meter. Selanjutnya

dalam Pasal 1 huruf g disebutkan Pajak atas bangunan diatas kuburan yang melebihi

ukuran panjang 2 meter, lebar 1,75 meter dan tinggi 0,50 meter.

Peraturan Daerah itu dimaksudkan untuk membatasi pemakaian lahan yang

tidak produktif. Kuburan yang dikenakan pajak yaitu kuburan yang melebihi ukuran

yang diatur dalam Peraturan Daerah yaitu panjang 2 meter, lebar 1,75 meter dan

tinggi 0,50 meter. Kalau lebih dari itu dikenakan pajak karena dianggap kemewahan.

9 Ibid., hal. 3.

 

Page 20: 10E00027

  20

Ini membatasi agar areal yang produktif jangan dijadikan kuburan sehingga tidak

produktif lagi.10

Berbagai pro dan kontra diberlakukan peraturan daerah atas pungutan pajak

kuburan di Deli Serdang, yang di satu sisi sebagaimana dikemukakan di atas adalah

demi membatasi agar areal yang produktif jangan dijadikan kuburan sehingga tidak

produktif lagi. Namun di sini lain juga harus diperhatikan nilai religi dari suatu

pekuburan itu bagi etnis tertentu, sebagaimana pandangan Agustrisno, Staf Pengajar

Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara yang

menyatakan:

Untuk membuat standarisasi istilah luas dan kemewahan pada sebuah kuburan dan sekaligus menghindari konflik diperlukan suatu resolusi seperti dialog. Pandangan masyarakat Tionghoa memelihara kuburan orang mati dengan harapan yang dimakamkan itu tidak mengalami kesengsaraan di dalam kuburan. Kuburan penuh dengan gaya arsitektur sesuai dengan feng sui dan hong sui. Pada hari Cheng Beng, warga Tionghoa berkumpul di kuburan orang tuaya untuk membersihakn, memelihara dan menghormati arwah orang tua mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa pemeliharaan kuburan merupakan ungkapan terima kasih yang berkaitan dengan hau atau bakti kepada orang tua. Oleh Karena itu istilah luas atau mewah sebuah kuburan sebagaimana yang dimaksud pihak yang berwenang pada Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu belum tentu benar bagi masyarakat Tionghoa. Bagi mereka atau masyarakat Tionghoa bentuk sebuah kuburan adalah ungkapan atau Ekspresi Metafisis-Religius untuk menunjukkan kemewahan atau gengsi sosial, tetapi lebih mengarah pada sikap hau atau bakti kepada keluarga yang sudah mati.11

Selanjutnya menurut Nur A Fadhil Lubis, Guru Besar Institute Agama Islam

Negeri Sumatera Utara mengatakan:

10 Poltak Tobing, Kepala Bagian atau Kabag Hukum Pemerintah Kabupaten Deli Serdang Poltak Tobing, Harian Warta Kita, edisi Hari Jumat, 16 Maret 2008, hal. 8.

11 AGustrisno, Staf Pengajar Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, Harian Waspada, Hari Rabu, tanggal 17 Maret 2005, hal. 5.

 

Page 21: 10E00027

  21

Tanah kuburan umum, dan sebagian kuburan keluarga, berstatus benda wakaf. Sebagai benda wakaf maka pengaturan tentang pekuburan jenis ini sesuai dengan wakaf, umumnya. Ini termasuk ketentuan bahwa benda wakaf tidak dikenakan pajak. Hal inilah sebabnya juga pajak terhadap kuburan tidak dikenal dalam pemikiran maupun pengamalan hukum Islam. Sedangkan retribusi terhadap pelayanan tertentu bagi kepentingan kuburan merupakan bagian dari yang ditentukan melalui jalur musyawarah. Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2001 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang sebaiknya ditinjau ulang dengan lebih seksama dan dengan mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat serta didasarkan atas asas keadilan, kemaslahatan dan pemusyawaratan.12 Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu bertentangan dengan azas

hukum yang berlaku. Pasal 1 huruf f Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu

bertentangan dengan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi

Dan Bangunan yang menentukan bahwa objek yang tidak dikenakan Pajak Bumi

Bangunan adalah objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala

atau yang sejenis dengan itu. Selain itu, Peraturan Daerah tersebut juga bertentangan

dengan Pasal 2 Ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang

menyebutkan objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten atau

Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya

melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten atau Kota yang bersangkutan.

Apakah meninggal dunia dan dikuburkan pada pemakaman umum yang terdapat pada

12 Nur A Fadhil Lubis, Guru Besar Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Harian Waspada, dalam Ibid., hal. 8.

 

Page 22: 10E00027

  22

daerah Kabupaten atau Kota memang benar hanya penduduk Kabupaten Deli

Serdang. Praktiknya banyaknya orang yang meninggal dunia dikebumikan di luar

domisili tempat ia semula bertempat tinggal. 13

Berbagai protes atas peraturan daerah ataupun revisi peraturan daerah yang

terkait dengan pajak pekuburan di Deli Serdang tersebut akhirnya mendapat

tanggapan dari Komisi A DPRD Kabupaten Deli, yang akan segera mencabut

Peraturan Daerah tersebut, dan akan membahas revisi Peratuan Daerah Kabupaten

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan

Kuburan yang nantinya mengatur kuburan yang sesuai ukuran yang tidak dikenakan

pajak.14

Sikap desakan mencabut Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor

26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu juga

disampaikan Janwar Juandi, selaku Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Deli

Serdang, dengan menyatakan:

Peraturan Daerah ini tidak mengacu kepada prinsip-prinsip keadilan. Yang menyediakan kuburan itu yayasan bukan pemerintah, tapi Pemerintah Kabupaten Deli Serdang mengutip pajak. Padahal Pemerintah Kabupaten sendiri sudah mengutip PBB dari pihak yayasan, tapi juga mengutip pajak dari keluarga orang mati yang ada di kuburan. Ini namanya mengenakan pajak pada orang mati. Padahal Undang-Undang kita tak mengenal pajak untuk orang mati.15

13 Faisal Akbar, Wakil Ketua Laboratorium Konstitusi Program Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Harian Medan Pos, Hari Seni, tanggal 21 Maret 2005, hal. 6. 14 Siswo Adi Suwito, Komisi A DPRD Kabupaten Deli Sedang dari Fraksi Golkar, Harian

Waspada, Hari Senin, tanggal 24 Maret 2005, hal. 3. 15 Janwar Juandi, Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Deli Serdang, Harian

Waspada, Hari Senin, tanggal 24 Maret 2005, hal. 3.

 

Page 23: 10E00027

  23

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan turut mengkritisi Peraturan Daerah

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan. LBH menilai, Peraturan Daerah ini telah

menempatkan sosialita kehidupan masyarakat dari kacamata perpajakan, sehingga

jelas bertentangan dengan kemanusiaan. Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan

Kuburan sudah cenderung bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.

Bukankah membangun kuburan seindah mungkin bagi agama atau beberapa suku di

Indonesia merupakan suatu tanda kehormatan terhadap keluarga atau leluhur yang

meninggal, ini harus dihormati. Bukannya malah dilakukan pemungutan pajak.16

Namun, demikian dari seluruh pembahasan, Panitia Khusus di DPRD

bersepakat muatan Peraturan Daerah itu tidak perlu dirubah, keputusan yang diambil

semata-mata karena muatan Peraturan Daerah masih dianggap layak dan sesuai

diterapkan hingga kini. Untuk itu, secara hukum hingga saat ini Peraturan Daerah

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan masih berlaku. Jadi penolakan tersebut dapat

dikategorikan pelanggaran hukum. Untuk itu Dinas Pendapatan Daerah harus tegas,

menyikapi nihilnya pencapaian pajak kuburan mewah.17

Berkaitan dengan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian tentang

Pajak Pekuburan dengan judul penelitian “Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab

Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak di Kabupaten Deli

16 Ikwaluddin Simatupang, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan, dalam Ibid., hal. 3. 17 Syarifuddin Rosa, dalam Ibid., hal. 3.

 

Page 24: 10E00027

  24

Serdang Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa masalah yang dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam

pembayaran pajak tanah pekuburan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/

Penghiasan Kuburan?

2. Apakah yang menjadi kendala yayasan pengelola tanah pekuburan dalam

membayar Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli

Serdang?

3. Apakah upaya yang dilakukan yayasan pengelola tanah pekuburan sehubungan

dengan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam

pembayaran pajak tanah pekuburan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

 

Page 25: 10E00027

  25

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/

Penghiasan Kuburan?

2. Untuk mengetahui kendala yayasan pengelola tanah pekuburan dalam membayar

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang ?

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan yayasan pengelola tanah pekuburan

sehubungan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi maupun sebagai bahan perbandingan

bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan tentang

pajak tanah pekuburan bagi yayasan dan badan hukum pengelola tanah

pekuburan di Indonesia.

b. Sebagai bahan bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam penyempurnaan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi di

Indonesia, khususnya tentang tanah dan lokasi pekuburan yang pengaturan

lebih tegas dan terarah dalam menentukan tanggung jawab badan hukum dan

yayasan selaku pengelola areal dan tanah pekuburan tentang pajak luas dan

kemewahan/penhiasan kuburan.

c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan

hukum, terutama hukum pertanahan dan badan hukum serta yayasan selaku

pengelola tanah pekuburan di Indonesia.

 

Page 26: 10E00027

  26

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada Pemerintah

Republik Indonesia khususnya Pemerintah Kabupaten Deli Serdang terutama

dalam membuat produk Peraturan Daerah dapat memperhatikan nilai/norma-

norma yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta

mengkaji permasalahan dari berbagai aspek, sehingga produk Peraturan

Daerah yang dihasilkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan

akseptabel.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk meneliti tentang tanggung jawab badan

hukum atau yayasan selaku pengelola tanah pekuburan dalam melakukan

pembayaran pajak kepada Pemerintah Daerah yang mana hal tersebut telah ditetapkan

dan diatur dengan Peraturan Daerah.

Berdasarkan penulusuran kepustakaan dari hasil-hasil penelitian yang pernah

dilakukan, khususnya di Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Tinjauan

Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam

Pembayaran Pajak di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Peraturan Daerah

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu

penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara

ilmiah.

 

Page 27: 10E00027

  27

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di

dalam masyarakat18, artinya bahwa hukum itu harus mencerminkan nilai-nilai yang

hidup di dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan pendapat Roscoe Pound, Eugen

Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain, dimana aliran

pemikiran ini berkembang di Amerika.

Pemikiran ini dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum

yang tumbuh dan berkembang di Eropa Continental dan hukum sebagai gejala sosial.

perbedaan antara sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial diantara keduanya

ialah kalau Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat

hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan

sebaliknya. Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari

pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam

masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki,

sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat.19 Dengan demikian yang

terpenting adalah bahwa “Sociological Jurisprudence merupakan cara pendekatan

yang bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari

masyarakat ke hukum”.20

18 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004, hal. 66. 19 Ibid., hal. 66. 20 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, edisi tiga, 1986, hal. 1,25.

 

Page 28: 10E00027

  28

Mazhab dari Sociological Jurisprudence ini mengetengahkan tentang

pentingnya living law hukum yang hidup di dalam masyarakat, dimana kelahirannya

menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu

positivisme hukum dan antithesenya mazhab sejarah. Dengan demikian “Sociological

Jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya baik akal maupun pengalaman

dimana pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya adalah konsepsi

masing-masing aliran yaitu positivisme hukum dan mazhab sejarah”.21

Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk

pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-

undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran

Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya disesuaikan dengan

hukum yang hidup di dalam masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di

masyarakat.22 Sebab jika ternyata tidak. Akibatnya ketentuan hukum tersebut tidak

akan dapat dilaksanakan dan bekerja dan mendapat tantangan dari masyarakat itu

sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto dalam teori ilmu hukum,

Berlakunya hukum dibedakan kedalam tiga macam, yaitu: secara yuridis, secara sosiologis dan secara filosofis. Berlakunya hukum secara yuridis berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi, terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. Dengan demikian, hukum dikatakan berlaku secara yuridis, apabila pembentukannya mengikuti urutan dan tata cara yang ditetapkan.23

21 Roscou Pond, dalam Lili Rasjidi, Op. Cit., hal. 66. 22 Ibid., hal. 67. 23 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hal. 53.

 

Page 29: 10E00027

  29

Berlakunya hukum secara sosiologis, berintikan pada efektivitas hukum.

Dalam hal ini ada dua teori:

1. Teori Kekuasaan, pada teori ini hukum yang berlaku secara sosiologis apabila

dipaksakan berlakunya oleh penguasa dan hal itu terlepas dari masalah apakah

masyarakat menerima atau menolaknya.

2. Teori Pengakuan, dalam teori ini hukum berlaku secara sosiologis didasarkan

pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju.

Sedangkan berlakunya hukum secara filosofis, artinya hukum tersebut ssuai dengan

cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi misalnya Pancasila, masyarakat

yang adil dan makmur dan seterusnya.24

Suatu kaidah hukum yang berfungsi dengan baik harus memenuhi ketiga

macam cara berlakunya hukum tersebut di atas :

a. Bila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati.

b. Kalau hanya berlaku secara sosiologis maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (Teori Pemaksa).

c. Apabila hanya berlaku secara fisiologis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang di cita-citakan.25

Agar suatu kaidah hukum atau peraturan yang tertulis, benar-benar berfungsi,

senantiasa pula diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor:

a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan, mengenai kehidupan tertentu. Kemungkinan lain adalah, ketidak cocokan antara perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, misalnya antara Undang-undang dengan sistem pemerintahan dan

24 Ibid., hal. 54. 25 Ibid., hal. 55.

 

Page 30: 10E00027

  30

kebiasaan yang sederhana di daerah. Kadangkala ada ketidak serasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan dan seterusnya.

b. Mentalitas petugas yang menegakkan hukum atau menerapkan hukum. Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pengacara, petugas pemasyarakatan dan seterusnya. Apabila peraturannya sudah baik akan tetapi mental para penegak hukumnya kurang baik, maka kan terjadi gangguan pada system penegakan hukum.

c. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum. Apanila peraturannya sudah baik mental penegak hukumnya juga baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Kalau kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dan perilaku masyarakatnya kurang mendukung, maka hukum itu juga akan sulit ditegakkan.26

Dengan demikian efektif tidaknya suatu peraturan akan dipengaruhi oleh

keempat faktor tersebut di atas. Agar peraturan berjalan efektif, maka keempat faktor

tersebut harus berjalan secara seiring dan serasi saling mendukung.

Jauh sebelum zaman Romawi dan Yunani kuno serta zaman Firaun di Mesir,

telah ada suatu wadah yang menguasai dan memerintah penduduk. Le Contract

Social atau perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Rousseau adalah teori

yang menjawab pertanyaan mengapa penduduk atau rakyat harus patuh pada

pemerintah negaranya. Bahwa sebagian dari hak mereka diserahkan kepada suatu

wadah yang mengurus kepentingan bersama. Wadah mana kemudian dikenal sebagai

L’etat, Staat, State, Negara. Eksistensi pajak sebagai species dari genus pungutan

telah ada sejak zaman romawi. Pada awal Republik Roma (509-27 SM) dikenal

beberapa jenis pungutan seperti Censor, Questor dan beberapa jenis pungutan lain.

Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut

26 Ibid., hal. 58.

 

Page 31: 10E00027

  31

publican. Tributum sebagai pajak langsung dipungut pada zaman perang terhadap

penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad ke 2 penguasa Roma

mengandalkan pada pajak tidak langsung disebut vegtigalia seperti portoria yanki

pungutan atas penggunaan pelabuhan.27

Di zaman Julius Caesar dikenal Centesima Rerum Venalium yakni sejenis

pajak penjualan dengan tariff 1% dari omzet penjualan. Di daerah lain di italia

dikenal Decumae, yakni pungutan sebesar 10 % dari para petani atau penguasa tanah.

Setiap penduduk italia, termasuk penduduk roma sendiri dikenakan tributum yang

tetap yang sering kali disebut Stipendium. Demikian pula di Mesir, pembuatan

piramida yang tadinya merupakan pengabdian dan bersifat sukarela dari rakyat Mesir,

pada akhirnya menjadi paksaan, bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi

juga dalam bentuk kerja paksa. Pada abad XIV di Spanyol dikenal Alcabala, salah

satu bentuk pajak penjualan. Di Indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk

natura atau Payment In Kind, kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama

dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya terutama

sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan Pemerintahan Kolonial

Belanda.28

Ada berbagai macam fungsi pemerintah suatu negara yaitu melaksanakan

penertiban atau law and order; mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran

rakyatnya; pertahanan dan menegakkan keadilan yang hal ini dilaksanakan melalui

27 Bambang Sudibyo, Sejarah Pajak Sebagai Pemasukan Negara, Bina Insani, Jakarta, 2005,

hal. 32. 28 Ibid., hal. 32.

 

Page 32: 10E00027

  32

badan-badan pengadilan. Terdapat berbagai sumber penghasilan suatu Negara atau

public revenues, antara lain kekayaan alam; laba perusahaan negara; Royalty;

Retribusi; Kontribusi; Bea Cukai; Denda dan Pajak.29

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk

membuat karya ilmiah. Menurut Hilman Hadikusuma:

Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau defenisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.30

Selanjutnya, dinyatakan Hilman Hadikusuma:

Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjektif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian atau penguraian yang akan dirampungkan.31

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain,

seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep

merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep

adalah suatu kontruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh sutu proses yang

29 Ibid., hal. 32. 30 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 5. 31 Ibid., hal. 5.

 

Page 33: 10E00027

  33

berjalan dalam penelitian untuk keperluan analistis.32 Kerangka konseptional

mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai

dasar penelitian hukum.33

Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan

suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka konsepsionil

belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-

defenisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.34

Koentjoroningrat mengemukakan:

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variable-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.35

Oleh karena itu, untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis

ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi

untuk dapat menjawab permasalahan penelitian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua pengertian yayasan yaitu

sebagai Foundation dan sebagai perkumpulan. Seharusnya Undang-Undang yayasan

memperjelas pasal-pasalnya supaya terdapat kepastian maupun keadilan hukum,

32 Satjipto Rshardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397. 33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7. 34 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Perss, Jakarta, 1986, hal. 133. 35 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi ketiga, PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 21.

 

Page 34: 10E00027

  34

bukannya memukul rata pengertian tentang yayasan.36 Misalnya banyak sekali

yayasan pendidikan didirikan justru menggunakan dana pribadi. Di Pontianak,

yayasan Tionghoa jelas ada pemiliknya yaitu marga yang berdasarkan lineage atau

garis keturunan. Mestinya dalam pembentukan undang-undang, para pembuat

Undang-Undang mengundang dan meminta pertimbangan pengurus-pengurus

yayasan, ahli-ahli bahasa yang membuat Kamus Bahasa Indonesia.

Dalam Undang-Undang Yayasan, dikatakan dalam yayasan tak boleh

memiliki anggota. Jika demikian, apakah yayasan Tionghoa termasuk yang tidak

diatur oleh Undang-Undang yayasan. satu lagi cara bagi pemilik atau pengurus

yayasan untuk menyikapi persoalan ini adalah dengan melakukan penyesuaian.

Artinya dengan cara merubah AD atau ART dan menghapuskan keanggotaan. Ini

juga menjadi masalah, karena seperti yang dikatakan sebelumnya, umur yayasan

sudah puluhan tahun. Sementara Undang-Undang tentang Yayasan baru ditetapkan

pada Tahun 2001 dan direvisi pada Tahun 2004.

Pekuburan adalah sebidang tanah yang disediakan untuk kuburan. Pekuburan

bisa bersifat umum atau semua orang boleh dikuburkan di sana maupun khusus,

misalnya pekuburan menurut agama, pekuburan pribadi milik keluarga, taman

makam pahlawan, dan sebagainya.

Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat atau

wajib pajak untuk menutupi pengeluaran rutin Negara dan biaya pembangunan tanpa

balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung atau dapat juga berarti pajak adalah

36 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

hal. 20.

 

Page 35: 10E00027

  35

iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang sehingga dapat

dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut

penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-

barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Pajak dalam istilah asing disebu tax atau Import Contribution, Taxe, Droit

atau Prancis; Steuer, Abgabe, Gebuhr atau Jerman; Impuesto Contribution, Tribute,

Gravamen, Tasa atau Spanyol dan Belasting atau Belanda. Dalam literature Amerika

selain istilah Tax dikenal pula istilah tarif. .

P.J.A.Andriani merumuskan:

Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara atau yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum atau undang-undang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 37

Kemudian, menurut Rochmat Soemitro, ”Pajak adalah peralihan kekayaan

dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan

surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk

membiayai public investment”.38

Di dalam Literatur Ilmu Keuangan Negara terdapat dua pendekatan yang

merupakan dasar bagi fiskus untuk memungut pajak yakni Benefit Principle dan

Ability To Pay Principle. Secara sederhana kedua prinsip tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut. Benefit Principle pada intinya menjelaskan, bahwa fiskus berwenang

37 P.J.A. Adriani, dalam Bohari, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,

hal. 31. 38 Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1974, hal. 8.

 

Page 36: 10E00027

  36

memungut pajak karena penduduk menerima mamfaat dari adanya Negara.

Terutangnya suatu pajak sekurang-kurangnya harus memenuhi unsur-unsur rumus

pajak, yakni adanya tax base atau dasar pengenaan pajak, tax rate atau tarif pajak dan

adanya tax payer atau wajib pajak. tarif dikalikan dasar pengenaan pajak akan

menghasilkan utang pajak atau tax liability.39

Retribusi adalah pungutan yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah

penduduk yang menggunakan fasilitas yang disediakan pemerintah. Dalam

menyediakan fasilitas tersebut pemerintah telah mengeluarkan sejumlah biaya.

Retribusi yang dipungut adalah mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh

pemerintah. Pemerintah berwenang untuk memungut bea pada waktu ada barang-

barang masuk atau keluar daerah pabean.

Pemerintah juga berwenang untuk memungut cukai pada waktu pembuatan

rokok, gula, alkohol dan hasil sulingan lainnya. Pemerintah berwenang untuk

mengenakan denda kepada penduduk yang melanggar ketentuan yang ditetapkan

pemerintah, misalnya denda karena melanggar rambu-rambu lalu lintas. Pemerintah

pusat atau daerah maupun lembaga pemerintah lainnya berwenang untuk

mengadakan pungutan-pungutan tertentu seperti uang tambang, leges, uang nikah,

talak, rujuk (NTR) dan sebagainya.

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan Negara Indonesia adalah

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu Direktorat Jenderal yang

ada dibawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

39 Ibid., hal. 58.

 

Page 37: 10E00027

  37

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah

sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau

badan.

Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang

menyebabkan barang, fasilitas atau kemamfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh

orang pribadi atau badan.

Jasa umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah

Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemamfaatan umum serta dapat dinikmati oleh

orang pribadi atau badan.

Jasa usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan

menganut prinsip-prinsip komersil karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh

sektor swasta.

Perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka

pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,

pengaturan, pengendalian dan pengawasan atau kegiatan, pemamfaatan ruang,

penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna

melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Penerimaan

lain-lain adalah penerimaan yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku diluar pajak daerah dan retribusi daerah.

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan adalah pungutan daerah

setiap kuburan yang melebihi ukuran: Panjang 2 m, dan Lebar 1,75 m, dan juga

pungutan daerah setiap bangunan diatas kuburan yang melebihi ukuran: Panjang 2 m,

Lebar 1,75 m dan Tinggi 0,50 m.

 

Page 38: 10E00027

  38

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis, yaitu penelitian yang bertujuan

untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai

tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam melakukan pembayaran

pajak tanah pekuburan berdasarkan peraturan daerah di Kabupaten Deli Serdang.

Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden

kemudian akan dianalisa terhadap berbagai aspek hukum baik dari segi hukum

pertanahan nasional maupun hukum politik dan hukum administrasi Negara serta

hukum pajak. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu

suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian

dihubungkan dengan data dan perilaku pejabat pemerintah daerah Kabupaten Deli

Serdang.

Data primer atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari

para responden melalui penelitian lapangan (field research) yaitu Pemerintah

Kabupaten Deli Serdang serta Masyarakat di Kabupaten Deli Serdang.

Data sekunder diperoleh melalui badan hukum primer dan badan hukum

sekunder serta badan hukum tertier yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library

Research) berupa peraturan perundang-undangan buku-buku, laporan hasil penelitian

terdahulu, dokumen resmi dan bahan-bahan kepustakaan lainnya berbentuk tertulis

yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

 

Page 39: 10E00027

  39

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Deli Serdang, dengan melakukan

penelitian di daerah yang terdapat lokasi dan areal tanah pekuburan yang dikelola

oleh badan hukum dan yayasan.

3. Wawacara dan Nara Sumber

Dalam melakukan penelitian ini, maka penulis melakukan teknik wawancara

dengan beberapa sumber, yaitu tokoh masyarakat untuk mengetahui bagaimana

selama ini pengaturan tanah pekuburan dan pengelolaan badan hukum dan yayasan

yang mengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang, khususnya yang

berkaitan dengan pembiayaan, retribusi dan pembayaran pajak.

Untuk menunjang kelengkapan data maka diambil sebagai nara sumber atau

informan tambahan sebanyak 5 (lima) orang dengan perincian sebagai berikut :

1. 1 (satu) orang Staf Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Deli Serdang.

2. 1 (satu) orang pengurus yayasan pengelola tanah pekuburan di Deli Serdang.

3. 1 (satu) orang tokoh masyarakat Kabupaten Deli Serdang.

4. 1 (satu) orang anggota DPRD Kabupaten Deli Serdang.

5. 1 (satu) orang Camat Lubuk Pakam yang wilayahnya terdapat tanah pekuburan di

Kabupaten Deli Serdang.40

40 Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi masalah aset tersebut dari sisi

sejarah dan lokasi dalam upaya mengidentifikasi masalah.

 

Page 40: 10E00027

  40

4. Alat Pengumpul Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat :

a. Studi Dokumentasi

Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu

dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain

yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Wawancara

Untuk memperoleh data primer, dilakukan wawancara dengan 10 (sepuluh) orang

yang terdiri dari pejabat Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, pengurus badan

hukum dan yayasan pengelola tanah pekuburan, tokoh masyarakat, anggota

DPRD Deli Serdang dan masyarakat dengan menggunakan pedoman wawancara

dan daftar pertanyaan.

5. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh

dilapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode

deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan

pustaka secara komparatif aan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam

melihat tinjauan hukum atas tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan

dalam pembayaran pajak di Kabupaten Deli Serdang berdasarkan Peraturan Daerah

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

 

Page 41: 10E00027

 

 

41

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara kualitatif,

selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru

ditarik kesimpulan dengan metode deduktif.41

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,

peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media

cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi

kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis

penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara

kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala

permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

41 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas

Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan ideal yang bersifat aksiomatik (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.

Page 42: 10E00027

BAB II

TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK LUAS DAN KEMEWAHAN/

PENGHIASAN KUBURAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Pengaturan Hukum Yayasan di Indonesia

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan

diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan

kemanusiaan dan tidak mempunyai anggota.42

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud tujuannya

dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha

dengan syarat bahwa usaha kegiatan badan usaha tersebut harus sesuai dengan

maksud dan tujuan yayasan. Kegiatan yayasan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan dan/atau perundang-undangan yang berlaku, dapat mencakup

bidang-bidang hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen,

pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.

Hal ini sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang

Yayasan, jumlah penyertaan maksimum 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan,

anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai

anggota Direksi dan anggota Komisaris atau Pengawas dari badan usaha tersebut.

Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan

Pengawas. Kepada mereka tidak dapat diberikan gaji, upah atau honorarium atau

42 Jusuf Patrick, Pengaturan Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Wawasan, Jakarta, 2007, hal. 5.

Timbul Kusnadi : Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

Page 43: 10E00027

  43

bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang, hal ini sesuai dengan Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2001 tentang Yayasan.

Khusus mengenai pengurus dapat diadakan pengaturan pengecualiaannya

dalam anggaran dasar yayasan, yaitu pengurus dapat diberi gaji, upah atau

honorarium dengan syarat bahwa anggota pengurus tersebut, bukan pendiri yayasan

dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina atau Pengawas, melaksanakan

kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.

Disamping larangan untuk memberikan upah, gaji atau honorarium, yayasan

juga dilarang untuk membagikan hasil kegiatan usahanya kepada Pembina, Pengurus

dan Pengawas sesuai dengan Pasal 3 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001

tentang Yayasan. Pelanggaran terhadap larangan ini diancam dengan pidana sesuai

dengan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Namun

segala biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka

menjalankan tugas yayasan wajib dibayar oleh yayasan.

Jadi kalau gaji, upah atau honorarium tidak boleh, tapi kalau biaya perjalanan,

biaya seminar, ongkos penginapan, ongkos pemeliharaan atau service kenderaan dan

lain-lain yang dikeluarkan lebih dahulu oleh organ yayasan dapat diminta ganti rugi

kepada yayasan. Pastilah akan banyak pos-pos pengeluaran di bidang ini kalau mau

mengamati laporan keuangan yayasan.

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang

Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau

 

Page 44: 10E00027

  44

lebih dengan memisahkan sebahagian harta kekayaannya sebagai kekayaan awal

yayasan, dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.

Disamping oleh orang yang masih hidup, maka yayasan dapat pula didirikan dengan

suatu wasiat. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang

Yayasan, disebutkan bahwa penerima wasiat mewakili pemberi wasiat, permasalahan

yang utama adalah dapatkah orang yang telah meninggal dunia menjadi subjek

hukum.

Kalau penerima warisan itu sudah pasti jelas, namun penerima wasiat adalah

hal pendirian yayasan sangat kabur. Seharusnya dipakai kata-kata pelaksana wasiat

dengan bantuan ahli waris pemberi wasiat wajib melaksanakan ketentuan dalam

wasiat, disini yang menjadi subjek hukum adalah boedel harta peninggalan pewaris

bukan pewaris.

Kekeliruan ini rupanya disadari oleh pemerintah sehingga dikoreksi dalam

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008. Menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 63 Tahun 2008 Pasal 8 memuat materi bahwa wasiat tersebut harus dengan

wasiat terbuka yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris sesuai dengan ketentuan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.43

Kata terbuka ini menutup kemungkinan bagi pendirian yayasan yang

dilakukan dengan menggunakan surat wasiat olograpis, wasiat rahasia atau tertutup,

jadi maksud pemerintah tegas bahwa pendirian yayasan hanya dimungkinkan dengan

surat wasiat dalam bentuk akta umum.

43 Ibid., hal. 5.

 

Page 45: 10E00027

  45

Pendirian yayasan oleh orang asing, pengertian orang disini adalah orang

perorangan dan/atau badan hokum baik nasional maupun asing sesuai dengan Pasal 9

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pendirian yayasan oleh

orang asing diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dalam Pasal

10 sampai dengan Pasal 14 dan Peraturan Keimigrasiaan serta Peraturan

Ketenagakerjaan atau Penjelasan Pasal 10 Peraturan Pemerintah. Syarat-syarat yang

harus dipenuhi oleh yayasan yang didirikan oleh orang asing, yayasan yang

mengandung unsur asing. Orang asing/pendiri memisahkan minimal senilai

Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk modal awal yayasan. Dimana modal

awal itu dinyatakan harta kekayaan tersebut berasal dari harta yang sah. Menyatakan

bahwa kegiatan yayasan tidak merugikan masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia.

Salah seorang pengurus yayasan wajib dijabat oleh orang Indonesia. Anggota

pengurus wajib bertempat tinggal di Indonesia.44

Anggota pengurus asing wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan

atau usaha di wilayah Republik Indonesia atau izin kerja, izin melakukan penelitian,

izin belajar, izin melakukan kegiatan keagamaan, izin usaha sesuai Undang-Undang

Penanaman Modal sesuai dengan Penjelasan Pasal 12 Peraturan Pemerintah dan juga

pemegang kartu izin tinggal sementara.

Anggota Pembina atau Pengawas asing jika bertempat tinggal di Indonesia

wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah Republik

44 Agus Suyanto, Prosedur Pendirian Yayasan Bagi Orang Asing, CV. Setia, Jakarta, 2007,

hal. 8.

 

Page 46: 10E00027

  46

Indonesia dan juga pemegang kartu izin tinggal sementara khusus bagi pejabat korps

diplomatic atau suami, istri dan anak-anaknya tidak wajib sebagai pemegang izin

melakukan kegiatan atau usaha di wilayah Republik Indonesia dan juga pemegang

kartu izin tinggal sementara.

Bandingkan dengan ketentuan yang mengatur tentang cara beroperasinya

yayasan asing dimana hal ini sangat berbeda dengan yayasan yang mengandung

unsur asing dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah. Peraturan ini sangat bias, karena

mengatur yayasan asing atau yayasan yang didirikan menurut hukum asing tidak

diperbolehkan melakukan kegiatan dibidang pengembangan dan penelitian sesuai

dengan Pasal 26 Peraturan Pemerintah, sebaliknya yayasan yang mengandung unsur

asing dimana yayasan yang didirikan menurut hukum Indonesia yang

memprioritaskan anggota Korps Diplomatic sebagai pendiri, Pembina, Pengurus atau

Pengawas dari yayasan yang mengandung unsur asing dan diperbolehkan melakukan

semua kegiatan sesuai maksud dan tujuan yayasan termasuk di bidang pengembangan

dan penelitian.45

Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 ditentukan bahwa

minimal kekayaan awal dari yayasan yang harus disediakan oleh pendiri yayasan

adalah sebagai berikut, jika yayasan didirikan oleh orang Indonesia dimana

perorangan atau badan hukum maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi

pendiri sebesar Rp. 10.000.000,-, jika yayasan didirikan oleh orang asing atau orang

45 Ibid., hal. 9.

 

Page 47: 10E00027

  47

asing bersama dengan orang Indonesia, maka harus dipisahkan dari harta kekayaan

pribadi pendiri sebesar Rp. 100.000.000,-

Menurut Agus Suyanto:

Permasalahan hukum yang timbul disini adalah penyebutan status yayasan, ada yayasan nasional, ada yayasan yang mengandung unsur asing dan yayasan asing. Perlu ditelaah lebih lanjut perbedaan antara yayasan yang mengandung unsur asing yang didirikan menurut hukum Indonesia dengan yayasan asing yang didirikan menurut hukum asing. Yayasan asing dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya wajib bermitra dengan yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia sesuai dengan yayasan nasional dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah, sedangkan yayasan yang mengandung unsur asing tidak perlu bermitra dengan yayasan nasional dan berhak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.46

Status badan hukum yayasan diperoleh sejak tanggal pengesahan oleh Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sedangkan

prosedurnya diuraikan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008

yaitu dalam jangka waktu maksimal 10 hari sejak tanggal akta pendirian, pendiri atau

kuasanya melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan mengajukan

permohonan tertulis dilampiri dengan salinan akta pendirian yayasan, foto copi

NPWP yayasan yang dilegalisir notaries, surat pernyataan kedudukan disertai alamat

lengkap yayasan ditanda tangani pengurus diketahui oleh Lurah atau Kepala Desa,

bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama yayasan atau pernyataan tertulis

dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yayasan yang dipisahkan

sebagai kekayaan awal untuk mendirikan yayasan, surat pernyataan pendiri mengenai

46 Ibid., hal. 9.

 

Page 48: 10E00027

  48

keabsahan kekayaan awal tersbut, bukti penyetoran biaya pengesahan dan

pengumunan yayasan.

Prosedur mana lebih lengkap daripada yang disyaratkan dalam surat edaran

Dirjen Administrasi Hukum Umum Nomor C-HT.01.10-21 tanggal 4 Nopember 2002

Jo Surat Nomor C-HT.01.10-07 Tanggal 5 Mei 2003 perihal Pengesahan dan

Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan. Jadi secara praktis sebaiknya

dilengkapi semuanya termasuk biaya Penghasilan Negara bukan Pajak atau PNBP

dan Biaya Pengumuman Berita Negara Republik Indonesia..

Mengenai Anggaran Dasar Yayasan yang perlu diperhatikan adalah baik

pendirian yayasan maupun perubahan anggaran dasar yayasan harus menggunakan

akta otentik dan dibuat dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan Pasal 9 Jo Pasal 18

ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Perubahan substansi anggaran dasar dapat dikategorikan menjadi 3 kategori,

hal yang tidak boleh dirubah, hal yang boleh dirubah dengan mendapat persetujuan

Menteri dan hal yang boleh dirubah cukup diberitahukan kepada Menteri. Sedangkan

perubahan data yayasan cukup diberitahukan kepada Menteri sesuai dengan Pasal 19

Peraturan Pemerintah.

Hal yang tidak boleh dirubah dari substansi anggaran dasar yayasan adalah

perubahan maksud dan tujuan yayasan. Hal yang boleh dirubah dengan persetujuan

menteri adalah perubahan nama dan kegiatan yayasan. Hal yang boleh dirubah cukup

diberitahukan kepada Menteri adalah substansi anggaran dasar selain yang disebutkan

diatas termasuk perubahan tempat kedudukan yayasan. Sesuai dengan dengan Pasal

18 ayat 1 dan 3.

 

Page 49: 10E00027

  49

Perubahan susunan Pengurus, Pembina, Pengawas dan perubahan alamat

lengkap yayasan adalah termasuk perbuatan hukum yang tidak merubah Anggaran

Dasar Yayasan namun dikategorikan sebagai perubahan data sesuai dengan Pasal 19

Peraturan Pemerintah dan Penjelasannya.

Hati-hati disini karena perubahan tempat kedudukan dan perubahan alamat

lengkap yayasan adalah perbuatan hukum yang berbeda. Yang menjadi permasalahan

hukum adalah penentuan waktu efektif berlakunya perubahan-perubahan tersebut.

Perubahan anggaran dasar yang membutuhkan persetujuan menteri secara

tegas ditetapkan berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri tidak ditetapkan efektif

berlakunya, sebaliknya dalam Pasal 19 ditetapkan perubahan data yayasan efektif

berlaku sejak tanggal perubahan tersebut dicatat dalam data yayasan.

Lebih lanjut Agus Suyanto menyatakan:

Pembuat Peraturan Pemerintah telah melakukan kekeliruan yang fatal, jika penetapan waktu efektifitas berlakunya perubahan anggaran dasar ditetapkan sejak pencatatan dalam data yayasan maka tidak ada masalah, namun ketentuan tentang efektifitas berlakunya perubahan data yayasan ditetapkan berdasarkan tanggal pencatatan adalah bertentangan dengan Pasal 33 Jo Pasal 45 atau Point 9 dan Point 14 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang menentukan bahwa perubahan data tersebut wajib disampaikan oleh pengurus yang menggantikan pengurus lama, padahal Pasal 19 Peraturan Pemerintah efektifitas penggantian tersebut atau data perubahan terhitung sejak dicatatkan dalam data yayasan, jadi bukan berlaku sejak ditutupnya rapat Pembina yang merubah susunan pengurus dan/atau pengawas sejak ditutupnya rapat pengurus yang menetapkan perubahan alamat yayasan atau dalam satu kelurahan. Ironis memang dimana Peraturan Pemerintah diadakan dengan maksud untuk lebih menjamin kepastian hukum namun substansinya justru menimbulkan ketidak pastian hukum. Langkah hukum yudicial review sebaiknya perlu segera ditempuh oleh para praktisi hukum untuk meniadakan ketidak pastian tersebut.47

47 Ibid., hal. 10.

 

Page 50: 10E00027

  50

Permasalahan hukum yang paling penting adalah keberadaan Pasal 39

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 sebagai aturan yang memaksa apabila

yayasan yang diakui sebagai badan hukum nemun tidak menyesuaikan anggaran

dasarnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sampai dengan selambat-lambatnya tanggal

6 Oktober 2008, maka yayasan tersebut yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan

yayasan yang dibubarkan. Padahal dalam Pasal 71 ayat 4 Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2001 Jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentan Yayasan

hanya menegaskan bahwa terhadap yayasan tersebut tidak dapat menggunakan kata

“Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan dengan putusan pengadilan atas

permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Jelas Peraturan Pemerintah

telah melampaui pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang. Dengan adanya

norma “harus melikuidasi kekayaannya” ini berarti semua yayasan yang sudah

berbadan hukum yang belum menyesuaikan diri dengan Undang-Undang tentang

yayasan wajib membubarkan diri.

Jika analisa di atas, diterima maka terjadilah permasalahan hukum, yaitu

apabila dibandingkan ketentuan tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan

Pemerintah mengenai yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum; terhadap

yayasan ini tidak perlu dibubarkan cukup dimintakan permohonan pengesahan ke

Menteri dan terhadap seluruh tindakan yayasan tetap diakui sebagai perbuatan hukum

yang sah dimana hal ini hanya saja menjadi tanggung jawab pribadi secara tanggung

jawab renteng dari anggota organ yayasan, Pasal 36 ayat 3 Peraturan Pemerintah.48

48 Ibid., hal. 10.

 

Page 51: 10E00027

  51

Sebaiknya redaksi Pasal 36 ayat 2 diubah menjadi: “Didalam premise akta

perubahan anggaran dasar disebutkan asal usul pendirian yayasan …dst”.

Argumentasinya : tidak mungkin di dalam akta pendirian ditambahkan premise

seperti yang disyaratkan kecuali dengan mengadakan perubahan terhadap akta

tersebut.49

Dalam premise akta ditegaskan pula bahwa perbuatan hukum yang dilakukan

oleh organ yayasan sebelum di sahkannya yayasan sebagai badan hukum, terhitung

sejak disahkannya yayasan sebagai badan hukum, segala hak dan kewajiban yang

timbul diambil alih dan oleh karena itu menjadi hak dan kewajiban yayasan, hal ini

mengadopsi ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas. Karena dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

tidak disebutkan peralihan hak dan kewajiban atas suatu perbuatan hukum yang

dilakukan oleh organ yayasan sebelum yayasan disahkan sebagai badan hukum, maka

itu hal paling tepat disebutkan dalam akta perubahan anggaran dasar yayasan.

B. Eksistensi Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial

Setelah 56 tahun Indonesia Merdeka, tepatnya 6 Agustus 2001, barulah dapat

dibuat Undang-Undang yang mengatur mengenai yayasan yaitu Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 112

Tahun 2001 dan Tambahan Lembaran Negara 4132. Itu pun baru diberlakukan

tanggal 6 Agustus 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang

Yayasan. Sebelumnya, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang

49 Ibid., hal. 10.

 

Page 52: 10E00027

  52

mengatur secara khusus tentang yayasan di Indonesia. Namun demikian, tidaklah

berarti bahwa di Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang

yayasan. Secara sporadik dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti

KUH Perdata, Rv, Undang-undang kepailitan atau faillissements verordening,

undang-undang perpajakan, perundang-undangan agraria, telah tersebar beberapa

ketentuan yang menyinggung tentang yayasan. 50

Ketentuan perundang-undangan yang ada pada waktu itu, tidak satu pun yang

memberikan rumusan mengenai defenisi yayasan, serta cara mendirikan yayasan.

Berbeda halnya dengan di Belanda, yang secara tegas di dalam undang-undangnya

menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum.

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, yayasan di Indonesia telah diakui

pula sebagai badan hukum. Pengakuan sebagai badan hukum didasarkan pada

kebiasaan dan yurisprudensi. Untuk diakui sebagai badan hukum, yayasan hanya

perlu memenuhi syarat tertentu, yaitu:

1. Syarat materil yang terdiri dari harus ada suatu pemisahan harta kekayaan, adanya

suatu tujuan dan mempunyai organisasi.

2. Syarat formil yaitu harus dengan akta otentik.

Di dalam praktik hukum yang berlaku di Indonesia, pada umumnya yayasan

didirikan dengan akta notaris. Akta notaris ini ada yang didaftarkan di Pengadilan

Negeri dan diumumkan dalam Berita Negara dan ada pula yang tidak didaftarkan di

Pengadilan Negeri, dan tidak pula diumumkan dalam Berita Negara. Hal ini

50 Anwar Borahima, Eksistensi Yayasan di Indonesia, Swara Bangsa, Jakarta, 2007, hal. 1-2.

 

Page 53: 10E00027

  53

dikarenakan tidak ada ketentuan yang mengaturnya sehingga masih bebas bentuk.

Dengan demikian, yayasan dapat pula didirikan dengan akta dibawah tangan.51

Setelah keluarnya undang-undang yayasan, secara otomatis penentuan status

badan hukum yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada didalam Undang-Undang

Yayasan tersebut. Dalam Undang-Undang Yayasan disebutkan bahwa yayasan

memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh Pengesahan dari

Menteri.

Dari ketentuan Undang-Undang yayasan dapat disimpulkan bahwa ada

beberapa syarat pendirian yaitu;

1. Didirikan oleh 1 (satu) orang atau lebih. 2. Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya. 3. Harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia. 4. Harus memperoleh Pengesahan Menteri. 5. Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. 6. Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan

lain, atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. 7. Nama yayasan harus didahului dengan kata yayasan.52

Dari ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Yayasan dapat disimpulkan bahwa

yayasan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang yayasan tetap diakui

sebagai badan hukum, asal saja memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

Undang-Undang Yayasan. Persyaratan yang dimaksud, antara lain yayasan tersebut

telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita

Negara Republik Indonesia atau didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai

izin operasi dari instansi terkait.

51 Ibid., hal. 3. 52 Ibid., hal. 3.

 

Page 54: 10E00027

  54

Ketentuan ini belum menuntaskan permasalahan, sebab di satu sisi yayasan

yang ada selama ini sebagian besar tidak terdaftar di Pengadilan Negeri. Di sisi lain,

pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian yayasan yang tidak terdaftar, tidak

ditemukan di dalam pasal serta penjelasan undang-undang yayasan tersebut sehingga

masih dipersoalkan tentang eksistensi yayasan yang tidak terdaftar tersebut.

Jika hanya dilihat dari bunyi ketentuan Undang-Undang Yayasan, dapat

disimpulkan bahwa yayasan yang tidak terdaftar di Pengadilan Negeri, tidak tercakup

dalam ketentuan tersebut sehingga sulit untuk mencarikan jalan keluarnya. Dengan

kata lain, yayasan tersebut tidak diakui sebagai badan hukum, dan juga tidak

disediakan sarana penyelesaiannya. Untuk mencapai tujuan hukum perlu dicari jalan

keluar agar kepastian, keadilan dan kemanfaatannya dapat tercapai.

Jalan keluar yang dapat ditempuh di antaranya, sebagaimana yang

dikemukakan Sugiono berikut ini:

Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini, antara lain dengan mengambil perbandingan dengan Negara lain. Seperti halnya di Belanda, ketika Undang-Undang yayasan atau stichting wet diberlakukan, maka yayasan-yayasan yang telah ada sebelum mulai berlakunya stichting wet tetap diakui. Hanya saja persyaratannya harus mengadakan penyesuaian dengan Undang-Undang tersebut, antara lain untuk menyusun kembali anggaran dasarnya dalam suatu akta otentik atau akta notaries, dengan tetap mempertahankan sebagai badan hukum.53

Selain cara yang dilakukan di Belanda, sebenarnya dapat juga dilakukan

dengan mengambil model di Amerika dan Inggris. Di kedua Negara tersebut, bagi

organisasi nonprofit yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang dientukan di

53 Sugiono, Proses Pendirian Yayasan di Indonesia, Bina Insani, Yakarta, 2008, hal. 2.

 

Page 55: 10E00027

  55

dalam undang-undang organisasi nonprofit, organisasi tersebut dapat tidak berbentuk

badan hukum, tetapi keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada organisasi

nonprofit yang berbadan hukum diperlakukan juga terhadap organisasi nonprofit

yang tidak berbadan hukum, seperti pengganguran pajak dan sebagainya.

Sayangnya di Indonesia, pengecualian dan pengurangan pajak tidak lagi

sepenuhnya dapat dinikmati oleh yayasan. Oleh karena itu, cara terbaik yang dapat

dilakukan adalah bagi yayasan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang

Yayasan tanpa melihat daftar atau tidak sekalipun fungsi pendaftaran itu penting

hendaknya tetap diakui sebagai Badan hukum. Kemudian yayasan tersebut diberi

kesempatan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang yayasan seperti halnya

yang pernah terjadi di Belanda.54

Bagi yayasan yang belum terdaftar, harus melakukan pendaftaran lebih

dahulu, kemudian menyesuaikan anggaran dasarnya, sedangkan bagi yang sudah

terdaftar hanya menyesuaikan anggaran dasarnya. Dengan demikian, bagi yayasan

yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya akan dibubarkan. Cara pembubaran

serta penyelesaiannya dapat berpedoman/dilakukan berdasarkan cara yang telah

ditetapkan oleh Undang-Undang yayasan.

Persyaratan pendaftaran merupakan suatu hal yang kontradiktif, karena justru

di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak ada

kewajiban bagi yayasan yang baru untuk didaftarkan setelah mendapatkan

54 Ibid., hal. 3.

 

Page 56: 10E00027

  56

pengesahan dari Menteri. Kewajiban yang dibebankan kepada yayasan setelah

disahkan hanyalah kewajiban untuk memgumumkan dalam Berita Negara.

Seharusnya penekanan aturan peralihan bukan pada pendaftaran, melainkan

pada syarat jumlah minimal kekayaan yang dimilkinya serta prospek kegiatan

yayasan itu sendiri. Bagi yayasan yang tidak memenuhi syarat jumlah minimal

kekayaan yang harus dimiliki oleh yayasan dan atau prospek kegiatan yayasan tidak

mungkin untuk dikembangkan, yayasan tersebut dapat dibubarkan. Dengan demikian

kerugian yang mungkin timbul baik bagi organ yayasan maupun dengan pihak ketiga

dapat diminimalisir.55

Cara lain yang ditempuh adalah mengubah bentuk yayasan menjadi

perkumpulan. Pengubahan bentuk ini tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar,

sebab selain perkumpulan merupakan badan hukum, juga karakter perkumpulan tidak

jauh berbeda dengan yayasan di masa sebelum Undang-Undang Yayasan. Pada

perkumpulan tidak ada larangan bagi pengurus untuk memgambil manfaat dari

keuntungan yang diperoleh perkumpulan tersebut. Dengan demikian, bagi pengurus

yang memiliki motif mendirikan badan hukum tidak semata-mata untuk tujuan sosial,

dapat mewujudkan keinginannya dengan mengambil memfaat tanpa merasa was-was

atau takut akan sanksi hukum.56

55 Ibid., hal. 5. 56 Anwar Borahima, Problematika Pendirian Yayasan di Indonesia, Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, Makassar, 2005, hal. 5.

 

Page 57: 10E00027

  57

C. Pengaturan Pembayaran Kewajiban Pajak di Indonesia

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang

sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak

dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.57

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan Negara di Indonesia adalah

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu Direktorat Jenderal yang

ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Terdapat bermacam-macam batasan atau defenisi tentang pajak yang

dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah menurut P.J.A. Andriani:

Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara atau yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum atau undang-undang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 58

Kemudian, menurut Rochmat Soemitro, ”Pajak adalah peralihan kekayaan

dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan

surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk

membiayai public investment”.59

Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M. Anderson Herschel M dan Brock

Horace R:

57 I.G. Rai Widjaja, Penetapan Pajak di Indonesia, Dajambatan, Jakarta, 2005, hal. 148. 58 P.J.A. Adriani, dalam Bohari, Op. Cit., hal. 31. 59 Rochmat Soemitro, Op. Cit., hal. 8.

 

Page 58: 10E00027

  58

Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.60

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari

sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya

kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan

barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan Negara dalam

penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro di atas,

merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang

menyebabkan timbulnya kewajiban warga Negara untuk menyetorkan sejumlah

penghasilan tertentu kepada Negara, Negara mempunyai kekuatan untuk memaksa

dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus

berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi

fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-

60 Sommerfeld Ray M, Anderson Herzhel M dan Brock Horace R, dalam I.G. Rai Widjaja,

hal. 149.

 

Page 59: 10E00027

  59

undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk

keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari berbagai defenisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara

ekonomis yaitu pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor

pemerintah atau pengertian secara yuridis dimana pajak adalah iuran yang dapat

dipaksakan, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian

pajak antara lain sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Asas ini sesuai dengan perubahan

ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 A yang menyatakan pajak

dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam

undang-undang.

2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik atau kontraprestasi perseorangan yang dapat

ditunjukkan secara langsung. Misalnya orang yang taat membayar pajak

kenderaan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang

tidak membayar pajak kenderaan bermotor.

3. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum Pemerintah

dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun

pembangunan.

4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak

tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai

peraturan perundang-undangan.

 

Page 60: 10E00027

  60

Oleh karena itu, menurut Sugondo Marasugindo:

Selain fungsi budgeter atau anggaran yaitu fungsi mengisi kas Negara/ anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara dalam lapangan ekonomi dan sosial yaitu fungsi mengatur atau regulatif.61

Lebih lanjut dinyatakan Sugondo Marasugindo:

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi anggaran atau budgeter, sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.62

Menjalankan tugas tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan,

Negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. dewasa

ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti pembelanjaan pegawai, belanja

barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang

dikeluarkan dari tabungan Pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi

pengeluaran rutin. Tabungan Pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan

sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini

terutama diharapkan dari sektor pajak.

Fungsi mengatur atau regulerend, pemerintah bisa mengatur pertumbuhan

ekonomi melalui kebijakan pajak. dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan

sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman

61 Sugondo Marsugindo, Asas Pemungutan Pajak di Indonesia, FE undip, Semarang, 2005,

hal. 35. 62 Ibid., hal. 36.

 

Page 61: 10E00027

  61

modal. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Diberikan berbagai macam fasilitas

keringanan pajak. dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah

menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

Fungsi stabilitas. Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk

menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi

dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur

peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan

efesien.

Fungsi redistribusi pendapatan, pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan

digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk

membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada

akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun demikian

menurut Tarman Susilo:

Syarat pemungutan pajak. tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat yaitu pemungutan pajak harus adil. Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak,pajak diberlakukan bagi setiap warga Negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak. sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya.63

Sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi :

pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan Negara diatur dengan undang-

63 TArman Susillo, Pentingnya Pajak Untuk Pembangunan, Bina Media, Jakarta, 2005,

hal. 32.

 

Page 62: 10E00027

  62

undang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan undang-undang

tentang pajak yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara yang berdasarkan

undang-undang tersebut harus dijamin kelancarannya. Jaminan hukum bagi para

wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.64

Jaminan hukum akan terjaganya kerahasian bagi para wajib pajak. pungutan

pajak tidak menggangu perekonomian. Pemungutan pajak harus diusahakan

sedemikian rupa agar tidak menggangu kondisi peekonomian, baik kegiatan produksi,

perdagangan maupun jasa.

Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan

menghambat usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan

menengah.

Pemungutan pajak harus efisien. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka

pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih

rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, system

pemungutan pajak harus disederhanakan dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan

demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik

dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Bagaimana pajak dipungut akan

sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. sistem yang sederhana akan

memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai

sehingga akan memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan

64 Ibid., hal. 33.

 

Page 63: 10E00027

  63

kesadaran dalam pembayaran pajak. sebaliknya, jika system pemungutan pajak rumit,

orang akan semakin enggan membayar pajak.

Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.

Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi 1 tarif yaitu 10 % pajak

perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan

menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan atau

pribadi.

Selanjutnya, terdapat beberapa asas pemungutan pajak yang dikemukakan

para ahli, antara lain menurut Adam Smith dalam bukunya wealth of nation dengan

ajaran yang terkenal the four maxims, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

1. Asas equality atau asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan; pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

2. Asas certainty atau asas kepastian houum; semua pungutan harus berdasarkan undang-undang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

3. Asas convenience of payment atau asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan; pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak atau saat yang paling baik, misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

4. Asas efficiency atau asas efisien atau asas ekonomis; biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.65

Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

1. Asas daya pikul; besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

65 Adam Smith dalam Suprianoto, Penetapan Pajak, Djambatan, Jakarta, 2002, hal. 5.

 

Page 64: 10E00027

  64

2. Asas manfaat; pajak yang dipungut oleh Negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermamfaat untuk kepentingan umum.

3. Asas kesejahteraan; pajak yang dipungut oleh Negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

4. Asas kesamaan; dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama atau diperlakukan sama.

5. Asas beban yang sekecil-kecilnya; pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya atau serendah-rendahnya jika dibandingkan dengan nilai objek pajak. sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.66

Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

1. Asas politik financial; pajak yang dipungut Negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan Negara.

2. Asas ekonomi; penentuan objek pajak harus tepat waktu misalnya pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

3. Asas administrasi; menyangkut masalah kepastian perpajakan atau kapan, dimana harus membayar pajak, keluwesan penagihan dan bagaimana cara membayarnya dan besarnya biaya pajak. asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.67

Agar Negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada pribadi

atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan Negara

tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh

di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945 bahwa segala pajak untuk keuangan Negara ditetapkan berdasarkan undang-

undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-

asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh Negara untuk mengenakan

pajak.

66 W.J. Langen, dalam Suprianoto, Op. Cit., hal. 6. 67 Adolf Wagner, dalam Suprionoto, Op. Cit., hal. 7.

 

Page 65: 10E00027

  65

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh Negara sebagai asas dalam

menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan

pajak penghasilan.

Asas utama yang paling sering digunakan oleh Negara sebagai landasan untuk

mengenakan pajak adalah asas domisili, asas sumber, dan asas kebangsaan atau

nasionalitas.

Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan atau domicile/residence

principle, berdasarkan asas ini Negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan

yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan

perpajakan orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di Negara

itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di Negara itu.68

Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan

dikarenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi Negara yang menganut asas ini,

dalam system pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas

domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang

diperoleh di Negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.

Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak

atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya

apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang

pribadi atau badan yang bersangkutan dari suber-sumber yang berada di Negara itu.69

68 Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, hal. 7 69 Indra Ismawan, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Media Komputindo, Jakarta,

2001, hal.5

 

Page 66: 10E00027

  66

Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari

orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi

landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara

itu. Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di

Indonesia akan dikenakan pajak oleh Pemerintah Indonesia.

Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas

kewarganegaraan. Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah

status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.

Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan

dikenakan pajak berasal.

Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas

nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan

konsep pengenaan pajak.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau

kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas

sumber di pihak lainnya, sebagai berikut:

Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan

landasan kewenangan Negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang

akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk

atau berdomisili atau berstatus sebagai warga Negara atau dalam asas nasionalitas. Di

sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.

Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya,

yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari Negara itu atau tidak.

 

Page 67: 10E00027

  67

Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak

begitu penting.

Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap

penghasilan yang diperoleh di mana saja, sedangkan pada asas sumber, penghasilan

yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang

diperoleh dari sumber-sumber yang ada di Negara yang bersangkutan. Kebanyakan

Negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari

satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas

nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.

Dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat

disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus

dalam system perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang

parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek

pajak untuk orang pribadi.

Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk menggunakan

asas domisli, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk jepang berkewajiban

membayar pajak penghasilan atas keseluruhan panghasilan yang diperolehnya, baik

yang diperoleh di jepang maupun di luar jepang. Sementara itu, untuk yang bukan

penduduk jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar

pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di

jepang.

 

Page 68: 10E00027

  68

Australia, untuk semua Badan Usaha Milik Negara maupun swasta yang

berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh

dari sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya

dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.

Ada beberapa teori yang mendasar adanya pemungutan pajak yaitu teori

asuransi, menurut teori ini, Negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya

dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta

bendanya. 70

Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam

perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini

dianggap sebagai pembayaran premi kepada Negara. Teori ini banyak ditentang

karena Negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.

Selanjutnya teori kepentingan, di mana menurut teori ini, dasar pemungutan

pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga Negara. Termasuk

kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan

perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan.

Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat

kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada

perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin

justru dibebaskan dari beban pajak.

70 R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Djambatan, Jakarta, 2002, hal. 52.

 

Page 69: 10E00027

  69

Target penerimaan pajak Negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara

nasional sebesar Rp. 362 triliyun atau mengalami peningkatan 20% dari tahun 2005.

Angka tersebut terdiri Rp. 325 triliyun dari pajak dan Rp. 37 triliyun dari pajak

penghasilan (PPh) Migas.

Target penerimaan Negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai

Rp. 402,1 triliyun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari Pajak Penghasilan

(PPh) Rp. 198,22 triliyun, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPN dan PPnBM) Rp. 126,76 triliyun, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Rp. 15,67 triliyun, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp. 5,06

triliyun, penerimaan pajak lainnya Rp. 2,76 triliyun. Pendapatan pajak itu sudah

termasuk pendapatan cukai Rp. 36,1 triliyun, bea masuk Rp. 17,04 triliyun dan

pendapatan pungutan ekspor Rp. 398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam 5 tahun

terakhir (2001-2005) sudah mencapai Rp. 1,040 triliyun.71

Jenis-jenis pajak untuk daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota,

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah (UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), adalah sebagai berikut:72

(1) Jenis Pajak Propinsi terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan.

71 Target Penerimaan Pajak di Indonesia, Dipublikasikan oleh Media Indonesia pada tanggal

28 April 2001. 72 Pasal 2 ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 

Page 70: 10E00027

  70

(2) Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; g. Pajak Parkir.

Ketentuan tentang objek, subjek, dan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud

di atas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dalam undang-undang pajak dan retribusi daerah tersebut

ditentukan bahwa dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak Kabupaten/

Kota selain yang ditetapkan di atas yang memenuhi kriteria sebagai berikut:73

a. bersifat pajak dan bukan retribusi; b. objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

c. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;

d. objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak Pusat;

e. potensinya memadai; f. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan h. menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan demikian dari ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah di atas, maka daerah dapat menetapkan jenis pajak selain dari yang

sudah ditentukan dalam undang-undang dengan suatu Peraturan Daerah.

73 Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 

Page 71: 10E00027

  71

Ketentuan daerah untuk membuat suatu Peraturan Daerah sebagai kebijakan

pajak dan retribusi daerah demi peningkatan pendapatan daerah sudah diatur dalam

Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kemudian diubah lagi dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah (UU Otonomi

Daerah), sebagai berikut:74

Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan Daerah lain. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah, artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah. Peraturan daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi oleh Pemerintah. Hal itu ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.

Selanjutnya dalam Pasal 2A UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

ditentukan hasil penerimaan pajak Kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10%

(sepuluh persen) bagi Desa di wilayah Daerah Kabupaten yang bersangkutan yang

74  Penjelasan Umum angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.

 

Page 72: 10E00027

  72

ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan memperhatikan aspek

pemerataan dan potensi antar Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk Bagian Desa

ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek

pemerataan dan potensi antar Desa. Penggunaan bagian Daerah Kabupaten/Kota ini

ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah Kabupaten/Kota.

Demikian juga halnya dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang atas dasar

ketentuan Undang-Undang Otonomi Daerah, dan Undang-Undang Pajak dan

Retribusi Daerah tersebut telah menerbitkan suatu Peraturan Daerah Kabupaten Deli

Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan

Kuburan di Kabupaten Deli Serdang.

Lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang

dapat dilihat dari konsideransnya, bahwa lahirnya Peraturan Daerah tersebut

merupakan dari dampak lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang

memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengali sumber-sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang keuangan daerah dalam rangka

pelaksanaan pembangunan, sehingga timbul ide bagi Pemerintah daerah Kabupaten

Deli Serdang untuk menggali potensi daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan

Asli Daerah (PAD) dalam menunjang perekonomian di Kabupaten Deli Serdang,

salah satunya adalah dengan membuat Produk Peraturan Daerah Nomor 26 tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

 

Page 73: 10E00027

  73

Peraturan Daerah tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan

dimaksudkan untuk membatasi pemakaian lahan yang tidak produktif. Kuburan yang

dikenakan pajak yaitu kuburan yang melebihi ukuran yang diatur dalam Peraturan

Daerah tersebut.75 Kalau lebih dari ukuran itu dikenakan pajak karena dianggap

kemewahan. Ketentuan ini membatasi agar areal yang produktif jangan dijadikan

kuburan sehingga tidak produktif lagi. Namun demikian, kondisi Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang hingga saat ini realisasi

pajaknya masih nihil, yaitu dari Rp. 150.000.000,- yang ditargetkan, belum seorang

pun wajib pajak (WP) membayar pajaknya, padahal di kawasan Kabupaten Deli

Kemewahan/Penghiasan Kuburan semakin menjamur.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26

Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan disebutkan

bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang ataupun badan yang bertanggung

jawab atas pembuatan kuburan dan kemewahan/Penghiasan Kuburan atau walinya/

ahli warisnya.

Subjek pajak yang dimaksud dalam Peraturan daerah tersebut adalah ahli

waris dari yang meninggal ataupun suatu badan yang bertanggung jawab ataupun

yang menyuruh melakukan pembuatan kuburan, dengan demikian tanggung jawab

Yayasan hanya sebagai pemungut pajak dan bukan sebagai pembayar pajak

75 Pasal 1 huruf f Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan disebutkan, Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan adalah pungutan daerah setiap kuburan yang melebihi panjang 2 meter x lebar 1,75 meter. Kemudian dalam Pasal 1 huruf g disebutkan dikenakan pajak atas bangunan diatas kuburan yang melebihi ukuran panjang 2 meter, lebar 1,75 meter dan tinggi 0,50 meter.

 

Page 74: 10E00027

  74

dikarenakan yayasan-yayasan yang ada di Kabupaten Deli Serdang hanya sebagai

penyedia lahan pekuburan dan bukan sebagai pembuat kuburan yang dimaksudkan

dalam Peraturan daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan tersebut.

Keberadaan Yayasan Pengelola Pekuburan Tionghoa ini sebagai pemungut

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan ini didasari adanya kesepakatan

antara Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dengan Pihak Yayasan, karena

Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang didalam melaksanakan Perda Kabupaten

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 mengalami kesulitan melakukan pengutipan

pajak kepada ahli waris yang meninggal tersebut, yang akhirnya pajak ini

membebankan Yayasan dalam melakukan pembayaran pajak tersebut.

Jadi, kedudukan Yayasan Pengelola Pekuburan Tionghoa dalam Perda tersebut

bukanlah sebagai subjek Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan yang

dimaksud, tetapi hanya mewakili ahli waris dalam melakukan pembayaran pajak

kepada Pemerintah Daerah Deli Serdang dengan memungut pajak tersebut dari

ahli waris.

Undang-undang menentukan, dalam pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat

diwakili atau dikuasakan dengan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

ditentukan:

 

Page 75: 10E00027

  75

(1) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal: a. badan oleh pengurus; b. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang di

bebani untuk melakukan pemberesan; c. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,

pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam

pengampuan oleh wali atau pengampunnya. (2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab secara

pribadi dan atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3a) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

Kemudian dalam Pasal 33 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut

ditentukan: Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tahun 1984 dan

perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang

tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.

Ketentuan pasal di atas memberikan tanggung jawab secara renteng atas

pembayaran pajak pertambahan nilai bagi pembeli atau penerima jasa kena pajak. Hal

ini tentunya berbeda dengan kedudukan Yayasan dalam kaitan pembayaran Pajak

Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan yang diatur dalam Perda Kabupaten Deli

 

Page 76: 10E00027

  76

Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut, karena Pajak Luas dan Kemewahan/

Penghiasan Kuburan itu bukan sebagaimana pajak pertambahan nilai yang

dimaksud.

D. Probelamtika Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, lahirnya Peraturan Daerah

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/

Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang sebagai upaya pemerintah daerah

Kabupaten Deli Serdang menggali sumber-sumber PAD untuk menunjang keuangan

daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan, yang pada akhirnya menuai protes

dari masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Deli Serdang.

Penolakan pembayaran pajak kuburan ini diakibatkan karena pelaksanaan

Perda yang dianggap hanya untuk pekuburan Tionghoa juga sangat terkait dengan

hubungan hukum antara ahli waris yang meninggal dengan yayasan pengelola tanah

kuburan tersebut, serta tanggung jawab yayasan pengelola tanah kuburan dalam

membayar kewajiban pajak berdasarkan Peraturan Daerah tersebut.

Sebanyak 12 yayasan pengelola tanah pekuburan Tionghoa menolak

pemberlakuan pajak atas kuburan mewah di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera

Utara, alasan penolakan karena mereka menilai peraturan daerah itu tidak mempunyai

dasar hukum yang kuat, tidak ada aturannya pajak diberlakukan pada tempat kuburan

mewah.

 

Page 77: 10E00027

  77

Selama ini Yayasan Angsa Pura mengordinasikan 12 yayasan pengelola

kuburan Tionghoa untuk mengurus pungutan pajak ke Pemerintah Kabupaten Deli

Serdang. Dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang 26

Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu hanya

diperuntukan bagi warga Tionghoa. Sementara tempat kuburan etnis lain yang juga

menempati tanah luas, bangunannya tinggi dan mewah, tidak dikenai pajak. Oleh

karena itu, pada saat ini yayasan menolak membayar pajak sehingga beban pajak

ditanggung oleh ahli waris. Padahal ahli waris keluarga Tionghoa yang mempunyai

kuburan berasal dari strata sosial yang berbeda.76

Menurut Prayetno, selaku pelaksana Kepala Dinas Pendapatan Daerah

(Dispenda), realisasi yang kurang menggembarakan tersebut disebabkan adanya

penolakan sejumlah ahli waris maupun yayasan pengelola tanah pekuburan atas

penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan. Nihilnya pemasukan Pajak

kuburan mewah pihak yang berkompeten atas kuburan-kuburan itu menolak untuk

melakukan pembayaran. Padahal, hingga kini Pemerintah Kabupaten Deli Serdang

masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah tersebut. Polemik yang

berkepanjangan soal Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan antara warga dan

Pemerintah Kabupaten Deli Serdang sekarang sudah disikapi setahun belakangan.

76 Tarman Hartono, Peaturan Daerah Kuburan di Deli Serdang Diskriminatif, Harian

Analisa, tanggal 3 Juli 2008, hal. 8.

 

Page 78: 10E00027

  78

Bahkan, DPRD Kabupaten Deli Serdang melalui Panitia Khusus (Pansus) berencana

mengubah muatannya, terutama mengenai besarnya tarif. Namun hingga kini upaya

Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Deli Serdang tersebut mengalami

stagnasi.77

Pada saat ini sedang dilakukan pembahasan revisi atas Peraturan Daerah

Nomor 26 Tahun 2000 yang tentunya adanya perubahan dalam pasal-pasalnya setelah

mendapat masukan dari masyarakat. Akan tetapi menurut Ketua Paguyuban Sosial

Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) apapun nama dan perubahan yang dilakukan

dalam pembahasan revisi Peraturan Daerah itu, selama ada pungutan atas kuburan

warga Tionghoa akan tetap menolak, bahkan warga Tionghoa akan membentuk Tim

Pencari Keadilan Perda Kuburan (TPKPK) untuk menyiapkan langkah hukum jika

peraturan daerah itu tidak dibatalkan.78

Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut penganut teori ini,

melindungi segenap rakyatnya. Namun teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan

antara lain dengan eksistensi imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung

dalam hal ini wajib pajak menderita resiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, negara

tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa musibah.

Lagipula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnya bertentangan

dengan unsur dalam defenisi pajak itu sendiri. Para penganut teori ini mengatakan,

bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara

77 Prayetno, Kadis Pendapatan Daerah Deli Serdang, Harian Medan Bisnis, Hari Selasa,

tanggal 22 Januari 2006, hal. 3. 78 Karya Elly, Pejabat Sementara Ketua Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa, Harian

Analisa, Hari Rabu, tanggal 30 September 2005, hal. 3.

 

Page 79: 10E00027

  79

tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk

kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.

Adapun teori bakti dapat dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada

mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada

negara, karena negara sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada

dalam kenyataan. Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu

negara; penduduk terikat pada keberadaan negara, karenanya penduduk wajib

membayar pajak, wajib berbakti kepada negara. Penganut teori bakti menganjurkan

untuk membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang

menjadi dasar begi negara untuk memungut pajak. karena organisasi atau lembaga

yakni negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara

mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.

Selain itu ada yang disebut teori daya pikul yang juga sebenarnya tidak

memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan

supaya dalam memungut pajak pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari

wajib pajak. jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya. Ajaran

teori ini ternyata masih dapat bertahan sampai sekarang. Yakni seorang wajib pajak

tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu

jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan

terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak. jumlah yang dikeluarkan tersebut

disebut penghasilan tidak kena pajak, minimun kehidupan atau pendapatan bebas

pajak mininum of subsistence.

 

Page 80: 10E00027

  80

Oleh karena itu, berdasarkan teori tersebut, maka hubungan hukum antara ahli

waris yang meninggal dengan yayasan pengelola tanah pekuburan adalah tidak

terpisahkan, mengingat ahli waris orang yang meninggal ini yang melakukan

hubungan hukum ataupun kesepakatan untuk penguburan anggota keluarganya

dengan yayasan tersebut. Hubungan hukum antara yayasan dengan ahli waris dari

orang meninggal tersebut timbul dikarenakan adanya rasa kemanusiaan dan tanggung

jawab dalam bentuk moral dari suatu komunitas masyarakat dalam kehidupan

bermasyarakat sesuai dengan tradisi dan agama dari suatu komunitas masyarakat,

sehingga dengan adanya rasa dan kemanusiaan dan tanggung jawab tersebut

mengakibatkan lahirnya hubungan hukum antara suatu komunitas masyarakat yang

membentuk yayasan dengan masyarakat, yang tentunya sangat terkait dalam hal

kewajiban pembayaran pajak kuburan tersebut.

Pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan dalam Perda

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 ini sangat terkait dengan hubungan

antara yayasan dengan ahli waris keluarga yang dikubur, karena dengan adanya

penolakan Yayasan untuk membayar pajak kuburan tersebut menyebabkan pajak

tersebut menjadi tanggung jawab ahli waris yang keluarganya ada di kuburan

Yayasan tersebut.

Sejauh ini upaya yang dapat dilakukan oleh Yayasan dalam hal tanggung

jawab pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan tersebut adalah

melakukan kesepakatan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang, bahwa

pembayaran pajak tersebut disesuaikan dengan kondisi ekonomi dari masing-masing

 

Page 81: 10E00027

 

 

81

keluarga ahli waris yang keluarganya dikubur pada pekuburan yayasan tersebut.

Artinya yayasan tetap melakukan pengutipan pajak dari ahli waris untuk dibayarkan

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Deli sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor

26 Tahun 2000 tersebut.

Page 82: 10E00027

BAB III

KENDALA YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Problematika Yayasan Antara Badan Sosial dan Komersil

Indonesia adalah Negara yang kompleks. Bukan cuma berkenaan dengan

masalah sosial, politik dan kebudayaan, tapi persoalan hukum juga tak kalah

peliknya. Meski diberi label rakyat, bahkan ketuhanan, tetapi faktanya yang

melahirkan undang-undang di Indonesia adalah mesin politik. Karena itu di Negara

yang berpenduduknya kini lebih dari 200 juta ini sering terjadi perdebatan bahkan

demonstrasi menentang aturan pemerintah yang justru tidak memihak pada rasa

keadilan rakyatnya.

Pengertian materiil undang-undang adalah peraturan tertulis yang dibuat

penguasa baik pusat maupun daerah. Sedangkan dalam arti formil adalah peraturan

tertulis yang dibentuk pemerintah bersama DPR.79 Ironisnya, jak jarang peraturan

dilahirkan bukan karena masyarakat memang memerlukan, melainkan untuk

komoditas politik atau kelompok tertentu saja. Demikian juga dalam pembentukan

yayasan.

Ada dua pemahaman tentang yayasan, pertama adalah yayasan dalam

pengertian foundation, seperti yayasan supersemar milik mantan Presiden Suharto,

ada juga yayasan sosial seperti yayasan pendidikan, yayasan marga atau kematian,

pemadam kebakaran dan lain-lain di Kalimantan Barat.

79 K. WAntjik, Perkembangan Perundang-Undangan (1966-1973), Pustaka Bangsa, Jakarta,

1975, hal. 23.

Timbul Kusnadi : Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

Page 83: 10E00027

  83

Jika Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan diberlakukan

terhadap jenis yayasan tersebut, maka akan sangat berlebihan dan memberi peluang

pada pemerintah untuk mengintervensi yayasan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan justru menambah

ruang konflik antara Perguruan Tinggi Swasta dengan yayasan, karena

mengeneralisasi semua jenis yayasan dari sudut pandang komersial. Bahkan

pengacara dan konsultasi hukum, RGS dan Mitra, Jakarta dalam sebuah catatan

kakinya pernah mencatat kalau hasil survey yang dilakukan oleh LK2HE dan

pengadilan suka bumi disimpulkan kalau ketentuan undang-undang yayasan banyak

yang tidak membumi dan sulit untuk diterapkan.80

Pemikiran di atas membawa kepada suatu pemahaman bahwa undang-undang

yayasan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Pemberlakuannya terkesan

dipaksakan. Kalau demikian para pengurus yayasan di Indonesia dihadapkan kepada

dua pilihan. Mengubah yayasan atau merubah undang-undang. Jika mengubah

undang-undang tentu saja dengan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi atau yang

disebut yudicial review. Sedangkan, jika merubah yayasan, misalnya menjadi sebuah

perkumpulan dapat saja dilakukan, tetapi saja memiliki resiko. Sebab undang-undang

tentang perkumpulan juga sedang dibahas.

Ada dua pengertian yayasan yaitu sebagai foundation dan sebagai

perkumpulan. Seharusnya undang-undang yayasan memperjelas pasal-pasalnya

80 “Ketika Undang-Undang Yayasan Menuai Konflik”, Kompas, tanggal23 April 2002, hal. 2.

 

Page 84: 10E00027

  84

supaya terdapat kepastian maupun keadilan hukum, bukannya menyama ratakan

pengertian tentang yayasan tersebut. Misalnya ”banyak sekali yayasan

pendidikan didirikan justru menggunakan dana pribadi. Di Pontianak, yayasan

Tionghoa jelas ada pemiliknya yaitu marga yang berdasarkan lineage atau garis

keturunan”.81

Mestinya dalam pembentukan undang-undang, para pembuat undang-undang

mengundang dan meminta pertimbangan dari pengurus-pengurus yayasan, ahli-ahli

bahasa seperti yang membuat kamus bahasa Indonesia.

Dalam undang-undang yayasan, dikatakan dalam yayasan tak boleh memiliki

anggota. Jika demikian, apakah yayasan Tionghoa termasuk yang tidak diatur oleh

undang-undang yayasan. Satu lagi cara bagi pemilik atau pengurus yayasan untuk

menyikapi persoalan ini adalah dengan melakukan penyesuaian. Artinya dengan cara

merubah AD atau ART dan menghapuskan keanggotaan. Ini juga menjadi masalah,

karena seperti dikatakan sebelumnya, umur yayasan sudah puluhan tahun. Sementara

undang-undang tentang yayasan baru saja dilahirkan pada tahun 2001 dan direvisi

tahun 2004.82

Rasa keadilan yang tidak diurus dengan baik oleh Negara, menurut Toto

Suparto bakal menciptakan spiral kekerasan. Untuk itu Negara jangan egois. Karena

hakikatnya kepentingan rakyat adalah merasakan keadilan, maka Negara wajib

81 Martinus Pondang, Problematika Yayasan Tionghoa di Kalimantan Barat, Media

indonesia, tanggal 6 April 2002, hal. 6. 82 W. Suwito, Ketua DPD Serikat Pengacara Indonesia Kalimantan Barat, “Undang-Undang

Yayasan dan Permasalahannya”, Jumat, 2 Februari 2007. hal. 15

 

Page 85: 10E00027

  85

memberika keadilan itu pada rakyatnya. Bukan sebaliknya, melahirkan legitimasi

yang justru melukai rasa keadilan itu sendiri.83

B. Yayasan Sebagai Subjek Pajak

Secara umum, penghasilan yayasan berasal dari sumbangan dan dari kegiatan

yang dilakukannya. Penghasilan yayasan yang berasal dari sumbangan dikecualikan

dari pengenaan pajak atau bukan menjadi objek pajak sepanjang diterima dari pihak

yang tidak memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan

dengan yayasan.

Terhadap penghasilan yayasan yang berasal dari kegiatan yang bersifat

komersil seperti penjualan buku, berlaku ketentuan perpajakan yang sama dengan

apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh badan usaha. Seperti kewajiban untuk

membayar pajak penghasilan atas laba bersih yang diperoleh dan juga kewajiban

untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika atas kegiatan tersebut terutang

dan memenuhi batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

Perlu untuk dicermati bahwa sumbangan yang bukan menjadi objek pajak

penghasilan adalah hanya atas sumbangan yang memenuhi kriteria tersebut di atas.

Seandainya yayasan menerima sumbangan dari pihak yang ada hubungan usaha,

pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan dengan yayasan, maka sumbangan tersebut

menjadi terutang pajak penghasilan.

83 Toto Suparto, dalam Ibid., hal. 15.

 

Page 86: 10E00027

  86

Pembentukan yayasan oleh perusahaan berpotensi untuk dianggap adanya

hubungan penguasaan antara yayasan yang didirikan dengan perusahaan sebagai

pendirinya. Hal ini dipertegas dengan adanya kelaziman penempatan pimpinan

perusahaan di dalam yayasan yang didirikan tersebut. Sehingga, dapat dianggap

bahwa perusahaan memegang kendali terhadap operasional yayasan tersebut yang

akan berakibat pada diperlakukannya sumbangan yang diberikan oleh perusahaan

kepada yayasan sebagai objek pajak penghasilan.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal

2 ayat (1) huruf b, bahwa yayasan adalah termasuk dalam pengertian sebagai subjek

pajak badan. Pengertian badan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan Tahun 2000 tersebut, merupakan sekumpulan orang dan atau

modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak

melakukan usaha, yang meliputi di antaranya adalah yayasan (bersifat non profit)

yang bergerak di bidang usaha apa pun.

Karena itu, jelaslah bahwa karena Yayasan merupakan subjek pajak sesuai

ketentuan perpajakan yang berlaku maka wajib pajak ber NPWP (nomor pokok wajib

pajak). adanya nomor pokok wajib pajak tersebut akan membawa konsekuensi ke

pemenuhan perpajakan sesuai ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan maupun

ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku dalam rangka peningkatan pendapatan asli

daerah tersebut.

 

Page 87: 10E00027

  87

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan, Yayasan hanya

sebagai pemungut pajak dan bukan sebagai pembayar pajak, yang menjadi subjek

pajak adalah ahli waris.

C. Kendala Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang

1. Kendala Internal Yayasan

Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang mempunyai Peraturan Daerah

Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan. Dalam peraturan daerah itu diatur pajak luas dan

kemewahan/penghiasan kuburan senilai Rp. 100.000 sampai Rp. 4.000.000,-

tergantung luas dan kemewahan/penghiasan kuburan, yang harus dibayarkan tiap

tahun. Di mana pada saat ini dengan harapan untuk menambah pemasukan, maka

Pemerintah Kabupaten Deli Serdang berencana merevisi peraturan itu dan menaikkan

pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan tersebut.

Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan tersebut meresahkan 12 yayasan

pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang. Hal ini disebabkan yayasan-

yayasan di Kabupaten Deli Serdang dibebankan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

Deli Serdang untuk melakukan pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan

Kuburan. Sedangkan yayasan-yayasan yang ada di Kabupaten Deli Serdang

mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/

 

Page 88: 10E00027

  88

Penghiasan Kuburan disebabkan karena yayasan-yayasan yang ada di Kabupaten Deli

Serdang adalah yayasan yang bersifat kemanusiaan, sosial dan keagamaan dan bukan

merupakan yayasan yang bersifat komersil yang artinya mengambil keuntungan dari

orang yang meninggal.

Disamping itu yayasan juga mengalami kendala dalam menghubungi para ahli

waris yang memiliki kuburan-kuburan karena banyaknya kuburan-kuburan yang telah

berusia lama dan tidak diketahui lagi ahli warisnya, begitu juga keberadaan ahli waris

yang telah banyak berdomisili didaerah lain. Kemudian juga yang dihadapi yayasan

adalah banyaknya para ahli waris yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, yang

mana kuburan tersebut merupakan sumbangan dari pihak-pihak lain dalam

prosesnya.

2. Kendala Ekternal Yayasan

Dalam penetapan Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di

Kabupaten Deli Serdang, sebanyak 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di

Kabupaten Deli Serdang mendapat penolakan pembayaran dari para ahli waris yang

keluarganya dikuburkan di areal tanah pekuburan yang dikelola ke 12 yayasan

pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang, dikarenakan ketidakmampuan

secara finansial dari para ahli waris dari keluarga yang meninggal yang berasal dari

keluarga tidak mampu dan adanya kesan diskriminasi dalam pelaksanaan Peraturan

Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan yang hanya diberlakukan bagi masyarakat etnis

Tionghoa.

 

Page 89: 10E00027

  89

Rencana ini menuai protes, khususnya bagi masyarakat Tionghoa. Bagi

mereka membuat kuburan bagus bagi keluarga yang meninggal adalah bentuk bakti

mereka kepada leluhur. Sehingga jika Peraturan Daerah soal pajak kuburan ini

direvisi, mereka akan dikenakan pajak lebih besar lagi. Apalagi sudah bukan rahasia

bahwa selain biaya yang tertulis, ada banyak biaya siluman yang harus mereka bayar,

agar kuburan keluarga tetap terawat. Oleh karena itu masyarakat keturunan Tionghoa

di Kabupaten Deli Serdang sejak awal Februari kemudian berusaha melobi DPRD

sampai Departeman Dalam Negeri agar Peraturan Daerah itu tidah hanya gagal

direvisi tapi juga dicabut.

Selain jumlah pembayaran pajak yang besar, aturan Pemerintah Kebupaten

Deli Serdang juga memaksa dan bahkan dengan ancaman sanksi bagi mereka yang

menolak untuk membayar, yaitu Pemerintah Daerah dapat melakukan penyitaan atau

bahkan pidana dengan sanksi dua tahun kurungan kepada ahli waris, yang lebih

memberatkan lagi, pembayaran uang pajak pekuburan itu tidak termasuk biaya

perawatan kuburan.

Keluhan mengenai mahalnya biaya pemakaman, sebenarnya juga sering

diutarakan masyarakat di berbagai daerah lain, misalnya di Jakarta, pemesan tanah

pekuburan harus membayar Rp. 400.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 untuk

mendapatkan lahan untuk menguburkan keluarganya. Belum lagi harus membayar

biaya untuk menggali, kayu untuk menutup mayat dan masih banyak lainnya. Padahal

aturannya hanya membayar biaya retribusi Rp. 100.000,- saja. Koran Tempo pernah

 

Page 90: 10E00027

  90

menulis dana yang dihasilkan dari total hampir 100 kuburan umum di Jakarta setiap

bulannya mencapai Rp. 760 juta. Dari jumlah itu tidak sampai separuhnya yang

masuk ke kas Negara.84 Namun demikian sebagai perbandingan, ketentuan pajak di

Jakarta ini, maka ahli waris keluarga yang dikuburkan memang wajib membayar

retribusi yang jumlahnya sesuai ketentuan tidak sebesar apa yang harus dibayarkan

seperti yang ditetapkan di Deli Serdang, dan juga biaya yang dibayarkan itu sudah

termasuk biaya perawatan pekuburan.

Pekuburan di Indonesia memang harus diatur, karena jumlahnya yang

terbatas. Retribusi pun sah-sah saja asal memang wajar dan tidak memberatkan.

Pemerintah Daerah kemudian harus benar-benar memastikan bahwa tidak ada lagi

pungutan-pungutan yang memberatkan. Karena mamang itulah tugas pemerintah,

malayani masyarakat sehingga bisa merasa tenang dan nyaman. 85

Menurut Ngadiwon sebagai orang yang mendapat kepercayaan menjadi juru

kunci pekuburan Tionghoa di Desa Sidodadi, Kecamatan si Biru-Biru, Kabupaten

Deli Serdang, pria berusia 50 tahun itu yang bertugas antara lain pemotong rumput di

kuburan, yang selalu sibuk dua bulan dari bulan cheng beng, yaitu waktu ziarah bagi

warga Tionghoa tiba, karena saat itu, keluarga yang dikubur datang berziarah yang

hanya sekali dalam setahun. Tidak hanya Ngadiwon, sebagian besar warga sidodadi

memetik tuah Cheng Beng meski tidak ikut merayakan, karena dengan membantu

proses sembahyang orang-orang Tionghoa, mereka memperoleh penghasilan

84 Sugondo Marto Suwiryo, Mahalna MAti di Ibukota, Opini, Jakarta, 2005, hal. 2. 85 Ibid., hal. 2.

 

Page 91: 10E00027

  91

Tambahan dari kuburan tersebut. Lebih lanjut, menurut Ngadiwon dengan merawat

kuburan, dia mendapatkan imbalan yaitu tiap bulan dibayar Rp. 250.000,- hanya

dengan kewajiban menjaga gudang dan mesin air di pekuburan. Selain itu, disediakan

tempat tinggal di area pekuburan, yang cukup layak dihuni. Sedangkan penghasilan

yang lebih besar didapat dari kerjanya merawat dua kuburan yang tiap bulan dibayar

Rp. 1.000.000,- dan upah membuat kuburan jika ada yang meninggal, nilainya bisa

bervariasi. Maka, tidak heran jika Ngadiwon juga mengajak adik terkecilnya, ikut

membantunya, bahkan, ada seorang pengganguran yang datang ke tempat itu sejak

dua bulan lalu juga merawat kuburan tersebut.

Penjaga kuburan tidak tahu jika kuburan yang dirawatnya ini harus membayar

pajak kuburan mewah, selain Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak atas kuburan mewah

itu diatur dalam Peraturan Daerah Nomor Kabupaten Deli Serdang 26 Tahun 2000

tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan. Dalam Peraturan Daerah

itu diatur Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan senilai Rp. 100.000,-

sampai dengan Rp. 4.000.000,- tergantung luas kuburan.

Menurut Jo Ko Hun (Joko) salah seorang donator Yayasan Pekuburan Sosial

Setia Budi Tj. Morawa Deli Serdang, tidak tahu soal pungutan pajak yang dibebankan

pada kuburan ayahnya (Jo Tjin To). Dia menjadi salah satu donator yayasan itu,

sehingga segala urusan dilakukan pengurus yayasan. Oleh karena itu, dirinya dan

sebagian orang Tionghoa meminta keadilan. Meski dalam agama Budha,

menganjurkan agar mayat dibakar, banyak warga yang masih mempercayai

 

Page 92: 10E00027

  92

menguburkan mayat terkait dengan rezeki dan keselamatan manusia, termasuk bentuk

dan letak kuburan.86

Selain itu, salah satu warga Tionghoa yang juga bereaksi keras atas

pemberlakuan Peraturan Daerah itu adalah Karya Elly, yang menguburkan tantenya

di Desa Sidodadi, Kecamatan si Biru-Biru. Padahal dalam kebiasaan Tionghoa, orang

pergi ke kuburan hanya sekali dalam setahun. Waktunya sudah ditentukan, tidak

boleh lebih tidak boleh kurang, yakni pada saat Cheng Beng. Akan tetapi, demi

keadilan, Karya Elly menabrak tradisi itu, ia pergi untuk menerangkan betapa

pentingnya arti kuburan bagi keluarganya.87

Kuburan keluarganya sebelumnya berada di Sunggal, Medan. Kini, di kawasan itu

dibangun area perkantoran pemerintah, sehingga tulang belulang keluarganya

terpaksa dipindah. Kini, kuburan yang sudah dipindah kembali diusik lagi dengan

keharusan membayar pajak. Akibatnya, jika seorang warga Tionghoa pergi ke

kuburan bukan pada saat Cheng Beng, sepanjang tahun akan ketiban sial. Akan tetapi

sebagai generasi ketiga orang Tionghoa di Medan, Karya tidak khawatir dengan itu,

karena niat baik terpaksa ke kuburan tidak saat Cheng Beng, hanya karena terkait

masalah pajak tersebut.

Peraturan Daerah itu sama sekali tidak pantas dan tidak benar. Tidak pantas

karena orang yang sudah mati masih harus dibebani pajak, sedangkan orang yang

86 Jo Ko Hum dalam Karya Elly, “Antara Ceng Beng dan Jiarah Pekuburan Cina, Harian

Analisa, 12 Juli 2002, hal. 2. 87 Ibid., hal. 2.

 

Page 93: 10E00027

 

 

93

menganggur saja tidak dpungut pajak, dan tidak benar karena dalam aturan

perpajakan tidak diatur tentang pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan.88

Selanjutnya, warga Tionghoa memberikan kepercayaan kepada Lembaga Tim

Pencari Keadilan Perda Kuburan (TPKPK) dengan koordinator Karya Elly. Lembaga

itu siap melawan secara hukum sampai ke tingkat Mahkamah Agung untuk menolak

Peraturan Daerah yang mewajibkan pembayaran pajak luas dan

kemewahan/penghiasan kuburan tersebut, yang juga diikuti ke 12 Yayasan yang

mengornisir pekuburan Tionghoa lainnya di Deli Serdang, yaitu: Yayasan Pekuburan

Tionghoa Pantai Labu, Budha Murni, Setia Budi, Budi Murni, Angsa Pura, Tanah

Mujur, Marga Raja, Sentana Abadi, Hang Kang, Budi Mulia, Marga Wijaya, dan

Budi Luhur.

88 Ibid., hal. 2.

Page 94: 10E00027

BAB IV

UPAYA YANG DILAKUKAN YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM MEMBAYAR PAJAK BERDASARKAN PERDA

NOMOR 26 TAHUN 2000 DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Sekilas Tentang Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang adalah sebuah Kabupaten di Propinsi Sumatera

Utara, Indonesia. Ibu Kota Kabupaten ini berada di Lubuk Pakam. Kabupaten Deli

Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten atau Kota di Propinsi

Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya

yang besar sehingga merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup

menjanjikan. Dulu wilayah ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang dan

pemerintahannya berpusat di kota Medan.

Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah ini terdiri dari dua

pemerintahan yang berbentuk kerajaan atau kesultanan yaitu Kesultanan Deli

berpusat di kota Medan dan Kesultanaan Serdang berpusat di Perbaungan.89

Bandar udara baru untuk Kota Medan yang direncanakan akan menggantikan

Polonia, Bandara Kuala Namun, sebenarnya terletak di kabupaten ini. Sebelum

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Kabupaten Deli

Serdang yang dikenal sekarang ini merupakan dua pemerintahan yang berbentuk

kerajaan atau kesultanan yaitu Kesultanan Deli Serdang yang berpusat di Kota Medan

89 Sumadi Tamatjita, Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Sinar Mulia,

Medan, 2005, hal. 5.

Timbul Kusnadi : Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

Page 95: 10E00027

  95

dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan yang berhak 38 Km dari Kota

Medan menuju Kota Tebing Tinggi.90

Dalam Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera

Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut

agar Negara Sumatera Timur (NST) yang dianggap sebagai prakarsa van mook atau

belanda dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik

Indonesia. para pendukung Negara Sumatera Timur membentuk permusyawaratan

rakyat se Sumatera Timur menetang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk

oleh Front Nasional. 91

Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian

bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera

Timur tidak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia

Serikat untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari Negara

Sumatera Timur dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan

Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara

Kesatuan yang berasal dari UUD Republik Indonesia serikat diubah sehingga sesuai

dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pembagian Sumatera Timur ke dalam 5 afdeling. Atas dasar tersebut

terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam sejarah bahwa Sumatera

90 Ibid., hal. 26 91 Ibid., hal. 27.

 

Page 96: 10E00027

  96

Timur di bagi 5 (lima) afdeling, salah satu di antaranya Deli Serdang. Afdeling ini

dipimpin oleh seorang Asisten Residen beribukota di Medan serta terbagi atas 4

(empat) Onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota di Medan, Bovan Deli

beribukota Pancur Batu, Serdang beribukota di Lubuk Pakam, Padang Bedagai

beribukota di Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh Kontelir.

Selanjutnya dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur

tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam)

Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang

Hulu, Serdang Hilir, Bedagai atau Kota Tebing Tinggi pada waktu itu ibukota

berkedudukan di Perbaungan. Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21

Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibu kota Medan

meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang dan Bedagai.92

Pada tanggal 14 November 1956, Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan

menjadi daerah otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok-

Pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956.

Untuk merealisasikannya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan

Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).

Tahun demi tahun berlalu setelah melalui berbagai usaha penelitian dan

seminar-seminar oleh para pakar sejarah dan Pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II

92 Tengteng Ginting, Sejarak Kersidenan Suamtera Timur, Bina Insani, Medan, 1973, hal. 5.

 

Page 97: 10E00027

  97

Deli Serdang pada waktu itu atau sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang,

akhirnya disepakati dan ditetapkanlah bahwa hari jadi Kabupaten Deli Serdang

adalah tanggal 1 Juli 1946.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten

Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi

perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara

tanggal 23 Desember 1986. Demikian pula pergantian pimpinan di daerah ini pun

telah terjadi beberapa kali.

Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara

geografi maupun administrasi pemerintahan, setelah adanya pemekaran daerah

dengan lahirnya kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan UU No. 36 Tahun

2003 sehingga berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh. Dengan

terjadinya pemekaran daerah, maka luas wilayahnya sekarang menjadi 2.394,62 Km2

yang terdiri dari 22 Kecamatan dan 403 Desa/Kelurahan yang terhampar mencapai

3,34 % dari luas Sumatera Utara.93

Perjalanan penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Deli Serdang,

tercatat beberapa Bupati didampangi oleh seorang Wakil Bupati. Dengan berlakunya

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jabatan Wakil Bupati

merupakan satu paket dengan Bupati yang dipilih oleh Anggota Legislatif Tahun

2003. Selanjutnya diterbitkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU

93 Rubianto, Pemekaran Kabupaten Deli SErdang, LP3S, Medan, 2008, hal. 6.

 

Page 98: 10E00027

  98

Nomor 22 Tahun 1999 dilakukan Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang saat ini

terpilih Drs H Amri Tambunan yang berdampingan dengan Drs Yusuf Sembiring

MBA MM sebagai Wakil Bupati untuk Periode 2004 -2009.94 Demikian pula halnya

di Lembaga Legislatif, pimpinan di lembaga ini pun silih berganti yang saat ini Ketua

Dewan DPRD Kabupaten Deli Serdang dijabat oleh H Wagirin Arman.95

B. Pengenaan dan Penetapan Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Indonesia

Berbicara Masalah kuburan mewah, bukanlah hal yang baru di Indonesia. Hal

ini dapat dlihat dari pembangunan kuburan mewah San Diego Hills yang terletak di

Kawasan Karawang Propinsi Jawa Barat yang harganya dari jutaan sampai dengan

ratusan juta rupiah.

Taman Memorial memetok harga Rp. 800 juta untuk kaveling Royal Family

bahkan Taman Kenangan Berabi mematok Rp. 1 miliar untuk kaveling sejenis.

Penyediaan lahan kuburan sekarang bukanlah persoalan ringan bagi Pemerintah

Propinsi Jakarta. Sebab, 95 unit tempat pemakaman umum (TPU) yang dimiliki

Jakarta saat ini yang luasnya mencapai 580 hektar tidak mampu lagi menampung

94 Lihat, Usman Harahap, Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Biro Humas

LPMNN, Medan, 2007, hal. 8. Tercatat dalam sejarah bahwa Bupati di Kabupaten Deli Serdang adalah Moenar S.Hamidjojo, Sampoerna Kolopaking, Wan Oemaroeddin Barus 1 Feb 1951 s/d 1 April 1958, Abdullah Eteng 1 April 1958 s/d 11 Januari 1963, Abdul Kadir Kendal Keliat 11 Januari 1963 s/d 11 November 1970, Haji Baharoeddin Siregar 11 November 1970 s/d 17 April 1978, Abdul Muis Lubis 17 April 1978 s/d 3 Maret 1979, H. Tenteng Ginting 3 Maret 1979 s/d 3 Maret 1984, H. Wasiman 3 Maret 1984 s/d 3 Maret 1989, H. Ruslan Mansyur 3 Maret 1989 s/d 1994, H. Maymaran N.S 3 Maret 1994 s/d 3 Maret 1999, Drs. H.Abdul Hafid, MBA 3 Maret 1999 s/d 7 April 2004, Drs H. Amri Tambunan 2004 sampai sekarang.

95 Ibid., hal. 8.

 

Page 99: 10E00027

  99

jasad-jasad kaku tak bernyawa itu untuk berkubur. Dalam catatan Kantor Pelayanan

Pemakaman (KPP) DKI Jakarta, setiap hari, ada sekitar 100 hingga 130 warga Jakarta

yang meninggal.96

Memang tidak semua manusia yang meninggal di wilayah ibukota dikuburkan

di Jakarta karena sebahagian dikuburkan di daerah asal mereka karena keinginannya.

Akan tetapi, berdasarkan catatan KPP DKI Jakarta, tetap saja ibukota kekurangan

lahan makam sekitar 300 hektar untuk kebutuhan pemakaman warga yang meninggal

tersebut. Tidak heran kalau perburuan lahan kuburan di luar Jakarta menjadi tidak

terelakkan lagi. Kondisi ini ternyata mampu dimanfaatkan oleh sejumlah

pengembang sebagai peluang bisnis yang dibalut selimut sosial.97

Setidaknya ada tiga proyek pekuburan komersil yang dikembangkan sebagai

Estate pekuburan yang kesemuanya berada di kawasan Kerawang, Jawa Barat. Ketiga

makam itu memiliki lahan pengembangan cukup luas, seperti Taman Kenangan

Lestari seluas 32 hektar, Taman Memorial Graham Sentosa 200 hektar, dan San

Diego Hills seluas 500 hektare.

Pengelola pemakanan ini menyediakan berbagai macam pilihan kaveling

dengan antara lain makam tunggal, ganda, keluarga, hingga kaveling VIP. Ketiga

pemakaman itu berada di kawasan elite karena di desain dengan biaya mahal,

sehingga menciptakan lingkungan eksklusif dengan kualitas infrastruktur terbaik.

96 Erman Prayitno, Pelayanan Pemakanan di DKI Jakarta Raya, Opini, Jakarta, 12 Juli 2007,

hal. 2. 97 Ibid., hal. 8.

 

Page 100: 10E00027

  100

Selain itu yang tak kalah penting, pengembang ingin menghapus kesan bahwa tempat

pemakaman identik dengan hal-hal yang seram.

Pengembang pekuburan San Diego Hills bahkan menyediakan tiga fasilitas

Heli Pad di kawasan estate pemakamannya untuk kebutuhan pendaratan bagi peziarah

yang menggunakan helikopter. Tidak heran, bagi orang yang datang ke pemakaman

itu serasa pergi piknik saja karena suasananya yang memang menciptakan suasana

rileks dan lanskapnya yang bernuansa rekreasi.

San Diego Hills paling menonjol terlihat sebagai kawasan rekreasi. Tepat di

tengah-tengah kawasan pemakaman itu ada danau buatan seluas delapan hektar. Air

danau itu berasal dari sudetan sungai citarum yang memang menggalir kearah Kota

Karawang. Pengelola San Diego Hills akan memamfaatkan danau itu sebagai sarana

rekreasi bagi para pengunjung pemakaman. Akan disiapkan pula perahu-perahu

dayung berikut pemandunya.

Semua itu tidak didapat begitu saja, tapi sebanding dengan harga yang

ditawarkan. Bayangkan harga pemakaman bisa ada yang sampai berharga Rp. 700

juta per kaveling. Taman Memorial mematok harga sedikitnya Rp. 800 juta untuk

Kaveling Royal Family, bahkan Taman Kenangan berani mematok harga Rp. 1 miliar

untuk kaveling sejenis. Tarif harga makam itu lebih mahal dari harga satu unit

apartemen di Jakarta yang masih bisa didapat seharga Rp. 300 juta. Akan tetapi

memang tidak semuanya semahal itu karena ada juga kaveling biasa dengan harga

 

Page 101: 10E00027

  101

berkisar Rp. 3 jutaan untuk tipe makam single, sehingga orang bisa memilih sesuai

dengan kemampuan.

Pengelolanya perlu mengeluarkan investasi besar untuk membangunnya

menjadi bagus. Jadi jangan heran, apabila pengembang menghabiskan dana ratusan

miliar rupiah, bahkan sampai angka triliun rupiah untuk membangun taman

pekuburan tersebut.

Menurut Andi Kurniawan Alie, General Maneger Operation San Diego Hills,

tercatat orang-orang besar seperti Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Desainer Iwan

Tirta, Raja Sinetron Raam Punjabi, Artis Rima Melati, Mantan Gubernur DKI

Soerjadi Soerdirdja, hingga mantan Menteri Pemberdayaan BUMN Tanri Abeng

telah memesan dan membeli lahan pekuburan di sana.98

Sistem pesan lahan kuburan jauh-jauh hari sebelum ajal menjemput menjadi

sebuah tren baru yang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan. Hal

tersebut sangat berbeda dengan kondisi dan situasi yang ada di Kabupaten Deli

Serdang, berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa yayasan yang

berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang yaitu Yayasan Budi Mulia yang berada di

Kecamatan Lubuk Pakam yang di ketuai oleh Saudara Suyanto, Yayasan Sosial

Tionghoa Batang Kuis yang diketuai oleh Khu Lai Kim, Yayasan Budi Murni Galang

yang diketuai oleh Benny Timur, bahwa ternyata di daerah tersebut tidak dibenarkan

98 Ibid., hal. 8.

 

Page 102: 10E00027

  102

pemesanan tanah pekuburan dan yayasan tersebut mempunyai aturan-aturan yang

sudah menjadi kebiasaan yang harus ditaati oleh setiap orang yang hendak

menguburkan keluarganya di daerah tersebut, yakni bahwa orang yang dikuburkan di

daerah tersebut haruslah penduduk yang berdomisili di daerah tersebut atau minimal

mantan penduduk di daerah tersebut, selain dari pada itu yayasan hanya menyediakan

kavelingan ukuran kuburan yang ditetapkan oleh yayasan, misalnya di Daerah

Kecamatan Lubuk Pakam yaitu Yayasan Budi Mulia, kaplingan yang disediakan oleh

yayasan tersebut adalah ukuran 3 x 6 meter untuk yang single dan ukuran 4 x 7 meter

untuk orang yang hendak menguburkan keluarganya secara berdampingan.

Didamping itu tarif yang harus dibayar atau dikenakan kepada orang yang

hendak memakamkan keluarganya tersebut adalah sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta

lima ratus rupiah) untuk ukuran 3 x 6 meter dan Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah)

untuk ukuran 4 x 7 meter dengan jangka waktu yang tidak ditentukan artinya ahli

waris yang menguburkan keluarganya atau orang tuanya di daerah tersebut hanya

sekali saja dikenakan biaya dan biaya tersebut lebih dianggap sebagai bantuan yang

disumbangkan kepada yayasan serta yayasan tidak lagi mengenakan biaya tahunan

kepada ahli waris yang meninggal misalnya biaya perawatan pemakaman dan biaya-

biaya lainnya, dan dalam hal perawatan dan pemeliharaan kuburan menjadi tanggung

jawab yayasan, dalam hal pembuatan bangunan kuburan, sepenuhnya diserahkan

kepada keluarga dari yang dikuburkan namun dengan batas-batas ukuran yang

ditetapkan oleh yayasan yatiu ukuran 3 x 6 meter atau ukuran 4 x 7 meter dan tidak

 

Page 103: 10E00027

  103

diperkenankan melebihi ukuran tersebut, hal serupa juga diterapkan oleh Yayasan

Tionghoa lainnya yang berada di Kabupaten Deli Serdang, selain daripada itu, bagi

orang-orang yang dikategorikan tidak mampu atau miskin yang hendak menguburkan

keluarganya yang meninggal dunia, maka yayasan tidak melakukan pengutipan atau

tidak dikenakan biaya atas penguburan.

C. Kesepakatan Pembayaran Pajak Kuburan Antara Yayasan Pengelola Tanah Kuburan Dengan Pemkab Deli Serdang

Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan, yang dalam hal ini dikenakan pada kuburan

Tionghoa di Daerah Deli Serdang, tetapi mendapat penolakan dari 12 yayasan

pengelola kuburan maupun oleh masyarakat sebagai ahli waris dari kuburan tersebut.

Salah satu pekuburan tersebut adalah Pekuburan Tionghoa Yayasan Marga

Ong di Jalan Medan – Tanjung Morawa Kilometer 13, yang dikenakan pajak tersebut.

Terdapat puluhan kuburan di Yayasan Marga Ong, yang ukuran pekuburan itu

bervariasi yaitu lebar 4 meter x 5 meter, atau lebar 6 meter x 6 meter dan lebar 8

meter x 12 meter. Di areal yang luas sedikitnya dua hektar itu terdapat juga tempat

penyimpanan abu kremasi. Walaupun pada dasarnya Yayasan Marga Ong keberatan

terhadap pemungutan pajak itu, tetapi Pemerintah Kebupaten Deli Serdang tetap

memungut pajak kuburan bersenjatakan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

 

Page 104: 10E00027

  104

Dengan adanya Peraturan daerah itu atau Peraturan Daerah Kabupaten Deli

Serdang ini, pihak keluarga yang anggota keluarganya dikuburkan di pekuran

yayasan tersebut wajib membayar pajak, padahal, yayasan sudah membayar Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) kepada Pemerintah Deli Serdang.

Pasal 1 huruf f Peraturan daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan menyebutkan pajak

yang dimaksud Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan adalah pungutan

daerah setiap kuburan yang melebihi panjang 2 meter x lebar 1,75 meter. Kemudian

dalam Pasal 1 huruf g disebutkan pajak atas bangunan diatas kuburan yang melebihi

ukuran panjang 2 meter, lebar 1,75 meter dan tinggi 0,50 meter.

Peraturan Daerah itu dimaksudkan untuk membatasi pemakaian lahan yang

tidak produktif. Kuburan yang dikenakan pajak yaitu kuburan yang melebihi ukuran

yang diatur dalam Peraturan Daerah tersebut. Kalau lebih dari ukuran itu dikenakan

pajak karena dianggap kemewahan. Ketentuan ini membatasi agar areal yang

produktif jangan dijadikan kuburan sehingga tidak produktif lagi.

Membuat standarisasi istilah luas dan kemewahan pada sebuah kuburan dan

sekaligus menghindari konflik diperlukan suatu resolusi seperti dialog, karena

pandangan masyarakat Tionghoa memelihara kuburan orang mati dengan harapan

yang dimakamkan itu tidak mengalami kesengsaraan di dalam kuburan. Kuburan

penuh dengan gaya arsitektur sesuai dengan feng sui dan hong sui. Pada hari Ceng

Beng, warga Tionghoa berkumpul di kuburan orang tuanya untuk membersihkan,

 

Page 105: 10E00027

  105

memelihara dan menghormati arwah orang tua mereka. Ada juga yang berpendapat

bahwa pemeliharaan kuburan merupakan ungkapan terima kasih yang berkaitan

dengan hau atau bakti kepada orang tua.

Istilah luas atau mewah sebuah kuburan sebagaimana yang dimaksud pihak

yang berwenang pada Peraturan daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu belum tentu benar

bagi masyarakat Tionghoa. Bagi mereka atau masyarakat Tionghoa bentuk sebuah

kuburan adalah ungkapan atau ekspresi metafisis-religius untuk menunjukkan

kemewahan atau gengsi sosial, tetapi lebih mengarah pada sikap bakti atau hau

kepada keluarga yang sudah mati. Oleh karena itu, Peraturan Daerah pajak atau

retribusi kuburan Kabupaten Deli Serdang sebaiknya ditinjau ulang dengan lebih

seksama dan dengan mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat serta didasarkan

atas asas keadilan, kemaslahatan dan pemusyawaratan.

Penolakan masyarakat maupun pihak yayasan pengelola kuburan Tionghoa

terhadap pajak luas dan penghiasan kuburan memang beralasan mengingat bahwa

penghiasan kuburan itu bukan semata-mata untuk kemewahan tetapi sebagai

ungkapan ekspresi metafisi-regiligius. Di samping itu juga bahwa yayasan pengelola

kuburan Tionghoa di Deli Serdang merupakan yayasan yang bersifat yayasan sosial

bagi masyarakat Tionghoa dalam tanah kuburan bagi masyarakat Tionghoa. Akan

tetapi di sisi lain, dalam penyelenggaraan kuburan bagi masyarakat Tionghoa, pihak

yayasan adalah melakukan penyediaan (penjualan) lahan kuburan (berarti adanya

 

Page 106: 10E00027

  106

kutipan) yang dilakukan oleh pihak yayasan. Jadi atas dasar ini dapat saja pihak

pemerintahan Kabupaten Deli Serdang mengenakan pajak terhadap pihak yayasan,

misalnya dalam hal ini adalah pajak penghasilan atas penjualan lahan tersebut.

Selanjutnya penetapan pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan di

Kabupaten Deli Serdang, yang menjadi dasar hukumnya adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak

Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

2. Keputusan Bupati Deli Serdang Nomor 32 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak

Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

Objek Pajak atas Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli

Serdang yang ditetapkan adalah kuburan yang luasnya melebihi dari 3,5 m2 dan

bangunan kemewahan atau penghiasan kuburan yanluasnya melebihi 3,5 m2.

Sedangkan subjek pajak adalah orang atau badan yang bertanggung jawab atas

pembuatan kuburan atau walinya atau ahli warisnya.

Sementara itu besarnya Pajak atas Kuburan yang luasnya lebih dari 3,5 m2

atau 2 x 1,75 meter adalah sebagai berikut:

a. Lebih dari 3,5 m2 s/d 6 m2 = Rp. 50.000,-

b. Lebih dari 6 m2 s/d 9 m2 = Rp. 100.000,-

c. Lebih dari 9 m2 s/d 12 m2 = Rp. 150.000,-

d. Lebih dari 12 m2 s/d 15 m2 = Rp. 200.000,-

 

Page 107: 10E00027

  107

e. Lebih dari 15 m2 s/d 20 m2 = Rp. 300.000,-

f. Lebih dari 20 m2 s/d 40 m2 = Rp. 600.000,-

g. Lebih dari 40 m2 s/d 60 m2= Rp. 1.000.000,-

h. Lebih dari 60 m2 s/d 100 m2 = Rp. 1.500.000,-

i. Lebih dari 100 m2 s/d 150 m2 = Rp. 2.000.000,-

Besarnya Pajak atas Bangunan Penghiasan atau Kemewahan Kuburan yang luasnya

lebih dari 3,5 meter atau 2 meter x 1,75 meter dan tingginya 0,5 meter adalah:

a. Lebih dari 3,5 m2 s/d 6 m2 = Rp. 100.000,-

b. Lebih dari 6 m2 s/d 9 m2 = Rp. 200.000,-

c. Lebih dari 9 m2 s/d 12 m2 = Rp. 400.000,-

d. Lebih dari 12 m2 s/d 15 m2 = Rp. 600.000,-

e. Lebih dari 15 m2 s/d 20 m2 = Rp. 800.000,-

f. Lebih dari 20 m2 s/d 40 m2 = Rp. 1.200.000,-

g. Lebih dari 40 m2 s/d 60 m2 = Rp. 1.600.000,-

h. Lebih dari 60 m2 s/d 100 m2 = Rp. 2.800.000,-

i. Lebih dari 100 m2 s/d 150 m2 = Rp. 4.000.000,-

Lebih dari 150 m2 setiap kelebihan 1 m2 ditambah Rp. 60.000,- Sedangkan dalam hal

penentuan masa pajak adalah waktu lamanya 1 (satu) tahun.

Dalam melakukan perhitungan jumlah dan besarnya penetapan pajak

dilakukan dengan cara penghitungan pengenaan pajak, kuburan antara luas tanahnya

sebagaimana rumus perhitungan di bawah ini:

 

Page 108: 10E00027

  108

Luas kuburan 40 m2 atau 5 x 8 meter maka tarifnya Rp. 600.000

Luas bangunannya 20 m2 atau 2,5 meter x 8 meter maka tarifnya Rp. 800.000,-

Maka jumlah yang harus di bayar adalah:

Tanah Rp. 600.000

Bangunan Rp. 800.000

Jumlah Rp. 1.400.000

Dalam upaya menindaklanjuti pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/

Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang, sebanyak 12 yayasan pengelola

pekuburan di daerah tersebut mengambil kesepakatan bahwa: pelaksanaan Peraturan

Daerah Kebupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan yang efektif berlaku Januari 2001.

Hasil musyawarah yayasan-yayasan pengelola pekuburan yang berada di

wilayah Deli Serdang mengenai hal tersebut diatas yang diselenggarakan pada hari

jumat tanggal 30 Mei 2003 bertempat di Sekretariat Yayasan Sosial Angsapura Jalan

Logam Nomor 3 Medan. Maka sebanyak 12 Yayasan Pekuburan di Kabupaten Deli

Serdang sepakat untuk memikul beban kewajiban membayar Pajak Luas dan

Kemewahan/Penghiasan Kuburan yang ditargetkan Pemerintah Kabupaten Deli

Serdang untuk Tahun 2003 sesuai dengan situasi dan kondisi ekonomi keluarga

masing-masing sebagai berikut:

 

Page 109: 10E00027

  109

Tabel 1. Tentang Kesepakatan Yayasan Untuk PembayaranPajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan Tahun Anggaran 2003

Nama Yayasan Nama yang

mewakili Jumlah pajak

(Rp) Tanda tangan

Yay. Sos. Angsapura Andi Wijaya Rp. 24.250.000,- Yay. Sos. Wijaya Hasan Wijaya Rp. 15.000.000,- Yay. Sos. Budi Luhur Rp. 7.350.000,- Yay. Sos. Sentana Abadi Rp. 15.000.000,- Yay. Sos. Hang Kang Kwek Gek Tin Rp. 19.950.000,- Yay. Sos. Tionghoa B. kuis Khu Lai Kim Rp. 1.050.000,- Yay. Sos. Per. Tionghoa S. Rampah Tan Cin Kiong Rp. 2.100.000,- Yay. Sos. Tionghoa Perbaungan Tan Ciong Teng Rp. 3.465.000,- Yay. Vihara Budha Murni Indonesia Tan Beng Hiong Rp. 31.000.000,- Yay. Sos. Lautan Mulia Tan Pit Tiong Rp. 15.000.000,- Yay. Sos. Budi Murni Galang Benny Rp. 1.500.000,- Yay. Sos. Marga Raja Heryanto Rp. 3.465.000,- Yay. Pekuburan P. Cermin A Hui Rp. 2.100.000,- Yay. Perk Tionghoa P.Labu Kui Sun dkk Rp. 2.520.000,- Yay. Sos. Budi Mulia Suyanto Rp. 6.250.000,- Total Rp. 150.000.000,-

Catatan : Kesepakatan rapat pertama tentang Pajak Luas dan Kemewahan Penghiasan Kuburan SeKabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2003.

Dari tabel di atas terlihat bahwa yayasan-yayasan pengelola kuburan di

Kabupaten Deli Serdang setuju mengadakan kesepakatan untuk pembayaran pajak

luas dan kemewahan/penghiasan kuburan di Tahun Anggaran 2003. Di mana

pembebanan pajak terbesar adalah ditanggung Yayasan Sosial Angsapura yaitu

sebesar Rp. 24.250.000,- (dua puluh empat juta dua ratus lima puluh ribu rupiah),

sedangkan pembebanan pajak terkecil adalah Yayasan Sosial Tionghoa Batang Kuis

yaitu sebesar Rp. 1.050.000,- (satu juta lima puluh ribu rupiah). Total pajak luas dan

kemwahan/penghiasan kuburan yang harus dibayarkan seluruh Yayasan kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten Deli adalah sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima

puluh juta rupiah) yang merupakan target pajak luas dan kemewahan/penghiasan

kuburan di Kabupaten Deli Serdang.

 

Page 110: 10E00027

  110

Selanjutnya hasil Keputusan Rapat Tanggal 20 Juli 2005 di Aula Kantor

Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Serdang sebagai terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Tentang Hasil Keputusan Rapat Tanggal 20 Juli 2005 Tempat Aula Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Deli Serdang

No Yayasan Pajak 2004

(Rp) Target 2005

(Rp) Nama Tanda tangan

1 Sentana abadi 15.000.000 15.750.000 Sucipto 2 Hangkang tj.morawa 19.950.000 20.900.000 Kwek gek tin 3 Budi mulia l.pakam 9.250.000 7.000.000 Suyanto 4 Budi murni galang 1.500.000 1.800.000 Benny timur 5 Budi luhur 7.350.000 8.100.000 Eddy 6 Angsapura medan 24.250.000 25.250.000 Pendi 7 Lautan mulia medan 15.000.000 15.750.000 Tan pit tjiong 8 Wijaya 15.000.000 15.750.000 Hasan wijaya 9 Mangaraja 3.465.000 3.850.000 Anwar 10 Vihara budha murni 31.000.000 32.250.000 Yensen S 11 Perkumpulan tionghoa bt.kuis 1.050.000 1.200.000 Budiman 12 Perkumpulan tionghoa pt.labu 2.520.000 2.700.000 Ng king sui Total 142.335.000 150.300.000

Catatan : Kesepakatan rapat kedua tentang target Pajak Luas dan Kemewahan Penghiasan Kuburan Se Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2005.

Dari tabel di atas terlihat bahwa hasil kesepakatan Pajak Luas dan

Kemewahan/ Penghiasan Kuburan antara Yayasan dengan Pemerintah Kabupaten

Deli Serdang, dari sebesar Rp. 142.335.000,- (seratus empat puluh dua juga tiga ratus

tiga puluh lima ribu rupiah) pada Tahun Anggaran 2004, kemudian ditargetkan untuk

penerimaan Tahun Anggaran 2005 meningkat menjadi Rp. 150.300.000,- (seratus

lima puluh juta tiga ratus ribu rupiah).

Kesepakatan dari 12 yayasan pengelola pekuburan di Kabupaten Deli Serdang

dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang ditandatangani oleh Suyanto mewakili

12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang serta Parlaungan

Lubis Selaku Kasubdis Pembinaan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Deli

Serdang. Kesepakatan yang dibuat oleh pihak yayasan-yayasan dan Pemerintah

 

Page 111: 10E00027

 

 

111

Daerah Kabupaten Deli Serdang ini, diakibatkan adanya tekanan dari pihak

Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah

Kabupaten Deli Serdang yang dapat dilihat dari adanya Surat Nomor 970/215

tertanggal 23 Mei 2007 yang ditandatangani oleh Pelaksana Kepala Dinas Pendapatan

Daerah Kabupaten Deli Serdang Prayitno, dengan tembusan Tim Penegakan Hukum

Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan kepada Bupati sebagai laporan, sehingga

dengan adanya tekanan-tekanan tersebut melahirkan kesepakatan yang didasarkan

atas rasa keterpaksaan.

Page 112: 10E00027

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pada penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka

diperoleh kesimpulan dan saran dalam penelitian sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Subjek pajak menurut Perda Kabupaten Deli Serdang No. 26 Tahun 2000 adalah

bukan Yayasan Pengelola Kuburan. Yayasan dapat ditunjuk sebagai badan

pemungut pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan karena adanya

kesepakatan antara Pengelola dengan Pemkab Deli Serdang. Akan tetapi akibat

naiknya tentang target pajak, sebagai pemungut seolah-olah menjadi kewajiban

Yayasan untuk memenuhi target pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan

tersebut.

2. Kendala yayasan pengelola tanah pekuburan dalam pembayaran pajak sesuai

Perda No. 26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang adalah disebabkan yayasan

kesulitan menghubungi para ahli waris dari kuburan-kuburan yang telah berusia

lama dan tidak diketahui lagi ahli warisnya, dan ahli waris yang masih ada banyak

berdomisili di luar daerah Deli Serdang. Selain itu, banyak para ahli waris yang

berasal dari keluarga yang tidak mampu, yang mana kuburan tersebut merupakan

sumbangan dari pihak-pihak lain dalam prosesnya.

3. Upaya yang dilakukan Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan dalam membayar

Pajak berdasarkan Perda No.26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang adalah

melakukan kesepakatan bersama dengan pihak Pemerintah Daerah untuk

Timbul Kusnadi : Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

Page 113: 10E00027

 

 

113

membayar pajak sesuai dengan tingkat ekonomi ahli waris. Selain itu melakukan

upaya hukum ke Mahkamah Agung untuk judicial review terhadap Perda

tersebut.

B. Saran

1. Diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dalam membuat

Peraturan Daerah dapat meningkatkan frekuensi dalam melakukan public hearing

dengan para pengurus yayasan, tokoh-tokoh masyarakat, ahli-ahli agama dalam

rangka menggali nilai-nilai/norma yang hidup dan berkembang pada masyarakat

yang berada di daerah tersebut, sehingga produk Peraturan Daerah yang

dihasilkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat yang ada di Kabupaten

Deli Serdang, mengingat masyarakat yang ada di Kabupaten Deli Serdang adalah

masyarakat yang pluraristik.

2. Diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Deli Serdang agar dalam pemungutan

pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan dapat dilakukan secara ekspansi

dan tidak hanya dilakukan scara intensif agar target pajak tersebut dapat

terpenuhi.

3. Diharapkan kepada Yayasan Pengelola Kuburan di Kabupaten Deli Serdang

untuk mengatasi kesulitan tentang keberadaan ahli waris mengenai kewajiban

wajib pajak tersebut maka untuk ke depan dapat mendata setiap keluarga atau ahli

waris setiap masyarakat Tionghoa yang dikubur di tanah yayasan tersebut secara

berkelanjutan.

Page 114: 10E00027

  114

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Bohari, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Borahima, Anwar, Eksistensi Yayasan di Indonesia, Swara Bangsa, Jakarta, 2007.

________, Problematika Pendirian Yayasan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2005.

Brotodiharjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Djambatan, Jakarta, 2002.

Ginting, Tengteng, Sejarah Kersidenan Sumatera Timur, Bina Insani, Medan, 1973.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Harahap, Usman, Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Biro Humas LPMNN, Medan, 2007.

Ismawan, Indra, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Media Komputindo, Jakarta, 2001.

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Kurniawi, Yani, Mahalnya Mati di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kwong, Edmond, Pentingnya Tanah Pemakaman di Ibukota, Taman Kenangan Lestari, Jakarta, 2003.

Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006.

Marsugindo, Sugondo, Asas Pemungutan Pajak di Indonesia, FE Undip, Semarang, 2005.

Patrick, Jusuf, Pengaturan Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Wawasan, Jakarta, 2007.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

 

Page 115: 10E00027

  115

Prayitno, Erman, Pelayanan Pemakanan di DKI Jakarta Raya, Opini, Jakarta, 12 Juli 2007.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rubianto, Pemekaran Kabupaten Deli Serdang, LP3S, Medan, 2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983.

_______, Pengantar Penelitian Hukum, UI Perss, Jakarta, 1986.

_______, Pokok-Pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, edisi tiga, 1986.

Soemitro, Rochmat, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1974.

Sudibyo, Bambang, Sejarah Pajak Sebagai Pemasukan Negara, Bina Insani, Jakarta, 2005.

Sugiono, Proses Pendirian Yayasan di Indonesia, Bina Insani, Yakarta, 2008.

Suprianoto, Penetapan Pajak, Djambatan, Jakarta, 2002.

Susillo, Tarman, Pentingnya Pajak Untuk Pembangunan, Bina Media, Jakarta, 2005.

Suwiryo, Sugondo Marto, Mahalna Mati di Ibukota, Opini, Jakarta, 2005.

Suyanto, Agus, Prosedur Pendirian Yayasan Bagi Orang Asing, CV. Setia, Jakarta, 2007.

Tamatjita, Sumadi, Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Sinar Mulia, Medan, 2005.

Wantjik, K., Perkembangan Perundang-Undangan (1966-1973), Pustaka Bangsa, Jakarta, 1975.

Widjaja, I.G. Rai, Penetapan Pajak di Indonesia, Dajambatan, Jakarta, 2005.

Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya.

 

Page 116: 10E00027

  116

B. Artikel, Makalah dan Karya Ilmiah

“Antara Ceng Beng dan Jiarah Pekuburan Cina”, Harian Analisa, tanggal 12 Juli 2002.

“Ketika Kerawang Menjadi Lokasi Pekuburan Favorit”, Media Indonesia, 12 Agustus 2003.

“Ketika Undang-Undang Yayasan Menuai Konflik”, Kompas, tanggal 23 April 2002.

“Lippo Karawaci Bangun Pekuburan Mewah”, Kompas, 23 Agustus 2003.

”Pekuburan Mewah Laku Keras”, Kompas,, tanggal 26 Agustus 2005.

”Peluang Bisnis Kuburan”, Harian Media Indonesia, 2 September 2003.

”Peraturan Daerah Kuburan di Deli Serdang Diskriminatif”, Harian Analisa, tanggal 3 Juli 2008.

”Perda Pajak Di Deli Serdang Menuai Protes”, Harian Analisa, Edisi Hari Rabu, Tanggal 23 September 2005.

”Problematika Yayasan Tionghoa di Kalimantan Barat”, Media Indonesia, tanggal 6 April 2002.

”Target Penerimaan Pajak di Indonesia”, Media Indonesia, tanggal 28 April 2001.

Harian Medan Pos, Hari Seni, tanggal 21 Maret 2005.

Harian Waspada, Hari Rabu, tanggal 17 Maret 2005.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

 

Page 117: 10E00027

 

 

117

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penghasilan Pajak dengan Surat Paksa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Uindang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Bea dan Materai.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/ Penghiasan Kuburan