10. nim. 4113120154 chapter ii

31
8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak lahir, manusia telah mulai melakukan kegiatan belajar untuk memenuhi kebutuhan dan sekaligus mengembangkan dirinya. Menurut Smaldino et al. (2011:11) “belajar didefinisikan sebagai perubahan terus menerus dalam kemampuan yang berasal dari pengalaman pemelajar dan interaksi pemelajar dengan dunia”. Rusman (2012:1) berpendapat bahwa belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:18) belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selanjutnya menurut Hamalik (2012:37) “belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan, dimana interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman belajar”. Sedangkan Sardiman (2011:21) berpandangan “belajar merupakan rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan belajar bila seseorang itu mengalami suatu proses yang aktif berinteraksi dengan lingkungan dan mengakibatkan perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2.1.2. Aktivitas Belajar Belajar pada prinsipnya adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Belajar tidak dikatakan belajar kalau tidak ada aktivitas. Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang penting di dalam interaksi belajar dan mengajar. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam proses

Upload: rini-irmanti-buulolo

Post on 04-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Pendidikan Fisika

TRANSCRIPT

8

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Kerangka Teoritis

2.1.1. Pengertian Belajar

Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan

manusia. Sejak lahir, manusia telah mulai melakukan kegiatan belajar untuk

memenuhi kebutuhan dan sekaligus mengembangkan dirinya. Menurut Smaldino

et al. (2011:11) “belajar didefinisikan sebagai perubahan terus menerus dalam

kemampuan yang berasal dari pengalaman pemelajar dan interaksi pemelajar

dengan dunia”. Rusman (2012:1) berpendapat bahwa belajar pada hakikatnya

adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:18) “belajar merupakan proses internal

yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh

mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”.

Selanjutnya menurut Hamalik (2012:37) “belajar adalah suatu proses perubahan

tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan, dimana interaksi inilah

terjadi serangkaian pengalaman belajar”. Sedangkan Sardiman (2011:21)

berpandangan “belajar merupakan rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk

menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut

unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

seseorang dikatakan belajar bila seseorang itu mengalami suatu proses yang aktif

berinteraksi dengan lingkungan dan mengakibatkan perubahan tingkah laku yang

lebih baik dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

2.1.2. Aktivitas Belajar

Belajar pada prinsipnya adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah

laku, jadi melakukan kegiatan. Belajar tidak dikatakan belajar kalau tidak ada

aktivitas. Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang penting di dalam interaksi

belajar dan mengajar. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam proses

9

pembelajaran merupakan salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi

hasil belajar siswa. Menurut Sardiman (2011:100) “aktivitas belajar adalah

aktivitas yang bersifat fisik maupun mental dalam kegiatan belajar”. Sedangkan

Hamalik (2012:90) menyatakan bahwa ”aktivitas belajar adalah kegiatan yang

bersifat jasmani, rohani, dan sosial yang berkaitan dalam proses belajar untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan”. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru

harus menimbulkan aktivitas siswa baik dalam berfikir maupun berbuat.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

aktivitas belajar adalah kegiatan belajar yang bersifat fisik dan mental yang saling

seimbang sehingga mengoptimalkan proses belajar.

Paul B. Dierich (dalam Hamalik, 2012:90) membagi kegiatan belajar

menjadi 8 kelompok yang digolongkan sebagai berikut :

1. Kegiatan-kegiatan visual: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati

eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, atau

bermain.

2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip,

menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran,

mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.

3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan,

mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu

permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.

4. Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa

karangan, bahan-bahan kopi, membuat sketsa, atau rangkuman, mengerjakan

tes, mengisi angket.

5. Kegiatan-kegiatan menggambar: menggambar, membuat grafik, diagram,

peta, pola.

6. Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat,

melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan

(simulasi), menari, berkebun.

10

7. Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah,

menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat

keputusan.

8. Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang, dan

sebagainya.

2.1.3. Hasil Belajar

Hasil belajar menggambarkan kemampuan yang dimiliki siswa baik dalam

aspek kognitif maupun dalam aspek afektif dan psikomotorik. Hasil belajar juga

dikatakan sebagai tingkat penguasaan terhadap sesuatu yang diperoleh di dalam

belajar, sesuatu yang diperoleh itu berbeda-beda, yakni ada yang tinggi, sedang,

dan rendah. Sardiman (2011:3) berpendapat “hasil belajar merupakan hasil dari

suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar”. Dari sisi guru, tindak

mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil

belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Menurut

Sudjana (2009:22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki

siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Munir (2008:146)

menyatakan bahwa perubahan perilaku adalah hasil belajar. Artinya, seseorang

dikatakan telah belajar, jika ia dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat

dilakukan sebelumnya. Hasil belajar pada aspek pengetahuan adalah dari tidak

tahu menjadi tahu, pada aspek sikap dari tidak mau menjadi mau, dan pada aspek

keterampilan dari tidak mampu menjadi mampu.

Berdasarkan beberapa uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa hasil

belajar adalah kemampuan yang diperoleh setelah melalui proses kegiatan belajar

yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu.

Dalam sistem pendidikan nasional menggunakan klasifikasi hasil belajar

dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah,

yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris.

1. Ranah Kognitif

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual. Dalam

psikologi kognitif, pengetahuan dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu

11

pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan

pengetahuan metakognitif. Tabel 2.1. merupakan ringkasan dari empat jenis

pengetahuan pokok dan sub-subjenisnya.

Tabel 2.1. Jenis dan Subjenis Dimensi Pengetahuan

Jenis dan Subjenis Contoh

A. PENGETAHUAN FAKTUAL – Elemen-elemen dasar yang harus diketahui

siswa untuk mempelajari satu disilplin ilmu atau untuk menyelesaikan

masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut.

1. Pengetahuan tentang terminologi

2. Pengetahuan tentang detail-detail

elemen-elemen yang spesifik

Kosakata teknis, simbol-simbol musik

Sumber-sumber daya alam pokok,

sumber-sumber informasi yang reliabel

B. PENGETAHUAN KONSEPTUAL – Hubungan-hubungan antarelemen dalam

sebuah struktur besar yang memungkinkan elemen-elemennya berfungsi secara

bersama-sama.

1. Pengetahuan tentang klasifikasi dan

kategori

2. Pengetahuan tentang prinsip dan

generalisasi

3. Pengetahuan tentang teori, model,

dan struktur

Periode waktu geologis, bentuk

kepemilikan usaha bisnis

Rumus Phytagoras, hukum penawaran

dan permintaan

Teori evolusi, struktur Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR)

C. PENGETAHUAN PROSEDURAL – Bagaimana melakukan sesuatu,

mempraktikkan metode-metode penelitian, dan kriteria-kriteria untuk

menggunakan keterampilan, algoritme, teknik, dan metode.

1. Pengetahuan tentang keterampilan

dalam bidang tertentu dan algoritme

2. Pengetahuan tentang teknik dan

metode dalam bidang tertentu

3. Pengetahuan tentang kriteria untuk

menentukan kapan harus

menggunakan prosedur yang tepat

Keterampilan-keterampilan dalam

melukis dengan cat air, algoritme

pembagian seluruh bilangan

Teknik wawancara, metode ilmiah

Kriteria yang digunakan untuk

menentukan kapan harus menerapkan

prosedur hukum Newton, kriteria yang

digunakan untuk menilai fisibilitas

suatu metode

D. PENGETAHUAN METAKOGNITIF – Pengetahuan tentang kognisi secara

umum dan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisis diri sendiri.

1. Pengetahuan strategis

Pengetahuan tentang skema sebagai alat

untuk mengetahui struktur suatu pokok

bahasan dalam buku teks, pengetahuuan

tentang pengunaan metode penemuan

12

Jenis dan Subjenis Contoh

2. Pengetahuan tentang tugas-tugas

kognitif

3. Pengetahuan diri

atau pemecahan masalah.

Pengetahuan tentang macam-macam tes

yang dibuat guru, pengetahuan tentang

tuntutan beragam tugas kognitif.

Pengetahuan bahwa diri (sendiri) kuat

dalam mengkritisi esai, tetapi lemah

dalam hal menulis esai; kesadaran

tentang tingkat pengetahuan yang

dimiliki oleh diri (sendiri).

Kategori-kategori pada dimensi proses kognitif merupakan

pengklasifikasian proses-proses kognitif siswa secara komprehensif seperti yang

terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Dimensi Proses Kognitif

Kategori dan

Proses Kognitif

Nama-nama

Lain Definisi dan Contoh

1. MENGINGAT - Mengambil pengetahuan dari memori jangka panjang.

1.1. Mengenali

1.2. Mengingat

kembali

Mengidentifikasi

Mengambil

Menempatkan pengetahuan dalam

memori jangka panjang yang sesuai

dengan pengetahuan tersebut.

Mengambil pengetahuan yang relevan

dari memori jangka panjang.

2. MEMAHAMI – Mengkonstruksi makna dari materi pembelajaran, termasuk

apa yang diucapkan, ditulis, dan digambar oleh guru.

2.1. Menafsirkan

2.2. Mencontoh-

kan

2.3. Mengklasifi-

kasikan

2.4. Merangkum

2.5. Menyimpul-

Mengklarifikasi,

Memparafrasakan,

Merepresentasi,

Menerjemahkan

Mengilustrasikan,

Memberi contoh

Mengategorikan,

Mengelompokkan

Mengabstraksi,

Menggeneralisasi

Menyarikan,

Mengubah satu bentuk gambaran jadi

bentuk lain.

Menemukan contoh atau ilusrasi tentang

konsep atau prinsip.

Menentukan sesuatu dalam satu

kategori.

Mengabstrasikan tema umum atau poin-

poin pokok.

Membuat kesimpulan yang logis dari

13

Kategori dan

Proses Kognitif

Nama-nama

Lain Definisi dan Contoh

kan

2.6. Membanding-

kan

2.7. Menjelaskan

Mengekstrapolasi,

Menginterpolasi,

Memprediksi

Mengontraskan,

Memetakan,

Mencocokkan

Membuat model

informasi yang diterima.

Menentukan hubungan antara dua ide,

dua objek, dan semacamnya.

Membuat model sebab-akibat dalam

sebuah sistem.

3. MENGAPLIKASIKAN – Menerapkan atau menggunakan suatu prosedur

dalam keadaan tertentu.

3.1. Mengekseku-

si

3.2. Mengimple-

mentasikan

Melaksanakan

Menggunakan

Menerapkan suatu prosedur pada tugas

yang familier.

Menerapkan suatu prosedur pada tugas

yang tidak familier.

4. MENGANALISIS – Memecah-mecah materi jadi bagian-bagian penyusunnya

dan menentukan hubungan-hubungan antarbagian itu dan hubungan antara

bagian-bagian tersebut dan keseluruhan struktur atau tujuan.

4.1. Membedakan

4.2. Mengorgani-

sasi

4.3. Mengatribusi-

kan

Menyendirikan,

Memilah,

Memfokuskan,

Memilih

Menemukan

koherensi,

Memadukan,

Membuat garis

besar,

Mendeskripsikan

peran,

Menstrukturkan

Mendekonstruksi

Membedakan bagian materi pelajaran

yang relevan dari yang tidak relevan,

bagian yang penting dari yang tidak

penting.

Menentukan bagaimana elemen-elemen

bekerja atau berfungsi dalam sebuah

struktur.

Menentukan sudut pandang, bias, nilai,

atau maksud dibalik materi pelajaran.

5. MENGEVALUASI – Mengambil keputusan berdasarkan kriteria dan/atau

standar.

5.1. Memeriksa

Mengoordinasi,

Mendeteksi,

Memonitor,

Menemukan inkonsistensi atau

kesalahan dalam suatu proses atau

produk; menentukan apakah suatu

14

Kategori dan

Proses Kognitif

Nama-nama

Lain Definisi dan Contoh

5.2. Mengkritik

Menguji,

Menilai

proses atau produk memiliki konsistensi

internal; menemukan efektivitas suatu

prosedur yang sedang dipraktikkan.

Menemukan inkonsistensi antara suatu

produk dan kriteria eksternal;

menentukan apakah suatu produk

memliki konsistensi eksternal;

menemukan ketepatan suatu prosedur

untuk menyelesaikan masalah.

6. MENCIPTA – Memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang

baru dan koheren atau untuk membuat suatu produk yang orisinal.

6.1. Merumuskan

6.2. Merencana-

kan

6.3. Memproduk-

si

Membuat

hipotesis

Mendesain

Mengkonstruksi

Membuat hipotesis-hipotesis

berdasarkan kriteria.

Merencanakan prosedur untuk

menyelesaikan suatu tugas.

Menciptakan suatu produk.

2. Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Tipe hasil belajar afektif

tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap

pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas,

kebiasaan belajar, dan hubungan sosial.

3. Ranah Psikomotoris

Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan dan

kemampuan bertindak individu. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni

gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,

keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan

ekspresif dan interpretatif.

15

2.1.4. Model Pembelajaran

Model pembelajaran merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Menurut Joyce et al. (2011:30)

“model pembelajaran adalah gambaran suatu lingkungan pembelajaran yang

menjangkau segala bidang pendidikan, mulai dari materi perencanaan dan

kurikulum hingga materi perancangan instruksional, termasuk program-program

multimedia”. Trianto (2011:51) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah

suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam

merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Sedangkan

menurut Arends (2008:259) “model pembelajaran mencakup pendekatan

pengajaran secara keseluruhan, yang luas, dan bukan strategi atau teknik tertentu”.

Model pembelajaran berfungsi sebagai alat komunikasi yang penting bagi guru.

Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru memilih

model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan

pendidikannya.

Berdasarkan beberapa pengertian model pembelajaran di atas, maka model

pembelajaran dapat dipandang sebagai pola yang mendeskripsikan dan

melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pembelajaran

untuk mencapai tujuan belajar dan sebagai pedoman guru dalam melaksanakan

pembelajaran.

Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.

2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.

3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.

4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah

pembelajaran (sintaks); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) sistem sosial;

dan (4) sistem pendukung.

5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak

tersebut memiliki: (1) dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat

diukur; (2) dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.

16

6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model

pembelajaran yang dipilihnya.

2.1.5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Menurut Rusman (2012:229) “pembelajaran berbasis masalah adalah salah

satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya

keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam

memecahkan masalah. Kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan

melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat

memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan

berpikirnya secara berkesinambungan. Dalam model PBM sebuah masalah yang

dikemukakan kepada siswa harus dapat membangkitkan pemahaman siswa

terhadap masalah, sebuah kesadaran akan adanya kesenjangan, pengetahuan,

keinginan memecahkan masalah, dan adanya persepsi bahwa mereka mampu

memecahkan masalah tersebut.

Dalam merancang situasi bemasalah yang tepat, Arends (2008:52)

menyatakan bahwa sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima

kriteria penting. Pertama, situasi itu mestinya autentik. Hal ini berarti bahwa

masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan dengan

prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Kedua, masalah itu mestinya tidak jelas

sehingga menciptakan misteri atau teka-teki. Masalah yang tidak jelas tidak dapat

diselesaikan dengan jawaban yang sederhana dan membuktikan solusi-solusi

alternatif, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tentu saja, hal

ini memberikan kesempatan untuk berdialog dan berdebat. Ketiga, masalah itu

seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan

intelektualnya. Keempat, masalah itu mestinya cukup luas sehingga memberikan

kesempatan kepada guru untuk memenuhi tujuan instruksionalnya, tetapi tetap

dalam batas-batas fisibel bagi pelajarannya dilihat dari segi waktu, ruang, dan

keterbatasan sumber daya. Kelima, masalah yang baik harus mendapatkan

manfaat dari usaha kelompok, bukan justru dihalanginya.

17

Lingkungan belajar yang harus disiapkan dalam model PBM adalah

lingkungan belajar yang terbuka, menggunakan proses demokrasi, dan

menekankan pada peran aktif siswa. Seluruh proses membantu siswa untuk

menjadi mandiri dan otonom yang percaya pada keterampilan intelektual mereka

sendiri. Lingkungan belajar menekankan pada peran sentral siswa bukan pada

guru. Guru hanya menjadi pembimbing sekaligus tutor bagi para siswa dalam

memecahkan masalah yang diangkat.

2.1.5.1. Teori Belajar yang Mendukung Model PBM

Teori belajar yang mendukung model pembelajaran berbasis masalah

adalah teori belajar Dewey tentang kelas berorientasi masalah; teori belajar

konstruktivisme Piaget dan Vygotsky; serta teori belajar penemuan menurut

Bruner (Arends, 2008:46). Menurut Dewey, sekolah seharusnya menjadi

laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Guru

harus melibatkan siswa di berbagai proyek berorientsi masalah dan membantu

mereka menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting.

Teori belajar konstruktivisme menekankan pada kebutuhan pelajar untuk

menginvestigasi lingkungannya dan mengkonstruksikan secara pribadi

pengetahuan bermakna yang merupakan dasar teoretis untuk PBM. Menurut

Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan pelajar secara aktif dalam proses

mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri.

Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama

pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka

untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.

Menurut Vygotsky, intelek berkembang ketika individu menghadapi pengalaman

baru dan menantang dan ketika mereka berusaha mengatasi masalah yang

ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman ini. Dalam usaha menemukan

pemahaman ini, individu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan

sebelumnya dan mengkonstruksikan makna baru. Vygotsky percaya bahwa

interaksi sosial dengan orang lain memacu terbentuknya ide-ide baru dan

meningkatkan perkembangan intelektual pelajar.

18

Menurut Bruner, belajar penemuan menekankan pentingnya keterlibatan

aktif siswa dalam proses belajar dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi

melalui penemuan pribadi, menemukan ide-idenya sendiri dan mengambil

maknanya sendiri. Konsep lain yang berasal dari Bruner, yakni idenya tentang

scaffolding. Scaffolding adalah proses bagi seorang pelajar yang dibantu guru atau

orang yang lebih mampu untuk mengatasi masalah atau menguasai keterampilan

yang sedikit di atas tingkat perkembangannya saat ini.

2.1.5.2. Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Karakteristik model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai

berikut:

a. permasalahan menjadi starting point dalam belajar;

b. permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata

yang tidak terstruktur;

c. permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective);

d. permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan

kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan

bidang baru dalam belajar;

e. belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;

f. pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan

evaluasi sumber informasi merupakan proses esensial dalam PBM;

g. belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif;

h. pengembangan keterampilan inquiry dalam pemecahan masalah sama

pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari

sebuah permasalahan;

i. keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah

proses belajar; dan

j. PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.

19

2.1.5.3. Manfaat Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Manfaat model pembelajaran berbasis masalah bagi pemelajar dijelaskan

oleh Amir (2010:27) adalah sebagai berikut:

1. Menjadi lebih ingat dan meningkatkan pemahaman pemelajar atas materi

ajar.

Kalau pengetahuan itu didapatkan lebih dekat dengan konteks praktiknya,

maka pemelajar akan lebih ingat. Dengan konteks yang dekat, dan sekaligus

melakukan deep learning (karena banyak mengajukan pertanyaan

menyelidik) bukan surface learning (yang sekadar hafal saja), maka

pemelajar akan lebih memahami materi.

2. Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan.

Dengan kemampuan pendidik membangun masalah yang sarat dengan

konteks praktik, pemelajar bisa merasakan lebih baik konteks operasinya di

lapangan.

3. Mendorong untuk berpikir.

Pemelajar dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, mencoba

menemukan landasan atas argumennya dan fakta-fakta yang mendukung

alasan. Pemelajar dilatih untuk bernalar dan ditingkatkan kemampuan

berpikirnya. Tidak sekadar tahu, tapi juga dipikirkan.

4. Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial.

Pemelajar diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima

pandangan orang lain, bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang

yang barangkali tidak mereka senangi.

5. Membangun kecakapan belajar

Pemelajar perlu dibiasakan untuk mampu belajar terus-menerus. Ilmu,

keterampilan yang mereka butuhkan nanti akan terus berkembang, apa pun

bidang pekerjaannya. Jadi mereka harus mengembangkan bagaimana

kemampuan untuk belajar (learn how to learn).

20

6. Memotivasi pemelajar

Dengan PBM, pendidik punya peluang untuk membangkitkan minat dari

dalam diri pemelajar, karena pendidik menciptakan masalah dengan konteks

yang nyata.

2.1.5.4. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Arends (2008:57) mengemukakan bahwa langkah-langkah model

pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.

Tabel 2.3. Sintaksis untuk Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Fase Perilaku Guru

Fase 1

Memberikan orientasi tentang

permasalahannya kepada siswa

Membahas tujuan pelajaran,

mendeskripsikan berbagai kebutuhan

logistik penting, dan memotivasi siswa

untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi

masalah

Fase 2

Mengorganisasikan siswa untuk

meneliti

Membantu siswa untuk mendefinisikan

dan mengorganisasikan tugas-tugas

belajar yang terkait dengan

permasalahannya

Fase 3

Membantu investigasi mandiri dan

kelompok

Mendorong siswa untuk mendapatkan

informasi yang tepat, melaksanakan

eksperimen, dan mencari penjelasan

dan solusi

Fase 4

Mengembangkan dan

mempresentasikan artefak dan exhibit

Membantu siswa dalam merencanakan

dan menyiapkan artefak-artefak yang

tepat, seperti laporan, rekaman video,

dan model-model, dan membantu

mereka untuk menyampaikan kepada

orang lain

21

Fase Perilaku Guru

Fase 5

Menganalisis dan mengevaluasi proses

mengatasi masalah

Membantu siswa untuk melakukan

refleksi terhadap investigasinya dan

proses-proses yang mereka gunakan

2.1.5.5. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Menurut Sanjaya (2011:220) model pembelajaran berbasis masalah

memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran berbasis

masalah adalah:

1) Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami pelajaran

2) Dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk

menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

3) Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.

4) Dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk

memahami masalah dalam kehidupan nyata.

5) Dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan

bertanggung jawab dalam pembelajaran yang dilakukan. Di samping itu juga,

dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil

maupun proses belajarnya.

6) Bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa mata pelajaran (matematika, IPA,

sejarah, dan sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu

yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau

dari buku-buku saja.

7) Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.

8) Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan

mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan

pengetahuan baru.

9) Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan

pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

10) Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar

sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.

22

Selain kelebihan tersebut, model pembelajaran berbasis masalah juga

memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan

bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa merasa

enggan untuk mencoba.

2) Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan cukup

waktu persiapan.

3) Tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha untuk memecahkan masalah

yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin

dipelajari.

4) Sulit menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan

tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya, serta pengetahuan dan

pengalaman yang telah dimiliki siswa.

2.1.5.6. Hasil dari Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Menurut Arends (2008:43) model PBM, seperti yang diilustrasikan dalam

Gambar 2.1., dirancang terutama untuk membantu siswa mengembangkan

keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

intelektualnya; mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya

melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan; dan menjadi pelajar

yang mandiri dan otonom.

Gambar 2.1. Hasil yang diperoleh pelajar dari model PBM

Model

Pembelajaran

Berbasis Malasah

Keterampilan penyelidikan

dan keterampilan

mengatasi masalah

Perilaku dan

keterampilan sosial

sesuai peran dewasa Keterampilan untuk

belajar secara

mandiri

23

2.1.6. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran yang biasa dipakai guru pada umumnya adalah

pembelajaran konvensional yang meliputi: metode ceramah, tanya jawab, dan

penugasan. Meski metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada anak

didik, tetapi metode ini tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan

pengajaran (Djamarah dan Zain, 2010:97).

Metode ceramah adalah cara menyajikan pelajaran yang dilakukan guru

dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa.

Metode tanya jawab dapat diartikan sebagai cara penyajian pelajaran dalam

bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa,

tetapi dapat pula dari siswa kepada guru.

Metode penugasan adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan

tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.

Kelebihan pembelajaran konvensional adalah:

1) Guru mudah menguasai kelas.

2) Mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas.

3) Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar.

4) Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya.

5) Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik.

Kelemahan pembelajaran konvensional adalah:

1. Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).

2. Yang visual menjadi rugi, yang auditif (mendengar) yang besar menerimanya.

3. Bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan.

4. Guru menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramahnya, ini

sukar sekali.

5. Menyebabkan siswa menjadi pasif.

2.1.7. Media Pembelajaran

Media pembelajaran adalah media yang membawa pesan-pesan atau

informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud

24

pengajaran (Arsyad, 2009:4). Salah satu fungsi utama media pembelajaran adalah

sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan

lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Penggunaan media yang

tepat guna dapat meningkatkan minat siswa dalam proses belajar mengajar dan

siswa akan lebih cepat dan mudah memahami dan mengerti terhadap materi

pelajaran yang disampaikan guru.

Manfaat praktis dari penggunaan media pembelajaran di dalam proses

belajar mengajar adalah sebagai berikut:

1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi

sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar.

2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak

sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung

antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar

sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.

3) Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu;

a. objek atau benda yang terlalu besar untuk ditampikan langsung di ruang

kelas dapat diganti dengan gambar, foto, slide, realita, film, radio, atau

model;

b. objek atau benda yang terlalu kecil yang tidak tampak oleh indera dapat

disajikan dengan bantuan mikroskop, film, slide, atau gambar;

c. kejadian langka yang terjadi di masa lalu atau terjadi sekali dalam puluhan

tahun dapat ditampilkan melalui rekaman video, film, foto, slide di

samping verbal;

d. objek atau proses yang amat rumit seperti peredaran darah dapat

ditampilkan secara konkret melalui film, gambar, slide, atau simulasi

komputer;

e. kejadian atau percobaan yang dapat membahayakan dapat disimulasikan

dengan media seperti komputer, film, dan video;

f. peristiwa alam seperti terjadinya letusan gunung berapi atau proses yang

dalam kenyataan memakan waktu lama seperti proses kepompong menjadi

25

kupu-kupu dapat disajikan dengan teknik-teknik rekaman seperti time-

lapse untuk film, video, slide, atau simulasi komputer.

4) Media pemebelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa

tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan

terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya.

2.1.7.1. Animasi

Animasi menggambarkan objek yang bergerak agar kelihatan hidup.

Animasi dibuat dari serangkaian foto, gambar, atau gambar komputer dari

pemindahan-pemindahan kecil dari benda atau gambar. Jika sebuah benda

ditampilkan pada sebuah bingkai tunggal, kemudian ditampilkan kembali,

dipindahkan lagi, ditampilkan lagi, dan seterusnya, benda tersebut saat dilihat

akan terlihat seolah-olah benda itu telah terus-menerus berpindah-pindah tempat

(Smaldino et al., 2011:408).

Dengan perkembangan peranti lunak komputer yang terus-menerus yang

bisa merekayasa gambar visual, maka dapat menciptakan seni animasi melalui

video. Urutan animasi yang dibuat komputer sekarang ini terus dan terus

digunakan dalam program pengajaran untuk menggambarkan proses yang

kompleks atau cepat dalam bentuk yang disederhanakan. Animasi dapat

memaksimalkan efek visual dan memberikan interaksi berkelanjutan sehingga

pemahaman bahan ajar meningkat.

2.1.8. Suhu dan Kalor

2.1.8.1. Suhu

Dalam kehidupan sehari-hari, suhu merupakan ukuran mengenai panas

atau dinginnya suatu zat atau benda. Oven yang panas dikatakan bersuhu tinggi,

sedangkan es yang membeku dikatakan memiliki suhu rendah. Suhu dapat

mengubah sifat zat, contohnya sebagian besar zat akan memuai ketika dipanaskan.

Alat yang dirancang untuk mengukur suhu suatu zat disebut termometer.

Ada beberapa jenis termometer dengan menggunakan konsep perubahan-

perubahan sifat karena pemanasan. Pada termometer raksa dan termometer

26

alkohol menggunakan sifat perubahan volume karena pemanasan. Ada beberapa

termometer yang menggunakan sifat perubahan volume karena pemanasan, antara

lain: Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Masing-masing termometer

tersebut mempunyai ketentuan-ketentuan tertentu dalam menetapkan nilai titik

didih air dan titik beku air pada tekanan 1 atm, seperti terlihat pada gambar 2.2.

Sumber: Widodo, 2009

Gambar 2.2. Beberapa macam termometer

2.1.8.2. Pemuaian

Pemuaian adalah bertambah besarnya ukuran suatu benda karena benda

tersebut dipanaskan. Besarnya pemuaian benda tergantung pada ukuran benda

semula, kenaikan suhu, dan jenis benda.

a. Pemuaian Zat Padat

Jika suatu benda padat dipanaskan, benda tersebut akan memuai ke segala

arah. Dengan kata lain ukuran panjang, luas, dan volume benda bertambah.

1. Pemuaian Panjang

Bila benda padat yang panjang tetapi luas penampangnya kecil

dipanaskan, misalnya jarum rajut, terjadi pemuaian dalam arah memanjang atau

kata lain mengalami pemuaian panjang.

Besarnya pertambahan panjang dapat dituliskan dalam suatu persamaan:

Tll 0 …….. (2.1)

Dimana: l = pertambahan panjang (m)

27

T = perubahan suhu (Co)

0l = panjang mula-mula (m)

= koefisien muai panjang (/Co)

Jika sebuah batang memiliki panjang mula-mula 0l dipanaskan hingga

suhunya T dan panjangnya menjadi Tl maka:

TllT 10 …….. (2.2)

2. Pemuaian Luas

Bila benda padat berbentuk persegi panjang dipanaskan, terjadi pemuaian

dalam arah memanjang dan arah melebar atau kata lain mengalami pemuaian luas.

Besarnya pertambahan luas dapat dituliskan dalam suatu persamaan:

TAA 2 0 …….. (2.3)

Jika β = 2α, maka:

TAA 0 …….. (2.4)

Dimana: A = pertambahan luas (m2)

T = perubahan suhu (Co)

0A = luas mula-mula (m2)

= koefisien muai luas (/Co)

Jika sebuah benda memiliki luas mula-mula 0A dipanaskan hingga suhunya

bertambah T maka ukuranya menjadi:

TAAT 10 …….. (2.5)

3. Pemuaian Volume

Bila benda padat berbentuk balok dipanaskan, akan terjadi pemuaian dalam arah

memanjang, melebar, dan meninggi atau kata lain mengalami pemuaian volume.

Besarnya pertambahan volume dapat dituliskan dalam suatu persamaan:

TVV 3 0 …….. (2.6)

Jika γ = 3α, maka:

TVV 0 …….. (2.7)

Dimana: V = pertambahan volume (m3)

T = perubahan suhu (Co)

28

0V = volume mula-mula (m3)

= koefisien muai luas (/Co)

Jika sebuah balok memiliki volume mula-mula 0V dipanaskan hingga

suhunya bertambah T maka ukuranya menjadi:

TVVT 10 …….. (2.8)

b. Pemuaian Zat Cair

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada umumnya

setiap zat memuai jika dipanaskan, kecuali air jika dipanaskan dari 0oC sampai

4oC, akan menyusut. Sifat keanehan air seperti itu disebut anomali air. Grafik

anomali air seperti terlihat pada gambar 2.3. berikut.

Keterangan:

Pada suhu 4oC diperoleh:

a) volume air terkecil

b) massa jenis air terbesar.

Sumber: Widodo, 2009

Gambar 2.3. Grafik anomali air

Karena pada zat cair hanya mengalami pemuaian volume, maka pada

pemuaian zat cair hanya diperoleh persamaan :

TVV 0 …….. (2.9)

TVVT 10 ..….. (2.10)

c. Pemuaian Gas

Keadaan gas biasanya dicirikan oleh tiga besaran: tekanan (P), volume

(V), dan suhu (T). Pada saat tekanan gas dibuat tetap, ketika suhu gas dinaikkan

maka gas akan memuai (volumenya bertambah). Volume gas sebanding suhunya

(dalam Kelvin), makin tinggi suhunya makin besar volumenya. Ini dikenal dengan

Hukum Charles, dan ditulis:

29

2

2

1

1

T

V

T

V ……. (2.11)

dengan V1 dan T1 menyatakan volume dan suhu mula-mula sedangkan V2

menyatakan volume gas setelah suhunya diubah menjadi T2.

Jika volume gas dipertahankan tetap maka ketika gas dipanaskan, gas akan

memuai namun karena volumenya dipertahankan tetap maka gas yang memuai ini

akan memberi tekanan yang lebih besar sehingga tekanan gas akan bertambah.

Tekanan gas sebanding dengan suhu gas (dalam Kelvin). Ini dikenal dengan

Hukum Boyle, dan ditulis:

2

2

1

1

T

P

T

P …….. (2.12)

Dengan P1 dan T1 menyatakan tekanan dan suhu mula-mula sedangkan P2

menyatakan volume gas setelah suhunya diubah menjadi T2.

Kedua persamaan di atas dapat digabungkan menjadi suatu persamaan

yang dinamakan persamaan Boyle-Gay Lussac.

2

22

1

11

T

VP

T

VP …….. (2.13)

Salah satu dari aplikasi pemuaian gas adalah balon udara. Dengan

memanaskan udara di dalam sebuah balon udara, dan dengan demikian

menaikkan temperatur udara, memaksa sejumlah udara untuk lepas (Hukum

Charles). Dengan demikian kerapatan udara (massa per satuan volume) di dalam

balon berkurang dan balon dapat “mengapung” ke atas.

2.1.8.3. Kalor

Kalor merupakan salah satu bentuk energi yang dapat berpindah dari

benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah jika kedua benda

tersebut saling disentuhkan. Satuan kalor sama dengan satuan energi, yaitu joule.

Kadang-kadang satuan kalor menggunakan kalori atau kilokalori. Kesetaraan

kalori dengan joule adalah

atau

1 kalori = 4,18 joule 1 joule = 0,24 kalori

30

a. Pengaruh Kalor terhadap Suhu

Sumber: Widodo, 2009

Gambar 2.4. Pengaruh kalor terhadap suhu benda

Dari gambar 2.4. terlihat bahwa jika satu gelas air panas dicampur dengan

satu gelas air dingin, setelah terjadi keseimbangan termal menjadi air hangat. Hal

tersebut dapat terjadi karena pada saat air panas dicampur dengan air dingin maka

air panas melepaskan kalor sehingga suhunya turun dan air dingin menyerap kalor

sehingga suhunya naik.

b. Kalor Jenis dan Kapasitas Kalor

Kalor jenis suatu zat didefinisikan sebagai banyaknya kalor yang

diperlukan atau dilepaskan untuk menaikkan atau menurunkan suhu satu satuan

massa zat itu sebesar satu satuan suhu. Jika suatu zat yang massanya m

memerlukan atau melepaskan kalor sebesar Q untuk mengubah suhunya sebesar

ΔT, maka kalor jenis zat itu dapat dinyatakan dengan persamaan:

𝑐 = 𝑄

𝑚 . ΔT 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑄 = 𝑚 . 𝑐 .𝛥𝑇 …….. (2.14)

Satuan dalam S.I.:

c = dalam J/Kg.K

Q = dalam joule

m = dalam Kg

ΔT = dalam Kelvin

31

Data pada tabel 2.4. berikut menyatakan nilai kalor jenis dari beberapa zat.

Tabel 2.4. Kalor Jenis Beberapa Zat dalam J/Kg.K

Zat Kalor jenis Zat Kalor jenis

Air

Air laut

Aluminium

Besi

Es

Kaca

4.180

3.900

903

450

2.060

670

Kuningan

Raksa

Seng

Spiritus

Tembaga

Timbal

376

140

388

240

385

130

Kapasitas kalor didefinisikan sebagai banyaknya kalor yang diperlukan

atau dilepaskan untuk mengubah suhu benda sebesar satu satuan suhu.

Persamaan kapasitas kalor dapat dinyatakan dengan:

𝐶 = 𝑄

ΔT atau Q = C . ΔT …….. (2.15)

Satuan dari C adalah J/K

Dari persamaan: 𝑄 = 𝑚 . 𝑐 .𝛥𝑇 dan Q = C . ΔT

diperoleh: cmC . …….. (2.16)

2.1.8.4. Perubahan Wujud Zat

Wujud zat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu zat padat, zat cair dan

zat gas. Wujud suatu zat dapat berubah dari wujud zat yang satu menjadi wujud

yang lain. Perubahan wujud dapat disebabkan karena pengaruh kalor.

Perubahan wujud zat selain karena penyerapan kalor, dapat juga karena

pelepasan kalor. Setiap terjadi perubahan wujud terdapat nama-nama tertentu.

Berikut adalah skema perubahan wujud zat beserta nama perubahan wujud zat

tersebut.

32

Sumber: Widodo, 2009

Gambar 2.5. Skema perubahan wujud zat

Pada saat zat mengalami perubahan wujud, suhu zat tersebut tetap,

sehingga selama terjadi perubahan wujud zat seakan-akan kalor tersebut disimpan.

Kalor yang tersimpan tersebut disebut kalor laten, yang diberi lambang "L".

Banyaknya kalor yang diserap atau dilepaskan selama terjadi perubahan

wujud dapat dinyatakan dengan persamaan:

LmQ . …….. (2.17)

Dimana: Q = banyak kalor yang diserap atau dilepaskan (J)

m = massa zat yang mengalami perubahan wujud (kg)

L = kalor laten (J/kg)

2.1.8.5. Asas Black

Bila dua zat yang suhunya tidak sama dicampur maka zat yang bersuhu

tinggi akan melepaskan kalor sehingga suhunya turun dan zat yang bersuhu

rendah akan menyerap kalor sehingga suhunya naik sampai terjadi kesetimbangan

termal. Karena kalor merupakan suatu energi maka berdasarkan hukum kekekalan

energi diperoleh kalor yang dilepaskan sama dengan kalor yang diserap. Konsep

tersebut sering disebut dengan Asas Black, yang secara matematis dapat

dinyatakan:

Qlepas = Qserap …….. (2.18)

33

2.1.8.6. Perpindahan Kalor

Proses perpindahan kalor dapat terjadi dengan 3 cara, yaitu secara

konduksi, konveksi, dan radiasi.

1) Konduksi

Konduksi adalah proses perpindahan kalor melalui zat perantara, tanpa

disertai dengan perpindahan partikel-partikel zat tersebut.

Sumber: Widodo, 2009

Gambar 2.6. Perpindahan kalor secara konduksi

Dari gambar 2.6. tersebut jika ujung batang logam dipanaskan dengan api,

ternyata ujung logam yang kita pegang akhirnya menjadi panas. Hal tersebut

membuktikan adanya perpindahan kalor dari ujung batang logam yang dipanaskan

ke ujung batang yang kita pegang.

Secara matematis laju perpindahan kalor dapat dinyatakan sebagai berikut.

d

TkA

t

QH

…….. (2.19)

Dengan: H = laju perpindahan kalor (J/s)

Q = kalor yang dipindahkan secara konduksi (J)

t = lama energi termal dikonduksikan lewat batang penghantar (s)

A = luas permukaan batang penghantar (m2)

d = panjang batang penghantar (m)

T = beda suhu pada ujung-ujung batang penghantar (K)

k = konduktivitas termal (J/m.s.K)

Ada zat yang daya hantar panasnya baik, ada pula zat yang daya hantar

panasnya buruk. Berdasarkan daya hantar panasnya maka zat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu konduktor dan isolator.

34

1. Konduktor (zat yang dapat menghantarkan panas dengan baik), antara lain:

tembaga, aluminium, besi, dan baja.

2. Isolator (zat yang kurang baik menghantarkan panas), antara lain: kaca,

karet, kayu, dan plastik.

2) Konveksi

Konveksi adalah proses perpindahan kalor melalui suatu zat yang disertai

dengan perpindahan partikel-partikel zat tersebut. Konveksi hanya terjadi pada zat

yang dapat mengalir, yaitu zat cair dan zat gas.

Ada dua jenis konveksi, yaitu:

1. Konveksi alamiah

Pada konveksi alamiah, perpindahan molekul terjadi secara alamiah

berdasarkan perbedaan massa jenis.

2. Konveksi paksaan

Pada konveksi paksaan, fluida (cairan atau gas) yang telah dipanasi diarahkan

ke tujuannya.

Banyaknya kalor yang merambat tiap satuan waktu secara konveksi dapat

dinyatakan dengan persamaan:

ThAt

QH

…….. (2.20)

Dengan: H = laju perpindahan kalor atau banyak kalor per satuan waktu (J/s)

Q = jumlah kalor yang dipindahkan (J)

t = waktu terjadi aliran kalor (s)

A = luas permukaan benda yang bersentuhan dengan fluida (m2)

T = beda suhu antara benda dengan fluida (K)

h = koefisien konveksi (J/s.m2.K)

3) Radiasi

Antara bumi dengan matahari terdapat ruang hampa yang tidak

memungkinkan terjadinya konduksi dan konveksi. Akan tetapi panas matahari

dapat kita rasakan. Dalam hal ini kalor tidak mungkin berpindah dengan cara

konduksi ataupun konveksi. Perpindahan kalor dari matahari ke bumi terjadi lewat

35

radiasi (pancaran). Jadi, radiasi adalah perpindahan kalor tanpa zat perantara

dalam bentuk gelombang elektromagnetik.

Banyaknya kalor yang dipancarkan tiap satuan luas, tiap satuan waktu

dapat dinyatakan dengan :

4TeA

PW …….. (2.21)

Dengan: W = energi kalor tiap satuan luas tiap satuan waktu (W/m2)

A = luas permukaan bidang (m2)

P = daya yang dipancarkan atau diserap oleh benda (W)

e = emisivitas, besarnya tergantung sifat permukaan benda

= konstanta Stefan-Boltzman = 5,67 x 10-8

W/m2 K

4

T = suhu mutlak (K)

2.1.9. Penelitian yang Relevan

Berikut ini adalah penelitian-penelitian yang telah dilakukan lebih dahulu

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah :

Tabel 2.5. Penelitian yang Relevan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

No. Nama

Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian

1. Gilang Candra

Setiawan,

Tjiptaning

Suprihati, dan

Sri Astutik

2012 Penerapan Model

Pembelajaran

Problem Based

Learning (PBL)

disertai Media

Komputer

Makromedia

Flash

Hasil belajar fisika siswa

pada kelas eksperimen

dengan menggunakan

model PBL disertai media

komputer makromedia

flash lebih baik dari kelas

kontrol dengan

menggunakan model

pembelajaran

konvensional, hal ini

terbukti dari hasil belajar

rata-rata siswa kelas

eksperimen yaitu 73,77

sedangkan kelas kontrol

yaitu 62,76.

36

No. Nama

Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian

2. I. Kd. Urip

Astika, I. K.

Suma, dan I.

W. Suastra

2013 Pengaruh Model

Pembelajaran

Berbasis Masalah

terhadap Sikap

Ilmiah dan

Keterampilan

Berpikir Kritis

Sikap ilmiah pada siswa

yang belajar dengan

pembelajaran berbasis

masalah memiliki mean

sebesar 86,48 lebih besar

dibandingkan dengan

pembelajaran ekspositori

memiliki mean sebesar

82,62.

Keterampilan berpikir

kritis pada siswa yang

belajar dengan

pembelajaran berbasis

masalah dengan mean

87,65 lebih besar

dibandingkan dengan

pembelajaran ekspositori

dengan mean 78,25.

3. I.M. Dwi, H.

Arif, dan K.

Sentot

2013 Pengaruh Strategi

Problem Based

Learning

Berbasis ICT

terhadap

Pemahaman

Konsep dan

Kemampuan

Pemecahan

Masalah Fisika

Strategi PBL berbasis ICT

memberikan rerata nilai

pemahaman konsep

sebesar 81,27 lebih tinggi

dibandingkan dengan

strategi PBL sebesar

71,51.

Strategi PBL berbasis ICT

memberikan rerata nilai

kemampuan pemecahan

masalah sebesar 76,71

lebih tinggi dibandingkan

dengan strategi PBL

sebesar 59,62.

4. Suhanda,

Asmendri, dan

Kuntum

Khaira

2014 Penerapan Model

Pembelajaran

Berbasis Masalah

dan Tutor Teman

Sebaya terhadap

Hasil Belajar

Fisika Kelas VII

MTSN Kota

Solok

Rata-rata tes hasil belajar

kelas eksperimen adalah

75,13 sedangkan kelas

kontrol 66,19. Hasil

belajar fisika siswa dengan

menggunakan model

pembelajaran berbasis

masalah dan metode tutor

teman sebaya lebih baik

dari hasil belajar fisika

siswa dengan

37

No. Nama

Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian

menggunakan model

pembelajaran

konvensional.

5. Stepanus

Sahala dan

Abdus Samad

2010 Penerapan Model

Pembelajaran

Berbasis Masalah

dalam Pembiasan

Cahaya pada

Lensa terhadap

Hasil Belajar

Siswa di Kelas

VIII SMP Negeri

5 Ketapang

Rata-rata hasil belajar

siswa pada materi

pembiasan cahaya pada

lensa yang diajarkan

dengan pembelajaran

berbasis masalah sebesar

26,75 lebih tinggi

dibandingkan dengan

kelompok siswa yang

diajarkan dengan

pembelajaran

konvensional sebesar

20,65.

2.2. Kerangka Konseptual

Masalah pembelajaran fisika yang terjadi di sekolah adalah permasalahan

pola pengajaran yang digunakan oleh guru. Pola pengajaran fisika yang sering

diterapkan di sekolah adalah kebanyakan menggunakan pembelajaran

konvensional. Pembelajaran konvensional menjadikan siswa sebagai objek dan

guru sebagai subjek pembelajaran. Pola pengajaran yang kurang sesuai tersebut

menyebabkan banyak siswa yang menganggap belajar adalah aktivitas yang tidak

menyenangkan sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat pemahaman dan

penguasaan siswa terhadap konsep-konsep pelajaran fisika. Beban belajar tersebut

menyebabkan hasil belajar fisika siswa menjadi rendah.

Permasalahan di atas perlu diupayakan pemecahannya dengan

menggunakan model pembelajaran yang melibatkan dan melatih siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuan. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah

model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran berbasis masalah

merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai

suatu konteks bagi siswa untuk dilatih berpikir kritis dan terampil dalam

pemecahan masalah sehingga memperoleh dan menguasai konsep materi ajar

38

yang sebenarnya. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, siswa dituntut

terlibat aktif dalam mengikuti proses pembelajaran melalui diskusi kelompok.

Belajar secara kooperatif atau berkelompok dimaksudkan agar para siswa dapat

saling bertukar informasi dan mendapatkan ide-ide baru.

Penyampaian materi pelajaran disertai dengan menggunakan media animasi

ditujukan agar siswa lebih tertarik dalam memahami materi ajar sehingga dapat

meningkatkan minat dan daya ingat siswa. Jadi, diharapkan model pembelajaran

berbasis masalah menggunakan animasi dapat meningkatkan hasil belajar dan

keaktifan siswa dalam belajar fisika.

Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti akan memberikan pretes kepada

kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kesamaan kemampuan awal

kedua kelas. Hasil pretes yang diperoleh kemudian dianalisis dengan

menggunakan uji t dua pihak, dalam hal ini kemampuan awal kedua kelas harus

sama. Selanjutnya pada kelas eksperimen diberi perlakuan dengan model

pembelajaran berbasis masalah menggunakan animasi dan pada kelas kontrol

diberi perlakuan dengan pembelajaran konvensional. Kemudian kedua kelas

diberikan postes dan hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t

satu pihak. Jika hasil belajar pada kelas eksperimen lebih baik daripada hasil

belajar pada kelas kontrol, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran

berbasis masalah menggunakan animasi dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

2.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah:

Ada pengaruh model pembelajaran berbasis masalah menggunakan animasi

terhadap hasil belajar siswa pada materi pokok suhu dan kalor di kelas X semester

II SMA Negeri 15 Medan T.P. 2014/2015.