Download - 10. NIM. 4113120154 CHAPTER II
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teoritis
2.1.1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Sejak lahir, manusia telah mulai melakukan kegiatan belajar untuk
memenuhi kebutuhan dan sekaligus mengembangkan dirinya. Menurut Smaldino
et al. (2011:11) “belajar didefinisikan sebagai perubahan terus menerus dalam
kemampuan yang berasal dari pengalaman pemelajar dan interaksi pemelajar
dengan dunia”. Rusman (2012:1) berpendapat bahwa belajar pada hakikatnya
adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:18) “belajar merupakan proses internal
yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh
mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”.
Selanjutnya menurut Hamalik (2012:37) “belajar adalah suatu proses perubahan
tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan, dimana interaksi inilah
terjadi serangkaian pengalaman belajar”. Sedangkan Sardiman (2011:21)
berpandangan “belajar merupakan rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk
menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut
unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
seseorang dikatakan belajar bila seseorang itu mengalami suatu proses yang aktif
berinteraksi dengan lingkungan dan mengakibatkan perubahan tingkah laku yang
lebih baik dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2.1.2. Aktivitas Belajar
Belajar pada prinsipnya adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah
laku, jadi melakukan kegiatan. Belajar tidak dikatakan belajar kalau tidak ada
aktivitas. Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang penting di dalam interaksi
belajar dan mengajar. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam proses
9
pembelajaran merupakan salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi
hasil belajar siswa. Menurut Sardiman (2011:100) “aktivitas belajar adalah
aktivitas yang bersifat fisik maupun mental dalam kegiatan belajar”. Sedangkan
Hamalik (2012:90) menyatakan bahwa ”aktivitas belajar adalah kegiatan yang
bersifat jasmani, rohani, dan sosial yang berkaitan dalam proses belajar untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan”. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru
harus menimbulkan aktivitas siswa baik dalam berfikir maupun berbuat.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
aktivitas belajar adalah kegiatan belajar yang bersifat fisik dan mental yang saling
seimbang sehingga mengoptimalkan proses belajar.
Paul B. Dierich (dalam Hamalik, 2012:90) membagi kegiatan belajar
menjadi 8 kelompok yang digolongkan sebagai berikut :
1. Kegiatan-kegiatan visual: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati
eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, atau
bermain.
2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip,
menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran,
mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.
3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan,
mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu
permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.
4. Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa
karangan, bahan-bahan kopi, membuat sketsa, atau rangkuman, mengerjakan
tes, mengisi angket.
5. Kegiatan-kegiatan menggambar: menggambar, membuat grafik, diagram,
peta, pola.
6. Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat,
melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan
(simulasi), menari, berkebun.
10
7. Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah,
menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat
keputusan.
8. Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang, dan
sebagainya.
2.1.3. Hasil Belajar
Hasil belajar menggambarkan kemampuan yang dimiliki siswa baik dalam
aspek kognitif maupun dalam aspek afektif dan psikomotorik. Hasil belajar juga
dikatakan sebagai tingkat penguasaan terhadap sesuatu yang diperoleh di dalam
belajar, sesuatu yang diperoleh itu berbeda-beda, yakni ada yang tinggi, sedang,
dan rendah. Sardiman (2011:3) berpendapat “hasil belajar merupakan hasil dari
suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar”. Dari sisi guru, tindak
mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil
belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Menurut
Sudjana (2009:22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Munir (2008:146)
menyatakan bahwa perubahan perilaku adalah hasil belajar. Artinya, seseorang
dikatakan telah belajar, jika ia dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat
dilakukan sebelumnya. Hasil belajar pada aspek pengetahuan adalah dari tidak
tahu menjadi tahu, pada aspek sikap dari tidak mau menjadi mau, dan pada aspek
keterampilan dari tidak mampu menjadi mampu.
Berdasarkan beberapa uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang diperoleh setelah melalui proses kegiatan belajar
yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu.
Dalam sistem pendidikan nasional menggunakan klasifikasi hasil belajar
dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah,
yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris.
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual. Dalam
psikologi kognitif, pengetahuan dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu
11
pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan metakognitif. Tabel 2.1. merupakan ringkasan dari empat jenis
pengetahuan pokok dan sub-subjenisnya.
Tabel 2.1. Jenis dan Subjenis Dimensi Pengetahuan
Jenis dan Subjenis Contoh
A. PENGETAHUAN FAKTUAL – Elemen-elemen dasar yang harus diketahui
siswa untuk mempelajari satu disilplin ilmu atau untuk menyelesaikan
masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut.
1. Pengetahuan tentang terminologi
2. Pengetahuan tentang detail-detail
elemen-elemen yang spesifik
Kosakata teknis, simbol-simbol musik
Sumber-sumber daya alam pokok,
sumber-sumber informasi yang reliabel
B. PENGETAHUAN KONSEPTUAL – Hubungan-hubungan antarelemen dalam
sebuah struktur besar yang memungkinkan elemen-elemennya berfungsi secara
bersama-sama.
1. Pengetahuan tentang klasifikasi dan
kategori
2. Pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi
3. Pengetahuan tentang teori, model,
dan struktur
Periode waktu geologis, bentuk
kepemilikan usaha bisnis
Rumus Phytagoras, hukum penawaran
dan permintaan
Teori evolusi, struktur Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
C. PENGETAHUAN PROSEDURAL – Bagaimana melakukan sesuatu,
mempraktikkan metode-metode penelitian, dan kriteria-kriteria untuk
menggunakan keterampilan, algoritme, teknik, dan metode.
1. Pengetahuan tentang keterampilan
dalam bidang tertentu dan algoritme
2. Pengetahuan tentang teknik dan
metode dalam bidang tertentu
3. Pengetahuan tentang kriteria untuk
menentukan kapan harus
menggunakan prosedur yang tepat
Keterampilan-keterampilan dalam
melukis dengan cat air, algoritme
pembagian seluruh bilangan
Teknik wawancara, metode ilmiah
Kriteria yang digunakan untuk
menentukan kapan harus menerapkan
prosedur hukum Newton, kriteria yang
digunakan untuk menilai fisibilitas
suatu metode
D. PENGETAHUAN METAKOGNITIF – Pengetahuan tentang kognisi secara
umum dan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisis diri sendiri.
1. Pengetahuan strategis
Pengetahuan tentang skema sebagai alat
untuk mengetahui struktur suatu pokok
bahasan dalam buku teks, pengetahuuan
tentang pengunaan metode penemuan
12
Jenis dan Subjenis Contoh
2. Pengetahuan tentang tugas-tugas
kognitif
3. Pengetahuan diri
atau pemecahan masalah.
Pengetahuan tentang macam-macam tes
yang dibuat guru, pengetahuan tentang
tuntutan beragam tugas kognitif.
Pengetahuan bahwa diri (sendiri) kuat
dalam mengkritisi esai, tetapi lemah
dalam hal menulis esai; kesadaran
tentang tingkat pengetahuan yang
dimiliki oleh diri (sendiri).
Kategori-kategori pada dimensi proses kognitif merupakan
pengklasifikasian proses-proses kognitif siswa secara komprehensif seperti yang
terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Dimensi Proses Kognitif
Kategori dan
Proses Kognitif
Nama-nama
Lain Definisi dan Contoh
1. MENGINGAT - Mengambil pengetahuan dari memori jangka panjang.
1.1. Mengenali
1.2. Mengingat
kembali
Mengidentifikasi
Mengambil
Menempatkan pengetahuan dalam
memori jangka panjang yang sesuai
dengan pengetahuan tersebut.
Mengambil pengetahuan yang relevan
dari memori jangka panjang.
2. MEMAHAMI – Mengkonstruksi makna dari materi pembelajaran, termasuk
apa yang diucapkan, ditulis, dan digambar oleh guru.
2.1. Menafsirkan
2.2. Mencontoh-
kan
2.3. Mengklasifi-
kasikan
2.4. Merangkum
2.5. Menyimpul-
Mengklarifikasi,
Memparafrasakan,
Merepresentasi,
Menerjemahkan
Mengilustrasikan,
Memberi contoh
Mengategorikan,
Mengelompokkan
Mengabstraksi,
Menggeneralisasi
Menyarikan,
Mengubah satu bentuk gambaran jadi
bentuk lain.
Menemukan contoh atau ilusrasi tentang
konsep atau prinsip.
Menentukan sesuatu dalam satu
kategori.
Mengabstrasikan tema umum atau poin-
poin pokok.
Membuat kesimpulan yang logis dari
13
Kategori dan
Proses Kognitif
Nama-nama
Lain Definisi dan Contoh
kan
2.6. Membanding-
kan
2.7. Menjelaskan
Mengekstrapolasi,
Menginterpolasi,
Memprediksi
Mengontraskan,
Memetakan,
Mencocokkan
Membuat model
informasi yang diterima.
Menentukan hubungan antara dua ide,
dua objek, dan semacamnya.
Membuat model sebab-akibat dalam
sebuah sistem.
3. MENGAPLIKASIKAN – Menerapkan atau menggunakan suatu prosedur
dalam keadaan tertentu.
3.1. Mengekseku-
si
3.2. Mengimple-
mentasikan
Melaksanakan
Menggunakan
Menerapkan suatu prosedur pada tugas
yang familier.
Menerapkan suatu prosedur pada tugas
yang tidak familier.
4. MENGANALISIS – Memecah-mecah materi jadi bagian-bagian penyusunnya
dan menentukan hubungan-hubungan antarbagian itu dan hubungan antara
bagian-bagian tersebut dan keseluruhan struktur atau tujuan.
4.1. Membedakan
4.2. Mengorgani-
sasi
4.3. Mengatribusi-
kan
Menyendirikan,
Memilah,
Memfokuskan,
Memilih
Menemukan
koherensi,
Memadukan,
Membuat garis
besar,
Mendeskripsikan
peran,
Menstrukturkan
Mendekonstruksi
Membedakan bagian materi pelajaran
yang relevan dari yang tidak relevan,
bagian yang penting dari yang tidak
penting.
Menentukan bagaimana elemen-elemen
bekerja atau berfungsi dalam sebuah
struktur.
Menentukan sudut pandang, bias, nilai,
atau maksud dibalik materi pelajaran.
5. MENGEVALUASI – Mengambil keputusan berdasarkan kriteria dan/atau
standar.
5.1. Memeriksa
Mengoordinasi,
Mendeteksi,
Memonitor,
Menemukan inkonsistensi atau
kesalahan dalam suatu proses atau
produk; menentukan apakah suatu
14
Kategori dan
Proses Kognitif
Nama-nama
Lain Definisi dan Contoh
5.2. Mengkritik
Menguji,
Menilai
proses atau produk memiliki konsistensi
internal; menemukan efektivitas suatu
prosedur yang sedang dipraktikkan.
Menemukan inkonsistensi antara suatu
produk dan kriteria eksternal;
menentukan apakah suatu produk
memliki konsistensi eksternal;
menemukan ketepatan suatu prosedur
untuk menyelesaikan masalah.
6. MENCIPTA – Memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang
baru dan koheren atau untuk membuat suatu produk yang orisinal.
6.1. Merumuskan
6.2. Merencana-
kan
6.3. Memproduk-
si
Membuat
hipotesis
Mendesain
Mengkonstruksi
Membuat hipotesis-hipotesis
berdasarkan kriteria.
Merencanakan prosedur untuk
menyelesaikan suatu tugas.
Menciptakan suatu produk.
2. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Tipe hasil belajar afektif
tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap
pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas,
kebiasaan belajar, dan hubungan sosial.
3. Ranah Psikomotoris
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan dan
kemampuan bertindak individu. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni
gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan
ekspresif dan interpretatif.
15
2.1.4. Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Menurut Joyce et al. (2011:30)
“model pembelajaran adalah gambaran suatu lingkungan pembelajaran yang
menjangkau segala bidang pendidikan, mulai dari materi perencanaan dan
kurikulum hingga materi perancangan instruksional, termasuk program-program
multimedia”. Trianto (2011:51) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Sedangkan
menurut Arends (2008:259) “model pembelajaran mencakup pendekatan
pengajaran secara keseluruhan, yang luas, dan bukan strategi atau teknik tertentu”.
Model pembelajaran berfungsi sebagai alat komunikasi yang penting bagi guru.
Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru memilih
model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Berdasarkan beberapa pengertian model pembelajaran di atas, maka model
pembelajaran dapat dipandang sebagai pola yang mendeskripsikan dan
melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pembelajaran
untuk mencapai tujuan belajar dan sebagai pedoman guru dalam melaksanakan
pembelajaran.
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.
3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.
4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah
pembelajaran (sintaks); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) sistem sosial;
dan (4) sistem pendukung.
5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak
tersebut memiliki: (1) dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat
diukur; (2) dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.
16
6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model
pembelajaran yang dipilihnya.
2.1.5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Menurut Rusman (2012:229) “pembelajaran berbasis masalah adalah salah
satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya
keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam
memecahkan masalah. Kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan
melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat
memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya secara berkesinambungan. Dalam model PBM sebuah masalah yang
dikemukakan kepada siswa harus dapat membangkitkan pemahaman siswa
terhadap masalah, sebuah kesadaran akan adanya kesenjangan, pengetahuan,
keinginan memecahkan masalah, dan adanya persepsi bahwa mereka mampu
memecahkan masalah tersebut.
Dalam merancang situasi bemasalah yang tepat, Arends (2008:52)
menyatakan bahwa sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima
kriteria penting. Pertama, situasi itu mestinya autentik. Hal ini berarti bahwa
masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bukan dengan
prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Kedua, masalah itu mestinya tidak jelas
sehingga menciptakan misteri atau teka-teki. Masalah yang tidak jelas tidak dapat
diselesaikan dengan jawaban yang sederhana dan membuktikan solusi-solusi
alternatif, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tentu saja, hal
ini memberikan kesempatan untuk berdialog dan berdebat. Ketiga, masalah itu
seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya. Keempat, masalah itu mestinya cukup luas sehingga memberikan
kesempatan kepada guru untuk memenuhi tujuan instruksionalnya, tetapi tetap
dalam batas-batas fisibel bagi pelajarannya dilihat dari segi waktu, ruang, dan
keterbatasan sumber daya. Kelima, masalah yang baik harus mendapatkan
manfaat dari usaha kelompok, bukan justru dihalanginya.
17
Lingkungan belajar yang harus disiapkan dalam model PBM adalah
lingkungan belajar yang terbuka, menggunakan proses demokrasi, dan
menekankan pada peran aktif siswa. Seluruh proses membantu siswa untuk
menjadi mandiri dan otonom yang percaya pada keterampilan intelektual mereka
sendiri. Lingkungan belajar menekankan pada peran sentral siswa bukan pada
guru. Guru hanya menjadi pembimbing sekaligus tutor bagi para siswa dalam
memecahkan masalah yang diangkat.
2.1.5.1. Teori Belajar yang Mendukung Model PBM
Teori belajar yang mendukung model pembelajaran berbasis masalah
adalah teori belajar Dewey tentang kelas berorientasi masalah; teori belajar
konstruktivisme Piaget dan Vygotsky; serta teori belajar penemuan menurut
Bruner (Arends, 2008:46). Menurut Dewey, sekolah seharusnya menjadi
laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Guru
harus melibatkan siswa di berbagai proyek berorientsi masalah dan membantu
mereka menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting.
Teori belajar konstruktivisme menekankan pada kebutuhan pelajar untuk
menginvestigasi lingkungannya dan mengkonstruksikan secara pribadi
pengetahuan bermakna yang merupakan dasar teoretis untuk PBM. Menurut
Piaget, pedagogi yang baik harus melibatkan pelajar secara aktif dalam proses
mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri.
Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama
pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka
untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.
Menurut Vygotsky, intelek berkembang ketika individu menghadapi pengalaman
baru dan menantang dan ketika mereka berusaha mengatasi masalah yang
ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman ini. Dalam usaha menemukan
pemahaman ini, individu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
sebelumnya dan mengkonstruksikan makna baru. Vygotsky percaya bahwa
interaksi sosial dengan orang lain memacu terbentuknya ide-ide baru dan
meningkatkan perkembangan intelektual pelajar.
18
Menurut Bruner, belajar penemuan menekankan pentingnya keterlibatan
aktif siswa dalam proses belajar dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi
melalui penemuan pribadi, menemukan ide-idenya sendiri dan mengambil
maknanya sendiri. Konsep lain yang berasal dari Bruner, yakni idenya tentang
scaffolding. Scaffolding adalah proses bagi seorang pelajar yang dibantu guru atau
orang yang lebih mampu untuk mengatasi masalah atau menguasai keterampilan
yang sedikit di atas tingkat perkembangannya saat ini.
2.1.5.2. Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Karakteristik model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai
berikut:
a. permasalahan menjadi starting point dalam belajar;
b. permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata
yang tidak terstruktur;
c. permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective);
d. permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan
kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan
bidang baru dalam belajar;
e. belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;
f. pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan
evaluasi sumber informasi merupakan proses esensial dalam PBM;
g. belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif;
h. pengembangan keterampilan inquiry dalam pemecahan masalah sama
pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari
sebuah permasalahan;
i. keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah
proses belajar; dan
j. PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.
19
2.1.5.3. Manfaat Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Manfaat model pembelajaran berbasis masalah bagi pemelajar dijelaskan
oleh Amir (2010:27) adalah sebagai berikut:
1. Menjadi lebih ingat dan meningkatkan pemahaman pemelajar atas materi
ajar.
Kalau pengetahuan itu didapatkan lebih dekat dengan konteks praktiknya,
maka pemelajar akan lebih ingat. Dengan konteks yang dekat, dan sekaligus
melakukan deep learning (karena banyak mengajukan pertanyaan
menyelidik) bukan surface learning (yang sekadar hafal saja), maka
pemelajar akan lebih memahami materi.
2. Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan.
Dengan kemampuan pendidik membangun masalah yang sarat dengan
konteks praktik, pemelajar bisa merasakan lebih baik konteks operasinya di
lapangan.
3. Mendorong untuk berpikir.
Pemelajar dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, mencoba
menemukan landasan atas argumennya dan fakta-fakta yang mendukung
alasan. Pemelajar dilatih untuk bernalar dan ditingkatkan kemampuan
berpikirnya. Tidak sekadar tahu, tapi juga dipikirkan.
4. Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial.
Pemelajar diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima
pandangan orang lain, bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang
yang barangkali tidak mereka senangi.
5. Membangun kecakapan belajar
Pemelajar perlu dibiasakan untuk mampu belajar terus-menerus. Ilmu,
keterampilan yang mereka butuhkan nanti akan terus berkembang, apa pun
bidang pekerjaannya. Jadi mereka harus mengembangkan bagaimana
kemampuan untuk belajar (learn how to learn).
20
6. Memotivasi pemelajar
Dengan PBM, pendidik punya peluang untuk membangkitkan minat dari
dalam diri pemelajar, karena pendidik menciptakan masalah dengan konteks
yang nyata.
2.1.5.4. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Arends (2008:57) mengemukakan bahwa langkah-langkah model
pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.
Tabel 2.3. Sintaksis untuk Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase Perilaku Guru
Fase 1
Memberikan orientasi tentang
permasalahannya kepada siswa
Membahas tujuan pelajaran,
mendeskripsikan berbagai kebutuhan
logistik penting, dan memotivasi siswa
untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi
masalah
Fase 2
Mengorganisasikan siswa untuk
meneliti
Membantu siswa untuk mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas-tugas
belajar yang terkait dengan
permasalahannya
Fase 3
Membantu investigasi mandiri dan
kelompok
Mendorong siswa untuk mendapatkan
informasi yang tepat, melaksanakan
eksperimen, dan mencari penjelasan
dan solusi
Fase 4
Mengembangkan dan
mempresentasikan artefak dan exhibit
Membantu siswa dalam merencanakan
dan menyiapkan artefak-artefak yang
tepat, seperti laporan, rekaman video,
dan model-model, dan membantu
mereka untuk menyampaikan kepada
orang lain
21
Fase Perilaku Guru
Fase 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses
mengatasi masalah
Membantu siswa untuk melakukan
refleksi terhadap investigasinya dan
proses-proses yang mereka gunakan
2.1.5.5. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Sanjaya (2011:220) model pembelajaran berbasis masalah
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran berbasis
masalah adalah:
1) Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami pelajaran
2) Dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk
menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3) Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4) Dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk
memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5) Dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan
bertanggung jawab dalam pembelajaran yang dilakukan. Di samping itu juga,
dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil
maupun proses belajarnya.
6) Bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa mata pelajaran (matematika, IPA,
sejarah, dan sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu
yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau
dari buku-buku saja.
7) Dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
8) Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan
pengetahuan baru.
9) Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan
pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
10) Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar
sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
22
Selain kelebihan tersebut, model pembelajaran berbasis masalah juga
memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa merasa
enggan untuk mencoba.
2) Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan cukup
waktu persiapan.
3) Tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha untuk memecahkan masalah
yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin
dipelajari.
4) Sulit menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan
tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya, serta pengetahuan dan
pengalaman yang telah dimiliki siswa.
2.1.5.6. Hasil dari Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Arends (2008:43) model PBM, seperti yang diilustrasikan dalam
Gambar 2.1., dirancang terutama untuk membantu siswa mengembangkan
keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan
intelektualnya; mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya
melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan; dan menjadi pelajar
yang mandiri dan otonom.
Gambar 2.1. Hasil yang diperoleh pelajar dari model PBM
Model
Pembelajaran
Berbasis Malasah
Keterampilan penyelidikan
dan keterampilan
mengatasi masalah
Perilaku dan
keterampilan sosial
sesuai peran dewasa Keterampilan untuk
belajar secara
mandiri
23
2.1.6. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran yang biasa dipakai guru pada umumnya adalah
pembelajaran konvensional yang meliputi: metode ceramah, tanya jawab, dan
penugasan. Meski metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada anak
didik, tetapi metode ini tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan
pengajaran (Djamarah dan Zain, 2010:97).
Metode ceramah adalah cara menyajikan pelajaran yang dilakukan guru
dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa.
Metode tanya jawab dapat diartikan sebagai cara penyajian pelajaran dalam
bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa,
tetapi dapat pula dari siswa kepada guru.
Metode penugasan adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan
tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.
Kelebihan pembelajaran konvensional adalah:
1) Guru mudah menguasai kelas.
2) Mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas.
3) Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar.
4) Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya.
5) Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik.
Kelemahan pembelajaran konvensional adalah:
1. Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).
2. Yang visual menjadi rugi, yang auditif (mendengar) yang besar menerimanya.
3. Bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan.
4. Guru menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramahnya, ini
sukar sekali.
5. Menyebabkan siswa menjadi pasif.
2.1.7. Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah media yang membawa pesan-pesan atau
informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud
24
pengajaran (Arsyad, 2009:4). Salah satu fungsi utama media pembelajaran adalah
sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan
lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Penggunaan media yang
tepat guna dapat meningkatkan minat siswa dalam proses belajar mengajar dan
siswa akan lebih cepat dan mudah memahami dan mengerti terhadap materi
pelajaran yang disampaikan guru.
Manfaat praktis dari penggunaan media pembelajaran di dalam proses
belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi
sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar.
2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak
sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung
antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar
sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.
3) Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu;
a. objek atau benda yang terlalu besar untuk ditampikan langsung di ruang
kelas dapat diganti dengan gambar, foto, slide, realita, film, radio, atau
model;
b. objek atau benda yang terlalu kecil yang tidak tampak oleh indera dapat
disajikan dengan bantuan mikroskop, film, slide, atau gambar;
c. kejadian langka yang terjadi di masa lalu atau terjadi sekali dalam puluhan
tahun dapat ditampilkan melalui rekaman video, film, foto, slide di
samping verbal;
d. objek atau proses yang amat rumit seperti peredaran darah dapat
ditampilkan secara konkret melalui film, gambar, slide, atau simulasi
komputer;
e. kejadian atau percobaan yang dapat membahayakan dapat disimulasikan
dengan media seperti komputer, film, dan video;
f. peristiwa alam seperti terjadinya letusan gunung berapi atau proses yang
dalam kenyataan memakan waktu lama seperti proses kepompong menjadi
25
kupu-kupu dapat disajikan dengan teknik-teknik rekaman seperti time-
lapse untuk film, video, slide, atau simulasi komputer.
4) Media pemebelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa
tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan
terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya.
2.1.7.1. Animasi
Animasi menggambarkan objek yang bergerak agar kelihatan hidup.
Animasi dibuat dari serangkaian foto, gambar, atau gambar komputer dari
pemindahan-pemindahan kecil dari benda atau gambar. Jika sebuah benda
ditampilkan pada sebuah bingkai tunggal, kemudian ditampilkan kembali,
dipindahkan lagi, ditampilkan lagi, dan seterusnya, benda tersebut saat dilihat
akan terlihat seolah-olah benda itu telah terus-menerus berpindah-pindah tempat
(Smaldino et al., 2011:408).
Dengan perkembangan peranti lunak komputer yang terus-menerus yang
bisa merekayasa gambar visual, maka dapat menciptakan seni animasi melalui
video. Urutan animasi yang dibuat komputer sekarang ini terus dan terus
digunakan dalam program pengajaran untuk menggambarkan proses yang
kompleks atau cepat dalam bentuk yang disederhanakan. Animasi dapat
memaksimalkan efek visual dan memberikan interaksi berkelanjutan sehingga
pemahaman bahan ajar meningkat.
2.1.8. Suhu dan Kalor
2.1.8.1. Suhu
Dalam kehidupan sehari-hari, suhu merupakan ukuran mengenai panas
atau dinginnya suatu zat atau benda. Oven yang panas dikatakan bersuhu tinggi,
sedangkan es yang membeku dikatakan memiliki suhu rendah. Suhu dapat
mengubah sifat zat, contohnya sebagian besar zat akan memuai ketika dipanaskan.
Alat yang dirancang untuk mengukur suhu suatu zat disebut termometer.
Ada beberapa jenis termometer dengan menggunakan konsep perubahan-
perubahan sifat karena pemanasan. Pada termometer raksa dan termometer
26
alkohol menggunakan sifat perubahan volume karena pemanasan. Ada beberapa
termometer yang menggunakan sifat perubahan volume karena pemanasan, antara
lain: Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Masing-masing termometer
tersebut mempunyai ketentuan-ketentuan tertentu dalam menetapkan nilai titik
didih air dan titik beku air pada tekanan 1 atm, seperti terlihat pada gambar 2.2.
Sumber: Widodo, 2009
Gambar 2.2. Beberapa macam termometer
2.1.8.2. Pemuaian
Pemuaian adalah bertambah besarnya ukuran suatu benda karena benda
tersebut dipanaskan. Besarnya pemuaian benda tergantung pada ukuran benda
semula, kenaikan suhu, dan jenis benda.
a. Pemuaian Zat Padat
Jika suatu benda padat dipanaskan, benda tersebut akan memuai ke segala
arah. Dengan kata lain ukuran panjang, luas, dan volume benda bertambah.
1. Pemuaian Panjang
Bila benda padat yang panjang tetapi luas penampangnya kecil
dipanaskan, misalnya jarum rajut, terjadi pemuaian dalam arah memanjang atau
kata lain mengalami pemuaian panjang.
Besarnya pertambahan panjang dapat dituliskan dalam suatu persamaan:
Tll 0 …….. (2.1)
Dimana: l = pertambahan panjang (m)
27
T = perubahan suhu (Co)
0l = panjang mula-mula (m)
= koefisien muai panjang (/Co)
Jika sebuah batang memiliki panjang mula-mula 0l dipanaskan hingga
suhunya T dan panjangnya menjadi Tl maka:
TllT 10 …….. (2.2)
2. Pemuaian Luas
Bila benda padat berbentuk persegi panjang dipanaskan, terjadi pemuaian
dalam arah memanjang dan arah melebar atau kata lain mengalami pemuaian luas.
Besarnya pertambahan luas dapat dituliskan dalam suatu persamaan:
TAA 2 0 …….. (2.3)
Jika β = 2α, maka:
TAA 0 …….. (2.4)
Dimana: A = pertambahan luas (m2)
T = perubahan suhu (Co)
0A = luas mula-mula (m2)
= koefisien muai luas (/Co)
Jika sebuah benda memiliki luas mula-mula 0A dipanaskan hingga suhunya
bertambah T maka ukuranya menjadi:
TAAT 10 …….. (2.5)
3. Pemuaian Volume
Bila benda padat berbentuk balok dipanaskan, akan terjadi pemuaian dalam arah
memanjang, melebar, dan meninggi atau kata lain mengalami pemuaian volume.
Besarnya pertambahan volume dapat dituliskan dalam suatu persamaan:
TVV 3 0 …….. (2.6)
Jika γ = 3α, maka:
TVV 0 …….. (2.7)
Dimana: V = pertambahan volume (m3)
T = perubahan suhu (Co)
28
0V = volume mula-mula (m3)
= koefisien muai luas (/Co)
Jika sebuah balok memiliki volume mula-mula 0V dipanaskan hingga
suhunya bertambah T maka ukuranya menjadi:
TVVT 10 …….. (2.8)
b. Pemuaian Zat Cair
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada umumnya
setiap zat memuai jika dipanaskan, kecuali air jika dipanaskan dari 0oC sampai
4oC, akan menyusut. Sifat keanehan air seperti itu disebut anomali air. Grafik
anomali air seperti terlihat pada gambar 2.3. berikut.
Keterangan:
Pada suhu 4oC diperoleh:
a) volume air terkecil
b) massa jenis air terbesar.
Sumber: Widodo, 2009
Gambar 2.3. Grafik anomali air
Karena pada zat cair hanya mengalami pemuaian volume, maka pada
pemuaian zat cair hanya diperoleh persamaan :
TVV 0 …….. (2.9)
TVVT 10 ..….. (2.10)
c. Pemuaian Gas
Keadaan gas biasanya dicirikan oleh tiga besaran: tekanan (P), volume
(V), dan suhu (T). Pada saat tekanan gas dibuat tetap, ketika suhu gas dinaikkan
maka gas akan memuai (volumenya bertambah). Volume gas sebanding suhunya
(dalam Kelvin), makin tinggi suhunya makin besar volumenya. Ini dikenal dengan
Hukum Charles, dan ditulis:
29
2
2
1
1
T
V
T
V ……. (2.11)
dengan V1 dan T1 menyatakan volume dan suhu mula-mula sedangkan V2
menyatakan volume gas setelah suhunya diubah menjadi T2.
Jika volume gas dipertahankan tetap maka ketika gas dipanaskan, gas akan
memuai namun karena volumenya dipertahankan tetap maka gas yang memuai ini
akan memberi tekanan yang lebih besar sehingga tekanan gas akan bertambah.
Tekanan gas sebanding dengan suhu gas (dalam Kelvin). Ini dikenal dengan
Hukum Boyle, dan ditulis:
2
2
1
1
T
P
T
P …….. (2.12)
Dengan P1 dan T1 menyatakan tekanan dan suhu mula-mula sedangkan P2
menyatakan volume gas setelah suhunya diubah menjadi T2.
Kedua persamaan di atas dapat digabungkan menjadi suatu persamaan
yang dinamakan persamaan Boyle-Gay Lussac.
2
22
1
11
T
VP
T
VP …….. (2.13)
Salah satu dari aplikasi pemuaian gas adalah balon udara. Dengan
memanaskan udara di dalam sebuah balon udara, dan dengan demikian
menaikkan temperatur udara, memaksa sejumlah udara untuk lepas (Hukum
Charles). Dengan demikian kerapatan udara (massa per satuan volume) di dalam
balon berkurang dan balon dapat “mengapung” ke atas.
2.1.8.3. Kalor
Kalor merupakan salah satu bentuk energi yang dapat berpindah dari
benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah jika kedua benda
tersebut saling disentuhkan. Satuan kalor sama dengan satuan energi, yaitu joule.
Kadang-kadang satuan kalor menggunakan kalori atau kilokalori. Kesetaraan
kalori dengan joule adalah
atau
1 kalori = 4,18 joule 1 joule = 0,24 kalori
30
a. Pengaruh Kalor terhadap Suhu
Sumber: Widodo, 2009
Gambar 2.4. Pengaruh kalor terhadap suhu benda
Dari gambar 2.4. terlihat bahwa jika satu gelas air panas dicampur dengan
satu gelas air dingin, setelah terjadi keseimbangan termal menjadi air hangat. Hal
tersebut dapat terjadi karena pada saat air panas dicampur dengan air dingin maka
air panas melepaskan kalor sehingga suhunya turun dan air dingin menyerap kalor
sehingga suhunya naik.
b. Kalor Jenis dan Kapasitas Kalor
Kalor jenis suatu zat didefinisikan sebagai banyaknya kalor yang
diperlukan atau dilepaskan untuk menaikkan atau menurunkan suhu satu satuan
massa zat itu sebesar satu satuan suhu. Jika suatu zat yang massanya m
memerlukan atau melepaskan kalor sebesar Q untuk mengubah suhunya sebesar
ΔT, maka kalor jenis zat itu dapat dinyatakan dengan persamaan:
𝑐 = 𝑄
𝑚 . ΔT 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑄 = 𝑚 . 𝑐 .𝛥𝑇 …….. (2.14)
Satuan dalam S.I.:
c = dalam J/Kg.K
Q = dalam joule
m = dalam Kg
ΔT = dalam Kelvin
31
Data pada tabel 2.4. berikut menyatakan nilai kalor jenis dari beberapa zat.
Tabel 2.4. Kalor Jenis Beberapa Zat dalam J/Kg.K
Zat Kalor jenis Zat Kalor jenis
Air
Air laut
Aluminium
Besi
Es
Kaca
4.180
3.900
903
450
2.060
670
Kuningan
Raksa
Seng
Spiritus
Tembaga
Timbal
376
140
388
240
385
130
Kapasitas kalor didefinisikan sebagai banyaknya kalor yang diperlukan
atau dilepaskan untuk mengubah suhu benda sebesar satu satuan suhu.
Persamaan kapasitas kalor dapat dinyatakan dengan:
𝐶 = 𝑄
ΔT atau Q = C . ΔT …….. (2.15)
Satuan dari C adalah J/K
Dari persamaan: 𝑄 = 𝑚 . 𝑐 .𝛥𝑇 dan Q = C . ΔT
diperoleh: cmC . …….. (2.16)
2.1.8.4. Perubahan Wujud Zat
Wujud zat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu zat padat, zat cair dan
zat gas. Wujud suatu zat dapat berubah dari wujud zat yang satu menjadi wujud
yang lain. Perubahan wujud dapat disebabkan karena pengaruh kalor.
Perubahan wujud zat selain karena penyerapan kalor, dapat juga karena
pelepasan kalor. Setiap terjadi perubahan wujud terdapat nama-nama tertentu.
Berikut adalah skema perubahan wujud zat beserta nama perubahan wujud zat
tersebut.
32
Sumber: Widodo, 2009
Gambar 2.5. Skema perubahan wujud zat
Pada saat zat mengalami perubahan wujud, suhu zat tersebut tetap,
sehingga selama terjadi perubahan wujud zat seakan-akan kalor tersebut disimpan.
Kalor yang tersimpan tersebut disebut kalor laten, yang diberi lambang "L".
Banyaknya kalor yang diserap atau dilepaskan selama terjadi perubahan
wujud dapat dinyatakan dengan persamaan:
LmQ . …….. (2.17)
Dimana: Q = banyak kalor yang diserap atau dilepaskan (J)
m = massa zat yang mengalami perubahan wujud (kg)
L = kalor laten (J/kg)
2.1.8.5. Asas Black
Bila dua zat yang suhunya tidak sama dicampur maka zat yang bersuhu
tinggi akan melepaskan kalor sehingga suhunya turun dan zat yang bersuhu
rendah akan menyerap kalor sehingga suhunya naik sampai terjadi kesetimbangan
termal. Karena kalor merupakan suatu energi maka berdasarkan hukum kekekalan
energi diperoleh kalor yang dilepaskan sama dengan kalor yang diserap. Konsep
tersebut sering disebut dengan Asas Black, yang secara matematis dapat
dinyatakan:
Qlepas = Qserap …….. (2.18)
33
2.1.8.6. Perpindahan Kalor
Proses perpindahan kalor dapat terjadi dengan 3 cara, yaitu secara
konduksi, konveksi, dan radiasi.
1) Konduksi
Konduksi adalah proses perpindahan kalor melalui zat perantara, tanpa
disertai dengan perpindahan partikel-partikel zat tersebut.
Sumber: Widodo, 2009
Gambar 2.6. Perpindahan kalor secara konduksi
Dari gambar 2.6. tersebut jika ujung batang logam dipanaskan dengan api,
ternyata ujung logam yang kita pegang akhirnya menjadi panas. Hal tersebut
membuktikan adanya perpindahan kalor dari ujung batang logam yang dipanaskan
ke ujung batang yang kita pegang.
Secara matematis laju perpindahan kalor dapat dinyatakan sebagai berikut.
d
TkA
t
QH
…….. (2.19)
Dengan: H = laju perpindahan kalor (J/s)
Q = kalor yang dipindahkan secara konduksi (J)
t = lama energi termal dikonduksikan lewat batang penghantar (s)
A = luas permukaan batang penghantar (m2)
d = panjang batang penghantar (m)
T = beda suhu pada ujung-ujung batang penghantar (K)
k = konduktivitas termal (J/m.s.K)
Ada zat yang daya hantar panasnya baik, ada pula zat yang daya hantar
panasnya buruk. Berdasarkan daya hantar panasnya maka zat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu konduktor dan isolator.
34
1. Konduktor (zat yang dapat menghantarkan panas dengan baik), antara lain:
tembaga, aluminium, besi, dan baja.
2. Isolator (zat yang kurang baik menghantarkan panas), antara lain: kaca,
karet, kayu, dan plastik.
2) Konveksi
Konveksi adalah proses perpindahan kalor melalui suatu zat yang disertai
dengan perpindahan partikel-partikel zat tersebut. Konveksi hanya terjadi pada zat
yang dapat mengalir, yaitu zat cair dan zat gas.
Ada dua jenis konveksi, yaitu:
1. Konveksi alamiah
Pada konveksi alamiah, perpindahan molekul terjadi secara alamiah
berdasarkan perbedaan massa jenis.
2. Konveksi paksaan
Pada konveksi paksaan, fluida (cairan atau gas) yang telah dipanasi diarahkan
ke tujuannya.
Banyaknya kalor yang merambat tiap satuan waktu secara konveksi dapat
dinyatakan dengan persamaan:
ThAt
QH
…….. (2.20)
Dengan: H = laju perpindahan kalor atau banyak kalor per satuan waktu (J/s)
Q = jumlah kalor yang dipindahkan (J)
t = waktu terjadi aliran kalor (s)
A = luas permukaan benda yang bersentuhan dengan fluida (m2)
T = beda suhu antara benda dengan fluida (K)
h = koefisien konveksi (J/s.m2.K)
3) Radiasi
Antara bumi dengan matahari terdapat ruang hampa yang tidak
memungkinkan terjadinya konduksi dan konveksi. Akan tetapi panas matahari
dapat kita rasakan. Dalam hal ini kalor tidak mungkin berpindah dengan cara
konduksi ataupun konveksi. Perpindahan kalor dari matahari ke bumi terjadi lewat
35
radiasi (pancaran). Jadi, radiasi adalah perpindahan kalor tanpa zat perantara
dalam bentuk gelombang elektromagnetik.
Banyaknya kalor yang dipancarkan tiap satuan luas, tiap satuan waktu
dapat dinyatakan dengan :
4TeA
PW …….. (2.21)
Dengan: W = energi kalor tiap satuan luas tiap satuan waktu (W/m2)
A = luas permukaan bidang (m2)
P = daya yang dipancarkan atau diserap oleh benda (W)
e = emisivitas, besarnya tergantung sifat permukaan benda
= konstanta Stefan-Boltzman = 5,67 x 10-8
W/m2 K
4
T = suhu mutlak (K)
2.1.9. Penelitian yang Relevan
Berikut ini adalah penelitian-penelitian yang telah dilakukan lebih dahulu
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah :
Tabel 2.5. Penelitian yang Relevan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
No. Nama
Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
1. Gilang Candra
Setiawan,
Tjiptaning
Suprihati, dan
Sri Astutik
2012 Penerapan Model
Pembelajaran
Problem Based
Learning (PBL)
disertai Media
Komputer
Makromedia
Flash
Hasil belajar fisika siswa
pada kelas eksperimen
dengan menggunakan
model PBL disertai media
komputer makromedia
flash lebih baik dari kelas
kontrol dengan
menggunakan model
pembelajaran
konvensional, hal ini
terbukti dari hasil belajar
rata-rata siswa kelas
eksperimen yaitu 73,77
sedangkan kelas kontrol
yaitu 62,76.
36
No. Nama
Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
2. I. Kd. Urip
Astika, I. K.
Suma, dan I.
W. Suastra
2013 Pengaruh Model
Pembelajaran
Berbasis Masalah
terhadap Sikap
Ilmiah dan
Keterampilan
Berpikir Kritis
Sikap ilmiah pada siswa
yang belajar dengan
pembelajaran berbasis
masalah memiliki mean
sebesar 86,48 lebih besar
dibandingkan dengan
pembelajaran ekspositori
memiliki mean sebesar
82,62.
Keterampilan berpikir
kritis pada siswa yang
belajar dengan
pembelajaran berbasis
masalah dengan mean
87,65 lebih besar
dibandingkan dengan
pembelajaran ekspositori
dengan mean 78,25.
3. I.M. Dwi, H.
Arif, dan K.
Sentot
2013 Pengaruh Strategi
Problem Based
Learning
Berbasis ICT
terhadap
Pemahaman
Konsep dan
Kemampuan
Pemecahan
Masalah Fisika
Strategi PBL berbasis ICT
memberikan rerata nilai
pemahaman konsep
sebesar 81,27 lebih tinggi
dibandingkan dengan
strategi PBL sebesar
71,51.
Strategi PBL berbasis ICT
memberikan rerata nilai
kemampuan pemecahan
masalah sebesar 76,71
lebih tinggi dibandingkan
dengan strategi PBL
sebesar 59,62.
4. Suhanda,
Asmendri, dan
Kuntum
Khaira
2014 Penerapan Model
Pembelajaran
Berbasis Masalah
dan Tutor Teman
Sebaya terhadap
Hasil Belajar
Fisika Kelas VII
MTSN Kota
Solok
Rata-rata tes hasil belajar
kelas eksperimen adalah
75,13 sedangkan kelas
kontrol 66,19. Hasil
belajar fisika siswa dengan
menggunakan model
pembelajaran berbasis
masalah dan metode tutor
teman sebaya lebih baik
dari hasil belajar fisika
siswa dengan
37
No. Nama
Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian
menggunakan model
pembelajaran
konvensional.
5. Stepanus
Sahala dan
Abdus Samad
2010 Penerapan Model
Pembelajaran
Berbasis Masalah
dalam Pembiasan
Cahaya pada
Lensa terhadap
Hasil Belajar
Siswa di Kelas
VIII SMP Negeri
5 Ketapang
Rata-rata hasil belajar
siswa pada materi
pembiasan cahaya pada
lensa yang diajarkan
dengan pembelajaran
berbasis masalah sebesar
26,75 lebih tinggi
dibandingkan dengan
kelompok siswa yang
diajarkan dengan
pembelajaran
konvensional sebesar
20,65.
2.2. Kerangka Konseptual
Masalah pembelajaran fisika yang terjadi di sekolah adalah permasalahan
pola pengajaran yang digunakan oleh guru. Pola pengajaran fisika yang sering
diterapkan di sekolah adalah kebanyakan menggunakan pembelajaran
konvensional. Pembelajaran konvensional menjadikan siswa sebagai objek dan
guru sebagai subjek pembelajaran. Pola pengajaran yang kurang sesuai tersebut
menyebabkan banyak siswa yang menganggap belajar adalah aktivitas yang tidak
menyenangkan sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat pemahaman dan
penguasaan siswa terhadap konsep-konsep pelajaran fisika. Beban belajar tersebut
menyebabkan hasil belajar fisika siswa menjadi rendah.
Permasalahan di atas perlu diupayakan pemecahannya dengan
menggunakan model pembelajaran yang melibatkan dan melatih siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah
model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran berbasis masalah
merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai
suatu konteks bagi siswa untuk dilatih berpikir kritis dan terampil dalam
pemecahan masalah sehingga memperoleh dan menguasai konsep materi ajar
38
yang sebenarnya. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, siswa dituntut
terlibat aktif dalam mengikuti proses pembelajaran melalui diskusi kelompok.
Belajar secara kooperatif atau berkelompok dimaksudkan agar para siswa dapat
saling bertukar informasi dan mendapatkan ide-ide baru.
Penyampaian materi pelajaran disertai dengan menggunakan media animasi
ditujukan agar siswa lebih tertarik dalam memahami materi ajar sehingga dapat
meningkatkan minat dan daya ingat siswa. Jadi, diharapkan model pembelajaran
berbasis masalah menggunakan animasi dapat meningkatkan hasil belajar dan
keaktifan siswa dalam belajar fisika.
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti akan memberikan pretes kepada
kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kesamaan kemampuan awal
kedua kelas. Hasil pretes yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
menggunakan uji t dua pihak, dalam hal ini kemampuan awal kedua kelas harus
sama. Selanjutnya pada kelas eksperimen diberi perlakuan dengan model
pembelajaran berbasis masalah menggunakan animasi dan pada kelas kontrol
diberi perlakuan dengan pembelajaran konvensional. Kemudian kedua kelas
diberikan postes dan hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji t
satu pihak. Jika hasil belajar pada kelas eksperimen lebih baik daripada hasil
belajar pada kelas kontrol, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah menggunakan animasi dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
2.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:
Ada pengaruh model pembelajaran berbasis masalah menggunakan animasi
terhadap hasil belajar siswa pada materi pokok suhu dan kalor di kelas X semester
II SMA Negeri 15 Medan T.P. 2014/2015.