ppkn34.files.wordpress.com · web viewinpres ini mengamanatkan menteri agama untuk menyebarluaskan...

34
Peradilan agama di Indonesia Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan , waris , wasiat , hibah , wakaf , zakat , infaq , shadaqah , dan ekonomi syari'ah . [1] Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh: Pengadilan Tinggi Agama (pengadilan tingkat banding ) Pengadilan Agama (pengadilan tingkat pertama ) Pengadilan Khusus Mahkamah Syar'iyah Mahkamah Syar'iyah Provinsi (pengadilan tingkat banding) Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota (pengadilan tingkat pertama) Sejarah Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah. Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21). Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga

Upload: nguyenhanh

Post on 07-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Peradilan agama di IndonesiaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.[1] Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

Pengadilan Tinggi Agama  (pengadilan tingkat banding) Pengadilan Agama  (pengadilan tingkat pertama)

Pengadilan Khusus

Mahkamah Syar'iyah

Mahkamah Syar'iyah Provinsi (pengadilan tingkat banding)

Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota (pengadilan tingkat pertama)

Sejarah Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.

Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:

Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).

Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.

Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar'i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan

Page 2: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari . perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.

Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu keraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.

Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan landraad(pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk excecutoire verklaring (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang. Tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agama yang disebut dengan preisterraacf tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya, dan hukum Islam sebagai pegangannya.

Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah yang besifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama.

Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa"; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer

dan Peradilan Tata Us aha Negara;

Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.

Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan.

susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.

Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang¬undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

Page 3: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.[2]

Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama Peradilan Agama berwenang mengadili perkara perdata agama yakni :

1. Perkawinan Izin poligami

Pencegahan perkawinan

Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

Pembatalan perkawinan

Kelalaian Kewajiban suami / istri

Cerai talak

Cerai gugat

Harta bersama

Penguasaan anak / Hadlonah

Nafkah anak oleh ibu

Hak-hak bekas istri

Pengesahan anak / Pengangkatan anak

Pencabutan kekuasaan orang tua

Perwalian

Pencabutan kekuasaan wali

Penunjukan orang lain sebagai wali

Ganti rugi terhadap wali

Asal usul anak

Penolakan kawin campuran

Itsbat Nikah

Izin kawin

Dispensasi kawin

Wali adhol

2. Ekonomi Syariah

3. Kewarisan

4. Wasiat

5. Hibah

Page 4: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

6. Wakaf

7. Zakat / Infaq / Shodaqoh

8. P3HP / Penetapan ahli waris

9. Perkara lain yang ditetapkan undang-undang

Mahkamah Syar'iyah Kewenangan Mahkamah Syar'iyah sama dengan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan perkara Jinayat seperti :

1. khamr (minum-minuman keras/napza)2. maisir (perjudian)

3. khalwat

Peralihan ke Mahkamah Agung Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.

Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan peradilan agama berada di bawah Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama. Terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004, organisasi, administrasi, dan finansial peradilan agama dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.)

Keterbukaan informasi di PengadilanSesuai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang keterbukaan informasi di pengadilan, maka dengan dipelopori oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (yang situsnya telah aktif sejak April 2005), situs-situs pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) dan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) pun bermunculan.

Adapun informasi-informasi yang harus dipublikasikan pada situs-situs tersebut adalah informasi yang bersifat memberikan pelayanan bagi para pencari keadilan, diantaranya, Profil Pengadilan, Prosedur Standar Pengajuan Perkara, Prosedur Pengaduan, Biaya Panjar Perkara, Agenda Persidangan, Pemanggilan Pihak yang tidak diketahui alamatnya, Putusan, dan lain-lain.

Hukum Materil dan Formil Peradilan AgamaPosted on Maret 20, 2008 | Tinggalkan komentar

HUKUM MATERIIL DAN HUKUM FORMIL

PERADILAN AGAMA

Dalam dunia hukum peradilan, termasuk juga dalam Peradilan Agama (PA), secara garis besar terdapat dua klasifikasi sumber hukum yang digunakan sebagai rujukkan, pertama, Sumber Hukum Materiil; kedua, Sumber Hukum Formil (hukum Acara).

A. Hukum Materiil Peradilan Agama

Page 5: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.[1]

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:

ü Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.

ü Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain[2];

1. Al-Bajuri;

2. Fatkhul Mu’in;

3. Syarqawi ‘Alat Tahrir;

4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;

5. Fatkhul wahbah;

6. Tuhfah;

7. Targhib al-Mustaq;

8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;

10. Syamsuri li Fara’id;

11. Bughyat al-Musytarsyidin;

12. al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah;

13. Mughni al-Muhjaj.

Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya bukan merupakan hukum tertulis sebagaimana perundang-undangan yang dibuat oleheksekutif dan legislatif. Bagi yang berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi pedoman PA masih dianggap sebagai hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. hal ini di legalisasi dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

ü Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UU ini menandai fase baru penerapan hukum Islam di Indonesia. Fase ini menurut Dr. H. Aminiur Nuruddin, MA adalah pintu gerbang fase taqnin (fase pengundangan) hukum Islam. Banyak sekali ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan ditransformasikan kedalam UU ini kendati dengan modifikasi disana-sini[3].

ü PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974

ü PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

ü UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006

ü Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Inpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, buku III tentang Hukum Perwakafan sebagai pedoman Hakim Agama memutus suatu perkara.

Page 6: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

ü UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

ü UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

ü Rancangan Undang-undang terkait hukum materiil PA yang masih dalam proses legislasi :

-RUU Terapan Peradilan Agama

-RUU Perbankan Syariah

-RUU SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional)[4]

-Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

B. Hukum Formil Peradilan Agama

Hukum Formil/Hukum Prosedural/Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.[5]

Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut [6]:

ü Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)

Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.

ü Inlandsh Reglement (IR)

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.

ü Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

ü Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)

BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.

ü Wetboek van Koophandel (WvK)

WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering(aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.

ü Peraturan Perundang-undangan

1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.

2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.

3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung .

4) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.

5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.

Page 7: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.

7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.

ü Yurisprudensi

Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.

Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesiatidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.

ü Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim.

Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.

ü Dokrin atau Ilmu Pengetahuan

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum.

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:

1. Al-Bajuri;

2. Fatkhul Mu’in;

3. Syarqawi ‘At-Tahrir’;

4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;

5. Fatkhul wahbahdan syarahnya;

6. Tuhfah;

7. Targhib al-Mustaq;

8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;

9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;

10. Syamsuri li Fara’id;

11. Bughyat al-Musytarsyidin;

12. al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah;

13. Mughni al-Muhjaj.

Dengan merujuk kepada 13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama.

Peradilan Agama

Page 8: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Kasus ekonomi syariah itu menggugat di pengadilan negeri atau pengadilan agama? Bila ada yang menggunakan perdata barat itu bagaimana? Tolong dijelaskan beserta dasar hukumnya. Mohon bantuannya. Thanks.

Jawaban :Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (lihat pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 

a)     perkawinan;b)     waris;c)     wasiat;d)     hibah;e)     wakaf;f)       zakat;g)     infaq;h)     shadaqah;i)        ekonomi syari'ah.

 Jadi, untuk perkara ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan absolut dari pengadilan agama. Ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah (lihat Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah). Jadi, suatu perkara menjadi perkara ekonomi syariah, bila didasarkan pada prinsip-prinsip hukum syariah. Sesuai penjelasan pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” dalam pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

2.      Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama3.      Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah

Dasar Hukum Pengadilan Agama

1. STBL Tahun 1882 No. 152 Jo STBL Tahun 1937  No. 116 dan No. 610.2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 Tentang Pengadilan Agama Di Luar Jawa-Madura.3. Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok–Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok–Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir dicabut dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

4. Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5. Undang–undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

6. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004, tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di lingkungan Peradilan Umum, Agama, TUN dan MARI.

Page 9: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Hukum Acara Peradilan Agama1. Pendahuluan.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 2 menyatakan : “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.

Anak kalimat ”perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini” dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

1. perkawinan ;2. waris ;3. wasiat ;4. hibah ;5. wakaf ;6. zakat ;7. infaq ;8. shadaqah ; dan9. ekonomi syari’ah.Bidang-bidang tersebut adalah perkara perdata. Maka hukum acara yang dimaksud dengan judul di atas adalah Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.

1. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara).

Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

Page 10: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Oleh karena itu dapat tegaskan bahwa sumber hukum acara Peradilan Agama antara lain :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.7. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.8. Rechtsreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.9. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan Kompilasi Hukum

Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.

11. Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah Agung yang diikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama.

12. Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.

3. Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas Hukum

Acara Peradilan Agama sebagai berikut :

1. Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004, pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.

2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

3. Peradilan Agama menetapkan dan menmegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

4. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).

5. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).

6. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

Page 11: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

7. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

8. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

9. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4

tahun 2004).15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat (1)

Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004,

pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).19. Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat (1)

Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004,

pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).

21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

25. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

2. Pengajuan Tuntutan Hak.Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat menyelesaikan

sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada Pengadilan untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 12: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Tuntutan itu harus mengandung kepentingan hukum, point d’interet, poit d’action, geen belang geen actie (tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka pengadilan). Putusan MARI No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan, gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.

1. Surat gugatan.

Gugatan diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat (pasal 118 HIR, 142 RBg), atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang ditunjuk, gugatan tersebut dalam Catatan Surat Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk itu.

Surat gugatan itu menurut ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya harus memuat :

1. Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal serta kedudukan para pihak dalam perkara yang diajukan.

2. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan yang terdiri dari :

1. Uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar pengajuan gugatan. Atau menjelaskan tentang duduk perkaranya sehingga Penggugat merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke Pengadilan.

2. Uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di Pengadilan.

3. Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut agar diputus oleh Hakim dalam persidangan. Terdiri dari :

1. Tuntutan pokok atau primer.

2. Tuntutan tambahan, antara lain :

i. Tuntutan provisionil,

ii. Tuntutan pembayaran bunga moratoir,

iii. Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom),

iv. Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad,

v. Pembebanan biaya perkara.

3. Tuntutan subsider atau pengganti. Yaitu permohonan, apabila Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Page 13: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

2. Penggabungan/kumulasi gugatan.

Penggabungan/kumulasi gugatan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

1. Penggabungan subyektif. Yaitu penggabungan para pihak berperkara yang terdiri lebih dari seorang. Misalnya beberapa orang Penggugat melawan seorang Tergugat, atau sebaliknya seorang Penggugat melawan beberapa orang Tergugat.

2. Penggabungan obyektif, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara. Misalnya gugatan cerai diajukan bersama dengan gugatan penguasaan anak, nafkah isteri, harta bersama.

3. Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ke tiga kedalam proses perkara, terdiri dari :

1. Voeging, yaitu masuknya pihak ke tiga atas kehendak sendiri dengan bergabung pada salah satu pihak Penggugat atau Tergugat.

2. Vrijwaring, yaitu pihak ke tiga ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi Tergugat.

3. Tussenkomst, ialah pihak ketiga masuk dalam satu proses perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.

3. Gugatan secara cuma-cuma (prodeo).

Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui Camat.

4. Upaya menjamin hak.

Untuk kepentingan Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan, undang-undang menyediakan sarana untuk menjamin hak tersebut dengan penyitaan (arrest, beslag). Sita adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan, dibebani suatu jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Hukum Acara Peradilan Agama mengenal beberapa macam sita yaitu :

Page 14: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

1. Sita conservatoir.2. Sita revindicatoir.3. Sita marital.4. Sita persamaan .5. Sita eksekusi.

Uraian tentang cata cara sita yang meliputi permohonan, pemeriksaan, pelaksanaan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan penyitaan dilakukan dalam pembahasan tersendiri.

5. Perubahan gugatan.

Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 127. Perubahan gugatan diperbolehkan, selama tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak, yaitu sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan semula, dan tidak merubah kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.

6. Pencabutan gugatan.

Pencabutan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam Rv pasal 271, yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan, tidak perlu persetujuan dari pihak Tergugat, karena Tergugat secara langsung belum mengetahui tentang adanya gugatan/belum tersentuh kepentingannya.

2. Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga tidak perlu mendapat persetujuan Tergugat.

3. Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan harus terlebih dulu mendapat persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh kepentingannya.

3. Pemeriksaan Perkara.Pemeriksaan perkara, didahului dengan persiapan persidangan yang meliputi Penetapan

Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang (uraiannya dilakukan dalam pembahasan tersendiri).

Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar keterangan kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim dengan perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi dan patut, untuk menghadap ke persidangan (uraian lebih lanjut dalam pembahasan tersendiri).

Page 15: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Setelah para pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan dalam sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan melalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :

1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg). Pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu :

2. Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelum pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat yaitu:

1. Mencabut gugatan.

2. Merubah gugatan

3. Mempertahankan gugatan.

Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada tahap berikutnya yaitu :

1. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :

1. Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok perkara) terdiri dari :

1. Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok perkaranya ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :

– Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan kewenangan lingkungan peradilan lain.

– Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutan adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu lingkungan Peradilan yang sama.

– Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang terdahulu dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

– Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah menentukan pihak Tergugat.

Page 16: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

2. Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang memeriksa perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:

– Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukan oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.

– Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

– Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah dibebaskan dari kewajiban membayar.

– Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugat sendiri.

– Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas permasalahannya dan tidak beralasan.

– Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh positanya.

2. Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan dengan pokok perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan dengan posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan alat bukti lain yang sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.

3. Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan, maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.

4. Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan, tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat hanya menunggu putusan Hakim.

5. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal 132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).

Tujuannya :

1. Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.

Page 17: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

2. Mempermudah prosedur.3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.4. Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.5. Menghemat biaya.

Syarat-syarat gugatan rekonpensi :

1. Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain sampai dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding atau kasasi.

2. Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.3. Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.4. Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.5. Bukan mengenai pelaksanaan putusan4. Penyampaian Replik dari Penggugat.

Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan gugatannya, atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.

5. Penyampaian duplik dari Tergugat.Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan jawabannya, atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.

Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati, sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.

6. Pembuktian.1. Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang

dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan sidang Pengadilan.2. Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam

hal yang belum jelas atau yang menjadi sengketa.3. Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan

seseorang yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH Perdata).

4. Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

5. Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak secara tegasmensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara.

7. Alat-alat bukti.Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata berupa :

1. Alat bukti surat/tulisan.Dibuat oleh Pejabat

Otentik

Akta Dibuat di hadapan Pejabat

Page 18: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Surat Di bawah tangan

Bukan Akta

1.Surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.

2. Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan semula untuk pembuktian.

3. Akta otentik, akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.

4. Kekuatan pembuktian akta otentik ada 3 macam :1. Kekuatan pembuktian lahir, didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya. Surat yang tampak

lahirnya seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan tempat akta dibuat, serta kebenaran tanda tangan di bawah akta tersebut.

3. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan dan melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.

5. Akta di bawah tangan, suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.

6. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan :1. Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tanda tngan

akta diakui oeh yang mebuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik.

2. Apabila tanda tangan dalam akta disangkal oleh pihak yang menanda tangani, maka pihak yang mengajukan akta harus berusaha membuktikan kebenaran tanda tangan itu.

7. Surat bukan akta, surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktyiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Misalnya buku register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.

2. Alat bukti saksi.1. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang

peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.

2. Syarat-syarat saksi :1. Syarat formil saksi :

1. Memberikan keterangan di depan Pengadilan2. Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg).3. Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR, pasal 174 RBg),

menyatakan kesediaan menjadi saksi.4. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.

Page 19: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

1. Syarat materiil saksi :1. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri

oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan pendengaran orang lain (testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

2. Keterangan yang diberikan saksi harus menyebutkan sebab-sebab ia mengetahui (pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 308 ayat (1) Rbg), jadi tidak cukup hanya keterangan bahwa ia telah tahu. Pendapat atau persangkaan saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat bukti (pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).

3. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain dan alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg).

4. Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain bukan bukan kesaksian (unus testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).1. Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :

1. Tidak mampu absolut :1. Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu pihak.2. Suami isteri salah satu pihak meskipuin telah bercerai.

1. Tidak mampu relatif :1. Anak belum berumur 15 tahun.2. Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

1. Yang boleh mengundurkan sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari saalah satu pihak.2. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari

suami/isteri salah satu pihak.3. Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja syang sah diwajibkan

menyimpan rahasia.3. Bukti persangkaan.

Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310 RBg.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.

Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa berdiri sendiri, tetapi diambil dari alat bukti lain.

Persangkaan ada 2 macam :

1. Persangkaan berdasarkan undang-undang.Contoh : Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut undang-

undang (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 tahun 1974).

2. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yang timbul di persidangan.

Contoh : Adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kuitansi) tiga bulan terakhir berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-bulan sebelumnya telah dibayar lunas.

4. Bukti pengakuan.Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312 dan 313 RBg.

Page 20: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

1. Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.

2. Pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar persidangan, dapat pula diberikan secara

3. Ada tiga macam pengakuan :1. Pengakuan murni yaitu pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya

dengan tuntutan pihak lawan.2. Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan disertai penyangkalan sebagian .

Contoh : Penggugat menyatakan telah menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,- dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah menerima uang dari Penggugat tetapi hanya Rp. 3.000.000,-.

3. Pengakuan dengan kalusula, yaitu pengakuan disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.

Contoh : Isteri menyatakan suami tidak memberi nafkah selama 3 tahun, suami mengakui benar tidak memberi nafkah karena isteri nusyuz.

5. Bukti sumpah.Diatur pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg.

1. Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, yang memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya.

Ada dua macam sumpah :

1. Sumpah promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli.

2. Sumpah assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatu hal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian.1. Sumpah sebagai alat bukti ( pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :

1. Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah Hakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.

2. Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepada Penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu dengan rincian yang dituntutnya.

3. Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap saat selama proses pemeriksaan di persidangan.

Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa. Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.

6. Saksi ahli.Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg, pasal 215 Rv.

Page 21: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

1. Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri.

2. Tujuannya agar Hakim memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan.

3. Syarat-syarat saksi ahli :1. Orang yang tidak boleh didengan sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai saksi ahli.2. Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.

1. Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.

2. Pemeriksaan Setempat.Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211 Rv.

Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

4. Putusan.Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.

1. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam produk keputusan Hakim/Pengadilan :1. Putusan.2. Penetapan

2. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentious).

3. Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

4. Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya, apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta hukum.

5. Macam-macam Putusan Hakim :1. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada dua macam

yaitu :1. Putusan Akhir.

Putusan Akhir, yaitu putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum/tidak menempuh semua tahap pemeriksaan.

Page 22: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Putusan Akhir yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir pemeriksaan adalah :

1. Putusan gugur.2. Putusan Verstek yang tidak diajukan verzet.3. Putusan tidak menerima.4. Putusan yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa.

2. Putusan Sela.Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.

Putusan sela dilakukan dalam hal :

1. Pemeriksaan berperkara cuma-cuma2. Pemeriksaan eksepsi tisak berwenang.3. Sumpah supletoir.4. Sumpah decissoir.5. Sumpah penaksir.6. Pemeriksaan gugatan provisionil.7. Pemeriksaan gugatan insidentil (intervensi).

Beberapa jenis Putusan Sela :

1. Putusan Praeparatoir, putusan sela sebagai persiapan putusan akhir, tidak berpengaruh terhadap pokok perkara dan putusan akhir. Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam Berita Acara Persidangan.

2. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang berisi memerintahkan pembuktian seperti pemeriksaan saksi, pemeriksaan setempat.

3. Putusan Insidentil, sehubungan dengan adanya peristiwa misalnya permohonan prodeo, eksepsi kewenangan, intervensi.

1. Dari segi hadir tidaknya para pihak, ada tiga macam yaitu :1. Putusan gugur.

Yaitu putusan yang menyatakan gugatan gugur karena penggugat tidak hadir setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.

2. Putusan verstek.Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak mewakilkan kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelah pembacaan gugatan sebelum tahap jawaban tergugat.

3. Putusan contradictoir.Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir, disyaratkan baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang.

1. Dari segi isinya terhadap gugatan ada empat macam :1. Tidak menerima gugatan.

Page 23: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

Yaitu putusan yang menyatakan Hakim tidak menerima gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak diterima, karena gugatannya tidak memenuhi syarat hukum formil maupun materiil. Terhadap putusan ini penggugat tidak dapat mengajukan banding, tetapi dapat mengajukan perkara baru.

2. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.Yaitu putusan yang dijatuhkan setelah ditempuh semua tahap pemeriksaan tetapi dalil-dalil gugatan tidak terbukti.

3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya.

Yaitu putusan di mana dalil gugatan ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti, atau tidak memenuhi syarat syarat hukum formil maupun materiil.

1. Dalil gugatan yang terbukti tuntutannya dikabulkan.2. Dalil gugatan yang tidak terbukti tuntutannya ditolak.3. Dalil yang tidak memenuhi syarat diputus dengan tidak diterima.

4. Mengabukan gugatan Penggugat seluruhnya.Yaitu putusan yang dijatuhkan di mana syarat-syarat gugatan dipenuhi, dan seluruh dalil gugatan yang mendukung petitum telah terbukti.

1. Dari segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan, ada tiga macam, yaitu :

1. Declaratoir.Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan yang menyatakan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum atau status hukum, menyatakan boleh tidaknya suatu perbuatan hukum dsb.

2. Constitutif.Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya putusan perceraian, pembatalan perkawinan.

3. Condemnatoir.Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.

Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan, maka atas permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan yang memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar bijvoorraad).

Putusan condemnatoir dapat berupa penghukuman untuk :

1. Menyerahkan suatu barang.

Page 24: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

2. Membayar sejumlah uang.3. Melakukan suatu perbuatan tertentu.4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.5. Mengosongkan tanah/rumah.

6. Kekuatan putusan Hakim :Putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :

1. Kekuatan mengikat.Putusan Hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu

2. Kekuatan pembuktian.Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan, dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.

Putusan Hakim harus dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama antara pihak-pihak yang sama.

3. Kekuatan eksekutorial.Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

7. Kekuatan hukum tetap.Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut, sampai dengan habisnya masa upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang, tidak dimintakan upaya hukum.

5. Upaya Hukum.Setiap putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan kadang-kadang bersifat memihak, oleh karena itu putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang melalui upaya hukum.

Upaya hukum adalah suatu upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan, karena salah satu pihak atau para pihak merasa dirugikan kepentingannya dalam memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.

Ada dua macam upaya hukum :

1. Upaya hukum biasa terdiri dari :1. Verzet.

Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat (verstek).

Page 25: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

2. Banding.Yaitu permohonan supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi (tingkat banding) karena merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.

3. Kasasi.Yaitu upaya hukum yang merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu, menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang.

2. Upaya hukum luar biasa yaitu :Peninjauan kembali.

Yaitu peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena ditemukannya hal-hal baru (novum) yang dahulu tidak diketahui oleh Hakim, sehingga apabila hal itu diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.

3. Perlawanan Pihak Ke Tiga (derdenverzet).Pada asasnya putusan Hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ke tiga. Tetapi ada pihak ke tiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan itu (pasal 378 Rv).

6. Pelaksanaan Putusan.Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.

Pelaksanaan putusan hakim dapat dilakukan :

1. Secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.2. Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum

tidak mau melaksanakan secara sukarela.Putusan yang dapat dimohonkan eksekusi/pelaksanaannya hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir.

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan :

1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menyerahkan suatu barang.

2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.

3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

4. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menghentikan suatu perbuatan/keadaan.

Page 26: ppkn34.files.wordpress.com · Web viewInpres ini mengamanatkan Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan,

5. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan tanah/rumah.

6. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.Daftar pustaka.

1. Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta, 2000.

2. Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1996.

3. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI., Jakarta, 2006.

4. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Departemen Agama, Jakarta, 2003.

5. Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan Umum,Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.

6. Simorangkir, JCT., SH., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.7. Soebekti, Prof., R., SH., Hukum Acara Perdata, BPHN, Bina Cipta,

Bandung, 1977.8. Soeparmono, R.,SH., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Mandar

Maju, Bandung, 2000.9. Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr.,SH., Hukum Acara Perdata

Indonesia,Liberty, edisi ke tiga, Cetakan Pertama, 1988.10. Supomo, Prof., Dr., R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, fasco,

Jakarta, 1958.Tresna, Mr.,R., Komentar HIR, Pradnya Paramita, Cetakan ke sembilan belas, Jakarta, 1996