perbedaan tujuan perkawinan menurut uu nomor 1 tahun 1974 dan khi

28
Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI OPINI | 20 June 2012 | 01:30 Dibaca: 5945 Komentar: 2 1 bermanfaat Sekilas sejarah UU Nomor 1 Tahun 1974 Keinginan memiliki undang-undang perkawinan telah ada semenjak Indonesia belum merdeka. Pada waktu itu pernah dibicarakan di (Volkraads) yaitu semacam lembaga DPR pada waktu zaman Hindia Belanda. Fungsi Volkraad pada waktu itu (pada tahun 1916 sebagai dewan penasehat dan pada tahun 1927 menjalankan fungsi legislatif). Pada waktu itu anggota Volksraad ada sebanyak 35 orang, 15 diantaranya adalah pribumi. Kemudian setelah kemerdekaan, pada tahun 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Mr. Moh. Teuku Hasan. Akan tetapi kerjanya tim tersebut tidak berhasil. Pada tahun 1961 dibentuk lagi tim yang diketuai oleh Mr. Noer Persoecipto. Kemudian pada tahun 1966, MPRS mengeluarkan TAP MPRS Nomor XXVII/1966 untuk menindaklanjuti RUU Perkawinan. Pada tahun 1973 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyarankan kepada pemerintah agar RUU Perkawinan segera dibahas kembali. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 UU Nomor 1 Tahun 1974 atas usulan pemerintah RUU disahkan oleh DPR. UU Perkawinan ini, menurut menteri Agama bagi agama Islam diambil dari (Qur’an dan Hadis), bagi agama Hindu diambil dari Buku Law of Menual jilid 25 karangan Max Weber dan Kitab Manaha Dharma Satwa, bagi Agama Budha diambil dari Kitab Tripitaka dan bagi agama Katolik diambil dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Artinya UU Perkawinan merupakan UU yang berlaku bagi keseluruhan agama di Indonesia. Sekilas tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam) Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan ijma’ ulama yang telah dirumuskan pada tanggal 2-5 Februari 1988. Pada akhirnya keluar Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan ditindaklanjuti oleh Menteri Agama dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154/1991 yang isinya untuk

Upload: nofa-puspita

Post on 02-Dec-2015

632 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

uu no 1 thun 1974

TRANSCRIPT

Page 1: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHIOPINI | 20 June 2012 | 01:30  Dibaca: 5945     Komentar: 2     1 bermanfaat

Sekilas sejarah UU Nomor 1 Tahun 1974

Keinginan memiliki undang-undang perkawinan telah ada semenjak Indonesia belum merdeka. Pada waktu itu pernah dibicarakan di (Volkraads) yaitu semacam lembaga DPR pada waktu zaman Hindia Belanda. Fungsi Volkraad pada waktu itu (pada tahun 1916 sebagai dewan penasehat dan pada tahun 1927 menjalankan fungsi legislatif). Pada waktu itu anggota Volksraad ada sebanyak 35 orang, 15 diantaranya adalah pribumi.

Kemudian setelah kemerdekaan, pada tahun 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Mr. Moh. Teuku Hasan. Akan tetapi kerjanya tim tersebut tidak berhasil. Pada tahun 1961 dibentuk lagi tim yang diketuai oleh Mr. Noer Persoecipto. Kemudian pada tahun 1966, MPRS mengeluarkan TAP MPRS Nomor XXVII/1966 untuk menindaklanjuti RUU Perkawinan. Pada tahun 1973 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyarankan kepada pemerintah agar RUU Perkawinan segera dibahas kembali. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 UU Nomor 1 Tahun 1974 atas usulan pemerintah RUU disahkan oleh DPR.

UU Perkawinan ini, menurut menteri Agama  bagi agama Islam diambil dari (Qur’an dan Hadis), bagi agama Hindu diambil dari Buku Law of Menual jilid 25 karangan Max Weber dan Kitab Manaha Dharma Satwa, bagi Agama Budha diambil dari Kitab Tripitaka dan bagi agama Katolik diambil dari kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Artinya UU Perkawinan merupakan UU yang berlaku bagi keseluruhan agama di Indonesia.

Sekilas tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan ijma’ ulama yang telah dirumuskan pada tanggal 2-5 Februari 1988. Pada akhirnya keluar Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan ditindaklanjuti oleh Menteri Agama dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154/1991 yang isinya untuk menyebarluaskan KHI di Instansi Pemerintah dan Peradilan. KHI terdiri dari 3 BAB yaitu Bab I tentang Perkawinan, Bab II tentang Kewarisan, Bab III tentang Perwakafan.  Adapun yang menjadi Ketua Tim yang membahas Bab I adalah M. Yahya Harahap, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung pada waktu itu) dan anggotanya terdiri dari ulama, praktisi hukum dan tokoh masyarakat.

Perbedaan tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI

Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Page 2: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam. Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan.

Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.

Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan Menurut UU No 1, Tahun 1974 dan Perkawinan Menurut Kompilasi hukum Islam (KHI )

 10.47   Hanif El - Jazuly   No comments

I.                   Pendahuluan

Banyaknya kasus perceraian ataupun kasus-kasus lain yang berhubungan dengan hukum keluarga muslim di Indonesia cukup membuat sibuk aparat hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menjalankan fungsi Peradilan, sehingga kadang-kadang jumlah perkara yang masuk di Peradilan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang menangani perkara itu guna memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para pihak pencari keadilan.

Selain itu jenis perkara yang banyak dan diajukan oleh para pihak pencari keadilan didominasi oleh kaum perempuan yang seharusnya merasa terlindungi dengan adanya perjanjian yang berupa ta’lik talak yang diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan, namun kenyataannya justru pelanggaran

Page 3: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

ta’lik talak membawa kaum perempuan mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama di wilayah hukum masing-masing Pengadilan di Indonesia. Namun ada wilayah hukum tertentu yang jumlah perkaranya sedikit yang oleh karena mempunyai komunitas tertentu dengan hukum kebiasaan atau tradisi budayanya dibidang perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sebelum dilaksanakan akad nikah menurut hukum Islam ternyata dapat mempertahankan perkawinan mereka hingga salah satu dari pasangannya meninggal dunia.

Masyarakat hukum itu dinamakan masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Nusantara dengan agama, bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam sehingga ada beberapa asas yang membedakan corak / warna budaya Indonesia   terakumulasi dalam hukum Adat secara material, yaitu :

1.      Mempunyai sifat kebersamaan / komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu mencakup lapangan hukum adat.

2.      Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.

3.      Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran yang serba kongkrit, artinya memperhatikan banyaknya peristiwa / kejadian dan berulang-ulangnya perhubungan antara manusia.

4.      Hukum adat bersifat visioner, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan adanya suatu ikatan yang dapat dilihat.

Dengan demikian apabila boleh berasumsi bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan suatu perjanjian perkawinan yang bukan merupakan perjanjian ta’lik talak seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih dapat menekan lajunya angka perceraian di suatu wilayah hukum Peradilan, karena perjanjian perkawinan yang dilaksanakan cenderung memakai asas / hukum    Perdata Barat.

II.                Pembahasan

A.    Pengertian Perkawinan

1 . Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Page 4: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun  1974 Pasal 1, Perkawinan adalah :

“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut :

a. Ikatan lahir bathin.

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.

c. Sebagai suami isteri.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri. Hidup bersama suami isteri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami isteri, tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami isteri. Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.

2 . Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Bab II KHI pasal 2 disebutkan bahwa makna perkawinan adalah :

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” 

Barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separoh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah SWT, demikian sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasullullah SAW. Dengan maksud, melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran agama.

B.     Tujuan Perkawinan

Page 5: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

1 . Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua.

Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anakanak dalam rumah tangga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya sementara, tetapi kebahagiaan yang kekal karenanya perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan dan tidak boleh diputuskan atau dibubarkan menurut kehendak pihakpihak.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting.Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2 . Tujuan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Sebagaimana yang tercantum dalam Bab II pasal 3 KHI, tujuan perkawinan adalah : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”

Dengan maksud lain adalah untuk mencari sakinah, mawaddah dan rahmah adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman dan bertanggung jawab.

C.     Syarat Syarat Perkawinan

1 . Syarat Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi :

1) Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :

a. syarat-syarat materiil.

a) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.

Page 6: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

      Arti persetujuan yaitu tidak seorang-pun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.

b) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

2) Syarat materiil secara khusus, yaitu :

a) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan

perkawinan antara dua orang yaitu :

(1)  Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

(2)  Hubungan darah garis keturunan ke samping.

(3) Hubungan semenda.

(4) Hubungan susuan.

(5) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.

(6) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.

(7)  Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masingmasing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

b) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu :

(1) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai. Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika orang tua laki-laki telah meninggal dunia, pemberian izin perkawinan beralih kepada orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang tua perempun bertindak sebagai wali.

(2) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya disebabkan :

(a). oleh karena misalnya berada di bawah kuratele.

(b). berada dalam keadaan tidak waras.

(c). tempat tinggalnya tidak diketahui.

Page 7: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari :

(a). wali yang memelihara calon mempelai.

(b). keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(4)  Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang  disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seorang atau lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan diberikan :

(a). atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.

(b). setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4).

b. Syarat-syarat Formil.

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.

2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masingmasing.

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

2 . Syarat Syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:

“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada

a. Calon Suami

Page 8: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

b. Calon Isteri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi dan

e. Ijab dan Kabul.”

Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan syariat Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di dalam mazhab Syafi’ sebagai salah satu mazhab terkemuka di dunia ini.

Pasal 15 angka (1) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur calon mempelai pula menyatakan sebagai berikut:

 1.  Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 ini, secara jelas KHI telah membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan Undang-Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 angka (1).

  

Dalam hal ini, ternyata KHI berusaha untuk menghilangkan perbedaan yang terjadi dikalangan ulama dengan menetapkan batasan 16 tahun bagi calon wanita dan 19 bagi calon pria.  Konsep ini dikenal dengan kaidah “ الخالف يرفع الحاكم Menurut .”حكمkaidah ini; kalau seorang hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan sebuah pendapat (dalam mazhab fiqh), yang mana ternyata pendapat tersebut tidak sesuai dengan keyakinan mazhab terdakwa, maka wajib bagi terdakwa mengikuti pendapat hakim menurut qaul yangashoh (wajib ikut secara lahir dan batin). Maka kalau pemerintah/mahkamah agung menentukan batasan baligh, maka wajib bagi rakyat untuk patuh pada ketetapan hakim tersebut, karena permasalahan ini adalah khilâf, dan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilaf.

2.  Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Dalam hal ini, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) menyatakan seperti ini:

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Page 9: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

Ternyata KHI (yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974), undang-undang Syuriah, dan Enactment di Negeri Selangor sekalipun tidak berani menetapkan sesuatu yang bukan syariat secara mutlak. Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah benar-benar dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan orang yang bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan. Perkara ini ditegaskan Dr. Wahbah al-Zuhayli tujuannya adalah demi menjaga kemaslahatan pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam pernikahan, dan menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan.

D.    Larangan Perkawinan

1 . Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 larangan perkawinan

diatur dalam Pasal 8 sampai 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :

a. Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974) disebabkan berhubungan darah yaitu larangan perkawinan karena hubungan ke-saudara-an yang terus menerus berlaku dan tidak dapat disingkirkan berlakunya :

1) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas

Page 10: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit (Pasal 8 sub a).

2) Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemanakan) (Pasal 8 sub b).

3) Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari isteri (mertua), anak tiri (Pasal 8 sub c).

4) Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan (Pasal 8 sub d).

5) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 8  sub e).

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8 sub f).

b. Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).

Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seoramg laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.

c. Larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974).

Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.

d. Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974).

Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu tunggu. Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil maka masa tunggu menjadi 100 hari. Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena :

1) Suaminya meninggal dunia.

2) Perkawinan putus karena perceraian.

Page 11: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

3) Isteri kehilangan suaminya.

2 . Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39.

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

(1) Karena pertalian nasab

a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

(2) Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;

b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;

c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul

d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

(3) Karena pertalian sesusuan :

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Juga di dalam Pasal 40 disebutkan,

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

Page 12: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41 berisi,

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya

a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.

b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut,

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal 43 juga menyebutkan bahwa.

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :

a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.

b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama.

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Page 13: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

III.             PENUTUP

A.     Kesimpulan

1 .  Hukum perkawinan yang termuat dalam kitab Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai Impres atau Intruksi President yang di keluarkan President Soeharto pada masa pemerintahannya, dan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sama sama sebagai sistem hukum Islam yang ada di indonesia

B.     Saran-saran

1 .  Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang kekuatan mengikat terhadap UU NO 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum islam sebagai sistem hukum Islam yang ada di Negri ini.

Daftar Pustaka

I.       Peraturan / Undang-undang :

-         Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

-         Kitab Kompilasi Hukum Islam

II.    Buku-buku

-          Iskandar, J Eddy. Tt. Pengantar Ilmu Hukum. Banjarmasin : Unv. lambung mangkurat, 2000.

-          P. Aghnides, Nicolas. Pengantar Ilmu Hukum Islam. Solo: Solo Press, 1956

-          Prodjohamidijodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta :Indonesia Legal center Publishing, 2002.

-          Supomo, R. Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta : Pradnjaparamita. 1965

-          Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. III. Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1991.

Page 14: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

prinsip perkawinan menurut UU No.1 1974 dan KHI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.

Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).

Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun".

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir

Page 15: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.    

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu 'perikatan' (verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat kemabali dalam pada pada 26 KUH Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

a.      Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam

Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatanantara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

b.      Pengertian Perkawinan menurut Hukum Adat

Perkawinan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat" dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan". Jadi, terjadinya perikatan perkawinan bukan saja semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harat bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juuga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan dengan manusia dengan Tuhannya(ibadah) maupun hubungan sesama manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidupagar selamat dunia dan akhirat. 

 2.2 Prinsip-prinsip Perkawinan menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

2.2.1 Prinsip-prinsip Perkawinan menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974

Page 16: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

a.       Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b.      Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c.       Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

d.      Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

Page 17: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

2.2.2 Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam

Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu:

1.      Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

2.      Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

3.      Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

4.      Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.

5. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

2.3 Perbedaan tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI

Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam. Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ”

Page 18: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.

Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.

2.4  Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan menurut Peraturan Perundang-Undangan

1.      Hakikat Perkawinan    

Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.

Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.

Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.

2.      Asas Perkawinan

Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).

3.       Syarat Sahnya Perkawinan

Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun,

Page 19: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.

Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.

4.      Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.

2.5 Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan sendirinya. Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum Adat.

Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat yang dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat 2 yang memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara yang beragama Islam.

Page 20: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah menjadi hukum adat atau belum.

Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74), Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.

Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.

Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.

2.6 Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.

Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak

Page 21: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI

hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lain-lain.

2.7 Pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang Islam adalah sebagai berikut:

a. Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

b. Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram suami istri.

c. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.

d. Dengan terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.

e. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut. Dan kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

DAFTAR PUSTAKA

H.Hilman Hadikusuma, Prof. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama.Bandung: Mandar Maju. 2003.

Page 22: Perbedaan Tujuan Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan KHI